PEMURNIAN DAN KARAKTERISASI ENZIM KATEPSIN

advertisement
PEMURNIAN DAN KARAKTERISASI ENZIM KATEPSIN
DARI IKAN BANDENG (Chanos chanos Forskall)
NICO DYNNAR
DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011
RINGKASAN
NICO DYNNAR. Pemurnian dan Karaktersisasi Enzim Katepsin dari Ikan Bandeng
(Chanos chanos Forskall). Dibimbing oleh TATI NURHAYATI dan ELLA
SALAMAH.
Ikan merupakan salah satu komoditas yang cepat mengalami kemunduran
mutu. Kemunduruan mutu ini diakibatkan oleh adanya aktivitas bakteri dan kerja dari
enzim proteolitik. Enzim ini bekerja menghidrolisis ikatan peptida pada protein.
Salah satunya ialah enzim katepsin. Enzim katepsin dipercaya berperan dalam proses
pelunakan daging pada ikan selama proses kemunduran mutu. Karakterisasi enzim
katepsin perlu dilakukan untuk melihat faktor lingkungan apa saja yang berpengaruh
terhadap aktivitas enzim katepsin, selain itu juga dengan mengkarakterisasi akan
diperoleh informasi kondisi optimum enzim katepsin bekerja sehingga pada rantai
penanganan ikan dapat dihindari faktor-faktor yang dapat meningkatkan kerja enzim
katepsin.
Tujuan penelitian ini adalah memurnikan enzim katepsin dari ikan bandeng
serta mengkarakterisasi enzim katepsin yang telah dimurnikan. Metode penelitian ini
dilakukan melalui beberapa tahap. Tahap pertama yakni ekstraksi kasar daging ikan
bandeng. Hasil dari ektrak kasar, lalu dipresipitasi dengan ammonium sulfat, hasilnya
kemudian didialisis. Enzim yang telah dimurnikan kemudian dikarakterisasikan suhu,
konsentrasi substrat, pengaruh logam, pH dan dilakukan elektroforesis SDS-PAGE
dan zimogram untuk mengetahui bobot molekul enzim yang dihasilkan.
Enzim katepsin pada tahap ektraksi kasar memiliki aktivitas spesifik sebesar
0,8598 U/mg. Pemurnian lebih lanjut dengan menggunakan ammonium sulfat dengan
konsentrasi sebesar 70% (b/v) didapatkan aktivitas spesifik sebesar 4,4643 U/mg.
Setelah didialisis menggunakan 12 kDa selama 6 jam diperoleh aktivitas spesifik
sebesar 14,4404 U/mg.
Karakterisasi katepsin dilakukan untuk mengetahui pengaruh lingkungan
terhadap aktivitas dari enzim katepsin, selain itu juga untuk melihat pada titik berapa
enzim katepsin bekerja secara optimal. Kondisi optimum enzim katepsin bekerja pada
suhu 40 °C, pH 4, dan konsentrasi substrat 3%. Sementara keberadaan ion logam
akan menghambat aktivitas enzim katepsin. Enzim Katepsin terestimasi memiliki
bobot molekuk sebesar 86,87 kDa.
PEMURNIAN DAN KARAKTERISASI ENZIM KATEPSIN
DARI IKAN BANDENG (Chanos chanos Forskall)
NICO DYNNAR
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Perikanan
pada Departemen Teknologi Hasil Perairan
DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011
Judul Skripsi
: Pemurnian dan Karakterisasi Enzim Katepsin dari Ikan Bandeng
(Chanos chanos Forskall)
Nama
: Nico Dynnar
NRP
: C34060190
Disetujui
Pembimbing I
Pembimbing II
Dr. Tati Nurhayati S.Pi, M.Si
NIP. 19700807 199603 2 002
Dra. Ella Salamah, M. Si
NIP. 19530629 198803 2 001
Diketahui
Ketua Departemen Teknologi Hasil Perairan
Dr. Ir. Ruddy Suwandi, M.S, M. Phil
NIP. 19580511 198503 1 002
Tanggal Lulus :
KATA PENGANTAR
Puji syukur dipanjatkan ke hadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan
segenap rahmat dan karunia-Nya sehingga skripsi dengan judul Pemurnian dan
Karakterisasi Enzim Katepsin dari Ikan Bandeng (Chanos chanos Forskall) ini
dapat diselesaikan.
Skripsi ini dibuat sebagai syarat untuk memperoleh gelar sarjana perikanan pada
Program Studi Teknologi Hasil Perairan di Departemen Teknologi Hasil Perairan,
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Banyak bantuan yang telah diberikan berbagai pihak sampai diselesaikannya
laporan ini. Oleh karena itu, pada kesempatan ini disampaikan ucapan terima kasih
kepada:
1. Dr. Tati Nurhayati, S.Pi, M.Si dan Ibu Dra. Ella Salamah, MS selaku komisi
pembimbing, atas segala bimbingan dan pengarahannya.
2. Dr. Ir. Sri Purwaningsih, M.Si selaku dosen penguji, atas segala masukannya.
3. Dr. Ir. Ruddy Suwandi, MS selaku Ketua Departemen Teknologi Hasil Perairan,
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
4. Dr. Ir. Agoes M. Jacoeb, Dipl.Biol selaku Ketua Komisi Pendidikan Departemen
Teknologi Hasil Perairan.
5. Anna C. Erungan, MS selaku pembimbing akademik.
6. Ayah dan Ibunda tercinta, atas semua dukungan dan kasih sayang yang diberikan
serta doanya selama ini.
7. Bu Ema, Ba Lastri, Silvia, Mas Epul sebagai laboran THP dan Pak Wahyu (FKH)
dan Bu Dewi serta Bu Ika (PAU) yang telah banyak membantu selama penelitian.
8. Teman-teman THP 43 yang selalu memberikan kesan-kesan terindah.
9. Rekan-rekan Laboratorim Bioteknologi II atas kerjasama dan motivasi yang
diberikan.
10. Kakak kelas (THP 41 dan THP 42) dan adik-adik kelas (THP 44 dan THP 45)
atas semangat dan kebersamaannya.
11. Semua pihak yang telah membantu penulis selama penelitian dan penyusunan
skripsi, yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan.
Oleh sebab itu, kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak sangat
diharapkan. Semoga tulisan ini bermanfaat bagi semua pihak yang memerlukan.
Bogor, Januari 2011
Nico Dynnar
C34060190
RIWAYAT HIDUP
Penulis
dilahirkan
di
Jakarta
pada
tanggal
28 Agustus 1988 sebagai anak kedua dari tiga bersaudara, putra
dari pasangan Santo Dyne dan Chaironi. Penulis mengawali
pendidikan di SDN Pengadilan 3 Bogor pada tahun 1994 dan
menyelesaikan pada tahun 2000. Pada tahun yang sama penulis
diterima di SMPN 12 Bogor dan menyelesaikan pendidikan
pada
tahun
2003.
Penulis
melanjutkan
pendidikan
di
SMAN 2 Bogor dan selesai pada tahun 2006. Pada tahun yang sama penulis diterima
di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB. Penulis
memilih mayor Teknologi Hasil Perairan pada pilihan pertamanya, dan memilih
minor Manajemen Fungsional dari Departemen Manajemen sebagai pelengkapnya.
Selama perkuliahan, penulis terdaftar pada asisten luar biasa mata kuliah
Avertebrata Air pada tahun ajaran 2009/2010 dan pada tahun 2010/2011,
Teknologi Produk Tradisional Hasil Perairan tahun ajaran 2009/2010, Fisiologi
Formasi dan Degradasi Metabolit Hasil Perairan tahun ajaran 2010/2011, keanggotan
Fisheries Processing Club (FPC), selain itu juga penulis mengikuti pelatihan Good
Laboratory Practices (GLP) pada tahun 2010, pelatihan Hazard Analysis Critical
Control Point (HACCP) dari Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) –
Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan IPB pada tahun 2008, seminar Young
Entrepreneur Awards by Commonwealth Bank pada tahun 2009. Selain itu juga pada
tahun 2003 penulis terpilih sebagai juara 3 Try Out tingkat SMP se-kota Bogor yang
diselenggarakan oleh Yayasan Dharma Andhiga, dan pada tahun 2006 penulis
terdaftar sebagai peserta olimpiade kimia se-jabodetabek yang diselenggarakan oleh
Institut Teknologi Indonesia. Di tempat lain penulis juga pernah terpilih sebagai 5
pemberi aspirasi terbaik pada Majalah Kereta Api edisi 40. November 2009 dengan
topik aspirasi mengenai cara pemberantasan calo tiket.
I. PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Potensi lestari perikanan laut Indonesia diperkirakan sebesar 6,4 juta ton per
tahun yang tersebar di perairan wilayah Indonesia dan Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE)
dengan jumlah tangkapan yang diperbolehkan sebesar 5,12 juta ton per tahun atau
sekitar 80% dari potensi lestari. Potensi tersebut merupakan salah satu peluang untuk
meningkatkan jumlah produksi ikan baik pada perikanan tangkap maupun perikanan
budidaya. Jumlah produksi perikanan tangkap dari penangkapan ikan di laut dan di
perairan umum pada tahun 2006 masing-masing sekitar 4.468.010 ton dan
301.150 ton. Produksi perikanan budidaya pada tahun 2006 mencapai 2.625.800 ton
yang didominasi oleh udang 327.260 ton, rumput laut 1.079.850 ton, ikan mas
285.250 ton, bandeng 269.530 ton, nila 227.000 ton, lele 94.160 ton, gurame
35.570 ton (BRKP 2007). Data ini menggambarkan bahwa tingkat produktivitas dari
ikan bandeng cukup tinggi.
Salah satu penyebab terjadinya proses kemunduran mutu ialah adanya aktivitas
enzim terutama enzim proteolitik. Enzim katepsin itu sendiri merupakan salah satu
enzim proteolitik yang ditemukan pada jaringan hewan yang dapat menghidrolisis
protein menjadi polipeptida (Shahidi dan Botta 1994). Katepsin banyak ditemukan
dalam jaringan otot ikan.
Proses penurunan mutu secara enzimatis berlangsung
sebagai aksi kegiatan enzim yang menguraikan senyawa kimiawi pada jaringan tubuh
ikan (Ilyas 1983). Penguraian protein dalam proses enzimatis akan menyebabkan
perubahan bau, tekstur, dan penampakan ikan.
Informasi mengenai kondisi optimal enzim katepsin bekerja berguna dalam
proses penanganan yang tepat. Informasi ini dapat dikelola agar pada saat
penanganan kondisi-kondisi lingkungan yang dapat meningkatkan kerja enzim
katepsin secara optimal khususnya pada ikan bandeng dapat dihindari.
1.2 Tujuan
Tujuan dari penelitian pemurnian enzim katepsin ikan bandeng ialah:
a. Memurnikan enzim katepsin dari ikan bandeng;
b. Menentukan karakter katepsin yang dihasilkan dari pemurnian enzim
katepsin ikan bandeng.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Deskripsi dan Klasifikasi Ikan Bandeng (Chanos chanos Forskall)
Ikan bandeng mempunyai ciri-ciri morfologi badan memanjang, agak pipih,
tanpa scute pada bagian perutnya, mata diseliputi lendir mempunyai sisik besar pada
sirip dada dan sirip perut, sirip ekor panjang dan bercagak, sisik kecil dengan tipe
sikloid, tidak bergigi, sirip dubur jauh dibelakang sirip punggung (Saanin 1984).
Morfologi ikan bandeng disajikan pada Gambar 1.
Gambar 1. Morfologi ikan bandeng (Erwin 2010)
Klasifikasi ikan bandeng menurut Saanin (1984) adalah sebagai berikut:
Filum
: Chordata
Subfilum : Vertebrata
Kelas
: Pisces
Ordo
: Malacopterygii
Famili
: Chanidae
Genus
: Chanos
Species : Chanos chanos
Ikan bandeng merupakan salah satu jenis ikan budidaya air payau yang
potensial dikembangkan. Jenis ikan ini mampu mentolelir salinitas perairan yang
luas (0-158 ppt) sehingga digolongkan sebagai ikan euryhaline.
Ikan bandeng
mampu beradaptasi terhadap perubahan lingkungan seperti suhu, pH, dan kekeruhan
air serta tahan terhadap serangan penyakit (Ghufron dan Kardi 1997).
Ikan bandeng merupakan salah satu komoditas ekspor yang dikenal dengan
sebutan milkfish. Ikan ini memiliki tubuh langsing, seperti peluru, dengan sirip ekor
bercabang, ciri ini memberikan petunjuk bahwa ikan bandeng mampu berenang
dengan cepat. Tubuh ikan bandeng berwarna putih keperak-perakan dan dagingnya
berwarna putih susu. Ikan bandeng memiliki daerah penyebaran sangat luas, yaitu
Pantai Afrika Timur sampai ke Kepulauan Tuamutu sebelah timur Tahiti dan Jepang
Selatan sampai Australia Utara (Murtidjo 2002).
2.2
Enzim
Enzim ialah protein yang mengkatalisis reaksi-reaksi biokimia.
Enzim
biasanya terdapat dalam sel dengan konsentrasi yang sangat rendah, selain itu juga
enzim mempunyai kemampuan untuk meningkatkan laju reaksi tanpa mengubah
posisi kesetimbangan (Kuchel dan Gregory 2006). Enzim ikut ambil bagian dalam
seluruh aktivitas yang diperlukan untuk mempertahankan kehidupan, seperti sintesis
dan penguraian, eksresi, detoksifikasi, dan penyediaan energi (Shinya 2008).
Di dalam tubuh terdapat lebih dari 2500 reaksi biokimia yang berbeda dengan
bantuan enzim spesifik yang sesuai untuk meningkatkan laju reaksinya. Masingmasing enzim dicirikan oleh spesifitasnya untuk substrat (reaktan) yang mirip secara
biologis. Molekul-molekul lain juga dapat mengatur aktivitas enzim, molekulmolekul ini disebut efektor dan dapat bersifat sebagai aktivator, inhibitor atau
keduanya (Kuchel dan Gregory 2006).
Rantai samping asam amino pada enzim mempunyai susunan tertentu yang
terdapat dalam tapak aktif. Susunan tertentu inilah yang menentukan jenis molekul
yang dapat diikat dan bereaksi dalam tapak tersebut.
Banyak enzim memiliki
molekul nonprotein kecil yang tergabung dengan atau di dekat tapak aktif yang
menentukan spesifitas substrat. Molekul ini disebut kofaktor jika terikat secara non
kovalen dengan protein dan disebut gugus prostetik jika terikat secara kovalen
(Kuchel dan Gregory 2006).
2.2.1 Cara kerja enzim
Enzim bekerja dengan dua cara, yaitu menurut Teori Kunci-Gembok (Lock
and Key Theory) dan Teori Kecocokan Induksi (Induced Fit Theory). Menurut teori
kunci-gembok, terjadinya reaksi antara substrat dengan enzim karena adanya
kesesuaian bentuk ruang antara substrat dengan sisi aktif (active site) dari enzim,
sehingga sisi aktif enzim cenderung kaku. Substrat berperan sebagai kunci masuk ke
dalam situs aktif, yang berperan sebagai gembok, sehingga terjadi kompleks
enzim-substrat. Ikatan kompleks enzim-substrat terputus, produk hasil reaksi akan
dilepas dan enzim akan kembali pada konfigurasi semula. Mekanisme teori kuncigembok disajikan pada Gambar 2,
Gambar 2. Teori Kunci-Gembok (Stenes 1998)
Berbeda dengan teori kunci-gembok, teori induksi enzim menekankan pada
enzim melakukan penyesuaian bentuk untuk berikatan dengan substrat.
Hal ini
bertujuan untuk meningkatkan kecocokan dengan substrat dan membuat ikatan enzim
substrat lebih reaktif. Molekul enzim memiliki sisi aktif tempat melekatnya substrat
dan terbentuk molekul kompleks enzim-substrat. Pengikatan substrat menginduksi
penyesuaian pada enzim yang meningkatkan kecocokan dan mendorong molekul
kompleks enzim-substrat (Chang 2003).
disajikan pada Gambar 3,
Mekanisme teori kecocokan induksi
Gambar 3. Teori kecocokan induksi (Stenes 1998)
2.2.2
Klasifikasi enzim
Sistem penamaan dan klasifikasi enzim telah diambil dari hasil persetujuan
internasional dan diberi nomor kode/sandi. Pembagian didasarkan pada reaksi yang
dikatalisisnya. Sistem membaginya menjadi 6 kelas utama.
Klasifikasi enzim berdasarkan atas reaksi katalisisnya (Buxbaum 2007):
1)
Oksidoreduktase : Enzim yang mengkatalisis reaksi oksidasi atau reduksi
suatu substrat. Dua macam enzim yang paling utama, yakni oksidase dan
dehidrogenase. Oksidase ialah enzim yang mengkatalisis reaksi antara substrat
dengan molekul oksigen. Contoh: katalase, peroksidase, tirosinase, dan asam
askorbat oksidase. Dehidrogenase ialah enzim yang aktif dalam pengambilan
atom hidrogen dari substrat. Contoh: Enzim suksinat dehidrogenase yang
memecah asam suksinat menjadi asam fumarat
2)
Tranferase : Reaksi yang dikatalisisnya merupakan reaksi pemindahan gugus
fungsional. Contoh: transglikosidase, transfosforilase, transaminase, dan
tranasetilase.
3)
Hidrolase : Enzim yang mengkatalisis reaksi hidrolisis suatu substrat atau
memecah substrat dengan pertolongan molekul air. Contoh: lipase dan
amilase.
4)
Liase : Enzim yang aktif dalam pemecahan C-C dan C-O dengan tidak
menggunakan molekul air. Contoh: enzim dekarboksilase yang memecah
ikatan C-C
5)
Isomerase : Jenis reaksi yang dikatalisisnya adalah pemindahan gugus di
dalam molekul, menghasilkan bentuk isomer
6)
Ligase : Reaksi yang dikatalisisnya merupakan reaksi pembentukan ikatan
C-C, C-S, C-O, dan C-N oleh reaksi kondensasi yang berkaitan dengan
penguraian ATP.
Enzim yang menghidrolisis pemutusan ikatan peptida pada protein
diklasifikasikan menjadi dua kelompok besar, yaitu golongan eksopeptidase dan
golongan endopeptidase. Golongan eksopeptidase mengkatalisis hidrolisis pemutusan
ikatan peptida dari rantai peptida suatu protein, tempat pemutusannya dari tepi atau
dari ujung, baik di ujung yang mengandung gugus karboksil maupun yang
mengandung gugus amino. Golongan ini dibedakan atas karboksipeptidase dan
aminopeptidase.
Karboksipeptidsase mengkatalisasi hidrolisis pemutusan ikatan
peptida pada rantai peptida molekul protein, dimulai dari ujung tempat gugus
karboksil bebas. Tiap penyerangan atau pemutusan ikatan peptida dilepaskan sebuah
asam amino (Bregman dan Futon 1996).
Gambar 4. Mekanisme pemutusan gugus karboksil oleh enzim
golongan karboksipeptidase (Sumardjo 2006)
Aminopeptidase mengatalisasi hidrolisis pemutusan
ikatan-ikatan peptida
dari rantai peptida molekul protein, dimulai dari ujung tempat gugus amino bebas.
Tiap penyerangan atau pemutusan ikatan peptida melepaskan sebuah asam amino.
Gambar 5. Mekanisme pemutusan gugus amin oleh enzim golongan aminopeptidase
(Sumardjo 2006)
Golongan endopeptidase mengatalisasi hidrolisis pemutusan ikatan peptida
dari rantai peptida suatu protein, tempat pemutusannya dari dalam atau dari tengah.
Enzim ini terdiri atas satu rantai polipeptida dan dihasilkan atau diproduksi dalam
bentuk nonaktif.
Gambar 6. Mekanisme pemutusan ikatan peptida oleh enzim golongan endopeptidase
(Sumardjo 2006)
2.2.3
Katepsin
Katepsin merupakan salah satu enzim proteolitik yang ditemukan pada
jaringan hewan termasuk ikan. Katepsin banyak ditemukan dalam jaringan otot ikan.
Pada jaringan otot ikan, katepsin dan enzim penghidrolisis lainnya ditempatkan
dalam organel subseluller dan dibagi dala dua tempat, yaitu pada serabut otot dan
matriks ekstraselluler (Shahidi dan Botta 1994). Katepsin merupakan enzim yang
menghidrolisis ikatan peptida pada protein (Salleh et al. 2006).
Katepsin juga
ditemukan pada lisosom dan sel fagosit (Carreno 2000). Katepsin dikenal sebagai
famili endopeptidase dan atau famili eksopeptidase. Banyak katepsin optimal pada
pH asam walaupun beberapa diantaranya aktif pada pH netral (Haard 1994).
Katepsin B ditemukan secara luas pada lisosom. Katepsin B dapat diisolasi
dari beberapa spesies mamalia dan berbagai jaringan, meliputi limpa, liver, kelenjar
paratiroid, dan otak. Katepsin B ialah glikoprotein dengan jumlah manosa yang
sangat rendah atau rendah. Katepsin H dan katepsin L ditemukan lebih banyak
dibandingkan katespin B. Ketiga enzim ini dipurifikasi bersama melalui beberapa
tahap sampai mereka terpisah oleh kromatografi pertukaran ion. Metode yang lebih
efisien, yakni kromatografi afinitas kovalen baru untuk mempurifikasi katepsin B
(Polgar 1990).
Katepsin C tidak mungkin untuk melakukan tindakannya secara utuh pada protein secara langsung, tetapi memiliki aktivitas spesifik tertinggi di antara semua peptidase lisosomal. Katepsin C mencerna lebih lanjut fragmen‐fragmen peptida yang dihasilkan dari aktivitas katepsin D (Park 2005). Katepsin D pertama kali ditemukan pada jaringan otot daging oleh Siebert, kemudian diindentifikasikan oleh Mekinodan dan Ikeda pada tahun 1965. Katepsin D dipercaya berperan dalam pendegradasian secara signifikan pada tekstur selama penyimpanan dingin. Katepsin D juga dilaporkan merupakan salah satu katepsin penting dalam pelunakan pada post‐mortem karena katepsin D menyerang secara langsung protein pada otot yang akan menghasilkan peptida yang dapat dipecah lebih lanjut oleh katepsin lainnya (Park 2005). Katepsin merupakan protease asam yang biasanya terletak di lisosom (DeDuve et al. 1955) dan sel fagosit tetapi juga telah ditemukan dalam retikulum sarkoplasma dari sel otot (Allen dan Goll 2003). Katepsin B mendegradasi miosin
dan aktin ke bentuk yang lebih sederhana, sementara D mendegradasi baik aktin dan
miosin menjadi fragmen-fragmen peptida berukuran kecil (Haard 1994).
Katepsin B dan katepsin L keduanya merupakan sistein proteinase yang
kemungkinan paling penting dalam kemunduran tekstur daging (Aoki et al. 2000).
Aktivitasnya berbeda beda tiap spesies ikan. Aktivitas optimum dilaporkan pada
suhu 40-50 °C dan aktivitasnya menurun dengan penurunan suhu. Secara umum
bekerja pada pH 3-4 dan beberapa katepsin juga mempunyai aktivitas tinggi pada pH
6-6,5 (Kolodziejska dan Sikorsi 1996).
Aktivitas katepsin akan memberikan pengaruh pada tekstur daging ikan
karena katepsin dapat menurunkan fleksibilitas sehingga daging ikan menjadi tidak
elastis dan jaringan daging ikan melunak. Daging yang melunak ini merupakan salah
satu sumber masalah pada industri surimi karena katepsin dapat menurunkan
kemampuan pembentukan gel dalam proses pembuatan surimi dari daging ikan akibat
degradasi protein miofibril yang dapat mengurangi elastisitas dan kekuatan gel surimi
(Jiang 2000).
Katepsin H aktif pada pH netral, stabil terhadap panas dan menunjukkan
aktivitas molekuler dengan subtrat miosin. Katepsin L merupakan jenis protease lain
yang sangat aktif dalam mendegradasi protein miofibril. Aktivitas molekular dari
katepsin L dengan substrat miosin adalah 10 kali lebih besar dari pada katepsin B.
Katepsin L dapat mendegradasi miofibril termasuk aktin, miosin, dan tropomiosin
pada pH 6,5 dan secara khusus aktif untuk troponim serta dalam pemindahan Ca dari
ATPase miofibril pada pH netral (Shahidi dan Botta 1994).
Tindakan utama katepsin H ialah aminopeptidase, dan terkadang substrat
assay mengandung asam amino arginin. Katepsin H lebih toleran terhadap medium
yang bersifat alkali dibandingka katepsin B (Elisabeth 1994). Tabel 1 menyajikan
karakterisasi berbagai jenis katepsin.
Tabel 1. Beberapa sifat proteinase lisosomal, katepsin A‐L yang ditemukan pada otot Enzim Berat molekul pH optimal Target protein 100 kDa Grup fungsional ‐OH A 5,0‐5,2 Dampaknya sedikit pada protein B1 25 kDa ‐SH 5,0 Miosin, aktin dan kolagen B2 47‐52 kDa ‐SH
5,5‐6,0
Spesifikasinya luas C 200 kDa ‐SH 5,0‐6,0 Dampaknya sedikit pada protein D 42 kDa ‐COOH 3,0‐4,5 Miosin, aktin, titin, nebulin, M‐ dan C‐ protein E 90‐100 kDa ‐COOH 2,0‐3,5 Dampaknya sedikit pada protein H 28 kDa ‐SH
5,0
Aktin, miosin
L 24 kDa ‐SH 3,0‐6,5 Aktin, miosin, kolagen, α‐
aktinin, troponin Sumber : Choi et al. (2005) 2.2.4 Faktor-faktor yang mempengaruhi kerja enzim
Terdapat beberapa faktor yang memengaruhi kerja enzim.
Faktor-faktor
tersebut erat kaitannya dengan sifat enzim sebagai protein. Faktor-faktor tersebut
diantaranya (Abdurahman 2008):
1) Suhu
Suhu sangat berperngaruh terhadap kerja enzim karena enzim terdiri atas
protein. Semakin suhunya tinggi, reaksi kimia akan semakin cepat. Akan
tetapi enzim akan mengalami denaturasi jika suhu terlalu tinggi. Enzim yang
mengalami denaturasi akan mengalami perubahan konformasi dari enzim,
sehingga enzim tersebut tidak aktif.
2) Derajat keasaman (pH)
Seperti protein, enzim juga bekerja dipengaruhi oleh derajat keasaman
lingkungan. Setiap enzim memiliki pH lingkungan yang khas untuk mencapai
aktivitas optimumnya. Di luar pH tersebut, kerja enzim akan terganggu
bahkan akan terdenaturasi.
3) Zat penghambat
Kerja enzim dapat dihambat oleh zat penghambat/inhibitor. Terdapat dua
jenis inhibitor yakni inhibitor kompetitif dan inhibitor non-kompetitif.
Inhibitor kompetitif menghambat kerja enzim dengan cara berikatan dengan
enzim pada sisi aktifnya.
Inhibitor ini bersaing dengan substrat untuk
menempati sisi aktif enzim. Hal ini terjadi karena inhibitor memiliki struktur
yang mirip dengan substrat.
Berbeda dengan inhibitor kompetitif, inhibitor non-kompetitif tidak bersaing
dengan substrat untuk berikatan dengan enzim. Inhibitor jenis ini akan
berikatan dengan enzim pada sisi yang berbeda (bukan sisi aktif enzim). Jika
telah terjadi ikatan enzim-inhibitor, sisi aktif enzim akan berubah sehingga
substrat tidak dapat berikatan dengan enzim.
4) Konsentrasi enzim dan substrat
Pada reaksi dengan konsentrasi enzim yang lebih sedikit dibandingkan
substrat, penambahan enzim akan meningkatkan laju reaksi. Peningkatan laju
reaksi ini terjadi secara linear. Jika konsentrasi substart dan enzim sudah
seimbang, laju reaksi akan relatif konstan. Penambahan konsentrasi substrat
pada reaksi yang dikatalisis oleh enzim awalnya akan meningkatkan laju
reaksi. Akan tetapi, setelah konsentrasi substrat dinaikkan lebih lanjut, laju
reaksi akan mencapai titik jenuh dan tidak bertambah lagi.
2.3
Pemurnian Protein
Pemurnian (pemekatan) protein menggunakan amonium sulfat adalah metode
yang sering digunakan karena memiliki daya larut tinggi di dalam air, relatif murah,
dan kestabilan protein di dalam larutan amonium sulfat (2 M – 3 M) tahan bertahuntahun. Pemilihan amonium sulfat didasarkan pada kelarutan protein yang berinteraksi
polar dengan molekul air, interaksi ionik protein dengan garam dan daya tolak
menolak protein yang bermuatan sama.
Kelarutan protein (pada pH dan suhu
tertentu) yang meningkat akan menaikan konsentrasi garam (salting in). Penambahan
garam dengan konsentrasi tertentu akan membuat kelarutan protein menurun (salting
out). Molekul air yang berikatan dengan ion-ion garam akan menyebabkan semakin
banyak terjadinya penarikan selubung air yang mengelilingi permukaan protein
sehingga mengakibatkan protein saling berinteraksi, beragregasi, dan kemudian
mengendap (Harris 1989).
Presipitasi protein dalam ekstrak dapat dicapai dengan penambahan garam,
larutan organik, atau polimer organik, atau variasi suhu atau pH pada larutan. Agen
yang sering digunakan dalam presipitasi tercantum pada Tabel 2.
Tabel 2. Agen presipitasi
Agen
Tipe
Karakteristik
Amonium sulfat
Sodium sulfat
Etanol
Garam
Garam
Solvent
Aseton
Solvent
Polietilen glikol
Solvent
Mudah larut, stabil
Mudah larut, stabil
Mudah terbakar, beresiko
untuk terdenaturasi
Mudah terbakar, beresiko
untuk terdenaturasi
Bermuatan, tidak mudah
terbakar
Sumber: Marshak (1996)
Keberhasilan proses presipitasi
untuk purifikasi protein tergantung pada
beberapa faktor. Pertama, konsentrasi total protein harus cukup tinggi untuk cepat
agregat prosedur dan hasil endapan. Konsentrasi garam yang sangat rendah, akan
membuat terbentuknya agregat secara kinetis tidak akan menguntungkan, ukuran
agregatnya terlalu kecil untuk dikumpulkan dengan sentrifugasi. Kedua, aktivitas
protein yang diinginkan harus dijaga selama proses pengendapan, sehingga diperoleh
protein aktif. Efek pengendapan yang sama akan terjadi apabila protein terdenaturasi.
Konsentrasi garam yang tinggi dapat menyebabkan denaturasi protein (Pace et al.
1989 diacu dalam Marshak 1996).
Sampel protein yang telah mengendap kemudian dibersihkan dari garam
pengotor dengan cara dialisis. Garam yang berlebih di dalam sampel dapat
dihilangkan dengan cara menempatkan sampel di dalam kantung (membran) dialisis
semipermeabel yang direndam di dalam larutan buffer. Molekul yang berukuran
kecil akan keluar melalui membran, sedangkan molekul yang besar akan tertahan di
dalam membran dialisis. Ukuran pori kantung dialisis yang terbuat dari bahan
selulosa asetat ini dinyatakan dalam satuan dalton, yang menunjukkan berat molekul
minimum yang dapat tertahan di dalam membran (Harris 1989).
2.4
Elektroforesis
Elektroforesis merupakan teknik pemisahan suatu molekul dalam suatu
campuran di bawah pengaruh medan listrik (Sudjati 2008). Elektroforesis pada
protein
menggunakan
gel poliakrilamid. Seringkali
dalam pembuatan
gel
poliakrilamid ditambahkan sodium dodecyl sulphate (SDS) yang merupakan senyawa
untuk mendisosiasikan protein menjadi subunitnya (Yuwono 2008). Protein dapat
dipisahkan berdasarkan ukuran massanya dengan sistem elektroforesis gel
poliakrilamid sistem tegak. Sebelumnya, campuran protein yang telah berisi SDS
dipanasi. Penggunaan SDS bertujuan menyelubungi molekul protein. Penyelubungan
ini menyebabkan interaksi non-kovalen terganggu sehingga molekul protein dalam
struktur primer.
Anion SDS berikatan dengan
rantai utama dengan rasio satu
molekul SDS untuk dua residu asam amino. Merkaptoetanol atau ditiotreitol juga
ditambahkan untuk mereduksi ikatan disulfida.
Kompleks SDS dengan protein
terdenaturasi mempunyai jumlah muatan negatif yang sebanding dengan ukuran
protein. Muatan negatif yang terdapat pada ikatan SDS ini jauh lebih besar daripada
muatan pada protein asli. Kompleks protein-SDS kemudian dielektroforesis, sehingga
semua molekul protein bergerak menuju kutub positif. Ketika elektroforesis selesai,
protein dalam gel dapat ditampakkan oleh pewarnaan dengan perak atau zat warna
seperti Coomasie Blue, yang akan menampakkan beberapa pita. Coomasie blue
berikatan dengan protein berdasarkan interaksi ionic antara gugus sulfit pada
Coomasie blue dengan asam amino basa, dan interaksi hidrofobik cincin Coomasie
blue (Hames 2002).
Data pemurnian enzim yang diperoleh dari elektroforesis tidak selalu
menunjukkan daya katalitik enzim sebenarnya karena adanya kontaminan, isoenzim,
atau enzim lain dari kelas yang sama. Kekurangan ini dapat diatasi dengan meneliti
aktivitas enzim sesudah elektroforesis gel. Zimogram merupakan cara menganalisa
aktivitas kitinolitik yang sederhana, sensitif, dapat dikuantisasi dan fungsional (Leber
dan Balkwil 1997).
III. METODOLOGI
3.1
Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April sampai Juli 2010 di
Laboratorium Bioteknologi Hasil Perairan, Laboratorium Biokimia Hasil Perairan,
Laboratorium Mikrobiologi Hasil Perairan, Laboratorium Bahan Baku Hasil Perairan
Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan.
Laboratorium Bioteknologi Hewan, Laboratorium Kimia dan Biokimia, Ruang
Pendingin, Pusat Antar Universitas. Laboratorium Terpadu Fakultas Kedokteran
Hewan, Institut Pertanian Bogor.
3.2
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari bahan utama yakni
ikan bandeng dalam keadaan post-rigor, bahan-bahan untuk ektraksi kasar (buffer
Tris HCl 0,1 M pH 7,4, akuades), presipitasi (ammonium sulfat teknis), dialisis
(Kantong dialisis, buffer Tris HCl pH 7,4), uji aktivitas katepsin [hemoglobin
(Sigma), buffer tris 0,1 pH 7,4, tirosin (Applichem), akuades, TCA 5%, folin
(Merck), HCl 1 N)], uji kadar protein [pereaksi Bradford, bovine serum albumin
(Applichem)].
Alat yang digunakan pada penelitian ini antara lain inkubator (Thermoline),
sentrifuse suhu dingin (Himac), spektrofotometer (Yamato), pH meter, tabung
dialisis, kertas saring Whatman no.1 dan erlenmeyer.
3.3
Metode Penelitian
Penelitian ini dilakukan melalui beberapa tahap, yaitu preparasi sampel
berupa ikan bandeng pada tahap post-rigor yang diambil bagian dagingnya. Tahap
selanjutnya yakni pemurnian enzim katepsin semi murni yang meliputi ektraksi kasar,
presipitasi, dan dialisis. Tahapan metode penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 7.
Ikan bandeng dalam
keadaan post-rigor
Preparasi
Daging
Ekstraksi kasar
Enzim katepsin kasar
Pengukuran aktivitas
enzim dan kadar protein
Presipitasi
(30%, 40%, 50%, 60%, 70%, 80%) (b/v)
Katepsin semi murni 1
Pengukuran aktivitas
enzim dan kadar protein
Dialisis
(2 jam, 4 jam 6 jam, 8 jam)
Katepsin semi murni 2
Pengukuran aktivitas
enzim dan kadar protein
SDS-PAGE dan Zimogram
Gambar 7. Diagram alir kerja penelitian pembuatan katepsin semi murni
3.3.1
Ekstraksi katepsin kasar (Dinu et al. 2002)
Ekstraksi dilakukan dengan preparasi sampel untuk memperoleh ektrak kasar
katepsin dengan cara ikan dimatikan, kemudian daging ikan dibedah dengan cepat
dan dicuci untuk menghilangkan darah. Daging ikan diambil dan disuspensikan
dalam akuades dengan perbandingam daging ikan dan akuades sebesar 1:1, lalu
dihomogenisasi pada suhu 0 °C.
Ektrak daging hasil homogenisasi disentrifugasi pada 600xg selama 10 menit
dan supernatan yang diperoleh kemudian disentrifugasi lagi pada 10000xg selama 10
menit. Pelet yang dihasilkan dari hasil sentrifugasi kemudian dilarutkan dalam buffer
Tri-HCl 0,1 M pH 7,4 dengan jumlah yang sama seperti jumlah akuades tadi dan
disentrifugasi pada 4000xg selama 10 menit. Supernatan (ekstrak kasar katepsin)
yang diperoleh merupakan protein utama dari mitokondria dan lisosom yang siap
untuk diteliti aktivitasnya lebih lanjut.
3.3.2 Presipitasi dan dialisis
Katepsin semi murni diperoleh dengan mengendapkan ektrak kasar katepsin
menggunakan ammonium sulfat dengan tingkat kejenuhan 30%, 40%, 50%, 60%,
70% dan 80% (b/v). Pengendapan dilakukan dengan menambahkan garam
ammonium sulfat ke dalam supernatan sedikit demi sedikit dan disentrifugasi pada
12000xg selama 30 menit.
Pelet dilarutkan dalam buffer Tris HCl 0,1 M pH 7,4. Langkah selanjutnya
yakni dialisis. Dialisis dilakukan dalam buffer Tris HCl
pH 7,4 menggunakan
kantong selofan berukuran 12 kDa, dengan waktu dialisis 2, 4, 6, dan 8 jam. Tahap
presipitasi dan dialisis ini dilakukan pada suhu ≤ 4 °C.
3.3.3 Karakterisasi katepsin
Karakterisasi dilakukan terhadap hasil dialisis dengan aktivitas spesifik yang
tertinggi. Karakterisasi meliputi penentuan suhu optimum, pH optimum, pengaruh
ion logam dan penentuan konsentrasi substrat optimum.
3.3.3.1 Karakterisasi suhu
Karakterisasi suhu dilakukan dengan melakukan variasi suhu inkubasi pada
saat pegujian aktivitas katepsin dengan suhu20, 30, 40, 50, 60, dan 70 °C. Pada
waktu pengujian, hemoglobin sebagai substratnya dibuat dengan konsentrasi 2%
pH 2. Sebanyak 0,5 mL dari larutan substrat, 0,1 mL larutan buffer Tris pH 7,4
diinkubasi dengan 0,1 mL larutan enzim pada variasi suhu (20, 30, 40, 50, 60, 70 °C)
selama 10 menit. Reaksi dihentikan dengan penambahan 2 mL TCA 5% (w/v).
Campuran disaring dan 1 mL filtrat hasil hasil penyaringan ditambah dengan 1 mL
pereaksi folin. Selanjutnya diinkubasi kembali pada suhu
37 °C selama 20 menit.
Campuran kemudian diukur dengan spektrofotometer pada panjang gelombang
750 nm. Selain itu, dilakukan pula pengukuran untuk larutan blanko dan larutan
standar dengan prosedur yang sama seperti larutan sampel hanya untuk larutan blanko
dan larutan standar enzimnya digantikan dengan akuades dan tirosin.
3.3.3.2 Karakterisasi pH
Karakterisasi pH dilakukan dengan melakukan variasi pH buffer dan pH
substrat yakni pH hemoglobin 2% dengan variasi pH yakni 2, 3, 4, 5, 6, dan 7. Pada
waktu pengujian, hemoglobin sebagai substratnya dibuat dengan konsentrasi 2% dan
variasi pH 2, 3, 4, 5, 6, dan 7. Sebanyak 0,5 mL dari larutan substrat, 0,1 mL larutan
buffer dengan variasi pH (2, 3, 4, 5, 6, dan 7) diinkubasi dengan 0,1 mL larutan
enzim pada 37 °C selama 10 menit. Reaksi dihentikan dengan penambahan
2 mL TCA 5% (w/v). Campuran disaring dan 1 mL filtrat hasil hasil penyaringan
ditambah dengan 1 mL pereaksi folin. Selanjutnya diinkubasi kembali pada suhu
37 °C selama 20 menit. Campuran kemudian diukur dengan spektrofotometer pada
panjang gelombang 750 nm. Selain itu, dilakukan pula pengukuran untuk larutan
blanko dan larutan standar dengan prosedur yang sama seperti larutan sampel hanya
untuk larutan blanko dan larutan standar enzimnya digantikan dengan akuades dan
tirosin.
3.3.3.3 Karakterisasi konsentrasi substrat
Karakterisasi konsentrasi subtrat dilakukan dengan mengubah konsentrasi
substrat hemoglobin dengan variasi konsentrasi (½%, 1%, 1 ½%, 2%, 2 ½%, 3%, 3
½%, 4%, dan 4 ½% (b/v)). Pada waktu pengujian, hemoglobin sebagai substratnya
dibuat dengan konsentrasi ½%, 1%, 1 ½%, 2%, 2 ½%, 3%, 3 ½%, 4%, dan 4 ½%
(b/v) pH 2. Sebanyak 0,5 mL dari larutan substrat, 0,1 mL larutan buffer Tris pH 7,4
diinkubasi dengan 0,1 mL larutan enzim pada variasi suhu (20, 30, 40, 50, 60, 70 °C)
selama 10 menit. Reaksi dihentikan dengan penambahan 2 mL TCA 5% (w/v).
Campuran disaring dan 1 mL filtrat hasil hasil penyaringan ditambah dengan 1 mL
pereaksi folin. Selanjutnya diinkubasi kembali pada suhu
37 °C selama 20 menit.
Campuran kemudian diukur dengan spektrofotometer pada panjang gelombang
750 nm. Selain itu, dilakukan pula pengukuran untuk larutan blanko dan larutan
standar dengan prosedur yang sama seperti larutan sampel hanya untuk larutan blanko
dan larutan standar enzimnya digantikan dengan akuades dan tirosin.
3.3.3.4 Karakterisasi pengaruh ion logam
Karakterisasi pengaruh ion logam dilakukan dengan menambahkan ion logam
monovalen (NaCl), bivalen (BaCl2 dan CaCl2), serta trivalen (AlCl3 dan FeCl3). Pada
waktu pengujian, hemoglobin sebagai substratnya dibuat dengan konsentrasi 2%
pH 2. Sebanyak 0,5 mL dari larutan substrat, 0,1 mL larutan buffer Tris pH 7,4 dan
0,1 mL larutan logam(NaCl, BaCl2, CaCl2, AlCl3 dan FeCl3)
diinkubasi dengan
0,1 mL larutan enzim pada 37 °C selama 10 menit. Reaksi dihentikan dengan
penambahan 2 mL TCA 5% (w/v). Campuran disaring dan 1 mL filtrat hasil hasil
penyaringan ditambah dengan 1 mL pereaksi folin. Selanjutnya diinkubasi kembali
pada suhu 37 °C selama 20 menit. Campuran kemudian diukur dengan
spektrofotometer pada panjang gelombang 750 nm. Selain itu, dilakukan pula
pengukuran untuk larutan blanko dan larutan standar dengan prosedur yang sama
seperti larutan sampel hanya untuk larutan blanko dan larutan standar enzimnya
digantikan dengan akuades dan tirosin.
3.4 Analisis
3.4.1 Aktivitas katepsin (Dinu et al. 2002)
Aktivitas proteolitik dari katepsin diuji menggunakan hemoglobin sebagai
substratnya dengan konsentrasi 2% pH 2. Sebanyak 0,5 ml dari larutan substrat,
0,1 mL buffer Tris pH 7,4 diinkubasi dengan 0,1 mL larutan enzim pada 37 °C
selama 10 menit. Reaksi dihentikan dengan penambahan 2 mL TCA 5% (w/v).
Campuran disaring, dan 1 mL filtrat hasil hasil penyaringan ditambah dengan 1 mL
pereaksi folin. Campuran kemudian diukur dengan spektrofotometer pada panjang
gelombang 750 nm. Selain itu, dilakukan pula pengukuran untuk larutan blanko dan
larutan standar dengan prosedur yang sama seperti larutan sampel hanya untuk
larutan blanko dan larutan standar enzimnya digantikan dengan akuades dan tirosin.
Unit didefinisikan sebagai banyaknya enzim yang dapat mengubah substrat menjadi
1µmol tirosin dalam 1 menit.
Aktivitas enzim katepsin dapat dihitung dengan rumus berikut:
UA = (Absorbansi sampel – absorbansi blanko) x P x 1
(Absorbansi standar – absorbansi blanko)
T
Keterangan: UA = jumlah tirosin yang dihasilkan per mL enzim per menit
P = faktor pengenceran
T = waktu inkubasi
3.4.2 Pengukuran konsentrasi protein (Bradford 1976)
Konsentrasi protein ditentukan menggunakan metode Bradford dengan bovine
serum albumin sebagai standar. Persiapan pereaksi Bradford dilakukan dengan cara
melarutkan 5 mg coomasive brilliant blue G-250 dalam 2,5 mL etanol 95% (v/v), lalu
ditambahkan dengan 5 mL asam fosfat 85% (v/v). Jika telah larut dengan sempurna
lalu ditambahkan akuades hingga 250 mL dan disaring dengan kertas saring
Whatman no. 1 dan diencerkan 5 kali sesaat sebelum digunakan.
Konsentrasi protein ditentukan menggunakan metode Bradford dengan cara
0,1 mL enzim dimasukkan ke dalam tabung reaksi. Kemudian ditambahkan sebanyak
5 mL pereaksi Bradford, diinkubasi selama 5 menit dan diukur dengan
spektrofotometer pada panjang gelombang 595 nm. Demikian pula untuk larutan
standar dilakukan sama seperti larutan sampel dengan konsentrasi antara
0,1-1,0 mg/mL. Tahap berikutnya adalah membuat kurva standar dengan absorbansi
sebagai ordinat (sumbu y) dan konsentrasi protein sebagai absis (sumbu x).
Berdasarkan kurva tersebut dapat ditentukan konsentrasi protein dalam sampel. Tabel
komposisi volume larutan dengan pembuatan larutan standar dengan konsentrasi
0,01-0,10 mg/ml dari larutan stok BSA konsentrasi 2 mg/ml disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3. Pembuatan larutan standar BSA konsentrasi 0,01 – 0,10 mg/mL
Konsentrasi BSA (mg/mL)
Volume BSA (mL)
Volume akuades (mL)
0
0
10,00
0,01
0,05
9,95
0,02
0,10
9,90
0,03
0,15
9,85
0,04
0,20
9,80
0,05
0,25
9,75
0,06
0,30
9,70
0,07
0,35
9,65
0,08
0,40
9,60
0,09
0,45
9,55
0,10
0,50
9,50
3.4.3
Penentuan berat molekul dengan SDS-PAGE dan zimogram (Laemmli 1970)
Metode SDS-PAGE yang dikerjakan dalam penelitian ini menggunakan 4%
stacking gel dan 8% gel akrilamid. Konsentrasi akrilamid yang digunakan dalam
analisis ini adalah 8%. Pewarnaan yang dilakukan adalah pewarnaan perak. Deteksi
SDS-PAGE dilakukan dengan melepaskan gel hasil elektroforesis dari cetakan dan
diukur jarak migrasi bromphenol blue. Analisis zimogram dilakukan dengan cara gel
akrilamid ditambahkan substrat hemoglobin 0,5% dan dikopolimerisasi. Komposisi
pembuatan gel penahan dan pemisah SDS-PAGE dapat dilihat padaTabel 4.
Tabel 4. Komposisi gel penahan dan pemisah SDS-PAGE
Komponen
Gel pemisah (8%)
Gel penahan (4%)
Larutan stok akrilamid
2,66 ml
0,67 ml
Buffer gel pemisah
2,5 ml
-
Buffer gel pengumpul
-
1,25 ml
Akuades
3, 185ml
3,0 ml
APS 10%
50µl
50µl
TEMED
50µl
50µl
Pewarnaan dilakukan etelah dilakukan elektroforesis, gel untuk SDS
dilarutkan dalam coomasie blue. Marker dan zimogram dipotong. Marker dilarutkan
dalam coomasie blue, sedangkan zimogram dilarutkan dalam Triton-X 2,5%.
Marker, SDS dan zimogram dishaker pada suhu ruang selama 1 jam.
Larutan
Triton-X pada zimogram diganti dengan buffer asetat 0,1 M pH dan diinkubasi 40 ºC
selama 30 menit. SDS setelah 1 jam diinkubasi 70 ºC selama 10 menit. Pewarnaan
untuk SDS dan zimogram dilakukan dengan menggunakan coomasie blue. Setelah itu
dilakukan staining (metanol absolut 200 mL, asam asetat absolut 50%, dan akuades
250 mL) dan ditambakan busa untuk menyerap warna. Penentuan bobot molekul
dengan SDS PAGE dilakukan dengan silver staining. Pewarnaan silver staining
dilakukan sebagai berikut: Gel dilakukan perendaman dalam larutan fiksasi 25%
metanol dan 15% asam asetat) selama 2 jam, kemudian dicuci dengan etanol 35%
selama 3 x 20 menit. Larutan diganti dengan enhancer (0,1 g Na2S2O3.5H20 dalam
500 mL akuades) selama 2 menit. Cuci dengan dd H20 selama 3x20 detik. Larutan
silver nitrat (0,4 g AgNO3 + 700mL
formaldehida dalam 200 mL akuades)
ditambahkan selama 30 menit, kemudian cuci lagi dengan ddH20 2 x 20 detik dan
ditambahkan larutan A (15 g Na2CO3 +120 mL formaldehida), dan terakhir
ditambahkan larutan fiksasi.
IV.
4.1
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pemurnian Katepsin
Pemurnian katepsin dilakukan dengan ektraksi secara kasar melalui sentrifugasi
diferensiasi, presipitasi dengan garam ammonium sulfat, serta dialisis dengan
menggunakan kantong dialisis berukuran 12 MWCO.
4.1.1 Ekstraksi kasar
Pemurnian katepsin diawali dengan ektraksi kasar dari daging ikan bandeng
yang sudah memasuki tahap post-rigor. Pemilihan fase ini mengacu pada penelitian
terdahulu yang dilakukan Fentiana (2009) yang menyatakan bahwa pada tahap postrigor, aktivitas katepsin berada pada aktivitas tertinggi dibandingkan pada fase-fase
sebelumnya sehingga akan meningkatkan rendemen katepsin yang dihasilkan. Pada
tahap ekstraksi, pemilihan buffer Tris-HCl pH 7,4 dinilai sudah sesuai. Hal ini sesuai
dengan pendapat dari Whitaker (1994) yang menyatakan bahwa ekstraksi enzim
sebaiknya menggunakan buffer untuk mengontrol pH dekat dengan 7,5 dan kekuatan
ion 0,1-0,5. Buffer diperlukan untuk melindungi enzim dari sejumlah besar asam
yang dilepaskan dari vakuola pada saat pecahnya sel. Ekstrak kasar yang dihasilkan
memiliki aktivitas spesifik sebesar 0,8598 U/mg dengan kadar protein sebesar
0,1163 mg/mL. Sentrifugasi yang dilakukan pada tahap ekstraksi kasar ialah
sentrifugasi metode diferensiasi. Penelitian Toyohara et al. (1981) menyebutkan
bahwa ekstrak kasar katepsin A yang berasal dari carp muscle memiliki aktivitas
spesifik sebesar 0,279 U/mg.
Sentrifugasi metode diferensiasi diawali dengan sentrifugasi tingkat pertama,
dimana hasil pada tingkat pertama ini pelet yang dihasilkan dibuang, kemudian pada
sentrifugasi tingkat kedua supernatan kembali disentrifugasi pada kecepatan yang
tinggi untuk memisahkan partikel yang berukuran sedang. Pemisahan dapat dicapai
melalui sentrifugasi metode diferensiasi dapat ditingkatkan dengan mengulang
resuspensi (dua atau tiga kali) pada sentrifugasi tahap ketiga, pelet yang didapatkan
dihomogenisasi dengan media yang sesuai dan disentrifugasi kembali. Selanjutnya
akan didapatkan supernatan dengan partikel yang kecil (Rana 2006).
Penelitian yang dilakukan Dinu et al. (2002) menyebutkan bahwa pada
sentrifugasi tingkat pertama dilakukan sentrifugasi pada kecepatan 600xg selama
10 menit. Sentrifugasi tingkat kedua dilakukan sentrifugasi pada kecepatan 10000xg
selama 10 menit. Sentrifugasi tahap ketiga dilakukan sentrifugasi pada kecepatan
4000xg selama 10 menit.
Prinsip dari sentrifugasi itu sendiri ialah berdasarkan fenomena bahwa partikel
yang tersuspensi di dalam suatu wadah akan mengendap ke dasar wadah karena
pengaruh gravitasi.
Laju pengendapan tersebut dapat ditingkatkan dengan cara
meningkatkan pengaruh gravitasional terhadap partikel.
Hal ini dapat dilakukan
dengan menempatkan tabung berisi suspensi partikel ke dalam rotor suatu mesin
sentrifugasi kemudian diputar dengan kecepatan tinggi (Yuwono 2008).
4.1.2 Presipitasi
Ekstrak kasar yang diperoleh selanjutnya dipresipitasi menggunakan
ammonium sulfat. Metpde presipitasi dibagi menjadi 2 grup utama, yakni (1) metode
kelarutan protein dikurangi dan presipitasi dilakukan dengan mengubah beberapa
sifat fisika-kimia solvent seperti pH, konstanta dielektrik, kekuatan ionik, dan
tersedianya air. (2) Metode presipitasi protein yang disebabkan oleh interaksi diantara
protein dan agen presipitasi (Sivasankar 2005). Pada penelitian ini metode yang
dipakai untuk presipitasi ialah metode yang kedua.
Tiap presipitasi protein memiliki karakteristik pada konsentrasi reagen yang
berbeda, pada ammonium sulfat persen presipitasi berselang antara 20%-100%, ini
dianggap cukup untuk presipitasi (Bisswanger 2004). Presipitasi dapat dilakukan
dengan penambahan garam seperti ammonium sulfat, polimer seperti polyethylene
glycol (PEG), atau larutan organik seperti aseton atau alkohol (Scopes 1994 diacu
dalam Kumar et al. 2003). Pada penelitian ini ammonium sulfat dipilih sebagai agen
presipitasi, ammonium sulfat dipilih karena menurut Javois (1999) presipitasi dengan
ammonium sulfat dianggap cepat dan murah. Aktivitas spesifik dan kadar protein
setelah mengalami pengendapan dengan ammonium sulfat disajikan pada Gambar 8
dan Gambar 9.
Gambar 8. Aktivitas spesifik katepsin setelah pengendapan dengan ammonium sulfat
Aktivitas spesifik (pelet)
Aktivitas spesifik (supernatan)
Gambar 9. Kadar protein terlarut setelah pengendapan dengan ammonium sulfat
Kadar protein (pelet)
Kadar protein (supernatan)
Berdasarkan Gambar 8 dapat dilihat bahwa terdapat peningkatan aktivitas
spesifik pelet pada beberapa tingkat konsentrasi ammonium sulfat dan mencapai
aktivitas optimum pada pelet dengan konsentrasi ammonium sulfat 70%, sementara
aktivitas spesifik pada supernatan menunjukkan penurunan aktivitas spesifik. Selama
proses presipitasi terjadi penurunan kadar protein dalam supernatan, dan sebaliknya
terjadinya peningkatan konsentrasi dalam pelet. Kondisi ektrsaksi yang optimum
ditunjukkan oleh aktivitas yang paling tinggi dalam endapan (pelet). Enzim yang
dihasilkan dari presipitasi 70% memiliki aktivitas spesifik sebesar 4,4643 U/mg
dengan kadar protein sebesar 0,2016 mg/mL. Penelitian Toyohara et al. (1981)
menyebutkan bahwa katepsin A yang berasal dari carp muscle pada hasil
pengendapan sulfat didapatkan aktivitas spesifik sebesar 3,43 U/mg.
Kelarutan protein (pada pH dan temperatur tertentu) akan meningkat sejalan
dengan peningkatan konsentrasi garam (salting in). Peningkatan kelarutan protein
akan meningkatkan kekuatan ion larutan. Penambahan garam dengan konsentrasi
tertentu kelarutan protein menurun (salting out). Molekul air yang berikatan dengan
ion-ion garam semakin banyak yang menyebabkan penarikan selubung air yang
mengelilingi permukaan protein sehingga mengakibatkan protein saling berinteraksi,
beragregasi, dan kemudian mengendap (Harris 1989).
4.1.3 Dialisis
Pellet yang diperoleh dari pengendapan dengan garam ammonium sulfat
(NH4)2SO4, kemudian didialisis menggunakan membran selofan berukuran 12 kDa.
Kegunaan utama dialisis ialah untuk pemekatan, pembuangan garam, dan pemurnian
bahan-bahan seperti protein, hormon, dan enzim. Zat tertahan ialah berisi protein
dengan ukuran molekul yang lebih besar dari ukuran pori dari Molecular Weight Cut
Off (MWCO) (Sanagi 2001). Prinsip dari dialisis ialah aplikasi preparasi enzim ke
dalam kantong dialisis yang terbuat dari membran semi-permeabel yang
memungkinkan molekul berukuran kecil untuk bermigrasi (Grogan 2009). Aktivitas
spesifik dan kadar protein dari sampel disajikan pada Gambar 10 dan Gambar 11.
Gambar 10 Aktivitas spesifik enzim setelah didialisis
Tabel 5. Peningkatan aktivitas katepsin pada berbagai tahap pemurnian
Tahapan
Volume (ml)
Aktivitas
(U/ml)
Kadar
protein
(mg/ml)
Aktivitas
spesifik
(U/mg)
Total protein
(mg)
Total
aktivitas (U)
Yield (%)
Kelipatan
pemurnian
Ekstrak kasar
500
0,1
0,1163
0,8598
58,15
50
100
1
Presipitasi
10
0,9
0,2016
4,4643
2,02
9
0,18
5,20
Dialisis
6
2
0,1385
14,4404
0,831
12
1,33
16,80
Gambar 11 Kadar protein zat terlarut setelah didialisis
Gambar 10 menunjukkan terjadinya peningkatan aktivitas spesifik pada pellet
yang didialisis. Peningkatan terjadi sampai titik optimum tertentu. Pada penelitian
ini titik optimum untuk proses dialisis ialah 6 jam. Enzim yang dihasilkan dari tahap
dialisis memiliki aktivitas spesifik sebesar 14,4404 U/mL dengan kadar protein
sebesar 0,1385 mg/mL.
Gambar 11 menunjukkan bahwa kadar protein selama
dialisis mengalami penurunan selama dialisis. Hal ini disebabkan karena proteinprotein yang berukuran lebih kecil dari 12 kDa sudah terbuang selama dialisis.
4.2
Karakterisasi Enzim Katepsin yang Dihasilkan
Karakterisasi dilakukan untuk melihat seberapa besar pengaruh kondisi
lingkungan terhadap aktivitas enzim. Karakterisasi juga dapat diketahui kondisi
optimum lingkungan untuk mendapatkan enzim dengan aktivitas yang tinggi.
Karakterisasi yang dilakukan pada enzim katepsin berupa konsentrasi substrat,
tingkat keasaman (pH), suhu, dan pengaruh logam.
4.2.1 Tingkat keasaman (pH)
Pengikatan antara enzim dengan substrat dan reaksi katalisisnya bergantung
pada interaksi antara substrat dengan rantai samping asam amino yang menyusun sisi
aktif enzim (Bender 2002). Peristiwa ini harus berada pada keadaan ionisasi yang
tepat untuk mengikat, dan hal ini tergantung pada pH medium.
Semua reaksi enzim dipengaruhi oleh pH medium tempat reaksi terjadi. Setiap
enzim memiliki pH optimum yang khas. Profil aktivitas pH enzim menggambarkan
pH pada saat pemberi dan penerima proton yang penting pada sisi katalitik enzim
berada pada tingkat ionisasi yang diinginkan. pH tertentu dapat menyebabkan enzim
terdenaturasi
yang
menyebabkan
enzim
kehilangan
aktivitas
biologisnya
(Lehninger 1993). Pengaruh aktivitas spesifik terhadap tingkat keasaman disajikan
pada Gambar 12.
14
Aktivitas spesifik (U/mg) 12
10
8
6
4
2
0
2
3
4
5
6
7
pH
Gambar 12 Pengaruh pH terhadap aktivitas spesifik katepsin
Gambar 12 memberikan informasi bahwa tingkat keasamaan berpengaruh
terhadap aktivitas spesifik enzim katepsin. Enzim katepsin digambarkan memiliki
aktivitas spesifik optimal pada pH 4 sebesar 11,5523 U/mg. Hal ini sesuai dengan
pendapat dari
Choi et al. (2005) bahwa enzim katepsin aktif pada pH asam.
Sementara penelitian yang dilakukan Toyohara et al. (1981) pada carp muscle, bahwa
katepsin A memiliki pH optimum 5. Sementara penelitian yang dilakukan oleh
Balti et al. (2010) terhadap katepsin D yang berasal dari hepatopankreas sotong
memiliki aktivitas spesifik optimum pada pH 3. Penelitian yang dilakukan oleh
Krause et al. (2010) terhadap enzim katepsin D yang berasal dari daging ikan ostrich
menyebutkan bahwa katepsin D memiliki aktivitas optimal pada pH 4. Penelitian lain
yang dilakukan oleh Jiang et al. (2002) terhadap katesin D ikan tongkol dan ikan
bandeng, menyatakan bahwa katepsin D memiliki aktivitas tertinggi pada pH 5,04
(ikan tongkol) dan pH 4,91 (ikan bandeng).
4.2.2 Suhu
Seperti halnya reaksi kimia, tingkat enzim mengkatalisis reaksi akan
meningkat sejalan dengan peningkatan suhu (Polgar 1990). Setiap enzim memiliki
kisaran suhu tertentu untuk mencapai aktivitas yang optimum. Di luar kisasan suhu
tersebut enzim akan tidak aktif atau aktivitasnya akan terhambat. Hal ini terjadi
karena suhu menyediakan pasokan energi termal untuk memecah beberapa atraksi
intramolekul grup polar (ikatan hidrogen, atraksi dipol-dipol, interaksi inonik) serta
kekuatan hidropobik diantara grup non polar di dalam struktur enzim. Pengaruh suhu
terhadap aktivitas spesifik enzim katepsin digambarkan pada Gambar 13.
7
Aktivitas spesifik (U/mg)
6
5
4
3
2
1
0
20
30
40
50
60
70
O
Suhu ( C)
Gambar 13 Pengaruh suhu terhadap aktivitas spesifik katepsin
Berdasarkan Gambar 13 dapat dilihat bahwa peningkatan suhu akan
menyebabkan peningkatan aktivitas spesifik enzim katepsin sampai pada titik
tertentu. Sementara peningkatan suhu lebih lanjut akan membuat aktivitas spesifik
enzim menjadi menurun. Pada penelitian ini enzim katepsin memiliki aktivitas
spesifik optimum pada suhu 40 °C dengan nilai aktivitas sebesar 6,4982 U/mg.
Sementara penelitian yang dilakukan oleh Balti et al. (2010) terhadap katepsin D
yang berasal dari hepatopankreas sotong memiliki aktivitas spesifik optimum pada
50 ºC. Penelitian yang dilakukan oleh Krause et al. (2010) terhadap enzim katepsin D
yang berasal dari daging ikan ostrich menyebutkan bahwa katepsin D memiliki
aktivitas optimal pada suhu 45 ºC. Penelitian lain yang dilakukan oleh Jiang et al.
(2002) terhadap katesin D ikan tongkol dan ikan bandeng, menyatakan enzim
katepsin pada ikan tongkol akan memiliki aktivitas tertinggi pada suhu 45 °C dan
pada ikan bandeng pada suhu 50 °C.
Suhu yang lebih tinggi akan membuat molekul lebih sering bertabrakan.
Konsep ini berlaku juga untuk tumbukan antar molekul substrat dengan enzim. Hal
ini disebabkan suhu yang tinggi akan mengkatalisis reaksi enzimatis. Namun, ketika
kenaikan suhu melebihi titik tertentu akan menyebabkan gangguan terhadap struktur
tersier enzim. Perubahan struktur tersier pada sisi aktif akan menghambat aktivitas
katalitik enzim (Stoker 2010).
4.2.3 Pengaruh logam
Pengaruh logam dilakukan untuk melihat seberapa besar pengaruh logam
tertentu terhadap kerja enzim. Logam yang dipilih dalam penelitian ini ialah logam
monovalen, bivalen, dan trivalent. Pengaruh logam terhadap aktivitas spesifik enzim
disajikan pada Gambar 14.
16
Aktivitas spesifik (U/mg)
14
12
10
8
6
4
2
0
Kontrol
NaCl
BaCl2
CaCl2
FeCl3
AlCl3
Logam
Gambar 14 Pengaruh logam terhadap aktvitas spesifik
Gambar 14 menunjukkan bahwa keberadaan logam sangat berpengaruh
terhadap aktivitas spesifik enzim. Keberadaan logam pada enzim akan menghambat
kerja enzim, sehingga aktivitas spesifik enzim akan lebih kecil jika dibandingkan
dengan enzim yang tanpa adanya logam. Berdasarkan Gambar 14 didapatkan
informasi bahwa ion logam divalen akan menghambat kerja enzim tertinggi,
dibandingkan dengan logam monovalen maupun trivalen.
Sementara penelitian yang dilakukan oleh Balti et al. (2010) terhadap
katepsin D yang berasal dari hepatopankreas sotong, menyebukan bahwa aktivitas
enzim katepsin D akan meningkat oleh keberadaan ion logam Mg2+, Ni2+, Zn2+, Cu2+,
Cd2+, Sr2+, and Co2+. Sementara keberadaan ion logam Na+, K+, dan Ca2+ tidak akan
berpengaruh terhadap aktivitas enzim katepsin D. Penelitian lain yang dilakukan oleh
Jiang et al. (2002) terhadap katesin D ikan tongkol dan ikan bandeng, menyatakan
bahwa keberadaan ion logam Na+ dan K+ akan meningkatkan aktivitas katepsin D,
sementara ion logam Mg2+, Sr2+, Fe2+, dan Hg2+ akan menghambat aktivitas
katepsin D.
Kerja enzim dapat dihambat oleh zat penghambat atau inhibitor. Inhibitor
non-kompetitif tidak bersaing dengan substrat untuk berikatan dengan enzim.
Inhibitor jenis ini akan berikatan dengan enzim pada sisi yang berbeda (bukan sisi
aktif). Jika telah terjadi ikatan enzim-inhibitor, sisi aktif enzim akan berubah sehingga
substrat tidak dapat berikatan dengan enzim. Banyak ion logam bekerja sebagai
inhibitor non-kompetitif (Firmansyah et al. 2007).
4.2.4 Konsentrasi substrat
Konsentrasi substrat merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap
jumlah produk yang dihasilkan. Substrat dibutuhkan oleh enzim untuk berikatan
dengan sisi aktif enzim sehingga akan terbentuk produk. Pengaruh konsentrasi
substrat terhadap aktivitas spesifik enzim disajikan pada Gambar 15.
Gambar 15. Pengaruh konsentrasi substrat terhadap aktivitas spesifik katepsin
Gambar 15 menunjukkan bahwa konsentrasi substrat berpengaruh terhadap
aktivitas spesifik enzim yang dihasilkan. Jika konsentrasi substrat dinaikkan, maka
aktivitas spesifik cenderung akan meningkat sampai pada titik tertentu. Konsentrasi
substrat sebesar 3% merupakan konsentrasi subtrat optimal untuk enzim katepsin
dengan nilai aktivitas spesifik sebesar 9,3863 U/mg.
Semakin banyak molekul substrat yang tersedia, semakin sering molekulmolekul tersebut memasuki sisi aktif molekul enzim. Akan tetapi, terdapat
keterbatasan dalam memacu kecepatan reaksi dengan cara menambahkan lebih
banyak lagi substrat ke suatu konsentrasi enzim yang tetap. Pada suatu titik tertentu,
konsentrasi substrat itu akan menjadi cukup tinggi sehingga semua sisi aktif pada
semua molekul enzim sudah ditempati oleh substrat. Segera setelah produk
meninggkalkan sisi aktif, molekul substrat yang lain akan masuk. Pada konsentrasi
substrat seperti ini, enzim itu dikatakan mengalami kejenuhan, dan laju reaksi
ditentukan oleh kecepatan sisi aktif mengubah substrat menjadi produk. Ketika suatu
enzim telah jenuh, satu-satunya cara untuk meningkatkan produktivitas ialah
menambahkan lebih banyak lagi enzim (Campbell 2002).
4.2.5
Penentuan bobot molekul
Penentuan bobot molekul dilakukan menggunakan SDS-PAGE dan
zimogram. Hasil analisis menggunakan SDS-PAGE dan zimogram dapat dilihat pada
Gambar 16.
(A)
(B)
Gambar 16. Hasil SDS (A) dan zimogram (B)katepsin
Penetuan bobot molekul ditentukan berdasarkan kurva standar dimana pada
SDS diketahui persamaannya Y= - 1,037x + 2,112 (Gambar 17), sementara pada
zimogram diketahui persamaannya Y= - 1,384x + 2,145 (Gambar 18) dimana Y= log
berat molekul marker (kDa), sedangkan x= mobilitas relatif protein (cm).
Gambar 17. Kurva standar SDS-PAGE
Gambar 18. Kurva standar zimogram
Nilai Rf sendiri merupakan jarak migrasi marker/sampel dibagi dengan nilai
run nya. Data jarak migrasi marker untuk SDS maupun bobot molekul standar SDS
disajikan pada Tabel 6. Tabel 6 menggambarkan bahwa protein dengan bobot
molekul yang kecil akan memiliki jarak migrasi yang besar atau jauh, sementara
protein dengan bobot molekul yang besar akan memiliki jarak migrasi yang kecil.
Tabel 6. Jarak migrasi dari marker SDS beserta nilai RF dan bobot molekul
dari masing-masing pita
Jarak marker
RF marker
BM marker (kDa)
Log BM
0,8
0,1818
97
1,987
1,1
0,25
66
1,820
1,8
0,409
45
1,653
2,7
0,614
30
1,477
3,3
0,75
20,1
1,303
4,2
0,955
14,4
1,158
Untuk menentukan bobot molekul sampel, pertama kali jarak migrasi sampel
diukur kemudian dibagi dengan nilai run nya untuk diketahui nilai RF nya.
Persamaan standar SDS kemudian digunakan untuk menentukan bobot molekul
sampel, nilai RF sampel yang telah diketahui dimasukkan dalam persamaan standar
SDS. Nilai Y yang didapatkan belum merupakan nilai bobot molekul sampel, untuk
menentukkannya nilai Y dianti-log kan terlebih dahulu.
Teknik zimogram dapat mendeteksi protein yang masih memiliki aktivitas
katalitik. Perbedaan antara SDS-PAGE dan zimogram terletak pada penambahan
substrat pada gel elektroforesis. Pada pembuatan gel untuk zimogram, komposisi gel
ditambahkan hemoglobin 0,5% dengan tujuan protein yang mengandung katepsin
akan mendegradasi substrat hemoglobin sehingga ketika dilakukan pewarnaan
diperoleh zona bening pada pita protein. Pada Tabel 7 terlihat bahwa pada ektrak
kasar enzim katepsin masih mempunyai banyak band yang berarti masih banyak
molekul disini, termasuk protein yang berasal dari sel dan protein pengotor lainnya.
Pada tahap dialisis terlihat adanya pengurangan jumlah band protein. Hal ini berati
selama proses dialisis banyak menghilangkan protein. Pada Tabel 8 terlihat bahwa
enzim katepsin baru terlihat aktivitas katalitiknya pada tahap presipitasi dan dialisis,
pada tahap ini enzim katepsin teridentifikasi memiliki bobot molekul 88,67 kDa.
Sementara hasil penelitian yang dilakukan oleh Balti et al. (2010) terhadap
katepsin D yang berasal dari hepatopankreas sotong (Sepia officinalis) terestimasi
memiliki bobot molekul 37,5 kDa. Katepsin D yang berasal dari daging ikan ostrich
memiliki bobot molekul 29,1 kDa (Krause et al. 2010). Penelitian lain yang
dilakukan oleh Jiang et al. (2002) terhadap katesin D ikan tongkol dan ikan bandeng,
menyatakan bahwa katepsin D pada ikan tongkol terestimasi sebesar 51 kDa dan pada
ikan bandeng sebesar 54 kDa.
Tabel 7. Estimasi bobot molekul protein (kDa) pada setiap tahap pemurnian
Ekstrak kasar Ektrak kasar
tanpa
dengan
pengenceran pengenceran
2X
93,45
35,18
22,79
22,79
18.35
15,59
15,59
Pengendapan
dengan
pengenceran
2x
88,52
35,19
24,07
17,38
Pengendapan
dengan
pengenceran
5x
104,17
48,73
37,15
18,35
12,58
15,59
13,25
14,77
Pengendapan
dengan
pengenceran
10x
104,17
37,15
18,35
Dialisis
dengan
pengenceran
2x
98,66
39,22
26,82
22,80
Dialisis
dengan
pengenceran
5x
98,66
48,73
26,82
19,37
Dialisis
dengan
pengenceran
10x
98,66
46,15
18,35
18,35
12,88
Tabel 8. Estimasi bobot molekul enzim katepsin (kDa) pada setiap tahap pemurnian
Ekstrak kasar Ektrak kasar
tanpa
dengan
pengencera
pengenceran
2X
-
Pengendapan
dengan
pengenceran
2x
-
Pengendapan
dengan
pengenceran
5x
86,87
Pengendapan
dengan
pengenceran
10x
86,87
Dialisis
dengan
pengenceran
2x
86,87
Dialisis
dengan
pengenceran
5x
86,87
Dialisis
dengan
pengenceran
10x
86,87
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Metode pemurnian katepsin dilakukan dengan presipitasi menggunakan
ammonium sulfat 70%, kemudian didialisis menggunakan kantong dialisis berukuran
12 MWCO selama 6 jam. Pemurnian secara ekstraksi kasar didapatkan aktivitas
spesifik sebesar 0,8598 U/mg dan setelah dipresipitasi dengan konsentrasi
pengendapan 70% didapatkan aktivitas spesifik sebesar 4,4643 U/mg dan setelah
didialisis selama 6 jam didapatkan aktivitas spesifik sebesar 14,4404 U/mg.
Karakteristik enzim katepsin yang dihasilkan yaitu mempunyai suhu dan pH
optimum 40 °C dan 4, konsentrasi substrat sebesar 3%, sementara keberadaan ion
logam akan mengganggu atau menghambat aktivitas enzim. Ion logam divalen akan
menghambat kerja enzim tertinggi, jika dibandingkan dengan logam monovalen
maupun trivalen. Enzim katepsin teridentifikasi memiliki bobot molekul sebesar
86,87 kDa
5.2 Saran
Perlu dikaji lebih dalam mengenai aktivitas spesifik enzim katepsin setelah
dimurnikan lebih lanjut dengan kromatografi kolom. Pemurnian tahap dialisis perlu
dikaji mengenai pengaruh frekuensi pergantian buffer terhadap aktivitas spesifik yang
dihasilkan, serta disarankan pada tahap dialisis dilakukan pemilihan ukuran kantong
dialisis yang lebih kecil dari 12 kDa.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurahman D. 2008. Biologi Kelompok Pertanian. Jakarta: Grafindo Media
Pratama.
Allen C, Goll MB. 2003. Lysosomal Cysteine Proteases. Oxford: Oxford University
Press.
Aoki T, Yamashita T, Ueno R. 2000. Distribution of cathepsins in red and white
muscles among fish species. Fisheries Science. 66(4): 776-782.
Balti F, Noomen H, Kemel J, Naima NA, Guillochon D, and Moncef N. 2010.
Cathepsin D from hepatopancreas of the cuttlefish (Sepia officinalis):
purification and characterization. J. Agric. Food Chem. 19:10623–10630.
Bisswanger H. 2004. Practical Enzymology. Germany: Wiley-VCH.
BRKP [Badan Riset Kelautan Perikanan]. 2007. Dukungan teknologi penyediaan
produk perikanan. www.litbang.deptan.go.id [12 Maret 2010].
Bradford MM. 1976. A rapid and sensitive method for quantification of microgram
quantities of protein utilizing the principle of protein dye binding.
Anal Biochem 72: 234-254.
Bregman AN, Futon C. 1996. Enzyme Technology. New York: Springer Science
Business Media.
Bender DA. 2002. Introduction to Nutrition and Metabolism. Vol. 1. New York:
Taylor & Francis Inc.
Buxbaum E. 2007. Fundamental of Protein Structure and Function. New York:
Springer Science.
Campbell N. 2002. Biologi. Rahayu, penerjemah. Jakarta: Erlangga. Terjemahan dari:
Biology.
Careno M. 2000. Aspartic Acid Proteases as Therapeutic Targets. Germany: WileyVCH.
Chang R. 2003. Kimia Dasar. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Choi, Kang,and Lanier. 2005. Surimi and Surimi Seafood. USA: CRC Press.
Dinu D, Dumitru IF, Neichifor MT. 2002. Isolation and characterization of two
chatepsin from muscle of Carrassius auratus gibelio. Roum. Biotecnol. Lett.
7(3): 753-758.
Elisabeth D. 1994. Immunopharmacology of Joints and Connective Tissue. San
Diego: Academic Press.
Erwin E. 2010. Milkfish. Alabama: Auburn University.
Fentiana N. 2009. Peranan Enzim Protease Jeroan ikan bandeng (Chanos chanos)
dalam proses kemunduran mutu. [Skripsi]. Bogor: Departemen Teknologi Hasil
Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Firmansyah R, Agus M, dan Umar R. 2007. Mudah dan Aktif Belajar Biologi.
Bandung: Setia Purna Inves.
Ghufron M, Kardi H. 1997. Budidaya Kepiting dan Ikan Bandeng di Tambak Sistem
Polikultur. Semarang: Dahara Prize.
Grogan G. 2009. Practical Biotransformation. Postgraduates Chemistry Series.
Chichester: John Willey & Sons Ltd.
Hames BD. 2002. Gel Electrophoresis of Protein. Oxford: Oxford University Press.
Harrd NF. 1994. Protein Hydrolysis in a Seafood. Glasgow: Blackie Academic and
Professional.
Harris ELV. 1989. Protein Purification Methods: A Practical Approach. England:
IRS Press.
Ilyas S. 1983. Teknologi Refrigerasi Hasil Perikanan. Jakarta: CV.Paripurna.
Javois JC. 1999. Immunocytochemical Method and Protocols. New Jersey: Humana
Press Inc.
Jiang ST. 2000. Enzymes and their effect on seafood texture. Haard NF dan Simpson
BK, editor. Di dalam Seafood Enzymes. New York: Marcel Dekker, Inc.
Jiang ST, Her YH, Lee JJ, and Jeng HW. 2002. Comparison of the cathepsin D from
mackerel (Scomber australasicus) and milkfish (Chanos chanos) muscle.
Bioscience, Biotech, Biochem. 57(4): 571-577.
Kumar A, Igor Y, Galaev, dan Bo M. 2003. Isolation and Purification Protein. New
York: Marcel Dekker Inc.
Kolodziedjska I, Sikorsi ZE. 1996. Neutral and alkaline muscle proteases of marine
fish and invertebrates. Journal of Food Biochemistry. 20(12): 349-363.
Kuchel P dan Gregory BR. 2006. Biokimia. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Krause J, Shonisani C. Tshidino, Tomohisa O, Yasuharu, Vaughan, Benesh S, Muramoto K, and Ryno JN. 2010. Purification and partial characterization of
ostrich skeletal muscle cathepsin D and its activity during meat maturation.
Journal Meat Science. 87(3):196-201.
Lehninger AL. 1993. Dasar-Dasar Biokimia. Jilid I. M. Thenawidjaja, penerjemah.
Jakarta: Erlangga. Terjemahan dari: Principle of Biochemistry.
Laemmli UK. 1970. Cleavage of structural protein during the assembly of the heat of
bacteriophag T4. Nature. 227(10): 680-685.
Leber TM, Balkwil FR. 1997. Zymogram: A Single-step Staining Method for
Quantitative of Proteolytic Activity on Subtrat Gel. Anal. Biochem 249: 24-28.
Marshak DR .1996. Strategies for Protein Purification and Characterization. United
States of America: Cold Spring Harbor Laboratory Press.
Murtidjo BA. 2002. Budidaya dan Pembenihan Bandeng. Yogyakarta: Penerbit
Kanisius.
Park JW. 2005. Surimi and Surimi Seafood. Second edition. CRC Press.
Polgar L. 1990. Mechanism of Protease Action. Florida: CRC Press.
Rana SVS. 2006. Biotechniques Theory and Practice. New Delhi: Capital Offset
Press.
Saanin H. 1984. Taksonomi dan Kunci Identifikasi Ikan Jilid I dan II. Bogor: Bina
Cipta.
Salleh AB, Razak CN, Zaliha RN, Basri M. 2006. New Lipases and Proteases. New
York: Nova Science Publisher.
Sanagi MS. 2001. Teknik Pemisahan dalam Analisis Kimia. Melaka: Percetakan
Surya.
Shahidi F dan Botta JR. 1994. Seafoods Chemistry, Processing Technology and
Quality. Glasgow: Blackie Academic and Professional.
Shinya H. 2008. The Miracle of Enzyme. Bandung: Mizan Utama.
Sivasankar A. 2005. Biotechnology and Fermentation Process. Mumbai: Rachana
Enterprises.
Stenes J. 1998. Foundation of Biochemistry. New York: Plenum Press.
Stoker HS. 2010. General, Organic, and Biological Chemistry. USA: Cengage
Learning.
Sudjati K. 2008. Biokimia. Jakarta: Grafindo Pratama.
Sumardjo D. 2006. Pengantar Kimia. Buku panduan kuliah mahasiswa kedokteran.
Jakarta: Penerbit Erlangga.
Toyohara H, Makinodan Y, and Ikeda S. 1981. Purification and properties of carp
muscle cathepsin A. Bulletin of the Japanese Society of Scientific Fisheries.
48(8): 1145-1150.
Whitaker JR. 1994. Principles of Enzymology for The Food Science. Second Edition.
New York: Marcel Dekker, Inc.
Yuwono T.2008. Biologi Molekular. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Lampiran 1 Pembuatan larutan
1.
Buffer Tris HCl 0,1 M pH 7,4 (Mulyono 2008)
Sebanyak 50 ml tris-(hidroksimetil)aminometana 0,1 M dicampurkan dengan
42 ml HCl 0,1 M dan 7 ml akuades. Sebelumnya dibuat terlebih dahulu larutan tris(hidroksimetil)aminometana dengan konsentrasi 0,1 M dengan cara menimbang
6,057 gram C4H11O3N, kemudian dimasukkan ke labu takar 500 ml lalu tuangi
akuades sebanyak ¼ labu dan homogenkan. Setelah homogen, tambah lagi akuades
hingga tanda batas.
2.
Tirosin standar
Tirosin sebanyak 22,65 mg dilarutkan dalam 25 ml akuades, kemudian
divorteks. Larutan ini disimpan pada suhu 00 – 40 C.
3.
TCA 5%
Sebanyak 15 gram TCA dilarutkan dalam akuades hingga volume akhirnya 300
ml. Penimbanngan TCA ini harus dilakukan secara hati-hati dengan menggunakan
sarung tangan.
4.
Hemoglobin 2% pH 2
Sebanyak 0,2 gram hemoglobin dilarutkan dalam akuades hingga volumenya
10 ml. Setelah itu diukur pH-nya, setelah pH-nya terukur hemoglobin ini dibuat pHnya menjadi 2 dengan penambahan HCl 1 N sedikit demi sedikit. Larutan ini harus
selalu dibuat dalam keadaan segar.
5.
Folin
Sebanyak 1 bagian folin ciocalteu dilarutkan dengan 2 bagian air.
6.
Stok Bovine Serume Albumine (BSA) 2 mg/ml
Sebanyak 300 mg BSA dilarutkan dalam akuades hingga volumenya 150 ml.
Lampiran 2a. Kurva standar protein
Lampiran 2b. Data absorbansi kurva standar protein
Konsentrasi
0
0,01
0,02
0,03
0,04
0,08
0,10
0,12
Absorbansi
0,017
0,020
0,021
0,024
0,027
0,039
0,040
0,049
Download