Widianti, Retno. 2013. The Understanding of Buddhist Economics in

advertisement
Widianti, Retno. 2013. The Understanding of Buddhist Economics in
Quality Increase Economy Householders (Gharavasa). Essay.
Dharmacarya Majors. Sriwijaya High School State Religion
Buddha, Tangerang Banten. Mentor I Gimin Edi Susanto, B.A.
(Hons) and Mentor II Heriyanto, M.Kom.
BY: RETNO WIDIANTI
NIM 0250109010282
(Artikel ini merupakan simpulan eksekutif dari skripsi untuk mendapat gelar
akademik Sarjana Pendidikan Buddha pada Programa Studi Pensdidikan
Agama Buddha Jurusan Dharmacarya Sekolah Tinggi Agama Buddha Negeri
Sriwijaya Tangerang Banten)
Abstract:
The problem which is studied in this study is the low quality of
Buddhists economy householders, low levels in education, lack of skills and
abilities in developing businesses in obtaining income. The purpose of this study
was to determine and describe the importance of understanding the Buddhist
economics to improve the economy in particular Buddha house holder. Through
this research, it can be seen how much influence the economic understanding
Buddhist householders in improving the economy.
To achieve the above objective, the authors use the method of literature
review. Recall data were analyzed in the form of text is qualitative, the authors
use data analysis directly examined the books of research, the study's authors
concluded. Buddhist society results occurred because of the public's
understanding of the importance of Buddhist economics to obtain a good
economy. Thus it can be improved by understanding Buddhist economics.
The Understanding of Buddhist economics play an important role in
improving the quality of householders’ economy. Buddhist economics is helpful
understanding householders to solve poverty problems that occur. Finally the
authors suggested that the government and the community working together to
create a society that has a good understanding through Buddhist economics to
improve the quality of a good economy for householders.
I. Pendahuluan
Era globalisasi dan persaingan bebas di bidang ekonomi, budaya, dan
sosial pada saat ini memberikan iklim investasi pada berbagai bidang usaha.
Kemajuan zaman dan perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
(IPTEK) menuntut setiap manusia untuk lebih giat dalam berusaha guna
mempertahankan hidup di tengah persaingan yang semakin keras. Umat
awam yang menjalani kehidupan rumah tangga tidak dapat melepaskan diri
dari kehidupan duniawi untuk menjaga kelangsungan hidup. Oleh karena itu
diperlukan ekonomi yang baik untuk mendukung pemenuhan kebutuhan
dalam meningkatkan kualitas hidup yang lebih baik.
Ekonomi merupakan bagian yang sangat penting dalam kehidupan.
Ekonomi diperlukan oleh setiap orang dalam memenuhi kebutuhan hidup.
Kebutuhan seseorang terdiri dari tiga hal yaitu primer, sekunder, dan tersier.
Kehidupan primer yaitu kebutuhan pokok yang harus dipenuhi manusia untuk
mempertahankan kelangsungan hidup, seperti: pangan, sandang, dan papan.
Seseorang yang ingin meningkatkan kualitas ekonomi dalam
hidupnya dapat membuat kegiatan yang bermanfaat. Kegiatan yang dapat
dilakukan yaitu dengan membuka usaha atau mengembangkan ekonomi
sesuai prinsip Buddhis. Kegiatan ekonomi Buddhis misalnya membuat sesuatu
yang baru ataupun mengubah produk lama dengan kemasan yang berbeda.
Dengan memiliki kegiatan ekonomi yang baik akan menambah penghasilan
perekonomian perumah tangga.
Permasalahan yang terjadi di perkotaan ataupun pedesaan sekarang
ini yaitu masih rendahnya kualitas perekonomian perumah tangga. Penyebab
masih banyaknya orang yang miskin yaitu karena kurangnya lapangan
pekerjaan. Faktor yang menyebabkan kemiskinan yaitu karena pendidikan
rendah sehingga seseorang sulit mendapat pekerjaan yang layak, dan sumber
daya manusia yang kurang kreatif sehingga tidak dapat menciptakan ide-ide
yang bermanfaat bagi kehidupan. Selain itu masih banyak masyarakat yang
mencari penghasilan dengan cara yang tidak layak dan bertentangan dengan
ajaran Buddha. Kurangnya pemahaman dan kesadaran terhadap pola
peningkatan kualitas perekonomian perumah tangga menyebabkan banyak
keluarga yang hidupnya belum tercukupi. Faktor yang menyebabkan
rendahnya ekonomi yaitu masih kurangnya pemahaman ekonomi Buddhis
terhadap perumah tangga. Selain itu umat Buddha khususnya perumah
tangga belum mengetahui manfaat ekonomi Buddhis, padahal jika dapat
diterapkan dengan baik akan membawa kemajuan bagi kehidupan perumah
tangga yaitu meningkatnya perekonomian keluarga.
Kemiskinan yang terjadi di kalangan perumah tangga disebabkan
karena rendahnya tingkat pendidikan dan kurangnya keterampilan, sehingga
masyarakat tidak mampu membuat usaha untuk meningkatkan
perekonomian rumah tangga. Pendidikan yang tinggi merupakan bekal bagi
masa depan seseorang. Salah satu akibat kemiskinan yaitu banyaknya anak
putus sekolah, gizi buruk, perceraian, kasus bunuh diri, pembunuhan,
pencurian, dan kasus kriminalitas.
Kekayaan dalam agama Buddha sangat penting karena Sang Buddha
menganjurkan umatnya untuk memperoleh kekayaan materi. Selain itu
kekayaan spiritual juga sangat diperlukan untuk mendukung seseorang
memperoleh ekonomi dengan cara yang benar. Ekonomi dalam kehidupan
berumah tangga sangat dibutuhkan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.
Perekonomian yang baik akan membawa kemajuan dalam suatu keluarga.
Berbagai usaha untuk mengatasi permasalahan kemiskinan, baik
pemerintah maupun masyarakat telah melakukan berbagai macam cara
namun belum mampu mengatasi permasalahan kemiskinan di Indonesia.
Dalam agama Buddha untuk mengatasi permasalahan kemiskinan yang
terjadi pada kehidupan perumah tangga (gharavasa)
yaitu dengan
menggunakan ekonomi Buddhis. Konsep ekonomi Buddhis yaitu
penghidupan atau mata pencaharian yang benar sesuai dengan Jalan Mulia
Berunsur Delapan. Ekonomi Buddhis ini belum diterapkan dengan baik
sehingga masih banyak perumah tangga yang hidupnya kekurangan.
II. Pembahasan
Perumah tangga berarti orang yang masih melakukan sesuatu yang
berkenaan dengan urusan kehidupan di rumah, baik dia berkeluarga atau
tidak. Perumah tangga (gharavasa) menurut Rashid (2003: 23) adalah orang
yang menjalani hidup berkeluarga atau tidak; mempunyai pekerjaan, seperti:
petani, pedagang, militer dan lain-lain yang memberikan penghasilan untuk
biaya kehidupan mereka, gharavasa terdiri dari upasaka (laki-laki), dan
upasika (perempuan). Keluarga sejahtera seutuhnya memenuhi berbagai
aspek. Beberapa aspek itu tidak dapat berdiri sendiri, melainkan saling
berkaitan. Menurut Utama (2010: 23) terdapat tujuh aspek untuk keluarga
sejahtera: (1) aspek fisik, (2) aspek psikis, (3) aspek intelektual, (4) aspek
kultural, (5) aspek religius, (6) aspek moral, (7) aspek sosial.
Keluarga dibentuk melalui pertemuan dua insan yang berbeda untuk
membentuk suatu keluarga melalui perkawinan. Perkawinan menurut
Undang-Undang No 1 Tahun 1974 adalah ikatan lahir dan batin antara
seorang pria dengan seorang wanita dengan tujuan membentuk keluarga
yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Virya, 2009:
7). Perkawinan dalam agama Buddha adalah suatu ikatan lahir dan batin dari
dua orang yang berbeda kelamin dengan melaksanakan Dhamma dan Vinaya
untuk mendapatkan kebahagiaan kehidupan sekarang dan yang akan datang.
Tujuan perkawinan menurut agama Buddha adalah untuk mencapai
kebahagiaan lahir dan batin, baik dalam kehidupan sekarang maupun dalam
kehidupan yang akan datang.
Keluarga yang harmonis, bahagia dan sejahtera (hita sukhaya)
merupakan tujuan dalam perkawinan. Perkawinan yang dibentuk harus
berdasarkan sikap saling setia, saling mengalah, saling percaya, saling
menghormati, saling membantu, dan saling bersahabat merupakan dasar
membentuk keluarga bahagia. Keluarga yang bahagia dan harmonis akan
tumbuh secara sadar apabila masing-masing anggota keluarga menjalankan
tanggung jawabnya dan mengembangkan keterbukaan kasih sayang dan
pikiran cinta kasih.
Kesejahteraan suatu keluarga sangat ditunjang oleh adanya
kestabilan ekonomi. Keadaan ekonomi keluarga dikatakan stabil jika terdapat
keseimbangan antara pendapatan dengan pengeluaran. Setiap keluarga
mempunyai keinginan untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas kebutuhan
keluarga, sedangkan pendapatan keluarga terbatas. Keadaan tersebut
menimbulkan ketidakstabilan ekonomi keluarga. Ketidakstabilan ekonomi
disebabkan oleh tingkat pendapatan, pendidikan, tenaga kerja, dan modal
yang dimiliki.
Seseorang yang ingin hidupnya bahagia pada kehidupan sekarang ini
dan yang akan datang harus mempunyai empat hal yaitu:
a. Kerja Keras (Utthanasampada)
b. Melindungi Kekayaan (Arakkhasampada)
c. Bekerja Sama dengan Orang-Orang yang Baik (Kalyanamitta)
d. Kehidupan yang Seimbang (Samajivikata)
Konsep ekonomi dalam agama Buddha terdapat di dalam Sigalaka
Sutta, dalam sutta tersebut Buddha menganjurkan bahwa “orang-orang yang
bekerja keras tanpa membuang-buang waktu mereka yang sangat berharga
untuk mendapatkan uang, menabung untuk masa depan untuk menopang
keluarga, memenuhi tugas dan kewajiban hati-hati dengan mengeluarkan
uang dari apa yang dihasilkan dengan tanpa boros”.
Sang Buddha
menganjurkan untuk tidak menunda suatu pekerjaan pada saat itu atau
sekarang karena dalam pemenuhan kebutuhan pokok dan sebagai kunci
keberhasilan rumah tangga tidak menunda suatu pekerjaan. Konsep dasar
ekonomi dalam hal ini menyatakan bahwa suatu diri manusia jika tidak aktif
maka perekonomian tidak seimbang.
Agama Buddha tidak mengajarkan ilmu ekonomi, tetapi prinsip moral
dan agama yang diajarkan melatar belakangi manusia untuk
mengembangkan dirinya. Ekonomi Buddhis adalah pendekatan secara
spiritual untuk sebuah ekonomi, hal itu digunakan untuk menguji kejiwaan
manusia tentang rasa kegelisahan dan emosi secara langsung terhadap
aktivitas ekonomi. Hal itu dilakukan untuk menghapuskan kebingungan
antara apa yang benar-benar bermanfaat dan berbahaya di bidang ekonomi
dan nantinya membuat manusia untuk lebih dewasa dalam beretika. Konsep
ekonomi Buddhis adalah penghidupan atau mata pencaharian yang benar
sesuai dengan Jalan Mulia Beruas Delapan.
Karakteristik utama dari ekonomi Buddhis yaitu selalu berada pada
Jalan Tengah yang berlandaskan welas asih dan kebijaksanaan. Cara-cara
yang dilakukan untuk memenuhi kebutuhan hidup tidaklah boleh merugikan
orang lain dan diri sendiri. Selain itu tidak boleh merugikan makhluk lain dan
lingkungan hidup. Ciri ekonomi Buddhis adalah keseimbangan antara
kebahagiaan yang bersifat materi dengan kebahagiaan yang didapat melalui
spiritual.
Dalam agama Buddha tidak melarang umat awam untuk memiliki
kekayaan, namun yang terpenting harus mempraktikkan Paramitta, yakni
membantu yang miskin dari kekurangan tetapi tetap memegang teguh
moralitas dan disiplin. Orang kaya yang menghalalkan segala cara merugikan
dan menindas kaum miskin, menjadi sombong dan berperilaku semaunya
sangat bertentangan dengan Buddha Dhamma.
Pengaturan tentang kekayaan terdapat dalam Sigalaka Sutta yaitu:
“ekena bhoge bhujeyya (satu bagian untuk dinikmati), dvihi kammam payojaye
(dua bagian untuk ditanamkan kembali ke dalam modalnya), catutavca
nidhapeyya
(bagian ke empat disimpan), apadasu bhavissanti (untuk
menghadapi masa depan yang sulit)” (Walshe, 2009: 490). Sang Buddha telah
menasihati pedagang untuk menghindari penipuan dengan jalan menipu alat
pengukur timbangan (tulakuta), dan menipu dengan memalsukan uang.
Selain itu dalam Anguttara Nikaya menjelaskan bahwa seseorang seharusnya
menghindari lima perdagangan yang dapat membahayakan dirinya sendiri
dan juga makhluk lain, seperti: perdagangan perbudakan (satta vanija),
perdagangan persenjataan (sattha vanija), perdagangan makhluk hidup
(mamsa vanija), perdagangan minum-minuman keras (majja vanija), dan
perdagangan racun (visa vanija).
Sang Buddha menganjurkan umat berkeluarga bekerja keras untuk
mengatasi kemiskinan. Seseorang tidak boleh malas, karena kemalasan
merupakan rintangan terbesar dalam mengatasi kemiskinan. Berkaitan
dengan mengumpulkan kekayaan bagi umat berkeluarga Sang Buddha
memberikan perhatian khusus pada enam pekerjaan yang ada pada saat itu
yaitu: pertanian, perdagangan, peternakan, pelayanan dalam pertahanan,
pelayanan dalam pemerintahan, pelayanan profesional.
Kebahagiaan yang sederhana berawal dari kondisi ekonomi yang
baik. Pemahaman ekonomi Buddhis sangat diperlukan untuk meningkatkan
kualitas perekonomian yang baik dan memfasilitasi seluruh kebutuhan
keluarga agar tercipta keluarga yang berkecukupan. Dengan memiliki
perekonomian yang baik sehingga akan menekan munculnya perselisihan
dalam keluarga dengan latar belakang ekonomi.
Kesejahteraan dalam kehidupan perumah tangga bukan didapat dari
kekayaan, melainkan dari kesederhanaan dan pengaturan ekonomi yang baik.
Pengaturan ekonomi tidak akan berhasil dengan baik apabila tidak disertai
dengan gaya hidup sederhana. Kesederhanaan tidak hanya menandai gaya
hidup anggota Sangha tetapi juga mempengaruhi gaya hidup perumah
tangga. Seseorang mungkin hidup sederhana karena terpaksa, namun
seorang pengikut Buddha hidup sederhana karena menghargai nilai-nilai
kesederhanaan, walaupun sangat kaya, gaya hidupnya tidak mewah dan tidak
berlebihan. Menjadi orang modern pun tetap sederhana, kesederhanaan
merupakan obat mujarab bagi penyakit modern. Kesederhanaan menjauhkan
seseorang dari keserakahan atau keinginan yang berlebihan. Dengan memiliki
sedikit keinginan membebaskan diri dari hawa nafsu, batin dan jasmani akan
tenang.
Umat Buddha harus mengambil jalan tengah, sehingga tidak hanya
mempertimbangkan keuntungan untuk diri sendiri, tetapi juga
memperhatikan pihak lain. Seorang pedagang dapat mengambil keuntungan
yang wajar dan menjamin barangnya bukan barang palsu, selundupan atau
barang hasil curian. Menjalankan penghidupan secara benar tidak merugikan
makhluk lain, tidak mencelakakan orang lain, tidak menyakiti atau membuat
pihak lain menderita. Perumah tangga yang membuka usaha perdagangan
dengan berdagang yang benar, dan akan menghindari lima perdagangan
yang salah.
III.
Kesimpulan dan Saran
a. Kesimpulan
1) Pemahaman ekonomi Buddhis merupakan suatu cara bagi umat
Buddha untuk mempraktikkan sikap yang baik dalam melakukan
pekerjaan dengan tidak merugikan diri sendiri dan orang lain.
Pemahaman ekonomi Buddhis dapat membuat pola pikir perumah
tangga menjadi baik karena dapat mengetahui cara-cara yang baik
dalam melakukan suatu usaha disertai dengan konsep ajaran Buddha.
2) Kegiatan ekonomi Buddhis berhubungan dengan konsep Jalan Mulia
Berunsur Delapan (Ariya Atthangika Magga) yaitu mata pencaharian
benar. Kualitas perekonomian yang baik tidak diukur dari berapa
banyaknya jumlah suatu penghasilan tetapi diukur dari cara
memperolehnya dan ketepatan dalam penggunaan kekayaan
tersebut.
3) Peningkatan perekonomian suatu keluarga melalui pemahaman
ekonomi Buddhis yaitu dengan mempraktikkan mata pencaharian
yang benar disertai usaha yang tekun dan bersemangat. Usaha dalam
meningkatkan penghasilan harus menghindari lima macam
perdagangan salah yaitu: berdagang senjata, berdagang makhluk
hidup, berdagang daging, berdagang racun, dan berdagang bendabenda yang dapat memabukkan.
4) Cara menerapkan ekonomi Buddhis harus bersikap bijaksana dalam
menjalani pekerjaan yaitu setelah mendapatkan penghasilan harus
diimbangi dengan perbuatan baik misalnya fangsen ataupun
berdana kepada orang lain yang lebih membutuhkan. Dengan
memahami konsep ekonomi Buddhis seorang perumah tangga akan
mengetahui cara terbaik dalam memperoleh penghasilan sesuai etika
Buddhis, sehingga keluarga menjadi sejahtera dan harmonis.
b. Saran
1) Pentingnya pemahaman ekonomi Buddhis dalam meningkatkan
kualitas perekonomian perumah tangga di masyarakat diharapkan
semua pihak berperan penting dalam peningkatan kualitas
perekonomian perumah tangga dengan cara mempraktikkan mata
pencaharian benar yang terdapat di dalam Jalan Mulia Berunsur
Delapan (Ariya Atthangika Magga).
2) Dengan memahami konsep ekonomi buddhis diharapkan dapat
memperoleh penghasilan dengan cara yang benar agar tercapai
perekonomian yang baik.
3) Dengan pemahaman ekonomi Buddhis perumah tangga seharusnya
dapat menggunakan kekayaan dengan baik.
4) Dengan pemahaman ekonomi Buddhis perumah tangga diharapkan
memiliki usaha yang giat dan bersemangat dalam bekerja untuk
meningkatkan perekonomian yang baik.
5) Perumah tangga diharapkan mempraktikkan konsep ekonomi
Buddhis dan menghindari lima macam perdagangan salah dan
hendaknya bijaksana dalam melaksanakan ekonomi Buddhis dengan
mengimbangi berdana ataupun melaksanakan fangsen.
Daftar Pustaka
Aggabalo. 2007. Dhammapada Atthakatha. Jakarta: Perpustakaan Narada.
Bodhi, Bhikkhu. 2007. Samyutta Nikaya Kitab Suci Agama Buddha, vols I-V.
Terjemahan oleh Wena Cintiawati & Lanny Anggawati. 2007. Klaten.
Vihara Bodhivamsa Wisma Dhammaguna.
. 2009. Tipitaka Tematik Sabda Buddha dalam Kitab Suci Pali.
Terjemahan oleh Hendra Wijaya. Jakarta: Ehipassiko Foundation.
BKKBN. 1988. Pendalaman Materi Pendidikan Keluarga Berencana. Jakarta.
BPK GM. 2008. Psikologi Praktis Anak, Remaja dan Keluarga. Jakarta: Gunung
Mulia.
Davids, Rhys. T.W. 2002a. Dialogues of the Buddha. Oxford: The Pali Text
Society.
. 2002b. Sacred Books of the Buddhists. Oxford: The Pali
Text Society.
Departemen Agama RI.1991. Modul Keluarga Bahagia Sejahtera. Jakarta:
Depag RI Proyek Peningkatan Peranan Wanita.
Dhammananda, Sri. 2004. Keyakinan Umat Buddha. Terjemahan oleh Ida
Kurniati. 2005. Jakarta: Yayasan Penerbit Karaniya.
. 2008. Rumah Tangga Bahagia. Yogyakarta: Vihara
Vidyaloka.
Dumairi. 1996. Perekonomian Indonesia. Jakarta: Erlangga.
Gulo W. 2002. Metodologi Penelitian. Jakarta: PT Gramedia Widiasrama
Indonesia.
Harmoni. 2012. Keselarasan, Keseimbangan, dan Keserasian. Jakarta: Majelis
Mahayana Buddhis Indonesia.
Hinuber, O.von & Norman, K.R. 2003. Dhammapada. Oxford: The Pali Text
Society.
Indrayanto.
2010.
Pengertian
Miskin.
http://id.shvoong.com/socialsciences/sociology/2043096-pengertian-miskin-dari-berbagaisumber/ (diakses 20 Januari 2013).
Karja, Aleng. 1995. Petunjuk Untuk Persiapan Perkawinan. Jakarta: Lancar.
Lay. 2000. Panduan Tipitaka. Terjemahan oleh Lanny Anggawati & Wena
Cintiawati. Klaten: Vihara Bodhivamsa.
Morris, Richard. 2008. The Anguttara Nikaya. Oxford: The Pali Text Society.
Mukti, Krishnanda Wijaya. 2003. Wacana Buddha Dhamma. Jakarta: Ekayana
Buddhis Centre.
Ñanamoli & Bodhi. Tanpa tahun. Majjhima Nikaya Kitab Suci Agama Buddha,
vols I-V. Terjemahan oleh Wena Cintiawati & Lanny Anggawati. 2004.
Tanpa kota: Vihara Bodhivamsa Wisma Dhammaguna.
. 2002. The Middle Length Discourses of the Buddha.
Oxford: The Pali Text Society.
Ñanamoli. 2006. Khuddakapatha Kitab Suci Agama Buddha, vols II.
Terjemahan oleh Wena Cintiawati & Lanny Anggawati. Klaten: Vihara
Bodhivamsa Visma Dhammaguna.
Ñanaponika & Bodhi. 2003. Petikan Anguttara Nikaya Kitab Suci Agama
Buddha. Vols. I-XI, terjemahan oleh Wena Cindiawati, Lanny Aggawati,
dan Endang Widyawati. Klaten: Vihara Bodhivamsa & Wisma
Dhammaguna.
Norman, K.R. 2004. The Word of the Doctrine (Dhammapada). Oxford: The Pali
Text Society.
.2006. The Group of Discouses (Sutta-Nipata). Lancaster. The Pali
Text Society.
Parabhava
Sutta.
2007.
http://nalanda.org.my/elibrary/parabhavasutta/index.php (diakses 28 Januari 2013).
Patriarch, Late dan Prince Vajirananavarorasa. Tanpa tahun. Dhamma
Vibhanga Penggolongan Dhamma. Terjemahan Bhikkhu Jeto.
Yogyakarta: Vidyasena Vihara Vidyaloka.
Payutto. 2005. Ekonomi Buddhis. Jakarta: PP MAGABUDHI.
Phongsawasdi. 2007. Kehangatan Keluarga. Terjemahan Wilyana Kusrini.
Tangerang: Yayasan Bunyanithi.
Pusaka Jati, Suhartoyo dan Suyanto. 2010. Pedoman Penulisan Skripsi.
Tangerang: Sekolah Tinggi Agama Buddha Negeri Sriwijaya.
Rashid, Teja. 2005. Sila dan Vinaya. Surabaya: Paramita.
Saddatissa. 2003. Sutta Nipata. Klaten: Vihara Bodhivamsa.
Samuelson, Paul. 1999. Ekonomi Mikro. Jakarta: Erlangga.
Sandi. 2012. Kasus Bunuh Diri. http://suarajabar.com/nasional/peristiwa/2062bunuh-diri-persoalan-kemiskinan-dan-perubahan-sosial (diakses 15
Januari 2013).
Sanidah, Siti. 2012. Kasus Perceraian. http://www.sapa.or.id/berita1-2/360kualitas-perempuan-ntb,-antara-perceraian-dan-kemiskinan.html
(diakses 15 Januari 2013).
Schumacher, EF. 2011. Konsep Ekonomi dalam Agama Buddha. Jakarta Helena,
1997. Buddhist Engagement in the Global Economy.
Sugiyono. 2008. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. CV
ALFABETA.
Suguno, Bhikkhu. 2012. Pandangan Agama Buddha Tentang Ekonomi.
http://www.buddhistonline.com/dhammadesana/desana7b.shtml
(diakses tanggal 14 Januari 2013).
Suryani, Luh Ketut dan Cokorda Bagus Jaya Lesmana. 2007. Kiat Mengatasi
Badai Kehidupan Perkawinan. Jakarta: PT Intisari Mediatama.
Tim Penyusun. 2000. Keluarga Bahagia Sejahtera Menurut Pandangan Agama
Buddha. Jawa Barat: Bimas Buddha Departemen Agama.
. 2003. Pengetahuan Dhamma. Jakarta: CV Dewi Kalyana Abadi.
. 2005a. Tipitaka Kitab Suci Agama Buddha. Jakarta: CV Nitra
Kencana Buana.
. 2005b. Panduan Tipitaka Kitab Suci Agama Buddha. Jakarta:
Dewi Kalyana Abadi.
. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi IV. Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama.
Thirzamaulita. 2010. Pengertian
Kualitas.http://id.scribd.com/doc/39191568/9/A-Pengertian-Kualitas
(diakses 11 Januari 2013).
Utama, Jhana Virya. 2010. Peranan Wanita Buddhis. Lembaga Pengkajian dan
Pengembangan Keagamaan Buddha Indonesia.
Uttamo, Bhikkhu. 2010. Cakkavatti Sihanada Sutta. http://www.samaggiphala.or.id/tipitaka/cakkavatti-sihanada-sutta (diakses 30 Januari
2013).
Walshe, Maurice. 1995. Khotbah-Khotbah Panjang Sang Buddha Digha Nikaya.
Vols I-III. Terjemahan oleh Team Giri Mangala Publication & Dhamma
Citta Press. Tanpa kota: Dhamma Citta Press.
Virya, Jhana. 2009. Membina Keluarga Hita Sukhaya. CV Yanwreko Wahana
Karya.
Wibowo,
Adi.
2012.
Pengertian
Ekonomi
(http://id.scribd.com/doc/92951446/Ekonomi-Buddha
Januari 2013).
Buddhis.
(diakses 20
Widjaja, Hendra dan Handaka Vijjananda. 2011. Pernikahan Bahagia. Seri
Dharma Putra Indonesia.
Widya, Dharma. 2010. Vyaggapajja Sutta. Jakarta: PP WANDANI.
Woodward, F.L. 2008. The Book of The Gradual Sayings (Anguttara Nikaya or
More-Numbered Suttas). Oxford: The Pali Text Society.
Wowor, Cornelis. 2004. Pandangan Sosial Agama Buddha. Semarang: Vihara
Tanah Putih.
Download