upaya umat buddha desa buntu dalam mempertahankan ajaran

advertisement
UPAYA UMAT BUDDHA DESA BUNTU
DALAM MEMPERTAHANKAN
AJARAN TANTRAYANA KEJAWEN
Ajaran Tantrayana Kejawen adalah salah satu bentuk kebudayaan yang masih bertahan di Indonesia.
Ajaran Tantrayana Kejawen merupakan akulturasi antara ajaran Agama Buddha sekte Tantrayana dan ajaran
Kejawen. Ajaran Tantrayana muncul sejak abad ketujuh Masehi sedangkan ajaran Kejawen ada sejak
masyarakat Jawa lahir di tanah Jawa. Ajaran ini berkembang di lereng barat gunung Sindoro tepatnya di Desa
Buntu, Kecamatan Kejajar, Kebupaten Wonosobo. Ajaran tersebut kini masih bertahan, tetapi masyarakat saat
ini tidak secara maksimal memahaminya sehingga ajaran ini mulai tersisihkan dengan ajaran-ajaran agama lain
yang datang di wilayah Desa Buntu. Pusat komunitas pemeluk ajaran Tantrayana Kejawen terletak pada salah
satu tempat ibadah umat Buddha yaitu Vihara Vajra Bhumi Nusantara.
Tantrayana berasal dari kata "Tantra" (Sansekerta) yang berarti "Tenun", dan kata “yana” yang berarti
“wahana atau kereta”. Tantrayana dibagi menjadi empat golongan atau tingkatan, antara lain:
1. Kriyatantra, Aliran ini bersifat keupacaraan dan bhakti.
2. Caryatantra, Dalam aliran ini antara akal budi dan keyakinan sifatnya sama dan seimbang.
3. Yogatantra, Dalam aliran ini, proses-proses kontemplatif dan analitik lebih berkembang.
4. Anuttarayogatantra, Ciri yang menonjol dalam aliran ini adalah pendekatan simbolik pada penyadaran
tujuan akhir (Nirvana).
Tantrayana yang pertama kali berkembang memiliki tiga macam aliran, yaitu:
1. Shiva Tantra
Shiva adalah Tuhan dari Tuhan, dia adalah Tuhan paling tinggi, sehingga apapun dapat dicapai oleh-Nya.
2. Bauda Tantra
Bauda Tantra adalah ajaran Tantrayana yang meyakini bahwa tuhan berada jauh dari diri dan keberadaan
tuhan diwakili dengan adanya Dewa atau yang disebut sebagai Batari.
3. Vaishnava Tantra
Vaishnava digambarkan sebagai aliran kiri dan aliran orang murtad dari kaum orrtodox dan aliran vaishnava
bersumber pada pemahaman yang dangkal terhadap ajaran Tantra.
Kejawen adalah sebuah kepercayaan atau agama yang dianut di pulau Jawa oleh suku Jawa dan suku
bangsa lainnya yang menetap di Jawa. Dasar kepercayaan Kejawen adalah keyakinan bahwa segala sesuatu
yang ada di dunia merupakan satu kesatuan hidup. Masyarakat Jawa memandang kehidupan manusia terpaut
erat dengan kosmologi dan kehidupan manusia merupakan suatu perjalanan yang penuh dengan pengalamanpengalaman yang religius. Dalam ajaran Kejawen, Tuhan itu menyatu dengan pribadi manusia.
Keberadaan ajaran Tantrayana Kejawen selalu pasang surut seiring dengan berkembangnya zaman.
Namun umat Buddha Desa Buntu memiliki cara sendiri untuk tetap mempertahankannya agar ajaran Tantrayana
Kejawen tetap ada di Desa Buntu, Kecamatan Kejajar, Kabupaten Wonosobo.
Umat Buddha Desa Buntu mempertahankan ajaran Tantrayana Kejawen dengan cara menjalankan
tradisi warisan nenek moyang sesuai cara pelaksanaan yang digunakan oleh masyarakat pada umumnya
meskipun dalam pelaksanaannya mengalur mengikuti budaya asing yang masuk ke lingkungan Desa Buntu.
Dengan pelaksanaan yang disesuaikan dengan keinginan masyarakat, maka tradisi nenek moyang tetap
dijalankan meskipun dalam menjalankannya tidak didasari keinginan kuat. Selain itu, tradisi warisan nenek
moyang tetap dipertahankan dengan memberikan rangsangan terhadap masyarakatnya bahwa sesungguhnya
tradisi warisan nenek moyang bukan suatu hal yang ketinggalan zaman namun tradisi warisan nenek moyang
adalah hal yang patut dibanggakan. Ungkapan tersebut menampik anggapan bahwa ajaran Tantrayana dan
Kejawen adalah ajaran yang kuno karena dengan ungkapan tersebut hendaknya masyarakat mengerti bahwa
ajaran tantrayana dan ajaran Kejawen hendaknya dipertahankan dan dilestarikan khususnya di wilayah Desa
Buntu.
Dalam mempertahankan dan melestarikan ajaran Tantrayana dan Kejawen umat Buddha mengalami
berbagai macam hambatan dan kesulitan. Namun, para umat Buddha selalu menyikapi dengan baik kesulitan
tersbut dengan bijaksana sehingga dapat mengatasinya dengan jalan yang baik dan mendapatkan hasil yang
memuaskan. Agama Buddha Tantrayana juga pernah menjadi agama yang dianggap Musrik atau tidak sesuai
dengan agama yang dianjurkan negara. Agama Buddha Tantrayana dianggap menyembah berhala karena
patung yang ada di Altar Vihara sangat banyak dan masyarakat yang tidak tahu arti dari berbagai patung
tersebut menganggap itu Musrik. Nemun setelah mendapatkan penjelasan dari tokoh spiritual agama Buddha
atau romo pandita, akhirnya masyarakat mengerti bahwa patung di altas yang bermacam-macam jenisnya
adalah perlambangan dari Para Dewa.
Hambatan luar yang tidak begitu menonjol datang dari Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Wonosobo.
Pemerintah Wonosobo kurang memberikan suport dana sehingga gedung tempat peribadatan umat Buddha
dirasa kurang memadahi. Tempat yang kurang memadahi meliputi, luas bangunan yang tidak dapat menampung
lebih dari 200 umat dan tempat yang berada di antara bangunan rumah warga sehingga saat ada perayaan hari
besar tertentu dengan jumlah umat yang cukup banyak sulit untuk mengikuti di daerah sekitar Vihara. Oleh
karena itu, hendaknya pemerintah memperhatikan masyarakat yang berada di daerah pedalaman sehingga
pemerintah dapat mendukung masyarakat daerah yang masih melaksanaan tradisi warisan nenek moyang
terutama hal untuk mempertahankan warisan nenek moyang.
PUSTAKA
Basyir, Ahmad Arbanik. 2008. Perkembangan Tantrayana di Indonesia. Skripsi tidak diterbitkan. Universitas
Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Herwidanto, Dody. 2004. Buku Pedoman Pokok-pokok Dasar Buddha Dhamma. Bogor: Dhamma Study Group
Bogor.
Sumonggokarso, Dharmakirty. 1988. Sanghyang Kamahayanikan. Jakarta: C.V. Lovina Indah.
2010. Arti Tantrayana Buddhism yang Sebenarnya. http://indonesiaindonesia.com/f/60811-sejarah-munculnyaaliran-tantrayana/, diakses 10 Januari 2013.
2012. Kejawen. http://id.wikipedia.org/wiki/Kejawen, diakses 10 Januari 2013.
Download