NILAI-NILAI MORAL TRADISI CENG BENG

advertisement
NILAI-NILAI MORAL TRADISI CENG BENG
DALAM PENUMBUHAN SIKAP BAKTI ANAK USIA DINI
ARTIKEL
Oleh:
DEDY NURHAYADI ATENG
NIM 0250111010468
Disusun dan Diajukan Sebagai Salah Satu Persyaratan
Yudisium
SEKOLAH TINGGI AGAMA BUDDHA NEGERI SRIWIJAYA
TANGERANG BANTEN
2016
NILAI-NILAI MORALTRADISI CENG BENG
DALAM PENUMBUHAN SIKAP BAKTI ANAK USIA DINI
Dedy Nurhayadi Ateng
[email protected]
Abstrak: Penelitian ini dilakukan karena kurangnya pemahaman tentang nilai-nilai moral
tradisi CengBeng bagi orangtua Buddhis dalam penumbuhan sikap bakti anak usia dini.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan nilai-nilai moral dalam tradisi CengBeng
yang dapat dimanfaatkan oleh orangtua Buddhis dalam rangka menumbuhkan sikap bakti
anak yang masih berusia dini.
Metode penelitian yang digunakan adalah kajian pustaka. Pengumpulan data dilakukan
dengan mengumpulkan pustaka tentang nilai-nilai moral dalam tradisi CengBeng dan sikap
bakti anak terhadap orangtua. Analisis data dilakukan dengan analisis pendahuluan, analisis,
dan sintesis.
Hasil penelitian ini adalah bahwa nilai-nilai tradisi Ceng Beng yang dapat dijadikan sebagai
sarana oleh orangtua Buddhis dalam penumbuhan sikap bakti anak usia dini diantaranya
adalah sikap menghormat kepada leluhur/asal-muasal keluarga yang tidak terputus;
penguatan komunitas keluarga; sikap rendah hati; dan nilai berderma. Cara menumbuhkan
sikap bakti anak usia dini melalui nilai-nilai moral pada tradisi Ceng Beng dapat dilakukan
dengan berpraktek langsung, mengamati sendiri dan penjelasan. Ketiga hal ini dapat
dilakukan oleh orangtua untuk memberikan pemahaman kepada anak usia dini tentang nilainilai moral pada pelaksanaan tradisi Ceng Beng.
Masyarakat Tionghoa yang beragama Buddha agar mempertahankan tradisi Ceng Beng.
Orangtua Buddhis dari etnis Tionghoa agar melibatkan anak-anak untuk mengamati, dan
memberikan penjelasan upacara Ceng Beng dari masa persiapan hingga pasca
pelaksanaan.Orangtua harus memperdalam pengetahuan dan informasi tentang Ceng Beng.
Kata Kunci: Nilai Moral, Ceng Beng, Sikap Bakti Anak Usia Dini
Abstract: This research was done because of lack of understanding of moral values Ceng
Beng tradition for Buddhist parents in the growth of early childhood’s service attitude. The
purpose of this study was describe the moral values in the tradition of Ceng Beng which can
be exploid by Buddhist parents in order to cultivate the attidute of filial piety is still early
age.
The method used was a literature review. The data collection is done by collecting literature
on moral values in the tradition of Ceng beng and attitude of filial piety towards parents.
Data analysis was permormed with a preliminary analysis, analysis, and synthesis.
The results of this study is that the values of Ceng Beng tradition that can serve as a means
by Buddhist parents in the growth of early childhood service attitude of them is the attitude of
salute to ancestors / origin of the family who is not interrupted; community strengthening
2
families ; humility ; and value berderma. The way to cultivate an attitude of devotion early
childhood through moral values in the tradition of Ceng Beng can be made by direct
practice, observe yourself and explanation. These three things can be done by parents to
provide understanding of early childhood about moral values in implementation of Ceng
Beng tradition. Chinese Buddhist community in order to maintain the tradition of Ceng Beng.
Buddhist ethnic Chinese parents to involve children to observe , and provide an explanation
ceremony Ceng Beng from preparation to post- implementation period . Parents need to
deepen their knowledge and information about Ceng Beng.
Keywords: moral values, CengBeng tradition, early childhood’s service attitude.
Pendahuluan
Indonesia adalah negara dengan populasi terbesar urutan ke empat di dunia yang
memiliki total penduduk lebih dari 250 juta jiwa. Penduduk Indonesia memiliki beberapa
keragaman dan budaya terdiri dari banyak suku bangsa. Salah satunya yang tidak bisa
dilepaskan dari bangsa Indonesia adalah keberadaan masyarakat, kebudayaan dan tradisi
Tionghoa. Keberadaan masyarakat Tionghoa sudah lama dan mengakar di Indonesia.
Diperkirakan sejak jaman kerajaan-kerajaan masa lalu, bangsa atau tradisi Tionghoa ini sudah
berada di Nusantara. Hal ini dibuktikan oleh catatan-catatan sejarah yang menjelaskan bahwa
Nusantara sudah menjalin kerjasama dengan negara Tiongkok. Berita-berita dari Tiongkok
seperti I-Tshing dan Hui Neng yang menceritakan tentang Agama Buddha di Nusantara
merupakan salah satu bukti sejarah jika nusantara pada masa lalu sudah ada interaksi dengan
kebudayaan Tionghoa.
Cerita tentang Laksmana Cheng Ho yang pernah ke Nusantara dengan petilasannya di
Semarang, berupa Klenteng Sam Pho Khong yang memberikan bukti bahwa keberadaan
Tionghoa sudah ada sejak jaman dulu. Keberadaan etnis Tionghoa di Indonesia di perkirakan
telah ada pada abad ke-5, masih dapat dilihat dari anak keturunannya di beberapa wilayah
Indonesia yang sering disebut dengan wilayah pecinan atau Kampung Tiongkok. Dewasa ini
ditemukan perkumpulan marga yang didirikan oleh masyarakat Tionghoa di Indonesia,
seperti Boen Tek Bio di Tangerang.
Suatu etnis yang berada di suatu wilayah akan berusaha mempertahankan tradisi asal
dan bahkan akan berpengaruh terhadap tradisi atau kebudayaan setempat. Kondisi etnis
Tionghoa di Indonesia yang cukup banyak, maka sudah seharusnya tradisi Tionghoa
dipertahankan. Melihat hal ini maka tradisi Tionghoa seharusnya sudah menjadi akar dan
dasar pola pikir orang-orang keturunan Tionghoa di Indonesia. Masyarakat pada umumnya
3
hanya melihat tradisi dan kebudayaan Tionghoa dari bentuk fisik saja, seperti bangunan yang
didominasi warna merah, serta memiliki ornamen ciri khas Tiongkok berupa simbol naga,
kaligrafi dan lain sebagainya. Budaya dan tradisi Tionghoa bukan hanya mewujud pada apa
yang bisa dilihat, seperti tarian, bangunan, dan lain-lain. Namun melainkan mewujud secara
psikis dalam bentuk etika moral serta budi pekerti yang sangat berharga.
Lamanya suku Tionghoa berada di Indonesia, populasi juga meningkat, serta nilainilai moralitas yang terkandung dalam kebudayaan dan tradisi Tionghoa, sudah cukup
menjadi dasar yang kuat bahwa tradisi ini harus dipertahankan oleh generasi keturunan
Tionghoa. Selain itu di era Presiden Gus Dur, pemerintah memberikan dukungan dan
perlindungan terhadap masyarakat Tionghoa, dengan menetapkan tahun baru Imlek sebagai
hari libur nasional, mengijinkan dipublikasikannya tradisi, budaya dan pertunjukkan
bercirikan Tiongkok seperti Barongsai. Alasan-alasan ini dapat dijadikan dasar agar
kebudayaan dan tradisi Tionghoa dipertahankan oleh generasi penerus. Sebagai generasi
muda keturunan Tionghoa harus dapat mempertahankan tradisi, memahami nilai-nilai filosofi
serta kemoralan yang terkandung di dalamnya.
Filsafat Tiongkok kuno sangat dipengaruhi oleh tiga sumber filsafat besar yaitu
Konghucu, Tao dan Buddha. Pada tataran sistem kemasyarakatan filsafat konfusianisme
menjadi lebih aplikatif dibandingkan dengan dua lainnya namun secara komprehensif filsafat
Tiongkok kuno tida terlepas dari ketiganya, atau lebih dikenal dengan The Three Ancient
Religions of Chinese. Menurut Yuean (2010), konsepsi konfusianisme dijadikan sebagai
norma hidup dan pemerintahan, taoisme sebagai ritual sehari-hari dan Buddha sebagai
pembebasan terakhir yaitu terlahir di Nirwana atau Nibbbana.Teori konfusianisme, menurut
Bethrong dalam Chang & Kalmanson, 2010) bahwa konfusianisme adalah comforting the
people through self cultivation. Pilar utama dalam ajaran konfusianisme adalah moral dan
tindakan. Hal ini menyiratkan bahwa kualitas seseorang dapat dilihat berdasarkan moral dan
hal-hal yang diraihnya. Dalam hubungan antarmanusia konghucu untuk mengutamakan
keharmonisan karena manusia hidup dengan alam maka harmonis dengan alam juga
merupakan suatu kewajiban. Keharmonisan ini hanya akan dapat dicapai jika setiap manusia
menjalankan tugas sesuai peran dan kedudukannya (Tjeng, 1983: 271). Dengan memiliki
pandangan yang bernar terhadap diri ini akan membawa konsekuensi bahwa ketika setiap
manusia paham perannya akan menghindari gesekan dan kecemburuan dan pada akhirnya
membawa disharmonisasi dan peperangan.
4
Nilai-nilai filsafat konfusius menitikberatkan kepada moraliatas, hormat dan
pendidikan. Ketiga hal ini yang menjadi tolak ukur apa dan siapa seorang manusia di dunia.
Moralitas, hormat dan pendidikan akan membentuk jati diri untuk membangun citra diri dan
introspeksi yang akan berguna bagi setiap orang untuk mengatakan apa yang diketahui dan
berani untuk tidak mengatakan apa yang tidak diketahui. Kejujuran adalah pintu masuk
dalam kebijaksanaan (wisdom). Ketika seseorang mampu jujur tentu saja rakyat akan patuh
akan setiap perintah dan kebijakan yang dikeluarkan oleh pemimpin.
Pemahaman terhadap nilai-nilai moralitas yang terkandung di dalam tradisi akan
menjadikan generasi Tionghoa sebagai pribadi yang unggul, berkarakter dan memiliki
moralitas yang baik. Hal ini karena tradisi Tionghoa mengajarkan nilai-nilai yang universal
tentang cinta kasih, semangat, kesusilaan dan lain sebagainya. Penanaman nilai-nilai
moralitas dalam tradisi Tionghoa kepada generasi muda membutuhkan peran orangtua. Oleh
karena itu, orangtua harus memahami tradisi Tionghoa dan filosofi serta etika kemoralan di
dalamnya, sehingga mereka mampu mendidik anak-anaknya dengan baik.
Dalam lingkup yang spesifik, keluarga Buddhis. Perkembangan moral dimulai sejak
anak berada dalam rahim ibu. Hal ini disebabkan karena masing-masing anak telah membawa
karma yang dibawa saat lahir (vibhava kamma). Namun, perkembangan moral selain
disebabkan oleh bawaan juga sangat tergantung dari proses internalisasi baik yang dilakukan
oleh orangtua dan lingkungan. Moral berkembang seiring dengan pertumbuhan fisik ada anak
usia dini dengan input-input yang dialami oleh si anak. Diantara sekian banyak input, input
dari pengalamanlah yang paling memiliki arti penting dalam perkembangan moral. Hal ini
disebabkan karena anak usia dini memiliki daya imaginer yang tinggi untuk menyimpan
memori dan membentuk cara pandangnya. Hal ini diperkuat oleh Allport dalam Sujanto dkk
(2008: 11) bahwa “personality of moral develop on psychophysical system determines unique
adjustment to his environment”. Berdasarkan pada pendapat ini bahwa aspek fisik dan psikis
yang dialami merupakan stimulus yang kuat untuk membentuk jati diri moral bagi anak.
Penanaman nilai-nilai dalam tradisi Tionghoa perlu diberikan kepada anak usia dini
agar generasi keturunan Tionghoa memahami budaya leluhurnya sejak dini. Tindakan
orangtua yang mengajarkan nilai kemoralan dan filosofi dalam tradisi Tionghoa sejak dini
dengan didasari oleh pemahaman yang baik, maka dengan sendirinya tradisi itu akan melekat
kuat dan menjadi karakter bagi anak-anak sehingga sikapnya sesuai ajaran benar.Anak usia
dini menjadi alasan penumbuhan sikap dan karakter baik dikarenakan masa tersebut
perkembangan anak masih dapat dibentuk melalui internalisasi nilai. Permendikbud Nomor
5
137 tahun 2014 tentang Standar Nasional Pendidikan PAUD pada pasal 10 disebutkan bahwa
nilai agama dan moral sebagaimana meliputi kemampuan mengenal nilai agama yang dianut,
mengerjakan ibadah, berperilaku jujur, penolong, sopan, hormat, sportif, menjaga kebersihan
diri dan lingkungan, mengetahui hari besar agama, menghormati, dan toleran terhadap agama
orang lain. Sedangkan, aspek perkembangan agama dan moral sebagai standar kompetensi
PAUD secara rinci dapat dilihat pada lampiran Permendikbud Nomor 137 Tahun 2014 yaitu
3 bulan adalah tahapan mendengar berbagai doa, lagu religi, dan ucapan baik sesuai dengan
agamanya, 3- 6 bulan adalah tahapan melihat dan mendengar berbagai ciptaan Tuhan
(makhluk hidup), 6 – 9 bulan adalah tahapan mengamati berbagai ciptaan Tuhan.
Mendengarkan berbagai doa, lagu religi, ucapan baik serta sebutan nama Tuhan dan 9-12
bulan adalah tahapan mengamati kegiatan ibadah sekitarnya. Sedangkan pada rentang usia
18-24 bulan tertarik pada kegiatan ibadah dan meniru kegiatan ibadah dan doa. Pada tahapan
selanjutnya 18-24 bulan anak usia dini akan meniru gerakan ibadah dan doa, mulai
menunjukan sikap-sikap yang baik terhadap orang lain yang sedang melaksanakan ibadah,
mengucapkan salam dan kata-kata baik seperti maaf dan terima kasih pada situasi yang
sesuai. Pada tahapan perkembangan selanjutnya yaitu rentang usia 4-6 tahun, tahapan penting
yaitu anak seusia dini mengenal dan mengerjakan ibadah agama yang dianut, berperilaku
jujur, menolong, sopan, hormat dan sportif. Mengenal kebersihan, hari besar agama serta
toleransi terhadap penganut agama lain.
Perkembangan afektif anak usia dini akan membentuk sikap baik. Sikap merupakan
hasil dari pencerapan dan analisis serangkaian pengetahuan di dalam kognisi. Kognisi
memberikan ingatan jangka pendek dan panjang dan lambat laun menjadi kecerdasan afektif
yang dapat digunakan apabila diperlukan. Menurut Fowler (2010) tahapan perkembangan
kecerdasan afektif melalui tiga saluran yaitu pengalaman langsung, transfer ilmu dan
internalisasi. Pengalaman langsung adalah keterlibatan anak dalam perbuatan yang empiris
dan dirasakan sendiri, sedangkan transfer ilmu adalah proses belajar formal baik dalam
kehidupan sehari-hari atau sekolah. Namun, internalisasi menjadai tahapan akhir karena
sangat menentukan apakah proses pengalaman langsung dan transfer ilmu dapat menjadi
kecerdasan afektif.Tahapan internalisasi pada perkembangan afeksi adalah sebuah proses
stimulus-respon dan membutuhkan pendidikan (education). Stumulus adalah kondisi
eksternal yang berpotensi memberikan informasi awal tentang obyek yang akan direspon.
Responsi ini dapat berupahasil negatif atau positif. Hasil negatif apabila proses internalisasi
6
menghasilan sikap yang baik seperti bakti dan hormat namun sebaliknya berdampak negatif
apabila hasilnya menjadikan anak menjadi nakal, pemarah dan tidak hormat.
Proses perkembangan afeksi tidak semata-mata dibantu oleh orangtua namun juga
ritual dan keyakinan/agama yang dianutnya dalam keluarga. Misalkan saja beragama Buddha
dan tradisi Tionghoa. Agama dan ritual tradisi menghantarkan anak pada tahapan informatif,
lalu memberikan kesempatan untuk merespon dan pada akhirnya menghasilan sikap afeksi
yang menjadi salah satu ranah kecerdasan (affection quotient). Sikap afeksi yang diharapkan
berkembang pada anak usia dini adalah sikap bakti dan hormat kepada orangtua, leluhur, dan
orang yang lebih tua. Sikap bakti adalah hubungan timbal-balik antara anak dan orangtua
yang tercermin dalam kehidupan sehari-hari. Cara berbicara, cara bersikap dan cara pikir
dapat dijadikan alat untuk melihat apakah sikap bakti sudah mulai tumbuh dan berkembang.
Sikap bakti dimulai dari orangtua sebagai pendidik awal yang harus menanamkan nilai-nilai
moral untuk menguatkan perkembangan sikap bakti kepada anak usia dini. Anak usia dini
yang nantinya akan tumbuh menjadi individu dewasa akan mudah untuk dilatih dan
ditanamkan nilai-nilai moral jika sudah memiliki bekal yang cukup untuk membentuk sikap
baktinya.
Menurut Prasetyono (2005: 36) salah satu metode untuk menumbuhkan sikap hormat
sejak dini kepada anak adalah dengan memperkenalkan kearifan lokal dan tradisi-tradisi yang
positif. Metode ini dipandang efektif karena waktu anak lebih banyak bersingungan dengan
orang-orang terdekat seperti orangtua dan kerabat. Kerabat dan keluarga adalah lingkungan
yang paling utama dalam memberikan perkenalan terhadap apa yang boleh dan tidak boleh
dilakukan oleh anak dalam perspektif keluarga. Setiap keluarga memiliki cara dan tradisi
sendiri yang memungkinkan anak dapat menyerap nilai poditif dari apa yang dilakukan
secara turun-temurun.Menurut Rachmawati dan Kurniati (2010: 47) terdapat beberapa faktor
yang dapat menjadi pertimbangan dalam membentuk sikap bakti yaitu faktor dari orang tua
dan anak diantaranya: usia orangtua, tempaan edukasi orangtua, jenis kelamin orangtua,
status sosial ekonomi orangtua, konsep peran orangtua, jenis kelamin anak, usia anak, dan
kondisi anak.
Berdasarkan pendapat di atas, penumbuhan sikap bakti dan hormat dapat dilakukan
melalui pengenalan kearifan lokal dan tradisi-tradisi yang positif. Pada kenyataannya, dewasa
ini sebagian orang Tionghoa sudah lupa dengan kebudayaan, tradisi dan nilai-nilai etika yang
terkandung dalam tradisi tersebut. Mereka menganggap jika tradisi itu kuno dan kolot.
Lunturnya pemahaman secara utuh tentang tradisi dan nilai-nilai filosofi Tionghoa terjadi
7
sejak 30 tahun terakhir dengan ditutupnya sekolah Tionghoa. Dengan ditutupnya sekolahsekolah Tionghoa terjadi kevakuman satu generasi berdampak pada ditinggalkannya nilainilai kemoralan yang terkandung dalam tradisi Tionghoa. Saat tradisi dan nilai kemoralan
Tionghoa dijunjung, tidak ada persoalan pelanggaran dan penipuan yang dilakukan oleh
masyarakat tionghoa pada masa itu. Pada zaman dahulu perdagangan tidak memerlukan surat
perjanjian dan materai, dan hasilnya tidak ada kasus-kasus penipuan. Saat menikah tidak
memerlukan ke catatan sipil, dan hasilnya tidak ada perceraian. Namun pada zaman sekarang
nilai budaya dan kemoralan yang terkandung dalam tradisi Tionghoa sudah luntur, banyak
terjadi penyimpangan-penyimpangan moral dan hilangnya kejujuran. Misalkan kasus Anton
Medan yang merupakan etnis keturunan tionghoa berasal dari Medan Sumatera Utara yang
memiliki predikat buruk sebagai perampok. Hal ini menunjukkan bahwa nilai-nilai
kemoralan yang tertanam dalam tradisi Tionghoa dilupakan dan ditinggalkan.
Berdasarkan latar belakang di atas penulis sangat tertarik untuk melakukan kajian
lebih mendalam tentang nilai-nilai moral tradisi Ceng Beng bagi orangtua Buddhis dalam
penumbuhan sikap bakti anak usia dini. Ceng Bengadalah sebuah ritual persembahyangan
yang dalam perkembangannya menjadi bagian dari ritual keagamaan dan tradisi masyarakat
yang bertujuan untuk memberikan persembahan kepada sanak keluarga dan leluhur yang
telah meninggal dunia. Jenis persembahan, tata cara ritual dan bentuk penghormatan bisa saja
berbeda dari satu perkumpulan dan kelompok tertentu namun esensi dari ritual ini tetap sama
yaitu mengingat orangtua dan menunaikan bakti kepada luluhur (Yuan, 2002: 10)
Berkenaan dengan tradisi dari Ceng Beng tersebut, penulis akan mengkaji tentang
nilai-nilai moral tradisi Ceng Bengdalam penumbuhan sikap bakti anak usia dini. Anak Usia
Dini (AUD) dalam keluarga buddhis. Masa ini hanya berlangsung selama satu kali selama
rentan kehidupan seorang manusia. Apapun bentuk penumbuhan moral dan pendidikan akan
berdampak terhadap pencapaian karakter, sifat dan ego di masa yang akan datang.
Memperhatian hal ini peneliti mengambil subjek penelitian Anak Usia Dini (AUD). Dengan
harapan melalui penelitian ini diharapkan dapat mengungkap tentang nilai-nilai moral dalam
tradisi Ceng Beng yang dapat dijadikan sebagai sarana pembentuk sikap bakti, sehingga
generasi muda akan memiliki karakter yang baik dan berbakti terhadap orangtua.
Medote Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah kajian pustaka(library
research). Metode kajian pustaka adalah sebuah metode dengan mengumpulkan sumber8
sumber kepustakaan yang relevan, dibaca dengan kritis dan diuraikan hasil kajian dengan
bentuk format dan sistematika tertentu. Metode analysis data yang digunakan adalah
deskriptif (descriptive analysis). Analisis ini didasarkan pada data kualitatif dalam bentuk
teks-teks dan literatur yang kemudian disajikan dalam bentuk narasi dan tulisan.
Hasil Penelitian dan Pembahasan
Hasil penelitian dari metode yang dilakukan dalam penelitian ini yaitu berupa empat
cara internalisasi nilai-nilai moral dalam upacara Ceng Beng.Terdapat empat nilai kemoralan
(moral) dalam tradisi Ceng Beng bagi orangtua Buddhis untuk menumbuhkan sikap bakti
pada anak usia dini. Keempat nilai moral tersebut adalah (1) sikap menghormat kepada
luluhur/hirarki keluarga, (2) penguatan komunitas keluarga, (3) sikap rendah diri dan (4)
bederma (dana). Nilai moral bagi orantua buddhis dalam tradisi Ceng Bengadalah sikap
menghormati luluhur sebaga perwujudan bakti kepada silsilah keluarga. Suatu keluarga
merupakan entitas yang tidak terputus oleh karena itu menghormat adalah sebuah nilai moral
yang harus ditanamkan kepada anak-anak semenjak usia dini.
Nilai dalam tradisi Ceng Beng yaitu mengetahui asal-muasal keluarga dan
menunjukan sikap hormat. Dalam keluarga Tionghoa sikap hormat adalah segala-galanya.
Seorang yang pintar secara akdemik tidak akan berarti apa-apa tanpa sikap hormat yang baik.
Sikap hormat yang paling tinggi adalah kepada luluhur. Tanpa leluhur tentu segalanya tidak
akan pernah ada. Oleh karena itu tradisi Ceng Beng adalah salah satu tradisi penting yang ada
pada masyarakat etnis Tionghoa karena Ceng Beng merupakan perayaan yang dilakukan
untuk mengenang jasa-jasa para leluhur dan karena adanya kewajiban untuk ziarah makam
leluhur. Etnis Tionghoa yang merantau jauh dari kampung halaman akan berusaha untuk
dapat pulang kampung pada saat perayaan Ceng Beng agar dapat melakukan sembahyang
kepada para leluhur mereka.
Nilai tradisi Ceng Beng laiinya yaitu memberikan arti penting dalam penguatan
komunitas keluarga sebagai sebuah kekuatan. Kekuatan yang ditunjukkan yaitu kepada
keluarga besar. Anak-anak usia dini cenderung cepat untuk menyerap hal-hal yang
dinikmatinya secara beramai-ramai. Melalui media perayaan Ceng Beng, anak usia dini
diberikan gambaran yang nyata dan konkret bahwa kebersamaan keluarga adalah sebuah
kekuatan besar untuk mencapai tujuan-tujuan besar dalam hidup. Sebaliknya, keluarga yang
tercerai-berai akan susah untuk melakukan komunikasi dan akhirnya terjadi perpecahan
dalam keluarga. Perayaan yang dilakukan oleh etnis Tionghoa untuk menghormati para
9
leluhur. Anak usia dini dengan mengalami upacara ini akan memahami sebuah konsep
keutuhan keluarga, dan secara tidak langsung dituntut untuk tidak berlaku kurang terpuji dan
amoral yang dapat merugikan nama baik keluarga besar.
Nilai tradisi selanjutnya adalah wujud nyata hormat dan merendahkan hati Warga
Tionghoa biasanya adalah kaum perantau yang berprofesi sebagai pedagang, wiraswasta dan
pengusaha. Terdapat warga Tionghoa yang merantau dan hidup berjauhan satu dengan
anggota keluarga lainnya. Perbedaan menjadi faktor penyebab terjadinya perpecahan dalam
keluarga. Tidak jarang banyak terjadi permusuhan hingga perkelahian yang disebabkan
karena ego masing-masing anggota keluarga yang cenderung menunjukan pencapaian
masing-masing. Pada saat upacara Ceng Beng seluruh keluarga diwajibkan untuk turut serta
dalam semua prosesi mulai dari persiapan makam hingga sarana dan prasarana upacara.
Semua anggota keluarga turut bekerja tanpa melihat pencapaian ekonomi dan fisik. Biasanya
upacara penghormatan dilakukan dengan berbagai rangkaian kegiatan, seperti membersihkan
kuburan, menebarkan kertas sampai dengan membakar kertas yang sering dikenal dengan
Gincua (Mandarin: yinzhi/kertas perak).
Tradisi Ceng Beng juga memiliki nilai memberi (berdana). Bagi orangtua Tionghoa
Buddhis sangat susah untuk mencari momen yang tepat untuk mengajarkan berdana. Ceng
Beng dapat menjadi salah satu media pembelajaran dan sarana untuk melatih berdana di
waktu yang tepat. Saat upacara Ceng Beng berlangsung biasanya diikuti oleh fang shen
(pelapasan satwa hidup ke alam bebas) dan mengunjungi vihara/kelenteng untuk
menyerahkan dana paramita. Bagi keluarga yang dapat mendatangkan anggota Sangha
(Bhikkhu) tentu akan lebih mudah lagi untuk mengajarkan prinsip dasar agama Buddha yaitu
caga (kedermawanan).
Cara menumbuhkan sikap bakti adalah dengan cara pelibatan langsung, menjelaskan
dan pengamatan serta internalisasi. Cara-cara ini adalah tahapan yang dilalui oleh orangtua
buddhis keturunan tionghoa untuk menumbuhkann sikap bakti kepada anak usia dini. Selain
itu, terdampat empat nilai yang dapat diajarkan langsung kepada anak usia dini dalam setiap
metode yang dilalui baik itu pelibatan langsung, pengamatan dan penjelasan orangtua.
Keempat nilai moral tersebut adalah:
Hormat-Menghormati
Menurut Dhammiko (2012), dalam Sigalovada Sutta terlihat secara implisit besarnya
jasa orangtua dan kewajiban anak-anak atas apa yang dilakukannya. Selain itu, orangtua juga
10
selama hidupnya telah berderma perhatian dan kasih sayang yang tidak terbatas,
mencegahnya untuk berbuat jahat, mendorong anak-anaknya untuk berbuat kebajikan,
memberi anak-anak keterampilan dan pendidikan, mencarikan pasangan dan membagi
warisan ketika waktunya telah tiba.
Mengingat hak dan kewajiban masing-masing anggota keluarga setara dan sama
bersarnya maka sangat penting untuk saling hormat-mengjormati. Hilangnya sikap ini
berdampak pada kecemburuan sosial dan emosional masing-masing anggota keluarga dan
akhirnya berdampak pada permusuhan dan bahkan perpecahan antar keluarga. Hormat dan
sikap hormat tidak hanya ditunjukkan dalam bentuk formal seperti dengan cara-cara tertentu
namun terlebih pada pelaksanan hak dan kewajiban masing-masing anggota keluarga.
Kemasyarakatan Buddhis
Dalam sistem kemasyaraktan buddhis terutama dalam abad digital dan modern seprti
sekarang ini sangat penting untuk melaksanakan tradisi dan tradisi buddhis dalam kehidupan
kekeluargaan. Kemasyarakatan buddhis adalah komunitas yang menjalankan cara-cara
mapun ritual yang didasarkan pada esensi buddhadharma meski dalam bentuk dan upacara
yang berbeda-beda. Tradisi di Jawa misalnya ada ritual nyadran, nyekar dan ziarah kubur
dalam sistem masyarakat tionghoa terutama yang memeluk agama buddha Ceng Beng
menjadi ritual tradisi yang paling sesuai dengan nilai-nilai Dharma.
Introspeksi Diri dan Sabar
Introspeksid dan sabar adalah praktik metta atau cinta kasih yang tinggi. Seorang
yang sabar dan sering melakukan introspeksi ke dalam diri bisanya memiliki moral yang baik
dibandingkan dengan yang tidak. Introspeksi adalah metode menyelesaikan masalah dengan
tidak menyalahkan orang lain melainkan mencari akar dalam batin dan pikiran sendiri.
Dalam tradisi Ceng Beng terdapat berbagai macam tahapan dan usaha yang dilakukan
oleh anggota keluarga di antaranya persiapan, pelaksanaan dan pasca Ceng Beng. Ketiga hal
ini merupakan bagian-bagian yang tidak terpisahkan dalam satu rangkaian kegiatan Ceng
Beng. Tahap persiapan meliputi segala hal yang berhubungan dengan aspek perlengkapan
upacara baik sarana upacara maupun sesajian. Pelaksanaan merupakan hari utama
dilaksanakannya upacara, dan setelah upacara adalah tahapan akhir dari proses Ceng Beng.
Berdasarkan pada tahapan-tahapan Ceng Beng di atas metode penumbuhan sikap
bakti anak usia dini dapat dilakukann dengan tiga cara yaitu pelibatan langsung, pengamatan
11
langsung dan penjelasan. Pelibatan langsung adalah melibatkan anak usia dini untuk ikut
serta melakukan proses persiapan, pelaksanaan dan setelah ceng beng. Metode ini tentu masih
dalam pengawasan orangtua karena anak-anak usia dini belum memiliki motorik yang
sempurna untuk melakukan segala sesuatu. Metode pengamatan langsung adalah proses
observasi yang dilakukan oleh anak dalam mencerap dan mencerna tiap tahapan proses
upacara ceng beng. Dalam metode ini anak-anak berperan sebagai pengamat untuk
menginternalisasi tiap-tiap makna dari proses ritual Ceng Beng. Sedangkan penjelasan adalah
metode deskriptif yang dilakukan oleh orangtua untuk memberikan keterangan dan
penjelasan tambahan baik yang ditanyakan oleh anak atau hal-hal yang perlu dijelaskan
kembali untuk memberikan penguatan moral kepada anak-anak usia dini.
Nilai Moral Dengan Bakti Kepada Orangtua Yang Masih Hidup dan Yang Sudah
Meninggal
Ceng beng adalah sarana yang paling tepat untuk menanamkan nilai moral bagi
orangtua buddhis dalam membentuk sikap bakti anak usia dini. Hal ini karena berdampak
langsung, otentik dan empiris. Dengan melibatkan langsung anak usia dini dalam seremonial
aktifitas ceng beng ini media edukasi ini sangat efektif untuk mengajarkan sikapp bakti tanpa
uraian teoretis namun bersifat model dan pengalaman langsung. Diuraikan sebelumnya
bahwa bakti kepada orangtua dibagi menjadi dua bagian yaitu kepada yang masih hidup dan
yang telah meninggal. Kedua ladang kebajikan ini memliki implikasi yang besar bagi
penanaman nilai moral dan sikap bakti karena keutuhan keluarga besar dalam komunitas
tionghoa dan keluarga buddhs sangat ditentukan oleh sikap saling menghormati. Lunturnya
rasa hormat dan sikap yang ditunjukkan dengan perbuatan akan menjadi akar runtuhnya
sebuah keluarga. Oleh karena itu latihan untuk menghormati keluarga besar yang menjadi
esensi ceng beng sangat diperlukan.
Bakti kepada orangtua yang masih hidup merupakan kewajiban bagi setiap anak serta
merupakan aspek penting untuk membentuk keharmonisan antar orangtua dan anak. Bakti ini
dapat dilakukan dengan berbagai cara dan dalam berbagai macam usaha. Diantaranya dengan
tidak memberikan beban kepada orangtua, merawatnya ketika sakit, memberikan petunjuk
ketika mendapatkan kesulitan, menjadi teman berpikir dalam memecahkan setiap
permasalahan keluarga dan menafkahinya ketiak orangtua yang masih hidup tidak dapat
menjadi pencari nafkah utama. Selama proses pertumbuhan seorang anak, orangtua yang
menjadi sumber utama pencari penghasilan, membesarkan dengan penuh cinta kasih,
12
memberikan pendidikan yang laik dan perlakuan yang baik sebagai orangtua. Ketika orangtua
masih hidup namun secara fisik tidak mampu melakukan kewajibannya maka anaklah yang
berkewajiban untuk melakukan hal yang sama untuk meunjukkan baktinya.
Sedangkan bakti kepada orangtua yang telah meninggal adalah proses yang tidak
terlepas dari bakti ketika mereka masih hidup. Oleh karena itu, anak-anak yang cenderung
memiliki tabiat yang positif untuk berbakti kepada orangtua yang masih hidup maka akan
sangat mudah untuk melanjutkan baktinya ketika orangtua tersebut telah meninggal dunia.
Dalam tradisi ceng beng, kewajiban bakti tersebut dikuatkan kembali bahkan lebih besar dan
bermakna mengingat orangtua tidak lagi berada di tengah kelaurga namun semangat untuk
berbakti tidak luntur. Dampak berantai dari tradisi ceng beng ini juga berdampak baik bagi
generasi berikutnya. Seorang anak tentunya akan berkeluarga lagi dan memiliki keturunan.
Perayaan ceng beng untuk memperingati bakti orangtua juga secara tidak langsung
mengajarkan keturunan anak kembali sebagai rantai pengingat untuk terus berkati kepada
orangtua yang telah meninggal dunia.
Kesimpulan
Sikap menghormat kepada luluhur/asal-muasal keluarga yang tidak terputus. Hal ini
penting karena anak-anak usia dini dapat dengan mudah mengigat dasar keberadaanya di
dunia sebagai bagian dari keluarga besar yang tidak dapat dipisahkan baik yang masih hidup
maupun yang telah meninggal dunia.
Penguatan komunitas keluarga. Penguatan ini penting karena stereotype keluarga
tionghoa adalah perantau dan pedagang yang hidup berjauhan namun tradisi Ceng Beng
membuat kuat kembali keutuhan keluarga tersebut.
Sikap rendah diri. Sikap ini penting dalam intern keluarga yang telah memiliki harta,
kedudukan dan strata sosial yang berbeda. Namun, dalam tradisi Ceng Beng semua anggota
keluarga memiliki kewajiban yang adil dan merata tanpa melihat latar belakang dan
pencapaian individu. Ceng Beng membuat semua kembali pada nilai keluarga dan
kebersamaan daripada perbedaan pencapaian pribadi.
Nilai berderma. Nilai ini menjadi kunci untuk melatih setiap anggota keluarga untuk
berlatih memberi dan menguatkan nilai kedermawanan (caga).
Cara menumbuhkan sikap bakti anak usia dini melalui nilai-nilai moral pada tradisi
Ceng Beng dapat dilakukan dengan cara berpraktek langsung, mengamati sendiri dan
13
penjelasan. Ketiga hal ini dapat dilakukan oleh orangtua untuk memberikan pemahaman
kepada anak usia dini tentang nilai-nilai moral pada pelaksanaan tradisi Ceng Beng.
Saran
Terdapat beberapa saran yang dapat peneliti berikan pada penelitian ini yaitu kepada:
a. Masyarakat Tionghoa yang beragama Buddha agar mempertahankan tradisi Ceng Beng
karena tidak bertentangan dengan konsep dan keyakinan agama Buddha. Tradisi dan
keyakinan dapat berjalan dengan baik dan menunjang satu dengan lainnya.
b. Orangtua Buddhis dari etnis Tionghoa agar melibatkan anak-anak untuk mengamati, dan
memberikan penjelasan upacara Ceng Beng dari masa persiapan hingga pasca
pelaksanaan. Melalui tersebut, anak secara langsung akan memiliki pemahaman mendasar
sikap bakti sejak dini.
c. Penjelasan yang baik dan akurat dalam tiap pertanyaan anak usia dini tentang Ceng Beng
sangat diperlukan. Oleh karena itu tiap orangtua harus memperdalam pengetahuan dan
informasi tentang Ceng Beng agar dapat menjawab tiap pertanyaan yang dilontarkan oleh
anak-anak usia dini.
Daftar Pustaka
Anggawati, L., Cintiawati, W. 2003. Sutta-Nipata Kitab Suci Agama Buddha. Klaten: Vihara
Bodhivamsa.
Anggutara Nikaya II. Atissa. B.E. 1985. The Suttas and The Commentaries. Riverwhole Pub.
US.
ASDC Panel. 1988. The Accords of Global Child’s Protection: Jeneva. Switcterland.
Listyandri, R. 2013. Jangan Pernah Lelah Mendidik Anak. Jakarta: PT. Media Gramedia
Pustaka Utama.
Kurniati. 2010. Pembentukan Karakter dan Bakti Pada Anak: Sebuah Kajian Psikoanalisa.
Andi. Jogyakarta
Mettadewi, W. 2010. Bakti Kepada Orang Tua.
Monks, F.J & Knoers, A.M.P. 1972. 1972 atau 1982. Psikologi Perkembangan Pengantar
Dalam Berbagai Bagiannya. Jogyakarta: Gajah Mada Univesity Press
Permendikbud Nomor 137 tahun 2014 tentang Standar Nasional PAUD
14
Permendikbud Nomor 146 tahun 2013 tentang Kurikulum 2013 Pendidikan Anak Usia Dini.
Prasetyono, D.S. 2005. Metode Membuat Anak Cerdas Sejak Dini. Garailmu. Jogyakarta.
Sukardi, M. 2003. Perkembangan Pada Anak dan Permasalahannya. Yayasan Obor Jakarta.
Surjadi, R. 2010. Mitos-Mitos Tingkok Yang Berkembang Sebagai Awal Budaya Tionghoa
Indonesia. Bandung: Ganggas Media
Suyadi. 2009. Buku Pegangan Bimbingan Konseling untuk PAUD. Jogyakarta: Diva Press.
UU Nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional.
Whiterington. M. The essences of early childhood development: a key concepts. Blackwel
Publish Company. NY. US
Yen, Ceng M. 2012. Sanubari Yang Teduh. Tzu Chi Publishing Division. Jakarta
Yuan, Tomothy. 2002. Practical Di Zi Gui For Parents. Inc. News of weeks. London: School
of Wise Publication.
15
Download