11 2. Mengumpulkan data dan informasi dari negara yang sudah ditetapkan berdasarkan pendekatan kerangka infrastruktur sistem jaminan keamanan pangan. 3. Melakukan analisa konten terhadap informasi yang didapat 4. Menggabungkan hasil pada tahapan A dan B untuk memberikan usulan model sistem jaminan kehalalan untuk negara Indonesia. B. Objek dan Pengumpulan Data Regulasi di Indonesia pada setiap aktifitas bisnis di bidang pangan yaitu : Pangan segar, Produk Industri Rumah Tangga, Produk olahan Industri menengah besar dan Pangan Siap Saji. Aktifitas bisnis yang dikaji meliputi (1) perijinan, (2) proses penjaminan kualitas, (3) surveillance/pengawasan, dan (4) tindakan hukum. Data dan informasi setiap negara yang ada dalam objek penelitian ini berdasarkan pendekatan kerangka infrastruktur sistem jaminan keamanan pangan yaitu : (1) persentase penduduk muslim, (2) PDB (Produk Domestik Bruto), (3) Regulasi dan pengawasan, (4) inspeksi, (5) Pelayanan laboratorium, (6) Informasi,edukasi dan pelatihan. Cara yang digunakan melalui wawancara langsung atau sumber internet. Kuesioner yang diajukan seperti tertera pada Lampiran 2. C. Personal sebagai nara sumber 1. Arab Saudi dan UEA : Mr Saud Al Askar ( Conformity Assessment Director of GSO) 2. Australia ( Dr. M.Lotfi dan Br.Ali Chawk ; Australian Halal Food Services) 3. Singapura (Mohammed Ariff Mohammed Salleh: Senior Executive Halal Certification Strategic Unit; Majelis Ugama Islam ) 4. Belanda ( Abdul Qayyum ; Halal Feed and Food Inspection Authorithy ) 5. Jerman ( Mahmoud Tatari, Dipl,Ing : Halal Control , Jerman) BAB IV ANALISIS KONTEN TERKAIT ATURAN HALAL A. Aturan Halal di Indonesia Berdasarkan PP No.28 tahun 2004 tentang Keamanan ,Mutu dan Gizi pangan, ada 4 kelompok bisnis pangan di Indonesia, yaitu (1) Pangan segar, (2) Industri Rumah Tangga, (3) Pangan Olahan Industri menengah besar, (4) Pangan Siap Saji. Undang undang Pangan terbaru yaitu UU No.18 tahun 2012 dapat menjadi payung hukum pelaksanaan pangan halal di Indonesia. Selain Undang undang Pangan, beberapa aturan yang memuat aturan halal secara eksplisit 12 adalah (1) Undang- Undang No.18 tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, (2) Undang Undang No.8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, (3) Peraturan Pemerintah No.69 tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan, (4) Peraturan Pemerintah No.95 tahun 2012 tentang Kesehatan Masyarakat Veteriner dan Kesejahteraan Hewan, (5) Permentan 50-tahun 2011 tentang Rekomendasi Persetujuan Pemasukan Karkas, Daging, Jeroan dan/atau olahannya ke dalam Negara Republik Indonesia, (6) Permentan No. 13 tahun 2010 tentang persyaratan Rumah Potong Hewan (RPH) Ruminansia dan Unit Penanganan Daging, (7) Permenkes No. 924 tahun 1996 ketentuan teknis tentang pelaksanaan labelisasi dengan sertifikasi halal yang merupakan tindak lanjut terhadap Surat Keputusan (SK) bersama antara Menteri Kesehatan dan Menteri Agama No. 427/Menkes/SKBMII/1985 tentang pencantuman Tulisan Halal pada Label Makanan, (8) Peraturan Mentri Pertanian (Permentan) No. 34/2006 tentang Persyaratan dan tata cara penetapan instansi karantina hewan, pasal 10, (9) Peraturan Kepala Badan POM RI No. HK.03.1.123.12.11.10569/2011 tentang Pedoman Cara Ritel Pangan yang Baik, (10) Peraturan Kepala Badan POM RI No. HK.03.1.23.06.10.5166 tentang Pencantuman Informasi asal bahan tertentu, kandungan alkohol, dan batas kadaluwarsa pada penandaan/label obat, obat tradisional, suplemen makanan, dan pangan, (11) Keputusan Kepala Badan Karantina Pertanian No. 436/2007, Tindakan karantina hewan terhadap susu dan produk olahannya. Pelaksanaan halal di Indonesia dapat ditinjau secara lebih mendalam dengan melakukan pemetaan regulasi halal pada setiap langkah bisnis di berbagai kelompok bisnis seperti yang disajikan pada Tabel 3. Berdasarkan informasi yang terlihat pada Tabel 3 regulasi halal terlengkap ada pada kelompok pangan segar, sementara regulasi halal yang paling kosong terdapat pada bisnis pangan siap saji. Proses produksi merupakan tahapan kritis dalam menjamin suatu produk halal. Regulasi yang terkait jaminan kehalalan pada tahapan produksi hanya terdapat pada kelompok bisnis pangan segar, sementara untuk kelompok bisnis pangan PIRT, produk pangan olahan industry menengah besar dan siap saji belum memiliki pernyataan yang secara eksplisit memuat regulasi yang terkait dengan jaminan kehalalan. Regulasi tentang label kemasan, distribusi dan peredaran juga merupakan isu kritis pada kelompok bisnis pangan segar, PIRT, dan produk olahan industri menengah besar. Peraturan Kepala BPOM No. HK.03.1.23.06.10.5166 tentang Pencantuman Informasi asal bahan tertentu, kandungan alkohol, dan batas kedaluwarsa pada penandaan/label obat, obat tradisional, suplemen makanan dan pangan, pasal 4 menyatakan bahwa suplemen makanan dan pangan yang mengandung bahan tertentu wajib mencantumkan informasi kandungan bahan tertentu pada penandaan/label. Jika bahan mengandung babi, maka wajib mencantumkan tanda khusus berupa tulisan “mengandung babi” atau gambar babi. Ketentuan tersebut hanya ditujukan untuk produk yang berkemasan dan berlabel seperti produk pangan olahan industri menengah besar dan pangan PIRT, tidak untuk pangan siap saji dan restauran. Sementara untuk distribusi dan peredaran pangan PIRT, pangan olahan industry menengah besar dan pangan siap saji yang didaftarkan diatur jaminan kehalalannya pada Peraturan Kepala BPOM RI No. HK.03.1.123.12.11.10569/2011 tentang Pedoman Cara Ritel Pangan yang Baik 13 Keberadaan regulasi halal yang dianalisa dilakukan pada setiap tahapan mulai dari perizinan hingga pengawasan serta sanksi yang ada di setiap kelompok bisnis pangan. Secara lebih rinci jaminan kehalalan pada setiap kelompok bisnis pangan dijelaskan sebagai berikut: 1. Pangan segar Pangan segar yang terkait dengan regulasi halal adalah rumah potong hewan dan produknya serta produk susu dan olahannya. Regulasi halal yang digunakan pada kelompok bisnis pangan segar ini adalah UU No. 18/2009 pasal 58 ayat 1 dan Pasal 62 ayat 1, Permentan No. 13/2010 pasal 38 dan 39 serta Permentan No. 50/2011 pasal 2 ayat 2. Regulasi tersebut menyampaikan bahwa keberadaan RPH dan Usaha Pemotongan Daging dan atau penanganan daging harus mampu menyediakan produk daging yang memenuhi ASUH (Aman, Sehat, Utuh, dan Halal). Sementara Permentan No. 50/2011 lebih menekankan pada aspek perizinan pemasukan produk daging dari luar Indonesia berupa rekomendasi persetujuan pemasukan (pasal 2). Pada tataran produksi dan pelabelan, PP No. 95/2012 pasal 8 menyampaikan cara yang baik (good practices) di RPH. Permentan No. 13/2010 pasal 4, 6, dan 41 menyampaikan bahwa lokasi produksi harus terpisah dengan RPH babi dan harus memiliki juru sembelih halal di RPH. Untuk distribusi dan peredaran, PP No. 95 pasal 18, dan 21 menyampaikan tempat penjualan dan pengumpulan yang harus terpisah antara produk halal dan yang tidak halal. Permentan No. 50/2011 pasal 19 ayat 2 mengatur tentang daging yang bersertifikat halal dan yang tidak halal harus ditempatkan pada kontainer yang berbeda. Tabel 4 menunjukkan regulasi yang terkait dengan jaminan kehalalan yang eksplisit yang ada pada setiap tahapan. Pengawasan produk pangan segar dapat dilakukan terhadap keberadaan sertifikat veteriner dan sertifikat halal. PP No. 95 pasal 31 dan 54, Permentan No. 50 pasal 15 ayat 3 e dan f serta keputusan kepala Badan Karantina Pertanian No. 436/2007 menyampaikan tentang keberadaan sertifikat veteriner dari negara asal dan sertifikat halal untuk yang dipersyaratkan. . Tabel 3. Regulasi halal di Indonesia pada kelompok bisnis pangan Aktifitas/Jenis bisnis pangan Izin dan pendaftaran (RPH) dan persyaratan (termasuk produk impor) Pangan Segar Produk Industri Rumah Tangga Produk Industri Pengolahan Pangan Pangan Siap Saji Peraturan KBPOM RI No.HK.03.1.23.04.12.2205/2012 (materi halal sebagai materi pendukung dalam proses pemberian izin PIRT) PP No.13/1995 tentang izin industri (tidak ada terkait halal) Tidak ada terkait persyaratannya PP No.69/1999 pasal 10 ayat 1,2 (aturan halal terkait label kemasan) tidak ada aturan terkait tempat produksi yang memenuhi persyaratan halal PP No.69/1999 pasal 10 ayat 1,2 (aturan halal terkait label kemasan) tidak ada aturan terkait tempat produksi yang memenuhi persyaratan halal Peraturan KBPOM No.HK.03.1.23.06.10.5166 tentang Pencantuman informasi asal bahan tertentu,kandungan alkohol, dan batas kedaluwarsa pada penandaan/label obat,obat tradisional,suplemen makanan dan pangan Peraturan KBPOM No.HK.03.1.23.12.11.10569/2011 pedoman tentang cara ritel pangan yang baik .Untuk toko modern. Lampiran point 6.5, 7.6, 8.1.5, 9.2.3 (untuk pangan olahan yang memiliki izin MD/ML, IRTP dan pangan siap saji Peraturan KBPOM No.HK.03.1.23.06.10.5166 tentang Pencantuman informasi asal bahan tertentu,kandungan alkohol, dan batas kedaluwarsa pada penandaan/label obat,obat tradisional,suplemen makanan dan pangan Peraturan KBPOM No.HK.03.1.23.12.11.10569/2011 pedoman tentang cara ritel pangan yang baik .Untuk toko modern. Lampiran point 6.5, 7.6, 8.1.5, 9.2.3 (untuk pangan olahan yang memiliki izin MD/ML, IRTP dan pangan siap saji Peraturan KBPOM No.HK.03.1.23.12.11.10569/2011 point 6.5, 7.6, 8.1.5, 9.2.3 (untuk pangan olahan yang memiliki izin MD/ML, IRTP dan pangan siap saji PP No.95/2012 pasal 31,54 UU No.8/1999 pasal 8 d,e,h UU No.8/1999 pasal 8 d,e,h PP No 69/1999 pasal 10 ayat 1,2 Tidak ditemukan aturan terkait pengawasan untuk pangan siap saji - Permentan No.50/2011 pasal 31-33 pengawasan terhadap persyaratan karantina hewan dan kesehatan masyarakat veteriner PP No 69/1999 pasal 10 ayat 1,2 -PP No.22/1983 pasal 3 ayat 1,2 (izin usaha; tdak terkait tentang halal) UU No.18/2009 Pasal 58 (1) dan Pasal 62 dengan halal dan Permenkes No. 924/MENKES/SK/VIII/1996 tentang Aturan pencantuman tulisan Halal pada label makanan dan kewajiban bagi produsen dan importir untuk wajib diperiksa oleh tim gabungan MUI dan dirjen POM Permentan No.13/2010 pasal 38 (untuk pendirian RPH) dan pasal 39 (untuk izin usaha pemotongan hewan dan atau Unit penanganan daging) Proses Produksi (tempat produksi dan label kemasan) Permentan No.50/2011 pasal 2 UU No.18 pasal 58 ayat4 PP No.95/2012 pasal 8 924/MENKES/SK/VIII/1996 . Permentan no.13/OT.140/2010 pasal 4 (a),6 (2g) dan 41 (11) Distribusi dan Peredaran (termasuk peredaran produk impor) Permentan 50/2011 (pasal 15 ayat 2 (b), 3 (d,e,f) dan pasal 17 (3 e,f)) UU No.18/2009 pasal 58 ayat4 PP No.95/2012 pasal 18,21 Permentan No.50/2011 pasal 19 Pengawasan: produk lokal dan impor Permenkes No. 924/MENKES/SK/VIII/1996 tentang Aturan pencantuman tulisan Halal pada label makanan dan kewajiban bagi produsen dan importir untuk wajib diperiksa oleh tim gabungan MUI dan dirjen POM Keputusan Kepala Badan Karantina Pertanian No.436/2007 Sanksi UU Perlindungan Konsumen UU Perlindungan konsumen UU Perlindungan Konsumen PMK RI No.1096/MENKES/PER/VI/2011 tentang higiene sanitasi jasa bogaTIDAK TERKAIT dengan /JAMINAN KEHALALAN ATURAN cara 15 Tabel 4. Regulasi Halal pada kelompok bisnis Pangan Segar Tahapan Regulasi Halal Izin/pendaftaran (1)registrasi produk hewan sebagai salah satu menjamin produk hewan yang ASUH (aman sehat utuh dan halal), (2) pemda kabupaten/kota wajib memiliki RPH yang memenuhi persyaratan teknis. (3) izin mendirikan RPH dan izin pemotongan hewan dan atau penanganan daging, (4) izin pemasukan daging dan karkas oleh pelaku usaha Produksi dan Label kemasan (1) Produk hewan yang diproduksi di dan/atau dimasukkan ke wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia untuk diedarkan wajib disertai sertifikat veteriner dan sertifikat halal.(2) Cara yang baik (good practices) di RPH, (3)persyaratan RPH untuk menyediakan daging ASUH. Pasal 6 : pesyaratan lokasi yang terpisah secara fisik dari kompleks RPH babi atau dibatasi dengan tembok min.3 meter. Pasal 41 : juru sembelih harus memenuhi persyaratan minimal memiliki sertifikat sebagai juru sembelih halal, (4) Pemberian label (f) tanda halal bagi yang dipersyaratkan, (5) Instalasi karantina..harus mendapat menjamin produk didalamnya tidak mengalami perubahan fisik,mutu sertta memperhatikan aspek keamanan pangan dan kehalalan (1) Produk hewan yang diproduksi di dan/atau dimasukkan ke wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia untuk diedarkan wajib disertai sertifikat veteriner dan sertifikat halal, (2)cara yang baik di tempat pengumpulan dan penjualan, pemisahan produk hewan yang halal dengan produk lain yang tidak halal. (3) karkas,daging ,jeroan dan atau olahannya yang mempunyai sertifikat halal harus terpisah dari wadah atau kontainer karkas,daging,jeroan,dan atau olahannya yang tidak mempunyai sertifikat halal (1)pasal 31produk hewan dari negara yang telah disetujui wajib memiliki serrtifikat veteriner dan sertifikat halal bagi yang dipersyaratkan. Pasal 54 : sertifkat produk hewan meliputi sertifikat veteriner dan SH bagi yang dipersyaratkan, (2) persyaratan teknis : juru sembelih halal bagi yang dipersyaratkan, memiliki SJH,supervisi LP POM MUI yang dituangkan dalam bentuk sertifkat dari negara asal, (3) untuk produk susu dan olahannya, dokumen sertifkat halal diperlukan di karantina Sanksi administratif dan pidana Distribusi dan peredaran (termasuk peredaran produk impor) Pengawasan produk lokal impor Sanski : dan Baik pasal yang terdapat pada PP No.95 tahun 2012 atau Permentan No.15 tahun 2011 menunjukkan bahwa jaminan kehalalan tidak wajib di Indonesia. Pasal pasal tersebut keberadaannya bertentangan dengan pasal yang terdapat pada aturan atau regulasi yang hirarkinya lebih tinggi, yaitu UU No.18 tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan pasal 58 ayat 4. 2. Produk Industri Rumah Tangga (PIRT) Untuk pangan PIRT, perizinan diatur oleh Peraturan Kepala BPOM RI No. HK.03.1.23.04.12.2205/2012. Materi halal sebagai materi pendukung dalam proses pemberian izin PIRT. Untuk proses produksi tidak ada aturan spesifik 16 yang terkait dengan halal pada CPP PIRT (Cara Produksi Pangan PIRT, peraturan KBPOM RI.No.HK.03.1.23.04.12.2206/2012). Aturan halal terkait dengan pelabelan sebagaimana yang tercantum pada Peraturan Kepala BPOM RI No. HK.03.1.23.06.10.5166 tentang Pencantuman Informasi asal bahan tertentu, kandungan alkohol, dan batas kadaluwarsa pada penandaan/label obat, obat tradisional, suplemen makanan dan pangan, PP No.69/1999 pasal 10 ayat 1 dan 2 terkait dengan aturan halal sebagai bagian dari persyaratan label kemasan Pada penjelasan pasal 10 PP 69 tahun 1999 dinyatakan bahwa terkait dengan pencantuman tulisan halal, maka kebenarannya tidak hanya dibuktikan dari segi bahan baku, bahan tambahan pangan atau bahan bantu yang digunakan dalam memproduksi pangan, tetapi harus pula dapat dibuktikan dalam proses produksinya. Sementara CPPB PIRT sama sekali tidak memuat aturan tentang halal, padahal PP No.69/1999 merupakan salah satu konsideran yang terdapat pada CPPB PIRT tersebut. Tabel 5 menunjukkan regulasi halal yang secara eksplisit tersedia pada kelompok bisnis pangan PIRT. Distribusi dan peredaran pangan PIRT yang terkait dengan jaminan kehalalan menjadi bagian dari pengaturan cara ritel, yang diatur dengan peraturan Kepala Badan POM RI No. HK.03.1.123.12.11.10569/2011 tentang Pedoman Cara Ritel Pangan yang Baik. Sementara pengawasan terhadap pangan PIRT terkait pencantuman halal dapat merefer pada UU No. 8/1999 pasal 8 d, e, dan h. Monitoring terhadap izin PIRT dinyatakan oleh regulasi perizinan PIRT dilakukan setahun sekali. Sementara untuk sanksi yang berlaku selain yang terdapat pada UU No. 8/1999 juga dapat dilakukan pencabutan sertifikat PIRT oleh bupati/walikota. 3. Produk Pangan Olahan Industri Menengah Besar Aturan Halal untuk tahap registrasi produk pangan olahan industri menengah besar dalam negeri, diatur oleh Permenkes No. 924/1996 yaitu tentang pencantuman tulisan halal pada label kemasan. Aturan ini merupakan tindak lanjut dari SKB Menteri Kesehatan dan Menteri Agama No. 427/Menkes/SKBMII/1985 tentang pencantuman Tulisan Halal pada Label Makanan. Sama halnya dengan pangan PIRT, pada tahapan produksi tidak ada pernyataan terkait dengan isu halal pada aturan yang dikeluarkan oleh Mentri Perindustrian No.75/M-IND/PER/7/2010 tentang Pedoman Cara Produksi Pangan Olahan yang Baik. Sementara salah satu konsiderasi dari aturan tersebut adalah PP No.69/1999 yang memuat tata cara produksi yang harus memenuhi persyaratan halal jika produk mencantumkan halal pada kemasannya. Aturan label kemasan yang terkait halal diatur oleh PP No. 69/1999 pasal 10 ayat 1 dan 2 serta Peraturan Kepala Badan POM RI No. HK.03.1.23.06.10.5166 tentang Pencantuman informasi asal bahan tertentu, kandungan alkohol, dan batas kedaluwarsa pada penandaan/label obat, obat tradisional, suplemen makanan dan pangan. 17 Tabel 5. Regulasi Halal Pangan PIRT Tahapan Regulasi Izin /Pendaftaran Produksi kemasan dan label Lampiran D.Tata cara pemberian SPP-IRT : Materi Pendukung tentang pencantuman label halal (1)Setiap orang yang memproduksi atau memasukkan pangan yang dikemas ke dalam wilayah Indonesia untuk diperdagangkan dan menyatakan bahwa pangan tersebut halal bagi umat Islam,bertanggungjawab atas kebenaran pernyataan tersebut dan wajib mencantumkan keterangan atau tulisan halal pada labelnya.(2) Pernyataan tentang halal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa bagian yang tidak terpisahkan dari label Pasal 3 ayat (2) Dalam hal asal bahan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat(1) dan atau produk yang mengandung asal bahan tertentu telah mendapat sertifikasi dari lembaga yang berwenang,maka keterangan sertfikat yang bersangkutan hrs dicantumkan dalam penandaan/label. (3) dalam hal keterangan sertifikat sebagaimana dimaksud pada ayat diatas berupa label halal,maka pencantumannya harus sesuai dengan yang tercantum dalam sertifikat yang bersangkutan. Pasal 4 : yang mengandung babi harus mencantumkan berupa tanda khusus berupa tulisan” mengandung babi”. Atau ayat (3) jika proses pembuatan bersingungan dengan bahan yang berasal dari babi dituliskan : “Pada proses pembuatannya bersinggungan dengan bahan bersumber babi”. Ayat (5) untuk pangan selain berupa tulisan mengandung babi juga tanda gambar babi dan (termasuk produk Lamp.point 6.5 : Pangan mengandung babi harus terpisah (transportasi,karyawan yang menangani,peralatan,adanya logo dan tulisan mengandung babi pada kemasan) Point 7.6 penyimpanan pangan mengandung babi harus terpisah dari yang tdk mengandung babi Point 8.1.5 tidak menggunakan BTP/ingredien yang tidak jelas kehalalannya. Point 9.2.3. pemajangan pangan mengandung babi dipisah dengan yang tidak mengandung babi dan ada peringatan “PANGAN MENGANDUNG BABI” Pengawasan : produk lokal dan impor Pasal 8 .Pelaku usaha dilarang memproduksi dan atau memperdagangkan barang dan atau jasa yang (d) tidak sesuai dengan kondisi,jaminan..sebagaimana dinyatakan dalam label, (h) tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal sebagaimana pernyataan halal yang dicantumkan dalam label Pasal 10 ayat (1) setiap orang yang memproduksi atau memasukkan pangan yang dikemas ke dalam wilayah Indonesia untuk diperdagangkan dan menyatakan bahwa pangan tersebut halal bagi umat Islam,bertanggung jawab atas kebenaran pernyataan tersebut dan wajib mencantumkan keterangan atau tulisan halal pada label Sanksi Sanksi administratif dan pidana Distribusi peredaran peredaran impor) Tabel 6 menunjukkan regulasi halal eksplisit pada tahapan kelompok bisnis pangan olahan industri menengah besar. Untuk distribusi dan peredarannya aturan yang terkait dengan regulasi halal menjadi bagian dari Peraturan Kepala Badan POM RI No. HK.03.1.123.12.11.10569/2011 tentang Pedoman Cara Ritel Pangan yang Baik. Sementara pengawasan kelompok bisnis pangan olahan industry menengah besar 18 yang terkait dengan jaminan kehalalan terdapat dalam UU No. 8/1999 pasal 8 d, e, dan h, PP No. 69/1999 pasal 10 ayat 1 dan 2. Selain dua aturan tersebut, pengawasan halal yang dilakukan oleh BPOM (post surveillance) dilakukan berdasarkan Permenkes No. 924/1996. Penerapan sanksi terhadap pelanggaran dapat dilakukan berdasarkan aturan yang terdapat Permenkes tersebut atau merujuk pada UU No.8 tahun 1999. Tabel 6. Regulasi Halal Pangan Industri Pengolahan Tahapan Izin /Pendaftaran Produksi dan label kemasan Distribusi dan peredaran (termasuk peredaran produk impor) Regulasi Permenkes No.924/1996 tentang Aturan pencantuman tulisan Halal pada label makanan dan kewajiban bagi produsen dan importir untuk wajib diperiksa oleh tim gabungan MUI dan dirjen POM Idem seperti tabel PIRT Idem seperti tabel PIRT Pengawasan : produk lokal dan impor UU No.8/1999 pasal 8 d,e,h PP No 69/1999 pasal 10 ayat 1,2 Permenkes No.924/1996 tentang Aturan pencantuman tulisan Halal pada label makanan dan kewajiban bagi produsen dan importir untuk wajib diperiksa oleh tim gabungan MUI dan dirjen POM Sanksi Sanksi administratif dan pidana 4. Pangan Siap Saji Pada kelompok bisnis pangan siap saji, aturan yang terkait dengan jaminan kehalalan sangat minim. Pada saat registrasi tidak ada aturan yang terkait dengan jaminan kehalalan. Registrasi biasanya dilakukan di dinas kesehatan. Untuk tempat/sarana/cara produksi pangan siap saji dilakukan berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan No. 1096/MENKES/PER/VI/2010 tentang Higiene sanitasi jasa boga. Aturan ini tidak memuat tentang jaminan kehalalan. Tabel 7 menunjukkan regulasi halal yang eksplisit yang hanya terdapat pada tahap distribusi. Sementara untuk distribusi dan peredaran produk pangan siap saji yang didaftarkan pada dinas kesehatan, maka jaminan kehalalan pada tahapan ini berlaku sama sebagaimana pangan PIRT, produk pangan olahan industri menengah besar yang memiliki izin MD atau ML yaitu Peraturan Kepala Badan POM RI No. HK.03.1.123.12.11.10569/2011 tentang Pedoman Cara Ritel Pangan yang Baik. Untuk tahapan pengawasan dan sanksi pada produk pangan siap saji tidak ditemukan aturan jaminan kehalalan pada regulasi yang ada. 19 Tabel 7. Regulasi Halal pada produk pangan siap saji Tahapan Izin /Pendaftaran Produksi dan label kemasan Distribusi dan peredaran (termasuk peredaran produk impor) Pengawasan : produk lokal dan impor Sanksi Regulasi Tidak ditemukan aturan yang terkait dengan jaminan kehalalan Tidak ditemukan aturan yang terkait dengan jaminan kehalalan Peraturan KBPOM No.HK.03.1.23.12.11.10569/2011 pedoman tentang cara ritel pangan yang baik .Untuk toko modern. Lampiran point 6.5, 7.6, 8.1.5, 9.2.3 (untuk pangan olahan yang memiliki izin MD/ML, IRTP dan pangan siap saji (sama seperti PIRT dan Industri pengolahan) Tidak ditemukan aturan yang terkait dengan jaminan halal Sanksi administratif dan pidana BAB V KONDISI PENERAPAN HALAL DI BERBAGAI NEGARA Tabel hasil penelitian secara lengkap terhadap komponen kerangka infrastuktur tersaji pada Lampiran 1. Penerapan sistem jaminan kehalalan yang dilakukan melalui pendekatan infrastruktur sistem jaminan keamanan pangan dievaluasi berdasarkan pelakunya. Pada setiap poin dievaluasi apakah pelakunya pemerintah atau lembaga sertifikasi dan organisasi masyarakat muslim. Ringkasan penerapan sistem jaminan kehalalan di berbagai Negara disajikan pada Tabel 8 berikut : Tabel.8 Penerapan sistem jaminan kehalalan di berbagai Negara Negara/Point Legislasi Halal Indonesia Ada, tapi tidak lengkap Singapura Saudi Arabia/UEA Uni Eropa Australia Manajemen Pengawasan Negara dan lembaga sertifikasi Inspeksi Layanan Laboratorium Bagian dari sertifikasi Edukasi,Informasi, Pelatihan Lembaga sertifikasi dan yayasan swadaya masyarakat Lembaga sertifikasi Tersedia terbatas untuk pelaksanaa sertfikasi halal untuk kepentingan muslim Singapura Ada Organisasi Islam (MUIS) dibawah Negara Negara dan lembaga sertifikasi halal Organisasi Islam (MUIS) dibawah Negara Negara Negara Negara Negara Tidak tersedia Lembaga Sertifikasi Negara dan lembaga sertifikasi halal Lembaga Sertifikasi Negara dan lembaga sertifikasi halal Tidak tersedia Lembaga Sertifikasi Tidak tersedia Negara dan lembaga sertifikasi halal Tersedia terbatas untuk pelaksana sertifkasi halal untuk kepentingan ekspor Bagian dari sertifkasi Berikut penjelasan rinci hasil penelitian dan pembahasan masing komponen infrastuktur di setiap negara : dari masing 20 A. INDONESIA A.1. Legislasi Halal Di Indonesia aturan Halal ada dalam (1) Undang-Undang Pangan No 18 tahun 2012 tentang Pangan , (2) Undang-Undang No.18 tahun 1999 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan,(3) Undang-Undang No.8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, (4) Peraturan Pemerintah No.69 tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan, (5) Peraturan Pemerintah No.95 tahun 2012 tentang Kesehatan Masyarakat Veteriner, (6) Permentan No.50 tahun 2011 tentang Rekomendasi Persetujuan Pemasukan Karkas,Daging, Jeroan dan /atau olahannya ke dalam Negara Republik Indonesia, (7) Permentan No.13 tahun 2010 tentang persyaratan RPH Ruminansia dan Unit Penanganan Daging, (8) Permenkes No. 924 tahun 1996 ketentuan teknis tentang pelaksanaan labelisasi dengan sertifikasi halal yang merupakan tindak lanjut terhadap Surat Keputusan (SK) bersama antara Menteri Kesehatan dan Menteri Agama No. 427/Menkes/SKBMII/1985 tentang pencantuman Tulisan Halal pada Label Makanan, (9) Permentan No. 34/2006 tentang Persyaratan dan tata cara penetapan instansi karantina hewan, pasal 10, (10) Peraturan Kepala BPOM RI No. HK.03.1.123.12.11.10569/2011 tentang Pedoman Cara Ritel Pangan yang Baik, (11) Peraturan Kepala BPOM RI No. HK.03.1.23.06.10.5166 tentang Pencantuman Informasi asal bahan tertentu, kandungan alkohol, dan batas kadaluwarsa pada penandaan/label obat, obat tradisional, suplemen makanan, dan pangan, (12) Keputusan Kepala Badan Karantina Pertanian No. 436/2007, Tindakan karantina hewan terhadap susu dan produk olahannya. Pada regulasi tersebut diatas, aturan halal termuat secara eksplisit. Pada regulasi tersebut aturan halal masih bersifat sukarela di Indonesia. Sekalipun konsumen terbesar di Indonesia adalah konsumen muslim, tetapi hak terhadap ketersediaan pangan halal belum dapat terjamin secara utuh. Saat ini secara umum disepakati bahwa jaminan kehalalan produk yang beredar di Indonesia dengan adanya label halal pada kemasan. Keberadaan label halal bersifat legal ketika produk tersebut memiliki sertifikat halal yang dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia melalui proses audit yang dilakukan oleh LP POM MUI. Undang-Undang (UU) No.18 tahun 2012 tentang Pangan merupakan UU Pangan yang menggantikan UU Pangan No.7 tahun 1996. Dalam UU Pangan No.18/2012 definisi keamanan pangan telah mengakomodasi keamanan pangan dari sudut agama dan keyakinan. Pasal 1 ayat 5 mendefinisikan keamanan pangan sebagai berikut : Keamanan Pangan adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat sehingga aman untuk dikonsumsi. UU Pangan No.18/2012 telah banyak mengakomodasi kepentingan umat Islam dalam hal berikut : 1. Impor Pangan. Pasal 37 menyatakan impor pangan yang dilakukan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi dalam negeri wajib memenuhi 21 persyaratan keamanan, mutu, gizi, dan tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat. 2. Distribusi Pangan. Pasal 48 ayat b menyatakan pengelolaan sistem distribusi pangan yang dapat mempertahankan keamanan,mutu, gizi dan tidak bertentangan dengan agama dan keyakinan dan budaya masyarakat. 3. Penyelenggaraan Keamanan Pangan. Pasal 67 menyatakan bahwa keamanan pangan diselenggarakan untuk menjaga pangan tetap aman, higienis, bermutu, bergizi, dan tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat. Selanjutnya pasal 69 menyatakan bahwa penyelenggaraan keamanan pangan dilakukan melalui (g) jaminan produk halal bagi yang dipersyaratkan. 4. Jaminan Produk Halal bagi yang dipersyaratkan.Pasal 95 (1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah melakukan pengawasan terhadap penerapan sistem jaminan produk halal bagi yang dipersyaratkan terhadap pangan. (2) Penerapan sistem jaminan produk halal bagi yang dipersyaratkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 5. Label dan Iklan Pangan. Pasal 101 ayat 1 menyatakan bahwa setiap orang yang menyatakan dalam label bahwa pangan yang diperdagangkan adalah halal sesuai dengan yang dipersyaratkan bertanggung jawab atas kebenarannya. Pasal 105 ayat 1 setiap orang yang menyatakan dalam iklan bahwa pangan yang diperdagangkan adalah halal sesuai dengan yang dipersyaratkan wajib bertanggung jawab atas kebenarannya Pengaturan dan peredaran bahan pangan segar di Indonesia menjadi tanggungjawab Kementrian Pertanian (Kementan). Untuk bahan pangan olahan pengaturan dan pengawasannya ada di Badan Pengawasan Pangan dan Obat (BPOM). Untuk produk pangan PIRT (Produk Industri Rumah Tangga) dan Pangan siap saji menjadi tanggungjawab setiap kepala daerah (Gubernur, Bupati/walikota) dan dinas terkait setempat. Pembagian tugas ini berdasarkan amanat PP No.28 tentang Keamanan Mutu dan Gizi Pangan. Namun pada Peraturan Pemerintah tersebut belum terakomodasi kepentingan konsumen muslim dalam hal keamanan bathin yaitu kehalalan.Hal ini disebabkan PP No.28 tersebut masih merupakan turunan dari UU Pangan No.7/1996 yang belum mengakomodir halal sebagai definisi keamanan pangan sebagaimana yang terdapat pada UU No.18 /2012. A.2. Manajemen Pengawasan Dengan berlakunya UU Pangan No.18 tahun 2012, aturan halal sudah menjadi bagian dari definisi keamanan pangan. Artinya aturan halal sama posisinya dengan makna keamanan pangan dalam arti bebas dari bahaya fisik, kimia dan mikrobiologis. Di Indonesia pengawasan kehalalan produk pangan olahan menjadi otoritas dari Badan Pengawas Makanan dan Obat (BPOM) dan untuk produk pangan segar menjadi otoritas Kementrian Pertanian. Untuk pengawasan produk berlabel halal menjadi bagian dari kegiatan di BPOM, karena izin pencantuman label halal 22 ada pada BPOM dan mengacu pada PP No.69/1999 tentang Label dan Iklan Pangan. Pengawasan produk pangan segar terkait dengan aturan halal adalah produk hewan. Lalu lintas produk hewan dan jaminan kehalalannya di wilayah Republik Indonesia dilakukan berdasarkan Permentan No.50/2011. Pengawasan produk pangan olahan yang beredar di Indonesia menjadi otoritas dari BPOM, sebagaimana diatur dalam Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia No.HK 0005231455 tentang Pengawasan Pemasukan Pangan Olahan. Dalam aturan tersebut tidak disebutkan persyaratan tentang halal. Pada pasal 3 ayat 1 aturan tersebut menyatakan bahwa pangan olahan yang dimasukkan ke dalam wilayah Indonesia harus memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan. Peraturan perundangan tentang pengawasan terhadap pangan yang beredar di Indonesia terkait aturan halal adalah UU Pangan No.18/ 2012, UU Perlindungan Konsumen No. 8/1999 dan PP No.69/1999 tentang Label dan Iklan Pangan. Disamping itu BPOM juga melakukan post market surveillance. Untuk menguji apakah informasi yang diberikan oleh perusahaan pada saat pendaftaran mengacu pada Peraturan Kepala BPOM No. HK 03/15.121109955 tahun 2011 tentang Pendaftaran Pangan Olahan danTata Laksana Pangan Olahan, Peraturan Kepala BPOM No. 03/15.121109956 tahun 2011 tentang Tata Laksana Pendafataran dan Permenkes No.924/1996 tentang aturan pencantuman tulisan halal pada label makanan. Aturan Permenkes tersebut menyatakan untuk pencantuman label halal pada kemasan maka produsen dan importer wajib diperiksa oleh tim gabungan MUI dan dirjen POM. Aturan halal tidak secara ekplisit dikemukan pada kedua Peraturan Kepala BPOM diatas, kecuali pada Permenkes No.924/1996. Berikut data pengecekan kesesuaian label yang ada di pasaran dengan informasi yang disampaikan saat pendaftaran. Data tersebut merupakan hasil survei oleh BPOM pada periode Januari 2008 hingga Oktober 2011.Kasus penyimpangan terhadap label halal termasuk dalam kategori tidak memenuhi ketentuan (TMK) pada label. Tabel 9. Hasil Pengawasan Januari 2008 –Oktober 2011 Temuan Produk Tidak Memenuhi Ketentuan Tahun Produk Rusak (item) 2008 2009 2010 122 111 464 2011 156 Produk Daluwarsa (item) 610 905 1468 872 616 1996 2021 Produk TMK Label (item) 123 388 270 1033 76 Produk TIE (item) 853 3855 5666 Total Sumber : Materi Presentasi Deputi III BPOM tentang Label Pangan, 2011 857 Pengawasan terhadap masuknya produk olahan impor yang terkait dengan isu halal saat ini masih pada produk susu dan olahannya. Saat masuk ke Indonesia salah satu dokumen yang dipersyaratkan adalah sertifikat halal seperti termaktub 23 dalam Keputusan Kepala Badan Karantina Pertanian No.436 tahun 2007 tentang Petunjuk Pelaksanaan Tindakan Karantina Hewan terhadap susu dan produk olahannya. A.3. Kegiatan Inspeksi Kegiatan Inspeksi dalam makalah ini dapat memiliki makna yang sama dengan kegiatan audit. Inspeksi terkait halal biasanya dilakukan oleh suatu negara yang pemerintah ikut berpartisipasi dalam pelaksanaan jaminan kehalalan. Sedangkan kegiatan audit dilakukan pada negara yang pemerintahnya tidak ikut berpartisipasi. Di Indonesia, pemastian jaminan kehalalan saat ini masih dilakukan melalui kegiatan sertifikasi yang dilakukan oleh Lembaga Pengkajian Pangan Obat dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LP POM MUI). Lembaga ini melakukan kegiatan audit dengan serangkaian pemeriksaan terhadap fasilitas dan sistem yang menjamin untuk produksi halal. Audit dilakukan pada sarana lokasi produksi. LP POM MUI juga memiliki lembaga yang melakukan sertifikasi disetiap daerah yang dinamakan sebagai LP POM MUI daerah. Hubungan antara LP POM MUI pusat dan daerah adalah koordinasi dan keputusan fatwa tetap berada pada MUI daerah. Pemerintah dalam hal ini BPOM melakukan kegiatan inspeksi untuk mendukung pelaksanaan jaminan kehalalan produk pangan olahan industry pangan menengah besar. Aktifitas tersebut merupakan rangkaian pemberian nomor registrasi kepada produk yang diproduksi oleh suatu produsen. Inspeksi yang dilakukan oleh BPOM sebelum produk diluncurkan ke pasaran (pre market surveillance) dan post market surveillance. Halal dapat menjadi bagian yang di inspeksi dalam proses ini dan dilakukan berdasarkan Permenkes No.924/1996 tentang aturan pencantuman tulisan halal pada label makanan . A.4. Organisasi pelaksana Sertifikasi Halal Organisasi Pelaksana Sertifikasi Halal yang ada di Indonesia adalah sebagai berikut : Gambar 3. Organisasi pelaksana sertifikasi halal Dewan Pelaksana terdiri dari divisi : (1)Auditing , (2) Sistem Jaminan kehalalan, (3) Penelitian dan Pengkajian Ilmiah, (4) Pembinaan LP POM Daerah, 24 (5) Standard Halal dan Pelatihan (6) Sosialisasi dan Promosi, (7) Bidang Informasi. A.5. Prosedur Audit LP POM MUI melakukan proses audit halal berdasarkan alur proses dapat dilihat pada Gambar 5. Sejak tahun 2012, LP POM MUI sudah memberlakukan sistem sertifikasi on line, Cerol SS 23000. Melalui sistem ini perusahaan melakukan proses sertifikasi secara on line mulai dari pendaftaran dan pemantauan terhadap proses yang berjalan. Proses sertifikasi online seperti yang terlihat pada Gambar 4. Gambar 4. Proses Sertifikasi Halal 25 Gambar 5. Proses Sertifikasi Online A.6. Struktur Pembiayaan Basis pembiayaan sertifikasi di LP POM adalah per dua tahun dan dilakukan berdasarkan kontrak/aqad antara perusahaan dan LP POM MUI. Aqad dibuat berdasarkan jumlah dan jenis produk berdasarkan kategori produk yang sudah ditetapkan (ada 40 kategori produk untuk produk pangan, kosmetika dan obat). A.7. Pelayanan Laboratorium Jika diperlukan, analisis laboratorium dapat dilakukan. Dalam proses sertifikasi halal, produk yang masuk dalam kategori resiko tinggi seperti produk daging dan olahannya. Analisa laboratorium dilakukan untuk memastikan apakah produk tersebut bebas dari kontaminasi barang haram. sama halnya untuk kandungan alkohol terhadap produk tertentu yang juga dianggap perlu.Saat ini LP POM MUI menggunakan alat uji cepat untuk memastikan bahwa produk tidak tercemari barang hewan dengan meggunakan Pork detection Kit Prosedur untuk pengujian laboratorium terhadap pengujian kandungan babi dan turunannya terdapat pada prosedur HAS 23000:2 poin 4.7.1 dan pengujian kandungan alcohol pada poin 4.7.2. A.8. Edukasi, Informasi dan Komunikasi LP POM MUI memiliki lembaga sosialisasi dan training serta melakukan kegiatan tersebut secara aktif ke masyarakat dan perusahaan.Pelatihan dilakukan 26 secara berkala baik di kelola oleh bagian Pelatihan atau dilakukan sebagai in house training langsung ke perusahaan yang berkepentingan. Setiap tahun LP POM MUI juga melakukan acara pertemuan dengan semua perusahaan pemegang sertifikat halal,dalam rangka memberikan informasi yang berkaitan dengan kebijakan kebijakan baru di LP POM MUI. Acara rutin tahunan lainnya adalah expo dan pertemuan Internasional untuk para lembaga sertifikasi halal di seluruh dunia dan semua perusahaan yang juga berada di luar Indonesia. Salah satu kegiatan sosialisasi dan komunikasi halal yang dilakukan oleh LP POM MUI adalah melalui media cetak yang bernama Jurnal Halal dan media internet melalui situs jaringan yang dikelola oleh LP POM MUI . Jurnal halal pernah memuat temuan-temuan terkait adanya pelanggaran terhadap penggunaan label halal atau tidak adanya keterangan mengandung babi pada makanan impor yang mengandung babi. B. Arab Saudi dan Negara-Negara Teluk (Gulf Countries) B.1. Legislasi Halal Aturan Nasional Arab Saudi berdasarkan syariah Islam. Sehingga Negara menjamin bahwa semua produk yang masuk harus memenuhi persyaratan halal. Tidak ada babi dan produk turunan atau yang mengandung babi diperbolehkan masuk ke Negara tersebut. Arab Saudi bagian dari gabungan Negara-negara Teluk. Negara yang tergabung dalam Negara-negara Teluk adalah ; (1) Negara Uni Emirat Arab, (2) Kerajaan Bahrain, (3) Kerajaan Arab Saudi, (4) Kesultanan Oman, (5) Qatar, (6) Kuwait dan (7) Republik Yaman. Ketentuan pengembangan standar di negara negara Teluk adalah jika sudah ada standar yang dikeluarkan oleh Gulf Countries Council (GCC) Standard Organization (GSO ), baik telah berlaku atau sekalipun masih dalam bentuk draft, maka tidak akan ada pengembangan standar tersebut di masing masing negara. Arab Saudi merupakan negara anggota Teluk yang memiliki pasar pangan dan minuman terbesar diantara Negara-negara Teluk. Arab Saudi merepresentasikan sekitar 63 persen dari 9 milyar US dollar dari pasar GCC. Aturan Halal untuk Negara Arab Saudi mengikuti ketentuan dari standar regional GSO (GCC Standardization Organization). GSO telah menetapkan bahwa semua pangan kemasan berlabel harus sesuai dengan hukum Islam, harus menyatakan bahwa produk bebas dari babi dan turunannya. Standar Halal yang telah ditetapkan oleh GSO adalah : (1) GSO 9/1995 : Labeling of Prepackaged Foods (2) GSO 993/1999 :Animal Slaughtering according to Islamic Law (3) GSO 1931/2009 Halal Food Part (1) : General Requirement. (4) GSO 2055/2010 : Halal Food Part (2) : Guideline for Halal Food Certification Bodies and their Accreditation Requirements. B.2. Organisasi/Struktur GSO Struktur organisasi dari Gulf Standard Organization adalah sebagai berikut : 27 Dewan Pengarah Komite Pengarah Sekretariat Umum Komite Teknis Konsil Teknis Komite komite teknis Gambar 6. Struktur GSO (sumber website GSO) Board of Directors terdiri dari para mentri yang kompeten dan bertanggung jawab pada standarisasi dari masing-masing anggota Negara gabungan. Jika salah satu dari mentri yang berkompeten dari masing masing Negara anggota tersebut tidak dapat berpartisipasi, maka perwakilannya harus memiliki level yang sama dengan menteri. Technical Council terdiri dari pimpinan organisasi standar di masingmasing Negara atau yang secara resmi mewakili organisasi standar dari masingmasing Negara tersebut. Adapun sekretaris umum (sekjen) organisasi dan sekjen dari perwakilan masing-masing Negara harus hadir dalam pertemuan technical council tanpa memiliki hak suara. Technical council dapat mengundang organisasi publik atau pribadi yang peduli pada masalah standar dari negara anggota dalam pertemuan , tetapi organisasi tersebut tidak memiliki hak suara. Pertemuan yang diselenggarakan untuk memutuskan suatu ketentuan hanya akan valid jika dihadiri oleh mayoritas anggota Negara Teluk. Uni Emirat Arab (UEA) adalah negara anggota yang juga juga merupakan gabungan dari 7 negara-negara Arab. Regulasi pangan Halal di UEA dilakukan oleh Emirat Authority for Standardization and Metrology (ESMA) dan UEA General Secretariat of Municipalities (GSM). ESMA bekerjasama dengan anggota GSO lainnya untuk mengembangkan dan mengadopsi standar-standar internasional. GSM bertanggungjawab terhadap keberadaan aturan keamanan pangan berdasarkan rekomendasi yang dibuat oleh National Food Safety Committee (NFSC) dan Veterinary Committee (VC) serta berkoordinasi dengan negara-negara yang tergabung dalam Uni Emirat Arab. Skema regulasi Halal di UEA yang disampaikan oleh Samia A.,et al (2012) adalah sebagai berikut : Standard dikeluarkan oleh ESMA atau oleh GSO seperti : persyaratan pemotongan halal, persyaratan untuk pusat-pusat akreditasi termasuk badan sertifikasi pangan halal, metode uji babi dan lemak babi (lard) dalam produk pangan, standard untuk komoditi pangan yang mengandung daging, alkohol dan gelatin. Legislasi GSM berupa : (1) keputusan tentang turunan babi dan lemak babi, penyembelihan halal sebagai persyaratan dari Good Hygiene Practices (GHP), persyaratan untuk pakan dan persyaratan untuk mengimpor daging, (2) keputusan tentang prosedur untuk akreditasi lembaga Islam dan rumah potong hewan (RPH), daftar tanda tangan yang berwenang, RPH yang 28 diakui, Islamic centers dan industry pangan, serta level alkohol yang diijinkan di dalam produk minuman dan jus. Legislasi GSM juga berupa manual tentang : pemeriksaan terhadap RPH dan peternakan, pemeriksaan (inspeksi) daging pada checkpoint di perbatasan, pemeriksaan pada asosiasi muslim dan inspeksi daging pada toko toko yang menjual daging (butcheries). Legislasi GSM juga mengeluarkan persyaratan tentang importasi daging berupa persyaratan bagi RPH yang melakukan ekspor serta lembaga sertifikasinya berdasarkan keputusan 4/3/1982-4-3, persyaratan dan prosedur untuk akreditasi lembaga Islam yang terlibat dalam urusan sertifikasi halal berdasarkan keputusan GSM/32. Fungsi GSM selain membuat aturan juga mengatur dan mencegah munculnya permasalahan halal dengan menetapkan antara lain : a. Pengaturan permasalahan Pork dan Lard melalui laporan wajib bebas “pork and pork derivatives”. b. Jika mengandung gelatin maka gelatin harus berasal dari hewan yang halal untuk muslim c. Mengeluarkan daftar RPH yang sudah diakreditasi beserta organisasi Islam d. Memberikan otorisasi kepada kedutaan UEA di berbagai negara untuk memonitor proses kehalalan Negara Uni Emirat Arab memiliki “Food Law” Nomor 2 tahun 2008 untuk pangan yang beredar di Uni Emirat Arab. Food Law dikeluarkan oleh Abu Dhabi Food Control Authority (ADFCA). Food Law juga mengatur hal terkait halal pada pasal 8 ayat 2 dan pasal 16 ayat 3. 90B.3. Kegiatan Inspeksi Kegiatan Inspeksi yang dilakukan terdiri atas ketersediaan daging dan proses penyembelihannya berdasarkan standar GSO 993/1999. Inspeksi juga dilakukan untuk memantau produk pangan yang beredar di Arab Saudi dan Negara Teluk lainnya berdasarkan standar GSO 2055/2010 yaitu Guideline for Halal Food Certification Bodies and their Accreditation Requirements. Tidak ada lembaga sertifikasi halal di Arab Saudi. Negara ini menerapkan sistem akreditas sesuai yang dengan standar GSO 2055/2010, Guideline for Halal Food Certification Bodies and their Accreditation Requirements untuk lembaga sertifikasi yang akan memasukkan produknya ke dalam negara tersebut. Inspeksi yang dilakukan di Negara UEA adalah inspeksi terhadap pangan impor berdasarkan kategori kanal versus kriteria produk.Inspeksi yang dilakukan di Arab Saudi dilakukan oleh regulator yaitu Arab Saudi Food and Drug Authorithy sementara di negara UEA dilakukan oleh Abu Dhabi Food Control Authority. 29 B.4. Manajemen Pengawasan Pengawasan terhadap masuknya produk impor ke wilayah Arab Saudi dan Negara-negara Teluk diatur oleh masing-masing Negara yang tergabung dalam GCC. Gulf Cooperation Council telah melakukan kesepakatan untuk menerapkan single market. Untuk Arab Saudi pengontrolan produk yang masuk ke Negara tersebut dikelola oleh Saudi Food and Drug Authority, termasuk monitor rumah potong hewan, cara pemotongan hewan. UEA sebagai salah satu Negara anggota Teluk juga memiliki mekanisme pengawasan yang relatif sama. Mekanisme pengontrolan produk pangan yang beredar di UEA dilakukan oleh ADFCA (Abu Dhabi Food Control Authority) . Produk pangan yang beredar di UEA bisa merupakan produk lokal atau impor. Tempat pengecekan produk impor dilakukan pada tempat yang berbeda dengan pengontrolan produk lokal Setiap produk pangan yang akan masuk ke UEA, menggunakan bahan tambahan yang mengandung asal hewan harus memiliki sertifikat halal dari lembaga sertifikasi halal yang telah disetujui oleh UEA. Sementara untuk produk yang dibuat secara lokal biasanya mengikuti prosedur yang sesuai dengan aturan Islam dan regulasi yang ditetapkan oleh GSM dan otoritas lokal.(Samia A.,et al ,20) Salah satu aturan yang digunakan oleh Abu Dhabi Food Control Authority (ADFCA) untuk mengawasi makanan dan bahan pangan yang beredar di pasaran di Negara UEA adalah Food Importer Guide dalam bentuk code of practice. Panduan tersebut didasari oleh konsep keamanan pangan yang mengintegrasikan konsep halal. Alur masuk produk impor mengikuti kanal yang tersedia berdasarkan kriteria produk seperti yang terlihat pada Tabel 10. Pada bab 2 panduan tersebut dinyatakan dokumen dan sertifikat yang diperlukan untuk pangan impor. Sertifikat halal diperlukan untuk daging, unggas dan produk olahannya. Produk olahan yang berasal dari hewan termasuk susu juga memerlukan sertifikat halal. Sertifikat halal harus berasal dari lembaga Islam yang telah diakui. Bab 9 panduan tersebut mengatakan adanya pasal tentang penahanan (detention) dan penolakan terhadap pengiriman produk impor, termasuk kasus halal. Tabel 10. Matriks inspeksi pangan impor berdasarkan kriteria seleksi vs tipe kanal Kriteria Seleksi Pangan Resiko Tinggi Pangan Resiko Menengah Pangan Resiko Rendah Kanal Merah 80-100 % 1 5 - 2 5 % 5 - 1 0 % Kanal Kuning 0 - 1 0 % 1 5 - 2 5 % 0 - 5 % Kanal Hijau 0 - 1 0 % 50-70% 85-90% Sumber : Food Importer guide,2008 Saat ini negara-negara Teluk sedang dalam proses untuk memberlakukan mandatori Authorised Halal stamp untuk semua daging impor yang akan masuk ke kelompok negara tersebut. 30 -B.5. Struktur Pembiayaan Mekanisme pembiayaan sepenuhnya dikelola oleh pemerintah baik Arab Saudi atau negara-negara Teluk. Sejak tahun 2003 GCC menetapkan biaya masuk ke negara-negara Teluk yang disebut Unified Custom Law & Single Custom Tariff. Biaya masuk tersebut ditetapkan sebesar 5 persen untuk semua produk pangan olahan yang masuk ke wilayah GCC. Sementara sebelum tahun 2003, UEA, pada tahun 1998 telah menerapkan biaya masuk sebesar 1 persen untuk semua produk impor. Biaya ini terpisah dari biaya sebesar 5 persen tersebut. B.6. Pelayanan Laboratorium Untuk produk daging dan produk pangan lainnya yang masuk ke Arab Saudi dilakukan pengujian laboratorium pada setiap pengapalan , walaupun ekportir menyertakan semua dokumen yang diperlukan. Untuk uji identifikasi babi secara rutin dilakukan pada produk daging dan produk yang mengandung daging. Semua daging dan produk yang mengandung daging yang salah satu komposisinya mengandung bahan rekayasa genetik tidak diperbolehkan untuk masuk ke Negara Arab Saudi. Uni Emirat Arab menetapkan bahwa uji laboratorium menjadi suatu keharusan untuk pengiriman awal produk (co sample) masuk ke negara tersebut. Pengiriman selanjutnya dilakukan sampling secara random atau acak. B.7. Edukasi, Informasi dan Komunikasi Baik Arab Saudi dan Negara-negara Teluk memiliki situs jaringan yang dikelola oleh GCC untuk mengkomunikasikan kebijakan dan aturan bagi pihak yang berkepentingan. C. AUSTRALIA C.1. Legislasi Halal Australia adalah negara pengekspor daging terbesar di dunia dan merupakan negara pelopor produksi halal di dunia dimana pemerintah ikut berperan. Aturan Halal secara legal ditujukan untuk tujuan ekspor ke negaranegara yang mayoritas muslim.Pemerintah Australia sangat peduli dengan pelaksanaan halal dan memiliki kepentingan untuk bekerjasama dengan komunitas muslim di Australia dalam rangka bisnis halal. Lembaga resmi pemerintah yang turut berperan dalam industry daging dan susu di negara tersebut adalah Australian Quarantine and Inspection Service (AQIS) berada di bawah Department Agriculture, Fisheries,and Forestry (DAFF) . 31 AQIS Meat Notice 2009/08 adalah panduan untuk persiapan, identifikasi, penyimpanan dan sertifikasi untuk ekspor daging (red meat) dan produk olahannya. Panduan ini berada di dibawah Export Control (Meat and Meat Product) Order (ECMMPO’s) Orders Schedule 1 Sub –clause 31.(b) yang efektif sejak Juli 2005. Ruang lingkup dari Meat Notice ini juga untuk semua perusahaan ekspor yang teregistrasi yang memproduksi, memproses dan atau memiliki gudang penyimpanan daging halal dalam rangka kepentingan ekspor. Meat Motice juga berlaku untuk organisasi Islam yang melakukan supervisi dan sertifikasi halal untuk daging yang akan di ekspor. Aktifitas ini berfungsi mengendalikan setiap perusahaan (RPH) untuk memiliki prosedur yang terdokumentasi . Selain itu AQIS melakukan perjanjian dengan lembaga sertifikasi halal dan juga perusahaan yang akan melakukan ekspor daging halal. Aturan lain yang terkait penyedian daging dan produk olahan daging untuk keperluan ekspor terdapat pada Approved Arrangements (AA) AA merupakan panduan bagi semua perusahaan yang teregistrasi untuk memenuhi aturan seperti Good Hygienic Practices, Keamanan Pangan, Wholesomeness dan persyaratan negara pengimpor.Lembaga sertifikasi halal yang akan berperan untuk memeriksa persyaratan negara pengimpor terkait sertifikasi halal. Kegiatan Ekspor daging dari Australia ke berbagai negara merupakan kegiatan G to G (government to government). Sehingga setiap keputusan atau kebijakan negara pengimpor harus disampaikan ke lembaga sertifikasi halal di Australia melalui pemerintah Australia. Insfrastruktur yang ada di AQIS untuk kegiatan ekspor daging halal terdiri dari 3 elemen yaitu seorang dokter hewan pemerintah (veteriner government), Quality Assurance dan lembaga sertifikasi halal. Semua keputusan terkait dengan kehalalan atau persyaratan tertentu dari negara pengimpor diputuskan oleh lembaga sertifikasi atau organisasi Islam yang melakukan sertifikasi. Pemerintah Australia tidak campur tangan dalam area syariah ini. Pemerintah Australia melakukan audit ke 3 elemen yang terkait dengan kegiatan ekspor daging halal setiap 6 bulan sekali. Audit yang dilakukan oleh pemerintah terhadap 3 unsur atau elemen tersebut dilakukan secara terpisah. Sementara lembaga sertifikasi melakukan pengecekan ke RPH minimum 3 bulan sekali atau tergantung masalah yang timbul di RPH. Pemerintah Australia memiliki program Australian Government Authorised Halal Program (AGAHP) yang merupakan bagian dari aktifitas AQIS. Program tersebut semacam petunjuk untuk melakukan persiapan, identifikasi, penyimpanan dan sertifikasi untuk ekspor halal daging dan produk olahan daging. C.2. Manajemen Pengawasan Pengawasan untuk kehalalan di Australia tidak dilakukan terhadap peredaran makanan halal di dalam negeri tersebut. Aturan halal hanya untuk kepentingan ekspor ke negara-negara muslim. Pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah adalah memperbaharui dan menyetujui lembaga sertifikasi halal dalam bentuk Approved Islamic Organisation (AIO) untuk kepentingan ekspor daging halal. 32 Mekanisme yang terjadi adalah setiap permintaan atau pesanan atas daging halal memerlukan AIO yang terdaftar. AIO bertanggungjawab terhadap supervisi keagamaan, ketentuan sertifikasi untuk produksi daging halal yang ditujukan ekspor . AIO adalah organisasi yang disetujui oleh sekretaris atau delegasi yang sesuai dengan persyaratan rinci dalam ECMMPOs berdasarkan kepentingan pengawasan dan sertifikasi daging halal untuk ekspor. Daftar AIO dipertahankan dan dipublikasi secara periodik oleh AQIS. Setiap AIO memiliki otoritas untuk menyeleksi para pejagal muslim untuk bekerja di perusahaan yang akan melakukan ekspor daging halal. Pejagal muslim merupakan perpanjangtanganan lembaga sertfikasi halal yang dibayar oleh perusahaan yang menyediakan daging halal untuk keperluan ekspor. Pengawasan lain yang dilakukan oleh pemerintah adalah penggunaan halal stamp sebagai item yang terkontrol dan bertanggungjawab. Sertifikat halal yang dikeluarkan oleh AIO diartikan sebagai bagian dari dokumen negara selain dokumen lainnya. Dokumen tersebut dilampirkan dan mengiringi setiap produk yang diekspor ke negara tujuan. C.3. Kegiatan Inspeksi Ada 3 (tiga) lembaga yang terlibat dalam urusan halal di Australia terkait dengan penyediaan daging dan produk olahan daging untuk kepentingan ekspor. Pertama adalah perusahaan yang melakukan kegiatan penyedian daging dan produk olahan daging halal, kedua adalah Approved Islamic Organisation (AIO) yaitu lembaga sertifikasi halal yang disetujui oleh pemerintah Australia berdasarkan persetujuan dari negara tujuan ekspor, dan ketiga adalah pemerintah yang berada di bawah Department Agriculture Fisheries dan Forestry (DAFF) atau tepatnya AQIS. Perusahaan yang akan memproduksi daging halal atau produk olahan daging halal harus memiliki izin resmi dari pemerintah dan memenuhi persyaratan tambahan yaitu sebagaimana yang disampaikan dalam Approved Arrangement . Daging halal yang disiapkan harus diidentifikasi melalui pemeriksaan/inspeksi dengan keberadaan halal stamp resmi dari pemerintah pada kemasan produk tersebut. Peran AIO memastikan bahwa daging atau produk olahan daging yang akan mendapatkan halal stamp telah memenuhi persyaran halal melalui pengendalian yang dilakukan melalui kegiatan inspeksi .Sedangkan AQIS melakukan dokumentasi dari kedua belah pihak yaitu dengan AIO dan perusahaan dalam hal persyaratan yang terkait AA. AQIS melakukan audit/inspeksi dan memverifikasi kesesuaian perusahaan terhadap semua aspek non religious dalam proses produksi daging halal. AQIS bersama AIO mengeluarkan dokumen penjelasan tentang kehalalan produk untuk tujuan ekspor. 33 C.4. Struktur Organisasi Organisasi yang berperan untuk aktifitas halal di Australia ada 3 lembaga/organisasi yaitu: (1) Perusahaan yang sudah di setujui untuk menyediakan produk atau daging halal dan mendapatkan persetujuan sebagaimana persyaratan yang terdapat dalam Approved Arrangements (2) Lembaga Sertifikasi yang disetujui atau Approved Islamic Organisation (AIO) juga menjadi bagian dari struktur AQIS dan (3) pemerintah dalam hal ini AQIS (dokter hewan pemerintah dan Quality Assurance). C.5. Prosesur Audit/Pemeriksaan Tiap organisasi atau lembaga yang berperan pada aktifitas halal di Australia memiliki prosedur kerja sebagai berikut : 1.Lembaga Sertifikasi Halal atau dalam istilah yang disampaikan diatas adalah Approved Islamic Organisation (AIO) adalah Islamic Organisation (IO) yang terpilih berdasarkan persyaratan detail dalam Export Control (Meat and Meat Products Orders 2005 untuk kepentingan pengawasan produksi dan sertifikasi daging halal. IO tersebut juga harus diakui oleh mesjid lokal setempat , diakui oleh otoritas negara pengimpor, memberikan data yang detail terhadap pelaksanaan pelatihan serta pengawasan terhadap pejagal muslim. Kriteria lainnya adalah menghasilkan pejagal muslim yang terlatih (ditandai dengan kartu identitas). Prosedur audit yang dilakukan oleh AIO dengan melakukan audit pengawasan terhadap perusahaan secara regular minimal setiap 3 (tiga) bulan sekali untuk fasilitas pemotongan dan minimal 6 (enam) bulan sekali untuk fasilitas non slaughtering seperti misalnya ruangan untuk deboning yang terpisah , pendingin dan alat transportasi. Lembaga sertifikasi halal melakukan prosedur audit dan melaporkan hasil audit ke AQIS sebagaimana format laporan yang telah ditetapkan. Lembaga sertifikasi melakukan audit ke perusahaan untuk memastikan apakah persyaratan halal dan produk halal yang dihasilkan cukup memuaskan. 2.Perusahaan melakukan prosedur penjaminan produk halal dengan cara memastikan dan bertanggungjawab terhadap karkas hewan yang disembelih berdasarkan syariah Islam. Kondisi tersebut dibuktikan dengan halal stamp setelah memenuhi persyaratan halal. Untuk memenuhi tanggung jawab tersebut maka perusahaan melakukan aktifitas seperti monitor, verifikasi dan tindakan koreksi untuk setiap aktifitas. Melakukan penandaan jika adanya pelanggaran atau ketidaksesuaian terhadap produk halal. Perusahaan melakukan aktifitas rutin yaitu audit halal secara internal terhadap prosedur halal yang diterapkan di perusahaan melalui kegiatan operasi, rekaman, dan kendali terhadap produk halal dan non halal. Perusahaan juga harus memastikan bahwa terjadi pemisahan total antara produk halal dan non halal . 3.AQIS melakukan audit dan verifikasi berdasarkan prosedur National Establishment Verification System (NEVS) untuk penyembelihan, identifikasi, proses, penyimpanan, pemisahan dan sertifikasi halal. AQIS akan mengaudit AIO untuk menjamin bahwa pekerjaannya berdasarkan kesepakatan yang telah disetujui. 34 C.6. Struktur Biaya Tidak ada data terkait dengan proses pembiayaan sertifikasi halal. Pemerintah tidak ikut campur tangan dalam masalah pembiayaan terkait sertifikasi halal. Terkait struktur biaya sertifikasi halal, maka pihak yang terlibat hanya antara perusahaan dan lembaga sertifikasi halal. C.7. Pelayanan Laboratorium Sejauh ini tidak ada prosedur pemeriksaan laboratorium yang terkait dengan kegiatan halal. Di Australia, untuk fasilitas RPH yang melakukan kegiatan ekspor daging halal, tidak diperkenankan untuk menyembelih babi pada RPH tersebut. C.8. Edukasi,Informasi,Komunikasi Training atau edukasi terhadap kompentensi dari seorang pejagal muslim menjadi tanggungjawab dari AIO. AIO juga berperan dalam berkomunikasi dan memberikan informasi kepada delegasi suatu negara yang melakukan inspeksi atau kunjungan ke RPH. Perusahaan atau RPH dengan berkonsultasi dengan AIO memastikan bahwa training aspek non religious terhadap tenaga muslim (selaku pejagal muslim) juga dilakukan. Perusahaan juga memastikan bahwa semua pekerja memahami aturan halal yang diimplementasikan di perusahaan tersebut. D. SINGAPURA D.1. Legislasi Halal Legislasi halal di Singapura berada dalam payung hukum Administration of Muslim Law Act of Singapore (AMLA) 88A (1) dan AMLA 88A (5). Jaminan kehalalan di Singapura kemudian dilakukan dengan aktifitas sertifikasi yang berada di Majelis Ugama Islam sejak tahun 1972. Majelis Ugama Islam (MUIS) berada di bawah kementerian Pemuda. Adapun yang bertanggungjawab terhadap pelaksanaan halal di Singapura adalah mentri yang beragama Islam dimanapun posisinya (tidak hanya sebagai Menteri Kepemudaan. D.2. Manajemen Pengawasan Manajemen pengawasan Halal di Singapura dilakukan oleh Majelis Ugama Islam sebagai bagian dari Halal Certification. Singapura juga menerapkan self halal declaration bagi pengusaha muslim untuk mengklaim bahwa produknya diproduksi sesuai dengan syariah Islam. Ketentuan ini hanya berlaku bagi 35 pengusaha yang beragama Islam. Logo resmi halal tidak boleh digunakan pada kemasan produk yang tidak memiliki sertifikat halal. Pelanggaran terhadap penyalahgunaan logo halal atau klaim halal akan terkena sangsi yang cukup keras seperti yang tertulis pada AMLA 8 (1) . Pengawasan dilakukan oleh kementerian pemuda Singapura atau mentri yang beragama Islam yang ada di pemerintahan. Untuk setiap produk pangan yang akan masuk ke Singapura, harus melalui Agri Food & Veterinary Authority of Singapore atau AVA. Masalah kehalalan belum masuk kedalam dokumen atau pun persyaratan yang dikeluarkan oleh AVA terhadap negara negara yang akan memasukkan produknya ke Singapura. D.3. Kegiatan Inspeksi Sertifikasi Halal dilakukan oleh MUIS (Majelis Ugama Islam) secara formal sejak tahun 1978 sepuluh tahun setelah MUIS ditetapkan. Kegiatan sertifikasi dilakukan melalui aktifitas audit. Skema sertifikasi yang dilakukan di Majelis Ugama Islam (MUIS) terhadap fasilitas tempat makan seperti kegiatan sertifikasi restaurant, halal corner, konfeksionari, bakeri, kantin sekolah, food court dan “temporary stall “, proses produk pangan dan non pangan yang seluruh proses atau sebagian proses dilakukan di Singapura, katering untuk rumah sakit, restauran yang berada di airport, rumah potong ayam, fasilitas penyimpanan (gudang dan gudang simpan dingin). skema sertifikasi juga dilakukan juga pada kegiatan “endorsement”/pengesahan terhadap produk impor yang telah memiliki Sertifikat halal dari lembaga sertifikasi yang diakui oleh MUIS. Inspeksi yang dilakukan oleh pemerintah diwakili oleh AVA. Dalam pelaksanaan inspeksi, belum terlihat ada masalah kehalalan terkait dengan kegiatan atau pun persyaratan yang ditetapkan oleh AVA. D.4. Struktur Organisasi Struktur Organisasi MUIS merupakan bagian dari struktur yang ada dalam pemerintahan, digambarkan seperti terlihat pada gambar 8. D.5. Prosedur Audit Prosedur yang ditetapkan oleh Majelis Ugama Islam untuk memperoleh sertifikat halal adalah sebagai berikut : a) Sebelum mengajukan sertifikasi halal perusahaan harus memastikan bahwa perusahaan telah sesuai atau memenuhi persyaratan umum sertifikasi yang telah ditetapkan oleh MUIS seperti, (i) Persyaratan halal, (ii) persyaratan system dalam hal ini adalah Singapore MUIS Halal Quality Management System (Hal MQ) sebagai suatu persyaratan baru sejak Maret 2008, (iii) Persyaratan pengaturan staf. 36 Jaringan internasional Kantor Mufti Pengembangan kebijakan Pendidikan generasi muda Keterlibatan generasi muda Kebijakan dan perencanaan madrasah Madrasah Pengembang an kurikulum Akademi Muis Pusat harmoni Keterlibatan masyarakat Komunikasi korporasi Komunikasi strategis Keuangan Sertifikasi Halal Layanan haji Zakat & wakaf Kantor Perencanaan masjid Kelompok peningkatan masjid Pembayaran dan pemberdayaan Gambar 7. Struktur Organisasi Majelis Ugama Islam Singapura b) Mengajukan aplikasi baik yang baru atau pun perpanjangan via Muis eHalal System (MeS), untuk aplikasi baru, maka pembayaran aplikasi menjadi suatu keharusan. Audit atau inspeksi akan dilakukan ke lokasi dalam waktu 7 hari (untuk aplikasi ekspress) dan dan dalam waktu 14 hari kerja untuk aplikasi normal. c) Selama proses persetujuan, sertifikat halal dapat diambil langsung ke MUIS bersama dengan persetujuan notifikasi dan biaya sertifikasi. MUIS juga memperlakukan audit sidak atau “unannouncement audit”. D.6. Struktur Biaya Biaya sertifikasi yang ditetapkan oleh MUIS adalah seperti pada Tabel 11. Perencanaan perusahaan Sistem informasi Sumber daya manusia Keunggulan organisasi 37 Tabel 11. Pembiayaan Sertifikasi di Singapore (sumber Website MUIS) Proses Norma l Audit dilakukan dalam waktu 14 hari kerja $ 100/aplikas i Proses Cepat/ekpress Audit dilakukan dalam waktu 7 hari kerja $ 175/aplikas i Skema “eating establishment” Restauran (<185.5 m2) $ 480/tahun Restauran (> 185.5 m2) $ 640/tahun Hawker $ 320/tahun Snack Bar & Halal Corner $480/tahun School Canteen Stall $ 50/tahun Temporary Stall $ 65/tahun Biaya tahunan/Annual Fee $ 500/tahun Produk per jenis/ merek $ 25/tahun Katering/Fasilitas dapur (<185.5 m2) $ 630/tahun Katering/fasilitas dapur (> 185.5 m2) $ 670/tahun Biaya tahunan/Annual Fee $ 200/tahun Per halal label $ 0.01 Biaya tahunan/ Annual Fee $ 670/tahun Per pengapalan $ 1 2 0 Per karton/drum $ 0.25 Skema Produk Skema Katerin g Skema rumah potong Ayam Skema Gudang Skema pengesahan /(endorsement) D.7. Pelayanan Laboratorium Analisa Laboratorium menjadi bagian dari persyaratan sertifikasi halal. Analisa laboratorium digunakan untuk memastikan bahwa produk yang akan disertifikasi halal tidak mengandung bahan non halal. D.8. Edukasi,Informasi , Komunikasi Pelatihan baik secara internal dan eksternal dilakukan oleh MUIS. Standar MUIS dapat diperoleh melalui pembelian on line. MUIS telah mengimplementasikan Muis eHalal System (MeS) pada bulan Agustus 2006. MUIS meyakini kegiatan ini merupakan kegiatan yang pertama di dunia yang mengontrol dan mengatur keseluruhan aspek sertifikasi halal melalui situs jaringan yang dikelola oleh MUIS. E.EROPA E.1. Legislasi Halal Negara Uni Eropa menerapkan standar Ritual Slaughtering di Eropa per Januari 2013, yaitu EU Regulation No.1099/2009 berkaitan dengan ritual slaughtering . Aturan ini tidak hanya terkait dengan halal bagi muslim, tetapi juga terkait dengan kosher untuk yahudi. Negara yang ada dalam penelitian ini adalah Belanda dan Jerman. Pada 2 (dua) negara Eropa yang terlibat dalam 38 penelitian ini, awalnya pemerintah tidak ikut terlibat dalam urusan pengaturan halal baik untuk urusan ekspor atau pun peredaran pangan yang ada di dalam negara tersebut. Impor pangan dari negara lain selama tidak membahayakan kesehatan dan membawa penyakit yang akan mengancam pertanian negara tersebut maka bukan aturan penting bagi pemerintah. Namun ketika salah satu EU Regulation akan diberlakukan, maka secara otomatis pemerintah pada masing-masing negara akan terlibat. Untuk aturan penyembelihan, Belanda mengaturnya dalam aturan “besluit ritueel slachten”. atau Ritual Slaughter. Aturan ini tidak hanya untuk konsumen muslim tetapi juga untuk agama Yahudi. Awalnya semua aturan dan kebutuhan untuk konsumen muslim diserahkan pada masing-masing individu. Karenanya di Eropa komunitas muslim dari berbagai negara seperti Turki, Timur Tengah berinisiatif untuk mendapatkan makanan halal sebagai suatu hal yang mendesak yang harus dipenuhi. Berdasarkan kondisi inilah lembaga sertifikasi halal muncul. Keberadaan pangan halal di Eropa merupakan inisiatif dari masing-masing komunitas muslim. Awalnya komunitas muslim mempercayakan seorang tokoh yang dianggap kompeten untuk mewakili mereka dalam memastikan kehalalan suatu produk terutama daging. Kegiatan ini yang disebut sebagai self certifier , informal certifier dan do-it yourself certificates. Kemudian kegiatan ini ada yang berkembang menjadi lembaga sertifikasi halal karena ada kepentingan atau permintaan halal dari negara muslim di luar Eropa. Eksistensi lembaga sertifikasi halal tergantung dari pengakuan negaranegara muslim yang akan mengimpor pangan dari negara tersebut. Selain EU Regulation No 1099/2009 tentang ritual slaughtering, Uni Eropa sedang mengembangkan Standar Pangan Halal Eropa yaitu European Standard on Halal Food-Requirements on the Food Chain. E.2. Manajemen Pengawasan Untuk semua negara Eropa sampai dengan waktu penelitian ini dilaksanakan belum ada pengawasan terhadap halal yang memiliki kekuatan hukum. Di Eropa boleh dikatakan bahwa aturan halal berjalan tanpa regulasi dan pengawasan dari pemerintah. Reliable Certificate kembali kepada masing-masing personel yang menjalankannya. E.3. Kegiatan Inspeksi Karena belum ada peran pemerintah dalam urusan halal, maka kegiatan inspeksi yang kami paparkan disini adalah kegiatan inspeksi/audit yang dilakukan oleh lembaga sertifikasi halal yang ada di Belanda dan di Jerman. Lembaga sertifikasi yang dipilih adalah lembaga yang memiliki kredibilitas yang tinggi dan diterima di mayoritas negara negara muslim Kegiatan audit yang dilakukan oleh organisasi /lembaga sertifikasi halal di Belanda dilakukan oleh beberapa lembaga. Lembaga yang kami ambil dalam 39 penelitian ini adalah : (i) HFFIA dan (ii) Halal Correct serta satu lembaga dari Jerman yaitu (iii) Halal Control. Kegiatan inspeksi/audit yang dilakukan berdasarkan setiap lembaga sertifikasi tersebut yang lebih detail dijelaskan pada hal berikut ini. E.4. Struktur Organisasi E.4.1. HFFIA terdiri dari struktur organisasi yayasan dan lembaga auditing/inspeksi. Majlis ALIFTA Majelis Fatwa Yayasan Halal Feed and Food Otoritas Inspeksi -HFF Koordinasi Majelis Majelis Hubungan Masyarakat Berbagai Majelis Gambar 8. Organisasi Yayasan HFF Direktur Inspeksi dan Pengawasan Penelitian dan Sertifikasi Humas dan Pendidikan Gambar 9. Organisasi Lembaga HFFIA (Halal Feed and Food Inspection Authority) Dari ketiga lembaga sertifikasi yang ada dalam penelitian ini menunjukkan bahwa adanya pemisahan antara personal yang melakukan sertifikasi dan yang melakukan keputusan pengambilan fatwa. Hal ini merupakan hal yang dipersyaratkan untuk memenuhi kriteria lembaga yang disetujui oleh MUI dan tercatat pada daftar lembaga yang disetujui oleh MUI. 40 E.4.2. Halal Correct, Belanda Yayasan Total Quality Halal Correct Certification Laboratorium dan PenelitianScientanova –Penelitian Pangan Fatwa dan Penelitian-Dewan Islami untuk Fatwa dan Penelitian Audit Halal Correct Audit Halal Correct Manajemen Halal Correct Departmen Inspeksi Halal-Daging dan produk olahan daging Departemen Inspeksi Halal –Makanan Supleman Humas dan Penelitian dan Pengembangan Gambar 10. Organisasi Lembaga Sertifikasi Halal Correct E.4.2. Halal Control, Jerman Dewan Direktur Manajemen Eksekutif Perusahaan Panel Sertifikasi: Kesesuaian-Fatwa Departeme n Teknis Manajemen Kualitas Unit Standarisasi Komunikas i Akuntan Pengelolaan SDM Gambar 11. Organisasi Lembaga Sertifikasi Halal Control. E.5. Prosedur Audit Prosedur audit yang dilakukan oleh ketiga lembaga sertifikasi yang dipilih dalam penelitian ini secara umum adalah sama. Prosedur audit secara umum meliputi tahapan pendaftaran dan persetujuan aqad, proses screening terhadap bahan baku, tambahan dan penolong yang digunakan apakah sesuai dengan persayaratan halal. Sebelum terjadi proses aqad, lembaga sertifikasi melakukan 41 komunikasi via telepon untuk melihat prospek perusahaan yang akan diaudit, apakah perusahaan memungkinkan untuk dilakukan proses sertifikasi halal. Tahapan yang sangat awal diperlukan untuk mendapatkan informasi bahwa perusahaan yang akan diaudit “free from pork”. Tahapan ini dilakukan sebelum transaksi dilakukan. Setelah tahapan tersebut, dilakukan tahapan evaluasi dokumen yang disebut juga sebagai tahapan screening. Pada tahap ini perusahaan diminta untuk mengisi formulir dan semua data terkait dengan produk dan fasilitas yang ada. Tahapan screening ini dilakukan untuk dua (2) hal yaitu: (1) melihat kemungkinan adanya bahan yang mengandung babi ada pada material yang digunakan, (2) bahan yang akan digunakan dalam produk yang akan disertifikasi halal. Dilihat pula kesesuaian (compliance) terhadap kebijakan halal negara lainnya. Pada tahapan screening ini dilakukan penetapan apakah perusahaan memungkinkan untuk dilanjutkan atau tidak proses sertifikasinya. Proses selanjutnya adalah audit lapang yang bisa juga dilakukan dalam dua tahapan pre audit dan audit. Pemeriksaan kembali laporan audit sebelum masuk ke tahapan fatwa dan pengeluaran sertifikat halal. Kesamaan yang tidak bisa ditawar dari ketiga lembaga sertifikasi halal tersebut adalah harus memenuhi kondisi “pork free facilities”. Tidak ada kompromi untuk aturan tersebut. Ketiga lembaga sertifikasi halal tersebut sudah diakui oleh LP POM MUI. Sehingga tidak ada disparitas yang penting dalam pelaksanaan halal dengan prinsip yang diterapkan oleh LP POMMUI. Jika ada perbedaan dengan LP POM , maka perbedaan itu tidak merupakan perbedaan yang penting. Ketiga lembaga tersebut juga meminta kepada klien untuk menerapkan system semacam jaminan kehalalan, yang di Indonesia dinamakan Sistem Jaminan Halal (SJH). Di HFFIA system tersebut dinamakan Halal Quality Assurance System, sementara di Halal Correct dan Halal Control meminta perusahaan mengadopsi penuh SJH yang dikeluarkan oleh LP POM MUI dengan mengunduh aturan tersebut dari website LP POM MUI. E.6. Struktur Biaya Biaya sertifikasi halal yang diajukan oleh lembaga sertifikasi halal di Eropa beragam dari 3000 Euro hingga 12000 Euro pertahunnya tergantung besar dan kompleksitas dari industrinya. Kontrak sertifikasi biasanya dilakukan pertiga tahun, dengan pembayaran setiap tahunnya. HFFIA Belanda misalnya untuk biaya sertifikasi pertahunnya sekitar 5000 Euro pertahunnya. Biaya tambahan sertifikasi yang biasanya diterapkan yaitu per kg produk yang dianggap sebagian lembaga sertifikasi sebagai “blood money”. Sementara lembaga sertifikasi halal lainnya seperti Halal Correct, Belanda menerapkan biaya sertifikasi pertahunnya sekitar 3000 hingga 5000 Euro pertahunnya. Sementara Halal Control, Jerman memiliki struktur biaya antara 3000 Euro hingga 12000 Euro. Namun dalam perjalananya jika ada penambahan produk baru perusahaan harus membayar 250 Euro per produknya. Tetapi sampai jumlah tertentu ketika perusahaan sudah cukup banyak membayar sejumlah biaya maka pada saat perpanjangan Halal control akan mengembalikan biaya yang sudah dikeluarkan tersebut dalam bentuk potongan hingga 50 persen. Namun jumlah biaya yang diterima oleh lembaga sebenarnya hanya 50 persen karena 42 setengahnya merupakan pajak. Intinya lembaga sertifikasi seperti Halal Control menetapkan struktur biaya dengan proporsional karena tidak menghendaki kondisi yang akhirnya cukup memberatkan konsumen muslim. E.7. Pelayanan Laboratorium Dari ke 4 lembaga sertifikasi halal tersebut , tidak ada layanan laboratorium sebagai bagian dari prosedur audit yang dilakukan. E.8. Edukasi,Informasi,Komunikasi Halal Informasi dan edukasi di Belanda dan di Jerman sudah mulai tumbuh dan berkembang. Masing –masing lembaga sertifikasi dalam penelitian ini melakukan kegiatan edukasi atau pun komunikasi serta informasi yang terkait dengan peningkatan kesadaran halal . Ada kegiatan yang murni penyadaran halal bagi konsumen muslim dan tidak terkait dengan sertifikasi seperti aktifitas yang bernama “HALAL POLITIE” . Kegiatan ini sangat menarik dan punya afiliasi dengan HFFIA. Kegiatan ini disiarkan melalui internet berupa TV Streaming bernama HALAL TV dan Facebook “Halal Politie”. Aktifitas yang dilakukan oleh Halal Politie adalah memberikan pengetahuan tentang halal dan haram suatu produk serta menjawab pertanyaan konsumen tentang kondisi suatu produk. Kegiatan Halal Politie didanai oleh dana zakat. Salah satu target dari program ini adalah generasi muda yang merupakan bagian terbesar dari generasi gadget. Salah satu kegiatan yang ada di Halal Politie adalah investigasi ke restauran atau tempat produksi yang mengklaim halal. Investigasi ini dilakukan berdasarkan dua hal pertama atas permintaan pengusaha sendiri dan kedua berdasarkan permintaan dari para follower. Investigasi yang dilakukan berdasarkan kriteria yang telah dibuat. Untuk restauran atau pengusaha yang telah memproduksi halal sesuai dengan persyaratan akan mendapatkan peringkat tertentu serta di informasikan dan disebarkan via internet. Kegiatan investigasi ini dapat dijadikan panduan bagi konsumen muslim untuk mencari restauran halal yang tepat. Definisi restauran halal yang dikembangkan adalah restauran yang tidak sekedar menjual makanan dan minuman halal, tetapi juga tidak menjual minuman keras dan bahkan rokok. Restauran atau tempat produksi yang telah dikunjungi oleh Halal politie dapat diberi tanda approved atau suspected. Semua penilaian ini akhirnya diberikan pada konsumen untuk mensikapinya. Pengenalan halal yang dilakukan oleh Halal Politie tidak terbatas pada produk tetapi juga gaya hidup halal. Berikut tanda atau sticker yang diberikan oleh Halal Politie terhadap objek yang telah dikunjungi. Halal Politie juga melakukan pengecekan terhdap produk yang dikunjungi dengan melakukan test cepat untuk pengecekan terhadap pemalsuan daging. Rapid test yang menjadi perlengkapan yang dibawa oleh Halal politie merupakan hasil kerjasama dengan produsen rapid test tersebut. Beberapa gambar dibawah menunjukkan sticker yang diberikan kepada perusahaan dan juga rapid test yang menjadi bagian dari perlengkapan investigasi 43 Gambar 12. Alat yang digunakan dalam kegiatan halal politie Adapun kegiatan sosialiasasi halal yang dilakukan oleh lembaga sertifikasi halal di Jerman, Halal Control terkait dengan sertifikasi. Berbagi informasi antara ulama lembaga sertifikasi tersebut dengan para industriawan. Kegiatan ini sangat menarik dan merupakan kegiatan win win solution yang dilakukan dan diatur oleh lembaga sertifikasi. Kegiatan ini bebas biaya. Hal positif didapat oleh keduabelah pihak, pihak lembaga sertifikasi mendapatkan pengetahuan dan teknologi baru dari para industriawan, sehingga ilmu dan teknologi tersebut diketahui oleh para auditor lembaga tersebut. Sedangkan para industriawan atau para peneliti dari industri mendapatkan solusi hukum terkait dengan produk yang akan mereka produksi. Para industriawan sangat sadar akan pentingnya pengembangan produk mereka sesuai dengan aturan Islam. Banyak keuntungan yang didapat dari segi biaya dan waktu. Kegiatan ini merupakan kegiatan rutin yang dilakukan oleh Halal Control setiap bulannya.