3 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Buah Lindur (Bruguiera gymnorrhiza) Buah lindur (B. gymnorrhiza) adalah salah satu buah tumbuhan mangrove yang biasanya dikenal sebagai bakau daun besar. Buah lindur memiliki pohon yang kadang-kadang mencapai ketinggian 30 m. Pohon lindur memiliki akar papan dan lutut, melebar ke samping di bagian pangkal pohon. Kulit kayu memiliki lentisel, permukaannya halus hingga kasar, berwarna abu-abu tua sampai cokelat. Buah lindur berwarna hijau dengan kelopak bunga diujung buah (berwarna merah), buah berbentuk silinder memanjang 12-30 cm dengan diameter 1,5-2 cm. B. gymnorrhiza tersebar di daerah tropis Afrika Selatan dan Timur dan Madagaskar, ke Asia Tenggara dan Selatan (termasuk Indonesia dan negara di kawasan Malesia), sampai timur laut Australia, Mikronesia, Polinesia and kepulauan Ryukyu (Duke dan James 2006). Berikut ini adalah klasifikasi dan gambar buah lindur : Kingdom : Plantae Divisi : Magnoliophyta Kelas : Magnoliopsida Ordo : Myrtales Family : Rhizophoraceae Genus : Bruguiera Species : Bruguiera gymnorrhiza (L.) Lamk. Gambar 1 Buah lindur (B. gymnorrhiza) Sumber : Duke dan James 2006 4 Tumbuhan lindur memiliki daun yang umumnya berwarna hijau tua dan berbentuk elips. Daun memiliki panjang 8-22 cm dan lebar 5-8 cm. Ujung daun meruncing, berwarna hijau pada bagian atas dan hijau kekuningan pada bagian bawah dengan bercak-bercak hitam. Letak daun biasanya saling berhadapan dengan posisi menyilang. Batang dari tumbuhan ini umumnya berwarna abu-abu sampai hitam, memiliki lentisel yang besar dengan percabangan simpodial. Kulit kayu memiliki lentisel, permukaannya halus hingga kasar dengan warna abu-abu tua sampai coklat. Akar membentuk akar papan dan melebar kesamping tetapi juga memiliki sejumlah akar lutut. Morfologi dari tanaman lindur dapat dilihat pada Gambar 2. Daun Batang Akar Gambar 2 Morfologi tumbuhan lindur (B. gymnorrhiza). Sumber : Duke dan James (2006) Tumbuhan lindur juga memiliki bunga dan buah, bunga terletak diujung buah dengan kelopak berwarna merah muda hingga merah serta panjang bunga berkisar antara 1,5-3,5 cm. Buah berbentuk silinder (hipokotil), melingkar spiral dengan lebar 2-2,5 cm dan panjang 12-30 cm. Gambar 3 menunjukkan daun (a), bunga (b) dan buah (c). (a) (c) Gambar 3 Daun, bunga dan buah lindur. (b) 5 Sumber : Duke dan James (2006) Tanaman lindur mampu membantu menstabilkan tanah, melindungi pantai, dan sebagai habitat aneka fauna. Kayunya dapat digunakan sebagai kayu bakar dan untuk membuat arang. Pepagan (kulit batang) dimanfaatkan sebagai bahan penyamak kulit dan pengawet jala ikan yang baik karena mengandung tanin ratarata antara 28,5–32,2% (Glen 2005). Selain itu penduduk Solomon memanfaatkan papagan untuk menyembuhkan luka bakar. Di pulau-pulau kecil Indonesia digunakan untuk mengobati diare dan demam, sementara di Kamboja dimanfaatkan sebagai anti malaria (Duke dan James 2006). Penduduk di pulaupulau terpencil memanfatkan daun mudanya sebagai lalap atau sayuran. Bagian dalam hipokotil buah lindur dapat dimakan (manisan kandeka), dicampur dengan gula. Penduduk Indonesia bagian timur memanfaatkan buah lindur sebagai sumber pangan saat musim paceklik tiba (Glen 2005). 2.2 Pemeriksaan Anatomi dan Jaringan Tumbuhan Jaringan merupakan sekelompok sel yang mempunyai asal, struktur, dan fungsi yang sama (Nugroho et al. 2006). Ilmu yang mempelajari struktur internal tanaman disebut histologi tanaman. Histologi tumbuhan umumnya dikaji melalui teknik mikroskopis. Kajian objektif untuk mengidentifikasi histologi pada tanaman diukur dalam gambaran mikroskopis. Morfologi sel digambarkan dengan ukuran sel dan bentuk dan dengan ketebalan dinding sel (Guillemin et al. 2004). Metode umum untuk mempelajari jaringan diantaranya metode beku, metode seloidin, metode parafin, metode pananaman rangkap. Metode parafin banyak digunakan karena hampir semua matriks jaringan dapat dipotong baik bila menggunakan metode ini. Kelebihan metode parafin diantaranya irisan dapat jauh lebih tipis dibandingkan dengan menggunakan metode beku atau metode seloidin. Irisan-irisan yang bersifat seri dapat dikerjakan dengan mudah bila menggunakan metode ini dan prosesnya jauh lebih cepat dibandingkan dengan metode seloidin (Suntoro 1983). Metode pembuatan preparat terlebih dahulu dilakukan sebelum mempelajari hitologi tanaman. Metode pembuatan preparat dapat dibagi menjadi tiga macam yaitu preparat segar, preparat utuh (whole mount) dan preparat yang dilakukan dengan proses penanaman (embedding). Pembuatan preparat segar 6 dilakukan dengan pembuatan sayatan tipis melintang dan diletakkan pada gelas objek kemudian diwarnai. Pembuatan preparat utuh merupakan metode pembuatan preparat sampel secara utuh biasanya untuk tanaman dengan ukuran kecil. Tahapan untuk preparat ini terdiri atas fiksasi bertahap, penggunaan silol berseri, pewarnaan, inkubasi, dehidrasi dan perekatan ke gelas preparat kemudian dilakukan penutupan. Proses pembuatan preparat embedding terdiri atas gelatin embedding, parafin embedding, nitrocellulose embedding, double embedding, dan embedding pada plastik (Keirnan 1990, diacu dalam Kristiono 2009). 2.3 Pembuatan Preparat dengan Metode Parafin Proses pembuatan preparat dengan metode parafin terdiri dari beberapa tahap yaitu fiksasi, pencucian, dehidrasi, infiltrasi, embedding, pengirisan, penempelan, pewarnaan, dan penutupan. Tahap fiksasi dilakukan agar jaringan tidak membusuk dan untuk mempertahankan struktur jaringan. Formalinacetoalcohol digunakan sebagai bahan yang memberikan fiksasi sempurna yang dilanjutkan dengan pencucian dan dehidrasi. Proses pencucian dilakukan untuk menghilangkan reagen yang masih ada pada obyek. Cairan yang digunakan dalam proses pencucian ini tergantung pada reagen yang digunakan sebelumnya. Hampir semua larutan pengencer terutama yang mengandung chromic acid dapat dicuci dengan air, jika proses pencucian dengan air mengalir sulit dilakukan dapat dilakukan dengan air dalam jumlah besar dan dikerjakan berulang kali. Apabila air yang digunakan terlalu banyak mengandung udara, maka harus dilakukan proses penguapan dengan pemanasan atau menggunakan suction pump. Proses pencucian dengan menggunakan larutan jumlahnya harus sama dengan larutan fiksasi (Johansen 1940). Tahap dehidrasi pada proses pembuatan preparat dengan metode parafin merupakan tahap pengambilan air dari jaringan. Jika pencucian dilakukan dengan air maka dehidrasi dilakukan dengan 5 % etanol pada air dan diteruskan dengan 11, 18, dan 30 % etanol kemudian direndam setiap dua jam pada masing-masing larutan. Jika pencucian dilakukan dengan alkohol diatas 70 % maka harus menggunakan xilol, kloroform, atau larutan essensial setelah proses dehidrasi pertama yang diikuti dengan alkohol absolut (Humason 1967). 7 Tahap dehidrasi selesai dilanjutkan dengan infiltrasi. Tahap ini merupakan proses transfer butil alkohol ke parafin. Bahan ditransfer untuk campuran yang sama pada minyak parafin dan tertier butil alkohol dilakukan selama 1 jam. Botol kecil diisi 3/4 cairan parowax dan didiamkan sampai cairan tersebut mulai mengeras namun jangan sampai membeku. Setelah obyek terendam campuran minyak parafin, parowax, dan alkohol diganti dengan cairan yang baru. Pergantian cairan parafin yang baru dilakukan tiap 6 jam sekali sebanyak 3 kali (Johansen 1940). Proses penanaman dikerjakan dengan memasukkan obyek dalam parafin cair ke dalam kotak/cetakan dan dibiarkan dalam air selama setengah jam sampai dingin. Jika pendinginan parafin terlalu lambat maka akan terbentuk kristal yang meyebabkan cetakan bercak putih dan tidak dapat dilakukan pengirisan. Proses penanaman selesai dan parafin telah dingin dan keras, akan dilakukan proses pengirisan yang merupakan pembuatan sayatan atau pita dari blok parafin yang telah terbentuk dengan menggunakan mikrotom. Setelah itu dilakukan proses penempelan pita yang telah dipotong ke dalam gelas obyek dan diberi beberapa tetes air (Humason 1967). Tahap selanjutnya adalah pewarnaan yang merupakan proses pemberian warna pada gelas obyek. Proses ini dilakukan untuk memudahkan dalam melihat jaringan pada tumbuhan. Pewarnaan ini dapat menggunakan satu pewarna atau beberapa kombinasi warna disesuaikan dengan tujuan pengamatan. Sebagai contoh apabila pewarnaan ditujukan untuk melihat selulosa pada dinding sel maka dapat digunakan aniline blue, fast green CFC, light green, dan congo red. Untuk melihat protein dapat digunakan safranin, sedangkan lemak menggunakan sudan III dan lain-lain (Humason 1967). Sebelum pewarnaan ini dilakukan, parafin harus dihilangkan terlebih dahulu dari obyek. Untuk proses ini dapat digunakan xilol dan campuran xilol dengan etanol. Sebelum diberi pewarna gelas preparat dibilas terlebih dahulu dengan akuades kemudian dicelupkan ke dalam pewarna sesuai dengan tujuan pewarnaan. Setelah pencelupan dalam larutan pewarna selesai dilakukan dehidrasi dengan alkohol 35, 70, dan 95 % lalu ditutup dengan perekat misalnya entelan (canada balsam) dan dilanjutkan dengan coverslip. Preparat disimpan dengan suhu dibawah 60 0C (Johansen 1940). 8 2.4 Pati Pati merupakan homopolimer glukosa dengan ikatan α-glikosidik. Pati terdapat pada tumbuhan tingkat tinggi sebagai granula semi kristalin dari bahan polimer. Dalam bentuk aslinya tepung pati merupakan butir-butir kecil yang disebut granula pati. Granula pati mempunyai bentuk dan ukuran yang berbedabeda tergantung dari jenis patinya (Swinkle 1985). Granula pati tersusun atas tiga komponen utama yaitu amilosa, amilopektin dan bahan antara yang merupakan komponen minor berupa lemak dan protein. Secara umum pati terdiri dari dua fraksi yang dapat dipisahkan dengan air panas di bawah suhu gelatinisasi. Fraksi terlarut disebut amilosa dan fraksi tidak terlarut disebut amilopektin. Amilosa mempunyai struktur lurus dengan ikatan α(1,4)-D-glukosa sedangkan amilopektin terdiri dari struktur bercabang dengan ikatan α-(1,6)-D-glukosa sebanyak 4-5% berat total (Winarno 2008). Konsentrasi amilosa berpengaruh terhadap karakteristik gel yang terbentuk. Gel yang mengandung banyak amilosa mempunyai karakteristik mekanik film yang dihasilkan lebih baik dibandingkan dengan gel yang kaya akan amilopektin (Leloup et al. 1991). Pati dapat diekstrak dengan berbagai cara, berdasarkan bahan baku dan penggunaan dari pati itu sendiri. Pati dapat diproses dengan cara ekstraksi yang terdiri perendaman, disintegrasi, dan sentrifugasi. Perendaman dilakukan dalam larutan natrium bisulfit pada pH yang diatur untuk menghambat reaksi biokimia misal perubahan warna. Disintegrasi dan sentrifugasi dilakukan untuk memisahkan pati dari komponen lainnya (Cui 2005). 2.5 Ragi Ragi adalah kelompok jamur uniseluler berukuran 5-20 µm yang umum dipergunakan untuk fermentasi roti dan minuman beralkohol, lebih dari seribu spesies ragi telah teridentifikasi hingga saat ini dan yang paling umum dipergunakan adalah Saccharomyces cerevisiae Hansen (Muslimin 1996). Saccharomyces cerevisiae Hansen adalah mikroorganisme yang anaerob 9 fakultatif. Ragi memproduksi energi dalam kondisi ketiadaan oksigen dengan mengubah gula menjadi etanol dan karbon dioksida. S. cerevisiae berkembang biak dengan spora dan juga berkembang biak secara vegetative dengan cara penguncupan multilateral. Konjugasi isogami atau heterogami dapat terjadi setelah pembentukan askus yang berbentuk tonjolan-tonjolan, setiap askus mengandung satu sampai empat spora dengan berbagai bentuk spora yang dapat berkonjugasi (Pelczar dan Chan 1988). Etanol adalah produk yang diinginkan dalam pembuatan minuman beralkohol. Dalam pembuatan roti, yang diinginkan adalah peran karbon dioksida sehingga roti dapat mengembang sedangkan etanol yang terbentuk dibiarkan menguap. Sebuah sel ragi mampu memfermentasi glukosa dengan massa yang sama dengan massa selnya sendiri dalam jangka waktu satu jam. Ragi dapat bereproduksi secara aseksual dengan membentuk tunas ataupun secara seksual dengan pembentukan ascospora. Selama proses reproduksi aseksual, sebuah tunas baru tumbuh dari ragi dengan kondisi tertentu dan saat mencapai ukuran dewasa ia akan melepaskan diri dari sel induknya. Reproduksi seksual ragi umumnya berlangsung pada kondisi kekurangan nutrisi pertumbuhan dengan cara pembentukan ascospora (European Bioinformatics Institute 1996). Saccharomyces cerevisiae Hansen adalah ragi dari famili saccharomycetaceae. Famili Saccharomycetaceae adalah famili ragi dari ordo saccharomycetales yang bereproduksi dengan pembentukan tunas. Saccharomyces cerevisiae Hansen telah lama dimanfaatkan dalam pembuatan roti dan minuman beralkohol. Ragi S. cerevisiae Hansen diperoleh dari hasil isolasi mikroorganisme pada kulit anggur. S. cerevisiae Hansen dapat tumbuh secara aerob pada substrat glukosa, maltose, laktosa dan selobiosa. Fruktosa dan galaktosa merupakan substrat terbaik untuk pertumbuhan ragi ini (Kusmiyati 2010). Ragi S. cerevisiae Hansen, selain dipergunakan dalam fermentasi juga dimanfaatkan sebagai suplemen nutrisi karena ragi tersebut mengandung mineral yaitu selenium dan chromium serta vitamin B complex yang meliputi vitamin B1 (thiamine), B2 (riboflavin), B3 (niacin), B5 (asam pantotenat), B6 (piridoxin), B7 (biotin) dan B9 (asam folat). Ragi S. cerevisiae Hansen tidak mengandung vitamin B12 (cyanocobalamine). Sebagai sumber vitamin B complex dan mineral, 10 ragi S. cerevisiae Hansen berfungsi untuk menunjang kerja sistem saraf dan otototot saluran pencernaan serta memelihara kesehatan kulit, mata dan hati. Sumber ragi dapat berasal dari buah-buahan, bunga dan daun. Ragi adalah mikroorganisme yang bersifat saprofit dan umumnya serangga adalah yang berperan memindahkan ragi dari satu tanaman ke tanaman ke tanaman lain (Shen et al. 2008). Laju pertumbuhan mikroorganisme dapat dibagi menjadi empat fase, yaitu fase pertumbuhan lambat (lag phase), fase pertumbuhan cepat (exponential phase), fase pertumbuhan statis (stationer phase) dan fase kematian (death phase) (Shen et al. 2008). Laju pertumbuhan mikroorganisme dapat dilihat pada Gambar 4. Gambar 4 Kurva pertumbuhan mikroba Fase lag merupakan fase khamir beradaptasi untuk menyesuaikan dengan substrat dan kondisi lingkungan sekitarnya. Fase ini juga terjadi pertumbuhan yang masih lambat. Fase ekponensial merupakan fase khamir membelah dengan cepat dan konstan. Fase statis merupakan fase populasinya sel khamir tetap karena jumlah sel yang mati sama dengan jumlah sel yang tumbuh. Ukuran sel pada fase ini lebih kecil karena sel tetap membelah meskipun zat nutrisi sudah mulai habis. Fase kematian merupakan fase sebagian populasi khamir mulai mengalami kematian yang disebabkan karena nutrient sudah habis dan energi cadangan dalam sel juga habis (Fardiaz 1992). 2.6 Hidrolisis Asam Konversi selulosa menjadi glukosa dapat dilakukan dengan menggunakan hidrolisis secara asam. Hidrolisis asam dapat dilakukan dengan menggunakan 11 asam pekat H2SO4 72% dan HCl 42% pada suhu ruang. Selain itu juga bisa dilakukan dengan larutan asam 1% pada suhu 100-200 oC selama 3 jam. Karbohidrat dapat dirombak secara hidrolisis dalam suasana asam menjadi gula sederhana yang akan dijadikan sumber makanan bagi khamir, selanjutnya gula ini difermentasi (Greethlein 1978). Hidrolisis asam dapat dikategorikan melalui dua pendekatan umum, yaitu hidrolisis asam konsentrasi tinggi pada suhu rendah dan konsentrasi rendah pada suhu tinggi. Pemilihan antara dua cara tersebut pada umumnya didasarkan pada beberapa pertimbangan yaitu laju hidrolisis, tingkat degradasi, produk dan biaya total proses produksi. Hidrolisis asam konsentrasi tinggi akan lebih ekonomis jika asam dapat diperoleh kembali (recovery). Akan tetapi, asam kuat bersifat korosif, sehingga memerlukan teknik khusus dan biaya tambahan untuk perawatan alat produksi (Kosaric dan Velayudhan 1991). Asam yang biasa digunakan untuk menghidrolisis selulosa adalah asam sulfat, asam klorida, dan asam fosfat. Hidrolisis selulosa dengan asam untuk menghasilkan gula, pada proses ini juga terbentuk 5-hidroksi metil-2-5 furfuraldehid atau hidroksimetilifurfural (HMF) sebagai bentuk dari penguraian glukosa pada suasana asam, HMF ini akan bereaksi membentuk asam-asam organik, yakni asam levinulinat dan asam formiat pada suasana asam dan suhu tinggi (Greethlein 1978). 2.7 Bioetanol Bioetanol adalah etanol yang dibuat dari proses fermentasi yang mengandung komponen pati atau selulosa, misal singkong dan tetes tebu. Dalam dunia industri, etanol umumnya dipergunakan sebagai bahan baku industri turunan alkohol, campuran untuk minuman keras (misal sake atau gin), serta bahan baku farmasi dan kosmetika. Berdasarkan kadar alkoholnya, etanol terbagi menjadi tiga grade sebagai berikut: (Prihardana dan Samsuri 2008). Grade industri dengan kadar alkohol 90-94%, Netral dengan kadar alkohol 96-99,5%, umumnya digunakan untuk minuman keras atau bahan baku obat dalam industri farmasi, Grade bahan bakar dengan kadar alkohol diatas 99,5%. 2.6.1 Pembuatan bioetanol 12 Secara umum produksi bioetanol mencakup tiga rangkaian proses yaitu, persiapan bahan baku, fermentasi dan pemurnian. Bahan baku bioetanol bisa diperoleh dari berbagai tanaman yang menghasilkan gula misal tebu dan molase dan juga tanaman penghasil pati atau tepung yakni jagung, singkong dan juga sagu. Pada tahapan persiapan, bahan baku berupa padatan harus dikonversi terlebih dahulu menjadi larutan gula sebelum akhirnya difermentasi untuk menghasilkan etanol, sedangkan bahan-bahan yang sudah dalam bentuk larutan gula misal molase dapat secara langsung difermentasi. Bahan padatan dikenai perlakuan pengecilan ukuran dan juga tahap pemasakan. Proses pengecilan ukuran dapat dilakukan dengan menggiling bahan (singkong, sagu, dan jagung) sebelum memasuki tahap pemasakan. Tahap pemasakan bahan meliputi proses liquifikasi dan sakarifikasi. Pada tahap ini, tepung/pati dikonversi menjadi gula (Hambali et al. 2008). Tahap fermentasi merupakan tahap kedua dalam proses produksi bioetanol. Pada tahap ini terjadi proses pemecahan gula-gula sederhana menjadi etanol dengan melibatkan enzim dan ragi. Fermentasi dilakukan pada suhu sekitar 27 – 32 0C. Pada tahap ini akan dihasilkan gas CO2 sebagai by product dan sludge sebagai limbahnya. Gas CO2 yang dihasilkan memiliki perbandingan stoikiometri yang sama dengan etanol yang dihasilkan yaitu 1:1. Setelah melalui proses pemurnian, gas CO2 dapat digunakan sebagai bahan baku gas dalam minuman berkarbonat (Hambali et al. 2008). Tahap berikutnya adalah pemurnian bioetanol yang diperoleh. Tahap ini dilakukan dengan metode destilasi. Destilasi dilakukan pada suhu diatas titik didih etanol murni yaitu pada kisaran 78–100 0C. Produk yang dihasilkan pada tahap ini memiliki kemurnian hingga 96%. Etanol hasil destilasi kemudian dikeringkan melalui metode purifikasi untuk meningkatkan kemurnian etanol hingga memenuhi spesifikasi bahan bakar ataupun untuk keperluan industri (Hambali et al. 2008). 2.6.2 Sakarifikasi Ragi tidak dapat langsung memfermentasikan pati. Oleh karena itu diperlukan tahap sakarifikasi, yakni perubahan pati menjadi maltose atau glukosa dengan menggunakan enzim atau asam. Dengan memanfaatkan enzim pengurai 13 pati dari mikroorganisme, konversi pati untuk menghasilkan maltose dan dekstrin yang tidak terfermentasi terjadi karena hidrolisis enzimatis. Komposisi kimia dari pati adalah amilosa dan amilopektin. Amilosa merupakan polimer dari glukosa yang merupakan rantai lurus dan secara kuantitatif amilosa dapat dihidrolisis menghasilkan maltose sedangkan amilopektin hanya akan terhidrolisis sebagian. Pati jagung yang disakarifikasi akan menghasilkan 80% maltose dari total pati dan sisanya disebut limit dekstrin (Hidayat et al. 2006). 2.6.3 Fermentasi Tahap inti dari produksi bioetanol adalah fermentasi gula sederhana, baik yang berupa glukosa, sukrosa, maupun fruktosa dengan menggunakan ragi/yeast terutama Saccharomyces sp. atau bakteri Zymomonas mobilis. Dalam proses ini, gula akan dikonversi menjadi etanol dan gas karbon dioksida (Nowak 2000). Fermentasi dapat didefenisikan sebagai perubahan gradual oleh enzim beberapa bakteri, ragi, dan jamur. Contoh perubahan kimia dari fermentasi meliputi pengasaman susu, dekomposisi pati dan gula menjadi alkohol dan karbon dioksida, serta oksidasi senyawa nitrogen organik (Wilkins et al. 2007). Bahan dasar untuk kebutuhan fermentasi dapat berasal dari hasil pertanian, perkebunan, maupun limbah industri. Bahan dasar yang umum dipergunakan di negara berkembang adalah: 1) Molase (karena banyaknya tebu di negara tersebut). 2) Pati (gandum, jagung, beras, dll.) 3) Jerami 4) Dedak 5) Kulit kopi, kulit coklat, sabut kelapa. 6) Ampas tebu, ampas biji-bijian yang telah diambil minyaknya. 7) Kotoran binatang 8) Air limbah. 9) Sampah sebagai komponen pupuk 10) Sisa pabrik kertas, pabrik susu, dan sebagainya. Penggunaan inokulum murni dalam fermentasi akan memperbaiki mutu produk dan mengurangi kontaminasi. Inokulum tradisional yang umum dipakai masyarakat awam adalah sumber kontaminan karena mikroorganisme di dalamnya 14 tidak diketahui secara pasti. Adanya mikroorganisme penghasil pigmen, terutama kapang akan menyebabkan produk fermentasi menjadi berwarna, berasa asam dan memiliki bau yang asing. Inokulum atau ragi yang ditambahkan dalam fermentasi biasanya kurang dari 1%. Umumnya jumlah ragi yang dipakai adalah 0,2–0,5% (Hidayat et al. 2006). Secara garis besar, fermentasi karbohidrat oleh ragi dapat dibagi menjadi dua tahap (Judoamidjojo et al.1992), yaitu : 1) Pemecahan karbohidrat (pati) menjadi gula pereduksi Pemecahan karbohidrat menjadi gula pereduksi karena difermentasi oleh enzim diastase dan zymase yang terkandung dalam ragi, seperti terlihat pada reaksi berikut : 2(C6H10O5)n + nH2O diastase pati nC12H22O11 Maltosa C12H22O11 Zymase Maltosa C6H12O6 Glukosa 2) Perubahan gula pereduksi menjadi etanol Perubahan gula pereduksi menjadi etanol dilakukan oleh enzyme invertrase, yaitu enzim kompleks yang terkandung dalam ragi. Reaksinya adalah sebagai berikut : C6H12O6 invertase 2C2H5OH + 2CO2 + 2 ATP gula etanol + karbondioksida+(Energi=118 kJ per mol) Ditinjau dari reaksi diatas, dapat dilihat bahwa oksigen (O2) ternyata tidak diperlukan, hanya pengubahan zat organik yang satu menjadi zat organik yang lain (glukosa menjadi etanol) 3) Fermentasi asam asetat Merupakan kelanjutan dari proses fermentasi alkohol. Proses dimulai dari proses pemecahan gula menjadi alkohol, selanjutnya alkohol menjadi asam asetat. 2C2H5OH + 2CO2 bakteri Bakteri yang aktif : Acetobacter aceti Acetobacter paseurianum Acetobacter oxydans 2CH3COOH + 2H2O 15 2.6.4 Destilasi Kadar etanol hasil fermentasi tidak dapat mencapai level diatas 18 hingga 21%, sebab etanol dengan kadar tesebut bersifat toxic terhadap ragi yang memproduksi etanol tersebut sehingga untuk memperoleh etanol dengan kadar yang lebih tinggi perlu dilakukan destilasi. Destilasi adalah proses pemanasan yang memisahkan etanol dan beberapa komponen cair lain dari substrat fermentasi sehingga diperoleh kadar etanol yang lebih tinggi (Jirasak dan Sornvoraweat 2011). Tujuan proses destilasi adalah untuk memisahkan etanol dari campuran etanol-air. Titik didih etanol adalah 78 0C dan titik didih air adalah 100 0C sehingga dengan pemanasan pada suhu 78 0C dengan metode destilasi maka etanol dapat dipisahkan dari campuran etanol-air. Konsentrasi maksimum etanol yang dapat diperoleh dengan cara destilasi adalah 96%. Etanol anhidrat (99,5%-100%) dapat diperoleh dengan menggunakan metode destilasi azeotrop menggunakan benzen (Waller 1981). Campuran azeotrop etanol-air dapat dipisah dengan penambahan benzen dimana akan terbentuk campuran azeotrop benzen-etanol-air dengan titik didih 64,9 0C. Titik didih campuran tersebut lebih rendah dari campuran etanol-air (78,2 0C) sehingga etanol dapat dipisahkan dari air dengan destilasi bertingkat, namun pemisahan etanol dengan metode ini akan menyisakan beberapa ppm residu benzene di dalam etanol yang diperoleh. Benzen adalah bahan yang toxic bagi manusia, selain itu penggunaan metode ini juga menghasilkan etanol yang tidak murni sehingga metode ini tidak banyak dipergunakan (Graham 2003). Metode alternatif yang dapat dipergunakan untuk memperoleh etanol dengan kadar 100% dari etanol 96% adalah dengan menggunakan molecular sieve, yakni suatu absorben sintetis berbentuk pellet yang dapat secara selektif mengikat molekul air. Selain murah harganya, metode ini tidak meninggalkan residu pada etanol yang diperoleh (Mathewson 1980).