2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Buah Lindur (Bruguiera

advertisement
3
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Buah Lindur (Bruguiera gymnorrhiza)
Buah lindur (B. gymnorrhiza) adalah salah satu buah tumbuhan mangrove
yang biasanya dikenal sebagai bakau daun besar. Buah lindur memiliki pohon
yang kadang-kadang mencapai ketinggian 30 m. Pohon lindur memiliki akar
papan dan lutut, melebar ke samping di bagian pangkal pohon. Kulit kayu
memiliki lentisel, permukaannya halus hingga kasar, berwarna abu-abu tua sampai
cokelat. Buah lindur berwarna hijau dengan kelopak bunga diujung buah
(berwarna merah), buah berbentuk silinder memanjang 12-30 cm dengan diameter
1,5-2 cm. B. gymnorrhiza tersebar di daerah tropis Afrika Selatan dan Timur dan
Madagaskar, ke Asia Tenggara dan Selatan (termasuk Indonesia dan negara di
kawasan Malesia), sampai timur laut Australia, Mikronesia, Polinesia and
kepulauan Ryukyu (Duke dan James 2006). Berikut ini adalah klasifikasi dan
gambar buah lindur :
Kingdom
:
Plantae
Divisi
:
Magnoliophyta
Kelas
:
Magnoliopsida
Ordo
:
Myrtales
Family
:
Rhizophoraceae
Genus
:
Bruguiera
Species
:
Bruguiera gymnorrhiza (L.) Lamk.
Gambar 1 Buah lindur (B. gymnorrhiza)
Sumber : Duke dan James 2006
4
Tumbuhan lindur memiliki daun yang umumnya berwarna hijau tua dan
berbentuk elips. Daun memiliki panjang 8-22 cm dan lebar 5-8 cm. Ujung daun
meruncing, berwarna hijau pada bagian atas dan hijau kekuningan pada bagian
bawah dengan bercak-bercak hitam. Letak daun biasanya saling berhadapan
dengan posisi menyilang. Batang dari tumbuhan ini umumnya berwarna abu-abu
sampai hitam, memiliki lentisel yang besar dengan percabangan simpodial. Kulit
kayu memiliki lentisel, permukaannya halus hingga kasar dengan warna abu-abu
tua sampai coklat. Akar membentuk akar papan dan melebar kesamping tetapi
juga memiliki sejumlah akar lutut. Morfologi dari tanaman lindur dapat dilihat
pada Gambar 2.
Daun
Batang
Akar
Gambar 2 Morfologi tumbuhan lindur (B. gymnorrhiza).
Sumber : Duke dan James (2006)
Tumbuhan lindur juga memiliki bunga dan buah, bunga terletak diujung
buah dengan kelopak berwarna merah muda hingga merah serta panjang bunga
berkisar antara 1,5-3,5 cm. Buah berbentuk silinder (hipokotil), melingkar spiral
dengan lebar 2-2,5 cm dan panjang 12-30 cm. Gambar 3 menunjukkan daun (a),
bunga (b) dan buah (c).
(a)
(c)
Gambar 3 Daun, bunga dan buah lindur.
(b)
5
Sumber : Duke dan James (2006)
Tanaman lindur mampu membantu menstabilkan tanah, melindungi pantai,
dan sebagai habitat aneka fauna. Kayunya dapat digunakan sebagai kayu bakar
dan untuk membuat arang. Pepagan (kulit batang) dimanfaatkan sebagai bahan
penyamak kulit dan pengawet jala ikan yang baik karena mengandung tanin ratarata antara 28,5–32,2% (Glen 2005). Selain itu penduduk Solomon memanfaatkan
papagan untuk menyembuhkan luka bakar. Di pulau-pulau kecil Indonesia
digunakan untuk mengobati diare dan demam, sementara di Kamboja
dimanfaatkan sebagai anti malaria (Duke dan James 2006). Penduduk di pulaupulau terpencil memanfatkan daun mudanya sebagai lalap atau sayuran. Bagian
dalam hipokotil buah lindur dapat dimakan (manisan kandeka), dicampur dengan
gula. Penduduk Indonesia bagian timur memanfaatkan buah lindur sebagai sumber
pangan saat musim paceklik tiba (Glen 2005).
2.2 Pemeriksaan Anatomi dan Jaringan Tumbuhan
Jaringan merupakan sekelompok sel yang mempunyai asal, struktur, dan
fungsi yang sama (Nugroho et al. 2006). Ilmu yang mempelajari struktur internal
tanaman disebut histologi tanaman. Histologi tumbuhan umumnya dikaji melalui
teknik mikroskopis. Kajian objektif untuk mengidentifikasi histologi pada
tanaman diukur dalam gambaran mikroskopis. Morfologi sel digambarkan dengan
ukuran sel dan bentuk dan dengan ketebalan dinding sel (Guillemin et al. 2004).
Metode umum untuk mempelajari jaringan diantaranya metode beku,
metode seloidin, metode parafin, metode pananaman rangkap. Metode parafin
banyak digunakan karena hampir semua matriks jaringan dapat dipotong baik bila
menggunakan metode ini. Kelebihan metode parafin diantaranya irisan dapat jauh
lebih tipis dibandingkan dengan menggunakan metode beku atau metode seloidin.
Irisan-irisan yang bersifat seri dapat dikerjakan dengan mudah bila menggunakan
metode ini dan prosesnya jauh lebih cepat dibandingkan dengan metode seloidin
(Suntoro 1983).
Metode
pembuatan
preparat
terlebih
dahulu
dilakukan
sebelum
mempelajari hitologi tanaman. Metode pembuatan preparat dapat dibagi menjadi
tiga macam yaitu preparat segar, preparat utuh (whole mount) dan preparat yang
dilakukan dengan proses penanaman (embedding). Pembuatan preparat segar
6
dilakukan dengan pembuatan sayatan tipis melintang dan diletakkan pada gelas
objek kemudian diwarnai. Pembuatan preparat utuh merupakan metode
pembuatan preparat sampel secara utuh biasanya untuk tanaman dengan ukuran
kecil. Tahapan untuk preparat ini terdiri atas fiksasi bertahap, penggunaan silol
berseri, pewarnaan, inkubasi, dehidrasi dan perekatan ke gelas preparat kemudian
dilakukan penutupan. Proses pembuatan preparat embedding terdiri atas gelatin
embedding, parafin embedding, nitrocellulose embedding, double embedding, dan
embedding pada plastik (Keirnan 1990, diacu dalam Kristiono 2009).
2.3 Pembuatan Preparat dengan Metode Parafin
Proses pembuatan preparat dengan metode parafin terdiri dari beberapa
tahap yaitu fiksasi, pencucian, dehidrasi, infiltrasi, embedding, pengirisan,
penempelan, pewarnaan, dan penutupan. Tahap fiksasi dilakukan agar jaringan
tidak membusuk dan untuk mempertahankan struktur jaringan. Formalinacetoalcohol digunakan sebagai bahan yang memberikan fiksasi sempurna yang
dilanjutkan dengan pencucian dan dehidrasi. Proses pencucian dilakukan untuk
menghilangkan reagen yang masih ada pada obyek. Cairan yang digunakan dalam
proses pencucian ini tergantung pada reagen yang digunakan sebelumnya. Hampir
semua larutan pengencer terutama yang mengandung chromic acid dapat dicuci
dengan air, jika proses pencucian dengan air mengalir sulit dilakukan dapat
dilakukan dengan air dalam jumlah besar dan dikerjakan berulang kali. Apabila air
yang digunakan terlalu banyak mengandung udara, maka harus dilakukan proses
penguapan dengan pemanasan atau menggunakan suction pump. Proses pencucian
dengan menggunakan larutan jumlahnya harus sama dengan larutan fiksasi
(Johansen 1940).
Tahap dehidrasi pada proses pembuatan preparat dengan metode parafin
merupakan tahap pengambilan air dari jaringan. Jika pencucian dilakukan dengan
air maka dehidrasi dilakukan dengan 5 % etanol pada air dan diteruskan dengan
11, 18, dan 30 % etanol kemudian direndam setiap dua jam pada masing-masing
larutan. Jika pencucian dilakukan dengan alkohol diatas 70 % maka harus
menggunakan xilol, kloroform, atau larutan essensial setelah proses dehidrasi
pertama yang diikuti dengan alkohol absolut (Humason 1967).
7
Tahap dehidrasi selesai dilanjutkan dengan infiltrasi. Tahap ini merupakan
proses transfer butil alkohol ke parafin. Bahan ditransfer untuk campuran yang
sama pada minyak parafin dan tertier butil alkohol dilakukan selama 1 jam. Botol
kecil diisi 3/4 cairan parowax dan didiamkan sampai cairan tersebut mulai
mengeras namun jangan sampai membeku. Setelah obyek terendam campuran
minyak parafin, parowax, dan alkohol diganti dengan cairan yang baru. Pergantian
cairan parafin yang baru dilakukan tiap 6 jam sekali sebanyak 3 kali
(Johansen 1940).
Proses penanaman dikerjakan dengan memasukkan obyek dalam parafin
cair ke dalam kotak/cetakan dan dibiarkan dalam air selama setengah jam sampai
dingin. Jika pendinginan parafin terlalu lambat maka akan terbentuk kristal yang
meyebabkan cetakan bercak putih dan tidak dapat dilakukan pengirisan. Proses
penanaman selesai dan parafin telah dingin dan keras, akan dilakukan proses
pengirisan yang merupakan pembuatan sayatan atau pita dari blok parafin yang
telah terbentuk dengan menggunakan mikrotom. Setelah itu dilakukan proses
penempelan pita yang telah dipotong ke dalam gelas obyek dan diberi beberapa
tetes air (Humason 1967).
Tahap selanjutnya adalah pewarnaan yang merupakan proses pemberian
warna pada gelas obyek. Proses ini dilakukan untuk memudahkan dalam melihat
jaringan pada tumbuhan. Pewarnaan ini dapat menggunakan satu pewarna atau
beberapa kombinasi warna disesuaikan dengan tujuan pengamatan. Sebagai
contoh apabila pewarnaan ditujukan untuk melihat selulosa pada dinding sel maka
dapat digunakan aniline blue, fast green CFC, light green, dan congo red. Untuk
melihat protein dapat digunakan safranin, sedangkan lemak menggunakan sudan
III dan lain-lain (Humason 1967). Sebelum pewarnaan ini dilakukan, parafin harus
dihilangkan terlebih dahulu dari obyek. Untuk proses ini dapat digunakan xilol
dan campuran xilol dengan etanol. Sebelum diberi pewarna gelas preparat dibilas
terlebih dahulu dengan akuades kemudian dicelupkan ke dalam pewarna sesuai
dengan tujuan pewarnaan. Setelah pencelupan dalam larutan pewarna selesai
dilakukan dehidrasi dengan alkohol 35, 70, dan 95 % lalu ditutup dengan perekat
misalnya entelan (canada balsam) dan dilanjutkan dengan coverslip. Preparat
disimpan dengan suhu dibawah 60 0C (Johansen 1940).
8
2.4 Pati
Pati merupakan homopolimer glukosa dengan ikatan α-glikosidik. Pati
terdapat pada tumbuhan tingkat tinggi sebagai granula semi kristalin dari bahan
polimer. Dalam bentuk aslinya tepung pati merupakan butir-butir kecil yang
disebut granula pati. Granula pati mempunyai bentuk dan ukuran yang berbedabeda tergantung dari jenis patinya (Swinkle 1985). Granula pati tersusun atas tiga
komponen utama yaitu amilosa, amilopektin dan bahan antara yang merupakan
komponen minor berupa lemak dan protein.
Secara umum pati terdiri dari dua fraksi yang dapat dipisahkan dengan air
panas di bawah suhu gelatinisasi. Fraksi terlarut disebut amilosa dan fraksi tidak
terlarut disebut amilopektin. Amilosa mempunyai struktur lurus dengan ikatan α(1,4)-D-glukosa sedangkan amilopektin terdiri dari struktur bercabang dengan
ikatan α-(1,6)-D-glukosa sebanyak 4-5% berat total (Winarno 2008). Konsentrasi
amilosa berpengaruh terhadap karakteristik gel yang terbentuk. Gel yang
mengandung banyak amilosa mempunyai karakteristik mekanik film yang
dihasilkan lebih baik dibandingkan dengan gel yang kaya akan amilopektin
(Leloup et al. 1991).
Pati dapat diekstrak dengan berbagai cara, berdasarkan bahan baku dan
penggunaan dari pati itu sendiri. Pati dapat diproses dengan cara ekstraksi yang
terdiri perendaman, disintegrasi, dan sentrifugasi. Perendaman dilakukan dalam
larutan natrium bisulfit pada pH yang diatur untuk menghambat reaksi biokimia
misal perubahan warna. Disintegrasi
dan sentrifugasi dilakukan untuk
memisahkan pati dari komponen lainnya (Cui 2005).
2.5 Ragi
Ragi adalah kelompok jamur uniseluler berukuran 5-20 µm yang umum
dipergunakan untuk fermentasi roti dan minuman beralkohol, lebih dari seribu
spesies ragi telah teridentifikasi hingga saat ini dan yang paling umum
dipergunakan adalah Saccharomyces cerevisiae Hansen (Muslimin 1996).
Saccharomyces cerevisiae Hansen adalah mikroorganisme yang anaerob
9
fakultatif. Ragi memproduksi energi dalam kondisi ketiadaan oksigen dengan
mengubah gula menjadi etanol dan karbon dioksida. S. cerevisiae berkembang
biak dengan spora dan juga berkembang biak secara vegetative dengan cara
penguncupan multilateral. Konjugasi isogami atau heterogami dapat terjadi setelah
pembentukan askus yang berbentuk tonjolan-tonjolan, setiap askus mengandung
satu sampai empat spora dengan berbagai bentuk spora yang dapat berkonjugasi
(Pelczar dan Chan 1988).
Etanol adalah produk yang diinginkan dalam pembuatan minuman
beralkohol. Dalam pembuatan roti, yang diinginkan adalah peran karbon dioksida
sehingga roti dapat mengembang sedangkan etanol yang terbentuk dibiarkan
menguap. Sebuah sel ragi mampu memfermentasi glukosa dengan massa yang
sama dengan massa selnya sendiri dalam jangka waktu satu jam. Ragi dapat
bereproduksi secara aseksual dengan membentuk tunas ataupun secara seksual
dengan pembentukan ascospora. Selama proses reproduksi aseksual, sebuah tunas
baru tumbuh dari ragi dengan kondisi tertentu dan saat mencapai ukuran dewasa ia
akan melepaskan diri dari sel induknya. Reproduksi seksual ragi umumnya
berlangsung pada kondisi kekurangan nutrisi pertumbuhan dengan cara
pembentukan ascospora (European Bioinformatics Institute 1996).
Saccharomyces
cerevisiae
Hansen
adalah
ragi
dari
famili
saccharomycetaceae. Famili Saccharomycetaceae adalah famili ragi dari ordo
saccharomycetales yang bereproduksi dengan pembentukan tunas. Saccharomyces
cerevisiae Hansen telah lama dimanfaatkan dalam pembuatan roti dan minuman
beralkohol. Ragi S. cerevisiae Hansen diperoleh dari hasil isolasi mikroorganisme
pada kulit anggur. S. cerevisiae Hansen dapat tumbuh secara aerob pada substrat
glukosa, maltose, laktosa dan selobiosa. Fruktosa dan galaktosa merupakan
substrat terbaik untuk pertumbuhan ragi ini (Kusmiyati 2010).
Ragi S. cerevisiae Hansen, selain dipergunakan dalam fermentasi juga
dimanfaatkan sebagai suplemen nutrisi karena ragi tersebut mengandung mineral
yaitu selenium dan chromium serta vitamin B complex yang meliputi vitamin B1
(thiamine), B2 (riboflavin), B3 (niacin), B5 (asam pantotenat), B6 (piridoxin), B7
(biotin) dan B9 (asam folat). Ragi S. cerevisiae Hansen tidak mengandung vitamin
B12 (cyanocobalamine). Sebagai sumber vitamin B complex dan mineral,
10
ragi S. cerevisiae Hansen berfungsi untuk menunjang kerja sistem saraf dan otototot saluran pencernaan serta memelihara kesehatan kulit, mata dan hati. Sumber
ragi
dapat
berasal
dari
buah-buahan,
bunga
dan
daun.
Ragi
adalah
mikroorganisme yang bersifat saprofit dan umumnya serangga adalah yang
berperan memindahkan ragi dari satu tanaman ke tanaman ke tanaman lain
(Shen et al. 2008).
Laju pertumbuhan mikroorganisme dapat dibagi menjadi empat fase, yaitu
fase pertumbuhan lambat (lag phase), fase pertumbuhan cepat (exponential
phase), fase pertumbuhan statis (stationer phase) dan fase kematian (death phase)
(Shen et al. 2008). Laju pertumbuhan mikroorganisme dapat dilihat pada
Gambar 4.
Gambar 4 Kurva pertumbuhan mikroba
Fase lag merupakan fase khamir beradaptasi untuk menyesuaikan dengan
substrat dan kondisi lingkungan sekitarnya. Fase ini juga terjadi pertumbuhan
yang masih lambat. Fase ekponensial merupakan fase khamir membelah dengan
cepat dan konstan. Fase statis merupakan fase populasinya sel khamir tetap karena
jumlah sel yang mati sama dengan jumlah sel yang tumbuh. Ukuran sel pada fase
ini lebih kecil karena sel tetap membelah meskipun zat nutrisi sudah mulai habis.
Fase kematian merupakan fase sebagian populasi khamir mulai mengalami
kematian yang disebabkan karena nutrient sudah habis dan energi cadangan dalam
sel juga habis (Fardiaz 1992).
2.6 Hidrolisis Asam
Konversi selulosa menjadi glukosa dapat dilakukan dengan menggunakan
hidrolisis secara asam. Hidrolisis asam dapat dilakukan dengan menggunakan
11
asam pekat H2SO4 72% dan HCl 42% pada suhu ruang. Selain itu juga bisa
dilakukan dengan larutan asam 1% pada suhu 100-200 oC selama 3 jam.
Karbohidrat dapat dirombak secara hidrolisis dalam suasana asam menjadi gula
sederhana yang akan dijadikan sumber makanan bagi khamir, selanjutnya gula ini
difermentasi (Greethlein 1978).
Hidrolisis asam dapat dikategorikan melalui dua pendekatan umum, yaitu
hidrolisis asam konsentrasi tinggi pada suhu rendah dan konsentrasi rendah pada
suhu tinggi. Pemilihan antara dua cara tersebut pada umumnya didasarkan pada
beberapa pertimbangan yaitu laju hidrolisis, tingkat degradasi, produk dan biaya
total proses produksi. Hidrolisis asam konsentrasi tinggi akan lebih ekonomis jika
asam dapat diperoleh kembali (recovery). Akan tetapi, asam kuat bersifat korosif,
sehingga memerlukan teknik khusus dan biaya tambahan untuk perawatan alat
produksi (Kosaric dan Velayudhan 1991).
Asam yang biasa digunakan untuk menghidrolisis selulosa adalah asam
sulfat, asam klorida, dan asam fosfat. Hidrolisis selulosa dengan asam untuk
menghasilkan gula, pada proses ini juga terbentuk 5-hidroksi metil-2-5
furfuraldehid atau hidroksimetilifurfural (HMF) sebagai bentuk dari penguraian
glukosa pada suasana asam, HMF ini akan bereaksi membentuk asam-asam
organik, yakni asam levinulinat dan asam formiat pada suasana asam dan suhu
tinggi (Greethlein 1978).
2.7 Bioetanol
Bioetanol adalah etanol yang dibuat dari proses fermentasi yang
mengandung komponen pati atau selulosa, misal singkong dan tetes tebu. Dalam
dunia industri, etanol umumnya dipergunakan sebagai bahan baku industri turunan
alkohol, campuran untuk minuman keras (misal sake atau gin), serta bahan baku
farmasi dan kosmetika. Berdasarkan kadar alkoholnya, etanol terbagi menjadi tiga
grade sebagai berikut: (Prihardana dan Samsuri 2008).

Grade industri dengan kadar alkohol 90-94%,

Netral dengan kadar alkohol 96-99,5%, umumnya digunakan untuk
minuman keras atau bahan baku obat dalam industri farmasi,

Grade bahan bakar dengan kadar alkohol diatas 99,5%.
2.6.1 Pembuatan bioetanol
12
Secara umum produksi bioetanol mencakup tiga rangkaian proses yaitu,
persiapan bahan baku, fermentasi dan pemurnian. Bahan baku bioetanol bisa
diperoleh dari berbagai tanaman yang menghasilkan gula misal tebu dan molase
dan juga tanaman penghasil pati atau tepung yakni jagung, singkong dan juga
sagu. Pada tahapan persiapan, bahan baku berupa padatan harus dikonversi
terlebih dahulu menjadi larutan gula sebelum akhirnya difermentasi untuk
menghasilkan etanol, sedangkan bahan-bahan yang sudah dalam bentuk larutan
gula misal molase dapat secara langsung difermentasi. Bahan padatan dikenai
perlakuan pengecilan ukuran dan juga tahap pemasakan. Proses pengecilan ukuran
dapat dilakukan dengan menggiling bahan (singkong, sagu, dan jagung) sebelum
memasuki tahap pemasakan. Tahap pemasakan bahan meliputi proses liquifikasi
dan sakarifikasi. Pada tahap ini, tepung/pati dikonversi menjadi gula
(Hambali et al. 2008).
Tahap fermentasi merupakan tahap kedua dalam proses produksi
bioetanol. Pada tahap ini terjadi proses pemecahan gula-gula sederhana menjadi
etanol dengan melibatkan enzim dan ragi. Fermentasi dilakukan pada suhu sekitar
27 – 32 0C. Pada tahap ini akan dihasilkan gas CO2 sebagai by product dan sludge
sebagai limbahnya. Gas CO2 yang dihasilkan memiliki perbandingan stoikiometri
yang sama dengan etanol yang dihasilkan yaitu 1:1. Setelah melalui proses
pemurnian, gas CO2 dapat digunakan sebagai bahan baku gas dalam minuman
berkarbonat (Hambali et al. 2008).
Tahap berikutnya adalah pemurnian bioetanol yang diperoleh. Tahap ini
dilakukan dengan metode destilasi. Destilasi dilakukan pada suhu diatas titik didih
etanol murni yaitu pada kisaran 78–100 0C. Produk yang dihasilkan pada tahap ini
memiliki kemurnian hingga 96%. Etanol hasil destilasi kemudian dikeringkan
melalui metode purifikasi untuk meningkatkan kemurnian etanol hingga
memenuhi
spesifikasi
bahan
bakar
ataupun
untuk
keperluan
industri
(Hambali et al. 2008).
2.6.2 Sakarifikasi
Ragi tidak dapat langsung memfermentasikan pati. Oleh karena itu
diperlukan tahap sakarifikasi, yakni perubahan pati menjadi maltose atau glukosa
dengan menggunakan enzim atau asam. Dengan memanfaatkan enzim pengurai
13
pati dari mikroorganisme, konversi pati untuk menghasilkan maltose dan dekstrin
yang tidak terfermentasi terjadi karena hidrolisis enzimatis. Komposisi kimia dari
pati adalah amilosa dan amilopektin. Amilosa merupakan polimer dari glukosa
yang merupakan rantai lurus dan secara kuantitatif amilosa dapat dihidrolisis
menghasilkan maltose sedangkan amilopektin hanya akan terhidrolisis sebagian.
Pati jagung yang disakarifikasi akan menghasilkan 80% maltose dari total pati dan
sisanya disebut limit dekstrin (Hidayat et al. 2006).
2.6.3 Fermentasi
Tahap inti dari produksi bioetanol adalah fermentasi gula sederhana, baik
yang berupa glukosa, sukrosa, maupun fruktosa dengan menggunakan ragi/yeast
terutama Saccharomyces sp. atau bakteri Zymomonas mobilis. Dalam proses ini,
gula akan dikonversi menjadi etanol dan gas karbon dioksida (Nowak 2000).
Fermentasi dapat didefenisikan sebagai perubahan gradual oleh enzim
beberapa bakteri, ragi, dan jamur. Contoh perubahan kimia dari fermentasi
meliputi pengasaman susu, dekomposisi pati dan gula menjadi alkohol dan karbon
dioksida, serta oksidasi senyawa nitrogen organik (Wilkins et al. 2007). Bahan
dasar untuk kebutuhan fermentasi dapat berasal dari hasil pertanian, perkebunan,
maupun limbah industri. Bahan dasar yang umum dipergunakan di negara
berkembang adalah:
1) Molase (karena banyaknya tebu di negara tersebut).
2) Pati (gandum, jagung, beras, dll.)
3) Jerami
4) Dedak
5) Kulit kopi, kulit coklat, sabut kelapa.
6) Ampas tebu, ampas biji-bijian yang telah diambil minyaknya.
7) Kotoran binatang
8) Air limbah.
9) Sampah sebagai komponen pupuk
10) Sisa pabrik kertas, pabrik susu, dan sebagainya.
Penggunaan inokulum murni dalam fermentasi akan memperbaiki mutu
produk dan mengurangi kontaminasi. Inokulum tradisional yang umum dipakai
masyarakat awam adalah sumber kontaminan karena mikroorganisme di dalamnya
14
tidak diketahui secara pasti. Adanya mikroorganisme penghasil pigmen, terutama
kapang akan menyebabkan produk fermentasi menjadi berwarna, berasa asam dan
memiliki bau yang asing. Inokulum atau ragi yang ditambahkan dalam fermentasi
biasanya kurang dari 1%. Umumnya jumlah ragi yang dipakai adalah 0,2–0,5%
(Hidayat et al. 2006).
Secara garis besar, fermentasi karbohidrat oleh ragi dapat dibagi menjadi
dua tahap (Judoamidjojo et al.1992), yaitu :
1) Pemecahan karbohidrat (pati) menjadi gula pereduksi
Pemecahan karbohidrat menjadi gula pereduksi karena difermentasi oleh
enzim diastase dan zymase yang terkandung dalam ragi, seperti terlihat pada
reaksi berikut :
2(C6H10O5)n + nH2O
diastase
pati
nC12H22O11
Maltosa
C12H22O11
Zymase
Maltosa
C6H12O6
Glukosa
2) Perubahan gula pereduksi menjadi etanol
Perubahan gula pereduksi menjadi etanol dilakukan oleh enzyme
invertrase, yaitu enzim kompleks yang terkandung dalam ragi. Reaksinya adalah
sebagai berikut :
C6H12O6 invertase 2C2H5OH + 2CO2 + 2 ATP
gula
etanol + karbondioksida+(Energi=118 kJ per mol)
Ditinjau dari reaksi diatas, dapat dilihat bahwa oksigen (O2) ternyata tidak
diperlukan, hanya pengubahan zat organik yang satu menjadi zat organik yang
lain (glukosa menjadi etanol)
3) Fermentasi asam asetat
Merupakan kelanjutan dari proses fermentasi alkohol. Proses dimulai dari
proses pemecahan gula menjadi alkohol, selanjutnya alkohol menjadi asam asetat.
2C2H5OH + 2CO2
bakteri
Bakteri yang aktif :
Acetobacter aceti
Acetobacter paseurianum
Acetobacter oxydans
2CH3COOH + 2H2O
15
2.6.4 Destilasi
Kadar etanol hasil fermentasi tidak dapat mencapai level diatas 18 hingga
21%, sebab etanol dengan kadar tesebut bersifat toxic terhadap ragi yang
memproduksi etanol tersebut sehingga untuk memperoleh etanol dengan kadar
yang lebih tinggi perlu dilakukan destilasi. Destilasi adalah proses pemanasan
yang memisahkan etanol dan beberapa komponen cair lain dari substrat fermentasi
sehingga diperoleh kadar etanol yang lebih tinggi (Jirasak dan Sornvoraweat
2011).
Tujuan proses destilasi adalah untuk memisahkan etanol dari campuran
etanol-air. Titik didih etanol adalah 78 0C dan titik didih air adalah 100 0C
sehingga dengan pemanasan pada suhu 78 0C dengan metode destilasi maka etanol
dapat dipisahkan dari campuran etanol-air. Konsentrasi maksimum etanol yang
dapat diperoleh dengan cara destilasi adalah 96%. Etanol anhidrat (99,5%-100%)
dapat diperoleh dengan menggunakan metode destilasi azeotrop menggunakan
benzen (Waller 1981).
Campuran azeotrop etanol-air dapat dipisah dengan penambahan benzen
dimana akan terbentuk campuran azeotrop benzen-etanol-air dengan titik didih
64,9 0C. Titik didih campuran tersebut lebih rendah dari campuran etanol-air
(78,2 0C) sehingga etanol dapat dipisahkan dari air dengan destilasi bertingkat,
namun pemisahan etanol dengan metode ini akan menyisakan beberapa ppm
residu benzene di dalam etanol yang diperoleh. Benzen adalah bahan yang toxic
bagi manusia, selain itu penggunaan metode ini juga menghasilkan etanol yang
tidak murni sehingga metode ini tidak banyak dipergunakan (Graham 2003).
Metode alternatif yang dapat dipergunakan untuk memperoleh etanol
dengan kadar 100% dari etanol 96% adalah dengan menggunakan molecular
sieve, yakni suatu absorben sintetis berbentuk pellet yang dapat secara selektif
mengikat molekul air. Selain murah harganya, metode ini tidak meninggalkan
residu pada etanol yang diperoleh (Mathewson 1980).
Download