Investor yang Mati Muda 02-09-2002 ISYARAT Ketua Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) soal anjloknya investor di pasar modal (Kompas, 27 Agustus 2002) boleh jadi merupakan upaya untuk mengingatkan kita semua bahwa pilar utama dari keberlangsungan industri tersebut sudah berada di ambang yang paling mengkhawatirkan. Padahal, kita mengetahui bahwa sebelum Indonesia mengalami krisis, jumlah dan perkembangan investor cukup menggembirakan. Seolah-olah investor yang pernah ada tersebut telah "mati muda", sebelum sempat menikmati keuntungan investasi mereka. Benarkah semua ini disebabkan oleh adanya krisis moneter dan faktor fundamental dari emiten? Apabila penyebabnya adalah soal alasan untung atau rugi, maka krisis moneter dan ekses yang terkait lainnya bolehlah kita jadikan sebagai kambing hitam, namun persoalannya tidak ist sesederhana itu. Sebab, persoalan seputar keberadaan investor di Indonesia menyangkut soal keberpihakan, kebijakan, dan pengawasan. Apa yang terjadi di pasar modal hanya contoh kecil dari sederet kisah sedih dari nasib investorinvestor lainnya yang hak-haknya tidak pernah mendapatkan perlindungan secara maksimal, baik secara ekonomis maupun yuridis. Strategi untuk mempertahankan dan mengembangkan jumlah penanam modal apakah yang ada di pasar modal maupun di sektor lain bukan agenda yang memerlukan banyak perhatian. Kita lebih sering memperlakukan status investor layaknya hubungan antara penjual dan pembeli. Apabila mereka rugi atau hancurnya usaha tempat di mana uang mereka ditanamkan hanya dijawab dengan mati aja loe, atau sikap sinis atas kebodohan mereka. Niat untuk memberikan edukasi kepada masyarakat tentang tata risiko investasi menjadi barang yang mahal, yang tidak pernah tuntas dan terintegrasi dengan seluruh proses kegiatan perekonomian kita. Bermanis-manis dengan investor hanya dilakukan pada saat uang mereka belum masuk ke kantung perusahaan. Selain itu, hukum untuk melindungi kepentingan investor baru akan diterapkan bila telah timbul skandal atau kasus hukum. Kalau begitu, jangan banyak berharap bilamana keberadaan dan perilaku investor di Indonesia semakin hari semakin menciut. Timbulnya perilaku spekulatif yang justru menjadi sasaran modus operandi kasus investasi berantai, yang biasanya mengorbankan kepentingan yang kecil. *** KASUS yang menimpa investor PT Qurnia Subur Alam Raya (QSAR) tak ada bedanya dengan nasib nasabah bank yang kolaps, pemegang polis asuransi, unit reksadana yang ditutup, pemegang saham emiten yang pailit, atau nasabah berjangka yang tertipu, yang semuanya merupakan korban yang memerlukan adanya sarana untuk menyelesaikan hak-hak ekonomis mereka. Potensi investasi dari masyarakat yang menyisihkan sebagian dari anggaran dapurnya masih banyak. Terlebih lagi di musim krisis ini. Daya juang masyarakat untuk mampu survive mendorong mereka kreatif mencari peluang-peluang baru, namun sayangnya hal ini tidak disertai dukungan maupun pengawasan dari pemerintah. Dukungan dimaksud dapat dalam berbagai bentuk yang fungsinya untuk menstimulasi potensi dan menjaga kepercayaan, sekaligus keamanan investasi yang dilakukan. Pemodal yang masih melakukan kegiatan investasi di pasar modal merupakan sisa-sisa kejayaan masa lalu, terutama ketika booming saham yang mengundang antrean panjang investor pada pasar perdana. Kita jangan hanya mampu untuk menjadikan dana pensiun sebagai satu-satunya sapi perah investasi-jangankan untung, justru buntung yang dialami selama ini tak pernah punya solusi untuk kembali. Kekecewaan pemodal tidak hanya soal aspek penegakan hukum atau kepastian dari hak-hak mereka sebagai pemegang saham, melainkan juga tidak adanya perhatian pemerintah tentang bagaimana caranya dapat memberikan insentif sebagai penawar kerugian yang selama ini diderita. Trilyunan uang yang didapat dan berputar untuk memulihkan perekonomian Indonesia hanya bertumpu untuk penyelesaian utang, tanpa pernah melibatkan upaya untuk mempertahankan keberadaan investor. Privatisasi atau rencana initial public offering (IPO/penawaran saham perdana) baru BUMN jauh dari pola insentif yang dikemas secara strategis untuk melibatkan potensi investor publik di dalamnya. Walaupun pola insentif ini pernah diterapkan pada saat Bank BNI go public, di mana harga penawaran perdana yang ditetapkan Rp 850 memiliki insentif untuk naik pada saat pasar sekunder. Sayangnya, niat baik untuk mendorong partisipasi investor tersebut tidak sepenuhnya berjalan. Sebab, porsi penjatahannya di pasar perdana dirongrong oleh praktik korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) karena tergiur manisnya untung yang pasti didapat ketika saham tersebut diperdagangan di lantai bursa. Dengan demikian, penyebaran kepemilikan hanya berasal dari kantung kanan dan keluar ke kantung kiri. Sekarang pun tak pernah terdengar apa yang dapat diperoleh pemodal atau stakeholder apabila privatisasi tersebut berjalan sukses. Paling-paling situasi riuh rendahnya kebijakan penjualan saham BUMN tersebut hanya bermanfaat pada saat saham tersebut menjadi ajang spekulatif. Istilah kerennya "stabilisasi harga" yang berlangsung di lantai bursa. Jadi, sangat disayangkan sebagian dari dana yang dialokasikan untuk program tersebut tidak mampu mengundang lebih banyak lagi calon pemodal baru, atau investor lama yang masih trauma dengan pasar modal. Jenis kegiatan investasi apakah itu yang berhubungan dengan mekanisme perdagangan efek, kontrak berjangka komoditas, pasar uang, atau jenis lainnya selalu memiliki risiko. Risiko investasi di Indonesia bukan lagi soal risiko kerugian, kita lebih banyak menumpuk risiko ketidakpastian. Lihat saja ketika PT QSAR meledak, semua departemen merasa tak harus mengurusi soal ini. Sedih kita melihatnya. Modus penipuan, pengemplangan, atau penjarahan ekonomi akan semakin berkembang apabila tatanan hukum dan perangkat peraturan yang berhubungan dengan kegiatan perlindungan investor tidak ditata secara benar. Investor memerlukan perlindungan dari risiko kegiatan investasi, risiko tidak berfungsinya sistem pengawasan pasar dan dari risiko terjadinya praktik curang, serta kejahatan pasar. Untuk mencegah dan mengurangi masing-masing risiko itu, diperlukan sistem penjaminan dan asuransi yang melindungi transaksi tersebut, dengan prinsip-prinsip good corporate governance, penegakan hukum yang semuanya merupakan kerangka dasar, yang secara teoretis terkait dengan perlindungan investor. Pendekatan yang dilakukan di dalam memaksimalkan perlindungan dapat ditempuh dengan tiga cara. Pertama, membiarkan pelaku pasar yang menentukan format perlindungannya sendiri yang sejalan dengan prinsip pasar bebas. Kedua, dengan cara self regulate, yaitu peraturan yang menyangkut ketentuan standar atau pedoman untuk perilaku pasar. Ketiga, memformulasikan perangkat hukum dalam bentuk perundang-undangan. Setiap pendekatan itu akan berjalan efektif apabila investor merasakan tidak adanya halangan dan tersedianya sarana yang melindungi hak-hak mereka. *** MEROSOTNYA partisipasi investor secara simultan bukan karena hak-hak mereka tidak terlindungi maksimal, tetapi sangat jarang ditemukan kebijakan yang secara konsisten mengoptimalkan unsur potensi dan kegairahan pemodal. Kemandekan fungsi, daya dukung, serta kemampuan untuk menjalankan kewenangan dari lembaga seperti Bapepam, Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti), dan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) agar dapat bergerak secepat kebutuhan pasar merupakan persoalan klasik yang makin hari semakin penuh dengan ketidakpastian. Independensi dan efisiensi merupakan barang langka yang seharusnya dihasilkan oleh self regulatory organization sehingga dengan adanya biaya murah dan sarana efektif, investor tersebut berpeluang untuk melakukan transaksi atau menghasilkan keputusan investasi yang bersifat ekonomis. Kaburnya sejumlah pialang asing, adanya persoalan permodalan, dan profesionalisme yang membelit kegiatan pialang merupakan cermin buruk dari upaya untuk meningkatkan kualitas investor atau pemodal. Padahal, pialanglah yang menjadi front paling depan untuk menambah pasokan investor. Kalau begitu, tidak ada siapa pun yang memikirkan kepentingan investor di tengah-tengah pemulihan ekonomi ini saat ini. Untuk memperjuangkan hak- hak mereka, investor atau pemodal senantiasa berhadapan dengan persoalan yang menyangkut tentang kualitas keterbukaan informasi, kekakuan proses rapat umum pemegang saham, dan keleluasan untuk mendapatkan informasi tentang perkembangan usaha dan keuangan perseroan. Selain itu, juga karena kondisi kepemilikan di emiten-emiten yang sedang berada di dalam proses privatisasi, restrukturisasi atau likuidasi; belum tersedianya sarana penyelesaian sengketa (baru saja didirikan Badan Arbitrase Pasar Modal); dan tidak bersahabatnya lembaga peradilan di Indonesia. Bagi pemodal yang masih punya napas, seperti dana pensiun atau asuransi, mereka memiliki kemampuan untuk bertahan sementara dan menyelesaikan persoalannya. Namun, bagaimana dengan nasib pemodal eceran yang dahulunya ikut berbondong-bondong membeli saham pada saat pasar sedang ramai. Apabila kondisi seperti ini tidak dibereskan, jangan salahkan bila kasus sejenis PT QSAR akan datang kembali dalam bentuk yang lain. Sebab, masyarakat tetap membutuhkan sarana investasi yang menjanjikan tingkat keuntungan yang menarik serta aman bagi mereka. Kebodohan yang diperlihatkan oleh investor di PT QSAR merupakan cermin bahwa kita tidak memiliki perhatian kepada soal pendidikan masyarakat, khususnya investor. Orang bodoh akan menjadi santapan dari para white collar crime, dan strategi sosialisasi untuk mengundang partisipasi pemodal memerlukan bahasa yang dapat dipahami secara sederhana. Obat dari luka dan derita investor di pasar modal, perdagangan berjangka komoditas, atau pasar finansial lainnya hanya dapat dihasilkan apabila ada niat dan tindakan yang konsisten dari para pengambil kebijakan, serta dukungan yang positif dari para wakil rakyat kita karena setiap persoalan pasti ada solusinya.*