BAB II LANDASAN TEORI II.1. Pemahaman Pajak II.1.1 Definisi

advertisement
BAB II
LANDASAN TEORI
II.1.
Pemahaman Pajak
II.1.1 Definisi Pajak
Menurut Rochmat Soemitro dalam buku Perpajakan karangan Mardiasmo
(2011), pajak adalah “Iuran rakyat pada kas negara berdasarkan undang-undang (yang
dapat dilaksanakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (kontraprestasi) yang dapat
langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum.”
(h1)
Dari definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa pajak memiliki unsur-unsur:
1. Iuran dari rakyat kepada Negara
Yang berhak memungut pajak hanyalah Negara. Iuran tersebut berupa uang
(bukan barang).
2. Berdasarkan undang-undang
Pajak dipungut berdasarkan atau dengan kekuatan undang-undang serta aturan
pelaksanaannya.
3. Tanpa jasa timbal atau kontraprestasi dari negara yang secara langsung dapat
ditunjuk. Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukan adanya kontraprestasi
individual oleh pemerintah.
4. Digunakan untuk membiayai rumah tangga Negara, yakni pengeluaranpengeluaran yang bermanfaat bagi masyarakat.
Jadi menurut pendapat penulis, pajak merupakan iuran yang diberikan oleh
rakyat kepada negara berdasarkan undang-undang, yang tidak mendapatkan
10
kontraprestasi
secara
langsung
yang
bertujuan
untuk
membiayai
penyelenggaraan pemerintahan negara.
II.1.2 Fungsi dan Asas Pengenaan Pajak
Pajak mempunyai peranan yang sangat penting dalam kehidupan bernegara,
khususnya di dalam pelaksanaan pembangunan karena pajak merupakan sumber
pendapatan negara untuk membiayai semua pengeluaran termasuk pengeluaran
pembangunan. Berdasarkan hal diatas maka menurut Mardiasmo (2011), pajak
mempunyai beberapa fungsi, yaitu:
a. Fungsi anggaran (budgetair)
Sebagai sumber pendapatan negara, pajak berfungsi untuk membiayai pengeluaranpengeluaran negara. Untuk menjalankan tugas-tugas rutin negara dan melaksanakan
pembangunan, negara membutuhkan biaya. Biaya ini dapat diperoleh dari penerimaan
pajak. Dewasa ini pajak digunakan untuk pembiayaan rutin seperti belanja pegawai,
belanja barang, pemeliharaan, dan lain sebagainya. Untuk pembiayaan pembangunan,
uang dikeluarkan dari tabungan pemerintah, yakni penerimaan dalam negeri dikurangi
pengeluaran rutin. Tabungan pemerintah ini dari tahun ke tahun harus ditingkatkan
sesuai kebutuhan pembiayaan pembangunan yang semakin meningkat dan ini terutama
diharapkan dari sektor pajak.
b. Fungsi mengatur (regulerend)
Pemerintah bisa mengatur atau melaksanakan kebijakan pemerintah dalam bidang
pertumbuhan ekonomi. Dengan fungsi mengatur, pajak bisa digunakan sebagai alat
untuk mencapai tujuan. Contohnya: dalam rangka untuk mendorong ekspor produk
Indonesia di pasaran dunia, pemerintah membuat tarif ekspor sebesar 0%.
11
II.1.3 Asas Pengenaan Pajak
Agar negara dapat mengenakan pajak kepada warganya atau kepada orang
pribadi atau badan lain yang bukan warganya, tetapi mempunyai keterkaitan dengan
negara tersebut, tentu saja harus ada ketentuan-ketentuan yang mengaturnya. Untuk
dapat menyusun suatu undang-undang perpajakan, diperlukan asas-asas atau dasar-dasar
yang akan dijadikan landasan oleh negara untuk mengenakan pajak.
Menurut Mardiasmo dalam buku Perpajakan (2011), terdapat beberapa asas yang
dapat dipakai oleh negara sebagai asas dalam menentukan wewenangnya untuk
mengenakan pajak, khususnya untuk pengenaan pajak penghasilan. Asas utama yang
paling sering digunakan oleh negara sebagai landasan untuk mengenakan pajak adalah:
a. Asas domisili atau disebut juga asas kependudukan (domicile/residence
principle), berdasarkan asas ini negara akan mengenakan pajak atas suatu
penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan, apabila
untuk kepentingan perpajakan, orang pribadi tersebut merupakan penduduk
(resident) atau berdomisili di negara itu atau apabila badan yang
bersangkutan berkedudukan di negara itu. Dalam kaitan ini, tidak
dipersoalkan dari mana penghasilan yang akan dikenakan pajak itu berasal.
Itulah sebabnya bagi negara yang menganut asas ini, dalam sistem pengenaan
pajak
terhadap
penduduk-nya
akan
menggabungkan
asas
domisili
(kependudukan) dengan konsep pengenaan pajak atas penghasilan baik yang
diperoleh di negara itu maupun penghasilan yang diperoleh di luar negeri
(world-wide income concept).
12
b. Asas sumber, negara yang menganut asas sumber akan mengenakan pajak
atas suatu penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan
hanya apabila penghasilan yang akan dikenakan pajak itu diperoleh atau
diterima oleh orang pribadi atau badan yang bersangkutan dari sumbersumber yang berada di negara itu. Dalam asas ini, tidak menjadi persoalan
mengenai siapa dan apa status dari orang atau badan yang memperoleh
penghasilan tersebut sebab yang menjadi landasan pengenaan pajak adalah
objek pajak yang timbul atau berasal dari negara itu. Contoh: Tenaga kerja
asing bekerja di Indonesia maka dari penghasilan yang didapat di Indonesia
akan dikenakan pajak oleh pemerintah Indonesia.
c. Asas
kebangsaan
atau
asas
nasionalitas
atau
disebut
juga
asas
kewarganegaraan (nationality/citizenship principle). Dalam asas ini, yang
menjadi landasan pengenaan pajak adalah status kewarganegaraan dari orang
atau badan yang memperoleh penghasilan. Berdasarkan asas ini, tidaklah
menjadi persoalan dari mana penghasilan yang akan dikenakan pajak berasal.
Seperti halnya dalam asas domisili, sistem pengenaan pajak berdasarkan asas
nasionalitas ini dilakukan dengan cara menggabungkan asas nasionalitas
dengan konsep pengenaan pajak atas world wide income.
II.1.4 Pembagian Jenis Pajak
Mardiasmo (2011) menjelaskan secara umum pajak yang diberlakukan di
Indonesia dapat dibedakan dengan klarifikasi sebagai berikut:
13
1) Menurut golongannya
a. Pajak langsung adalah pajak yang yang harus dipikul sendiri oleh Wajib
Pajak dan tidak dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain.
Contoh: Pajak Penghasilan.
b. Pajak tidak langsung adalah pajak yang pada akhirnya dapat dibebankan
atau dilimpahkan kepada orang lain. Contoh: Pajak Hotel, Pajak Hiburan
dan Pajak Restoran.
2) Menurut sifatnya
a. Pajak subjektif adalah pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada
subjeknya, dalam arti memperhatikan keadaan diri Wajib Pajak. Contoh:
Pajak Penghasilan.
b. Pajak objektif adalah pajak yang berpangkal pada objeknya, tanpa
memperhatikan keadaan diri Wajib Pajak. Contoh: Pajak Penjualan atas
Barang Mewah.
3) Menurut lembaga pemungutnya
Dwiarso, Yulita dan Agung (2011) menjelaskan secara kewilayahan pajak
terbagi menjadi dua katagori, yaitu:
a. Pajak pusat adalah pajak yang dipungut oleh pemerintahan pusat dan
digunakan untuk membiayai rumah tangga negara. Contoh: Bea Materai.
b. Pajak daerah adalah pajak yang dipungut oleh pemerintahan daerah dan
digunakan untuk membiayai rumah tangga daerah.
i. Pajak provinsi, contoh: pajak kendaraan bermotor.
ii. Pajak kabupaten atau kota, contoh: pajak hotel. (h5)
14
II.1.5 Sistem Pemungutan Pajak
Mardiasmo (2011) menjalaskan bahwa sistem pemungutan pajak dapat dibagi
atas 3 (tiga) macam yaitu:
a. Official Assessment System adalah suatu sistem pemungutan yang memberi
wewenang kepada pemerintah (fiskus) untuk menentukan besarnya pajak yang
terutang oleh Wajib Pajak.
Ciri-cirinya:
1. Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada fiskus.
2. Wajib Pajak bersifat pasif.
3. Utang pajak timbul setelah dikeluarkan surat ketetapan pajak oleh fiskus.
b. Self Assessment System adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi
wewenang kepada Wajib Pajak untuk menentukan sendiri besarnya pajak yang
terutang.
Ciri-cirinya:
1. Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada Wajib
Pajak sendiri.
2. Wajib Pajak aktif, mulai dari menghitung, menyetor dan melaporkan
sendiri pajak yang terutang.
3. Fiskus tidak ikut campur dan hanya mengawasi.
c. With Holding System adalah suatu pemungutan pajak yang memberi wewenang
kepada pihak ketiga (bukan fiskus dan bukan Wajib Pajak yang bersangkutan)
untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh Wajib Pajak.
15
Ciri-cirinya:
1. Wewenang menentukan besarnya pajak yang terutang ada pada pihak
ketiga, pihak lain selain fiskus dan Wajib Pajak. (h7)
II.1.6 Timbul dan Hapusnya Utang Pajak
Mardiasmo (2011) menjelaskan bahwa utang pajak timbul karena Surat
Ketetapan Pajak (ajaran formal), ajaran ini diterapkan pada official assessment system.
Perbedaan dengan ajaran materiil bahwa utang pajak timbul karena undang-undang.
Ajaran ini diterapkan pada self assessement system. Penghapusan utang pajak dapat
disebabkan beberapa hal :
1. Pembayaran
Utang pajak yang melekat pada Wajib Pajak akan hapus karena pembayaran
yang dilakukan ke Kas Negara.
2. Kompensasi
Keputusan yang ditujukan kepada kompensasi utang pajak dengan tagihan
seseorang di luar pajak tidak diperkenankan. Oleh karena itu kompensasi terjadi
apabila Wajib Pajak mempunyai tagihan berupa kelebihan pembayaran pajak.
Jumlah kelebihan pembayaran pajak yang diterima Wajib Pajak sebelumnya
harus dikompensasikan dengan pajak-pajak lainnya yang terutang.
3. Daluwarsa
Dalam hal ini daluwarsa diartikan sebagai daluwarsa penagihan. Hak untuk
melakukan penagihan pajak, daluwarsa setelah lampau waktu 5 (lima) tahun
terhitung sejak saat terutangnya pajak atau berakhirnya masa pajak, bagian tahun
pajak atau tahun pajak yang bersangkutan. Hal ini memberi kepastian hukum
16
kapan utang pajak tidak dapat ditagih lagi. Namun daluwarsa penagihan pajak
tertangguh, antara lain apabila diterbitkan Surat Teguran dan Surat Paksa.
4. Pembebasan dan Penghapusan
Utang pajak tidak berakhir dalam arti yang semestinya tetapi karena ditiadakan.
Pembebasan umumnya tidak diberikan terhadap pokok pajaknya, tetapi terhadap
sanksi administrasi. Sedangkan penghapusan utang pajak ini sama sifatnya
dengan pembebasan, tetapi diberikannya kepada keadaan keuangan Wajib
Pajak.(h8)
II.2
Pemahaman Mengenai Otonomi Daerah dan Pajak Daerah
II.2.1. Otonomi Daerah
Adrian Sutedi (2009) menjelaskan bahwa otonomi daerah secara istilah
merupakan wewenang atau kekuasaan pada suatu wilayah atau daerah yang mengatur
dan mengelola untuk kepentingan wilayah atau daerah masyarakat itu sendiri. Pengertian
yang lebih luas lagi adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk
mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat
setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Dalam menjalankan amanat yang diberikan oleh pemerintahan pusat kepada
daerah yang telah memiliki otonomi daerah maka diperlukan pendanaan yang tidak
sedikit.
Pemerintahan
penyelenggaraan
pusat
urusan
memberikan
pemerintahan
dana
melalui
kepada
setiap
perimbangan
daerah
untuk
keuangan
antara
pemerintahan pusat dan pemerintahan daerah. Perimbangan keuangan antara
pemerintahan pusat dan pemerintahan daerah adalah suatu system pembagian keuangan
yang adil, proporsional, demokratis, transparan, dan efisien dalam rangka pendanaan
17
penyelenggaraan desentralisasi, dengan mempertimbangkan potensi, kondisi, dan
kebutuhan daerah, serta besaran pendanaan penyelenggaraan dekonsentrasi dan tugas
pembantuan.
Dikarenakan dana yang diberikan oleh pemerintah tidak mencukupi maka daerah
didorong untuk mencari sumber penerimaan sendiri agar penyelenggaraan urusan
pemerintahaan berjalan lancar, efektif, dan efisien. Dalam Undang-undang Nomor 33
Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan
Daerah bahwa sumber penerimaan daerah dalam pelaksanaan desentralisasi terdiri atas
pendapatan daerah dan pembiayaan. Pendapatan daerah bersumber dari tiga kelompok
sebagaimana dibawah ini:
1. Pendapatan Asli Daerah (PAD), yaitu pendapatan yang diperoleh daerah dan
dipungut berdasarkan peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundangundangan, meliputi:
a) Pajak daerah;
b) Restribusi daerah, termasuk hasil dari pelayanan Badan Layanan Umum (BLU)
daerah;
c) Hasil pengelolaan kekayaan pisahkan, antara lain bagian laba dari BUMD, hasil
kerjasama dengan pihak ketiga dan,
d) Lain-lain PAD yang sah.
2. Dana perimbangan, yaitu dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang
dialokasikan kepada daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka
pelaksanaan desentralisasi.
3. Lain-lain pendapatan daerah yang sah.
Sumber penerimaan daerah yang kedua, yaitu pembiayaan yang bersumber dari :
18
1. Sisa lebih perhitungan anggaran daerah;
2. Penerimaan peminjaman daerah;
3. Dana cadangan daerah; dan
4. Hasil penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan. (H19)
II.2.2 Pengertian Pajak Daerah
Mardiasmo (2011) Undang-Undang Pajak Daerah No.28 Tahun 2009
mendefinisikan, “Pajak Daerah adalah kontribusi wajib kepada Daerah yang terutang
oleh orang pripadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang,
dengan tidak mendapatkan imbalan langsung dan digunakan untuk keperluan Daerah
bagi sebesar-sebesarnya kemakmuran rakyat”. Pajak daerah terbagi menjadi dua, yaitu
pajak provinsi dan pajak kabupaten atau kota. Pembagian ini dilakukan sesuai dengan
kewenangan pengenaan dan pemungutan masing-masing jenis pajak daerah pada
wilayah administrasi provinsi atau kabupaten atau kota yang bersangkutan. (h12)
1.
2.
Pajak provinsi terdiri dari :
a.
Pajak Kendaraan Bermotor;
b.
Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor;
c.
Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor;
d.
Pajak Air Permukaan; dan
e.
Pajak Rokok.
Pajak kabupaten/kota terdiri dari :
a.
Pajak Hotel;
b.
Pajak Restoran;
c.
Pajak Hiburan;
19
d.
II.3
Pajak Reklame;
e.
Pajak Penerangan Jalan;
f.
Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan;
g.
Pajak Parkir;
h.
Pajak Air Tanah;
i.
Pajak Sarang Burung Walet;
j.
Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan; dan
k.
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.
Pemahaman Mengenai Pajak Daerah
II.3.1 Pajak Hotel
Dasar Hukum Pemungutan Pajak Hotel
Siahaan (2010) sesuai dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 pasal 1
angka 20 dan 21, Pajak Hotel adalah pajak atas pelayanan yang disediakan oleh hotel.
Sedangkan yang dimaksud hotel adalah fasilitas penyedia jasa penginapan atau
peristirahatan termasuk jasa terkait lainnya dengan pungutan bayaran, yang mencakup
jasa motel, losmen, gubuk pariwisata, wisma pariwisata, pesanggrahan, rumah
penginapan dan sejenisnya, serta rumah kos dengan jumlah kamar lebih dari sepuluh.
Dasar Hukum pemungutan pajak hotel
pada suatu kabupaten atau kota adalah
sebagaimana di bawah ini:
1.
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Restribusi
Daerah;
20
2.
Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 yang merupakan perubahan atas
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Restribusi
Daerah;
3.
Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah;
4.
Peraturan daerah kabupaten atau kota Cilegon Nomor 6 Tahun 2011 yang
mengatur tentang Pajak Hotel;
5.
Keputusan bupati/walikota yang mengatur tentang Pajak Hotel sebagai aturan
pelaksanaan Peraturan Dearah tentang Pajak Hotel pada kabupaten atau kota
dimaksud. (h299)
Subjek Pajak dan Wajib Pajak Pajak Hotel
Siahaan (2010) subjek pajak hotel adalah orang pribadi atau badan yang
melakukan pembayaran kepada orang pribadi atau badan yang mengusahakan hotel.
Secara sederhana yang menjadi subjek pajak hotel adalah konsumen yang menikmati
dan membayar pelayanan yang diberikan oleh pengusaha hotel. Sedangkan yang
menjadi wajib pajak adalah orang pribadi atau badan yang mengusahakan hotel, yaitu
orang pribadi atau badan dalam bentuk apa pun yang dalam lingkungan perusahaan dan
pekerjaannya melakukan usaha di bidang jasa penginapan. (h303)
Objek dan Bukan Objek Pajak Hotel
1.
Objek Pajak
Siahaan (2010) menjelaskan yang menjadi objek Pajak Hotel adalah pelayanan yang
disediakan oleh hotel dengan pembayaran, termasuk jasa penunjang sebagai
kelengkapan hotel yang bersifat memberikan kemudahan dan kenyamanan,
21
termasuk fasilitas yang sifatnya memberikan kemudahan dan kenyamanan,
termasuk fasilitas olahraga dan hiburan.
2.
Dikecualikan sebagai Objek Pajak
Dikecualikan sebagai objek pajak hotel adalah :
1. Jasa tempat tinggal asrama yang diselenggarakan oleh pemerintah pusat atau
pemerintah daerah;
2. Jasa sewa apartemen, kondominium, dan sejenisnya didasarkan atas izin
usahanya;
3. Jasa tempat tinggal di pusat pendidikan atau kegiatan keagamaan;
4. Jasa tempat tinggal di rumah sakit, asrama perawat, panti jompo, panti
asuhan, dan panti sosial lainnya yag sejenis;
5. Jasa biro perjalanan atau perjalanan wisata yang diselenggarakan oleh hotel
yang dapat dimanfaatkan oleh umum. (h301)
Dasar Pengenaan, Tarif, dan Cara Perhitungan Pajak Hotel
1. Dasar Pengenaan Pajak Hotel
Siahaan (2010) Dasar pengenaan pajak hotel adalah jumlah pembayaran atau
yang seharusnya dibayar kepada hotel. Jika pembayaran dipengaruhi oleh hubungan
istimewa, harga jual atau penggantian dihitung atas dasar harga pasar yang wajar pada
saat pemakaian jasa hotel.
2. Tarif Pajak Hotel
Zuraida (2012) tarif pajak hotel ditetapkan paling tinggi sebesar 10 % (sepuluh
persen) dan ditetapkan dengan peraturan daerah kabupaten atau kota yang bersangkutan.
Hal ini dimaksudkan untuk memberikan keleluasaan kepada pemerintah kabupaten atau
22
kota untuk menetapkan tarif pajak yang dipandang sesuai dengan kondisi masingmasing daerah kabupaten atau kota. Dengan demikian, setiap daerah kabupaten atau kota
diberi kewenangan untuk menempatkan besarnya tarif pajak yang mungkin berbeda
dengan kabupaten atau kota lainya, asalkan tidak melebihi dari 10% (sepuluh persen).
(h54)
3. Perhitungan Pajak Hotel Terutang
Besarnya pokok pajak hotel yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif
pajak dengan dasar pengenaan pajak. Secara umum perhitungan pajak hotel adalah
sesuai dengan rumus berikut.
Pajak terutang = Tarif Pajak x Dasar Pengenaan Pajak
= Tarif Pajak x Jumlah Pembayaran atau yang Seharusnya
Dibayar Kepada Hotel (h304)
II.3.2 Pajak Restoran
Dasar Hukum Pemungutan Pajak Restoran
Siahaan (2010) menjelaskan bahwa pemungutan pajak restoran di Indonesia saat
ini didasarkan pada dasar hukum yang jelas dan kuat sehingga harus dipatuhi oleh
masyarakat dan pihak yang terkait. Dasar hukum pajak restoran pada suatu kabupaten
atau kota adalah sebagaimana di bawah ini:
1.
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Restribusi
Daerah;
23
2.
Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 yang merupakan perubahan atas
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Restribusi
Daerah;
3.
Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah;
4.
Peraturan daerah kabupaten atau kota Cilegon Nomor 1 Tahun 2011 yang
mengatur tentang Pajak Restoran;
5.
Keputusan bupati atau walikota yang mengatur tentang Pajak Restoran sebagai
aturan pelaksanaan Peraturan Dearah tentang Pajak Restoran pada kabupaten
atau kota dimaksud. (h329)
Objek Pajak Restoran
1.
Objek Pajak Restoran
Siahaan (2010) menjelaskan bahwa Objek Pajak Restoran adalah pelayanan yang
disediakan oleh restoran. Pelayanan yang disediakan restoran meliputi pelayanan
penjualan makanan dan atau minuman yang dikonsumsi oleh pembeli, baik dikonsumsi
di tempat pelayanan maupun di tempat lain. Termasuk dalam objek Pajak Restoran
adalah rumah makan, cafe, bar dan sejenisnya.
2.
Bukan Objek Pajak Restoran
Pada Pajak Restoran tidak semua pelayanan yang diberikan oleh restoran atau
rumah makan dikenakan pajak. Dalam Undang-Undang Nomor 28 tahun 2009 Pasal 37
ayat 3 disebutkan bahwa yang tidak termasuk objek Pajak Restoran adalah pelayanan
yang disediakan oleh restoran yang nilai penjualannya tidak melebihi batas tertentu yang
ditetapkan dengan Peraturan Daerah. (h329)
24
Subjek Pajak dan Wajib Pajak Restoran
Siahaan (2010) Subjek Pajak Restoran, subjek pajak adalah orang pribadi atau
badan yang membeli makanan dan atau minuman dari restoran. Secara sederhana yang
menjadi subjek pajak adalah konsumen yang membeli makanan dan atau minuman dari
restoran. Sedangkan wajib pajak adalah orang pribadi atau badan yang mengusahakan
restoran, yaitu orang pribadi atau badan dalam bentuk apa pun yang dalam lingkungan
perusahaan atau pekerjaannya melakukan usaha dalam bidang rumah makan. (h330)
Dasar Pengenaan, Tarif, dan Cara Perhitungan Pajak Restoran
1. Dasar Pengenaan Pajak Restoran
Siahaan (2010) Dasar pengenaan pajak restoran adalah jumlah pembayaran yang
diterima atau yang seharusnya diterima restoran. Jika pembayaran dipengaruhi oleh
hubungan istimewa, harga jual atau penggantian dihitung atas dasar harga pasar yang
wajar pada saat pembelian makanan dan atau minuman.
2. Tarif Pajak Restoran
Zuraida (2012) tarif pajak hotel ditetapkan paling tinggi sebesar 10 % (sepuluh
persen) dan ditetapkan dengan peraturan daerah kabupaten/kota yang bersangkutan. Hal
ini dimaksudkan untuk memberikan keleluasaan kepada pemerintah kabupaten/kota
untuk menetapkan tarif pajak yang dipandang sesuai dengan kondisi masing-masing
daerah kabupaten/kota. Dengan demikian, setiap daerah kabupaten/kota diberi
kewenangan untuk menempatkan besarnya tarif pajak yang mungkin berbeda dengan
kabupaten/kota lainya, asalkan tidak melebihi dari 10% (sepuluh persen). (h56)
25
3. Cara Perhitungan Pajak Restoran
Besarnya pokok pajak restoran yang terutang dihitung dengan cara mengalikan
tarif pajak dengan dasar pengenaan pajak. Secara umum perhitungan Pajak Restoran
adalah sesuai dengan rumus berikut.
Pajak Terutang = Tarif Pajak x Dasar Pengenaan Pajak
= Tarif Pajak x Jumlah Pembayaran yang Diterima Restoran
II.3.3 Pajak Hiburan
Dasar Hukum Pengenaan Pajak Hiburan
Siahaan (2010) Pemungutan Pajak Hiburan di Indonesia saat ini didasarkan pada
dasar hukum yang jelas dan kuat, sehingga harus dipatuhi oleh masyarakat dan pihak
yangg terkait. Dasar hukum pemungutan Pajak Hiburan pada suatu kabupaten atau kota
adalah sebagaimana di bawah ini:
1.
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Restribusi
Daerah;
2.
Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 yang merupakan perubahan atas
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Restribusi
Daerah;
3.
Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah;
4.
Peraturan Daerah kabupaten atau kota yang mengatur tentang Pajak Hiburan;
5.
Keputusan bupati atau walikota yang mengatur tentang Pajak Hiburan
sebagai aturan pelaksanaan Peraturan Daerah tentang Pajak Hiburan pada
kabupaten/kota dimaksud. (h355)
26
Objek Pajak Hiburan
1.
Objek Pajak Hiburan
Siahaan (2010) Objek pajak hiburan adalah jasa penyelenggaraan hiburan dengan
dipungut bayaran. Hiburan yang atas jasa penyelenggaraannya ditentukan menjadi objek
adalah:
1.
Tontonan film;
2.
Pagelaran kesenian, musik, tari, dan atau busana;
3.
Kontes kecantikan, binaraga, dan sejenisnya;
4.
Pameran;
5.
Diskotik, karaoke, klab malam, dan sejenisnya;
6.
Sirkus, akrobat, dan sulap;
7.
Permainan bilyar, golf, dan boling;
8.
Pacuan kuda, kendaraan bermotor, dan permainan ketangkasan;
9.
Panti pijat, refleksi, mandi uap/spa, dan pusat kebugaran (fitnes center); dan
10. Pertandingan olahraga.
2.
Bukan Objek Pajak Hiburan
Pada pajak hiburan tidak semua penyelenggaraan hiburan dikenakan pajak.
Berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Pasal 42 Ayat 3,
penyelengaraan hiburan yang merupakan objek Pajak Hiburan dapat dikecualikan
dengan peraturan daerah. Pengecualian ini misalnya saja dapat diberikan terhadap
penyelenggaraan hiburan yang tidak dipungut bayaran, seperti hiburan yang
diselenggarakan dalam rangka pernikahan, upacara adat, dan kegiatan keagamaan.
(h356)
27
Subjek Pajak dan Wajib Pajak Hiburan
Siahaan (2010) Subjek pajak hiburan adalah orang pribadi atau badan yang
menikmati hiburan. Secara sederhana yang menjadi subjek pajak hiburan adalah
konsumen yang menukmati hiburan. Sementara itu, yang menjadi wajib pajak hiburan
adalah orang pribadi atau badan yang menyelengarakan hiburan. (h357)
Dasar Pengenaan, Tarif, dan Cara Perhitungan Pajak Hiburan
1. Dasar Pengenaan Pajak Hiburan
Siahaan (2010) Dasar pengenaan Pajak Hiburan adalah jumlah uang yang
diterima atau yang seharusnya diterima oleh penyelenggara hiburan. Jumlah uang yang
seharusnya diterima termasuk potongan harga dan tiket cuma-cuma yang diberikan
kepada penerima jasa hiburan.
2. Tarif Pajak Hiburan
Zuraida (2012) objek Pajak Hiburan meliputi berbagai jenis hiburan, pemerintah
kabupaten/kota juga harus menetapkan tarif pajak untuk masing-masing jenis hiburan,
yang biasanya berbeda antar jenis hiburan. Tarif Pajak Hiburan ditetapkan paling tinggi
sebesar 35% ( tiga puluh lima persen). Khusus untuk hiburan berupa pagelaran busana,
kontes kecantikan, diskotik, karaoke, klab malam, permainan ketangkasan, panti pijat,
dan mandi uap / spa, tarif Pajak Hiburan dapat ditetapkan paling tinggi sebesar 75%
(tujuh puluh lima persen). Khusus hiburan kesenian rakyat atau tradisional dikenakan
tarif Pajak Hiburan paling tinggi sebesar 10% (sepuluh persen). (h58)
28
3. Perhitungan Pajak Hiburan
Besaran pokok pajak hiburan yang terutang dihitung dengan cara mengalikan
tarif pajak dengan dasar pengenaan pajak. Secara umum perhitungan Pajak Hiburan
adalah sesuai dengan rumus berikut:
Pajak terutang = Tarif Pajak x Dasar Pengenaan Pajak
= Tarif Pajak x Jumlah Uang yang Diterima oleh Penyelenggara
Hiburan (h358)
29
II.4
Penelitian Terdahulu
Berikut ini adalah tabel penelitian terdahulu:
Tabel II.1
Daftar Penelitian Terdahulu
No.
Nama
Judul Penelitian
Variabel –
Variabel Yang
Digunakan
Realisasi
Pendapatan Pajak
Hotel dan Pajak
Restoran, Tingkat
Inflasi, Jumlah
Wisatawan,
Realisasi
Penerimaan Pajak
Hotel dan Pajak
Restoran.
Hasil Penelitian
1.
Tahta Alfina
Analisis Penerimaan
Pajak Hotel dan Pajak
Restoran Sebagai Sumber
Pendapatan Asli Kota
Batu Dalam Era Otonomi
Daerah
a. Tingkat efektifitas
pajak hotel dan
restorant di Kabupaten
Kota Baru kurang baik
rata-rata 46%.
b. Tingkat efisiensi pajak
hotel dan restoran di
Kabupaten Kota Baru
yaitu naik turun antara
24,66%-27,29%.
2.
Harvi Novirianto
Evaluasi Pemungutan
Pajak Hiburan Dalam
Meningkatkan
Pendapatan Asli Daerah
Kabupaten Kediri
Realisasi
Pendapatan Pajak
Hiburan, Potensi
Pendapatan Pajak
Hiburan, Realisasi
Pendapatan Pajak
Hiburan.
a. Kontribusi Pajak
Hiburan Kabupaten
Kediri sejak tahun
1999/2000 sampai
dengan 2006/2007
rata-rata sebesar
0.32%.
b. Tingkat PAD
Kabupaten Kediri
dimana kontobusinya
meningkat rata-rata
sebesar 0.008%.
3.
Betty Rahayu
Analisi Potensi Pajak
Hotel Terhadap Realisasi
Penerimaan Pajak Hotel
di Kabupaten Gunung
Kidul
Realisasi
Penerimaan Pajak
Hotel, Potensi Pajak
Hotel
a. Pajak Hotel yang
nilainya selalu
menurun dari tahun
selama tahun 20052009 bahkan nilai yang
ada tidak lebih dari
5% setiap tahunnya.
30
Download