KETERLAMBATAN DALAM MEMULAI PENGOBATAN PASIEN

advertisement
KETERLAMBATAN DIAGNOSIS TUBERKULOSIS PARU
DI RUMAH SAKIT Dr M DJAMIL PADANG
Sabrina E, Taufik, Yusrizal Chan, Zailirin YZ
Bagian Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi FK Unand/
RS Dr M Djamil Padang
ABSTRAK
Latar Belakang: Keterlambatan dalam memulai pengobatan tuberkulosis (TB)
paru, terutama basil tahan asam (BTA) positif, dapat meningkatkan periode
penularan dalam masyarakat, penyakit tambah berat, komplikasi tambah banyak
dan angka kematian meningkat.
Tujuan: Menentukan lamanya Keterlambatan pasien dan dokter dalam memulai
pengobatan TB paru serta faktor-faktor yang mempengaruhinya.
Metode: Studi cross sectional dengan menganalisis dan interview pasien TB paru
kasus baru yang melanjutkan pengobatan anti-tuberkulosis di Poliklinik Paru RS
Dr. M. Djamil Padang 1 Oktober 2006 s/d 31 Maret 2007.
Hasil: Dari 116 pasien, median usia 40 tahun, laki-laki 62,1%, 44,8% BTA
positif. Keterlambatan pasien dialami oleh 75,9% dan Keterlambatan dokter
89,7%. Nilai median keterlambatan masing-masing 7,0 minggu dan 4,2 minggu.
Faktor yang mempengaruhi Keterlambatan pasien adalah tingkat pendidikan
rendah, gejala awal batuk, dan persepsi pasien terhadap gejalanya batuk biasa.
Faktor yang mempengaruhi Keterlambatan dokter adalah sarana kesehatan
pertama dikunjungi puskesmas, tidak ada kunjungan ke unit gawat darurat, BTA
negatif, diagnosis sarana kesehatan pertama penyakit lain dan tidak tahu,
mempunyai asuransi dan jumlah sarana kesehatan yang dikunjungi ≥ 3 buah.
Kesimpulan: Pada umumnya pasien mengalami keterlambatan dalam memulai
pengobatan TB paru. Keterlambatan dapat terjadi oleh pasien maupun dokter.
Berbagai faktor mempengaruhi keterlambatan tersebut.
Kata kunci : Keterlambatan pasien, Keterlambatan dokter, faktor-keterlambatan
meningkatkan
PENDAHULUAN
Elemen penting dalam program
penanggulangan tuberkulosis (TB)
adalah diagnosis dini dan pemberian
terapi yang cepat dan tepat. Hal ini
terutama penting pada kasus-kasus
dengan basil tahan asam (BTA)
positif,
karena
bila
terlambat
mendiagnosis dan memberi terapi,
dapat menjadi sumber penularan dan
periode
penularan
dalam masyarakat. Disamping itu,
dapat menyebabkan penyakit lebih
berat, komplikasi lebih banyak dan
angka kematian meningkat.1 Hal ini
umum
sedang
terjadi
di
negara-negara
berkembang,
termasuk
Indonesia yang merupakan salah satu
negara dengan jumlah penderita TB
terbesar setelah India dan Cina. Pada
1
tahun
2004,
diperkirakan
angka
dapat berasal dari pasien atau dari
prevalensi TB di Indonesia mencapai
sistem pelayanan kesehatan, terjadi
119 per 100.000 penduduk pertahun.
mulai
Angka deteksi kasus (Case Detection
mengeluh
Rate/CDR) BTA positif hanya 54%,
berhubungan dengan TB paru sampai
yang berarti masih banyak kasus TB
pengobatan
yang belum tertangani.2
diberikan.5,6 Keterlambatan ini dapat
Di Poliklinik Paru RS Dr. M.
pada
dibagi
saat
pasien
mulai
adanya
gejala
yang
anti
atas
tuberkulosis
dua
kategori;
Djamil, pada tahun 1992 pasien TB
Keterlambatan
pasien
paru yang berobat sebanyak 102
keterlambatan
oleh
kasus, jumlah ini meningkat menjadi
kesehatan.7
195 kasus pada tahun 19963. Pada
dan
sarana
Keterlambatan
pasien
tahun 1998-2002 pasien TB paru
(patient’s delay) yaitu bila periode
yang dirawat di Bangsal Paru RS Dr.
mulai
M. Djamil Padang mencapai 52,94%
gejala yang relevan dengan TB
dari seluruh pasien yang dirawat.
sampai datang pertama kali ke sarana
BTA sputum positif didapat pada
kesehatan
30,54% pasien, dan lesi luas secara
tertentu.8
radiologis 89,13%.4
mendefinisikan
dari
pasien
mengeluhkan
melebihi
satu
Beberapa
waktu
peneliti
Keterlambatan
Dari data diatas dapat dilihat
pasien sebagai rentang waktu antara
terjadi peningkatan kasus TB paru
pasien pertama mengalami keluhan
yang berobat ke Poliklinik Paru.
yang relevan dengan TB sampai saat
Jumlah pasien yang dirawat cukup
pertama kali berobat ke sarana
tinggi dengan lesi luas. Penyebab
kesehatan.6,9,10
terjadinya keadaan tersebut belum
diketahui,
apakah
keterlambatan
berperan dalam hal ini?
Keterlambatan mendiagnosis
Periode mulai pasien pertama
konsultasi
ke
sarana
kesehatan
sampai ditegakkan diagnosis, bila
melebihi suatu batas waktu tertentu
TB paru sudah dilaporkan baik di
disebut
Keterlambatan
dokter
negara maju maupun negara sedang
(docter’s delay).8 Beberapa peneliti
berkembang. Keterlambatan dalam
mendefinisikan
diagnosis dan pengobatan TB paru
dokter sebagai rentang waktu antara
Keterlambatan
2
saat pasien pertama kali datang ke
Karena tidak ada kesamaan
sarana kesehatan sampai diagnosis
pendapat para ahli untuk batasan
ditegakkan.6,9,10
keterlambatan ini, banyak peneliti
Tidak ada kesepakatan para
mengambil waktu mulai dari gejala
ahli tentang batas waktu untuk
awal sampai kunjungan pertama ke
Keterlambatan
dan
sarana kesehatan langsung sebagai
Dalam
Keterlambatan pasien, dan periode
potong
pertama ke sarana kesehatan sampai
Keterlambatan
pasien
dokter.
berbagai
penelitian,
titik
batas
waktu
keterlambatan
mendapat
obat
ditentukan dengan dua cara. Cara
(OAT)
pertama
kesepakatan
Keterlambatan
para ahli dengan suatu periode yang
kesehatan. 1,7,9
masuk
berdasarkan
akal
disebut
sebagai
dokter/sarana
berbagai
Penelitian ini dilakukan untuk
dalam
menilai Keterlambatan pasien dan
penelitian Wandwalo dkk di Mwanza
dokter dalam memulai pengobatan
(Tanzania).
Berdasarkan
pada pasien TB paru yang berobat di
pengetahuan medis beberapa dokter
Poliklinik Paru RS Dr. M. Djamil
dan
tingkat
Padang. Dinilai juga faktor-faktor
pasien,
yang mempengaruhi keterlambatan
pertimbangan,
dengan
antituberkulosis
seperti
mempertimbangkan
sosio-ekonomi
Keterlambatan pasien dihitung bila
tersebut.
periode mulai gejala awal sampai
kunjungan
pertama
ke
sarana
METODE
kesehatan lebih dari 30 hari, dan
Penelitian
cross
ini
merupakan
Keterlambatan dokter dihitung bila
studi
periode kunjungan pertama ke sarana
menganalisis
kesehatan sampai diputuskan dapat
menginterview pasien TB paru kasus
OAT lebih dari 10 hari.11 Cara kedua
baru
yaitu menggunakan nilai median
Poliklinik Paru RS Dr. M. Djamil
keterlambatan yang didapat dalam
Padang mulai 1 Oktober 2006 s/d 31
penelitian tersebut, seperti dalam
Maret
penelitian Chang dkk.8
maupun negatif. Diagnosis TB paru
yang
2007,
sectional
rekam
medis
mendapat
baik
dengan
dan
OAT
BTA
di
positif
dapat ditegakkan oleh Poliklinik
3
Paru RS Dr M Djamil Padang
International
maupun tempat lain termasuk pasien
Tuberculosis and Lung Diseases
rawat inap dan dari rumah sakit lain.
(IUATLD).12 Hasil röntgen toraks
Pemberian
di
dinilai luas lesi menurut kriteria
Poliklinik Paru RS Dr M Djamil
American Thorasic Society (ATS).13
karena berbagai alasan. Pasien yang
Lama kedua pemeriksaan ini dinilai
masuk dalam penelitian ini berusia
dari pertama dianjurkan sampai hasil
15 tahun atau lebih dan menanda
pemeriksaan diberikan pada dokter.
tangani
OAT
dilanjutkan
persetujuan
penelitian.
Union
Pasien
Against
diminta
untuk
Pasien dikeluarkan dari penelitian
memperkirakan mulai gejala awal,
bila
dengan
informasi
tidak
adekuat,
menggunakan
patokan
misalnya data rekam medis tidak
kejadian-kejadian
cukup atau pasien sulit diwawancarai
sepanjang tahun, misalnya hari-hari
karena sebab tertentu.
keagamaan, hari bersejarah baik
Data yang dikumpulkan dari
yang
bersifat
monumental
nasional
maupun
rekam medis pasien antara lain; jenis
pribadi, atau kejadian-kejadian alam
kelamin,
tingkat
seperti gempa bumi dan lain-lain.
asuransi,
Gejala awal yaitu gejala yang relevan
tanggal pertama ke Poliklinik Paru
dengan TB, termasuk: batuk, batuk
RS Dr M Djamil Padang. Dicatat
darah, sesak nafas, nyeri dada,
juga hasil BTA dan röntgen toraks
demam, penurunan berat badan, dan
serta lama pemeriksaan, tanggal
lain-lain
keputusan
kelenjer
umur,
pendidikan,
alamat,
pekerjaan,
pemberian
OAT
dan
(termasuk:
getah
bening).
Persepsi
sarana kesehatan yang memutuskan
pasien
pemberian OAT.
sarana kesehatan pertama dikunjungi
Hasil
BTA
sputum
dan
pembesaran
diagnosis/keterangan
yang
terhadap gejala awal diklasifikasikan
diambil adalah hasil pemeriksaan
atas batuk biasa, penyakit paru,
tertinggi dari tiga pemeriksaan yang
penyakit lain dan tidak tahu.
dilakukan. Pembacaan sediaan dahak
dilakukan
oleh
Laboratorium
Pada
semua
ditanyakan
waktu
Mikrobiologi RS Dr. M. Djamil
kesehatan
pertama
Padang dengan menggunakan skala
jumlah
sarana
pasien
dan
sarana
dikunjungi,
kesehatan
yang
4
dikunjungi
sampai
ditegakkan
dan
diagnosis
kunjungan
ke
dibutuhkan untuk pemeriksaan BTA
dan röntgen toraks serta faktor teknis
pengobatan alternatif.
di RS. Dr. M. Djamil Padang.
Keterlambatan
Analisis statistik
Keterlambatan
pasien
Data diproses dan dianalisis
(patient’s delay), didefinisikan bila
menggunakan SPSS versi 10.0 for
periode
Window. Karena distribusi data tidak
antara
pasien
pertama
merasakan keluhan yang relevan
normal, Tes Mann-Whitney
dengan TB sampai datang ke sarana
Kruskall-Wallis
kesehatan yang pertama dikunjungi
menentukan
lebih dari 3 (tiga) minggu. Batasan
Keterlambatan pasien dan dokter.
waktu
Untuk
3
minggu
ditentukan
digunakan
untuk
perbedaan
menentukan
dan
median
faktor
yang
berdasarkan lamanya gejala utama
mempengaruhi
TB berupa batuk terus menerus dan
Keterlambatan pasien dan dokter
berdahak selama 3 (tiga) minggu
digunakan analisis regresi logistik
atau
multivariat
lebih
menurut
Nasional
Pedoman
Penanggulangan
Tuberkulosis.12
dan
terjadinya
dihitung
rasio
kecenderungan/RK (odd ratio/OR)
dengan interval kepercayaan/IK 95%
Keterlambatan
dokter
(95% Convident Interval /CI). Nilai
(doctor’s delay), yaitu bila periode
p<0,05 dianggap bermakna secara
pertama pasien ke sarana kesehatan
statistik.
sampai diputuskan dapat OAT lebih
dari 1 (satu) minggu. Batasan waktu
HASIL
1 (satu) minggu disamakan dengan
Dari tanggal 1 Oktober 2006
batasan keterlambatan di Poliklinik
s/d 31 Maret 2007 tercatat 119
Paru
pasien TB paru kasus baru yang
RS.
M.
Djamil
Padang,
berdasarkan kesepakatan para Ahli
mendapat
Paru dan dokter yang menangani
antituberkulosis (OAT) di Poliklinik
pasien TB paru di Poliklinik Paru RS
Paru RS Dr. M. Djamil Padang,
Dr. M.
dimana
Djamil
mempertimbangkan
Padang dengan
waktu
yang
pengobatan
116
pasien
(97,5%)
dimasukkan dalam penelitian ini.
5
Tiga pasien tidak dapat diikutkan
pasien berasal dari kota Padang
dalam penelitian karena alasan tidak
(94,0%),
dapat diinterview dengan baik, satu
terbanyak adalah tingkat menengah
orang pasien sudah tua dan pelupa
(53,4%). Tiga puluh dua orang
dan dua pasien menderita gangguan
pasien (27,6%) tidak bekerja. Hanya
jiwa. Dari 116 pasien, usia termuda
7,7% pasien yang tidak mempunyai
17 tahun dan tertua 77 tahun ,
asuransi,
sedangkan
dengan nilai median 40 tahun, seperti
pelayanan
kesehatannya
terlihat pada Tabel 1. Laki-laki
melalui
program
sebanyak 72 orang (62,1%), dengan
kesehatan keluarga miskin (Askes
perbandingan antara laki-laki dan
Makin).
tingkat
pendidikan
55,2%
dibiayai
pelayanan
perempuan 1,6:1. Sebagian besar
Tabel 1. Karakteristik umum pasien TB paru yang melanjutkan pengobatan
di Poliklinik Paru RS Dr. M. Djamil Padang mulai 1 Oktober 2006 s/d 31 Maret 2007
Karakteristik umum
Pasien
n(%)
Umur , tahun
Median (interval)
40 (17-77)*
Laki-laki
72 (62,1)
Alamat
Padang
Luar Padang
109 (94,0)
7 (6,0)
Tingkat pendidikan
Rendah
Menengah
Tinggi
36 (31,0)
62 (53,4)
18 (15,5)
Pekerjaan
Tidak bekerja
Bekerja
32 (27,6)
84 (72,4)
Asuransi
Tidak ada
Askes/Jamsostek
Askes Makin
9 (7,7)
43 (37,1)
64 (55,2)
6
Dari
tabel
2
dapat
dilihat
ditemukan lesi luas 94,0%. Sebanyak
karakteristik klinis pasien. Gejala
46,6%
awal ternbanyak yang dikeluhkan
kesehatan 3 atau lebih sebelum
pasien
diagnosis ditegakkan karena berbagai
Sebagian
adalah
batuk
besar
menganggap
(82,8%).
(70,7%)
keluhan
pasien
tersebut
sebagai batuk biasa, tetapi 42,4%
sarana
34,5%
pengobatan
alternatif
mengunjungi
disamping
sarana kesehatan.
Nilai median Keterlambatan
dikunjungi sudah menduga adanya
pasien dan dokter berturut-turut 7,0
kelainan paru. Sarana kesehatan
minggu dan 4,2 minggu (Tabel 3).
pertama yang terbanyak dikunjungi
Nilai median keterlambatan pasien
adalah puskesmas (44,8%), IGD
lebih
hanya 16,4%. Hasil pemeriksaan
median keterlambatan dokter (1,7 :
BTA terbanyak adalah BTA positif
1).
dan
pertama
alasan,
sarana
yang
(47,4%),
kesehatan
mengunjungi
secara
lama
dibandingkan
nilai
radiologi
7
Tabel 2. Karakteristik klinis pasien TB paru yang melanjutkan pengobatan
di Poliklinik Paru RS Dr. M. Djamil Padang mulai 1 Oktober 2006 s/d 31 Maret 2007
Karakteristik umum
Pasien
n(%)
Gejala awal
Batuk
Selain batuk
96 (82,8)
20 (17,2)
Persepsi pasien
Batuk biasa
Penyakit paru
Penyakit lain
Tidak tahu
82 (70,7)
4 (3,4)
21 (18,1)
9 (7,8)
Jenis Sarkes I
Puskesmas
Rumah sakit
Praktek swasta
52 (44,8)
38 (32,8)
26 (22,4)
Diagnosis/keterangan Sarkes I
Batuk biasa
Penyakit paru
Penyakit lain
Tidak tahu
28 (24,2)
49 (42,2)
21 (18,1)
18 (15,5)
Tipe pasien
Rawat inap
Rawat jalan
91 (78,4)
25 (21,6)
Kunjungan ke unit gawat darurat
Ya
Tidak
19 (16,4)
97 (83,6)
Hasil pemeriksaan BTA
Negatif
Positif
Tidak diperiksa
52 (44,8)
55 (47,4)
9 (7,8)
Hasil pemeriksaan Röntgen toraks
Lesi minimal
Lesi luas
7 (6,0)
109 (94,0)
Jumlah Sarkes yang dikunjungi sampai diagnosis
ditegakkan
< 3 buah
≥ 3 buah
62 (53,4)
54 (46,6)
Kunjungan ke pengobatan alternatif
Ya
Tidak
40 (34,5)
76 (65,5)
8
Tabel 3. Keterlambatan pasien dan dokter
pada pasien TB paru yang melanjutkan
pengobatan di Poliklinik Paru
RS Dr. M. Djamil Padang
mulai 1 Oktober 2006 s/d 31 Maret 2007
Keterlambatan
pasien
Keterlambatan
dokter
diperlihatkan pada Grafik 12. Lebih
kurang 29,5% pasien sudah datang
ke sarana kesehatan yang pertama
untuk meminta pertolongan dalam
n (%)
Median
(mg)
88 (75,9)
7,0 (1,0-49,1)
waktu < 16 minggu. Sebanyak 42,2%
104 (89,7)
4,2(0,1-51,0)
pasien sudah terdiagnosis oleh dokter
waktu < 4 minggu dan 77,3% dalam
dalam waktu < 4 minggu sejak
Distribusi
pertama datang kesarana kesehatan
kumulatif
dan 77,6% dalam waktu <12 minggu.
Keterlambatan pasien dan dokter
120
Persentase (%)
100
80
60
40
20
0
<4
<8
< 12
< 16
< 20
< 24
< 28
≥ 28
Minggu
Keterlambatan pasien
Keterlambatan dokter
Grafik 1. Distribusi kumulatif Keterlambatan pasien dan dokter pada pasien TB paru
yang melanjutkan pengobatan di Poliklinik Paru RS Dr M Djamil Padang
mulai 1 Oktober 2006 s/d 31 Maret 2007
9
Pada Gambar 1 dapat dilihat
Keterlambatan pasien dan dokter.
berbagai faktor yang mempengaruhi
GEJALA PERTAMA YANG DIALAMI
3 MINGGU
KETERLAMBATAN PASIEN
Lebih lama pada
Perempuan
Umur  24 tahun
Tinggal di Padang
Pendidikan rendah
Tidak bekerja
Punya asuransi
Keluhan batuk saja
Persepsi batuk biasa
Kunjungan ke pengobatan alternatif
OR
95% CI
2,7
1,3 – 5,6
3,1
2,8
1,5 – 6,8
1,4 – 5,9
KUNJUNGAN PERTAMA KE SARANA KESEHATAN
1 MINGGU
KETERLAMBATAN DOKTER
Lebih lama pada
Faktor Sarana kesehatan
Sarkes I Puskesmas
Rawat inap
Tidak ada kunjungan ke IGD
BTA negatif
Tidak ada penjelasan sarkes I
Faktor pasien
Laki-laki
Punya asuransi
Jumlah sarkes dikunjungi  3 buah
OR
95% CI
2,5
1,7 – 3,5
4,6
3,8
100
1,3 – 16,5
1,2 – 12,1
-
6,9
11,4
2,1 – 22,4
1,4 – 91,8
DIAGNOSIS TUBERKULOSIS
OD = Odds Ratio, CI = Convidence Interval
Cetak tebal dan miring = bermakna secara statistik dengan analisis regresi
logistik multivariat, p<0,05
Gambar 1. Faktor-faktor yang mempengaruhi keterlambatan pasien dan dokter
10
Thailand
PEMBAHASAN
Pedoman
Nasional
Penanggulangan
Tuberkulosis
merekomendasikan orang yang batuk
3 minggu atau lebih harus diperiksa
BTA sputum untuk diagnosis dini
dan pengobatan TB. Keterlambatan
dalam meminta pertolongan dan
keterlambatan dalam mendiagnosis
digunakan
untuk
menilai
efisiensi penemuan kasus dalam
masyarakat
dan
memperkirakan
periode infektif seseorang sebelum
Keterlambatan
dalam
diagnosis dan pengobatan TB dapat
terjadi pada sejumlah titik, mulai saat
timbul gejala sampai terapi anti
tuberkulosis dimulai. Keterlambatan
ini dapat disebabkan oleh pasien
dibanding penelitian di Mwanza
yang
mencapai
minggu.11
17,1
Perbedaan ini kemungkinan timbul
berhubungan
dengan
perhitungan
keterlambatan
perbedaan
Penelitian
ini
memperlihatkan
median
Keterlambatan pasien adalah 7,0
minggu, dengan interval 1,0 – 49,1
minggu. Hasil yang didapat dalam
penelitian ini hampir sama dengan
yang didapat di Ethiopia yaitu 8,6
lebih
panjang
dibandingkan dengan penelitian yang
dilakukan di Jakarta 4 minggu,5
dan
perbedaan metoda estimasi mulai
gejala awal. Sebagian besar peneliti
menggunakan
saat
awal
pasien
mengeluh gejala sampai datang ke
sarana
kesehatan
pertama
dikunjungi, sebagai Keterlambatan
Untuk
memperkirakan mulai gejala awal,
peneliti
menggunakan
kejadian-
kejadian
monumental
sepanjang
tahun, misalnya hari-hari keagamaan,
hari bersejarah baik yang bersifat
nasional
maupun
kejadian-kejadian
maupun oleh sarana kesehatan.7
Tetapi
minggu.7 Tetapi jauh lebih pendek
pasien.1,5,7,14,15
mendapat terapi.12
minggu.14
minggu,15
4,4
Ghana 4 minggu,1 New York 3,6
Keterlambatan pasien
TB
Selatan
pribadi,
alam
atau
seperti
gempa bumi dan lain-lain. Meskipun
sudah
menggunakan
kejadian-
kejadian monumental sebagai tolak
ukur
dengan
dan
menginterview
hati-hati,
estimasi
pasien
mulai
gejala awal kemungkinan dapat salah
karena kesalahan mengingat dan
perbedaan persepsi masing-masing
pasien
terhadap
dirasakannya.
keluhan
Tetapi
dapat
yang
juga
11
menunjukkan
perbedaan
yang
Hanya 29,5% pasien yang
sebenarnya dalam hal keterlambatan
mengunjungi
untuk diagnosis dan pengobatan TB.
pertama dalam waktu < 4 minggu,
Dari 116 orang yang diteliti,
88
orang
(75,9%)
mengalami
sarana
kesehatan
dan hampir 80% dalam waktu < 16
minggu
sejak
mengalami
gejala
Keterlambatan pasien. Hasil ini lebih
awal. Sangat berbeda dengan yang
sedikit
didapat
didapat Lönnroth dkk di Ho Chi
Mwanza
Minh dimana 60% pasien sudah
(84,8%),11 lebih banyak dibanding
datang ke sarana kesehatan pertama
penelitian Chang dkk di Sarawak
dalam waktu < 4 minggu.16 Di Kuala
(42,4%).8
Lumpur,
dibanding
Wandwalo
dkk
di
Perbedaan
kemungkinan
perbedaan
yang
timbul
batasan
ini
Chang
besar
(80%)
karena
pasien sudah datang ke sarana
Keterlambatan
kesehatan pertama dalam waktu < 4
pasien yang di pakai. Wandwalo dkk
dan
sebagian
dkk
minggu.9
sama-sama
Berbagai
menggunakan waktu 30 hari (4,3
mempengaruhi
minggu)
Keterlambatan
sebagai
batasan
terjadinya
pasien
dalam
keterlambatan namun dengan alasan
penelitian
yang berbeda. Tetapi bila dilihat
rendah
mempunyai
kecendrungan
batas
untuk
mengalami
Keterlambatan
waktu
yang
digunakan
ini.
faktor
Pendidikan
yang
Wandwalo dkk yang lebih lama 1,3
pasien (p=0,02). Hal ini sama dengan
minggu dibanding batasan dalam
hasil penelitian di Gambia dimana
penelitian ini, terlihat bahwa lebih
pendidikan
banyak pasien TB di Mwanza yang
Keterlambatan
mengalami Keterlambatan pasien.
Lienhardt dkk hanya membedakan
Penyebab lain perbedaan ini adalah
sekolah dan tidak sekolah.17 Dalam
subyek penelitian. Subyek penelitian
penelitian ini, peneliti memasukkan
Chang dkk terbatas pada pasien TB
tidak
paru BTA positif, sedangkan dalam
pendidikan rendah. Godfey-Fausset
penelitian ini dimasukkan pasien TB
dkk mendapatkan hubungan yang
paru BTA positif dan negatif.
kuat
sekolah
antara
mempengaruhi
pasien,
kedalam
tingkat
tetapi
kriteria
pendidikan
dengan tingkat pengetahuan pasien
12
dengan
keluhan
batuk
untuk
memulai pengobatan TB.18
keterlambatan (p=0,007). Sebagian
Pasien yang mengeluh batuk
mempunyai
rasio
untuk
kecenderungan
terlambat
pertolongan
meminta
sarana
dibanding
keluhan
(p=0,005).
Keluhan
mempunyai rsiko untuk mengalami
kesehatan
besar pasien (75%) menganggap
keluhan yang dirasakannya hanya
batuk
biasa,
hanya
3,1%
yang
menganggap ada kelaianan di saluran
selain
batuk
nafas, tetapi tak seorangpun yang
lain
dalam
berfikir menderita TB. Kurangnya
penelitian ini termasuk batuk darah,
pengetahuan
sesak nafas, nyeri dada, demam, dan
merupakan alasan terbanyak (40%)
pembesaran kelenjer getah bening.
yang disampaikan oleh pasien di
Keluhan-keluhan
India
pasien
cepat
ini
membawa
datang
ke
sarana
pasien
Selatan
yang
tentang
TB
mengalami
keterlambatan.20
kesehatan. Leung dkk di Hongkong
mendapatkan pasien tanpa keluhan
Keterlambatan dokter
batuk darah mempunyai resiko untuk
Median Keterlambatan dokter
terlambat datang ke sarana kesehatan
adalah 4,2 minggu. Hasil yang
dibanding pasien dengan keluhan
didapat
hampir
sama
dengan
(p=0,0001).19
penelitian di Jakarta 4 minggu5 dan
Sedangkan keluhan batuk sering
Ho Chi Minh 4,3 minggu.16 Tetapi
dianggap batuk biasa yang dapat
lebih panjang dari New York dan
sembuh sendiri atau karena pengaruh
Mwanza 2,1 minggu.7,11 Dan jika
rokok atau debu. Pada penelitian
dibandingkan dengan penelitian di
Demissie
pasien
Kuala Lumpur 7 minggu,9 Ghana 8
yang
minggu1 dan Gambia 8,3 minggu,17
batuk
darah
dkk,
menganggap
69,7%
batuk
dirasakannya akan sembuh sendiri.14
Persepsi
gejala
awal
mempengaruhi
pasien
yang
terhadap
dirasakannya
terjadinya
terlihat hasil yang didapat dalam
penelitian ini lebih pendek. Pada
beberapa
dokter
yang
dirasakannya
menyebutkan
periode ini sebagai Keterlambatan
Keterlambatan pasien ini. Pasien
merasa
penelitian
atau
sarana
kesehatan.
dokter
ditemukan
keluhan
yang
Keterlambatan
merupakan
batuk
baik di negara dengan prevalensi TB
13
yang rendah maupun tinggi. Di
ternyata hanya 24,2% yang menduga
negara dengan prevalensi rendah,
batuk biasa, sedangkan 42,2% sarana
diagnosis
tidak
kesehatan menjelaskan bahwa pasien
beberapa
menderita penyakit paru, termasuk
TB
sering
dipertimbangkan
dan
infrastruktur untuk penanggulangan
24,1% sudah memperkirakan TB.
TB tidak terintegrasi dengan baik.
Keterlambatan dokter dialami
Prevalensi dan insiden TB yang
oleh 89,7% pasien dalam penelitian
rendah juga menyebabkan kurang
ini. Wandwalo dkk mendapatkan
terlatihnya
66,2%
tenaga
medis
dalam
pasien
mengalami
menatalaksana
Keterlambatan dokter > 10 hari.11
TB, sehingga meningkatkan resiko
Hasil ini jauh lebih tinggi dibanding
terjadinya
keterlambatan
dokter.
yang didapat oleh Rajeswari dkk di
Sedangkan
pada
dengan
India Selatan (26,6%) dalam waktu 
prevalensi TB tinggi, keterlambatan
1 minggu.20 Hanya 42,4% yang
sering
sudah terdiagnosis dalam waktu < 4
mendiagnosis
terjadi
dan
negara
dengan
berbagai
alasan.7,16
minggu, hampir 70% dalam waktu <
Keterlambatan
dibanding
dokter
dengan
adalah
pasien
8 minggu dan lebih dari 90% dalam
Keterlambatan
waktu < 20 minggu (Grafik 1). Steen
berbanding
dkk mendapatkan hasil yang hampir
terbalik dengan yang didapat di
sama dalam < 4 minggu yaitu 38%,
Ghana
1,9:1,
yaitu
1:2.1
Hal
ini
tetapi dalam waktu < 8 minggu
kemungkinan disebabkan persepsi
hanya 59% pasien yang terdiagnosis,
tenaga kesehatan sudah jauh lebih
dan hampir 90% tercapai dalam
baik dibanding pasien sendiri. Ini
waktu < 28 minggu.21
dapat dilihat pada Grafik 3, persepsi
pasien
gejala
yang
Keterlambatan
batuk
biasa
sarana kesehatan adalah jenis sarana
mencapai 70,7% tetapi tidak satupun
kesehatan pertama dikunjungi adalah
pasien yang berfikir menderita TB.
puskesmas, tidak ada kunjungan ke
Dibandingkan
dengan
unit gawat darurat, hasil pemeriksaan
sarana
BTA negatif dan diagnosis sarana
kesehatan yang pertama dikunjungi
kesehatan pertama dikunjungi batuk
dirasakan
terhadap
Faktor yang mempengaruhi
sebagai
keterangan/diagnosis
dari
dokter
dari
segi
14
biasa. Sedangkan dari segi pasien,
(p=0,0001).22 Hal ini kemungkinan
Keterlambatan dokter dipengaruhi
disebabkan
oleh faktor ada asuransi dan jumlah
datang ke unit gawat darurat dengan
sarana kesehatan yang dikunjungi
kondisi penyakit yang sudah berat
pasien sampai tegak diagnosis  3
atau dengan keluhan batuk darah. Di
buah.
unit
Pasien
yang
memilih
karena
gawat
pasien
darurat
pemeriksaan
röntgen toraks segera dilakukan,
puskesmas sebagai sarana kesehatan
sehingga
kelainan
paru
pertama
radiologis
cepat
terdeteksi
dikunjungi mempunyai
yang
secara
dan
mengalami
kecurigaan kearah TB lebih cepat.
dibanding
Sesuai dengan hasil penelitian Leung
kunjungan ke rumah sakit (p=0,01).
ECC dkk di Hong Kong, nilai
Dalam
kunjungan
median Keterlambatan dokter akan
pertama ke rumah sakit termasuk ke
lebih pendek bila röntgen toraks
unit gawat darurat, Poliklinik Paru
segera dilakukan saat pasien datang
dan poliklinik lainnya di RS Dr. M.
pertama kali ke sarana kesehatan (2,1
Djamil Padang dan rumah sakit
minggu vs 4,4 minggu; p=0,0001).19
resiko
untuk
Keterlambatan
dokter
penelitian
lainnya.
ini
Umumnya
pemeriksaan
BTA
dilakukan
sputum
dan
Keterlambatan dokter juga
meningkat pada pasien dengan BTA
negatif (p=0,04). Hasil ini sama
röntgen toraks.
Resiko kecenderungan untuk
dengan yang didapatkan Sherman
terjadi keterlambatan pada pasien
dkk di New York. Hal ini disebabkan
yang tidak berkunjung ke unit gawat
karena pada pasien dengan BTA
darurat 4,59 kali dibanding yang
negatif dan röntgen toraks tidak
berkunjung ke unit gawat darurat
mendukung
(p=0,02). Hasil ini sama dengan yang
antibiotik spektrum luas selama 2
didapat oleh Paynter dkk di London
minggu, kemudian baru dinilai. Bila
dimana pasien yang berkunjung ke
röntgen
unit gawat darurat mempunyai resiko
dianggap sebagai pneumonia biasa.
yang jauh lebih kecil untuk terjadi
Sedangkan röntgen toraks menetap
Keterlambatan
dibanding
atau mengalami perburukan, pasien
yang berkunjung pertama ke klinik
didiagnosis sebagai TB paru. Hal ini
dokter
untuk
toraks
TB,
perbaikan
diberi
maka
15
sesuai dengan Pedoman Nasional
interval 1-13) dan 46,5% pasien
Tuberkulosis.12
mengunjungi srana kesehatan 3 atau
Hasil ini memperlihatkan bahwa
lebih sampai diagnosis ditegakkan.
BTA sputum negatif merupakan titik
Makin banyak sarana kesehatan yang
lemah diagnosis TB terutama dengan
dikunjungi, makin panjang waktu
lesi minimal, untuk itu diperlukan
yang dibutuhkan sampai diagnosis
metode baru untuk diagnosis TB
ditegakkan dan dimulai terapi OAT,
secara
sehingga
Penanggulangan
cepat
seperti
BACTEC,
memperpanjang
polymerase chain reaction (PCR),
Keterlambatan
atau
kurangnya
pemeriksaan
serologi.
dokter.
Selain
kecurigaan
sarana
Pemeriksaan serologi antara lain uji
kesehatan terhadap TB, hal ini
immunochromatographic
disebabkan juga pasien merasa tidak
tuberculosis (ICT), Mycodot, dan
puas
IgG TB.23
kesehatan sehingga mencari opini
Jika
diagnosis/keterangan
dengan
kedua
untuk
keterangan
sarana
mengetahui
sebab
sarana kesehatan pertama dikunjungi
keluhan yang dirasakannya. Satu
tidak tahu, 100% pasien mengalami
orang pasien mengaku tidak percaya
Keterlambatan
menderita
dokter.
Hasil
ini
TB,
sehingga
memperlihatkan masih
rendahnya
mengunjungi lebih dari 2 sarana
kecurigaan
kesehatan
kesehatan sampai akhirnya dirawat
terhadap TB dan gagal mengambil
di Bangsal Paru RS. M. Djamil dan
tindakan
didiagnosis sebagai TB.
sarana
yang
tepat
untuk
pemeriksaan maupun merujuk pasien
Pasien
yang
ke sarana kesehatan yang lebih
asuransi
tinggi.
memerlukan
maupun Askes Masyarakat Miskin
ke
mempunyai
kunjungan
Pasien
berulang
sarana
baik
mempunyai
Askes/Jamsostek
resiko
untuk
kesehatan atau pindah ke sarana
Keterlambatan
kesehatan
gejala
dibanding yang tidak punya asuransi.
menetap.9 Dari interview didapat
Hasil ini berbeda dengan yang
58,6% pasien kontrol ulang ke sarana
didapatkan
kesehatan
dimana
lain
karena
yang
pertama
dikunjunginya (median 2,5 kali;
mempunyai
di
dokter
terjadi
6,9
Thailand
pasien
yang
asuransi
kali
Selatan,
tidak
justru
16
mempunyai resiko untuk mengalami
kepedulian terhadap TB dari seluruh
Keterlambatan dokter sebanyak 1,31
dokter, terutama dokter umum, harus
kali dibanding yang punya asuransi
terus ditingkatkan.
(IK 95% 0,94 – 1,84 ; p< 0,05).15 Hal
ini kemungkinan disebabkan karena
KESIMPULAN
pasien yang punya asuransi, harus
Pada
umumnya
pasien
keterlambatan
dalam
mengikuti prosedur tertentu untuk
mengalami
sampai berobat ke rumah sakit,
memulai
pemeriksaan
dan
Keterlambatan dapat terjadi oleh
röntgen toraks harus dilakukan di
pasien maupun dokter. Faktor yang
rumah sakit dan pada waktu tertentu.
mempengaruhi Keterlambatan pasien
Sedangkan pasien yang membayar
adalah tingkat pendidikan rendah,
tunai dapat melakukan pemeriksaan
gejala awal batuk, dan persepsi
dimana saja dan kapan saja, bahkan
pasien
sore
BTA
hari.
Selain
sputum
pengobatan
terhadap
TB
gejala
paru.
yang
itu
pasien
dialaminya hanya batuk biasa. Faktor
terbatas
waktu
yang mempengaruhi Keterlambatan
pemeriksaannya karena harus masuk
dokter dari segi sarana kesehatannya
kerja, sedangkan pasien yang tanpa
adalah
asuransi
pertama
Askes/Jamsostek
dengan
umumnya
pekerjaan
menjalankan
tidak
dan
terikat
kesehatan
dikunjungi
adalah
puskesmas, tidak ada kunjungan ke
cepat
unit gawat darurat, hasil pemeriksaan
untuk menghemat waktu.
BTA negatif, dan diagnosis sarana
mengurangi
Keterlambatan
sarana
biasanya
pemeriksaan
Untuk
jenis
tenaga
tahu. Sedangkan dari segi pasien
kesehatan harus lebih peka terhadap
adalah faktor mempunyai asuransi
gejala
dan
Mekanisme
dokter,
kesehatan pertama dikunjungi tidak
tanda
TB
paru.
dan jumlah sarana kesehatan yang
rujukan
dari
sarana
dikunjungi sampai tegak diagnosis 
kesehatan yang lebih rendah ke
3 buah
sarana kesehatan yang mempunyai
kemampuan diagnostik TB lebih
diperkuat. Usaha untuk memperbaiki
kemampuan
diagnostik
dan
17
DAFTAR KEPUSTAKAAN
1.
Lawn
SD,
Afful
B,
Acheampong JW. Pulmonary
tuberculosis: diagnostic delay
in Ghanaian adults. Int J
Tuberc Lung Dis, 1998; 2(8):
635-640.
2.
Surkenas Litbang Depkes RI.
Survei Prevalensi Tuberkulosis
(SPTBC) 2004.
3.
Taufik.
Pelaksanaan
penanggulangan
TB
paru
dalam rangka menyongsong
Strategi DOTS di RSUP Dr. M.
Djamil Padang, dibacakan
dalam
pertemuan
Strategi
DOTS
di
rumah
sakit,
Yogyakarta: 2006.
4.
Sabrina, Yusrizal, Taufik.
Profil penderita TB paru yang
dirawat di Bangsal Paru RS Dr.
M. Djamil Padang tahun 19982002. Dalam: Taufik, Zailirin,
Yusrizal, Medison I, Mirna,
Zarfiardy, editor. Makalah
Lengkap Konker X PDPI.
Padang 2004; 258-279.
5.
Aditama TY. Beberapa aspek
dalam
proses
penemuan
penderita tuberkulosis paru;
tesis (1988).
6.
Aditama TY. Tuberkulosis:
diagnosis,
terapi
dan
masalahnya. Edisi ke 5.
Yayasan
Penerbit
Ikatan
Dokter Indonesia. Jakarta 2005.
7.
Sherman LF, Fujiwara PI,
Cook SV, Bazerman LB,
Frieden TR. Patient and health
care system delays in the
diagnosis and treatment of
tuberculosis. Int J Tuberc Lung
Dis, 1999; 3(12): 1088-1095.
8.
Chang CT, Esterman A.
Diagnostic
delay
among
pulmonary tubeculosis patients
in Sarawak, Malaysia: a crosssectional study. Rural and
Remote Health (Online) 2007;
667.
9.
Liam CK, Tang BG. Delay in
the diagnosis and treatment of
pulmonary tuberculosis in
patients attending a university
teaching hospital. Int J Tuberc
Lung Dis, 1997;1(4): 326-332.
10.
Long NH, Johansson E,
Lönnroth K, Eriksson B,
Winkvist A, Diwan VK.
Longer delays in tuberculosis
diagnosis among women in
Vietnam. Int J Tuberc Lung Dis
1999; 3(5): 388-393.
11.
Wandwalo ER, Mørkve O.
Delay in tuberculosis casefinding and treatment in
Mwanza, Tanzania. Int J
Tuberc Lung Dis 2000; 4(2):
133-138.
12.
Pedoman
nasional
penaggulangan
tuberkulosis.
Cetakan ke 9. Departemen
Kesehatan Republik Indonesia.
Jakarta. 2005
13.
Dufault P. The diagnosis and
treatment
of
pulmonary
nd
tuberculosis.
2
ed.
Philadelphia: Lea & Febiger,
1957. p.150.
14.
Demissie M, Lindtjorn B,
Berhane Y. Patient and health
care service delay in the
diagnosis
of
pulmonary
tuberculosis in Ethiopia. BMC
Public Health 2002, 2: 23.
18
15.
Rojpibulstit
M,
Kanjanakiritamrong
J,
Chongsuvivatwong V. Patient
and health system delays in the
diagnosis of tuberculosis in
Southern Thailand after helath
care reform. Int Tuberc Lung
Dis 2006; 10(4): 422-428.
16.
Lönnroth K, Thuong LM, Linh
PD, Diwan VK. Delay and
discontinuity – a survey of TB
patient’s search of a diagnosis
in a diversified health care
system. Int J Tuberc Lung Dis,
1999; 3(11): 992-1000.
17.
Lienhardt C, Rowley J,
Manneh K, Lahai G, Needham
D, Miligan P, et al. Factors
affecting time
delay to
treatment in a tuberculosis
control programme in a subSaharan African country: the
experience of The Gambia. Int
J Tuberc Lung Dis 2001; 5(3):
233-239.
18.
Godfrey-Fausset P, Kaunda H,
Kamanga J, et al. Why do
patient with cough delay
seeking care at Lusaka urban
health centres? A health
systems research approach. Int
J Tuberc Lung Dis 2002; 6(9):
796-805.
19.
Leung ECC, Leung CC, Tam
CM. Delayed presentation and
treatment of newly diagnosed
pulmonary tuberculosis patients
in Hong Kong. Hong Kong
Med J 2007; 13: 221-227.
20.
Leung ECC, Leung CC, Tam
CM. Delayed presentation and
treatment of newly diagnosed
pulmonary tuberculosis patients
in Hong Kong. Hong Kong
Med J 2007; 13: 221-227.
21.
Steen TW, Mazonde GN.
Pulmonary tuberculosis in
Kweneng Distric, Bostwana:
delays in diagnosis in 212
smear-positive patients. Int J
Tuberc Lung Dis 1998; 2(8):
627-634.
22.
Paynter S, Hayward A,
Wilkinson P, Lozewicz S,
Coker R. Patient and health
service delays in initiating
treatment for patient with
pulmonarytuberculosis:
retrospective cohort study. Int J
Tuberc Lung Dis 2004; 6(2):
180-185.
23.
Perhimpunan Dokter Paru
Indonesia.
Tuberkulosis:
Pedoman
diagnosis
dan
penatalaksanaan di Indonesia.
Jakarta: Indah Offset Citra
Grafika, 2006.
19
Download