BioTrends Vol.1 No.1 Tahun 2015 PERUBAHAN IKLIM DAN CEKAMAN ABIOTIK SALINITAS Anky Zannati Laboratorium Genomik dan Perbaikan Mutu Tanaman Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI-Cibinong Email: [email protected] P erubahan Iklim adalah keadaan iklim global yang berubah karena suhu rata-rata telah naik ataupun turun secara musiman (Friedland, 2010). Hal tersebut terjadi akibat dari fluktuasi radiasi matahari atau akibat letusan gunung berapi secara berkala. Kini perubahan iklim bukan hanya disebabkan oleh peristiwa alam, melainkan lebih karena berbagai aktivitas manusia. Kemajuan pesat pembangunan ekonomi memberikan dampak yang serius terhadap iklim dunia, antara lain lewat pembakaran batu bara, minyak, dan kayu secara besar-besaran, serta pembabatan hutan. Kerusakannya terutama terjadi melalui produksi gas-gas rumah kaca (GRK), dinamakan demikian karena gas-gas itu memiliki efek yang sama dengan atap sebuah rumah kaca. Gas-gas tersebut memungkinkan sinar matahari menembus atmosfer sehingga menghangatkan bumi, sekaligus mencegah pemantulannya ke ruang angkasa. Akibatnya bumi dan atmosfer perlahan-lahan memanas (Friedland, 2010) (Gambar 1). Kenaikan suhu yang terjadi mungkin tidak terlalu tinggi, tetapi di negara tertentu, seperti Indonesia, hal tersebut dapat menyebabkan cuaca yang lebih ekstrem. Indonesia akan mengalami badai pesisir yang lebih sering dan lebih dahsyat, serta kemarau panjang dan curah hujan tinggi. Melelehnya gletser dan lapisan es di kutub, menyebabkan naiknya muka air laut antara 9 hingga 100 cm. Kenaikan muka air laut itu akan mempercepat erosi di wilayah pesisir, memicu intrusi air laut ke air tanah, merusak lahan rawa di pesisir, dan menenggelamkan pulau-pulau kecil (Moediarta dan Stalker 2007). Sebagai sebuah negara kepulauan yang memiliki lebih dari 17.000 pulau dan 80.000 kilometer garis pantai, Indonesia amat rentan terhadap kenaikan muka air laut. Kenaikan satu meter dapat menenggelamkan 405.000 hektar wilayah pesisir dan 2.000 pulau yang terletak dekat permukaan laut beserta kawasan terumbu karang. Hal tersebut berpengaruh pada batas-batas negara. Penelitian mutakhir mengungkapkan bahwa minimal 8 dari 92 pulau-pulau kecil terluar yang merupakan perbatasan perairan Indonesia sangat rentan terhadap kenaikan muka air laut. Saat ini sekitar 42 juta penduduk Indonesia mendiami wilayah yang terletak 10 meter di atas permukaan laut. Kenaikan muka air laut dapat menggenangi ratusan pulau dan Gambar 1. Fenomena efek rumah kaca ( Friedland, 2010) 5 menenggelamkan batas wilayah negara Indonesia (Moediarta dan Stalker 2007). Perubahan iklim diperkirakan akan memberikan dampak yang signifikan terhadap produksi pertanian di Indonesia, khususnya tanaman pangan. Dampaknya dapat bersifat langsung yaitu menurunnya produktivitas karena meningkatnya suhu udara dan pola hujan, serta semakin seringnya gagal panen akibat meningkatnya frekuensi dan kejadian dampak iklim ekstrem seperti banjir, kekeringan dan salinitas (Boer dkk. 2009). Secara tidak langsung, perubahan iklim dapat merubah jenis hama dan penyakit dominan pada tanaman pangan (Wiyono, 2008). Apabila teknologi pengendaliannya tidak dikembangkan pada waktu yang tepat, maka hal tersebut akan berakibat pada menurunnya hasil atau seringnya gagal panen akibat serangan hama dan penyakit. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemanasan global dan perubahan iklim pada wilayah tropis diperkirakan akan menurunkan produktivitas tanaman pangan secara signifikan apabila langkah-langkah adaptasi tidak dilakukan. Sebagai contoh jika peningkatan suhu akibat pemanasan global meningkat sampai 5OC, Jagung lebih sensitif terhadap perubahan iklim dibandingkan Padi akan mengalami penurunan hasil pada tanaman jagung dapat mencapai lebih dari 40%, sementara padi 20% (Gambar 2). Apabila upaya global dalam menekan emisi GRK berhasil, maka diharapkan rata-rata peningkatan suhu global tidak lebih dari 2oC per tahun. Meski begitu peningkatan suhu sebesar 2oC tetap akan berdampak negatif terhadap produktivitas tanaman pangan. Perubahan iklim juga berpengaruh dalam peningkatan muka air laut, seperti yang sudah BioTrends Vol.1 No.1 Tahun 2015 Gambar 2. Perkiraan penurunan hasil tanaman padi dan jagung di daerah tropis akibat pemanasan global dan perubahan iklim (Tschirley, 2007) terjadi di beberapa wilayah Indonesia dan diperkirakan akan terus meningkat di masa depan. Kondisi itu juga akan mengancam produksi pangan Indonesia, khususnya di wilayah pertanian yang ada di sepanjang pesisir, sebagai akibat dari terjadinya peningkatan salinitas air tanah. Kondisi itu akan diperparah apabila tingkat curah hujan dan volume air sungai semakin turun pada musim kemarau, karena pada kondisi seperti itu air laut akan semakin masuk ke wilayah daratan dan akan menyebabkan peningkatan salinitas (Grattan dkk. 2002). Tanaman adalah spesies sesil (tidak bisa berpindah tempat), oleh karena itu tanaman harus dapat bertahan pada kondisi lingkungan yang berubah-ubah, termasuk pada kondisi cekaman abiotik dan biotik akibat perubahan iklim. Cekaman Abiotik Salinitas pada Pertanian Cekaman abiotik menyebabkan masalah dalam pertanian dengan menghambat pertumbuhan dan produktivitas tanaman. Cekaman abiotik juga membatasi penggunaan lahan untuk pertanian, karena umumnya lahan yang tercekam abiotik menjadi lahan yang marjinal dan tidak digunakan (Lexer dan Fay 2005). Selama evolusi, tanaman telah mengembangkan mekanisme untuk merasakan perubahan minimal sekalipun dari kondisi pertumbuhan. Hal itu memicu jalur sinyal transduksi yang pada gilirannya akan mengaktifkan gen responsif terhadap cekaman, sehingga perubahan pada tingkat fisiologis dan biokimia akan terjadi. Padi merupakan tanaman yang peka terhadap terhadap berbagai cekaman abiotik, termasuk salinitas, kekeringan, rendaman dan suhu rendah (Lafitte dkk. 2004). Gen-gen yang terinduksi oleh cekaman abiotik telah dikarakterisasi. Gen-gen tersebut meliputi gen-gen yang menyandikan enzim-enzim yang diperlukan untuk biosintesis berbagai osmoprotektan, enzim-enzim yang menekan reactive oxygen species (ROS), protein-protein late embryogenesis abundant (LEA), enzim-enzim untuk detoksifikasi, dan faktor transkripsi untuk cekaman abiotik seperti OsERF1 dan OsDREB1(Shinozaki dkk. 2005). Gen-gen tersebut digunakan para peneliti untuk membuat tanaman transgenik toleran cekaman abiotik. Perubahan iklim global dikhawatirkan dapat memicu degradasi lahan pertanian dunia. Salinisasi adalah salah satu degradasi yang mengancam keberlangsungan pertanian yang dapat meningkat sebagai akibat dari aktivitas manusia. 20% dari lahan irigasi di dunia diperkirakan tergangganggu akibat salinisasi (Yeo 1999). Cekaman salinitas dapat menurunkan perkembangan dan produktivitas pada spesies glikofit yang pada umumnya merupakan produk pertanian. Salinitas adalah salah satu faktor pembatas utama di lingkungan yang berpengaruh pada pertumbuhan dan 6 produktivitas tanaman. Dampak dari salinitas pada tanaman dapat diamati pada fase tanaman dewasa sejalan dengan kematian tanaman atau menurunnya produktivitas. Toleransi terhadap salinitas tinggi adalah kemampuan tanaman untuk berkembang dan menyelesaikan siklus hidupnya pada suatu substrat yang mengandung konsentrasi garam terlarut yang tinggi. Tanaman yang dapat bertahan dalam kondisi konsentrasi garam tinggi di rizosfer dan dapat tetap tumbuh dengan baik disebut dengan halofit. Spesies halofit obligat dapat hidup pada konsentrasi 50% air laut, sedangkan halofit fakultatif ditemukan pada area perbatasan salin dan non-salin (Parida dan Das 2005). Cekaman osmotik disebabkan karena meningkatnya kadar garam di luar akar, yang akan menghambat penyerapan air oleh akar (Munns dan Tester 2008). Cekaman ionik terjadi akibat akumulasi ion Na+ pada tanaman, umumnya pada daun dengan kadar yang melebihi ambang batas yang akan memicu pada kematian sel daun dengan terjadinya klorosis dan nekrosis, kemudian dilanjutkan dengan menurunnya aktivitas metabolisme selular termasuk fotosintesis (Glenn dkk. 1999). Kemampuan spesies tanaman untuk bertoleransi dalam menghadapi kondisi hidup di lingkungan salin berbeda-beda. Tanaman dapat dikatakan toleran salinitas jika tanaman mampu hidup di atas kisaran nilai 15 ds/m konduktivitas listrik atau electrical conductivity (EC). Electrical conductivity adalah kemampuan suatu larutan untuk menghantarkan arus listrik. Satuan yang dipakai adalah decisiemens per meter (dS/m). Pada EC, 1 dS/m setara dengan konsentrasi 10 mM NaCl. Tanaman padi relatif rentan terhadap salinitas tanah, dan NaCl adalah garam utama yang menyebabkan masalah ini (Flowers 2004). Konsentrasi tinggi dari ion Na+ dalam tanah menyebabkan berbagai efek yang merugikan pada tanaman, seperti gangguan ion intraselular yang mengakibatkan perubahan homeostasis, disfungsi membran dan terhambatnya metabolisme yang mengakibatkan terhambatnya pertumbuhan hingga pada akhirnya terjadi penurunan hasil (Hasegawa dkk. 2000). Hasil penelitian BioTrends Vol.1 No.1 Tahun 2015 diharapkan tidak hanya berproduktifitas tinggi pada lingkungan normal, tetapi juga dapat mengurangi kehilangan produksi pada lingkungan dengan cekaman abiotik dan biotik akibat perubahan iklim. Hal tersebut menjadi tantangan tersendiri bagi para pembuat kebijakan, peneliti dan semua pemangku kepentingan lainnya di Indonesia. Referensi Ainsworth EA dan Donald R. (2010). How do we improve crop production in a warming world? Plant Physiol. 154:526–530. Gambar 3. Pengaruh salinitas terhadap hasil tanaman padi (Grattan et al. 2002) menunjukkan bahwa produktivitas tanaman padi menurun secara linear dengan meningkatnya salinitas air tanah (Gambar 3). Pertanian Indonesia Perubahan iklim global akan menyebabkan perubahan dalam sistem pertanian. Produktivitas tanaman akan terganggu. Agroekosistem dapat berubah karena terjadinya cekaman kekeringan yang berkepanjangan, banjir dan salinisasi, yang selanjutnya akan mengancam ketahanan pangan (Rosenzweig dan Tubiello 2007). Pemanasan global diprediksi masih tetap akan terjadi dalam beberapa dekade mendatang, dan akibatnya adalah permukaan air laut meningkat. Rusono dkk (2010) menyebutkan bahwa pada tahun 2025-2030 muka air laut diprediksi akan mengalami kenaikan sebesar 0.5 m, sehingga luas lahan pertanian di Pulau Jawa akan hilang sebanyak 313 ribu hektar, dan 113 ribu hektar diantaranya adalah lahan sawah. Lahan yang terkena dampak kenaikan air laut ini, harus bertahan dengan kondisi garam yang tinggi. Selain permasalahan tersebut, peningkatan produksi padi pada masa mendatang, akan banyak menghadapi tantangan yang semakin kompleks, berkaitan dengan cekaman abiotik dan biotik akibat dampak perubahan iklim. Permasalahan yang tidak kalah penting lainnya adalah kurangnya varietas toleran cekaman lingkungan, terutama cekaman kadar garam yang tinggi. Pengembangan varietas unggul untuk menghadapi cekaman kini menjadi sangat penting. Salinitas pada lahan pertanian telah menjadi salah satu masalah serius dalam produksi tanaman padi di Indonesia. Lahan persawahan yang mengalami intrusi air laut menyebabkan tanah bersifat salin saat ini semakin meluas. Daerahdaerah tersebut berada di sepanjang pantai utara dan selatan Pulau Jawa (Las dkk. 2008), juga di daerah Aceh dan Nias yang beberapa tahun yang lalu mengalami musibah tsunami. Sulawesi Selatan dan Flores (Nusa Tenggara Timur) juga telah mengalami intrusi air laut ke daratan dan telah masuk ke lahan pertanian (Sembiring dkk. 2008). Akibat luas lahan pertanian yang cenderung terus menurun, maka di masa mendatang jumlah beras yang dihasilkan diprediksi tidak akan mencukupi kebutuhan yang ada. Cekaman abiotik, termasuk kekeringan, salinitas, dan suhu rendah, akan memengaruhi pertumbuhan dan produktivitas tanaman. Lebih dari 50% produksi gabah bisa hilang akibat cekaman abiotik tersebut (Ainsworth dan Donald 2010). Oleh karena itu, varietas padi di masa mendatang 7 Boer R A, Buono A, Rakhman, Turyanti A. 2009. Historical and future change of indonesian climate. Technical report on vulnerability and adaptation assessment to climate change for indonesia’s second national communication. Minisry of Environment and United Nations Development Programme. Friedland C. (2010). Chapter 19 Global Change: Climate alteration and global warming. Environmental Science 517547. WH Freman and Company. Glenn EP, Brown JJ, Blumwald E. 1999. Salt tolerance and crop potential of halophytes. Crit Rev Plant Sci. 18:227–255. Grattan SR, Zeng L, Shannon MC, Roberts SR. 2002. Rice is more sensitive to salinity than previously thought. California Agric. 56:189-195. Hasegawa PM, Bressan RA, Zhu JK, Bohnert HJ. 2000. Plant cellular and molecular responses to high salinity. Annu Rev Plant Physiol Plant Mol Biol. 51:463– 499. Lafitte HR, Ismail A, Bennett J. 2004. New directions for a diverse planet. The 4th International Crop Science Congress 26 Sep – 1 Oct. Brisbane Australia. Las I, Surmaini E, Ruskandar A. 2008. Antisipasi perubahan iklim: inovasi teknologi dan arah penelitian padi di indonesia. Seminar nasional padi. Inovasi teknologi padi mengantisipasi perubahan iklim global BioTrends Vol.1 No.1 Tahun 2015 mendukung ketahanan pangan. BB Padi, Cimanggu Bogor (ID) Lexer C dan Fay MF. 2005. Adaptation to environmental stress: a rare or frequent driver of speciation. J Evol Biol. 18: 893–900. Yeo AR. 1999. Predicting the interaction between the effects of salinity and climate change on crop plants. Sci Hortic 78:159–174. Moediarta R dan Stalker P. 2007. Sisi lain perubahan iklim. United Nations Development Programme [UNDP] Indonesia(ID). Munns R dan Tester M. 2008. Mechanism of salinity tolerance. Annu Rev Plant Biol. 59: 651681. DOI: 10.1146/annurev.arplant.59.032 607.092911. Parida AK, Das AB. 2005. Salt tolerance and salinity effects on plants: a review. Ecotoxic and Environ Safety. 60:324–349. Rosenzweig C dan Tubiello FN. 2007. Adaptation and mitigation strategies in agriculture: an analysis of potential synergies. Mitig Adapt Strat Glob Change. 12:855–873. Rusono N, Maghfirra D, Indarto J. 2010. Rencana kebijakan strategis perluasan areal pertanian baru dalam rangka mendukung prioritas nasional ketahanan pangan. Jakarta (ID). Direktorat Pangan dan Pertanian [BAPPENAS]. ISBN: 978‐979‐18416‐7‐2 Sembiring H, Gani A, Iskandar T. 2008. Implications of salinity research in Aceh for Indonesian rice growing. International workshop on post tsunami soil management. Ministry of Agriculture Indonesian Soil Research Institute Tschirley J. 2007. Climate change adaptation: planning and practices. Food Agriculture Organization [FAO]. Environment Meeting on Climate change. 10-12 September 2007. Rome. Wiyono S. 2007. Climate change and pests and diseases explosion. Biodiversity in the middle of global warming. KEHATI Foundation. 28 Juni 2007. Jakarta(ID). 8