EVALUASI PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS DENGAN STRATEGI DOTS DI EKS KARESIDENAN SURAKARTA Bhisma Murti*), Santoso*), Firdaufan**), Rifa’i Hartanto*), Sumardiyono*), Hendratno**), Endang Sutisna*) ) * IHEPS/ FK-UNS, **) BBKPM Surakarta ABSTRAK Latar Belakang. Pengendalian TB dengan strategi Direct Observed Treatment Short Course (DOTS) dipandang berhasil. Tetapi laju penurunan prevalensi dan mortalitas TB belum cukup cepat untuk menjadi separoh pada tahun 2015 sesuai target Millenium Development Goals (MDGs). Diperlukan kontinuitas dan perluasan implementasi strategi DOTS. Penelitian ini bertujuan mengevaluasi pencapaian program penganggulangan TB dengan strategi DOTS, mengidentifikasi faktor-faktor yang menghambat dan mendukung program, yang berguna untuk perbaikan kinerja dan perencanaan program. Subjek dan Metode. Evaluasi ini merupakan studi deskriptif-analitik post-hoc dengan desain studi potong lintang (cross-sectional). Data dikumpulkan dengan pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Evaluasi dilakukan di kabupaten Sukoharjo, kabupaten Boyolali, dan kota Surakarta, Jawa Tengah, pada Oktober 2009 s/d Februari 2010. Populasi sasaran evaluasi meliputi petugas pelaksana, pembuat kebijakan, perencana program TB, pasien TB dan keluarganya, masyarakat, dan pemangku kepentingan penanggulangan TB, serta data pencatatan dan pelaporan program TB. Hasil-hasil. Program pengendalian TB dengan strategi DOTS telah berjalan di kabupaten Boyolali, Sukoharjo, dan kota Surakarta, tetapi belum mencapai target yang diharapkan. Penemuan kasus dan case detection rate di bawah standar 70%, pada level kota/ kabupaten maupun level puskesmas. Angka konversi dan angka kesembuhan masih di bawah target 85% pada sejumlah puskesmas, meskipun ratarata target telah tercapai di level kabupaten/ kota. Salah satu penyebab utama adalah kepatuhan para dokter, spesialis, dan RS swasta masih rendah dalam menerapkan prosedur standar diagnosis, pengobatan, maupun pencatatan dan pelaporan pasien TB. Angka putus berobat dan ketidakefektifan pengawasan menelan obat mempengaruhi angka kesembuhan. Dukungan pemerintah daerah dan DPRD belum memadai dalam pembiayaan program penanggulangan TB. Kesimpulan. Terdapat disparitas pencapaian target program pengendalian TB di kabupaten/ kota dan di tingkat kecamatan. Beberapa kabupaten dan kecamatan belum mencapai hasil kuantitatif dan kualitatif yang ditargetkan. Disarankan agar dilakukan penguatan sistem dan dan partisipasi semua tenaga kesehatan dengan cara membangun jaringan eksternal, membuat nota kesepakatan, dan mengaitkan persyaratan izin praktik dokter dan akreditasi RS dengan kewajiban untuk memeriksa, mendiagnosis, dan mengobati pasien TB dengan prosedur standar DOTS. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk menentukan angka koreksi/ penyesuaian (adjustment) tentang estimasi prevalensi kasus TB menurut faktor risiko TB di tingkat populasi (misalnya, pendapatan penduduk, kepadatan penduduk) agar tidak terjadi overestimasi atau underestimasi ketika diterapkan pada level provinsi, kabupaten/ kota, dan kecamatan. Disarankan pemberdayaan masyarakat untuk penemuan kasus. Kata kunci: evaluasi, pengendalian tuberkulosis, strategi DOTS. LATAR BELAKANG Tuberkulosis merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang penting di tingkat global, regional, nasional, maupun lokal. Tuberkulosis menyebabkan 5000 kematian per hari, atau hampir 2 juta kematian per tahun di seluruh dunia. TB, HIV/AIDS, dan malaria secara bersama-sama merupakan penyebab 6 juta kematian setiap tahun. Seperempat juta (25%) kematian karena TB berhubungan dengan HIV. Insidensi global TB terus meningkat sekitar 1% per tahun, terutama karena peningkatan pesat insidensi TB di Afrika berkaitan dengan komorbiditas HIV/AIDS (WHO, 2009a). Sepertiga dari populasi total dunia (sekitar 2 milyar orang) terinfeksi TB. Karena daya tahan tubuh, hanya 10% dari orang yang terinfeksi TB akan menjadi sakit dengan tanda dan gejala TB aktif di perjalanan hidupnya. Setiap kasus TB merupakan faktor risiko penyakit TB karena jika tidak diobati dengan tepat, setiap kasus TB aktif menginfeksi 10 hingga 15 orang setiap tahun. Orang dengan HIV memiliki risiko lebih tinggi untuk mengalami TB aktif karena kerusakan sistem imunitas (WHO, 2009a) Indonesia menduduki peringkat ketiga di antara 22 negara di dunia yang memiliki beban penyakit TB tertinggi. Menurut Global Tuberculosis Control Report 2009 WHO, diperkirakan terdapat 528,063 kasus baru TB. Estimasi insidensi TB 228 kasus baru per 100,000 populasi. Estimasi angka insidensi hapusan dahak baru yang positif adalah 102 kasus per 100,000 populasi pada 2007 (WHO, 2009a). Berdasarkan kalkulasi disability-adjusted life-year (DALY) WHO, TB menyumbang 6.3 persen dari total beban penyakit di Indonesia, dibandingkan dengan 3.2 persen di wilayah regional Asia Tenggara (USAID, 2008). Pengobatan kasus TB merupakan salah satu strategi utama dalam pengendalian TB karena dapat memutuskan rantai penularan. Pada 1994 WHO meluncurkan strategi pengendalian TB untuk diimplementasikan secara internasional, disebut DOTS (Direct Observed Treatment Short-course). Lima elemen strategi DOTS sebagai berikut (WHO, 2009b): (1) Komitmen politis yang berkesinambungan; (2) Akses terhadap pemeriksaan mikroskopis dahak yang berkualitas; (3) Kemoterapi standar jangka pendek untuk semua kasus TB dengan manajemen kasus yang tepat, termasuk pengawasan langsung pengobatan; (4) Keteraturan penyediaan obat yang dijamin kualitasnya; (5) Sistem pencatatan dan pelaporan yang memungkinkan penilaian hasil pada semua pasien dan penilaian kinerja keseluruhan program. Strategi DOTS telah berhasil membantu tercapainya dua sasaran yang dideklarasikan World Health Assembly (WHA) pada tahun 1991, yaitu deteksi kasus baru BTA positif sebesar 70%, dan penyembuhan sebesar 85% dari kasus pada tahun 2000 (WHO, 2009a). Meskipun demikian kecepatan kemajuan saat ini diperkirakan tidak cukup untuk mencapai target penurunan prevalensi dan mortalitas TB dari Millenium Development Goals (MDG) menjadi separoh pada tahun 2015 (Dye et al., 2005). Karena itu diperlukan kontinuitas implementasi strategi DOTS agar program itu dapat mencapai target dan bahkan meningkatkan target indikator-indikator keberhasilan program hingga tahun 2015. Pada 2006 WHO menetapkan strategi baru untuk menghentikan TB. Strategi itu bertujuan untuk mengintensifkan penanggulangan TB, menjangkau semua pasien, dan memastikan tercapainya target Millennium Development Goal (MDG) pada tahun 2015. Strategi baru WHO ditetapkan berdasarkan pencapaian DOTS, serta menjawab tantangan baru bagi keberhasilan penanggulangan TB. Enam elemen strategi WHO untuk menghentikan TB untuk 2006-2015 (WHO, 2009c): (1) Perluasan dan peningkatan DOTS berkualitas tinggi; (2) Mengatasi TB/HIV, MDR-TB dan tantangan lainnya; (3) Penguatan sistem kesehatan; (4) Pelibatan semua pemberi pelayanan kesehatan; (5) Pemberdayaan pasien dan komunitas; (6) Mendorong dan meningkatkan penelitian (WHO, 2009c). 2 Pemantauan dan evaluasi merupakan salah satu fungsi manajemen yang vital untuk menilai keberhasilan pelaksanan program penanggulangan TB. Pemantauan yang dilakukan secara berkala dan kontinu berguna untuk mendeteksi masalah secara dini dalam pelaksanaan kegiatan yang telah direncanakan, agar dapat dilakukan tindakan perbaikan segera. Selain itu evaluasi berguna untuk menilai sejauh mana tujuan dan target yang telah ditetapkan sebelumnya telah tercapai pada akhir suatu periode waktu. Evaluasi dilakukan setelah suatu periode waktu tertentu, biasanya setiap 6 bulan hingga 1 tahun.. Dalam mengukur keberhasilan tersebut diperlukan indikator dan standar. Hasil evaluasi berguna untuk kepentingan perencanaan program dan perbaikan kebijakan program penanggulangan TB. Dengan latar belakang tersebut sebuah studi evauasi telah dilakukan untuk menjawab masalah penelitian sebagai berikut: (1) Sejauh mana tujuan dan target penanggulangan tuberkulosis (TB) yang telah ditetapkan melalui strategi DOTS telah tercapai di tingkat kota dan kabupaten eks karesidenan Surakarta?; (2) Apakah faktor-faktor yang menghambat dan faktor yang mendukung program DOTS TB di kota/ kabupaten eks karesidenan Surakarta? Tujuan penelitian: (1) Mengevaluasi pencapaian tujuan dan target program DOTS Tuberkulosis di kota/ kabupaten eks karesidenan Surakarta; (2) Mengidentifikasi faktor yang menghambat dan faktor yang mendukung program DOTS Tuberkulosis di kota/ kabupaten eks karesidenan Surakarta; (3) Memberikan saran/ rekomendasi untuk perbaikan implementasi strategi DOTS dan penelitian lanjutan SUBJEK DAN METODE Evaluasi ini merupakan studi deskriptif-analitik post-hoc dengan desain studi potong lintang (crosssectional). Data dikumpulkan dengan pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Evaluasi dilakukan di eks karesidenan Surakarta, meliputi kota Surakarta, kabupaten Sukoharjo, kabupaten Boyolali, Jawa Tengah. Evaluasi dilakukan pada Oktober 2009 sampai dengan Februari 2010. Populasi sasaran evaluasi meliputi petugas pelaksana, pembuat kebijakan, perencana program TB, pasien TB dan keluarganya, masyarakat, dan pemangku kepentingan penanggulangan TB. Pelaksana dan pembuat kebijakan program penanggulangan TB di tingkat kota/ kabupaten meliputi Kepala Dinkes Kota/ Kabupaten, Kasie P2M, Wasor TBC, Lab Kes Da, anggota DPR komisi Kesra/ Kesehatan. Tingkat kecamatan meliputi Kepala Puskesmas, dokter fungsional pemerintah, dokter praktik swasta, perawat poliklinik, petugas TB, petugas laboratorium, bidan, petugas Puskesmas Pembantu. Variabel variabel kuantitatif yang diteliti: (1) Angka penjaringan suspek; (2) Case Detection Rate (CDR); (3) Angka konversi; (4) Angka kesembuhan (cure rate); (5) Angka keberhasilan (Success Rate); (6) Angka kesalahan laboratorium. Definisi operasional variabel sebagai berikut (DepKes, 2008). 1. Angka penjaringan suspek (Suspect Screening Rate) adalah jumlah suspek yang diperiksa per 100,000 penduduk 2. Angka penemuan kasus baru TB BTA positif (Case Detection Rate, CDR) adalah persentase jumlah kasus baru BTA positif yang ditemukan dan diobati dibagi dengan jumlah kasus baru TB yang diperkirakan pada suatu populasi di suatu wilayah 3. Angka konversi adalah persentase jumlah kasus baru TB paru BTA positif yang konversi menjadi negatif dibagi dengan jumlah kasus baru TB paru BTA positif yang diobati 4. Angka kesembuhan (Cure Rate) adalah persentase dari jumlah kasus baru TB BTA positif yang sembuh dibagi dengan jumlah kasus baru TB BTA positif yang diobati 5. Angka keberhasilan (Success Rate) adalah persentase kasus baru BTA positif yang sembuh plus pengobatan lengkap di antara kasus baru TB paru BTA positif yang diobati. 3 6. Angka kesalahan (Error Rate) laboratorium adalah persentase jumlah sediaan yang dibaca salah dibagi dengan jumah seluruh sediaan yang diperiksa. Variabel-variabel kualitatif yang diteliti: (1) Komitmen politis; (2) Pemeriksaan mikroskopis untuk deteksi kasus; (3) Kemoterapi standar jangka pendek TB; (4) Penguatan sistem kesehatan; (5) Pelibatan semua pemberi pelayanan kesehatan; (6) Pemberdayaan pasien dan komunitas; (7) Mengatasi tantangan TB/HIV, MDR-TB dan tantangan lainnya. Data kuantitatif dikumpulkan dengan metode: (1) Kajian dokumen; (2) Check list. Data kualitatif dikumpulkan dengan metode: (1) Kajian dokumen dan check list; (2) Wawancara dengan menggunakan daftar pertanyaan terbuka yang berbeda untuk masing-masing kategori subjek penelitian; (3) Pengamatan langsung; (4) Diskusi kelompok fokus. Data kuantitatif disajikan dalam frekuensi, persen, dan grafik. Data kualitatif dianalisis dengan analisis tematik (thematic analysis). HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Angka Penjaringan Kasus TB per 100,000 Penduduk Ditemukan angka penjaringan kasus rendah di tingkat kabupaten atau tidak konsisten (Gambar 1). Faktor penyebab rendahnya jumlah suspek yang diperiksa: (1) Penjaringan suspek TB hanya dilakukan di fasilitas pelayanan kesehatan (Passive Case Finding, PCF); (2) Tidak terdapat Active Case Finding (ACF) atau penjaringan kasus oleh masyarakat; (3) Penjaringan kasus secara aktif hanya melalui Contact Survey terhadap anggota keluarga dan tetangga yang dicurigai TB. Gambar 1 Angka penjaringan kasus TB per 100,000 penduduk di Boyolali, Sukoharjo, dan Surakarta Disarankan agar penjaringan kasus ditingkatkan melalui ACF, dengan menggunakan model ACD/ JMD (Juru Malaria Desa), dan/ atau Deteksi Dini Kasus TB oleh kader Posyandu/ ibu-ibu PKK. Model yang pertama mengerahkan petugas kesehatan secara aktif untuk mencari kasus TB pada penduduk. Model ini kurang dianjurkan karena dapat menyebabkan ketergantungan masyarakat kepada petugas untuk memecahkan masalah kesehatan mereka. Model Deteksi Dini Kasus TB oleh kader Posyandu/ ibu-ibu PKK lebih baik karena konsisten dengan salah satu elemen strategi baru WHO untuk menghentikan TB, yaitu pemberdayaan pasien dan komunitas. Contoh, di kota Surakarta sejak November 2009 telah dibentuk 6 Posyandu Mandiri Plus Penanggulangan TB sebagai prototipe pemberdayaan masyarakat dalam penaggulangan TB. Posyandu Mandiri Plus merupakan upaya kerjasama antara Tim Penggerak PKK Surakarta dengan Ketua Ny. Iriani Joko Widodo, Tim Penggerak PKK Kecamatan dan Kelurahan, dengan IHEPS (Institute of Health Economic 4 and Policy Studies). Kader Posyandu dan ibu PKK mendeteksi dini suspek kasus TB dan memberikan motivasi pemeriksaan dahak dan pengobatan jangka panjang. Sebuah “Kartu Deteksi Dini TB oleh Kader” dan brosur “Deteksi Dini TB Menuju Surakarta Bebas Tuberkulosis” telah dibuat dan disebarluaskan untuk mendukung kegiatan Posyandu Mandiri Plus tersebut. Jumlah suspek yang diperiksa sangat tinggi di Surakarta pada 2006 lalu menurun drastis pada 2007 dan 2008 (Gambar 1). Terdapat beberapa sebab. Pertama, pada 2006 terdapat dana dari KNCV untuk kegiatan PCF dan ACF, tetapi dana tersebut berhenti sejak 2007, sehingga mempengaruhi cakupan penemuan kasus. Kedua, gambaran inkonsistensi mengindikasikan sistem pencatatan dan pelaporan di DKK kurang dapat diandalkan. Timeliness dan ketersediaan data ketika dibutuhkan merupakan salah satu atribut surveilans. Di DKK Surakarta data Tuberkulosis dalam komputer tidak siap tersedia pada waktu dibutuhkan. Selain itu terdapat inkonsistensi dan/ atau ketidaklengkapan antara data-base pencatatan dan pelaporan yang tersedia pada komputer DKK dan data pencatatan dan pelaporan manual. Biasanya data manual baru disiapkan ketika akan dilakukan pelaporan ke tingkat administrasi yang lebih tinggi (tingkat provinsi). Salah satu di antara beberapa akar penyebab masalah adalah infeksi kronis oleh virus terhadap data yang belum teratasi hingga awal 2010. Beberapa sebab ketidaktersediaan data ketika dibutuhkan (1) Sistem komputerisasi belum dipandang sentral dalam sistem penanggulangan TB; dan (2) Serangan virus komputer dalam sistem pencatatan dan pelaporan. Pada umumnya komputerisasi di DKK, puskesmas, dan RS, masih dipandang sebagai “pelengkap penderita” dengan ciri-ciri khas marginalisasi (peminggiran, pemojokan) letak komputer di ruangan. Sebaliknya ciri-ciri komputerisasi yang telah dipandang penting jika diletakkan sentral dan menyatu di meja masing-masing petugas yang relevan. Virus komputer yang merusak data pencatatan dan pelaporan di DKK dan puskesmas perlu diatasi segera dengan memasang perangkat lunak penangkal virus yang dapat diandalkan.. Petugas perlu lebih disiplin meng-update setiap hari dan memindai (scanning) flash disk dan CD sebelum membuka file. Disarankan untuk menggunakan perangkat lunak anti-virus Antivir karena dapat diandalkan, dapat diunduh gratis dari web, dan mudah di-update. 2. Case Detection Rate Ditemukan rata-rata Case Detection Rate (CDR) di bawah target 70% di Boyolali, Sukoharjo, dan Surakarta. Terdapat penurunan CDR 3 tahun terakhir (Gambar 2). Gambar 2 Case Detection Rate di Boyolali, Sukoharjo, dan Surakarta Faktor penyebab rendahnya CDR: (1) Kesulitan suspek kasus mengeluarkan dahak, meskipun telah diberikan mukolitik-ekspektoran (terutama pasien suspek TB yang telah diobati sebelumnya dengan obat anti-tuberkulosis/ OAT yang tidak standar); (2) Program TB hanya mengandalkan Passive Case Finding 5 (PCF) untuk menjaring kasus TB; (3) Penerapan estimasi prevalensi kasus BTA positif TB yang seragam di seluruh Indonesia, yaitu 107 kasus/100,000 penduduk, untuk semua kota, kabupaten dan kecamatan; (4) Penyebab lain, seperti penjaringan terlalu longgar (terlalu sensitif), banyak orang yang tidak memenuhi kriteria suspek terjaring, dan kualitas dahak yang diperiksa kurang baik. Kesulitan dalam memperoleh dahak untuk pemeriksaan diagnostik baik pada dewasa maupun anak perlu segera diatasi. Perlu dicari prosedur alternatif pemeriksaan dahak yang bisa dilakukan di tingkat primer. Disarankan upaya menggerakkan partisipasi masyarakat untuk meningkatkan penjaringan kasus TB. Sebagai contoh, status Posyandu Mandiri dapat ditingkatkan perannya menjadi Posyandu Mandiri Plus Penanggulangan TB untuk meningkatkan penjaringan kasus di tingkat akar rumput. Target pencarian kasus dan CDR ditentukan berdasarkan estimasi prevalensi TB sebesar 107 kasus/100,000 penduduk. Estimasi prevalensi TB tersebut diterapkan seragam di tingkat provinsi, kota, kabupaten, maupun kecamatan, di seluruh Indonesia. Pendekatan tersebut tidak akurat dan menyebabkan target jumlah kasus BTA positif terlalu tinggi (atau sebaliknya terlalu rendah) untuk suatu provinsi, kota, kabupaten, maupun kecamatan. Untuk mengatasi masalah tersebut disarankan agar diterapkan penyesuaian (adjustment) estimasi prevalensi kasus TB yang digunakan sebagai target CDR di tingkat kota, kabupaten, maupun kecamatan. Sebagai contoh, banyak analisis menunjukkan, tingkat pendapatan penduduk, kepadatan penduduk, kondisi lingkungan pemukiman, dan infeksi HIV/AIDS di suatu wilayah merupakan faktor risiko TB. Karena itu estimasi kasus TB dapat disesuaikan menurut variabel-variabel tersebut. Dengan angka korekasi (penyesuaian) tersebut maka provinsi/ kota/ kabupaten/ kecamatan yang penduduknya memiliki tingkat pendapatan lebih tinggi, kepadatan penduduk lebih rendah, lingkungan pemukiman lebih bersih, dan insidensi infeksi HIV/ AIDS, memiliki estimasi prevalensi kasus TB yang lebih rendah daripada provinsi/ kota/ kabupaten/ kecamatan yang penduduknya memiliki tingkat pendapatan lebih rendah, kepadatan penduduk lebih tinggi, lingkungan pemukiman lebih buruk, dan insidensi infeksi HIV/ AIDS lebih tinggi. Dengan metode itu dapat dihindari overestimasi dan underestimasi tentang prevalensi kasus TB di suatu populasi. 3. Angka Konversi Angka konversi atau conversion rate adalah persentase jumlah kasus baru TB paru BTA positif yang konversi menjadi negatif dibagi dengan jumlah kasus baru TB paru BTA positif yang diobati. Indikator ini berguna untuk mengetahui dengan cepat hasil pengobatan dan mengetahui apakah pengawasan langsung menelan obat dilakukan dengan benar. Gambar 3 Conversion rate di Boyolali, Sukoharjo, dan Surakarta 6 Gambar 3 menunjukkan, angka konversi di tingkat kota/ kabupaten, yaitu di Boyolali, Sukoharjo, dan Boyolali telah mencapai target minimal 80%. Tetapi gambaran ini harus dilihat sebagai rata-rata pencapaian angka konversi pengobatan TB di tingkat kota/ kabupaten yang diperoleh dari kegiatan pelayanan pengobatan TB di puskesmas. Hasil ini tidak menggambarkan angka konversi pengobatan yang dilakukan pada UPK lainnya, yaitu RS, dokter umum, dan spesialis praktik pribadi, karena memang tidak terdapat data tentang pengobatan dengan OAT standar DOTS pada UPK tersebut. Angka konversi di tingkat puskesmas menunjukkan bahwa masih terdapat sejumlah puskesmas yang belum mencapai angka konversi yang diharapkan (Gambar 4). Gambar 4 Conversion rate di tingkat puskesmas di Surakarta Disarankan agar DKK tidak hanya memperhatikan kinerja pengobatan TB rata-rata puskesmas di seluruh kota/ kabupaten, tetapi juga memperhatikan kinerja pengobatan TB tertentu yang belum mencapai target angka konversi. 4. Angka Kesembuhan Angka kesembuhan atau cure rate adalah persentase kasus baru BTA positif yang sembuh di antara kasus baru TB paru BTA positif yang diobati. Angka kesembuhan berguna untuk mengetahui efektivitas OAT standar DOTS ketika diberikan kepada pasien TB di suatu komunitas. Angka kesembuhan yang rendah merupakan indikator awal kemungkinan kekebalan/ resistensi bakteri tuberkulosis terhadap OAT standar, sehingga perlu dilakukan surveilans kekebalan/ resistensi. Gambar 5 Cure rate kasus TB di Boyolali, Sukoharjo, dan Surakarta Berbeda dengan pasien penyakit non-infeksi, kesembuhan pasien TB penting karena setiap pasien TB yang tidak sembuh atau tidak diobati merupakan faktor risiko TB yang mempengaruhi keberhasilan 7 program penanggulangan TB. Angka kesembuhan di tingkat kota/ kabupaten di Boyolali dan Sukoharjo telah mencapai target minimal 85% (Gambar 5). Angka kesembuhan di tingkat puskesmas menunjukkan bahwa masih banyak puskesmas yang belum mencapai angka kesembuhan yang diharapkan (Gambar 6). Faktor penyebab rendahnya angka kesembuhan bisa dibagi dua pihak – penyedia pelayanan dan pengguna pelayanan (pasien). Hasil wawancara dengan pasien TB dan keluarga mengungkapkan, terdapat sejumlah faktor penghambat yang dapat mempengaruhi angka kesembuhan: (1) Putus berobat karena merasa sudah enak; (2) Pengobatan tidak teratur karena berpindah-pindah tempat kerja; (3) Kebosanan minum obat; (4) Pasien kurang motivasi; (5) Efek samping obat (reaksi pada tubuh setelah minum obat); (6) Persepsi bahwa pelayanan puskesmas kurang memuaskan dan obat tidak lengkap, lalu pindah ke dokter praktik swasta yang tidak memberikan OAT standar DOTS dalam jangka panjang. Gambar 6 Cure rate kasus TB di tingkat puskesmas di Sukoharjo Wawancara dengan pasien TB dan keluarga mengungkapkan, terdapat sejumlah faktor pendukung keberhasilan pengobatan pasien TB: (1) Dukungan anggota keluarga (istri, anak) dalam mengantar pasien ke puskesmas untuk pemeriksaan dan pengambilan obat, maupun pengawasan pengobatan); (2) Tempat tinggal/ pekerjaan yang tetap mendukung kelangsungan pengobatan. Disarankan agar DKK tidak hanya memperhatikan kinerja rata-rata puskesmas di seluruh kota/ kabupaten dalam menyembuhkan pasien TB, tetapi juga memperhatikan kinerja sejumlah puskesmas tertentu yang belum menujukkan kinerja yang baik dalam mencapai target angka kesembuhan pengobatan pasien TB. Gambar 6 juga menunjukkan, grafik angka kesembuhan di Surakarta tidak mencakup data tahun 2006 dan angka kesembuhan yang sangat fluktuatif antara tahun 2007 dan 2008. Grafik tersebut tidak menunjukkan pencapaian angka kesembuhan yang sesungguhnya di Surakarta, melainkan menunjukkan masalah pada sistem pencatatan dan pelaporan di tingkat DKK. Terdapat ketidaktersediaan data TB pada database komputer dan inkonsistensi angka-angka antara database komputer dan pencatatan secara manual. Infeksi virus komputer menyebabkan masalah hilangnya data TB dalam sistem pencatatan dan pelaporan TB di DKK. Sebab lain adalah komputerisasi dalam sistem pencatatan dan pelaporan program penanggulangan TB belum diprioritaskan di antara semua kegiatan DKK. 8 5. Program dan Pelayanan TB di Puskesmas Hasil wawancara dengan koordinator TB da wasor TB di DKK, petugas TB/ P2M dan petugas laboratorium puskesmas mengungkapkan, umumnya petugas TB dan petugas laboratorium memiliki tugas rangkap sebagai petugas kusta, penyakit tidak menular, malaria, pengobatan dasar dan perawatan sehingga petugas TB tidak bisa maksimal dalam menjalankan tugasnya. Sebagian petugas TB dan laboratorium mengaku bahwa tugas rangkap ini menurunkan kinerjanya dalam kegiatan penganggulangan TB dengan strategi DOTS, tetapi sebagian lainnya merasa tidak terbebani dengan tugas rangkap tersebut. Petugas TB dan laboratorium di puskesmas mengutarakan bahwa sering diperoleh suspek TB tetapi sulit mendapatkan BTA positif karena dahak dari suspek cair sehingga menyulitkan diagnosis di laboratorium. Petugas laboratorium juga mengeluhkan ruangan laboratorium yang tidak representatif, fasilitas laboratorium yang kurang mendukung, mikroskop rusak diperbaiki sendiri. Umpan balik hasil cross-check tentang akurasi diagnosis laboratorium kurang teratur. Gambar 7 menunjukkan bahwa error rate pemeriksaan dahak pada laboratorium puskesmas lebih rendah dari batas maksimum 5%. Gambar 7 Error rate pemeriksaaan dahak pada laboratorium puskesmas di Boyolali dan Sukoharjo Petugas TB dan laboratorium puskesmas mengusulkan agar peralatan (mikroskop dll) dilengkapi, ruangan dibuat lebih representatif, dan adanya kebijakan diagnosis pada anak memakai tes BCG. 6. Penyediaan dan penyimpanan OAT program DOTS Gudang Farmasi Penyimpanan Obat DKK menyediakan dan menyimpan OAT standar DOTS dengan kartu stok dan menerapkan sistem FIFO (first in first out) untuk mencegah obat kadaluwarsa. Jika terdapat obat kadaluwarsa, maka obat tersebut ditarik dan diterbitkan Berita Acara untuk pemusnahan. Suplai obat dari provinsi setiap tahun sekali. Mulai 2010 obat disediakan oleh pemerintah daerah. Menurut wawancara dengan petugas Gudang Farmasi, kehabisan stok OAT jarang terjadi. Hasil wawancara dengan dokter puskesmas menemukan bahwa kekurangan suplai OAT untuk pasien TB dewasa jarang terjadi. Tetapi OAT untuk pasien TB anak kadang terjadi. Salah satu cara yang dilakukan oleh DKK untuk mengatasi ketiadaan stok obat adalah membentuk jejaring dengan DKK terdekat yang memungkinkan dilakukan peminjaman obat dari daerah lain. Biasanya obat yang bisa dipertukarkan adalah OAT dari pemerintah pusat, bukan obat yang disediakan oleh pemerintah daerah. Sebuah cara lain untuk mengatasi ketiadaan OAT untuk pasien TB anak, seperti yang dikemukakan dan telah dilakukan oleh salah seorang dokter di puskesmas kabupaten Boyolali adalah memodifikasi OAT orang dewasa menjadi OAT untuk pasien TB anak. 9 7. Sistem Pencatatan dan Pelaporan TB Pertama, ketiadaan data atau informasi tentang TB di beberapa DKK pada saat dibutuhkan untuk pengambilan keputusan, pembuatan kebijakan, perencanaan, maupun evaluasi. Tidak jarang data atau informasi yang dibutuhkan baru tersedia setelah berhari-hari. Kedua, kualitas data yang dikumpulkan umumnya belum memadai, sering kali terdapat inkonsistensi data ketika dilakukan cek silang yang mengindikasikan keraguan validitas data. Ketiga, hanya sebagian puskesmas telah menggunakan komputer untuk pencatatan dan pelaporan TB. Semua DKK menggunakan komputer untuk pencatatan dan pelaporan TB. Tetapi sebagian besar komputer tidak ditempatkan sentral, melainkan dipojokkan di dalam ruangan, yang mengindikasikan bahwa sistem informasi kesehatan dengan komputerisasi belum dipandang kegiatan prioritas. Keempat, data yang ada belum dimanfaatkan secara optimal untuk surveilans TB di tingkat DKK, puskesmas, maupun RS, untuk pemantauan, evaluasi, dan perencanaan program TB. Biasanya pencatatan dan pelaporan tidak digunakan untuk perencanaan, melainkan hanya sekedar untuk dilaporkan ke tingkat administrasi yang lebih atas. Itulah sebabnya, informasi yang dibutuhkan untuk perencanaan atau pengambilan keputusan biasanya baru tersedia pada akhir bulan atau periode tertentu ketika DKK, puskesmas, maupun RS harus membuat laporan. Disarankan untuk memperbaiki sistem pencatatan dan pelaproran di DKK, puskesmas, maupun RS. Untuk menunjang public-private mix, DKK perlu menyediakan form pencatatan dan pelaporan untuk para dokter umum, spesialis, dan RS swasta, agar memudahkan partisipasi UPK tersebut dalam sistem pencatatan dan pelaporan kasus TB. Untuk meningkatkan kualitas informasi perlu dilakukan pelatihan untuk petugas tentang penyimpanan dan teknik analisis data, serta teknik penyajian hasil analisis data yang dapat digunakan untuk perencanaan dan pengambilan keputusan di DKK, puskesmas, dan RS. 8. Public-Private-Mix Kerjasama antara institusi pemerintah dan swasta, atau institusi pemerintah dan pemerintah, memiliki potensi untuk memperluas dan memelihara kesinambungan strategi DOTS. UPK swasta (RS, dokter umum, spesialis) memiliki potensi meningkatkan penjaringan kasus, CDR, maupun pengobatan kasus TB dengan strategi DOTS. Dalam praktik, hasil wawancara dengan RS dan sejumlah dokter praktik swasta mengungkapkan bahwa UPK tersebut sangat kurang memberikan kontribusi penemuan, pemeriksaaan, dan pengobatan kasus TB dengan strategi DOTS. Belum terdapat komitmen yang kuat dari pihak manajemen UPK (pimpinan RS) dan tenaga medis (dokter umum dan spesialis) serta paramedis dan seluruh petugas terkait dalam penanggulangan TB dengan strategi DOTS. Pada umumnya belum terdapat unit DOTS di RSUD maupun RS swasta di Boyolali, Sukoharjo, dan Surakarta. Satu-satunya Unit DOTS yang terletak di Bagian Penyakit Paru dan Saluran Pernapasan pada RSUD Dr Moewardi, Surakarta. Pada umumnya para dokter umum maupun spesialis yang praktik pribadi maupun praktik di RS tidak menggunakan pemeriksaan dahak untuk diagnosis TB. Alasan yang umumnya dikemukakan adalah waktu yang terlalu lama untuk mendapatkan hasil pemeriksaan dahak di laboratorium. Sebagai gantinya para dokter dan spesialis menggunakan foto Roentgen yang menurut mereka lebih cepat dan praktis. Kebiasaan ini tidak mendukung strategi DOTS, karena diagnosis TB dengan pemeriksaan toraks dengan foto Roentgen memiliki reliabilitas (keterandalan) yang rendah. Demikian pula para dokter umumnya tidak menggunakan OAT standar DOTS, melainkan INH, Rifampisin dan vitamin, dan sebagainya, dengan lama terapi yang tidak tentu dan tidak memadai. Alasan yang dikemukakan, karena pasien sulit 10 diharapkan untuk berobat teratur dalam jangka 6 bulan. Tidak terdapat sistem pencatatan dan pelaporan pasien TB pada dokter umum dan spesialis praktik pribadi. Terdapat beberapa sebab rendahnya partisipasi dan komitmen UPK swasta dalam menerapkan program pengendalian TB dengan strategi DOTS. Pertama, sikap independensi yang berlebihan di antara para dokter dalam membuat keputusan dalam menentukan diagnosis dan memilih terapi TB. Kemandirian yang berlebihan itu menyebabkan para dokter tidak menaati prosedur standar diagnosis dan terapi kasus TB. Kedua, jarang dilakukan sosialisasi oleh DKK kepada dokter praktik swasta tentang kemitraan dalam rangka implementasi strategi DOTS. Ketiga, para dokter praktik swasta tidak mendapat suplai OAT standar DOTS maupun logistik administratif untuk mendukung sistem pencatatan dan pelaporan TB. Para dokter umumnya tidak melaporkan penemuan kasus TB atau kasus suspek TB ke puskesmas atau DKK, karena memang tidak pernah dihubungi oleh petugas TB puskesmas ataupun DKK. Hasil wawancara dan diskusi dengan koordinator atau wasor TB dan kepala DKK menemukan bahwa belum terdapat nota kesepahaman (memorandum of understanding) antara UPK dan DKK. Demikian pula jarang dilakukan sosialisasi strategi DOTS kepada UPK. Disarankan agar dibuat jejaring eskternal antara DKK sebagai regulator dan UPK (RS, dokter umum, spesialis) sebagai penyedia pelayanan kesehatan, ikatan profesi misalnya Ikatan Dokter Indonesia (IDI), serta puskesmas sebagai unit pelayanan primer. Perlu dibuat nota kesepakatan antara DKK dan para UPK. Agar kerjasama dalam implementasi DOTS lebih mengikat, disarankan agar lisensi (izin praktik) dan akreditasi RS secara eksplisit dikaitkan dengan realisasi UPK dalam menaati prosedur standar diagnosis dan penatalaksanaan kasus TB sesuai dengan program DOTS. Terbentuknya jejaring eksternal, nota kesepahaman, lisensi dan akreditasi yang mengikat RS dan para dokter penting untuk memastikan bahwa mereka bersama dengan DKK dan puskesmas (pelayanan primer) membantu keberhasilan strategi DOTS. 9. Kemitraan dengan Pemerintah Daerah/ DPRD Kemitraan dan dukungan Pemerintah Daerah (Kota dan Kabupaten) kurang dalam pembiayaan program pengendalian TB. Hasil wawancara dengan koordinator TB dan kepala DKK diperoleh pandangan bahwa anggaran Pemda untuk program TB tidak memadai, baik dalam besaran maupun keteraturan. Anggaran Pemda untuk program TB tidak selalu ada setiap tahun. TB harus bersaing dengan prioritas kesehatan lainnya untuk mendapatkan anggaran. Sebagai contoh, di Sukoharjo, anggaran yang tersedia untuk program TB hanya sebesar Rp 150 juta per tahun pada 2008 dan 2009, digunakan untuk membiayai kegiatan contact survey, pemberian imbalan bagi petugas, pemantauan, dan peningkatan kualitas SDM (misalnya, pelatihan, kerjasama dengan BBKPM) Hasil diskusi dengan kabid P2M dan koordinator TB, di Surakarta anggaran program TB melalui APBD II untuk tahun 2008, 2009 dan 2010 direncanakan dan diusulkan oleh puskesmas. Dengan membuat Daftar Penetapan Anggaran, masing-masing puskesmas membuat perencanaan sendiri dan mengusulkan anggaran ke bagian Keuangan Pemda. Anggaran TB digunakan untuk transport pengawas menelan obat (PMO), pertemuan PMO, program makanan tambahan (PMT) pasien TB, dan kontak survei. Anggaran TB bisa juga menggunakan pembiayaan Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) untuk keluarga miskin. Belum terdapat Perda tentang Penanggulangan Tuberkulosis di kota/ kabupaten. Hasil wawancara dengan anggota DPR diungkapkan bahwa jika sangat urgen DPRD akan membuat Perda Kesehatan dan TB. Disarankan agar dilakukan advokasi oleh DKK yang lebih sering untuk meningkatkan kepedulian Pemda. Dari hasil diskusi dengan para koordinator TB, wasor TB, dan kepala bidang P2M DKK disarankan 11 agar advokasi disertai dengan data/ informasi yang baru tentang pencapaian program penanggulangan TB di daerah untuk meyakinkan para pengambil keputusan anggaran pada Pemda dan DPRD. KESIMPULAN DAN SARAN Program pengendalian TB dengan strategi DOTS telah berjalan di kabupaten dan kota yang diteliti, yaitu kabupaten Boyolali, Sukoharjo, dan kota Surakarta. Tetapi pelaksanaan program DOTS tersebut belum mencapai target yang diharapkan. Disarankan agar keberhasilan dalam mencapai target indikator utama penanggulangan TB tidak hanya dilihat pada level kabupaten/ kota tetapi juga dianalisis pada level yang lebih mikro, yaitu kecamatan dan desa. Indikator keberhasilan pengendalian TB tertentu, seperti penemuan kasus dan case detection rate masih di bawah standar, baik pada level kota/ kabupaten maupun pada level puskesmas. Penyebab utama adalah partisipasi dokter, RS, dan tenaga kesehatan lainnya yang masih sangat rendah dalam penemuan dan diagnosis kasus TB. Penyebab lainnya adalah estimasi prevalensi kasus TB yang seragam di seluruh Indonesia yang menyebabkan overestimasi atau underestimasi tentang angka prevalensi kasus TB yang sesungguhnya di tingkat provinsi, kabupaten/ kota, dan kecamatan. Disarankan agar dilakukan peneltian lebih lanjut dengan tujuan menentukan angka koreksi atau penyesuaian (adjustment) tentang estimasi angka prevalensi TB menurut pendapatan penduduk, kepadatan penduduk, indeks sanitasi lingkungan, prevalensi HIV/AIDS, dan faktor risiko TB lainnya, yang sedapat mungkin merupakan data sekunder (sudah tersedia di sistem pencatatan-pelaporan di lembaga terkait). Angka konversi dan angka kesembuhan di sejumlah puskesmas masih di bawah target 85%, meskipun secara rata-rata target tersebut secara agregat telah tercapai di level kabupaten/ kota. Salah satu penyebab utama adalah putus berobat dan ketidakefektifan pengawasan menelan obat dalam memastikan keteraturan menelan obat. Dukungan pemerintah daerah dan DPRD dalam pembiayaan program pengendalian TB masih rendah. Kepatuhan para dokter, spesialis, dan RS swasta masih rendah dalam menerapkan prosedur standar DOTS dalam pemeriksaan, diagnosis, pengobatan, maupun pencatatan dan pelaporan pasien TB. Perlu penguatan sistem dan peningkatan partisipasi semua tenaga kesehatan, dengan cara membangun jaringan eksternal, membuat nota kesepakatan, dan mewajibkan dokter praktik swasta dan RS untuk memeriksa, mendiagnosis, dan mengobati pasien TB dengan prosedur standar DOTS, dengan cara mengaitkannya dengan persyaratan izin praktik dan akreditasi RS. REFERENSI USAID (2008). Infectious disease. www.usaid.gov. Diakses April 2010. DepKes (2008). Pedoman nasional penanggulangan tuberkulosis. Edisi ke 2. Jakarta: DepKes RI. Dye C, Watt CJ, Bleed DM, Hosseini SM, Raviglione MC (2005). Evolution of Tuberculosis Control and Prospects for Reducing Tuberculosis Incidence, Prevalence, and Deaths Globally. JAMA, 293:27672775. WHO (2009a). WHO Report 2009: Global Tuberculosis Control Epidemiology, Strategy, Financing. Geneva, Switzerland: WHO Press. whqlibdoc.who.int/publications/ 2009/ 9789241563802_eng.pdf – Diakses April 2010 WHO (2009b). The stop TB strategy. www.who.int.org. Diakses April 2010. WHO (2009c). The Global plan to stop TB 2006-2015. www.who.int.org. Diakses April 2010. 12