perlindungan hukum pasien sebagai konsumen jasa dalam

advertisement
1
PERLINDUNGAN HUKUM PASIEN SEBAGAI KONSUMEN
JASA DALAM PELAYANAN KESEHATAN DI RUMAH SAKIT
UMUM DAERAH TASIKMALAYA
SKRIPSI
Oleh :
MAYA RUHTIANI
E1A008031
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS HUKUM
PURWOKERTO
2012
2
PERLINDUNGAN HUKUM PASIEN SEBAGAI KONSUMEN
JASA DALAM PELAYANAN KESEHATAN DI RUMAH SAKIT
UMUM DAERAH TASIKMALAYA
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana
Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman
Oleh :
MAYA RUHTIANI
E1A008031
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS HUKUM
PURWOKERTO
2012
3
LEMBAR PENGESAHAN
PERLINDUNGAN HUKUM PASIEN SEBAGAI KONSUMEN JASA DALAM
PELAYANAN KESEHATAN DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH
TASIKMALAYA
Oleh:
Maya Ruhtiani
E1A008031
Diajukan sebagai salah satu syarat guna memperoleh
gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum
Universitas Jenderal Soedirman
Diterima dan Disahkan
Pada tanggal
November 2012
Penguji I/
Penguji II/
Penguji III/
Pembimbing I
Pembimbing II
Penilai
Saryono Hanadi, S.H., M.H
Suyadi, S.H., M.Hum
Tedi Sudrajat, S.H.M.H
NIP. 19570329 198601 1 001
NIP. 196110110 198703 1 001
NIP. 19800403 200604 1 003
Mengetahui,
Dekan Fakultas Hukum
Universitas Jenderal Soedirman
Dr. Angkasa, S.H., M.Hum
NIP : 19640923 198901 1 001
4
PERNYATAAN
Yang bertanda tangan di bawah ini, saya :
Nama
: Maya Ruhtiani
NIM
: E1A008031
Judul Skripsi : Perlindungan Hukum Pasien Sebagai Konsumen Jasa Dalam
Pelayanan Kesehatan Di Rumah Sakit Umum Daerah Tasikmalaya
Adalah benar bahwa skripsi ini hasil karya sendiri, baik sebagian maupun
seluruhnya, semua informasi dan sumber data yang digunakan dalam penyusunan
skripsi ini disebutkan dalam daftar pustaka dan telah dinyatakan secara jelas
keberadaannya.
Bila pernyataan ini tidak benar, saya bersedia menanggung resiko termasuk gelar
kesarjanaan yang telah saya sandang
Purwokerto,
November 2012
MAYA RUHTIANI
5
PERLINDUNGAN HUKUM PASIEN SEBAGAI KONSUMEN JASA
DALAM PELAYANAN KESEHATAN DI RUMAH SAKIT UMUM
DAERAH TASIKMALAYA
Oleh :
MAYA RUHTIANI
E1A008031
ABSTRAK
Penelitian ini mengkaji tentang Perlindungan hukum terhadap pasien
sebagai konsumen jasa dalam pelayanan kesehatan di RSUD Tasikmalaya.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimanakah perlindungan hukum
terhadap pasien sebagai konsumen jasa dalam pelayanan kesehatan serta faktorfaktor apakah yang menunjang dan menghambat perlindungan hukum terhadap
pasien di RSUD Tasikmalaya.
Dalam penelitian ini penulis mengkaji sejauh mana perlindungan hukum
terhadap pasien dalam pelayanan kesehatan tersebut dilaksanakan oleh tenaga
kesehatan di rumah sakit. Dengan metode yuridis sosiologis penulis mengkaji
mengenai perlindungan hukum terhadap pasien dengan melihat sejauh mana hakhak pasien dipenuhi oleh tenaga kesehatan serta rumah sakit. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa perlindungan hukum terhadap pasien sebagai konsumen jasa
dalam pelayanan kesehatan di RSUD Tasikmalaya Baik, Faktor-faktor yang
menghambat dan menunjang terdiri dari faktor Internal dan eksternal yang meliputi
faktor komunikasi, Informasi, kesadaran hukum, fasilitas rumah sakit, lingkungan
kerja serta sikap dari pasien.
Kata Kunci : Perlindungan Pasien, Rumah Sakit, Faktor Internal, Faktor Eksternal
6
ABSTRACT
This study reviews about the legal protection of patient as consumers of
health care service in RSUD Tasikmalaya. This study aims to determine how the
legal protection of patients as consumers of services in the health service and
whether factors that support and pursue the legal protection of patients in RSUD
Tasikmalaya.
In This study, the authors examine the extent to which the legal protection of
patients in health care is carried out by medical workers at the hospital. With
juridical studies of sociological method writer examines the legal protections for
patients to see to what extent the rights of patients met by medical workers and
hospitals. The results showed that the legal protection of patients as consumers of
health care services in RSUD Tasikmalaya are good, Factors that support and
pursue consists of
internal factors and external factors as follow as
communication, information, legal awareness, hospital facilities, the working
environment and the attitude of the patients.
Keywords: Protection of Patients, Hospital, Internal Factor, External Factor
7
KATA PENGANTAR
Alhamdulilahhirabbil’alamin, puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah
S.W.T atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi dengan judul “Perlindungan Hukum Pasien Sebagai
Konsumen Jasa Dalan Pelayanan Kesehatan Di Rumah Sakit Umum Daerah
Tasikmalaya” sebagai persyaratan untuk mendapatkan gelar Sarjana Hukum
pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto.
Ketika dalam penusunan skripsi ini, penulis banyak menerima saran.
masukan dan kritik yang membangun dari berbagai pihak, untuk itu penulis
mengucapkan terimakasih kepada :
1. Bapak Dr. Angkasa, S.H., M.Hum. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas
Jenderal Soedirman, untuk dedikasi, kepemimpinan, dan kebijakannya.
2. Bapak Saryono Hanadi, S.H., M.H. selaku Kepala Bagian Hukum
Kemasyarakatan dan Pembimbing Skripsi, untuk setiap bimbingannya,
kesabarannya dan motivasinya dalam penyusunan karya akademik pamungkas
ini.
3. Bapak Suyadi, S.H., M.Hum. selaku Dosen Pembimbing Skripsi untuk
kesabarannya dan motivasinya dalam membimbing karya sederhana ini
4. Bapak Tedi Sudrajat, S.H., M.H selaku Dosen Penguji untuk setiap bentuk
evaluasi dan saran atas karya ini.
5. Bapak Djumadi, S.H., S.U. selaku dosen pembimbing akademik, untuk setiap
dorongan, motivasi, dan bantuannya dalam menyelesaikan studi penulis di
Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman.
8
6. Seluruh dosen Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman, terima kasih
untuk ilmu yang sangat bermanfaat yang telah bapak/ibu berikan.
7. Bapak dr. Wasisto Hidayat, M.Kes. selaku Direktur, dr. Budi Tirmadi selaku
Kepala Bidang Pelayanan dan seluruh dokter/tenaga kesehatan yang ada di
Rumah Sakit Umum Daerah Tasikmalaya atas bantuannya selama penulis
melakukan penelitian dalam skrispsi ini.
8. Orangtua dan keluarga atas motivasi, penyemangat serta doa yang selalu
diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
9. Sahabat dan Teman-teman di Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman
yang selalu memberikan semangat kepada penulis untuk dapat menyelesaikan
skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari sempurna. Oleh karena itu
penelitian lebih lanjut berdasarkan skripsi ini sangat terbuka sebagai sumbangan
terhadap ilmu pengetahuan. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat.
Purwokerto, November 2012
Penyusun
9
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL..........................................................................................
i
HALAMAN PENGESAHAN............................................................................
ii
HALAMAN PERNYATAAN............................................................................
iii
ABSTRAK..........................................................................................................
iv
ABSTRACT........................................................................................................
v
KATA PENGANTAR........................................................................................
vi
DAFTAR ISI.......................................................................................................
vii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.........................................................................................
1
B. Perumusan Masalah..................................................................................
8
C. Tujuan Penelitian......................................................................................
8
D. Kegunaan Penelitian................................................................................
8
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Pelayanan Kesehatan
1. Pengertian dan Pengaturan Pelayanan Kesehatan...............................
10
2. Asas-asas Pelayanan Kesehatan..........................................................
12
3. Syarat-syarat Pelayanan Kesehatan.....................................................
21
4. Standart Pelayanan Kesehatan............................................................
22
B. Pasien Sebagai Konsumen
1. Pengertian dan Pengaturan Pasien Sebagai Konsumen......................
32
2. Perlindungan Hukum Pasien Sebagai Konsumen...............................
35
3. Hak dan Kewajiban Pasien Sebagai Konsumen.................................
47
4. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Perlindungan Hukum Pasien
Sebagai Konsumen.............................................................................
52
BAB III METODE PENELITIAN
A. Metode Pendekatan.................................................................................
59
B. Metode Penelitian....................................................................................
59
C. Spesifikasi Penelitian...............................................................................
61
D. Lokasi Penelitian......................................................................................
61
E. Informan Penelitian..................................................................................
62
10
F. Metode Informan Penelitian...............................................................
62
G. Sumber dan Jenis Data Yang Diperlukan...........................................
64
H. Metode Pengumpulan Data................................................................
65
I. Metode Pengolahan Data...................................................................
67
J. Metode penyajian Data.......................................................................
68
K. Metode Uji Mutu Data.......................................................................
69
L. Metode Analisis Data.........................................................................
70
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS DATA
A. Perlindungan Hukum Pasien Sebagai Konsumen Jasa Dalam
Pelayanan Kesehatan di RSUD Tasikmalaya..........................................
72
B. Faktor-faktor Yang Menghambat dan Menunjang Perlindungan
Hukum Pasien Sebagai Konsumen Jasa Dalam Pelayanan
Kesehatan di RSUD Tasikmalaya...........................................................
129
BAB V PENUTUP
A. Simpulan..................................................................................................
135
B. Saran........................................................................................................
136
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
11
BAB 1
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Upaya Peningkatan kualitas hidup manusia di bidang kesehatan merupakan
suatu usaha yang sangat luas dan menyeluruh, usaha tersebut meliputi
peningkatan kesehatan masyarakat baik fisik maupun non fisik. Di dalam sistem
Kesehatan Nasional disebutkan, bahwa kesehatan menyangkut semua segi
kehidupan yang ruang lingkup dan jangkauannya sangat luas dan kompleks. Hal
ini sesuai dengan pengertian kesehatan yang diberikan oleh dunia Internasional
sebagai berikut : A state of complete physical, mental, and social, well being and
not merely the absence of deseaseor infirmity.1
Dalam upaya peningkatan kualitas hidup dan pelayanan kesehatan yang
memadai maka pemerintah maupun swasta menyediakan institusi pelayanan
kesehatan yang disebut sebagai rumah sakit. Rumah Sakit yang merupakan
penyelenggaraan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang
menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan dan gawat darurat disediakan
untuk kepentingan masyarakat dalam hal peningkatan kualitas hidup. Kemajuan
ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang kesehatan telah berkembang dengan
pesat dan didukung oleh sarana kesehatan yang semakin canggih, perkembangan
ini turut mempengaruhi jasa professional di bidang kesehatan yang dari waktu ke
waktu semakin berkembang pula. Berbagai cara perawatan dikembangkan
1
Koeswadji, 1984, Hukum dan Masalah Medik, Airlangga University Press, Surabaya, hal. 17
12
sehingga akibatnya juga bertambah besar, dan kemungkinan untuk melakukan
kesalahan semakin besar pula. 2
Banyaknya terjadi kasus-kasus serta gugatan dari pihak pasien yang
melibatkan suatu rumah sakit akibat dari pasien tidak puas atau malah dirugikan
dengan pelayanan kesehatan yang diberikan oleh rumah sakit yang merupakan
indikasi bahwa kesadaran hukum masyarakat semakin meningkat. Semakin sadar
masyarakat akan aturan hukum, semakin mengetahui mereka akan hak dan
kewajibannya dan semakin luas pula suara-suara yang menuntut agar hukum
memainkan peranannya di bidang kesehatan. Hal ini pula yang menyebabkan
masyarakat (pasien) tidak mau lagi menerima begitu saja cara pengobatan yang
dilakukan oleh pihak medis. Pasien ingin mengetahui bagaimana tindakan medis
dilakukan agar nantinya tidak menderita kerugian akibat kesalahan dan kelalaian
pihak medis.3
Berikut
ini
merupakan
kasus-kasus
yang
terjadi
akibat
kurangnya
perlindungan hukum yang diberikan kepada pasien :
Kasus yang dialami oleh Sudargo pada tahun 2010 di Jakarta yang menderita
kencing manis kemudian karena kakinya terluka maka dia datang ke salah satu
rumah sakit pemerintah untuk berobat, tetapi luka yang ada di kakinya bukannya
sembuh malah semakin parah dan menimbulkan kakinya malah membusuk dan
harus diamputasi, akibat adanya kelalaian yang dilakukan oleh pihak rumah sakit
maka pihak dari keluarga Sudargo meminta pertanggungjawaban dari pihak
rumah sakit tersebut, namun ketika dimintai pertangungjawabannya pihak rumah
2
Bahder Johan, 2005, Hukum Kesehatan Pertanggungjawaban Dokter, PT. Rineka Cipta, Jakarta,
hal.5.
3
Soejami, 1992, Beberapa Permasalahan Hukum dan Medik, Bandung, Citra Aditya, hal. 9.
13
sakit tersebut seakan angkat tangan dan tidak mau tau dengan kerugian yang
diderita oleh Sudargo. Sampai saat ini kasus tersebut belum ada penyelesaiannya.4
Kasus yang dialami oleh Ratih pada tahun 2011, dia menjalani operasi usus
buntu di rumah sakit swasta di Jakarta Timur namun setelah menjalani operasi,
Ratih mengalami pendarahan yang diikuti dengan infeksi dan pembusukan
jaringan yang membuat Ratih harus mengalami cacat perut, karena luka yang
dideritanya tidak kunjung sembuh, ketika keluarga dari Ratih meminta keterangan
dari dokter yang menangani penyakit yang diderita Ratih, dokter tersebut hanya
menjelaskan kepada keluarga dengan bahasa kedokteran yang tidak dimengerti,
walaupun telah diadukan kepada Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan
Indonesia (YPKKI) namun sampai saat ini belum ada penyelesaiannya.5
Kasus yang dialami oleh seorang Ibu di Lombok pada bulan Januari tahun
2012, yang melahirkan di salah satu rumah sakit umum di Lombok namun
bayinya meninggal dunia pada saat proses melahirkan, tragisnya bayi tersebut
meninggal dengan kepala yang terputus dan kepalanya masih tertinggal di dalam
perut, sehingga harus dilakukan operasi caesar untuk mengambil kepala bayi yang
terputus tersebut. Disini pihak dari pasien tidak terima dan menganggap pihak dari
rumah sakit telah melakukan malpraktik, kemudian keluarga pasien meminta
pertanggungjawaban kepada pihak dari rumah sakit tersebut, namun pihak dari
rumah sakit merasa prosedur yang dilakukan telah benar, karena pihak dari rumah
4
Indra Bastian Suryono, 2011, Penyelesaian Sengketa Kesehatan, Salemba Medika, Jakarta, hal.
100-101.
5
Indra Bastian Suryono, Ibid, hal. 11-12.
14
sakit tidak mau bertanggungjawab maka keluarga pasien melaporkan rumah sakit
tersebut ke Polres setempat, namun sampai saat ini belum ada penyelesaiannya.6
Menurut Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Kesehatan menyatakan banyaknya
kasus malpraktik di Indonesia adalah akibat sistem kesehatan yang tidak
menunjang. Menurut data Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan
Indonesia (YPKKI) dari tahun 1998 sampai tahun 2004 telah menangani 255
kasus malapraktik dan jarang diselesaikan sampai tingkat penyidikan yang
dikarenakan polisi juga masih tidak paham tentang masalah kesehatan ini dan
mengakibatkan penanganan polisi terhadap kasus malapraktik kurang optimal.7
Timbulnya hubungan antara pasien dengan dokter maupun pasien dengan
pihak rumah sakit dapat dikarenakan pasien sangat mendesak untuk mendapatkan
pertolongan. Dalam keadaan seperti ini pihak rumah sakit terutama dokter
langsung melakukan apa yang disebut dengan zaakwaarneming, yaitu di mana
seorang dengan sukarela tanpa mendapat perintah mewakili urusan orang lain
hingga orang yang diwakili kepentingannya dapat menyelesaikan kepentingannya
tersebut, selain hubungan antara dokter dengan pasien, peran rumah sakit dalam
menerapkan perlindungan hukum terhadap pasien juga sangat diperlukan. Dalam
dunia medis yang semakin berkembang, peranan rumah sakit sangat penting
dalam menunjang kesehatan dari masyarakat. Maju atau mundurnya rumah sakit
akan sangat ditentukan oleh keberhasilan dari pihak-pihak yang bekerja di rumah
sakit, dalam hal ini dokter, perawat dan orang-orang yang berada di tempat
tersebut. Pihak rumah sakit diharapkan mampu memahami konsumennya secara
6
7
http//www.opensubscriber.com/massage/[email protected]. Diakses pada tanggal 28 Juni 2012
Indra Bastian Suryono, Op,cit, hal.112-113.
15
keseluruhan serta mampu menerapkan perlindungan terhadap pasien sebagai
konsumen jasa kesehatan. Dalam pelayanan kesehatan, rumah sakit juga harus
memperhatikan etika profesi tenaga kesehatan yang bekerja di rumah sakit yang
bersangkutan. Akan tetapi, tenaga profesional yang bekerja di rumah sakit dalam
memberikan putusan secara profesional adalah mandiri. Putusan tersebut harus
dilandaskan atas kesadaran, tanggung jawab dan moral yang tinggi sesuai dengan
etika profesi masing-masing.8
Tenaga Kesehatan yang diberikan kepercayaan penuh oleh pasien, dan yang
dipekerjakan di rumah sakit haruslah memperhatikan baik buruknya tindakan dan
selalu berhati-hati di dalam melaksanakan tindakan medis, dengan tujuan agar
perlindungan terhadap pasien dapat terealisasikan dan dari tindakan medis
tersebut tidak menutup kemungkinan terjadi suatu kesalahan ataupun kelalaian.
Kesalahan
ataupun
kelalaian
yang
dilakukan
tenaga
kesehatan
dalam
melaksanakan tugas profesinya dapat berakibat fatal baik terhadap badan maupun
jiwa dari pasiennya, dan hal ini tentu saja sangat merugikan bagi pihak pasien.
Ditinjau dari segi ilmu kemasyarakatan dalam hal ini hubungan antara dokter
dengan pasien menunjukkan bahwa dokter memiliki posisi yang dominan,
sedangkan pasien hanya memiliki sikap pasif menunggu tanpa wewenang untuk
melawan. Posisi demikian ini secara historis berlangsung selama bertahun-tahun,
dimana dokter memegang peranan utama, baik karena pengetahuan dan
keterampilan khusus yang ia miliki, maupun karena kewibawaan yang dibawa
olehnya karena ia merupakan bagian kecil masyarakat yang semenjak bertahun
8
Indra Bastian Suryono, Ibid, hal. 6.
16
tahun berkedudukan sebagai pihak yang memiliki otoritas bidang dalam
memberikan bantuan pengobatan berdasarkan kepercayaan penuh pasien.9
Pasien selaku konsumen, yaitu diartikan “setiap pemakai dan atau pengguna
barang dan atau jasa baik kepentingan sendiri maupun kepentingan orang lain”.
Pasien sudah merasa bahagia apabila kepadanya dituliskan secarik kertas. Dari
resep tersebut secara implisit telah menunjukkan adanya pengakuan atas otoritas
bidang ilmu yang dimiliki oleh dokter yang bersangkutan. Otoritas bidang ilmu
yang timbul dan kepercayaan sepenuhnya dari pasien ini disebabkan karena
ketidaktahuan pasien mengenai apa yang dideritanya, dan obat apa yang
diperlukan, dan disini hanya dokterlah yang tahu, ditambah lagi dengan suasana
yang serba tertutup dan rahasia yang meliputi jabatan dokter tersebut yang dijamin
oleh kode etik kedokteran. Kedudukan yang demikian tadi semakin bertambah
kuat
karena ditambah dengan faktor masih langkanya jumlah tenaga
kesehatan/dokter, sehingga kedudukannya merupakan suatu monopoli baginya
dalam memberikan pelayanan pemeliharaan kesehatan sehingga perlindungan
terhadap pasien kurang terjamin. Lebih-lebih lagi karena sifat dari pelayanan
kesehatan ini merupakan psikologis pihak-pihak yang saling mengikatkan diri dan
tidak berkedudukan sederajat.10
Untuk melihat sejauh mana perlindungan hukum yang diberikan oleh suatu
institusi kesehatan atau rumah sakit kepada pasien/konsumen kesehatan tentu saja
kita tidak hanya mendengar dari orang lain atau hanya membaca dari buku saja,
untuk itu disini penulis harus meneliti secara langsung ke suatu institusi
9
Wila Chandrawila, 2001, Hukum Kedokteran, CV. Mandar Maju, Bandung, hal. 12.
Wila Chandrawila, Ibid, hal. 47-48.
10
17
kesehatan/rumah sakit tertentu dan disini peneliti memilih Rumah Sakit Umum
Daerah Tasikmalaya sebagai tempat untuk meneliti mengenai perlindungan
konsumen kesehatan, apakah perlindungan hukum terhadap konsumen kesehatan
tersebut sudah dijalankan dengan baik sesuai dengan Undang-undang Kesehatan
yang ada saat ini atau masih ada yang perlu diperbaiki dan apa saja yang menjadi
faktor penghambat dan pendorong adanya perlindungan hukum terhadap
konsumen kesehatan tersebut.
Dari penjelasan yang dikemukakan di atas maka masalah perlindungan hukum
pasien sebagai konsumen jasa dalam pelayanan kesehatan, mengandung
permasalahan yang sangat kompleks dan menarik untuk diteliti dan mendorong
penulis untuk mengkaji lebih dalam mengenai perlindungan hukum bagi pasien
yang tumbuh dan berkembang di kalangan dunia medis khususnya dalam konteks
pelayanan kesehatan.
Hal ini yang mendorong peneliti untuk mengadakan penelitian dalam konteks
penyusunan skripsi dengan judul sebagai berikut :
“Perlindungan Hukum Pasien Sebagai Konsumen Jasa Dalam Pelayanan
Kesehatan Di RSUD Tasikmalaya”.
18
B.
Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut dapat ditarik perumusan masalah sebagai
berikut :
1)
Bagaimanakah perlindungan hukum pasien sebagai konsumen jasa dalam
pelayanan kesehatan di RSUD Tasikmalaya?
2)
Faktor-faktor apakah yang menunjang dan menghambat perlindungan
hukum pasien sebagai konsumen jasa dalam pelayanan kesehatan di RSUD
Tasikmalaya?
C.
Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah :
1)
Untuk mengetahui bagaimanakah perlindungan hukum pasien sebagai
konsumen jasa dalam pelayanan kesehatan di RSUD Tasikmalaya
2)
Dan untuk mengetahui faktor-faktor apakah yang menunjang dan
menghambat perlindungan hukum pasien sebagai konsumen jasa dalam
pelayanan kesehatan di RSUD Tasikmalaya
D.
Kegunaan Penelitian
Penulisan ini diharapkan dapat memberikan kegunaan antara lain :
1.
Kegunaan yang bersifat Teoritis
a. Penelitian ini diharapkan sebagai instrumen pengembangan ilmu
pengetahuan khususnya dalam bidang Hukum Perlindungan Konsumen
dan Hukum Kesehatan.
19
b. Penelitian ini dapat menjadi acuan ilmiah bagi pengembangan Hukum
Perlindungan Konsumen dan Hukum Kesehatan di masa mendatang.
c. Penelitian ini dapat menambah perbendaharaan pustaka terutama dalam
bidang hukum perlindungan konsumen dan dalam bidang hukum
kesehatan, menambah pengetahuan penulis dan pembaca lainnya tentang
Hukum Perlindungan Konsumen dan Hukum Kesehatan.
2. Kegunaan yang bersifat Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi perkembangan
Hukum Perlindungan Konsumen dan Hukum Kesehatan, khususnya dalam praktik
kedokteran. Dan sebagai acuan meningkatkan kualitas pelayanan dari tenaga
kesehatan kepada pasien sebagai konsumen jasa dalam pelayanan kesehatan.
20
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pelayanan Kesehatan
1.
Pengertian dan Pengaturan Pelayanan Kesehatan
Kesehatan merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia di samping
sandang pangan dan papan, tanpa hidup yang sehat, hidup manusia menjadi tanpa
arti, sebab dalam keadaan sakit manusia tidak mungkin dapat melakukan kegiatan
sehari-hari dengan baik. Selain itu orang yang sedang sakit (pasien) yang tidak
dapat menyembuhkan penyakitnya sendiri, tidak ada pilihan lain selain meminta
pertolongan dari tenaga kesehatan yang dapat menyembuhkan penyakitnya dan
tenaga kesehatan tersebut akan melakukan apa yang dikenal dengan upaya
kesehatan dengan cara memberikan pelayanan kesehatan.11
Sebagaimana yang diatur di dalam Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009
Tentang Kesehatan pada Pasal 1 ayat (11) Ketentuan Umum yang berbunyi :
“Upaya Kesehatan adalah setiap kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan yang
dilakukan secara terpadu, terintegrasi, dan berkesinambungan untuk
memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat dalam bentuk
pencegahan penyakit, peningkatan kesehatan, pengobatan penyakit, dan
pemulihan kesehatan oleh pemerintah dan/atau masyarakat”.
Didalam ketentuan Umum yang ada pada Undang-undang Kesehatan memang
tidak disebutkan secara jelas mengenai Pelayanan Kesehatan namun hal tersebut
tercermin dari pasal 1 Ketentuan Umum ayat (11) bahwa upaya kesehatan adalah
setiap kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan yang dilakukan dalam rangka untuk
11
Wila Chandrawila, 2001, Hukum Kedokteran, Mandar Maju, Bandung, hal . 35.
21
kepentingan kesehatan di masyarakat. walaupun tidak diuraikan secara jelas
mengenai pelayanan kesehatan namun kita dapat memahaminya melalui
pengertian-pengertian yang dikemukakan oleh para sarjana sebagai berikut ini :
Menurut Levey dan Loomba Pelayanan Kesehatan Adalah upaya yang
diselenggarakan sendiri atau secara bersama-sama dalam suatu organisasi untuk
memelihara dan meningkatkan kesehatan, mencegah, dan menyembuhkan
penyakit serta memulihkan kesehatan perorangan, keluarga, kelompok, atau
masyarakat. Jadi pelayanan kesehatan adalah sub sistem pelayanan kesehatan
yang tujuan utamanya adalah promotif (memelihara dan meningkatkan
kesehatan), preventif ( pencegahan), kuratif (penyembuhan), dan rehabilitasi
(pemulihan) kesehatan perorangan, keluarga, kelompok atau masyarakat dan
lingkungan.Yang dimaksud sub sistem disini adalah sub sistem dalam pelayanan
kesehatan adalah input, proses, output, dampak, umpan balik. 12
Sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Levey dan Loomba Hendrojono
Soewono juga menyebutkan bahwa yang dimaksud pelayanan kesehatan adalah
setiap upaya baik yang diselenggarakan sendiri atau bersama-sama dalam suatu
organisasi untuk meningkatkan dan memelihara kesehatan, mencegah penyakit,
mengobati penyakit dan memulihkan kesehatan yang ditujukan terhadap
perorangan, kelompok/masyarakat.13
Begitupula dengan apa yang dikemukakan oleh Wiku Adisasmito bahwa
Pelayanan kesehatan adalah segala bentuk kegiatan yang ditujukan untuk
12
http://peterpaper.blogspot.com/2010/04/pelayanan-kesehatan-1.html?diunduh pada tanggal 21
april 2012 pukul 07.45.
13
Hendrojono, Soewono, 2007, Batas Pertanggungjawaban Hukum Malpraktik Kedokteran dalam
Transaksi Teurapetik, Surabaya, Srikandi. Hal 100-101.
22
meningkatkan derajat suatu masyarakat yang mencakup kegiatan penyuluhan,
peningkatan kesehatan, pencegahan penyakit, penyembuhan dan pemulihan
kesehatan yang diselenggarakan secara terpadu dan berkesinambungan yang
secara sinergis berhasil guna dan berdaya guna sehingga tercapai derajat
kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya.14
2.
Asas-asas Pelayanan Kesehatan
Bilamana ditinjau dari kedudukan para pihak di dalam pelayanan kesehatan,
dokter dalam kedudukannya selaku profesional di bidang medik yang harus
berperan aktif, dan pasien dalam kedudukannya sebagai penerima layanan
kesehatan yang mempunyai penilaian terhadap penampilan dan mutu pelayanan
kesehatan yang diterimanya. Hal ini disebabkan, dokter bukan hanya
melaksanakan pekerjaan melayani atau memberi pertolongan semata-mata, tetapi
juga melaksanakan pekerjaan profesi yang terkait pada suatu kode etik
kedokteran. Dengan demikian dalam kedudukan hukum para pihak di dalam
pelayanan kesehatan menggambarkan suatu hubungan hukum dokter dan pasien,
sehingga di dalam pelayanan kesehatan pun berlaku beberapa asas hukum yang
menjadi landasan yuridisnya.
14
Wiku Adisasmito, 2008, Kebijakan Standar Pelayanan Medik dan Diagnosis Related Group
(DRG), Kelayakan Penerapannya di Indonesia, Jakarta, Fak. Kesehatan Masyarakat, UI. Hal. 9.
23
Menurut Veronica Komalawati yang mengatakan bahwa, asas-asas hukum
yang berlaku dan mendasari pelayanan kesehatan dapat disimpulkan secara garis
besarnya sebagai berikut 15:
(a)
Asas Legalitas
Asas ini pada dasarnya tersirat di dalam Pasal 23 ayat (1), (2) dan (3) Undang-
Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang menyatakan bahwa ;
(1) Tenaga kesehatan berwenang untuk menyelenggarakan pelayanan
kesehatan;
(2) Kewenangan untuk menyelenggarakan pelayanan kesehatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan bidang keahlian yang
dimiliki;
(3) Dalam menyelenggarakan pelayanan kesehatan tenaga kesehatan wajib
memiliki izin dari pemerintah.
Berdasarkan pada ketentuan di atas, maka pelayanan kesehatan hanya dapat
diselenggarakan apabila tenaga kesehatan yang bersangkutan telah memenuhi
persyaratan dan perizinan yang diatur dalam Undang-Undang No. 29 Tahun 2004
tentang Praktik Kedokteran, terutama Pasal 29 ayat (1) dan (3); Pasal 36; Pasal 38
ayat (1) yang antara lain berbunyi sebagai berikut :
Pasal 29 ayat (1) dan (3) antara lain menyatakan bahwa ;
(1) Setiap dokter dan dokter gigi yang melakukan praktik kedokteran di
Indonesia wajib memiliki surat tanda registrasi dokter dan surat tanda
registrasi dokter gigi;
(3) Untuk memperoleh surat tanda registrasi dokter dan surat tanda registrasi
dokter gigi harus memenuhi persyaratan :
a.Memiliki ijazah dokter, dokter spesialis, dokter gigi, atau dokter gigi
spesialis;
15
Veronica Komalawati, 2002, Peranan Informed Consent Dalam Transaksi Terepeutik
(Persetuajuan Dalam Hubungan Dokter dan Pasien); Suatu Tinjauan Yuridis, Bandung, PT.Citra
Aditya Bhakti. hal. 126-133.
24
b.Mempunyai surat pernyataan telah mengucapkan sumpah/ janji dokter
atau dokter gigi;
c.Memiliki surat keterangan sehat fisik dan mental;
d.Memiliki sertifikat kompetensi; dan
e.Membuat pernyataan akan mematuhi dan melaksanakan ketentuan etika
profesi.
Di samping persyaratan-persyaratan tersebut di atas, dokter atau dokter gigi
dalam melakukan pelayanan kesehatan harus pula memiliki izin praktik,
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 36 Undang-Undang Praktik Kedokteran
sebagai berikut :
“Setiap dokter dan dokter gigi yang melakukan praktik kedokteran di
Indonesia wajib memiliki surat Izin Praktik”.
Selanjutnya, surat izin praktik ini akan diberikan jika telah dipenuhi syarat-syarat
sebagaimana yang ditentukan secara tegas di dalam ketentuan Pasal 38 ayat (1)
yang menyatakan bahwa ;
Untuk mendapatkan surat izin praktik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36,
dokter dan dokter gigi harus ;
a. Memiliki surat tanda registrasi dokter atau surat tanda registrasi dokter gigi
yang masih berlaku;
b. Mempunyai tempat praktik;
c. Memiliki rekomendasi dari organisasi profesi.
Dari ketentuan di atas dapat ditafsirkan bahwa, keseluruhan persyaratan
tersebut merupakan landasan legalitasnya dokter dan dokter gigi dalam
menjalankan pelayanan kesehatan. Artinya, “asas legalitas” dalam pelayanan
kesehatan secara latern tersirat dalam Undang-Undang No. 29 tahun 2004 tentang
Praktik Kedokteran.
(b) Asas Keseimbangan
25
Menurut
asas
ini,
penyelenggaraan
pelayanan
kesehatan
harus
diselenggarakan secara seimbang antara kepentingan individu dan kepentingan
masyarakat, antara fisik dan mental, antara material dan spiritual. Di dalam
pelayanan kesehatan dapat pula diartikan sebagai keseimbangan antara tujuan dan
sarana, antara sarana dan hasil, antara manfaat dan risiko yang ditimbulkan dari
pelayanan kesehatan yang dilakukan. Dengan demikian berlakunya asas
keseimbangan di dalam pelayanan kesehatan sangat berkaitan erat dengan
masalah keadilan. Dalam hubungannya dengan pelayanan kesehatan, keadilan
yang dimaksud sangat berhubungan dengan alokasi sumber daya dalam pelayanan
kesehatan.
(c)
Asas Tepat Waktu
Dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan, asas tepat waktu ini merupakan
asas yang cukup krusial, oleh karena sangat berkaitan dengan akibat hukum yang
timbul dari pelayanan kesehatan. Akibat kelalaian dokter untuk memberikan
pertolongan tepat pada saat yang dibutuhkan dapat menimbulkan kerugian pada
pasien. Berlakunya asas ini harus diperhatikan dokter, karena hukumnya tidak
dapat menerima alasan apapun dalam hal keselamatan nyawa pasien yang
terancam yang disebabkan karena keterlambatan dokter dalam menangani
pasiennya.
(d) Asas Itikad Baik
Asas itikad baik ini pada dasarnya bersumber pada prinsip etis untuk berbuat
baik pada umumnya yang perlu pula diaplikasikan dalam pelaksanaan kewajiban
dokter terhadap pasien dalam pelayanan kesehatan. Dokter sebagai pengemban
26
profesi, penerapan asas itikad baik akan tercermin pada sikap penghormatan
terhadap hak-hak pasien dan pelaksanaan praktik kedokteran yang selalu patuh
dan taat terhadap standar profesi. Kewajiban untuk berbuat baik ini tentunya
bukan tanpa batas, karena berbuat baik harus tidak boleh sampai menimbulkan
kerugian pada diri sendiri.
(e)
Asas Kejujuran
Kejujuran merupakan salah satu asas yang penting untuk dapat menumbuhkan
kepercayaan pasien kepada dokter dalam pelayanan kesehatan. Berlandaskan asas
kejujuran ini dokter berkewajiban untuk memberikan pelayanan kesehatan sesuai
dengan kebutuhan pasien, yakni sesuai standar profesinya. Penggunaan berbagai
sarana yang tersedia pada institusi pelayanan kesehatan, hanya dilakukan sesuai
dengan kebutuhan pasien yang bersangkutan. Di samping itu, berlakunya asas ini
juga merupakan dasar bagi terlaksananya penyampaian informasi yang benar, baik
dari pasien maupun dokter dalam berkomunikasi. Kejujuran dalam menyampaikan
informasi sudah barang tentu akan sangat membantu dalam kesembuhan pasien.
Kebenaran informasi ini sangat berhubungan dengan hak setiap manusia untuk
mengetahui kebenaran.
(f)
Asas Kehati-hatian
Kedudukan dokter sebagai tenaga profesional di bidang kesehatan,
mengharuskan agar tindakan dokter harus didasarkan atas ketelitian dalam
menjalankan fungsi dan tanggung jawabnya dalam pelayanan kesehatan. Karena
kecerobohan dalam bertindak yang mengakibatkan terancamnya jiwa pasien,
27
dapat berakibat dokter terkena tuntutan pidana. Asas kehati-hatian ini secara
yuridis tersirat di dalam Pasal 58 ayat (1) yang menentukan bahwa;
“Setiap orang berhak menuntut ganti rugi terhadap seseorang, tenaga
kesehatan, dan/atau penyelenggara kesehatan yang menimbulkan kerugian
akibat kesalahan atau kelalaian dalam pelayanan kesehatan yang diterimanya”.
Dalam pelaksanaan kewajiban dokter, asas kehati-hatian ini diaplikasikan dengan
mematuhi standar profesi dan menghormati hak pasien terutama hak atas
informasi dan hak untuk memberikan persetujuan yang erat hubungannya dengan
informed consent dalam transaksi terapeutik.
(g)
Asas Keterbukaan
Salah satu asas yang ditentukan dalam Pasal 2 Undang-Undang No. 36 tahun
2009 adalah asas penghormatan terhadap hak dan kewajiban, yang secara tersirat
di dalamnya terkandung asas keterbukaan. Hal ini dapat diinterpretasikan dari
Penjelasan Pasal 2 angka (9) yang berbunyi ;
“Asas penghormatan terhadap hak dan kewajiban berarti bahwa pembangunan
kesehatan dengan menghormati hak dan kewajiban masyarakat sebagai bentuk
kesamaan kedudukan hukum”
Pelayanan kesehatan yang berdaya guna dan berhasil guna hanya dapat
tercapai bilamana ada keterbukaan dan kesamaan kedudukan dalam hukum antara
dokter dan pasien dengan didasarkan pada sikap saling percaya. Sikap tersebut
dapat tumbuh apabila dapat terjalin komunikasi secara terbuka antara dokter dan
pasien, di mana pasien dapat memperoleh penjelasan dari dokter dalam
komunikasi yang transparan.16
16
Veronica Komalawati, 2002, Peranan Informed Consent Dalam Transaksi Terepeutik
(Persetuajuan Dalam Hubungan Dokter dan Pasien); Suatu Tinjauan Yuridis, Bandung, PT.Citra
Aditya Bhakti. hal. 126-133.
28
Di samping Veronica Komalawati, Munir Fuady sebagaimana yang dikutip
dari bukunya Veronica Komalawati mengemukakan pendapatnya bahwa, di dalam
penyelenggaraan pelayanan kesehatan terdapat beberapa asas etika modern dari
praktik kedokteran yang disebutkan oleh Catherine Tay Swee Kian antara lain
sebagai berikut17 :
(1) Asas Otonom
Asas ini menghendaki agar pasien yang mempunyai kapasitas sebagai subyek
hukum yang cakap berbuat, diberikan kesempatan untuk menentukan pilihannya
secara rasional sebagai wujud penghormatan terhadap hak asasinya untuk
menentukan nasibnya sendiri. Meskipun pilihan pasien tidak benar, dokter tetap
harus menghormatinya dan berusaha untuk menjelaskan dengan sebenarnya
menurut pengetahuan dan keahlian profesional dokter tersebut agar pasien benarbenar mengerti dan memahami tentang akibat yang akan timbul tatkala pilihannya
tidak sesuai dengan anjuran dokter. Dalam hal terjadi demikian, menjadi
kewajiban dokter untuk memberikan masukan kepada pasien tentang dampak
negatif yang mungkin timbul sebagai akibat ditolaknya anjuran dokter tersebut.
(2) Asas Murah Hati
Asas ini mengajarkan kepada dokter untuk selalu bersifat murah hati dalam
memberikan pelayanan kesehatan kepada pasiennya. Berbuat kebajikan, kebaikan
dan dermawan merupakan anjuran yang berlaku umum bagi setiap individu. Hal
ini hendaknya dapat diaplikasikan dokter dalam pengabdian profesinya dalam
17
Ibid, hal. 129.
29
pelayanan kesehatan yang dilakukan baik terhadap individu pasien maupun
terhadap kesehatan masyarakat.
(3) Asas Tidak Menyakiti
Dalam melakukan pelayanan kesehatan terhadap pasien, dokter hendaknya
mengusahakan untuk tidak menyakiti pasien tersebut, walaupun hal ini sangat
sulit dilakukan, karena kadang-kadang dokter harus melakukan pengobatan yang
justru menimbulkan rasa sakit kepada pasiennya. Dalam hal terjadi demikian,
maka dokter harus memberikan informasi kepada pasien tentang rasa sakit yang
mungkin timbul sebagai akibat tindakan yang dilakukan guna kesembuhan pasien
tersebut dan agar pasien tidak menganggap apa yang telah dilakukan dokter
bertentangan dengan asas tidak menyakiti.
(4) Asas Keadilan
Keadilan harus dilakukan dokter dalam memberikan pelayanan kesehatan
dalam artian bahwa dokter harus memberikan pengobatan secara adil kepada
pasien dengan tidak memandang status sosial ekonomi mereka. Di samping itu,
asas ini juga mengharuskan dokter untuk menghormati semua hak pasien antara
lain hak atas kerahasiaan, hak atas informasi dan hak memberikan persetujuannya
dalam pelayanan kesehatan.
(5) Asas Kesetiaan
Asas kesetiaan mengajarkan bahwa dokter harus dapat dipercaya dan setia
terhadap amanah yang diberikan pasien kepadanya. Pasien berobat kepada dokter,
karena percaya bahwa dokter akan menolongnya untuk mengatasi penyakit yang
dideritanya. Hal ini merupakan amanah yang harus dilaksanakan dokter dengan
30
penuh tanggung jawab untuk menggunakan segala pengetahuan dan keahlian yang
dimilikinya demi keselamatan pasiennya.
(6) Asas Kejujuran
Asas ini mengajarkan bahwa, dalam pelayanan kesehatan menghendaki
adanya kejujuran dari kedua belah pihak, baik dokter maupun pasiennya. Dokter
harus secara jujur mengemukakan hasil pengamatan dan pemeriksaan yang
dilakukan kepada pasien, dan pasien pun harus secara jujur mengungkapkan
riwayat perjalanan penyakitnya. Dalam praktik pelayanan kesehatan, pelaksanaan
Informed Consent harus berorientasi pada kejujuran.
Selanjutnya jika ditinjau dari hukum positif yang berlaku, yakni Undang-Undang
No. 29 Tahun 2004,
maka pada dasarnya asas-asas hukum tentang
penyelenggaraan pelayanan kesehatan sudah mempunyai kekuatan mengikat bagi
penyelenggara pelayanan kesehatan.
Menurut ketentuan Pasal 2 Undang-Undang No. 36 tahun 2009 ditetapkan
bahwa:
“Pembangunan
kesehatan
diselenggarakan
dengan
berasaskan
perikemanusiaan, keseimbangan, manfaat, perlindungan, penghormatan
terhadap hak dan kewajiban, keadilan, gender dan nondiskriminasi dan normanorma agama”.
Lebih lanjut ditentukan dalam Pasal 2 Undang-Undang No. 29 Tahun 2004
yang menyebutkan bahwa:
“Praktik kedokteran dilaksanakan berasaskan Pancasila dan didasarkan pada
nilai ilmiah, manfaat, keadilan, kemanusiaan, keseimbangan, serta
perlindungan dan keselamatan pasien”.18
18
http://drampera.blogspot.com/2011/04/asas-asas-dalam-penyelenggaraan.html diakses pada
tanggal 10 mei 2012 pukul 08.50.
31
3. Syarat-syarat Pelayanan Kesehatan
Pelayanan kedokteran berbeda dengan pelayanan kesehatan masyarakat, untuk
dapat disebut sebagai suatu pelayanan yang baik, keduanya harus memiliki
berbagai persyaratan pokok. Syarat pokok pelayanan kesehatan yaitu19:
1. Tersedia dan berkesinambungan (available and continuous)
Syarat pokok pertama pelayanan kesehatan adalah harus tersedia di
masyarakat (available) serta bersifat berkesinambungan (continuous), artinya
semua jenis pelayanan kesehatan yang dibutuhkan masyarakat tidak sulit untuk
ditemukan, serta keberadaannya dalam masyarakat pada setiap dibutuhkan.
2. Dapat diterima dan wajar (acceptable and appropriate)
Pelayanan kesehatan tersebut tidak bertentangan dengan keyakinan dan
kepercayaan masyarakat. Pelayanan kesehatan yang bertentangan dengan adat
istiadat, kebudayaan, dan kepercayaan masyarakat, serta bersifat tidak wajar bukanlah
suatu pelayanan kesehatan yang baik.
3. Mudah dicapai (accessible)
Pengertian ketercapaian adalah dari sudut lokasi. Pengaturan distribusi sarana
kesehatan menjadi sangat penting untuk mewujudkan pelayanan kesehatan yang baik.
Pelayanan kesehatan dianggap tidak baik apabila terlalu terkonsentrasi di daerah
perkotaan saja dan tidak ditemukan di pedesaan.
4. Mudah dijangkau (affordable)
Pengertian keterjangkauan terutama dari sudut biaya. Biaya pelayanan kesehatan
harus sesuai dengan kemampuan ekonomi masyarakat.
5. Bermutu (quality)
19
Azwar, 1996, Pengantar Administrasi Kesehatan, Ed 3, Jakarta : Binarupa Aksara. hal 16.
32
Mutu menunjuk pada tingkat kesempurnaan pelayanan kesehatan yang
diselenggarakan, disatu pihak dapat memuaskan para pemakai jasa pelayanan, dan di
pihak lain tata cara penyelenggaraannya sesuai dengan kode etik serta standar yang
telah ditetapkan.
4. Standar Pelayanan Kesehatan
Bagian penting dari suatu pelayanan kesehatan adalah tersedia dan dipatuhinya
standar, karena pelayanan kesehatan yang bermutu adalah bila pelayanan tersebut
dilaksanakan sesuai dengan standar yang ada. Umumnya petugas banyak menemui
variasi pelaksanaan pelayanan kesehatan. Dalam penjaminan mutu pelayanan
kesehatan standar digunakan untuk menjadikan variasi yang ada seminimal
mungkin.20
Standar adalah spesifikasi teknis atau sesuatu yang dibakukan termasuk tata
cara dan metode yang disusun berdasarkan consensus semua pihak yang terkait
dengan
memperhatikan
syarat-syarat
keselamatan,
keamanan,
kesehatan,
lingkungan hidup, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, pengalaman,
serta perkembangan masa kini dan masa yang akan datang untuk memperoleh
manfaat yang sebesar-besarnya.21
Dari pengertian di atas maka apabila dihubungkan dengan standar
pelayanan kesehatan maka disini sudah pasti berhubungan dengan pemberi
pelayanan kesehatan itu sendiri seperti puskesmas atau rumah sakit sebagai
tempat yang memberikan pelayanan kesehatan, dan secara langsung hal tersebut
20
Bustami, 2011, Penjaminan Mutu Pelayanan Kesehatan dan Akseptabilitasnya, Jakarta,
Erlangga. Hal. 21.
21
Indra Bastian Suryono, Penyelesaian Sengketa Kesehatan, Salemba Medika, hal. 182.
33
berhubungan dengan tenaga kesehatan, maka untuk mengetahui standar pelayanan
kesehatan kita dapat melihatnya dari standar profesi medik/ standar kompetensi
tenaga kesehatan.22
Untuk mengetahui standar pelayanan kesehatan maka harus melihat pada
standar pelayanan kesehatan yang harus dimiliki oleh pemberi pelayanan
kesehatan dalam hal ini penyedia layanan kesehatan seperti puskesmas atau rumah
sakit dan dari tenaga kesehatan itu sendiri seperti dokter, perawat, apoteker dan
lain-lain.
Pelayanan kesehatan baik di puskesmas, rumah sakit atau institusi pelayanan
kesehatan lainnya merupakan suatu sistem yang terdiri dari berbagai komponen
yang saling terkait, saling tergantung, saling mempengaruhi antara satu sama lain.
Standar pelayanan kesehatan yang baik terdiri dari 3 (tiga) komponen yang harus
dimiliki yaitu adanya masukan (input, disebut juga structure), proses, dan hasil
(outcome).23
1.
Masukan (Input)
Masukan (Input) yang dimaksud di sini adalah sarana fisik, perlengkapan dan
peralatan, organisasi dan manajemen keuangan, serta sumber daya manusia dan
sumber daya lainnya di puskesmas dan rumah sakit. Beberapa aspek penting yang
harus mendapat perhatian dalam hal ini adalah kejujuran, efektivitas, serta
kuantitas dan kualitas dari masukan yang ada.
Pelayanan kesehatan yang baik memerlukan dukungan input yang bermutu
yaitu sumber daya yang ada perlu diorganisasikan dan dikelola sesuai dengan
22
23
Ibid, hal. 183.
Bustami, 2011, Penjaminan Mutu Pelayanan Kesehatan, Erlangga, Jakarta, hal. 16-17.
34
perundang-undangan dan prosedur kerja yang berlaku dalam hal ini adalah
memiliki tenaga kesehatan yang baik yang bekerja secara profesional.
2.
Proses yang Dilakukan
Proses adalah semua kegiatan atau aktivitas dari seluruh karyawan dan tenaga
profesi dalam interaksinya dengan pelanggan. Baik tidaknya proses yang
dilakukan di puskesmas atau rumah sakit dapat diukur dari:
1) Relevan atau tidaknya proses yang diterima oleh pelanggan dalam hal ini
pasien;
2) Efektif atau tidaknya proses yang dilakukan;
3) Dan mutu proses yang dilakukan.
Variable proses merupakan pendekatan langsung terhadap pelayanan
kesehatan. Semakin patuh petugas atau tenaga kesehatan terhadap standar
pelayanan kesehatan, maka semakin baik pula standar pelayanan kesehatan yang
dimiliki.
3.
Hasil yang dicapai
Hasil yang dicapai disini adalah merupakan tindak lanjut dari pelayanan
kesehatan yang diberikan terhadap pasien, apakah pelayanan kesehatan yang
diberikan telah sesuai dengan standar pelayanan kesehatan yang ada atau tidak
dapat dilihat dari hasil pengobatan yang diberikan kepada pasien dan apakah
pasien tersebut dengan melihat dari kepuasan pasien terhadap pelayanan
kesehatan tersebut.
Mengenai standar pelayanan kesehatan di rumah sakit diatur dalam Peraturan
Menteri Kesehatan RI Nomor 129 Tahun 2008 Tentang Standar Pelayanan
35
Minimal Rumah Sakit. Hal tersebut berarti segala hal yang bersangkutan dengan
standar pelayanan kesehatan harus sesuai dengan yang ada didalam peraturan
menteri tersebut.
Standar Minimal Pelayanan Kesehatan Di Rumah Sakit Menurut Peraturan
Menteri Kesehatan RI Nomor 129/Menkes/SK/II/2008 Tentang Standar
Pelayanan Minimal Rumah Sakit antara lain :
1. Gawat Darurat
- Kemampuan menangani life saving anak dan dewasa memenuhi standar
100%
- Jam buka pelayanan gawat darurat 24 jam
- Pemberi pelayanan kegawatdaruratan yang bersertifikat yang masih berlaku
ATLS/BTLS/ACLS/PPGD 100 %
- Kesediaan tim penanggulangan bencana 1 tim
- Waktu tanggap pelayanan dokter di gawat darurat ≤ 5 menit terlayani
setelah pasien datang
- Kepuasan pelanggan ≥ 70 %
- Tidak adanya pasien yang diharuskan membayar uang muka 100 %
- Kematian pasien ≤ 24 jam ≤ dua per seribu (pindah ke pelayanan rawat inap
setelah 8 jam)
2. Rawat Jalan
- Dokter pemberi Pelayanan di Poliklinik Spesialis 100% Dokter Spesialis
- Ketersediaan pelayanan
a. Klinik Anak
b. Klinik Penyakit Dalam
c. Klinik Kebidanan
d. Klinik Bedah
- Jam buka pelayanan 08.00 s/d 13.00 Setiap hari kerja kecuali Jum’at : 08.00
- 11.00
- Waktu tunggu di rawat jalan ≤ 60 menit
- Kepuasan pelanggan ≥ 90 %
3. Rawat Inap
- Pemberi pelayanan di Rawat Inap
a. Dokter spesialis
b. Perawat minimal pendidikan D3
- Dokter penanggung jawab pasien rawat inap 100 %
- Ketersediaan Pelayanan Rawat Inap
a. Anak
b. Penyakit Dalam
c. Kebidanan
d. Bedah
36
-
Jam Visite Dokter Spesialis 08.00 s/d 14.00 setiap hari kerja
Kejadian infeksi pasca operasi ≤ 1,5 %
Kejadian infeksi nosokomial ≤ 1,5 %
Tidak adanya kejadian pasien jatuh yang berakhir kecacatan / kematian 100
%
- Kematian pasien > 48 jam ≤ 0,24 %
- Kejadian pulang Paksa ≤ 5 %
- Kepuasan pelanggan ≥ 90 %
- Rawat inap TB :
a. Penegakan Dianogsis TB melalui pemeriksaan mikroskopis TB 100%
b. Terlaksananya kegiatan pencatatan dan pelaporan TB di rumah sakit
100%
- Ketersediaan pelayanan rawat inap di rumah sakit yang memberikan
pelayanan jiwa yaitu NAPZA,Gangguan psikotik, Gangguan Nerotik, dan
Gangguan Mental Organik
- Tidak adanya kejadian kematian pasien gangguan jiwa karena bunuh diri
100%
- Kejadian re-admission pasien gangguan jiwa dalam waktu ≤ 1 bulan 100%
- Lama hari perawatan pasien gangguan jiwa ≤ 6 minggu
4. Bedah Sentral (Bedah saja )
- Waktu tunggu operasi elektif ≤ 2 hari
- Kejadian Kematian di meja operasi ≤ 1 %
- Tidak adanya kejadian operasi salah sisi 100 %
- Tidak adanya kejadian operasi salah orang 100 %
- Tidak adanya kejadian salah tindakan pada operasi 100 %
- Tidak adanya kejadian tertinggalnya benda asing / lain pada tubuh pasien
setelah operasi 100 %
- Komplikasi anastesi karena overdosis, reaksi anastesi, dan salah penempatan
endotracheal tube ≤ 6 %
5. Persalinan dan Perinatalogi (kecuali rumah sakit khusus diluar rumah sakit ibu
dan Anak)
- Kejadian kematian ibu karena persalinan
a. Perdarahan ≤ 1 %
b. Pre –Eklamsia ≤ 30%
c. Sepsis ≤ 0,2 %
- Pemberi pelayanan persalinan normal
a. Dokter Sp.OG
b. Dokter Umum terlatih (Asuhan Persalinan Normal )
c. Bidan
- Pemberi pelayanan dengan persalinan penyulit Tim PONEK yang terlatih.
- Pemberi pelayanan persalinan dengan tindakan operasi
a. Dokter Sp.OG
b. Dokter Sp.A
c. Dokter Sp.An
- Kemampuan menangani BBLR 1500 gr - 2500 gr 100%
- Pertolongan Persalinan melalui seksio cesaria ≤ 20 %
37
- Keluarga Berencana :
a. Persentase KB (Vasektomi & tubektomi) yang dilakukan oleh tenaga
kompeten dr. Sp.OG, dr.Sp.B, dr.Sp.U, dokter umum terlatih 100%
b. Persentase peserta KB mantap yang mendapatkan konseling KB mantap
oleh bidan terlatih 100%
- Kepuasan Pelanggan ≥ 80 %
6. Intensif
- Rata-rata Pasien yang kembali ke perawatan intensif dengan kasus yang
sama < 72 jam yaitu ≤ 3 %
- Pemberi pelayanan Unit intensif
a. Dokter Sp.Anestesi dan dokter spesialis sesuai dengan kasus yang di
tangani
b. 100 % perawat minimal D3 dengan sertifikat Perawat mahir ICU/setara
(D4)
7. Radiologi
- Waktu tunggu hasil pelayanan thorax foto ≤ 3 jam
- Pelaksana ekspertisi Dokter Spesialis Radiologi
- Kejadian kegagalan pelayanan Rontgen Kerusakan foto ≤ 2%
- Kepuasan pelanggan ≥ 80 %
8. Laboratorium Patologi Klinik
- Waktu tunggu hasil pelayanan laboratorium ≤ 140 menit
- Kimia darah & darah rutin Pelaksana ekspertisi
- Dokter Spesialis Patologi Klinik Tidak adanya kesalahan pemberian hasil
pemeriksaan laboratorium 100 %
- Kepuasan pelanggan ≥ 80 %
9. Rehabilitasi Medik
- Kejadian Drop Out pasien terhadap pelayanan rehabilitasi medik yang
direncanakan ≤ 50 %
- Tidak adanya kejadian kesalahan tindakan rehabilitasi medik 100 %
- Kepuasan pelanggan ≥ 80 %
10. Farmasi
- Waktu tunggu pelayanan
a. Obat jadi ≤ 30 menit
b. Obat Racikan ≤ 60 menit
- Tidak adanya Kejadian kesalahan pemberian obat 100%
- Kepuasan pelanggan ≥ 80 %
- Penulisan resep sesuai formularium 100 %
11. Gizi
- Ketepatan waktu pemberian makanan kepada pasien ≥ 90 %
- Sisa makanan yang tidak termakan oleh pasien ≤ 20%
- Tidak adanya kejadian kesalahan pemberian diet 100 %
12. Tranfusi Darah
- Kebutuhan darah bagi setiap pelayanan tranfusi 100 % terpenuhi
- Kejadian reaksi tranfusi ≤ 0,01 %
13. Pelayanan GAKIN
38
- Pelayanan terhadap pasien GAKIN yang datang ke RS pada setiap unit
pelayanan 100 % terpenuhi
14. Rekam Medik
- Kelengkapan pengisian rekam medik 24 jam setelah selesai pelayanan 100%
- Kelengkapan Informed Concent setelah mendapatkan informasi yang jelas
100%
- Waktu penyediaan dokomen rekam medik pelayanan rawat jalan ≤ 10
menit
- Waktu penyediaan dokumen rekam medik rawat Inap ≤ 15 menit
15. Pengelolaan Limbah
- Buku mutu limbah cair
a. BOD < 30 mg/1
b. COD < 80 mg/1
c. TSS < mg/1
d. PH 6-9
- Pengelolaan limbah padat infeksius sesuai dengan aturan 100 %
16. Administrasi dan manajemen
- Tindak lanjut penyelesaian hasil pertemuan direksi 100 %
- Kelengkapan laporan akuntabilitas kinerja 100 %
- Ketepatan waktu pengusulan kenaikan pangkat 100 %
- Ketepatan waktu pengurusan gaji berkala 100 %
- Karyawan yang mendapat pelatihan minimal 20 jam setahun ≥ 60 %
- Cost recovery ≥ 40 %
- Ketepatan waktu penyusunan laporan keuangan 100 %
- Kecepatan waktu pemberian informasi tentang tagihan pasien rawat inap ≤ 2
jam
- Ketepatan waktu pemberian imbalan (insentif ) sesuai kesepakatan waktu
100 %
17. Ambulance/ Kereta Jenazah
- Waktu pelayanan ambulance / kereta jenazah 24 jam
- Kecepatan memberikan pelayanan ambulance/kereta jenazah di rumah sakit
≤ 30 menit
- Response time pelayanan ambulance oleh masyarakat yang membutuhkan
- Sesuai ketentuan daerah
18. Pemulasaraan Jenazah
- Waktu tanggap (response time) pelayanan pemulasaraan jenazah ≤ 2 jam
19. Pelayanan pemeliharaan sarana rumah sakit
- Kecepatan waktu menanggapi kerusakan alat ≤ 80 %
- Ketepatan waktu pemeliharaan alat 100 %
- Peralatan laboratorium dan alat ukur yang di gunakan yang digunakan
dalam pelayanan terkalibrasi tepat waktu sesuai dengan ketentuan kalibrasi
100 %
20. Pelayanan Laundry
- Tidak adanya kejadian linen yang hilang 100 %
- Ketepatan waktu penyediaan linen untuk ruang rawat inap 100 %
21. Pencegahan dan Pengendalian Infeksi ( PPI )
39
- Adanya anggota tim PPI yang terlatih ≥ 75 %
- Tersedia APD disetiap instalasi / departement ≥ 60 %
- Kegiatan pencatatan dan pelaporan infeksi nosokomial / HAI (health care
associated infections) di rumah sakit (minimum 1 parameter) ≥ 75%
Standar Pelayanan tersebut menjadi pedoman bagi tenaga kesehatan dalam
melaksanakan tugasnya, dan standar pelayanan kesehatan tersebut juga
menentukan apakah pelayanan kesehatan yang diberikan oleh institusi kesehatan
telah sesuai dengan standar yang telah ditentukan.
Setelah membahas mengenai standar pelayanan kesehatan maka kita juga akan
membahas mengenai standar tenaga kesehatan. Tenaga kesehatan dalam
melakukan pekerjaannya selalu berhubungan dengan orang yang sedang
menderita penyakit, tentu menimbulkan perasaan yang tidak enak dan juga
mempengaruhi emosi pasien, sehingga tenaga kesehatan selalu berhubungan
dengan orang yang secara fisik dalam keadaan sakit dan dapat pula secara psikis
juga dalam keadaan sakit.
Ukuran apa yang dituntut dari seorang profesional dalam melakukan
pekerjaannya dan siapa yang menentukan ukuran tersebut berkaitan erat dengan
situasi dan kondisi dari tempat standar profesi medik itu berlaku.
Undang-undang tentang Kesehatan yaitu Undang-undang Nomor 36
Tahun 2009 Tentang Kesehatan dalam salah satu Pasalnya yaitu Pasal 24 UU No.
36 Tahun 2009 menetapkan sebagai berikut:
(1) Tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 harus memenuhi
ketentuan kode etik, standar profesi, hak pengguna pelayanan kesehatan,
standar pelayanan, dan standar prosedur operasional.
(2) Ketentuan mengenai kode etik dan standar profesi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur oleh organisasi profesi.
40
(3) Ketentuan mengenai hak pengguna pelayanan kesehatan, standar pelayanan,
dan standar prosedur operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dengan Peraturan Menteri.
Selain Undang-undang Kesehatan kita juga dapat mengetahui mengenai
standar profesi medik atau yang disebut sebagai standar tenaga kesehatan dari
pendapat yang diberikan oleh Leenan sebagaimana yang dikutip dari bukunya
Ameln sebagai berikut 24:
“De Formulering van de norma voor de medische profesionele standard zou
dan kunnen zijn: zorgvuldigd volgens de medische standard handelen al seen
gemiddelde bekwaam arts van gelijke medische categorie in gelijke
omstandigheden met middelen die in redelijke verhouding staan tot het
concrete handelingsdoel.”
Terjemahan bebasnya adalah sebagai berikut:
“Norma standar profesi medik dapat diformulasikan sebagai berikut: bertindak
teliti sesuai dengan standar medik sebagai dilakukan seorang dokter yang
memiliki kemampuan rata-rata dari kategori keahlian medik yang sama dalam
keadaan yang sama dengan cara yang ada dalam perseimbangan yang pantas
untuk mencapai tujuan dari tindakan yang kongkret.”
Sebagaimana yang dikutip dari bukunya Endang Kusuma Astuti maka jika
diamati maka dari pendapat yang dikemukakan oleh Leenan tersebut terdapat lima
unsur, yaitu 25:
a. Tindakan yang diteliti, berhati-hati.
b. Sesuai ukuran medis. Unsur ukuran medis ini ditentukan oleh pengetahuan
medis. Pengertian ukuran medis dapat dirumuskan bahwa: suatu cara perbuatan
medis tertentu dalam suatu kasus yang konkret menurut suatu ukuran tertentu.
Ukuran tersebut didasarkan pada ilmu medis dan pengalaman dalam bidang
24
25
Ameln, F. Drs, SH, 1991, Kapita Selekta Hukum Kedokteran, Jakarta, Garfika Jaya. Hal. 58.
Endang, Kusuma, Astuti, 2009, Transaksi Teurapetik Dalam Upaya Pelayanan Medis Di
Rumah Sakit, Bandung, PT Citra Aditya Bakti. Hal 30-31.
41
medis. Harus disadari bahwa sukar sekali untuk memberi suatu kriteria yang
tepat untuk dapat dipakai pada pihak perbuatan medis karena situasi kondisi
dan juga karena reaksi pasien yang berbeda-beda.
c. Sesuai dengan dokter yang memiliki kemampuan rata-rata dibandingkan
dengan dokter dari kategori keahlian medis yang sama. Ukuran etika, menurut
standar yang tertinggi dari dokter, sesuai dengan Pasal 2 Kode Etik Kedokteran
Indonesia Tahun 1983, yang menyatakan bahwa:
“dokter harus senantiasa melakukan profesinya menurut ukuran yang
tertinggi”.
d. Dalam situasi dan kondisi yang sama. Unsur ini tidak terdapat pada rumusan
Supreme Court of Canada, tetapi terdapat pada rumusan Daniel K. Robert pada
Practicing in the same or similar locality. Dalam situasi kondisi yang sama,
misalnya praktik di Puskesmas berbeda dengan rumah sakit tipe A, Seperti
Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo.
e. Dengan sarana upaya yang memenuhi perbandingan yang wajar dibandingkan
dengan tujuan konkret tindakan medis tersebut. Hal ini dapat dikaitkan dengan
tindakan diagnostik, terapeutik dan dengan peringanan penderita (conforting),
dan pula dengan tindakan preventif. Dokter harus menjaga adanya suatu
keseimbangan antara tindakan dan tujuan yang ingin dicapai dengan tindakan
itu. Jika ada suatu tindakan diagnosis yang berat dilakukan pada suatu penyakit
yang relatif ringan sekali, hal ini tidak memenuhi prinsip keseimbangan.
Dokter harus selalu membandingkan tujuan tindakan medis dengan resiko
tindakan tersebut dan berusaha untuk resiko yang terkecil.
42
B. Pasien Sebagai Konsumen
1.
Pengertian dan Pengaturan Pasien sebagai konsumen
Berbicara mengenai pasien sebagai konsumen dalam kaitannya di dalam
pelayanan medis, dimana terdapat hubungan antara tenaga pelaksana (tenaga
kesehatan) dengan pasien yang merupakan konsumen jasa. Terlebih dahulu perlu
diketahui apa yang dimaksud dengan konsumen.
Menurut UU No. 8/ Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, Pasal 1 (2)
menyebutkan konsumen adalah
“Setiap orang pemakai barang dan/ atau jasa yang tersedia dalam masyarakat,
baik bagi kepentingan diri sendiri , keluarga, orang lain, maupun makhluk
hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan”.
Konsumen diartikan tidak hanya individu (orang), tetapi juga suatu
perusahaan yang menjadi pembeli atau pemakai terakhir. Adapun yang menarik di
sini, konsumen tidak harus terikat dalam hubungan jual beli, sehingga dengan
sendirinya konsumen tidak identik dengan pembeli. Lain halnya pendapat dari
Hondius (Pakar masalah Konsumen di Belanda) menyimpulkan, bahwa para ahli
hukum pada umumnya sepakat mengartikan konsumen sebagai pemakai terakhir
dari benda dan jasa. Jasa adalah “ setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau
prestasi yang disediakan bagi masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen”.26
Dari penjelasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa pasien sebagai
konsumen adalah individu (orang) yang menggunakan jasa dalam hal ini layanan
yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang disediakan bagi masyarakat untuk
dimanfaatkan dalam kaitannya dengan kesehatan. Orang yang menggunakan jasa
26
Shidarta, 2000, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Jakarta, PT.Gramedia Widiasarana
Indonesia. hal 1.
43
tersebut adalah orang yang menginginkan akan adanya pengobatan yang diberikan
oleh tenaga kesehatan.27
Dalam pelayanan di bidang kesehatan, tidak terpisah akan adanya seorang
tenaga kesehatan dengan konsumen, dalam hal ini pasien. Pasien dikenal sebagai
penerima jasa pelayanan kesehatan dan dari pihak rumah sakit sebagai pemberi
jasa pelayanan kesehatan dalam bidang perawatan kesehatan. Dari sudut
pandangan sosiologis dapat dikatakan bahwa pasien maupun tenaga kesehatan
memainkan peranan-peranan tertentu dalam masyarakat. Dalam hubungannya
dengan tenaga kesehatan, misalnya dokter, tenaga kesehatan mempunyai posisi
yang dominan apabila dibandingkan dengan kedudukan pasien yang awam dalam
bidang kesehatan.28
Pasien dalam hal ini, dituntut untuk mengikuti nasehat dari tenaga kesehatan,
yang mana lebih mengetahui akan bidang pengetahuan tersebut. Dengan demikian
pasien senantiasa harus percaya pada kemampuan dokter tempat dia menyerahkan
nasibnya. Pasien sebagai konsumen dalam hal ini, merasa dirinya bergantung dan
aman apabila tenaga kesehatan berusaha untuk menyembuhkan penyakitnya.
Keadaan demikian pada umumnya didasarkan atas kerahasiaan profesi kedokteran
dan keawaman masyarakat yang menjadi pasien. Situasi tersebut berakar pada
dasar-dasar historis dan kepercayaan yang sudah melembaga dan membudaya di
dalam masyarakat. Hingga kini pun kedudukan dan peranan dokter relatif lebih
tinggi dan terhormat. Pasien sebagai konsumen jasa di bidang pelayanan medis,
dengan melihat perkembangan ilmu dan teknologi kesehatan yang pesat, resiko
27
28
Ibid, hal. 13.
Az. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen, Diadit Media, Jakarta, hal. 138.
44
yang dihadapi semakin tinggi. Oleh karena itu, dalam hubungan antara tenaga
kesehatan dengan pasien, misalnya terdapat kesederajatan. Di samping dokter,
maka pasien juga memerlukan perlindungan hukum yang proporsional yang diatur
dalam perundang-undangan. Perlindungan tersebut terutama diarahkan kepada
kemungkinan-kemungkinan
bahwa
dokter
melakukan
kekeliruan
karena
kelalaian.29
2.
Perlindungan Hukum Pasien Sebagai Konsumen
Berbicara mengenai perlindungan hukum pasien sebagai konsumen maka
harus melihat terlebih dahulu mengenai pengertian dari perlindungan konsumen
yaitu segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi
perlindungan kepada konsumen (Pasal 1 ayat (1) Undang- Undang Nomor 8
Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen). Hal ini diartikan bahwa adanya
upaya mengenai adanya kepastian hukum itu dengan cara memberikan
perlindungan hukum kepada konsumen.
Perlindungan hukum pasien sebagai konsumen disini berkaitan dengan adanya
jasa yang diberikan oleh tenaga kesehatan, namun sebelumnya perlu diketahui
mengenai pengertian jasa. Sebagaimana yang dikemukakan oleh William Stantoa
dan Jetzel J. Walker dalam Bukunya Malayu. S. P. Hasibuan menyatakan
bahwa30:
“Jasa adalah kegiatan yang dapat diidentifikasikan dan tidak berwujud yang
merupakan tujuan penting dari suatu transaksi guna memberikan kepuasan
pada konsumen”.
29
Wila Chandrawila, 2001, Hukum Kedokteran, Mandar Maju, Bandung. Hal 7-11.
H.Malayu,S.P. Hasibuan, 2001, Pelayananan Terhadap Konsumen Jasa, Jakarta, PT. Bumi
Aksara. Hal. 161.
30
45
Jasa adalah setiap setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang
disediakan bagi masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen. (Pasal 1 ayat (5)
Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen). Dalam
permasalahan yang diangkat penulis mengenai perlindungan pasien, adalah pasien
di sini merupakan konsumen dalam bidang jasa medis.
Sebagaimana yang diatur didalam UU No. 8 Tahun 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen melalui penjelasan, bagian umum, menentukan beberapa
Undang-undang yang materinya melindungi kepentingan konsumen, yang salah
satunya adalah UU No. 23 Tahun 1992 ( diganti menjadi UU No. 36 Tahun 2009
Tentang Kesehatan).
Pembentukan UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen,
didasari pada pemikiran bahwa kedudukan konsumen yang lebih lemah
dibandingkan dengan kedudukan pelaku usaha, disamping itu konsumen yang
pada dasarnya tidak mengetahui hak-haknya karena pendidikan konsumen yang
rendah
dan
UU
Perlindungan
Konsumen
memberikan
landasan
bagi
pemberdayaan konsumen. Selain itu tujuan diberlakukannya UU No. 8 Tahun
1999 adalah mewujudkan keseimbangan perlindungan kepentingan konsumen dan
pelaku usaha sehingga tercipta perekonomian yang sehat.31
Dilihat dari kedudukan pasien dan konsumen, maka pasien tidak identik
dengan konsumen, sebab hubungan yang unik antara tenaga kesehatan dan pasien,
sangat sulit disamakan hubungan antara konsumen dengan pelaku usaha di bidang
ekonomi. Dilihat dari sudut pasien, maka pengaturan tentang perlindungan pasien
31
Wila Chandrawila, 2001, Hukum Kedokteran, Mandar Maju, Bandung, hal. 47.
46
tidak dapat diambil dari UU No. 8 Tahun 1999, sebab selain terlalu umum, juga
tidak mewakili kepentingan pasien yang sangat banyak dan juga sangat unik.
Dilihat dari sudut tenaga kesehatan, maka tenaga kesehatan tidak dapat
diidentikan dengan pelaku usaha di dalam bidang ekonomi, sebab pekerjaan
dalam bidang kesehatan adalah pekerjaan yang banyak mengandung unsur
sosial.32
Jadi berkaitan dengan perlindungan hukum pasien sebagai konsumen memang
tidak hanya harus diatur didalam UU No. 8 Tahun 1999 tentang Konsumen tetapi
juga harus dikaitkan dengan apa yang diatur didalam UU No. 36 Tahun 2009 yang
mana didalamnya diatur secara jelas mengenai hak-hak pasien dan kewajiban
pasien, hak-hak tenaga kesehatan dan kewajiban dari tenaga kesehatan itu sendiri
sehingga didalamnya terdapat suatu pola hubungan antara pasien sebagai
konsumen dan tenaga kesehatan sebagai pemberi jasa kepada konsumen yang
akhirnya akan menimbulkan suatu perlindungan hukum terhadap pasien itu
sendiri.
Berkaitan dengan perlindungan hukum terhadap pasien dalam kaitannya
sebagai konsumen di bidang pelayanan kesehatan akan berkaitan pula dengan
adanya pola hubungan antara tenaga kesehatan dengan pasien itu sendiri karena
pola hubungan yang timbul tersebut juga akan berkaitan dengan perlindungan
hukum terhadap pasien.
Hubungan antara dokter dan pasien telah terjadi sejak dahulu (zaman yunani
kuno), dokter sebagai seorang yang memberikan pengobatan terhadap orang yang
32
Wira Chandrawila, Ibid, hal. 48.
47
membutuhkannya. Hubungan ini merupakan hubungan yang sangat pribadi karena
didasarkan atas kepercayaan dari pasien terhadap dokter. Hubungan yang sangat
pribadi itu oleh Wilson33 dalam bukunya Veronika Komalawati, digambarkan
seperti halnya hubungan antara pendeta dan jemaah yang sedang mengutarakan
perasaannya. Pengakuan pribadi itu sangat penting bagi eksplorasi diri,
membutuhkan kondisi yang terlindung dalam ruang konsultasi.34
Hubungan antara dokter dan pasien ini berawal dari pola hubungan vertikal
paternalistik seperti antara bapak dan anak yang bertolak dari prinsip father knows
best yang melahirkan hubungan yang bersifat paternalistik. Dalam hubungan ini,
kedudukan dokter dengan pasien tidak sederajat yaitu kedudukan dokter lebih
tinggi daripada pasien karena dokter dianggap mengetahui tentang segala sesuatu
yang berhubungan dengan penyakit dan penyembuhannya. Sedangkan pasien
tidak tahu apa-apa tentang hal itu sehingga pasien menyerahkan nasibnya
sepenuhnya di tangan dokter.35
Hubungan hukum timbul jika pasien menghubungi dokter karena ia rasa ada
sesuatu
yang
dirasakannya
membahayakan
kesehatannya.
Keadaan
psikobiologisnya memberikan peringatan bahwa ia merasa dalam hal ini,
dokterlah yang dianggapnya mampu menolongnya dan memberikan bantuan
pertolongan (hulpverlenen). Jadi, kedudukan dokter dianggap lebih tinggi oleh
pasien dan peranannya lebih penting daripada pasien. Sebaliknya dokter
33
Veronika Komalawati, 1999, op, cit, hal. 38
Endang, Kusuma Astuti, 2009, Transaksi Teurapetik Dalam Upaya Pelayanan Medis Di Rumah
Sakit, Citra Aditya Bhakti, Bandung, hal. 97.
35
Ibid, hal 98.
34
48
berdasarkan prinsip father knows best dalam hubungannya paternalistik ini akan
mengupayakan untuk bertindak sebagai “bapak yang baik”, yang secara cermat,
hati-hati, dan penuh ketegangan dengan pengetahuan dan keterampilan yang
diperolehnya melalui pendidikan yang sulit dan panjang serta pengalaman yang
bertahun-tahun untuk kesembuhan pasien. Dalam mengupayakan kesembuhan
pasien ini, dokter dibekali oleh lafal sumpah yang diucapkan pada awal ia
memasuki jabatan sebagai pengobat yang berlandaskan pada norma etik yang
mengikatnya berdasarkan kepercayaan pasien yang datang padanya itu karena
dialah yang dapat menyembuhkan penyakitnya.36
Pola hubungan vertikal yang melahirkan sifat paternalistik dokter terhadap
pasien ini mengandung, baik dampak positif maupun dampak negatif. Dampak
positif pola vertikal yang melahirkan konsep hubungan paternalistik ini sangat
membantu pasien, dalam hal pasien awam terhadap penyakitnya. Sebaliknya dapat
juga timbul dampak negatif jika tindakan dokter yang berupa langkah-langkah
dalam mengupayakan penyembuhan pasien itu merupakan tindakan-tindakan
dokter yang membatsi otonomi pasien, yang dalam sejarah perkembangan budaya
dan hak-hak dasar manusia telah ada sejak lahirnya. Pola hubungan yang vertikal
paternalistik ini bergeser pada pola horizontal kontraktual.37
Hubungan ini melahirkan aspek hukum horizontal kontraktual yang bersifat
“inspanningsverbintesis” yang merupakan hubungan hukum antara dua subjek
hukum (pasien dan dokter) yang berkedudukan sederajat melahirkan hak dan
36
37
Hermien Hadiati Koeswadji, 1998, Hukum dan Masalah Medik, Erlangga, Surabaya, hal. 36
Endang Kusuma Astuti, Op, Cit, hal 99.
49
kewajiban bagi para pihak yang bersangkutan. Hubungan hukum ini tidak
menjanjikan sesuatu (kesembuhan atau kematian) karena objek dari hubungan
hukum itu berupa upaya maksimal yang dilakukan secara hati-hati dan penuh
ketegangan oleh dokter berdasarkan ilmu pengetahuan dan pengalamannya
(menangani penyakit) untuk menyembuhkan pasien. Sikap hati-hati dan penuh
ketegangan dalam mengupayakan kesembuhan pasien itulah yang dalam
kepustakaan disebut sebagai met zorg en inspanning, oleh karenanya merupakan
inspanningsverbintenis dan bukan sebagaimana halnya suatu risikoverbintenis
yang menjanjikan suatu hasil yang pasti.38
Szasz dan Hollender sebagaimana yang dikutip dari dalam bukunya Veronica
Komalawati39, mengemukakan beberapa jenis hubungan antara pasien dan dokter,
yang masing-masing didasarkan atas suatu prototype hubungan orang tua dan
anak, hubungan orang tua dan remaja, hubungan antar orang dewasa.
1.
Pola hubungan aktif-pasif
Secara historis ini sudah dikenal dan merupakan pola klasik sejak profesi
kedokteran mulai mengenal kode etik, yaitu sejak zaman Hippocrates, 25 abad
yang lalu. Secara sosial, hubungan ini bukanlah merupakan hubungan yang
sempurna karena hubungan ini berdasar atas kegiatan seorang (dokter) terhadap
orang lain (pasien) sedemikian rupa sehingga pasien itu tidak dapat melakukan
fungsi dan peran secara aktif. Dalam keadaan tertentu, memang pasien tidak dapat
berbuat sesuatu, hanya berlaku sebagai recipient atau penerima belaka, seperti
38
39
Hermien Hadiadji Koeswadji, op, cit, hal. 37.
Veronika Komalawati, 1999, op, cit, hal. 44.
50
pada waktu pasien diberi anestesi atau narkose, atau ketika pasien dalam keadaan
tidak sadar/koma, dan pada waktu pasien diberi pertolongan darurat karena
mengalami kecelakaan.
Semua tindakan kedokteran yang tidak membutuhkan sumbangan peran dari
pihak pasien merupakan hubungan aktif-pasif. Contoh kasus tersebut sama sekali
tidak dibutuhkan sumbangan peran pasien yang dapat mempengaruhi operasi.
Sama halnya pada waktu pasien tertimpa kecelakaan, menderita pendarahan berat,
dan menjadi tidak sadar sehingga pasien sama sekali tidak mampu berperan dalam
hubungan dengan dokter.
Pola dasar hubungan aktif-pasif menempatkan dokter pada pihak yang
sepenuhnya berkuasa. Dalam hubungan ini, dokter dapat sepenuhnya menerapkan
keahlian berdasarkan pengetahuannya tanpa dihalangi oleh peran pasien sebab
pasien dalam keadaan koma atau tidak sadar. Hal ini semata-mata dilakukan
karena terdorong oleh keinginan untuk menolong orang yang sedang menderita.
Bahkan oleh John (seorang ahli sosiologi) dikatakan bahwa dokter adalah The
God Complex. Namun dilihat dari segi tanggungjawabnya, dokter dapat dikatakan
bertanggung jawab tunggal terhadap segala resiko yang mungkin terjadi sebagai
akibat dari tindakannya.
2.
Pola hubungan Membimbing dan Bekerja Sama
Pola dasar ini ditemukan pada sebagian besar hubungan pasien dengan dokter,
yakni jika keadaan penyakit pasien tidak terlalu berat. Walaupun pasien sakit, ia
tetap sadar dan memiliki perasaan dan kemauan sendiri. Karena pasien tersebut
51
menderita penyakit dan disertai kecemasan dan berbagai perasaan tidak enak, ia
mencari pertolongan pengobatan dan bersedia bekerja sama dengan orang yang
mengobatinya. Demikian pula, seorang dokter mempunyai pengetahuan
kedokteran yang melebihi pengetahuan pasien. Ia tidak semata-mata menjalankan
kekuasaan, namun mengharapkan dapat bekerja sama dengan pasien yang
diwujudkan dengan menuruti nasihat dokter, melaksanakan diet, melakukan
sesuatu, atau berpantang melakukan sesuatu.
Hubungan tersebut serupa dengan hubungan orang tua dan remaja. Orang tua
itu memberi nasihat dan membimbing, sedang anak yang sudah remaja itu akan
bekerja sama dan mengikuti nasihat dan bimbingan orangtuanya. Hubungan
membimbing dan bekerja sama ini sama pula dengan hubungan pimpinan
perusahaan dengan pegawai. Yang satu memberikan bimbingan, yang lain bekerja
sama sebagai suatu respon aktif. Yang membedakan kedua pihak dalam hubungan
ini ialah adanya kekuasaan yang dimiliki pihak yang satu (pengetahuan
kedokteran, kepemimpinan) dan kemampuan atau kemauan yang dimiliki pihak
lain untuk menuruti (nasihat, bimbingan). Pihak yang lebih mempunyai kekuasaan
akan menjalankan peran sebagai pimpinan, penasihat, dan pembimbing,
sedangkan pihak yang kurang memiliki kekuasaan berperan sebagai pelaksana
atas dorongan kehendak dan kemauannya sendiri.
3.
Pola hubungan saling berperan serta
Secara filosofis, pola ini berdasarkan pada pendapat bahwa semua manusia
memiliki hak dan martabat yang sama. Hubungan ini lebih berdasarkan pada
struktur sosial yang demokratis.
52
Pola hubungan ini dapat terjadi antara dokter dan pasien yang ingin
memelihara kesehatannya, yakni pada waktu pemeriksaan medis (medical check
up), misalnya, atau dengan pasien berpenyakit menahun (kronis), seperti penyakit
gula, penyakit jantung koroner, penyakit arthritis, dan sebagainya. Dalam
hubungan semacam ini pasien dapat menceritakan pengalamannya sendiri
berkaitan dengan penyakitnya dan dapat membantu dokter secara aktif dalam
menetapkan situasi sebenarnya, dan memberikan nasihat dan pengobatan yang
tepat. Di samping itu, hampir seluruh rencana pengobatan terletak di tangan
pasien sendiri, misalnya: minum obat atau tidak, menjalankan diet atau tidak,
berpantang sesuatu atau tidak, memeriksakan kembali pada waktu yang ia
tentukan sendiri, mengulangi pembelian resep atau tidak, dan sebagainya. Pasien
secara sadar dan aktif berperan dalam pengobatan terhadap dirinya.
Dari ketiga pola ini, yang terpenting adalah terciptanya rasa puas di antara
kedua pihak, baik dari dokter maupun pasiennya. Dokter merasa puas dalam
menjalankan perannya menyembuhkan penyakit penderita dan pasien merasa puas
atas nasihat dan tindakan dari dokter yang merawatnya.
Dari pola hubungan tersebut dikenal juga menimbulkan adanya adanya
Transaksi Terapeutik. Transaksi terapeutik antara pasien dan dokter tidak dimulai
dari saat pasien memasuki tempat praktik dokter, sebagaimana yang diduga
banyak orang, tetapi justru sejak dokter menyatakan ketersediaannya yang
dinyatakan secara lisan atau yang tersirat dengan menunjukkan sikap atau
tindakan yang menyimpulkan kesediaan; seperti menerima pendaftaran,
memberikan nomor urut, menyediakan serta mencatat rekam medisnya, dan
53
sebagainya. Dengan kata lain transaksi terapeutik juga memerlukan kesediaan
dokter.
A. Syarat Sahnya Transaksi Terapeutik
Sebagaimana yang dikutip dalam bukunya Endang Kusuma Astuti,
menyebutkan bahwa, didalam membuat suatu perjanjian para pihak harus
memenuhi ketentuan Pasal 1320 KUH
Perdata tentang syarat sahnya suatu
perjanjian yaitu40:
a.Adanya kata sepakat diantara para pihak.
b.Kecakapan para pihak dalam hukum.
c.Suatu hal tertentu.
d.Kausa yang halal.
Oleh sebab itu didalam perjanjian diperlukan kata sepakat, sebagai langkah
awal sahnya suatu perjanjian yang diikuti dengan syarat-syarat lainnya maka
setelah perjanjian tersebut maka perjanjian itu akan berlaku sebagai Undangundang bagi para pihaknya hal itu diatur dalam Pasal 1338 ayat 1 KUHPerdata
yang berbunyi :
“ Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-Undang bagi
mereka yang membuatnya”.
Disamping kedua asas diatas ada satu faktor utama yang harus dimiliki oleh
para pihak yaitu
adanya suatu itikad baik dari masing-masing pihak untuk
melaksanakan perjanjian. Asas tentang itikad baik itu diatur didalam Pasal 1338
ayat 3 KUHPerdata yang berbunyi :
“ Suatu Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik”.
40
Endang Kusuma Astuti, op, cit, hal. 155.
54
B. Berakhirnya Transaksi Terapeutik
Untuk menentukan kapan berakhirnya hubungan dokter – pasien sangatlah
penting, karena segala hak dan kewajiban dokter juga akan ikut berakhir. Dengan
berakhirnya hubungan ini, maka akan menimbulkan kewajiban bagi pasien untuk
membayar pelayanan pengobatan yang diberikannya. Berakhirnya hubungan ini
dapat disebabkan karena 41:
a.
Sembuhnya pasien
Kesembuhan pasien dari keadaan sakitnya dan menganggap dokter sudah
tidak diperlukannya lagi untuk mengobati penyakitnya dan pasien maupun
keluarganya sudah mengganggap bahwa penyakit yang dideritanya sudah benarbenar sembuh, maka pasien dapat mengakhiri hubungan transaksi terapeutik
dengan dokter atau rumah sakit yang merawatnya.
b. Dokter mengundurkan diri
Seorang dokter boleh mengundurkan diri dari hubungan dokter – pasien
dengan alasan sebagai berikut :
1.
Pasien menyetujui pengunduran diri tersebut.
2.
Kepada pasien diberi waktu dan informasi yang cukup, sehingga ia bisa
memperoleh pengobatan dari dokter lain.
3.
Karena
dokter
merekomendasikan
kepada
dokter
lain
yang
sama
kompetensinya untuk menggantikan dokter semula itu dengan persetujuan
pasiennya.
41
Al Purwohardiwardoyo, 1989, Etika Medik, Kanisius, Yogyakarta, hal .13.
55
4. Karena dokter tersebut merekomendasikan ( merujuk ) ke dokter lain atau
rumah sakit lain yang lebih ahli dengan fasilitas yang lebih baik dan lengkap.
c.
Pengakhiran Oleh Pasien
Adalah hak pasien untuk menentukan pilihannya akan meneruskan
pengobatan dengan dokternya atau memilih pindah ke dokter lain atau Rumah
Sakit lain. Dalam hal ini sepenuhnya terserah pasien karena kesembuhan dirinya
juga merupakan tanggung jawabnya sendiri.
d.
Meninggalnya pasien
e. Sudah selesainya kewajiban dokter seperti ditentukan didalam kontrak.
f. Didalam kasus gawat darurat, apabila dokter yang mengobati atau dokter
pilihan
pasien
sudah
datang,
atau
terdapat
penghentian
keadaan
kegawatdaruratan.
g. Lewat jangka waktu apabila kontrak medis itu ditentukan untuk jangka
waktu.
Setelah membahas mengenai pola hubungan antara pasien dengan tenaga
kesehatan dan dari pola hubungan tersebut dikenal juga dengan adanya transaksi
teurapetik antara dokter/ tenaga kesehatan dengan pasien maka dari pola
hubungan tersebut akan menimbulkan hak dan kewajiban yang harus dilaksanakan
oleh pasien.
56
3.
Hak dan Kewajiban Pasien Sebagai Konsumen Jasa di Bidang
Pelayanan Kesehatan
Seperti yang telah dibahas bahwa dengan adanya pola hubungan antara
tenaga kesehatan dengan pasien akan menimbulkan adanya hak dan kewajiban
bagi pasien. Hak memberi kenikmatan dan keleluasaan kepada individu di dalam
melaksanakannya. Sedangkan kewajiban adalah pembatasan dan beban.42 Ada
beberapa pengertian hak, antara lain:
a)
Hak di dalam pengertian umum yaitu tuntutan seseorang terhadap suatu yang
merupakan kebutuhan pribadinya sesuai dengan keadilan, moralitas dan
legalitas.43
b) Hak sendiri merupakan suatu kepentingan yang dilindungi hukum, sedangkan
kepentingan adalah tuntutan perorangan atau kelompok yang diharapkan
dipenuhi. Hak mengandung 4 unsur :
(1) Subjek hukum : segala sesuatu yang dapat memperoleh hak dan dibebani
kewajiban. Kewenangan untuk menyandang hak dan kewajiban ini disebut
kewenangan hukum.
(2) Obyek hukum : segala sesuatu yang menjadi fokus atau tujuan
diadakannya hubungan hukum.
(3) Hubungan hukum : hubungan yang terjalin karena peristiwa hukum.
(4)Perlindungan hukum : segala sesuatu yang mengatur dan menentukan
hak dan kewajiban masing-masing pihak yang melakukan hubungan
hukum, sehingga kepentingannya terlindungi.
42
43
Sudikno Mertokusumo, 1986, Mengenal Hukum, Yogyakarta, Liberty. Hal. 39.
Nila Ismani, 2001, Etika Keperawatan. Jakarta, Widya Medika. Hal 20.
57
Ada dua macam hak :
a) Hak Absolut : memberi kewenangan pada pemegangnya untuk berbuat dan
tidak berbuat yang pada dasarnya dapat dilaksanakan siapa saja dan melibatkan
setiap orang. Isi hak absolut ini ditentukan oleh kewenangan pemegang hak.
b) Hak relatif : hak yang berisi wewenang untuk menuntut hak yang hanya
dimiliki seorang terhadap orang- orang tertentu.44
Kemampuan profesional tenaga kesehatan merupakan salah satu indikator
kepercayaan pasien terhadap dunia medis khususnya tenaga kesehatan, maka
sudah sebaiknya kepercayaan tersebut harus dilakukan menurut standar profesi
dan berpegang teguh pada kode etik medik. Kedudukan dokter yang selama ini
dianggap lebih “tinggi” dari pasien merupakan dampak dari keterbatasan
pengetahuan masyarakat terhadap hak-hak mereka dari timbulnya hubungan
hukum antara pasien dan dokter sebagai tenaga profesi. Dengan semakin maju dan
meningkatnya kemampuan pengetahuan masyarakat, hubungan tersebut secara
perlahan-lahan mengalami perubahan.45
Kepercayaan kepada dokter secara pribadi berubah menjadi kepercayaan
terhadap kemampuan ilmu (science) dan pengalaman (experience) yang dimiliki
oleh dokter bersangkutan dalam dunia
kedokteran dan teknologi. Penyalahgunaan kemampuan yang dimiliki dokter
sebagai tenaga profesi yang merugikan pasien dan atau bertentangan dengan
hukum dinamakan malpraktik (negligence) di bidang kedokteran. Maka oleh
sebab itu penjelasan tentang hak dan kewajiban pasien secara hukum sangat
44
45
Nila Ismani, Ibid, hal. 38-40.
Bahder Johan Nasution, op,cit, hal. 23.
58
penting dilakukan. Pengetahuan tentang hak dan kewajiban pasien diharapkan
akan meningkatkan kualitas sikap dan tindakan yang cermat dan kehati-hati dari
tenaga kesehatan dalam mejalani tugas profesinya sebagai dokter. Keselamatan
dan perkembangan kesehatan merupakan landasan mutlak bagi dokter dalam
menjalankan praktik profesinya. Seorang dokter harus melakukan segala upaya
semaksimal mungkin untuk menangani pasiennya.
Untuk menciptakan perlindungan hukum bagi pasien maka para pihak harus
memahami hak yang melekat pada pasien.46
Dalam hal ini yang dimaksud dengan konsumen adalah pasien. Mengenai
hak-hak konsumen diatur dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen , Pasal
4 menyebutkan , diantaranya;
1) Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi
barang dan/ atau jasa;
2) Hak untuk memilih barang dan/ atau jasa serta mendapatkan barang dan/ atau
jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang
dijanjikan;
3) Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan
barang dan/ atau jasa;
4) Hak untuk di dengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/ atau jasa yang
digunakan;
46
http://m.serambinews.com/news/hak-dan-kewajiban-pasien, diakses pada tanggal 27 mei 2012
pukul 08.30.
59
5) Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian
sengketa perlindungan konsumen secara patut;
6) Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
7) Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi, dan / atau penggantian,
apabila barang dan/ atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian
atau tidak sebagaimana mestinya;
8) Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundangundangan lainnya.
Dari delapan butir hak konsumen yang tercantum diatas, terlihat bahwa
masalah kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen merupakan hal yang
paling pokok dan utama dalam perlindungan konsumen. Barang dan/ atau jasa
yang penggunaannya tidak memberikan kenyamanan, terlebih lagi yang tidak
aman atau membahayakan keselamatan konsumen jelas tidak layak untuk
diedarkan dalam masyarakat.
Selanjutnya, untuk menjamin bahwa suatu barang dan /atau jasa dalam
penggunaannya akan nyaman, aman maupun tidak membahayakan konsumen
penggunaannya, maka konsumen diberikan hak untuk memilih barang dan /jasa
yang dikehendakinya berdasarkan atas keterbukaan informasi yang benar, jelas,
dan jujur. Jika terdapat penyimpangan yang merugikan, konsumen berhak untuk
didengar, memperoleh advokasi, pembinaan, perlakuan yang adil, konpensasi
sampai ganti rugi.
Setelah berbicara mengenai hak tentunya harus berbicara mengenai
kewajiban sebagai seorang pasien antara lain 47:
47
Bahder Johan Nasution, Ibid, hal. 34.
60
1) Memeriksakan diri sedini mungkin kepada dokter.
2) Memberikan informasi yang lengkap dan benar tentang penyakitnya.
3) Mematuhi nasehat dan petunjuk dokter
4) Menandatangani surat- surat Persetujuan Tindakan Medis atau Informed
Consent (IC) surat jaminan dirawat di rumah sakit.
5) Yakin pada dokternya dan yakin akan sembuh
6) Melunasi biaya perawatan
Perlindungan konsumen didorong oleh adanya kesadaran dan pemahaman
baik dari pelaku medis maupun pasien sendiri tentang hak dan kewajibannya,
khususnya hak pasien.
“Healthcare shall be considered free from discrimination if, in the course of
delivering healthcare services, patients are not discriminated against on
grounds of their social status, political views, origin, nationality, religion,
gender, sexual preferences, age, marital status, physical or mental disability,
qualification or on any other grounds not related to their state of health”. 48
Terjemahannya adalah sebagai berikut :
“ Kesehatan akan dianggap bebas dari diskriminasi jika, dalam rangka
memberikan layanan kesehatan, pasien tidak didiskriminasikan atas dasar
status sosial mereka, pandangan politik, asal-usul, kebangsaan, agama, jenis
kelamin, preferensi seksual, usia, status perkawinan , cacat fisik atau mental,
kualifikasi atau alasan lain yang tidak terkait dengan kondisi kesehatan
mereka”.
48
Act CLIV on Health. 1997. Right to Health Care Right to Health Care. Journal Act CLIV of
1997 on Health. Section 7.
61
4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perlindungan Hukum Pasien Sebagai
Konsumen
Sebelum
membahas
mengenai
faktor-faktor
yang
mempengaruhi
perlindungan hukum pasein sebagai konsumen maka terlebih dahulu kita kan
membahasa mengenai hukum dan perlindungan hukum itu sendiri.
Hukum diciptakan sebagai suatu sarana atau instrumen untuk mengatur hakhak dan kewajiban-kewajiban subjek hukum agar masing-masing subjek hukum
dapat menjalankan kewajibannya dengan baik dan mendapatkan haknya secara
wajar. Menurut Sudikno Mertokusumo, sebagaimana yang dikutip dari bukunya
Marwan Mas49, menyebutkan bahwa hukum berfungsi sebagai perlindungan
kepentingan manusia. Agar kepentingan manusia terlindungi, hukum harus
dilaksanakan. Pelaksanaan hukum dapat berlangsung secara normal, damai, tetapi
dapat terjadi juga karena pelanggaran hukum. Pelanggaran hukum terjadi karena
subjek hukum tertentu tidak menjalankan kewajiban yang seharusnya dijalankan
atau karena melanggar hak-hak subjek hukum lain. Subjek hukum yang dilanggar
hak-haknya harus mendapatkan perlindungan hukum.
Fungsi hukum sebagai instrument pengatur dan instrument perlindungan ini
diarahkan pada satu tujuan, yaitu untuk menciptakan suasana hubungan hukum
antarsubjek hukum secara harmonis, seimbang, damai, dan adil. Ada juga yang
mengatakan bahwa tujuan hukum adalah mengatur masyarakat secara damai.
Hukum menghendaki perdamaian. Perdamaian di antara manusia dipertahankan
oleh hukum dengan melindungi kepentingan-kepentingan manusia tertentu (baik
49
Marwan Mas, 2004, Pengantar Ilmu Hukum, Ghalia Indonesia, Bogor, hal. 116.
62
materiil maupun ideal), kehormatan, kemerdekaan, jiwa, harta benda, dan
sebagainya terhadap yang merugikannya). Tujuan-tujuan hukum itu akan tercapai
jika masing-masing subjek hukum mendapatkan hak-haknya secara wajar dan
menjalankan kewajiban-kewajibannya sesuai dengan aturan hukum yang
berlaku.50
Adanya kewajiban pemerintah memberikan perlindungan hukum kepada
warga negaranya merupakan faktor yang mempengaruhi adanya perlindungan
hukum itu sendiri, dengan adanya kewajiban pemerintah ini maka pemerintah
diharuskan untuk menjaga agar hak-hak warga negaranya dapat dijamin oleh
Negara atau pemerintah agar hak-hak yang melekat pada warga negaranya dapat
terlindungi maka disini ada yang dinamakan perbuatan pemerintah yaitu
perbuatan pemerintah membuat peraturan perundang-undangan. Perbuatan
pemerintah membuat peraturan perundang-undangan misalnya dibuatnya Undangundang Perlindungan Konsumen untuk melindungi hak-hak konsumen dari
perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh orang atau badan hukum.51
Berkaitan dengan perlindungan hukum terhadap pasien sebagai konsumen
jasa dalam pelayanan kesehatan maka disini erat kaitannya dengan adanya
kepatuhan dari seorang tenaga kesehatan terhadap profesinya dan adanya peranan
pasien yang mana sebagai orang yang mendapatkan pelayanan kesehatan dari
pihak tenaga kesehatan dan faktor inilah yang sangat mempengaruhi adanya
perlindungan hukum terhadap pasien.
50
Satijipto Raharjo, 2000, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 53.
Ridwan, HR, 2007, Hukum Administrasi Negara, Jakarta, PT RajaGrafindo Persada. Hal. 279289.
51
63
Dalam pemberian layanan kesehatan menyangkut hubungan antara tenaga
kesehatan
dan
konsumen
(pasien)
telah
lama
mengemuka
pentingnya
perlindungan hukum bagi kedua belah pihak tersebut. Menurut peraturan
pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan, tenaga kesehatan
disini terdiri atas :
1.
Tenaga Medis
2.
Tenaga Keperawatan
3.
Tenaga Keparmasian
4.
Tenaga Kesehatan Masyarakat
5.
Tenaga Gizi
6.
Tenaga Keterapian Fisik dan
7.
Tenaga Keteknisan Medis
Perlindungan hukum terhadap pasien akan tercipta apabila tenaga kesehatan
dalam melaksanakan tugasnya dapat sesuai dengan asas-asas yang melandasi
pelayanan kesehatan yaitu asas khusus yang meliputi: asas tepat waktu; asas
legalitas; asas proporsionalitas; asas kejujuran; dan asas kebebasan memilih
tindakan.52
Dengan adanya asas-asas ini dapat menampung aspirasi rakyat untuk dapat
melindungi hak dan kewajibannya. Sudah tidak pada tempatnya mempertahankan
hubungan yang bersifat paternalistik antara tenaga medis dan pasien. Sifat
paternalistis muncul dalam ungkapan-ungkapan semacam “dokterlah yang paling
52
Yusuf Sofie, 2009, Perlindungan Konsumen dan Instrumen-instrumennya, Citra Aditya Bakti,
Bandung, hal. 124.
64
tahu, apa yang menurut anda baik” atau “saya pasrahkan saja pada dokter, apa
yang menurut dokter merupakan tindakan terbaik”.53
Saat ini fenomena yang mengedepankan pasien tidak lagi semata-mata
menerima tindakan medis yang dilakukan oleh tenaga medis. sebab pada
prinsipnya transaksi teurapetik (penyembuhan) antara dokter dan pasien bertumpu
pada salah satu hak dasar manusia yaitu hak untuk menentukan nasibnya sendiri
(the right to self determination). Dalam transaksi teurapetik ini, hubungan tenaga
medis dan pasien dikuasai perikatan berdasarkan daya upaya/usaha maksimal
untuk menyembuhkan pasien, tetapi tidak menjanjikan kesembuhan.54
Ketika pasien mempertanyakan salah satu hak dasar manusia yaitu hak untuk
menentukan nasibnya sendiri tadi, sebaliknya tenaga medislah yang menentukan
apa yang baik atau apa yang buruk bagi pasiennya berdasarkan pertimbangan
profesinya. Pertimbangan profesi inilah menimbulkan adanya ketaatan seorang
tenaga kesehatan terhadap profesinya yang secara tidak langsung menimbulkan
adanya perlindungan hukum terhadap pasien itu sendiri.55
Adanya tanggung jawab terhadap pelayanan kesehatan yang diberikan kepada
pasien oleh tenaga kesehatan menimbulkan adanya perlindungan hukum bagi
pasien sebagai konsumen jasa dalam pelayanan kesehatan, hal ini disebabkan
karena setiap orang berhak dan wajib mendapatkan kesehatan dalam derajat yang
optimal dalam hal ini setiap pasien yang diberikan pelayanan kesehatan berhak
dan wajib mendapatkan pelayanan kesehatan yang optimal dari tenaga kesehatan.
53
Yusuf Sofie, Ibid, hal .124.
Fred Ameln, 1991, Kapita Selekta Hukum Kedokteran, Grafika Tama Jaya, Jakarta, hal. 42.
55
Soerjono Soekanto, Aspek Hukum dan Etika Kedokteran, Grafiti Pers, Jakarta, hal. 26-27.
54
65
Sedang sakit atau tidak, setiap anak manusia memang memerlukan pelayanan
kesehatan. Mereka pada dasarnya ingin tetap sehat jasmani dan rohani, malah
sebagian orang menginginkan derajat kesehatan yang lebih tinggi. Diakui atau
tidak saat ini sedang terjadi perubahan pola prilaku interaksi antara penyedia jasa
dan penerima jasa kesehatan. Pasien tidak lagi semata-mata orang sakit yang
memerlukan pertolongan dokter. Terjadi pergeseran orientasi dari pelayanan
kesehatan beralih ke industry kesehatan. Beberapa peralatan canggih seperti
ultrasonografi (USG), Skaning Tomografi Komputer (CTS), dan Litoripsi
Gelombang Kejut Ekstrakorporeal (ESWL) merupakan investasi yang tergolong
mahal bagi penyedia jasa layanan kesehatan, namun disini penyedia layanan
kesehatan juga harus dapat bertindak hati-hati terhadap pelayanan kesehatan yang
diberikannya agar tidak merugikan pasien.56
Dari penjelasan diatas maka factor yang mempengaruhi adanya perlindungan
hukum terhadap pasien sebagai konsumen adalah adanya peraturan perundangundangan yang mengatur mengenai perlindungan hukum terhadap pasien dan
konsumen sehingga mengharuskan tenaga kesehatan dalam melaksanakan
tugasnya atau pada saat memberikan pelayanan kesehatan diwajibkan untuk
memberikan pelayanan kesehatan yang sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku. Dalam hal ini adanya Undang-undang No. 36 Tahun
2009 tentang Kesehatan dan Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen memberikan batasan-batasan tertentu kepada pemberi
pelayanan kesehatan agar pada saat memberikan pelayanan kesehatan tidak
56
Yusuf Sofie, op, cit, hal. 134.
66
bertentangan atau melanggar ketentuan dari kedua Undang-undang tersebut,
bahkan kepada institusi kesehatan seperti rumah sakit terdapat Undang-undang
tersendiri yaitu UU No. 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit, dan bagi tenaga
kesehatannya terdapat UU No. 32 Tahun 1996 Tentang Tenaga Kesehatan serta
Peraturan Menteri Kesehatan mengenai Standar Pelayanan Kesehatan yang harus
diberikan kepada pasien. Dengan adanya peraturan perundang-undangan serta
peraturan menteri ini akan dijadikan pedoman pada saat melaksanakan pelayanan
kesehatan kepada pasien sehingga secara langsung mempengaruhi adanya
perlindungan hukum terhadap pasien.
Selain harus patuh terhadap peraturan perundang-undangan, tenaga kesehatan
sebagai pemberi pelayanan kesehatan harus patuh terhadap etika profesinya
sebagai tenaga kesehatan. Etika profesi adalah norma-norma, nilai-nilai, atau pola
tingkah laku kelompok profesi tertentu dalam memberikan pelayanan atau “jasa”
kepada masyarakat. Etika profesi kesehatan adalah norma-norma atau perilaku
bertindak bagi petugas atau profesi kesehatan dalam melayani kesehatan
masyarakat.57
Setelah membahas mengenai tenaga kesehatan dan pelayanan kesehatan yang
harus
mematuhi peraturan sebagai
faktor yang
mempengaruhi adanya
perlindungan hukum terhadap pasien, disini juga tidak terlepas pada peran serta
dari pasien untuk memperoleh perlindungan hukum tersebut. Sebagaimana yang
telah dibahas sebelumnya bahwa pasien mempunyai hak dan kewajiban, berkaitan
dengan hak dan kewajiban inilah yang menentukan adanya perlindungan hukum
57
Soekidjo Notoatmodjo, 2010, Etika dan Hukum Kesehatan, Rieneka Cipta, Jakarta, hal. 36.
67
terhadap pasien, untuk mendapatkan haknya pasien juga harus memenuhi
kewajibannya, baik kewajiban secara moral maupun secara yuridis. Secara moral
pasien berkewajiban memelihara kesehatnnya dan menjalankan aturan-aturan
perawatan sesuai dengan nasihat dokter atau tenaga kesehatan yang memberikan
pelayanan kesehatan seperti kewajiban untuk memberikan informasi, kewajiban
melaksanakan nasihat dokter atau tenaga kesehatan, kewajiban untuk berterus
terang apabila timbulnya masalah dalam hubungannya dengan dokter atau tenaga
kesehatan, kewajiban memberikan imbalan jasa, dan kewajiban memberikan ganti
rugi, apabila tindakannya merugikan dokter atau tenaga kesehatan.58
Itulah faktor-faktor yang mempengaruhi adanya perlindungan hukum
terhadap pasien sebagai konsumen kesehatan, jadi adanya perlindungan hukum
tersebut dipengaruhi oleh adanya peraturan hukum dan kode etik tenaga kesehatan
yang diharuskan memberikan pelayanan kesehatan yang benar dalam upaya
melindungi pasien dan dalam perlindungan hukum itu sendiri, pasien berperan
untuk melindungi dirinya sendiri dengan cara melaksanakan kewajibannya
sebagai seorang pasien sebagai penerima pelayanan kesehatan.
58
Bahder Johan Nasution, Op,Cit, hal. 34.
68
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Metode Pendekatan
Metode Pendekatan yang digunakan adalah metode yuridis sosiologis atau
yang sering disebut dengan pendekatan yuridis empiris dan dengan menggunakan
konsep yang ke 4, dengan mengkaji Law as it in society, yaitu Hukum sebagai
pola-pola perilaku sosial yang terlembagakan. Pengertian dari yuridis sosiologis
adalah suatu pendekatan yang memandang hukum sebagai suatu institusi sosial
yang dikaitkan secara riil dengan variabel-variabel sosial lainnya. 59
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif, suatu tata cara penelitian yang
menghasilkan data deskriptif-analitis yaitu apa yang dinyatakan oleh informan
secara tertulis atau lisan, dan juga prilakunya yang nyata, yang diteliti dan
dipelajari sebagai sesuatu yang utuh. Dengan kata lain peneliti yang
mempergunakan metode kualitatif, tidaklah semata-mata bertujuan untuk
mengungkapkan kebenaran belaka, akan tetapi untuk memahami kebenaran
tersebut.
B. Metode Penelitian
Dalam Penelitian ini digunakan metode penelitian sebagai berikut:
1.
59
Survey
Ronny Soemitro Hanitijo, 1988, Metodologi penelitian Hukum dan Jurimetri, Jakarta : Ghalia
Indonesia. Hlm. 14.
69
Survey yaitu suatu teknik penelitian yang ditujukan untuk mangkaji situasi
sosial atau institusional guna menemukan insidensi, distribusi, relasi dan interelasi
relatif dari konstruk-konstruk penelitian, seperti nilai-nilai, persepsi, aspirasi,
motivasi dan prilaku individual.60
Dipilihnya metode ini didasarkan pada alasan bahwa, penggunaan metode ini
berkaitan dengan teknik wawancara dalam tahap pengumpulan informasi faktual.
Hal ini sesuai dengan pendapat dari Fred N. Kerlinger yang menyatakan bahwa :
”Penelitian survey yang terbaik menggunakan wawancara pribadi sebagai metode
utama pengumpulan informasi. Informasi Faktual yang dikumpulkan dalam
survey mencakup apa yang disebut sebagai data sosiologis”.61
2. Studi Observasi
Observasi adalah teknik penelitian dengan cara melakukan pengamatan
terhadap objek penelitian yang berupa situasi sosial yang berhubungan dengan
tujuan penelitian. Dipilihnya metode ini, karena peneliti secara langsung dapat
mengamati sendiri semua sikap dan prilaku tenaga kesehatan dan pasien dalam
memberikan pelayanan kesehatan.
Instrumen yang digunakan dalam studi observasi ini yaitu :
1. Anecdotal record yang juga disebut riwayat kelakuan adalah catatan-catatan
yanbg dibuat peneliti mengenai kelakuan-kelakuan luar biasa yang dianggap
penting oleh peneliti.
60
Noeng Muhadjir, 1996. Metodologi Penelitian Kualitatif, Edisi III, Rekesarasin, Yogyakarta,
hal. 44-47.
61
Fred. N. Kerlinger, 1990. Asas-asas Penelitian Bihavioral, Penterjemah Landung R.
Simatupang, Gajah Mada University Press, Yogyakarta, hal. 663.
70
2. Catatan berkala yaitu peneliti tidak mencatat macam-macam kejadian
khusus melainkan hanya pada waktu-waktu tertentu saja.
3. Check list yaitu suatu daftar yang berisi nama-nama subjek dan faktor-faktor
yang hendak diselidiki, yang bermaksud mensistematiskan catatan
observasi, alat ini memungkinkan peneliti memperoleh data yang
meyakinkan di bidang lain.
4. Rating scale adalah mencatat gejala menurut tingkatannya, alat ini
digunakan untuk memperoleh gambaran mengenai keadaan subjek menurut
tingkatannya.
5. Mechanical devices yaitu observasi yang menggunakan alat-alat mekanik
sebab lebih praktis dan efektif.
3.
Dokumentasi
Metode Dokumentasi adalah suatu teknik penelitian untuk keperluan
mendeskripsikan secara obyektif, sistematis dan kualitatif terhadap setiap bahan
tertulis atau film (dokumen-dokumen) yang tidak dipersiapkan karena adanya
permintaan seorang peneliti.
Dokumen ini dapat dipandang sebagai narasumber yang dapat menjawab
pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepadanya, meskipun dokumen hanya dapat
bereaksi sejauh apa yang tertulis, namun banyak yang dapat ditafsirkan dari
tulisan itu, tidak tersurat akan tetapi tersirat.
71
C. Spesifikasi Penelitian
Spesifikasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian secara
deskripsi analisis, adalah suatu penelitian yang bertujuan bukan semata-mata
untuk mengungkapkan atau menggambarkan kesesuaian perundang-undangan
dalam realita kehidupan masyarakat belaka, akan tetapi juga untuk memahami
pelaksanaan peraturan perundang-undangan tersebut berlandaskan pada peraturan
hukum dengan memahami apa yang menjadi latar belakang dari pelaksanaan
tersebut.62
D. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Rumah Sakit Umum Daerah Tasikmalaya.
Pemilihan Lokasi ini didasarkan pada :
1. Sebagai penduduk kota Tasikmalaya, Peneliti ingin mengetahui bagaimana
pelayanan kesehatan yang diberikan oleh RSUD Tasikmalaya terhadap
pasiennya.
2. Sebagaimana yang tercantum di dalam Profil RSUD Tasikmalaya, RSUD
Tasikmalaya mempunyai visi dan misi untuk meningkatkan pelayanan
kesehatan kepada pasien, untuk itulah peneliti ingin mengetahui apakah
peningkatan pelayanan kepada pasien juga mempengaruhi terhadap
perlindungan hukum kepada pasien yang diberikan pelayanan kesehatan oleh
RSUD Tasikmalaya.
62
Soerjono Soekanto, op. cit., Hlm 250.
72
E. Informan Penelitian
Dalam penelitian ini yang bertindak sebagai informan adalah beberapa pasien
RSUD
Tasikmalaya
dan
beberapa
pejabat/tenaga
kesehatan di
RSUD
Tasikmalaya, yang dimaksud pejabat disini adalah para medis yang menduduki
posisi tertentu yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan pelayanan kesehatan
yang ada di RSUD Tasikmalaya.
F. Metode Informan Penelitian
Dalam Penelitian ini pemilihan informan dilakukan dengan menggunakan
metode Purposive Sampling, atas dasar apa yang diketahui tentang variasi-variasi
yang ada atau elemen-elemen yang ada.63
Menurut Sugiono64, teknik purposive sampling yaitu teknik penentuan sumber
data dengan pertimbangan tertentu. Pertimbangan tertentu ini adalah orang yang
dianggap tau tentang apa yang kita harapkan atau mungkin dia sebagai penguasa
sehingga memudahkan peneliti menjelajahi objek atau situasi sosial yang diteliti.
Digunakan metode ini didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan sebagai
berikut :
a.
Beberapa para medis yang menduduki posisi tertentu, dokter dan pasien
RSUD Tasikmalaya, diasumsikan sama-sama mengetahui penyelenggaraan
pelayanan kesehatan yang ada di RSUD Tasikmalaya;
b.
Beberapa para medis yang menduduki posisi tertentu, dokter dan pasien
RSUD Tasikmalaya, diasumsikan merupakan pelaku yang benar-benar
63
Sanapiah Faesal, 1990. Penelitian Kualitatif, Dasar-dasar dan Aplikasinya, Yayasan Asih Asah
Asuh (Y A3), Malang, hal. 21-22.
64
Sugiono, 2010, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&B, Alfabeta, Bandung, hal. 219.
73
menguasai
permasalahan
mengenai
pelayanan
kesehatan
di
RSUD
Tasikmalaya secara menyeluruh dengan segala aspek prilakunya;
c.
Beberapa para medis yang menduduki posisi tertentu dan dokter di RSUD
Tasikmalaya telah cukup waktu dan intensif menyatu dengan tugas dan
wewenangnya memberikan pelayanan kesehatan terhadap pasien, yang tidak
sekedar mengetahui dan dapat memberikan informasi, melainkan juga telah
menghayatinya secara serius terhadap profesinya;
d.
Beberapa para medis yang menduduki posisi tertentu, dokter dan pasien
RSUD Tasikmalaya, berdasarkan budayanya diasumsikan dalam memberikan
informasi tidak cenderung diolah atau dikemas terlebih dahulu, tetapi masih
relatif lugu dan apa adanya.
Untuk pemilihan Informan berikutnya, digunakan metode Snow Ball
Sampling (Bola Salju), sehingga pemilihan informan berkembang mengikuti
prinsip Bola Salju dan pilihan Informan akan berhenti, apabila tidak ditemukan
informasi baru.
Berdasarkan pada metode di atas, maka akan diperoleh Informan Kunci yang
direncanakan sebanyak 9 (sembilan) Informan, yang terdiri dari 6 (enam) orang
pejabat RSUD Tasimalaya/ Dokter penanggung jawab dari setiap jenis pelayanan
medis/tenaga kesehatan di RSUD Tasikmalaya dan 3 (tiga) orang pasien dan/atau
keluarganya, di mana informan ini adalah aktor yang secara langsung terlibat
dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan yang ada di RSUD Tasikmalaya.
74
G. Sumber dan Jenis Data
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan 2 macam data agar tercapai
kelengkapan dan keterpaduan data, yaitu :
1) Data Primer
Data primer adalah data yang dapat memberikan informasi secara langsung
mengenai segala sesuatu yang berkaitan dengan obyek penelitian. Data ini
diperoleh langsung dari informan dengan wawancara kepada Pejabat/Dokter
dengan posisi tertentu dan Pasien di Rumah Sakit Umum Daerah Tasikmalaya.
2) Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang lebih dahulu dikumpulkan dan dilaporkan
oleh orang diluar peneliti sendiri. Dan diperlukan untuk melengkapi data primer.
Data sekunder terdiri dari :
a. Bahan Hukum Primer
Menurut Bambang Sunggono, jenis bahan hukum primer yaitu peraturan
dasar, peraturan perundang-undangan, catatan resmi, lembar negara penjelasan,
risalah, putusan Hakim dan Yurisprudensi. 65 Pada penelitian ini digunakan
Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, UndangUndang No. 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit, Undang-Undang No. 29
Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran, Undang-Undang No. 36 Tahun 2009
Tentang Kesehatan perubahan dari Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang
kesehatan, Peraturan Menteri Kesehatan No. 585/MENKES/PER/IX/1989
Tentang Persetujuan Tindakan Medik, Surat Keputusan Menteri Kesehatan No.
65
Bambang Sunggono, 2006, Metode Penelitian Hukum. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.
Hlm. 113.
75
436/MENKES/SK/VI/1993 Tentang Berlakunya Standar Pelayanan di Rumah
Sakit.
b. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder yaitu bahan-bahan hukum yang memberikan
penjelasan terhadap bahan hukum primer, terdiri dari studi pustaka dan hasil
penelitian di bidang ilmu hukum, literatur-literatur, kamus hukum, dan sumber
lain yang berhubungan dengan permasalahan yang diteliti.
H. Metode Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini, pengumpulan data akan dilakukan dengan metode
sebagai beikut :
1.
Wawancara
Wawancara adalah teknik percakapan dengan maksud tertentu yang
dilakukan oleh dua pihak, yakni pewawancara yang mengajukan pertanyaan dan
yang diwawancarai yang memberikan jawaban.66
Digunakannya metode ini didasarkan pada dua alasan utama yakni :
1. Dengan wawancara peneliti dapat menggali bukan saja mencakup apa yang
diketahui dan dialami informan pada saat diselenggarakannya pelayanan
kesehatan, melainkan juga apa yang tersembunyi di dalam diri para pelaku;
2. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepada informan dapat mencakup halhal yang bersifat lintas waktu yang berkaitan dengan pelayanan kesehatan di
masa lampau, masa sekarang dan juga mungkin masa mendatang.
66
Laxy J. Moleong, 1996. Metdodologi Penelitian Kualitatif, PT. Remaja Rosakarya, Bandung,
hal. 135.
76
Teknik wawancara yang dipilih dalam penelitian ini adalah model
Wawancara Terstruktur yaitu wawancara dimana peneliti menetapkan sendiri
masalah dan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan.67
2. Dokumenter
Metode Dokumenter adalah teknik pengumpulan data yng bersumber dari
dokumen-dokumen atau bahan-bahan tertulis untuk memperoleh deskripsi
kejadian secara nyata. Menurut Meleong68, dokumentasi adalah setiap bahan
tertulis ataupun film, yang lain dari recording, yang telah dipersiapkan karena
adanya permintaan seorang penyidik. Dokumentasi ini bertujuan untuk
memperoleh data-data pasti tentang objek penelitian.
Dokumen dari penelitian ini dapat berupa pengumuman, intruksi, aturanaturan hukum, catatan harian para pelaku, foto-foto, gambar, kliping berita media,
agenda kegiatan, hasil-hasil penelitian, majalah ilmiah, buletin ilmiah, dan hasilhasil pertemuan ilmiah seperti : seminar, lokakarya, diskusi panel, simposium dan
sebagainya.
3.
Studi Kepustakaan
Studi kepustakan ini dengan cara identifikasi isi yaitu pengumpulan data
dengan mengidentifikasi isi dari data sekunder diperoleh dengan cara membaca,
mengkaji, dan mempelajari bahan pustaka baik berupa peraturan perundangundangan, artikel dari internet, makalah seminar nasional, jurnal, dokumen, dan
data- data lain yang mempunyai kaitan dengan data penelitian ini.
67
68
S. Nasution, 1988. Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif, Tarsito, Bandung, hal.72.
Meleong, 2005, Metode Peneliitan Kualitatif, Remaja Rosdakarya, Bandung, hal.161.
77
I.
Metode Pengolahan Data
Informasi yang diperoleh dari lapangan, selanjutnya diolah agar menjadi lebih
ringkas dan sistematis, yakni dengan menuliskan hasil wawancara rekaman dan
beberapa dokumen menjadi satu bentuk laporan lapangan. Laporan lapangan ini
untuk selanjutnya diolah dengan menggunakan metode reduksi data, display data
dan mengkategorisasikan data.69Menurut Miles dan Huberman sebagaimana yang
dikutip dari bukunya Sugiono mengemukakan bahwa aktivitas dalam analisis
data, yaitu data reduction, data display dan conclusion/verification. Dalam proses
analisis kualitatif ini terdapat tiga komponen pokok yang harus diperhatikan,
yaitu70:
a.
Data Reduction (reduksi data) yaitu merangkum, memilih hal-hal yang
pokok, memfokuskan pada hal-hal yang penting, dicari tema dan polanya.
Dengan demikian data yang telah direduksi akan memberikan gambaran yang
lebih jelas dan mempermudah peneliti untuk melakukan pengumpulan data
selanjutnya dan mencarinya bila diperlukan.
b.
Data Display (penyajian data) bisa dilakukan dalam bentuk uraian singkat,
bagan, hubungan antar kategori, flowchart, dan sejenisnya. Yang paling
sering diguanakan untuk menyajikan data adalah dengan teks yang bersifat
naratif. Dengan menyajikan data, maka akan memudahkan untuk memahami
apa yang terjadi, merencanakan kerja selanjutnya berdasarkan apa yang telah
dipahami tersebut.
69
Sanapiah Faesal, Op. Cit.,hal. 158.
Sugiyono, 2010, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&B, Alfabeta, Bandung, hal.
247-253.
70
78
c.
Conclusion Drawing/ Verification (penarikan kesimpulan) dapat menjawab
rumusan masalah yang dirumuskan sejak awal, tetapi mungkin juga tidak,
karena seperti yang telah dikemukakan bahwa masalah dan rumusan masalah
dalam penelitian kualitatif masih bersifat sementara dan akan berkembang
setelah penelitian berada di lapangan.
Selanjutnya dalam membuat kategorisasi data, akan ditempuh langkah-
langkah sebagai berikut 71:
1.
Kategori dibuat sesuai dengan masalah dan tujuan utama penelitian;
2.
Setiap data harus dapat ditempatkan dalam satu kategori;
3.
Isi data tidak boleh termasuk dalam lebih dari satu kategori; dan
4.
Tiap kategori harus bebas dan terpisah secara nyata dan mengikuti prinsip taat
asas.
J.
Metode Penyajian Data
Dalam penelitian ini data akan disajikan dalam bentuk Teks Naratif dan
Matriks Data. Model penyajian data dalam bentuk Teks Naratif, merupakan uraian
informatif secara serempak, terfokus dan sistematis, yang memberikan gambaran
verbal mengenai konsep-konsep umum yang tersusun dari gugusan fakta-fakta.
Sedangkan model penyajian data dalam bentuk Matriks, yang bukan diisi dengan
angka-angka kuantitatif, melainkan dengan kata-kata.72 Adapun model Matriks
71
Maria S.W. Sumardjono, 1990, Pedoman Pembuatan Usulan Penelitian, Makalah penataran
Metodologi Penelitian Hukum, Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta, hal.24.
72
Noeng Muhadjir, Op. Cit., hal. 32.
79
yang digunakan dalam penelitian ini adalah model Matriks Efek atau pengaruh
dan Model Matriks Tataperan.73
Matriks Efek atau Pengaruh digunakan untuk mengungkap faktor-faktor
penunjang dan penghambat pelaksanaan perlindungan hukum kepada pasien
dalam pelayanan kesehatan, sedangkan Matriks Tataperan, digunakan untuk
menjelaskan bagaimana pelaksanaan perlindungan hukum pasien sebagai
konsumen jasa dalam pelayanan kesehatan pada saat pelaksanaan pelayanan
kesehatan.
K. Metode Uji Mutu Data
Pemeriksaan keabsahan data dalam penelitian ini akan diguanakan teknikteknik sebagai berikut :
1. Ketekunan pengamatan, yakni suatu cara untuk menemukan ciri-ciri dan
unsur-unsur dalam situasi yang sangat relevan dengan masalah yang sedang
diteliti dan memusatkan diri pada hal-hal tersebut secara rinci;
2. Triangulasi Data, yakni cara pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan
sesuatu yang lain di luar data untuk keperluan pengecekan atau sebagai
pembanding terhadap data yang diperoleh. Adapun triangulasi yang
digunakan adalah triangulasi sumber data, metode, instrumen dan bilamana
perlu triangulasi peneliti.
73
Matthew B. Miles dan A. Michael Huberman, 1992. Analisis Data Kualitatif, Penerjemah
Tjepjep Rohendi Rohidi, Universitas Indonesia Press, Jakarta, hal. 145 & 352.
80
3. Pemeriksaan Sejawat melalui media diskusi, yakni teknik pemeriksaan
keabsahan data yang dilakukan dengan cara mengekspos hasil penelitian
sementara atau hasil akhir yang diperoleh dalam bentuk diskusi analitik.
Dalam penelitian ini uji mutu data yang digunakan hanya meliputi Ketekunan
pengamatan, di mana peneliti dalam melakukan observasi terfokus pada sikap dan
pola perilaku pasien dan Keluarga serta sikap dan pola prilaku Dokter, yang
terlibat dalam pelaksanaan perlindungan hukum terhadap pasien dalam
pelaksanaan pelayanan kesehatan dan triangulasi data, terutama triangulasi
sumber dan triangulasi metode.
L. Metode Analisis Data
Dalam penelitian ini data akan dianalisis dengan menggunakan metode
Kualitatif, terutama ”Content Analysis Method” dan ”Constant Comperative
Analysis Method”.74
Untuk dapat mengadakan penilaian terhadap setiap data, dilakukan Analisis
(Content Analysis), agar dapat menjelaskan makna-makna simbolik yang tersirat
dalam bunyi setiap data dengan berpedoman pada tujuan utama penelitian.
Selanjutnya dalam menjelaskan hubungan antara konsep-konsep atau kategori
simbolik, data akan dianalisis dengan menggunakan metode Constant Conparative
Analysis, yaitu suatu interpelasi data dengan cara membandingkan suatu konsep
atau kategori simbolik tertentu dengan konsep atau kategori simbolik lainnya,
dengan pola pikir secara Induktif-Kualitatif.
74
NoengMuhadjor, Op.Cit., hal. 49.
81
Penafsiran data dilakukan dengan menggunakan teknik ”Theoritical
Interpretation”, dimana pada taraf permulaan, peneliti tidak membatasi diri pada
satu teori, melainkan menggunakan beberapa teori yang dapat dimanfaatkan untuk
memahami data. Teori dalam proses ini bukan untuk menjelaskan semua data
akan tetapi memfokuskan analisis data yang mendorong untuk melakukan kajian
selanjutnya.
Teknik penafsiran dilakukan secara ”Interpretasi dan Diskusi”, dimana data
didiskusikan dengan teori, sehingga terjadi dialog antara data di satu pihak dan
teori dilain pihak. Dengan model dialog yang demikian, diharapkan pengambilan
keputusan yang menyimpang sekecil mungkin dapat dihindari.
82
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS
1.
Perlindungan Hukum Pasien Sebagai Konsumen Jasa Dalam Pelayanan
Kesehatan di RSUD Tasikmalaya
Sebagaimana telah dibahas pada bab sebelumnya maka, berbicara mengenai
perlindungan hukum pasien sebagai konsumen jasa dalam pelayanan kesehatan,
maka harus melihat terlebih dahulu mengenai pengertian dari perlindungan
konsumen yaitu segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk
memberi perlindungan kepada konsumen (Pasal 1 ayat (1) Undang- Undang
Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen). Hal ini diartikan bahwa
adanya upaya mengenai adanya kepastian hukum itu dengan cara memberikan
perlindungan hukum kepada konsumen.
Perlindungan hukum pasien sebagai konsumen disini berkaitan dengan
adanya jasa yang diberikan oleh tenaga kesehatan, namun sebelumnya perlu
diketahui mengenai pengertian jasa. Sebagaimana yang dikemukakan oleh
William Stantoa dan Jetzel J. Walker dalam Bukunya Malayu. S. P. Hasibuan
menyatakan bahwa 75:
“Jasa adalah kegiatan yang dapat diidentifikasikan dan tidak berwujud yang
merupakan tujuan penting dari suatu transaksi guna memberikan kepuasan
pada konsumen”.
Jasa adalah setiap setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang
disediakan bagi masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen. (Pasal 1 ayat (5)
75
H.Malayu,S.P. Hasibuan, op, cit, 2001, Hal. 161
83
Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen). Dalam
permasalahan yang diangkat penulis mengenai perlindungan pasien, adalah pasien
di sini merupakan konsumen dalam bidang jasa medis.
Perjanjian pasien dan dokter menimbulkan adanya hubungan serta akibat
hukum berupa hak dan kewajiban masing- masing pihak. Pelaksanaan hak dan
kewajiban tersebut mendorong adanya
perlindungan hukum terhadap pasien,
mengingat pasien sering dirugikan dalam pelayanan kesehatan. Perlindungan
hukum terhadap pasien dianggap perlu untuk diatur lebih mendalam dan luas di
dalam undang- undang yang berkaitan dengan pasien sebagai konsumen, sehingga
tercipta suatu kepastian hukum mengenai perlindungan hukum pasien tersebut.
Hubungan hukum antara dokter dengan pasien telah terjadi sejak dahulu,
dokter sebagai seorang yang memberikan pengobatan terhadap orang yang
membutuhkannya. Hubungan ini merupakan hubungan yang sangat pribadi karena
didasarkan atas kepercayaan dari pasien terhadap dokter yang disebut dengan
transaksi terapeutik. Transaksi terapeutik adalah transaksi antara dokter dan
pasien untuk menentukan atau mencari terapi yang paling tepat bagi pasien.
Transaksi antara dokter dan pasien menimbulkan hak dan kewajiban yang
timbal baik, dan apabila hak dan kewajiban itu tidak dipenuhi oleh salah satu
pihak yang sudah bersepakat mengadakan transaksi itu, maka wajarlah apabila
pihak yang merasa dirugikan melakukan tuntutan gugatan. Oleh karena konsumen
menyangkut semua individu, maka konsumen mempunyai hak untuk mendapat
perlindungan hukum. Hubungan dokter pasien dalam transaksi terapeutik itu
84
bertumpu pada dua macam hak asasi, yaitu hak untuk menentukan nasib sendiri
dan hak atas informasi.76
Hubungan tenaga kesehatan dengan pasien dilihat dari aspek hukum adalah
hubungan antara subyek hukum dengan subyek hukum. Hubungan hukum selalu
menimbulkan hak dan kewajiban yang timbal- balik. Hak tenaga kesehatan
(dokter ataupun tenaga kesehatan lain) menjadi kewajiban pasien, dan hak pasien
menjadi kewajiban tenaga kesehatan. Hubungan tenaga kesehatan dan pasien
adalah hubungan dalam jasa pemberian pelayanan kesehatan. Tenaga kesehatan
sebagai pemberi jasa pelayanan kesehatan dan pasien sebagai penerima jasa
pelayanan kesehatan.
Setiap dokter dituntut
bertindak secara profesional dan senantiasa
mengembangkan ilmunya. Sehingga pekerjaan kedokteran tidak pernah lepas dari
riset dan pengembangan ilmunya sendiri. Kadangkala dokter lebih senang
menggunakan metode yang sudah- sudah dan tidak mau mencari metode yang
terbaik bagi pasiennya. Padahal setiap perkembangan pengobatan akan sangat
berguna bagi perkembangan kesehatan pasien dan masyarakat pada umumnya.
Di
samping
itu
seorang
dokter
tidak
diperbolehkan
menjalankan
kewajibannya atas dasar keuntungan pribadi. Pada dasarnya kewajiban ini akan
sulit dilakukan pada era di mana kapitalisme berkuasa. Pendidikan kedokteran
yang harusnya ditempuh dengan biaya murah menjadi sangat mahal. Praktis
seorang yang baru saja lulus dari pendidikan kedokteran akan dibebani kewajiban
untuk mengembalikan biaya pendidikan yang besar dalam tempo waktu yang
76
Endang Kusuma Astuti, op, cit, hal. 168-169.
85
sesingkat- singkatnya. Hal tersebut berpengaruh terhadap pasien dan masyarakat
pada umumnya.
Kesulitan masyarakat saat ini khususnya pasien adalah pembiayaan kesehatan
yang mahal. Tidak hanya dokternya tetapi untuk menjangkau sarana dan prasarana
kesehatan juga harus dengan usaha yang tidak sedikit. Sehingga kebanyakan
upaya untuk perlindungan terhadap pasien yang merupakan bagian dari
masyarakat kurang terjamin. Kepentingan pasien menjadi tolok ukur semua
pengobatan. Oleh karena itu seorang dokter wajib untuk merawat pasien sesuai
dengan kebutuhan pasien.
Didalam Hak dan kewajiban pasien sebagai konsumen jasa dalam pelayanan
kesehatan yang lebih menjadi sorotan adalah hak yang didapat oleh pasien sebagai
wujud dari perlindungan hukum terhadap pasien. Hak yang sangat berhubungan
erat dengan pasien adalah hak untuk menentukan nasibnya sendiri dan hak
mendapat informasi. Hal yang berkaitan dengan hak menentukan nasibnya sendiri
adalah tindakan dokter terhadap pasien sesuai dengan persetujuan yang diberikan
oleh pasien. Sedangkan hal yang berkaitan dengan hak mendapat informasi adalah
informasi dari dokter mengenai keadaan yang berhubungan dengan pasien serta
langkah- langkah untuk menanganinya.
Persetujuan tindakan medis (informed consent) mencakup tentang informasi
dan persetujuan, yaitu persetujuan yang diberikan setelah yang bersangkutan
mendapat informasi terlebih dahulu atau dapat disebut sebagai persetujuan
berdasarkan informasi. Informed consent adalah persetujuan yang diberikan oleh
86
pasien atau keluarganya atas dasar penjelasan mengenai tindakan medis yang akan
dilakukan terhadap pasien tersebut. 77
Pada hakekatnya, hubungan antar manusia tidak dapat terjadi tanpa melalui
komunikasi, termasuk juga hubungan antara dokter dan pasien dalam pelayanan
kesehatan. Oleh karena hubungan antara dokter dan pasien merupakan hubungan
interpersonal, maka adanya komunikasi atau yang lebih dikenal dengan istilah
wawancara pengobatan itu sangat penting. Melalui komunikasi, disini disebut
sebagai wawancara maka maksud serta kehendak kedua belah pihak dapat jelas
tertuang. Dengan begitu pasien mendapatkan pelayanan dan tindakan yang sesuai
dengan keadaannya. Dokterpun menjalankan kewajibannya terhadap pasien sesuai
dengan persetujuan yang ada, sehingga menghindarkan dari tindakan salah
seorang dokter terhadap pasien. Keselamatan atau penanganan yang benar dan
kenyamanan pasien adalah suatu perwujudan perlindungan terhadap pasien.
Perlindungan hukum pasien sebagai konsumen memang tidak hanya harus
diatur didalam UU No. 8 Tahun 1999 tentang Konsumen tetapi juga harus
dikaitkan dengan apa yang diatur didalam UU No. 36 Tahun 2009 yang mana
didalamnya diatur secara jelas mengenai hak-hak pasien dan kewajiban pasien,
hak-hak tenaga kesehatan dan kewajiban dari tenaga kesehatan itu sendiri
sehingga didalamnya terdapat suatu pola hubungan antara pasien sebagai
konsumen dan tenaga kesehatan sebagai pemberi jasa kepada konsumen yang
akhirnya akan menimbulkan suatu perlindungan hukum terhadap pasien itu
sendiri.
77
Wila Chandrawila Supriadi, op, cit, hal. 19.
87
Disini peneliti melakukan penelitian secara langsung ke salah satu rumah
sakit umum di kota Tasikmalaya yaitu RSUD Tasikmalaya guna melakukan
penelitian mengenai perlindungan hukum pasien sebagai konsumen jasa dalam
pelayanan kesehatan, untuk meneliti apakah perlindungan hukum terhadap pasien
sebagai konsumen jasa dalam pelayanan kesehatan sudah ada atau dapat
dilaksanakan atau belum, peneliti menganalisis dari Undang-undang yang
berkaitan dengan pasien sebagai konsumen jasa dalam pelayanan kesehatan yaitu
dengan menganalisis hak pasien, karena untuk menilai ada atau tidaknya
perlindungan terhadap pasien maka yang lebih diutamakan adalah pemenuhan hak
dari pasien itu sendiri dan peniliti menganalisis dengan mengkaji UU No. 8 Tahun
1999 Tentang Konsumen, UU No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan, UU No. 29
Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran dan UU No. 44 Tahun 2009 Tentang
Rumah Sakit, yaitu sebagai berikut :
Pasien rumah sakit adalah konsumen, sehingga secara umum pasien
dilindungi dengan Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen Menurut pasal 4 UU No. 8/1999, hak-hak konsumen adalah:
a)
b)
c)
d)
e)
f)
g)
hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi
barang dan/atau jasa;
hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau
jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang
dijanjikan;
hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan
barang dan/atau jasa;
hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang
digunakan;
hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian
sengketa perlindungan konsumen secara patut;
hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif;
88
h) hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila
barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak
sebagaimana mestinya;
Perlindungan Pasien Dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2009 Tentang
Kesehatan Pasal 56 yang berbunyi :
(1) Setiap orang berhak menerima atau menolak sebagian atau seluruh tindakan
pertolongan yang akan diberikan kepadanya setelah menerima dan
memahami informasi mengenai tindakan tersebut secara lengkap.
(2) Hak menerima atau menolak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
berlaku pada:
a. penderita penyakit yang penyakitnya dapat secara cepat menular ke dalam
masyarakat yang lebih luas;
b. keadaan seseorang yang tidak sadarkan diri; atau
c. gangguan mental berat.
(3) Ketentuan mengenai hak menerima atau menolak sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 57 yang berbunyi :
(1) Setiap orang berhak atas rahasia kondisi kesehatan pribadinya yang telah
dikemukakan kepada penyelenggara pelayanan kesehatan.
(2) Ketentuan mengenai hak atas rahasia kondisi kesehatan pribadi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku dalam hal:
a. perintah undang-undang;
b. perintah pengadilan;
c. izin yang bersangkutan;
d. kepentingan masyarakat; atau
e. kepentingan orang tersebut.
Pasal 58 yang berbunyi :
(1)Setiap orang berhak menuntut ganti rugi terhadap seseorang, tenaga kesehatan,
dan/atau penyelenggara kesehatan yang menimbulkan kerugian akibat
kesalahan atau kelalaian dalam pelayanan kesehatan yang diterimanya.
(2) Tuntutan ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi
tenaga kesehatan yang melakukan tindakan penyelamatan nyawa atau
pencegahan kecacatan seseorang dalam keadaan darurat.
(3) Ketentuan mengenai tata cara pengajuan tuntutan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
89
Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran juga
merupakan Undang-Undang yang bertujuan untuk memberikan perlindungan bagi
pasien. Hak-hak pasien diatur dalam pasal 52 UU No. 29 Tahun 2004 adalah:
a)
mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis sebagaimana
dimaksud dalam pasal 45 ayat (3);
b) meminta pendapat dokter atau dokter lain;
c) mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis;
d) menolak tindakan medis;
e) mendapatkan isi rekam medis.
Perlindungan hak pasien juga tercantum dalam pasal 32 Undang-Undang No.
44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, yaitu:
a) memperoleh informasi mengenai tata tertib dan peraturan yang berlaku di
Rumah Sakit;
b) memperoleh informasi tentang hak dan kewajiban pasien;
c) memperoleh layanan yang manusiawi, adil, jujur, dan tanpa diskriminasi;
d) memperoleh layanan kesehatan yang bermutu sesuai dengan standar profesi
dan standar prosedur operasional;
e) memperoleh layanan yang efektif dan efisien sehingga pasien terhindar dari
kerugian fisik dan materi;
f) mengajukan pengaduan atas kualitas pelayanan yang didapatkan;
g) memilih dokter dan kelas perawatan sesuai dengan keinginannya dan peraturan
yang berlaku di Rumah Sakit;
h) meminta konsultasi tentang penyakit yang dideritanya kepada dokter lain yang
mempunyai Surat Izin Praktik (SIP) baik di dalam maupun di luar Rumah
Sakit;
i) mendapatkan privasi dan kerahasiaan penyakit yang diderita termasuk datadata medisnya;
j) mendapat informasi yang meliputi diagnosis dan tata cara tindakan medis,
tujuan tindakan medis, alternatif tindakan, risiko dan komplikasi yang mungkin
terjadi, dan prognosis terhadap tindakan yang dilakukan serta perkiraan biaya
pengobatan;
k) memberikan persetujuan atau menolak atas tindakan yang akan dilakukan oleh
tenaga kesehatan terhadap penyakit yang dideritanya;
l) didampingi keluarganya dalam keadaan kritis;
m) menjalankan ibadah sesuai agama atau kepercayaan yang dianutnya selama hal
itu tidak mengganggu pasien lainnya;
n) memperoleh keamanan dan keselamatan dirinya selama dalam perawatan di
Rumah Sakit;
o) mengajukan usul, saran, perbaikan atas perlakuan Rumah Sakit terhadap
dirinya;
90
p) menolak pelayanan bimbingan rohani yang tidak sesuai dengan agama dan
kepercayaan yang dianutnya;
q) menggugat dan/atau menuntut Rumah Sakit apabila Rumah Sakit diduga
memberikan pelayanan yang tidak sesuai dengan standar baik secara perdata
ataupun pidana; dan
r) mengeluhkan pelayanan Rumah Sakit yang tidak sesuai dengan standar
pelayanan melalui media cetak dan elektronik sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Berdasarkan keempat Undang-undang tersebut maka peneliti secara garis
besar menyimpulkan bahwa ada 5 (lima) jaminan hak pasien yang harus dipenuhi
oleh pihak rumah sakit agar perlindungan hukum terhadap pasien sebagai
konsumen jasa dalam pelayanan kesehatan dapat terpenuhi yaitu :
1.
Jaminan Untuk Mendapat Informasi Pada Saat Diberikan Pelayanan
Kesehatan
2.
Jaminan Atas Keamanan, Kenyamanan dan Keselamatan Atas Pelayanan
Kesehatan
3.
Jaminan Atas Persamaan Hak Dalam Pelayanan Kesehatan
4.
Jaminan Atas Kebebasan Memilih Atas Pelayanan Keperawatan
5.
Jaminan Atas Kebebasan Untuk Menuntut Hak-hak Yang Dirugikan
Setelah menyimpulkan jaminan hak tersebut maka peneliti dalam melakukan
penelitiannya menggunakan metode wawancara kepada pasien, dokter/tenaga
kesehatan serta pejabat rumah sakit, seperti yang direncanakan sejak awal peneliti
melakukan wawancara kepada 9 (sembilan) Informan sebagai narasumber dan
informan kunci yaitu kepada 3(tiga) orang dokter (informan kunci), 1 (satu)
pejabat rumah sakit), 2 (dua) perawat dan 3 (tiga) pasien/keluarga pasien yang
bertempat di RSUD Tasikmalaya.
91
Dari hasil penelitian tersebut kemudian hasil penelitian dibuat dalam bentuk
Matriks sebagai berikut :
92
Matriks 1 : Jaminan Atas Informasi Atas Pelayanan Kesehatan
NAMA
SUBSTANSI JAWABAN SUBYEK PENELITIAN
INFORMAN
“U”
 “kami memberikan informasi mengenai penyakit
(Dokter)
yang diderita oleh pasien seperti diagnosis, tata cara
tindakan medis, tujuan tindakan medis alternatif
tindakan, resiko dan komplikasi yang mungkin
terjadi”.
 “ saya rasa pasien dapat mengerti mengenai apa
yang saya jelaskan karena memakai bahasa yang
dapat dimengerti oleh pasien”
 “saya juga harus merahasiakan kondisi pasien
kepada orang lain karena merupakan kode etik
sebagai dokter”
 “informasi mengenai tata tertib atau peraturan
yang ada di rumah sakit biasanya dikasi tau”
“V”
(Pejabat
Rumah
Sakit)


“setelah pasien datang dokter menjelaskan langsung
kepada pasien mengenai informasi tersebut kepada
pasien dan pertimbangan-pertimbangan atas
dugaan tindakan yang akan dilakukan juga
disampaikan langsung kepada pasien dan nantinya
juga ada inform concent.
dokter menjelaskan dengan baik mengenai kondisi
pasien tersebut dan saya rasa pasien mengerti
dengan apa yang dijelaskan pasien
MAKNA TEMA
IMPLIKASI
 Pemberian informasi
medis
 Penjelasan kondisi
penyakit pasien
 Kerahasiaan medis
 Pemberian Informasi
tata tertib rumah sakit
Baik, jaminan atas
informasi medis
kerahasiaan medis
dapat dilaksanakan
sepenuhnya oleh
dokter/tenaga
kesehatan kepada
pasien pada saat
diberikan pelayanan
kesehatan.





pemberian informasi
medis
pemberian inform
concent kepada pasien
penjelasan kondisi
penyakit pasien
kerahasiaan medis
sebagai kode etik dokter
pemberian informasi
Baik, jaminan atas
informasi,
kerahasiaan dan
pencegahan penyakit
dilaksanakan
sepenuhnya oleh
dokter/tenaga
kesehatan pada saat
diberikan pelayanan
kesehatan
93



“Bunga”
(Pasien)




mengenai kerahasiaan penyakit pasien saya rasa itu
merupakan suatu keharusan dan hal tersebut
berkaitan dengan kode etik yang dimiliki oleh
seorang dokter.
Mengenai informasi tata tertib hal tersebut sudah
tercantum secara jelas di setiap sudut rumah sakit
yaitu dengan adanya papan informasi bagi siapa
saja yang datang ke rumah sakit dan dapat dibaca
oleh para pengunjung rumah sakit misalnya
mengenai ketentuan anak yang masih dibawah
umur tidak boleh masuk ke ruangan pasien atau
mengenai jam besuk pasien selain itu juga jika ada
keluarga pasien yang menginap akan ada surat izin
untuk menginap dan hal tersebut akan
diinformasikan kepada keluarga pasien”.
“iya, dokter menjelaskan mengenai informasi
penyakit yang diderita oleh anak saya”
“saya tidak mengerti dengan apa yang dijelaskan
oleh dokter karena memakai bahasa kedokteran”.
“mengenai kerahasiaan penyakit anak saya, saya
tidak tau, saya serahkan sepenuhnya kepada
dokter”
“saya mengetahuinya dari papan mengenai tata
tertib di rumah sakit ini”



tata tertib rumah sakit
pencegahan penyakit
menular kepada pasien
Pemberian Informasi
Medis
Pemberian Informasi
tata tertib rumah sakit
Baik, namun belum
dilaksanakan
sepenuhnya karena
pasien masih tidak
mengerti dengan
informasi yang
diberikan dan tidak
mengetahui mengenai
kerahasiaan medis
94
“W”
(Dokter)




“X”
(Perawat)




“Bisma”
(Pasien)


“Mengenai informasi seperti diagnosis, tata cara
tindakan medis tujuan tindakan medis, alternatif
tindakan medis, alternatif tindakan medis, tujuan
tindakan medis resiko dan komplikasi yang
mungkin terjadi, serta prognosis semuanya
dilakukan
“saya menjelaskan sedetail mungkin sampai pasien
mengerti dengan kondisi penyakit pasien tersebut”
“saya menjelaskan kondisi pasien kepada
keluarganya jadi tidak sembarang orang saya
beritahukan mengenai kondisi pasien.”
“mengenai tata tertib biasanya dikasi tau”.




“iya, biasanya memang dokter menjelaskan 
mengenai informasi dan hal-hal yang berkaitan
dengan kondisi pasien tersebut kepada pasien atau 
keluarganya

“saya kira pasien mengerti dengan apa yang
dijelaskan dokter”
“ mengenai kerahasiaan saya tidak tau”
“biasanya sebelum ke ruangan perawatan pasien
diberi informasi mengenai tata tertib”.
“iya, dokter sudah memberikan informasi tersebut
kepada saya”.
“saya kira sejauh ini saya mengerti mengenai apa


Pemberian Informasi
Medis
Penjelasan kondisi
penyakit pasien
Kerahasiaan medis
Pemberian informasi tata
tertib rumah sakit
Baik, jaminan atas
informasi,
kerahasiaan dan
pencegahan penyakit
dilaksanakan
sepenuhnya oleh
dokter/tenaga
kesehatan pada saat
diberikan pelayanan
kesehatan
Pemberian
Informasi
Medis
Kerahasiaan Medis
Pemberian Informasi tata
tertib rumah sakit
Baik, Jaminan atas
informasi medis
dalam pelayanan
kesehatan telah
dilaksanakan oleh
dokter/tenaga
kesehatan
Pemberian Informasi
Medis
Penjelasan kondisi
Baik, Jaminan atas
Informasi medis
dalam pelayanan
95


“Y”
(Dokter)




“Z”
(Perawat)




yang dijelaskan oleh dokter .”
“Mengenai kerahasiaan saya tidak tau”.
“Mengenai tata tertib saya membacanya dari
tulisan atau banner yang bertuliskan tata tertib
rumah sakit”.

“Iya,saya menjelaskan mengenai informasi kondisi
pasien tersebut”
“saya rasa pasien mengerti dengan apa yang saya
jelaskan”
“mengenai kerahasiaan memang harus dilakukan”
“iya, pasien diberikan informasi mengenai tata
tertib”

“Pasti, dokter menjelaskan mengenai informasi
tersebut kepada pasien dan ada Inform concent”
“saya kira pasien mengerti, dokter biasanya
menanyakan pendidikannya apa, kalau pasiennya
tidak mengerti mengenai apa yang dijelaskan maka
dokter akan berusaha menjelaskannya kembali
dengan bahasa yang bisa dimengerti”
“kondisi pasien harus dirahasiakan karena
merupakan kode etik”.
Iya, dikasi informasi namun biasanya sudah
ditempel ditiap sudut ruangan di rumah sakit








penyakit pasien
Pemberian informasi tata
tertib rumah sakit
kesehatan telah
dilakukan oleh
dokter/tenaga
kesehatan dan dapat
diterima oleh pasien
Pemberian Informasi
Medis
Penjelasan mengenai
kondisi penyakit pasien
Kerahasiaan medis
Pemberian informasi tata
tertib rumah sakit
Baik, Jaminan atas
informasi medis
dalam pelayanan
kesehatan telah
dilaksanakan oleh
dokter/tenaga
kesehatan
Pemberian informasi
medis
Pemberian inform
concent kepada pasien
Penjelasan kondisi
penyakit pasien
Kerahasiaan medis
sebagai kode etik dokter
Pemberian informasi tata
tertib rumah sakit
Baik, jaminan atas
informasi,
kerahasiaan dan
pencegahan penyakit
dilaksanakan
sepenuhnya oleh
dokter/tenaga
kesehatan pada saat
diberikan pelayanan
kesehatan
96
“Melati”
(Pasien)




“Iya , setelah mendiagnosis waktu itu dokter 
memberikan informasi mengenai penyakit apa yang
diderita”.

“saya kira dokter menjelaskan dengan bahasa
kedokteran yang rumit sedangkan kita adalah
orang awam yang sudah pasti tidak mengerti
mengenai apa yang dijelaskan oleh dokter
tersebut”.
“mengenai kerahasiaan saya tidak tau”
“saya membacanya dari tulisan atau banner yang
bertuliskan tata tertib rumah sakit”.
Pemberian
Informasi
Medis
Pemberian Informasi tata
tertib rumah sakit
Baik, namun belum
dilaksanakan
sepenuhnya karena
pasien masih tidak
mengerti dengan
informasi yang
diberikan dan tidak
mengetahui mengenai
kerahasiaan medis
97
Dilihat dari matriks tersebut dapat dijelaskan bahwa salah faktor yang paling
penting dan untuk melihat sejauh mana adanya perlindungan hukum di suatu
rumah sakit adalah terpenuhinya hak-hak pasien yang salah satunya adalah hak
untuk mendapatkan informasi.
Hak atas informasi ini terproses secara evolusi, sejalan dengan perkembangan
dari hak asasi manusia. Inti dari hak atas informasi ini adalah hak pasien untuk
mendapatkan informasi dari dokter, tentang hal-hal yang berhubungan dengan
kesehatannya, dalam hal terjadi hubungan dokter dan pasien, adalah tindakan
yang baik bila dokter mginformasikan kepada pasien tentang kesehatannya.
Menurut JF.Rang dalam bukunya Hermien Hadiati Koeswadji hak informasi
merupakan hak pasien, ia memberikan perumusan terhadap hak pasien tersebut
sebagai berikut 78:
“ Bagian hukum kesehatan yang khusus mengatur tentang hak dan kewajiban
manusia yang bersangkutan dengan penerimaan perawatan kesehatan karena
ia sakit atau mencegah agar ia tidak menjadi sakit”
Dilihat dari Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2009 Tentang Kesehatan Pasal
56 ayat 1 yang berbunyi :
“Setiap orang berhak menerima atau menolak sebagian atau seluruh tindakan
pertolongan yang akan diberikan kepadanya setelah menerima dan
memahami informasi mengenai tindakan tersebut secara lengkap”.
Sebagai hasil dari wawancara kepada dokter, perawat dan pejabat rumah sakit
hampir semuanya menyebutkan bahwa mereka telah memberikan informasi yang
78
Hermien Hadiati Koeswadji, 1998, Hukum dan Masalah Medik, Erlangga University Press,
Surabaya, hal. 59.
98
dibutuhkan oleh pasien, salah satunya ketika peneliti mewawancarai seorang
dokter sebut saja dokter “U” yang menyebutkan bahwa79:
“kami memberikan informasi mengenai penyakit yang diderita oleh pasien
seperti diagnosis, tata cara tindakan medis, tujuan tindakan medis alternatif
tindakan, resiko dan komplikasi yang mungkin terjadi”.
Peneliti juga tidak hanya menanyakan hal tersebut kepada dokter atau tenaga
kesehatan yang berada di rumah sakit, namun juga kepada pasien atau keluarga
pasien mengenai informasi tersebut, apakah memang tenaga kesehatan yang
memberikan pelayanan kesehatan telah memberikan informasi yang diperlukan
oleh pasien, dan dari hasil wawancara kepada pasien tersebut memang semuanya
menyatakan bahwa pasien telah mendapatkan informasi yang dibutuhkan, seperti
wawancara yang dilakukan kepada keluarga pasien sebut saja namanya “Melati”
yang menyebutkan bahwa 80:
“Iya, setelah mendiagnosis waktu itu dokter memberikan informasi mengenai
penyakit apa yang diderita”.
Setelah menanyakan mengenai informasi yang diberikan tentunya, informasi
yang diberikan tersebut harus dapat dimengerti oleh pasien, disini pasien sebagai
konsumen kesehatan dapat dilihat dari Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen Pasal 4 huruf c yang berbunyi :
“hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan
barang dan/atau jasa”.
Dilihat dari undang-undang perlindungan konsumen maka sudah jelas bahwa
informasi yang diberikan haruslah benar jelas dan jujur, dalam hal ini informasi
79
80
Wawancara dengan dokter U : tanggal 1September 2012
Wawancara dengan keluarga pasien 27 Agustus 2012
99
yang diberikan oleh dokter atau tenaga kesehatan yang ada dirumah sakit harus
dapat dimengerti oleh pasien, dan dari hasil wawancara kepada pejabat rumah
sakit sebut saja namanya “V” menyebutkan bahwa 81:
“ saya rasa pasien dapat mengerti mengenai apa yang saya jelaskan karena
memakai bahasa yang dapat dimengerti oleh pasien”
Dari wawancara yang dilakukan kepada pejabat rumah sakit tersebut maka
harus menanyakan hal tersebut kepada pasien sebagai orang yang diberikan
pelayanan kesehatan dan dari hasil wawancara kepada pasien, hampir semua
pasien kurang bahkan tidak mengerti dengan apa yang dikatakan oleh dokter atau
tenaga kesehatan karena menurut pasien informasi yang diberikan memakai
bahasa kedokteran yang susah untuk dimengerti oleh pasien, seperti wawancara
yang dilakukan kepada salah seorang pasien yang yang bernama “Melati”
menyebutkan bahwa :
“saya kira dokter menjelaskan dengan bahasa kedokteran yang rumit
sedangkan kita adalah orang awam yang sudah pasti tidak mengerti mengenai
apa yang dijelaskan oleh dokter tersebut”.
Dari hasil temuan peneliti hal tersebut memang sangat wajar terjadi walaupun
informasi telah diberikan kepada pasien namun belum tentu pasien mengerti
dengan apa yang dijelaskan oleh dokter dan menurut pendapat peneliti sebaiknya
memang dokter memberikan penjelasan secara jelas dengan hanya menyebutkan
intinya saja dengan memakai bahasa sehari-hari atau yang dapat dimengerti oleh
pasien, jika pasien masih belum mengerti maka dokter lebih baik memanggil
keluarga dari pasien tersebut dan menjelaskan kepada keluarga pasien yang
sekiranya dapat menangkap informasi dari dokter dengan baik.
81
Wawancara dengan pejabat rumah sakit “V” : tanggal 1 Agustus 2012.
100
Dari informasi mengenai penyakit pasien tentunya penyakit pasien harus
diterangkan kepada pasien atau keluarganya dengan baik namun tidak sembarang
orang dapat mengetahui penyakit dari pasien tersebut dan dokter harus
merahasiakan informasi mengenai penyakit pasien tersebut kepada orang lain,
keterangan yang diperoleh dokter dalam melaksanakan profesinya, dikenal dengan
nama “rahasia kedokteran”. Dokter berkewajiban untuk merahasiakan keterangan
tentang pasien, penyakit pasien dan kewajiban dokter ini merupakan hak pasien.
Menurut Soedjono Soekanto rumusan rahasia medis seperti yang tercantum
dalam beberapa literatur medis yaitu 82:
“segala sesuatu yang disampaikan oleh pasien (secara sadar dan tidak sadar)
kepada dokter dan segala sesuatu yang diketahui oleh dokter sewaktu
mengobati dan merawat pasien”
Hal ini tercantum di dalam Undang-Undang No. 44 Tahun 2009 tentang
Rumah Sakit, Pasal 32 huruf i yaitu pasien berhak :
“mendapatkan privasi dan kerahasiaan penyakit yang diderita termasuk datadata medisnya”.
Dari wawancara kepada tenaga kesehatan di rumah sakit hampir semua
mengatakan bahwa mereka diharuskan untuk merahasiakan penyakit pasien
kepada orang lain. Seperti keterangan dari wawancara yang dilakukan kepada
pejabat rumah sakit sebut saja namanya “U” yang mengatakan bahwa :
“mengenai kerahasiaan penyakit pasien saya rasa itu merupakan suatu keharusan
dan hal tersebut berkaitan dengan kode etik yang dimiliki oleh seorang dokter”.
82
Soedjono Soekanto, 1987, Pengantar Hukum Kesehatan, Remaja Karya, Bandung, hal. 5.
101
Setelah mendengar keterangan dari tenaga kesehatan kemudian peneliti juga
menanyakannya kepada pasien mengenai kerahasiaan penyakitnya, namun dari
semua keterangan pasien semuanya tidak tau mengenai apakah dokter
merahasiakan penyakitnya atau tidak, semua pasien yang menjadi informan
mengatakan :
“mengenai kerahasiaan saya tidak tau”
Dari temuan peneliti hal tersebut terdengar sangat aneh karena pasien tidak
mengetahui bahwa penyakitnya harus dirahasiakan kepada orang lain oleh dokter
yang memeriksanya, informasi yang diberikan kepada pasien tidak boleh dokter
beritahukan kepada orang lain tanpa izin dari pasien tapi karena pasien tidak
mengetahui mengenai hal ini maka kerahasaiaan mengenai penyakit pasien ini
menjadi pertanyaan, apakah dokter telah benar-benar menjaga kerahasiaan atas
informasi penyakit pasien sebagai kode etik dari seorang dokter atau tidak, karena
pasien tidak mengatakan agar dokter menjaga kerahasiaan penyakitnya.
Berkaitan dengan informasi pasien juga diharuskan untuk mengetahui tata
tertib yang ada dirumah sakit sebagaimana yang tercantum di dalam Undangundang Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit yaitu pasian berhak :
“ memperoleh informasi mengenai tata tertib dan peraturan yang berlaku di
rumah sakit”
Hal tersebut juga ditanyakan kepada tenaga kesehatan yang ada di rumah
sakit dan dari wawancara kepada pejabat rumah sakit sebut saja namanya “V”
yang mengatakan bahwa :
“Mengenai informasi tata tertib hal tersebut sudah tercantum secara jelas di
setiap sudut rumah sakit yaitu dengan adanya papan informasi bagi siapa saja
yang datang ke rumah sakit dan dapat dibaca oleh para pengunjung rumah sakit
102
misalnya mengenai ketentuan anak yang masih dibawah umur tidak boleh
masuk ke ruangan pasien atau mengenai jam besuk pasien selain itu juga jika
ada keluarga pasien yang menginap akan ada surat izin untuk menginap dan hal
tersebut akan diinformasikan kepada keluarga pasien”.
Kemudian dari wawancara kepada pasien penelliti memastikan hal tersebut
kepada pasien dan memang semua mengatakan hal yang sama yaitu:
“saya mengetahuinya dari papan mengenai tata tertib di rumah sakit ini”
Dari temuan peneliti mengenai tata tertib atau peraturan rumah sakit memang
sudah ada atau disediakan oleh pihak rumah sakit dengan menempelkannya ditiap
sudut rumah sakit atau bisa disebut dengan papan informasi, dan menurut
penilaian peneliti hal tersebut sudah cukup memberikan informasi kepada pasien
mengenai tata tertib rumah sakit, namun alangkah baiknya agar peraturan atau tata
tertib tersebut dapat dijelaskan kembali kepada pasien yang dirawat walaupun
hanya intinya saja, hal ini untuk menghindari adanya kesalahpahaman dari pasien
dan tenaga kesehatan, agar pasien mengerti bahwa tata tertib tersebut harus
dipenuhi dan tidak menyinggung pasien dan pasien tidak merasa haknya
terganggu.
Sebagaimana yang diatur didalam Undang-undang Perlindungan Konsumen
pada Pasal 4 huruf c yang berbunyi konsumen memiliki :
“hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan
barang dan/atau jasa”
Dari hak atas informasi dokter atau tenaga kesehatan dituntut untuk
memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur. Pada pelaksanaannya
pemberian informasi yang benar, jelas dan jujur itu memang sulit untuk
dilaksanakan, walaupun pada kenyataannya dokter atau tenaga kesehatan merasa
103
telah melakukan hal tersebut, namun belum tentu hal tersebut telah dirasakan oleh
pasien, karena apa yang menurut dokter atau tenaga kesehatan telah cukup tidak
berarti cukup juga untuk pasien.
Secara Keseluruhan pelayanan kesehatan pasien yang berkaitan dengan hak
pasien untuk mendapatkan informasi yang benar, jelas dan jujur dalam pelayanan
kesehatan sudah baik dan dapat dilaksanakan secara sepenuhnya hal tersebut
dapat dibuktikan dengan keterangan dari dokter sebagai informan kunci serta
tenaga kesehatan yang lain yang telah melaksanakan tugasnya dengan baik serta
pasien yang menyatakan bahwa dokter/ tenaga kesehatan pada saat memberikan
pelayanan kesehatan telah memberikan informasi yang dibutuhkan oleh pasien.
Berdasarkan temuan peneliti dari hasil wawancara kepada pasien,
dokter/tenaga kesehatan serta pejabat rumah sakit ada terdapat informasi yang
berkaitan dengan kerahasiaan medis, pencegahan penyakit menular serta kode etik
sebagai seorang dokter namun yang paling dominan disini memang mengenai
informasi medis, dan hal ini juga menunjukan bahwa jaminan pasien untuk
mendapatkan informasi atas pelayanan kesehatan telah dilaksanakan dengan
implikasi baik dan dapat dapat diterima oleh pasien.
104
Matriks 2 : Jaminan Atas Keamanan, Kenyamanan dan Keselamatan Atas Pelayanan Kesehatan
NAMA
SUBSTANSI JAWABAN SUBYEK PENELITIAN
MAKNA TEMA
INFORMAN
“U”
 “Iya, pasien diberikan jaminan keamanan,  Pemberian jaminan
(Dokter)
keselamatan dan kenyamanan selama dirawat
keamanan, kenyamanan
dirumah sakit.”
dan keselamatan di rumah
sakit
IMPLIKASI
Baik, jaminan
keamanan,kenyamanan
dan keselamatan
dilaksanakan
sepenuhnya oleh pihak
rumah sakit.
“V”
(Pejabat
Rumah
Sakit)

“saya rasa iya, karena disini ada satpam yang  Pemberian jaminan
selalu menjaga 24 jam, dan mengenai
keamanan, kenyamanan
keselamatan dan kenyamanan tentu saja ada
dan keselamatan di rumah
yaitu dengan adanya pemisahan ruangan sesuai
sakit
dengan penyakit pasien dan kepada pasien yang
mempunyai penyakit menular akan dipisahkan  Pencegahan penularan
ruangannya.”
penyakit
Baik, jaminan
keamanan,kenyamanan
dan keselamatan
dilaksanakan
sepenuhnya oleh pihak
rumah sakit.
“Bunga”
(Pasien)

“Iya, saya disini merasa aman dan nyaman.”
 Pemberian jaminan
keamanan, kenyamanan
dan keselamatan di rumah
sakit
Baik, jaminan
keamanan,kenyamanan
dilaksanakan
sepenuhnya oleh pihak
rumah sakit dan dapat
diterima oleh pasien
105
“W”
(Dokter)

“Iya, mengenai keamanan, kenyamanan dan 
keselamatan kita sudah ada SOP-SOP khusus
sesuai dengan standarnya.”

Pemberian Jaminan
Keamanan,Kenyamanan
dan Keselamatan
Penerapan Standar
Operasional Prosedur
Baik, jaminana
keamanan,kenyamanan
dan keselamatan
dilaksanakan
sepenuhnya sebagai
standar prosedur
rumah sakit (SOP)
“X”
(Perawat)

Iya, hal tersebut juga berkaitan dengan standar  Pemberian Jaminan
operasional rumah sakit yang mengharuskan
Keamanan,Kenyamanan
adanya jaminan keamanan, keselamatan dan
dan Keselamatan
kenyamanan selama di rawat di rumah sakit.”
 Penerapan Standar
Operasional Prosedur
Baik, jaminana
keamanan,kenyamanan
dan keselamatan
dilaksanakan
sepenuhnya sebagai
standar prosedur
rumah sakit (SOP)
“Bisma”
(Pasien)

“Saya kira dalam hal ini saya merasa aman dan  Pemberian jaminan
nyaman”
keamanan, kenyamanan
dan keselamatan di
rumah sakit
Baik, jaminan
keamanan,kenyamanan
dilaksanakan
sepenuhnya oleh pihak
rumah sakit dan dapat
diterima oleh pasien
106
“Y”
(Dokter)

“Iya, pasien diberikan jaminan keamanan, 
keselamatan dan kenyamanan selama dirawat di
rumah sakit”
Pemberian Jaminan
Keamanan,Kenyamanan
dan Keselamatan
Baik, jaminan
keamanan,kenyamanan
dan keselamatan
dilaksanakan
sepenuhnya oleh pihak
rumah sakit.
“Z”
(Perawat)

“saya rasa iya, misalnya untuk kenyamanan dari 
pasien orang yang menjenguk pasien dibatasi,
untuk keamanannya ada satpam yang
mengawasi, dan untuk keselamatannya ada
ruang isolasi pada pasien yang mempunyai 
penyakit menular, supaya tidak menularkan
penyakitnya kepada pasien lain.”

Pemberian Jaminan
Keamanan,Kenyamanan
dan Keselamatan
Baik, jaminan
keamanan,kenyamanan
dan keselamatan
dilaksanakan
sepenuhnya, dengan
ditaatinya tata tertib
rumah sakit serta
pencegahan penularan
penyakit kepada
pasien.
“Melati”
(Pasien)

Penerapan tata tertib
rumah sakit
Pencegahan penularan
penyakit kepada pasien
“Saya kira iya, saya cukup aman, nyaman  Pemberian jaminan
walaupun belum sepenuhnya”.
keamanan, kenyamanan
dan keselamatan di
rumah sakit
Baik,jaminan
keamanan,kenyamanan
dilaksanakan
sepenuhnya oleh pihak
rumah sakit dan dapat
diterima oleh pasien
107
Berdasarkan
Matriks
tersebut
dapat
dijelaskan
bahwa
Keamanan,
Kenyamanan dan Keselamatan Atas Pelayanan Kesehatan merupakan hak dari
pasien yang harus dipenuhi oleh dokter atau tenaga kesehatan dan yang paling
berperan tentu saja dari pihak rumah sakit karena rumah sakit harus memberikan
jaminan keamanan, kenyamanan, dan keselamatan pada saat memberikan
pelayanan kesehatan dan pada saat pasien dirawat di rumah sakit.
Dalam kegiatan pelayanan medis yang dilakukan rumah sakit tentunya
terdapat kaidah-kaidah atau aturan-aturan yang mengatur, terutama menyangkut
tanggung jawab, baik menajemen rumah sakit maupun tenaga personalia, dokter,
tenaga perawat, dan hal lain yang berkaitan dengan pelayanan kesehatan yang
dilakukan oleh rumah sakit. Kaidah-kaidah atau aturan-aturan tersebutlah yang
dimaksud dengan hukum rumah sakit. Berkaitan dengan keamanan, kenyamanan
dan keselamatan tentunya ini merupakan kewajiban dari rumah sakit ketika
memberikan perawatan atau pelayanan kesehatan terhadap pasien.
Menurut J. Guwandi merumuskan bahwa 83:
“Kesemua kaidah-kaidah hukum yang mengatur tentang perumasakitan dan
pemberian pelayanan kesehatan di dalam rumah sakit oleh tenaga kesehatan
serta akibat-akibat hukumnya”
Hal ini juga tercantum didalam Undang-undang Perlindungan Konsumen
pada Pasal 4 huruf a yaitu konsumen memiliki :
“Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi
barang dan/atau jasa”
Sejalan dengan hal tersebut didalam Undang-undang Undang-Undang No. 44
Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, pada Pasal 32 huruf n yaitu pasien berhak :
83
J. Guwandi, 1991, Hukum dan Rumah Sakit, FK UI, Jakarta, hal. 12.
108
“memperoleh keamanan dan keselamatan dirinya selama dalam perawatan
di rumah sakit”
Dari hal tersebut sudah jelas bahwa keamanan, kenyamanan dan keselamatan
pasien sangat penting. Dari hasil wawancara kepada tenaga kesehatan di rumah
sakit semua informan yang diwawancarai mengatakan bahwa pasien diberikan
jaminan atas keamanan, kenyamanan dan keselamatan, seperti hasil wawancara
kepada salah satu perawat sebut saja namanya “Z” mengatakan bahwa 84:
“saya rasa iya, misalnya untuk kenyamanan dari pasien orang yang
menjenguk pasien dibatasi, untuk keamanannya ada satpam yang
mengawasi, dan untuk keselamatannya ada ruang isolasi pada pasien yang
mempunyai penyakit menular supaya tidak menularkan penyakitnya kepada
pasien lain.”
Sesuai dengan yang dikatakan oleh perawat tersebut, pasien juga mengatakan
hal yang sama, semua pasien yang menjadi informan juga mengatakan bahwa
mereka cukup aman dan nyaman selama dirawat di rumah sakit seperti pernyataan
yang dikatakan oleh salah seorang pasien sebut saja namanya “Bisma” yang
mengatakan bahwa 85:
“Saya kira dalam hal ini saya merasa aman dan nyaman”
Dari hasil temuan peneliti, rumah sakit memang telah memberikan jaminan
keamanan, kenyamanan dan keselamatan yang baik kepada pasiennya karena itu
merupakan kewajiban dari rumah sakit dan merupakan standar operasional
prosedur (SOP) yang harus dilaksanakan sebagai pedoman rumah sakit dalam
melaksanakan pelayanan kesehatan kepada pasiennya. Dalam hal ini rumah sakit
telah melaksanakan standar operasional prosedur tersebut dengan baik.
84
85
Wawancara dengan perawat Z : tanggal 27 Agustus 2012.
Wawancara dengan keluarga pasien Bima : tanggal 11 Agustus 2012
109
Secara keseluruhan pemberian jaminan keamanan, kenyamanan dan
keselamatan terhadap pasien selama mendapatkan pelayanan kesehatan sudah
dilaksanakan dengan implikasi baik dan dapat diterima oleh pasien, hal ini dapat
dibuktikan dari keterangan dokter/tenaga kesehatan serta rumah sakit yang
menyatakan bahwa pemberian keamanan, kenyamanan dan keselamatan kepada
pasien sudah dilakukan seperti adanya petugas keamanan yang disediakan pihak
rumah sakit untuk menjaga keamanan pasien, serta untuk menjaga kenyamanan
dan keselamatan pasien pihak rumah sakit menyediakan ruangan khusus bagi
pasien yang mempunyai penyakit yang menular. Dari keterangan yang diberikan
oleh pasien selama pasien diberikan pelayanan kesehatan pasien merasa sudah
diberikan keamanan, kenyamanan dan keselamatan selama dirawat di rumah sakit.
110
Matriks 3 :Jaminan Persamaaan Hak Dalam Pelayanan Kesehatan
NAMA
SUBSTANSI JAWABAN SUBYEK PENELITIAN
INFORMAN
“U”
 “tindakan diskriminatif tidak boleh dilakukan 
(Dokter)
oleh tenaga kesehatan kepada pasien”.
“V”
(Pejabat
Rumah
Sakit)

“saya rasa tenaga kesehatan/rumah sakit sudah 
memperlakukan pasien dengan baik dan tidak
ada diskriminatif terhadap pelayanan yang
diberikan hanya saja jika mengenai fasilitas 
tentunya pasti berbeda disesuaikan dengan kelas
atau ruangan perawatan yang diinginkan atau
dipilih oleh pasien itu sendiri”.
MAKNA TEMA
IMPLIKASI
Pelayanan Kesehatan Non
Diskriminatif
Baik, penerapan
pelayanan kesehatan
non diskriminatif
dilaksanakan
sepenuhnya oleh
dokter/tenaga
kesehatan di rumah
sakit
Pelayanan Kesehatan Non
Diskriminatif
Baik, penerapan
pelayanan kesehatan
non diskriminatif
dilaksanakan
sepenuhnya oleh
dokter/tenaga
kesehatan di rumah
sakit
Kebebasan pasien
menentukan kelas
perawatan
111
“Bunga”
(Pasien)

“saya diperlakukan dengan baik disini dan tidak 
dibeda-bedakan baik oleh perawat ataupun oleh
dokter.”
Pelayanan Kesehatan Non
Diskriminatif
Baik, penerapan
pelayanan kesehatan
non diskriminatif
dilaksanakan
sepenuhnya oleh
dokter/tenaga
kesehatan dan dapat
diterima oleh pasien
“W”
(Dokter)

“kita merasa tidak ada tindakan yg diskriminatif 
kepada pasien.”
Pelayanan Kesehatan Non
Diskriminatif
Baik, penerapan
pelayanan kesehatan
non diskriminatif
dilaksanakan
sepenuhnya oleh
dokter/tenaga
kesehatan
“X”
(Perawat)

“mengenai hal tersebut tentunya yang merasakan 
pasien jadi mengenai hal tersebut saya kurang
tau.”
Pelayanan Kesehatan Non
Diskriminatif
Tidak Baik, karena
perawat tidak
mengetahui apakah
pelayanan kesehatan
yang diberikan non
diskriminatif atau
tidak
112
“Bisma”
(Pasien)

“saya kira tidak ada.”

Pelayanan Kesehatan Non
Diskriminatif
Baik, penerapan
pelayanan kesehatan
non diskriminatif
dilaksanakan
sepenuhnya oleh
dokter/tenaga
kesehatan dan dapat
diterima oleh pasien
“Y”
(Dokter)

“kita merasa tidak ada
diskriminatif kepada pasien”.
yang 
Pelayanan Kesehatan Non
Diskriminatif
Baik, penerapan
pelayanan kesehatan
non diskriminatif
dilaksanakan
sepenuhnya oleh
dokter/tenaga
kesehatan
“Z”
(Perawat)

“tidak, menurut saya pelayanan yang diberikan 
sama saja dan tidak ada tindakan yang
diskriminatif”.
Pelayanan Kesehatan Non
Diskriminatif
Baik, penerapan
pelayanan kesehatan
non diskriminatif
dilaksanakan
sepenuhnya oleh
dokter/tenaga
kesehatan
tindakan
113
“Melati”
(Pasien)

“iya, pas saya datang ke rumah sakit, saya 
merasa diperlakukan diskriminatif, mungkin
pihak rumah sakit memperkirakan saya berasal
dari keluarga yang tidak mampu tetapi setelah
saya membayar sejumlah uang barulah saya
bisa diperlakukan dengan baik dan saya merasa
dipersulit”.
Pelayanan kesehatan yang Tidak Baik, karena
pasien merasa
diskriminatif
diperlakukan
diskriminatif pada saat
akan diberikan
pelayanan kesehatan
oleh rumah sakit
114
Dari matriks tersebut dapat dijelaskan bahwa pasien harus diberikan
jaminan atas persamaan hak dalam pelayanan kesehatan yang diberikan oleh
rumah sakit sebagaimana yang diatur didalam Undang-undang No. 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen pada Pasal 4 huruf g konsumen memiliki :
“hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif”.
Undang-Undang No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, Pasal 32 huruf c
yaitu pasien berhak :
“memperoleh layanan yang manusiawi, adil, jujur, dan tanpa diskriminasi”
Sesuai dengan hal tersebut maka disini pasien harus diperlakukan sama atau
tidak diskriminatif, dari hasil wawancara kepada dokter atau tenaga kesehatan di
rumah sakit hampir semuanya menyatakan bahwa tidak ada tindakan diskriminatif
yang dilakukan oleh dokter atau tenaga kesehatan dan pihak rumah sakit kepada
pasien dan hal tersebut memang tidak diperbolehkan sebagaimana yang
dikemukakan oleh salah seorang dokter sebut saja namanya “U” yang
mengatakan:
“tindakan diskriminatif tidak boleh dilakukan oleh tenaga kesehatan kepada
pasien”.
Sebagaimana
yang
dikatakan
oleh
dokter
tersebut,
peneliti
juga
menanyakannya kepada pasien karena tentunya yang mengalami adalah pasien,
dari
informan yang diwawancarai tanggapannya berbeda-beda, ada yang
menyebutkan bahwa dia diperlakukan dengan baik, seperti yang dikatakan oleh
“Bunga” yang mengatakan bahwa86 :
86
Wawancara dengan keluarga pasien Bunga : tanggal 1 Agustus 2012
115
“saya diperlakukan dengan baik disini dan tidak dibeda-bedakan baik oleh
perawat ataupun oleh dokter”.
Namun ada juga pasien yang mengatakan sebaliknya seperti yang dikatakan
oleh pasien sebut saja namnya “Melati” yang mengatakan bahwa :
“iya, pas saya datang ke rumah sakit, saya merasa diperlakukan diskriminatif,
mungkin pihak rumah sakit memperkirakan saya berasal dari keluarga yang
tidak mampu tetapi setelah saya membayar sejumlah uang barulah saya bisa
diperlakukan dengan baik dan saya merasa dipersulit”.
Dari keterangan yang diberikan oleh kedua pasien tersebut memang bertolak
belakang satu sama lain, begitu pula dengan yang dikatakan oleh dokter, dan
dengan adanya keterangan pasien yang mengatakan dia pernah dilakukan
diskriminatif ketika datang ke rumah sakit, hal tersebut menimbulkan suatu
pertanyaan, apakah memang benar tindakan diskriminatif tersebut telah terjadi.
Berdasarkan temuan peneliti, tindakan diskriminatif bisa saja terjadi kepada
pasien, seperti yang telah dijelaskan bahwa yang merasakan adalah pasien sendiri,
hal tersebut seperti yang dikatakan oleh salah seorang perawat sebut saja namanya
“X” yang mengatakan bahwa 87:
“mengenai hal tersebut tentunya yang merasakan pasien jadi mengenai hal
tersebut saya kurang tau.”
Sebagaimana keterangan yang diberikan perawat tersebut, memang benar
bahwa perlakuan diskriminatif telah dilakukan atau tidak yang merasakan
hanyalah pasien dan perlakuan diskriminatif seharusnya tidak dilakukan kepada
pasien apalagi tindakan tersebut dilakukan berdasarkan latar belakang ekonomi
dari pasien atau bahkan dilihat dari penampilannya, untuk itu pihak rumah sakit
harus mencoba untuk bertindak netral atau memperlakukan semua pasiennya
87
Wawancara dengan perawat X : tanggal 11 Agustus 2012
116
sama. Walapun ada salah satu pasien yang menyebutkan bahwa dia telah
mendapatkan perlakuan diskriminatif, namun belum tentu menunjukkan rumah
sakit selalu membeda-bedakan pasien satu sama lain karena dari hasil wawancara
kepada pasien lainnya menunjukkan bahwa pasien diperlakukan baik oleh rumah
sakit, merupakan suatu hal yang wajar apabila ada pasien merasa tidak puas
dengan pelayanan kesehatan yang diberikan dan merasa dibedakan dari pasien
yang lain dan dianggap sebagai tindakan yang diskriminatif.
Secara keseluruhan jaminan atas persamaan hak dalam pelayanan kesehatan
telah dilaksanakan oleh dokter/tenaga kesehatan serta rumah sakit dengan
implikasi baik, hal ini dapat dibuktikan dengan pelaksanaan pelayanan kesehatan
yang dilakukan oleh dokter/tenaga kesehatan yang bersikap sama kepada pasien
dalam memberikan pelayanan kesehatan atau tidak membeda bedakan pasien baik
pasien yang umum ataupun pasien yang menggunakan jamkesmas.
117
Matriks 4 : Jaminan Atas Kebebasan Memilih Atas Pelayanan Kesehatan
NAMA
SUBSTANSI JAWABAN INFORMAN PENELITIAN
INFORMAN
“U”
 “jadi setelah pemeriksaan tergantung kepada 
(Dokter)
pasien, mengenai penolakan mungkin hal tersebut
berkaitan dengan berbagai alasan seperti ekonomi
atau adanya ketidak sepahaman dengan dokter 
yang merawatnya..”.
 “itu hak sepenuhnya dari pasien, dia boleh memilih
tenaga kesehatan dan kelas perawatan kecuali
peserta jamkesmas karena sebagian haknya hilang
karena peserta jamkesmas adalah pasien yang 
ditanggung oleh pemerintah jadi pasien tersebut
sudah ditetapkan mengenai kelas perawatannya dan
tidak boleh memilih tenaga kesehatan yang
diinginkannya”.
 “pasien diminta persetujuannya untuk diberikan
pelayanan kesehatan”
“V”
(Pejabatan
Rumah
Sakit)


Pernah, biasanya pasien menolak atas dasar 
ketidakmampuan biaya, maka biasanya dokter juga
tidak dapat melarang atau mengharuskan pasien
untuk menggunakan pengobatan yang akan 
diberikan oleh dokter karena itu merupakan hak
dari pasien sendiri.
“mengenai kelas perawatan pasien diperbolehkan
MAKNA TEMA
Penentuan pengobatan
oleh pasien
Hak pasien untuk
memilih tenaga
kesehatan dan kelas
perawatan
Permintaan
persetujuan perawatan
dari pasien
Penentuan pengobatan
oleh pasien
Hak pasien untuk
memilih tenaga
kesehatan dan kelas
IMPLIKASI
Baik, pelayanan
kesehatan yang
diberikan disesuaikan
dengan keinginan
pasien dan pasien
diperbolehkan untuk
menentukan, memilih
dan menyetujui
pengobatan yang
diberikan
Baik, pelayanan
kesehatan yang
diberikan disesuaikan
dengan keinginan
pasien dan pasien
diperbolehkan untuk
menentukan, memilih
dan menyetujui
118

“Bunga”
(Pasien)
merupakan
peserta
jamkesmas



untuk memilih dan untuk dokter, hal tersebut
tergantung dari kelas perawatan yang dipilih oleh
pasien, kalau kelas perawatan utama dan VIP 
pasien boleh memilih namun di kelas perawatan III
hal tersebut disesuaikan dengan pemegang atau
dokter yang merawat dikelas III tersebut”
“pasien diminta persetujuannya untuk dirawat”.
perawatan
“Tidak, saya mengikuti apa yang dikatakan oleh 
dokter saja”.
“hal tersebut diserahkan sepenuhnya kepada rumah
sakit”.

“waktu saya datang ke rumah sakit, saya diminta
persetujuan dahulu oleh rumah sakit.”
Pengobatan ditentukan
oleh dokter

Permintaan
persetujuan perawatan
dari pasien
pengobatan yang
diberikan
Permintaan
persetujuan perawatan
dari pasien
Tenaga kesehatan dan
kelas perawatan
ditentukan oleh rumah
sakit
Baik, walaupun
semuanya ditentukan
oleh pihak rumah
sakit, hal tersebut
dikarenakan keadaan
pasien yang
merupakan peserta
jamkesmas yang
sebagian haknya
hilang karena
penentuan fasilitas
sesuai dengan
peraturan pemerintah
dan hal tersebut dapat
diterima oleh pasien
119
“W”
(Dokter)



“X”
(Perawat)



“bisa saja, tidak apa2 itu disesuaikan dengan 
permintaaan pasien”.
“boleh, kecuali peserta jamkesmas”.

“diharuskan untuk diminta persetujuannya”.
Penentuan pengobatan
oleh pasien

Permintaan
persetujuan perawatan
dari pasien

Penentuan pengobatan
oleh pasien

Kelas perawatan
ditentukan oleh pasien

Pemilihan dokter
berdasarkan rujukan

Permintaan
persetujuan perawatan
dari pasien
“pernah, dan tentu saja dokter pasti mengikuti apa
yang menjadi keinginan dari pasien misalnya jika
pasien kena patah tulang dan selanjutnya akan
mengobatinya di alternative maka dokter tidak
dapat menghalanginya dan hal tersebut diserahkan
kepada keluarga pasien juga”.
“iya, kami hanya sebatas memberikan pelayanan
kepada pasien dan yang memutuskan adalah pasien
untuk perawatan yang selanjutnya dan mengenai
pemilihan dokter biasanya dengan rujukan dari
perawatan yang diterima pasien sebelumnya”.
“pasien pasti diminta persetujuannya”
Pemilihan tenaga
kesehatan dan kelas
perawatan bagi peserta
Jamkesmas ditentukan
oleh rumah sakit
Baik, pelayanan
kesehatan yang
diberikan disesuaikan
dengan keinginan
pasien dan pasien
diperbolehkan untuk
menentukan, memilih
dan menyetujui
pengobatan yang
diberikan
Baik, pelayanan
kesehatan yang
diberikan disesuaikan
dengan keinginan
pasien dan pasien
diperbolehkan untuk
menentukan, memilih
dan menyetujui
pengobatan yang
diberikan
120
“Bisma”
(Pasien)



“Y”
(Dokter)




Penentuan pengobatan
oleh pasien

Kelas perawatan
ditentukan oleh pasien

Pemilihan dokter
berdasarkan rujukan

Permintaan
persetujuan perawatan
dari pasien
“Jadi tergantung penyakit yang diderita pasien dan 
jika pasien menolak hal tersebut tergantung kepada
pasien saja dan dokter juga dapat menerimanya”.
“iya boleh, itu merupakan hak dari pasien, kecuali 
pasien jamkesmas,
“pasien diminta persetujuannya untuk diberikan
pelayanan kesehatan”.
Penentuan pengobatan
oleh pasien

Permintaan
persetujuan perawatan
dari pasien
“Sejauh ini saya percaya sepenuhnya kepada dokter
dengan pengobatan yang diberikannya namun
apabila tidak ada reaksi maka akan ada tindakan
alternatif lain dan saya rasa dokter akan
mengijinkannya”.
“tidak, saya rasa untuk memilih dokter itu
ditentukan oleh pihak rumah sakitnya kalau kelas
perawatan kita diperbolehkan untuk memilih,
“mengenai persetujuan saya diminta persetujuan
perawatan oleh rumah sakit”
Pemilihan tenaga
kesehatan dan kelas
perawatan bagi peserta
Jamkesmas ditentukan
oleh rumah sakit
Baik, pelayanan
kesehatan yang
diberikan disesuaikan
dengan keinginan
pasien dan pasien
diperbolehkan untuk
menentukan, memilih
dan menyetujui
pengobatan yang
diberikan dan dapat
diterima oleh pasien
Baik, pelayanan
kesehatan yang
diberikan disesuaikan
dengan keinginan
pasien dan pasien
diperbolehkan untuk
menentukan, memilih
dan menyetujui
pengobatan yang
diberikan
121
“Z”
(Perawat)



“Melati”
(Pasien)

selama saya disini pasien biasanya mengikuti apa 
yang dianjurkan oleh rumah sakit mengenai
pengobatan yang harus dijalani, jika ada yang
menolakpun itu tidak masalah, dan dokter pasti 
mengijinkannya.
“mengenai kelas perawatan pasien diperbolehkan
untuk memilih dan untuk dokter, saya kira jika ada
rekomendasi maka bisa dipilih namun apabila tidak
rekomendasi, rumah sakit telah menyediakannya”

mengenai persetujuan pasien, itu diharuskan oleh
pihak rumah sakit”.
Penentuan pengobatan
oleh pasien

Penentuan pengobatan
oleh pasien

Kelas perawatan
ditentukan oleh pasien

Pemilihan dokter
berdasarkan rujukan

Permintaan
persetujuan perawatan
dari pasien
Tidak, menurut saya dokter bisa saja menerima
untuk tidak melakukan pengobatan yang
diinginkannya karena itu semua merupakan hak
dari pasien jadi semuanya saya kira akan
diserahkan sepenuhnya kepada pasien, dan saya
kira mungkin dokter juga akan menrimanya.
 “tidak, saya rasa untuk memilih dokter itu
ditentukan oleh pihak rumah sakitnya kalau kelas
perawatan kita diperbolehkan untuk memilih.
 mengenai persetujuan saya diminta persetujuannya
oleh pihak rumah sakit”.
Hak pasien untuk
memilih tenaga
kesehatan dan kelas
perawatan
Permintaan
persetujuan perawatan
dari pasien
Baik, pelayanan
kesehatan yang
diberikan disesuaikan
dengan keinginan
pasien dan pasien
diperbolehkan untuk
menentukan, memilih
dan menyetujui
pengobatan yang
diberikan
Baik, pelayanan
kesehatan yang
diberikan disesuaikan
dengan keinginan
pasien dan pasien
diperbolehkan untuk
menentukan, memilih
dan menyetujui
pengobatan yang
diberikan dan dapat
diterima oleh pasien
122
Berdasarkan Matriks tersebut dapat dijelaskan bahwa Kebebasan Memilih
Atas Pelayanan Kesehatan merupakan hak dari pasien, ada 3 (tiga) hal yang
menjadi pokok memilih atas pelayanan kesehatan yaitu menolak atau menerima
pelayanan kesehatan atau pengobatan yang direkomendasikan oleh dokter,
memilih dokter dan kelas perawatan serta mendapatkan persetujuan pada saat
diberikan pelayanan kesehatan.
Walaupun pada dasarnya setiap dokter dianggap memiliki kemampuan yang
sama untuk melakukan tindak medis dalam bidangnya, pasien tetap berhak
memilih dokter atau rumah sakit yang dikehendakinya. Hak ini dapat
dilaksanakan oleh pasien, tentu saja dengan berbagai konsekuensi yang harus
ditanggungnya misalnya masalah biaya.
Sebagaimana yang terdapat pada Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2009
Tentang Kesehatan Pasal 56 angka (1) yang berbunyi :
“Setiap orang berhak menerima atau menolak sebagian atau seluruh tindakan
pertolongan yang akan diberikan kepadanya setelah menerima dan memahami
informasi mengenai tindakan tersebut secara lengkap”.
Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran Pasal 52
huruf d pasien berhak:
“menolak tindakan medis”
Undang-Undang No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit Pasal 32 huruf g dan k
yaitu:
“g) memilih dokter dan kelas perawatan sesuai dengan keinginannya dan
peraturan yang berlaku di Rumah Sakit
k) memberikan persetujuan atau menolak atas tindakan yang akan dilakukan
oleh tenaga kesehatan terhadap penyakit yang dideritanya”.
123
Kebebasan memilih atas pelayanan kesehatan ini berkaitan dengan hak untuk
menentukan nasib sendiri. Hak untuk menentukan nasib sendiri lebih dekat artinya
dengan yang dimaksudkan dengan hak pribadi yaitu hak atas keamanan yang
menyngkut mengenai hidup, bagian tubuh, kesehatan, kehormatan serta hak atas
kebebasn pribadi.
Hak-hak ini menurut John Locke tidak dapat diganggu gugat. Teori ini
kemudian menjadi dasar pikiran United Nations Universal Declaration of Human
Right. Setiap manusia berhak untuk dihargai, diakui, dihormati sebagai manusia
dan diperlakukan secara manusiawi, sesuai dengan harkat dan martabatnya
sebagai makhluk Tuhan. maka dari itu, seorang pasienpun sebagai manusia berhak
dan harus diperlakukan sebagaimana mestinya. Asas dan dasar pemikiran yang
telah diletakan dalam deklarasi ini, kemudian diikuti oleh negara-negara di dunia
melalui konstitusi masing-masing dan dalam hukum positifnya.88
Begitupula dengan persetujuan tindakan medis (atau yang lebih dikenal
dengan informed consent) merupakan hal yang sangat prinsip dalam profesi
kedokteran jika ditinjau dari sudut hukum perdata ataupun pidana. Mengenai
sayarat izin dari pasien dalam bukunya Joseph H.King JR dalam bukunya Endang
Kusuma Astuti menyebutkan bahwa89:
1.
Pasien sungguh-sungguh berkeinginan menjalani prosedur medis yang
dibicarakan.
88
89
Op, cit, Endang Kusuma astuti, hal. 168-169.
Ibid, hal. 185-286.
124
2. Terlepas dari keinginan dan keengganannya yang sebenarnya, pasien lewat
sikapnya telah menunjukkan izin yang cukup bahwa hukum akan mendapati
izin yang sah.
Dari ketiga Undang-undang dan teori yang dikemukakan oleh para ahli tersebut
jelas disebutkan bahwa pasien memang berhak untuk menolah, memilih dan
menyetujui pengobatan yang diberikan kepadanya, seperti hasil wawancara
kepada dokter “U” yang menyebutkan bahwa:



“jadi setelah pemeriksaan tergantung kepada pasien, mengenai penolakan
mungkin hal tersebut berkaitan dengan berbagai alasan seperti ekonomi atau
adanya ketidak sepahaman dengan dokter yang merawatnya..”.
“itu hak sepenuhnya dari pasien, dia boleh memilih tenaga kesehatan dan
kelas perawatan kecuali peserta jamkesmas karena sebagian haknya hilang
karena peserta jamkesmas adalah pasien yang ditanggung oleh pemerintah
jadi pasien tersebut sudah ditetapkan mengenai kelas perawatannya dan tidak
boleh memilih tenaga kesehatan yang diinginkannya”.
“pasien diminta persetujuannya untuk diberikan pelayanan kesehatan”
Sejalan dengan keterangan yang diberikan oleh dokter tersebut, keterangan
yang diberikan oleh pejabat rumah sakit juga sama dengan apa yang dikatakan
dokter, pejabat rumah sakit “V” mengatakan bahwa :



Pernah, biasanya pasien menolak atas dasar ketidakmampuan biaya, maka
biasanya dokter juga tidak dapat melarang atau mengharuskan pasien untuk
menggunakan pengobatan yang akan diberikan oleh dokter karena itu
merupakan hak dari pasien sendiri.
“mengenai kelas perawatan pasien diperbolehkan untuk memilih dan untuk
dokter, hal tersebut tergantung dari kelas perawatan yang dipilih oleh pasien,
kalau kelas perawatan utama dan VIP pasien boleh memilih namun di kelas
perawatan III hal tersebut disesuaikan dengan pemegang atau dokter yang
merawat dikelas III tersebut”
“pasien diminta persetujuannya untuk dirawat”.
Hampir semua tenaga kesehatan yang diwawancarai mengungkapkan hal yang
sama dan pasien yang diwawancarai juga hampir semua mengungkapkan yang
125
sama namun yang berbeda hanya pada saat memilih dokter saja, seperti yang
dikatakan oleh pasien sebut saja namanya “Bunga” dengan kelas perawatan III :



““Tidak, saya mengikuti apa yang dikatakan oleh dokter saja”.
“hal tersebut diserahkan sepenuhnya kepada rumah sakit”.
“waktu saya datang ke rumah sakit, saya diminta persetujuan dahulu oleh
rumah sakit.”
Sejalan dengan yang dikatakan oleh “Bunga”, sebut saja namanya “Melati”
kelas perawatan VIP mengatakan bahwa:



“Tidak, menurut saya dokter bisa saja menerima untuk tidak melakukan
pengobatan yang diinginkannya karena itu semua merupakan hak dari pasien
jadi semuanya saya kira akan diserahkan sepenuhnya kepada pasien, dan saya
kira mungkin dokter juga akan menerimanya.
tidak, saya rasa untuk memilih dokter itu ditentukan oleh pihak rumah
sakitnya kalau kelas perawatan kita diperbolehkan untuk memilih,
mengenai persetujuan saya diminta persetujuannya oleh pihak rumah sakit”.
Dari hasil temuan peneliti keterangan dokter atau tenaga kesehatan serta
pejabat rumah sakit memang telah sesuai dengan apa yang dikatakan oleh pasien,
mengenai kelas perawatan memang pasien “Bunga” tidak diperbolehkan memilih
kelas perawatan dan diserahkan sepenuhnya kepada pihak rumah sakit karena
pasien “Bunga” merupakan peserta jamkesmas, jadi sebagian haknya hilang untuk
memilih kelas perawatan karena telah dijamin oleh pemerintah yang
menjadikannya harus menjalani perawatan dikelas III (Tiga), untuk dokter,
memang biasanya jarang ditanya mengenai dokter siapa yang akan merawatnya
kecuali ada rekomendasi yang mengharuskan pasien tersebut untuk dirawat oleh
dokter tertentu atau pasien tersebut memang sebelumnya telah berkonsultasi dan
diberikan perawatan oleh dokter tersebut, dan pihak rumah sakit biasanya
memperbolehkannya, seperti yang dikatakan oleh perawat sebut saja namanya
“X“ yang mengatakan bahwa :
126
“iya, kami hanya sebatas memberikan pelayanan kepada pasien dan yang
memutuskan adalah pasien untuk perawatan yang selanjutnya dan mengenai
pemilihan dokter biasanya dengan rujukan dari perawatan yang diterima
pasien sebelumnya”.
Secara keseluruhan jaminan atas kebebasan memilih atas pelayanan kesehatan
telah dilaksanakan sepenuhnya dan dapat diterima oleh pasien dengan implikasi
baik, hal ini dapat dibuktikan dengan adanya persetujuan dari pasien untuk
diberikan pelayanan kesehatan oleh dokter/tenaga kesehatan, dengan adanya
persetujuan dari pasien tersebut hal ini membuktikan bahwa pasien bebas untuk
memilih tenaga kesehatan serta kelas perawatan yang diinginkannya dan rumah
sakit tidak bertindak sepihak kepada pasien pada saat pemberian pelayanan
kesehatan serta adanya pernyataan dokter/ tenaga kesehatan, pejabat rumah sakit
serta pasien sama yaitu pasien dimintai persetujuannya untuk diberikan pelayanan
kesehatan atau pengobatannya.
127
Matriks 5 : Jaminan Atas Kebebasan Untuk Menuntut Hak-hak Yang Dirugikan
NAMA
SUBSTANSI JAWABAN SUBYEK PENELITIAN
INFORMAN
“U”
 “pasien dapat mengadukannya kepada providernya 
(Dokter)
langsung seperti perawat atau dokternya langsung
atau dapat melalui kotak saran yang ada di tiap
ruang rawat inap atau bisa langsung ke
management”.
 “Keluhan pasien ditanggapi lalu dijelaskan dengan
tidak ditutup-tutupi”.

“V”
(Pejabat
Rumah
Sakit)


“jika ada keluhan dari pasien, maka disini 
disediakan kotak saran untuk menampung keluhankeluhan dari pasien dan dari keluhan pasien yang
diterima dari kotak saran tersebut nantinya akan
menjadi bahan evaluasi bagi rumah sakit. Selain itu 
juga pasien dapat mengadukannya kepada staff
yang bersangkutan misalnya jika dirawat di Rawat
Inap pasien dapat mengadukannya kepada kepala
Ruangan Rawat Inap”.
“keluhan pasien tersebut ditanggapi dengan baik
dan setelah ada keluhan maka dilakukan
pendekatan kepada pasien dan apa yang dikeluhkan
oleh pasien tersebut menjadi bahan evaluasi.
MAKNA TEMA
Pengaduan pasien
melalui
perawat/dokter, kotak
saran dan management
rumah sakit
Pemberian penjelasan
serta tanggapn atas
pengaduan pasien
Pengaduan pasien
melalui kotak saran
dan staff rumah sakit
Pemberian tanggapan
yang positif terhadap
pengaduan pasien oleh
pihak rumah sakit
IMPLIKASI
Baik, kebebasan pasien
untuk menuntut hakhak yang dirugikan
telah dilaksanakan
sepenuhnya pada saat
diberikan pelayanan
kesehatan
Baik, kebebasan pasien
untuk menuntut hakhak yang dirugikan
telah dilaksanakan
sepenuhnya pada saat
diberikan pelayanan
kesehatan
128
“Bunga”
(Pasien)


“iaa dapat, biasanya saya langsung ke dokter yang 
merawat anak saya atau ke kepala instalasinya
langsung”.
biasanya dokter langsung menanggapinya dan
memberikan informasi mengenai apa yang harus
saya lakukan dan juga dokter mengambil 
tindakannya secara langsung.

“W”
(Dokter)


“X”
(Perawat)


“pasien
dapat
mengadukannya
di
bidang 
pelayanan”
“jika ada keluhan biasanya berkaitan dengan
bidang pelayanan dan tanggapan tentu saja akan
ada dari bidang pelayanan tersebut dan biasanya 
akan langsung diambil tindakan tertentu”.
Pengaduan pasien
melalui dokter atau
kepala instansi rumah
sakit
Tanggapan positif atas
pengaduan dari pasien
Baik, kebebasan pasien
untuk menuntut hakhak yang dirugikan
telah dilaksanakan
sepenuhnya pada saat
diberikan pelayanan
kesehatan dan dapat
diterima oleh pasien
Pemberian informasi
kepada pasien atas
keluhannya
Pengaduan pasien
melalui bidang
pelayanan
Tanggapan atas
keluhan pasien
diserahkan sepenuhnya
kepada bidang
pelayanan
“pasien dapat mengadukannya melalui kotak saran  Pengaduan pasien
yang disediakan oleh rumah sakit dan nantinya
melalui kotak saran
akan dibahas mengenai survey kepuasan pasien”.
“tentu saja pihak dari rumah sakit memberikan  Pemberian respon dari
respon terhadap keluhan pasien tersebut”.
Baik, kebebasan pasien
untuk menuntut hakhak yang dirugikan
telah dilaksanakan
sepenuhnya pada saat
diberikan pelayanan
kesehatan
Tidak baik, karena
kotak saran kurang
efektif dalam hal
menanggapi keluhan
dari pasien karena
129
rumah sakit
“Bisma”
(Pasien)


“Y”
(Dokter)


“saya mengadukan kepada pihak rumah sakit 
secara langsung”.
“Pihak rumah sakit menanggapinya lumayan baik”.

Pengaduan melalui
pihak rumah sakit
“pasien dapat mengadukannya kepada dokter atau 
suster secara langsung atau di bidang pelayanan”.
“jika ada keluhan biasanya langsung ditanggapi
oleh dokter atau suster jika keluhan tersebut
ditujukan langsung kepada dokter atau suster 
tersebut”.
Pengaduan melalui
dokter/suster atau di
bidang pelayanan
Tanggapan positif dari
pihak rumah sakit
Tanggapan positif dari
dokter/suster
pasien tidak bisa
menjelaskan secara
langsung mengenai
keluhannya
Baik, kebebasan pasien
untuk menuntut hakhak yang dirugikan
telah dilaksanakan
sepenuhnya pada saat
diberikan pelayanan
kesehatan dan dapat
diterima oleh pasien
Baik, kebebasan pasien
untuk menuntut hakhak yang dirugikan
telah dilaksanakan
sepenuhnya pada saat
diberikan pelayanan
kesehatan
130
“Z”
(Perawat)


“Melati”
(Pasien)


“Biasanya ada kotak saran untuk menampung 
keluhan-keluhan dari pasien, dan bisa ke bidang
pelayanan.”
“jika keluhannya diberikan melalui kotak saran
maka saran-saran yang ada dikotak saran tersebut 
kita kumpulkan lalu kita berikan kebidang
pelayanannya sebagai evaluasi kinerja, namun
apabila keluhan2 yang secara langsung dan
biasanya keluhan yang kecil bisa langsung diatasi”.
Baik, kebebasan pasien
Pengaduan melalui
kotak saran dan bidang untuk menuntut hakhak yang dirugikan
pelayanan
telah dilaksanakan
Tanggapan positif yang sepenuhnya pada saat
diberikan pelayanan
diberikan oleh bidang
kesehatan
pelayanan terhadap
keluhan pasien serta
solusi untuk
mengatasinya
“saya mengadukan kepada susternya tetapi tidak 
ada tanggapan, dan setelah itu saya juga tidak tau
kemana saya harus mengadukannya”.
“tidak ada tanggapan yang saya harapkan dari
rumah sakit atau tenaga kesehatan”.

Pengaduan melalui
suster yang merawat
pasien
Tidak ada tanggapan
terhadap pengaduan
pasien
Tidak baik, karena
pengaduan dari pasien
tidak ditanggapi
dengan baik oleh
rumah sakit sehingga
menimbulkan
kekecewaan bagi
pasien
131
Dari matriks tersebut dapat dijelaskan bahwa kebebasan untuk menuntut
hak-hak yang dirugikan merupakan hak pasien dan hal ini sangat penting karena
menyangkut hak pasien apabila dirugikan oleh dokter/tenaga kesehatan dan rumah
sakit, hal ini juga tercantum di dalam Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen Pasal 4 huruf e dan h yang berbunyi:
e) hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian
sengketa perlindungan konsumen secara patut;
h) hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian,
apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian
atau tidak sebagaimana mestinya;”.
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2009 Tentang Kesehatan Pasal 58 ayat (1)
“Setiap orang berhak menuntut ganti rugi terhadap seseorang, tenaga
kesehatan, dan/atau penyelenggara kesehatan yang menimbulkan kerugian
akibat kesalahan atau kelalaian dalam pelayanan kesehatan yang diterimanya”.
Undang-Undang No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit Pasal 32 huruf q
dan r yang berbunyi :
q) menggugat dan/atau menuntut Rumah Sakit apabila Rumah Sakit diduga
memberikan pelayanan yang tidak sesuai dengan standar baik secara perdata
ataupun pidana; dan
r) mengeluhkan pelayanan Rumah Sakit yang tidak sesuai dengan standar
pelayanan melalui media cetak dan elektronik sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Dari ketiga Undang-undang tersebut sudah jelas bahwa ada hak pasien yang
merasa dirugikan untuk menuntut haknya, hal ini ketika ditanyakan kepada
dokter/tenaga kesehatan mengenai apabila ada keluhan dari pasien kemanakah
pasien dapat mengadukannya dan bagaimanakah tanggapan atas pengaduan dari
pasien tersebut, dokter/tenaga kesehatan dan pejabat rumah sakit memberikan
tanggapan yang beragam seperti pernyataan dokter “W” yang mengatakan bahwa:
 “pasien dapat mengadukannya di bidang pelayanan”
132
 “jika ada keluhan biasanya berkaitan dengan bidang pelayanan dan tanggapan
tentu saja akan ada dari bidang pelayanan tersebut dan biasanya akan
langsung diambil tindakan tertentu”.
Tanggapan dari pejabat rumah sakit sebut saja namanya “V” yang mengatakan
bahwa :


“jika ada keluhan dari pasien, maka disini disediakan kotak saran untuk
menampung keluhan-keluhan dari pasien dan dari keluhan pasien yang
diterima dari kotak saran tersebut nantinya akan menjadi bahan evaluasi bagi
rumah sakit. Selain itu juga pasien dapat mengadukannya kepada staff yang
bersangkutan misalnya jika dirawat di Rawat Inap pasien dapat
mengadukannya kepada kepala Ruangan Rawat Inap”.
“keluhan pasien tersebut ditanggapi dengan baik dan setelah ada keluhan
maka dilakukan pendekatan kepada pasien dan apa yang dikeluhkan oleh
pasien tersebut menjadi bahan evaluasi dan nantinya untuk penjaminan mutu
Rumah Sakit kedepannya”.
Tanggapan dari perawat sebut saja namanya “X” mengatakan bahwa :


“pasien dapat mengadukannya melalui kotak saran yang disediakan oleh
rumah sakit dan nantinya akan dibahas mengenai survey kepuasan pasien”.
“tentu saja pihak dari rumah sakit memberikan respon terhadap keluhan
pasien tersebut”.
Pernyataan dari dokter/tenaga kesehatan, pejabat, serta pasien sangat
beragam, jika dilihat dari tanggapan
atau pernyataan yang diberikan oleh
dokter/tenaga kesehatan, pejabat rumah sakit serta pasien maka dapat disimpulkan
disini ada 3 (tiga) cara pasien mengadukan keluhan terhadap pelayanan kesehatan
yang telah diberikan yaitu dengan kotak saran, mengadukan secara langsung
kepada dokter atau perawat yang menanganinya serta kepada bidang pelayanan.
Berdasarkan hasil wawancara kepada pasien hampir semuanya biasanya
langsung mengadukannya kepada suster atau dokter yang merawatnya, seperti
hasil wawancara kepada pasien sebut saja namanya “Bunga” mengatakan bahwa :
133


“iaa dapat, biasanya saya langsung ke dokter yang merawat anak saya atau ke
kepala instalasinya langsung”.
“biasanya dokter langsung menanggapinya dan memberikan informasi
mengenai apa yang harus saya lakukan dan juga dokter mengambil
tindakannya secara langsung”.
Kemudian wawancara yang dilakukan kepada “Melati” yang mengatakan bahwa :


“saya mengadukan kepada susternya tetapi tidak ada tanggapan, dan setelah
itu saya juga tidak tau kemana saya harus mengadukannya”.
“tidak ada tanggapan yang saya harapkan dari rumah sakit atau tenaga
kesehatan”.
Dari pernyataan tersebut dapat dilihat bahwa biasanya mereka memang
mengadukannya secara langsung kepada dokter atau perawat yang merawatnya
namun apabila melihat pernyataan yang dikatakan oleh pasien “Melati”, yang
tidak ada tanggapan dari suster dan pihak rumah sakit yang merawatnya, maka
kemanakah “Melati” dapat mengadukan atas ketidaknyamanannya atau atas
keluhan-keluhan terhadap pelayanan kesehatan yang didapatkannya.
Sebagaimana yang tercantum di dalam Undang-undang Perlindungan
konsumen yang disebutkan ada Pasal 4 huruf e dan h serta Undang-undang
Nomor 39 Tahun 2009 Tentang Kesehatan Pasal 58 ayat (1) yang menyebutkan
bahwa pasien mempunyai hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan dan
upaya penyelesaian sengketa secara patut dan mempunyai hak untuk mendapatkan
kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang/jasa tidak sesuai
dengan sebagaimana mestinya. Sudah jelas jika dikaitkan maka pasien sebagai
konsumen jasa dalam pelayanan kesehatan harus mendapatkan advokasi,
perlindungan dan upaya penyelesaian sengketa, begitupula jika dikaitkan dengan
Undang-undang No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit Pasal 32 huruf q dan r
yang menyatakan bahwa pasien dapat menggugat dan/atau menuntut rumah sakit
134
apabila rumah sakit diduga memberikan pelayanan yang tidak sesuai dengan
standar dan pasien juga dapat mengeluhkan pelayanan rumah sakit apabila tidak
sesuai dengan standar melalui media cetak atau elektronik sesuai peraturan
perundang-undangan.
Sebagai rumah sakit yang baik seharusnya ada tempat khusus yang bisa
menampung keluhan-keluhan dari pasien sehingga pasien bisa tau dan jelas
kemana dia bisa mengadu dan meminta pertanggungjawaban untuk segera
mendapatkan penyelesaian dari keluhannya tersebut dan hak pasien atas
kebebasan meuntut hak-hak yang dirugikan bisa terpenuhi dengan baik.
Secara keseluruhan jaminan atas kebebasan untuk menuntut hak-hak yang
dirugikan sudah dilaksanakan oleh dokter/tenaga kesehatan serta rumah sakit
terhadap pasien dengan implikasi baik, hal ini dapat dibuktikan dengan adanya
kotak saran yang disediakan oleh pihak rumah sakit sebagai sarana untuk
menampung keluhan-keluhan dari pasien, pasien juga dapat mengadukan
keluhannya kepada dokter atau perawat secara langsung apabila pasien merasa
tidak nyaman dengan pelayanan kesehatan yang diberikan serta adanya bidang
pelayanan yang merespon positif terhadap keluhan-keluhan dari pasien dengan
baik.
135
Matriks 6 : Faktor Yang Berpengaruh Terhadap Perlindungan Hukum Dalam Pelayanan Kesehatan di RSUD Tasikmalaya
Nama
Hasil Penelitian
Makna Tema
Sifat Pengaruh
Informan
(Faktor)
“U”
Berpengaruh positif
 “kami memberikan informasi mengenai penyakit  Informasi
(Dokter)
dan menunjang adanya
yang diderita oleh pasien seperti diagnosis, tata cara  Komunikasi
perlindungan hukum
tindakan medis, tujuan tindakan medis alternatif  Peran dokter
terhadap pasien dalam
tindakan, resiko dan komplikasi yang mungkin  Motivasi pasien
pelayanan kesehatan
terjadi”.
“X”
(Perawat)

“iya, biasanya memang dokter menjelaskan
mengenai informasi dan hal-hal yang berkaitan
dengan kondisi pasien tersebut kepada pasien atau
keluarganya”
“Bisma”
(Pasien)

“iya, dokter sudah memberikan informasi tersebut
kepada saya”.
“saya kira sejauh ini saya mengerti mengenai apa
yang dijelaskan oleh dokter .”
“Saya rasa penjelasan dari dokter dapat membuat
saya percaya bahwa penyakit saya dapat
disembuhkan”


“W”
(Dokter)

“Iya, mengenai keamanan, kenyamanan dan 
keselamatan kita sudah ada SOP-SOP khusus sesuai 
dengan standarnya serta disediakannya penjaga
keamanan dan petugas kesehatan yang cukup untuk
pasien”
Kepatuhan pasien
Sumber Daya Manusia
Berpengaruh positif
dan menunjang adanya
perlindungan hukum
terhadap pasien dalam
pelayanan kesehatan
136
“V”
(Pejabat
Rumah
Sakit)

“saya rasa iya, karena disini ada satpam yang selalu
menjaga 24 jam, dan mengenai keselamatan dan
kenyamanan tentu saja ada yaitu dengan adanya
pemisahan ruangan sesuai dengan penyakit pasien
dan kepada pasien yang mempunyai penyakit
menular akan dipisahkan ruangannya.”
“Bunga”
(Pasien)

“Saya kira saya merasa aman dan nyaman disini,
saya juga selalu mengikuti peraturan rumah sakit
sebagaimana yang ada dan tercantum pada papan
peraturan rumah sakit”
“W”
(Dokter)

“...mungkin ada beberapa pasien yang merasa 
diperlakukan diskriminatif oleh rumah sakit, 
sedangkan sebenarnya hal tersebut merupakan
ketentuan dari rumah sakit”


“mengenai hal tersebut tentunya yang merasakan
pasien jadi mengenai hal tersebut saya kurang tau.”
“Memang selama ini ada keluhan pasien yang
merasa kalau petugas kesehatan yang ada kurang
memberikan perhatian terhadap pasien atau acuh
tak acuh kepada pasien sehingga dianggap
diskriminatif namun hal tersebut dapat dikarenakan
petugas kesehatan lelah dengan pekerjaannya.”
“X”
(Perawat)


“Melati”

“iya, pas saya datang ke rumah sakit, saya merasa
diperlakukan diskriminatif, mungkin pihak rumah
Lingkungan kerja
Sikap dokter/tenaga
kesehatan
Sikap pasien
Komunikasi yang
kurang terhadap pasien
Berpengaruh negatif
dan menghambat
adanya perlindungan
hukum terhadap
pasien dalam
pelayanan kesehatan
137
(Pasien)
“U”
(Dokter)
sakit memperkirakan saya berasal dari keluarga
yang tidak mampu tetapi setelah saya membayar
sejumlah uang barulah saya bisa diperlakukan
dengan baik dan saya merasa dipersulit”.



“mengenai kelas perawatan pasien diperbolehkan
untuk memilih dan untuk dokter, karna dokter 
disini terbatas maka pasien tidak bebas memilih
dokter yang diinginkannya.

“tidak, saya rasa untuk memilih dokter itu
ditentukan oleh pihak rumah sakitnya kalau kelas
perawatan kita diperbolehkan untuk memilih.
mengenai persetujuan saya diminta persetujuannya
oleh pihak rumah sakit”.
“Z”
(Perawat)
“Melati”
(Pasien)
“Y”
(Dokter)
“jadi setelah pemeriksaan tergantung kepada pasien, 
mengenai penolakan mungkin hal tersebut berkaitan 
dan dokter tidak boleh memaksakan kehendaknya”.
“pasien diminta persetujuannya untuk diberikan 
pelayanan kesehatan”


“pasien dapat mengadukannya kepada dokter atau 
suster secara langsung atau di bidang pelayanan”.

Sikap pasien
Peran dokter/tenaga
kesehatan
Kesadaran hukum
dokter/tenaga
kesehatan dan rumah
sakit
Fasilitas dokter/tenaga
kesehatan yang kurang
memadai
Berpengaruh positif
dan menunjang adanya
perlindungan hukum
terhadap pasien
kecuali untuk
penyediaan Fasilitas
yang kurang
merupakan faktor
yang menghambat
adanya perlindungan
hukum terhadap
pasien dalam
pelayanan kesehatan
Fasilitas pengaduan
kurang memadai
Komunikasi yang
kurang
Berpengaruh negatif
dan menghambat
adanya perlindungan
hukum terhadap
138
“V”
(Pejabat)

“..jika ada keluhan dari pasien, maka disini 
disediakan kotak saran Selain itu juga pasien dapat
mengadukannya kepada staff yang bersangkutan”
“Melati”
(Pasien)

“saya mengadukan kepada susternya tetapi tidak
ada tanggapan, dan setelah itu saya juga tidak tau
kemana saya harus mengadukannya”.
“tidak ada tanggapan yang saya harapkan dari
rumah sakit atau tenaga kesehatan”.

Sikap pesimis pasien
pasien dalam
pelayanan kesehatan
139
2. Faktor-faktor yang menunjang dan menghambat perlindungan hukum
pasien sebagai konsumen jasa dalam pelayanan kesehatan di RSUD
Tasikmalaya.
Berdasarkan matriks di atas dapat dijelaskan bahwa ada beberapa faktor yang
dapat menunjang dan menghambat adanya perlindungan hukum terhadap pasien
dalam pelayanan kesehatan, baik faktor internal maupun faktor eksternal.
Faktor
internal dan eksternal yang menunjang adanya perlindungan hukum
terhadap pasien dalam pelayanan kesehatan yaitu :
1.
Faktor Internal yang menunjang :
1. Informasi, merupakan hal yang sangat penting untuk diberikan kepada
pasien pada saat diberikan pelayanan kesehatan oleh dokter/tenaga
kesehatan supaya pasien mengetahui mengenai penyakit apa yang diderita
serta bagaimana cara pengobatan yang harus dilakukan agar pasien dapat
sembuh dari penyakitnya, dengan diberikannya informasi yang benar, jelas
dan jujur oleh dokter/tenaga kesehatan kepada pasien maka informasi ini
menjadi faktor penunjang adanya perlindungan hukum terhadap pasien.
2. Komunikasi
merupakan
cara
penyampaian
yang
diberikan
oleh
dokter/tenaga kesehatan kepada pasien dengan cara menjelaskan informasi
yang ada sehingga pasien mampu mencerna informasi tersebut dengan
baik, dengan adanya komunikasi yang baik maka informasi akan dapat
tersampaikan dengan baik pula kepada pasien dan hal ini menjadi faktor
yang menunjang adanya perlindungan hukum terhadap pasien.
140
3.
Peran dokter/tenaga kesehatan, setelah adanya informasi dan komunikasi
kepada pasien maka disini juga ada peran dari dokter/tenaga kesehatan
untuk memberikan informasi dan komunikasi yang benar kepada pasien
serta berfungsi sebagai pendekatan kepada pasien, peran dokter/tenaga
kesehatan ini meliputi peran dokter dalam mengobati pasien maupun peran
dokter dalam menginformasikan mengenai kondisi penyakit pasien, supaya
pasien dapat mengerti mengenai penyakit apa yang diderita oleh pasien
juga pengobatan apa
yang
harus diberikan oleh dokter
untuk
menyembuhkan pasien, juga untuk memberikan kepercayaan atau
optimisme kepada pasien untuk meyakinkan bahwa penyakitnya bisa
disembuhkan, peran dokter/tenaga kesehatan ini memberikan dampak
positif dan menjadi faktor penunjang adanya perlindungan hukum terhadap
pasien dalam pelayanan kesehatan.
4.
Sumber daya manusia, jika sumber daya manusia yang ada di rumah sakit
baik dan dapat mencukupi kebutuhan pasien pada saat diberikan pelayanan
kesehatan maka perlindungan hukum terhadap pasien akan terlaksana
dengan baik dan menjadi faktor yang menunjang terlaksananya
perlindungan hukum terhadap pasien, pasien akan merasa diberikan
kenyamanan, keamanan dan keselamatan jika sumber daya manusia yang
ada di rumah sakit mampu untuk memberikan pelayanan kesehatan dengan
baik.
5. Kesadaran Hukum dokter/tenaga kesehatan dan rumah sakit menjadi faktor
yang menunjang adanya perlindungan hukum dalam pelayanan kesehatan,
141
hal ini dapat ditunjukkan dengan adanya persetujuan pasien pada saat
diberikan pengobatan, hal ini menunjukkan adanya kesadaran hukum dari
dokter/tenaga kesehatan serta rumah sakit untuk memberikan perlindungan
hukum baik terhadap pasien maupun terhadap dokter/tenaga kesehatan
serta perlindungan hukum terhadap rumah sakit itu sendiri.
II. Faktor ekstrenal yang menunjang :
1. Motivasi Pasien, hal ini memberikan dampak yang positif dan dapat
menunjang adanya perlindungan hukum terhadap pasien dalam pelayanan
kesehatan karena dengan adanya motivasi yang baik dari pasien maka
dapat dikatakan pelayanan kesehatan yang baik telah diberikan oleh pihak
rumah sakit, motivasi yang baik dari pasien ini sebagai dampak dari
adanya informasi, komunikasi serta peran dokter/tenaga kesehatan yang
baik.
2. Kepatuhan pasien, dengan adanya kepatuhan pasien maka perlindungan
hukum terhadap pasien dalam pelayanan kesehatan dapat terlaksana
dengan baik dan merupakan faktor yang menunjang karena dengan adanya
kepatuhan pasien terutama terhadap peraturan yang ada di rumah sakit
serta terhadap pengobatan yang harus dijalani maka segala kerugian yang
akan dialami oleh pasien akan terhindari.
Faktor internal dan eksternal yang menghambat adanya perlindungan hukum
terhadap pasien dalam pelayanan kesehatan yaitu :
1.
Faktor Internal yang menghambat :
142
1. Fasilitas dokter/tenaga kesehatan kurang memadai, hal ini dapat dilihat
dari keterangan perawat yang menyebutkan bahwa fasilitas tenaga
kesehatan terutama dokter masih kurang sehingga pasien tidak dapat
memilih tenaga kesehatan yang diinginkannya sebagai haknya, hal ini
menjadi faktor yang menghambat adanya perlindungan hukum terhadap
pasien dalam pelayanan kesehatan karena hak pasien untuk dapat memilih
tenaga kesehatan yang diinginkannya menjadi tidak terpenuhi.
2. Fasilitas Pengaduan kurang memadai, hal ini dapat dibuktikan dengan
tidak adanya fasilitas pengaduan yang diberikan oleh rumah sakit untuk
pasien, jadi jika pasien ingin mengeluhkan ketidaknyamanan yang
dialaminya ketika mendapatkan pelayanan kesehatan pasien tidak tau pasti
kemana dapat mengadukannya, hal ini menjadi faktor penghambat adanya
perlindungan hukum terhadap pasien dalam pelayanan kesehatan terutama
hak pasien untuk menuntut hak-hak yang dirugikan.
3. Lingkungan kerja, lingkungan kerja yang kurang baik akan berakibat
adanya sikap yang kurang baik terhadap pasien, dengan sikap yang kurang
baik dari dokter/tenaga kesehatan akan menjadi faktor penghambat dalam
perlindungan hukum terhadap pasien dalam pelayanan kesehatan karena
pasien akan merasa diberikan perlakuan yang tidak sama atau
diksriminatif, hal ini dapat dibuktikan dengan adanya keterangan pasien
yang mengeluh karena tidak mendapatkan pelayanan yang baik karena
keluhannya terhadap pelayanan kesehatan di rumah sakit kepada tenaga
kesehatan tidak ditanggapi dengan baik, hal ini juga dapat diakibatkan dari
143
lingkungan kerja yang kurang baik seperti dari keterngan perawat yang
menyebutkan bahwa sikap tenaga kesehatan yang kurang baik terhadap
pasien bisa diakibatkan karna lingkungan kerja yang kurang baik.
4. Komunikasi yang kurang, hal ini dibuktikan dengan adanya pasien yang
mengeluh karena pengaduannya tidak ditanggapi dengan serius oleh
rumah sakit, dengan adanya komunikasi yang kurang antara pasien dengan
dokter/tenaga kesehatan serta pihak rumah sakit maka akan menimbulkan
kesalahpahaman antara pasien dengan dokter/tenaga kesehatan serta pihak
rumah dan menjadi faktor penghambat adanya perlindungan hukum
terhadap pasien dalam pelayanan kesehatan.
II. Faktor eksternal yang menghambat :
1. Sikap pesimis pasien, dengan adanya sikap pesimis dari pasien hal ini
menunjukkan adanya pelayanan kesehatan yang tidak dapat memuaskan
pasien dan memberikan kepercayaan sepenuhnya kepada dokter/tenaga
kesehatan serta pihak rumah sakit hal ini dapat dibuktikn dari keterangan
pasien yang tidak tau lagi kemana mengadukan keluhannya dan seakan
tidak percaya lagi terhadap pelayanan kesehatan yang diberikan oleh pihak
rumah sakit, hal ini menjadi faktor yang menghambat adanya perlindungan
hukum terhadap pasien dalam pelayanan kesehatan.
144
BAB V
PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan analisis sebagaimana dikemukakan di atas,
dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
1.
Perlindungan hukum pasien sebagai konsumen jasa dalam pelayanan
kesehatan di Rumah Sakit Umum Daerah Tasikmalaya sudah baik hal ini
dapat dibuktikan dengan :
a) Terpenuhinya informasi yang dibutuhkan pasien mengenai penyakitnya
pada saat diberikan pelayanan kesehatan;
b) Adanya Pelaksanaan jaminan keamanan, kenyamanan dan keselamatan
pada saat diberikan pelayanan kesehatan
c) Pasien diperlakukan sama pada saat diberikan pelayanan kesehatan oleh
dokter/tenaga kesehatan;
d) Adanya persetujuan pasien dalam pemberian pelayanan kesehatan sebagai
realisasi pelaksanaan kebebasan pasien memilih tenaga kesehatan dan
kelas perawatan;
e) Disedikannya kotak saran, pengaduan langsung kepada dokter/perawat dan
adanya bidang pelayanan untuk pengaduan pasien.
2. Faktor- faktor yang menunjang dan menghambat pelaksanaan pelayanan
kesehatan di Rumah Sakit Umum Daerah Tasikmalaya terdiri dari faktor
internal dan eksternal, faktor internal yang menunjang yaitu adanya Informasi
yang baik, komunikasi yang baik, peran dokter, sumber daya manusia dan
145
kesadaran hukum dokter/tenaga kesehatan serta rumah sakit dan sebagai
faktor eksternal yang menunjang yaitu adanya motivasi pasien dan kepatuhan
pasien. Faktor Internal yang menghambat yaitu fasilitas dokter/tenaga
kesehatan
yang
kurang
memadai,
fasilitas
pengaduan
kurang
memadai,lingkungan kerja, dan komunikasi yang kurang antara pihak rumah
sakit dan pasien serta faktor eksternal yang menghambat yaitu sikap pesimis
dari pasien
B. SARAN
Sebagai Rumah Sakit Umum pilihan utama dengan standar pelayanan
nasional di Priangan Timur yang mampu memberikan pelayanan sesuai dengan
fungsinya sebagai intansi pelayanan publik bersifat individual terhadap pasien
maka hendaknya RSUD Tasikmalaya juga harus selalu mementingkan aspek
perlindungan hukum terhadap pasien sebagai konsumen jasa dalam pelayanan
kesehatan yang diberikan oleh rumah sakit yaitu dengan selalu mementingkan
hak-hak dari pasien. Disini peneliti menyarankan agar RSUD Tasikmalaya
membentuk bagian khusus untuk melayani segala hal yang berhubungan dengan
kepentingan dari pasien yaitu dengan membentuk humas atau hubungan
masyarakat karena di RSUD Tasikmalaya belum terdapat humas, maka untuk
meningkatkan perlindungan hukum terhadap pasien dan untuk kepentingan rumah
sakit, humas diperlukan sebagai salah satu jalan untuk menuntut hak pasien yang
dirugikan.
146
DAFTAR PUSTAKA
Ameld, Fred, 1991, Kapita Selekta Hukum Kedokteran, Jakarta: Grafika Tama
Jaya.
Az.Nasution, 2011, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta: Diadit Media.
Azwar, 1996, Pengantar Administrasi Kesehatan, Ed 3, Jakarta : Binarupa
Aksara.
B. Miles, Matthew, 1992, Analisis Data Kualitatif, Penerjemah Tjepjep Rohendi
Rohidi, Jakarta : Universitas Indonesia Press.
Bastian Suryono, Indra, 2011, Penyelesaian Sengketa Kesehatan, Jakarta:
Salemba Medika.
Bustami, 2011, Penjaminan Mutu Pelayanan Kesehatan Dan Akseptabilitasnya,
Jakarta : Erlangga.
Chandrawila Supriadi, Wila, 2001, Hukum Kedokteran, Bandung : CV. Mandar
Maju.
Faesal, Sanapiah, 1990, Penelitian Kualitatif, Dasar-dasar dan Aplikasinya,
Malang : Yayasan Asih Asah Asuh.
Hanafiah, M.Yusuf dan Amir, Amri, 1987, Etika Kedokteran dan Hukum
Kesehatan, Jakarta: EGC.
Hadiati Koeswadji, Hermien, 1984, Hukum dan Masalah Medik, Surabaya:
Erlangga University Press.
J. Guwandi, 1993, Dokter dan Rumah Sakit, Jakarta : FK UI.
Johan Nasution, Bahder, 2005, Hukum Kesehatan Pertanggung Jawaban Dokter,
Jakarta : PT. Rineka Cipta.
Kerlinger, Fred. N, 1990, Asas-asas Penelitian Bihavioral, Penterjemah Landung
R. Simatupang, Yogyakarta : Gajah Mada University Press.
Komalawati, Veronika, 1999, Peranan Informed Consent Dalam Transaksi
Teurapetik, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.
Kusuma Astuti, Endang, 2009, Transaksi Teurapetik Dalam Upaya Pelayanan
Media Di Rumah Sakit, Bandung : PT. Citra Aditya Bakti.
Leenen, H.J.J. and Lamintang, 1991, Pelayanan Kesehatan dan Hukum, Bandung:
Bina Cipta.
147
Miru, Ahmadi, 2008, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta : PT. Raja
Grafindo Persada.
Moleong, Laxy J, 1996, Metdodologi Penelitian Kualitatif, Bandung : PT. Remaja
Rosakarya.
Muhadjir, Noeng, 1996. Metodologi Penelitian Kualitatif, Edisi III, Yogyakarta :
Rekesarasin.
Notoatmodjo, Soekidjo, 2012, Etika & Hukum Kesehatan, Jakarta : PT.Rineka
Cipta.
Purwohardiwardjoyo, Al, 1989, Etika Medik, Yogyakarta: Kanisius.
Shidarta,
2006,
Hukum
Perlindungan
Konsumen
Indonesia,
Jakarta
:
PT.Gramedia Widiasarana Indonesia.
Soekanto, Soerjono, 2010, Pengantar Pnelitian Hukum, Jakarta : Universitas
Indonesia (UI-PRESS).
Soemitro, Ronny, 1988, Metodologi penelitian Hukum dan Jurimetri, Jakarta :
Ghalia Indonesia.
Sofie, Yusuf, 2009, Perlindungan Konsumen Dan Instrumen-Instrumen
Hukumnya, Bandung : PT. Citra Aditya Bakti.
Soejami. 1992, Beberapa Permasalahan Hukum dan Medik, Bandung : Citra
Aditya Bakti.
Sunggono, Bambang, 2006, Metode Penelitian Hukum. Jakarta : PT. Raja
Grafindo Persada.
Sugiyono, 2010, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D, Bandung:
Alfabeta.
Sukanto Soerjono dan Herkutanto, 1987, Pengantar Hukum Kesehatan, Bandung:
Remaja Karya.
148
Sumber Lain :
http://peterpaper.blogspot.com/2010/04/pelayanan-kesehatan-1.html/ diakses pada
tanggal 21 april 2012 pukul 07.45.
Hak dan Kewajiban. http://www.mail-archive.com/ppiind/
diakses pada tanggal 21 April 2012 pukul 08.00
Arsip Hukum. Http://arsiphukum.wordpress.com/
Diakses pada tanggal 22 April 2012 pukul 10.15.
UNDANG-UNDANG :
Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan
Undang-undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran
Undang-undang Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen
149
PEDOMAN WAWANCARA
I.
Identitas Informan
Nama
:
Umur
:
Jabatan/Pekerjaan
:
Jenis Kelamin
:
II. Pertanyaan
1. Ketika anda datang ke rumah sakit untuk mendapat pelayanan kesehatan,
setelah pasien melakukan pemeriksaan kesehatan, Apakah dokter sudah
memberikan informasi yang benar jelas dan lengkap seperti diagnosis dan tata
cara tindakan medis, tujuan tindakan medis, alternatif tindakan, risiko dan
komplikasi yang mungkin terjadi, dan prognosis terhadap tindakan yang
dilakukan serta perkiraan biaya?
2. Setelah dokter memberikan informasi mengenai penyakit pasien, apakah dokter
menjelaskan mengenai resep obat apakah yang harus diberikan kepada pasien?
3. Bagaimana cara dokter menjelaskan fungsi obat tersebut kepada pasien?
4. Apakah
pasien
pernah
menolak
untuk
diberikan
pengobatan
yang
direkomendasikan oleh dokter, bagaimanakah reaksi dokter atas penolakan
pengobatan tersebut?
5. Bagaimanakah cara dokter menjelaskan mengenai kondisi penyakit pasien dan
apakah pasien mengerti mengenai penjelasan yang disampaikan oleh dokter?
6. Setelah diberikan penjelasan mengenai kondisi pasien, apakah dokter
merahasiakan kondisi pasien kepada orang lain?
150
7. Bagaimanakah tenaga kesehatan/rumah sakit memperlakukan pasien, apakah
ada tindakan yang diskriminatif yang pernah dialami oleh pasien?
8. Apakah pasien diperbolehkan untuk memilih tenaga kesehatan dan kelas
perawatan selama mendapatkan perawatan dan pelayanan kesehatan?
9. Apakah pasien diminta persetujuannya untuk dirawat dan diberikan pelayanan
kesehatan di Rumah Sakit?
10. Apakah pasien diberikan jaminan keamanan, keselamatan dan kenyamanan
selama di rawat di rumah sakit?
11. Apakah pasien diperbolehkan dijenguk oleh rekan, saudara atau kerabatnya
selama dirawat di rumah sakit?
12. Selama pasien dirawat apakah pasien diberikan informasi mengenai tata tertib
atau peraturan yang ada di rumah sakit?
13. Jika ada keluhan atau ketidaknyamanan yang dialami oleh pasien, apakah
pasien dapat mengadukan ketidaknyamanannya tersebut kepada pihak rumah
sakit dan kemanakah pasien mengadukannya?
14. Bagaimanakah pihak rumah sakit/tenaga kesehatan menanggapi keluhan dari
pasien?
15. Secara keseluruhan bagaimanakah pelayanan kesehatan yang diberikan oleh
tenaga kesehatan/rumah sakit kepada pasien?
151
Download