(WHO), diare membunuh dua juta anak di dunia se

advertisement
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Menurut catatan World Health Organization (WHO), diare membunuh
dua juta anak di dunia setiap tahun. Diare hingga kini masih merupakan
penyebab utama kesakitan dan kematian pada bayi dan anak-anak. Saat ini
morbiditas (angka kesakitan) diare di Indonesia mencapai 105 per 1000
penduduk dan angka ini merupakan yang tertinggi di antara negara-negara di
Asean (kalbe.co.id diakses tanggal 20 maret 2012).
Departemen Kesehatan Republik Indonesia menyatakan bahwa Angka
Kematian Bayi (AKB) di Indonesia masih tergolong tinggi jika dibandingkan
dengan negara-negara anggota Assosiation South East Asia Nation (ASEAN)
yakni 31/1.000 kelahiran, hanya lebih baik dibandingkan dengan Kamboja
(97/1000) dan laos (82/1000). Jika dibandingkan dengan negara-negara
tetangga lain, kita masih tertinggal. Singapura dan Malaysia memiliki AKB
amat rendah, masing-masing 3 dan 7 per 1.000 kelahiran. Ini menunjukkan
masih rendahnya perhatian pemerintah terhadap masalah kesehatan yang
dihadapi anak-anak (Lubis, 2008).
Diare merupakan salah satu penyebab kematian dan kesakitan terutama
pada anak Balita. Kematian dan kesakitan anak Balita (dibawah 5 tahun) masih
2
menunjukkan angka yang cukup tinggi terutama dinegara berkembang
termasuk Indonesia. Kejadian diare di Indonesia diperkirakan sekitar 60 juta
kasus setiap tahunnya, dari jumlah kasus tersebut 70-80 % adalah anak dibawah
5 tahun atau kurang lebih 40 juta kasus (Suharyono, 2005).
Dampak negatife penyakit diare pada bayi dan anak-anak antara lain
menghambat proses tumbuh kembang anak yang pada akhirnya dapat
menurunkan kualitas hidup anak. Penyakit diare di masyarakat (Indonesia)
lebih dikenal dengan istilah “muntaber”. Penyakit ini mempunyai konotasi yang
mengerikan serta menimbulkan kecemasan dan kepanikan warga masyarakat
karena bila tidak segera diobati, dalam waktu singkat penderita akan meninggal
(Nelson, 2007).
Kematian yang diakibatkan oleh diare lebih sering karena tubuh
mengalami dehidrasi, yaitu gejala kekurangan cairan dan elektrolit. Tandatanda dehidrasi diantaranya anak memperlihatkan gejala kehausan, berat badan
turun, dan elastisitas kulit berkurang. Ini bisa dilakukan dengan cara mencubit
kulit dinding perut. Bila terjadi dehidrasi, maka kulit dinding perut akan lebih
lama kembali pulih (Siswono, 2006).
Kematian akibat diare biasanya bukan karena adanya infeksi dari
bakteri atau virus tetapi karena terjadi dehidrasi . Pada diare yang hebat anak
akan mengalami buang air besar dalam bentuk encer beberapa kali dalam sehari
dan sering disertai dengan kejang, panas, dan muntah, maka tubuh akan
3
kehilangan banyak air dan garam–garam sehingga bisa berakibat dehidrasi,
yang tidak jarang berakhir dengan ”syok” dan kematian. Penderita diare perlu
mendapat perawatan medis yang tepat dengan menggunakan jasa pelayanan
kesehatan, sehingga cepat sembuh dan pulih kembali (Widjaja, 2006).
Kematian diare kronik masih tinggi yaitu 20,3% sedangkan angka kematian
akibat diare akut sudah dapat ditekan mendekati nol (Suharyono, 2008).
Kejadian diare pada bayi dapat disebabkan karena kesalahan dalam
pemberian makanan, dimana bayi sudah diberi makan selain ASI (Air Susu Ibu)
sebelum berusia 6 bulan (Susanti, 2007).
Perilaku tersebut sangat beresiko bagi bayi untuk terkena diare karena
alasan sebagai berikut ; (1) pencernaan bayi belum mampu mencerna makanan
selain ASI, (2) bayi kehilangan kesempatan untuk mendapatkan zat kekebalan
yang hanya dapat diperoleh dari ASI , (3) adanya kemungkinan makanan yang
diberikan bayi sudah terkontaminasi oleh bakteri karena alat yang digunakan
untuk memberikan makanan atau minuman kepada bayi tidak steril. Berbeda
dengan makanan padat ataupun susu formula, ASI bagi bayi merupakan
makanan yang paling sempurna. Pemberian ASI secara dini dan eksklusif
sekurang-kurangnya 4-6 bulan akan membantu mencegah penyakit pada bayi.
Hal ini disebabkan karena adanya antibodi penting yang ada dalam kolostrum
dan ASI (dalam jumlah yang sedikit). Selain itu ASI juga selalu aman dan
4
bersih sehingga sangat kecil kemungkinan bagi kuman penyakit untuk dapat
masuk ke dalam tubuh bayi (Depkes, 2001).
Di negara yang sedang berkembang seperti Indonesia, pajanan
mikroorganisme patogen maupun zat alergen lainnya masih merupakan
masalah. Infeksi gastrointestinal maupun non gastrointestinal lebih sering
ditemukan pada bayi yang mendapat pengganti air susu ibu (PASI) disbanding
dengan yang mendapat Air Susu Ibu (ASI). Hal ini menandakan bahwa ASI
merupakan komponen penting pada sistem imun mukosa gastrointestinal
maupun mukosa lain, karena sebagian besar mikroorganisme masuk ke dalam
tubuh melalui mukosa (Matondang, dkk, 2008).
Penelitian-penelitian yang sudah dilakukan para ahli di India dengan
menggunakan ASI donor dari manusia, didapatkan kejadian infeksi lebih
sedikit secara bermakna dan tidak terdapat infeksi berat pada kelompok yang
diberi ASI, sedangkan bayi pada kelompok yang tidak mendapat ASI (kontrol)
banyak mengalami diare, pneumonia, sepsis, dan meningitis (Tumbelaka, dkk,
2008).
Berdasarkan profil kesehatan di Wilayah Kerja Puskesmas Blang
Bintang kecamatan Blang Bintang Kabupaten Aceh Besar bahwa 202 ibu
memiliki bayi 0-6 bulan, kejadian diare yang terjadi periode Agustus 2012 –
Maret 2013 pada bayi 0-6 bulan adalah 23 kasus diare, dan pada pemberian
ASI pada bayi 0-6 bulan yaitu bayi yang diberi ASI adalah sebanyak 164 bayi
5
(81,2 %) dan bayi yang tidak diberi ASI sebanyak 38 bayi (18,8 %) (
PKM Blang Bintang, 2012 ).
Berdasarkan uraian tersebut, penelitian ini dilakukan untuk
memberikan informasi lebih lanjut mengenai hubungan pemberian ASI
dengan kejadian diare pada bayi umur 0-6 bulan.
B. Perumusan Masalah
Adakah hubungan antara pemberian ASI dengan kejadian diare pada
bayi umur 0-6 bulan di Wilayah Kerja Puskesmas Blang Bintang Kecamatan
Blang Bintang Kabupaten Aceh Besar.
C. Tujuan Penulisan
Untuk mengetahui apakah ada hubungan pemberian ASI dengan
kejadian diare pada bayi umur 0-6 bulan di Wilayah Kerja Puskesmas Blang
Bintang Kecamatan Blang Bintang Kabupaten Aceh Besar.
D. Manfaat Penelitian
1. Teoritis
a. Bagi peneliti
Sebagai tambahan informasi serta kajian ilmiah tentang ASI dan
dampak diare.
6
b. Bagi peneliti selanjutnya
Hasil peneliti ini diharapkan dapat sebagai gambaran awal untuk
melakukan penelitian selanjutnya yang berkaitan dengan ASI sehingga
dapat dihasilkan sebuah penelitian dengan hasil yang lebih baik dan
bermanfaat.
2. Aplikatif, antara lain :
a. Profesi (Bidan)
Dapat digunakan sebagai masukan bagi tenaga kesehatan
khususnya bidan untuk memberikan informasi tentang ASI
b. Masyarakat
Sebagai informasi mengenai ASI dan dampak diare.
3. Praktis
Penelitian
ini
untuk
menjadi
satu
pertimbangan
dalam
penatalaksanaan hubungan pemberian ASI dengan kejadian diare pada bayi
umur 0-6 bulan.
7
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
A.
Diare
1. Pengertian Diare
Diare dalam penelitian ini adalah suatu gejala dengan tanda-tanda
adanya perubahan bentuk dan konsistensi tinja yang cair dan frekuensi
buang air besar lebih dari biasanya (3 kali dalam sehari) buang air hingga
lima kali sehari dan fesesnya lunak. Neonatus diyatakan diare bila frekuensi
buang air besar sudah lebih dari 4 kali, sedangkan untuk bayi berumur lebih
dari 1 bulan dan anak , bila frekuensi lebih dari 3 kali (Masri, 2004).
Diare diartikan sebagai buang air besar yangtidak normal atau
bentuk tinja yang encer dengan frekwensi lebih banyak dari biasanya.
Neonatus dinyatakan diare bila frekuensi buang air besar sudah lebih dari 4
kali, sedangkan untuk bayi berumur lebih dari 1 bulan dan anak, bila
frekuensinya lebih dari 3 kali ( Hasan, 2005).
Diare keadaan frekuensi buang air besar lebih dari 4 kali pada bayi
dan 3 kali pada anak, konstitensi fesesencer, dapat berwarna hijau atau
dapat pula bercampur lendir dan darah atau lendir saja ( Ngastiyah, 2005).
Selain itu diare merupakan mekanisme perlindungan tubuh untuk
mengeluarkan sesuatu yang merugikan atau racun dari dalam tubuh, namun
8
banyaknya
cairan
tubuh
yang
dikeluarkan
bersama
tinja
akan
mengakibatkan dehidrasi yang dapat berakibat kematian. Oleh buang air be
karena itu, diare tidak boleh dianggap sepele, keadaan ini harus dihadapi
dengan serius mengingat cairan banyak keluar dari tubuh, sedangkan tubuh
manusia pada umumnya 60% terdiri dari air, sebab itu bila seseorang
menderita diare berat, maka dalam waktu singkat saja tubuh penderita sudah
kelihatan sangat kurus (Masri, 2004).
Diare merupakan simptom, jadi bukan penyakit, sama halnya
dengan demam panas, bukan suatu penyakit tetapi merupakan gejala dari
suatu penyakit tertentu, contoh: malaria, radang, paru, influinza, dan lainlain. Ada dua jenis diare menurut lama hari terjadinya yaitu diare akut dan
diare kronik. Diare akut adalah diare yang terjadi secara mendadak pada
bayi dan anak yang sebelumnya sehat serta berlangsung antara 3-5 hari.
Sedangkan diare kronik adalah diare yang berlanjut lebih dari 2 minggu,
disertai kehilangan berat badan atau tidak bertambahnya berat badan.
(Widjaja, 2002)
Penyebab diare dari faktor bayi adalah adanya infeksi baik di dalam
atau pun di luar saluran pencernaan baik itu infeksi bakteri, virus, maupun
infeksi parasit. Perilaku ibu juga dapat menyebabkan meningkatnya risiko
terjadinya diare seperti tidak mencuci tangan setelah buang air besar dan
9
sesudah membuang tinja anak atau sebelum makan dan menyuapi anak
(Purwanti, 2004).
2. Jenis – Jenis Diare
a. Diare Akut
Diare akut adalah diare yang terjadi sewaktu – waktu tetapi gejalanya
dapat berat dan berlangsung kurang dari 14 hari ( bahkan kebanyakan
kurang dari 7 hari ), dengan pengeluaran tinja jyang lunak atau cair yang
sering dan tanpa darah.
b. Diare kronis atau menahun/ persisten
Pada diare menahun ( kronis), kejadiannya lebih komplek. Factor yang
menyebabkan diare kronis yaitu 1) gangguan bakteri, jamur dan
parasit, 2) Malabsorpsi kalori, 3) Malabsorpsi Lemak.
3. Faktor penyebab diare
Factor penyebab diare dapat dibagi dalam beberapa faktor, yaitu :
a. Pemberian makanan tambahan
Memberikan makanan tambahan pada anak umur kurang dari
enam bulan dapat menambah risiko kontaminasi yang sangat tinggi.
Terdapat bahaya gastroenteritis yang merupakan penyakit serius pada
anak. Adanya perubahan dalam pola konsumsi terutama konsumsi ASI
yang bersih dan mengandung faktor anti infeksi, menjadi makanan yang
sering kali dipersiapkan, disimpan dan diberikan pada anak dengan cara
10
yang tidak hygienis dapat meningkatkan resiko infeksi yang lebih
tinggi, terutama penyakit diare ( Muchtadi, 2002).
Pemberian makanan tambahan seharusnya diberikan pada saat
bayi berumur 6 bulan ke atas. Beberapa enzim pemecahan protein
seperti asam lambung, pepsin, lipase, enzim amylase akan diproduksi
sempurna pada saat bayi berumur 6 bulan. Pada bayi yang berumur 0-6
bulan rentan terkena diare dikarenakan enzim laktosa dalam usus
kerapatannya belum sempurna sehingga sulit untuk menguraikan
kuman-kuman yang masuk sehingga bayi diare ( Hartono, 2008).
b. Faktor infeksi
1) Infeksi enternal yaitu : infeksi saluran pencernaan yang merupakan
penyebab utama pada diare anak. Infeksi internal ini meliputi :
a) Infeksi
bakteri
:
Vibro,
E.coli,
salmonella,
shigella,
Campyllobacter, Yersinia, Aeromonas dan sebagaimana.
b) Infeksi Virus : Enteroovirus ( Virus ECHO, Coxsackie,
Poliomyelitis), Adenovirus, Rotavirus, Astrovirus dan lain-lain.
c) Infeksi
parasit
:
Cacing
(Ascaris,
Trichuris,
Oxyuris,
Strongyloides), Protozoa ( Entamoebahistolytica, Giardia
lamblia, Trichomonas hominis), Jamur (Candida albicans.
2) Infeksi parental yaitu infeksi dibagian tubuh lain diluar alat
pencernaan, seperti Otitis Media Akut ( OMA), Tonsilo faringitis,
11
Bronkopneumonia,
Ensefalitis dan sebagainya. Keadaan ini
terutama terdapat pada bayi dan anak berumur dibawah 2 tahun
( Hassan, 2005).
c. Faktor Malabsorpsi
1) Malabsorbsi Karbohidrat : disakarida (intoleransi laktosa, maltose
dan sukrosa), monosakarida (intoleransi glukosa, fruktosa dan
galaktosa). Pada bayi dan anak yang terpenting dan tersering adalah
intoleransi laktosa.
2) Malabsorbsi lemak : dalm makanan terdapat lemak yang disebut
triglyserida.
Triglyserida,
dengan
bantuan
kelenjar
lipase,
mengubah lemak menjadi micelles yang siap diabsorbsi usus, diare
dapat muncul karena lemaktidak terserap dengan baik. Gejalanya
adalah tinja mengandung lemak.
3) Malabsorbsi Protein
d. Faktor Makanan
Faktor Makanan : makanan basi, beracun, alergi terhadap makanan.
e. Faktor Psikologi
Faktor Psikologi : rasa takut dan cemas. Walaupun jarang dapat
menimbulkan diare pada anak yang lebih besar (Hasan, 2005).
12
f. Tidak mencuci tangan dengan bersih setelah selesai buang air besar
atau
membersihkan
tinja
anak
yang
terinfeksi,
sehingga
mengkontaminasi alat-alat yang di pegang ( Hartono, 2008).
4. Patogenesis
Mekanisme dasar yang menyebabkan timbulnya diare adalah :
a. Gangguan Osmotik
Akibat terdapatnya makanan atau zat yang tidak dapat diserap oleh
rongga usus meninggi, sehingga terjadi pergeseran air dan elektrolit
kedalam rongga usus. Isi rongga usus yang berlebihan ini akan
merangsang usus untuk mengeluarkannya sehingga timbul diare.
b. Gangguan Sekresi
Akibat rangsangan tertentu (missal oleh toksin) pada dinding usus akan
terjadi peningkatan sekresi air dan elektrolit kedalam rongga usus dan
selanjutnya diare timbul karena peningkatan isi rongga usus.
c. Gangguan Motilitas Usus
Hiperperistaltik usus akan mengakibatkan berkurangnya kesempatan
usus untuk menyerap makanan, sehingga timbul diare. Sebaliknya bila
peristaltic usus akan menurun akan mengakibatkan bakteri tumbuh
berlebihan yang selanjutnya dapat menimbulkan diare pula.
13
Patogenesis diare akut :
a. Masuknya jasad renik yang masih hidup ke dalam usus halus setelah
berhasil melewati rintangan asam lambung.
b. Jasad renik tersebut berkembang biak (multiplikasi) didalam usus halus.
c. Oleh jasad renik dikeluarkan toksin (toksin diaregenik).
d. Akibat toksin tersebut terjadi hipersekresi yang selanjutnya akan
menimbulkan diare.
Patogenesis Diare Kronis :
Lebih
kompleks
dan
faktor-faktor
feksi
bakteri,
yang
menimbulkannya adalah ialah infeksi bakteri, parasit, malabsorbsi,
malnutrisi dan lain-lain.
5. Akibat Diare
Sebagai akibat diare baik akut maupun kronis akan terjadi :
a. Kehilangan air dan elektrolit ( terjadi dehidrasi) yang mengakibatkan
gangguan keseimbangan asam basa (asidosis metabolic, hipokalemia).
b. Gangguan gizi akibat kelaparan (masukan kurang, pengeluaran
bertambah).
c. Hipoglikemia ( defisiensi kandungan glukosa darah yang menimbulkan
gelisah, hipotermia, sakit kepala, bingung serta kadang-kadang kejang
dan koma.
d. Gangguan sirkulasi darah
14
6. Gejala klinis
Mula-mula bayi dan anak menjadi cengeng, gelisah, suhu tubuh
biasanya meningkat, nafsu makan berkurang atau tidak ada, kemudian
timbul diare. Tinja cair dan mungkin disertai lendir atau darah. Warna tinja
makin lama berubah menjadi kehijau-hijauan karena tercampur dengan
empedu. Anus dan daerah sekitarnya lecet karena seringnya defekasi dan
tinja makin lama makin asam sebagai akibat makin banyaknya asam laktat,
yang berasal dari laktosa yang tidak dapat diabsorbsi usus selama diare.
Gejala muntah dapat terjadi sebelum atau sesudah diare dan dapat
disebabkan oleh lambung yang turut meradang atau akibat gangguan
keseimbangan asam-basa dan elektrolit. Bila penderita telah kehilangan
banyak cairan dan elektrolit, maka gejala dehidrasi mulai tampak. Berat
badan turun, turgor kulit berkurang, mata dan ubun-ubun besar menjadi
cekung, selaput lendir bibir dan mulut serta kulit tampak kering (Hasan dan
Alatas, 1998)
7. Komplikasi
Menurut Hasan (2005), sebagai akibat kehilangan cairan dan
elektrolit secara mendadak, dapat terjadi berbagai macam komplikasi
seperti :
a. dehidrasi (ringan, sedang, berat, hipotonik, isotonic atau hipertonik)
b. Renjatan hipovolemik
15
c. Hipokalemia (dengan gejala meteorismus, hipotoni otot, lemah,
bradikardia, perubahan pada elektrokardiogram)
d. Hipoglikemia, intoleransi laktosa sekunder, sebagai akibat defisiensi
enzim laktase karena kerusakan vili mukosa usus halus
e. Kejang (terutama pada dehidrasi hipertonik)
f. Malnutrisi energi protein (karena selain diare dan muntah, penderita
juga mengalami kelaparan).
B. ASI Eklusif
Secara alamiah, seorang ibu mampu menghasilkan Air Susu Ibu (ASI)
segera setelah melahirkan. ASI diproduksi oleh alveoli yang merupakan bagian
hulu dari pembuluh kecil air susu. ASI merupakan makanan yang paling cocok
bagi bayi karena mempunyai nilai gizi yang paling tinggi dibandingkan dengan
makanan bayi yang dibuat oleh manusia ataupun susu yang berasal dari hewan
seperti susu sapi, susu kerbau, atau susu kambing. Pemberian ASI secara penuh
sangat dianjurkan oleh ahli gizi diseluruh dunia. Tidak satupun susu buatan
manusia (susu formula) dapat menggantikan perlindungan kekebalan tubuh
seorang bayi, seperti yang diperoleh dari susu kolostrum (Krisnatuti dan
Yenrina, 2001).
Air susu ibu selain sebagai sumber nutrisi dapat member perlindungan
kepada bayi melalui berbagai zat kekebalan yang dikandungnya. Walaupun ibu
16
dalam kondisi kekurangan gizi sekalipun, ASI tetap mengandung nutrisi
esensial yang cukup untuk bayi dan mampu mengatasi infeksi melalui
komponen sel fagosit dan immunoglobulin (Munasir dan Kurniati, 2008).
Sedangkan menurut Roesli (2005) ASI akan merangsang pembentukan daya
tahan tubuh bayi sehingga ASI berfungsi pula sebagai imunisasi aktif.
Kandungan protein ASI cukup tinggi dan komposisinya berbeda dengan
protein yang terdapat dalam susu sapi. Protein dalam ASI dan susu sapi terdiri
dari protein whey dan casein. Protein dalam ASI lebih banyak terdiri dari
protein whey yang lebih mudah diserap oleh usus bayi, sedangkan susu sapi
lebih banyak mengandung protein casein yang lebih sulit dicerna oleh usus bayi
(Hendarto dan Pringgadini, 2008)
Adapun hasil eksperimen pada hewan uji membuktikan bahwa limfosit
yang terdapat di dalam ASI dapat melintasi dinding usus bayi dan masuk ke
dalam sirkulasi darah, sehingga dapat mengaktifkan sistem imun bayi (Chantry,
dkk,2006).
Pemberian ASI yang dianjurkan adalah ASI eksklusif selama 6 bulan
yang diartikan bahwa bayi hanya mendapatkan ASI saja tanpa makanan atau
minuman lain termasuk air putih (Matondang, dkk, 2008).
1. Manfaat ASI Eksklusif
17
World Health Organization (WHO) menjelaskan bahwa ASI adalah
makanan ideal untuk pertumbuhan dan perkembangan bayi (Prasetyono,
2009).
Menyusui mendatangkan keuntungan bagi bayi, ibu, keluarga,
masyarakat dan Negara serta lingkungan. ( Roesli, 2000) menyatakan
bahwa ASI banyak manfaat, diantaranya adalah :
a. Bagi bayi
ASI adalah makanan bayi yang paling sempurna baik kualitas maupun
kuantitasnya. Manfaat ASI bagi bayi adalah sabagai nutrisi yang
memiiliki komposisi yang seimbang dan disesuaikan dengan kebutuhan
pertumbuhan bayi; meningkatkan daya tahan tubuh bayi karena
mengandung zat kekebalan untuk melindungi bayi dari berbagai
penyakit infeksi bakteri, virus, parasit, dan jamur; meningkatkan jalinan
kasih sayang; meningkatkan daya penglihatan dan kepandaian bicara;
mengurangi risiko terkena penyakit kencing manis, kanker pada anak,
dan penyakit jantung; menunjang perkembangan motorik.
b. Bagi Ibu
Memberikan ASI bagi ibu memiliki manfaat besar diantaranya
ibu akan lebih cepat langsing, perdarahan akan lebih cepat berhenti,
mengurangi angka risiko terkena kanker, sebagai cara kontrasepsi untuk
menjarangkan kehamilan, membantu rahim kembali ke ukuran semula,
18
lebih ekonomis sehingga ibu tidak repot, praktis dan ibu dapat
merasakan kepuasan yang mendalam.
c. Bagi Keluarga
Memberikan ASI lebih ekonomis dan praktis dan menjadikan bayi lebih
sehat sehingga keluarga mengeluarkan lebih sedikit biaya untuk
perawatan kesehatan, waktu dan tenaga keluarga akan lebih hemat
karena ASI selalu tersedia.
d. Bagi Masyarakat dan Negara
ASI juga memiliki manfaat yang besar bagi masyarakat dan negara,
yaitu bayi yang sehat akan menghemat devisa negara untuk pembelian
susu formula, menghemat pada sektor kesehatan karena jumlah bayi
yang sakit hanya sedikit, memperbaiki kelangsungan hidup anak dengan
menurunkan angka kematian, menciptakan generasi penerus bangsa
yang tangguh dan berkualitas, serta membuat negara lebih sehat dengan
memiliki bayi yang sehat.
e. Bagi Lingkungan
ASI akan mengurangi bertambahnya sampah dan polusi di dunia.
Dengan memberikan ASI berarti tidak memerlukan kaleng susu, karton
dan kertas pembungkus, botol plastik, dan dot karet. ASI tidak
19
menambah polusi udara karena untuk membuatnya tidak memerlukan
pabrik yang mengeluarkan asap, tidak memerlukan alat transportasi
yang juga mengeluarkan asap, juga tidak perlu menebang hutan untuk
membangun pabrik susu yang besar.
ASI mengandung sebagian besar air sebanyak 87,5%,
oleh karena itu bayi yang mendapat cukup ASI tidak perlu lagi
mendapat tambahan air walaupun berada di tempat yang
mempunyai suhu udara panas (Hendarto dan Pringgadini, 2008).
2. Klasifikasi ASI
Berdasarkan waktu produksinya, ASI dibedakan menjadi tiga, yaitu
kolostrum, foremilk (air susu peralihan), hindmilk (air susu matang).
Penjelasan selengkapnya sebagai berikut (Prasetyono, 2009) :
a. Kolostrum
Kolostrum merupakan ASI yang keluar pada saat kelahiran
sampai hari ke-4 atau ke-7 (Roesli, 2005). Kolostrum kaya akan zat
antibodi terutama IgA. Selain itu, di dalam kolostrum terdapat lebih dari
50 proses pendukung perkembangan imunitas termasuk factor
pertumbuhan dan perbaikan jaringan (Munasir dan Kurniati, 2008).
Kolostrum
mengandung
sel
darah
putih
dan
protein
imunoglobulin pembunuh kuman dalam jumlah paling tinggi.
Kolostrum dihasilkan pada saat sistem pertahanan tubuh bayi paling
20
rendah. Jadi dapat dianggap bahwa kolostrum adalah imunisasi pertam
yang diterima oleh bayi (Roesli, 2005). Disamping banyaknya zat
antibodi yang terkandung, kolostrum juga mengandung banyak faktor
imunosupresif yang mencegah terjadinya stimulasi berlebih akibat
masuknya antigen dalam jumlah yang besar (Sumadiono, 2008).
Kolostrum mengandung protein tinggi sekitar 10%, vitamin
yang
larut
dalam
lemak
(vitamin
A),
mineral
natrium
dan
immunoglobulin (IgA) (Kodrat, 2010). Kolostrum memiliki ciri-ciri
yaitu berupa cairan kental berwarna kuning keemasan atau krem,
wujudnya sangat kental dan jumlahnya sangat sedikit, bertindak sebagai
laksatif, volume kolostrum sekitar 150- 300 ml/ 24 jam (Prasetyono,
2009).
Adapun manfaat kolostrum bagi bayi adalah sebagai pembersih
selaput usus bayi, yang dapat membersihkan mekonium sehingga
saluran pencernaan siap untuk menerima makanan, memberikan
perlindungan tubuh terhadap infeksi, mampu melindungi tubuh bayi dari
berbagai penyakit infeksi untuk jangka waktu sampai enam bulan
(Weni, 2009).
b.
Foremilk (Air Susu Peralihan)
Air susu yang keluar pertama kali disebut susu awal (foremilk).
Foremilk disekresi sejak hari ke-4/ke-7 sampai hari ke-10/ke-14 (Roesli,
21
2000). Air susu ini hanya mengandung sekitar 1- 2% lemak dan terlihat
encer, serta tersimpan dalam saluran penyimpanan. Jumlahnya sangat
banyak dan membantu menghilangkan rasa takut haus pada bayi. Dalam
foremilk ini, kadar protein makin rendah sedangkan kadar karbohidrat
dan lemak makin meningkat ( Roesli, 2000).
c. Hindmilk (Air Susu Matang/ Mature)
Hindmilk keluar setelah foremilk habis, yakni saat menyusui
hampir selesai. Hindmilk merupakan ASI yang dikeluarkan pada sekitar
hari ke-14 dan seterusnya dengan komposisi relatif konstan (Roesli,
2000). Hindmilk sangat kaya, kental, dan penuh lemak bervitamin. Air
susu ini memberikan sebagian besar energi yang dibutuhkan oleh bayi.
d. Komposisi ASI yang terkait dengan sistem imunitas
Sistem imun adalah mekanisme yang digunakan tubuh untuk
mempertahankan keutuhan tubuh sebagai perlindungan terhadap bahaya
yang
ditimbulkan
oleh
berbagai
bahan
dalam
lingkungannya
(Matondang, dkk, 2008).
ASI mengandung dalam jumlah tinggi tidak hanya vitamin A
saja tapi juga bahan bakunya yaitu beta karoten. Vitamin A selain
berfungsi untuk kesehatan mata, juga berfungsi untuk mendukung
pembelahan sel, kekebalan tubuh, dan pertumbuhan (Hendarto dan
Pringgadini, 2008).
22
ASI
mengandung
berbagai zat
yang
berfungsi
sebagai
pertahanan nonspesifik maupun spesifik. Pertahanan nonspesifik
diperankan oleh sel seperti makrofag dan neutrofil serta produknya dan
faktor protektif larut, sedangkan sel spesifik sedangkan sel spesifik oleh
sel limfosit dan produknya (Matondang, dkk, 2008).
Sel limfosit T merupakan 80% dari sel limfosit yang terdapat
dalam ASI. Sel limfosit T dapat menghancurkan kapsul bakteri E.coli
dan mentransfer kekebalan selular dari ibu ke bayi yang disusuinya
(Munasir dan Kurniati, 2008).
Penggunaan ASI secara Tepat ASI betapapun baik mutunya
sebagai makanan bayi, tapi belumlah merupakan jaminan bahwa gizi
selalu baik, kecuali apabila ASI tersebut diberikan secara tepat dan
benar ibu tidak dapat melihat berapa banyak ASI yang telah masuk ke
perut bayi (Moehji, 2003).
Untuk mengetahui banyaknya produksi ASI, beberapa criteria
yang dapat dipakai sebagai patokan untuk mengetahui jumlah ASI
cukup atau tidak menurut Moehji (2003) yaitu: Air Susu Ibu yang
banyak dapat merembes keluar melalui puting, sebelum disusukan
payudara merasa tegang, dan berat badan naik dengan memuaskan
sesuai dengan umur.
23
C. Hubungan antara Pemberian ASI dengan Kejadian Diare
Banyak orang tua menganggap bahwa kebutuhan nutrisi bayi tidak
cukup hanya dengan ASI, sehingga bayi perlu dibantu dengan memberikan
makanan pendamping ASI. Pemberian makanan pendamping ASI berupa susu
formula pada kalangan orang tua sudah menjadi hal yang biasa, dengan
berbagai alasan yang diberikan seperti ASI yang keluar sedikit, kesibukan ibu,
kurangnya pengetahuan ibu tentang pemberian ASI, hemat waktu, tergiur
dengan kandungan susu formula yang ditawarkan. Kebanyakan orang tua
menilai pemberian susu formula hamper setara dengan ASI dan dapat
mencukupi kebutuhan gizi bayinya (Orzy, 2008)
Pemberian makanan berupa ASI sampai bayi mencapai usia 4-6 bulan,
akan memberikan kekebalan kepada bayi terhadap berbagai macam penyakit
karena ASI adalah cairan yang mengandung zat kekebalan tubuh yang dapat
melindungi bayi dari berbagai penyakit infeksi bakteri, virus, jamur dan parasit.
Oleh karena itu, dengan adanya zat anti infeksi dari ASI, maka bayi ASI
eksklusif akan terlindungi dari berbagai macam infeksi baik yang disebabkan
oleh bakteri, virus, jamur dan parasit. Ada perbedaan yang signifikan antara
bayi yang mendapat ASI eksklusif minimal 4 bulan dengan bayi yang hanya
24
diberi susu formula. Bayi yang diberikan susu formula biasanya mudah sakit
dan sering mengalami problema kesehatan seperti sakit diare dan lain-lain yang
memerlukan pengobatan sedangkan bayi yang diberikan ASI biasanya jarang
mendapat sakit dan kalaupun sakit biasanya ringan dan jarang memerlukan
perawatan (Wahyu, 2000).
Hal tersebut didukung oleh hasil penelitian di Filipina yang menegaskan
tentang manfaat pemberian ASI ekskusif serta dampak negatif pemberian cairan
tambahan tanpa nilai gizi terhadap timbulnya penyakit diare. Seorang bayi yang
diberi air putih atau minuman herbal, lainnya beresiko terkena diare 2-3 kali
lebih banyak dibandingkan bayi yang diberi ASI Eksklusif (BKKBN, 2009).
D. Konsep Bayi
Masa bayi dimulai dari usia 0-12 bulan yang ditandai dengan
pertumbuhan dan perubahan fisik yang cepat disertai dengan perubahan dalam
kebutuhan zat gizi (Notoatmodjo, 2007). Selama periode ini, bayi sepenuhnya
tergantung pada perawatan dan pemberian makan oleh ibunya.
Nursalam, dkk (2005) mengatakan bahwa tahapan pertumbuhan pada
masa bayi dibagi menjadi masa neonatus dengan usia 0-28 hari dan masa pasca
neonatus dengan usia 29 hari-12 bulan. Masa bayi merupakan bulan pertama
kehidupan kritis karena bayi akan mengalami adaptasi terhadap lingkungan,
perubahan sirkulasi darah, serta mulai berfungsinya organ-organ tubuh, dan
25
pada pasca neonatus bayi akan mengalami pertumbuhan yang sangat cepat
(Perry & Potter, 2005).
1. Pertumbuhan Bayi
Supariasa (2001) menyatakan bahwa pertumbuhan berkaitan
dengan perubahan dalam besar, jumlah, ukuran, dan fungsi tingkat sel,
organ maupun individu, yang diukur dengan ukuran berat (gram, pound,
kilogram), ukuran panjang (cm, meter), umur tulang dan keseimbangan
metabolik (retensi kalsium dan nitrogen tubuh). Pertumbuhan fisik
merupakan hal yang kuantitatif, yang dapat di ukur. Indicator ukuran
pertumbuhan meliputi perubahan dan tinggi dan berat badan, gigi,
struktur skelet, dan karakteristik seksual (Perry & Potter, 2005).
Pertumbuhan pada masa anak-anak mengalami perbedaan yang
bervariasi sesuai dengan bertambahnya usia anak. Secara umum,
pertumbuhan fisik dimulai dari arah kepala ke kaki (cephalokaudal).
Kematangan pertumbuhan tubuh pada bagian kepala berlangsung lebih
dahulu, kemudian secara berangsur-angsur diikuti oleh tubuh bagian
bawah. Selanjutnya, pertumbuhan bagian bawah akan bertambah secara
teratur (Nursalam dkk, 2005).
26
2. Panjang Badan
Istilah panjang dinyatakan sebagai pengukuran yang dilakukan
ketika anak telentang (Wong dkk, 2008). Pengukuran panjang badan
digunakan untuk menilai status perbaikan gizi. Selain itu, panjang badan
merupakan indikator yang baik untuk pertumbuhan fisik yang sudah
lewat (stunting) dan untuk perbandingan terhadap perubahan relatif,
seperti nilai berat badan dan lingkar lengan atas (Nursalam dkk, 2005).
Pengukuran panjang badan dapat dilakukan dengan sangat
mudah untuk menilai gangguan pertumbuhan dan perkembangan anak.
Panjang badan bayi baru lahir normal adalah 45-50 cm dan berdasarkan
kurva pertumbuhan yang diterbitkan oleh National Center for Health
Statistics (NCHS), bayi akan mengalami penambahan panjang badan
sekitar 2,5 cm setiap bulannya (Wong dkk, 2008). Penambahan tersebut
akan berangsur-angsur berkurang sampai usia 9 tahun, yaitu hanya
sekitar 5 cm/tahun dan penambahan ini akan berhenti pada usia 18-20
tahun (Nursalam dkk., 2005).
E. Kerangka Teori
Faktor-faktor yang dapat menimbulkan penyakit tergantung pada host,
agent dan environment. Ketiga faktor tersebut merupakan tritunggal yang
selalu ada tetapi tidak akan selalu menimbulkan penyakit, hal itu tergantung
27
pada kondisi masing-masing faktor serta proses interaksi antara ketiga factor
tersebut. Sakit akan terjadi bila dalam lingkungan yang memadai agent
berhasil memasuki tubuh host dan mulai menimbulkan reaksi.
.
(Roesli, 2005)
ASI
(Bustan, 2002)
Perilaku Hidup
Bersih dan Sehat
(Wahyu, 2000)
ASI
Kejadian Diare
Bagan 2.1 Kerangka Teori
F. Kerangka Konsep
Berdasarkan kerangka teori yang dikemukakan olehWahyu, Roesli, dan
Bustam, maka dibuat kerangka konsep untuk penelitian ini sebagai berikut :
28
Variabel Independent
Variabel Dependent
Kejadian Diare pada
Bayi 0-6 Bulan
Pemberian ASI
Bagan 2.2 Kerangka Konsep
G. Hipotesa
Ada hubungan pemberian ASI dengan kejadian diare pada bayi 0-6
bulan di Puskesmas Wilayah Kerja Blang Bintang Kecamatan Blang Bintang
Kabupaten Aceh Besar Tahun 2013.
BAB III
METODELOGI PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Adapun penelitian yang dilakukan adalah penelitian analitik karena
bertujuan menganalisa, menjelaskan suatu hubungan, menguji berdasarkan teori
yang ada dan menggunakan pendekatan cross sectional yaitu jenis penelitian
yang menekankan waktu pengukuran atau observasi data variabel independen
dan dependen dinilai secara simultan pada suatu saat dan tidak ada tindak
lanjut. (Arikunto, 2010).
29
B. Populasi Dan Sampel
1. Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh ibu yang memiliki bayi
0-6 bulan di Wilayah Kerja Puskesmas Blang Bintang Kecamatan Blang
Bintang Kabupaten Aceh Besar
periode Agustus 2012 sampai dengan
Maret 2013 populasinya yaitu berjumlah 202 orang.
2. Sampel
Sedangkan besarnya sampel dalam penelitian ini dilakukan dengan
menggunakan rumus Slovin dalam Notoadmodjo (2005) :
Keterangan :
N : Besarnya Populasi
n : Besarnya Sampel
d2 : Tingkat Kepercayaan (0,12)
Jadi
=
30
Cara pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah dengan
menggunakan teknik Cluster Sampling yaitu pengambilan sampel dari anggota
populasi secara acak dan terdistribusi secara merata pada semua daerah yang di
teliti.
Penulis menentukan proporsi sampel dengan mempertimbangkan
jumlah ibu yang memiliki bayi 0-6 bulan dari setiap desa, dengan rumus :
jumlah ibu yang memiliki bayi 0-6 bulan.
Keterangan : n
N
= Besarnya Sampel
= Besarnya Populasi
= Jumlah ibu yang memiliki bayi 6- 12 bulan.
No
Nama Desa
Populasi (N)
Sampel (n)
1
Melayo
79
26
2
Sungai Makmur
66
22
3
Cot Saluran
57
19
202
67
Total
31
(Wilayah Kerja PKM Blang Bintang ,2013)
C. Tempat dan waktu Penelitian
1. Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Wilayah Kerja Puskesmas Blang Bintang
Kecamatan Blang Bintang Kabupaten Aceh Besar Tahun 2013.
2.
Waktu penelitian
Penelitian ini dilakukan pada tanggal 19-26 Agustus Tahun 2013.
D. Teknik Pengumpulan Data
1. Data Primer
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini dengan cara
mengedarkan kuesioner langsung dengan responden tentang hubungan
pemberian ASI dengan kejadian diare pada bayi umur 0-6 bulan di Wilayah
Kerja Puskesmas Blang Bintang Kecamatan Blang Bintang Kabupaten
Aceh Besar.
2. Data Sekunder
Data sekunder yang dibutuhkan diperoleh dari Wilayah Kerja
Puskesmas Blang Bintang Kecamatan Blang Bintang Kabupaten Aceh
Besar yaitu data ibu yang memiliki bayi 0-6 yang di kumpulkan mulai
bulan Agustus 2012 – Maret 2013
E. Defenisi Operasional
No
Variabel
Definisi
Cara Ukur
Alat Ukur
Hasil Ukur
Skala
32
Operasional
Ukur
Variabel Dependent ( variabel Terikat )
1.
Kejadian
BAB yang
diare pada
encer atau cair
bayi 0-6
dengan volume
bulan
3 kali atau
Mengedarkan
Kuesioner
kuesioner
- Pernah
Ordinal
- Tidak
Pernah
lebih dalam
sehari
Variabel Independent ( Variabel bebas )
2.
ASI
Pemberian ASI
Mengedarkan
tanpa makanan
kuesioner
Kuesioner
- Ya
- Tidak
lain di usia 0-6
bulan
F. Instrumen Penelitian
Instrument yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner dibuat
berdasarkan telaah kepustakaan yang terdiri dari 1 pertanyaan mengenai diare
dan 1 pertanyaan dari ASI.
G. Pengolahan dan Analisa Data
Ordinal
33
Data yang dikumpulkan diolah secara manual yang menggunakan
langkah-langkah menurut Notoadmodjo ( 2005 ) sebagai berikut :
1. Pengolahan data
Data yang telah terkumpul diolah dengan langkah-langkah sebagai
berikut (Budiarto, 2001) :
a. Editing
: Dilakukan pengecekan kelengkapan data, bila terdapat
kesalahan maka akan diperbaiki dengan pemeriksaan ulang.
b. Coding
: Pemberian nilai pada hasil yang telah ditetapkan dan
menjumlahkannya.
c. Transfering
: yaitu data yang telah diberi kode disusun secara berurutan
mulai dari responden pertama sampai responden terakhir
untuk dimasukan dalam tabel.
d. Tabulating
:Perhitungan sesuai variabel yang dibutuhkan lalu
dimasukan ke dalam tabel distribusi frekuensi untuk
mempermudah analisa data dan pengambilan kesimpulan.
2. Analisa Data
a. Univariat
Data yang diperoleh dari hubungan pemberian ASI dengan
kejadian diare pada bayi umur 0-6 bulan dianalisa dengan cara uji
statistik yaitu dengan menghitung persentase dari setiap variabel. Untuk
test uji hubungan pemberian ASI dengan kejadian diare pada bayi umur
34
0-6 bulan .Data yang diperoleh dari kuesioner dimasukkan kedalam
tabel distribusi frekuensi, kemudian dipresentasekan ke tiap-tiap
kategori dengan menggunakan rumus sebagai berikut. Notoadmodjo
(2003).
P
f
x100 %
n
Ketrangan :
P = persentase
f = Frekwensi teramati
n = Jumlah sampel
b. Bivariat
Analisa bivariat merupakan analisis hasil dari variabel-variabel
bebas yang di duga mempunyai hubungan dengan variabel terikat.
Analisa yang digunakan adalah tabulasi silang. Untuk menguji hipotesa
dilakukan analisa statistik dengan menggunakan uji kategorik Chi
Square Test (X2) pada tingkat kemaknaannya adalah 95 % ( P ≤ 0,05 )
sehingga dapat diketahui ada atau tidakanya perbedaan yang bermakna
secara statistik, dengan menggunakan program computer SPSS for
windows Versi 17,0. Melalui perhitungan uji Chi square ( x2 )
selanjutnya ditarik suatu kesimpulan bila nilai P lebih kecil atau sama
dengan nilai alpha (0,05) maka Ho ditolak dan Ha diterima, yang
35
menunjukkan ada hubungan bermakna antara variabel terikat dengan
variabel bebas.
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Karakteristik Lokasi Penelitian
Puskesmas Blang Bintang merupakan salah satu sarana pelayanan
kesehatan di Kecamatan Blang Bintang
Kabupaten Aceh Besar yang
mempunyai batas-batas sebagai berikut:
a. Sebelah Barat
: Kecamatan Ingin Jaya
b. Sebelah Timur
: Kecamatan Mesjid Raya
c. Sebelah Utara
: Kecamatan Kuta Baro
d. Sebelah Selatan
: Kecamatan Montasik
36
Puskesmas Blang Bintang memiliki 4 orang Dokter umum dan jumlah
Bidan sebanyak 39 orang dan staf tetap berjumlah 67 orang serta dibantu oleh
tenaga kesehatan lainnya.
B. Hasil Penelitian
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada tanggal 19 s/d 26
Agustus 2013 terhadap ibu yang mempunyai bayi 0-6 bulan di Wilayah Kerja
Puskesmas Blang Bintang Kecamatan Blang Bintang Kabupaten Aceh Besar
dengan jumlah sampel 67 akseptor. Pengumpulan data dengan cara pengisian
kuesioner dalam bentuk multiple choise, yang terdiri dari 2 pertanyaan. Maka
hasil penelitian ini disajikan dalam bentuk tabel sebagai berikut:
1. Data Demografi Responden
Tabel 4.1
Karakteristik Responden Berdasarkan Umur Bayi, Pendidikan Orang tua,
Pekerjaan di Wilayah Kerja Puskesmas Blang Bintang Kecamatan Blang
Bintang Kabupaten Aceh Besar
No
Umur Bayi
Frekuensi (f)
Persentase (%)
1.
1 - ≥ 2 Bulan
7
10,5
2.
3 - ≥ 4 Bulan
34
50,7
37
3.
5 - 6 Bulan
26
38,8
Jumlah
67
100
Frekuensi (f)
Persentase (%)
No.
Pendidikan
1.
Tinggi
14
20,9
2.
Menengah
29
43,3
3.
Dasar
24
35,8
Jumlah
67
100
Frekuensi (f)
Persentase (%)
No.
Pekerjaan
1.
Bekerja
26
38,8
2.
Tidak Bekerja
41
61,2
Jumlah
67
100
Sumber : Data Primer (Diolah, 2013)
Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahwa umur bayi responden
mayoritas berada pada umur 3 - ≥ 4 bulan yaitu sebanyak 34 orang (50,7%),
pendidikan responden mayoritas berada pada kategori menengah yaitu
sebanyak 29 responden (43,3%), pekerjaan responden mayoritas berada
pada kategori tidak bekerja yaitu sebanyak 41 responden (61,2%),
2. Analisa Univariat
a. Diare
38
Tabel 4.2
Distribusi Frekuensi Diare pada Bayi 0-6 Bulan di Wilayah Kerja
Puskesmas Blang Bintang Kecamatan Blang Bintang
Kabupaten Aceh Besar
No
Diare
Frekuensi
(%)
1.
Pernah
38
58,2
2.
Tidak pernah
29
41,8
67
100
Jumlah
Sumber : Data Primer (Diolah, 2013)
Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahwa mayoritas
responden pernah menderita diare yaitu sebanyak 39 responden
(58,2%).
b. Pemberian ASI
Tabel 4.3
Distribusi Frekuensi Pemberian ASI pada Bayi 0-6 Bulan di Wilayah
Kerja Puskesmas Blang Bintang Kecamatan Blang Bintang Kabupaten
Aceh Besar
39
No
Pemberian ASI
Frekuensi
(%)
1.
Ya
21
31,3
2.
Tidak
46
68,7
67
100
Jumlah
Sumber : Data Primer (Diolah, 2013)
Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahwa Pemberian ASI
pada bayi 0-6 bulan mayoritas Tidak Memberikan ASI yaitu sebanyak
46 responden (68,7%).
3. Analisa Bivariat
a. Hubungan Pemberian ASI Terhadap Kejadian Diare
Tabel 4.4
Hubungan Pemberian ASI Terhadap Kejadian Diare di Wilayah Kerja
Puskesmas Blang Bintang Kecamatan Blang Bintang Kabupaten Aceh
Besar
Pemberian
ASI
Kejadian Diare
Pernah
Total
Value
Tidak
Pernah
Ya
p
f
%
f
%
f
%
14
66,7
7
33,3
21
100
α
40
Tidak
24
Total
38
52,2
22
29
47,8
46
100
0,398
0,05
67
(Sumber : Data Diolah Tahun 2013)
Berdasarkan tabel diatas dapat dilihat dari 21 responden yang
memberikan ASI ternyata 66,7% pernah menderita diare, sedangkan
dari 46 responden yang bayinya tidak diberikan ASI ternyata 52,2% juga
pernah menderita diare.
Hasil analisis statistik menggunakan uji Chi-square didapat nilai p
value = 0,398 (p < 0,05) dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
tidak ada hubungan antara Pemberian ASI dengan Kejadian Diare di
Wilayah Kerja Puskesmas Peukan Blang Bintang Kecamatan Blang
Bintang Kabupaten Aceh Besar.
C. Pembahasan
41
Hubungan Pemberian ASI dengan kejadian diare di Wilayah Kerja
Puskesmas Blang Bintang Kecamatan Blang Bintang Kabupaten Aceh
Besar Tahun 2013.
Berdasarkan tabel 4.1 dapat dilihat bahwa mayoritas responden
pernah menderita diare yaitu sebanyak 39 responden (58,2%).sedangkan
tabel 4.2 dapat dilihat bahwa Pemberian ASI pada bayi 0-6 bulan mayoritas
Tidak Memberikan ASI yaitu sebanyak 46 responden (68,7%).
Dari tabel 4.4 dapat dilihat dari 21 responden yang memberikan
ASI ternyata 66,7% pernah menderita diare, sedangkan dari 46 responden
yang bayinya tidak diberikan ASI ternyata 52,2% juga pernah menderita
diare.
Hasil analisis statistik menggunakan uji Chi-square didapat nilai p
value = 0,398 (p < 0,05) dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tidak
ada hubungan antara pembeerian ASI dengan Kejadian Diare.
Hal ini sesuai dengan teori Wahyu (2000), Pemberian makanan
berupa ASI sampai bayi mencapai usia 6 bulan, akan memberikan
kekebalan kepada bayi terhadap berbagai macam penyakit karena ASI
adalah cairan yang mengandung zat kekebalan tubuh yang dapat
melindungi bayi dari berbagai penyakit infeksi bakteri, virus, jamur dan
42
parasit. Oleh karena itu, dengan adanya zat anti infeksi dari ASI, maka bayi
ASI eksklusif akan terlindungi dari berbagai macam infeksi baik yang
disebabkan oleh bakteri, virus, jamur dan parasit.
Dalam teori (Purwanti, 2004) menyebutkan Penyebab diare dari
faktor bayi adalah adanya infeksi baik di dalam atau pun di luar saluran
pencernaan baik itu infeksi bakteri, virus, maupun infeksi parasit. Perilaku
ibu juga dapat menyebabkan meningkatnya risiko terjadinya diare seperti
tidak mencuci tangan setelah buang air besar dan sesudah membuang tinja
anak atau sebelum makan dan menyuapi anak .
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Tumbeleka 2008
bahwa
kejadian infeksi diare sedikit bermakna dan tidak terdapat infeksi berat
pada kelompok yang diberi ASI, sedangkan bayipada kelompok yang tidak
mendapatkan ASI banyak mengalami diare.
Hasil penelitian diatas dapat di asumsikan bahwa ada hubungan
kejadian diare pada bayi umur 0-6 bulan yang mendapatkan ASI dengan
bayi yang tidak mendapatkan ASI, dikarenakan rata-rata pendidikan orang
tua masih rendah, yaitu pendidikan dasar 35,8 % dan menengah 43,3 %,
sehingga mereka tidak mengetahui cara menjaga kebersihan lingkungan,
sanitasi sehingga dampaknya pada bayi, sedangkan pekerjaan orang tua
43
yang rata-rata petani maka mereka sibuk dengan pekerjaannya, sehingga
perhatian untuk anak nya kurang dari segi menyiapkan makanan.
44
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Tidak Ada hubungan pemberian ASI dengan Kejadian diare pada bayi 06 bulan di Wilayah kerja Puskesmas Blang Bintang Kecamatan Blang Bintang
Kabupaten Aceh Besar dengan nilai p<0,05 (0,398).
B. Saran
1. Bagi ibu-ibu yang mempunyai bayi0-6 harus berusaha memberikan ASI
eksklusif sampai bayi berumur 6 bulan.
2. Bagi pengelola program gizi diharapkan dapat memberikan penyuluhan
tentang ASI eksklusif kepada masyarakat, khususnya kepada ibu-ibu yang
mempunyai bayi 0-6 bulan,
3. Bagi peneliti lain diharapkan untuk meneliti lebih lanjut hubungan
pemberian ASI dengan kejadian diare pada bayi 0-6 bulan .
45
Download