BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pelayanan publik pada dasarnya adalah memuaskan masyarakat. Pelayanan sebagai proses pemenuhan kebutuhan melalui aktivitas orang lain secara langsung.1 Pelayanan publik menjadi persoalan yang perlu memperoleh perhatian dan penyelesaian yang komprehensif. Hipotesis seperti itu secara kualitatif misalnya dapat dibuktikan dimana berbagai tuntunan pelayanan publik sebagai tanda ketidakpuasan mereka sehari-hari banyak kita lihat. Oleh karena itu, pelayanan yang diberikan oleh pemerintah kepada rakyat terus mengalami pembaruan, baik dari sisi paradigma maupun format pelayanan seiring dengan meningkatnya tuntutan masyarakat dan perubahan didalam pemerintah itu sendiri.2 Pemerintahan (birokrat) yang mengalihkan wewenang kontrol yang dimilikinya kepada masyarakat. Masyarakat diberdayakan sehingga mampu mengontrol pelayanan yang diberikan. Dengan adanya kontrol dari masyarakat pelayanan publik akan lebih baik karena mereka akan memiliki komitmen yang lebih baik, lebih peduli, dan lebih kreatif dalam memecahkan masalah. Pelayanan yang diberikan pemerintah adalah sebagai kewajiban bukan hak karena mereka diangkat oleh pemerintah untuk melayani masyarakat, oleh karena itu harus dibangun komitmen yang kuat untuk melayani sehingga 1 Lijan Poltak Sinambela. REFORMASI PELAYANAN PUBLIK Teori, Kebijakan, dan Implementasi. Jakarta, PT Bumi Aksara, 2007, Hal 42 2 Ibid hal 3 1 pelayanan akan dapat menjadi lebih responsif terhadap kebutuhan masyarakat dan dapat merancang model pelayanan yang lebih kreatif, serta lebih efisien. Efektivitas dan efisiensi saja tidak dapat dijadikan patokan dalam pelayanan publik, diperlukan ukuran lain yaitu keadilan, sebab tanpa ukuran ini ketimpangan pelayanan tidak dapat dihindari. Untuk mencapai keadilan dan mencapai kepuasan dalam pelayanan publik maka dituntutlah kualitas pelayanan publik, yaitu kualitas pelayanan birokrat terhadap masyarakat. Kualitas terdiri atas sejumlah keistimewaan produk, baik keistimewaan langsung, maupun keistimewaan atraktif yang memenuhi keinginan pelanggan dan memberikan kepuasan atas penggunaan produk. Kualitas juga terdiri atas segala sesuatu yang bebas dari kekurangan atau kerusakan. Kepastian pelayanan publik perlu segera disusun standar pelayanan yang jelas. Standar demikian diperlukan bukan hanya untuk kepastian pelayanan, tetapi juga dapat digunakan untuk menilai kompetensi aparatur dan usaha untuk mewujudkan pertanggungjawaban publik. Hak-hak masyarakat dalam pelayanan publik perlu di ekspose untuk diketahui oleh masyarakat, demikian pula kewajiban aparatur dalam memberi pelayanan. Mekanisme penyampaian komplain, keluhan dan berbagai ketidakpuasan kepada lembaga terkait perlu dipermudah, untuk meningkatkan kontrol masyarakat. Salah satu pelayanan publik yang dilakukan pemerintah adalah pelayanan kesejahteraan sosial. Kesejahteraan yang dimaksud adalah suatu tata kehidupan dan penghidupan sosial baik material/ spiritual yang diliputi rasa keselamatan, kesusilaan dan ketentraman lahir batin yg memungkinkan 2 pemenuhan kebutuhan jasmani, rohani, dan sosial. Dalam kehidupan sosial budaya, pelayanan publik yang buruk mengakibatkan terganggunya psikologi masyarakat yang terindikasi dari berkurangnya rasa saling menghargai di kalangan masyarakat. Peningkatan pelayanan kesejahteraan sosial di Indonesia salah satunya adalah pelayanan kesejahteraan sosial bagi lanjut usia. Pelayanan kesejahteraan sosial lanjut usia adalah proses penyuluhan sosial, bimbingan, konseling, bantuan, santunan dan perawatan yang dilakukan secara terarah, terencana dan berkelanjutan yang ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan sosial lanjut usia atas dasar pendekatan pekerjaan sosial. Prinsip kesejahteraan sosial sosial lanjut usia didasarkan pada resolusi PBB NO. 46/1991 tentang principles for Older Person (Prinsip-prinsip bagi lanjut usia) yang pada dasarnya berisi himbauan tentang hak dan kewajiban lanjut usia yang meliputi kemandirian, partisipasi, pelayanan, pemenuhan diri dan martabat. Upaya pemerintah untuk meningkatkan kinerjanya dan mengoptimalkan peran birokrasi dalam memberikan pelayanan kesejahteraan sosial lanjut usia, telah disusun dan ditetapkan Undang-Undang yang mendukung kebijakan khusus lanjut usia, antara lain Undang-Undang Nomor 13 tahun 1998 (Kesejahteraan Lanjut Usia), Peraturan Pemerintah Republik Indonesia, Nomor 43 Tahun 2004 (Pelaksanaan Upaya Peningkatan Kesejahteraan Lansia), Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 52 Tahun 2004 (Komisi Nasional Lansia) dan Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2012 (Pedoman Pelayanan Sosial Lanjut Usia). 3 Bangsa Indonesia sebagai bangsa yang berbudaya luhur, memiliki ikatan kekeluargaan yang mencerminkan nilai-nilai keagamaan dan budaya yang menghargai peran serta kedudukan para lanjut usia dalam keluarga maupun masyarakat, Sebagai warga yang telah berusia lanjut, para lanjut usia mempunyai kebajikan, kearipan serta pengalaman berharga yang dapat di teladani oleh generasi penerus dalam pembangunan nasional. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta perbaikan sosial ekonomi berdampak pada peningkatan derajat kesehatan masyarakat dan usia harapan hidup, sehingga jumlah populasi lansia juga meningkat. Peningkatan jumlah penduduk lansia ini akan membawa dampak terhadap berbagai kehidupan. Dampak utama peningkatan lansia ini adalah peningkatan ketergantungan lansia. Ketergantungan ini disebabkan oleh kemunduran fisik, psikis, dan sosial lansia yang dapat digambarkan melalui empat tahap, yaitu kelemahan, keterbatasan fungsional, ketidakmampuan, dan keterhambatan yang akan dialami bersamaan dengan proses kemunduran akibat proses menua3. Lanjut usia (lansia) adalah seseorang baik wanita maupun laki-laki yang telah berusia 60 tahun ke atas. Lansia merupakan suatu proses alami yang tidak dapat dihindari, berjalan secara terus menerus dan berkesinambungan. Proses ini menyebabkan perubahan anatomis, fisiologis pada tubuh sehingga mempengaruhi fungsi dan kemampuan tubuh secara keseluruhan. Hal ini 3 Yuliati et al. (2014). Perbedaan Kualitas Hidup Lansia yang Tinggal di Komunitas dengan di pelayanan Sosial Lanjut Usia. e-Jurnal Pustaka Kesehatan, vol. 2 (no. 1), 87-88 4 menyebabkan keadaan lansia akan semakin buruk dari waktu ke waktu sehingga lansia akan mengalami kelemahan dan kesakitan4. Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan provinsi dengan prosentase penduduk lansia paling tinggi pada tahun 2012 yaitu 13,04%, diikuti oleh Jawa Timur (10,40%) dan Jawa Tengah (10,34%). Fakta ini dikuatkan dari hasil Indek Pembangunan Manusia (IPM) tahun 2012, menunjukkan usia harapan hidup warga DIY tertinggi di Indonesia dan usia rata-rata harapan hidup di DIY yakni 74 tahun untuk wanita dan 72 tahun untuk pria. Hal ini berarti bahwa pada tahun 2012, prosentase jumlah lansia di DIY sudah melebihi proyeksi prosentase jumlah lansia nasional pada tahun 2020. Data ini dapat dilihat pada Gambar 1.1 yang menyajikan data prosentase penduduk lansia di 13.04 Indonesia berdasarkan Provinsi.5 9.78 10.34 10.4 14 10 8 6 4 1.94 3.17 3.56 4.03 4.07 4.62 4.71 4.78 5.24 5.52 5.8 5.83 5.83 5.83 5.86 5.88 5.89 5.9 5.98 6.2 6.23 6.31 7.05 7.21 7.23 7.44 7.56 8.09 8.34 8.45 12 2 0 Gambar 1.1 Penduduk Lanjut Usia Menurut Provinsi Sumber: Kajian Penyajian Data Lansia DIY 2014 4 Indriana, Desiningrum dan Kristiana. (2011). Religiositas, Keberadaan Pasangan dan Kesejahteraan sosial (Social Well Being) Pada Lansia Binaan PMI Cabang Semarang. Jurnal Psikologi Undip, Vol. 10, No.2, Hal 185 5 Laporan Akhir Kajian Data Lanjut Usia DIY Tahun 2014, Hal 2-3 5 % Prosentase jumlah penduduk lansia di DIY lebih tinggi daripada prosentase jumlah penduduk lansia nasional. Peningkatan prosentase penduduk lansia meningkatkan angka ketergantungan karena besar beban tanggungan kelompok usia produktif atas penduduk usia non produktif meningkat. Hal ini berarti jumlah pembayar pajak menurun, sementara jumlah penduduk yang membutuhkan asistensi sosial meningkat. Dalam kenyataannya, hingga saat ini ketersediaan dan aksesibiltas program dan layanan kesejahteraan lansia masih menjadi masalah penting yang dihadapi oleh sebagian besar lansia di DIY, terutama mereka yang hidup di bawah garis kemiskinan dan sangat bergantung pada dukungan program dan layanan dari pemerintah maupun non-pemerintah. Persoalan aksesibiltitas layanan ini menjadi semakin kompleks karena faktor kesenjangan antar daerah di Indonesia. Dalam kenyataannnya sebagain besar program lansia yang diklaim sukses oleh pemerintah pusat pada praktiknya di beberapa provinsi ternyata tidak selalu diaplikasikan dalam skala yang sama di daerahdaerah lain. Beberapa studi tentang lansia di Indonesia sendiri memprediksikan bahwa implikasi dari minimnya kebijakan dan langkah antisipatif yang diinisiasi oleh pemerintah Indonesia dalam merespon permasalahan ledakan jumlah lansia ini, akan membawa dampak serius di hampir semua dimensi kehidupan kemasyarakatan, tidak terbatas pada sektor ekonomi saja. Pemerintah DIY sendiri hingga saat ini belum menetapkan kebijakan yang 6 secara khusus mengatur tentang sistem layanan kesejahteraan lansia. Kompeksitas persoalan lansia sebagai dampak perubahan sosial yang sangat cepat di wilayah DIY belum sepenuhnya dijadikan pertimbangan dalam kebijakan dan program-program pemerintah daerah hingga saat ini. Oleh karena itu sangat kuat indikasinya bahwa terjadi ketimpangan antara kebijakan dan program pemerintah yang ada saat ini dengan kondisi dan persoalan riil terkait lansia yang ada di lapangan. Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki empat kabupaten dan satu kota, yaitu Kulon Progo, Bantul, Gunung Kidul, Sleman dan Kota Yogyakarta. Dilihat dari kondisi demografi, perkembangan penduduk lanjut usia DIY semakin meningkat seiring dengan peningkatan usia harapan hidup. Berikut adalah data jumlah penduduk usia lanjut di DIY pada tahun 2012. Tabel 1.1 Jumlah Penduduk Usia Lanjut Menurut Kabupaten/Kota Di D.I. Yogyakarta Tahun 2012 No Kabupaten/Kota Jumlah 1. Kulon Progo 63.700 2. Bantul 110.900 3. Gunung Kidul 124.472 4. Sleman 115.989 5. Yogyakarta 37.342 Sumber: Badan Pusat Statistik D.I. Yogyakarta Kabupaten Sleman menempati urutan kedua dalam proporsi penduduk lansia di provinsi DIY. Hasil data jumlah lanjut usia diatas tidak jauh berbeda proporsinya dengan estimasi jumlah lanjut usia pada tahun 2014 yaitu: 7 Tabel 1.2 Estimasi Penduduk Usia Lanjut Menurut Jenis Kelamin Dan Menurut Kabupaten/Kota di D.I. Yogyakarta Tahun 2014 No Kabupaten/Kota Laki-laki Perempuan Jumlah 1 Kulon Progo 28.891 37.242 66.133 2 Bantul 50.126 62.977 113.103 3 Gunung Kidul 56.554 71.802 128.356 4 Sleman 54.344 65.702 120.046 5 Yogyakarta 16.058 22.315 38.373 Sumber: Estimasi Penduduk menurut Umur Tunggal dan Jenis Kelamin menurut Kabupaten/Kota tahun 2014 Tabel 1.2 estimasi penduduk usia lanjut di DIY menunjukkan bahwa proporsi tertinggi penduduk lansia terdapat di Kabupaten Gunungkidul dan proporsi tertinggi kedua terdapat di Kabupaten Sleman. Studi menunjukkan bahwa tajamnya peningkatan populasi lansia sangat erat kaitannya dengan meningkatnya usia harapan hidup (life expectancy). Dalam konteks ini, Daerah Istimewa Yogyakarta persepsi ini terbukti. Angka harapan hidup di propinsi ini lebih tinggi dibandingkan dengan propinsi lain di Indonesia. Hasil proyeksi dasar sensus penduduk (SP) pada 2010 menunjukan usia harapan hidup orang DIY mencapai 74 tahun dan nasional 70,6 tahun. Namun, jumlah lansia yang tinggi di DIY terlihat dari usia harapan hidup di Sleman yang meningkat dari 76,08 tahun menjadi 76,10 tahun pada 2013. Angka tersebut di atas rata-rata DIY dan nasional.6 6 Sleman Tingkatkan Pemberdayaan Lansia. Diakses dari www.republika.co.id tanggal 30 Oktober 2014 jam 21.50 WIB 8 Disamping tingginya usia harapan hidup sebagaimana dicantumkan di atas, DIY juga disinyalir menjadi daerah tujuan pensiun. Biaya hidup yang masih relatif rendah, suasana kota yang tenang, serta keramahan alam dan budayanya menarik lansia dari berbagai daerah untuk menghabiskan masa tuanya di DIY. Faktor-faktor inilah yang menjelaskan tinggi angka lansia di DIY. Kabupaten Sleman merupakan salah satu Kabupaten di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta yang berupaya meningkatkan kegiatan memberdayakan orang lanjut usia. Peningkatan pemberdayaan tersebut dilakukan mengingat jumlah lansia di Kabupaten Sleman cukup besar. Banyak kasus mengenai lansia terlantar dan miskin yang belum secara tegas ditangani oleh pemerintah daerah Kabupaten Sleman. Seharusnya Pemerintah Daerah lebih memperhatikan nasib lansia khususnya lansia terlantar dan miskin. Kebanyakan lansia yang hidup sebatangkara kehidupan mereka sangat menyedihkan karena tidak ada yang mengurus mereka, kondisi fisik mereka yang sudah rapuh tidak kuat lagi untuk bekerja keras sehingga mereka hanya menunggu dan membutuhkan bantuan datang. Berdasarkan data pemutakhiran PMKS dan PSKS Dinas Sosial DIY tahun 2012 jumlah lansia terlantar di DIY terus meningkat. Pada tahun 2011 jumlah lansia terlantar mencapai 30.953 jiwa dan tahun 2012 mencapai 37.199 jiwa, jadi terdapat peningkatan 6.246 jiwa (16,79 %). Data ini tersaji pada tabel dibawah ini yang menunjukkan bahwa lansia terlantar tertinggi ketiga pada tahun 2011 dan 2012 terdapat di Kabupaten Sleman. 9 Tabel 1.3 Jumlah dan Prosentase Lansia Terlantar DIY di Tiap Kabupaten/Kota Tahun 2011 dan 2012 2011 % 2012 % Bantul 6.083 20% 8.025 22% Gunungkidul 12.564 41% 15.422 41% Kulonprogo 4.918 16% 5.432 15% Sleman 5.536 18% 6.017 16% Kota Yogyakarta 1.852 6% 2.303 6% Total 30.953 37.199 Sumber: Laporan Dinas Sosial DIY Tahun 2014 Pemerintah Kabupaten Sleman terus berupaya meningkatkan kegiatan untuk memberdayakan orang lanjut usia setempat melalui Bina Keluarga Lansia, dan Para lansia juga didorong untuk berkegiatan usaha ekonomi produktif. Tujuan kegiatan tersebut untuk meningkatkan kualitas hidup lansia baik dari aspek ekonomi, maupun mental, aktualisasi dan kualitas diri lansia agar dapat hidup mandiri, terhormat dan bermakna. Oleh karena itu, dalam pembinaan peningkatan kesejahteraan lansia di Kabupaten Sleman dilakukan secara terpadu dari sektor maupun lintas program. Selama ini Pemerintah Kabupaten Sleman telah memberikan perhatian pada para lansia diantaranya diwujudkan dengan pemberlakuan KTP seumur hidup, bantuan sosial dari Asistensi Sosisal Lanjut Usia Terlantar, bimbingan sosial dan pendampingan bagi keluarga lansia, serta pendampingan kelompok Usaha Sosial Ekonomi Produktif Lanjut Usia (USEP Lansia). Berdasarkan pembahasan di atas, peneliti tertarik melakukan penelitian terkait pelayanan kesejahteraan sosial bagi lanjut usia di Kabupaten Sleman, untuk mengetahui kesejahteraan para lansia dan peningkatan 10 program kegiatan yang telah dibuat pemerintah daerah Kabupaten Sleman. Penulis dalam penelitian ini akan mengkaji tentang Implementasi Kebijakan Pelayanan Kesejahteraan Sosial bagi Lanjut Usia di Kabupaten Sleman (Studi Kasus Program Bantuan Sosial dn Bimbingan Sosial Bagi Lansia Pada Bidang Sosial di Dinas Tenaga Kerja dan Sosial Kabupaten Sleman) B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah diatas maka dapat dirumuskan suatu permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimana implementasi kebijakan pelayanan kesejahteraan sosial bagi lanjut usia di Kabupaten Sleman? 2. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi implementasi kebijakan pelayanan kesejahteraan sosial bagi lanjut usia di Kabupaten Sleman? C. Tujuan Penelitian Melihat rumusan masalah diatas, maka untuk mengetahui tujuan dari penelitian ini yaitu: 1. Untuk mengetahui pelaksanaan kebijakan dalam meningkatkan pelayanan kesejahteraan sosial bagi lanjut usia yang dibuat Pemerintah Daerah Kabupaten Sleman. 2. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi kebijakan pelayanan kesejahteraan sosial bagi lanjut usia di Kabupaten Sleman. 11 D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis a. Sebagai bahan masukan bagi pengembangan ilmu sosial dan ilmu politik bagi peneliti-peneliti yang berminat dalam melakukan penelitian terhadap objek serupa. b. Penelitian ini diharapkan mampu memberikan ilmu bermanfaat sebagai referensi mata kuliah Implementasi Kebijakan yang diharapkan dapat berguna bagi pembaca. 2. Manfaat Praktis a. Memberikan kontribusi yang positif bagi para insan akademik dan menambah pengetahuan bagi masyarakat luas pada umumnya, khususnya dalam hal ini kepada para keluarga lansia atau lembaga sosial yang peduli pada lansia, mengenai pentingnya kesejahteraan sosial lansia. b. Bagi pemerintah sendiri khususnya diwilayah Kabupaten Sleman, penelitian ini dapat membantu melakukan penyempurnaan dan perbaikan dalam pelayanan kesejahteraan sosial bagi lanjut usia. c. Menyadari dan menghargai para lanjut usia dan jompo juga merupakan bagian dari masyarakat dan selayaknya mempunyai kedudukan yang sama dalam masyarakat. 12 E. Kerangka Dasar Teori Kerangka dasar teori adalah teori-teori atau konsep yang digunakan dalam melakukan kegiatan penelitian atau sering juga dikatakan bahwa kerangka dasar teori merupakan uraian yang menjelaskan variabel-variabel dan hubungan antar variabel berdasarkan konsep atau definisi tertentu. Teori dari suatu penelitian merupakan hal yang sangat penting sehingga permasalahan yang diteliti tidak menyimpang dari tujuan yang telah ditentukan. Teori adalah konsep yang saling berhubungan menurut aturan logis menjadi bentuk pernyataan tertentu sehingga bisa menjelaskan fenomena tersebut secara ilmiah.7 Menurut Marx dan Goodson menyatakan bahwa teori adalah aturan menjelaskan proposisi atau seperangkat proposisi yang berkaitan dengan beberapa fenomena alamiah dan terdiri atas representasi simbolik dari (1) hubungan-hubungan yang dapat diamati di antara kejadian-kejadian (yang diukur), (2) mekanisme atau struktur yang diduga mendasari hubunganhubungan demikian, dan (3) hubungan-hubungan yang disimpulkan serta mekanisme dasar yang dimaksudkan untuk data dan yang diamati tanpa adanya manifestasi hubungan empiris apapun secara langsung.8 Setelah mengetahui definisi teori tersebut diketahui bahwa teori merupakan standar konsep yang digunakan untuk mengamati fenomena sosial yang terjadi didalam masyarakat. Maka tahap selanjutnya penulis akan 7 Lexy J. Moleong. Metodologi Penelitian Kualitatif, PT Remaja Rosdakarya, Bandung, 2002 Hal 3 8 Ibid Hal 35 13 menerangkan mengenai pokok-pokok konsep-konsep teori yang akan dipergunakan seiring karya tulis ini dibuat. 1. Implementasi Kebijakan Implementasi Kebijakan merupakan pelaksanaan sebuah kebijakan yang telah dibuat untuk mencapai target yang telah ditentukan. Peter de Leon dan Linda de Leon menyatakan bahwa ada tiga generasi studi implementasi kebijakan. Generasi pertama adalah Graham T. Allison dalam studinya tentang keputusan dan implementasi kebijakan Misil Kuba. Dengan pendekatan itu, implementasi kebijakan dipercaya sebagai tindakan selanjutnya dari keputusan kebijakan, setidaknya tidak ada kesenjangan antara keputusan dan implementasi kebijakan. Generasi kedua dikembangkan Woodrow Wilson yakni mempercayai bahwa implementasi kebijakan adalah proses top-down, karena struktur hierarki birokrasi atau kita mungkin menyebutnya segabai perspektif pelaksana top-down, perspektif tersebut mempercayai bahwa tugas birokrasi adalah untuk mengimplementasikan kebijakan yang diputuskan institusi politik oleh para aktor. Kemudian generasi ketiga dikembangkan oleh Malcolm L. Goggin yang mempromosikan ide bahwa perilaku sebagai variabel dari pengimplementasi kebijakan lebih menentukan keberhasilan dan kegagalan implementasi kebijakan.9 9 Riant nugroho. Kebijakan Publik di Negara-Negara Berkembang. Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2014, Hal 217-218 14 Implementasi kebijakan bermuara kepada output yang dapat berupa kebijakan itu sendiri maupun manfaat langsung yang dapat dirasakan oleh pemanfaat. Tujuan kebijakan pada prinsipnya adalah melakukan intervensi. Oleh karena itu, implementasi kebijakan sebenarnya adalah tindakan (action) intervensi itu sendiri. Pelaksanaan atau implementasi kebijakan di dalam konteks manajemen berada di dalam kerangka organizing-leading-controlling. Jadi, ketika kebijakan sudah dibuat, maka tugas selanjutnya adalah mengorganisasikan, melaksanakan kepemimpinan untuk memimpin pelaksanaan, dan melakukan pengendalian pelaksanaan tersebut. Inti permasalahan dalam implementasi kebijakan adalah bagaimana kebijakan yang dibuat disesuaikan dengan sumber daya yang tersedia. Keharusan implementasi good governance khususnya pada elemen “penyesuaian prosedur implementasi dengan sumber daya yang digunakan”. Donald Van Meter dan Carl Van Horn mengasumsikan model implementasi kebijakan bekerja sejalan dengan proses kebijakan. Beberapa variabel kritis implementasi kebijakan adalah sumberdaya dan tujuan standar, yang mendorong ke komunikasi antar organisasi dan penegakan aktivitas, karakteristik badan-badan yang mengimplementasikan, yang dipengaruhi oleh kondisi ekonomi, sosial, dan kondisi politik, yang pada gilirannya membangkitkan watak pengimplementasi agar dapat mencapai kinerja kebijakan.10 10 Ibid Hal 219-220 15 KEBIJAKAN Karakteristik lembagalembaga yang di implementasi STANDAR DAN TUJUAN Pelaksanaan Kegiatan KINERJA Komunikasi antar organisasi dan melaksanakan aktivitas SUMBER DAYA Kondisi ekonomi, sosial ,dan politik Gambar 1.2. Model Van Meter dan Van Horn Sumber: Meter dan Van Horn (1975) Model implementasi yang lainnya adalah model Kerangka Analisis Implementasi yang diperkenalkan oleh Daniel Mazmanian dan Paul A. Sabatier menyatakan bahwa implementasi melaksanakan keputusan kebijakan dasar, biasanya digabungkan dalam anggaran dasar tetapi dapat juga mengambil bentuk perintah eksekutif atau keputusan pengadilan yang penting. Duet Mazmanian Sabatier mengklasifikasikan proses implementasi kebijakan ke dalam tiga variabel. Pertama, variabel independen, yaitu mudah tidaknya masalah dikendalikan yang berkenaan dengan indikator masalah teori dan teknis pelaksanaan, keragaman proyek, dan perubahan seperti apa yang dikehendaki. Kedua, variabel intervening, yaitu variabel kemampuan kebijakan untuk menstrukturkan proses implementasi dengan indikator 16 kejelasan dan konsistensi tujuan, dipergunakannya teori kausal, ketepatan alokasi sumberdana, keterpaduan hierarkis di antara lembaga pelaksana, aturan pelaksana dari lembaga pelaksana, dan perekrutan pejabat pelaksana dan keterbukaan kepada pihak luar dan variabel diluar kebijakan yang mempengaruhi proses implementasi yang berkenaan dengan indikator kondisi sosial ekonomi dan teknologi, dukungan publik, sikap dan risorsis dari konstituen, dukungan pejabat yang lebih tinggi, dan komitmen dan kualitas kepemimpinan dari pejabat pelaksana. Ketiga, variabel dependen, yaitu tahapan dalam proses implementasi dengan lima tahapan, yaitu pemahaman dari lembaga/badan pelaksana dalam bentuk disusunnya kebijakan pelaksana, kepatuhan obyek, hasil nyata, penerimaan atas hasil nyata tersebut, dan akhirnya mengarah kepada revisi atas kebijakan yang dibuat dan dilaksanakan tersebut ataupun keseluruhan kebijakan yang bersifat mendasar.11 11 Riant Nugroho D. KEBIJAKAN PUBLIK, formulasi, implementasi, dan evaluasi, PT Elex Media Komputindo Kelompok Gramedia, Jakarta, 2004, Hal 169-170 17 Mudah tidaknya masalah dikendalikan 1. Dukungan teori dan teknologi 2. Keragaman perilaku kelompok sasaran 3. Tingkat perubahan perilaku yang dikehendaki Kemampuan Kebijakan untuk menstrukturkan proses implementasi 1. Kejelasan dan konsistensi tujuan 2. Dipergunakannya teori kausal 3. Ketepatan alokasi sumberdana 4. Keterpaduan hirarkis di antara lembaga pelaksana 5. Aturan pelaksana dari lembaga pelaksana 6. Perekrutan pejabat pelaksana 7. Keterbukaan kepada pihak luar Variabel di luar Kebijakan yang mempengaruhi proses implementasi 1. Kondisi sosio-ekonomi dan teknologi 2. Dukungan publik 3. Sikap dan risorsis dari konstituen 4. Dukungan pejabat yang lebih tinggi 5. Komitmen dan kualitas kepemimpinan dari pejabat pelaksana Tahapan dalam Proses Implementasi Output kebijakan dari lembaga pelaksana Kepatuhan target untuk mematuhi output kebijakan Hasil nyata output kebijakan Diterimanya hasil tersebut Revisi UndangUndang Gambar 1.3. Model Mazmanian dan Sabatier Sumber: Mazmanian & Sabatier (1983: 7) Merilee S. Grindle mencatat bahwa keberhasilan implementasi kebijakan tergantung pada isi kebijakan dan konteks implementasinya, yang disebut sebagai derajat kemampuan implementasi. Dalam hal isi, terkait dengan kepentingan publik yang berusaha dipengaruhi oleh kebijakan; jenis keuntungan yang dihasilkan; derajat perubahan yang dimaksud, posisi pembuat kebijakan dan 18 pengimplementasi kebijakan; serta sumber daya yang dihasilkan. Dalam hal konteks, ada tiga variabel utama yang harus diperhatikan: kekuatan, kepentingan aktor yang terlibat, karakter institusi, dan tingkat kepatuhan.12 Tujuan Kebijakan Isi Kebijakan: 1. kepentingan publik yang berusaha dipengaruhi oleh kebijakan 2. jenis keuntungan yang dihasilkan 3. derajat perubahan yang dimaksud 4. posisi pembuat kebijakan dan pengimplementasi kebijakan 5. sumber daya yang dihasilkan Hasil kebijakan: 1. Impak pada masyarakat, kelompok, dan individu 2. Perubahan dan penerimaan masyarakat Konteks Implementasi: 1. kekuatan, kepentingan aktor yang terlibat 2. karakter institusi 3. tingkat kepatuhan Tujuan yang ingin dicapai Program aksi dan proyek individu yang didesain dan di biayai Apakah program yang dijalankan seperti yang direncanakan? Keberhasilan implementasi kebijakan Gambar 1.4. Model Grindle Sumber: Grindle (1980) 12 Nugroho, op.cit. Hal 221 19 2. Pelayanan Publik Menurut Kohler dalam Sampara Lukman, pelayanan adalah setiap kegiatan yang menguntungkan dalam suatu kumpulan atau kesatuan, dan menawarkan kepuasan meskipun hasilnya tidak terkait pada suatu produk secara fisik. Selanjutnya Sampara berpendapat, pelayanan adalah suatu kegiatan atau urutan kegiatan yang terjadi dalam interaksi langsung antar seseorang dengan orang lain atau mesin secara fisik, dan menyediakan kepuasan pelanggan. Sementara itu, istilah publik berasal dari Bahasa Inggris Public yang berarti umum, masyarakat, negara. Kata Publik sebenarnya sudah diterima menjadi Bahasa Indonesia Baku menjadi Publik yang berarti umum, orang banyak, ramai. Oleh karena itu pelayanan publik diartikan sebagai setiap kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah terhadap sejumlah manusia yang memiliki setiap kegiatan yang menguntungkan dalam suatu kumpulan atau kesatuan, dan menawarkan kepuasan meskipun hasilnya tidak terikat pada suatu produk fisik.13 Pelayanan publik diartikan juga, pemberian layanan (melayani) keperluan orang atau masyarakat yang mempunyai kepentingan pada organisasi itu sesuai dengan aturan pokok dan tata cara yang telah ditetapkan. Dengan demikian, pelayanan publik adalah pemenuhan keinginan dan kebutuhan masyarakat oleh penyelenggara negara. Negara didirikan 13 oleh publik (masyarakat) Sinambela, Op.cit. Hal 4-5 20 dengan tujuan agar dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pada hakikatnya negara dalam hal ini pemerintah (birokrat) haruslah dapat memenuhi kebutuhan masyarakat.14 Pelayanan publik yang menjadi fokus studi disiplin Administrasi Publik di Indonesia, masih menjadi persoalan yang perlu memperoleh perhatian dan penyelesaian yang komprehensif. Pada dasarnya manusia membutuhkan pelayanan, bahkan secara ekstrim dapat dikatakan bahwa pelayanan tidak dapat dipisahkan dengan kehidupan manusia. Hal senada juga dikemukakan Budiman Rusli yang berpendapat bahwa selama hidupnya, manusia selalu membutuhkan pelayanan. Masyarakat setiap waktu selalu menuntut pelayanan publik yang berkualitas dari birokrat, artinya birokrat sesungguhnya haruslah memberikan pelayanan terbaiknya kepada masyarakat.15 Tujuan pelayanan publik pada dasarnya adalah memuaskan masyarakat. Untuk mencapai kepuasan itu dituntut kualitas pelayanan prima yang tercermin dari: a. Transparansi, yakni pelayanan yang bersifat terbuka, mudah dan dapat diakses oleh semua pihak yang membutuhkan dan disediakan secara memadai serta mudah dimengerti; b. Akuntabilitas, yakni pelayanan yang dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; 14 15 Ibid Ibid Hal 3 21 c. Kondisional, yakni pelayanan yang sesuai dengan kondisi dan kemampuan pemberi dan penerima pelayanan dengan tetap berpegang pada prinsip efisiensi dan efektivitas; d. Partisipatif, yakni pelayanann yang dapat mendorong peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan publik dengan memperhatikan aspirasi, kebutuhan, dan harapan masyarakat; e. Kesamaan hak, yaitu pelayanan yang tidak melakukan diskriminasi dilihat dari aspek apa pun khususnya suku, ras, agama, golongan, status sosial, dan lain-lain; f. Keseimbangan hak dan kewajiban, yaitu pelayanan yang mempertimbanagn aspek keadilan antara pemberi dan penerima pelayanan publik.16 Fitzsimmons dalam Budiman berpendapat terdapat lima indikator pelayanan publlik, yaitu reliability yang ditandai pemberian pelayanan yang tepat dan benar; tangibles yang ditandai dengan penyediaan yang memadai sumber daya manusia dan sumber daya lainnya; responsiveness, yang ditandai dengan keinginan melayani konsumen dengan cepat; assurance, yang ditandai tingkat perhatian terhadap etika dan moral dalam memberikan pelayanan, dan empati, yang ditandai tingkat kemauan untuk mengetahui keinginan dan kebutuhan konsumen.17 16 17 Ibid Hal 6 Ibid Hal 7 22 3. Welfare State Pencetus teori welfare state, Prof. Mr. R. Kranenburg, menyatakan bahwa negara harus secara aktif mengupayakan kesejahteraan, bertindak adil yang dapat dirasakan seluruh masyarakat secara merata dan seimbang, bukan mensejahterakan golongan tertentu tapi seluruh rakyat. Welfarestate atau negara kesejahteraan adalah negara yang pemerintahannya menjamin terselenggaranya kesejahteraan rakyat. Dalam mewujudkan kesejahteraan rakyatnya harus didasarkan pada lima pilar kenegaraan, yaitu: Demokrasi (Democracy). Penegakan Hukum (Rule of Law), perlindungan Hak Asasi Manusia, Keadilan Sosial (Social Juctice) dan anti diskriminasi.18 Ide mengenai sistem kesejahteraan negara yang berkembang di Indonesia biasanya lebih sering bernuansa negatif ketimbang positif. Misalnya, sering kita dengar bahwa sistem kesejahteraan negara adalah pendekatan yang boros, tidak kompatibel dengan pembangunan ekonomi, dan menimbulkan ketergantungan pada penerimanya (beneficiaries). Negara kesejahteraan sangat erat kaitannya dengan kebijakan sosial (social policy) yang di banyak negara mencakup strategi dan upaya-upaya pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan warganya, terutama melalui perlindungan sosial (socialprotection) yang mencakup jaminan 18 Teori Welfare State Menurut J.M Keynes “ pemikiran dan peran J.M keynes dalam Teori kesejahteraan Negara”. Diakses dari http://insanakademis.blogspot.com tanggal 7 November 2014 jam 12.12 WIB 23 sosial (baik berbentuk bantuan sosial dan asuransi sosial), maupun jaring pengaman sosial (social safety nets). Menurut J.M. Keyness dan Smith, ide dasar negara kesejahteraan beranjak dari abad ke-18 ketika Jeremy Bentham mempromosikan gagasan bahwa pemerintah memiliki tanggung jawab untuk menjamin the greatest happiness(atau welfare) of the greatestnumber of their citizens. Bentham menggunakan istilah ‘utility’ (kegunaan) untuk menjelaskan konsep kebahagiaan atau kesejahteraan. Berdasarkan prinsip utilitarianisme yang ia kembangkan, Bentham berpendapat bahwa sesuatu yang dapat menimbulkan kebahagiaan ekstra adalah sesuatu yang baik. Sebaliknya, sesuatu yang menimbulkan sakit adalah buruk. Menurutnya, aksi-aksi pemerintah harus selalu diarahkan untuk meningkatkan kebahagian sebanyak mungkin orang. Gagasan Bentham mengenai reformasi hukum, peranan konstitusi dan penelitian sosial bagi pengembangan kebijakan sosial membuat ia dikenal sebagai “bapak kesejahteraan negara” (father of welfare states).19 Di indonesia, konsep kesejahteraan sosial20 termaktub sebagai suatu tata kehidupan dan penghidupan sosial, material maupun spiritual yang diliputi oleh rasa keselamatan, kesusilaan dan ketentraman lahir dan batin, yang memungkinkan bagi setiap warga untuk mengadakan usaha pemenuhan kebutuhan- kebutuhan jasmaniah, rohaniah dan sosial yang sebaik-baiknya bagi diri, keluarga serta masyarakat dengan menjunjung 19 Ibid Undang-Undang RI Nomor 6 Tahun 1974 20 24 tinggi hak-hak atau kewajiban manusia sesuai dengan pancasila. Pasal 33 tentang sistem perekonomian dan 34 tentang kepedulian Negara pada kelompok lemah, menempatkan Negara sebagai pihak yang paling bertanggung jawab dalam mewujudkan kesejahteraan sosial. Meskipun konsep negara kesejahteraan tidak tercantum secara normatif (tegas) dalam UUD 1945, bukan berarti dapat disimpulkan bahwa Indonesia bukan sebagai negara yang mengusung konsep negara kesejahteraan. Harus diingat bahwa membaca sebuah teks hukum tidak cukup hanya dengan melihat apa yang tertuang secara tekstual. Membaca teks UUD 1945 (hal mengenai dan berhubungan dengan konsep negara kesejahteraan) harus menggunakan pendekatan konseptual dan pendekatan sejarah lahirnya UUD 1945. 3.1 Kesejateraan Sosial Lanjut Usia a. Pengertian Kesejahteraan Sosial Lanjut Usia Kesejahteraan Sosial Lanjut Usia adalah suatu tata kehidupan dan penghidupan sosial material maupun spiritual yang diliputi oleh rasa keselamatan, kesusilaan, dan ketenteraman lahirbatin yang memungkinkan bagi setiap warga Negara untuk mengadakan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan jasmaniah, rohaniah, dan sosial yang sebaik-baiknya bagi diri, keluarga serta masyarakat dengan menjunjung tinggi hak-hak asasi serta kewajiban manusia sesuai 25 dengan Pancasila, hal ini dikhususkan bagi seseorang yang telah mencapai usia 60 (enam puluh) tahun keatas.21 b. Program Kesejahteraan Sosial Lanjut Usia Dalam mewujudkan pelayanan kesejahteraan sosial, maka program pokok yang dilaksakan antara lain: Pelayanan Sosial Lanjut Usia, Kelembagaan Sosial Lanjut Usia, Perlindungan Sosial dan Aksesibilitas Lanjut Usia. c. Sasaran Sasaran program pelayanan kesejahteraan sosial lanjut usia: 1. Lanjut Usia 2. Keluarga 3. ORSOS/LSM 4. Masyarakat d. Tujuan 1. Para lanjut usia dapat menikmati hari tuanya dengan aman tenteram dan sejahtera. 2. Terpenuhinya kebutuhan lanjut usia baik jasmani maupun rohani. 3. Terciptanya jaringan kerja pelayanan lanjut usia. 4. Terwujudnya kwalitas pelayanan. 21 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 2004 26 F. Definisi konsepsional Definisi konsepsional merupakan pengertian dari kelompok yang menjadi pokok perhatian. Definisi konseptual ini sebagai gambaran yang lebih jelas untuk menghindari kesalah pahaman terhadap pengertian tentang istilah yang ada dalam pokok permasalahan, serta sangat diperlukan sebagai upaya untuk menghindari pengkaburan tema dari penelitian, maka perlu diperjelas bahwa yang dimaksud dengan: 1. Implementasi Kebijakan Implementasi Kebijakan adalah pelaksanaan atau menjalankan sebuah kebijakan yang telah dibuat oleh pemerintah dengan keputusan bersama untuk mencapai target yang telah ditentukan. 2. Pelayanan Publik Pelayanan publik adalah pemberian layanan (melayani) keperluan orang atau masyarakat yang mempunyai kepentingan pada organisasi itu sesuai dengan aturan pokok dan tata cara yang telah ditetapkan untuk pemenuhan keinginan dan kebutuhan masyarakat oleh penyelenggara negara. G. Definisi Operasional Definisi operasional adalah unsur penelitian yang memberitahukan bagaimana cara mengukur variabel. Definisi operasional digunakan untuk mengetahui indikator-indikator yang merupakan dasar pengukuran variabelvariabel penelitian. 27 Berdasarkan pada teori tentang Implementasi Kebijakan yang dikemukakan oleh Van Meter dan Van Horn. Implementasi Kebijakan dipengaruhi oleh lima indikator yang dimasukkan sebagai indikator yang mempengaruhi kebijakan publik, yaitu: 1.Standar dan sasaran kebijakan 5.Kondisi sosial, ekonomi, dan budaya Implementasi kebijakan 2.Sumber daya pelayanan kesejahteraan sosial lanjut usia. Model Impelentasi Kebijakan Van Meter dan Van Horn 4.Karakteristik agen pelaksana 3.Komunikasi antar organisasi dan penguatan aktivitas Gambar 1.5 Siklus Implementasi Kebijakan Pelayanan Kesejahteraan Sosial Lansia A. Implementasi kebijakan pelayanan kesejahteraan sosial lanjut usia di Kabupaten Sleman 1. Standard dan sasaran kebijakan a. Kejelasan terkait dengan Tujuan dan Sasaran dari Kebijakan; b. Kejelasan tentang standard pelayanan guna mencapai tujuan dan sasaran yang sudah dibuat; c. Kejelasan tentang standard dan sasaran kebijakan agar kebijakan dapat terealisasikan dengan mudah. 28 2. Sumberdaya a. Kejelasan Jumlah, Tugas dan Kompetensi yang dimiliki Implementator; b. Kejelasan terkait dengan Sumber Daya financial atau Anggaran; c. Kejelasan profesionalitas aparat pelaksana. 3. Komunikasi antar organisasi dan penguatan aktivitas a. Kejelasan terkait dengan tujuan dan sasaran dari kebijakan pelayanan kesejahteraan sosial lanjut usia; b. Kejelasan terkait dengan bagaimana bentuk sosialisasi yang dilakukan guna mencapai tujuan dan sasaran yang sudah dibuat; c. Kejelasan dan Pemahaman yang dimiliki oleh Implementator dalam pelaksanaan kebijakan pelayanan kesejahteraan sosial lanjut usia. 4. Karakteristik agen pelaksana a. Kejelasan terkait dengan bagaimana karakter yang dimiliki oleh implementator; b. Kejelasan terkait dengan struktur organisasi, norma-norma, dan pola-pola hubungan yang terjadi dalam birokrasi, yang semuanya itu akan mempengaruhi implementasi kebijakan. 5. Kondisi sosial, ekonomi, dan budaya a. Kejelasan terkait dengan keadaan ekonomi lingkungan yang mendukung keberhasilan implementasi kebijakan; 29 b. Kejelasan terkait dengan keadaan kelompok-kelompok kepentingan memberikan dukungan bagi implementasi kebijakan. B. Faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi kebijakan pelayanan kesejahteraan sosial lanjut usia 1. Kejelasan terkait faktor internal implementasi kebijakan pelayanan kesejahteraan sosial lansia; 2. Kejelasan Terkait faktor eksternal implementasi kebijakan pelayanana kesejahteraan sosial lansia. H. Metode Penelitian Metode adalah seperangkat teknik yang digunakan melakukan seleksi kasus, yang berguna untuk mengukur aspek kehidupan sosial, mengumpulkan dan menemukan data menganalisa, dan melaporkan hasil penelitian. Jadi metode penelitian adalah cara atau teknik yang digunakan oleh peneliti dalam mengumpulkan, mengukur, dan menganalisa data yang diperoleh guna untuk mendapatkan hasil atau laporan dari penelitian tersebut. 1. Jenis Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan metode penelitian kualitatif, dengan beberapa pertimbangan. Pertama, menyesuaikan metode kualitatif lebih mudah apabila berhadapan dengan kenyataan ganda; kedua, metode ini menyajikan secara langsung hakikat hubungan antara peneliti dan responden; dan ketiga, metode ini lebih peka dan lebih dapat menyesuaikan diri dengan 30 banyak penajaman pengaruh bersama dan terhadap pola-pola nilai yang dihadapi. Selain itu metode penelitian kualitatif menghasilkan data deskriptif yang berupa kata-kata tertulis atau lisan, gambar, dan bukan angka-angka. Sehingga laporan penelitian akan berisi kutipan-kutipan data untuk memberikan gambaran atau melukiskan penyajian laporan berdasarkan faktafakta dan menggambarkan suatu fenomena secara sistematis atau berturut. tersebut. Data tersebut berasal dari naskah wawancara, observasi, dokumentasi, dokumen pribadi, catatan atau memo, dan dokumen resmi lainnya.22 Berdasarkan masalah yang diangkat dalam penelitian yang menekankan pada proses dan makna, maka penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif yang bersikap deskriptif dengan maksud memberikan gambaran masalah secara sistematis, cermat, rinci dan mendalam mengenai implementasi kebijakan pelayanan kesejahteraan sosial bagi lanjut usia di Kabupaten Sleman. 2. Lokasi Penelitian Lokasi Penelitian ini adalah di Kabupaten Sleman, dilaksanakan di Dinas Tenaga Kerja dan Sosial Kabupaten Sleman dengan pertimbangan sebagai berikut : a. Program Pelayanan Kesejahteraan Sosial bagi Lanjut Usia merupakan program proses penyuluhan sosial, bimbingan, konseling, bantuan, Lexy J. Moleong. “Metodologi Penelitian Kualitatif”, PT Remaja Rosdakarya, Bandung, 2002, Hal 5 22 31 santunan yang dilakukan secara terarah, terencana dan berkelanjutan yang ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan sosial lanjut usia atas dasar pendekatan pekerjaan sosial. Program tersebut upaya yang dilakukan Pemerintah Daerah Kabupaten Sleman dan masyarakat untuk memberikan kemudahan pelayanan bagi lanjut usia tidak potensial agar dapat mewujudkan dan menikmati taraf hidup yang wajar. b. Dinas Tenaga Kerja dan Sosial Kabupaten Sleman merupakan instansi atau lembaga pemerintahan yang berwenang dan mempunyai tugas pokok melaksanakan sebagian tugas Dinas di Bidang Kesejahteraan Sosial khususnya lanjut usia yang meliputi program pokok yang dilaksanakan antara lain: Pelayanan sosial lanjut usia dengan bimbingan sosial, Kelembagaan Sosial Lanjut Usia Perlindungan Sosial dan bantuan kebutuhan dasar lanjut usia. c. Adanya ijin dari pihak-pihak terkait untuk melakukan penelitian di daerahdaerah tersebut. 3. Unit Analisis Unit analisis berisi tentang penegasan unit atau kesatuan yang akan menjadi subjek penelitian. Sesuai dengan rumusan masalah yang ada dan pokok pembahasan ini maka dalam pembahasannya akan melakukan kegiatan penyusunan yang akan menjadi unit-unit yang dianalisis yaitu pihak-pihak yang terkait, dengan cara mewawancarai Kepala dan Staf Bidang 32 Kesejahteraan Sosial dan sumber data pendukung dari Sub Bagian Umun Sekretariat Dinas di Dinas Tenaga kerja dan Sosial di Kabupaten Sleman. 4. Jenis Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder, dengan pengertian sebagai berikut: a. Data Primer Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari Unit Analisis Penelitian. Penelitian dilakukan di Dinas Tenaga Kerja dan Sosial Kabupaten Sleman dengan mewawancarai Staf Bidang Kesejahteraan Sosial, terkait dengan perumusan kebijakan, program dan kegiatan pelayanan kesejahteraan sosial lansia, apa saja standart, tujuan dan sasaran dari kebijakan, sumberdaya manusia dan finansial yang dimiliki, bagaimana komunikasi antar organisasi dan karakteristik implementor, bagaimana kondisi sosial ekonomi dan politik. Serta faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi kebijakan pelayanan kesejahteraan sosial baik internal maupun eksternal di Kabupaten Sleman. b. Data Sekunder Data sekunder adalah data yang diperoleh tidak langsung, bersumber dari laporan-laporan, buku-buku, catatan-catatan, dokumen dan lain-lainnya yang berhubungan dengan penelitian studi kasus ini. Data sekunder penelitian ini, meliputi data lansia, data kegiatan dan bantuan sosial bagi lanjut usia, dan profil SKPD di Bidang Sosial. 33 5. Teknik Pengumpulan Data Dalam suatu penelitian penting adanya metode pengumpulan data karena penulis harus mengumpulkan data dari penelitian yang akan dilakukan untuk mendapatkan data yang sesuai dengan pokok permasalah yang diteliti, serta tepat dan lengkap sehingga penulis mampu memperoleh data yang dibutuhkan untuk mendapatkan data yang cukup sesuai dengan pokok permasalahan yang diteliti, dapat dipercaya serta benar, maka penulis menggunakan beberapa metode pengumpulan data untuk melengkapi penelitian tersebut. Dalam melakukan penelitian studi kasus penulis menggunakan beberapa teknik pengumpulan data yaitu: a. Teknik wawancara Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu, percakapan yang dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan yang diwawancarai (interviewee) yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu.23 Penelitian ini menggunakan salah satu dari teknik pengumpulan data yaitu dengan teknik wawancara, dengan mengadakan tanya jawab terkait pelaksanaan kebijakan pelayanan kesejahteraan sosial bagi lanjut usia secara langsung kepada nara sumber untuk memperoleh data yang diperlukan. 23 Ibid Hal 135 34 b. Teknik dokumentasi Teknik dokumentasi adalah salah satu metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian. Teknik ini digunakan untuk menelusuri data historis. Informasi dokumentasi sangat masuk akal atau relevan untuk studi kasus dan membantu saat pelaksanaan penelitian.24 Untuk studi kasus, penggunaan dokumen yang paling penting adalah dukungan dan menambah bukti dari sumber-sumber lain. Dokumen dapat menambah rincian spesifik lainnya guna mendukung informasi dan sumbersumber lain, jika bukti dokumenter bertentangan dan bukan mendukung, peneliti mempunyai alasan untuk meneliti lebih jauh topik yang yang bersangkutan. Dokumen sangat penting dalam pengumpulan data studi kasus karena penting bagi rencana pengumpulan data. 6. Teknik Analisis Data Analisis data menurut Patton adalah proses mengatur urutan data, mengorganisasikannya ke dalam suatu pola, kategori, satuan uraian dasar. Dengan penafsiran, yaitu memberikan arti yang signifikan terhadap hasil analisis, menjelaskan pola uraian, dan mencari hubungan diantara dimensidimensi uraian. Dan pengertian analisis data lainnya yaitu menurut Bogdan dan Taylor mendefinisikan analisis data sebagai proses yang merinci usaha Gumelar, Ratri. 2014. “Peningkatan kesejahteraan sosial lansia (Studi Kasus Program Pelayanan Kesejahteraan Lansia di UPT Panti Wredha Budhi Dharma Kota Yogyakarta)”. Skripsi Jurusan Kesejahteraan Sosial UIN Yogyakarta, Hal 27 24 35 secara formal untuk menemukan tema dan merumuskan hipotesis kerja (ide) seperti yang disarankan oleh data25. Terdapat tahap-tahap analisis data, secara umum kegiatan analisis data meliputi rangkaian kegiatan sebagai berikut : a. Pengumpulan data Proses mengumpulkan data-data penelitian yang didapatkan dari lapangan yang dilakukan oleh peneliti dengan menggunakan metode yang sudah ditentukan. b. Reduksi data Proses seleksi dan penyederhanaan data yang diperoleh dilapangan. Hal ini agar dapat digunakan sepraktis dan seefisien mungkin, sehingga hanya data yang diperlukan dan dinilai valid yang dijadikan sumber penelitian. c. Penyajian Data (Data Display) Merupakan sekumpulan dokumen atau informasi yang tersusun atau terkategorisasi yang memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan. d. Penarikan kesimpulan (Clonclusion Drawing) Dari awal pengumpulan data peneliti harus sudah mulai mengerti apa arti dari hal-hal yang ditemui. Dari data yng diperoleh peneliti di lapangan maka dapat diambil penarikan kesimpulan hasil akhir penelitian. 25 Moleong, Op.cit. Hal 103 36