DISTRIBUSI KEPEMILIKAN LAHAN PERTANIAN DAN SISTEM TENURIAL DI DESA-KOTA (Kasus Desa Cibatok 1, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa Barat ) ARTANTI YULAIKA IRIANI A14204004 PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 RINGKASAN ARTANTI YULAIKA IRIANI. Distribusi Kepemilikan Lahan dan Sistem Tenurial di Desa-Kota (Kasus Desa Cibatok 1, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa Barat). Dibawah Bimbingan SATYAWAN SUNITO. Masalah tenurial merupakan masalah mengenai pola penguasaan lahan. Pemusatan penguasaan tanah pada sekelompok kecil anggota masyarakat merupakan pertanda adanya ketimpangan dalam penyebarannya. Ketimpangan dalam pemilikan lahan memungkinkan terjadi di beberapa desa pinggiran kota. Adapun ciri-cirinya antara lain adanya sumber nafkah non-pertanian yang sangat mempengaruhi kehidupan masyarakatnya walaupun sebagian besar lahannya masih dimanfaatkan untuk pertanian serta dengan adanya keikutsertaan pihak luar dalam kepemilikan lahan. Kondisi yang demikian memungkinkan diterapkannya beberapa bentuk sistem tenurial di dalamnya. Tujuan Penelitian ini adalah untuk mengetahui distribusi kepemilikan lahan. Setelah peneliti mengetahui distribusi kepemilikan lahan, peneliti juga ingin mengetahui pola penguasaan lahan pertanian serta ingin mengetahui penerapan sistem sewa, gadai dan bagi hasil di wilayah desa penelitian, sehingga akan diketahui sistem tenurial yang dominan dilakukan. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dan pendekatan kuantitatif (metode survei). Untuk metode survei dipilih secara random sampling 40 orang responden yang merupakan petani. Data primer juga dikumpulkan dari sejumlah informan. Lokasi penelitian adalah Desa Cibatok 1, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa Barat. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa pemilikan tanah di Desa Cibatok 1 secara garis besar diperoleh dengan cara membuka hutan sekitar tahun 1908. Kepemilikan tanah yang diperoleh dengan cara membuka hutan tersebut dimiliki perseorangan secara turun-temurun. Pada saat sekarang ini, harga lahan sawah berkisar antara Rp. 50.000,00 sampai Rp. 15.000,00 permeter persegi. Jenis lahan pertanian yang dimiliki adalah sawah irigasi dengan tanaman yang diusahakan meliputi padi, singkong, ubi jalar, jagung kacang panjang, terong, cabai, ketimun, dan pepaya. Kepemilikan lahan di Desa Cibatok 1 diperoleh melalui dua cara yaitu waris dan jual beli. Terdapat 39 persen, yang lahan pertaniannya dimiliki berasal dari warisan. Sementara itu, 61 persen lahan pertanian dari praktek jual beli dan warisan. Struktur distribusi pemilikan lahan sawah di Desa Cibatok 1 menunjukkan ketimpangan. Dari distribusi kepemilikan lahan pertanian diketahui beberapa golongan petani di Desa Cibatok 1 yaitu yaitu petani kaya (≥1 ha) sebanyak 5 orang, 3 orang petani menengah (0,500-0,999 ha), 10 orang petani miskin ( 0,001-0,499 ha) dan tunakisma (0 ha) sebanyak 22 orang. Ketimpangan kepemilikan lahan pertanian di Desa Cibatok 1 ditunjukkan oleh Indeks Gini pemilikan lahan sawah mencapai angka 0,348; Indeks Kuznet’s pemilikan lahan sawah mencapai angka 0,824; dan berdasarkan perhitungan Bank Dunia pemilikan lahan sawahnya berada dibawah 7 persen. Bagi masyarakat yang tidak bekerja pada sektor non pertanian cenderung tidak merasa peduli pada ketimpangan yang terjadi. Hal tersebut disebabkan karena menurunnya minat masyarakat desa terhadap pertanian yang terjadi sekitar awal tahun 1990-an. Pada beberapa petani yang memiliki lahan sawah yang luasnya ≥1 ha, 0,500-0,999 ha, 0,001-0,499 ha dan tunakisma, tanah memiliki arti penting pada segi ekonomi dan tidak begitu memiliki arti penting pada segi politik. Selain itu memiliki tingkat kepentingan yang berbeda-beda pada segi sosial. Di Desa Cibatok 1, terdapat 3 jenis penguasaan lahan pertanian yaitu sewa yang sering disebut dengan istilah ngontrak., bagi hasil sering disebut dengan istilah paro dan gadai yang biasa disebut dengan istilah ngade’. Sistem tenurial yang dominan diterapkan di Desa Cibatok 1 adalah sistem sewa. Sementara itu. Sistem bagi hasil dominan diterapkan pada lahan sawah yang khusus ditanami padi. Berdasarkan akses petani terhadap lahan pertanian di Desa Cibatok 1, petani yang luas lahannya ≥1 ha, 0,500-0,999 ha, 0,001-0,499 ha dan petani tunakisma memiliki tingkatan akses yang berbeda-beda pada lahan sawah. Perbedaan tersebut didasarkan pada usaha mereka untuk memiliki dan menguasai lahan. Kepemilikan lahan sawah dapat diperoleh dari proses jual beli dan warisan maupun keduanya. Sementara itu, untuk menguasai lahan sawah dapat diperoleh dari praktek sewa, bagi hasil dan gadai. Di Desa Cibatok 1, petani yang luas lahannya ≥2 ha memiliki akses yang lebih tinggi dari petani yang luas lahannya antara 1 - 2 ha. Petani yang luas lahannya antara 1 - 2 ha memiliki akses yang lebih tinggi dari pada petani yang luas lahannya < 1 ha. Petani tunakisma memiliki akses yang paling rendah terhadap lahan sawah dibandingkan ketiga golongan petani diatas. DISTRIBUSI KEPEMILIKAN LAHAN PERTANIAN DAN SISTEM TENURIAL DI DESA-KOTA (Kasus Desa Cibatok 1 Kecamatan Cibungbulang Kabupaten Bogor Propinsi Jawa Barat) ARTANTI YULAIKA IRIANI A14204004 Skripsi Sebagai Bagian Persyaratan untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pertanian Pada Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR Dengan ini menyatakan bahwa skripsi oleh: Nama Mahasiswa : Artanti Yulaika Iriani Nomor Pokok : A14204004 Judul : Distribusi Kepemilikan Lahan Pertanian dan Sistem Tenurial Di Desa – Kota. Kasus Desa Cibatok 1 Kecamatan Cibungbulang Kabupaten Bogor Propinsi Jawa Barat. Dapat diterima sebagai syarat gelar Sarjana Pertanian pada Program Studi Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Menyetujui, Dosen Pembimbing Dr. Satyawan Sunito NIP. 131968005 Diketahui, Dekan Fakultas Pertanian Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M.Agr NIP. 131 124 019 Tanggal Lulus Ujian : PERNYATAAN DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI BERJUDUL DISTRIBUSI KEPEMILIKAN LAHAN PERTANIAN DAN SISTEM TENURIAL DI DESA-KOTA KASUS DESA CIBATOK 1, KECAMATAN CIBUNGBULANG, KABUPATEN BOGOR, PROPINSI JAWA BARAT. ADALAH HASIL KARYA SAYA SENDIRI DENGAN ARAHAN DOSEN PEMBIMBING DAN BELUM PERNAH DIAJUKAN PADA PERGURUAN TINGGI MANAPUN ATAU LEMBAGA AKADEMIK LAIN UNTUK TUJUAN MEMPEROLEH GELAR AKADEMIK TERTENTU. BAHAN RUJUKAN BERASAL ATAU DIKUTIP DARI KARYA YANG DITERBITKAN ATAUPUN YANG TIDAK DITERBITKAN OLEH PIHAK LAIN SEBAGAI BAHAN RUJUKAN YANG DINYATAKAN. Bogor, Agustus 2008 Artanti Yulaika Iriani A14204004 RIWAYAT HIDUP Penulis lahir di Purworejo, Jawa Tengah pada tanggal 21 Juli 1985 sebagai putri pertama dari tiga bersaudara. Putri dari Bapak Budiyono dan Ibu Lisminah. Penulis menempuh pendidikan TK Cempaka III Purworejo pada tahun 1992, Sekolah Dasar Negeri No. 24 Bengkulu tahun 1998, SMP Negeri 1 Bengkulu tahun 2001, dan SMU Negeri 5 Bengkulu tahun 2004, kemudian penulis diterima di Institut Pertanian Bogor pada tahun 2004 melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB). Penulis memilih Program Studi Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Departemen Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi, Fakultas Pertanian. Selama menjadi mahasiswa Institut Pertanian Bogor, penulis pernah menjadi Asisten Praktikum mata kuliah Sosiologi Umum Tahun Ajaran 2006/2007 dan tahun ajaran 2007/2008 di semester ganjil. Penulis juga pernah menjadi Asisten Praktikum mata kuliah Sosiologi PedesaanTahun Ajaran 2006/2007 dan tahun ajaran 2007/2008. Selain itu, penulis pernah menjadi Asisten Praktikum mata kuliah Pengantar Ilmu Kependudukan Tahun Ajaran 2006/2007 dan tahun ajaran 2007/2008. KATA PENGANTAR Alhamdulillahirobbil’alamin, puji syukur kehadirat Allah SWT atas nikmat, karunia-Nya dan terimakasih atas berjuta kesempatan untuk selalu mensyukuri nikmat dan cobaan yang penuh dengan pelajaran berharga, dengan rahmat dan kasih sayang-Nya penyusunan skripsi ini yang berjudul “Distribusi Kepemilikan Lahan Pertanian dan Sistem Tenurial di Desa – Kota (Kasus : Desa Cibatok 1 Kecamatan Cibungbulang Kabupaten Bogor Provinsi Jawa Barat)” dapat diselesaikan. Salawat serta salam semoga tercurah kepada Rasulullah SAW, dengan suri tauladan yang beliau contohkan sehingga manusia berusaha mengistiqomahkan diri pada tuntunan yang benar. Amin. Penyusunan skripsi ini banyak dibantu oleh berbagai pihak yang telah memberikan saran, bimbingan, dan dukungan baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terima kasih kepada : 1. Allah SWT atas segala anugrah berupa rizki dan kekuatan yang diberikan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. 2. Dr. Satyawan Sunito. Selaku dosen pembimbing yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan dan arahan mengenai pembuatan skripsi yang baik sesuai tema dan kaidah-kaidah penulisan. 3. Bapak Budiyono dan Ibu Lisminah yang sangat berarti dalam mendukung penulis untuk melakukan segala aktivitas pendidikan serta untuk segala perhatian dan kasih sayang yang diberikan kepada penulis. Tanpa bapak dan ibu, penulis tidak dapat menyelesaikan semua tugas. 4. Adik Beta Yuli Dameswari dan Muhammad Saung Penggalih atas segala perhatian, dukungan dan selalu menghibur penulis selama ini. 5. Ir. Said Rusli, MA atas kesediaannya untuk turut membimbing, memberi saran, meminjamkan pustaka dan memotivasi penulis. 6. Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan, MSc. selaku dosen pembimbing akademik atas dukungan dan pertimbangannya terutama dalam bidang akademik. 7. Seluruh staf pengajar dan karyawan/wati di Departemen Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Pertanian, IPB. 8. Leonard Dharmawan, terimakasih telah sangat membantu semua yang penulis perlukan selama ini. Terimakasih untuk segala dukungan, perhatian dan kasih sayang yang diberikan kepada penulis serta waktu yang diberikan untuk menemani penulis dalam menyelesaikan skripsi. 9. Nurina, Nani, Retno, Mbak Upi dan Tyas yang selalu mendukung, mengkritik, memberi masukan dan menemani penulis menyelesaikan skripsi. 10. Buat semua teman-teman KPM angkatan 41, semoga kebersamaan dan persahabatan kita tidak hanya pada masa kuliah saja. 11. Keluarga Cendana 53: Alin, Dian, Dea, Endang, Erna, Ita, Sinta, Ucie, Vina, Winda, dan mantan Cendana 53: ILis, Marlia, Nana. Terimakasih atas motivasi, saran, dukungan, bantuan moril, tumpangan kamar, masukan, kritikan dan perhatiannya kepada penulis. 12. Teman-teman OMDA Ikatan Mahasiswa Bumi Rafflesia Bengkulu: Rini, Alin, Alan, Danang, Gading, Yulian, Fanny, Juwi dan Anis. Terimakasih telah membuat masa kuliah terkadang serasa di Bengkulu. 13. Rike dan Liana, terimakasih atas do’a dan dukungannya kepada penulis. 14. Semua pihak yang telah membantu dalam penulisan skripsi ini. Semoga Allah SWT memberikan pahala atas kebaikannya. Amin. Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dari skripsi ini. Oleh karena itu, penulis menerima segala kritik dan saran yang bersifat membangun. Penulis berharap semoga apa yang telah penulis paparkan dalam skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak dan bernilai ibadah dalam pandangan Allah SWT. Amin. Bogor, Agustus 2008 Penulis DAFTAR ISI DAFTAR ISI..................................................................................................... viii DAFTAR TABEL ............................................................................................ x DAFTAR GAMBAR ........................................................................................ xi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ............................................................................. 1 1.2 Perumusan Masalah ..................................................................... 4 1.3 Tujuan Penelitian……………………………………………. ... 4 1.4 Kegunaan Penelitian …………………………………………… 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Agraria .......................................................................... 6 2.2 Subyek dan Obyek Agraria ........................................................ 7 2.3 Struktur Agraria ......................................................................... 8 2.4 Konsep Sistem Tenurial ............................................................. 10 2.5 Hak Penguasaan Atas Tanah ..................................................... 25 2.6 Hak – Hak Atas Tanah ............................................................... 28 2.7 Distribusi Kepemilikan Lahan …… .......................................... 32 2.8 Rumus – Rumus Ukuran Kemerataan........................................ 33 2.9 Hasil – Hasil Penelitian Terdahulu ............................................ 35 2.10 Kerangka Pemikiran................................................................... 41 2.11 Hipotesis pengarah ..................................................................... 46 2.12 Batasan Operasional................................................................... 47 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Metode Penelitian.......................................................................... 51 3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian........................................................ 52 3.3 Teknik Pengumpulan Data ............................................................ 53 3.4 Teknik Penentuan Responden dan Informan Kunci ...................... 54 3.5 Teknik Analisis Data ..................................................................... 56 viii BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Letak Administrasi ........................................................................ 57 4.2 Kondisi Agronomi ......................................................................... 58 4.3 Kependudukan............................................................................... 59 4.4 Pendidikan ..................................................................................... 59 4.5 Sarana dan Prasarana ..................................................................... 60 4.6 Mata Pencaharian .......................................................................... 61 BAB V DISTRIBUSI KEPEMILIKAN LAHAN PERTANIAN DI DESA CIBATOK 1 5.1 Sejarah Penguasaan dan Kepemilikan Lahan di Desa Cibatok 1 ... 62 5.2 Sistem Transfer Kepemilikan Lahan Pertanian di Desa Cibatok 1 ........................................................................... 66 5.2.1 Waris ..................................................................................... 67 5.2.2 Jual Beli ................................................................................. 68 5.3 Distribusi Kepemilikan Lahan Pertanian di Desa Cibatok 1 ......... 70 5.4 Makna Lahan Pertanian Khususnya Sawah Bagi Masyarakat Desa Cibatok 1 ............................................................................... 73 BAB VI SISTEM TENURIAL DI DESA CIBATOK 1 6.1 Sistem Penguasaan Lahan Pertanian Di Desa Cibatok 1................ 79 6.2 Sistem Sewa di Desa Cibatok 1 ...................................................... 80 6.3 Sistem Bagi Hasil di Desa Cibatok 1.............................................. 82 6.4 Sistem Gadai di Desa Cibatok 1 ..................................................... 85 6.5 Akses Petani terhadap Lahan Pertanian.......................................... 86 BAB VIII KESIMPULAN DAN SARAN 8.1 Kesimpulan ..................................................................................... 91 8.2 Saran ............................................................................................... 93 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN ix DAFTAR TABEL Tabel 1. Struktur Pemilikan Tanah di Kalangan Rumah Tangga Petani Menurut Sensus Pertanian Tahun 1993 .............................................. 41 Tabel 2. Asal kepemilikan Lahan Pertanian di Desa Cibatok 1......................... 67 Tabel 3. Data Kepemilikan Lahan Pertanian di Desa Cibatok 1........................ 70 Tabel 4. Jenis Kepemilikan Lahan Pertanian di Desa Cibatok 1 ....................... 71 Tabel 5. Distribusi Kepemilikan Lahan Sawah di Desa Cibatok 1 .................... 72 Tabel 6. Status Penguasaan Lahan Pertanian di Desa Cibatok 1 ....................... 80 x DAFTAR GAMBAR Gambar. 1 Lingkup Hubungan – Hubungan Agraria ......................................... 9 Gambar. 2 Kerangka Pemikiran ......................................................................... 45 xi I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tanah merupakan salah satu sumber agraria yang merupakan objek agraria selain perairan, hutan, bahan tambang dan udara. Tjondronegoro (1998), menyatakan bahwa tanah yang menjadi aset utama bagi rakyat banyak adalah tanah untuk bercocok tanam yang merupakan sumber kehidupan utamanya. Kepentingan terhadap tanah berimplikasi pada pemanfaatan sumber agraria. Ketersediaan tanah merupakan faktor penentu keberhasilan pertanian. Tanah merupakan salah satu kebutuhan manusia yang vital dimana keberadaannya saat ini merupakan hal yang langka (Wiradi, 2000). Pernyataan tersebut konsisten dengan pertambahan jumlah penduduk yang terus meningkat sedangkan ketersediaan tanah sebagai kebutuhan hidup selalu tetap jumlahnya. Menurut Sihaloho (2004), struktur agraria pada dasarnya menjelaskan bagaimana struktur akses pihak-pihak terkait dengan sumberdaya agraria. Pemanfaatan sumber agraria yang ada difungsikan sesuai dengan kebutuhan hidup baik menyangkut kepentingan komunal maupun kepentingan individu. Struktur agraria berkaitan dengan land tenure dan saling mempengaruhi satu sama lain. Sitorus (2003) membagi proporsi dasar analisis agraria menjadi dua yakni; pertama, ketiga subjek agraria (pemerintah, swasta dan komunitas) memiliki hubungan teknis dengan obyek agraria dalam bentuk kerja pemanfaatan berdasar hak penguasaan (Land Tenure) tertentu. Kedua, ketiga subyek agraria satu sama 1 lain berhubungan atau berinteraksi secara sosial dalam rangka penguasaan dan pemanfaatan obyek agraria tertentu. Berdasarkan analisis agraria yang pertama dapat disimpulkan bahwa dalam pemanfaatan tanah terkait dengan diberlakukannya sistem tenurial yaitu mengenai pengaturan tentang penguasaan pemilikan tanah. Menurut Bruce (1998), sistem tenurial (land tenure system) merupakan keseluruhan bentuk tenurial (penguasaan) yang diakui dibawah perundangan negara atau peraturan adat setempat. Hukum adat yang dimaksudkan adalah hak ulayat masyarakat hukum adat yaitu serangkaian wewenang dan kewajiban suatu masyarakat hukum adat, yang berhubungan dengan tanah yang terletak dalam lingkungan wilayahnya. Sementara itu, hukum positif yang dimaksud dalam pengaturan sistem tenurial adalah UUPA 1960, yang mana didalamnya terdapat aturan-aturan yang mengatur mengenai ketetapan kepemilikan tanah dan penguasaan tanah (Santoso, 2005). Bentuk-bentuk tenurial antara lain meliputi private freehold, sewa dan gadai, common property serta pemilikan oleh negara. 1 Masalah tenurial merupakan masalah mengenai pola penguasaan lahan. Pemusatan penguasaan tanah pada sekelompok kecil anggota masyarakat merupakan pertanda adanya ketimpangan dalam penyebarannya. Pada saat sekarang ini, tingkat ketimpangan dalam hal kepemilikan dan penguasaan tanah semakin meningkat. Pada tahun 1995, jumlah petani tunakisma di Jawa sebanyak 48,6 persen, meningkat jadi 49,5 persen (1999). Meski tidak separah di Jawa, di luar Jawa cenderung sama. Pada 1995 jumlah petani tunalahan 12,7 persen, 1 Disampaikan dalam slide ke-2 mata kuliah Sosiologi Agraria ; “Keragaman Sistim Adaptasi&Tata Kuasa Tanah dan Sumber Agraria” oleh Satyawan Sunito. 2 meningkat 18,7 persen (1999). Sebaliknya, 10 persen penduduk di Jawa memiliki 51,1 persen tanah (1995) dan jadi 55,3 persen (1999). Itu menunjukkan ketimpangan distribusi pemilikan tanah semakin parah. Selain itu, berdasarkan hasil Sensus Pertanian 2003 dalam Khudori (2007), menyebutkan bahwa jumlah rumah tangga petani gurem dengan penguasaan lahan kurang dari 0,5 hektar milik sendiri maupun menyewa meningkat 2,6 persen per tahun dari 10,8 juta rumah tangga (1993) menjadi 13,7 juta rumah tangga (2003). Di beberapa desa pinggiran kota dengan ciri, telah memiliki sarana komunikasi yang baik, transportasi yang lancar, pasar yang mudah dijangkau, sumber nafkah non-pertanian yang sangat mempengaruhi kehidupan masyarakatnya walaupun sebagian besar lahannya masih dimanfaatkan untuk pertanian, telah terjadi konversi lahan didalamnya, serta adanya keikutsertaan pihak luar dalam kepemilikan lahan. Berdasarkan ciri – ciri tersebut, memungkinkan diterapkannya beberapa bentuk sistem tenurial di daerah desa pinggiran kota. Wilayah desa penelitian dengan ciri seperti diatas, menarik minat peneliti untuk mengetahui bagaimanakah distribusi kepemilikan lahan dan sistem tenurial apa sajakah yang diterapkan? Hal tersebut menjadi pertanyaan pokok pada penelitian ini yang menarik untuk dikaji lebih dalam. 3 1.2. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan, maka permasalahan penelitian dapat dirumuskan sebagai berikut : 1. Bagaimanakah distribusi kepemilikan lahan di desa penelitian? 2. Bagaimanakah pola penguasaan lahan di desa penelitian dan sistem tenurial apakah yang paling dominan di desa penelitian tersebut? 1.3. Tujuan Penelitian Pada penelitian ini dianalisis masalah distribusi kepemilikan lahan dan sistem tenurial yang diterapkan di desa penelitian. Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui distribusi kepemilikan lahan pada wilayah desa penelitian. Secara rinci, peneliti ingin mengetahui luas kepemilikan lahan pada beberapa golongan petani di wilayah desa penelitian. Setelah peneliti mengetahui distribusi kepemilikan lahan, peneliti juga ingin mengetahui pola penguasaan lahan pada golongan-golongan petani tertentu berdasarkan luas kepemilikan lahannya. Pada penelitian ini, penulis ingin mengetahui bagaimana sistem sewa, gadai dan bagi hasil diterapkan di wilayah desa penelitian. Berdasarkan hal tersebut, akan diketahui sistem tenurial yang dominan dilakukan. 4 1.4. Kegunaan Penelitian Penelitian ini diharapkan berguna bagi berbagai kalangan, antara lain : 1. Akademisi, hasil penelitian ini diharapkan bisa dijadikan sumber data, informasi serta literatur bagi kegiatan-kegiatan penelitian selanjutnya dan dapat menambah atau mengakumulasi pengetahuan tentang permasalahan distibusi kepemilikan lahan dan sistem tenurial yang diterapkan. Selain itu, diharapkan penelitian ini dapat memberi sumbangan terhadap program studi Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat atau sebagai sumber kepustakaan pada penelitian yang sama secara mendalam pada topik agraria. 2. Bagi Pemerintah, diharapkan dapat digunakan sebagai sarana evaluasi, informasi, dan data untuk melakukan perbaikan-perbaikan dan koreksi terhadap kebijakan-kebijakan agraria yang dikeluarkan baik secara substansial maupun pelaksanaan di lapangan. Serta masukan bagi upaya penerapan distribusi kepemilikan lahan yang adil. 3. Bagi masyarakat, diharapkan dapat digunakan sebagai rujukan untuk lebih memperhatikan hubungan sosial mereka antar sesama anggota masyarakat dan antar sesama petani khususnya. 4. Bagi penulis penelitian ini berguna untuk mengaplikasikan ilmu yang dimiliki untuk dapat diterapkan di lapangan sekaligus untuk menggali masalah dibidang agraria. 5 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konsep Agraria Agraria berdasarkan penelusuran entomologis Kamus Bahasa LatinIndonesia dan World Book Dictionary dikutip Sitorus (2003) berasal dari kata ager dalam bahasa Latin. Arti kata ager adalah: (a) lapangan; (b) pedusunan (lawan dari perkotaan); (c) wilayah. Pengertian tersebut menunjukkan bahwa konsep agraria lebih luas dari tanah pertanian atau pertanian saja namun, mencakup keseluruhan kekayaan alami (fisik dan hayati) dan kehidupan sosial di dalamnya. Berbicara mengenai tanah berarti juga berbicara mengenai agraria, namun pengertian dari agraria sendiri tidaklah terbatas pada lahan pertanian atau sawah. Pengertian agraria seperti yang tercantum dalam UUPA 1960 (UU no 5/1960) adalah : “Seluruh bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dalam wilayah Republik Indonesia sebagai Karunia Tuhan Yang Maha Esa adalah bumi, air dan ruang angkasa Bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional”. Selanjutnya dari pengertian di atas Sitorus (2002) menyimpulkan bahwa jenis-jenis sumber agraria meliputi : 1. Tanah atau permukaan bumi, yang merupakan modal alami utama dari pertanian dan peternakan. 2. Perairan, yang merupakan modal alami dalam kegiatan perikanan. 3. Hutan, merupakan modal alami utama dalam kegiatan ekonomi komunitas perhutanan. 6 4. Bahan tambang, yang terkandung di “tubuh bumi”. 5. Udara, yang termasuk juga materi “udara” sendiri. Dalam memanfaatkan sumber-sumber agraria tersebut antara pengguna atau subjek agraria yaitu komunitas, pemerintah dan swasta menimbulkan bentuk hubungan antara ketiganya melalui institusi penguasaan atau pemilikan. Dalam hubungan-hubungan itu akan menimbulkan kepentingan – kepentingan sosial ekonomi masing – masing subjek berkenaan dengan penguasaan atau pemilikan dan pemanfaatan sumber – sumber agraria tersebut. Bentuk dari hubungan ini adalah hubungan sosial atau hubungan sosial agraria yang berpangkal pada akses (penguasaan, pemilikan, penggunaan) terhadap sumber agraria (Sitorus 2002). 2.2. Subyek dan Obyek Agraria Unsur pertama (kekayaan alami) dari konsep agraria, kemudian dikenal sebagai sumber agraria atau dapat disebut juga sebagai obyek agraria (Sitorus 2003). Unsur kedua (manusia sosial) dikenal sebagai subyek agraria. Secara garis besar, subyek agraria tersebut dapat dipilah ke dalam tiga kelompok sosial yaitu komunitas, pemerintah dan perusahaan swasta. Masing-masing kelompok subyek tersebut dipilah lagi ke dalam tiga unsur yang saling terkait secara hirarkis (Sitorus 2003). Kelompok tersebut adalah: komunitas mencakup unsur individu, keluarga dan kelompok; pemerintah mencakup unsur-unsur pemerintah pusat, pemerintah daerah dan pemerintah desa; perusahaan mencakup unsur-unsur perusahaan kecil, perusahaan sedang dan perusahaan besar. 7 2.3. Struktur Agraria Struktur agraria yaitu adanya suatu penguasaan atau kepemilikan lahan yang dimiliki seseorang (petani) dimana disatu pihak terdapat sekelompok orang yang menguasai lahan yang luas dan dilain pihak terdapat orang-orang yang memiliki atau menguasai lahan yang sempit, sehingga terjadi stratifikasi atau hierarki dalam hal penguasaan atau kepemilikan lahan. Lebih jauh lagi yang dimaksud dengan struktur agraria yaitu2 : “Suatu fakta yang menunjuk kepada fakta kehadiran minoritas golongan atau lapisan sosial yang menguasai lahan yang luas di satu pihak dan mayoritas golongan yang menguasai hanya sedikit atau bahkan tanpa tanah sama sekali di lain pihak”. Sementara itu, menurut Sihaloho (2004), struktur agraria pada dasarnya menjelaskan bagaimana struktur akses pihak-pihak terkait dengan sumberdaya agraria. Sitorus (2003) membagi proporsi dasar analisis agraria menjadi dua yakni: 1. Ketiga subjek agraria memiliki hubungan teknis dengan obyek agraria dalam bentuk kerja pemanfaatan berdasar hak penguasaan (land tenure) tertentu 2. Ketiga subyek agraria satu sama lain berhubungan atau berinteraksi secara sosial dalam rangka penguasaan dan pemanfaatan obyek agraria tertentu. Hubungan yang pertama disebut sebagai hubungan teknis agraria sedangkan hubungan yang kedua disebut sebagai hubungan sosial agraria. Struktur Agraria yang ada di Indonesia digambarkan sebagai berikut ; 2 Di kutip dari pengantar penerbit pada buku Sosiologi Agraria oleh Sediono M.P. Tjondronegoro, penyunting M.T. Felix Sitorus & Gunawan Wiradi, AKATIGA, Bandung 1999 8 Pemerintah Sumber-sumber Agraria Masyarakat Swasta Hubungan Sosial Agraria Hubungan Teknis Agraria Gambar.1 Lingkup Hubungan-Hubungan Agraria (Sumber : Sitorus 2002) Struktur agraria dapat mempengaruhi munculnya hubungan sosial agraris yang berbeda antara satu tipe struktur agraria dengan tipe struktur agraria lain. Ada lima macam struktur agraria yaitu: 1. Tipe naturalisme: sumber agraria dikuasai oleh komunitas lokal, misalnya komunitas adat secara kolektif. 2. Tipe feodalisme: sumber agraria dikuasai oleh minoritas ”tuan tanah” yang biasanya juga merupakan ”patron politik”. 3. Tipe kapitalisme: sumber-sumber agraria dikuasai oleh non-penggarap (perusahaan kapitalis). 4. Tipe sosialisme: sumber-sumber agraria dikuasai oleh negara/kelompok pekerja. 5. Tipe Populisme/Neo-Populisme: sumber-sumber agraria dikuasai oleh keluarga/ rumah tangga penguna (Wiradi 1998, diacu dalam Sitorus 2003). 9 2.4. Konsep Sistem Tenurial Dorner (1972) dalam Hutagalung (1983) menyatakan bahwa ; The land tenure system embodies those legal and contractual or customary arrangements where people in farming gain access to productive opportunities on the land. It constitutes the rules and procedures governing the rights, duties, liberaties and exposures of individual and group in the use and control over the basis resources of land and water. 3 Jadi, sistem tenurial merupakan perwujudan dari perjanjian resmi mengenai penggunaan, pengaturan dimana petani memiliki akses terhadap manfaat produktif lahan pertanian. Sistem tenurial menyangkut peraturan dan prosedur yang mengatur tentang hak, kewajiban, keleluasaan dari perorangan atau kelompok dalam hal penggunaan dan penguasaan terhadap suberdaya lahan dan air. Menurut Wiradi (1984), tenure berasal dari berbahasa Latin tenere yaitu memelihara, memegang, memiliki. Karena itu land tenure memperoleh arti hak atas tanah atau penguasaan tanah (menunjuk pada penguasaan efektif). Istilah land tenure biasanya dipakai dalam uraian-uraian yang membahas masalah yang pokok-pokok umumnya mengenai status hukum dari penguasaan tanah seperti hak milik, pacht, gadai, bagi hasil, sewa-menyewa dan juga kedudukan buruh tani. Uraian itu menunjuk pada pendekatan yuridis. Artinya penelaahannya bertolak dari sistem yang berlaku yang mengatur kemungkinan penggunaan, mengatur syarat-syarat untuk dapat menggarap tanah bagi penggarapnya dan berapa lama penggarapan dapat berlangsung. Sedangkan tenant mempunyai arti orang yang memiliki, memegang, menempati, menduduki, menggunakan atau menyewa sebidang tanah tertentu (menunjuk pada penguasaan formal). 3 Peter Dorner, Land Reform and Economic Development, Penguin Books, Australia Ltd., 1972, halaman 7. 10 Uraian tersebut menunjuk pada pendekatan ekonomis, yaitu penelaahannya meliputi hal-hal yang menyangkut hubungan penggarapan tanah. Obyek penelaahan itu biasanya berkisar pada pembagian hasil antara pemilik dan penggarap tanah, faktor-faktor tenaga kerja, investasi-investasi dan besarnya nilai sewa. Sementara itu menurut Bruce (1998), sistem tenurial (Land Tenure System) merupakan keseluruhan bentuk tenurial (penguasaan) yang diakui dibawah perundangan negara atau peraturan adat setempat.4 Penguasaan lahan dan kepemilikan lahan merupakan dua hal yang saling berkaitan. Menurut Wiradi (1984) bahwa konsep antara kepemilikan, penguasaan, dan pengusahaan tanah perlu dibedakan, kata ”pemilikan” menunjuk pada peguasaan formal. Berkaitan dengan hak milik atas tanah menurut Smith dan zopf (1970), diacu dalam Rahardjo (1999) mengatakan bahwa hak milik atas tanah berkaitan dengan hak-hak yang dimiliki seseorang atas tanah, yakni hak yang sah untuk mengunakannya, mengolahnya, menjualnya dan memanfaatkan bagian – bagian tertentu dari permukaan tanah. Hal tersebut menyebabkan pemilikan atas tanah tidak hanya mengenai hak milik saja melainkan juga termasuk hak guna atas tanah yaitu suatu hak untuk memperoleh hasil dari tanah bukan miliknya dengan cara menyewa, mengarap dan lain sebagainya. Menurut Kanto (1986), hak milik tanah merupakan hak penguasaan tanah yang paling kuat menurut hukum. Sedangkan kata penguasaan menunjuk pada penguasaan efektif. Misalnya, jika sebidang tanah disewakan kepada orang lain maka orang lain itulah yang secara efektif menguasainya. Jika seseorang mengarap tanah miliknya sendiri, 4 Disampaikan dalam slide ke-2 mata kuliah Sosiologi Agraria ; “Keragaman Sistim Adaptasi&Tata Kuasa Tanah dan Sumber Agraria” oleh Satyawan Sunito. 11 misalnya 2 ha, lalu mengarap juga 3 ha tanah yang disewa dari orang lain, maka ia menguasai 5 ha. Sedangkan kata ”pengusahaan” menunjuk pada bagaimana caranya sebidang tanah diusahakan secara produktif (Wiradi, 1984). Menurut Kanto (1986), hak sewa, hak sakap dan hak gadai merupakan hak penguasaan tanah yang bersifat sementara. Menurut Elsworth (n.d.), A place in the world merupakan frasa yang pada zaman feodal Inggris diartikan sebagai sebuah hak yang melekat pada petani atas jaminan tuan tanah untuk bisa mengelola dan mendiami sebidang lahan, tanpa dapat diganggu – gugat keberadaannya. Dalam perkembangan masa, kemudian hak ini berkembang dengan artian yang lebih luas, ditambah dengan fungsi-fungsi yang melekat pada sebidang lahan, yang tidak dapat diperdagangkan. Hak ini disebut tenure. Terdapat jaminan tenurial (Security of Tenure) dalam 4 aliran pemikiran besar di dunia akademis. Pada fokus bahasan aliran hak milik (Property Rights) menyebutkan bahwa berdasarkan pentingnya nilai ekonomi, dengan dimilikinya hak milik maka suatu properti dapat diperdagangkan. Pada aliran struktur agraria (Agrarian Structure) membahas tentang outcome yang adil pada perdagangan terbatas atas hak milik. Pada aliran kepemilikan bersama (common property) membahas mengenai dukungan atas sistem kepemilikan berbasis masyarakat tradisional masih berlaku di wilayah hutan alam. Sementara itu, aliran institutionalis menyebutkan bahwa ekonomi politik secara konstan menentukan untuk memberikan atau tidak memberikan jaminan tenurial kepada orang-orang yang menuntut hak milik. 12 Mengenai jaminan tenurial pada hal konsep dan argumen, aliran property rights menyebutkan bahwa hak milik dimaksudkan sebagai hak yang melekat pada seseorang atau institusi secara individu, privat dan bisa diperdagangkan, sehingga diyakini bahwa akan terjadi efisiensi produksi. Aliran struktur agraria ini mengacu pada distribusi lahan (termasuk hutan atau wilayah umum lainnya) di antara petani. Memandang security of tenure bukan hanya sebagai hak melekat tapi lebih kepada keinginan politik yang dapat menjamin komunitas dari kelas miskin dan menengah untuk mendapatkan perlindungan dari tekanan pasar. Aliran Common Property memfokuskan pada pembahasan sumberdaya umum (common resources) non individual dan meyakini bahwa sistem ini dapat menjadi tumpuan bagi kaum miskin, dengan tidak memprivatisasi seluruh properti. Aliran ini juga menyebutkan bahwa anggota kelompok masyarakat dengan kepemilikan tenure memiliki kesetaraan dalam menuntut hak tenure security. Sementara itu, aliran institusionalis mengemukakan bahwa hak milik dilihat sebagai suatu relasi sosial di antara para pihak, sedangkan hak melekat yang dapat diperdagangkan adalah bagian dari tenure security. Diketahui bahwa aliran property rights terbukti tidak dapat berlaku optimal. Di negara-negara Asia maupun Afrika, sistem ini tidak terbukti dapat diberlakukan secara positif. Aliran struktur agraria meyakini unggulnya kebijakan reformasi lahan (land reform). Aliran common property menyebutkan bahwa sistem yang diberlakukan pada aliran ini sesuai dibeberapa tempat, namun juga membutuhkan penyesuaian di tempat-tempat lainnya. 13 Jaminan sistem tenurial ditinjau dari segi kebijakan yang berlaku, menurut aliran property rights membatasi jaminan tenurialnya pada sebuah hak melekat yang dapat diperdagangkan pada pasar jual-beli lahan. Aliran struktur agraria menyebutkan bahwa pasar dapat memberikan nilai tambah terhadap sumberdaya sekaligus memberikan penilaian yang tidak adil, sehingga harus ada kontrol dan pengaturan terhadap pasar sehingga pemilik sumberdaya mendapatkan nilai maksimal dari sumberdaya yang dimilikinya. Aliran common property mengusulkan pemerintah untuk menemukan cara guna mendukung sistem kepemilikan dengan lebih mengakui hak komunitas ketimbang individu dalam kepemilikan hutan. Sementara itu, aliran institusionalis mengusulkan untuk melakukan pemikiran tentang distribusi aset dan pendapatan serta memikirkan masa depan dunia (Lampiran 7). Menurut Poertjaja Gadroen dan Vink (1927) dalam Kroef (1984), di daerah Jawa Timur terdapat beberapa bentuk pemilikan tanah, antara lain sebagai berikut : 1. Pemilikan tanah komunal dengan penggarapan secara bergiliran dan luas tanah garapan berbeda ukuran. Dewan desa mempunyai wewenang untuk memperbanyak jumlah penggarap yang ikut serta. 2. Pemilikan tanah komunal dengan jumlah penggarap terbatas. 3. Pemilikan tanah komunal dengan penggarap bergiliran, tetapi dengan tanah garapan yang luasnya tetap. 4. Pemilikan tanah komunal dengan hak – hak perorangan tertentu. Hak – hak tersebut tidak pasti dapat diwariskan. Dewan desa harus menentukan siapa 14 yang akan mendapatkan tanah tersebut setelah penggarap sebelumnya meninggal. 5. Seperti pada no. 4 tetapi dengan kepastian hak waris. 6. Seperti pada no. 5 tetapi dengan hak menjual sebagian tanah bersangkutan kepada penduduk lain sedesa. 7. Seperti pada no. 5 tetapi dengan hak menula sebagian tanah kepada orang bukan penduduk sedesa, asalkan kewajiban kerja untuk desa dapat dipenuhi oleh pembeli bukan sedesa tersebut. 8. Pemilikan tanah pribadi yang dapat diwariskan, tetapi dibatasi oleh kewajiban partisipasi dalam pekerjaan komunal. 9. Pemilikan tanah pribadi yang dapat diwariskan, tanpa kewajiban kerja komunal selama sebagian tanah garapan lainnya tetap tunduk kepada aturan kewajiban kerja komunal. 10. Pemilikan tanah pribadi bercorak barat dan dapat digadaikan. Menurut Wiradi (1984), terdapat beberapa bentuk atau status penguasaan tanah tradisional antara lain : a. Tanah yasan, yasa atau yoso yaitu tanah dimana hak seseorang atas tanah itu berasal dari kenyataan bahwa dia atau leluhurnyalah yang pertama kali membuka atau mengerjakan tanah tersebut. Hak atas tanah ini memperoleh status legal dalam UUPA 1960 sebagai tanah milik. b. Tanah norowito, gogolan, pekulen, playangan, kesikepan dan sejenisnya, adalah tanah pertanian milik bersama, dimana para warga desa dapat memperoleh bagian untuk digarap, baik secara bergilir maupun secara tetap 15 dengan syarat-syarat tertentu. Untuk memperoleh hak garap, umumnya diperlukan syarat bahwa si calon itu harus statusnya menjadi tanah milik bagi penggarapnya yang terakhir. c. Tanah titisara, bondo deso, kas desa adalah tanah milik desa yang biasanya disewakan, disakapkan dengan cara dilelang kepada siapa yang mau menggarapnya. Hasilnya dipergunakan sebagai anggaran rutin ataupun pemeliharan desa. d. Tanah bengkok, yaitu tanah milik desa yang diperuntukkan bagi pejabat desa terutama lurah, yang hasilnya dianggap sebagai gaji selama menduduki jabatan itu. Tanah bengkok dan tanah titisara ini dalam konsep Barat dapat digolongkan dalam kategori tanah yang tunduk pada pengawasan komunal. Dalam UUPA keduanya tetap diakui. Menurut Kano (1984), berikut ini merupakan bentuk-bentuk pemilikan yang ada hubungannya dengan sawah ; 1. Milik perorangan turun-temurun; merupakan suatu bentuk penguasaan tanah dimana seseorang menduduki sebidang tanah secara kekal, dapat menyerahkannya kepada ahli warisnya baik melalui pemindahtanganan hak penguasaan tersebut sebelum meninggal, atas kemauannya, atau pemindahtanganan hak tersebut pada saat meninggalnya dan yang paling khas, dapat mengatur secara bebas dengan misalnya menjual, menyewakan, atau menggadaikan. Bentuk pemilikan ini penyebarannya dinilai tidak merata. Di Jawa Tengah dan bagian barat Jawa Timur, penguasaan komunal tampaknya lebih umum. Penguasaan tanah komunal merupakan ciri umum 16 pemilikan sawah di daerah Karsidenan Banten, Karawang, Kabupaten Indramayu, Banyuwangi bermacam-macam sehubungan dengan kerja paksa. Di pembatasan dilakukan Jawa Barat sangat berbeda, disini pemindahtanganan sawah secara bebas diperkenankan. Jadi, “hak milik perorangan turun-temurun” hanyalah “hak” si “empunya” atas tanah yang didasarkan atas penguasaan yang nyata, dan bila penguasaan tersebut tidak efektif lagi, tanah itu ditempatkan langsung dibawah pengawasan desa bersangkutan (kecuali disebagian Jawa Barat, dimana konsep ini telah mendekati pengertian pemilikan harta milik – mutlak). 2. Milik komunal; merupakan bentuk penguasaan, dimana seseorang atau keluarga memanfaatkan tanah tertentu hanya merupakan bagian dari tanah komunal desa yaitu bahwa orang tersebut tidak diberi hak untuk menjualnya atau memindahtangankan tanah tersebut dan pemanfaatannya biasanya digilir secara berkala. Salah satu ciri khusus sawah “milik komunal” di Jawa adalah sistem kesamarataan formal dalam membagi bagian garapan kepada petani – petani yang memberikan layanan kerja. Akan tetapi, hal tersebut tidak berlaku secara umum. Misalnya, di beberapa desa di Semarang, Jepara, Madiun dan Kediri mereka yang memiliki ternak mendapat bagian garapan yang lebih luas dan mendapat prioritas dalam memilih letaknya. Bagian tanah garapan yang berupa sawah dan termasuk milik komunal tidak dapat diwariskan sebagai milik perorangan. 3. Tanah bengkok untuk pamong desa; diperuntukkan bagi pejabat untuk dimanfaatkan secara pribadi dibagi dalam dua golongan yaitu bagi para 17 penguasa pribumi yang berasal dari tanah apanage dan para lurah. Hak-hak atas tanah bengkok diperuntukkan sesuai dengan kedudukan-kedudukan resmi bagi keluarga tertentu dan telah diubah secara de facto menjadi milik perseorangan turun- temurun. Distribusi tanah bengkok itu hampir seluruhnya bertepatan dengan adanya kepemilikan komunal. Terdapat kecenderungan umum bahwa tanah garapan itu sempit di Jawa Barat (kecuali di Cirebon) dan juga di Jawa Timur sebelah timur Probolinggo, yaitu di desa-desa tempat tanah dengan hak milik perorangan turun – temurun itu dominan. Sedangkan bentuk-bentuk pemilikan tegalan atau tanah kering pada dasarnya sesuai dengan sawah. Pertama, ada milik perorangan turun-temurun yang mana peraturan-peraturan yang terkandung didalamnya adalah sama dengan yang berlaku bagi sawah. Kedua, tanah kering yang dimiliki secara komunal dapat ditemukan di Cirebon, Jawa Barat, disemua Karesidenan Jawa Tengah kecuali Tegal dan semua Karesidenan Jawa Timur sebelah barat Probolinggo. Dapat disimpulkan bahwa bentuk pemilikan tanah kering sama dengan sawah, hanya saja dilaksanakan dengan peraturan-peraturan dan pengawasaan komunal yang lebih longgar. Seperti telah disinggung sebelumnya bahwa ”pemilikan” tanah tidak selalu mencerminkan ”penguasaan” tanah, karena memang ada berbagai jalan untuk ”menguasai” tanah, yaitu melalui sewa, gadai, sakap, dan lain sebagainya. Berdasarkan hal ini maka Wiradi (1984) mengolongkan petani menjadi : 1. Pemilik – penggarap murni, yaitu petani yang hanya menggarap tanah miliknya sendiri. 18 2. Penyewa dan penggarap murni, yaitu petani yang tidak memiliki tanah tetapi menguasai lahan garapan melalui sewa atau bagi hasil. 3. Pemilik – penyewa dan atau pemilik – penyakap, yaitu petani yang disamping mengarap tanahnya sendiri juga menggarap tanah milik orang lain lewat persewaan atau bagi hasil. 4. Pemilik bukan penggarap, yakni petani yang tanah miliknya disewakan atau disakapkan kepada orang lain (penyakap, pengarap dan buruh tani). 5. Petani tunakisma dan buruh tani, yaitu petani yang benar-benar tidak memiliki lahan pertanian dan bukan penggarap. Sementara itu, di Jawa Tengah pada tahun 1953 menunjukkan ada dua pemilikan tanah: (a) satu bentuk pemilikan tanah bebas perorangan dimana hak ulayat masyarakat desa tidak berlaku atasnya (yasan); (b) penggarapan tanah yang dikuasai secara komunal dengan hak ulayat masyarakat desa yang terbatas (kongsen); kedua bentuk tersebut dapat diwariskan. Sementara itu, diketahui pola penguasaan lahan yang terdapat di Jawa Barat menurut Svensson (1968), diacu dalam Suhendar (1995) terbagi menjadi tiga yaitu penguasaan dengan hak milik perorangan, penguasaan tanah komunal dan pola penguasaan tanah partikelir. Waris Pewarisan di Bali dilakukan setelah kedua orang tua meninggal. Selama orang tua masih ada, penguasaan seorang anak atas tanah milik orang tua masih bersifat penguasaan efektif. Kepemilikan formalnya masih berada ditangan orang tua. Anak yang berhak mendapatkan harta warisan hanya anak laki-laki. Anak 19 perempuan mendapatkan harta warisan apabila semua anak yang dimiliki adalah perempuan. Warisan akan diserahkan kepada anak perempuan yang menarik suaminya masuk ke dalam keluarga luas perempuan. Bila satu keluarga tidak memiliki anak, maka harta warisan akan diberikan kepada anggota keluarga yang seketurunan setelah sebelumnya diadakan musyawarah dalam keluarga. Dalam pembagian waris tidak ada ketentuan tentang besar kecilnya setiap bagian harta yang harus dibagi, bergantung pada kesepakatan musyawarah di dalam keluarga (Sadikin, 2005). Di pedesaan Jawa, luas tanah yang diberikan kepada laki-laki maupun perempuan tidak dibedakan. Ini artinya, yang menjadi landasan hukum dalam waris adalah hukum nasional, bukan hukum agama (Islam). Pewarisan tanah biasanya dilakukan oleh petani yang secara fisik sudah tidak mampu lagi mengelola lahan pertaniannya sendiri. Tanah-tanah yang status kepemilikannya berasal dari warisan pada umumnya langsung diubah status kepemilikannya secara formal (Mahanani, 2005). Jual Beli Transaksi jual beli sering terjadi antara 2 belah pihak saja yaitu; pihak penjual dan pembeli. Tidak ada keterlibatan pihak desa atau instansi terkait (jual beli di bawah tangan). Kesepakatan untuk membeli dan menjual tanah didasarkan atas prinsip saling percaya. Bagi petani yang melakukan jual – beli, hal ini jelas memudahkan mereka. Hal ini terjadi karena tanah di dusun dianggap masih mempunyai fungsi sosial yang sangat besar dan tidak terkait dengan kepentingan pasar. Petani masih 20 melihat tanah sebagaimana adanya; tanah sebagai aset yang harus diolah terlebih dahulu dan ditanami, tanah belum dilihat sebagai alat untuk memperoleh keuntungan memperjualbelikannya (Mahanani, 2005). Sistem Gadai Gadai menurut Imam Sudiyat (1978) dalam Wiradi dan Makali (1984) adalah menyerahkan tanah untuk menerima pembayaran sejumlah uang secara tunai, dengan ketentuan si penjual tetap berhak atas pengembalian tanahnya dengan jalan menebusnya kembali. Hak gadai adalah penyerahan hak atas sebidang tanah kepada orang lain dengan pembayaran berupa sekian kuintal gabah atau sekian gram emas perhiasan atau sekian ekor kerbau atau sapi, dengan ketentuan pemilik tanah yang telah menyerahkan hak atas tanahnya itu kepada orang lain dapat memperolehnya kembali dengan jalan menebusnya. Sistem gadai dilakukan oleh petani berlahan luas untuk keperluan yang bersifat produktif seperti praktek gadai di Mariuk dan Jati dimana masyarakat petani bertanah luas menggadaikan tanahnya kepada petani bertanah luas atau orang kaya guna menutupi kekurangannya dalam membeli sawah. Akibat dari proses tersebut terjadi akumulasi tanah pada orang kaya atau petani bertanah luas. Selain itu, sistem gadai juga dilakukan oleh petani bertanah sempit untuk kepentingan yang bersifat konsumtif, seperti praktek gadai di daerah Sentul dan Sukaambit, dimana petani bertanah sempit menggadaikan tanahnya karena terdesak oleh kebutuhan yang agak besar, misalnya untuk keperluan modal usaha, selamatan, biaya masuk sekolah bagi anaknya. 21 Menurut Manuwotto (1995), sistem gadai biasanya terjadi ada kaitannya dengan utang piutang yang diberi agunan (borg) tanah pertanian. Dalam peristiwa gadai, masyarakat biasanya memakai nilai tukar yang tidak mudah berubah, seperti di daerah Sulawesi Selatan dipakai ‘ringgit’ (uang emas yang mempunyai nilai tukar rupiah). Kemudian juga, guna menghindari pelepasan tanah ke pihak luar keluarga, maka biasanya yang pertama diberi peluang menerima gadai adalah keluarga dekatnya atau kerabat sendiri. Melalui cara ini jika penggadai itu belum mampu membayar utangnya, maka tanah yang bersangkutan tidak lepas keluar melainkan masih dimiliki keluarganya. Sistem Sakap atau Bagi Hasil Hak sakap adalah hak seseorang untuk mengusahakan tanaman di atas tanah orang lain dengan perjanjian bahwa hasilnya dibagi antara kedua belah pihak berdasarkan persetujuan bersama. Usahatani dengan sistem sakap atau bagi hasil merupakan bentuk pranata sosial dalam kegiatan produksi yang sudah dikenal masyarakat Jawa. Sistem sakap dimungkinkan apabila ada pemilikan tanah yang luas disatu pihak, sedangkan dipihak lain banyak penggarap yang tidak mempunyai tanah sendiri (Soentoro 1981 dalam Kanto, 1986). Meluasnya pemilik tanah pertanian oleh bukan petani dan oleh mereka yang tidak tinggal dengan lokasi tanah, mendukung dipraktekannya sistem sakap atau bagi hasil. (Kanto, 1986). Menurut Wiradi dan Makali (1984), bagi hasil adalah penyerahan sementara hak atas tanah kepada orang lain untuk diusahakan, dengan perjanjian 22 si penggarap akan menanggung beban tenaga kerja seluruhnya dan menerima sebagian dari hasil tanahnya. Berikut ini merupakan sistem bagi hasil dan sewa – menyewa di pedesaan Jawa Barat (Kroef, 1984); 1. Mertelu, pemilik tanah menanggung biaya benih dan memungut 2/3 hasil panen, sisanya merupakan hak penyewa atau penyakap 2. Merapat, persyaratannya sama dengan diatas kecuali bahwa pemilik tanah mendapat ¾ bagian hasil panen dan bagian untuk penyakap. 3. Nyeblok atau ngepak, dalam hal ini penggarap melakukan semua pekerjaan dan membajak, menyiang sampai menanam. Kemudian pemilik tanah mengambil alih pekerjaan. Penggarap menerima 1/5 hasil panen. 4. Derep, penggarap atau buruh terutama menanam padi, tetapi dapat diminta membantu pekerjaan lain sampai panen tiba. Bagian buruh adalah 1/5 padi bulir, tetapi bilamana hasilnya jelek bagiannya dapat berkurang. 5. Gotong royong, suatu kegiatan yang biasanya mengikutsertakan anggota keluarga saja. Penggarap mendapat bagian yang telah ditentukan sebelumnya sesuai dengan kebiasaan. Dalam hal bagi hasil (sakap, maro5) terdapat dua kemungkinan arti “sistem hubungan kerja” antara pemilik dan penyakap. Pertama, arti yang membuat penyakap sebagai pengusaha tani yang cukup kuat bertanggung jawab dan mandiri atas kesatuan unsur – unsur usahatani. Kedua, arti yang lebih mirip status buruh borongan yang diberi upah hasil panen oleh pemilik dimana pemilik lebih 5 Maro adalah salah satu bentuk dari penyakapan dengan sistem dimana 50 persen hasil untuk penggarap dan 50 persen untuk pemilik (Wiradi dan Makali, 1984 dalam Kasryno, 1984) 23 banyak bertanggung jawab dan berkorban input.6 Di Jawa pada umumnya hanya berlaku bagi sawah. Peraturan perjanjian bagi hasil bagi tanah sawah di Jawa antara pemilik dan penggarap masing-masing mendapat 50 persen dari hasil, setelah dikurangi biaya produksi (Manuwotto, 1995). Terdapat dua bentuk hubungan penyakapan diantara petani biasa. Pertama, suatu bentuk hubungan dimana sewa dibayar dalam jumlah tetap, dalam bentuk uang atau barang. Kedua, sebagian tertentu dari hasil panen dibayarkan sebagai sewa, yaitu dalam bentuk bagi hasil. Kenyataan bahwa pengelolaan tanah bengkok lebih jelas terlihat adanya hubungan kelas daripada hubungan sakap – menyakap dapat disimpulkan; pertama, tanah pertanian pada umumnya tidak dipandang sebagai suatu komoditi penuh; hal itu mencegah konsentrasi penguasaan tanah yang luas melalui penjualan, pembelian dan penggadaian. Kedua, hubungan sakap – menyakap diantara petani telah dapat diamati secara luas, tetapi ditandai lebih kuat oleh hubungan gotong-royong antar petani daripadi hubungan kelas. Ketiga, suatu bentuk tertentu hubungan kelas telah banyak terjadi pada tanah bengkok resmi atas dasar hubungan komunal desa (Kano, 1984). Sistem Sewa Hak sebagai hasil sewa adalah hak seseorang untuk mengusahakan usahatani diatas tanah orang lain dengan memberi sejumlah imbalan uang atau barang sesuai dengan perjanjian antara kedua belah pihak setelah batas waktu sewa selesai, maka tanah dikembalikan pada pemiliknya. Menurut Wiradi dan 6 Diperoleh dari Penelitian Sektoral Dalam Rangka Persiapan Repelita II. “Pola Penguasaan Tanah Pertanian Di Pedesaan Jawa” IPB. Mei 1973. 24 Makali (1984), sistem sewa adalah penyerahan sementara hak penguasaan tanah kepada orang lain, sesuai dengan perjanjian yang dibuat bersama oleh pemilik dan penyewa. Di desa – desa penelitian di Jawa ada enam macam istilah sewa yaitu motong, kontrak, sewa tahunan, setoran, jual oyodan dan jual potongan. Di dalam motong, kontrak dan setoran, harga sewa dibayar setelah panen dan di dalam sewa tahunan, jual oyodan atau jual potongan, harga sewa dibayar sebelum penyewa menggarap berbeda dengan harga sewa tanah bagi penyewa yang harus menunggu beberapa musim sebelum dapat menggarap tanah yang disewanya. Mereka yang harus menunggu beberapa musim kemudian baru menggarap memperoleh harga lebih murah daripada mereka yang langsung menggarap. 2.5. Hak Penguasaan Atas Tanah Hak penguasaan atas tanah berisi serangkaian wewenang, kewajiban dan atau larangan bagi pemegang haknya untuk berbuat sesuatu mengenai tanah yang dihaki. Pengaturan hak-hak penguasaan tanah dalam hukum tanah dibagi menjadi dua, yaitu; 1. Hak penguasaan atas tanah sebagai lembaga hukum; hak penguasaan atas tanah ini belum dihubungkan dengan tanah dan orang atau badan hukum tertentu sebagai pemegang haknya. 2. Hak penguasaan atas tanah sebagai hubungan hukum yang konkret; hak penguasaan atas tanah ini sudah dihubungkan dengan tanah tertentu sebagai obyeknya dan orang atau badan hukum tertentu sebagai subyek atau pemegang haknya. 25 Terdapat hierarkhi hak – hak penguasaan atas tanah dalam UUPA dan Hukum Tanah nasional, adalah; 1. Hak Bangsa Indonesia atas tanah; merupakan hak penguasaan atas tanah tertinggi dan meliputi semua tanah yang ada dalam wilayah negara, yang merupakan tanah bersama, bersifat abadi dan menjadi induk bagi hak – hak penguasaan lain atas tanah. Pengaturan hak penguasaan atas tanah ini dimuat dalam pasal 1 ayat (1) – ayat (3) UUPA. Hak bangsa Indonesia atas tanah mempunyai sifat komunalistik, artinya semua tanah yang ada dalam wilayah Negara Republik Indonesia merupakan tanah bersama rakyat Indonesia yang telah bersatu sebagai bangsa Indonesia. Hubungan antara bangsa Indonesia dengan tanah bersifat abadi, artinya hubungan antara Indonesia dengan tanah akan berlangsung tiada terputus – putus untuk selamanya. Sifat abadi artinya selama rakyat Indonesia masih bersatu sebagai bangsa Indonesia dan selama tanah bersama tersebut masih ada, dalam keadaan yang bagaimanapun tidak ada sesuatu kekuasaan yang akan dapat memutuskan atau meniadakan hubungan tersebut. Sementara itu, hak induk bagi hak – hak penguasaan yang lain atas tanah adalah semua hak penguasaan tanah yang lain bersumber pada Hak Bangsa Indonesia atas tanah dan bahwa keberadaan hak – hak penguasaan apa pun hak yang bersangkutan tidak meniadakan eksistensi hak bangsa Indonesia atas tanah. 2. Hak Menguasai dari Negara Atas Tanah; bersumber pada hak bangsa Indonesia atas tanah, yang hakikatnya merupakan penugasan pelaksanaan tugas kewenangan bangsa yang mengandung unsur hukum publik. 26 3. Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat; hak ulayat tersebut diatur dalam Pasal 3 UUPA yaitu “Dengan mengingat ketentuan – ketentuan dalam Pasal 1 dan Pasal 2 pelaksanaan hak ulayat dan pelaksanaan hak – hak serupa itu dari masyarakat – masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataan masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang – undang dan peraturan – peraturan lain yang lebih tinggi.” Hak ulayat masyarakat hukum adat adalah serangkaian wewenang dan kewajiban suatu masyarakat hukum adat, yang berhubungan dengan tanah yang terletak dalam lingkungan wilayahnya. Menurut Boedi Harsono, hak ulayat masyarakat hukum adat dinyatakan masih apabila memenuhi 3 unsur, yaitu; (a). masih adanya suatu kelompok orang sebagai warga persekutuan hukum adat tertentu, yang merupakan masyarakat hukum adat. (b). masih ada wilayah yang merupakan ulayat masyarakat hukum adat tersebut, yang disadari sebagai tanah kepunyaan bersama para warganya sebagai “ labensraum”nya dan (c). masih adanya penguasa adat yang pada kenyataannya diakui oleh para warga masyaratkat hukum adat bersangkutan, melakukan kegiatan sehari – hari sebagai pelaksana hak ulayat. 4. Hak-Hak Perseorangan Atas Tanah; merupakan hak yang memberi wewenang kepada pemegang haknya untuk memakai, dalam arti menguasai, menggunakan dan atau mengambil manfaat dari bidang tanah tertentu. Hak – hak perseorangan atas tanah berupa hak atas tanah, wakaf tanah, hak milik, hak tanggungan dan hak milik atas satuan rumah susun. 27 2.6. Hak-Hak Atas Tanah : Hak Milik7 Ketentuan Umum Ketentuan mengenai Hak Milik disebutkan dalam Pasal 16 ayat (1) huruf a UUPA yaitu hak milik. Secara khusus diatur dalam Pasal 20 sampai dengan Pasal 27 UUPA (Lampiran 8). Menurut Pasal 50 ayat (1) UUPA, ketentuan lebih lanjut mengenai Hak Milik diatur dengan undang-undang, namun belum terbentuk sampai sekarang. Untuk itu, diberlakukanlah Pasal 56 UUPA, yaitu selama undang – undang tentang Hak Milik belum terbentuk, maka yang berlaku adalah ketentuan – ketentuan hukum adat setempat dan peraturan – peraturan lainnya sepanjang tidak bertentangan dengan UUPA. Pengertian Hak Milik Hak milik menurut Pasal 20 ayat (1) UUPA adalah hak turun – temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah dengan mengingat ketentuan dalam Pasal 6 8. Turun – temurun artinya hak milik atas tanah dapat berlangsung terus selama pemiliknya masih hidup dan bila pemiliknya meninggal dunia, maka hak miliknya dapat dapat dilanjutkan oleh ahli warisnya sepanjang memenuhi syarat sebagai subjek hak milik. Terkuat artinya Hak Milik atas tanah lebih kuat bila dibandingkan dengan hak atas tanah yang lain, tidak mempunyai batas waktu tertentu, mudah dipertahankan dari gangguan pihak lain dan tidak mudah dihapus. Terpenuh artinya Hak Milik atas tanah memberi wewenang 7 Santoso, Urip. 2005. “Hukum Agraria dan Hak-Hak Atas Tanah”. Hal. 90-98. Jakarta: Kencana 8 Pasal 6 UUPA 1960 adalah semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial. 28 kepada pemiliknya paling luas bila dibandingkan dengan hak atas tanah yang lain, dapat menjadi induk bagi hak atas tanah yang lain, tidak berinduk pada hak atas tanah yang lain. Peralihan Hak Milik Peralihan hak milik atas tanah diatur dalam Pasal 20 ayat (2) UUPA, yaitu Hak Milik dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain. Dua bentuk peralihan Hak Milik atas tanah dapat dijelaskan sebagai berikut : 1. Beralih Artinya berpindahnya hak milik atas tanah dari pemiliknya kepada pihak lain dikarenakan suatu peristiwa hukum 2. Dialihkan/pemindahan hak Artinya berpindahnya hak milik atas tanah dari pemiliknya kepada pihak lain dikarenakan adanya suatu perbuatan hukum. Peralihan Hak Milik atas tanah secara langsung maupun tidak langsung kepada orang asing, kepada seseorang yang mempunyai dua kewarganegaraan atau kepada badan hukum yang tidak ditunjuk oleh pemerintah adalah batal karena hukum dan tanahnya jatuh kepada negara, artinya tanahnya kembali menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh negara. 29 Subjek Hak Milik Menurut UUPA yang dapat mempunyai (subjek hak) tanah Hak Milik menurut UUPA dan peraturan pelaksanaannya, adalah : 1. Perseorangan Hanya warga negara Indonesia yang dapat mempunyai Hak Milik (Pasal 21 ayat (1) UUPA). 2. Badan – badan hukum Pemerintah menetapkan badan – badan hukum yang dapat mempunyai Hak Milik dan syarat – syaratnya (Pasal 21 ayat (2) UUPA). Bagi pemilik tanah yang tidak memenuhi syarat sebagai subjek hak milik atas tanah, maka dalam waktu 1 tahun harus melepaskan atau mengalihkan hak milik atas tanahnya kepada pihak lain yang memenuhi syarat. Apabila hal ini tidak dilakukan, maka tanahnya hapus karena hukum dan tanahnya kembali menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh negara (Pasal 21 ayat (3) dan ayat (4) UUPA). Terjadinya Hak Milik Hak Milik atas tanah dapat terjadi melalui 3 cara sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 22 UUPA, yaitu : 1. Hak Milik atas tanah yang terjadi menurut hukum adat Hak Milik atas tanah terjadi dengan jalan pembukaan tanah (pembukaan hutan) atau terjadi karena timbulnya lidah tanah (Aanslibbing) 9 9 Lidah tanah (Aanslibbing ) adalah tanah yang timbul atau muncul karena berbeloknya arus sungai atau tanah di pinggir pantai dan terjadi dari lumpur, lumpur tersebut makin lama makin tinggi dan mengeras sehingga akhirnya menjadi tanah. 30 2. Hak Milik atas tanah terjadi karena penetapan pemerintah Hak Milik atas tanah yang terjadi disini semula berasal dari tanah negara. 3. Hak Milik atas tanah terjadi karena ketentuan undang – undang Hak Milik atas tanah ini terjadi karena undang-undanglah yang menciptakannya, sebagaimana yang diatur dalam Pasal I, Pasal II dan Pasal VII ayat (1) Ketentuan – ketentuan Konversi UUPA. Hak Milik atas tanah juga dapat terjadi melalui 2 cara, yaitu : 1. Secara Originir Terjadinya hak milik atas tanah untuk pertama kalinya menurut hukum adat, penetapan pemerintah dan karena undang – undang. 2. Secara Derivatif Suatu subjek hukum memperoleh tanah dari subjek hukum lain yang semula sudah berstatus tanah Hak Milik, misalnya jual beli, tukar-menukar, hibah dan pewarisan. Hapusnya Hak Milik Pasal 27 UUPA menetapkan faktor – faktor penyebab hapusnya hak milik atas tanah Hak Milik atas tanah dan tanahnya jatuh kepada Negara, yaitu : 1. Karena pencabutan hak berdasarkan Pasal 18 10 2. Karena penyerahan dengan sukarela oleh pemiliknya 3. Karena ditelantarkan 10 Pasal 18 UUPA 1960 menyebutkan bahwa untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut, dengan memberi ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur dengan undang-undang. 31 4. Karena subjek haknya tidak memenuhi syarat sebagai subjek Hak Milik atas tanah 5. Karena peralihan hak yang mengakibatkan tanahnya berpindah kepada pihak lain tidak memenuhi syarat sebagai subjek Hak Milik atas tanah. 2.7. Distribusi Kepemilikan Lahan Menurut Warsito (1982), distribusi dapat diartikan sebagai penyebaran baik pemilikan maupun penguasaan pada berbagai golongan pemilikan dan penguasaan. Variabel ini dipergunakan untuk melihat sejauh mana pemilikan tanah menyebar diantara pemilik tanah. Pemilikan dalam hal ini diartikan sebagai pemilik tanah secara de jure, termasuk di dalamnya tanah milik yang sedang disewakan dan disakapkan. Berdasarkan pada data penelitian oleh SAE dalam penelitian Intensifikasi Padi Sawah (IPS) menunjukkan bahwa distribusi pemilikan sawah di desa – desa penelitian sangat timpang. Hampir semua desa itu indeks gini11 menunjukkan angka di atas 0,60 (Wiradi dan Makali, 1984). 11 Indeks gini adalah salah satu alat ukur distribusi, yaitu angka yang menunjukkan rasio antar luas busur dan luas segitiga dalam kurva Lorenz. Angka itu berkisar antara 0 sampai 1 . Angka 0 = rata sempurna, artinya seluruh luas tanah terbagi rata diantara rumah tangga di desa dengan masingmasing mempunyai luas yang sama. Angka = 1 timpang mutlak, artinya satu orang memiliki seluruh tanah di desa. 32 2.8. Rumus-Rumus Ukuran Kemerataan Menurut Sigit (1980), pengukuran tingkat ketidakmerataan dapat dilihat dengan berbagai cara. Cara statistik yang dikembangkan untuk mengukur dispersi pada prinsipnya untuk hal – hal tertentu dapat digunakan untuk pengukuran penyebaran atau kemerataan seperti pendapatan dan pemilikan lahan. Terdapat beberapa rumus yang dapat digunakan untuk mengetahui ukuran pemerataan. Beberapa cara yang lazim dipakai antara lain Gini Ratio, Kuznet’s Index dan perhitungan Bank Dunia. Untuk mengetahui keadaan distribusi kepemilikan lahan, disini harus dipergunakan beberapa nilai, walaupun demikian dengan sedikit penyesuaian cara ini dapat dipakai untuk mengetahui keadaan kepemilikan suatu kelompok tertentu, yang menjadi perhatian biasanya adalah kelompok kelas atas atau juga kelompok kelas bawah. Perhitungan Bank Dunia Bank Dunia beranggapan bahwa penyebab ketidakmerataan adalah karena penduduk kelompok bawah menerima pendapatan sangat rendah. Perhitungan Bank dunia ini juga dapat digunakan untuk menghitung distribusi pemilikan lahan. Bank Dunia mengambil kriteria sebagai berikut : Tingkat ketidakmerataan tinggi bila 40 persen penduduk terbawah menerima jumlah pendapatan lebih kecil dari 12 persen dari seluruh jumlah pendapatan, sedang jika share pendapatan antara 12-17 persen dinamakan Tingkat Ketidakmerataan Sedang, dan jika lebih dari 17 persen Tingkat Ketidakmerataan Rendah. 33 Kuznet’s Index (KI) Kuznet’s lebih melihat pada kelompok atas sebagai penyebab ketidakmerataan. Karena itu persentase jumlah pendapatan kelompok 10 persen teratas dipakai sebagai kriterium ketidakmerataan. Kuznet’s Indeks juga dapat digunakan untuk mengukur distribusi pemilikan lahan. Kuznet’s Index dihitung k dengan rumus : KI = Σ fi – yi I=1 Dimana fi = proporsi jumlah rumah tangga/penduduk dalam kelas pendapatan i yi = proporsi jumlah pendapatan dari rumahtangga/penduduk dalam kelas pendapatan i k = jumlah kelas Jika distribusi merata sekali, maka fi = yi untuk semua kelas pendapatan, sehingga KI = 0 dan keadaan ekstrim yaitu jika seluruh pendapatan hanya diterima oleh satu orang atau satu kelompok. Nilai KI mendekati 2. Gini Coefficient (GC) Gini Coefficient (GC) digunakan untuk menunjukkan suatu distribusi secara menyeluruh yang dapat dihitung dengan rumus : GC = 1 – k Σ I =1 fi ( yi* + yi* -1) Dimana : yi * = proporsi secara kumulatif dari jumlah pendapatan rumah tangga sampai kelas ke i fi = proporsi jumlah rumah tangga dalam kelas ke i k = jumlah kelas 34 2.9. Hasil-Hasil Penelitian Terdahulu Beberapa peneliti telah melakukan penelitian masalah agraria antara lain : Mohammad Tauchid, (1952), Tashadi (1985), Sanggar Kanto (1986), Frans Husken (1998), serta Benjamin White dan Gunawan Wiradi (1979). Tauchid (1952), membahas mengenai sistem tenurial pada masa pemerintahan Inggris. Pada masa itu, konsep feodal mengatur masalah pertanahan dan sistem tenurial di Indonesia. Menurut konsep feodal, yang berkuasa atas tanah adalah kaum bangsawan di Inggris dan orang biasa hanya dapat menjadi penyewa. Pada masa pemerintahan Rafless, sistem penarikan pajak bumi adalah 2/5 dari hasil dengan dasar semua tanah adalah milik raja atau pemerintah. Rafles menarik sewa tanah atas dasar tanah yang ditangan rakyat semuanya adalah milik raja. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa tanah di Jawa adalah milik raja, maka karena kekuasaan raja pindah ke tangan kekuasaan yang baru (Inggris), maka kekuasaan yang tidak terbatas itu pindah tangan. Pada masa itu, pemilikan dan penguasaan tanah sebagian besar cenderung komunal, walaupun juga terdapat sistem perseorangan. Tashadi (1985) yang meneliti pola penguasaan, pemilikan dan penggunaan tanah secara tradisional di daerah Yogyakarta berpendapat bahwa sistem tenurial di Daerah Istimewa Yogyakarta dikaji melalui pranata-pranata pemilikan, religi, ekonomi, maupun hukum adat adalah berbentuk feodal pada mulanya dan kemudian berbentuk sebagai tanah komunal dan hak milik perseorangan. Sistem tenurial di Yogyakarta segalanya berorientasi kepada raja. Sebelum tahun 1918, menunjukkan sistem tenurial di Yogyakarta adalah bersifat feodal. Semua tanah 35 yang ada adalah milik raja atau sultan. Hal tersebut ditandai dengan berkuasanya para patuh dan bekel atas tanah-tanah raja dan rakyat sebagai penggarapnya yang tidak mempunyai hak apa – apa atas tanah yang digarapnya. Adapun pembagian tanah di Yogyakarta adalah sebagai berikut; 1/5 untuk bekel, 2/5 untuk patuh dan 2/5 untuk rakyat. Akan tetapi sejak tahun 1918, dengan diberlakukannya Rijksblad Kasultanan No. 16 tahun 1918 maka terhapuslah kekuasaan para patuh dan bekel atas tanah milik raja. Berdasarkan pada pasal 4 Rijksblad Kasultanan No. 16 tahun 1918, para pemakai tanah diberi kesempatan sebagai pemakai tanah dengan hak anganggo turun – temurun. Sejak tahun 1926 berdasarkan peraturan yang berlaku saat itu (UU. No. 23 dan UU. No. 25 tahun 1926), tanah yang menjadi milik dan kuasa pemerintah kalurahan dijadikan tanah desa untuk kepentingan bersama. Demikianlah, sejak tahun 1926 maka sistem tenurial di Yogyakarta adalah bersifat komunal untuk kepentingan bersama. Dalam perkembangannya, diberlakukan Perda No. 5 tahun 1954 tentang hak atas tanah di Yogyakarta. Di dalam pasal – pasal Perda tersebut menyatakan bahwa DIY memberi hak – hak milik perorangan turun – temurun atas sebidang tanah kepada WNI, selanjutnya disebut hak milik. Berdasarkan Perda tersebut sistem tenurial di Yogyakarta setelah terbentuknya Daerah Istimewa Yogyakarta dengan UU. No. 3 tahun 1950 adalah bersifat kepentingan bersama (tanah komunal) dan juga bersifat untuk kepentingan perseorangan. Kanto (1986) membahas mengenai struktur penguasaan tanah dan hubungan kerja agraris di daerah pedesaan Jawa Timur, kasus di Desa Janti, 36 Kabupaten Sidoarjo. Di Desa Janti, terdapat dua bentuk sistem tenurial (penguasaan tanah) yang berlaku yaitu sistem sewa dan sistem sakap. Penyewaan tanah sawah dapat terjadi antara petani dengan petani dan antara petani dengan pabrik gula. Penyewaan tanah banyak dilakukan oleh golongan petani luas dan petani sedang yakni masing – masing sebesar 37,5 persen dan golongan petani sempit sebesar 25 persen, sedangkan petani yang menyewakan tanahnya adalah petani sempit. Arus tanah garapan dengan sistem sewa antar petani mengalir dari banyak petani sempit kepada sedikit petani luas, artinya sistem sewa menunjukkan gejala pengumpulan tanah garapan. Penyewa tanah adalah golongan yang mampu, sedangkan yang menyewakan tanah adalah golongan rumah tangga miskin yang menyewakan tanahnya karena terdesak untuk mencukupi kebutuhan hidupnya sehari – hari. Sedangkan arus tanah garapan dengan sistem sakap terjadi antara petani luas dengan petani sedang dengan sistem maro. Sementara itu Husken (1998) membahas akses ke lahan dan tenaga kerja : dasar – dasar diferensiasi sosial. Dalam penelitiannya disebutkan bahwa menurut Husken 1988, di Desa Gondosari sistem tenurialnya dikuasai oleh tuan – tuan tanah yang memiliki lahan – lahan luas. Akan tetapi, sejak adanya peraturan mengenai pemilikan tanah setiap orang tidak boleh lebih dari 5 ha. Oleh karena itu, para tuan tanah tersebut mendaftarkan tanah – tanah mereka atas nama anggota – anggota keluarganya sendiri untuk menghindari ketentuan UndangUndang Landreform yang menetapkan batas maksimum 5 hektar tanah yang boleh dimiliki seorang penduduk. 37 Kondisi Desa Gondosari yang seperti itu mengakibatkan sistem penguasaan lahannya menganut sistem sewa dan sistem sakap. Di Desa Gondosari pada tahun 1976, seperenam dari seluruh lahan pertanian di desa itu; sebanyak 78 keluarga ketika itu menyewakan tanah yang seluruhnya meliputi 44 hektar tanah dan 15 hektar tanah tegalan. Orang yang menyewa tanah terutama adalah anak – anak dan menantu dari kelompok elite setempat yang terdiri dari anggota pemerintahan desa dan beberapa petani kaya. Menyewa tanah pun merupakan suatu bentuk investasi modal: si penyewa tidak mengerjakan sendiri tanah itu, tetapi menyuruh si pemilik tanah mengerjakannya berdasarkan bagi hasil. Terdapat 48 persen sawah dan 60 persen tegalan di Gondosari dikerjakan oleh para petani bagi hasil. Bagi hasil bukan saja berarti hubungan kontrak antara dua pihak mengenai pengolahan tanah dan pemberian tenaga kerja. Di Gondosari, bagi hasil mengandung pengertian pelaksanaan pola hubungan abdi – majikan yang unsur – unsurnya tidak tertulis tetapi berjalan seperti sesuatu yang sudah semestinya. Si penggarap serta keluarganya sering melakukan kerja ekstra tanpa bayar di dalam dan di luar rumah majikan. Benjamin White dan Gunawan Wiradi (1979), mengkaji perubahan pola penguasaan atas tanah selama 100 tahun terakhir. Pada 110 tahun lalu (dihitung berdasarkan tahun penelitian yaitu 1975), bentuk dasar penguasaan tanah di daerah Priangan dan Cirebon adalah tanah sawah berstatus hak milik perorangan; disana sistem penguasaan komunal tidak pernah diketahui. Sebaliknya di daerah karesidenan Cirebon, sistem penguasaan komunal terdapat hampir di semua desa. Sementara itu, di seluruh Jawa hampir 60 persen dari desa yang ada mengenal 38 sistem komunal, sehingga dapat disimpulkan bahwa kedua daerah Priangan dan Cirebon merupakan dua ekstrim dari sistem penguasaan tanah. Priangan lebih individual dan Cirebon lebih komunal, jika dibandingkan dengan keadaan ratarata di Jawa. Pada akhir abad ke – 19 kebanyakan dari tanah komunal sudah merupakan tanah yang dikuasai secara tetap, sedangkan tanah komunal yang dibagikan bergilir secara periodik semakin kecil jumlahnya di beberapa daerah Jawa Barat. Aspek lain dari ciri komunal dalam penguasaan tanah adalah adanya tanah yang dimiliki bersama oleh masyarakat desa, tetapi digunakan dengan tujuan tertentu untuk dipakai oleh lurah dan pamong-pamong desa lainnya sebagai “gaji”nya (tanah bengkok) atau sebagai sumber pendapatan desa (tanah titisara atau kas desa). Daerah Cirebon memiliki tanah bengkok yang luar biasa luasnya. Antara tahun 1868 – 1975, telah terjadi perubahan mengenai prorposi desa di daerah DAS Cimanuk yang mempunyai tanah bengkok tetapi, hampir semua desa mempunyai tanah bengkok. Di daerah Priangan tanah bengkok sudah lebih umum daripada dahulu. Jadi, pada tahun 1975 perbedaan antara kedua daerah tersebut tidak begitu nyata lagi. Penyebaran penguasaan tanah tanah relatif merata di daerah Cirebon dan Majalengka, dalam arti proporsi pemilik kecil (dibawah 0,7 ha) relatif besar, sedangkan proporsi pemilik luas (diatas 1,4 ha) yang relatif kecil. Pada daerah Indramayu, Sumedang dan Garut sebaliknya, terdapat proporsi pemilik luas yang relatif besar. 39 Pada awal abad ke – 20, di daerah Priangan penimbunan penguasaan atas tanah – tanah luas oleh golongan – golongan tuan tanah bukan hanya melalui pemilikan, tetapi juga dengan cara penyewaan atau penggadaian yang memberikan suatu penguasaan de facto atas tanah. Pemilikan tanah luas tentu tidak mengakibatkan usaha – usaha tani luas. Tanah – tanah yang dikuasai oleh golongan pemilik luas disewakan atau dibagihasilkan kepada penggarap – penggarap lain. Dari segi ekonomi pertanian, pola usaha tani kecil-kecilan tetap bertahan. Jadi, konsentrasi pemilikan lahan disertai dengan tingkat penyakapan yang tinggi. Di Das Cimanuk, sistem bagi hasil seperti maro dan mertelu cenderung menurun, sedangkan sistem kedokan atau ceblokan cenderung naik. Di desa Cirebon, sistem bagi hasil hanya terjadi pada musim kemarau. Para penguasa tanah luas tidak mau membagi – hasilkan sawahnya pada waktu musim hujan. Sementara itu, buruh tani hanya bersedia bekerja pada para penguasa tanah luas dengan syarat agar mereka diberi hak menggarap dengan cara bagi hasil pada musim kemarau. Guna menjamin ada tenaga kerja paa musim hujan, maka para penguasaan tanah luas menyetujui permintaan buruh tani tersebut. Di daerah Cirebon, kedudukan buruh relatif kuat, namun kedudukan tersebut bersifat temporer. Berdasarkan sensus pertanian tahun 1993 dalam Laudjeng dan Arimbi (1997), menyebutkan mengenai data distribusi kepemilikan lahan yaitu ; terdapat 19.713.806 Rumah Tangga Petani Pengguna Lahan (RTPPL). Dari jumlah tersebut 18.968.065 Rumah Tangga adalah petani pemilik tanah, dengan total 40 pemilikan 15.600.246,01 ha atau rata-rata 0,82 ha setiap keluarga petani. Sedangkan sisanya sebanyak 745.741 adalah Rumah Tangga Petani yang tidak memiliki tanah atau menggarap tanah milik orang lain (Lihat Tabel 1). Pemilikan lahan pertanian dikalangan rumah tangga petani (RTP), juga diwarnai dengan ketimpangan. Karena sebanyak kurang lebih 70 persen RTPL hanya memiliki sekitar 18 persen dari lahan pertanian yang dimiliki oleh RTP. Sebaliknya sekitar 1,5 persen petani kaya memiliki sekitar 12,5 persen dari lahan yang dimiliki RTP. Tabel 1. Struktur Pemilikan Tanah di Kalangan Rumah Tahun 1993. Golongan Luas Lahan Jumlah Rumah yang Dimiliki Tangga Pemilik <0,05 - 0,99 13.321.305 1,00 - 4,99 5.378.779 5,00 - 6,00 267.925 Tidak tercatat 56 Jumlah 18.968.065 Tangga Petani Menurut Sensus Pertanian Tanah yang Dimiliki 4.362.355,71 9.308.410,98 1.929.479,32 15.600.246,01 Rata-rata 0,33 1,73 7,20 - Sumber : Sensus Pertanian Indonesia 1993 2.10. Kerangka Pemikiran Pada bagian ini akan dibahas kerangka berpikir dari distribusi kepemilikan lahan dan sistem tenurial yang dominan di pedesaan. Bagi petani, lahan mempunyai arti yang sangat penting. Dari situlah mereka dapat mempertahankan hidup bersama keluarganya, melalui kegiatan bercocok tanam dan beternak. Karena lahan merupakan faktor produksi dalam berusahatani, maka keadaan status penguasaan terhadap lahan khususnya sawah tersebut menjadi sangat penting. Ini berkaitan dengan besar kecilnya bagian yang akan diperoleh dari hasil usahataninya (Sutisna, 2001). Konsep struktur agraria erat kaitannya dengan distribusi kepemilikan lahan dan sistem tenurial. Karena struktur agraria adalah suatu fakta yang 41 menunjuk kepada fakta kehadiran minoritas golongan atau lapisan sosial yang menguasai lahan yang luas di satu pihak dan mayoritas golongan yang menguasai hanya sedikit atau bahkan tanpa tanah sama sekali di lain pihak (Tjondronegoro, 1999) Kepemilikan lahan dapat diperoleh dari warisan dan transaksi jual beli. Dalam distribusi kepemilikan lahan sawah, terdapat golongan luas kepemilikan lahan sawah. Pada setiap golongan luas kepemilikan lahan sawah tersebut, dalam pengelolaan lahannya menerapkan sistem tenurial tertentu. Sistem tenurial merupakan pola penguasaan lahan yang didalamnya meliputi hubungan sewa, sakap dan gadai serta bentuk – bentuk pemilikan tanah secara komunal maupun perseorangan. Pola penguasaan lahan dapat diketahui dari pemilikan lahan dan bagaimana tanah tersebut diakses oleh orang lain. Menurut Wiradi dan Makali (1984), sistem sewa adalah penyerahan sementara hak penguasaan tanah kepada orang lain, sesuai dengan perjanjian yang dibuat bersama oleh pemilik dan penyewa. Di desa – desa penelitian di Jawa ada enam macam istilah sewa yaitu motong, kontrak, sewa tahunan, setoran, jual oyodan dan jual potongan. Gadai menurut Imam Sudiyat (1978) dalam Wiradi dan Makali (1984) adalah menyerahkan tanah untuk menerima pembayaran sejumlah uang secara tunai, dengan ketentuan si penjual tetap berhak atas pengembalian tanahnya dengan jalan menebusnya kembali. Menurut Manuwotto (1995), sistem gadai biasanya terjadi ada kaitannya dengan utang piutang yang diberi agunan (borg) tanah pertanian. 42 Hak sakap adalah hak seseorang untuk mengusahakan tanaman di atas tanah orang lain dengan perjanjian bahwa hasilnya dibagi antara kedua belah pihak berdasarkan persetujuan bersama. Sistem sakap dimungkinkan apabila ada pemilikan tanah yang luas disatu pihak, sedangkan dipihak lain banyak penggarap yang tidak mempunyai tanah sendiri (Soentoro 1981 dalam Kanto, 1986). Meluasnya pemilik tanah pertanian oleh bukan petani dan oleh mereka yang tidak tinggal dengan lokasi tanah, mendukung dipraktekannya sistem sakap atau bagi hasil (Kanto, 1986). Terdapat beberapa jenis sistem bagi hasil dan sewa-menyewa di pedesaan Jawa Barat (Kroef, 1984); Mertelu, pemilik tanah menanggung biaya benih dan memungut 2/3 hasil panen, sisanya merupakan hak penyewa atau penyakap; Merapat, persyaratannya sama dengan diatas kecuali bahwa pemilik tanah mendapat ¾ bagian hasil panen dan bagian untuk penyakap; Nyeblok atau ngepak. Dalam hal ini penggarap melakukan semua pekerjaan dan membajak, menyiang sampai menanam. Kemudian pemilik tanah mengambil alih pekerjaan. Penggarap menerima 1/5 hasil panen; Derep, penggarap atau buruh terutama menanam padi, tetapi dapat diminta membantu pekerjaan lain sampai panen tiba. Bagian buruh adalah 1/5 padi bulir, tetapi bilamana hasilnya jelek bagiannya dapat berkurang; Gotong royong, suatu kegiatan yang biasanya mengikutsertakan anggota keluarga saja. Penggarap mendapat bagian yang telah ditentukan sebelumnya sesuai dengan kebiasaan. Sementara itu maro adalah salah satu bentuk dari penyakapan dengan sistem dimana 50 persen hasil untuk penggarap dan 50 persen untuk pemilik. Berdasarkan pada beranekaragamnya bentuk penguasaan lahan tersebut, maka 43 pada penelitian ini akan diketahui sistem tenurial yang dominan diterapkan di wilayah desa – kota. Dalam perkembangannya, sistem tenurial mengalami perubahan pada segi penerapan dan kecenderungannya. Awal abad ke – 20 kepemilikan lahan di pedesaan Jawa cenderung komunal, namun pada saat sekarang ini kepemilikan komunal jarang dijumpai. Kepemilikan lahan menjadi cenderung perseorangan. Selain itu, dari segi penguasaan lahan pada saat sekarang ini secara garis besar, lebih cenderung menerapkan sistem sewa. Perubahan tersebut disebabkan oleh masuknya kapitalisme dan komersialisasi pertanian di pedesaan. Khusus mengenai terjadinya kapitalisme dan komersialisasi pertanian di pedesaan, tidak menjadi fokus kajian pada penelitian ini. 44 Struktur Agraria : hubungan kepemilikan dan pola penguasaan lahan Sejarah Kepemilikan Lahan : Waris Jual beli Distribusi Kepemilikan Lahan Kapitalisme dan komersialisasi Sistem Tenurial : Pola penguasaan sawah; Sewa (motong, kontrak, sewa tahunan, setoran, jual oyodan dan jual potongan); Bagi hasil atau sakap (mertelu, merapat, gotong royong, derep, nyeblok atau ngepak, maro); Gadai Pemilikan komunal Pemilikan perseorangan Penduduk Sistem tenurial dominan Gambar 2. Kerangka Pemikiran Keterangan : Kuantitatif Berpengaruh Bukan fokus penelitian 45 2.11. Hipotesis Pengarah Berdasarkan uraian mengenai konsep agraria, sistem tenurial, konsep hak penguasaan tanah, hak milik, dan telusuran beberapa hasil penelitian yang terkait dengan topik agraria, maka dalam penelitian ini dibangun beberapa hipotesa pengarah yang berkaitan dengan distribusi kepemilikan lahan sawah dan sistem tenurial di Desa Cibatok 1, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa Barat. Adapun hipotesis – hipotesis tersebut adalah sebagai berikut : 1. Pada distribusi kepemilikan lahan terdapat golongan petani yang didasarkan pada luas kepemilikan lahannya yaitu petani kaya (≥1 ha), petani menengah (0,500-0,999 ha), petani miskin ( 0,001-0,499) dan tunakisma (0 ha). 2. Transfer kepemilikan lahan pertanian diperoleh dari proses waris dan jual beli yang kemudian disertai dengan dimilikinya formalisasi berupa sertifikat atau surat kepemilikan lahan pertanian. 3. Terdapat beberapa jenis sistem tenurial antara lain sewa, bagi hasil, dan gadai, dengan tendensa pergeseran sistem tenurial ke bentuk sewa yang lebih komersial. 46 2.12. Batasan Operasional 1. Petani adalah penduduk yang mempunyai penguasaan dalam bentuk tertentu atas tanah pertanian, terlibat dalam hubungan penguasaan, pemilikan dan pemanfaatan. 12 2. Struktur agraria adalah pola hubungan antar subjek agraria dengan objek agraria dan antara sesama subjek agraria dalam hal pemilikan dan penguasaan onjek agraria khususnya lahan sawah. 3. Hak Milik adalah hak seseorang atas lahan yang dapat diperoleh secara turun – temurun, terkuat dan terpenuh. 4. Distribusi kepemilikan lahan sawah adalah penyebaran strata luas pemilikan lahan sawah yang diukur melalui adanya golongan petani kaya (≥1 ha), petani menengah (0,500 – 0,999 ha), petani miskin ( 0,001 – 0,499) dan tunakisma (0 ha) di pedesaan13. 5. Sistem tenurial merupakan pemilikan tanah, penguasaan tanah yang didalamnya meliputi hubungan sewa, sakap dan gadai serta bentuk-bentuk pemilikan tanah secara komunal maupun perseorangan. 6. Pemilikan tanah adalah penguasaan formal yang dimiliki seseorang atas tanah, yakni hak yang sah untuk menggunakan, mengolah, menjual dan 12 Diperoleh dari batasan operasional skripsi milik Andhini Fajryah Nuroni yang berjudul “Sistem Penguasaan Tanah dan Peran Tanah Bagi Petani Miskin”. 2006. IPB 13 Diperoleh dari tesis milik Kliwon Hidayat yang berjudul “Struktur Penguasaan Tanah dan Hubungan Kerja Agraris Di Desa Jatisari, Lumajang, Jawa Timur.” 1985. Fakultas Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. 47 memanfaatkannya yang dapat diperoleh dari warisan maupun transaksi jual beli. 7. Penguasaan tanah adalah suatu bentuk penguasaan tanah sementara, dalam bentuk memakai, memanfaatkan, mengelola tanah bukan miliknya yang didapatkan melalui gadai, sewa dan bagi hasil. 8. Sakap atau bagi hasil adalah suatu sistem untuk mengusahakan tanaman di atas tanah orang lain dengan perjanjian bahwa hasilnya dibagi antara kedua belah pihak berdasarkan persetujuan bersama, yang antara lain terdiri dari maro, mertelu, merapat, gotong royong, derep, nyeblok atau ngepak. 9. Maro adalah salah satu dari bentuk sistem sakap dimana antara pemilik dan penggarap mendapatkan hasil panen dengan perbandingan 1:1 10. Mertelu adalah salah satu dari bentuk sistem sakap dimana pemilik memungut 2/3 hasil panen, sisanya merupakan hak penyewa atau penyakap 11. Merapat, persyaratannya sama dengan diatas kecuali bahwa pemilik tanah mendapat ¾ bagian hasil panen dan bagian untuk penyakap. 12. Nyeblok atau ngepak. Dalam hal ini penggarap melakukan semua pekerjaan dari mulai membajak, menyiang sampai menanam. Kemudian pemilik tanah mengambil alih pekerjaan. Penggarap menerima 1/5 hasil panen. 13. Derep, penggarap/buruh terutama menanam padi, tetapi dapat diminta membantu pekerjaan lain sampai panen tiba. Bagian buruh adalah 1/5 padi bulir, tetapi bilamana hasilnya jelek bagiannya dapat berkurang. 48 14. Gotong royong, suatu kegiatan yang biasanya mengikutsertakan anggota keluarga saja. Penggarap mendapat bagian yang telah ditentukan sebelumnya sesuai dengan kebiasaan. 15. Sewa adalah penyerahan sementara hak penguasaan tanah kepada orang lain, sesuai dengan perjanjian, dibuat bersama oleh pemilik dan penyewa yang antara lain berbentuk motong, kontrak, setoran (dimana ketiga jenis sewa tersebut harga sewanya dibayar setelah panen). Sementara itu, jual oyodan atau jual potongan dan sewa tahunan harga sewa dibayar sebelum penyewa menggarap . 16. Gadai adalah penyerahan hak atas sebidang tanah kepada orang lain untuk menerima pembayaran sejumlah uang secara tunai, dengan ketentuan si penjual tetap berhak atas pengembalian tanahnya dengan jalan menebusnya kembali. 17. Pemilik penggarap murni adalah rumah tangga petani pemilik tanah yang menggarap sendiri tanahnya dan tidak menggarap lahan milik orang lain. 18. Pemilik penggarap penyewa adalah rumah tangga petani pemilik tanah yang menggarap sendiri tanahnya dan menggarap tanah yang disewa dari orang lain. 19. Pemilik penggarap penyakap adalah rumah tangga petani pemilik yang menggarap sendiri tanahnya dengan menggunakan tenaga kerja dalam rumah tangga dan atau tenaga kerja luar rumah tangga, menyewa dan menyakap tanah orang lain. 49 20. Penyewa murni adalah rumah tangga petani yang tidak memiliki tanah, yang menyewa tanah orang lain, menggarap sendiri dengan menggunakan tenaga kerja dalam rumah tangganya. 21. Penyakap murni adalah rumah tangga petani yang tidak memiliki tanah, yang menyakap tanah orang lain, menggarap sendiri dengan menggunakan tenaga kerja dalam rumah tangga. 22. Pemilik bukan penggarap adalah rumah tangga yang memiliki tanah tetapi tidak menggarap sendiri tanahnya secara langsung, karena tanahnya tersebut dikuasakan kepada orang lain melalui bagi hasil dan atau sewa. 23. Petani tunakisma adalah rumah tangga petani yang tidak memiliki tanah dan tidak memiliki tanah garapan, baik melalui mekanisme penyakapan maupun penyewaan. 24. Mata pencaharian adalah aktivitas atau kegiatan yang dilakukan seseorang untuk mendapatkan penghasilan. 50 III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dan pendekatan kuantitatif. Pendekatan kualitatif yang digunakan bersifat naturalistik karena tidak memanipulasi “ajang” (Taylor dan Bogdan, 1984:5-8; Patton, 1990: 39-63; Denzin dan Lincoln, 1994: 4-6; Guba dan Lincoln, 1994:105-7) dalam Sitorus, 1998. Penelitian ini bertujuan eksploratif karena untuk menjelaskan “apa/bagaimana peristiwa atau gejala sosial yang terjadi” (Sitorus, 1998). Pada penelitian ini, pendekatan kualitatif dipilih karena dianggap sesuai untuk memberikan penjelasan mengenai penerapan sistem tenurial di pedesaan. Strategi penelitian kualitatif yang digunakan pada penelitian ini adalah studi kasus. Studi kasus adalah memilih satu kejadian atau gejala untuk diteliti dengan menerapkan berbagai metode (Stake, 1994:236 dalam Sitorus, 1998). Pemilihan strategi tersebut karena terkait dengan tujuan penelitian ini yaitu eksplorasi. Ekplorasi dimaksudkan untuk meneliti gejala yang belum banyak dimengerti (Marshall dan Rossman 1989:78 dalam Sitorus 1998). Penelitian ini merupakan studi pada aras mikro yaitu menyoroti satu kasus mengenai sistem tenurial di pedesaan. Selain itu, dalam penelitian ini juga digunakan metode triangulasi. Metode triangulasi adalah penggunaan sejumlah metode dalam suatu penelitian (Denzin 1970: 301-10 dalam Sitorus 1998). Beberapa metode yang digunakan antara lain wawancara mendalam, observasi lapang, dan analisis dokumen. 51 Tipe studi kasus yang digunakan adalah tipe intrinsik. Studi kasus intrinsik adalah studi yang dilakukan karena peneliti ingin mendapatkan pemahaman yang lebih baik tentang suatu kasus (Stake, 1994: 237 dalam Sitorus 1998). Studi kasus tipe intrinsik dilakukan karena penelitian ini bertujuan untuk memahami satu kasus14. Selain itu, ingin mendapatkan pemahaman yang lebih baik tentang penerapan sistem tenurial di pedesaan. Sementara itu, pendekatan kuantitatif digunakan untuk mencari informasi faktual secara mendetail yang sedang menggejala dan mengidentifikasi masalahmasalah atau untuk mendapatkan justifikasi keadaan dan kegiatan – kegiatan yang sedang berjalan (Wahyuni dan Mulyono, 2006). Pendekatan tersebut khusus diterapkan untuk memperoleh data distribusi kepemilikan lahan. 3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di daerah pedesaan, tepatnya di Desa Cibatok 1 , Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa Barat. Satuan wilayah yang diteliti dalam penelitian adalah RW 5 dan RW 6 yang secara administratif masuk kedalam Dusun 3 (Lampiran 1 dan 2 ). Lokasi ini dipilih secara sengaja dengan pertimbangan sebagai berikut : 1. Lokasi penelitian merupakan wilayah dusun pedesaan yang mudah dijangkau 2. Komunitas Desa Cibatok 1 adalah komunitas desa agraris, karena luas tanah pertanian yang diusahakan penduduk adalah 60 persen yaitu sekitar 100 ha. 14 Diperoleh dari slide Mata Kuliah MPK oleh Ivanovich Agusta , Msi. Pada 30 Maret 2007. 52 3. Terdapat beberapa kategori petani (minimal pemilik tanah, penggarap dan buruh tani) Penelitian ini dilaksanakan selama 2 bulan, dimulai dari bulan April 2008 – Juni 2008. Rincian rencana kegiatan yang dilakukan antara lain proses penyusunan proposal dan kolokium dilaksanakan pada bulan April, studi lapang atau pengambilan data di lapangan dilaksanakan pada bulan April hingga Mei. Kemudian, proses penulisan laporan hasil penelitian dilaksanakan pada bulan Juni sampai bulan Juli. (Lampiran 3.) 3.3. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah pengambilan data primer dan sekunder, wawancara mendalam kepada responden dan informan, melakukan pengamatan berperanserta secara langsung di lapangan dan penyebaran kuesioner. Pengumpulan data yang dilakukan untuk setiap data yang diperoleh dari beberapa sumber data. Instrumen yang digunakan dalam penelitian sebagai alat bantu pengumpulan data adalah peneliti itu sendiri yang mencatat semua uraian perkataan tineliti tentang identitas, hal-hal yang menyangkut pandangan, sikap, pendapat masyarakat yang berkaitan dengan sistem tenurial, pedoman wawancara dan kuesioner. Wawancara mendalam dimaksudkan adalah “temu muka berulang antara peneliti dan tineliti dalam rangka memahami pandangan tineliti mengenai hidupnya, pengalamannya ataupun situasi sosial sebagaimana ia ungkapkan dalam bahasanya sendiri” (Taylor dan Bogdan, 1984:77 dalam Sitorus 1998). 53 Wawancara mendalam dilakukan dengan menggunakan panduan pertanyaan yang dilakukan kepada subyek penelitian serta informan. Panduan pertanyaan tersebut berkenaan dengan hal-hal yang ada kaitannya dengan topik penelitian yaitu Distribusi Kepemilikan Lahan dan Sistem Tenurial. Pengamatan dilakukan agar peneliti dapat melihat, merasakan dan memaknai gejala sosial yang terjadi pada dunia tineliti sehingga dapat memungkinkan pembentukan pengetahuan secara bersama antara peneliti dan tineliti. Analisis data sekunder yang dilakukan adalah dengan mengambil datadata dari penelitian sebelumnya dan dari dokumen atau arsip desa. Penyebaran kuesioner merupakan teknik pengumpulan data dengan menyebarkan kuesioner kepada responden. 3.4. Teknik Penentuan Responden dan Informan Kunci Populasi dari penelitian ini merupakan petani di wilayah Dusun 3, Desa Cibatok 1. Dusun 3 dipilih secara purposif atau sengaja sebagai tempat penentuan responden dan informan kunci karena di daerah Dusun 3 banyak penduduk yang bermata pencaharian sebagai petani khususnya di wilayah RW 5 dan RW 6. Teknik penentuan responden yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik random sampling. Teknik random sampling yaitu sebuah sampel yang diambil sedemikian rupa sehingga setiap unit penelitian atau satuan elementer dari populasi mempunyai kesempatan atau peluang yang sama untuk terpilih sebagai sampel (Wahyuni dan Mulyono, 2006). Populasi yang dimaksudkan oleh peneliti adalah populasi sasaran yaitu suatu populasi yang sengaja dipilih untuk diteliti. 54 Populasi sasaran disini adalah petani. Metode pengambilan sampel dengan teknik random sampling ini ditempuh melalui cara undian. Berdasarkan hasil studi penjajagan lapang diketahui terdapat 103 kepala rumah tangga yang bermata pencaharian sebagai petani di wilayah RW 5 dan RW 6. Jumlah responden yang digunakan pada penelitian ini sebanyak 40 orang. Jumlah responden tersebut diperoleh dari perhitungan 41 persen15 dari jumlah petani di RW 5 dan RW 6 Dusun 3, Desa Cibatok 1 yaitu 103 KK. Responden berjumlah 40 orang karena secara statistik lebih dari 30 orang responden maka data yang disebarkan akan lebih meyakinkan hasilnya. Informan untuk penelitian ini adalah aparatur desa, tokoh masyarakat, ketua kelompok tani ditingkat dusun, dan ketua RW. Mereka dipilih karena dianggap memiliki pengetahuan mengenai kondisi umum berkaitan dengan kepemilikan dan penguasaan lahan serta permasalahan – permasalahan yang terkait dengan struktur agraria di wilayah mereka. Dipilihnya informan tersebut karena mereka memiliki banyak informasi mengenai pertanian atau mengenai kondisi keagrariaan di daerah penelitian meliputi kepemilikan dan penguasaan lahan pertanian. 15 Berdasarkan informasi yang diperoleh dari Modul Kuliah Metode Penelitian Sosial mengenai ukuran sampel (halaman 56) oleh Wahyuni dan Mulyono ( 2006), diketahui bahwa beberapa peneliti menyatakan bahwa besarnya sampel tidak boleh kurang dari 10 persen dan ada pula peneliti yang menyatakan bahwa besarnya sampel minimum 5 persen. Sehingga berdasarkan hal tersebut peneliti menentukan besarnya sampel sebanyak 41 persen dari populasi sasaran. 55 3.5. Teknik Analisis Data Data-data hasil wawancara, hasil observasi maupun kutipan dan saduran dari berbagai dokumen disajikan dalam suatu catatan harian yang dianalisis sejak pertama kali datang ke lapangan dan berlangsung terus-menerus selama penelitian berjalan. Data kuantitatif diolah dan disajikan dalam bentuk tabel frekuensi dan analisa deskriptif dengan menggunakan software Microsof excel 2007. Data-data tersebut kemudian direduksi yakni melalui proses pemilihan, pemusatan perhatian, serta penyederhanaan data-data kasar yang diperoleh dari catatan harian. Selain itu, peneliti juga mencocokan data yang didapat dengan data yang dimiliki desa dan menganalisisnya menjadi draf pertama yang terus diperbaiki dan disempurnakan sehingga menjadi laporan penelitian yang baik dan ilmiah. Data tersebut kemudian dipetakan atau ditipologikan berdasarkan golongan – golongan tertentu. Data tersebut kemudian disajikan dalam bab – bab yang dikembangkan dari hasil perolehan data di lapang. 56 IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1. Letak Administratif Secara administratif Desa Cibatok 1 terletak di wilayah Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa Barat. Wilayah Desa Cibatok 1 dibatasi oleh Desa Cimanggu 2 di sebelah utara, Desa Cibatok 2 di sebelah selatan, Desa Cicadas di sebelah timur, dan Desa Cemplang di sebelah barat. Jarak dari Desa Cibatok 1 ke Institut Pertanian Bogor (IPB) adalah 10 kilometer, yang dapat ditempuh dengan kendaran roda dua selama 10 – 15 menit dan dengan kendaraan roda empat selama 30 menit. Jalan yang menghubungkan Desa Cibatok 1 dengan kota kecamatan, kabupaten dan provinsi relatif sudah baik. Demikian pula jalan – jalan yang menghubungkan Desa Cibatok 1 dengan desa – desa lainnya yang berada di wilayah Kecamatan Cibungbulang. Hal tersebut telah banyak membuka kesempatan masyarakat desa untuk mengembangkan usaha, baik itu usaha di bidang pertanian maupun di luar bidang pertanian. Desa Cibatok 1 memiliki tiga dusun yang dibagi lagi menjadi 9 RW dan 28 RT. Pola pemukiman penduduk Desa Cibatok 1 pada umumnya berjajar mengikuti alur jalan yang ada. Rumah – rumah yang terletak di daerah jalan utama atau dekat dengan kantor desa umumnya adalah rumah – rumah permanen dengan bangunan tembok. Sementara rumah-rumah di wilayah pedusunan bangunannya cukup beragam, mulai bangunan tembok, semi permanen atau rumah kayu. 57 4.2. Kondisi Agronomi Luas wilayah Desa Cibatok 1 adalah 174 hektar. Sekitar 100 hektar digunakan untuk pertanian dan sisanya untuk area pemukiman, kuburan, jalan, tempat peribadatan (masjid), kantor pemerintah desa, sekolah, puskesmas dan sarana prasarana umum masyarakat lainnya. Desa Cibatok 1 terletak pada ketinggian 250 m diatas permukaan laut dengan jumlah dan curah hujan 236 m3. Kurang lebih 60 persen luas tanah di Desa Cibatok 1 digunakan untuk areal pertanian. Komoditas pertanian yang dihasilkannya antara lain padi, singkong, ubi jalar, jagung kacang panjang, terong, cabai, ketimun dan pepaya. Meskipun sektor unggulan desa ini adalah pertanian tapi sebagian besar masyarakatnya bekerja sebagai pedagang. Hal ini dikarenakan petani di desa ini juga merangkap sebagai pedagang. Selain kedua sektor tersebut, sektor peternakan juga dapat ditemukan di desa ini. Sumber daya alam yang dominan ditemukan di Desa Cibatok 1 adalah sungai dan sumber mata air. Sungai-sungai utama yang mengalir di desa ini yaitu Sungai Cibungbulang, Sungai Ciaruteun, dan Sungai Leuwi Jengkol. Sungai – sungai ini menjadi sumber irigasi pertanian di samping sumber mata air. Sumber daya alam yang lain misalnya batu, kerikil, dan pasir dari sungai, ikan, hasil-hasil alam lainnya. 58 4.3. Kependudukan Desa Cibatok 1 pada tahun 2007 memiliki jumlah penduduk sebesar 8083 jiwa dengan jumlah keluarga 1825 Kepala Keluarga (KK). Penduduk sebagian besar bermata pencaharian rangkap yaitu sebagai petani dan sekaligus pedagang. Desa ini memiliki tiga dusun, 9 RW, dan 28 RT. Pada tahun 2008 Jumlah penduduk adalah 8136 jiwa dengan jumlah laki – laki 4123 jiwa dan perempuan sebanyak 4013 jiwa. Sedangkan jumlah keluarga adalah 1947 KK diantaranya; keluarga pra sejahtera sebanyak 746 KK, keluarga sejahtera satu sebanyak 337 KK, keluarga sejahtera dua sebanyak 44 KK, keluarga sejahtera tiga sebanyak 331 KK dan keluarga sejahtera tiga plus sebanyak 91 KK. 4.4. Pendidikan Tingkat pendidikan penduduk Desa Cibatok 1 bervariasi, mulai dari tingkat pendidikan dasar, menengah, atas serta perguruan tinggi. Berdasarkan informasi dari aparat desa, untuk kondisi sekarang tingkat pendidikan masyarakat semakin baik. Sebagian besar generasi muda desa mampu menyelesaikan pendidikan hingga tingkat atas. Selain sarana bagi pendidikan formal, Desa Cibatok 1 juga menyediakan fasilitas belajar bagi masyarakat yang masih buta huruf melalui program keaksaraan fungsional (KF). Hal tersebut juga menunjang peningkatan mutu sumberdaya manusia. 59 4.5. Sarana dan Prasarana Sarana dan prasarana yang tersedia di desa ini dapat dibilang lengkap. Prasarana jalan menuju Desa Cibatok 1 dan yang menghubungkan Desa Cibatok 1 dengan desa – desa tetangganya sudah menggunakan perkerasan aspal, sehingga memudahkan proses transportasi. Demikian pula halnya dengan prasarana jalan antar dusun, juga sudah diaspal. Di Desa Cibatok 1 sudah terdapat angkutan desa (angdes) yang beroprasi dari pukul 06.00 WIB hingga pukul 19.00 WIB, dan ojeg yang beroperasi lebih lama dari angdes. Sarana umum masyarakat yang ada di Desa Cibatok 1 adalah masjid, kantor desa, sarana pendidikan (SD, SMP, SMA dan pesantren), puskesmas sebagai sarana kesehatan, kios-kios, koramil serta sarana prasarana umum lainnya mudah ditemukan dan dijangkau oleh masyarakat. (Lampiran 9) Ketersediaan air bersih cukup memadai yang diperoleh dari sumur gali, mata air dan sumur pompa. Sarana pembuangan sampah masih belum baik sehingga sebagian besar penduduk setampat membuang sampah sembarangan. Hal ini akan mengakibatkan tingginya potensi serangan berbagai macam penyakit yang tidak diinginkan. 60 4.6. Mata Pencaharian Desa Cibatok 1 merupakan daerah yang dapat disebut dengan istilah desa – kota. Adapun ciri dari desa – kota antara lain, telah memiliki sarana komunikasi yang baik, transportasi yang lancar, pasar yang mudah dijangkau, sumber nafkah non-pertanian yang sangat mempengaruhi kehidupan masyarakatnya (walaupun, sebagian besar lahannya masih dimanfaatkan untuk pertanian) telah terjadi konversi lahan didalamnya, adanya keikutsertaan pihak luar dalam kepemilikan lahan. Kondisi yang demikian memungkinkan keanekaragaman mata pencaharian dan diterapkannya pola nafkah ganda di Desa Cibatok 1. Sekitar 50 persen penduduk bermata pencaharian sebagai pedagang. Sementara itu, 50 persen lainnya bermata pencaharian sebagai petani, pegawai negeri, pegawai swasta, wiraswasta, pertukangan, buruh bangunan, tukang ojeg dan supir. Lebih dari 60 persen petani memiliki pekerjaan sampingan seperti pedagang. Pola nafkah ganda misalnya bertani dan berdagang biasanya diterapkan oleh petani yang luas lahannya lebih besar atau sama dengan 1 ha serta buruh tani yang memiliki keluarga sebagai petani kaya. Petani tersebut seringkali menjual barang dagangannya yang berupa hasil panen ke kota yaitu pasar di Bogor dan di Jakarta. Profesi sebagai petani banyak digeluti oleh para generasi tua. Sementara itu, para pemuda di Desa Cibatok 1 cenderung memiliki minat yang rendah terhadap pertanian. Para generasi muda di Desa Cibatok 1 memilih bekerja sebagai supir, tukang ojeg dan buruh bangunan. 61 V. DISTRIBUSI KEPEMILIKAN LAHAN DESA CIBATOK 1 5.1. Sejarah Penguasaan dan Kepemilikan Lahan Pertanian Di Desa Cibatok 1 Secara historis, Desa Cibatok 1 berdiri sejak sekitar 100 tahun lalu yaitu sekitar tahun 1908. Akan tetapi, tidak terdapat keterangan bagaimana awal mula desa tersebut didirikan. Sementara itu, pemilikan tanah di Desa Cibatok 1 secara garis besar diperoleh dengan cara membuka hutan, namun bukan hutan belantara hanya hutan – hutan kecil seperti hutan bambu. Hal tersebut dikarenakan sebelumya tidak terdapat hutan lebat atau belantara di daerah ini. Berikut hasil wawancara dengan salah seorang sesepuh di Desa Cibatok 1. “Disini mah setahu saya, tidak ada hutan lebat yang pohonnya gede-gede gitu. Menurut dongeng-dongeng dari kakek buyut saya, disini dulu adanya hutan kecil, kayak hutan bambu, semak-semak gitu.” Berdasarkan keterangan dari sekretaris desa, sebagai berikut. “Gak ada hutan belantara dulunya, setahu saya emang udah ada rumah, tapi jaraknya jauh-jauh. Nah, adanya mah hutan-hutan kecil.” Kepemilikan tanah yang diperoleh dengan cara membuka hutan tersebut dimiliki secara turun – temurun. Tanah yang dimiliki tersebut oleh warga sekitar dinamakan dengan tanah adat dengan bukti kepemilikan lahan yang disebut girik. Tanah yang dimiliki dikelola secara perseorangan kemudian diwariskan secara turun – temurun kepada generasi berikutnya. Di Desa Cibatok 1, tidak terdapat tanah yang dikelola secara komunal. Selain dari proses warisan, kepemilikan lahan juga dapat melalui proses jual beli. Pada awal abad ke 20, sudah terdapat 62 proses jual beli namun masih terbatas. Sebagian besar proses kepemilikan lahan diperoleh melalui warisan. Menurut keterangan responden pada masa penjajahan Belanda sekitar tahun 1930 – an, tanah di Desa Cibatok dikuasai oleh tuan tanah. Jadi, walaupun penduduk setempat yang memiliki tanah, namun dari segi pengelolaan tanah dan tanaman yang ditanam ditentukan oleh tuan tanah. Selain dari segi pola tanam, tuan tanah juga menentukan besarnya pajak16 yang harus dibayar oleh masyarakat pada masa itu serta menentukan kepala desa yang berhak memimpin Desa Cibatok 1, kemudian bersama kepala desa yang telah terpilih menentukan orang-orang yang berhak menjadi aparat desa. Kepala desa yang dipilih oleh tuan tanah adalah seseorang yang memiliki tanah yang luas, ternak yang banyak dan rumah yang besar. Sementara itu, aparat desa yang dipilih juga merupakan orang-orang yang dapat dikatakan mampu didesa. Ciri aparat desa yang demikian, menyebabkan tanah bengkok tidak terdapat di Desa Cibatok 1, karena dinilai tidak terlalu diperlukan oleh para pejabat desa. Tanah kas desa juga tidak pernah ada di Desa Cibatok 1. Selain itu, tuan tanah tidak mengizinkan adanya tanah kas desa.17 Alasannya karena masyarakat desa setempat hampir semuanya memiliki lahan pertanian. Menurut keterangan nara sumber di Desa Cibatok 1, pertanian mulai berkembang pada kisaran tahun 1960 – 1970-an. Hal tersebut ditandai dengan adanya panca usaha tani dan penerapan revolusi hijau. Pada waktu itu, wilayah 16 Tidak ada data maupun informasi yang menjelaskan mengenai berapa besarnya pajak. 17 Diperoleh dari hasil wawancara mendalam dengan nara sumber yaitu Bapak Bahram yang merupakan sesepuh di Desa Cibatok 1 63 desa didominasi oleh area persawahan yaitu sekitar 70 persen sawah. Disamping itu, perkebunan pisang juga banyak terdapat di wilayah Desa Cibatok 1. Luasnya area persawahan juga didukung oleh sumberdaya air yang melimpah, sehingga hasil panen yang mayoritas berupa tanaman padi dan palawija sangat banyak. Dalam perkembangannya sawah yang ditanami padi jumlahnya semakin menurun. Petani yang dulunya menanam padi, banyak yang beralih ke tanaman palawija. Hal tersebut dikarenakan, banyaknya hama yang menyerang tanaman padi, serta air untuk mengairi sawah mulai susah didapat. Berdasarkan hasil wawancara mendalam dengan informan kunci, segi penguasaan lahan pada tahun 1930 – an sistem yang paling banyak digunakan adalah sistem bagi hasil khususnya maro. Selain maro, praktek sistem gadai juga sering dilakukan. Sementara itu, sistem sewa mulai banyak diterapkan pada saat tanaman palawija semakin banyak ditanam di daerah Desa Cibatok 1, hal tersebut terjadi sekitar tahun 1960 – an. Pada saat itu, banyak petani yang membutuhkan lahan pertanian untuk ditanami palawija, sehingga harga sewa lahan pada saat itu cukup tinggi.18 Praktek sistem sewa semakin banyak terjadi pada tahun 1990 – an. Berkembangnya komersialisasi pertanian19 di Desa Cibatok 1 meningkatkan dilaksanakannya praktek sewa dan jual beli lahan pertanian. Selain praktek sewa 18 Tidak ada informasi yang menjelaskan mengenai berapa besarnya harga sewa 19 Komersialisasi merupakan proses transformasi dari sesuatu yang tidak atau kurang memiliki nilai ekonomi-langsung, menjadi suatu produk atau komoditi bernilai pasar yang kompetitif. Agar transformasi tersebut bermakna, maka tidak bisa tidak hal tersebut harus dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip kapitalisme (Besari, 2003). Suatu komersialisasi akan diukur berdasarkan beberapa indikator yaitu peralihan dari ekonomi produk ke ekonomi uang antara lain ialah perkembangan pasar pertanahan, besarnya jumlah pembayaran dalam bentuk uang, suatu daerah dimana sistem bagi hasil, sewa, serta upah kerja di pertanian rakyat (Husken, 1998). 64 yang semakin meningkat, praktek jual beli lahan pun juga mengalami peningkatan pada tahun 1998. Hal tersebut terjadi karena sekitar tahun 1998 di daerah Sentul dan Jakarta banyak mengalami penggusuran, sehingga banyak warga yang membeli tanah dari penduduk desa untuk tempat pemukiman dan lahan pertanian. Akibat jual beli lahan antar penduduk luar dengan penduduk asli desa, luas lahan yang dimiliki penduduk asli menjadi lebih sedikit daripada tahun – tahun sebelumnya. Sekitar tahun 1960 – an, lahan terluas yang dimilik petani adalah seluas 5 ha dan penyebarannya cukup merata, banyak petani yang memiliki lahan luas. Akan tetapi, dalam perkembangannya luas lahan yang dimiliki petani menjadi semakin sempit, khususnya petani yang merupakan penduduk asli desa. Hal itu dikarenakan sistem waris yang selama ini diterapkan menyebabkan lahan yang dimiliki petani menjadi terbagi – bagi atau terfragmentasi. Selain itu, praktek jual beli lahan juga menjadi salah satu faktor penyebab semakin menyempitnya lahan yang dimiliki petani. Sekarang ini, lahan terluas yang dimiliki petani di Desa Cibatok 1 adalah 3,2 ha dan pemiliknya tersebut bukan penduduk asli Desa Cibatok 1, walaupun sekarang berdomisili di Desa Cibatok 1. Berikut ini merupakan kutipan hasil wawancara dengan sesepuh desa. “Sekarang mah Neng, petani gak ada yang punya lahan seluas dulu. Kalo dulu mah, yang punya lahan 4-5 hektaran banyak. Tapi sejak banyak penggusuran di Sentul dan Jakarta, banyak yang datang kemari untuk beli tanah. Jadi lahan yang petani punya, pada berkurang. Belum lagi, kalo udah ada yang diwarisin, jadi tambah sempit-sempit aja lahan yang petani punya. Sekarang aja lahan yang paling luas dimiliki cuma 3,2 ha, itu juga yang punya bukan penduduk asli desa. Di sini banyak lahan pertanian yang bukan punya warga asli desa, walopun banyak juga sih yang punya warga asli, tapi yah gak luas-luas amat.” 65 5.2. Sistem Transfer Kepemilikan Lahan Pertanian Penerapan sistem transfer lahan pertanian melalui jual beli dan waris yang diserta dengan bukti kepemilikan lahan pertanian berupa surat bukti kepemilikan lahan pertanian. Berikut ini merupakan paragraf-paragraf yang menjelaskan hal di atas secara detail. Kepemilikan lahan di Desa Cibatok 1 disini dimaksudkan sebagai suatu bentuk penguasaan formal yang diperoleh melalui dua cara yaitu waris dan jual beli. Sistem waris sudah sejak lama diterapkan di Desa Cibatok 1. Sementara itu, sistem jual beli juga sudah ada sejak dahulu, namun menjadi lebih sering dilakukan sejak tahun 1990-an. Berdasarkan hasil penelitian terhadap 40 orang responden yang bermata pencaharian sebagai petani, diketahui bahwa tidak ada lahan pertanian di Desa Cibatok 1 yang murni hanya berasal dari proses jual beli, karena pada awalnya sistem pewarisan secara turun-temurun sudah diterapkan sejak lama. Jadi, tidak ada petani dari 40 responden yang memiliki lahan pertanian hanya dari hasil jual beli. Akan tetapi, terdapat kemungkinan mengenai dimilikinya lahan pertanian yang murni hanya dari proses jual beli pada petani-petani lainnya di Desa Cibatok 1. Terdapat 39 persen dari keseluruhan responden menyatakan bahwa lahan pertanian yang mereka miliki berasal dari warisan. Sementara itu, 61 persen dari keseluruhan responden menyatakan bahwa lahan pertanian yang mereka miliki berasal dari praktek jual beli dan warisan. Berikut ini penjelasan mengenai penerapan praktek waris dan jual beli, yang disajikan dalam Tabel 2. 66 Tabel. 2. Asal Kepemilikan Lahan Pertanian di Desa Cibatok 1 Data Asal Kepemilikan Lahan Pertanian di Desa Cibatok 1 Jual beli Warisan Jual beli dan Warisan Sumber : Data Primer 2008 Desa Cibatok 1 Persentase 0% 39 % 61 % 5.2.1. Waris Sistem waris biasanya dilakukan sebelum pemberi waris meninggal dunia, namun apabila pemberi waris meninggal secara mendadak, maka pewarisan dilakukan setelah pemberi waris meninggal dunia. Sistem waris di Desa Cibatok 1, dilakukan dengan pemberian tanah kepada pihak keluarga, luas tanah yang diberikan kepada anak laki – laki maupun perempuan tidak dibedakan. Di Desa Cibatok 1 juga diterapkan sistem waris berpedoman pada hukum Islam, yaitu ada pembedaan antara luas tanah yang diberikan kepada laki – laki dan perempuan. Laki-laki diberi tanah yang lebih luas daripada perempuan, hal tersebut disebabkan laki-laki dianggap lebih membutuhkan karena bertanggung jawab terhadap rumah tangganya. Berdasarkan hasil wawancara mendalam, pewarisan dilakukan oleh petani yang merasa dirinya sudah tidak mampu lagi mengelola lahan pertanian yang dimilikinya. Alasan yang mendasari pewarisan dilakukan sebelum orang tua meninggal adalah agar tidak terjadi pertikaian antar anggota keluarga yang saling merebutkan warisan serta supaya setiap anggota keluarga khususnya keluarga inti mendapatkan warisan secara adil. Tanah-tanah yang diperoleh melalui proses warisan, pada umumnya status kepemilikannya hanya berupa bukti Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Status 67 kepemilikan lahan dengan balik nama jarang dilakukan karena faktor biaya yang cukup mahal. Akan tetapi, dalam jangka waktu tertentu yaitu sekitar 10 tahun proses balik nama dilakukan. Hal tersebut dikarenakan agar mengantisipasi terjadinya konflik dalam keluarga dan atas himbauan dari pihak aparat desa mengenai pentingnya balik nama atas tanah yang dimiliki. 5.2.2. Jual Beli Di Desa Cibatok 1 ini, tidak terdapat data angka yang dapat menunjukkan secara pasti banyaknya transaksi jual beli lahan pertanian setiap tahunnya, namun transaksi jual beli lahan pertanian pada saat sekarang ini sering terjadi. Transaksi jual beli yang terjadi banyak yang tidak diketahui aparat desa. Penyebabnya adalah para pemilik yang menjual lahannya seringkali tidak melibatkan pemerintah desa, karena menurut mereka jika melibatkan pemerintah desa akan mengeluarkan biaya tambahan yang jumlahnya cukup besar. Di Desa Cibatok 1, transaksi jual beli terjadi antara pihak penjual dan pembeli serta melibatkan satu orang saksi. Saksi dalam transaksi jual beli tersebut biasanya dari kalangan keluarga. Kesepakatan transaksi jual beli tanah, dilandasi atas dasar saling percaya. Biasanya transaksi jual beli terjadi diantara keluarga, hal ini dimaksudkan agar tanah yang terjual tidak jatuh ke pihak luar keluarga. Akan tetapi, terkadang 2 belah pihak yaitu penjual dan pembeli melibatkan saksi yang berasal dari pemerintah desa. Oleh karena transaksi jual beli sebagian besar terjadi dikalangan keluarga besar, status kepemilikan lahan yang sudah berganti pemilik hanya berdasarkan 68 pada Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dan tidak terjadi balik nama. Bukti kepemilikan yang hanya berupa PBB tersebut, dikhawatirkan akan dapat menimbulkan konflik. Para pembeli tanah di Desa Cibatok 1 ada yang berasal dari dalam maupun luar desa, seperti dari Kota Bogor, Desa Cicadas, Desa Cibatok 2, Desa Cimanggu 2, dan Desa Cemplang. Harga tanah sawah di Desa Cibatok satu bervariasi, yaitu berkisar antara Rp. 15.000,00 sampai Rp. 50.000,00 permeter persegi. Tanah yang lokasinya dipinggir jalan raya berharga lebih mahal, yaitu sekitar Rp. 50.000,00 permeter persegi. Tanah yang terletak tidak terlalu jauh dari jalan raya berharga sekitar Rp. 30.000,00 permeter persegi sedangkan tanah yang berada jauh dari jalan raya dan sulit dijangkau harganya berkisar Rp. 15.000,00 permeter persegi. Daya beli akan lahan pertanian penduduk luar Desa Cibatok 1 (bukan penduduk asli) lebih tinggi daripada penduduk asli Desa Cibatok 1 itu sendiri. Hal tersebut ditunjukkan salah satunya oleh pemilik lahan pertanian di Desa Cibatok 1 bukan penduduk asli desa. Berdasarkan hasil wawancara mendalam dengan ketua kelompok tani Di Desa Cibatok 1 menyebutkan bahwa “Disini teh, yang suka beli-beli tanah malah bukan orang asli desa, tapi orang yang bukan penduduk asli desa. Di desa ini yang sawahnya paling luas aja bukan orang asli sini Neng.” Alasan penduduk yang menjual tanah umumnya dikarenakan oleh kebutuhan hidup yang mendesak seperti biaya berobat dan menyekolahkan anak. Akan tetapi, ada juga yang menjual tanahnya karena alasan ekonomis yaitu untuk mendapatkan keuntungan serta karena ingin pindah ke tempat lain. Sementara itu, alasan membeli tanah adalah untuk menyelamatkan tanah milik keluarga (jika 69 transaksi jual beli antar anggota keluarga) serta untuk memperluas lahan pertanian. 5.3. Distribusi Kepemilikan Lahan Pertanian Di Desa Cibatok 1 Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan dengan menyebarkan kuesioner kepada 40 orang responden yang bermata pencaharian sebagai petani, diketahui bahwa sebanyak 45 persen petani memiliki lahan pertanian dan 55 persen petani lainnya tidak memiliki lahan pertanian. Berikut ini Tabel 3 menjelaskan hal di atas. Tabel 3. Data Kepemilikan Lahan Pertanian di Desa Cibatok 1 Data Kepemilikan Lahan Pertanian di Desa Cibatok 1 Memiliki lahan pertanian Tidak memiliki lahan pertanian Sumber : Data Primer 2008 Desa Cibatok 1 Persentase 45 % 55 % Jenis lahan pertanian yang dimiliki adalah sawah irigasi dengan tanaman yang diusahakan meliputi padi, singkong, ubi jalar, jagung kacang panjang, terong, cabai, ketimun, dan pepaya. Tanaman padi jumlahnya semakin menurun pada saat sekarang ini, sedangkan tanaman palawija semakin meningkat. Penurunan jumlah tanaman padi ini dikarenakan air sulit didapat, menanam padi risikonya lebih tinggi daripada menanam palawija karena menurut keterangan beberapa orang responden, tanaman padi lebih mudah terserang hama. Selain itu, nilai ekonomi tanaman palawija lebih tinggi. 70 Tabel 4. Jenis Kepemilikan Lahan Pertanian di Desa Cibatok 1 Jenis Kepemilikan Lahan Pertanian di Desa Cibatok 1 Sawah irigasi Sawah tadah hujan Tegalan Pekarangan Sumber : Data Primer 2008 Desa Cibatok 1 Persentase 100 % 0% 0% 0% Struktur distribusi pemilikan lahan sawah di Desa Cibatok 1 menunjukkan ketimpangan atau ketidakmerataan. Indeks Gini pemilikan lahan sawah mencapai angka 0,348 (Lampiran 10). Sementara itu, Indeks Kuznet’s pemilikan lahan sawah mencapai angka 0,824 (Lampiran 11). Berdasarkan analisis data kelompok 10 persen kelas teratas yaitu 2 kelas yang luas lahannya lebih dari 40 persen dari keseluruhan luas lahan yaitu 5,8 ha, menunjukkan suatu kondisi yang tidak merata dalam distribusi kepemilikan lahan sawah. Menurut perhitungan Bank Dunia pemilikan lahan sawah berada dibawah 7 persen, itu artinya terdapat ketimpangan yang tinggi dalam distribusi kepemilikan lahan sawah di Desa Cibatok 1 (Lampiran 12). Pada penelitian ini, peneliti menggunakan 3 kriteria untuk mengetahui ketimpangan dalam distribusi kepemilikan lahan di Desa Cibatok 1. Hal tersebut dikarenakan dari ketiga cara untuk menghitung ketimpangan kepemilikan lahan, terdapat kelemahan pada masing-masing cara. Jika hanya menggunakan Indeks Gini, tidak dapat mengetahui ketimpangan pada golongan bawah dan golongan atas karena perhitungan Indeks Gini sifatnya menyeluruh. Indeks Kuznet’s perhitungan ketidakmerataannya dilakukan pada golongan atas sedangkan Bank Dunia perhitungan ketidakmerataannya dilakukan pada golongan bawah. Sehingga dalam penelitian ini, peneliti menghitung Indeks Gini kemudian 71 dilengkapi dengan Kuznet’s Indeks dan perhitungan Bank Dunia untuk mengetahui ketimpangan dalam distribusi kepemilikan lahan di Desa Cibatok 1. Tabel 5. Distribusi Kepemilikan Lahan Sawah di Desa Cibatok 1 No. Kelas Pemilikan Sawah Pemilikan Rumah Tangga Luas Lahan (Ha) Jumlah % Ha % 1. 3,00 - 3,24 1 2,5 3,20 22,4 2. 2,75 - 2,99 0 0 0 0 3. 2,50 - 2,74 1 2,5 2,60 18,2 4. 2,25 - 2,49 0 0 0 0 5. 2,00 - 2,24 0 0 0 0 6. 1,75 - 1,99 0 0 0 0 7. 1,50 - 1,74 2 5 3,00 21 8. 1,25 - 1,49 0 0 0 0 9. 1,00 - 1,24 1 2,5 1,08 7,5 10. 0,75 - 0,99 0 0 0 0 11. 0,50 - 0,74 3 7,5 2,1 14,7 12. 0,25 - 0,49 4 10 1,55 10,8 13. 0,00 - 0,24 6 15 0,77 5,4 14. Tunakisma 22 55 0 0 Jumlah 40 100 14,3 100 Sumber : Data Primer 2008 Desa Cibatok 1 Keterangan : RataRata (Ha) 3,2 0 2,6 0 0 0 1,5 0 1,08 0 0,7 0,4 0,1 0 0,36 Rata-rata total pemilikan lahan sawah diantara semua rumah tangga adalah 0,36 ha Rata-rata total pemilikan lahan sawah diantara rumah tangga pemilik adalah 0,79 ha Indeks Gini kepemilikan lahan sawah adalah 0,348 Indeks Kuznet’s kepemilikan lahan sawah adalah 0,824 Berdasarkan perhitungan bank dunia terhadap kepemilikan lahan sawah adalah 7 persen. Berdasarkan Tabel 5, petani dapat digolongkan menjadi beberapa golongan kelas yaitu petani kaya (≥1 ha), petani menengah (0,500 – 0,999 ha), petani miskin ( 0,001 – 0,499 ha) dan tunakisma (0 ha). Dari 40 orang responden yang kepala keluarganya petani, terdapat 5 orang petani kaya, 3 orang petani menengah, 10 orang petani miskin dan 22 orang tunakisma. Jumlah total rumah tangga yang memiliki lahan sawah dari 40 orang responden adalah 18 rumah tangga dengan total luas kepemilikan lahannya 14,3 ha. Sehingga rata-rata total pemilikan lahan sawah diantara semua rumah tangga 72 adalah 0,36 ha dan rata – rata total pemilikan lahan sawah diantara rumah tangga pemilik adalah 0,79 ha. Jika luas rata – rata pemilikan sawah diantara semua rumah tangga (0,36 ha) dibandingkan dengan rata – rata luas tanah terbesar yang dimiliki oleh 2 rumah tangga yaitu 2,9 ha, maka terlihat bahwa terjadi ketimpangan pemilikan lahan sawah di Desa Cibatok 1. 5.4. Makna Lahan Pertanian Khususnya Sawah Bagi Masyarakat Desa Cibatok 1 Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa terjadi ketidakmerataan dalam pemilikan lahan pertanian khususnya sawah, yang ditunjukkan oleh Indeks Gini sebesar 0,34, Indeks Kuznets sebesar 0,824 dan perhitungan Bank Dunia sebesar 7 persen. Adanya ketimpangan tersebut berpengaruh pada beberapa dimensi kehidupan seperti pada dimensi ekonomi, sosial dan politik masyarakat Desa Cibatok 1 khususnya yang bermata pencaharian sebagai petani. Pada bagian ini, peneliti berusaha memaparkan makna lahan pertanian bagi masyarakat tidak berdasarkan indikator – indikator tertentu seperti menghubungkan sejauh mana lahan pertanian mempengaruhi pendapatan penduduk. Peneliti hanya menjelaskan sejauh mana makna lahan pertanian bagi masyarakat yang didasarkan pada keterangan dari informan kunci. Beberapa petani yang memiliki lahan sawah luas yaitu lebih dari 1 ha, tanah memiliki arti penting. Luasnya lahan sawah yang dimiliki, menyebabkan para petani kaya (luas lahannya ≥1 ha) lebih dihormati daripada petani lain yang luas lahannya kurang dari 1 ha dan petani yang tidak memiliki lahan pertanian. Ditinjau dari segi ekonomi, tanah dianggap memiliki arti yang sangat penting bagi 73 petani kaya, karena tanah merupakan sumber nafkah utama bagi mereka meskipun para petani kaya tersebut memiliki pekerjaan sampingan lain seperti pedagang. Barang dagangan yang dijual pun sebagian besar merupakan hasil panen dari tanah yang mereka miliki. Selain itu, petani kaya di Desa Cibatok 1 seringkali menyewa lahan pertanian kepada petani menengah (0,500-0,999 ha) dengan tujuan untuk memperluas lahan pertaniannya agar hasil panennya lebih banyak dan keuntungan yang diperoleh lebih besar. Ditinjau dari segi politik khususnya dipemerintahan desa, luasnya tanah yang dimiliki oleh seorang petani tidak berpengaruh terhadap kedudukan petani tersebut baik dipemerintahan desa maupun di kampung tempat tinggalnya. Hal tersebut ditunjukkan oleh tidak adanya posisi dipemerintahan desa yang diduduki oleh petani kaya atau karena seseorang yang memiliki lahan pertanian luas. Akan tetapi jika segi politik dimaknai secara lebih luas seperti bagi petani yang lahan pertaniannya luas maka tempat tinggalnya dijadikan sebagai markas partai tertentu kemudian bagi petani yang lahan pertaniannya luas selain itu juga dinilai memiliki pengetahuan tentang Islam yang baik dan biasanya telah menunaikan ibadah haji, maka akan diutamakan untuk dijadikan sebagai Imam di masjid maupun mushola. Hal tersebut tentunya menunjukkan pentingnya lahan pertanian bagi segi politik. Selama penelitian berlangsung, tidak ditemukan adanya simbol-simbol yang menunjukkan suatu partai tertentu di rumah petani yang lahan pertaniannya luas. Bagi petani yang tidak memiliki lahan pertanian terlalu luas (0,500-0,999 ha), tanah tidak terlalu memiliki arti penting bagi kedudukan sosial mereka 74 dimasyarakat. Petani menengah tersebut tidak dipandang lebih terhormat daripada para petani kaya di Desa Cibatok 1. Sementara itu, dari segi ekonomi tanah bagi petani menengah memiliki arti yang sangat penting karena dapat dijadikan sumber pendapatan bagi mereka. Sebagian besar petani menengah di Desa Cibatok 1 juga memiliki pekerjaan sampingan sebagai pedagang seperti halnya petani kaya. Para petani menengah tersebut juga menjual hasil panen dari tanah mereka sendiri. Selain itu, petani menengah memanfaatkan tanah pertanian yang dimilikinya agar tetap memiliki nilai ekonomi dengan cara menyewakan sebagian tanahnya kepada petani kaya. Melalui cara tersebut, petani menengah dapat memperoleh uang dari tanah yang mereka miliki tanpa harus kehilangan tanah mereka sendiri. Sama halnya dengan petani kaya, pada golongan petani menengah kepemilikan atas tanah tidak memiliki arti penting bagi segi politik di Desa Cibatok 1. Bagi petani yang luas lahannya 0,001-0,499 ha, tanah tidak memiliki arti penting bagi kedudukan sosial mereka dimasyarakat. Karena mereka tidak dipandang hormat oleh masyarakat desa atas tanah yang mereka miliki. Dari segi ekonomi tanah bagi mereka memiliki arti yang sangat penting karena dapat dijadikan sumber nafkah. Sebagian besar petani yang luas lahannya 0,001-0,499 ha tidak memiliki mata pencaharian sampingan seperti halnya petani kaya dan petani menengah. Akan tetapi, ada juga diantara petani tersebut yang memiliki pekerjaan sampingan sebagai tukang ojeg. Para petani yang luas lahannya 0,0010,499 ha tersebut tidak menjual hasil panen dari tanah mereka sendiri karena biasanya hasilnya tidak banyak, namun jika hasil panen cukup banyak maka hasil panen tersebut dijual kepada para tetangga. 75 Tanah bagi petani tanpa lahan atau tunakisma memiliki arti yang sangat penting. Petani yang sama sekali tidak memiliki lahan pertanian, menggantungkan hidup mereka pada petani lain yang memiliki lahan dan yang membutuhkan tenaga mereka untuk mengolah lahan pertanian. Biasanya petani tunakisma menjadi buruh pada lahan milik orang lain. Baik buruh laki-laki maupun buruh perempuan, biasanya mulai bekerja sejak pukul 06.30 WIB hingga azan zuhur atau sekitar pukul 12.00 WIB. Buruh laki-laki melakukan pekerjaan seperti mencangkul, membersihkan sawah dari gulma atau rumput-rumput pengganggu lainnya, menyiram dan memberi pupuk. Sementara itu, buruh perempuan melakukan pekerjaan seperti mengkoret, menyiangi dan membantu pada saat panen tiba. Upah yang diperoleh antara buruh laki-laki dan buruh perempuan untuk masa setengah hari kerja berbeda. Untuk buruh laki-laki upahnya sebesar Rp. 20.000,00 per setengah hari tanpa diberi makan oleh pemilik sawah, sedangkan buruh perempuan antara Rp. 7500,00-Rp. 8000,00 per setengah hari tanpa diberi makan oleh pemilik sawah. Buruh tani di Desa Cibatok 1, ada yang tidak memiliki pekerjaan sampingan lain dan ada juga yang memiliki pekerjaan sampingan lain. Buruh tani yang memiliki pekejaan sampingan lain biasanya membantu sanak keluarganya berdagang di pasar. Sementara itu, buruh tani yang tidak memiliki pekerjaan sampingan lain mereka benar-benar hanya menggantungkan hidup mereka pada lahan milik orang lain, sehingga bagi mereka tanah pertanian memiliki arti yang sangat penting bagi kehidupan ekonomi mereka. 76 Menurut buruh tani, adanya ketimpangan pemilikan lahan pertanian yang terjadi di Desa Cibatok 1 tidak terlalu berpengaruh bagi kehidupan mereka. Karena, menurut mereka sudah sejak dulu (sejak zaman nenek moyang mereka) sudah tidak memiliki tanah dan tanpa tanah pun mereka masih bisa memenuhi kebutuhan hidup mereka walaupun pas-pasan dengan cara bekerja sebagai buruh tani. Walaupun pada mulanya ada diantara nenek moyangnya yang memiliki tanah, tapi tidak luas dan pada saat sekarang ini sudah habis terjual untuk keperluan hidup. Jadi, arti penting lahan pertanian bagi tunakisma adalah untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka dengan cara bekerja pada lahan milik orang lain. Desa Cibatok 1 merupakan desa pinggiran kota, yang sebagian masyarakatnya masih sangat bergantung pada sektor pertanian dan sebagian besar lainnya bergantung pada sektor non pertanian. Banyak dari masyarakat desa yang bermata pencaharian sebagai pedagang, sopir angkutan umum, buruh bangunan, pegawai negeri, pegawai swasta, wiraswasta dan guru. Terjadinya ketimpangan pemilikan lahan pertanian khususnya sawah pada masyarakat desa kota yang menggantungkan hidupnya pada sektor non pertanian, bukanlah suatu kondisi yang mempengaruhi kehidupan mereka sehari-hari (bukan masalah bagi masyarakat yang tidak bekerja disektor pertanian). Masyarakat yang tidak bekerja pada sektor non pertanian cenderung tidak merasa peduli pada ketimpangan yang terjadi. Hal tersebut karena menurunnya minat masyarakat desa terhadap pertanian yang terjadi sekitar awal tahun 1990-an. Rendahnya minat masyarakat Desa Cibatok 1 terhadap pertanian khususnya 77 generasi muda, menyebabkan banyak lahan pertanian yang terbengkalai hingga kemudian dijual oleh pemiliknya atau dialihfungsikan menjadi area pemukiman. Menurunnya minat terhadap pertanian disebabkan oleh tingginya risiko yang harus dihadapi dalam usaha dibidang pertanian, harga jual hasil panen yang rendah, serangan hama, irigasi yang tidak merata serta mahalnya sarana produksi pertanian (saprotan). Bagi masyarakat yang tidak bekerja disektor pertanian, lahan pertanian tidak begitu memiliki arti penting. 78 VI. SISTEM TENURIAL DI DESA CIBATOK 1 6.1. Sistem Penguasaan Lahan Pertanian di Desa Cibatok 1 Terdapat penerapan sistem tenurial berupa praktek bagi hasil, sewa dan gadai. Praktek sewa merupakan sistem tenurial yang paling dominan diterapkan akibat komersialisasi pertanian yang terjadi di Desa Cibatok 1. Berikut ini merupakan paragraf-paragraf yang menjelaskan hal diatas secara detail. Bentuk penguasaan lahan pertanian (menunjukkan pada pemilikan efektif) di Desa Cibatok 1diperoleh melalui cara bagi hasil (sakap), gadai dan sewa. Sudah sejak zaman kolonial, sistem bagi hasil dan sistem gadai diterapkan di Desa Cibatok 1. Seperti yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya, sistem sewa sudah ada sejak lama namun menjadi mulai banyak diterapkan pada saat tanaman palawija semakin banyak ditanam di daerah Desa Cibatok 1, hal tersebut terjadi sekitar tahun 1960-an. Menurut keterangan salah seoarang informan kunci, pada saat terjadi komersialisasi pertanian banyak petani yang membutuhkan lahan pertanian untuk ditanami palawija, sehingga harga sewa lahan pada saat itu cukup tinggi. Praktek sistem sewa semakin banyak terjadi pada tahun 1990-an. Berikut hasil wawancara mendalam dengan salah seorang informan kunci. “ Kalo bagi hasil ma ngade’ mah neng tahun 60-an udah ada, malahan sejak sebelum tahun 60-an udah ada kayaknya, Bapak kurang tahu pastinya kapan. Kalo ngontrak juga udah ada dari dulu tapi sejak tahun 90-an tambah banyak ”. Berdasarkan pada status penguasaan lahan pertaniannya terdapat keanekaragaman, diantaranya ada yang merupakan pemilik penggarap murni, pemilik penggarap penyewa, pemilik penggarap penyakap, penyewa murni, 79 penyakap murni, pemilik bukan penggarap dan petani tunakisma. Jika hanya berpatokan pada 40 orang responden, di Desa Cibatok 1 tidak ditemukan status petani sebagai pemilik bukan penggarap. Akan tetapi, terdapat kemungkinan ditemukannya status petani sebagai pemilik bukan penggarap jika berpatokan pada seluruh penduduk yang bermatapencaharian sebagai petani di Desa Cibatok 1. Tabel 6. Status Penguasaan Lahan Pertanian di Desa Cibatok 1 Status Penguasaan Lahan Pertanian Pemilik penggarap murni Pemilik penggarap penyewa Pemilik penggarap penyakap Penyewa murni Penyakap murni Pemilik bukan penggarap Petani tunakisma Jumlah Sumber : Data Primer Desa Cibatok 1 2008 Persentase (%) 5 40 5 7,5 2,5 40 100 Berdasarkan Tabel 6 di Desa Cibatok 1, terdapat 2 orang pemilik penggarap murni, 16 orang pemilik penggarap penyewa, 2 orang pemilik penggarap penyakap, 3 orang penyewa murni, 1 orang penyakap murni, tidak ditemukan pemilik bukan penggarap dari 40 orang responden yang merupakan petani dan terdapat 16 orang petani tunakisma. 6.2. Sistem Sewa di Desa Cibatok 1 Sewa lahan di Desa Cibatok 1 sering disebut dengan istilah ngontrak. Cara sewa yang berlaku di Desa Cibatok 1 pada umumnya dilakukan antara pihak pemilik lahan, pihak penyewa dan saksi yang masih memiliki hubungan keluarga. Khusus saksi bisa dari pihak keluarga maupun dari pihak luar keluarga seperti aparat desa. Alasan praktek sewa masih dilakukan antar keluarga adalah agar 80 tanah keluarga yang sudah dimiliki secara turun temurun tidak jatuh ketangan orang lain yang bukan angggota keluarga. Lamanya jangka waktu untuk penyewaan lahan pertanian adalah setahun. Perpanjangan sewa dapat dilakukan pada tahun berikutnya. Pembayaran sewa di Desa Cibatok 1 dilakukan dimuka. Penentuan harga sewa diatur berdasarkan luas dan lokasi tanah yang disewa. Jika lokasi tanahnya strategis yaitu dekat dengan jalan dan sumber air harga sewanya mencapai sekitar Rp. 200,00 per meter persegi atau Rp. 2000.000,00 per hektar. Untuk harga sewa tanah termurah adalah Rp. 100,00 per meter persegi atau Rp. 1000.000,00 per hektar. Tanah sewa di Desa Cibatok 1 sebagian besar ditanami oleh tanaman palawija karena harga jual palawija tinggi dan modal menanam palawija tidak terlalu besar jika dibandingkan dengan padi. Penerapan sewa lahan pertanian di Desa Cibatok 1 dilandasi karena faktor ekonomi, tanah yang luas sehingga tidak memungkinkan bagi pemiliknya untuk mengelola lahannya dan kebutuhan. Bagi pemilik, praktek sewa lahan diterapkan karena tanah yang dimiliki tidak terurus lagi oleh pemiliknya, pemilik tidak mampu mempekerjakan buruh untuk mengelola lahan pertaniannya, petani yang lahan pertaniannya tidak terlalu luas dan memiliki pekerjaan sampingan lain seperti berdagang serta petani pemilik sedang membutuhkan uang untuk kebutuhan hidup tapi tidak dalam jumlah besar. Bagi pihak penyewa, sewa lahan dilakukan karena ingin memperluas usaha pertaniannya. Selain itu, bagi penyewa yang sebelumnya memang tidak memiliki lahan sewa lahan dilakukan karena ingin mencoba berusaha dibidang pertanian. 81 Informasi mengenai lahan yang akan disewakan biasanya tidak langsung disiarkan secara meluas kepada masyarakat, tetapi diinformasikan terlebih dahulu ke pihak keluarga. Pola hubungan yang terjadi antara pemilik dan penyewa lahan pertanian selain berupa hubungan keluarga juga berupa hubungan pengontrakan yang tetap harus membayar uang sewa dimuka kepada pemilik lahan. Terkadang jika sudah panen, penyewa sering memberikan hasil panennya kepada pemilik lahan. Kegiatan sewa-menyewa di Desa Cibatok 1 merupakan bentuk kegiatan dalam penguasaan lahan yang paling banyak diterapkan. Karena menurut keterangan petani setempat, praktek sewa sangat menguntungkan petani khususnya bila ditanami dengan tanaman palawija. Berikut hasil wawancara mendalam. “Disini biasanya sewa lahan lazim disebut ngontrak, harga ngontrak macem-macem tergantung dimana letak sawahnya deket apa nggak dari sumber air. Paling mahal 2 juta per hektar kalo paling murah paling cuma 1 juta per hektarnya. Kalo tanah ngontrak, jarang yang ditanami padi biasanya palawija soalnya padi risikonya besar. Biasanya kalo mau ngontrak ya sama keluarga sendiri aja biar gak ribet ”. 6.3. Sistem Bagi Hasil di Desa Cibatok 1 Bagi hasil atau sakap di Desa Cibatok 1 sering disebut dengan istilah paro. Cara bagi hasil yang berlaku di Desa Cibatok 1 adalah pemilik lahan memberi modal pupuk bagi penggarap, untuk biaya obat bagi tanaman dibagi dua antara pemilik dan penggarap, untuk proses membajak sawah dengan kerbau dilakukan oleh penggarap. Jadi untuk hasil bersihnya adalah hasil panen keseluruhan dikurangi pupuk oleh pemilik dan biaya membajak sawah dengan kerbau oleh 82 penggarap, baru kemudian membagi rata (1:1) hasil panen. Cara bagi hasil yang demikian sudah diterapkan lama di Desa Cibatok 1. Bagi hasil pada umumnya dilakukan antara pihak pemilik lahan dan pihak penggarap yang sebagian besar adalah buruh tani. Menurut keterangan responden, petani pemilik lahan jarang melakukan praktek bagi hasil dengan sesama petani pemilik lahan namun dari hasil wawancara yang telah dilakukan kepada beberapa orang responden, tidak terdapat sistem bagi hasil yang dilakukan diantara pemilik lahan. Jangka waktu pengelolaan sawah dengan sistem bagi hasil adalah sesuai dengan musim tanam hingga musim panen setahun. Sistem bagi hasil biasanya diterapkan untuk sawah yang ditanami padi. Untuk sawah yang ditanami palawija tidak dilakukan sistem bagi hasil, karena tanaman palawija membutuhkan jenis pupuk, bibit tanaman serta obat bagi tanaman yang berbeda-beda jenisnya. Jika diterapkan sistem bagi hasil untuk sawah yang ditanami palawija, perhitungannya akan rumit. Penerapan sistem bagi hasil di Desa Cibatok 1 didasarkan pada faktor ekonomi, tanah yang luas sehingga tidak memungkinkan bagi pemiliknya untuk mengelola lahannya, faktor kebutuhan dan adanya rasa saling percaya antara pemilik dan penggarap. Bagi pemilik, praktek bagi hasil diterapkan agar tanah yang dimiliki dapat memberikan hasil bagi pemilik tanpa harus mengelolanya, untuk memberikan pekerjaan bagi petani yang tidak memiliki lahan pertanian, pemilik enggan mengelola lahannya sendiri karena biasanya petani pemilik lahan tersebut memiliki mata pencaharian lain diluar sektor pertanian seperti berdagang, yang merupakan mata pencaharian utama karena lebih menguntungkan. Selain itu, 83 sistem bagi hasil dilakukan karena diantara pemilik dan penggarap terdapat rasa saling percaya. Bagi penggarap, bagi hasil dilakukan karena penggarap tidak memiliki lahan pertanian, tidak memiliki cukup uang untuk menyewa lahan pertanian, penggarap memiliki hewan ternak yang dapat digunakan untuk membajak sawah. Pola hubungan yang terjadi antara pemilik dan penggarap lahan pertanian selain berupa hubungan kerja antara pemilik dan penggarap, lama-kelamaan akan menciptakan hubunan rasa saling kekeluargaan. Antara pemilik dan penggarap memiliki komunikasi yang baik. Mengenai biaya produksi penanaman padi dibicarakan bersama, walaupun pengambil keputusan utama tetap pemilik lahan. Hal tersebut sama sekali tidak dipermasalahkan oleh buruh tani. Praktek bagi hasil di Desa Cibatok 1 merupakan bentuk kegiatan dalam penguasaan lahan yang paling banyak diterapkan khusus untuk lahan sawah yang ditanami padi. Berikut hasil wawancara mendalam yang dilakukan dengan salah satu buruh tani di Desa Cibatok 1. “ Kalo sistim paro disini untuk sawah yang ditanami padi biar gampang ngebaginya. Pupuk ma benih ditanggung yang punya sawah, kalo bajak sawah pake kebo ditanggung ma yang nggarap. Baru abis tuh dikurangi semuanya terus dibagi rata. ” 84 6.4. Sistem Gadai di Desa Cibatok 1 Sistem gadai di Desa Cibatok 1 sering disebut dengan istilah ngade’. Seperti halnya sewa, gadai yang berlaku di Desa Cibatok 1 pada umumnya dilakukan antara pihak penggadai, pihak penerima gadai dan saksi yang masih memiliki hubungan keluarga. Praktek gadai masih dilakukan antar keluarga dimaksudkan agar jika lahan yang digadaikan tidak dapat ditebus, jatuhnya tidak ke tangan orang lain melainkan ke keluarga sendiri. Mengenai gadai, tidak terdapat aturan mutlak di Desa Cibatok 1. Biasanya sistem gadai ditetapkan tanpa batas waktu. Jika penggadai sudah mampu menebus tanahnya kembali, maka tanah miliknya dapat dimilikinya kembali. Penggadaian sawah dilakukan antar sesama petani agar sawah yang telah digadai tidak terbengkalai. Penentuan harga gadai diatur berdasarkan luas dan lokasi tanah yang digadai. Jika lokasi tanahnya strategis yaitu dekat dengan jalan dan sumber air harga gadainya mencapai sekitar Rp. 2500,00 per meter persegi. Sementara itu, karena praktek gadai berbeda-beda aturannya, tidak ada kepastian untuk harga gadai termurah. Penerapan gadai lahan pertanian terjadi karena terdesak oleh kebutuhan hidup, karena memiliki hobi bertani serta didasarkan oleh rasa ingin membantu. Bagi penggadai, praktek gadai diterapkan karena terdesak oleh kebutuhan hidup seperti pangan, berobat dan biaya sekolah. Bagi pihak penerima gadai, praktek gadai lahan dilakukan karena hobi bertani yang didukung oleh ekonomi rumah tangga yang baik serta karena ingin membantu keluarga yang sedang membutuhkan uang. ingin memperluas usaha pertaniannya. 85 Informasi mengenai lahan yang akan digadai biasanya tidak langsung disiarkan secara meluas kepada masyarakat, tetapi diinformasikan terlebih dahulu ke pihak keluarga. Praktek gadai di Desa Cibatok 1 merupakan bentuk kegiatan dalam penguasaan lahan yang paling jarang diterapkan. Karena menurut keterangan petani setempat, jika membutuhkan uang sekarang bisa meminjam di bank atau kepada sanak saudara tanpa perlu jaminan. Berikut ini hasil wawancara mendalam dengan sekretaris desa. “ Disini nama umumnya gadai itu ngade’. Harganya macemmacem, tergantung letaknya. Tapi setahu saya sih paling mahal pernah sampe 5 juta untuk 2000 m2 ” 6.5. Akses Petani terhadap Lahan Pertanian Pada sub bab ini, peneliti berusaha memaparkan akses petani terhadap lahan pertanian serta hubungan patron client secara hati-hati. Karena tidak berdasarkan indikator – indikator khusus. Peneliti hanya menjelaskan sejauh mana akses petani terhadap lahan pertanian serta hubungan patron client yang didasarkan pada keterangan dari informan kunci serta pengamatan selama proses penelitian berlangsung. Terkait dengan ketimpangan kepemilikan lahan pertanian yang terjadi di Desa Cibatok 1, terdapat perbedaan dalam mengakses lahan pertanian tersebut. Petani kaya cenderung memperoleh lahan untuk memperluas lahan pertanian yang dimilikinya sedangkan petani tanpa lahan memperoleh lahan pertanian untuk kelangsungan hidupnya. Antara petani kaya (≥1 ha), petani menengah (0,500- 86 0,999 ha), petani miskin (0,001-0,499 ha) dan tunakisma (0 ha) memiliki perbedaan dalam mengakses lahan pertanian. Petani kaya (≥1 ha) di Desa Cibatok 1 memiliki akses yang tinggi terhadap lahan pertanian. Mereka cenderung memperluas aksesnya terhadap lahan pertanian dengan cara menyewa lahan pertanian serta menerima tanah gadai dari petani lain yang letaknya strategis (dekat dengan jalan raya dan sumber air). Petani kaya tersebut menyewa lahan pertanian kepada petani lain yang biasanya lahan pertaniannya lebih sempit daripada lahan yang mereka miliki. Petani menengah (luas lahannya 0,500-0,999 ha) juga memiliki akses yang tinggi terhadap lahan pertanian, namun tidak lebih tinggi daripada petani kaya. Karena luas lahan pertanian yang mereka miliki lebih sempit. Para petani menengah cenderung menyewa lahan kepada petani lainnya dan menyewakan lahan yang mereka miliki kepada petani kaya. Selain itu, terkadang mereka juga menerima tanah gadai, namun jumlah petani menengah yang menerima gadai lebih sedikit daripada petani kaya. Antara petani kaya dan petani menengah terkadang ada persaingan untuk memperoleh lahan sewa atau gadai, khususnya lahan yang letaknya strategis (dekat dengan jalan dan sumber air). Akan tetapi, persaingan tersebut selama ini belum pernah mengakibatkan terjadinya konflik. Karena biasanya petani yang hendak menyewakan maupun menggadaikan lahan pertaniannya, mereka akan segera mengutamakan pada famili terdekat mereka terlebih dahulu. Hal tersebut dimaksudkan agar tanah yang mereka miliki tidak jatuh ke tangan orang lain yang bukan anggota keluarga. 87 Petani miskin (0,001-0,499 ha), memiliki akses terhadap lahan pertanian yang lebih terbatas daripada petani kaya dan petani menengah. Hal tersebut dikarenakan lahan mereka yang lebih sempit. Selain itu, petani miskin jarang ada yang menyewa lahan pertanian kepada petani lainnya, karena tidak memiliki uang lebih untuk menyewa lahan. Petani miskin juga tidak menerima lahan gadai. Petani miskin tersebut justru menyewakan dan menggadaikan lahan pertanian yang mereka miliki kepada petani lain. Para petani miskin, cenderung bekerja pada lahan pertanian milik orang lain baik sebagai buruh tani maupun menggarap lahan pertanian melalui praktek bagi hasil. Akan tetapi, jumlah petani miskin yang melakukan praktek bagi hasil sedikit karena di Desa Cibatok 1 lahan sawah yang ditanami padi juga jumlahnya sedikit. Sementara itu, praktek bagi hasil hanya dilakukan pada lahan sawah yang ditanami padi. Akses terhadap lahan pertanian bagi petani tunakisma sangat terbatas. Para petani tunakisma tersebut harus bekerja dulu pada petani lain baru bisa akses terhadap lahan pertanian. Untuk bisa akses terhadap lahan pertanian, sebagian petani tunakisma biasanya menawarkan diri kepada para petani pemilik untuk dapat bekerja dilahan mereka. Akan tetapi, sebagian besar petani tunakisma biasanya memiliki hubungan keluarga dengan petani pemilik lahan, sehingga dapat bekerja pada lahan pertanian milik keluarganya. Petani pemilik lahan pertanian biasanya lebih mengutamakan buruh tani yang masih memiliki hubungan famili dengan mereka untuk bisa bekerja di lahan pertaniannya atau lebih mengutamakan kepada buruh tani langganan mereka (sudah kenal baik). 88 Hubungan antara pemilik lahan dan buruh tani di Desa Cibatok 1, dapat dikatakan baik. Komunikasi diantara merekapun berjalan lancar. Hal tersebut disebabkan karena diantara mereka sudah terjalin rasa kekeluargaan dan sudah saling mengenal satu sama lain dengan baik. Pekerjaan mengolah sawah biasanya dimulai pada pukul 06.30 - 12.00 (hingga beduk zuhur) WIB. Bagi petani pemilik lahan, seringkali pada saat sore hari setelah ashar mereka turun lagi ke sawah untuk sekedar menyiram atau memantau kondisi sawah mereka. Hal tersebut mereka lakukan jika musim panen tiba atau akan tiba. Para pemilik lahan, walaupun sudah mempekerjakan buruh tani mereka masih turun ke sawah untuk menggarap bagian sawah mereka yang lainnya. Terkadang mereka juga mengontrol pekerjaan buruh tani. Berdasarkan informasi dari informan kunci dan hasil pengamatan, disimpulkan terdapat hubungan “patron client” di Desa Cibatok 1. Hubungan “patron client” disini dinilai peneliti tidak sekuat hubungan “patron client” yang terdapat di daerah Jawa Tengah ataupun Jawa Timur pada sekitar abad ke-19. Dapat dikatakan bahwa hubungann “patron client” di Desa Cibatok 1 sudah mulai terkikis akibat masuknya komersialisasi pertanian di Desa Cibatok 1. Hubungan “patron client” terbentuk karena adanya dua kelas petani yang berbeda, yaitu kelas petani ‘atas’ sebagai patron dan kelas petani ‘bawah’ sebagai client (Sutisna, 2001). Perbedaan antara “patron client” terletak pada segi penguasaan materi seperti penguasaan lahan pertanian serta barang-barang lainnya yang bernilai ekonomi. Patron di Desa Cibatok 1 dapat ditunjukan dengan keberadaan pemilik 89 tanah, sedangkan client dapat ditunjukkan dengan adanya buruh tani di Desa cibatok 1. Hubungan “patron client” di Desa Cibatok 1 khususnya ditunjukkan dengan adanya hubungan kekeluargaan dan rasa percaya yang tinggi dari petani pemilik lahan pertanian dengan petani penggarap. Pemilik lahan pertanian sangat mempercayakan pembelian dan penggunaan pupuk, bibit serta pestisida kepada penggarap. Pada masa tanam pihak pemilik lebih sering hanya memantau sesekali kondisi lahan pertaniannya. Antara patron dan client memiliki suatu hubungan keterikatan karena saling membutuhkan satu sama lain. Patron, memerlukan tenaga kerja manusia untuk dapat mengelola sawahnya. Client, memerlukan pekerjaan dan memiliki kemampuan untuk mengelola lahan pertanian bukan miliknya agar dapat memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Dalam hubungan “patron client” disini, pihak patron menjamin terpenuhinya kebutuhan dasar client. 90 VII. KESIMPULAN DAN SARAN 7.1. Kesimpulan Pada penelitian ini, hipotesis pengarah telah mengarahkan peniliti pada banyak hal. Mengacu pada hasil penelitian yang dituangkan dalam pembahasan, terdapat beberapa hal penting antara lain : Di Desa Cibatok 1, terdapat 18 orang petani memiliki lahan pertanian dan 22 orang petani lainnya tidak memiliki lahan pertanian. Struktur distribusi pemilikan lahan sawah di Desa Cibatok 1 menunjukkan ketimpangan atau ketidakmerataan. Hal tersebut ditunjukkan oleh Indeks Gini pemilikan lahan sawah mencapai angka 0,348, kemudian Indeks Kuznet’s pemilikan lahan sawah mencapai angka 0,824, serta perhitungan Bank Dunia pemilikan lahan sawah berada dibawah 7 persen. Perhitungan Indeks Gini yang sudah banyak dilakukan untuk menghitung ukuran kemerataan kepemilikan lahan pertanian, ternyata memiliki banyak kekurangan. Sala satunya, Indeks gini dinilai belum dapat memberikan gambaran secara menyeluruh mengenai distribusi pemilikan lahan pertanian. Karena Indeks Gini tersebut melakukan perhitungan kemerataan kepemilikan lahan pertanian secara umum. Untuk mengatasi hal tersebut juga perlu digunakan ukuran kemerataan lainnya yaitu Indek’s Kuznet karena memfokuskan pada golongan atas pemilikan lahan pertanian dan perhitungan Bank Dunia yang memfokuskan pada golongan bawah pemilikan lahan pertanian. 91 Kepemilikan lahan di Desa Cibatok 1 diperoleh melalui dua cara yaitu waris dan jual beli. Terdapat 17 petani, yang lahan pertaniannya dimiliki berasal dari warisan. Sementara itu, 23 petani lahan pertanian dari praktek jual beli dan warisan. Terdapat 4 golongan petani berdasarkan luas lahan pertanian yang dimiliki yaitu petani kaya (≥1 ha), petani menengah (0,500-0,999 ha), petani miskin ( 0,001-0,499 ha) dan tunakisma (0 ha). Dari 40 orang responden yang kepala keluarganya petani, terdapat 5 orang petani kaya, 3 orang petani menengah, 10 orang petani miskin dan 22 orang tunakisma Lahan pertanian terluas yang dimiliki petani di Desa Cibatok 1 adalah seluas 3,2 ha. Lahan pertanian dinilai memiliki arti penting disektor ekonomi dan sosial, walaupun dengan tingkat kepentingan yang berbeda- beda bergantung pada luas lahan pertanian yang dimiliki. Kecuali bagi petani miskin dan petani tunakisma, lahan pertanian memiliki arti penting bagi kedudukan sosial mereka di masyarakat. Disektor politik, lahan pertanian tidak terlalu memiliki arti penting pada seluruh golongan petani di Desa Cibatok 1. Di Desa Cibatok 1, terdapat 3 jenis penguasaan lahan pertanian yaitu sewa, bagi hasil dan gadai. Sistem tenurial yang dominan diterapkan di Desa Cibatok 1 adalah sistem sewa. Sementara itu, sistem bagi hasil dominan diterapkan pada lahan sawah yang khusus ditanami padi. Sistem sewa di Desa Cibatok 1 sering disebut dengan istilah ngontrak. Lamanya jangka waktu untuk penyewaan lahan pertanian adalah setahun. Perpanjangan sewa dapat dilakukan pada tahun berikutnya. Pembayaran sewa di Desa Cibatok 1 dilakukan dimuka. 92 Penentuan harga sewa diatur berdasarkan luas dan lokasi tanah yang disewa. Jika lokasi tanahnya strategis yaitu dekat dengan jalan dan sumber air harga sewanya mencapai sekitar Rp. 2000.000,00 per hektar. Untuk harga sewa tanah termurah adalah Rp. 1000.000,00 per hektar. Sistem bagi hasil atau sistem sakap di Desa Cibatok 1 sering disebut dengan istilah paro. Cara bagi hasil yang berlaku di Desa Cibatok 1 adalah hasil panen keseluruhan dikurangi pupuk oleh pemilik dan biaya membajak sawah dengan kerbau oleh penggarap, baru kemudian membagi rata (1:1) hasil panen. Bagi hasil pada umumnya dilakukan antara pihak pemilik lahan dan pihak penggarap yang sebagian besar adalah buruh tani. Jangka waktu pengelolaan sawah dengan sistem bagi hasil adalah sesuai dengan musim tanam hingga musim panen setahun. Untuk sawah yang ditanami palawija tidak dilakukan sistem bagi hasil. Sistem gadai di Desa Cibatok 1 sering disebut dengan istilah ngade’. Mengenai gadai, tidak terdapat aturan mutlak di Desa Cibatok 1. Jika lokasi tanahnya strategis yaitu dekat dengan jalan dan sumber air harga gadainya mencapai sekitar Rp. 2500,00 per meter persegi. 7.2. Saran Penelitian ini, hanya mengkaji mengenai distribusi kepemilikan lahan pertanian dan sistem tenurial yang diterapkan di Desa Cibatok 1. Di Desa Cibatok 1, banyak hal lain yang dapat diteliti lebih lanjut. Adanya penelitian tentang distribusi kepemilikan lahan pertanian dan sistem tenurial di desa-kota ini, 93 diharapkan dapat menjembatani penelitian-penelitian pada hal lain seperti kaitan antara sistem tenurial dengan diferensiasi sosial di Desa Cibatok 1, dengan penerapan sistem tenurial yang dipaparkan pada Bab VI dapat dikaitkan dengan bagaimana fungsi dan peran tanah bagi masyarakat desa-kota dibeberapa aspek kehidupan. Adapun saran-saran lain yang direkomendasikan antara lain : Bagi Pihak Pemerintah 1. Diharapkan agar pemerintah desa dapat lebih mensosialisasikan lagi mengenai pentingnya bukti kepemilikan lahan yaitu berupa sertifikat tanah. 2. Mengupayakan hadirnya peran penyuluh pertanian yang dapat mensosialisasikan pentingnya pertanian bagi generasi muda. 3. Agar pemerintah desa melakukan pendataan ulang mengenai kepemilikan lahan pertanian, sehingga Buku Letter C dapat diperbaharui. Bagi Petani 1. Diharapkan bagi petani yang mempekerjakan buruh tani agar lebih memperhatikan nasib buruh tani dan keluarganya. 2. Lebih menggalakkan penanaman padi khususnya bagi lahan pertanian yang berpotensi untuk ditanami padi. 3. Merawat fasilitas irigasi yang telah diupayakan oleh aparat desa untuk kemaslahatan bersama. 4. Aktif pada kegiatan yang terdapat dalam kelompok tani. 5. Bekerjasama dengan pemerintah desa dalam pendataan kepemilikan lahan pertanian. 94 DAFTAR PUSTAKA Elsworth, Lynn. n.d. A Place in the World. http://blog.com/profile/?userid=122714. Diakses Maret 2008. Dharmawan, Leonard. 2008. “Analisis Pengaruh Program Pemerintah terhadap Tingkat kemiskinan Rumah Tangga di Pedesaan melalui Program Bantuan Langsung Tunai (BLT) dan Raksa Desa (Kasus Desa Cibatok 1, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa Barat)”. Skripsi. Program Studi Komunikassi Pengembangan Masyarakat, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Hidayat, Kliwon. 1985. “Struktur Penguasaan Tanah dan Hubungan Kerja Agraris Di Desa Jatisari, Lumajang, Jawa Timur.” Tesis. Fakultas Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Husken, Frans. 1998. “Masyarakat Desa Dalam Perubahan Zaman: Sejarah Diferensiasi Sosial di Jawa 1830-1980”. Jakarta: Gramedia. Hutagalung. Arie Sukanti. 1983. “Program Redistribusi Tanah di Indonesia; Suatu Sarana ke Arah Pemecahan Masalah Penguasaan Tanah dan Pemilikan Tanah”. Jakarta. Kano, Hiryoshi 1984. “Sistem Pemilikan Tanah dan Masyarakat Desa di Jawa pada Abad XIX”. Dalam Sediono M.P. Tjondronegoro dan Gunawan Wiradi. Dua Abad Penguasaan Tanah: Pola Penguasaan Tanah Pertanian di Jawa dari Masa ke Masa, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, hal.28—84. Kanto, Sanggar. 1986. “Struktur Penguasaan dan Hubungan Kerja Agraris Di Daerah Pedesaan Jawa Timur (Kasus, Di Desa Janti, Kabupaten Sidoarjo)”. UNB. Kroef, Justus M. van der. 1984. Dalam Dua Abad Penguasaan Tanah. Penyunting: Tjonderonegoro dan Gunawan Wiradi. Jakarta: Gramedia. Manuwoto, Syafrida. 1995. “Laporan Akhir : Penelitian Pelaksanaan Landreform Pedesaan”. Pusat Penelitian dan Pengembangan Badan Pertanahan Nasional dan IPB. Santoso, Urip. 2005. “Hukum Agraria dan Hak-Hak Atas Tanah”. Jakarta: Kencana Sihaloho, Martua. 2004. “Konversi Lahan Pertanian dan Perubahan Struktur Agraria”. Tesis Program Studi Sosiologi Pedesaan. Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Sigit, Hananto. 1980. “Masalah Perhitungam Distribusi Pendapatan di Indonesia”. Prisma. Edisi 1 Januari 1980 Tahun IX. Jakarta: LP3ES. Sitorus, M.T. Felix. 1998. Penelitian Kualitatif Suatu Perkenalan. Kelompok Dokumentasi Ilmu Sosial. Institut Pertanian Bogor. Sutisna, Entis. 2001. “Perubahan Kelembagaan Penguasaan Lahan dan Hubungan Kerja Agraris Berkaitan Masuknya Perusahaan Industri Pada Masyarakat Petani di Pedesaan”. Tesis. Program Studi Sosiologi Pedesaan. Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Tashadi. 1985. “Pola Penguasaan, Pemilikan, dan Penggunaan Tanah Secara Tradisional Di Daerah Istimewa Yogyakarta”. Yogyakarta : Depdikbud. Tjondronegoro, Sediono M.P., 1999. Sosiologi Agraria: Kumpulan Tulisan Terpilih, Bandung: Akatiga. Wahyuni, Ekawati Sri dan Pudji Mulyono. 2006. Modul Mata Kuliah Metode Penelitian Sosial. Diterbitkan di Departemen Ilmu-Ilmu Sosial ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, IPB. Warsito, Rukmadi. 1982. “Aspek Penguasaan Tanah dan Hubungan Kerja Agraris (Studi Kasus Tentang Perubahan Sosial Di Grumbul Kalicacing, Desa Kalimandi, Banjarnegara, Jawa Tengah)”. Tesis. Fakultas Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Wiradi, G. (1984). “Pola penguasaan tanah dan Refoma Agraria”. Dalam Dua Abad Penguasaan Tanah, Penyunting: Sediono M.P. Tjondronegoro dan Gunawan Wiradi. Jakarta: Gramedia. Wiradi, G. & Makali. (1984). “Penguasaan tanah dan kelembagaan”. Dalam Prospek Pebangunan Ekonomi Pedesaan Indonesia. Penyunting : Faisal Kasryno. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia Mahanani, Subekti. 2005. “Struktur Hubungan Agraria : Studi Struktur Penguasaan Sumber Agraria (Tanah) Di Desa Terbanggi Besar, Kecamatan Terbanggi Besar, Kabupaten Lampung Tengah, Provinsi Lampung”. Seri Working Paper. Nomor 21. Bandung : Yayasan AKATIGA. Sadikin. 2005. “Struktur Agraria dan Tingkat Pendapatan Masyarakat Pedesaan : Kasus Desa Wanasari, Kabupaten Tabanan, Provinsi Bali”. Seri Working Paper. Nomor 23. Bandung : Yayasan AKATIGA. LAMPIRAN Lampiran 1. Lokasi Penelitian PETA ADMINISTRATIF DESA CIBATOK SATU KECAMATAN CIBUNGBULANG KABUPATEN BOGOR N W E S SKALA 1 : 12000 683500 684000 684500 685000 9273000 9273000 Ki boj em Joh ar Kong si Gumb ir a H ar ian g Sami Kaum Kong si Dempo k Har i ang Saun g Suka ma ju R andu Tam Al ik in a bak 9272500 Teng ah 9272500 n Suka Bagu s Bat ut umpang Bu kti D enok Pe ut euy Lame Leden g Jaya Su kaha ti Har kat Pa So li hin Seha t Ai le m Me sji d Pe ngki 9272000 9272000 Duku h Se tr a Pa ngan ten Mekt os Jai sin Suka bunga h Payu ng Ast ana Nusa jat i Pa bua ran Wud uk Nusa jaya 9271500 Momongg o r 9271500 Sadi RW. RW. RW. RW. RW. RW. RW. RW. RW. Menco s 9271000 683500 400 684000 0 684500 01 02 03 04 05 06 07 08 09 9271000 685000 400 Meters BR _ER K_MMN _A PY _A DM_062005 Lampiran 2. Foto Udara Lokasi Penelitian Lampiran 3. Jadwal penelitian Tahun 2008 No. Kegiatan Lokasi Maret 1 I 2 3 April 4 1 Penyusunan proposal penelitian dan kolokium Penyusunan draft dan revisi IPB Konsultasi proposal Orientasi dan observasi lapangan Kolokium II IPB dan lapangan IPB Studi lapangan Pengumpulan data Lapangan Analisis data III Penulisan laporan Analisis lanjutan IPB Penyusunan draft dan revisi laporan Konsultasi laporan IPB dan lapangan IPB IV V Sidang Skripsi Sidang (ujian skripsi) 2 3 Mei 4 1 2 3 Juni 4 1 2 3 Juli 4 1 2 3 Agustus 4 Lampiran 4. Teknik Pengumpulan Data Topik Teoritis Pada distribusi kepemilikan lahan terdapat golongan petani Golongan-golongan petani di yang didasarkan pada luas kepemilikan lahannya yaitu desa berdasarkan luas petani kaya (≥1 ha), petani menengah (0,500-0,999 ha), kepemilikan lahan petani miskin ( 0,001-0,499) dan tunakisma (0 ha). Petani dengan luas lahan ≥1 ha Petani dengan luas lahan ≥ Transfer kepemilikan lahan pertanian diperoleh dari proses (0,500-0,999 ha) waris dan jual beli yang kemudian disertai dengan Petani dengan luas lahan ≥( dimilikinya formalisasi berupa sertifikat atau surat 0,001-0,499) kepemilikan lahan pertanian. Petani tunalahan (0 ha) Kepemilikan lahan sawah penduduk desa Data sekunder (data dari desa) Informan kunci Responden Teknik pengambilan data kuesioner Analisis data sekunder (data desa) Penerapan Terdapat beberapa jenis sistem tenurial antara lain sewa, Bentuk sistem tenurial di sistem bagi hasil, dan gadai, dengan tendensa pergeseran sistem pedesaan tenurial di tenurial ke bentuk sewa yang lebih komersial. Desa Cibatok Sistem tenurial yang sebagian 1 dan sistem besar digunakan oleh petani di tenurial yang desa. paling dominan di desa tersebut Informan kunci Responden Data sekunder (data dari desa) Observasi lapang. Wawancara mendalam Distribusi kepemilikan lahan di Desa Cibatok 1 Hipotesa Pengarah Data yang diperlukan Sumber data Lampiran 5. Kuesioner Penelitian Kuesioner Penelitian : “Distribusi Kepemilikan Lahan dan Sistem Tenurial Dominan Di Desa-Kota (Studi Kasus : Dusun 3, Desa Cibatok 1, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat)” Nomor : Desa/kampung/RW/RT : Nama responden : 1. Apakah Bapak/Ibu memiliki lahan pertanian di desa ini? (jika YA, lanjut pertanyaan no.2) a. Ya b. Tidak 2. Berasal darimanakah lahan sawah yang Bapak/Ibu miliki? a. Jual-beli b. Warisan c. Keduanya 3. Isilah tabel berikut ini : No. 1. 2. 3. 4. Kepemilikan Lahan Pertanian Jenis Lahan Beri Tanda (X) Sawah irigasi Sawah tadah hujan Tegalan Pekarangan Luas Lahan Lampiran 6. Panduan Pertanyaan 1 Responden Nomor Desa/kampung/RW/RT Nama responden Pewawancara Hari/tanggal : : : : : 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. Apakah Bapak/Ibu penduduk asli? Apakah Bapak/Ibu memiliki lahan di Desa Cibatok 1? Bagaimanakah sejarah lahan yang Bapak/ibu miliki? Berapa luas lahan yang Bapak/Ibu miliki? Bagaimanakah sejarah kepemilikan lahan Bapak/Ibu ? Mengapa Bapak/Ibu membeli tanah di Desa Cibatok ? Pernahkah Bapak/Ibu membeli tanah di luar desa? Pernahkah Bapak/Ibu menjual tanah ke luar Desa? Mengapa? Bagaimana cara sistem jual beli yang biasa digunakan di Desa Cibatok1, yang Bapak/Ibu ketahui? 10. Menurut Bapak/Ibu, apa bukti kepemilikan lahan yang lazim digunakan di Desa Cibatok 1? 11. Menurut Bapak/Ibu, apakah bukti kepemilikan lahan cukup dengan caracara tradisional? 12. Menurut Bapak/Ibu, apakah surat kepemilikan tanah itu sangat penting? 13. Menurut Bapak/Ibu, apakah setiap proses yang dilaksanakan berhubungan dengan tanah, misalnya jual beli tercatat di kantor desa? Jika tidak, mengapa bisa terjadi? 14. Sistem penguasaan lahan yang bagaimanakah yang Bapak/Ibu kelola? 15. Apakah lahan yang Bapak/Ibu kelola dimiliki secara bersama-sama dengan beberapa orang tertentu atau dimiliki secara perorangan? 16. Apakah Bapak/Ibu menyewa lahan kepada orang lain? kepada siapa dan bagaimanakah prosesnya? 17. Apakah Bapak/Ibu menyewakan lahan milik Bapak/Ibu kepada orang lain? Kepada siapa dan bagaimanakah prosesnya? 18. Apakah Bapak/Ibu bekerja pada lahan milik orang lain? kepada siapa dan bagaimana prosesnya? 19. Apakah Bapak/Ibu melakukan sistem bagi hasil dalam mengelola lahan? Dengan siapa? 20. Sistem bagi hasil yang dilakukan dengan sistem yang bagaimana? Bagaimanakah cara Bapak/Ibu melaksanakan sistem bagi hasil tersebut? 21. Apakah ada jangka waktu pengelolaannya?berapa lama? 22. Sejak kapan Bapak/Ibu bekerja menggarap lahan milik orang lain? Bagaimana proses penggarapannya? 23. Apakah Bapak/Ibu pernah melakukan sistem gadai? Mengapa? Bagaimanakah proses dilakukannya sistem gadai tersebut? 1 Panduan pertanyaan ini bersifat kondisional, bisa bertambah sesuai dengan keperluan dan kondisi lapang 24. Apakah Bapak/Ibu mempekerjakan buruh tani? Mengapa? Bagaimana cara Bapak/Ibu untuk mengontrol dan mengawasi buruh tani? 25. Dari mana biasanya informasi seorang buruh yang cocok untuk bekerja ditempat Bapak/Ibu? 26. Menurut Bapak/Ibu, apakah golongan penguasaan tanah yang terbesar di Desa Cibatok 1? 27. Komoditas pertanian apa yang Bapak/Ibu tanam/kelola? 28. Apakah jenis lahan yang Bapak/Ibu kelola?2 29. Apakah Bapak/Ibu memiliki mata pencaharian lain selain pertanian? Sebutkan dan mengapa? Informan 1. Bagaimanakah sejarah terbentuknya Desa Cibatok 1? 2. Bagaimanakah sejarah pemilikan tanah di Desa Cibatok 1? 3. Bagaimanakah cara – cara yang ditempuh oleh orang – orang untuk dapat menguasai lahan pertanian pertama kali? 4. Siapakah yang pertama kali membuka lahan pertanian di Desa Cibatok 1? 5. Siapakah yang menjadi pelopor dalam mengembangkan pertanian di Desa Cibatok 1? 6. Bagaimanakah sejarah penguasaan lahan pertanian di Desa Cibatok 1? 2 Sawah irigasi dan sawah tadah hujan, Lampiran 7. Perbedaan 4 Aliran dalam Memandang Jaminan Sistem Tenurial Security of Tenure Fokus bahasan Security of Tenure Konsep dan Argumen Property Rights Agrarian Structure Kepentingan nilai ekonomi dengan memiliki hak properti yang dapat diperdagangkan Mempermasalahkan outcome yang adil pada perdagangan terbatas atas hak properti Property Rights Agrarian Structure Aliran ini mengacu pada distribusi lahan (termasuk hutan atau wilayah umum lainnya) di antara petani. Meyakini bahwa titel yang dapat diperdagangkan dapat melindungi petani dari ancaman pencaplokan lahan oleh pemerintah maupun perusahaan, namun tidak selalu mampu berpihak pada orang �'kecil�' /miskin. Memandang security of tenure bukan hanya sebagai hak melekat tapi lebih kepada keinginan politik yang dapat menjamin komunitas dari Hak properti dimaksudkan sebagai hak yang melekat pada seseorang/institusi secara individu, privat dan bisa diperdagangkan. Dengan sifat2 tersebut, diyakini bahwa akan terjadi efesiensi produksi. Dengan pertumbuhan populasi sumberdaya akan semakin langka, sehingga sistem properti privat harus dibuat dengan memfokuskan pada perdagangan individual. Meskipun akan terjadi pihak menang dan kalah dalam transaksi dagang, hasilnya akan tetap membuat semua pihak menjadi Common Property Pengakuan dan dukungan atas sistem properti berbasis masyarakat yang tradisional yang masih berlaku di wilayah hutan alam Common Property Tidak secara spesifik mengkritik teori dari property rights maupun agrarian structure. Memfokuskan pada pembahasan sumberdaya umum (common resources) non individual. Harus dibedakan antara sumberdaya open access (yang tidak dikelola), dan common property yang dikelola. Meyakini bahwa sistem ini dapat menjadi tumpuan bagi kaum miskin, dengan tidak memprivatisasi seluruh properti. Aliran ini mendukung ruang fisik dan kultur yang Institutionalis Bagaimana ekonomi politik yang lebih luas secara konstan membentuk kembali rejim properti dan menentukan untuk memberikan atau tidak memberikan tenure security kepada orang2 yang menuntut sebuah hak properti tertentu Institutionalis Menggunakan metode analisa mulitdisipliner yang mencoba mengungkap asumsi dan definisi aliran lain. Sebagai perspektif alternatif yang dimulai dari poligik akses dan kontrol sumberdaya di antara beragama aktor sosial dan mengacu pada perubahan lingkungan sebagai outcome dari negosiasi antara aktor2 sosial yang memiliki prioritas berbeda dalam mengelola dan memanfaatkan sumberdaya alam. Tidak ada tipe properti yang lebih baik dari sebelumnya (lihat konsep Pareto optimality) Security of Tenure Bukti-bukti kelas miskin dan menengah untuk mendapatkan perlindungan dari tekanan pasar. Kepemilikan sumberdaya oleh komunitas memiliki banyak nilai kebaikan non-ekonomis yang dibutuhkan sebagai kelompok masyarakat. . Property Rights Di luar AS dan Eropa yang menjadikan hak properti sebagai sitem legal, aliran ini terbukti tidak dapat berlaku optimal. Di negara-negara lain seperti di Asia maupun Afrika, sistem ini tidak terbukti dapat diberlakukan secara positif. memperkuat ikatan sosial antar manusia, dapat lebih efesien dalam mengelola sumberdaya, merupakan sistem paling adil secara praktis maupun kemanusiaan dalam megelola sumberdaya,, memberikan akses bagi sumberdaya yang mampu bertahan dalam keadaan sulit, memberikan tempat di dunia, serta mengalokasikan banyak jenis sumberdaya berdasarkan konsep lokal. Anggota kelompok masyarakat dengan kepemilikan tenure memiliki keseteraan dalam menuntut hak tenure security. Agrarian Structure Meski menuai kritik dari bukti-bukti terdahulu, aliran ini tetap yakin akan unggulnya kebijakan reformasi lahan (land reform). ideal, sehingga untuk aliran ini kekuatan politik dan distribusi sumberdaya menjadi lebih penting dalam menentukan siapa yang bisa memperoleh security of tenure, siapa yang tidak. Hak properti dilihat sebagai suatu relasi sosial di antara para pihak. Hak melekat yang dapat diperdagangkan adalah bagian dari tenure security. Common Property Berdasar data, sistem ini dapat bertahan di beberapa tempat, namun di tempat lainnya tidak bertahan, atau harus melakukan penyesuaian. Security of Tenure Review kebijakan Property Rights Aliran ini mengurangi luasan arti dari tenure security dengan membatasi pada sebuah hak melekat yang dapat diperdagangkan pada pasar jualbeli lahan. Untuk lahan dan hutan, ada beberapa nilai yang tidak dapat diperdagangkan hanya karena dipercaya dapat menghasilkan pemanfaatan yang paling efisien. Agrarian Structure Pasar dapat memberikan nilai tambahterhadap sumberdaya sekaligus memberikan penilaian yang tidak adil, oleh karena itu harus ada kontrol dan pengaturan terhadap pasar sehingga pemilik sumberdaya mendapatkan nilai maksimal dari sumberdaya yang dimilikinya (terutama untuk kelas tertentu). Perlunya aturan untuk dapat memberikan tenure security, bukan sebatas perjanjian di atas kertas. Common Property Dengan kritik bahwa sistem perdagangan dengan hak melekat individual dapat menyebabkan ketidaksetaraan dan berkurangnya efisiensi, aliran ini mengusulkan pemerintah untuk menemukan cara guna mendukung sistem properti ini dengan lebih mengakui hak komunitas ketimbang individu dalam kepemilikan hutan. Sumber : http://blog.com/profile/?userid=122714 oleh Elsworth (n.d.) Institutionalis Dalam kebijakan, aliran ini bersimpati terhadap common property dan agrarian structure, namun melihat bagwa kebijakan tersebut lahir dari ekonomi politik dan menciptakan pihak yang menang dan kalah. Menganalisa kebijakan yang mempelajari siapa yang mungkin menang dan kalah. Mengusulkan untuk melakukan pemikiran tentang distribusi aset dan pendapatan serta memikirkan masa depan dunia. Lampiran 8. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Dasar PokokPokok Agraria Bagian III Hak Milik Pasal 20 (1) Hak Milik adalah hak turun-temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah dengan mengingat ketentuan dalam Pasal 6. (2) Hak Milik dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain. Pasal 21 (1) Hanya warga negara Indonesia yang dapat mempunyai hak milik. (2) Oleh Pemerintah ditetapkan badan-badan hukum yang dapat mempunyai hak milik dan syarat-syaratnya. (3) Orang asing yang sudah berlakunya undang-undang ini memperoleh hak milik karena pewarisan tanpa wasiat atau pencampuran harta karena perkawinan, demikian pula warga negara Indonesia yang mempunyai hak milik dan setelah berlakunya undang-undang ini kehilangan kewarganegaraannya wajib melepaskan hak itu di dalam jangka waktu satu tahun sejak diperolehnya hak tersebut atau hilangnya kewarganegaraan itu. Jika sesudah jangka waktu tersebut lampau hak milik itu tidak dilepaskan, maka hak tersebut hapus karena hukum dan tanahnya jatuh kepada negara, dengan ketentuan bahwa hak-hak pihak lain yang membebani tetap berlangsung. (4) Selama seseorang disamping kewarganegaraan asing maka ia tidak dapat mempunyai tanah dengan hak milik dan baginya berlaku ketentuan dalam ayat 3 pasal ini. Pasal 22 (1) Terjadinya hak milik menurut hukum adat diatur dengan Peraturan Pemerintah. (2) Selain menurut cara sebagai yang dimaksud dalam ayat 1 pasal ini hak milik terjadi karena : a. Penetapan Pemerintah menurut cara dan syarat-syarat yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. b. Ketentuan undang-undang Pasal 23 (1) Hak milik, demikian pula setiap peralihan, hapusnya dan pembebanannya dengan hak-hak lain harus didaftarkan menurut ketentuan-keteantuan yang dimaksud dalam Pasal 19 (2) Selain menurut cara sebagai yang dimaksud dalam ayat I merupakan alat pembuktian yang kuat mengenai hapusnya hak milik serta sahnya peralihan dan pembebanan hak tersebut. Pasal 24 Penggunaan tanah milik oleh bukan pemiliknya dibatasi dan diatur dengan peraturan perundangan. Pasal 25 Hak milik dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani hak tangguangan Pasal 26 (1) Jual beli, penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat, pemberian menurut adat dan perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untuk memindahkan hak milik serta pengawasannya diatur dengan Peraturan Pemerintah. (2) Setiap jual beli, penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat dan perbuatan-perbuatan lain dimaksudkan untuk langsung atau tidak langsung memindahkan hak milik kepada orang asing, kepada warga negara yang di samping kewarganegaraan Indonesianya mempunyai kewargenegaraannya asing atau kepada suatu badan hukum, kecuali yang ditetapkan oleh Pemerintah termaksud dalam Pasal 21 ayat 2 adalah batal karena hukum dan tanahnya jatuh kepada negara, dengan ketentuan, bahwa hak-hak pihak lain yang membebaninya tetap berlangsung serta semua pembayarannya yang telah diterima oelh pemilik tidak dapat dituntut kembali. Pasal 27 Hak milik hapus apabila : a. Tanahnya jatuh kepada negara : 1. Karena pencabutan hak berdasarkan Pasal 18 2. Karena penyerahan dengan sukarela oleh pemiliknya 3. Karena ditelantarkan 4. Karena ketentuan Pasal 21 ayat 3 dan 26 ayat 2. b. Tanahnya Musnah. Lampiran 9. Sumberdaya alam dan Buatan Desa Cibatok 1 I. RW 01, 02, 08 NO JENIS SUMBERDAYA ALAM LOKASI KETERANGAN RW 01 RW 02 RW 08 1 Sungai Cibungbulang x v x 2 3 Batu kali Pasir x x v v x x 4 Ikan x v x 5 Mata air v (12) v (6) v (7) 6 Lahan (Kebun) v v v 7 Lahan(sawah) v v v Masih Digunakan Sdh Banyak Berkurang Dan Kecil-Kecil, Digunakan Untuk Bangunan Dan Di Jual Masyarakat Dijual Dan Digunakan Sendiri Berkurang Akibat Di Racun Dan Sisa Buangan Pestisida Sawah Digunakan Untuk Segala Kebutuhan Rumah Tangga, Berkurang Akibat Perumahan Dan Fasilitas Umum Sebagian(50%)Lahan Milik Orang Luar Desa II. RW 07 LOKASI RT 02 RT 03 x v 1 JENIS SUMBERDAYA ALAM Sungai Cibungbulang 2 3 Batu kali Pasir x x x x v v 4 Ikan x x v Mata air v x v 6 Lahan (Kebun) v v v 7 Lahan(sawah) v v v NO 5 RT 01 x KETERANGAN masih digunakan digunakan untuk kebutuhan wrga dijual dan digunakan sendiri dipancing oleh penduduk setmpat digunakan untuk segala kebutuhan rumah tangga ditanam tanaman pertanian musiman sebagian(50%)lahan milik orang luar desa III. RW 03 NO JENIS LOKASI SUMBERDAYA RT 01 RT 02 1. Persawahan 3 Ha Tidak ada 2 Kebun campuran 1 Ha 2 Ha 3 Saluran irigasi a) 2 km 2 km 4 Sumber mata air 1 titik Tidak ada 5 Sungai/kali 1 km Tidak ada 6 Kolam ikan 0,5 Ha Tidak ada keterangan: a) Berfungsi sebagai batas RT 01 dan RT 02 JUMLAH 3 Ha 3 Ha 2km 1 titik 1 km 0,5 IV. RW 04 NO. JENIS SUMBERDAYA 1. Sawah 2. Kebun 3. Kolam 01 - LOKASI (RT) 02 03 1 ha 2 2 2000m 1000m 2 1000m 3. Mata Air 4. Sungai/Irigasi ada ada - RT 01 8 Ha 1 Ha Ada LOKASI RT 02 20 Ha Tidak ada Tidak ada RT 03 5 Ha Tidak ada Ada Ada Ada Tidak ada Ada Ada Ada 04 2,5 ha 2 7500m 2 4200m 1 ada KETERANGAN Pemilik orang kota Tidak produktif Saluran air rusak Pemilik orang kota Tidak ada pengelola Sapak Saluran menyempit V. RW 05 NO 4. 5. JENIS SUMBERDAYA Lahan sawah Kebun kosong Wahangan/sungai ciarueten Batu kerikil Batu besar 6. Pasir Ada Ada Ada 7. Air sungai (mandi, cuci, kakus) Ada Ada Ada 8. 9. 10. 11. Udang Ikan lele Kepiting Mata air (sawah, minum, mck) 2 2 1 12. Rumput Pohon Ada Ada Ada 1. 2. 3. KETERANGAN Wakaf 1 km Tidak diambil Kebutuhan warga RW 05 , dijual untuk warga Kebutuhan warga RW 05, dijual untuk warga Umum Rumpun bambu VI. RW 06 Jenis RT 01 1. Mata Air ada 2 RT 01 RT 02 Mata air: Di sini ada 2 atau 4 mata air yang bertempat, 2 di cikarat dan2 di cikidul gunanya untuk keperluan para penduduk, yang digunakannya untuk mandi, cuci, dan apa saja Ada (1) Lokasi RT 02 ada (1) Keterangan Mata air disini cukup bagus bagi masyarakat disini dan juga banyak kegunaannya. Contohnya Buat mandi, cuci, minum, dan keperluaan masyarakat lainnya. RT 01 => sudah dibangun RT 02 => masih dialami 2. Sungai Sungai Leumi Jengkol: Sangat banyak digunakan oleh warga 01/06 misalnya: Untuk mandi, mencuci pakaian ,mencuci piring, dan juga ada jenis ikan , batu dan pasir. Disini juga jenis ikannya hampir punah, kalau dulu jenis ikannya banyak tetapi sekarang hampir tidak ada karena banyak orang yang meracunnya. ada Tidak ada Sungai banyak digunakan untuk mandi, cuci piring, cuci pakaian. Keadaan: Sedikit memburuk karena banyak buang sampah di sungai, kotoran binatang, dan kotoran manusia. Untuk irigasi: Untuk perkebunan dan saluran 3. Ikan sering diracun Hampir habis Ada Tidak ada 4. Udang hampir habis ada Kalau dulu sangat banyak tetapi sekarang hampir punahkarena banyak orang yang meracuni, sehingga ikan sekarang susah didapat. Contohnya ikannya: Udang, lele, benter, dan jeler Tidak ada 5. Batu-batu di kali Ciasutan ada Tidak ada 6. Pasir RT 02 ada Tidak ada 7. Lahan - perumahan - singkong ada ada Batu sekarang hampir habis karena banyak yang diambil untuk dijual dan keperluan sendiri misalnya: Untuk rumah dan jalan Pasir hampir habis karena diambil hampir setiap hari jadi keadaan pasir yang ada di sungai hampir buruk Perumahan, kebun singkong, kebun pepaya, kebun campuran/tumpang sari, sawah. VII. RW 09 SUMBER DAYA Kali/sungai Batu kali Pasir Kelikir Tanah lempung - Bahan semen - Bahan cat Ikan LOKASI RT 01 RT 02 2 1 v v v v v v 1 1 v v Lahan Sawah Kebun Pemukiman v v v v v v Mata air 6 5 KETERANGAN Keperluan warga I. RW 01,02, 08 NO POTENSI RW 01 LOKASI RW 02 KETERANGAN RW 08 1 Sekolah Dasar x x v 2 TK/TPA x x v 3 4 5 Gang /jln setapak Balai Desa Pemakaman umum v x v x x v v v v 6 Sawah v v v 7 8 9 Perkebunan Penggilingan padi MCK/Pancuran v x v v x v v v v 10 Masjid Jami' Al-Falah x v x 11 Saluran pembuangan air x x v 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 Musholla Al-Amin Kandang kerbau dan ternak Sekolah MIN Jembatan bambu Pondok Pesantren Empang/kolam Rumah Walet Bendungan Wartel Listrik Telepon rumah v v x v x x x x v v v v v v v x v v v x v v v v x x v x x x v v v Kekurangan bangku murid dibutuhkan bangunan milik pribadi masih terlalu sempit Masih kurang memadai Luas sawah banyak berkurang banyak berkurang Daya tampung jumatan kurang Dari RW -2 ke RW 08 menuju kali, belum di semen Di RT 04 RW 02 II. RW 03 NO 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 JENIS SUMBERDAYA Masjid Mushollah Madrasah Pesantren Majelis Ta’lim Kantor BRI Ruko Kios warung Penggilingan padi Waletl Perbengkelan Lapangan polly ball Lapangan T. Meja Kandang domba Kandang ayam JUMLAH POTENSI SDB (unit) RT 01 RT 02 Jumlah Tidak ada 1 1 1 1 2 Tidak ada 1 1 1 Tidak ada 1 Tidak ada 2 2 1 Tidak ada 1 2 6 4 15 19 Tidak ada 1 1 Tidak ad 1 1 1 Tidak ada 1 1 Tidak ada 1 1 Tidak ada 1 Tidak ada 1 1 10 5 15 III. RW 04 NO. JENIS SUMBERDAYA 1. Masjid 2. Mushalla 3. Pasar 4. Sekolah 5. Wartel 6. Kios 7. Terminal 8. Pesantren 9. Puskesmas 10. Majdlis 11.Koramil LOKASI (RT) 02 03 1 1 3 2 1 1 - 01 1 7 1 1 1 KETERANGAN 04 2 2 - IV. RW 05 NO JENIS SUMBERDAYA Rumah RT 01 75 LOKASI RT 02 55 RT 03 51 Mesjid Musola Majlis Ta’lim Jalan umum Gang/jalan umum Tidak ada 1 2 200 m 350 m 1 1 Tidak ada 300 m 150 m Tidak ada Tidak ada 1 200 m 200 m 6 Selokan Got Kandang ayam Kandang kambing Kolam ikan 600 m 200 m 40 6 2 7 MCK 8 9 10 Jembatan Bendungan Kebun pepaya Kebun singkong ubi Sawah Campuran 3 (1 permanen) 4 (2 rusak) 2 (a. 3x3 m) 2,5 Ha 4 ha 1 Ha 0,5 Ha 300 m 200 m 35 Tidak ada 6 (3 tidak dipakai) 2 (1 permanen) 4 (3 rusak) 2 (a.5x5 m) 5 Ha 6 ha 7 Ha 2 Ha 300 m 100 m 20 9 2 (1 dipakai) 2 (1 permanen) 1 rusak 1 (5x5 m) 1,5 ha 1,5 ha 1 Ha 1 Ha 1 2 3 4 5 KETERANGAN RT 01 =1 RT 02 =1 RT 03 =1 Rusak 75 m rusak berat Rt 02 150 m rusak berat Rt02 100 m rusak berat RT 01 Rusak Tidak layak V. RW 06 SUMBER DAYA Rumah Jembatan Jalan desa Mesjid Sawah LOKASI KETERANGAN RT 01 ada ada (1) ada ada RT 02 ada tidak ada ada ada ada ada Bagus, milik P= 15 m, L= 2,5 bagus Rusak Sedang di bangun (belum selesai) Padi, holtikultura Tanaman pepaya Kolam ikan Tanaman padi tidak ada ada (2) ada ada (2) ada ada Masih porduktif Ada yang tidak diusahakan modal kurang Produksi kurang, HPT, sistem tradisional, tidak ada penyuluhan & bantuan Sudah bangkrut Sudah bangkrut RT 02 belum dibangun Aktif Rusak, tersumbat Tidak diperbaiki kbn Mengganggu jalanan Sekolah Madrasah MCK Pos ronda Gorong-gorong Tidak ada Ada Ada (1) Tidak ada Ada (1) Tidak ada Tidak ada Ada (1) Ada (1) Tidak ada Saluran irigasi Bendungan Tempat pengajian anakanak Pengilingan padi Kandang kerbau Tidak ada Ada Ada Tidak ada Ada Ada Hancur Bagus Ada Tidak ada Ada Ada Bagus Bagus VI. RW 07 NO 1 POTENSI 3 Sawah (padi) Kebun (tanaman pertanian) Bendungan air irigasi 4 Mesjid Nur Ihwan 2 RT 01 v LOKASI RT 02 RT 03 v v v v bagus/baik v v v v x x bagus/baik, ada Tabir (pembatas Jemaah Laki-laki perempan) v x x bagus/baik v v v belum merata,tanpa aturan 2 buah, dimanfaatkan 1, masih kurang. bagus/baik kurang lebar, masih diproses baik/sudah sesuai hanya 80 m , kurang luas. saluran air got kurang lancar, tapi masih di manfaatkan ternak kambing, ayam kampung, itik dan kerbau. 6 7 MCK v x v 8 9 10 11 Lapangan bulu tangkis Jalan Dusun/RW Gang /jln setapak Pekuburan Wakap Empang ikan mas,dan nila v v v x x v v v x v v x x v v Peternakan v v v 12 13 2 kali panen setahun v SMA Negeri Cibungbulang Rumah penduduk 5 KETERANGAN VII. RW 09 SUMBER DAYA Rumah pemukiman Permanen Sederhana Sangat sederhana Selokan Besar Sedang Kecil Masjid Sekolah Pesantren TPA Jembatan Besar Kecil Jalan setapak LOKASI RT 01 RT 02 55 40 3 2 50 13 2 25 1 1 1 2 1 1 1 1 1 2 1 1 1 1 1 2 1 1 1 KETERANGAN Lampiran 10. Perhitungan Indeks Gini GC = 1 – k Σ fi ( y i* + yi*-1) I =1 Dimana : yi* = proporsi secara kumulatif dari jumlah pendapatan rumah tangga sampai kelas ke i fi = proporsi jumlah rumah tangga dalam kelas ke i k = jumlah kelas GC = 1 – 0,056 ( 0,224 + 0,224 – 1 ) + 0 + 0,056 ( 0,41 + 0,41 – 1 ) + 0 + 0 + 0 + 0,111 ( 0,62 + 0,62 – 1 ) + 0 + 0,056 ( 0,691 + 0,691 – 1 ) + 0 + 0,17 ( 0,84 + 0,84 – 1 ) + 0,22 ( 0,95 +0,95 – 1 ) + 0,33 ( 1 +1 – 1 ) GC = 1 – (0,031 – 0,01 + 0,027 + 0,021 + 0,117 + 0,198 + 0,33) GC = 1 – 0,652 GC = 0,348 Lampiran 11. Perhitungan Indeks Kuznet’s Nomor responden Sawah irigasi Sawah tadah hujan Tegalan Pekarangan Luas lahan (ha) Urutan besar ke kecil 1. 1 0,8 3,2 2. 1 3,2 2,6 3. 1 0,4 1,5 4. 1 0,5 1,5 5. 1 2,6 1,08 6. 1 1,5 0,8 7. 1 1,5 0,8 8. 1 0,45 0,5 9. 1 0,8 0,45 10. 1 0,21 0,45 11. 1 0,08 0,12 0,25 0,4 12. 1 13. 1 0,25 0,21 14. 1 1,08 0,2 15. 1 0,2 0,14 16. 1 0,45 0,12 17. 1 0,14 0,08 18. 1 0,02 14,3 0,02 Total 18 14,3 Diketahui : 10 % dari seluruh rumah tangga atas (kelas atas) ; lebih dari 40 % luas keseluruhan lahan. Penyelesaian : 10 100 X 18 = 1,8 ≈2 3,2 ha + 2,6 ha = 5,8 ha 40 X 14,3 ha = 5,72 ha ≈5,7 ha 100 Jadi, jumlah lahan sawah yang diperoleh dari luas lahan 2 kelas atas sebesar 5,8 ha lebih tinggi daripada 40 persen keseluruhan lahan yaitu sebesar 5,7 ha KI = k Σ f i – yi I=1 Dimana fi = proporsi jumlah rumah tangga/penduduk dalam kelas pendapatan i yi = proporsi jumlah pendapatan dari rumahtangga/penduduk dalam kelas pendapatan i k = jumlah kelas KI = 0,056 – 0,224 + 0,056 – 0,182 + 0,111 – 0,21 + 0,056 – 0,076 + 0,17 – 0,147 + 0,22 – 0,108 + 0,33 – 0,54 KI = 0,168 + 0,126 + 0, 099 + 0,02 + 0,023 + 0,112 + 0,276 KI = 0,824 Lampiran 12. Perhitungan Menurut Bank Dunia 1. 1 0,8 Urutan besar ke kecil 3,2 2. 1 3,2 2,6 3. 1 0,4 1,5 4. 1 0,5 1,5 5. 1 2,6 1,08 6. 1 1,5 0,8 7. 1 1,5 0,8 8. 1 0,45 0,5 9. 1 0,8 0,45 10. 1 0,21 0,45 11. 1 0,08 0,12 0,25 Nomor responden sawah irigasi sawah tadah hujan tegalan pekarangan luas lahan (Ha) 0,4 12. 1 13. 1 0,25 0,21 14. 1 1,08 0,2 15. 1 0,2 0,14 16. 1 0,45 0,12 17. 1 0,14 0,08 18. 1 0,02 14,3 0,02 Total 18 14,3 Diketahui : luas lahan 40 % penduduk terbawah < 12 % dari seluruh luas lahan Penyelesaian : 40 100 X 18 = 7,2 ≈7 Jumlah luas lahan pada 7 kelas bawah adalah 1,02 ha 12 X 14,3 ha = 1,72 ≈1,7 ha 100 1,02 X 100 % = 7,1 % 14,3 Jadi, tingkat ketidakmerataan tinggi, karena jumlah pendapatan 40 persen penduduk terbawah yaitu 1,02 ha lebih kecil daripada 12 persen seluruh luas lahan yaitu 1,7 ha. Serta persentasenya dibawah 12 persen yaitu hanya 7,1 persen. Lampiran 13. Dokumentasi Penelitian Bendungan Rangga Gading Saluran irigasi Pengolahan sawah Tanaman palawija Tanaman padi