DISTRIBUSI KEPEMILIKAN LAHAN PERTANIAN DAN SISTEM

advertisement
DISTRIBUSI KEPEMILIKAN LAHAN PERTANIAN DAN
SISTEM TENURIAL DI DESA-KOTA
(Kasus Desa Cibatok 1, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor,
Propinsi Jawa Barat )
ARTANTI YULAIKA IRIANI
A14204004
PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2008
RINGKASAN
ARTANTI YULAIKA IRIANI. Distribusi Kepemilikan Lahan dan Sistem
Tenurial di Desa-Kota (Kasus Desa Cibatok 1, Kecamatan Cibungbulang,
Kabupaten Bogor,
Propinsi Jawa Barat). Dibawah Bimbingan SATYAWAN SUNITO.
Masalah tenurial merupakan masalah mengenai pola penguasaan lahan.
Pemusatan penguasaan tanah pada sekelompok kecil anggota masyarakat
merupakan pertanda adanya ketimpangan dalam penyebarannya. Ketimpangan
dalam pemilikan lahan memungkinkan terjadi di beberapa desa pinggiran kota.
Adapun ciri-cirinya antara lain adanya sumber nafkah non-pertanian yang sangat
mempengaruhi kehidupan masyarakatnya walaupun sebagian besar lahannya
masih dimanfaatkan untuk pertanian serta dengan adanya keikutsertaan pihak luar
dalam kepemilikan lahan. Kondisi yang demikian memungkinkan diterapkannya
beberapa bentuk sistem tenurial di dalamnya.
Tujuan Penelitian ini adalah untuk mengetahui distribusi kepemilikan
lahan. Setelah peneliti mengetahui distribusi kepemilikan lahan, peneliti juga
ingin mengetahui pola penguasaan lahan pertanian serta ingin mengetahui
penerapan sistem sewa, gadai dan bagi hasil di wilayah desa penelitian, sehingga
akan diketahui sistem tenurial yang dominan dilakukan.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dan pendekatan
kuantitatif (metode survei). Untuk metode survei dipilih secara random sampling
40 orang responden yang merupakan petani. Data primer juga dikumpulkan dari
sejumlah informan. Lokasi penelitian adalah Desa Cibatok 1, Kecamatan
Cibungbulang, Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa Barat.
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa pemilikan tanah di Desa
Cibatok 1 secara garis besar diperoleh dengan cara membuka hutan sekitar tahun
1908. Kepemilikan tanah yang diperoleh dengan cara membuka hutan tersebut
dimiliki perseorangan secara turun-temurun. Pada saat sekarang ini, harga lahan
sawah berkisar antara Rp. 50.000,00 sampai Rp. 15.000,00 permeter persegi. Jenis
lahan pertanian yang dimiliki adalah sawah irigasi dengan tanaman yang
diusahakan meliputi padi, singkong, ubi jalar, jagung kacang panjang, terong,
cabai, ketimun, dan pepaya.
Kepemilikan lahan di Desa Cibatok 1 diperoleh melalui dua cara yaitu
waris dan jual beli. Terdapat 39 persen, yang lahan pertaniannya dimiliki berasal
dari warisan. Sementara itu, 61 persen lahan pertanian dari praktek jual beli dan
warisan. Struktur distribusi pemilikan lahan sawah di Desa Cibatok 1
menunjukkan ketimpangan. Dari distribusi kepemilikan lahan pertanian diketahui
beberapa golongan petani di Desa Cibatok 1 yaitu yaitu petani kaya (≥1 ha)
sebanyak 5 orang, 3 orang petani menengah (0,500-0,999 ha), 10 orang petani
miskin ( 0,001-0,499 ha) dan tunakisma (0 ha) sebanyak 22 orang. Ketimpangan
kepemilikan lahan pertanian di Desa Cibatok 1 ditunjukkan oleh Indeks Gini
pemilikan lahan sawah mencapai angka 0,348; Indeks Kuznet’s pemilikan lahan
sawah mencapai angka 0,824; dan berdasarkan perhitungan Bank Dunia
pemilikan lahan sawahnya berada dibawah 7 persen.
Bagi masyarakat yang tidak bekerja pada sektor non pertanian cenderung
tidak merasa peduli pada ketimpangan yang terjadi. Hal tersebut disebabkan
karena menurunnya minat masyarakat desa terhadap pertanian yang terjadi sekitar
awal tahun 1990-an. Pada beberapa petani yang memiliki lahan sawah yang
luasnya ≥1 ha, 0,500-0,999 ha, 0,001-0,499 ha dan tunakisma, tanah memiliki arti
penting pada segi ekonomi dan tidak begitu memiliki arti penting pada segi
politik. Selain itu memiliki tingkat kepentingan yang berbeda-beda pada segi
sosial.
Di Desa Cibatok 1, terdapat 3 jenis penguasaan lahan pertanian yaitu sewa
yang sering disebut dengan istilah ngontrak., bagi hasil sering disebut dengan
istilah paro dan gadai yang biasa disebut dengan istilah ngade’. Sistem tenurial
yang dominan diterapkan di Desa Cibatok 1 adalah sistem sewa. Sementara itu.
Sistem bagi hasil dominan diterapkan pada lahan sawah yang khusus ditanami
padi.
Berdasarkan akses petani terhadap lahan pertanian di Desa Cibatok 1,
petani yang luas lahannya ≥1 ha, 0,500-0,999 ha, 0,001-0,499 ha dan petani
tunakisma memiliki tingkatan akses yang berbeda-beda pada lahan sawah.
Perbedaan tersebut didasarkan pada usaha mereka untuk memiliki dan menguasai
lahan. Kepemilikan lahan sawah dapat diperoleh dari proses jual beli dan warisan
maupun keduanya. Sementara itu, untuk menguasai lahan sawah dapat diperoleh
dari praktek sewa, bagi hasil dan gadai. Di Desa Cibatok 1, petani yang luas
lahannya ≥2 ha memiliki akses yang lebih tinggi dari petani yang luas lahannya
antara 1 - 2 ha. Petani yang luas lahannya antara 1 - 2 ha memiliki akses yang
lebih tinggi dari pada petani yang luas lahannya < 1 ha. Petani tunakisma
memiliki akses yang paling rendah terhadap lahan sawah dibandingkan ketiga
golongan petani diatas.
DISTRIBUSI KEPEMILIKAN LAHAN PERTANIAN DAN
SISTEM TENURIAL DI DESA-KOTA
(Kasus Desa Cibatok 1 Kecamatan Cibungbulang Kabupaten Bogor Propinsi
Jawa Barat)
ARTANTI YULAIKA IRIANI
A14204004
Skripsi
Sebagai Bagian Persyaratan untuk Memperoleh Gelar
Sarjana Pertanian
Pada Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor
PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2008
PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Dengan ini menyatakan bahwa skripsi oleh:
Nama Mahasiswa
: Artanti Yulaika Iriani
Nomor Pokok
: A14204004
Judul
: Distribusi Kepemilikan Lahan Pertanian dan Sistem
Tenurial Di Desa – Kota. Kasus Desa Cibatok 1
Kecamatan Cibungbulang Kabupaten Bogor Propinsi
Jawa Barat.
Dapat diterima sebagai syarat gelar Sarjana Pertanian pada Program Studi
Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Pertanian, Institut
Pertanian Bogor.
Menyetujui,
Dosen Pembimbing
Dr. Satyawan Sunito
NIP. 131968005
Diketahui,
Dekan Fakultas Pertanian
Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M.Agr
NIP. 131 124 019
Tanggal Lulus Ujian :
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI BERJUDUL
DISTRIBUSI KEPEMILIKAN LAHAN PERTANIAN DAN SISTEM
TENURIAL DI DESA-KOTA KASUS DESA CIBATOK 1, KECAMATAN
CIBUNGBULANG, KABUPATEN BOGOR, PROPINSI JAWA BARAT.
ADALAH HASIL KARYA SAYA SENDIRI DENGAN ARAHAN DOSEN
PEMBIMBING DAN BELUM PERNAH DIAJUKAN PADA PERGURUAN
TINGGI MANAPUN ATAU LEMBAGA AKADEMIK LAIN UNTUK
TUJUAN MEMPEROLEH GELAR AKADEMIK TERTENTU. BAHAN
RUJUKAN
BERASAL
ATAU
DIKUTIP
DARI
KARYA
YANG
DITERBITKAN ATAUPUN YANG TIDAK DITERBITKAN OLEH PIHAK
LAIN SEBAGAI BAHAN RUJUKAN YANG DINYATAKAN.
Bogor, Agustus 2008
Artanti Yulaika Iriani
A14204004
RIWAYAT HIDUP
Penulis lahir di Purworejo, Jawa Tengah pada tanggal 21 Juli 1985 sebagai
putri pertama dari tiga bersaudara. Putri dari Bapak Budiyono dan Ibu Lisminah.
Penulis menempuh pendidikan TK Cempaka III Purworejo pada tahun 1992,
Sekolah Dasar Negeri No. 24 Bengkulu tahun 1998, SMP Negeri 1 Bengkulu
tahun 2001, dan SMU Negeri 5 Bengkulu tahun 2004, kemudian penulis diterima
di Institut Pertanian Bogor pada tahun 2004 melalui jalur USMI (Undangan
Seleksi Masuk IPB). Penulis memilih Program Studi Komunikasi dan
Pengembangan Masyarakat, Departemen Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi, Fakultas
Pertanian.
Selama menjadi mahasiswa Institut Pertanian Bogor, penulis pernah
menjadi Asisten Praktikum mata kuliah Sosiologi Umum Tahun Ajaran
2006/2007 dan tahun ajaran 2007/2008 di semester ganjil. Penulis juga pernah
menjadi Asisten Praktikum mata kuliah Sosiologi PedesaanTahun Ajaran
2006/2007 dan tahun ajaran 2007/2008. Selain itu, penulis pernah menjadi Asisten
Praktikum mata kuliah Pengantar Ilmu Kependudukan Tahun Ajaran 2006/2007
dan tahun ajaran 2007/2008.
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirobbil’alamin, puji syukur kehadirat Allah SWT atas
nikmat, karunia-Nya dan terimakasih atas berjuta kesempatan untuk selalu
mensyukuri nikmat dan cobaan yang penuh dengan pelajaran berharga, dengan
rahmat dan kasih sayang-Nya penyusunan skripsi ini yang berjudul “Distribusi
Kepemilikan Lahan Pertanian dan Sistem Tenurial di Desa – Kota (Kasus : Desa
Cibatok 1 Kecamatan Cibungbulang Kabupaten Bogor Provinsi Jawa Barat)”
dapat diselesaikan. Salawat serta salam semoga tercurah kepada Rasulullah SAW,
dengan suri tauladan yang beliau contohkan sehingga manusia berusaha
mengistiqomahkan diri pada tuntunan yang benar. Amin.
Penyusunan skripsi ini banyak dibantu oleh berbagai pihak yang telah
memberikan saran, bimbingan, dan dukungan baik secara langsung maupun tidak
langsung. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa
terima kasih kepada :
1. Allah SWT atas segala anugrah berupa rizki dan kekuatan yang diberikan
kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
2. Dr. Satyawan Sunito. Selaku dosen pembimbing yang telah meluangkan
waktunya untuk memberikan bimbingan dan arahan mengenai pembuatan
skripsi yang baik sesuai tema dan kaidah-kaidah penulisan.
3. Bapak Budiyono dan Ibu Lisminah yang sangat berarti dalam mendukung
penulis untuk melakukan segala aktivitas pendidikan serta untuk segala
perhatian dan kasih sayang yang diberikan kepada penulis. Tanpa bapak
dan ibu, penulis tidak dapat menyelesaikan semua tugas.
4. Adik Beta Yuli Dameswari dan Muhammad Saung Penggalih atas segala
perhatian, dukungan dan selalu menghibur penulis selama ini.
5. Ir. Said Rusli, MA atas kesediaannya untuk turut membimbing, memberi
saran, meminjamkan pustaka dan memotivasi penulis.
6. Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan, MSc. selaku dosen pembimbing akademik
atas dukungan dan pertimbangannya terutama dalam bidang akademik.
7. Seluruh staf pengajar dan karyawan/wati di Departemen Komunikasi dan
Pengembangan Masyarakat, Fakultas Pertanian, IPB.
8. Leonard Dharmawan, terimakasih telah sangat membantu semua yang
penulis perlukan selama ini. Terimakasih untuk segala dukungan,
perhatian dan kasih sayang yang diberikan kepada penulis serta waktu
yang diberikan untuk menemani penulis dalam menyelesaikan skripsi.
9. Nurina, Nani, Retno, Mbak Upi dan Tyas yang selalu mendukung,
mengkritik, memberi masukan dan menemani penulis menyelesaikan
skripsi.
10. Buat semua teman-teman KPM angkatan 41, semoga kebersamaan dan
persahabatan kita tidak hanya pada masa kuliah saja.
11. Keluarga Cendana 53: Alin, Dian, Dea, Endang, Erna, Ita, Sinta, Ucie,
Vina, Winda, dan mantan Cendana 53: ILis, Marlia, Nana. Terimakasih
atas motivasi, saran, dukungan, bantuan moril, tumpangan kamar,
masukan, kritikan dan perhatiannya kepada penulis.
12. Teman-teman OMDA Ikatan Mahasiswa Bumi Rafflesia Bengkulu: Rini,
Alin, Alan, Danang, Gading, Yulian, Fanny, Juwi dan Anis. Terimakasih
telah membuat masa kuliah terkadang serasa di Bengkulu.
13. Rike dan Liana, terimakasih atas do’a dan dukungannya kepada penulis.
14. Semua pihak yang telah membantu dalam penulisan skripsi ini. Semoga
Allah SWT memberikan pahala atas kebaikannya. Amin.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dari skripsi ini. Oleh
karena itu, penulis menerima segala kritik dan saran yang bersifat membangun.
Penulis berharap semoga apa yang telah penulis paparkan dalam skripsi ini dapat
bermanfaat bagi semua pihak dan bernilai ibadah dalam pandangan Allah SWT.
Amin.
Bogor, Agustus 2008
Penulis
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI..................................................................................................... viii
DAFTAR TABEL ............................................................................................ x
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................ xi
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ............................................................................. 1
1.2 Perumusan Masalah ..................................................................... 4
1.3 Tujuan Penelitian……………………………………………. ... 4
1.4 Kegunaan Penelitian …………………………………………… 5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Agraria .......................................................................... 6
2.2 Subyek dan Obyek Agraria ........................................................ 7
2.3
Struktur Agraria ......................................................................... 8
2.4
Konsep Sistem Tenurial ............................................................. 10
2.5
Hak Penguasaan Atas Tanah ..................................................... 25
2.6
Hak – Hak Atas Tanah ............................................................... 28
2.7
Distribusi Kepemilikan Lahan …… .......................................... 32
2.8
Rumus – Rumus Ukuran Kemerataan........................................ 33
2.9 Hasil – Hasil Penelitian Terdahulu ............................................ 35
2.10 Kerangka Pemikiran................................................................... 41
2.11 Hipotesis pengarah ..................................................................... 46
2.12 Batasan Operasional................................................................... 47
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Metode Penelitian.......................................................................... 51
3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian........................................................ 52
3.3 Teknik Pengumpulan Data ............................................................ 53
3.4 Teknik Penentuan Responden dan Informan Kunci ...................... 54
3.5 Teknik Analisis Data ..................................................................... 56
viii
BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
4.1 Letak Administrasi ........................................................................ 57
4.2 Kondisi Agronomi ......................................................................... 58
4.3 Kependudukan............................................................................... 59
4.4 Pendidikan ..................................................................................... 59
4.5 Sarana dan Prasarana ..................................................................... 60
4.6 Mata Pencaharian .......................................................................... 61
BAB V DISTRIBUSI KEPEMILIKAN LAHAN PERTANIAN DI DESA
CIBATOK 1
5.1 Sejarah Penguasaan dan Kepemilikan Lahan di Desa Cibatok 1 ... 62
5.2 Sistem Transfer Kepemilikan Lahan Pertanian
di Desa Cibatok 1 ........................................................................... 66
5.2.1 Waris ..................................................................................... 67
5.2.2 Jual Beli ................................................................................. 68
5.3 Distribusi Kepemilikan Lahan Pertanian di Desa Cibatok 1 ......... 70
5.4 Makna Lahan Pertanian Khususnya Sawah Bagi Masyarakat
Desa Cibatok 1 ............................................................................... 73
BAB VI SISTEM TENURIAL DI DESA CIBATOK 1
6.1 Sistem Penguasaan Lahan Pertanian Di Desa Cibatok 1................ 79
6.2 Sistem Sewa di Desa Cibatok 1 ...................................................... 80
6.3 Sistem Bagi Hasil di Desa Cibatok 1.............................................. 82
6.4 Sistem Gadai di Desa Cibatok 1 ..................................................... 85
6.5 Akses Petani terhadap Lahan Pertanian.......................................... 86
BAB VIII KESIMPULAN DAN SARAN
8.1 Kesimpulan ..................................................................................... 91
8.2 Saran ............................................................................................... 93
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
ix
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Struktur Pemilikan Tanah di Kalangan Rumah Tangga Petani
Menurut Sensus Pertanian Tahun 1993 .............................................. 41
Tabel 2. Asal kepemilikan Lahan Pertanian di Desa Cibatok 1......................... 67
Tabel 3. Data Kepemilikan Lahan Pertanian di Desa Cibatok 1........................ 70
Tabel 4. Jenis Kepemilikan Lahan Pertanian di Desa Cibatok 1 ....................... 71
Tabel 5. Distribusi Kepemilikan Lahan Sawah di Desa Cibatok 1 .................... 72
Tabel 6. Status Penguasaan Lahan Pertanian di Desa Cibatok 1 ....................... 80
x
DAFTAR GAMBAR
Gambar. 1 Lingkup Hubungan – Hubungan Agraria ......................................... 9
Gambar. 2 Kerangka Pemikiran ......................................................................... 45
xi
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Tanah merupakan salah satu sumber agraria yang merupakan objek agraria
selain perairan, hutan, bahan tambang dan udara. Tjondronegoro (1998),
menyatakan bahwa tanah yang menjadi aset utama bagi rakyat banyak adalah
tanah untuk bercocok tanam yang merupakan sumber kehidupan utamanya.
Kepentingan terhadap tanah berimplikasi pada pemanfaatan sumber agraria.
Ketersediaan tanah merupakan faktor penentu keberhasilan pertanian. Tanah
merupakan salah satu kebutuhan manusia yang vital dimana keberadaannya saat
ini merupakan hal yang langka (Wiradi, 2000). Pernyataan tersebut konsisten
dengan pertambahan jumlah penduduk yang terus meningkat sedangkan
ketersediaan tanah sebagai kebutuhan hidup selalu tetap jumlahnya.
Menurut Sihaloho (2004), struktur agraria pada dasarnya menjelaskan
bagaimana struktur akses pihak-pihak terkait dengan sumberdaya agraria.
Pemanfaatan sumber agraria yang ada difungsikan sesuai dengan kebutuhan hidup
baik menyangkut kepentingan komunal maupun kepentingan individu. Struktur
agraria berkaitan dengan land tenure dan saling mempengaruhi satu sama lain.
Sitorus (2003) membagi proporsi dasar analisis agraria menjadi dua yakni;
pertama, ketiga subjek agraria (pemerintah, swasta dan komunitas) memiliki
hubungan teknis dengan obyek agraria dalam bentuk kerja pemanfaatan berdasar
hak penguasaan (Land Tenure) tertentu. Kedua, ketiga subyek agraria satu sama
1
lain berhubungan atau berinteraksi secara sosial dalam rangka penguasaan dan
pemanfaatan obyek agraria tertentu.
Berdasarkan analisis agraria yang pertama dapat disimpulkan bahwa
dalam pemanfaatan tanah terkait dengan diberlakukannya sistem tenurial yaitu
mengenai pengaturan tentang penguasaan pemilikan tanah. Menurut Bruce
(1998), sistem tenurial (land tenure system) merupakan keseluruhan bentuk
tenurial (penguasaan) yang diakui dibawah perundangan negara atau peraturan
adat setempat. Hukum adat yang dimaksudkan adalah hak ulayat masyarakat
hukum adat yaitu serangkaian wewenang dan kewajiban suatu masyarakat hukum
adat, yang berhubungan dengan tanah yang terletak dalam lingkungan
wilayahnya. Sementara itu, hukum positif yang dimaksud dalam pengaturan
sistem tenurial adalah UUPA 1960, yang mana didalamnya terdapat aturan-aturan
yang mengatur mengenai ketetapan kepemilikan tanah dan penguasaan tanah
(Santoso, 2005). Bentuk-bentuk tenurial antara lain meliputi private freehold,
sewa dan gadai, common property serta pemilikan oleh negara. 1
Masalah tenurial merupakan masalah mengenai pola penguasaan lahan.
Pemusatan penguasaan tanah pada sekelompok kecil anggota masyarakat
merupakan pertanda adanya ketimpangan dalam penyebarannya. Pada saat
sekarang ini, tingkat ketimpangan dalam hal kepemilikan dan penguasaan tanah
semakin meningkat. Pada tahun 1995, jumlah petani tunakisma di Jawa sebanyak
48,6 persen, meningkat jadi 49,5 persen (1999). Meski tidak separah di Jawa, di
luar Jawa cenderung sama. Pada 1995 jumlah petani tunalahan 12,7 persen,
1
Disampaikan dalam slide ke-2 mata kuliah Sosiologi Agraria ; “Keragaman Sistim
Adaptasi&Tata Kuasa Tanah dan Sumber Agraria” oleh Satyawan Sunito.
2
meningkat 18,7 persen (1999). Sebaliknya, 10 persen penduduk di Jawa memiliki
51,1 persen tanah (1995) dan jadi 55,3 persen (1999). Itu menunjukkan
ketimpangan distribusi pemilikan tanah semakin parah. Selain itu, berdasarkan
hasil Sensus Pertanian 2003 dalam Khudori (2007), menyebutkan bahwa jumlah
rumah tangga petani gurem dengan penguasaan lahan kurang dari 0,5 hektar milik
sendiri maupun menyewa meningkat 2,6 persen per tahun dari 10,8 juta rumah
tangga (1993) menjadi 13,7 juta rumah tangga (2003).
Di beberapa desa pinggiran kota dengan ciri, telah memiliki sarana
komunikasi yang baik, transportasi yang lancar, pasar yang mudah dijangkau,
sumber
nafkah
non-pertanian
yang
sangat
mempengaruhi
kehidupan
masyarakatnya walaupun sebagian besar lahannya masih dimanfaatkan untuk
pertanian, telah terjadi konversi lahan didalamnya, serta adanya keikutsertaan
pihak luar dalam kepemilikan lahan. Berdasarkan ciri – ciri tersebut,
memungkinkan diterapkannya beberapa bentuk sistem tenurial di daerah desa
pinggiran kota. Wilayah desa penelitian dengan ciri seperti diatas, menarik minat
peneliti untuk mengetahui bagaimanakah distribusi kepemilikan lahan dan sistem
tenurial apa sajakah yang diterapkan? Hal tersebut menjadi pertanyaan pokok
pada penelitian ini yang menarik untuk dikaji lebih dalam.
3
1.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang yang dikemukakan, maka permasalahan
penelitian dapat dirumuskan sebagai berikut :
1. Bagaimanakah distribusi kepemilikan lahan di desa penelitian?
2. Bagaimanakah pola penguasaan lahan di desa penelitian dan sistem tenurial
apakah yang paling dominan di desa penelitian tersebut?
1.3. Tujuan Penelitian
Pada penelitian ini dianalisis masalah distribusi kepemilikan lahan dan
sistem tenurial yang diterapkan di desa penelitian. Adapun tujuan penelitian ini
adalah untuk mengetahui distribusi kepemilikan lahan pada wilayah desa
penelitian. Secara rinci, peneliti ingin mengetahui luas kepemilikan lahan pada
beberapa golongan petani di wilayah desa penelitian.
Setelah peneliti mengetahui distribusi kepemilikan lahan, peneliti juga
ingin mengetahui pola penguasaan lahan pada golongan-golongan petani tertentu
berdasarkan luas kepemilikan lahannya. Pada penelitian ini, penulis ingin
mengetahui bagaimana sistem sewa, gadai dan bagi hasil diterapkan di wilayah
desa penelitian. Berdasarkan hal tersebut, akan diketahui sistem tenurial yang
dominan dilakukan.
4
1.4. Kegunaan Penelitian
Penelitian ini diharapkan berguna bagi berbagai kalangan, antara lain :
1. Akademisi, hasil penelitian ini diharapkan bisa dijadikan sumber data,
informasi serta literatur bagi kegiatan-kegiatan penelitian selanjutnya dan
dapat menambah atau mengakumulasi pengetahuan tentang permasalahan
distibusi kepemilikan lahan dan sistem tenurial yang diterapkan. Selain itu,
diharapkan penelitian ini dapat memberi sumbangan terhadap program
studi Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat atau sebagai sumber
kepustakaan pada penelitian yang sama secara mendalam pada topik
agraria.
2. Bagi Pemerintah, diharapkan dapat digunakan sebagai sarana evaluasi,
informasi, dan data untuk melakukan perbaikan-perbaikan dan koreksi
terhadap kebijakan-kebijakan agraria yang dikeluarkan baik secara
substansial maupun pelaksanaan di lapangan. Serta masukan bagi upaya
penerapan distribusi kepemilikan lahan yang adil.
3. Bagi masyarakat, diharapkan dapat digunakan sebagai rujukan untuk lebih
memperhatikan hubungan sosial mereka antar sesama anggota masyarakat
dan antar sesama petani khususnya.
4. Bagi penulis penelitian ini berguna untuk mengaplikasikan ilmu yang
dimiliki untuk dapat diterapkan di lapangan sekaligus untuk menggali
masalah dibidang agraria.
5
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Konsep Agraria
Agraria berdasarkan penelusuran entomologis Kamus Bahasa LatinIndonesia dan World Book Dictionary dikutip Sitorus (2003) berasal dari kata
ager dalam bahasa Latin. Arti kata ager adalah: (a) lapangan; (b) pedusunan
(lawan dari perkotaan); (c) wilayah. Pengertian tersebut menunjukkan bahwa
konsep agraria lebih luas dari tanah pertanian atau pertanian saja namun,
mencakup keseluruhan kekayaan alami (fisik dan hayati) dan kehidupan sosial di
dalamnya.
Berbicara mengenai tanah berarti juga berbicara mengenai agraria, namun
pengertian dari agraria sendiri tidaklah terbatas pada lahan pertanian atau sawah.
Pengertian agraria seperti yang tercantum dalam UUPA 1960 (UU no 5/1960)
adalah :
“Seluruh bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya dalam wilayah Republik Indonesia sebagai Karunia Tuhan Yang
Maha Esa adalah bumi, air dan ruang angkasa Bangsa Indonesia dan merupakan
kekayaan nasional”.
Selanjutnya dari pengertian di atas Sitorus (2002) menyimpulkan bahwa
jenis-jenis sumber agraria meliputi :
1.
Tanah atau permukaan bumi, yang merupakan modal alami utama dari
pertanian dan peternakan.
2.
Perairan, yang merupakan modal alami dalam kegiatan perikanan.
3.
Hutan, merupakan modal alami utama dalam kegiatan ekonomi
komunitas perhutanan.
6
4.
Bahan tambang, yang terkandung di “tubuh bumi”.
5.
Udara, yang termasuk juga materi “udara” sendiri.
Dalam memanfaatkan sumber-sumber agraria tersebut antara pengguna atau
subjek agraria yaitu komunitas, pemerintah dan swasta menimbulkan bentuk
hubungan antara ketiganya melalui institusi penguasaan atau pemilikan. Dalam
hubungan-hubungan itu akan menimbulkan kepentingan – kepentingan sosial
ekonomi masing – masing subjek berkenaan dengan penguasaan atau pemilikan
dan pemanfaatan sumber – sumber agraria tersebut. Bentuk dari hubungan ini
adalah hubungan sosial atau hubungan sosial agraria yang berpangkal pada akses
(penguasaan, pemilikan, penggunaan) terhadap sumber agraria (Sitorus 2002).
2.2. Subyek dan Obyek Agraria
Unsur pertama (kekayaan alami) dari konsep agraria, kemudian dikenal
sebagai sumber agraria atau dapat disebut juga sebagai obyek agraria (Sitorus
2003). Unsur kedua (manusia sosial) dikenal sebagai subyek agraria. Secara garis
besar, subyek agraria tersebut dapat dipilah ke dalam tiga kelompok sosial yaitu
komunitas, pemerintah dan perusahaan swasta.
Masing-masing kelompok subyek tersebut dipilah lagi ke dalam tiga unsur
yang saling terkait secara hirarkis (Sitorus 2003). Kelompok tersebut adalah:
komunitas mencakup unsur individu, keluarga dan kelompok; pemerintah
mencakup unsur-unsur pemerintah pusat, pemerintah daerah dan pemerintah desa;
perusahaan mencakup unsur-unsur perusahaan kecil, perusahaan sedang dan
perusahaan besar.
7
2.3. Struktur Agraria
Struktur agraria yaitu adanya suatu penguasaan atau kepemilikan lahan
yang dimiliki seseorang (petani) dimana disatu pihak terdapat sekelompok orang
yang menguasai lahan yang luas dan dilain pihak terdapat orang-orang yang
memiliki atau menguasai lahan yang sempit, sehingga terjadi stratifikasi atau
hierarki dalam hal penguasaan atau kepemilikan lahan. Lebih jauh lagi yang
dimaksud dengan struktur agraria yaitu2 :
“Suatu fakta yang menunjuk kepada fakta kehadiran minoritas
golongan atau lapisan sosial yang menguasai lahan yang luas di satu
pihak dan mayoritas golongan yang menguasai hanya sedikit atau
bahkan tanpa tanah sama sekali di lain pihak”.
Sementara itu, menurut Sihaloho (2004), struktur agraria pada dasarnya
menjelaskan bagaimana struktur akses pihak-pihak terkait dengan sumberdaya
agraria. Sitorus (2003) membagi proporsi dasar analisis agraria menjadi dua
yakni:
1. Ketiga subjek agraria memiliki hubungan teknis dengan obyek agraria dalam
bentuk kerja pemanfaatan berdasar hak penguasaan (land tenure) tertentu
2. Ketiga subyek agraria satu sama lain berhubungan atau berinteraksi secara
sosial dalam rangka penguasaan dan pemanfaatan obyek agraria tertentu.
Hubungan yang pertama disebut sebagai hubungan teknis agraria
sedangkan hubungan yang kedua disebut sebagai hubungan sosial agraria.
Struktur Agraria yang ada di Indonesia digambarkan sebagai berikut ;
2
Di kutip dari pengantar penerbit pada buku Sosiologi Agraria oleh Sediono M.P. Tjondronegoro,
penyunting M.T. Felix Sitorus & Gunawan Wiradi, AKATIGA, Bandung 1999
8
Pemerintah
Sumber-sumber
Agraria
Masyarakat
Swasta
Hubungan Sosial Agraria
Hubungan Teknis Agraria
Gambar.1 Lingkup Hubungan-Hubungan Agraria (Sumber : Sitorus 2002)
Struktur agraria dapat mempengaruhi munculnya hubungan sosial agraris yang
berbeda antara satu tipe struktur agraria dengan tipe struktur agraria lain. Ada lima
macam struktur agraria yaitu:
1.
Tipe naturalisme: sumber agraria dikuasai oleh komunitas lokal, misalnya
komunitas adat secara kolektif.
2.
Tipe feodalisme: sumber agraria dikuasai oleh minoritas ”tuan tanah” yang
biasanya juga merupakan ”patron politik”.
3.
Tipe kapitalisme: sumber-sumber agraria dikuasai oleh non-penggarap
(perusahaan kapitalis).
4.
Tipe sosialisme: sumber-sumber agraria dikuasai oleh negara/kelompok
pekerja.
5.
Tipe Populisme/Neo-Populisme: sumber-sumber agraria dikuasai oleh
keluarga/ rumah tangga penguna (Wiradi 1998, diacu dalam Sitorus 2003).
9
2.4. Konsep Sistem Tenurial
Dorner (1972) dalam Hutagalung (1983) menyatakan bahwa ;
The land tenure system embodies those legal and contractual or customary
arrangements where people in farming gain access to productive opportunities
on the land. It constitutes the rules and procedures governing the rights, duties,
liberaties and exposures of individual and group in the use and control over the
basis resources of land and water. 3
Jadi, sistem tenurial merupakan perwujudan dari perjanjian resmi mengenai
penggunaan, pengaturan dimana petani memiliki akses terhadap manfaat produktif
lahan pertanian. Sistem tenurial menyangkut peraturan dan prosedur yang
mengatur tentang hak, kewajiban, keleluasaan dari perorangan atau kelompok
dalam hal penggunaan dan penguasaan terhadap suberdaya lahan dan air.
Menurut Wiradi (1984), tenure berasal dari berbahasa Latin tenere yaitu
memelihara, memegang, memiliki. Karena itu land tenure memperoleh arti hak
atas tanah atau penguasaan tanah (menunjuk pada penguasaan efektif). Istilah land
tenure biasanya dipakai dalam uraian-uraian yang membahas masalah yang
pokok-pokok umumnya mengenai status hukum dari penguasaan tanah seperti hak
milik, pacht, gadai, bagi hasil, sewa-menyewa dan juga kedudukan buruh tani.
Uraian itu menunjuk pada pendekatan yuridis. Artinya penelaahannya bertolak
dari sistem yang berlaku yang mengatur kemungkinan penggunaan, mengatur
syarat-syarat untuk dapat menggarap tanah bagi penggarapnya dan berapa lama
penggarapan dapat berlangsung. Sedangkan tenant mempunyai arti orang yang
memiliki, memegang, menempati, menduduki, menggunakan atau menyewa
sebidang tanah tertentu (menunjuk pada penguasaan formal).
3
Peter Dorner, Land Reform and Economic Development, Penguin Books, Australia Ltd., 1972,
halaman 7.
10
Uraian
tersebut
menunjuk
pada
pendekatan
ekonomis,
yaitu
penelaahannya meliputi hal-hal yang menyangkut hubungan penggarapan tanah.
Obyek penelaahan itu biasanya berkisar pada pembagian hasil antara pemilik dan
penggarap tanah, faktor-faktor tenaga kerja, investasi-investasi dan besarnya nilai
sewa. Sementara itu menurut Bruce (1998), sistem tenurial (Land Tenure System)
merupakan keseluruhan bentuk tenurial (penguasaan) yang diakui dibawah
perundangan negara atau peraturan adat setempat.4
Penguasaan lahan dan kepemilikan lahan merupakan dua hal yang saling
berkaitan. Menurut Wiradi (1984) bahwa konsep antara kepemilikan, penguasaan,
dan pengusahaan tanah perlu dibedakan, kata ”pemilikan” menunjuk pada
peguasaan formal. Berkaitan dengan hak milik atas tanah menurut Smith dan zopf
(1970), diacu dalam Rahardjo (1999) mengatakan bahwa hak milik atas tanah
berkaitan dengan hak-hak yang dimiliki seseorang atas tanah, yakni hak yang sah
untuk mengunakannya, mengolahnya, menjualnya dan memanfaatkan bagian –
bagian tertentu dari permukaan tanah. Hal tersebut menyebabkan pemilikan atas
tanah tidak hanya mengenai hak milik saja melainkan juga termasuk hak guna atas
tanah yaitu suatu hak untuk memperoleh hasil dari tanah bukan miliknya dengan
cara menyewa, mengarap dan lain sebagainya. Menurut Kanto (1986), hak milik
tanah merupakan hak penguasaan tanah yang paling kuat menurut hukum.
Sedangkan kata penguasaan menunjuk pada penguasaan efektif. Misalnya,
jika sebidang tanah disewakan kepada orang lain maka orang lain itulah yang
secara efektif menguasainya. Jika seseorang mengarap tanah miliknya sendiri,
4
Disampaikan dalam slide ke-2 mata kuliah Sosiologi Agraria ; “Keragaman Sistim
Adaptasi&Tata Kuasa Tanah dan Sumber Agraria” oleh Satyawan Sunito.
11
misalnya 2 ha, lalu mengarap juga 3 ha tanah yang disewa dari orang lain, maka ia
menguasai 5 ha. Sedangkan kata ”pengusahaan” menunjuk pada bagaimana
caranya sebidang tanah diusahakan secara produktif (Wiradi, 1984). Menurut
Kanto (1986), hak sewa, hak sakap dan hak gadai merupakan hak penguasaan
tanah yang bersifat sementara.
Menurut Elsworth (n.d.), A place in the world merupakan frasa yang pada
zaman feodal Inggris diartikan sebagai sebuah hak yang melekat pada petani atas
jaminan tuan tanah untuk bisa mengelola dan mendiami sebidang lahan, tanpa
dapat diganggu – gugat keberadaannya. Dalam perkembangan masa, kemudian
hak ini berkembang dengan artian yang lebih luas, ditambah dengan fungsi-fungsi
yang melekat pada sebidang lahan, yang tidak dapat diperdagangkan. Hak ini
disebut tenure.
Terdapat jaminan tenurial (Security of Tenure) dalam 4 aliran pemikiran
besar di dunia akademis. Pada fokus bahasan aliran hak milik (Property Rights)
menyebutkan bahwa berdasarkan pentingnya nilai ekonomi, dengan dimilikinya
hak milik maka suatu properti dapat diperdagangkan. Pada aliran struktur agraria
(Agrarian Structure) membahas tentang outcome yang adil pada perdagangan
terbatas atas hak milik. Pada aliran kepemilikan bersama (common property)
membahas mengenai dukungan atas sistem kepemilikan berbasis masyarakat
tradisional masih berlaku di wilayah hutan alam. Sementara itu, aliran
institutionalis menyebutkan bahwa ekonomi politik secara konstan menentukan
untuk memberikan atau tidak memberikan jaminan tenurial kepada orang-orang
yang menuntut hak milik.
12
Mengenai jaminan tenurial pada hal konsep dan argumen, aliran property
rights menyebutkan bahwa hak milik dimaksudkan sebagai hak yang melekat
pada seseorang atau institusi secara individu, privat dan bisa diperdagangkan,
sehingga diyakini bahwa akan terjadi efisiensi produksi. Aliran struktur agraria
ini mengacu pada distribusi lahan (termasuk hutan atau wilayah umum lainnya) di
antara petani. Memandang security of tenure bukan hanya sebagai hak melekat
tapi lebih kepada keinginan politik yang dapat menjamin komunitas dari kelas
miskin dan menengah untuk mendapatkan perlindungan dari tekanan pasar.
Aliran Common Property memfokuskan pada pembahasan sumberdaya
umum (common resources) non individual dan meyakini bahwa sistem ini dapat
menjadi tumpuan bagi kaum miskin, dengan tidak memprivatisasi seluruh
properti. Aliran ini juga menyebutkan bahwa anggota kelompok masyarakat
dengan kepemilikan tenure memiliki kesetaraan dalam menuntut hak tenure
security. Sementara itu, aliran institusionalis mengemukakan bahwa hak milik
dilihat sebagai suatu relasi sosial di antara para pihak, sedangkan hak melekat
yang dapat diperdagangkan adalah bagian dari tenure security.
Diketahui bahwa aliran property rights terbukti tidak dapat berlaku
optimal. Di negara-negara Asia maupun Afrika, sistem ini tidak terbukti dapat
diberlakukan secara positif. Aliran struktur agraria meyakini unggulnya kebijakan
reformasi lahan (land reform). Aliran common property menyebutkan bahwa
sistem yang diberlakukan pada aliran ini sesuai dibeberapa tempat, namun juga
membutuhkan penyesuaian di tempat-tempat lainnya.
13
Jaminan sistem tenurial ditinjau dari segi kebijakan yang berlaku, menurut
aliran property rights membatasi jaminan tenurialnya pada sebuah hak melekat
yang dapat diperdagangkan pada pasar jual-beli lahan. Aliran struktur agraria
menyebutkan bahwa pasar dapat memberikan nilai tambah terhadap sumberdaya
sekaligus memberikan penilaian yang tidak adil, sehingga harus ada kontrol dan
pengaturan terhadap pasar sehingga pemilik sumberdaya mendapatkan nilai
maksimal dari sumberdaya yang dimilikinya. Aliran common property
mengusulkan pemerintah untuk menemukan cara guna mendukung sistem
kepemilikan dengan lebih mengakui hak komunitas ketimbang individu dalam
kepemilikan hutan. Sementara itu, aliran institusionalis mengusulkan untuk
melakukan pemikiran tentang distribusi aset dan pendapatan serta memikirkan
masa depan dunia (Lampiran 7).
Menurut Poertjaja Gadroen dan Vink (1927) dalam Kroef (1984), di
daerah Jawa Timur terdapat beberapa bentuk pemilikan tanah, antara lain sebagai
berikut :
1. Pemilikan tanah komunal dengan penggarapan secara bergiliran dan luas
tanah garapan berbeda ukuran. Dewan desa mempunyai wewenang untuk
memperbanyak jumlah penggarap yang ikut serta.
2. Pemilikan tanah komunal dengan jumlah penggarap terbatas.
3. Pemilikan tanah komunal dengan penggarap bergiliran, tetapi dengan tanah
garapan yang luasnya tetap.
4. Pemilikan tanah komunal dengan hak – hak perorangan tertentu. Hak – hak
tersebut tidak pasti dapat diwariskan. Dewan desa harus menentukan siapa
14
yang akan mendapatkan tanah tersebut setelah penggarap sebelumnya
meninggal.
5. Seperti pada no. 4 tetapi dengan kepastian hak waris.
6. Seperti pada no. 5 tetapi dengan hak menjual sebagian tanah bersangkutan
kepada penduduk lain sedesa.
7. Seperti pada no. 5 tetapi dengan hak menula sebagian tanah kepada orang
bukan penduduk sedesa, asalkan kewajiban kerja untuk desa dapat dipenuhi
oleh pembeli bukan sedesa tersebut.
8. Pemilikan tanah pribadi yang dapat diwariskan, tetapi dibatasi oleh kewajiban
partisipasi dalam pekerjaan komunal.
9. Pemilikan tanah pribadi yang dapat diwariskan, tanpa kewajiban kerja
komunal selama sebagian tanah garapan lainnya tetap tunduk kepada aturan
kewajiban kerja komunal.
10. Pemilikan tanah pribadi bercorak barat dan dapat digadaikan.
Menurut Wiradi (1984), terdapat beberapa bentuk atau status penguasaan
tanah tradisional antara lain :
a. Tanah yasan, yasa atau yoso yaitu tanah dimana hak seseorang atas tanah itu
berasal dari kenyataan bahwa dia atau leluhurnyalah yang pertama kali
membuka atau mengerjakan tanah tersebut. Hak atas tanah ini memperoleh
status legal dalam UUPA 1960 sebagai tanah milik.
b. Tanah norowito, gogolan, pekulen, playangan, kesikepan dan sejenisnya,
adalah tanah pertanian milik bersama, dimana para warga desa dapat
memperoleh bagian untuk digarap, baik secara bergilir maupun secara tetap
15
dengan syarat-syarat tertentu. Untuk memperoleh hak garap, umumnya
diperlukan syarat bahwa si calon itu harus statusnya menjadi tanah milik bagi
penggarapnya yang terakhir.
c. Tanah titisara, bondo deso, kas desa adalah tanah milik desa yang biasanya
disewakan, disakapkan dengan cara dilelang kepada siapa yang mau
menggarapnya. Hasilnya dipergunakan sebagai anggaran rutin ataupun
pemeliharan desa.
d. Tanah bengkok, yaitu tanah milik desa yang diperuntukkan bagi pejabat desa
terutama lurah, yang hasilnya dianggap sebagai gaji selama menduduki
jabatan itu. Tanah bengkok dan tanah titisara ini dalam konsep Barat dapat
digolongkan dalam kategori tanah yang tunduk pada pengawasan komunal.
Dalam UUPA keduanya tetap diakui.
Menurut Kano (1984), berikut ini merupakan bentuk-bentuk pemilikan
yang ada hubungannya dengan sawah ;
1. Milik perorangan turun-temurun; merupakan suatu bentuk penguasaan tanah
dimana
seseorang
menduduki
sebidang
tanah
secara
kekal,
dapat
menyerahkannya kepada ahli warisnya baik melalui pemindahtanganan hak
penguasaan
tersebut
sebelum
meninggal,
atas
kemauannya,
atau
pemindahtanganan hak tersebut pada saat meninggalnya dan yang paling
khas, dapat mengatur secara bebas dengan misalnya menjual, menyewakan,
atau menggadaikan. Bentuk pemilikan ini penyebarannya dinilai tidak merata.
Di Jawa Tengah dan bagian barat Jawa Timur, penguasaan komunal
tampaknya lebih umum. Penguasaan tanah komunal merupakan ciri umum
16
pemilikan sawah di daerah Karsidenan Banten, Karawang, Kabupaten
Indramayu,
Banyuwangi
bermacam-macam
sehubungan dengan kerja paksa. Di
pembatasan
dilakukan
Jawa Barat sangat berbeda, disini
pemindahtanganan sawah secara bebas diperkenankan. Jadi, “hak milik
perorangan turun-temurun” hanyalah “hak” si “empunya” atas tanah yang
didasarkan atas penguasaan yang nyata, dan bila penguasaan tersebut tidak
efektif lagi, tanah itu ditempatkan langsung dibawah pengawasan desa
bersangkutan (kecuali disebagian Jawa Barat, dimana konsep ini telah
mendekati pengertian pemilikan harta milik – mutlak).
2. Milik komunal; merupakan bentuk penguasaan, dimana seseorang atau
keluarga memanfaatkan tanah tertentu hanya merupakan bagian dari tanah
komunal desa yaitu bahwa orang tersebut tidak diberi hak untuk menjualnya
atau memindahtangankan tanah tersebut dan pemanfaatannya biasanya digilir
secara berkala. Salah satu ciri khusus sawah “milik komunal” di Jawa adalah
sistem kesamarataan formal dalam membagi bagian garapan kepada petani –
petani yang memberikan layanan kerja. Akan tetapi, hal tersebut tidak berlaku
secara umum. Misalnya, di beberapa desa di Semarang, Jepara, Madiun dan
Kediri mereka yang memiliki ternak mendapat bagian garapan yang lebih
luas dan mendapat prioritas dalam memilih letaknya. Bagian tanah garapan
yang berupa sawah dan termasuk milik komunal tidak dapat diwariskan
sebagai milik perorangan.
3. Tanah bengkok untuk pamong desa; diperuntukkan bagi pejabat untuk
dimanfaatkan secara pribadi dibagi dalam dua golongan yaitu bagi para
17
penguasa pribumi yang berasal dari tanah apanage dan para lurah. Hak-hak
atas tanah bengkok diperuntukkan sesuai dengan kedudukan-kedudukan
resmi bagi keluarga tertentu dan telah diubah secara de facto menjadi milik
perseorangan turun- temurun. Distribusi tanah bengkok itu hampir seluruhnya
bertepatan dengan adanya kepemilikan komunal. Terdapat kecenderungan
umum bahwa tanah garapan itu sempit di Jawa Barat (kecuali di Cirebon) dan
juga di Jawa Timur sebelah timur Probolinggo, yaitu di desa-desa tempat
tanah dengan hak milik perorangan turun – temurun itu dominan.
Sedangkan bentuk-bentuk pemilikan tegalan atau tanah kering pada dasarnya
sesuai dengan sawah. Pertama, ada milik perorangan turun-temurun yang mana
peraturan-peraturan yang terkandung didalamnya adalah sama dengan yang
berlaku bagi sawah. Kedua, tanah kering yang dimiliki secara komunal dapat
ditemukan di Cirebon, Jawa Barat, disemua Karesidenan Jawa Tengah kecuali
Tegal dan semua Karesidenan Jawa Timur sebelah barat Probolinggo. Dapat
disimpulkan bahwa bentuk pemilikan tanah kering sama dengan sawah, hanya
saja dilaksanakan dengan peraturan-peraturan dan pengawasaan komunal yang
lebih longgar.
Seperti telah disinggung sebelumnya bahwa ”pemilikan” tanah tidak selalu
mencerminkan ”penguasaan” tanah, karena memang ada berbagai jalan untuk
”menguasai” tanah, yaitu melalui sewa, gadai, sakap, dan lain sebagainya.
Berdasarkan hal ini maka Wiradi (1984) mengolongkan petani menjadi :
1. Pemilik – penggarap murni, yaitu petani yang hanya menggarap tanah
miliknya sendiri.
18
2. Penyewa dan penggarap murni, yaitu petani yang tidak memiliki tanah tetapi
menguasai lahan garapan melalui sewa atau bagi hasil.
3. Pemilik – penyewa dan atau pemilik – penyakap, yaitu petani yang disamping
mengarap tanahnya sendiri juga menggarap tanah milik orang lain lewat
persewaan atau bagi hasil.
4. Pemilik bukan penggarap, yakni petani yang tanah miliknya disewakan atau
disakapkan kepada orang lain (penyakap, pengarap dan buruh tani).
5. Petani tunakisma dan buruh tani, yaitu petani yang benar-benar tidak memiliki
lahan pertanian dan bukan penggarap.
Sementara itu, di Jawa Tengah pada tahun 1953 menunjukkan ada dua
pemilikan tanah: (a) satu bentuk pemilikan tanah bebas perorangan dimana hak
ulayat masyarakat desa tidak berlaku atasnya (yasan); (b) penggarapan tanah yang
dikuasai secara komunal dengan hak ulayat masyarakat desa yang terbatas
(kongsen); kedua bentuk tersebut dapat diwariskan. Sementara itu, diketahui pola
penguasaan lahan yang terdapat di Jawa Barat menurut Svensson (1968), diacu
dalam Suhendar (1995) terbagi menjadi tiga yaitu penguasaan dengan hak milik
perorangan, penguasaan tanah komunal dan pola penguasaan tanah partikelir.
Waris
Pewarisan di Bali dilakukan setelah kedua orang tua meninggal. Selama
orang tua masih ada, penguasaan seorang anak atas tanah milik orang tua masih
bersifat penguasaan efektif. Kepemilikan formalnya masih berada ditangan orang
tua. Anak yang berhak mendapatkan harta warisan hanya anak laki-laki. Anak
19
perempuan mendapatkan harta warisan apabila semua anak yang dimiliki adalah
perempuan. Warisan akan diserahkan kepada anak perempuan yang menarik
suaminya masuk ke dalam keluarga luas perempuan.
Bila satu keluarga tidak memiliki anak, maka harta warisan akan diberikan
kepada anggota keluarga yang seketurunan setelah sebelumnya diadakan
musyawarah dalam keluarga. Dalam pembagian waris tidak ada ketentuan tentang
besar kecilnya setiap bagian harta yang harus dibagi, bergantung pada
kesepakatan musyawarah di dalam keluarga (Sadikin, 2005). Di pedesaan Jawa,
luas tanah yang diberikan kepada laki-laki maupun perempuan tidak dibedakan.
Ini artinya, yang menjadi landasan hukum dalam waris adalah hukum nasional,
bukan hukum agama (Islam). Pewarisan tanah biasanya dilakukan oleh petani
yang secara fisik sudah tidak mampu lagi mengelola lahan pertaniannya sendiri.
Tanah-tanah yang status kepemilikannya berasal dari warisan pada umumnya
langsung diubah status kepemilikannya secara formal (Mahanani, 2005).
Jual Beli
Transaksi jual beli sering terjadi antara 2 belah pihak saja yaitu; pihak
penjual dan pembeli. Tidak ada keterlibatan pihak desa atau instansi terkait (jual
beli di bawah tangan). Kesepakatan untuk membeli dan menjual tanah didasarkan
atas prinsip saling percaya. Bagi petani yang melakukan jual – beli, hal ini jelas
memudahkan mereka.
Hal ini terjadi karena tanah di dusun dianggap masih mempunyai fungsi
sosial yang sangat besar dan tidak terkait dengan kepentingan pasar. Petani masih
20
melihat tanah sebagaimana adanya; tanah sebagai aset yang harus diolah terlebih
dahulu dan ditanami, tanah belum dilihat sebagai alat untuk memperoleh
keuntungan memperjualbelikannya (Mahanani, 2005).
Sistem Gadai
Gadai menurut Imam Sudiyat (1978) dalam Wiradi dan Makali (1984)
adalah menyerahkan tanah untuk menerima pembayaran sejumlah uang secara
tunai, dengan ketentuan si penjual tetap berhak atas pengembalian tanahnya
dengan jalan menebusnya kembali. Hak gadai adalah penyerahan hak atas
sebidang tanah kepada orang lain dengan pembayaran berupa sekian kuintal gabah
atau sekian gram emas perhiasan atau sekian ekor kerbau atau sapi, dengan
ketentuan pemilik tanah yang telah menyerahkan hak atas tanahnya itu kepada
orang lain dapat memperolehnya kembali dengan jalan menebusnya.
Sistem gadai dilakukan oleh petani berlahan luas untuk keperluan yang
bersifat produktif seperti praktek gadai di Mariuk dan Jati dimana masyarakat
petani bertanah luas menggadaikan tanahnya kepada petani bertanah luas atau
orang kaya guna menutupi kekurangannya dalam membeli sawah. Akibat dari
proses tersebut terjadi akumulasi tanah pada orang kaya atau petani bertanah luas.
Selain itu, sistem gadai juga dilakukan oleh petani bertanah sempit untuk
kepentingan yang bersifat konsumtif, seperti praktek gadai di daerah Sentul dan
Sukaambit, dimana petani bertanah sempit menggadaikan tanahnya karena
terdesak oleh kebutuhan yang agak besar, misalnya untuk keperluan modal usaha,
selamatan, biaya masuk sekolah bagi anaknya.
21
Menurut Manuwotto (1995), sistem gadai biasanya terjadi ada kaitannya
dengan utang piutang yang diberi agunan (borg) tanah pertanian. Dalam peristiwa
gadai, masyarakat biasanya memakai nilai tukar yang tidak mudah berubah,
seperti di daerah Sulawesi Selatan dipakai ‘ringgit’ (uang emas yang mempunyai
nilai tukar rupiah). Kemudian juga, guna menghindari pelepasan tanah ke pihak
luar keluarga, maka biasanya yang pertama diberi
peluang menerima gadai
adalah keluarga dekatnya atau kerabat sendiri. Melalui cara ini jika penggadai itu
belum mampu membayar utangnya, maka tanah yang bersangkutan tidak lepas
keluar melainkan masih dimiliki keluarganya.
Sistem Sakap atau Bagi Hasil
Hak sakap adalah hak seseorang untuk mengusahakan tanaman di atas
tanah orang lain dengan perjanjian bahwa hasilnya dibagi antara kedua belah
pihak berdasarkan persetujuan bersama. Usahatani dengan sistem sakap atau bagi
hasil merupakan bentuk pranata sosial dalam kegiatan produksi yang sudah
dikenal masyarakat Jawa. Sistem sakap dimungkinkan apabila ada pemilikan
tanah yang luas disatu pihak, sedangkan dipihak lain banyak penggarap yang tidak
mempunyai tanah sendiri (Soentoro 1981 dalam Kanto, 1986). Meluasnya pemilik
tanah pertanian oleh bukan petani dan oleh mereka yang tidak tinggal dengan
lokasi tanah, mendukung dipraktekannya sistem sakap atau bagi hasil. (Kanto,
1986). Menurut Wiradi dan Makali (1984), bagi hasil adalah penyerahan
sementara hak atas tanah kepada orang lain untuk diusahakan, dengan perjanjian
22
si penggarap akan menanggung beban tenaga kerja seluruhnya dan menerima
sebagian dari hasil tanahnya.
Berikut ini merupakan sistem bagi hasil dan sewa – menyewa di pedesaan
Jawa Barat (Kroef, 1984);
1. Mertelu, pemilik tanah menanggung biaya benih dan memungut 2/3 hasil
panen, sisanya merupakan hak penyewa atau penyakap
2. Merapat, persyaratannya sama dengan diatas kecuali bahwa pemilik tanah
mendapat ¾ bagian hasil panen dan bagian untuk penyakap.
3. Nyeblok atau ngepak, dalam hal ini penggarap melakukan semua pekerjaan dan
membajak, menyiang sampai menanam. Kemudian pemilik tanah mengambil
alih pekerjaan. Penggarap menerima 1/5 hasil panen.
4. Derep, penggarap atau buruh terutama menanam padi, tetapi dapat diminta
membantu pekerjaan lain sampai panen tiba. Bagian buruh adalah 1/5 padi
bulir, tetapi bilamana hasilnya jelek bagiannya dapat berkurang.
5. Gotong royong, suatu kegiatan yang biasanya mengikutsertakan anggota
keluarga saja. Penggarap mendapat bagian yang telah ditentukan sebelumnya
sesuai dengan kebiasaan.
Dalam hal bagi hasil (sakap, maro5) terdapat dua kemungkinan arti “sistem
hubungan kerja” antara pemilik dan penyakap. Pertama, arti yang membuat
penyakap sebagai pengusaha tani yang cukup kuat bertanggung jawab dan
mandiri atas kesatuan unsur – unsur usahatani. Kedua, arti yang lebih mirip status
buruh borongan yang diberi upah hasil panen oleh pemilik dimana pemilik lebih
5
Maro adalah salah satu bentuk dari penyakapan dengan sistem dimana 50 persen hasil untuk
penggarap dan 50 persen untuk pemilik (Wiradi dan Makali, 1984 dalam Kasryno, 1984)
23
banyak bertanggung jawab dan berkorban input.6 Di Jawa pada umumnya hanya
berlaku bagi sawah. Peraturan perjanjian bagi hasil bagi tanah sawah di Jawa
antara pemilik dan penggarap masing-masing mendapat 50 persen dari hasil,
setelah dikurangi biaya produksi (Manuwotto, 1995).
Terdapat dua bentuk hubungan penyakapan diantara petani biasa.
Pertama, suatu bentuk hubungan dimana sewa dibayar dalam jumlah tetap, dalam
bentuk uang atau barang. Kedua, sebagian tertentu dari hasil panen dibayarkan
sebagai sewa, yaitu dalam bentuk bagi hasil. Kenyataan bahwa pengelolaan tanah
bengkok lebih jelas terlihat adanya hubungan kelas daripada hubungan sakap –
menyakap dapat disimpulkan; pertama, tanah pertanian pada umumnya tidak
dipandang sebagai suatu komoditi penuh; hal itu mencegah konsentrasi
penguasaan tanah yang luas melalui penjualan, pembelian dan penggadaian.
Kedua, hubungan sakap – menyakap diantara petani telah dapat diamati secara
luas, tetapi ditandai lebih kuat oleh hubungan gotong-royong antar petani daripadi
hubungan kelas. Ketiga, suatu bentuk tertentu hubungan kelas telah banyak terjadi
pada tanah bengkok resmi atas dasar hubungan komunal desa (Kano, 1984).
Sistem Sewa
Hak sebagai hasil sewa adalah hak seseorang untuk mengusahakan
usahatani diatas tanah orang lain dengan memberi sejumlah imbalan uang atau
barang sesuai dengan perjanjian antara kedua belah pihak setelah batas waktu
sewa selesai, maka tanah dikembalikan pada pemiliknya. Menurut Wiradi dan
6
Diperoleh dari Penelitian Sektoral Dalam Rangka Persiapan Repelita II. “Pola Penguasaan Tanah
Pertanian Di Pedesaan Jawa” IPB. Mei 1973.
24
Makali (1984), sistem sewa adalah penyerahan sementara hak penguasaan tanah
kepada orang lain, sesuai dengan perjanjian yang dibuat bersama oleh pemilik dan
penyewa. Di desa – desa penelitian di Jawa ada enam macam istilah sewa yaitu
motong, kontrak, sewa tahunan, setoran, jual oyodan dan jual potongan. Di dalam
motong, kontrak dan setoran, harga sewa dibayar setelah panen dan di dalam sewa
tahunan, jual oyodan atau jual potongan, harga sewa dibayar sebelum penyewa
menggarap berbeda dengan harga sewa tanah bagi penyewa yang harus menunggu
beberapa musim sebelum dapat menggarap tanah yang disewanya. Mereka yang
harus menunggu beberapa musim kemudian baru menggarap memperoleh harga
lebih murah daripada mereka yang langsung menggarap.
2.5. Hak Penguasaan Atas Tanah
Hak penguasaan atas tanah berisi serangkaian wewenang, kewajiban dan
atau larangan bagi pemegang haknya untuk berbuat sesuatu mengenai tanah yang
dihaki. Pengaturan hak-hak penguasaan tanah dalam hukum tanah dibagi menjadi
dua, yaitu;
1. Hak penguasaan atas tanah sebagai lembaga hukum; hak penguasaan atas
tanah ini belum dihubungkan dengan tanah dan orang atau badan hukum
tertentu sebagai pemegang haknya.
2. Hak penguasaan atas tanah sebagai hubungan hukum yang konkret; hak
penguasaan atas tanah ini sudah dihubungkan dengan tanah tertentu sebagai
obyeknya dan orang atau badan hukum tertentu sebagai subyek atau
pemegang haknya.
25
Terdapat hierarkhi hak – hak penguasaan atas tanah dalam UUPA dan Hukum
Tanah nasional, adalah;
1. Hak Bangsa Indonesia atas tanah; merupakan hak penguasaan atas tanah
tertinggi dan meliputi semua tanah yang ada dalam wilayah negara, yang
merupakan tanah bersama, bersifat abadi dan menjadi induk bagi hak – hak
penguasaan lain atas tanah. Pengaturan hak penguasaan atas tanah ini dimuat
dalam pasal 1 ayat (1) – ayat (3) UUPA. Hak bangsa Indonesia atas tanah
mempunyai sifat komunalistik, artinya semua tanah yang ada dalam wilayah
Negara Republik Indonesia merupakan tanah bersama rakyat Indonesia yang
telah bersatu sebagai bangsa Indonesia. Hubungan antara bangsa Indonesia
dengan tanah bersifat abadi, artinya hubungan antara Indonesia dengan tanah
akan berlangsung tiada terputus – putus untuk selamanya. Sifat abadi artinya
selama rakyat Indonesia masih bersatu sebagai bangsa Indonesia dan selama
tanah bersama tersebut masih ada, dalam keadaan yang bagaimanapun tidak
ada sesuatu kekuasaan yang akan dapat memutuskan atau meniadakan
hubungan tersebut. Sementara itu, hak induk bagi hak – hak penguasaan yang
lain atas tanah adalah semua hak penguasaan tanah yang lain bersumber pada
Hak Bangsa Indonesia atas tanah dan bahwa keberadaan hak – hak
penguasaan apa pun hak yang bersangkutan tidak meniadakan eksistensi hak
bangsa Indonesia atas tanah.
2. Hak Menguasai dari Negara Atas Tanah; bersumber pada hak bangsa
Indonesia atas tanah, yang hakikatnya merupakan penugasan pelaksanaan
tugas kewenangan bangsa yang mengandung unsur hukum publik.
26
3. Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat; hak ulayat tersebut diatur dalam Pasal
3 UUPA yaitu “Dengan mengingat ketentuan – ketentuan dalam Pasal 1 dan
Pasal 2 pelaksanaan hak ulayat dan pelaksanaan hak – hak serupa itu dari
masyarakat – masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataan masih
ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan
negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh
bertentangan dengan undang – undang dan peraturan – peraturan lain yang
lebih tinggi.” Hak ulayat masyarakat hukum adat adalah serangkaian
wewenang dan kewajiban suatu masyarakat hukum adat, yang berhubungan
dengan tanah yang terletak dalam lingkungan wilayahnya. Menurut Boedi
Harsono, hak ulayat masyarakat hukum adat dinyatakan masih apabila
memenuhi 3 unsur, yaitu; (a). masih adanya suatu kelompok orang sebagai
warga persekutuan hukum adat tertentu, yang merupakan masyarakat hukum
adat. (b). masih ada wilayah yang merupakan ulayat masyarakat hukum adat
tersebut, yang disadari sebagai tanah kepunyaan bersama para warganya
sebagai “ labensraum”nya dan (c). masih adanya penguasa adat yang pada
kenyataannya diakui oleh para warga masyaratkat hukum adat bersangkutan,
melakukan kegiatan sehari – hari sebagai pelaksana hak ulayat.
4. Hak-Hak Perseorangan Atas Tanah; merupakan hak yang memberi
wewenang kepada pemegang haknya untuk memakai, dalam arti menguasai,
menggunakan dan atau mengambil manfaat dari bidang tanah tertentu. Hak –
hak perseorangan atas tanah berupa hak atas tanah, wakaf tanah, hak milik,
hak tanggungan dan hak milik atas satuan rumah susun.
27
2.6. Hak-Hak Atas Tanah : Hak Milik7
Ketentuan Umum
Ketentuan mengenai Hak Milik disebutkan dalam Pasal 16 ayat (1) huruf a
UUPA yaitu hak milik. Secara khusus diatur dalam Pasal 20 sampai dengan Pasal
27 UUPA (Lampiran 8). Menurut Pasal 50 ayat (1) UUPA, ketentuan lebih lanjut
mengenai Hak Milik diatur dengan undang-undang, namun belum terbentuk
sampai sekarang. Untuk itu, diberlakukanlah Pasal 56 UUPA, yaitu selama
undang – undang tentang Hak Milik belum terbentuk, maka yang berlaku adalah
ketentuan – ketentuan hukum adat setempat dan peraturan – peraturan lainnya
sepanjang tidak bertentangan dengan UUPA.
Pengertian Hak Milik
Hak milik menurut Pasal 20 ayat (1) UUPA adalah hak turun – temurun,
terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah dengan mengingat
ketentuan dalam Pasal 6 8. Turun – temurun artinya hak milik atas tanah dapat
berlangsung terus selama pemiliknya masih hidup dan bila pemiliknya meninggal
dunia, maka hak miliknya dapat dapat dilanjutkan oleh ahli warisnya sepanjang
memenuhi syarat sebagai subjek hak milik. Terkuat artinya Hak Milik atas tanah
lebih kuat bila dibandingkan dengan hak atas tanah yang lain, tidak mempunyai
batas waktu tertentu, mudah dipertahankan dari gangguan pihak lain dan tidak
mudah dihapus. Terpenuh artinya Hak Milik atas tanah memberi wewenang
7
Santoso, Urip. 2005. “Hukum Agraria dan Hak-Hak Atas Tanah”. Hal. 90-98. Jakarta: Kencana
8
Pasal 6 UUPA 1960 adalah semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial.
28
kepada pemiliknya paling luas bila dibandingkan dengan hak atas tanah yang lain,
dapat menjadi induk bagi hak atas tanah yang lain, tidak berinduk pada hak atas
tanah yang lain.
Peralihan Hak Milik
Peralihan hak milik atas tanah diatur dalam Pasal 20 ayat (2) UUPA, yaitu
Hak Milik dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain. Dua bentuk peralihan
Hak Milik atas tanah dapat dijelaskan sebagai berikut :
1. Beralih
Artinya berpindahnya hak milik atas tanah dari pemiliknya kepada pihak lain
dikarenakan suatu peristiwa hukum
2. Dialihkan/pemindahan hak
Artinya berpindahnya hak milik atas tanah dari pemiliknya kepada pihak lain
dikarenakan adanya suatu perbuatan hukum.
Peralihan Hak Milik atas tanah secara langsung maupun tidak langsung
kepada
orang
asing,
kepada
seseorang
yang
mempunyai
dua
kewarganegaraan atau kepada badan hukum yang tidak ditunjuk oleh
pemerintah adalah batal karena hukum dan tanahnya jatuh kepada negara,
artinya tanahnya kembali menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh negara.
29
Subjek Hak Milik
Menurut UUPA yang dapat mempunyai (subjek hak) tanah Hak Milik
menurut UUPA dan peraturan pelaksanaannya, adalah :
1. Perseorangan
Hanya warga negara Indonesia yang dapat mempunyai Hak Milik (Pasal 21
ayat (1) UUPA).
2. Badan – badan hukum
Pemerintah menetapkan badan – badan hukum yang dapat mempunyai Hak
Milik dan syarat – syaratnya (Pasal 21 ayat (2) UUPA).
Bagi pemilik tanah yang tidak memenuhi syarat sebagai subjek hak milik
atas tanah, maka dalam waktu 1 tahun harus melepaskan atau mengalihkan hak
milik atas tanahnya kepada pihak lain yang memenuhi syarat. Apabila hal ini tidak
dilakukan, maka tanahnya hapus karena hukum dan tanahnya kembali menjadi
tanah yang dikuasai langsung oleh negara (Pasal 21 ayat (3) dan ayat (4) UUPA).
Terjadinya Hak Milik
Hak Milik atas tanah dapat terjadi melalui 3 cara sebagaimana yang
disebutkan dalam Pasal 22 UUPA, yaitu :
1. Hak Milik atas tanah yang terjadi menurut hukum adat
Hak Milik atas tanah terjadi dengan jalan pembukaan tanah (pembukaan
hutan) atau terjadi karena timbulnya lidah tanah (Aanslibbing) 9
9
Lidah tanah (Aanslibbing ) adalah tanah yang timbul atau muncul karena berbeloknya arus
sungai atau tanah di pinggir pantai dan terjadi dari lumpur, lumpur tersebut makin lama makin
tinggi dan mengeras sehingga akhirnya menjadi tanah.
30
2. Hak Milik atas tanah terjadi karena penetapan pemerintah
Hak Milik atas tanah yang terjadi disini semula berasal dari tanah negara.
3. Hak Milik atas tanah terjadi karena ketentuan undang – undang
Hak Milik
atas
tanah
ini
terjadi karena
undang-undanglah
yang
menciptakannya, sebagaimana yang diatur dalam Pasal I, Pasal II dan Pasal
VII ayat (1) Ketentuan – ketentuan Konversi UUPA.
Hak Milik atas tanah juga dapat terjadi melalui 2 cara, yaitu :
1. Secara Originir
Terjadinya hak milik atas tanah untuk pertama kalinya menurut hukum adat,
penetapan pemerintah dan karena undang – undang.
2. Secara Derivatif
Suatu subjek hukum memperoleh tanah dari subjek hukum lain yang semula
sudah berstatus tanah Hak Milik, misalnya jual beli, tukar-menukar, hibah
dan pewarisan.
Hapusnya Hak Milik
Pasal 27 UUPA menetapkan faktor – faktor penyebab hapusnya hak milik
atas tanah Hak Milik atas tanah dan tanahnya jatuh kepada Negara, yaitu :
1. Karena pencabutan hak berdasarkan Pasal 18 10
2. Karena penyerahan dengan sukarela oleh pemiliknya
3. Karena ditelantarkan
10
Pasal 18 UUPA 1960 menyebutkan bahwa untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan
bangsa dan negara serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut,
dengan memberi ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur dengan undang-undang.
31
4. Karena subjek haknya tidak memenuhi syarat sebagai subjek Hak Milik atas
tanah
5. Karena peralihan hak yang mengakibatkan tanahnya berpindah kepada pihak
lain tidak memenuhi syarat sebagai subjek Hak Milik atas tanah.
2.7. Distribusi Kepemilikan Lahan
Menurut Warsito (1982), distribusi dapat diartikan sebagai penyebaran
baik pemilikan maupun penguasaan pada berbagai golongan pemilikan dan
penguasaan. Variabel ini dipergunakan untuk melihat sejauh mana pemilikan
tanah menyebar diantara pemilik tanah. Pemilikan dalam hal ini diartikan sebagai
pemilik tanah secara de jure, termasuk di dalamnya tanah milik yang sedang
disewakan dan disakapkan. Berdasarkan pada data penelitian oleh SAE dalam
penelitian Intensifikasi Padi Sawah (IPS) menunjukkan bahwa distribusi
pemilikan sawah di desa – desa penelitian sangat timpang. Hampir semua desa itu
indeks gini11 menunjukkan angka di atas 0,60 (Wiradi dan Makali, 1984).
11
Indeks gini adalah salah satu alat ukur distribusi, yaitu angka yang menunjukkan rasio antar luas
busur dan luas segitiga dalam kurva Lorenz. Angka itu berkisar antara 0 sampai 1 . Angka 0 = rata
sempurna, artinya seluruh luas tanah terbagi rata diantara rumah tangga di desa dengan masingmasing mempunyai luas yang sama. Angka = 1 timpang mutlak, artinya satu orang memiliki
seluruh tanah di desa.
32
2.8. Rumus-Rumus Ukuran Kemerataan
Menurut Sigit (1980), pengukuran tingkat ketidakmerataan dapat dilihat
dengan berbagai cara. Cara statistik yang dikembangkan untuk mengukur dispersi
pada prinsipnya untuk hal – hal tertentu dapat digunakan untuk pengukuran
penyebaran atau kemerataan seperti pendapatan dan pemilikan lahan. Terdapat
beberapa rumus yang dapat digunakan untuk mengetahui ukuran pemerataan.
Beberapa cara yang lazim dipakai antara lain Gini Ratio, Kuznet’s Index dan
perhitungan Bank Dunia. Untuk mengetahui keadaan distribusi kepemilikan
lahan, disini harus
dipergunakan beberapa nilai, walaupun demikian dengan
sedikit penyesuaian cara ini dapat dipakai untuk mengetahui keadaan kepemilikan
suatu kelompok tertentu, yang menjadi perhatian biasanya adalah kelompok kelas
atas atau juga kelompok kelas bawah.
Perhitungan Bank Dunia
Bank Dunia beranggapan bahwa penyebab ketidakmerataan adalah karena
penduduk kelompok bawah menerima pendapatan sangat rendah. Perhitungan
Bank dunia ini juga dapat digunakan untuk menghitung distribusi pemilikan
lahan. Bank Dunia mengambil kriteria sebagai berikut :
Tingkat ketidakmerataan tinggi bila 40 persen penduduk terbawah
menerima jumlah pendapatan lebih kecil dari 12 persen dari seluruh
jumlah pendapatan, sedang jika share pendapatan antara 12-17 persen
dinamakan Tingkat Ketidakmerataan Sedang, dan jika lebih dari 17
persen Tingkat Ketidakmerataan Rendah.
33
Kuznet’s Index (KI)
Kuznet’s
lebih
melihat pada kelompok
atas
sebagai penyebab
ketidakmerataan. Karena itu persentase jumlah pendapatan kelompok 10 persen
teratas dipakai sebagai kriterium ketidakmerataan. Kuznet’s Indeks juga dapat
digunakan untuk mengukur distribusi pemilikan lahan. Kuznet’s Index dihitung
k
dengan rumus : KI = Σ fi – yi
I=1
Dimana fi = proporsi jumlah rumah tangga/penduduk dalam kelas pendapatan i
yi = proporsi jumlah pendapatan dari rumahtangga/penduduk dalam kelas
pendapatan i
k = jumlah kelas
Jika distribusi merata sekali, maka fi = yi untuk semua kelas pendapatan,
sehingga KI = 0 dan keadaan ekstrim yaitu jika seluruh pendapatan hanya
diterima oleh satu orang atau satu kelompok. Nilai KI mendekati 2.
Gini Coefficient (GC)
Gini Coefficient (GC) digunakan untuk menunjukkan suatu distribusi
secara menyeluruh yang dapat dihitung dengan rumus :
GC = 1 –
k
Σ
I =1
fi ( yi* + yi* -1)
Dimana : yi * = proporsi secara kumulatif dari jumlah pendapatan rumah tangga
sampai kelas ke i
fi = proporsi jumlah rumah tangga dalam kelas ke i
k = jumlah kelas
34
2.9. Hasil-Hasil Penelitian Terdahulu
Beberapa peneliti telah melakukan penelitian masalah agraria antara lain :
Mohammad Tauchid, (1952), Tashadi (1985), Sanggar Kanto (1986), Frans
Husken (1998), serta Benjamin White dan Gunawan Wiradi (1979). Tauchid
(1952), membahas mengenai sistem tenurial pada masa pemerintahan Inggris.
Pada masa itu, konsep feodal mengatur masalah pertanahan dan sistem tenurial di
Indonesia. Menurut konsep feodal, yang berkuasa atas tanah adalah kaum
bangsawan di Inggris dan orang biasa hanya dapat menjadi penyewa. Pada masa
pemerintahan Rafless, sistem penarikan pajak bumi adalah 2/5 dari hasil dengan
dasar semua tanah adalah milik raja atau pemerintah. Rafles menarik sewa tanah
atas dasar tanah yang ditangan rakyat semuanya adalah milik raja. Berdasarkan
hasil penelitian diketahui bahwa tanah di Jawa adalah milik raja, maka karena
kekuasaan raja pindah ke tangan kekuasaan yang baru (Inggris), maka kekuasaan
yang tidak terbatas itu pindah tangan. Pada masa itu, pemilikan dan penguasaan
tanah sebagian besar cenderung komunal, walaupun juga terdapat sistem
perseorangan.
Tashadi (1985) yang meneliti pola penguasaan, pemilikan dan penggunaan
tanah secara tradisional di daerah Yogyakarta berpendapat bahwa sistem tenurial
di Daerah Istimewa Yogyakarta dikaji melalui pranata-pranata pemilikan, religi,
ekonomi, maupun hukum adat adalah berbentuk feodal pada mulanya dan
kemudian berbentuk sebagai tanah komunal dan hak milik perseorangan. Sistem
tenurial di Yogyakarta segalanya berorientasi kepada raja. Sebelum tahun 1918,
menunjukkan sistem tenurial di Yogyakarta adalah bersifat feodal. Semua tanah
35
yang ada adalah milik raja atau sultan. Hal tersebut ditandai dengan berkuasanya
para patuh dan bekel atas tanah-tanah raja dan rakyat sebagai penggarapnya yang
tidak mempunyai hak apa – apa atas tanah yang digarapnya. Adapun pembagian
tanah di Yogyakarta adalah sebagai berikut; 1/5 untuk bekel, 2/5 untuk patuh dan
2/5 untuk rakyat.
Akan tetapi sejak tahun 1918, dengan diberlakukannya Rijksblad
Kasultanan No. 16 tahun 1918 maka terhapuslah kekuasaan para patuh dan bekel
atas tanah milik raja. Berdasarkan pada pasal 4 Rijksblad Kasultanan No. 16 tahun
1918, para pemakai tanah diberi kesempatan sebagai pemakai tanah dengan hak
anganggo turun – temurun. Sejak tahun 1926 berdasarkan peraturan yang berlaku
saat itu (UU. No. 23 dan UU. No. 25 tahun 1926), tanah yang menjadi milik dan
kuasa pemerintah kalurahan dijadikan tanah desa untuk kepentingan bersama.
Demikianlah, sejak tahun 1926 maka sistem tenurial di Yogyakarta adalah bersifat
komunal untuk kepentingan bersama.
Dalam perkembangannya, diberlakukan Perda No. 5 tahun 1954 tentang
hak atas tanah di Yogyakarta. Di dalam pasal – pasal Perda tersebut menyatakan
bahwa DIY memberi hak – hak milik perorangan turun – temurun atas sebidang
tanah kepada WNI, selanjutnya disebut hak milik. Berdasarkan Perda tersebut
sistem tenurial di Yogyakarta setelah terbentuknya Daerah Istimewa Yogyakarta
dengan UU. No. 3 tahun 1950 adalah bersifat kepentingan bersama (tanah
komunal) dan juga bersifat untuk kepentingan perseorangan.
Kanto (1986) membahas mengenai struktur penguasaan tanah dan
hubungan kerja agraris di daerah pedesaan Jawa Timur, kasus di Desa Janti,
36
Kabupaten Sidoarjo. Di Desa Janti, terdapat dua bentuk sistem tenurial
(penguasaan tanah) yang berlaku yaitu sistem sewa dan sistem sakap. Penyewaan
tanah sawah dapat terjadi antara petani dengan petani dan antara petani dengan
pabrik gula. Penyewaan tanah banyak dilakukan oleh golongan petani luas dan
petani sedang yakni masing – masing sebesar 37,5 persen dan golongan petani
sempit sebesar 25 persen, sedangkan petani yang menyewakan tanahnya adalah
petani sempit. Arus tanah garapan dengan sistem sewa antar petani mengalir dari
banyak petani sempit kepada sedikit petani luas, artinya sistem sewa menunjukkan
gejala pengumpulan tanah garapan. Penyewa tanah adalah golongan yang mampu,
sedangkan yang menyewakan tanah adalah golongan rumah tangga miskin yang
menyewakan tanahnya karena terdesak untuk mencukupi kebutuhan hidupnya
sehari – hari. Sedangkan arus tanah garapan dengan sistem sakap terjadi antara
petani luas dengan petani sedang dengan sistem maro.
Sementara itu Husken (1998) membahas akses ke lahan dan tenaga kerja :
dasar – dasar diferensiasi sosial. Dalam penelitiannya disebutkan bahwa menurut
Husken 1988, di Desa Gondosari sistem tenurialnya dikuasai oleh tuan – tuan
tanah yang memiliki lahan – lahan luas. Akan tetapi, sejak adanya peraturan
mengenai pemilikan tanah setiap orang tidak boleh lebih dari 5 ha. Oleh karena
itu, para tuan tanah tersebut mendaftarkan tanah – tanah mereka atas nama
anggota – anggota keluarganya sendiri untuk menghindari ketentuan UndangUndang Landreform yang menetapkan batas maksimum 5 hektar tanah yang boleh
dimiliki seorang penduduk.
37
Kondisi Desa Gondosari yang seperti itu mengakibatkan sistem
penguasaan lahannya menganut sistem sewa dan sistem sakap. Di Desa Gondosari
pada tahun 1976, seperenam dari seluruh lahan pertanian di desa itu; sebanyak 78
keluarga ketika itu menyewakan tanah yang seluruhnya meliputi 44 hektar tanah
dan 15 hektar tanah tegalan. Orang yang menyewa tanah terutama adalah anak –
anak dan menantu dari kelompok elite setempat yang terdiri dari anggota
pemerintahan desa dan beberapa petani kaya. Menyewa tanah pun merupakan
suatu bentuk investasi modal: si penyewa tidak mengerjakan sendiri tanah itu,
tetapi menyuruh si pemilik tanah mengerjakannya berdasarkan bagi hasil.
Terdapat 48 persen sawah dan 60 persen tegalan di Gondosari dikerjakan
oleh para petani bagi hasil. Bagi hasil bukan saja berarti hubungan kontrak antara
dua pihak mengenai pengolahan tanah dan pemberian tenaga kerja. Di Gondosari,
bagi hasil mengandung pengertian pelaksanaan pola hubungan abdi – majikan
yang unsur – unsurnya tidak tertulis tetapi berjalan seperti sesuatu yang sudah
semestinya. Si penggarap serta keluarganya sering melakukan kerja ekstra tanpa
bayar di dalam dan di luar rumah majikan.
Benjamin White dan Gunawan Wiradi (1979), mengkaji perubahan pola
penguasaan atas tanah selama 100 tahun terakhir. Pada 110 tahun lalu (dihitung
berdasarkan tahun penelitian yaitu 1975), bentuk dasar penguasaan tanah di
daerah Priangan dan Cirebon adalah tanah sawah berstatus hak milik perorangan;
disana sistem penguasaan komunal tidak pernah diketahui. Sebaliknya di daerah
karesidenan Cirebon, sistem penguasaan komunal terdapat hampir di semua desa.
Sementara itu, di seluruh Jawa hampir 60 persen dari desa yang ada mengenal
38
sistem komunal, sehingga dapat disimpulkan bahwa kedua daerah Priangan dan
Cirebon merupakan dua ekstrim dari sistem penguasaan tanah. Priangan lebih
individual dan Cirebon lebih komunal, jika dibandingkan dengan keadaan ratarata di Jawa. Pada akhir abad ke – 19 kebanyakan dari tanah komunal sudah
merupakan tanah yang dikuasai secara tetap, sedangkan tanah komunal yang
dibagikan bergilir secara periodik semakin kecil jumlahnya di beberapa daerah
Jawa Barat.
Aspek lain dari ciri komunal dalam penguasaan tanah adalah adanya tanah
yang dimiliki bersama oleh masyarakat desa, tetapi digunakan dengan tujuan
tertentu untuk dipakai oleh lurah dan pamong-pamong desa lainnya sebagai
“gaji”nya (tanah bengkok) atau sebagai sumber pendapatan desa (tanah titisara
atau kas desa). Daerah Cirebon memiliki tanah bengkok yang luar biasa luasnya.
Antara tahun 1868 – 1975, telah terjadi perubahan mengenai prorposi desa di
daerah DAS Cimanuk yang mempunyai tanah bengkok tetapi, hampir semua desa
mempunyai tanah bengkok. Di daerah Priangan tanah bengkok sudah lebih umum
daripada dahulu. Jadi, pada tahun 1975 perbedaan antara kedua daerah tersebut
tidak begitu nyata lagi.
Penyebaran penguasaan tanah tanah relatif merata di daerah Cirebon dan
Majalengka, dalam arti proporsi pemilik kecil (dibawah 0,7 ha) relatif besar,
sedangkan proporsi pemilik luas (diatas 1,4 ha) yang relatif kecil. Pada daerah
Indramayu, Sumedang dan Garut sebaliknya, terdapat proporsi pemilik luas yang
relatif besar.
39
Pada awal abad ke – 20, di daerah Priangan penimbunan penguasaan atas
tanah – tanah luas oleh golongan – golongan tuan tanah bukan hanya melalui
pemilikan, tetapi juga dengan cara penyewaan atau penggadaian yang
memberikan suatu penguasaan de facto atas tanah. Pemilikan tanah luas tentu
tidak mengakibatkan usaha – usaha tani luas. Tanah – tanah yang dikuasai oleh
golongan pemilik luas disewakan atau dibagihasilkan kepada penggarap –
penggarap lain. Dari segi ekonomi pertanian, pola usaha tani kecil-kecilan tetap
bertahan. Jadi, konsentrasi pemilikan lahan disertai dengan tingkat penyakapan
yang tinggi.
Di Das Cimanuk, sistem bagi hasil seperti maro dan mertelu cenderung
menurun, sedangkan sistem kedokan atau ceblokan cenderung naik. Di desa
Cirebon, sistem bagi hasil hanya terjadi pada musim kemarau. Para penguasa
tanah luas tidak mau membagi – hasilkan sawahnya pada waktu musim hujan.
Sementara itu, buruh tani hanya bersedia bekerja pada para penguasa tanah luas
dengan syarat agar mereka diberi hak menggarap dengan cara bagi hasil pada
musim kemarau. Guna menjamin ada tenaga kerja paa musim hujan, maka para
penguasaan tanah luas menyetujui permintaan buruh tani tersebut. Di daerah
Cirebon, kedudukan buruh relatif kuat, namun kedudukan tersebut bersifat
temporer.
Berdasarkan sensus pertanian tahun 1993 dalam Laudjeng dan Arimbi
(1997), menyebutkan mengenai data distribusi kepemilikan lahan yaitu ; terdapat
19.713.806 Rumah Tangga Petani Pengguna Lahan (RTPPL). Dari jumlah
tersebut 18.968.065 Rumah Tangga adalah petani pemilik tanah, dengan total
40
pemilikan 15.600.246,01 ha atau rata-rata 0,82 ha setiap keluarga petani.
Sedangkan sisanya sebanyak 745.741 adalah Rumah Tangga Petani yang tidak
memiliki tanah atau menggarap tanah milik orang lain (Lihat Tabel 1). Pemilikan
lahan pertanian dikalangan rumah tangga petani (RTP), juga diwarnai dengan
ketimpangan. Karena sebanyak kurang lebih 70 persen RTPL hanya memiliki
sekitar 18 persen dari lahan pertanian yang dimiliki oleh RTP. Sebaliknya sekitar
1,5 persen petani kaya memiliki sekitar 12,5 persen dari lahan yang dimiliki RTP.
Tabel 1. Struktur Pemilikan Tanah di Kalangan Rumah
Tahun 1993.
Golongan Luas Lahan
Jumlah Rumah
yang Dimiliki
Tangga Pemilik
<0,05 - 0,99
13.321.305
1,00 - 4,99
5.378.779
5,00 - 6,00
267.925
Tidak tercatat
56
Jumlah
18.968.065
Tangga Petani Menurut Sensus Pertanian
Tanah yang
Dimiliki
4.362.355,71
9.308.410,98
1.929.479,32
15.600.246,01
Rata-rata
0,33
1,73
7,20
-
Sumber : Sensus Pertanian Indonesia 1993
2.10. Kerangka Pemikiran
Pada bagian ini akan dibahas kerangka berpikir dari distribusi kepemilikan
lahan dan sistem tenurial yang dominan di pedesaan. Bagi petani, lahan
mempunyai arti yang sangat penting. Dari situlah mereka dapat mempertahankan
hidup bersama keluarganya, melalui kegiatan bercocok tanam dan beternak.
Karena lahan merupakan faktor produksi dalam berusahatani, maka keadaan
status penguasaan terhadap lahan khususnya sawah tersebut menjadi sangat
penting. Ini berkaitan dengan besar kecilnya bagian yang akan diperoleh dari hasil
usahataninya (Sutisna, 2001).
Konsep
struktur agraria erat kaitannya dengan distribusi kepemilikan
lahan dan sistem tenurial. Karena struktur agraria adalah suatu fakta yang
41
menunjuk kepada fakta kehadiran minoritas golongan atau lapisan sosial yang
menguasai lahan yang luas di satu pihak dan mayoritas golongan yang menguasai
hanya sedikit atau bahkan tanpa tanah sama sekali di lain pihak (Tjondronegoro,
1999)
Kepemilikan lahan dapat diperoleh dari warisan dan transaksi jual beli.
Dalam distribusi kepemilikan lahan sawah, terdapat golongan luas kepemilikan
lahan sawah. Pada setiap golongan luas kepemilikan lahan sawah tersebut, dalam
pengelolaan lahannya menerapkan sistem tenurial tertentu. Sistem tenurial
merupakan pola penguasaan lahan yang didalamnya meliputi hubungan sewa,
sakap dan gadai serta bentuk – bentuk pemilikan tanah secara komunal maupun
perseorangan. Pola penguasaan lahan dapat diketahui dari pemilikan lahan dan
bagaimana tanah tersebut diakses oleh orang lain.
Menurut Wiradi dan Makali (1984), sistem sewa adalah penyerahan
sementara hak penguasaan tanah kepada orang lain, sesuai dengan perjanjian yang
dibuat bersama oleh pemilik dan penyewa. Di desa – desa penelitian di Jawa ada
enam macam istilah sewa yaitu motong, kontrak, sewa tahunan, setoran, jual
oyodan dan jual potongan. Gadai menurut Imam Sudiyat (1978) dalam Wiradi dan
Makali (1984) adalah menyerahkan tanah untuk menerima pembayaran sejumlah
uang secara tunai, dengan ketentuan si penjual tetap berhak atas pengembalian
tanahnya dengan jalan menebusnya kembali. Menurut Manuwotto (1995), sistem
gadai biasanya terjadi ada kaitannya dengan utang piutang yang diberi agunan
(borg) tanah pertanian.
42
Hak sakap adalah hak seseorang untuk mengusahakan tanaman di atas
tanah orang lain dengan perjanjian bahwa hasilnya dibagi antara kedua belah
pihak berdasarkan persetujuan bersama. Sistem sakap dimungkinkan apabila ada
pemilikan tanah yang luas disatu pihak, sedangkan dipihak lain banyak penggarap
yang tidak mempunyai tanah sendiri (Soentoro 1981 dalam Kanto, 1986).
Meluasnya pemilik tanah pertanian oleh bukan petani dan oleh mereka yang tidak
tinggal dengan lokasi tanah, mendukung dipraktekannya sistem sakap atau bagi
hasil (Kanto, 1986).
Terdapat beberapa jenis sistem bagi hasil dan sewa-menyewa di pedesaan
Jawa Barat (Kroef, 1984); Mertelu, pemilik tanah menanggung biaya benih dan
memungut 2/3 hasil panen, sisanya merupakan hak penyewa atau penyakap;
Merapat, persyaratannya sama dengan diatas kecuali bahwa pemilik tanah
mendapat ¾ bagian hasil panen dan bagian untuk penyakap; Nyeblok atau ngepak.
Dalam hal ini penggarap melakukan semua pekerjaan dan membajak, menyiang
sampai menanam. Kemudian pemilik tanah mengambil alih pekerjaan. Penggarap
menerima 1/5 hasil panen; Derep, penggarap atau buruh terutama menanam padi,
tetapi dapat diminta membantu pekerjaan lain sampai panen tiba. Bagian buruh
adalah 1/5 padi bulir, tetapi bilamana hasilnya jelek bagiannya dapat berkurang;
Gotong royong, suatu kegiatan yang biasanya mengikutsertakan anggota keluarga
saja. Penggarap mendapat bagian yang telah ditentukan sebelumnya sesuai dengan
kebiasaan. Sementara itu maro adalah salah satu bentuk dari penyakapan dengan
sistem dimana 50 persen hasil untuk penggarap dan 50 persen untuk pemilik.
Berdasarkan pada beranekaragamnya bentuk penguasaan lahan tersebut, maka
43
pada penelitian ini akan diketahui sistem tenurial yang dominan diterapkan di
wilayah desa – kota.
Dalam perkembangannya, sistem tenurial mengalami perubahan pada segi
penerapan dan kecenderungannya. Awal abad ke – 20 kepemilikan lahan di
pedesaan Jawa cenderung komunal, namun pada saat sekarang ini kepemilikan
komunal jarang dijumpai. Kepemilikan lahan menjadi cenderung perseorangan.
Selain itu, dari segi penguasaan lahan pada saat sekarang ini secara garis besar,
lebih cenderung menerapkan sistem sewa. Perubahan tersebut disebabkan oleh
masuknya kapitalisme dan komersialisasi pertanian di pedesaan. Khusus
mengenai terjadinya kapitalisme dan komersialisasi pertanian di pedesaan, tidak
menjadi fokus kajian pada penelitian ini.
44
Struktur Agraria :
hubungan kepemilikan dan pola
penguasaan lahan
Sejarah Kepemilikan Lahan :
 Waris
 Jual beli
Distribusi Kepemilikan
Lahan
Kapitalisme dan
komersialisasi
Sistem Tenurial :
Pola penguasaan sawah;
Sewa (motong, kontrak,
sewa tahunan, setoran, jual
oyodan dan jual potongan);
Bagi hasil atau sakap
(mertelu, merapat, gotong
royong, derep, nyeblok atau
ngepak, maro); Gadai
Pemilikan komunal
Pemilikan perseorangan
Penduduk
Sistem tenurial dominan
Gambar 2. Kerangka Pemikiran
Keterangan
:
Kuantitatif
Berpengaruh
Bukan fokus penelitian
45
2.11. Hipotesis Pengarah
Berdasarkan uraian mengenai konsep agraria, sistem tenurial, konsep hak
penguasaan tanah, hak milik, dan telusuran beberapa hasil penelitian yang terkait
dengan topik agraria, maka dalam penelitian ini dibangun beberapa hipotesa
pengarah yang berkaitan dengan distribusi kepemilikan lahan sawah dan sistem
tenurial di Desa Cibatok 1, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor, Propinsi
Jawa Barat. Adapun hipotesis – hipotesis tersebut adalah sebagai berikut :
1. Pada distribusi kepemilikan lahan terdapat golongan petani yang didasarkan
pada luas kepemilikan lahannya yaitu petani kaya (≥1 ha), petani menengah
(0,500-0,999 ha), petani miskin ( 0,001-0,499) dan tunakisma (0 ha).
2. Transfer kepemilikan lahan pertanian diperoleh dari proses waris dan jual beli
yang kemudian disertai dengan dimilikinya formalisasi berupa sertifikat atau
surat kepemilikan lahan pertanian.
3. Terdapat beberapa jenis sistem tenurial antara lain sewa, bagi hasil, dan
gadai, dengan tendensa pergeseran sistem tenurial ke bentuk sewa yang lebih
komersial.
46
2.12. Batasan Operasional
1. Petani adalah penduduk yang mempunyai penguasaan dalam bentuk tertentu
atas tanah pertanian, terlibat dalam hubungan penguasaan, pemilikan dan
pemanfaatan. 12
2. Struktur agraria adalah pola hubungan antar subjek agraria dengan objek
agraria dan antara sesama subjek agraria dalam hal pemilikan dan penguasaan
onjek agraria khususnya lahan sawah.
3. Hak Milik adalah hak seseorang atas lahan yang dapat diperoleh secara turun
– temurun, terkuat dan terpenuh.
4. Distribusi kepemilikan lahan sawah adalah penyebaran strata luas pemilikan
lahan sawah yang diukur melalui adanya golongan petani kaya (≥1 ha),
petani menengah (0,500 – 0,999 ha), petani miskin ( 0,001 – 0,499) dan
tunakisma (0 ha) di pedesaan13.
5. Sistem tenurial merupakan pemilikan tanah, penguasaan tanah yang
didalamnya meliputi hubungan sewa, sakap dan gadai serta bentuk-bentuk
pemilikan tanah secara komunal maupun perseorangan.
6. Pemilikan tanah adalah penguasaan formal yang dimiliki seseorang atas
tanah, yakni hak yang sah untuk menggunakan, mengolah, menjual dan
12
Diperoleh dari batasan operasional skripsi milik Andhini Fajryah Nuroni yang berjudul “Sistem
Penguasaan Tanah dan Peran Tanah Bagi Petani Miskin”. 2006. IPB
13
Diperoleh dari tesis milik Kliwon Hidayat yang berjudul “Struktur Penguasaan Tanah dan
Hubungan Kerja Agraris Di Desa Jatisari, Lumajang, Jawa Timur.” 1985. Fakultas Pasca Sarjana.
Institut Pertanian Bogor.
47
memanfaatkannya yang dapat diperoleh dari warisan maupun transaksi jual
beli.
7. Penguasaan tanah adalah suatu bentuk penguasaan tanah sementara, dalam
bentuk memakai, memanfaatkan, mengelola tanah bukan miliknya yang
didapatkan melalui gadai, sewa dan bagi hasil.
8. Sakap atau bagi hasil adalah suatu sistem untuk mengusahakan tanaman di
atas tanah orang lain dengan perjanjian bahwa hasilnya dibagi antara kedua
belah pihak berdasarkan persetujuan bersama, yang antara lain terdiri dari
maro, mertelu, merapat, gotong royong, derep, nyeblok atau ngepak.
9. Maro adalah salah satu dari bentuk sistem sakap dimana antara pemilik dan
penggarap mendapatkan hasil panen dengan perbandingan 1:1
10. Mertelu adalah salah satu dari bentuk sistem sakap dimana pemilik
memungut 2/3 hasil panen, sisanya merupakan hak penyewa atau penyakap
11. Merapat, persyaratannya sama dengan diatas kecuali bahwa pemilik tanah
mendapat ¾ bagian hasil panen dan bagian untuk penyakap.
12. Nyeblok atau ngepak. Dalam hal ini penggarap melakukan semua pekerjaan
dari mulai membajak, menyiang sampai menanam. Kemudian pemilik tanah
mengambil alih pekerjaan. Penggarap menerima 1/5 hasil panen.
13. Derep, penggarap/buruh terutama menanam padi, tetapi dapat diminta
membantu pekerjaan lain sampai panen tiba. Bagian buruh adalah 1/5 padi
bulir, tetapi bilamana hasilnya jelek bagiannya dapat berkurang.
48
14. Gotong royong, suatu kegiatan yang biasanya mengikutsertakan anggota
keluarga saja. Penggarap mendapat bagian yang telah ditentukan sebelumnya
sesuai dengan kebiasaan.
15. Sewa adalah penyerahan sementara hak penguasaan tanah kepada orang lain,
sesuai dengan perjanjian, dibuat bersama oleh pemilik dan penyewa yang
antara lain berbentuk motong, kontrak, setoran (dimana ketiga jenis sewa
tersebut harga sewanya dibayar setelah panen). Sementara itu, jual oyodan
atau jual potongan dan sewa tahunan harga sewa dibayar sebelum penyewa
menggarap .
16. Gadai adalah penyerahan hak atas sebidang tanah kepada orang lain untuk
menerima pembayaran sejumlah uang secara tunai, dengan ketentuan si
penjual tetap berhak atas pengembalian tanahnya dengan jalan menebusnya
kembali.
17. Pemilik penggarap murni adalah rumah tangga petani pemilik tanah yang
menggarap sendiri tanahnya dan tidak menggarap lahan milik orang lain.
18. Pemilik penggarap penyewa adalah rumah tangga petani pemilik tanah yang
menggarap sendiri tanahnya dan menggarap tanah yang disewa dari orang
lain.
19. Pemilik penggarap penyakap adalah rumah tangga petani pemilik yang
menggarap sendiri tanahnya dengan menggunakan tenaga kerja dalam rumah
tangga dan atau tenaga kerja luar rumah tangga, menyewa dan menyakap
tanah orang lain.
49
20. Penyewa murni adalah rumah tangga petani yang tidak memiliki tanah, yang
menyewa tanah orang lain, menggarap sendiri dengan menggunakan tenaga
kerja dalam rumah tangganya.
21. Penyakap murni adalah rumah tangga petani yang tidak memiliki tanah, yang
menyakap tanah orang lain, menggarap sendiri dengan menggunakan tenaga
kerja dalam rumah tangga.
22. Pemilik bukan penggarap adalah rumah tangga yang memiliki tanah tetapi
tidak menggarap sendiri tanahnya secara langsung, karena tanahnya tersebut
dikuasakan kepada orang lain melalui bagi hasil dan atau sewa.
23. Petani tunakisma adalah rumah tangga petani yang tidak memiliki tanah dan
tidak memiliki tanah garapan, baik melalui mekanisme penyakapan maupun
penyewaan.
24. Mata pencaharian adalah aktivitas atau kegiatan yang dilakukan seseorang
untuk mendapatkan penghasilan.
50
III. METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dan pendekatan
kuantitatif. Pendekatan kualitatif yang digunakan bersifat naturalistik karena tidak
memanipulasi “ajang” (Taylor dan Bogdan, 1984:5-8; Patton, 1990: 39-63;
Denzin dan Lincoln, 1994: 4-6; Guba dan Lincoln, 1994:105-7) dalam Sitorus,
1998.
Penelitian
ini
bertujuan
eksploratif
karena
untuk
menjelaskan
“apa/bagaimana peristiwa atau gejala sosial yang terjadi” (Sitorus, 1998). Pada
penelitian ini, pendekatan kualitatif dipilih karena dianggap sesuai untuk
memberikan penjelasan mengenai penerapan sistem tenurial di pedesaan.
Strategi penelitian kualitatif yang digunakan pada penelitian ini adalah
studi kasus. Studi kasus adalah memilih satu kejadian atau gejala untuk diteliti
dengan menerapkan berbagai metode (Stake, 1994:236 dalam Sitorus, 1998).
Pemilihan strategi tersebut karena terkait dengan tujuan penelitian ini yaitu
eksplorasi. Ekplorasi dimaksudkan untuk meneliti gejala yang belum banyak
dimengerti (Marshall dan Rossman 1989:78 dalam Sitorus 1998). Penelitian ini
merupakan studi pada aras mikro yaitu menyoroti satu kasus mengenai sistem
tenurial di pedesaan. Selain itu, dalam penelitian ini juga digunakan metode
triangulasi. Metode triangulasi adalah penggunaan sejumlah metode dalam suatu
penelitian (Denzin 1970: 301-10 dalam Sitorus 1998). Beberapa metode yang
digunakan antara lain wawancara mendalam, observasi lapang, dan analisis
dokumen.
51
Tipe studi kasus yang digunakan adalah tipe intrinsik. Studi kasus intrinsik
adalah studi yang dilakukan karena peneliti ingin mendapatkan pemahaman yang
lebih baik tentang suatu kasus (Stake, 1994: 237 dalam Sitorus 1998). Studi kasus
tipe intrinsik dilakukan karena penelitian ini bertujuan untuk memahami satu
kasus14. Selain itu, ingin mendapatkan pemahaman yang lebih baik tentang
penerapan sistem tenurial di pedesaan.
Sementara itu, pendekatan kuantitatif digunakan untuk mencari informasi
faktual secara mendetail yang sedang menggejala dan mengidentifikasi masalahmasalah atau untuk mendapatkan justifikasi keadaan dan kegiatan – kegiatan yang
sedang berjalan (Wahyuni dan Mulyono, 2006). Pendekatan tersebut khusus
diterapkan untuk memperoleh data distribusi kepemilikan lahan.
3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di daerah pedesaan, tepatnya di Desa Cibatok 1 ,
Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa Barat. Satuan
wilayah yang diteliti dalam penelitian adalah RW 5 dan RW 6 yang secara
administratif masuk kedalam Dusun 3 (Lampiran 1 dan 2 ). Lokasi ini dipilih
secara sengaja dengan pertimbangan sebagai berikut :
1. Lokasi penelitian merupakan wilayah dusun pedesaan yang mudah dijangkau
2. Komunitas Desa Cibatok 1 adalah komunitas desa agraris, karena luas tanah
pertanian yang diusahakan penduduk adalah 60 persen yaitu sekitar 100 ha.
14
Diperoleh dari slide Mata Kuliah MPK oleh Ivanovich Agusta , Msi. Pada 30 Maret 2007.
52
3. Terdapat beberapa kategori petani (minimal pemilik tanah, penggarap dan
buruh tani)
Penelitian ini dilaksanakan selama 2 bulan, dimulai dari bulan April 2008
– Juni 2008. Rincian rencana kegiatan yang dilakukan antara lain proses
penyusunan proposal dan kolokium dilaksanakan pada bulan April, studi lapang
atau pengambilan data di lapangan dilaksanakan pada bulan April hingga Mei.
Kemudian, proses penulisan laporan hasil penelitian dilaksanakan pada bulan Juni
sampai bulan Juli. (Lampiran 3.)
3.3. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah
pengambilan data primer dan sekunder, wawancara mendalam kepada responden
dan informan, melakukan pengamatan berperanserta secara langsung di lapangan
dan penyebaran kuesioner. Pengumpulan data yang dilakukan untuk setiap data
yang diperoleh dari beberapa sumber data. Instrumen yang digunakan dalam
penelitian sebagai alat bantu pengumpulan data adalah peneliti itu sendiri yang
mencatat semua uraian perkataan tineliti tentang identitas, hal-hal yang
menyangkut pandangan, sikap, pendapat masyarakat yang berkaitan dengan
sistem tenurial, pedoman wawancara dan kuesioner.
Wawancara mendalam dimaksudkan adalah “temu muka berulang antara
peneliti dan tineliti dalam rangka memahami pandangan tineliti mengenai
hidupnya, pengalamannya ataupun situasi sosial sebagaimana ia ungkapkan dalam
bahasanya sendiri” (Taylor dan Bogdan, 1984:77 dalam Sitorus 1998).
53
Wawancara mendalam dilakukan dengan menggunakan panduan pertanyaan yang
dilakukan kepada subyek penelitian serta informan. Panduan pertanyaan tersebut
berkenaan dengan hal-hal yang ada kaitannya dengan topik penelitian yaitu
Distribusi Kepemilikan Lahan dan Sistem Tenurial.
Pengamatan dilakukan agar peneliti dapat melihat, merasakan dan
memaknai gejala sosial yang terjadi pada dunia tineliti sehingga dapat
memungkinkan pembentukan pengetahuan secara bersama antara peneliti dan
tineliti. Analisis data sekunder yang dilakukan adalah dengan mengambil datadata dari penelitian sebelumnya dan dari dokumen atau arsip desa. Penyebaran
kuesioner merupakan teknik pengumpulan data dengan menyebarkan kuesioner
kepada responden.
3.4. Teknik Penentuan Responden dan Informan Kunci
Populasi dari penelitian ini merupakan petani di wilayah Dusun 3, Desa
Cibatok 1. Dusun 3 dipilih secara purposif atau sengaja sebagai tempat penentuan
responden dan informan kunci karena di daerah Dusun 3 banyak penduduk yang
bermata pencaharian sebagai petani khususnya di wilayah RW 5 dan RW 6.
Teknik penentuan responden yang digunakan dalam penelitian ini adalah
teknik random sampling. Teknik random sampling yaitu sebuah sampel yang
diambil sedemikian rupa sehingga setiap unit penelitian atau satuan elementer dari
populasi mempunyai kesempatan atau peluang yang sama untuk terpilih sebagai
sampel (Wahyuni dan Mulyono, 2006). Populasi yang dimaksudkan oleh peneliti
adalah populasi sasaran yaitu suatu populasi yang sengaja dipilih untuk diteliti.
54
Populasi sasaran disini adalah petani. Metode pengambilan sampel dengan teknik
random sampling ini ditempuh melalui cara undian.
Berdasarkan hasil studi penjajagan lapang diketahui terdapat 103 kepala
rumah tangga yang bermata pencaharian sebagai petani di wilayah RW 5 dan RW
6. Jumlah responden yang digunakan pada penelitian ini sebanyak 40 orang.
Jumlah responden tersebut diperoleh dari perhitungan 41 persen15 dari jumlah
petani di RW 5 dan RW 6 Dusun 3, Desa Cibatok 1 yaitu 103 KK. Responden
berjumlah 40 orang karena secara statistik lebih dari 30 orang responden maka
data yang disebarkan akan lebih meyakinkan hasilnya.
Informan untuk penelitian ini adalah aparatur desa, tokoh masyarakat,
ketua kelompok tani ditingkat dusun, dan ketua RW. Mereka dipilih karena
dianggap memiliki pengetahuan mengenai kondisi umum berkaitan dengan
kepemilikan dan penguasaan lahan serta permasalahan – permasalahan yang
terkait dengan struktur agraria di wilayah mereka. Dipilihnya informan tersebut
karena mereka memiliki banyak informasi mengenai pertanian atau mengenai
kondisi keagrariaan di daerah penelitian meliputi kepemilikan dan penguasaan
lahan pertanian.
15
Berdasarkan informasi yang diperoleh dari Modul Kuliah Metode Penelitian Sosial mengenai
ukuran sampel (halaman 56) oleh Wahyuni dan Mulyono ( 2006), diketahui bahwa beberapa
peneliti menyatakan bahwa besarnya sampel tidak boleh kurang dari 10 persen dan ada pula
peneliti yang menyatakan bahwa besarnya sampel minimum 5 persen. Sehingga berdasarkan hal
tersebut peneliti menentukan besarnya sampel sebanyak 41 persen dari populasi sasaran.
55
3.5. Teknik Analisis Data
Data-data hasil wawancara, hasil observasi maupun kutipan dan saduran
dari berbagai dokumen disajikan dalam suatu catatan harian yang dianalisis sejak
pertama kali datang ke lapangan dan berlangsung terus-menerus selama penelitian
berjalan. Data kuantitatif diolah dan disajikan dalam bentuk tabel frekuensi dan
analisa deskriptif dengan menggunakan software Microsof excel 2007.
Data-data tersebut kemudian direduksi yakni melalui proses pemilihan,
pemusatan perhatian, serta penyederhanaan data-data kasar yang diperoleh dari
catatan harian. Selain itu, peneliti juga mencocokan data yang didapat dengan data
yang dimiliki desa dan menganalisisnya menjadi draf pertama yang terus
diperbaiki dan disempurnakan sehingga menjadi laporan penelitian yang baik dan
ilmiah. Data tersebut kemudian dipetakan atau ditipologikan berdasarkan
golongan – golongan tertentu. Data tersebut kemudian disajikan dalam bab – bab
yang dikembangkan dari hasil perolehan data di lapang.
56
IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
4.1. Letak Administratif
Secara administratif Desa Cibatok 1 terletak di wilayah Kecamatan
Cibungbulang, Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa Barat. Wilayah Desa Cibatok 1
dibatasi oleh Desa Cimanggu 2 di sebelah utara, Desa Cibatok 2 di sebelah
selatan, Desa Cicadas di sebelah timur, dan Desa Cemplang di sebelah barat. Jarak
dari Desa Cibatok 1 ke Institut Pertanian Bogor (IPB) adalah 10 kilometer, yang
dapat ditempuh dengan kendaran roda dua selama 10 – 15 menit dan dengan
kendaraan roda empat selama 30 menit.
Jalan yang menghubungkan Desa Cibatok 1 dengan kota kecamatan,
kabupaten dan provinsi relatif sudah baik. Demikian pula jalan – jalan yang
menghubungkan Desa Cibatok 1 dengan desa – desa lainnya yang berada di
wilayah Kecamatan Cibungbulang. Hal tersebut telah banyak membuka
kesempatan masyarakat desa untuk mengembangkan usaha, baik itu usaha di
bidang pertanian maupun di luar bidang pertanian. Desa Cibatok 1 memiliki tiga
dusun yang dibagi lagi menjadi 9 RW dan 28 RT.
Pola pemukiman penduduk Desa Cibatok 1 pada umumnya berjajar
mengikuti alur jalan yang ada. Rumah – rumah yang terletak di daerah jalan
utama atau dekat dengan kantor desa umumnya adalah rumah – rumah permanen
dengan bangunan tembok. Sementara rumah-rumah di wilayah pedusunan
bangunannya cukup beragam, mulai bangunan tembok, semi permanen atau
rumah kayu.
57
4.2. Kondisi Agronomi
Luas wilayah Desa Cibatok 1 adalah 174 hektar. Sekitar 100 hektar
digunakan untuk pertanian dan sisanya untuk area pemukiman, kuburan, jalan,
tempat peribadatan (masjid), kantor pemerintah desa, sekolah, puskesmas dan
sarana prasarana umum masyarakat lainnya. Desa Cibatok 1 terletak pada
ketinggian 250 m diatas permukaan laut dengan jumlah dan curah hujan 236 m3.
Kurang lebih 60 persen luas tanah di Desa Cibatok 1 digunakan untuk
areal pertanian. Komoditas pertanian yang dihasilkannya antara lain padi,
singkong, ubi jalar, jagung kacang panjang, terong, cabai, ketimun dan pepaya.
Meskipun sektor unggulan desa ini adalah pertanian tapi sebagian besar
masyarakatnya bekerja sebagai pedagang. Hal ini dikarenakan petani di desa ini
juga merangkap sebagai pedagang. Selain kedua sektor tersebut, sektor peternakan
juga dapat ditemukan di desa ini.
Sumber daya alam yang dominan ditemukan di Desa Cibatok 1 adalah
sungai dan sumber mata air. Sungai-sungai utama yang mengalir di desa ini yaitu
Sungai Cibungbulang, Sungai Ciaruteun, dan Sungai Leuwi Jengkol. Sungai –
sungai ini menjadi sumber irigasi pertanian di samping sumber mata air. Sumber
daya alam yang lain misalnya batu, kerikil, dan pasir dari sungai, ikan, hasil-hasil
alam lainnya.
58
4.3. Kependudukan
Desa Cibatok 1 pada tahun 2007 memiliki jumlah penduduk sebesar 8083
jiwa dengan jumlah keluarga 1825 Kepala Keluarga (KK). Penduduk sebagian
besar bermata pencaharian rangkap yaitu sebagai petani dan sekaligus pedagang.
Desa ini memiliki tiga dusun, 9 RW, dan 28 RT.
Pada tahun 2008 Jumlah penduduk adalah 8136 jiwa dengan jumlah laki –
laki 4123 jiwa dan perempuan sebanyak 4013 jiwa. Sedangkan jumlah keluarga
adalah 1947 KK diantaranya; keluarga pra sejahtera sebanyak 746 KK, keluarga
sejahtera satu sebanyak 337 KK, keluarga sejahtera dua sebanyak 44 KK,
keluarga sejahtera tiga sebanyak 331 KK dan keluarga sejahtera tiga plus
sebanyak 91 KK.
4.4. Pendidikan
Tingkat pendidikan penduduk Desa Cibatok 1 bervariasi, mulai dari
tingkat pendidikan dasar, menengah, atas serta perguruan tinggi. Berdasarkan
informasi dari aparat desa, untuk kondisi sekarang tingkat pendidikan masyarakat
semakin baik. Sebagian besar generasi muda desa mampu menyelesaikan
pendidikan hingga tingkat atas.
Selain sarana bagi pendidikan formal, Desa Cibatok 1 juga menyediakan
fasilitas belajar bagi masyarakat yang masih buta huruf
melalui program
keaksaraan fungsional (KF). Hal tersebut juga menunjang peningkatan mutu
sumberdaya manusia.
59
4.5. Sarana dan Prasarana
Sarana dan prasarana yang tersedia di desa ini dapat dibilang lengkap.
Prasarana jalan menuju Desa Cibatok 1 dan yang menghubungkan Desa Cibatok 1
dengan desa – desa tetangganya sudah menggunakan perkerasan aspal, sehingga
memudahkan proses transportasi. Demikian pula halnya dengan prasarana jalan
antar dusun, juga sudah diaspal. Di Desa Cibatok 1 sudah terdapat angkutan desa
(angdes) yang beroprasi dari pukul 06.00 WIB hingga pukul 19.00 WIB, dan ojeg
yang beroperasi lebih lama dari angdes.
Sarana umum masyarakat yang ada di Desa Cibatok 1 adalah masjid,
kantor desa, sarana pendidikan (SD, SMP, SMA dan pesantren), puskesmas
sebagai sarana kesehatan, kios-kios, koramil serta sarana prasarana umum lainnya
mudah ditemukan dan dijangkau oleh masyarakat. (Lampiran 9)
Ketersediaan air bersih cukup memadai yang diperoleh dari sumur gali,
mata air dan sumur pompa. Sarana pembuangan sampah masih belum baik
sehingga sebagian besar penduduk setampat membuang sampah sembarangan.
Hal ini akan mengakibatkan tingginya potensi serangan berbagai macam penyakit
yang tidak diinginkan.
60
4.6. Mata Pencaharian
Desa Cibatok 1 merupakan daerah yang dapat disebut dengan istilah desa
– kota. Adapun ciri dari desa – kota antara lain, telah memiliki sarana komunikasi
yang baik, transportasi yang lancar, pasar yang mudah dijangkau, sumber nafkah
non-pertanian yang sangat mempengaruhi kehidupan masyarakatnya (walaupun,
sebagian besar lahannya masih dimanfaatkan untuk pertanian) telah terjadi
konversi lahan didalamnya, adanya keikutsertaan pihak luar dalam kepemilikan
lahan.
Kondisi yang demikian memungkinkan keanekaragaman mata pencaharian
dan diterapkannya pola nafkah ganda di Desa Cibatok 1. Sekitar 50 persen
penduduk bermata pencaharian sebagai pedagang. Sementara itu, 50 persen
lainnya bermata pencaharian sebagai petani, pegawai negeri, pegawai swasta,
wiraswasta, pertukangan, buruh bangunan, tukang ojeg dan supir.
Lebih dari 60 persen petani memiliki pekerjaan sampingan seperti
pedagang. Pola nafkah ganda misalnya bertani dan berdagang biasanya diterapkan
oleh petani yang luas lahannya lebih besar atau sama dengan 1 ha serta buruh tani
yang memiliki keluarga sebagai petani kaya. Petani tersebut seringkali menjual
barang dagangannya yang berupa hasil panen ke kota yaitu pasar di Bogor dan di
Jakarta.
Profesi sebagai petani banyak digeluti oleh para generasi tua. Sementara
itu, para pemuda di Desa Cibatok 1 cenderung memiliki minat yang rendah
terhadap pertanian. Para generasi muda di Desa Cibatok 1 memilih bekerja
sebagai supir, tukang ojeg dan buruh bangunan.
61
V. DISTRIBUSI KEPEMILIKAN LAHAN
DESA CIBATOK 1
5.1. Sejarah Penguasaan dan Kepemilikan Lahan Pertanian
Di Desa Cibatok 1
Secara historis, Desa Cibatok 1 berdiri sejak sekitar 100 tahun lalu yaitu
sekitar tahun 1908. Akan tetapi, tidak terdapat keterangan bagaimana awal mula
desa tersebut didirikan. Sementara itu, pemilikan tanah di Desa Cibatok 1 secara
garis besar diperoleh dengan cara membuka hutan, namun bukan hutan belantara
hanya hutan – hutan kecil seperti hutan bambu. Hal tersebut dikarenakan
sebelumya tidak terdapat hutan lebat atau belantara di daerah ini. Berikut hasil
wawancara dengan salah seorang sesepuh di Desa Cibatok 1.
“Disini mah setahu saya, tidak ada hutan lebat yang pohonnya
gede-gede gitu. Menurut dongeng-dongeng dari kakek buyut saya,
disini dulu adanya hutan kecil, kayak hutan bambu, semak-semak gitu.”
Berdasarkan keterangan dari sekretaris desa, sebagai berikut.
“Gak ada hutan belantara dulunya, setahu saya emang udah
ada rumah, tapi jaraknya jauh-jauh. Nah, adanya mah hutan-hutan
kecil.”
Kepemilikan tanah yang diperoleh dengan cara membuka hutan tersebut
dimiliki secara turun – temurun. Tanah yang dimiliki tersebut oleh warga sekitar
dinamakan dengan tanah adat dengan bukti kepemilikan lahan yang disebut girik.
Tanah yang dimiliki dikelola secara perseorangan kemudian diwariskan secara
turun – temurun kepada generasi berikutnya. Di Desa Cibatok 1, tidak terdapat
tanah yang dikelola secara komunal. Selain dari proses warisan, kepemilikan
lahan juga dapat melalui proses jual beli. Pada awal abad ke 20, sudah terdapat
62
proses jual beli namun masih terbatas. Sebagian besar proses kepemilikan lahan
diperoleh melalui warisan.
Menurut keterangan responden pada masa penjajahan Belanda sekitar
tahun 1930 – an, tanah di Desa Cibatok dikuasai oleh tuan tanah. Jadi, walaupun
penduduk setempat yang memiliki tanah, namun dari segi pengelolaan tanah dan
tanaman yang ditanam ditentukan oleh tuan tanah. Selain dari segi pola tanam,
tuan tanah juga menentukan besarnya pajak16 yang harus dibayar oleh masyarakat
pada masa itu serta menentukan kepala desa yang berhak memimpin Desa Cibatok
1, kemudian bersama kepala desa yang telah terpilih menentukan orang-orang
yang berhak menjadi aparat desa.
Kepala desa yang dipilih oleh tuan tanah adalah seseorang yang memiliki
tanah yang luas, ternak yang banyak dan rumah yang besar. Sementara itu, aparat
desa yang dipilih juga merupakan orang-orang yang dapat dikatakan mampu
didesa. Ciri aparat desa yang demikian, menyebabkan tanah bengkok tidak
terdapat di Desa Cibatok 1, karena dinilai tidak terlalu diperlukan oleh para
pejabat desa. Tanah kas desa juga tidak pernah ada di Desa Cibatok 1. Selain itu,
tuan tanah tidak mengizinkan adanya tanah kas desa.17 Alasannya karena
masyarakat desa setempat hampir semuanya memiliki lahan pertanian.
Menurut keterangan nara sumber di Desa Cibatok 1, pertanian mulai
berkembang pada kisaran tahun 1960 – 1970-an. Hal tersebut ditandai dengan
adanya panca usaha tani dan penerapan revolusi hijau. Pada waktu itu, wilayah
16
Tidak ada data maupun informasi yang menjelaskan mengenai berapa besarnya pajak.
17
Diperoleh dari hasil wawancara mendalam dengan nara sumber yaitu Bapak Bahram yang
merupakan sesepuh di Desa Cibatok 1
63
desa didominasi oleh area persawahan yaitu sekitar 70 persen sawah. Disamping
itu, perkebunan pisang juga banyak terdapat di wilayah Desa Cibatok 1. Luasnya
area persawahan juga didukung oleh sumberdaya air yang melimpah, sehingga
hasil panen yang mayoritas berupa tanaman padi dan palawija sangat banyak.
Dalam perkembangannya sawah yang ditanami padi jumlahnya semakin menurun.
Petani yang dulunya menanam padi, banyak yang beralih ke tanaman palawija.
Hal tersebut dikarenakan, banyaknya hama yang menyerang tanaman padi, serta
air untuk mengairi sawah mulai susah didapat.
Berdasarkan hasil wawancara mendalam dengan informan kunci, segi
penguasaan lahan pada tahun 1930 – an sistem yang paling banyak digunakan
adalah sistem bagi hasil khususnya maro. Selain maro, praktek sistem gadai juga
sering dilakukan. Sementara itu, sistem sewa mulai banyak diterapkan pada saat
tanaman palawija semakin banyak ditanam di daerah Desa Cibatok 1, hal tersebut
terjadi sekitar tahun 1960 – an. Pada saat itu, banyak petani yang membutuhkan
lahan pertanian untuk ditanami palawija, sehingga harga sewa lahan pada saat itu
cukup tinggi.18 Praktek sistem sewa semakin banyak terjadi pada tahun 1990 – an.
Berkembangnya komersialisasi pertanian19 di Desa Cibatok 1 meningkatkan
dilaksanakannya praktek sewa dan jual beli lahan pertanian. Selain praktek sewa
18
Tidak ada informasi yang menjelaskan mengenai berapa besarnya harga sewa
19
Komersialisasi merupakan proses transformasi dari sesuatu yang tidak atau kurang memiliki
nilai ekonomi-langsung, menjadi suatu produk atau komoditi bernilai pasar yang kompetitif. Agar
transformasi tersebut bermakna, maka tidak bisa tidak hal tersebut harus dilaksanakan berdasarkan
prinsip-prinsip kapitalisme (Besari, 2003). Suatu komersialisasi akan diukur berdasarkan beberapa
indikator yaitu peralihan dari ekonomi produk ke ekonomi uang antara lain ialah perkembangan
pasar pertanahan, besarnya jumlah pembayaran dalam bentuk uang, suatu daerah dimana sistem
bagi hasil, sewa, serta upah kerja di pertanian rakyat (Husken, 1998).
64
yang semakin meningkat, praktek jual beli lahan pun juga mengalami peningkatan
pada tahun 1998. Hal tersebut terjadi karena sekitar tahun 1998 di daerah Sentul
dan Jakarta banyak mengalami penggusuran, sehingga banyak warga yang
membeli tanah dari penduduk desa untuk tempat pemukiman dan lahan pertanian.
Akibat jual beli lahan antar penduduk luar dengan penduduk asli desa,
luas lahan yang dimiliki penduduk asli menjadi lebih sedikit daripada tahun –
tahun sebelumnya. Sekitar tahun 1960 – an, lahan terluas yang dimilik petani
adalah seluas 5 ha dan penyebarannya cukup merata, banyak petani yang memiliki
lahan luas. Akan tetapi, dalam perkembangannya luas lahan yang dimiliki petani
menjadi semakin sempit, khususnya petani yang merupakan penduduk asli desa.
Hal itu dikarenakan sistem waris yang selama ini diterapkan menyebabkan lahan
yang dimiliki petani menjadi terbagi – bagi atau terfragmentasi. Selain itu, praktek
jual beli lahan juga menjadi salah satu faktor penyebab semakin menyempitnya
lahan yang dimiliki petani. Sekarang ini, lahan terluas yang dimiliki petani di
Desa Cibatok 1 adalah 3,2 ha dan pemiliknya tersebut bukan penduduk asli Desa
Cibatok 1, walaupun sekarang berdomisili di Desa Cibatok 1. Berikut ini
merupakan kutipan hasil wawancara dengan sesepuh desa.
“Sekarang mah Neng, petani gak ada yang punya lahan seluas
dulu. Kalo dulu mah, yang punya lahan 4-5 hektaran banyak. Tapi
sejak banyak penggusuran di Sentul dan Jakarta, banyak yang datang
kemari untuk beli tanah. Jadi lahan yang petani punya, pada
berkurang. Belum lagi, kalo udah ada yang diwarisin, jadi tambah
sempit-sempit aja lahan yang petani punya. Sekarang aja lahan yang
paling luas dimiliki cuma 3,2 ha, itu juga yang punya bukan penduduk
asli desa. Di sini banyak lahan pertanian yang bukan punya warga asli
desa, walopun banyak juga sih yang punya warga asli, tapi yah gak
luas-luas amat.”
65
5.2. Sistem Transfer Kepemilikan Lahan Pertanian
Penerapan sistem transfer lahan pertanian melalui jual beli dan waris yang
diserta dengan bukti kepemilikan lahan pertanian berupa surat bukti kepemilikan
lahan pertanian. Berikut ini merupakan paragraf-paragraf yang menjelaskan hal di
atas secara detail.
Kepemilikan lahan di Desa Cibatok 1 disini dimaksudkan sebagai suatu
bentuk penguasaan formal yang diperoleh melalui dua cara yaitu waris dan jual
beli. Sistem waris sudah sejak lama diterapkan di Desa Cibatok 1. Sementara itu,
sistem jual beli juga sudah ada sejak dahulu, namun menjadi lebih sering
dilakukan sejak tahun 1990-an.
Berdasarkan hasil penelitian terhadap 40 orang responden yang bermata
pencaharian sebagai petani, diketahui bahwa tidak ada lahan pertanian di Desa
Cibatok 1 yang murni hanya berasal dari proses jual beli, karena pada awalnya
sistem pewarisan secara turun-temurun sudah diterapkan sejak lama. Jadi, tidak
ada petani dari 40 responden yang memiliki lahan pertanian hanya dari hasil jual
beli. Akan tetapi, terdapat kemungkinan mengenai dimilikinya lahan pertanian
yang murni hanya dari proses jual beli pada petani-petani lainnya di Desa Cibatok
1. Terdapat 39 persen dari keseluruhan responden menyatakan bahwa lahan
pertanian yang mereka miliki berasal dari warisan. Sementara itu, 61 persen dari
keseluruhan responden menyatakan bahwa lahan pertanian yang mereka miliki
berasal dari praktek jual beli dan warisan. Berikut ini penjelasan mengenai
penerapan praktek waris dan jual beli, yang disajikan dalam Tabel 2.
66
Tabel. 2. Asal Kepemilikan Lahan Pertanian di Desa Cibatok 1
Data Asal Kepemilikan Lahan Pertanian
di Desa Cibatok 1
Jual beli
Warisan
Jual beli dan Warisan
Sumber : Data Primer 2008 Desa Cibatok 1
Persentase
0%
39 %
61 %
5.2.1. Waris
Sistem waris biasanya dilakukan sebelum pemberi waris meninggal dunia,
namun apabila pemberi waris meninggal secara mendadak, maka pewarisan
dilakukan setelah pemberi waris meninggal dunia. Sistem waris di Desa Cibatok
1, dilakukan dengan pemberian tanah kepada pihak keluarga, luas tanah yang
diberikan kepada anak laki – laki maupun perempuan tidak dibedakan. Di Desa
Cibatok 1 juga diterapkan sistem waris berpedoman pada hukum Islam, yaitu ada
pembedaan antara luas tanah yang diberikan kepada laki – laki dan perempuan.
Laki-laki diberi tanah yang lebih luas daripada perempuan, hal tersebut
disebabkan laki-laki dianggap lebih membutuhkan karena bertanggung jawab
terhadap rumah tangganya.
Berdasarkan hasil wawancara mendalam, pewarisan dilakukan oleh petani
yang merasa dirinya sudah tidak mampu lagi mengelola lahan pertanian yang
dimilikinya. Alasan yang mendasari pewarisan dilakukan sebelum orang tua
meninggal adalah agar tidak terjadi pertikaian antar anggota keluarga yang saling
merebutkan warisan serta supaya setiap anggota keluarga khususnya keluarga inti
mendapatkan warisan secara adil.
Tanah-tanah yang diperoleh melalui proses warisan, pada umumnya status
kepemilikannya hanya berupa bukti Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Status
67
kepemilikan lahan dengan balik nama jarang dilakukan karena faktor biaya yang
cukup mahal. Akan tetapi, dalam jangka waktu tertentu yaitu sekitar 10 tahun
proses balik nama dilakukan. Hal tersebut dikarenakan agar mengantisipasi
terjadinya konflik dalam keluarga dan atas himbauan dari pihak aparat desa
mengenai pentingnya balik nama atas tanah yang dimiliki.
5.2.2. Jual Beli
Di Desa Cibatok 1 ini, tidak terdapat data angka yang dapat menunjukkan
secara pasti
banyaknya transaksi jual beli lahan pertanian
setiap tahunnya,
namun transaksi jual beli lahan pertanian pada saat sekarang ini sering terjadi.
Transaksi jual beli yang terjadi banyak yang tidak diketahui aparat desa.
Penyebabnya adalah para pemilik yang menjual lahannya seringkali tidak
melibatkan pemerintah desa, karena menurut mereka jika melibatkan pemerintah
desa akan mengeluarkan biaya tambahan yang jumlahnya cukup besar.
Di Desa Cibatok 1, transaksi jual beli terjadi antara pihak penjual dan
pembeli serta melibatkan satu orang saksi. Saksi dalam transaksi jual beli tersebut
biasanya dari kalangan keluarga. Kesepakatan transaksi jual beli tanah, dilandasi
atas dasar saling percaya. Biasanya transaksi jual beli terjadi diantara keluarga, hal
ini dimaksudkan agar tanah yang terjual tidak jatuh ke pihak luar keluarga. Akan
tetapi, terkadang 2 belah pihak yaitu penjual dan pembeli melibatkan saksi yang
berasal dari pemerintah desa.
Oleh karena transaksi jual beli sebagian besar terjadi dikalangan keluarga
besar, status kepemilikan lahan yang sudah berganti pemilik hanya berdasarkan
68
pada Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dan tidak terjadi balik nama. Bukti
kepemilikan yang hanya berupa PBB tersebut, dikhawatirkan akan dapat
menimbulkan konflik. Para pembeli tanah di Desa Cibatok 1 ada yang berasal dari
dalam maupun luar desa, seperti dari Kota Bogor, Desa Cicadas, Desa Cibatok 2,
Desa Cimanggu 2, dan Desa Cemplang.
Harga tanah sawah di Desa Cibatok satu bervariasi, yaitu berkisar antara
Rp. 15.000,00 sampai Rp. 50.000,00 permeter persegi. Tanah yang lokasinya
dipinggir jalan raya berharga lebih mahal, yaitu sekitar Rp. 50.000,00 permeter
persegi. Tanah yang terletak tidak terlalu jauh dari jalan raya berharga sekitar Rp.
30.000,00 permeter persegi sedangkan tanah yang berada jauh dari jalan raya dan
sulit dijangkau harganya berkisar Rp. 15.000,00 permeter persegi. Daya beli akan
lahan pertanian penduduk luar Desa Cibatok 1 (bukan penduduk asli) lebih tinggi
daripada penduduk asli Desa Cibatok 1 itu sendiri. Hal tersebut ditunjukkan salah
satunya oleh pemilik lahan pertanian di Desa Cibatok 1 bukan penduduk asli desa.
Berdasarkan hasil wawancara mendalam dengan ketua kelompok tani Di Desa
Cibatok 1 menyebutkan bahwa
“Disini teh, yang suka beli-beli tanah malah bukan orang asli
desa, tapi orang yang bukan penduduk asli desa. Di desa ini yang
sawahnya paling luas aja bukan orang asli sini Neng.”
Alasan penduduk yang menjual tanah umumnya dikarenakan oleh
kebutuhan hidup yang mendesak seperti biaya berobat dan menyekolahkan anak.
Akan tetapi, ada juga yang menjual tanahnya karena alasan ekonomis yaitu untuk
mendapatkan keuntungan serta karena ingin pindah ke tempat lain. Sementara itu,
alasan membeli tanah adalah untuk menyelamatkan tanah milik keluarga (jika
69
transaksi jual beli antar anggota keluarga) serta untuk memperluas lahan
pertanian.
5.3. Distribusi Kepemilikan Lahan Pertanian Di Desa Cibatok 1
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan dengan menyebarkan
kuesioner kepada 40 orang responden yang bermata pencaharian sebagai petani,
diketahui bahwa sebanyak 45 persen petani memiliki lahan pertanian dan 55
persen petani lainnya tidak memiliki lahan pertanian. Berikut ini Tabel 3
menjelaskan hal di atas.
Tabel 3. Data Kepemilikan Lahan Pertanian di Desa Cibatok 1
Data Kepemilikan Lahan Pertanian
di Desa Cibatok 1
Memiliki lahan pertanian
Tidak memiliki lahan pertanian
Sumber : Data Primer 2008 Desa Cibatok 1
Persentase
45 %
55 %
Jenis lahan pertanian yang dimiliki adalah sawah irigasi dengan tanaman
yang diusahakan meliputi padi, singkong, ubi jalar, jagung kacang panjang,
terong, cabai, ketimun, dan pepaya. Tanaman padi jumlahnya semakin menurun
pada saat sekarang ini, sedangkan tanaman palawija semakin meningkat.
Penurunan jumlah tanaman padi ini dikarenakan air sulit didapat, menanam padi
risikonya lebih tinggi daripada menanam palawija karena menurut keterangan
beberapa orang responden, tanaman padi lebih mudah terserang hama. Selain itu,
nilai ekonomi tanaman palawija lebih tinggi.
70
Tabel 4. Jenis Kepemilikan Lahan Pertanian di Desa Cibatok 1
Jenis Kepemilikan Lahan Pertanian
di Desa Cibatok 1
Sawah irigasi
Sawah tadah hujan
Tegalan
Pekarangan
Sumber : Data Primer 2008 Desa Cibatok 1
Persentase
100 %
0%
0%
0%
Struktur distribusi pemilikan lahan sawah di Desa Cibatok 1 menunjukkan
ketimpangan atau ketidakmerataan. Indeks Gini pemilikan lahan sawah mencapai
angka 0,348 (Lampiran 10). Sementara itu, Indeks Kuznet’s pemilikan lahan
sawah mencapai angka 0,824 (Lampiran 11). Berdasarkan analisis data kelompok
10 persen kelas teratas yaitu 2 kelas yang luas lahannya lebih dari 40 persen dari
keseluruhan luas lahan yaitu 5,8 ha, menunjukkan suatu kondisi yang tidak merata
dalam distribusi kepemilikan lahan sawah. Menurut perhitungan Bank Dunia
pemilikan lahan sawah berada dibawah 7 persen, itu artinya terdapat ketimpangan
yang tinggi dalam distribusi kepemilikan lahan sawah di Desa Cibatok 1
(Lampiran 12).
Pada penelitian ini, peneliti menggunakan 3 kriteria untuk mengetahui
ketimpangan dalam distribusi kepemilikan lahan di Desa Cibatok 1. Hal tersebut
dikarenakan dari ketiga cara untuk menghitung ketimpangan kepemilikan lahan,
terdapat kelemahan pada masing-masing cara. Jika hanya menggunakan Indeks
Gini, tidak dapat mengetahui ketimpangan pada golongan bawah dan golongan
atas karena perhitungan Indeks Gini sifatnya menyeluruh. Indeks Kuznet’s
perhitungan ketidakmerataannya dilakukan pada golongan atas sedangkan Bank
Dunia perhitungan ketidakmerataannya dilakukan pada golongan bawah.
Sehingga dalam penelitian ini, peneliti menghitung Indeks Gini kemudian
71
dilengkapi dengan Kuznet’s Indeks dan perhitungan Bank Dunia untuk
mengetahui ketimpangan dalam distribusi kepemilikan lahan di Desa Cibatok 1.
Tabel 5. Distribusi Kepemilikan Lahan Sawah di Desa Cibatok 1
No.
Kelas
Pemilikan Sawah
Pemilikan
Rumah Tangga
Luas
Lahan (Ha)
Jumlah
%
Ha
%
1.
3,00 - 3,24
1
2,5
3,20
22,4
2.
2,75 - 2,99
0
0
0
0
3.
2,50 - 2,74
1
2,5
2,60
18,2
4.
2,25 - 2,49
0
0
0
0
5.
2,00 - 2,24
0
0
0
0
6.
1,75 - 1,99
0
0
0
0
7.
1,50 - 1,74
2
5
3,00
21
8.
1,25 - 1,49
0
0
0
0
9.
1,00 - 1,24
1
2,5
1,08
7,5
10.
0,75 - 0,99
0
0
0
0
11.
0,50 - 0,74
3
7,5
2,1
14,7
12.
0,25 - 0,49
4
10
1,55
10,8
13.
0,00 - 0,24
6
15
0,77
5,4
14.
Tunakisma
22
55
0
0
Jumlah
40
100
14,3
100
Sumber : Data Primer 2008 Desa Cibatok 1
Keterangan :
RataRata
(Ha)
3,2
0
2,6
0
0
0
1,5
0
1,08
0
0,7
0,4
0,1
0
0,36
Rata-rata total pemilikan lahan sawah diantara semua rumah tangga adalah
0,36 ha
Rata-rata total pemilikan lahan sawah diantara rumah tangga pemilik adalah
0,79 ha
Indeks Gini kepemilikan lahan sawah adalah 0,348
Indeks Kuznet’s kepemilikan lahan sawah adalah 0,824
Berdasarkan perhitungan bank dunia terhadap kepemilikan lahan sawah adalah
7 persen.
Berdasarkan Tabel 5, petani dapat digolongkan menjadi beberapa
golongan kelas yaitu petani kaya (≥1 ha), petani menengah (0,500 – 0,999 ha),
petani miskin ( 0,001 – 0,499 ha) dan tunakisma (0 ha). Dari 40 orang responden
yang kepala keluarganya petani, terdapat 5 orang petani kaya, 3 orang petani
menengah, 10 orang petani miskin dan 22 orang tunakisma.
Jumlah total rumah tangga yang memiliki lahan sawah dari 40 orang
responden adalah 18 rumah tangga dengan total luas kepemilikan lahannya 14,3
ha. Sehingga rata-rata total pemilikan lahan sawah diantara semua rumah tangga
72
adalah 0,36 ha dan rata – rata total pemilikan lahan sawah diantara rumah tangga
pemilik adalah 0,79 ha. Jika luas rata – rata pemilikan sawah diantara semua
rumah tangga (0,36 ha) dibandingkan dengan rata – rata luas tanah terbesar yang
dimiliki oleh 2 rumah tangga yaitu 2,9 ha, maka terlihat bahwa terjadi
ketimpangan pemilikan lahan sawah di Desa Cibatok 1.
5.4. Makna Lahan Pertanian Khususnya Sawah Bagi Masyarakat
Desa Cibatok 1
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa terjadi ketidakmerataan
dalam pemilikan lahan pertanian khususnya sawah, yang ditunjukkan oleh Indeks
Gini sebesar 0,34, Indeks Kuznets sebesar 0,824 dan perhitungan Bank Dunia
sebesar 7 persen. Adanya ketimpangan tersebut berpengaruh pada beberapa
dimensi kehidupan seperti pada dimensi ekonomi, sosial dan politik masyarakat
Desa Cibatok 1 khususnya yang bermata pencaharian sebagai petani.
Pada bagian ini, peneliti berusaha memaparkan makna lahan pertanian
bagi masyarakat tidak berdasarkan indikator – indikator tertentu seperti
menghubungkan sejauh mana lahan pertanian mempengaruhi pendapatan
penduduk. Peneliti hanya menjelaskan sejauh mana makna lahan pertanian bagi
masyarakat yang didasarkan pada keterangan dari informan kunci.
Beberapa petani yang memiliki lahan sawah luas yaitu lebih dari 1 ha, tanah
memiliki arti penting. Luasnya lahan sawah yang dimiliki, menyebabkan para
petani kaya (luas lahannya ≥1 ha) lebih dihormati daripada petani lain yang luas
lahannya kurang dari 1 ha dan petani yang tidak memiliki lahan pertanian.
Ditinjau dari segi ekonomi, tanah dianggap memiliki arti yang sangat penting bagi
73
petani kaya, karena tanah merupakan sumber nafkah utama bagi mereka meskipun
para petani kaya tersebut memiliki pekerjaan sampingan lain seperti pedagang.
Barang dagangan yang dijual pun sebagian besar merupakan hasil panen
dari tanah yang mereka miliki. Selain itu, petani kaya di Desa Cibatok 1 seringkali
menyewa lahan pertanian kepada petani menengah (0,500-0,999 ha) dengan
tujuan untuk memperluas lahan pertaniannya agar hasil panennya lebih banyak
dan keuntungan yang diperoleh lebih besar. Ditinjau dari segi politik khususnya
dipemerintahan desa, luasnya tanah yang dimiliki oleh seorang petani tidak
berpengaruh terhadap kedudukan petani tersebut baik dipemerintahan desa
maupun di kampung tempat tinggalnya.
Hal tersebut ditunjukkan oleh tidak adanya posisi dipemerintahan desa
yang diduduki oleh petani kaya atau karena seseorang yang memiliki lahan
pertanian luas. Akan tetapi jika segi politik dimaknai secara lebih luas seperti bagi
petani yang lahan pertaniannya luas maka tempat tinggalnya dijadikan sebagai
markas partai tertentu kemudian bagi petani yang lahan pertaniannya luas selain
itu juga dinilai memiliki pengetahuan tentang Islam yang baik dan biasanya telah
menunaikan ibadah haji, maka akan diutamakan untuk dijadikan sebagai Imam di
masjid maupun mushola. Hal tersebut tentunya menunjukkan pentingnya lahan
pertanian bagi segi politik. Selama penelitian berlangsung, tidak ditemukan
adanya simbol-simbol yang menunjukkan suatu partai tertentu di rumah petani
yang lahan pertaniannya luas.
Bagi petani yang tidak memiliki lahan pertanian terlalu luas (0,500-0,999
ha), tanah tidak terlalu memiliki arti penting bagi kedudukan sosial mereka
74
dimasyarakat. Petani menengah tersebut tidak dipandang lebih terhormat daripada
para petani kaya di Desa Cibatok 1. Sementara itu, dari segi ekonomi tanah bagi
petani menengah memiliki arti yang sangat penting karena dapat dijadikan sumber
pendapatan bagi mereka. Sebagian besar petani menengah di Desa Cibatok 1 juga
memiliki pekerjaan sampingan sebagai pedagang seperti halnya petani kaya. Para
petani menengah tersebut juga menjual hasil panen dari tanah mereka sendiri.
Selain itu, petani menengah memanfaatkan tanah pertanian yang dimilikinya agar
tetap memiliki nilai ekonomi dengan cara menyewakan sebagian tanahnya kepada
petani kaya. Melalui cara tersebut, petani menengah dapat memperoleh uang dari
tanah yang mereka miliki tanpa harus kehilangan tanah mereka sendiri. Sama
halnya dengan petani kaya, pada golongan petani menengah kepemilikan atas
tanah tidak memiliki arti penting bagi segi politik di Desa Cibatok 1.
Bagi petani yang luas lahannya 0,001-0,499 ha, tanah tidak memiliki arti
penting bagi kedudukan sosial mereka dimasyarakat. Karena mereka tidak
dipandang hormat oleh masyarakat desa atas tanah yang mereka miliki. Dari segi
ekonomi tanah bagi mereka memiliki arti yang sangat penting karena dapat
dijadikan sumber nafkah. Sebagian besar petani yang luas lahannya 0,001-0,499
ha tidak memiliki mata pencaharian sampingan seperti halnya petani kaya dan
petani menengah. Akan tetapi, ada juga diantara petani tersebut yang memiliki
pekerjaan sampingan sebagai tukang ojeg. Para petani yang luas lahannya 0,0010,499 ha tersebut tidak menjual hasil panen dari tanah mereka sendiri karena
biasanya hasilnya tidak banyak, namun jika hasil panen cukup banyak maka hasil
panen tersebut dijual kepada para tetangga.
75
Tanah bagi petani tanpa lahan atau tunakisma memiliki arti yang sangat
penting. Petani yang sama sekali tidak memiliki lahan pertanian, menggantungkan
hidup mereka pada petani lain yang memiliki lahan dan yang membutuhkan
tenaga mereka untuk mengolah lahan pertanian. Biasanya petani tunakisma
menjadi buruh pada lahan milik orang lain. Baik buruh laki-laki maupun buruh
perempuan, biasanya mulai bekerja sejak pukul 06.30 WIB hingga azan zuhur
atau sekitar pukul 12.00 WIB. Buruh laki-laki melakukan pekerjaan seperti
mencangkul, membersihkan sawah dari gulma atau rumput-rumput pengganggu
lainnya, menyiram dan memberi pupuk. Sementara itu, buruh perempuan
melakukan pekerjaan seperti mengkoret, menyiangi dan membantu pada saat
panen tiba. Upah yang diperoleh antara buruh laki-laki dan buruh perempuan
untuk masa setengah hari kerja berbeda. Untuk buruh laki-laki upahnya sebesar
Rp. 20.000,00 per setengah hari tanpa diberi makan oleh pemilik sawah,
sedangkan buruh perempuan antara Rp. 7500,00-Rp. 8000,00 per setengah hari
tanpa diberi makan oleh pemilik sawah.
Buruh tani di Desa Cibatok 1, ada yang tidak memiliki pekerjaan
sampingan lain dan ada juga yang memiliki pekerjaan sampingan lain. Buruh tani
yang memiliki pekejaan sampingan lain biasanya membantu sanak keluarganya
berdagang di pasar. Sementara itu, buruh tani yang tidak memiliki pekerjaan
sampingan lain mereka benar-benar hanya menggantungkan hidup mereka pada
lahan milik orang lain, sehingga bagi mereka tanah pertanian memiliki arti yang
sangat penting bagi kehidupan ekonomi mereka.
76
Menurut buruh tani, adanya ketimpangan pemilikan lahan pertanian yang
terjadi di Desa Cibatok 1 tidak terlalu berpengaruh bagi kehidupan mereka.
Karena, menurut mereka sudah sejak dulu (sejak zaman nenek moyang mereka)
sudah tidak memiliki tanah dan tanpa tanah pun mereka masih bisa memenuhi
kebutuhan hidup mereka walaupun pas-pasan dengan cara bekerja sebagai buruh
tani. Walaupun pada mulanya ada diantara nenek moyangnya yang memiliki
tanah, tapi tidak luas dan pada saat sekarang ini sudah habis terjual untuk
keperluan hidup. Jadi, arti penting lahan pertanian bagi tunakisma adalah untuk
memenuhi kebutuhan hidup mereka dengan cara bekerja pada lahan milik orang
lain.
Desa Cibatok 1 merupakan desa pinggiran kota, yang sebagian
masyarakatnya masih sangat bergantung pada sektor pertanian dan sebagian besar
lainnya bergantung pada sektor non pertanian. Banyak dari masyarakat desa yang
bermata pencaharian sebagai pedagang, sopir angkutan umum, buruh bangunan,
pegawai negeri, pegawai swasta, wiraswasta dan guru. Terjadinya ketimpangan
pemilikan lahan pertanian khususnya sawah pada masyarakat desa kota yang
menggantungkan hidupnya pada sektor non pertanian, bukanlah suatu kondisi
yang mempengaruhi kehidupan mereka sehari-hari (bukan masalah bagi
masyarakat yang tidak bekerja disektor pertanian).
Masyarakat yang tidak bekerja pada sektor non pertanian cenderung tidak
merasa peduli pada ketimpangan yang terjadi. Hal tersebut karena menurunnya
minat masyarakat desa terhadap pertanian yang terjadi sekitar awal tahun 1990-an.
Rendahnya minat masyarakat Desa Cibatok 1 terhadap pertanian khususnya
77
generasi muda, menyebabkan banyak lahan pertanian yang terbengkalai hingga
kemudian dijual oleh pemiliknya atau dialihfungsikan menjadi area pemukiman.
Menurunnya minat terhadap pertanian disebabkan oleh tingginya risiko yang
harus dihadapi dalam usaha dibidang pertanian, harga jual hasil panen yang
rendah, serangan hama, irigasi yang tidak merata serta mahalnya sarana produksi
pertanian (saprotan). Bagi masyarakat yang tidak bekerja disektor pertanian, lahan
pertanian tidak begitu memiliki arti penting.
78
VI. SISTEM TENURIAL DI DESA CIBATOK 1
6.1. Sistem Penguasaan Lahan Pertanian di Desa Cibatok 1
Terdapat penerapan sistem tenurial berupa praktek bagi hasil, sewa dan
gadai. Praktek sewa merupakan sistem tenurial yang paling dominan diterapkan
akibat komersialisasi pertanian yang terjadi di Desa Cibatok 1. Berikut ini
merupakan paragraf-paragraf yang menjelaskan hal diatas secara detail.
Bentuk penguasaan lahan pertanian (menunjukkan pada pemilikan efektif)
di Desa Cibatok 1diperoleh melalui cara bagi hasil (sakap), gadai dan sewa. Sudah
sejak zaman kolonial, sistem bagi hasil dan sistem gadai diterapkan di Desa
Cibatok 1. Seperti yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya, sistem sewa sudah
ada sejak lama namun menjadi mulai banyak diterapkan pada saat tanaman
palawija semakin banyak ditanam di daerah Desa Cibatok 1, hal tersebut terjadi
sekitar tahun 1960-an. Menurut keterangan salah seoarang informan kunci, pada
saat terjadi komersialisasi pertanian banyak petani yang membutuhkan lahan
pertanian untuk ditanami palawija, sehingga harga sewa lahan pada saat itu cukup
tinggi. Praktek sistem sewa semakin banyak terjadi pada tahun 1990-an. Berikut
hasil wawancara mendalam dengan salah seorang informan kunci.
“ Kalo bagi hasil ma ngade’ mah neng tahun 60-an udah ada,
malahan sejak sebelum tahun 60-an udah ada kayaknya, Bapak kurang
tahu pastinya kapan. Kalo ngontrak juga udah ada dari dulu tapi sejak
tahun 90-an tambah banyak ”.
Berdasarkan pada status penguasaan lahan pertaniannya terdapat
keanekaragaman, diantaranya ada yang merupakan pemilik penggarap murni,
pemilik penggarap penyewa, pemilik penggarap penyakap, penyewa murni,
79
penyakap murni, pemilik bukan penggarap dan petani tunakisma. Jika hanya
berpatokan pada 40 orang responden, di Desa Cibatok 1 tidak ditemukan status
petani sebagai pemilik bukan penggarap. Akan tetapi, terdapat kemungkinan
ditemukannya status petani sebagai pemilik bukan penggarap jika berpatokan
pada seluruh penduduk yang bermatapencaharian sebagai petani di Desa Cibatok
1.
Tabel 6. Status Penguasaan Lahan Pertanian di Desa Cibatok 1
Status Penguasaan Lahan Pertanian
Pemilik penggarap murni
Pemilik penggarap penyewa
Pemilik penggarap penyakap
Penyewa murni
Penyakap murni
Pemilik bukan penggarap
Petani tunakisma
Jumlah
Sumber : Data Primer Desa Cibatok 1 2008
Persentase (%)
5
40
5
7,5
2,5
40
100
Berdasarkan Tabel 6 di Desa Cibatok 1, terdapat 2 orang pemilik
penggarap murni, 16 orang pemilik penggarap penyewa, 2 orang pemilik
penggarap penyakap, 3 orang penyewa murni, 1 orang penyakap murni, tidak
ditemukan pemilik bukan penggarap dari 40 orang responden yang merupakan
petani dan terdapat 16 orang petani tunakisma.
6.2. Sistem Sewa di Desa Cibatok 1
Sewa lahan di Desa Cibatok 1 sering disebut dengan istilah ngontrak. Cara
sewa yang berlaku di Desa Cibatok 1 pada umumnya dilakukan antara pihak
pemilik lahan, pihak penyewa dan saksi yang masih memiliki hubungan keluarga.
Khusus saksi bisa dari pihak keluarga maupun dari pihak luar keluarga seperti
aparat desa. Alasan praktek sewa masih dilakukan antar keluarga adalah agar
80
tanah keluarga yang sudah dimiliki secara turun temurun tidak jatuh ketangan
orang lain yang bukan angggota keluarga. Lamanya jangka waktu untuk
penyewaan lahan pertanian adalah setahun. Perpanjangan sewa dapat dilakukan
pada tahun berikutnya. Pembayaran sewa di Desa Cibatok 1 dilakukan dimuka.
Penentuan harga sewa diatur berdasarkan luas dan lokasi tanah yang
disewa. Jika lokasi tanahnya strategis yaitu dekat dengan jalan dan sumber air
harga sewanya mencapai sekitar Rp. 200,00 per meter persegi atau Rp.
2000.000,00 per hektar. Untuk harga sewa tanah termurah adalah Rp. 100,00 per
meter persegi atau Rp. 1000.000,00 per hektar. Tanah sewa di Desa Cibatok 1
sebagian besar ditanami oleh tanaman palawija karena harga jual palawija tinggi
dan modal menanam palawija tidak terlalu besar jika dibandingkan dengan padi.
Penerapan sewa lahan pertanian di Desa Cibatok 1 dilandasi karena faktor
ekonomi, tanah yang luas sehingga tidak memungkinkan bagi pemiliknya untuk
mengelola lahannya dan kebutuhan. Bagi pemilik, praktek sewa lahan diterapkan
karena tanah yang dimiliki tidak terurus lagi oleh pemiliknya, pemilik tidak
mampu mempekerjakan buruh untuk mengelola lahan pertaniannya, petani yang
lahan pertaniannya tidak terlalu luas dan memiliki pekerjaan sampingan lain
seperti berdagang serta petani pemilik sedang membutuhkan uang untuk
kebutuhan hidup tapi tidak dalam jumlah besar. Bagi pihak penyewa, sewa lahan
dilakukan karena ingin memperluas usaha pertaniannya. Selain itu, bagi penyewa
yang sebelumnya memang tidak memiliki lahan sewa lahan dilakukan karena
ingin mencoba berusaha dibidang pertanian.
81
Informasi mengenai lahan yang akan disewakan biasanya tidak langsung
disiarkan secara meluas kepada masyarakat, tetapi diinformasikan terlebih dahulu
ke pihak keluarga. Pola hubungan yang terjadi antara pemilik dan penyewa lahan
pertanian selain berupa hubungan keluarga juga berupa hubungan pengontrakan
yang tetap harus membayar uang sewa dimuka kepada pemilik lahan. Terkadang
jika sudah panen, penyewa sering memberikan hasil panennya kepada pemilik
lahan. Kegiatan sewa-menyewa di Desa Cibatok 1 merupakan bentuk kegiatan
dalam penguasaan lahan yang paling banyak diterapkan. Karena menurut
keterangan petani setempat, praktek sewa sangat menguntungkan petani
khususnya bila ditanami dengan
tanaman palawija. Berikut hasil wawancara
mendalam.
“Disini biasanya sewa lahan lazim disebut ngontrak, harga
ngontrak macem-macem tergantung dimana letak sawahnya deket apa
nggak dari sumber air. Paling mahal 2 juta per hektar kalo paling
murah paling cuma 1 juta per hektarnya. Kalo tanah ngontrak, jarang
yang ditanami padi biasanya palawija soalnya padi risikonya besar.
Biasanya kalo mau ngontrak ya sama keluarga sendiri aja biar gak
ribet ”.
6.3. Sistem Bagi Hasil di Desa Cibatok 1
Bagi hasil atau sakap di Desa Cibatok 1 sering disebut dengan istilah paro.
Cara bagi hasil yang berlaku di Desa Cibatok 1 adalah pemilik lahan memberi
modal pupuk bagi penggarap, untuk biaya obat bagi tanaman dibagi dua antara
pemilik dan penggarap, untuk proses membajak sawah dengan kerbau dilakukan
oleh penggarap. Jadi untuk hasil bersihnya adalah hasil panen keseluruhan
dikurangi pupuk oleh pemilik dan biaya membajak sawah dengan kerbau oleh
82
penggarap, baru kemudian membagi rata (1:1) hasil panen. Cara bagi hasil yang
demikian sudah diterapkan lama di Desa Cibatok 1.
Bagi hasil pada umumnya dilakukan antara pihak pemilik lahan dan pihak
penggarap yang sebagian besar adalah buruh tani. Menurut keterangan responden,
petani pemilik lahan jarang melakukan praktek bagi hasil dengan sesama petani
pemilik lahan namun dari hasil wawancara yang telah dilakukan kepada beberapa
orang responden, tidak terdapat sistem bagi hasil yang dilakukan diantara pemilik
lahan. Jangka waktu pengelolaan sawah dengan sistem bagi hasil adalah sesuai
dengan musim tanam hingga musim panen setahun.
Sistem bagi hasil biasanya diterapkan untuk sawah yang ditanami padi.
Untuk sawah yang ditanami palawija tidak dilakukan sistem bagi hasil, karena
tanaman palawija membutuhkan jenis pupuk, bibit tanaman serta obat bagi
tanaman yang berbeda-beda jenisnya. Jika diterapkan sistem bagi hasil untuk
sawah yang ditanami palawija, perhitungannya akan rumit. Penerapan sistem bagi
hasil di Desa Cibatok 1 didasarkan pada faktor ekonomi, tanah yang luas sehingga
tidak memungkinkan bagi pemiliknya untuk mengelola lahannya, faktor
kebutuhan dan adanya rasa saling percaya antara pemilik dan penggarap.
Bagi pemilik, praktek bagi hasil diterapkan agar tanah yang dimiliki dapat
memberikan hasil bagi pemilik tanpa harus mengelolanya, untuk memberikan
pekerjaan bagi petani yang tidak memiliki lahan pertanian, pemilik enggan
mengelola lahannya sendiri karena biasanya petani pemilik lahan tersebut
memiliki mata pencaharian lain diluar sektor pertanian seperti berdagang, yang
merupakan mata pencaharian utama karena lebih menguntungkan. Selain itu,
83
sistem bagi hasil dilakukan karena diantara pemilik dan penggarap terdapat rasa
saling percaya. Bagi penggarap, bagi hasil dilakukan karena penggarap tidak
memiliki lahan pertanian, tidak memiliki cukup uang untuk menyewa lahan
pertanian, penggarap memiliki hewan ternak yang dapat digunakan untuk
membajak sawah.
Pola hubungan yang terjadi antara pemilik dan penggarap lahan pertanian
selain berupa hubungan kerja antara pemilik dan penggarap, lama-kelamaan akan
menciptakan hubunan rasa saling kekeluargaan. Antara pemilik dan penggarap
memiliki komunikasi yang baik. Mengenai biaya produksi penanaman padi
dibicarakan bersama, walaupun pengambil keputusan utama tetap pemilik lahan.
Hal tersebut sama sekali tidak dipermasalahkan oleh buruh tani. Praktek bagi hasil
di Desa Cibatok 1 merupakan bentuk kegiatan dalam penguasaan lahan yang
paling banyak diterapkan khusus untuk lahan sawah yang ditanami padi. Berikut
hasil wawancara mendalam yang dilakukan dengan salah satu buruh tani di Desa
Cibatok 1.
“ Kalo sistim paro disini untuk sawah yang ditanami padi biar
gampang ngebaginya. Pupuk ma benih ditanggung yang punya sawah,
kalo bajak sawah pake kebo ditanggung ma yang nggarap. Baru abis
tuh dikurangi semuanya terus dibagi rata. ”
84
6.4. Sistem Gadai di Desa Cibatok 1
Sistem gadai di Desa Cibatok 1 sering disebut dengan istilah ngade’.
Seperti halnya sewa, gadai yang berlaku di Desa Cibatok 1 pada umumnya
dilakukan antara pihak penggadai, pihak penerima gadai dan saksi yang masih
memiliki hubungan keluarga. Praktek gadai masih dilakukan antar keluarga
dimaksudkan agar jika lahan yang digadaikan tidak dapat ditebus, jatuhnya tidak
ke tangan orang lain melainkan ke keluarga sendiri. Mengenai gadai, tidak
terdapat aturan mutlak di Desa Cibatok 1. Biasanya sistem gadai ditetapkan tanpa
batas waktu. Jika penggadai sudah mampu menebus tanahnya kembali, maka
tanah miliknya dapat dimilikinya kembali. Penggadaian sawah dilakukan antar
sesama petani agar sawah yang telah digadai tidak terbengkalai.
Penentuan harga gadai diatur berdasarkan luas dan lokasi tanah yang
digadai. Jika lokasi tanahnya strategis yaitu dekat dengan jalan dan sumber air
harga gadainya mencapai sekitar Rp. 2500,00 per meter persegi. Sementara itu,
karena praktek gadai berbeda-beda aturannya, tidak ada kepastian untuk harga
gadai termurah. Penerapan gadai lahan pertanian terjadi karena terdesak oleh
kebutuhan hidup, karena memiliki hobi bertani serta didasarkan oleh rasa ingin
membantu. Bagi penggadai, praktek gadai diterapkan karena terdesak oleh
kebutuhan hidup seperti pangan, berobat dan biaya sekolah. Bagi pihak penerima
gadai, praktek gadai lahan dilakukan karena hobi bertani yang didukung oleh
ekonomi rumah tangga yang baik serta karena ingin membantu keluarga yang
sedang membutuhkan uang. ingin memperluas usaha pertaniannya.
85
Informasi mengenai lahan yang akan digadai biasanya tidak langsung
disiarkan secara meluas kepada masyarakat, tetapi diinformasikan terlebih dahulu
ke pihak keluarga. Praktek gadai di Desa Cibatok 1 merupakan bentuk kegiatan
dalam penguasaan lahan yang paling jarang diterapkan. Karena menurut
keterangan petani setempat, jika membutuhkan uang sekarang bisa meminjam di
bank atau kepada sanak saudara tanpa perlu jaminan. Berikut ini hasil wawancara
mendalam dengan sekretaris desa.
“ Disini nama umumnya gadai itu ngade’. Harganya macemmacem, tergantung letaknya. Tapi setahu saya sih paling mahal pernah
sampe 5 juta untuk 2000 m2 ”
6.5. Akses Petani terhadap Lahan Pertanian
Pada sub bab ini, peneliti berusaha memaparkan akses petani terhadap
lahan pertanian serta hubungan patron client secara hati-hati. Karena tidak
berdasarkan indikator – indikator khusus. Peneliti hanya menjelaskan sejauh mana
akses petani terhadap lahan pertanian serta hubungan patron client yang
didasarkan pada keterangan dari informan kunci serta pengamatan selama proses
penelitian berlangsung.
Terkait dengan ketimpangan kepemilikan lahan pertanian yang terjadi di
Desa Cibatok 1, terdapat perbedaan dalam mengakses lahan pertanian tersebut.
Petani kaya cenderung memperoleh lahan untuk memperluas lahan pertanian yang
dimilikinya sedangkan petani tanpa lahan memperoleh lahan pertanian untuk
kelangsungan hidupnya. Antara petani kaya (≥1 ha), petani menengah (0,500-
86
0,999 ha), petani miskin (0,001-0,499 ha) dan tunakisma (0 ha) memiliki
perbedaan dalam mengakses lahan pertanian.
Petani kaya (≥1 ha) di Desa Cibatok 1 memiliki akses yang tinggi
terhadap lahan pertanian. Mereka cenderung memperluas aksesnya terhadap lahan
pertanian dengan cara menyewa lahan pertanian serta menerima tanah gadai dari
petani lain yang letaknya strategis (dekat dengan jalan raya dan sumber air).
Petani kaya tersebut menyewa lahan pertanian kepada petani lain yang biasanya
lahan pertaniannya lebih sempit daripada lahan yang mereka miliki. Petani
menengah (luas lahannya 0,500-0,999 ha) juga memiliki akses yang tinggi
terhadap lahan pertanian, namun tidak lebih tinggi daripada petani kaya. Karena
luas lahan pertanian yang mereka miliki lebih sempit. Para petani menengah
cenderung menyewa lahan kepada petani lainnya dan menyewakan lahan yang
mereka miliki kepada petani kaya. Selain itu, terkadang mereka juga menerima
tanah gadai, namun jumlah petani menengah yang menerima gadai lebih sedikit
daripada petani kaya.
Antara petani kaya dan petani menengah terkadang ada persaingan untuk
memperoleh lahan sewa atau gadai, khususnya lahan yang letaknya strategis
(dekat dengan jalan dan sumber air). Akan tetapi, persaingan tersebut selama ini
belum pernah mengakibatkan terjadinya konflik. Karena biasanya petani yang
hendak menyewakan maupun menggadaikan lahan pertaniannya, mereka akan
segera mengutamakan pada famili terdekat mereka terlebih dahulu. Hal tersebut
dimaksudkan agar tanah yang mereka miliki tidak jatuh ke tangan orang lain yang
bukan anggota keluarga.
87
Petani miskin (0,001-0,499 ha), memiliki akses terhadap lahan pertanian
yang lebih terbatas daripada petani kaya dan petani menengah. Hal tersebut
dikarenakan lahan mereka yang lebih sempit. Selain itu, petani miskin jarang ada
yang menyewa lahan pertanian kepada petani lainnya, karena tidak memiliki uang
lebih untuk menyewa lahan. Petani miskin juga tidak menerima lahan gadai.
Petani miskin tersebut justru menyewakan dan menggadaikan lahan pertanian
yang mereka miliki kepada petani lain. Para petani miskin, cenderung bekerja
pada lahan pertanian milik orang lain baik sebagai buruh tani maupun menggarap
lahan pertanian melalui praktek bagi hasil. Akan tetapi, jumlah petani miskin yang
melakukan praktek bagi hasil sedikit karena di Desa Cibatok 1 lahan sawah yang
ditanami padi juga jumlahnya sedikit. Sementara itu, praktek bagi hasil hanya
dilakukan pada lahan sawah yang ditanami padi.
Akses terhadap lahan pertanian bagi petani tunakisma sangat terbatas. Para
petani tunakisma tersebut harus bekerja dulu pada petani lain baru bisa akses
terhadap lahan pertanian. Untuk bisa akses terhadap lahan pertanian, sebagian
petani tunakisma biasanya menawarkan diri kepada para petani pemilik untuk
dapat bekerja dilahan mereka. Akan tetapi, sebagian besar petani tunakisma
biasanya memiliki hubungan keluarga dengan petani pemilik lahan, sehingga
dapat bekerja pada lahan pertanian milik keluarganya. Petani pemilik lahan
pertanian biasanya lebih mengutamakan buruh tani yang masih memiliki
hubungan famili dengan mereka untuk bisa bekerja di lahan pertaniannya atau
lebih mengutamakan kepada buruh tani langganan mereka (sudah kenal baik).
88
Hubungan antara pemilik lahan dan buruh tani di Desa Cibatok 1, dapat
dikatakan baik. Komunikasi diantara merekapun berjalan lancar. Hal tersebut
disebabkan karena diantara mereka sudah terjalin rasa kekeluargaan dan sudah
saling mengenal satu sama lain dengan baik. Pekerjaan mengolah sawah biasanya
dimulai pada pukul 06.30 - 12.00 (hingga beduk zuhur) WIB. Bagi petani pemilik
lahan, seringkali pada saat sore hari setelah ashar mereka turun lagi ke sawah
untuk sekedar menyiram atau memantau kondisi sawah mereka. Hal tersebut
mereka lakukan jika musim panen tiba atau akan tiba. Para pemilik lahan,
walaupun sudah mempekerjakan buruh tani mereka masih turun ke sawah untuk
menggarap bagian sawah mereka yang lainnya. Terkadang mereka juga
mengontrol pekerjaan buruh tani.
Berdasarkan informasi dari informan kunci dan hasil pengamatan,
disimpulkan terdapat hubungan “patron client” di Desa Cibatok 1. Hubungan
“patron client” disini dinilai peneliti tidak sekuat hubungan “patron client” yang
terdapat di daerah Jawa Tengah ataupun Jawa Timur pada sekitar abad ke-19.
Dapat dikatakan bahwa hubungann “patron client” di Desa Cibatok 1 sudah mulai
terkikis akibat masuknya komersialisasi pertanian di Desa Cibatok 1. Hubungan
“patron client” terbentuk karena adanya dua kelas petani yang berbeda, yaitu kelas
petani ‘atas’ sebagai patron dan kelas petani ‘bawah’ sebagai client (Sutisna,
2001). Perbedaan antara “patron client” terletak pada segi penguasaan materi
seperti penguasaan lahan pertanian serta barang-barang lainnya yang bernilai
ekonomi. Patron di Desa Cibatok 1 dapat ditunjukan dengan keberadaan pemilik
89
tanah, sedangkan client dapat ditunjukkan dengan adanya buruh tani di Desa
cibatok 1.
Hubungan “patron client” di Desa Cibatok 1 khususnya ditunjukkan
dengan adanya hubungan kekeluargaan dan rasa percaya yang tinggi dari petani
pemilik lahan pertanian dengan petani penggarap. Pemilik lahan pertanian sangat
mempercayakan pembelian dan penggunaan pupuk, bibit serta pestisida kepada
penggarap. Pada masa tanam pihak pemilik lebih sering hanya memantau sesekali
kondisi lahan pertaniannya.
Antara patron dan client memiliki suatu hubungan keterikatan karena
saling membutuhkan satu sama lain. Patron, memerlukan tenaga kerja manusia
untuk dapat mengelola sawahnya. Client, memerlukan pekerjaan dan memiliki
kemampuan untuk mengelola lahan pertanian bukan miliknya agar dapat
memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Dalam hubungan “patron client” disini,
pihak patron menjamin terpenuhinya kebutuhan dasar client.
90
VII. KESIMPULAN DAN SARAN
7.1. Kesimpulan
Pada penelitian ini, hipotesis pengarah telah mengarahkan peniliti pada
banyak hal. Mengacu pada hasil penelitian yang dituangkan dalam pembahasan,
terdapat beberapa hal penting antara lain :
Di Desa Cibatok 1, terdapat 18 orang petani memiliki lahan pertanian dan
22 orang petani lainnya tidak memiliki lahan pertanian. Struktur distribusi
pemilikan lahan sawah di Desa Cibatok 1 menunjukkan ketimpangan atau
ketidakmerataan. Hal tersebut ditunjukkan oleh Indeks Gini pemilikan lahan
sawah mencapai angka 0,348, kemudian Indeks Kuznet’s pemilikan lahan sawah
mencapai angka 0,824, serta perhitungan Bank Dunia pemilikan lahan sawah
berada dibawah 7 persen.
Perhitungan Indeks Gini yang sudah banyak dilakukan untuk menghitung
ukuran kemerataan kepemilikan lahan pertanian, ternyata memiliki banyak
kekurangan. Sala satunya, Indeks gini dinilai belum dapat memberikan gambaran
secara menyeluruh mengenai distribusi pemilikan lahan pertanian. Karena Indeks
Gini tersebut melakukan perhitungan kemerataan kepemilikan lahan pertanian
secara umum.
Untuk
mengatasi hal tersebut juga perlu digunakan ukuran
kemerataan lainnya yaitu Indek’s Kuznet karena memfokuskan pada golongan
atas pemilikan lahan pertanian dan perhitungan Bank Dunia yang memfokuskan
pada golongan bawah pemilikan lahan pertanian.
91
Kepemilikan lahan di Desa Cibatok 1 diperoleh melalui dua cara yaitu
waris dan jual beli. Terdapat 17 petani, yang lahan pertaniannya dimiliki berasal
dari warisan. Sementara itu, 23 petani lahan pertanian dari praktek jual beli dan
warisan. Terdapat 4 golongan petani berdasarkan luas lahan pertanian yang
dimiliki yaitu petani kaya (≥1 ha), petani menengah (0,500-0,999 ha), petani
miskin ( 0,001-0,499 ha) dan tunakisma (0 ha). Dari 40 orang responden yang
kepala keluarganya petani, terdapat 5 orang petani kaya, 3 orang petani
menengah, 10 orang petani miskin dan 22 orang tunakisma
Lahan pertanian terluas yang dimiliki petani di Desa Cibatok 1 adalah
seluas 3,2 ha. Lahan pertanian dinilai memiliki arti penting disektor ekonomi dan
sosial, walaupun dengan tingkat kepentingan yang berbeda- beda bergantung pada
luas lahan pertanian yang dimiliki. Kecuali bagi petani miskin dan petani
tunakisma, lahan pertanian memiliki arti penting bagi kedudukan sosial mereka di
masyarakat. Disektor politik, lahan pertanian tidak terlalu memiliki arti penting
pada seluruh golongan petani di Desa Cibatok 1.
Di Desa Cibatok 1, terdapat 3 jenis penguasaan lahan pertanian yaitu sewa,
bagi hasil dan gadai. Sistem tenurial yang dominan diterapkan di Desa Cibatok 1
adalah sistem sewa. Sementara itu, sistem bagi hasil dominan diterapkan pada
lahan sawah yang khusus ditanami padi. Sistem sewa di Desa Cibatok 1 sering
disebut dengan istilah ngontrak. Lamanya jangka waktu untuk penyewaan lahan
pertanian adalah setahun. Perpanjangan sewa dapat dilakukan pada tahun
berikutnya. Pembayaran sewa di Desa Cibatok 1 dilakukan dimuka.
92
Penentuan harga sewa diatur berdasarkan luas dan lokasi tanah yang
disewa. Jika lokasi tanahnya strategis yaitu dekat dengan jalan dan sumber air
harga sewanya mencapai sekitar Rp. 2000.000,00 per hektar. Untuk harga sewa
tanah termurah adalah Rp. 1000.000,00 per hektar.
Sistem bagi hasil atau sistem sakap di Desa Cibatok 1 sering disebut
dengan istilah paro. Cara bagi hasil yang berlaku di Desa Cibatok 1 adalah hasil
panen keseluruhan dikurangi pupuk oleh pemilik dan biaya membajak sawah
dengan kerbau oleh penggarap, baru kemudian membagi rata (1:1) hasil panen.
Bagi hasil pada umumnya dilakukan antara pihak pemilik lahan dan pihak
penggarap yang sebagian besar adalah buruh tani. Jangka waktu pengelolaan
sawah dengan sistem bagi hasil adalah sesuai dengan musim tanam hingga musim
panen setahun. Untuk sawah yang ditanami palawija tidak dilakukan sistem bagi
hasil.
Sistem gadai di Desa Cibatok 1 sering disebut dengan istilah ngade’.
Mengenai gadai, tidak terdapat aturan mutlak di Desa Cibatok 1. Jika lokasi
tanahnya strategis yaitu dekat dengan jalan dan sumber air harga gadainya
mencapai sekitar Rp. 2500,00 per meter persegi.
7.2. Saran
Penelitian ini, hanya mengkaji mengenai distribusi kepemilikan lahan
pertanian dan sistem tenurial yang diterapkan di Desa Cibatok 1. Di Desa Cibatok
1, banyak hal lain yang dapat diteliti lebih lanjut. Adanya penelitian tentang
distribusi kepemilikan lahan pertanian dan sistem tenurial di desa-kota ini,
93
diharapkan dapat menjembatani penelitian-penelitian pada hal lain seperti kaitan
antara sistem tenurial dengan diferensiasi sosial di Desa Cibatok 1, dengan
penerapan sistem tenurial yang dipaparkan pada Bab VI dapat dikaitkan dengan
bagaimana fungsi dan peran tanah bagi masyarakat desa-kota dibeberapa aspek
kehidupan.
Adapun saran-saran lain yang direkomendasikan antara lain :
Bagi Pihak Pemerintah
1. Diharapkan agar pemerintah desa dapat lebih mensosialisasikan lagi mengenai
pentingnya bukti kepemilikan lahan yaitu berupa sertifikat tanah.
2. Mengupayakan
hadirnya
peran
penyuluh
pertanian
yang
dapat
mensosialisasikan pentingnya pertanian bagi generasi muda.
3. Agar pemerintah desa melakukan pendataan ulang mengenai kepemilikan
lahan pertanian, sehingga Buku Letter C dapat diperbaharui.
Bagi Petani
1. Diharapkan bagi petani yang mempekerjakan buruh tani agar lebih
memperhatikan nasib buruh tani dan keluarganya.
2. Lebih menggalakkan penanaman padi khususnya bagi lahan pertanian yang
berpotensi untuk ditanami padi.
3. Merawat fasilitas irigasi yang telah diupayakan oleh aparat desa untuk
kemaslahatan bersama.
4. Aktif pada kegiatan yang terdapat dalam kelompok tani.
5. Bekerjasama dengan pemerintah desa dalam pendataan kepemilikan lahan
pertanian.
94
DAFTAR PUSTAKA
Elsworth,
Lynn.
n.d.
A
Place
in
the
World.
http://blog.com/profile/?userid=122714. Diakses Maret 2008.
Dharmawan, Leonard. 2008. “Analisis Pengaruh Program Pemerintah terhadap
Tingkat kemiskinan Rumah Tangga di Pedesaan melalui Program
Bantuan Langsung Tunai (BLT) dan Raksa Desa (Kasus Desa Cibatok 1,
Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa Barat)”.
Skripsi. Program Studi Komunikassi Pengembangan Masyarakat,
Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Hidayat, Kliwon. 1985. “Struktur Penguasaan Tanah dan Hubungan Kerja Agraris
Di Desa Jatisari, Lumajang, Jawa Timur.” Tesis. Fakultas Pasca Sarjana.
Institut Pertanian Bogor.
Husken, Frans. 1998. “Masyarakat Desa Dalam Perubahan Zaman: Sejarah
Diferensiasi Sosial di Jawa 1830-1980”. Jakarta: Gramedia.
Hutagalung. Arie Sukanti. 1983. “Program Redistribusi Tanah di Indonesia; Suatu
Sarana ke Arah Pemecahan Masalah Penguasaan Tanah dan Pemilikan
Tanah”. Jakarta.
Kano, Hiryoshi 1984. “Sistem Pemilikan Tanah dan Masyarakat Desa di Jawa
pada Abad XIX”. Dalam Sediono M.P. Tjondronegoro dan Gunawan
Wiradi. Dua Abad Penguasaan Tanah: Pola Penguasaan Tanah Pertanian
di Jawa dari Masa ke Masa, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, hal.28—84.
Kanto, Sanggar. 1986. “Struktur Penguasaan dan Hubungan Kerja Agraris Di
Daerah Pedesaan Jawa Timur (Kasus, Di Desa Janti, Kabupaten
Sidoarjo)”. UNB.
Kroef, Justus M. van der. 1984. Dalam Dua Abad Penguasaan Tanah. Penyunting:
Tjonderonegoro dan Gunawan Wiradi. Jakarta: Gramedia.
Manuwoto, Syafrida. 1995. “Laporan Akhir : Penelitian Pelaksanaan Landreform
Pedesaan”. Pusat Penelitian dan Pengembangan Badan Pertanahan
Nasional dan IPB.
Santoso, Urip. 2005. “Hukum Agraria dan Hak-Hak Atas Tanah”. Jakarta:
Kencana
Sihaloho, Martua. 2004. “Konversi Lahan Pertanian dan Perubahan Struktur
Agraria”. Tesis Program Studi Sosiologi Pedesaan. Program Pasca
Sarjana. Institut Pertanian Bogor.
Sigit, Hananto. 1980. “Masalah Perhitungam Distribusi Pendapatan di Indonesia”.
Prisma. Edisi 1 Januari 1980 Tahun IX. Jakarta: LP3ES.
Sitorus, M.T. Felix. 1998. Penelitian Kualitatif Suatu Perkenalan. Kelompok
Dokumentasi Ilmu Sosial. Institut Pertanian Bogor.
Sutisna, Entis. 2001. “Perubahan Kelembagaan Penguasaan Lahan dan Hubungan
Kerja Agraris Berkaitan Masuknya Perusahaan Industri Pada Masyarakat
Petani di Pedesaan”. Tesis. Program Studi Sosiologi Pedesaan. Program
Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor.
Tashadi. 1985. “Pola Penguasaan, Pemilikan, dan Penggunaan Tanah Secara
Tradisional Di Daerah Istimewa Yogyakarta”. Yogyakarta : Depdikbud.
Tjondronegoro, Sediono M.P., 1999. Sosiologi Agraria: Kumpulan Tulisan
Terpilih, Bandung: Akatiga.
Wahyuni, Ekawati Sri dan Pudji Mulyono. 2006. Modul Mata Kuliah Metode
Penelitian Sosial. Diterbitkan di Departemen Ilmu-Ilmu Sosial ekonomi
Pertanian, Fakultas Pertanian, IPB.
Warsito, Rukmadi. 1982. “Aspek Penguasaan Tanah dan Hubungan Kerja Agraris
(Studi Kasus Tentang Perubahan Sosial Di Grumbul Kalicacing, Desa
Kalimandi, Banjarnegara, Jawa Tengah)”. Tesis. Fakultas Pasca Sarjana.
Institut Pertanian Bogor.
Wiradi, G. (1984). “Pola penguasaan tanah dan Refoma Agraria”. Dalam Dua
Abad Penguasaan Tanah, Penyunting: Sediono M.P. Tjondronegoro dan
Gunawan Wiradi. Jakarta: Gramedia.
Wiradi, G. & Makali. (1984). “Penguasaan tanah dan kelembagaan”. Dalam
Prospek Pebangunan Ekonomi Pedesaan Indonesia. Penyunting : Faisal
Kasryno. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
Mahanani, Subekti. 2005. “Struktur Hubungan Agraria : Studi Struktur
Penguasaan Sumber Agraria (Tanah) Di Desa Terbanggi Besar,
Kecamatan Terbanggi Besar, Kabupaten Lampung Tengah, Provinsi
Lampung”. Seri Working Paper. Nomor 21. Bandung : Yayasan
AKATIGA.
Sadikin. 2005. “Struktur Agraria dan Tingkat Pendapatan Masyarakat Pedesaan :
Kasus Desa Wanasari, Kabupaten Tabanan, Provinsi Bali”. Seri Working
Paper. Nomor 23. Bandung : Yayasan AKATIGA.
LAMPIRAN
Lampiran 1. Lokasi Penelitian
PETA ADMINISTRATIF DESA CIBATOK SATU
KECAMATAN CIBUNGBULANG
KABUPATEN BOGOR
N
W
E
S
SKALA 1 : 12000
683500
684000
684500
685000
9273000
9273000
Ki boj em
Joh ar
Kong si
Gumb ir a
H ar ian g
Sami
Kaum
Kong si
Dempo k
Har i ang
Saun g
Suka ma ju
R andu
Tam
Al ik in
a
bak
9272500
Teng ah
9272500
n
Suka
Bagu s
Bat ut umpang
Bu kti
D enok
Pe ut euy
Lame
Leden g
Jaya
Su kaha ti
Har kat
Pa So li hin
Seha t
Ai le m
Me sji d
Pe ngki
9272000
9272000
Duku h
Se tr a
Pa ngan ten
Mekt os
Jai sin
Suka bunga h
Payu ng
Ast ana
Nusa jat i
Pa
bua
ran
Wud uk
Nusa jaya
9271500
Momongg o
r
9271500
Sadi
RW.
RW.
RW.
RW.
RW.
RW.
RW.
RW.
RW.
Menco s
9271000
683500
400
684000
0
684500
01
02
03
04
05
06
07
08
09
9271000
685000
400 Meters
BR _ER K_MMN _A PY _A DM_062005
Lampiran 2. Foto Udara Lokasi Penelitian
Lampiran 3. Jadwal penelitian Tahun 2008
No.
Kegiatan
Lokasi
Maret
1
I
2
3
April
4
1
Penyusunan proposal penelitian dan kolokium
Penyusunan draft dan revisi
IPB
Konsultasi proposal
Orientasi dan observasi lapangan
Kolokium
II
IPB dan
lapangan
IPB
Studi lapangan
Pengumpulan data
Lapangan
Analisis data
III
Penulisan laporan
Analisis lanjutan
IPB
Penyusunan draft dan revisi
laporan
Konsultasi laporan
IPB dan
lapangan
IPB
IV
V
Sidang Skripsi
Sidang (ujian skripsi)
2
3
Mei
4
1
2
3
Juni
4
1
2
3
Juli
4
1
2
3
Agustus
4
Lampiran 4. Teknik Pengumpulan Data
Topik Teoritis
Pada distribusi kepemilikan lahan terdapat golongan petani Golongan-golongan petani di
yang didasarkan pada luas kepemilikan lahannya yaitu desa berdasarkan luas
petani kaya (≥1 ha), petani menengah (0,500-0,999 ha), kepemilikan lahan
petani miskin ( 0,001-0,499) dan tunakisma (0 ha).
Petani dengan luas lahan ≥1 ha
Petani dengan luas lahan ≥
Transfer kepemilikan lahan pertanian diperoleh dari proses (0,500-0,999 ha)
waris dan jual beli yang kemudian disertai dengan Petani dengan luas lahan ≥(
dimilikinya formalisasi berupa sertifikat atau surat 0,001-0,499)
kepemilikan lahan pertanian.
Petani tunalahan (0 ha)
Kepemilikan lahan sawah
penduduk desa
Data sekunder
(data dari desa)
Informan kunci
Responden
Teknik
pengambilan data
kuesioner
Analisis data
sekunder (data
desa)
Penerapan
Terdapat beberapa jenis sistem tenurial antara lain sewa,
Bentuk sistem tenurial di
sistem
bagi hasil, dan gadai, dengan tendensa pergeseran sistem
pedesaan
tenurial di
tenurial ke bentuk sewa yang lebih komersial.
Desa Cibatok
Sistem tenurial yang sebagian
1 dan sistem
besar digunakan oleh petani di
tenurial yang
desa.
paling
dominan di
desa tersebut
Informan kunci
Responden
Data sekunder
(data dari desa)
Observasi
lapang.
Wawancara
mendalam
Distribusi
kepemilikan
lahan di Desa
Cibatok 1
Hipotesa Pengarah
Data yang diperlukan
Sumber data
Lampiran 5. Kuesioner Penelitian
Kuesioner Penelitian : “Distribusi Kepemilikan Lahan dan Sistem Tenurial
Dominan Di Desa-Kota (Studi Kasus : Dusun 3, Desa
Cibatok 1, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten
Bogor, Provinsi Jawa Barat)”
Nomor
:
Desa/kampung/RW/RT
:
Nama responden
:
1. Apakah Bapak/Ibu memiliki lahan pertanian di desa ini? (jika YA, lanjut
pertanyaan no.2)
a. Ya
b. Tidak
2. Berasal darimanakah lahan sawah yang Bapak/Ibu miliki?
a. Jual-beli
b. Warisan
c. Keduanya
3. Isilah tabel berikut ini :
No.
1.
2.
3.
4.
Kepemilikan Lahan Pertanian
Jenis Lahan
Beri Tanda (X)
Sawah irigasi
Sawah tadah hujan
Tegalan
Pekarangan
Luas Lahan
Lampiran 6. Panduan Pertanyaan 1
Responden
Nomor
Desa/kampung/RW/RT
Nama responden
Pewawancara
Hari/tanggal
:
:
:
:
:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
Apakah Bapak/Ibu penduduk asli?
Apakah Bapak/Ibu memiliki lahan di Desa Cibatok 1?
Bagaimanakah sejarah lahan yang Bapak/ibu miliki?
Berapa luas lahan yang Bapak/Ibu miliki?
Bagaimanakah sejarah kepemilikan lahan Bapak/Ibu ?
Mengapa Bapak/Ibu membeli tanah di Desa Cibatok ?
Pernahkah Bapak/Ibu membeli tanah di luar desa?
Pernahkah Bapak/Ibu menjual tanah ke luar Desa? Mengapa?
Bagaimana cara sistem jual beli yang biasa digunakan di Desa Cibatok1,
yang Bapak/Ibu ketahui?
10. Menurut Bapak/Ibu, apa bukti kepemilikan lahan yang lazim digunakan di
Desa Cibatok 1?
11. Menurut Bapak/Ibu, apakah bukti kepemilikan lahan cukup dengan caracara tradisional?
12. Menurut Bapak/Ibu, apakah surat kepemilikan tanah itu sangat penting?
13. Menurut Bapak/Ibu, apakah setiap proses yang dilaksanakan berhubungan
dengan tanah, misalnya jual beli tercatat di kantor desa? Jika tidak,
mengapa bisa terjadi?
14. Sistem penguasaan lahan yang bagaimanakah yang Bapak/Ibu kelola?
15. Apakah lahan yang Bapak/Ibu kelola dimiliki secara bersama-sama
dengan beberapa orang tertentu atau dimiliki secara perorangan?
16. Apakah Bapak/Ibu menyewa lahan kepada orang lain? kepada siapa dan
bagaimanakah prosesnya?
17. Apakah Bapak/Ibu menyewakan lahan milik Bapak/Ibu kepada orang lain?
Kepada siapa dan bagaimanakah prosesnya?
18. Apakah Bapak/Ibu bekerja pada lahan milik orang lain? kepada siapa dan
bagaimana prosesnya?
19. Apakah Bapak/Ibu melakukan sistem bagi hasil dalam mengelola lahan?
Dengan siapa?
20. Sistem bagi hasil yang dilakukan dengan sistem yang bagaimana?
Bagaimanakah cara Bapak/Ibu melaksanakan sistem bagi hasil tersebut?
21. Apakah ada jangka waktu pengelolaannya?berapa lama?
22. Sejak kapan Bapak/Ibu bekerja menggarap lahan milik orang lain?
Bagaimana proses penggarapannya?
23. Apakah Bapak/Ibu pernah melakukan sistem gadai? Mengapa?
Bagaimanakah proses dilakukannya sistem gadai tersebut?
1
Panduan pertanyaan ini bersifat kondisional, bisa bertambah sesuai dengan keperluan dan kondisi
lapang
24. Apakah Bapak/Ibu mempekerjakan buruh tani? Mengapa? Bagaimana cara
Bapak/Ibu untuk mengontrol dan mengawasi buruh tani?
25. Dari mana biasanya informasi seorang buruh yang cocok untuk bekerja
ditempat Bapak/Ibu?
26. Menurut Bapak/Ibu, apakah golongan penguasaan tanah yang terbesar di
Desa Cibatok 1?
27. Komoditas pertanian apa yang Bapak/Ibu tanam/kelola?
28. Apakah jenis lahan yang Bapak/Ibu kelola?2
29. Apakah Bapak/Ibu memiliki mata pencaharian lain selain pertanian?
Sebutkan dan mengapa?
Informan
1. Bagaimanakah sejarah terbentuknya Desa Cibatok 1?
2. Bagaimanakah sejarah pemilikan tanah di Desa Cibatok 1?
3. Bagaimanakah cara – cara yang ditempuh oleh orang – orang untuk dapat
menguasai lahan pertanian pertama kali?
4. Siapakah yang pertama kali membuka lahan pertanian di Desa Cibatok 1?
5. Siapakah yang menjadi pelopor dalam mengembangkan pertanian di Desa
Cibatok 1?
6. Bagaimanakah sejarah penguasaan lahan pertanian di Desa Cibatok 1?
2
Sawah irigasi dan sawah tadah hujan,
Lampiran 7. Perbedaan 4 Aliran dalam Memandang Jaminan Sistem Tenurial
Security of
Tenure
Fokus bahasan
Security of
Tenure
Konsep dan
Argumen
Property Rights
Agrarian Structure
Kepentingan nilai
ekonomi dengan
memiliki hak
properti yang
dapat
diperdagangkan
Mempermasalahkan
outcome yang adil
pada perdagangan
terbatas atas hak
properti
Property Rights
Agrarian
Structure
Aliran ini
mengacu pada
distribusi lahan
(termasuk hutan
atau wilayah
umum lainnya) di
antara petani.
Meyakini bahwa
titel yang dapat
diperdagangkan
dapat melindungi
petani dari
ancaman
pencaplokan
lahan oleh
pemerintah
maupun
perusahaan,
namun tidak
selalu mampu
berpihak pada
orang �'kecil�'
/miskin.
Memandang
security of tenure
bukan hanya
sebagai hak
melekat tapi
lebih kepada
keinginan politik
yang dapat
menjamin
komunitas dari
Hak properti
dimaksudkan
sebagai hak yang
melekat pada
seseorang/institusi
secara individu,
privat dan bisa
diperdagangkan.
Dengan sifat2
tersebut, diyakini
bahwa akan
terjadi efesiensi
produksi.
Dengan
pertumbuhan
populasi
sumberdaya akan
semakin langka,
sehingga sistem
properti privat
harus dibuat
dengan
memfokuskan
pada perdagangan
individual.
Meskipun akan
terjadi pihak
menang dan kalah
dalam transaksi
dagang, hasilnya
akan tetap
membuat semua
pihak menjadi
Common
Property
Pengakuan dan
dukungan atas
sistem properti
berbasis
masyarakat
yang tradisional
yang masih
berlaku di
wilayah hutan
alam
Common
Property
Tidak secara
spesifik
mengkritik teori
dari property
rights maupun
agrarian
structure.
Memfokuskan
pada pembahasan
sumberdaya
umum (common
resources) non
individual.
Harus dibedakan
antara
sumberdaya open
access (yang
tidak dikelola),
dan common
property yang
dikelola.
Meyakini bahwa
sistem ini dapat
menjadi tumpuan
bagi kaum
miskin, dengan
tidak
memprivatisasi
seluruh properti.
Aliran ini
mendukung
ruang fisik dan
kultur yang
Institutionalis
Bagaimana
ekonomi politik
yang lebih luas
secara konstan
membentuk
kembali rejim
properti dan
menentukan
untuk
memberikan atau
tidak
memberikan
tenure security
kepada orang2
yang menuntut
sebuah hak
properti tertentu
Institutionalis
Menggunakan
metode analisa
mulitdisipliner
yang mencoba
mengungkap
asumsi dan
definisi aliran
lain.
Sebagai
perspektif
alternatif yang
dimulai dari
poligik akses dan
kontrol
sumberdaya di
antara beragama
aktor sosial dan
mengacu pada
perubahan
lingkungan
sebagai outcome
dari negosiasi
antara aktor2
sosial yang
memiliki
prioritas berbeda
dalam mengelola
dan
memanfaatkan
sumberdaya
alam.
Tidak ada tipe
properti yang
lebih baik dari
sebelumnya (lihat
konsep Pareto
optimality)
Security of Tenure
Bukti-bukti
kelas miskin dan
menengah untuk
mendapatkan
perlindungan dari
tekanan pasar.
Kepemilikan
sumberdaya oleh
komunitas
memiliki banyak
nilai kebaikan
non-ekonomis
yang dibutuhkan
sebagai
kelompok
masyarakat.
.
Property Rights
Di luar AS dan Eropa
yang menjadikan hak
properti sebagai sitem
legal, aliran ini
terbukti tidak dapat
berlaku optimal.
Di negara-negara lain
seperti di Asia
maupun Afrika, sistem
ini tidak terbukti dapat
diberlakukan secara
positif.
memperkuat
ikatan sosial
antar manusia,
dapat lebih
efesien dalam
mengelola
sumberdaya,
merupakan
sistem paling adil
secara praktis
maupun
kemanusiaan
dalam megelola
sumberdaya,,
memberikan
akses bagi
sumberdaya yang
mampu bertahan
dalam keadaan
sulit,
memberikan
tempat di dunia,
serta
mengalokasikan
banyak jenis
sumberdaya
berdasarkan
konsep lokal.
Anggota
kelompok
masyarakat
dengan
kepemilikan
tenure memiliki
keseteraan dalam
menuntut hak
tenure security.
Agrarian Structure
Meski menuai kritik
dari bukti-bukti
terdahulu, aliran ini
tetap yakin akan
unggulnya kebijakan
reformasi lahan (land
reform).
ideal, sehingga
untuk aliran ini
kekuatan politik
dan distribusi
sumberdaya
menjadi lebih
penting dalam
menentukan
siapa yang bisa
memperoleh
security of
tenure, siapa
yang tidak.
Hak properti
dilihat sebagai
suatu relasi sosial
di antara para
pihak.
Hak melekat
yang dapat
diperdagangkan
adalah bagian
dari tenure
security.
Common Property
Berdasar data, sistem
ini dapat bertahan di
beberapa tempat,
namun di tempat
lainnya tidak bertahan,
atau harus melakukan
penyesuaian.
Security of
Tenure
Review
kebijakan
Property Rights
Aliran ini
mengurangi
luasan arti dari
tenure security
dengan
membatasi pada
sebuah hak
melekat yang
dapat
diperdagangkan
pada pasar jualbeli lahan.
Untuk lahan dan
hutan, ada
beberapa nilai
yang tidak dapat
diperdagangkan
hanya karena
dipercaya dapat
menghasilkan
pemanfaatan
yang paling
efisien.
Agrarian
Structure
Pasar dapat
memberikan nilai
tambahterhadap
sumberdaya
sekaligus
memberikan
penilaian yang
tidak adil, oleh
karena itu harus
ada kontrol dan
pengaturan
terhadap pasar
sehingga pemilik
sumberdaya
mendapatkan
nilai maksimal
dari sumberdaya
yang dimilikinya
(terutama untuk
kelas tertentu).
Perlunya aturan
untuk dapat
memberikan
tenure security,
bukan sebatas
perjanjian di atas
kertas.
Common
Property
Dengan kritik
bahwa sistem
perdagangan
dengan hak
melekat
individual dapat
menyebabkan
ketidaksetaraan
dan
berkurangnya
efisiensi, aliran
ini mengusulkan
pemerintah untuk
menemukan cara
guna mendukung
sistem properti
ini dengan lebih
mengakui hak
komunitas
ketimbang
individu dalam
kepemilikan
hutan.
Sumber : http://blog.com/profile/?userid=122714 oleh Elsworth (n.d.)
Institutionalis
Dalam
kebijakan, aliran
ini bersimpati
terhadap
common
property dan
agrarian
structure, namun
melihat bagwa
kebijakan
tersebut lahir
dari ekonomi
politik dan
menciptakan
pihak yang
menang dan
kalah.
Menganalisa
kebijakan yang
mempelajari
siapa yang
mungkin menang
dan kalah.
Mengusulkan
untuk melakukan
pemikiran
tentang distribusi
aset dan
pendapatan serta
memikirkan
masa depan
dunia.
Lampiran 8.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Dasar PokokPokok Agraria
Bagian III
Hak Milik
Pasal 20
(1) Hak Milik adalah hak turun-temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat
dipunyai orang atas tanah dengan mengingat ketentuan dalam Pasal 6.
(2) Hak Milik dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain.
Pasal 21
(1) Hanya warga negara Indonesia yang dapat mempunyai hak milik.
(2) Oleh Pemerintah ditetapkan badan-badan hukum yang dapat mempunyai hak
milik dan syarat-syaratnya.
(3) Orang asing yang sudah berlakunya undang-undang ini memperoleh hak milik
karena pewarisan tanpa wasiat atau pencampuran harta karena perkawinan,
demikian pula warga negara Indonesia yang mempunyai hak milik dan setelah
berlakunya undang-undang ini kehilangan kewarganegaraannya wajib
melepaskan hak itu di dalam jangka waktu satu tahun sejak diperolehnya hak
tersebut atau hilangnya kewarganegaraan itu. Jika sesudah jangka waktu
tersebut lampau hak milik itu tidak dilepaskan, maka hak tersebut hapus karena
hukum dan tanahnya jatuh kepada negara, dengan ketentuan bahwa hak-hak
pihak lain yang membebani tetap berlangsung.
(4) Selama seseorang disamping kewarganegaraan asing maka ia tidak dapat
mempunyai tanah dengan hak milik dan baginya berlaku ketentuan dalam ayat
3 pasal ini.
Pasal 22
(1) Terjadinya hak milik menurut hukum adat diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
(2) Selain menurut cara sebagai yang dimaksud dalam ayat 1 pasal ini hak milik
terjadi karena :
a. Penetapan Pemerintah menurut cara dan syarat-syarat yang ditetapkan
dengan Peraturan Pemerintah.
b. Ketentuan undang-undang
Pasal 23
(1) Hak milik, demikian pula setiap peralihan, hapusnya dan pembebanannya
dengan hak-hak lain harus didaftarkan menurut ketentuan-keteantuan yang
dimaksud dalam Pasal 19
(2) Selain menurut cara sebagai yang dimaksud dalam ayat I merupakan alat
pembuktian yang kuat mengenai hapusnya hak milik serta sahnya peralihan
dan pembebanan hak tersebut.
Pasal 24
Penggunaan tanah milik oleh bukan pemiliknya dibatasi dan diatur dengan
peraturan perundangan.
Pasal 25
Hak milik dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani hak tangguangan
Pasal 26
(1) Jual beli, penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat, pemberian
menurut adat dan perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untuk
memindahkan hak milik serta pengawasannya diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
(2) Setiap jual beli, penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat dan
perbuatan-perbuatan lain dimaksudkan untuk langsung atau tidak langsung
memindahkan hak milik kepada orang asing, kepada warga negara yang di
samping kewarganegaraan Indonesianya mempunyai kewargenegaraannya asing
atau kepada suatu badan hukum, kecuali yang ditetapkan oleh Pemerintah
termaksud dalam Pasal 21 ayat 2 adalah batal karena hukum dan tanahnya jatuh
kepada negara, dengan ketentuan, bahwa hak-hak pihak lain yang membebaninya
tetap berlangsung serta semua pembayarannya yang telah diterima oelh pemilik
tidak dapat dituntut kembali.
Pasal 27
Hak milik hapus apabila :
a. Tanahnya jatuh kepada negara :
1. Karena pencabutan hak berdasarkan Pasal 18
2. Karena penyerahan dengan sukarela oleh pemiliknya
3. Karena ditelantarkan
4. Karena ketentuan Pasal 21 ayat 3 dan 26 ayat 2.
b. Tanahnya Musnah.
Lampiran 9. Sumberdaya alam dan Buatan Desa Cibatok 1
I. RW 01, 02, 08
NO
JENIS
SUMBERDAYA
ALAM
LOKASI
KETERANGAN
RW 01
RW 02
RW 08
1
Sungai
Cibungbulang
x
v
x
2
3
Batu kali
Pasir
x
x
v
v
x
x
4
Ikan
x
v
x
5
Mata air
v (12)
v (6)
v (7)
6
Lahan (Kebun)
v
v
v
7
Lahan(sawah)
v
v
v
Masih Digunakan
Sdh Banyak Berkurang Dan
Kecil-Kecil, Digunakan Untuk
Bangunan Dan Di Jual
Masyarakat
Dijual Dan Digunakan Sendiri
Berkurang Akibat Di Racun
Dan Sisa Buangan Pestisida
Sawah
Digunakan Untuk Segala
Kebutuhan Rumah Tangga,
Berkurang Akibat Perumahan
Dan Fasilitas Umum
Sebagian(50%)Lahan Milik
Orang Luar Desa
II. RW 07
LOKASI
RT 02 RT 03
x
v
1
JENIS SUMBERDAYA
ALAM
Sungai Cibungbulang
2
3
Batu kali
Pasir
x
x
x
x
v
v
4
Ikan
x
x
v
Mata air
v
x
v
6
Lahan (Kebun)
v
v
v
7
Lahan(sawah)
v
v
v
NO
5
RT 01
x
KETERANGAN
masih digunakan
digunakan untuk kebutuhan
wrga
dijual dan digunakan sendiri
dipancing oleh penduduk
setmpat
digunakan untuk segala
kebutuhan rumah tangga
ditanam tanaman pertanian
musiman
sebagian(50%)lahan milik
orang luar desa
III. RW 03
NO
JENIS
LOKASI
SUMBERDAYA
RT 01
RT 02
1.
Persawahan
3 Ha
Tidak ada
2
Kebun campuran
1 Ha
2 Ha
3
Saluran irigasi a)
2 km
2 km
4
Sumber mata air
1 titik
Tidak ada
5
Sungai/kali
1 km
Tidak ada
6
Kolam ikan
0,5 Ha
Tidak ada
keterangan: a) Berfungsi sebagai batas RT 01 dan RT 02
JUMLAH
3 Ha
3 Ha
2km
1 titik
1 km
0,5
IV. RW 04
NO.
JENIS
SUMBERDAYA
1. Sawah
2. Kebun
3. Kolam
01
-
LOKASI (RT)
02
03
1 ha
2
2
2000m
1000m
2
1000m
3. Mata Air
4. Sungai/Irigasi
ada
ada
-
RT 01
8 Ha
1 Ha
Ada
LOKASI
RT 02
20 Ha
Tidak ada
Tidak ada
RT 03
5 Ha
Tidak ada
Ada
Ada
Ada
Tidak ada
Ada
Ada
Ada
04
2,5 ha
2
7500m
2
4200m
1
ada
KETERANGAN
Pemilik orang kota
Tidak produktif
Saluran air rusak
Pemilik orang
kota
Tidak ada pengelola
Sapak
Saluran
menyempit
V. RW 05
NO
4.
5.
JENIS
SUMBERDAYA
Lahan sawah
Kebun kosong
Wahangan/sungai
ciarueten
Batu kerikil
Batu besar
6.
Pasir
Ada
Ada
Ada
7.
Air sungai (mandi,
cuci, kakus)
Ada
Ada
Ada
8.
9.
10.
11.
Udang
Ikan lele
Kepiting
Mata air (sawah,
minum, mck)
2
2
1
12.
Rumput
Pohon
Ada
Ada
Ada
1.
2.
3.
KETERANGAN
Wakaf
1 km
Tidak diambil
Kebutuhan warga RW
05 , dijual untuk
warga
Kebutuhan warga RW
05, dijual untuk warga
Umum
Rumpun bambu
VI. RW 06
Jenis
RT 01
1. Mata Air ada 2
RT 01 RT 02
Mata air: Di sini ada 2 atau 4 mata
air yang bertempat, 2 di cikarat
dan2 di cikidul gunanya untuk
keperluan para penduduk, yang
digunakannya untuk mandi, cuci,
dan apa saja
Ada
(1)
Lokasi
RT 02
ada (1)
Keterangan
Mata air disini cukup bagus
bagi masyarakat disini dan
juga banyak kegunaannya.
Contohnya
Buat mandi, cuci, minum, dan
keperluaan masyarakat
lainnya.
RT 01 => sudah dibangun
RT 02 => masih dialami
2. Sungai
Sungai Leumi Jengkol:
Sangat banyak digunakan oleh
warga 01/06 misalnya: Untuk
mandi, mencuci pakaian ,mencuci
piring, dan juga ada jenis ikan ,
batu dan pasir. Disini juga jenis
ikannya hampir punah, kalau dulu
jenis ikannya banyak tetapi
sekarang hampir tidak ada karena
banyak orang yang meracunnya.
ada
Tidak
ada
Sungai banyak digunakan
untuk mandi, cuci piring, cuci
pakaian.
Keadaan: Sedikit memburuk
karena banyak buang sampah
di sungai, kotoran binatang,
dan kotoran manusia.
Untuk irigasi: Untuk
perkebunan dan saluran
3. Ikan sering diracun
Hampir habis
Ada
Tidak
ada
4. Udang hampir habis
ada
Kalau dulu sangat banyak
tetapi sekarang hampir
punahkarena banyak orang
yang meracuni, sehingga ikan
sekarang susah didapat.
Contohnya ikannya: Udang,
lele, benter, dan jeler
Tidak
ada
5. Batu-batu di kali Ciasutan
ada
Tidak
ada
6. Pasir RT 02
ada
Tidak
ada
7. Lahan
- perumahan
- singkong
ada
ada
Batu sekarang hampir habis
karena banyak yang diambil
untuk dijual dan keperluan
sendiri misalnya:
Untuk rumah dan jalan
Pasir hampir habis karena
diambil hampir setiap hari jadi
keadaan pasir yang ada di
sungai hampir buruk
Perumahan, kebun singkong,
kebun pepaya, kebun
campuran/tumpang sari,
sawah.
VII. RW 09
SUMBER DAYA
Kali/sungai
 Batu kali
 Pasir
 Kelikir
 Tanah lempung
- Bahan semen
- Bahan cat
 Ikan
LOKASI
RT 01
RT 02
2
1
v
v
v
v
v
v
1
1
v
v
Lahan
 Sawah
 Kebun
 Pemukiman
v
v
v
v
v
v
Mata air
6
5
KETERANGAN
 Keperluan warga
I. RW 01,02, 08
NO
POTENSI
RW
01
LOKASI
RW
02
KETERANGAN
RW
08
1
Sekolah Dasar
x
x
v
2
TK/TPA
x
x
v
3
4
5
Gang /jln setapak
Balai Desa
Pemakaman umum
v
x
v
x
x
v
v
v
v
6
Sawah
v
v
v
7
8
9
Perkebunan
Penggilingan padi
MCK/Pancuran
v
x
v
v
x
v
v
v
v
10
Masjid Jami' Al-Falah
x
v
x
11
Saluran pembuangan air
x
x
v
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
Musholla Al-Amin
Kandang kerbau dan ternak
Sekolah MIN
Jembatan bambu
Pondok Pesantren
Empang/kolam
Rumah Walet
Bendungan
Wartel
Listrik
Telepon rumah
v
v
x
v
x
x
x
x
v
v
v
v
v
v
v
x
v
v
v
x
v
v
v
v
x
x
v
x
x
x
v
v
v
Kekurangan bangku
murid
dibutuhkan bangunan
milik pribadi
masih terlalu sempit
Masih kurang memadai
Luas sawah banyak
berkurang
banyak berkurang
Daya tampung jumatan
kurang
Dari RW -2 ke RW 08
menuju kali, belum di
semen
Di RT 04 RW 02
II. RW 03
NO
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
JENIS SUMBERDAYA
Masjid
Mushollah
Madrasah
Pesantren
Majelis Ta’lim
Kantor BRI
Ruko
Kios warung
Penggilingan padi
Waletl
Perbengkelan
Lapangan polly ball
Lapangan T. Meja
Kandang domba
Kandang ayam
JUMLAH POTENSI SDB (unit)
RT 01
RT 02
Jumlah
Tidak ada
1
1
1
1
2
Tidak ada
1
1
1
Tidak ada
1
Tidak ada
2
2
1
Tidak ada
1
2
6
4
15
19
Tidak ada
1
1
Tidak ad
1
1
1
Tidak ada
1
1
Tidak ada
1
1
Tidak ada
1
Tidak ada
1
1
10
5
15
III. RW 04
NO.
JENIS
SUMBERDAYA
1. Masjid
2. Mushalla
3. Pasar
4. Sekolah
5. Wartel
6. Kios
7. Terminal
8. Pesantren
9. Puskesmas
10. Majdlis
11.Koramil
LOKASI (RT)
02
03
1
1
3
2
1
1
-
01
1
7
1
1
1
KETERANGAN
04
2
2
-
IV. RW 05
NO
JENIS
SUMBERDAYA
Rumah
RT 01
75
LOKASI
RT 02
55
RT 03
51
Mesjid
Musola
Majlis Ta’lim
Jalan umum
Gang/jalan umum
Tidak ada
1
2
200 m
350 m
1
1
Tidak ada
300 m
150 m
Tidak ada
Tidak ada
1
200 m
200 m
6
Selokan
Got
Kandang ayam
Kandang kambing
Kolam ikan
600 m
200 m
40
6
2
7
MCK
8
9
10
Jembatan
Bendungan
Kebun pepaya
Kebun singkong ubi
Sawah
Campuran
3 (1
permanen)
4 (2 rusak)
2 (a. 3x3 m)
2,5 Ha
4 ha
1 Ha
0,5 Ha
300 m
200 m
35
Tidak ada
6 (3 tidak
dipakai)
2 (1
permanen)
4 (3 rusak)
2 (a.5x5 m)
5 Ha
6 ha
7 Ha
2 Ha
300 m
100 m
20
9
2 (1
dipakai)
2 (1
permanen)
1 rusak
1 (5x5 m)
1,5 ha
1,5 ha
1 Ha
1 Ha
1
2
3
4
5
KETERANGAN
RT 01 =1
RT 02 =1
RT 03 =1
Rusak
75 m rusak berat
Rt 02
150 m rusak berat
Rt02
100 m rusak berat
RT 01
Rusak
Tidak layak
V. RW 06
SUMBER DAYA
Rumah
Jembatan
Jalan desa
Mesjid
Sawah
LOKASI
KETERANGAN
RT 01
ada
ada (1)
ada
ada
RT 02
ada
tidak ada
ada
ada
ada
ada
Bagus, milik
P= 15 m, L= 2,5 bagus
Rusak
Sedang di bangun (belum
selesai)
Padi, holtikultura
Tanaman pepaya
Kolam ikan
Tanaman padi
tidak ada
ada (2)
ada
ada (2)
ada
ada
Masih porduktif
Ada yang tidak diusahakan
modal kurang
Produksi kurang, HPT, sistem
tradisional, tidak ada
penyuluhan & bantuan
Sudah bangkrut
Sudah bangkrut
RT 02 belum dibangun
Aktif
Rusak, tersumbat
Tidak diperbaiki kbn
Mengganggu jalanan
Sekolah
Madrasah
MCK
Pos ronda
Gorong-gorong
Tidak ada
Ada
Ada (1)
Tidak ada
Ada (1)
Tidak ada
Tidak ada
Ada (1)
Ada (1)
Tidak ada
Saluran irigasi
Bendungan
Tempat pengajian anakanak
Pengilingan padi
Kandang kerbau
Tidak ada
Ada
Ada
Tidak ada
Ada
Ada
Hancur
Bagus
Ada
Tidak ada
Ada
Ada
Bagus
Bagus
VI. RW 07
NO
1
POTENSI
3
Sawah (padi)
Kebun (tanaman
pertanian)
Bendungan air irigasi
4
Mesjid Nur Ihwan
2
RT 01
v
LOKASI
RT 02 RT 03
v
v
v
v
bagus/baik
v
v
v
v
x
x
bagus/baik,
ada Tabir (pembatas Jemaah
Laki-laki
perempan)
v
x
x
bagus/baik
v
v
v
belum merata,tanpa aturan
2 buah, dimanfaatkan 1, masih
kurang.
bagus/baik
kurang lebar, masih diproses
baik/sudah sesuai
hanya 80 m , kurang luas.
saluran air got kurang lancar,
tapi
masih di manfaatkan
ternak kambing, ayam
kampung,
itik dan kerbau.
6
7
MCK
v
x
v
8
9
10
11
Lapangan bulu tangkis
Jalan Dusun/RW
Gang /jln setapak
Pekuburan Wakap
Empang ikan mas,dan
nila
v
v
v
x
x
v
v
v
x
v
v
x
x
v
v
Peternakan
v
v
v
12
13
2 kali panen setahun
v
SMA Negeri
Cibungbulang
Rumah penduduk
5
KETERANGAN
VII. RW 09
SUMBER DAYA
Rumah pemukiman
 Permanen
 Sederhana
 Sangat sederhana
Selokan
 Besar
 Sedang
 Kecil
Masjid
Sekolah
Pesantren
TPA
Jembatan
 Besar
 Kecil
Jalan setapak
LOKASI
RT 01
RT 02
55
40
3
2
50
13
2
25
1
1
1
2
1
1
1
1
1
2
1
1
1
1
1
2
1
1
1
KETERANGAN
Lampiran 10. Perhitungan Indeks Gini
GC = 1 –
k
Σ
fi ( y i* + yi*-1)
I =1
Dimana : yi* = proporsi secara kumulatif dari jumlah pendapatan rumah tangga
sampai kelas ke i
fi = proporsi jumlah rumah tangga dalam kelas ke i
k = jumlah kelas
GC = 1 –
0,056 ( 0,224 + 0,224 – 1 ) + 0 + 0,056 ( 0,41 + 0,41 – 1 ) + 0 + 0 +
0 + 0,111 ( 0,62 + 0,62 – 1 ) + 0 + 0,056 ( 0,691 + 0,691 – 1 ) + 0 +
0,17 ( 0,84 + 0,84 – 1 ) + 0,22 ( 0,95 +0,95 – 1 ) + 0,33 ( 1 +1 – 1 )
GC = 1 – (0,031 – 0,01 + 0,027 + 0,021 + 0,117 + 0,198 + 0,33)
GC = 1 – 0,652
GC = 0,348
Lampiran 11. Perhitungan Indeks Kuznet’s
Nomor
responden
Sawah
irigasi
Sawah
tadah
hujan
Tegalan
Pekarangan
Luas lahan
(ha)
Urutan besar
ke kecil
1.
1
0,8
3,2
2.
1
3,2
2,6
3.
1
0,4
1,5
4.
1
0,5
1,5
5.
1
2,6
1,08
6.
1
1,5
0,8
7.
1
1,5
0,8
8.
1
0,45
0,5
9.
1
0,8
0,45
10.
1
0,21
0,45
11.
1
0,08
0,12
0,25
0,4
12.
1
13.
1
0,25
0,21
14.
1
1,08
0,2
15.
1
0,2
0,14
16.
1
0,45
0,12
17.
1
0,14
0,08
18.
1
0,02
14,3
0,02
Total
18
14,3
Diketahui : 10 % dari seluruh rumah tangga atas (kelas atas) ; lebih dari 40 % luas
keseluruhan lahan.
Penyelesaian :
10
100
X 18 = 1,8 ≈2
3,2 ha + 2,6 ha = 5,8 ha
40
X 14,3 ha = 5,72 ha ≈5,7 ha
100
Jadi, jumlah lahan sawah yang diperoleh dari luas lahan 2 kelas atas sebesar 5,8
ha lebih tinggi daripada 40 persen keseluruhan lahan yaitu sebesar 5,7 ha
KI =
k
Σ
f i – yi
I=1
Dimana fi = proporsi jumlah rumah tangga/penduduk dalam kelas pendapatan i
yi = proporsi jumlah pendapatan dari rumahtangga/penduduk dalam kelas
pendapatan i
k = jumlah kelas
KI = 0,056 – 0,224 + 0,056 – 0,182 + 0,111 – 0,21 + 0,056 – 0,076 +
0,17 – 0,147
+ 0,22 – 0,108
+ 0,33 – 0,54
KI = 0,168 + 0,126 + 0, 099 + 0,02 + 0,023 + 0,112 + 0,276
KI = 0,824
Lampiran 12. Perhitungan Menurut Bank Dunia
1.
1
0,8
Urutan
besar ke
kecil
3,2
2.
1
3,2
2,6
3.
1
0,4
1,5
4.
1
0,5
1,5
5.
1
2,6
1,08
6.
1
1,5
0,8
7.
1
1,5
0,8
8.
1
0,45
0,5
9.
1
0,8
0,45
10.
1
0,21
0,45
11.
1
0,08
0,12
0,25
Nomor
responden
sawah
irigasi
sawah
tadah
hujan
tegalan
pekarangan
luas
lahan
(Ha)
0,4
12.
1
13.
1
0,25
0,21
14.
1
1,08
0,2
15.
1
0,2
0,14
16.
1
0,45
0,12
17.
1
0,14
0,08
18.
1
0,02
14,3
0,02
Total
18
14,3
Diketahui : luas lahan 40 % penduduk terbawah < 12 % dari seluruh luas lahan
Penyelesaian :
40
100
X 18 = 7,2 ≈7
Jumlah luas lahan pada 7 kelas bawah adalah 1,02 ha
12
X 14,3 ha = 1,72 ≈1,7 ha
100
1,02
X 100 % = 7,1 %
14,3
Jadi, tingkat ketidakmerataan tinggi, karena jumlah pendapatan 40 persen
penduduk terbawah yaitu 1,02 ha lebih kecil daripada 12 persen seluruh luas
lahan yaitu 1,7 ha. Serta persentasenya dibawah 12 persen yaitu hanya 7,1 persen.
Lampiran 13. Dokumentasi Penelitian
Bendungan Rangga Gading
Saluran irigasi
Pengolahan sawah
Tanaman palawija
Tanaman padi
Download