TINJAUAN PUSTAKA Lahan Bercekaman Besi Lahan bercekaman besi disebabkan oleh tingginya kadar besi bervalensi 2 (fero, Fe2+) dalam tanah. Penggenangan lahan kering untuk dijadikan sawah menyebabkan kadar Fe2+ meningkat, terutama pada tanah yang mempunyai kandungan besi tinggi. Lahan bercekaman besi bisa juga dijumpai di lahan bukaan baru yang digenangi 3-4 minggu, lahan sawah bukaan baru yang banyak mengandung besi, misalnya tanah Podsolik pH rendah (< 5), lahan sawah yang tergenang terus atau drainasenya buruk, dan tanah sulfat masam lahan pasang surut, terutama pada lahan dimana piritnya terekspos keluar (Kasno 2009). Mineral Fe sangat melimpah di kerak bumi, juga dalam tanah dalam bentuk mineral primer, bagian dari lempung, oksida dan hidroksida. Kelarutan mineral Fe sangat rendah, mineral amorf Fe(OH)3 mengatur kadar Fe dalam larutan tanah. Kelarutan Fe3+ berkurang 1.000 kali jika pH meningkat 1 unit. Pada tanah dengan drainase baik, kondisinya teroksidasi sehingga kadar Fe3+ > Fe2+, sebaliknya pada tanah jenuh air Fe3+ mengalami reduksi menjadi Fe2+ (Nasih 2010). Menurut Tadano dan Yoshida (1978), konsentrasi besi kritis dalam larutan tanah yang dapat meracuni tanaman bervariasi dengan pH, yaitu sekitar 100 ppm Fe pada pH 3.7 dan 300 ppm Fe pada pH 5.0 Lahan-lahan marginal di luar Pulau Jawa yang berpotensi untuk tanaman padi seperti lahan rawa pasang surut dan rawa lebak terkendala oleh kandungan hara rendah, besi tinggi dan pH masam (Utari & Riyanto 2008). Potensi lahan rawa baik lahan pasang surut maupun lahan lebak yang cocok untuk usaha pertanian masih cukup luas (Sudana 2005). Lahan rawa pasang surut dan lebak di Indonesia tersebar pada empat pulau besar, yaitu Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Papua (BBPTP 2010). Kendala penggunaan lahan yang menonjol di lokasi calon pencetakan sawah baru di luar Pulau Jawa adalah kesuburan tanah rendah, topografi curam, laju infiltrasi cepat, pH masam, adanya cekaman besi dan mangan, serta produktivitas lahan lebih rendah dibanding di Pulau Jawa (Hikmatullah et al. 2002) Cekaman besi juga terjadi di lahan berbahan organik tinggi seperti lahan gambut. Setelah 4 minggu penggenangan, konsentrasi Fe2+ tanah Latosol asam 5 yaitu 300 ppm dan kemudian akan menunjukkan penurunan eksponensial. Setelah sekitar 6 bulan penggenangan, konsentrasi Fe2+ bertahan pada 50-100 ppm. Konsentrasi Fe2+ tanah agak masam maksimum 50-100 ppm dan tanah agak basa dengan bahan organik rendah kurang dari 30 ppm. Konsentrasi tersebut masih lebih tinggi dibanding konsentrasi Fe2+ yang diperlukan untuk kultur hara yaitu 25 ppm. Secara umum, konsentrasi besi dalam tanah dipengaruhi oleh kandungan besi, hara tanah lain, bahan organik, pH tanah, aktivitas bakteri pereduksi di rizosfer dan lama penggenangan (Yoshida 1981). Tanah sawah bercekaman besi di daerah Batumarta, Sumatera Selatan bertekstur lempung berliat, pH rendah, masing-masing hara P, K, Zn dan Ca rendah, sedangkan hara Fe dan Mn cukup tinggi, serta drainase buruk (Makarim et al. 1989). Rendahnya tingkat kesuburan tanah diakibatkan oleh pencucian hara yang intensif sejalan dengan tingginya curah hujan serta sifat bahan induk tanah yang miskin cadangan mineral (Setyorini et al. 2007). Cekaman besi masih menjadi kendala penting untuk produksi padi, dan bersama dengan peristiwa defisiensi Zn, ini adalah kendala yang biasa terjadi pada gangguan mikronutrien di sawah (Becker & Asch 2005). Status hara tanaman mempengaruhi toleransi tanaman terhadap cekaman besi. Defisiensi K, Ca, Mg, P, dan Mn menurunkan kemampuan akar padi untuk mekanisme penghindaran besi. Defisiensi K, Mg, dan Mn di lahan sawah mengindikasikan bahwa pengelolaan air terganggu. Hara K perlu mendapat perhatian khusus, karena tanaman padi yang mengalami defisiensi K sering memiliki kandungan besi tinggi dan menunjukkan gejala keracunan besi berat (Yoshida 1981). Peranan Besi bagi Tumbuhan Besi termasuk unsur hara esensial mikro untuk tumbuhan, yaitu unsur hara yang dibutuhkan tumbuhan untuk melengkapi siklus hidupnya dalam konsentrasi yang relatif rendah yaitu kurang dari 10 mmol/kg bobot kering (Hamim 2007). Besi diperlukan untuk transpor elektron dalam fotosintesis dan merupakan unsur penyusun porfirin dan feredoksin, yaitu komponen penting dalam reaksi terang fotosintesis. Besi adalah akseptor elektron penting dalam reaksi redoks dan aktivator untuk beberapa enzim seperti katalase, suksinat dehidrogenase, dan 6 akonitase. Gejala defisiensi besi berupa klorosis (daun berwarna kuning sampai pucat) dan dapat mengakibatkan penurunan bobot kering tanaman, kandungan klorofil daun rendah, menghambat penyerapan kalium serta menurunkan aktivitas enzim yang terlibat dalam metabolisme gula. Untuk menghasilkan gabah 6 ton per hektar suatu areal sawah memerlukan sekitar 3 kg besi, dimana 40-50% tetap disimpan di jerami pada saat fase pematangan (Dobermann & Fairhurst 2000). Besi bisa diserap akar tanaman padi dalam bentuk Fe2+ dan Fe3+. Besi Fe2+ bisa masuk langsung melalui membran akar dengan cara difusi, sedangkan Fe3+ masuk dengan bantuan pengkelat. Pada saat tanah mengalami defisiensi besi, akar tanaman padi melepaskan asam muginik yaitu molekul kimia dari kelompok fitosiderofor dan mengkelat Fe3+ yang ada di rizosfer untuk ditransportasikan ke dalam akar. Mekanisme pengkelatan Fe3+ ini lebih efisien dibanding mekanisme reduksi Fe3+ menjadi Fe2+ oleh bakteri pereduksi. Transpor Fe di akar tanaman padi bisa melalui jalur simplas maupun apoplas. Hara Fe ditransportasikan ke epidermis, korteks, endodermis dan pembuluh xilem. Oleh pembuluh xilem, Fe ditransportasikan ke tajuk melalui aliran transpirasi. Selanjutnya Fe yang ada di tajuk akan didistribusikan ke jaringan target (sink) melalui aliran floem. Hara Fe bersifat immobil dalam tanaman, yaitu hara yang keberadaanya tidak bisa dipindahkan dengan cara dirombak kembali dari satu jaringan ke jaringan yang lain khususnya dari jaringan tua ke jaringan muda. Hal ini menyebabkan gejala defisiensi Fe tampak pada daun-daun muda (Kim & Guerinot 2007). Batas kritis defisiensi besi dalam tanah kurang dari 4-5 mg Fe per kg tanah (DTPA-CaCl2, pH 7,3). Keadaan demikian umumnya terdapat pada tanah-tanah pH tinggi atau alkali, serta tanah yang mempunyai rasio Fe:P sangat lebar (Setyorini et al. 2007). Cekaman Besi pada Tanaman Padi Keracunan besi pada tanaman padi dimulai dari meningkatnya permeabilitas sel-sel akar terhadap ion Fe2+ seiring dengan meningkatnya aktivitas mikroba pereduksi Fe di rizosfer sehingga penyerapan ion fero meningkat tajam. Penyerapan Fe yang berlebihan mengakibatkan aktivitas enzim polifenol oksidase meningkat yang akhirnya akan meningkatkan jumlah polifenol teroksidasi. Hal 7 tersebut diduga sebagai penyebab utama terbentuknya karat daun (bronzing). Selain itu kandungan Fe yang tinggi dalam tanaman mengakibatkan terbentuknya oksigen radikal bebas yang sangat fitotoksik dan dapat menyebabkan terdegradasinya protein dan lemak membran sel (Abdulrachman et al. 2009). Keracunan besi pada tanaman padi dapat terjadi pada semua fase pertumbuhan vegetatif dan reproduktif (IRRI 2003). Keracunan besi pada tanaman padi dapat menyebabkan bercak-bercak kecil warna cokelat pada daun tua mulai dari ujung menyebar ke pangkal daun sampai semua permukaan daun berwarna kuning-oranye sampai cokelat, bercak-bercak pada tulang daun, daun bisa mengering dan mati, pertumbuhan terhambat, pembentukan anakan dan pemanjangan batang sangat terbatas (Dobermann & Fairhurst 2000). Sistem perakarannya jarang atau sedikit, kasar, dan berwarna cokelat gelap, membusuk sampai mati (Syam et al. 2007). Hasil padi di lahan bercekaman besi umumnya rendah (Suhartini et al. 1999). Kandungan besi pada jaringan tanaman berkisar antara 100-200 ppm dengan batas kritis keracunan besi dalam jaringan tanaman 300 ppm (Yoshida 1981). Bila tingkat kepekatan besi dalam larutan hara lebih dari 40 ppm Fe2+ dapat menimbulkan keracunan dan menghambat pertumbuhan padi. Gejala keracunan ditandai oleh tertekannya pertumbuhan tajuk dan perkembangan akar sejak umur 15 hari (Yandha & Yusuf 1993). Kelebihan besi terakumulasi di bagian epidermis, korteks, dan endodermis akar, bahkan pada beberapa varietas padi sensitif keracunan besi juga dijumpai di bagian xilem (Amnal 2009). Pada lahan bercekaman besi, jumlah anakan yang menghasilkan malai setiap rumpun dan jumlah gabah setiap malai menurun (Andyantoro 1991). Menurut Becker dan Asch (2005) mekanisme ketahanan tanaman padi terhadap cekaman besi ada 3 cara, yaitu: (1) Akar tidak menyerap Fe. Akar tidak menyerap Fe2+ karena memiliki daya pengoksidasi akar dengan mengoksidasi Fe2+ menjadi Fe3+ yang ada di rizosfer. Akar juga memiliki mekanisme selektivitas ion membran sel akar dengan tidak menyerap Fe2+. (2) Kompartementasi Fe. Fe2+ yang diserap oleh akar disimpan di jaringan akar untuk mencegah distribusi Fe2+ ke tajuk. Fe2+ juga bisa disimpan di jaringan yang ada di tajuk seperti di daun tua atau daun yang kurang aktif fotosintesisnya. (3) Detoksifikasi 8 Fe. Tanaman padi mampu bertahan terhadap keracunan Fe2+ yang ada dalam sel melalui mekanisme detoksifikasi secara enzimatis. Asam-asam organik banyak berperan dalam regulasi cekaman logam berat pada tumbuhan. Tumbuhan dalam cekaman besi akan meningkatkan kandungan asam oksalat dan asam askorbat. Sedangkan asam malat tidak terpengaruh oleh adanya cekaman besi (Cinantya 2006). Tanaman padi bisa membentuk suatu lapisan berupa akar-akar rambut bercabang (mat root) di permukaan tanah atau areal antara tanah dan air untuk meningkatkan serapan O2 dari areal aerobik dan mengirim O2 tersebut ke sistem akar lain yang terletak di lapisan tanah anaerobik (Yoshida 1981). Makarim et al. (1989) menjelaskan bahwa varietas yang sedikit mengeluarkan ion hidroksil (OH-) dan cenderung menurunkan pH medium disebut varietas yang efisien besi, artinya mampu menyerap besi lebih banyak. Sedangkan varietas yang akarnya banyak mengeluarkan ion OH- dan menaikkan pH medium disebut varietas yang tidak efisien besi, artinya menyerap ion besi lebih sedikit. Dengan demikian varietas yang tidak efisien besi lebih tahan terhadap cekaman besi dibanding dengan varietas yang lebih efisien besi. Perbaikan Varietas Padi Toleran Cekaman Besi Suatu kajian lapang yang dilaksanakan di Taman Bogo, Lampung pada tanah sawah yang mengandung sekitar 175 ppm Fe, menunjukkan bahwa varietas Mahsuri, Batang Ombilin, BW267-3, dan KDM105 toleran terhadap cekaman besi, sedangkan varietas IR64 dan Sei Lilin peka (Sutrisno et al. 1997). Padi varietas Mahsuri termasuk sangat toleran terhadap cekaman besi dengan nilai skor bronzing 1 (Somantri et al. 2001). Varietas padi yang toleran besi menunjukkan pertumbuhan yang lebih baik atau hampir normal, sedangkan varietas yang peka pertumbuhannya terhambat, daun berwarna kuning kecokelatan, kerdil serta pertumbuhan terhambat (Budiarti et al. 2004). Genotipe padi yang toleran terhadap cekaman besi akan memberikan hasil yang relatif tinggi sejalan dengan meningkatnya jumlah gabah isi, jumlah gabah total, dan bobot 1000 butir (Suhartini et al. 1999). 9 Hasil analisis komponen utama terhadap nilai skor bronzing daun, kandungan besi total akar dan kandungan besi total tajuk menghasilkan tiga kelompok tanaman padi berdasarkan sifat toleransinya terhadap cekaman besi. Variertas IR64 berada pada kelompok 1 sebagai varietas sensitif terhadap cekaman besi. Varietas Grogol dan Hawara Bunar, termasuk kelompok 2 yang bersifat toleran terhadap cekaman besi, sedangkan varietas Krowal Panjang, Krowal Oval, Indragiri, Punggur, dan Danau Gaung pada kelompok 3 yang bersifat moderat terhadap cekaman besi (Amnal 2009). Plasma nutfah padi toleran cekaman besi yang telah dimanfaatkan dalam program persilangan adalah Mahsuri, BW-267-3, KDM105, Batang Ombilin, Kapuas, dan Kuatik Putih (Silitonga 2008). Evaluasi terhadap 400 aksesi plasma nutfah padi terhadap cekaman besi telah dilakukan, lebih dari 100 aksesi bereaksi toleran dan didominasi oleh varietas lokal. Varietas unggul IR64, Memberamo, Maros, dan Way Apoburu tergolong sangat peka. Varietas unggul yang toleran cekaman besi antara lain adalah Limboto, Muncul, Kelara, Bengawan Solo, IR42, Way Seputih, Cimanuk, Kapuas, dan Batang Ombilin (Suhartini 2004). Wurjandari dan Syam (2007) melaporkan bahwa dari 21 varietas unggul padi pasang surut yang dilepas di Indonesia periode tahun 1981-2001 maka 11 varietas adalah padi toleran terhadap besi. Varietas toleran terhadap besi tersebut Sei Lilin, Banyuasin, Batanghari, Dendang, Punggur, Indragiri, Martapura, Margasani, Siak Raya, Lambur dan Mendawak. Sedangkan Hairmansis et al. (2009) menyebutkan ada 3 varietas unggul baru padi rawa yaitu Inpara 1, Inpara 2, dan Inpara 3 yang toleran terhadap cekaman besi. Ketiga varietas unggul ini melengkapi varietas unggul padi lahan rawa yang dilepas sebelumnya, antara lain Banyuasin, Batanghari, Indragiri, Dendang, Martapura, dan Margasari yang telah dikembangkan oleh sebagian petani di beberapa kawasan lahan rawa di Sumatera dan Kalimantan. Sesuai dengan kondisi Indonesia yang beriklim tropis serta hama dan penyakit merupakan masalah utama, padi tipe baru (PTB) yang cocok adalah yang mempunyai jumlah anakan sedang tetapi semua produktif (12−18 batang), jumlah gabah per malai 150−250 butir, persentase gabah bernas 85−95%, bobot 1.000 butir gabah bernas 25−26 g, batang kokoh dan pendek (80−90 cm), umur genjah 10 (110−120 hari), daun tegak, sempit, berbentuk huruf V, hijau sampai hijau tua, 2−3 daun terakhir tidak cepat luruh, akar banyak dan menyebar dalam, tahan terhadap hama dan penyakit utama, gabah langsing, serta mutu beras dan nasi baik. Dengan sifat-sifat tersebut, varietas PTB diharapkan mampu berproduksi 9−13 ton GKG/ha (Abdullah et al. 2008). Untuk memilih jenis padi yang sesuai untuk lingkungan sawah berkadar besi tinggi selain atas dasar materi genetik, juga karakter agronomi yang baik. Untuk seleksi galur pada lahan berkadar besi tinggi selain produksi juga perlu dilihat tinggi tanaman. Penampilan tanaman yang tinggi menunjukan karakter kecocokan varietas di lingkungan cekaman besi tinggi (Idris & Lape 2004). Konsep peningkatan potensi hasil padi dengan padi tipe baru perlu ditunjang dengan perakaran yang baik (vigor) yaitu panjang atau dalam, padat, ketebalan dan daya tembus akar yang relatif tinggi. Sistem perakaran vigor pada berbagai lahan diharapkan mampu menjaga kesetabilan dan hasil yang tinggi (Suardi 2002). Sumber gen padi untuk ketahanan terhadap cekaman besi terdapat 20 aksesi (Silitonga 2004). Perbaikan varietas padi toleran cekaman besi dapat dilakukan karena cukup tersedia bahan pemuliaan sebagai sumber genetiknya (Suhartini 2004). Skor bronzing, jumlah gabah isi per malai, jumlah gabah total dan bobot 1000 butir berpengaruh nyata terhadap hasil padi. Skor bronzing, jumlah gabah isi per malai dan bobot 1000 butir dapat digunakan untuk seleksi secara efektif dalam memilih varietas atau galur yang berdaya hasil tinggi pada lahan bercekaman besi. Skor bronzing merupakan kriteria utama seleksi untuk daya hasil tinggi karena mempunyai nilai koefisien korelasi tinggi (Suhartini et al. 1999). Toleransi tanaman padi terhadap cekaman besi juga dipengaruhi oleh kondisi hara tanaman, iklim atau musim, dan fase pertumbuhan tanaman. Metode penapisan perlu didapat untuk dibakukan dan dijadikan metode penapisan massal varietas dan galur-galur padi hasil silangan. Hasil seleksi dengan metode tersebut harus dapat mencerminkan tingkat toleransi tanaman padi di lapang dengan tingkat cekaman besi yang umum terjadi di Indonesia, yang diharapkan dapat langsung diaplikasikan pada skala luas. Terdapat hubungan sangat nyata antara skor bronzing dan hasil tanaman padi di lahan berkadar besi tinggi. Semakin 11 toleran genotipe padi terhadap cekaman besi, semakin tinggi pH medium larutan hara makro. Metode seleksi larutan hara makro dapat digunakan untuk seleksi tingkat toleransi genotipe padi terhadap cekaman besi di lapang (Suhartini & Makarim 2009). Percobaan hidroponik dengan larutan Yoshida sampai dengan konsentrasi 1500 ppm Fe merupakan metode yang dapat dikembangkan untuk melakukan penapisan sifat toleransi tanaman padi terhadap cekaman besi dalam waktu relatif singkat dibandingkan dengan percobaan pot dan percobaan lapang, dengan batas kritis konsentrasi besi antara 250-500 ppm (Amnal 2009).