temuan sementara mengenai beberapa kasus pelecehan seksual di

advertisement
Myrtati D Artaria, “Efek dari Pelecehan Seksual di Lingkungan Kampur: Studi Preliminer” hal. 53-72.
Efek Pelecehan Seksual di Lingkungan Kampus:
Studi Preliminer
Myrtati D. Artaria
(Dosen Departemen Antropologi FISIP Unair; [email protected])
Abstract
Sexual harassment is a human rights issue, and it needs the attention of the national and international
authority. Although most people have concern related to the sexual harassment in the globalization context,
in Indonesia, this issue in the local places, even in the life in campus often is neglected. This research was a
preliminary study, and trying to identify what kind of sexual harassment in the campus life in a particular
university in Indonesia, how the victims dealt with it, and what the effects were. The perception of the act of
sexual harassment seemed to be influenced by the education level of the victims, and probably the ethnic
backround, the belief, and the social status of the victims.
Key words: sexual, harassment, campus, effect, perception
Abstrak
Pelecehan seksual adalah merupakan issue tentang hak asasi manusia, yang mana membutuhkan
perhatian dari dunia internasional maupun nasional. Meskipun kebanyakan orang peduli pada hal-hal
berkaitan dengan pelecehan seksual dalam konteks global, di Indonesia, issue ini di tempat-tempat lokal,
bahkan di lingkungan kampus sering terlupakan. Penelitian ini adalah penelitian awal, dan mencoba
mengidentifikasi macam pelecehan seksual di kehidupan kampus di suatu universitas di Indonesia,
bagaimana korbannya berusaha mengatasi kesulitan-kesulitannya, dan bagaimana efeknya pada korban.
Persepsi mengenai tindakan pelecehan seksual rupanay dipengaruhi oleh tingkat pendidikan korban, dan
mungkin juga oleh latar belakang etnik, kepercayaan, dan status sosial korban.
Kata kunci: seksual, pelecehan, kampus, efek, persepsi
P
elecehan seksual adalah perbuat-
didik dan administrator sekolah banyak
an yang tidak dikehendaki oleh
yang menolak untuk mengakui bahwa
obyek,
perbuatan
masalah ini ada di lingkungan mereka
yang mempunyai sifat-sifat seksual yang
(Dziech & Weiner 1990). Meskipun
meliputi mulai dari transgresi yang
kejadian pelecehan seksual ini telah
ringan, menjengkelkan, sampai dengan
terjadi dan terdokumentasi sejak akhir
perlakuan serius seperti aktifitas seksual
abad 19, hal ini tidak diakui kebera-
yang dipaksakan. Banyak yang menge-
daannya (dan karenanya tidak dilakukan
luhkan bahwa di lingkungan pendidikan,
tindakan apapun), dan baru diberi nama
pelecehan
khusus pada era 1970an (Bulzarik, 1978
merupakan
seksual
banyak
menjadi
“rahasia yang terlupakan”, karena pen-
dalam Shupe et al., 2002).
BioKultur, Vol.I/No.1/Januari-Juni 2112, hal. 53
Myrtati D Artaria, “Efek dari Pelecehan Seksual di Lingkungan Kampur: Studi Preliminer” hal. 53-72.
Perilaku pelecehan seksual diper-
korban, atau tidak sadar bahwa perilaku-
kirakan dimotivasi oleh keinginan seksual
nya dianggap sebagai pelecehan seksual.
pelaku
(misalnya
Bahkan ketika perilaku itu sudah di-
Franke, 1997; Gutek, 1985;
kategorikan sebagai pelanggaran hukum,
MacKinnon, 1979; Schultz, 1998). Meski-
mungkin saja si pelaku masih tidak me-
pun demikian, yang paling sering terjadi
nyadari bahwa perilakunya itu melanggar
adalah pelecehan jender, yaitu lingkungan
hukum. Tokh yang dinamakan “hukum”
yang
itu
terhadap
menurut
korban
mendukung
adanya
tindak
sendiri,
dalam
hal
pengaturan
kekerasan terhadap korban dalam bentuk
terhadap pelecehan seksual dan perko-
pelanggaran terhadap ideal mengenai
saan, di Indonesia masih belum jelas
hubungan antar jender (Berdahl, Magley,
(Kinasih, 2007).
& Waldo, 1996; Dall’Ara & Maass, 1999;
Macam-macam pelecehan seksual
Fiske & Stevens, 1993; Franke, 1997;
menurut Dzeich & Weiner (1990) antara
Maass, Cadinu, Guarnieri, & Grasselli,
lain tipe “Pemain-Kekuasaan” atau “quid
2003).
pro quo”, di mana pelaku melakukan
Pelecehan seksual bisa terjadi
pelecehan untuk ditukar dengan benefit
pada berbagai kesempatan, pelaku bisa
yang bisa mereka berikan karena posisi
siapa saja, misalnya supervisor, klien,
(sosial)nya, misalnya dalam memperoleh
teman kerja, guru, dosen, murid atau
atau mempertahankan pekerjaan, men-
mahasiswa/i, teman, atau orang asing.
dapat nilai bagus, rekomendasi, proyek,
Korbannya adalah orang yang dilecehkan
promosi, order, dan kesempatan-kesem-
secara
patan lain.
langsung,
atau
orang
yang
mengetahui kejadian itu dan kemudian
Tipe dua adalah “berperan sebagai
merasa terganggu oleh kejadian tersebut.
figur Ibu/Ayah”. Pelaku pelecehan men-
Meskipun efek negatif dari kejadian itu
coba untuk membuat hubungan seperti
sering terjadi, tetapi perbuatan itu belum
mentor dengan korbannya, sementara itu
tentu melanggar hukum. Korbannya bisa
intensi seksualnya ditutupi dengan pre-
laki-laki maupun perempuan, dan pelaku
tensi berkaitan dengan atensi akademik,
pelecehan bisa laki-laki atau perempuan.
profesional, atau personal. Ini merupakan
Pelaku
tidak
selalu
berjenis
kelamin yang berlawanan dengan korban.
cara yang sering digunakan oleh guru
yang melecehkan muridnya.
Pelaku pelecehan mungkin saja tidak
Tipe tiga adalah “Anggota Kelom-
sadar bahwa perilakunya mengganggu
pok” (“geng”). Ini semacam inisiasi untuk
BioKultur, Vol.I/No.1/Januari-Juni 2112, hal. 54
Myrtati D Artaria, “Efek dari Pelecehan Seksual di Lingkungan Kampur: Studi Preliminer” hal. 53-72.
dianggap sebagai anggota dari suatu
dipaksa untuk menjadi pelipur lara atas
kelompok tertentu. Misalnya, pelecehan
penderitaan yang diceritakannya.
dilakukan pada seseorang yang ingin di-
Tipe delapan adalah “Pelecehan
anggap sebagai anggota kelompok terten-
situasional”, di mana pelaku memanfaat-
tu, dilakukan oleh anggota-anggota ke-
kan situasi korban yang sedang ditimpa
lompok yang lebih senior.
kemalangan. Berlainan dengan tipe sebe-
Tipe empat adalah “Pelecehan di
lumnya, yang sedang ditimpa kemalangan
tempat tertutup”. Pelecehan ini dilakukan
justru adalah si korban, dan kemudian
oleh pelaku secara tersembunyi, dengan
pelaku memanfaatkan ketidakberdayaan
tidak ingin terlihat oleh siapapun, se-
korban. Misalnya, korban yang sedang
hingga tidak ada saksi.
sakit, korban yang mengalami cacat fisik,
Tipe lima adalah “Groper”, yaitu
pelaku yang suka memegang-megang
korban yang sedang dilanda stress karena
ditinggal mati keluarganya, dsb.
anggota tubuh korban. Aksi memegang-
Tipe sembilan adalah “Pest”, yaitu
megang tubuh ini dapat saja dilakukan di
pelaku
yang
memaksakan
kehendak
tempat umum ataupun di tempat yang
dengan tidak mau menerima jawaban
sepi.
“tidak”. Pemaksaan kehendak ini diTipe enam adalah “Oportunis”,
lakukan karena pelaku sangat mengingin-
yaitu pelaku yang mencari kesempatan
kan untuk melakukan perbuatan yang
adanya kemungkinan untuk melakukan
ingin dia lakukan, tidak peduli dengan
pelecehan. Misalnya di tempat umum
perasaan korban.
yang penuh sesak, pelaku akan mempu-
Tipe sepuluh adalah “The Great
nyai kesempatan untuk mendaratkan
Gallant”, yaitu orang yang mengatakan
tangannya di bagian-bagian tubuh ter-
komentar-komentar “pujian” yang berle-
tentu korban.
bihan, tidak pada tempatnya, sehingga
Tipe tujuh adalah “Confidante”,
menimbulkan rasa malu pada korban.
yaitu pelaku yang suka mengarang cerita
Dapat saja komentar-komentar itu justru
untuk menimbulkan simpati dan rasa
berlawanan dengan kondisi yang sebe-
percaya dari korban. Sebagai contoh,
narnya dari si korban.
korban mula-mula terbawa perasaan
Tipe sebelas adalah “Intellectual
karena pelaku menceritakan permasalah-
seducer”, di mana pelaku memperguna-
annya. Setelah itu pelaku membawa
kan pengetahuan dan kemampuan untuk
korban pada situasi di mana si korban
mencari tahu tentang kebiasaan atau
BioKultur, Vol.I/No.1/Januari-Juni 2112, hal. 55
Myrtati D Artaria, “Efek dari Pelecehan Seksual di Lingkungan Kampur: Studi Preliminer” hal. 53-72.
pengalaman
korban,
dan
kemudian
dipergunakan untuk melecehkan korban.
menyebabkan atmosfir yang mendorong
terjadinya pelecehan seksual yang tertuju
Tipe dua belas adalah orang yang
pada pribadi tertentu. Sebagai contoh,
“Incompetent”, yaitu orang yang secara
ketika obsenitas merupakan hal yang
sosial tidak kompeten dan ingin men-
biasa di suatu lingkungan kantor, individu
dapatkan perhatian dari seseorang (yang
3x lebih besar kemungkinannya diper-
tidak mempunyai perasaan yang sama
lakukan sebagai obyek seks. Juga, ketika
terhadap pelaku pelecehan), kemudian
gurauan yang bersifat seksual merupakan
setelah ditolak, pelaku balas dendam
hal yang umum, maka pelecehan seksual
dengan cara melecehkan si penolak.
kemungkinan terjadinya 3 sampai 7 kali
Tipe terakhir bentuk pelecehan
lebih sering (Boland, 2002).
seksual adalah “Lingkungan”, yaitu yang
Efek yang bisa terjadi pada korban
dianggap “sexualized environment”. Ini
pelecehan seksual antara lain kemampu-
adalah lingkungan yang mengandung
an di sekolah, atau pekerjaan yang
obsenitas, gurauan-gurauan berbau seks,
menurun, serta jumlah absensi mening-
grafiti yang eksplisit menampilkan hal-hal
kat. Dapat pula terjadi kehilangan peker-
seksual, melihat pornografi di internet,
jaan atau karier, dan kemudian kehi-
poster-poster dan obyek yang merendah-
langan pendapatan. Pada korban dari
kan secara seksual, dsb. Biasanya hal ini
lingkungan mahasiswa, korban dapat saja
tidak ditujukan secara personal pada
membatalkan kuliah, mengubah rencana
seseorang, tetapi bisa menyebabkan ling-
akademik, atau berhenti kuliah. Perem-
kungan yang ofensif terhadap orang
puan korban pelecehan seksual dilapor-
tertentu.
kan melakukan pembolosan kerja lebih
Sebagai
contoh
kasus,
pernah
banyak, produktifitasnya rendah, dan
seorang pegawai mendapatkan kompen-
kondisi fisik maupun emosinya sangat
sasi dari atasannya setelah dia meng-
buruk (Shupe et al., 2002).
abaikan keluhannya bahwa rekan-rekan
Secara umum, akibat dari pele-
kerjanya di kantor menghabiskan terlalu
cehan seksual adalah adanya korban yang
banyak
menjadi
waktu
melihat
obyek-obyek
“tertuduh”
karena
dikritik
seksual yang di download dari internet,
berkaitan dengan cara berpakaiannya,
sehingga menciptakan “atmosfir obseni-
gaya hidupnya, dan kehidupan pribadinya
tas secara umum” di kantornya. Ling-
diserang. Selain itu, korban menjadi
kungan yang seperti ini disinyalir dapat
obyek dan terhina karena menjadi bahan
BioKultur, Vol.I/No.1/Januari-Juni 2112, hal. 56
Myrtati D Artaria, “Efek dari Pelecehan Seksual di Lingkungan Kampur: Studi Preliminer” hal. 53-72.
gosip. Korban menjadi obyek seksual
Berbagai masalah psikologis dan
secara publik (karena “dievaluasi” oleh
fisik dapat terjadi, seperti: depresi, panik,
sekelompok orang).
resah, tidak bisa tidur, mimpi buruk,
Korban dianggap telah turun re-
malu, merasa bersalah, sulit berkon-
putasinya dan nama baiknya. Korban
sentrasi, sakit kepala, rasa lelah, ke-
kehilangan kepercayaan terhadap ling-
hilangan motivasi, masalah pencernaan,
kungan yang serupa dengan lingkungan
masalah dengan pola makan (kelebihan
di mana pelecehan terjadi. Juga, korban
berat atau turun berat badannya), merasa
mungkin kehilangan kepercayaan ter-
dikhianati, merasa marah, merasa tidak
hadap orang-orang yang bertipe seperti
berdaya, merasa tidak punya kontrol,
orang yang pernah melecehkannya, atau
tekanan darah naik, kehilangan konfiden
orang-orang yang punya kedudukan se-
dan rasa percaya diri, menarik diri,
perti orang yang pernah melecehkannya.
kehilangan rasa percaya pada manusia
Selain akibat-akibat di atas, kadangkala terjadi korban mengalami stress
lain, trauma, pikiran-pikiran dan usaha
bunuh diri, dll.
berkaitan dengan orang yang mempunyai
Efek yang dapat terjadi pada suatu
hubungan dekat dengannya, kadang-
organisasi bila terjadi kasus pelecehan
kadang menyebabkan putus, atau per-
seksual di antara staff atau pegawai
ceraian; masalah dengan hubungan yang
adalah adanya produktifitas menurun,
terjalin dengan teman, atau dengan
dan konflik antar anggota team me-
kolega.
ningkat. Keberhasilan dalam mencapai
Pada
lingkungan
yang
kurang
tujuan-tujuan finansial menjadi menurun
paham tentang psikologis korban pe-
pula. Selain itu kepuasan terhadap peker-
lecehan seksual, dan lebih memihak pada
jaan pada beberapa orang menjadi me-
pelaku pelecehan, maka terjadi pele-
nurun. Dapat pula terjadi kehilangan staff
mahan jaringan yang mendukung korban,
atau ahli, kehilangan murid atau maha-
karena ditinggalkan oleh orang-orang
siswa, karena mengundurkan diri atau
(teman dan keluarga) di sekelilingnya.
dipecat, disebabkan karena yang ber-
Kadangkala korban harus pindah kota,
sangkutan adalah korban atau pelaku
pindah kerja, pindah sekolah, dsb. Ini
pelecehan seksual.
berakibat pada hilangnya referensi atau
rekomendasi.
Pengetahuan
bahwa
pelecehan
seksual dibiarkan saja pada suatu instansi
akan menyebabkan menurunnya standar
BioKultur, Vol.I/No.1/Januari-Juni 2112, hal. 57
Myrtati D Artaria, “Efek dari Pelecehan Seksual di Lingkungan Kampur: Studi Preliminer” hal. 53-72.
etik dan disiplin pada organisasi secara
terlalu sedikit, atau yang mengaku pernah
umum, sehingga staf atau murid atau
menjadi korban pelecehan seksual terlalu
mahasiswa
atau
sedikit. Ini akan memberikan kesulitan
kehilangan rasa percaya, pada seniornya
untuk mendapatkan hasil perhitungan
atau pada pimpinan. Apabila masalahnya
statistik yang dapat dipercaya, dengan
diabaikan, instansi akan turun pamornya.
kebermaknaan yang dapat diterima.
kehilangan
respek,
Bisa saja terjadi bahwa korban mela-
Metode
kualitatif lebih dipilih
porkan ke pengadilan, sehingga merugi-
untuk penelitian ini, karena memberikan
kan instansi.
keuntungan untuk peneliti dalam men-
Meskipun dampak dari pelecehan
seksual
cukup
serius
seperti
yang
jalin hubungan baik dengan informan,
dan
kemudian
menggali
informasi
diungkapkan di atas, tetapi ada indikasi
mengenai apa yang telah terjadi dan
bahwa pelecehan seksual terjadi di
bagaimana
lingkungan kampus suatu perguruan
peristiwa pelecehan seksual, atau “coping
tinggi negeri di Jawa Timur. Oleh karena
strategies” yang dimiliki oleh para korban
itu peneliti ingin mengetahui sejauh mana
pelecehan seksual (Hughes and Tadic,
pelecehan
1998 dalam Zhang, 2006).
terjadi
pada
lingkungan
dia
mengatasi
efek
dari
kampus yang terpandang dan mempunyai
reputasi baik secara nasional maupun
Tahapan Penelitian
internasional.
Sampel diambil dengan cara snow-ball
Tipe penelitian ini adalah kualitatif
sampling,
karena
korban
pelecehan
yang menggunakan studi kasus. Tipe ini
seksual biasanya tidak selalu terbuka
dipilih
taraf
pada orang yang belum dikenalnya
penjajagan untuk mengetahui seberapa
dengan baik. Pada awalnya, peneliti
banyak insiden pelecehan seksual di
mendengar kabar bahwa ada seseorang
lingkungan
jenis
yang menjadi korban pelecehan seksual
pelecehan seksual yang terjadi, dan
di suatu fakultas, di suatu universitas
seberapa keterbukaan korban pelecehan
terkemuka. Kemudian peneliti mendekati
seksual
korban tersebut untuk mencari tahu
karena
masih
kampus,
untuk
mau
dalam
apa
saja
membicarakan
peristiwa ini.
kebenaran dari berita yang beredar, dan
Metode kuantitatif tidak diguna-
mencoba untuk menjalin hubungan dari
kan dalam penelitian ini, karena ada
sekedar kenal menjadi teman yang lebih
dugaan bahwa jumlah sampel akan
dekat.
BioKultur, Vol.I/No.1/Januari-Juni 2112, hal. 58
Myrtati D Artaria, “Efek dari Pelecehan Seksual di Lingkungan Kampur: Studi Preliminer” hal. 53-72.
Setelah terjalin keakraban, peneliti
mulai bertanya berkaitan dengan peristiwa pelecehan seksual yang dikabarkan
dengan batas waktu yang diberikan oleh
instansi dalam meneliti masalah ini.
Pengambilan
sampel
dilakukan
pernah terjadi. Ketika keakraban mulai
pada satu fakultas di satu universitas
terjalin, peneliti mengemukakan niat un-
negeri di Jawa Timur, di mana peneliti
tuk meneliti masalah pelecehan seksual
mendengar
ini dan hasil wawancara akan diper-
pegawainya pernah dan masih sering
lakukan sebagai data, untuk kemudian
mengalami
dianalisis.
atasannya. Peneliti tidak dapat membuka
maksud
Setelah diberitahu tentang
wawancara
salah
pelecehan
satu
seksual
dari
oleh
mendapat
identitas tempat dilakukan penelitian,
jaminan bahwa identitas korban maupun
karena dapat membuat korban merasa
pelaku tidak akan dibuka, maka korban
terancam baik karier maupun keamanan
lebih
membicarakannya
dirinya, apabila beberapa dari mereka
secara terbuka tentang apa yang telah
didapati oleh pelaku telah menceritakan
terjadi.
tentang peristiwa itu. Tidak ada alasan
mau
untuk
dan
bahwa
Korban dari pelecehan seksual
tertentu untuk mengambil lokasi peneliti-
yang telah diwawancarai memberitahu
an di sana, hanya kebetulan saja berita
bahwa ada korban-korban yang lain, dari
mengenai pelecehan seksual ini terjadi di
pelaku yang sama. Kemudian peneliti
universitas terkenal di Surabaya.
mulai mendekati orang-orang berikutnya
Data diambil melalui wawancara
yang dikatakan sebagai korban pelecehan
secara mendalam, dan digunakan pere-
seksual. Satu orang dari korban dikenal
kam agar kemudian dapat didengarkan
peneliti dengan baik, dua orang lagi
kembali setelah usai wawancara. Ber-
dikenal peneliti sebagai kolega tetapi
dasarkan pengakuan korban, peneliti
bukan sebagai teman dekat, dan sisanya
diarahkan untuk mewawancarai orang
peneliti hanya mengetahui nama mereka
lain lagi yang diketahui juga mengalami
dari daftar pegawai dan staff pengajar di
pelecehan seksual. Ini terjadi karena
suatu instansi tertentu. Proses pencarian
biasanya korban pelecehan seksual lebih
informasi mengenai korban yang lain,
merasa nyaman apabila menceritakan
pendekatan
dan
pengalamannya pada sesama korban,
berjalan
karena anggapan bahwa orang yang
beberapa kali, dan berlanjut sampai
mengalami hal yang sama akan lebih
kemudian
terhadap
wawancara
mereka,
ini
mengerti dan tidak akan mengejek atau
BioKultur, Vol.I/No.1/Januari-Juni 2112, hal. 59
Myrtati D Artaria, “Efek dari Pelecehan Seksual di Lingkungan Kampur: Studi Preliminer” hal. 53-72.
melecehkan, apalagi kalau pelakunya
adalah orang yang sama.
Wawancara tidak dilakukan pada
hari pertama bertemu, atau hari pertama
Sementara itu, peneliti juga men-
membicarakan topik ini, tapi dilakukan
cari informasi mengenai korban lain yang
setelah beberapa kali pertemuan. Seba-
dilecehkan oleh pelaku yang lain (outer
gian besar dari mereka membutuhkan
circle) dari pelaku yang pertama, dan
kawan yang dapat dipercaya untuk ber-
melakukan
bagi cerita mengenai pengalaman ter-
snowball
sampling
lagi,
sehingga informasi dapat lebih beragam.
Triangulasi data tidak dilakukan
sebut, dan kehadiran peneliti dalam
mendengarkan pengalaman mereka me-
pada penelitian ini karena peneliti tidak
rupakan
hal yang dapat
melegakan
dapat mewawancarai pelaku pelecehan
perasaan mereka. Hal-hal penting yang
seksual, dan pada saat terjadi pelecehan
didapatkan dari percakapan-percakapan
seksual korban hanya berdua dengan
awal ini dicatat sesudah pertemuan,
pelaku, sehingga tidak ada saksi mata.
sehingga dapat dijadikan bahan dalam
Peneliti hanya dapat melakukan peme-
menggali informasi lebih dalam ketika
riksaan bersilang (cross check) terhadap
dilakukan wawancara sesungguhnya.
hasil wawancara dari beberapa korban
Wawancara dilakukan pada tem-
yang kebetulan dilecehkan oleh seorang
pat tertutup dan tersembunyi dari orang-
pelaku
orang yang lalu lalang. Jenis perta-
yang
sama,
apakah
polanya
memang sama.
Menurut
nyaannya adalah “open-ended questions”
Russel
(2005
dalam
Zhang, 2006) “Information exchanged
between two parties facilitated the sense
dan semi terstruktur. Rekaman dari
wawancara ini kemudian dianalisis.
Hasil dari pencarian informasi
of trust”. Setelah terjalin hubungan yang
mengenai
adanya
korban
pelecehan
baik dengan informan, peneliti mulai
seksual di suatu fakultas di salah satu
berterus terang bahwa sedang melakukan
universitas ternama itu peneliti mene-
penelitian mengenai pelecehan seksual.
mukan 11 orang korban. Tidak semua
Keterbukaan dan keterusterangan pene-
korban bersedia direkam suaranya ketika
liti yang disampaikan, untuk tetap mera-
mengungkapkan bagaimana perasaannya
hasiakan jati diri mereka, sangat mem-
mengenai peristiwa yang dialaminya.
bantu dalam menumbuhkan rasa percaya
Sebagian besar mengaku bahwa mereka
mereka untuk lebih banyak menceritakan
sebenarnya tidak ingin mengungkap hal
pengalaman dan perasaan mereka.
ini, dan tidak mau membicarakannya.
BioKultur, Vol.I/No.1/Januari-Juni 2112, hal. 60
Myrtati D Artaria, “Efek dari Pelecehan Seksual di Lingkungan Kampur: Studi Preliminer” hal. 53-72.
Penyebabnya antara lain karena takut,
5 tahun yang lalu, dan sampai saat ini
atau malu, atau khawatir ada konsekuensi
masih belum mampu mengungkapkan
baik secara sosial, dan mungkin ekonomi,
secara keseluruhan peristiwa tersebut.
apabila si pelaku mengetahui bahwa
Sebelas (11) orang korban ter-
korbannya telah mengungkap apa yang
sebut terdiri dari 10 perempuan dan 1
telah dilakukannya. Sebagian mengatakan
laki-laki. Sembilan (9) dari 11 orang itu
bahwa apa yang terjadi sangat menya-
mengaku
kitkan secara psikologis, membuatnya
terganggu karena pengalaman mereka
merasa
tersebut.
terpukul
dan
direndahkan,
bahwa
Pelaku
kinerja
mereka
pelecehan
yang
sehingga membicarakannya lagi menye-
menimbulkan efek psikologis yang tidak
babkan dirasakannya kembali rasa sakit
mengenakkan pada para korban di atas
hati itu. Sebagian lagi mengatakan bahwa
kebetulan semuanya adalah laki-laki.
kalau diungkapkan, khawatir orang akan
Jenis pelecehan yang dijumpai
menertawakannya dan menganggap itu
pada 11 orang itu antara lain dalam
hal yang sepele, padahal peristiwa itu
bentuk pelecehan secara verbal, sentuhan
telah menjadi beban secara psikologis
pelaku (baik secara lembut ataupun
pada si korban.
secara paksa) terhadap bagian tubuh
Peneliti
berusaha
meyakinkan
korban, pemaksaan terhadap korban
bahwa jati diri mereka tidak akan di-
untuk menyentuh bagian tubuh pelaku,
ungkap. Selain itu, peneliti juga berusaha
dan exhibionisme.
memahami perasaan mereka sehingga
Peristiwa pelecehan seksual pada
terbangun rapport yang baik antara
orang-orang itu terjadi mulai dari 9 tahun
korban pelecehan dan peneliti. Dengan
yang lalu sampai dengan satu tahun
demikian selanjutnya mereka lebih dapat
terakhir ini. Peristiwanya kebanyakan
mempercayai peneliti, serta bersedia
(pada 6 dari 11 orang itu) terjadi lebih
menceritakan apa yang telah terjadi.
dari sekali, di-lakukan oleh orang yang
Para korban mengaku bahwa pe-
sama. Tiga (3) dari 11 orang itu
ristiwa yang terjadi itu menimbulkan
mengalami hanya sekali oleh seorang
beban psikologis pada beberapa saat
pelaku,
setelah kejadian, dan ada yang menim-
trauma yang sangat dalam. Dua dari 11
bulkan trauma psikologis sampai ber-
orang itu mengalami lebih dari sekali oleh
tahun-tahun. Salah satu dari korban
pelaku berbeda.
tetapi
sudah
mengakibatkan
mengalami pelecehan seksual itu sekitar
BioKultur, Vol.I/No.1/Januari-Juni 2112, hal. 61
Myrtati D Artaria, “Efek dari Pelecehan Seksual di Lingkungan Kampur: Studi Preliminer” hal. 53-72.
Sebagian
besar
(9
peristiwa)
untuk memberi nilai buruk pada maha-
pelecehan seksual ini terjadi antara
siswa yang tidak memenuhi kehendak-
orang-orang di lingkungan fakultas yang
nya. Selain itu, jenis pelecehan ini dapat
sama (baik pelaku maupun korban), dan
dilakukan pada seorang atasan pada
terjadi di lingkungan kampus. Satu orang
bawahannya di lingkungan kampus. Apa-
lagi mengalami pelecehan di luar kampus,
lagi jika si pelaku mempunyai kedudukan
tapi dilakukan oleh pelaku yang berasal
penentu dalam kenaikan pangkat pe-
dari fakultas yang sama. Hanya 1 dari 11
gawai atau dalam pengangkatan pegawai
orang di atas yang mengalami pelecehan
baru.
seksual tersebut di luar kampusnya, dan
Peran sebagai ayah yang melin-
dilakukan oleh orang yang berasal dari
dungi kemudian memanfaatkan keperca-
luar fakultasnya.
yaan itu, juga sangat dimungkinkan dalam
dunia pendidikan, karena seorang dosen
Jenis Pelecehan Seksual yang Terjadi
dapat menjadi figur yang diharapkan
Jenis pelecehan seksual yang terjadi
menjadi pengganti ayah atau ibu mereka.
adalah quid pro quo (3 kasus), berperan
Individu yang mempunyai kerinduan
sebagai ayah yang melindungi/membim-
semacam
bing (2 kasus), pelecehan di tempat
belakang keluarganya, dapat terperang-
tertutup (6 kasus), groper (3 kasus),
kap oleh pelaku pelecehan seksual yang
pelecehan situasional (1 kasus), pest (1
berpura-pura sebagai figur orang tua
kasus), sexualized environment (1 kasus),
yang melindungi.
ini
karena
berbagai
latar
great gallant (1 kasus). Jumlah dari jenis
Pelecehan di tempat tertutup di
pelecehan ini lebih dari jumlah korban,
lingkungan kampus di mungkinkan apa-
karena
bila
dalam
satu
kejadian
dapat
ruangan-ruangan
tidak
diatur
mewakili lebih dari satu jenis pelecehan.
sedemikian rupa agar tetap terpantau
Misalnya, salah satu kasus adalah quid pro
oleh
quo
Pengubahan tata ruang agar bebas dari
sekaligus
pelecehan
di
tempat
tertutup.
Jenis pelecehan quid pro quo
orang-orang
kemungkinan
kadang
yang
pelecehan
membutuhkan
sangat memungkinkan terjadi di ling-
sehingga
kungan kampus, terutama karena adanya
secepatnya.
tidak
dapat
lalu
lalang.
seksual
dana
ter-
ekstra,
dilaksanakan
posisi dosen yang mempunyai kesempatan untuk mempergunakan posisinya
BioKultur, Vol.I/No.1/Januari-Juni 2112, hal. 62
Myrtati D Artaria, “Efek dari Pelecehan Seksual di Lingkungan Kampur: Studi Preliminer” hal. 53-72.
Dampak Pelecehan Seksual
pada peristiwa itu. Pada waktu menonton
Secara garis besar dari hasil wawancara
TV bersama keluarga, lalu ada sinetron
dengan mereka bisa disimpulkan bahwa
yang mirip seperti pengalamannya, dia
peristiwa pelecehan seksual yang dialami
tidak tahan untuk menangis karena
telah
macam
teringat pengalamannya sendiri. Korban
para
mengaku bahwa peristiwa itu sempat
korbannya. Berbagai macam perasaan
mengganggu keluarganya karena korban
yang muncul, yang mereka ungkapkan
terganggu secara psikologis, karena selalu
(tidak semua sama pada setiap korban)
teringat pada peristiwa itu.
menimbulkan
perasaan
tidak
berbagai
enak
pada
antara lain perasaan tidak nyaman, jijik,
Ketika
peneliti
bertanya
pada
takut, was-was, tertekan, kesal, jengkel,
korban mengapa dia takut untuk men-
benci,
perasaan
ceritakan mengenai peristiwa itu, dan
berdosa yang amat sangat, dan/atau
kenapa tidak melapor-kan pada pimpinan
depresi panjang.
secepatnya setelah peristiwa itu terjadi
dendam,
traumatis,
Salah satu korban (nomor ID 4)
mengatakan:
padahal dia merasa sangat terganggu dan
sangat takut apabila pelaku melakukannya lagi, dia menjawab bahwa pelaku
“Saya sangat ngerasa jijik,
kaget, dan marah, sekaligus
takut, karena dia narik tangan
saya, nyengkeram sampek
tangan saya sakit, terus
ndekatkan tangan saya buat
nyentuh …maaf… kemaluannya…, sementara tangan yang
satunya lagi masih sedang sibuk narik resluiting celananya
ke bawah. Semakin saya mau
nglepaskan tangan saya, tambah kuat cengkeramannya
sampek akhirnya di sini
(pergelangan tangan) saya biru
beberapa hari”.
Lebih lanjut lagi dia menceritakan,
bahwa perasaan trauma itu bertahan
sampai lama, dan selalu teringat setiap
kali ada hal-hal yang mengingatkan lagi
mengancam akan melakukan sesuatu
sehingga nanti-nya sulit untuk naik
jabatan.
Jenis-jenis perasaan yang muncul
tergantung
pada
pelecehan
seksual
macam apa yang mereka alami, dan
tergantung pada sifat dasar atau karakter
pribadi si korban. Salah satu korban tidak
dapat menceritakan peristiwa pelecehan
seksual yang dialaminya selama bertahun-tahun, karena menganggap itu
sebagai aib, sekaligus ada rasa takut
bahwa pelaku akan memfitnahnya, karena si pelaku mempunyai posisi lebih
senior dan mempunyai reputasi yang
baik.
BioKultur, Vol.I/No.1/Januari-Juni 2112, hal. 63
Myrtati D Artaria, “Efek dari Pelecehan Seksual di Lingkungan Kampur: Studi Preliminer” hal. 53-72.
Menurut pengakuan korban (Nomor ID 3):
“Aku ngroso peristiwa iku wis
nyebabno aku diprawani, masiyo
aku gak dicekel blas ambek
wonge. Wong iku wis njebak aku,
mbujuki aku, terus ngunci aku
nang njero. Wong-e mudo terus
onani, sampek klimaks. Aku
dikongkon nontok… yo.. dikongkon nontok wonge ngono iku. Aku
uiiisin, bingung, sekaligus wedi.
Ape mlayu gak isok, mergo
lawange dikunci. Aku kan gak tau
nontok wong lanang koyok ngono.
Aku yo wedi nek dhek-e sampek
lapo-lapo nang aku, yo’opo? Aku
guuemeteran ambek nontok wong
iku, sampek wonge klimaks.
Rasane suwe… ngono, sebab aku
wuuedi! Aku gak nyongko nek
wong iku, seniorku, sing tak ajeni,
ternyata kok ngono iku nang
aku”.
(“Aku merasa peristiwa itu telah
menyebabkan
aku
seperti
diperawani, meskipun aku tidak
disentuhnya. Dia menjebakku,
membohongiku, lalu mengunciku
di ruangan. Dia telanjang lalu
mulai melakukan masturbasi,
sampai mencapai klimaks. Aku
diminta untuk terus menontonnya, ya.. disuruh menonton
orangnya seperti itu. Aku merasa
sangat malu, bingung, sekaligus
takut. Mau lari tidak bisa karena
pintu dikunci. Aku belum pernah
melihat laki-laki dalam keadaan
seperti itu sebelumnya. Aku
takut dia melakukan sesuatu
yang lebih jauh lagi, bagaimana?
Aku sangat gemetaran di sana
sambil melihat dia melakukan
itu, sampai klimaks. Waktu yang
serasa sangat panjang, dan
menakutkan. Aku tidak menyangka bahwa dia yang selama
ini menjadi senior yang kuhormati, ternyata melakukan hal
seperti itu padaku”).
Korban mengaku bahwa ketika dia
akhirnya menikah, dia tidak berani menceritakan pengalamannya itu pada suaminya, karena malu, dan takut disalahkan.
Dia juga tidak berani menceritakan pada
koleganya yang lain. Korban takut dipersalahkan, misalnya dianggap menggoda seniornya itu. Selama ini seniornya
itu terkenal sebagai orang yang gemar
bersedekah pada
anak yatim piatu.
Apalagi peristiwa itu tidak diketahui oleh
saksi manapun, hanya dia dan si pelaku
yang tahu. Dia merasa tidak mempunyai
posisi yang kuat untuk melaporkan,
karena orang pasti tidak percaya bahwa
seniornya itu mampu melakukan tindakan seperti itu pada juniornya.
Perasaan bersalah dan berdosa
muncul pada para korban karena orangorang di sekeliling mereka yang mengetahui peristiwa itu ada yang menyalahkan
bahwa mereka mengalami peristiwa itu
karena
kesalahan,
kelengahan,
atau
kecerobohan mereka sendiri. Mereka
menyesal bahwa mereka telah tidak
berhati-hati sehingga peristiwa itu terjadi
di luar dugaan.
Bahkan ada yang disalahkan karena dianggap mereka telah melakukan
BioKultur, Vol.I/No.1/Januari-Juni 2112, hal. 64
Myrtati D Artaria, “Efek dari Pelecehan Seksual di Lingkungan Kampur: Studi Preliminer” hal. 53-72.
ketidaksopanan dalam cara bersikap,
oleh orang-orang tertentu, begitu pula
berpakaian, atau berkata-kata, sehingga
sebaliknya. Karenanya, korban mesti
memancing tindakan pelecehan seksual.
diyakinkan bahwa rasa bersalah itu harus
Bahkan ketika seorang korban ingin
dihapuskan dari pikiran mereka untuk
melaporkan
pelaku,
dapat cepat pulih dari perasaan-perasaan
orang-orang di sekitarnya ada yang
yang negatif yang merugikan diri mereka
mencegah dengan berbagai alasan.
sendiri.
atau
menuntut
Contohnya:
perlulah
Pada pelecehan seksual yang me-
dilaporkan…. Kamu kan perempuan?
libatkan mahasiswa sebagai korban, me-
Pasti
kamu
“Tidak
nanti
yang
disalahkan.
reka mengaku bahwa terjadi keresahan
yang
malu
itu
ketika harus mengambil mata kuliah yang
pelaku
diampu oleh dosen itu. Seandainya bisa,
nggak akan malu meskipun diketahui
dia akan menghindari mengambil mata
umum dia pernah melakukan pelecehan
kuliah, karena adanya perasaan tidak
seksual”. Atau: “Kalau sampai terjadi
nyaman, kecuali itu mata kuliah wajib.
pelecehan seksual, pasti ada sebabnya.
Ketika peneliti bertanya kepada korban,
Pasti kamu akan disalahkan karena kamu
apa yang mereka lakukan jika tidak ada
telah melakukan hal-hal yang nggak
pilihan dan harus mengambil mata kuliah
bener. Mungkin cara berpakaian kamu
itu?
Gimanapun
juga,
perempuan.
Laki-laki
sebagai
terlalu sexy? Mungkin kata-kata kamu
Korban
menjawab
bahwa
dia
mengundang? Atau kamu ceroboh, nggak
harus menjaga sedapat mungkin tidak
waspada jadi mberi kesempatan orang itu
memberi kesempatan terjadinya peleceh-
buat ngelakukan pelecehan?”
an seksual lagi, misalnya selalu menjaga
Pada kenyataannya, dari hasil
jarak apabila terpaksa menghadap. Juga,
wawancara, semua peristiwa pada ke 11
mengajak teman bersama-sama meng-
orang di atas tidak dapat mendukung
hadap apabila memang perlu menemui si
dengan
yang
dosen. Cepat-cepat menjauh kalau dosen
mengatakan bahwa itu terjadi karena
mulai mendekati secara fisik, karena
kesalahan korban. Suatu situasi yang
tangannya “dapat saja tiba-tiba mendarat
sama dapat diinterpretasi berbeda oleh
di tempat-tempat yang tidak semestinya”
orang yang berbeda.
(penulis meminjam kata-kata yang di-
meyakinkan
pendapat
Situasi yang netral pun dapat
ucapkan oleh korban bernomor ID 1).
diinterpretasi menjadi situasi “mesum”
Menurut korban, situasi seperti ini sangat
BioKultur, Vol.I/No.1/Januari-Juni 2112, hal. 65
Myrtati D Artaria, “Efek dari Pelecehan Seksual di Lingkungan Kampur: Studi Preliminer” hal. 53-72.
tidak nyaman, tapi dia tidak tahu harus
mencari pertolongan ke mana.
Korban ingin situasi berubah, tapi
tidak tahu bagai-mana dapat mengubah
Seorang korban (nomor ID 2)
situasi itu. Korban bahkan mengalami
mengatakan bahwa apa yang dia alami
perubahan penampilan (dalam berpakai-
berusaha dilupakan saja, karena hanya
an)
akan menyiksa dia, tokh dia masih akan
konflik dalam batinnya, sekaligus konflik
bertemu dengan orang itu. Dia hanya
dengan suaminya yang disebabkan oleh
berusaha untuk menghindari apabila
fitnah-fitnah yang dihembuskan oleh
harus bertemu dengan orang itu. Tentu
pelaku mengenai dirinya ke telinga
saja usaha menghindari ini juga mem-
suaminya.
bawa ketidaknyamanan dalam melakukan aktifitas perkuliahan.
dan
perubahan
perilaku
akibat
Pelecehan seksual kadang tidak
dinyana oleh korban, karena peristiwa
Pada kasus pelecehan yang dila-
dapat terjadi begitu cepat, dan di luar
kukan oleh atasan pada bawahan, di-
perkiraan korban. Misalnya, pelecehan
katakan oleh korban (nomor ID 9) bahwa
seksual
dia merasa tidak tenang tiap hari dalam
bernomor ID 5 dilakukan oleh koleganya
bekerja,
was-was
sendiri ketika mereka sedang bersama-
kalau-kalau dipanggil oleh atasannya
sama merencanakan suatu proyek kerja
untuk menghadap. Dia tidak berani
sama.
karena
senantiasa
melaporkan karena takut kehilangan
pekerjaan,
karena
merasa
yang
terjadi
pada
korban
Ketika akan diwawancarai, korban
posisinya
menolak dan mengatakan tidak ingin
belum mantap sebagai orang yang relatif
membicarakan masalah itu. Peneliti men-
baru bekerja di sana.
dapatkan informasi dari teman dekat
Pelaku mempunya posisi yang
korban bahwa koleganya tiba-tiba me-
sangat senior dan mempunyai andil
megang-megang pahanya ketika mereka
dalam penentuan apakah korban akan
sedang duduk berhadap-hadapan meng-
tetap bekerja di sana. Korban merasa
gunakan meja yang sama. Korban merasa
tidak nyaman selama bekerja, tetapi
sangat kaget, malu dan marah, tetapi
merasa tidak berdaya dalam menghadapi
tidak mampu melabrak pelaku, karena
atasannya
suatu alasan tertentu, dan kemudian
yang
suka
men-daratkan
tangannya di tempat-tempat yang tidak
semestinya.
korban mengadu pada teman dekatnya.
Sejak itu korban tidak ingin menyapa koleganya itu lagi, dan tidak ingin
BioKultur, Vol.I/No.1/Januari-Juni 2112, hal. 66
Myrtati D Artaria, “Efek dari Pelecehan Seksual di Lingkungan Kampur: Studi Preliminer” hal. 53-72.
membicarakan peristiwa itu lagi. Peneliti
alat sekaligus hasil dari dominasi laki-laki
tidak dapat mendapatkan informasi ten-
dalam masyarakat.
tang bagaimana perasaan korban menge-
Karenanya, “Fungsi dari pelecehan
nai peristiwa itu, bagaimana dia meng-
seksual adalah untuk tetap mengatur
atasinya, dan bagaimana dia menghadapi
interaksi
laki-laki
koleganya apabila suatu saat bertemu
dengan
norma-norma
(karena tetap berada dalam satu kantor);
kelamin yang diterima oleh masyarakat,
karena
dan untuk memertahankan dominasi laki-
korban
menolak
untuk
di-
wawancarai.
Kejadian pelecehan seksual di
perempuan
status
sesuai
jenis
laki dalam dunia kerja, dan karenanya
secara ekonomis tetap mengintimidasi,
tempat kerja barangkali dipicu oleh
tidak
mendorong
perempuan
untuk
sejarah setempat di mana laki-laki lebih
bekerja, atau mengusahakan agar perem-
mendominasi mayoritas posisi di tempat
puan keluar dari tempat kerja” (Tangri,
kerja yang mempunyai status tinggi,
Burt, & Johnson, 1982, p. 40 dalam Paludi
sementara perempuan menempati posisi
& Paludi, 2003).
status pekerjaan rendah dan pendapatan
Perbuatan pelecehan dalam ben-
yang kecil, di mana bekerja merupakan
tuk perabaan dapat saja merupakan
ekstensi perannya di ranah domestik.
representasi dari rasa superioritas si
Perempuan diharapkan mempunyai sifat
pelaku (dalam hal ini laki-laki) terhadap
yang peduli pada sesama dan menerima
si perempuan. Dapat pula merupakan
dominasi dan otoritas laki-laki. Ketika
representasi dari keter-tarikan si pelaku
jumlah perempuan bekerja meningkat, ini
(seperti dikatakan oleh Franke, 1997;
tentu mengubah banyak hal di dalam
Gutek, 1985; MacKinnon, 1979; Schultz,
keluarga, sekolah, dan komunitas, di
1998)
mana peran jender tradisional mulai
perasaan si korban.
berubah.
Perubahan menimbulkan konflik.
dengan
tidak
memedulikan
Salah satu korban (nomor ID 11)
mengaku bahwa dia mengalami gangguan
Menurut Power Theory of Sexual Harass-
fisik
setelah
terjadinya
peristiwa
ment menurut Powell (1986), Rospenda,
pelecehan seksual. Korban
mengalami
Richman, & Nawyn (1998), McKinney
mimpi buruk, rambut rontok, jantung
(1994) (semuanya dalam Paludi & Paludi,
sering berdebar-debar, dan kecemasan.
2003); pelecehan seksual adalah suatu
Nafsu makan menurun sehingga kondisi
fisik pun menurun.
BioKultur, Vol.I/No.1/Januari-Juni 2112, hal. 67
Myrtati D Artaria, “Efek dari Pelecehan Seksual di Lingkungan Kampur: Studi Preliminer” hal. 53-72.
Apalagi
setelah
peristiwa
itu,
melibatkan
sentuhan-sentuhan
pada
karena korban berani melaporkan, maka
bagian-bagian sensitif. Sentuhan pada
si pelaku melakukan teror lewat e-mail,
tangan, atau sebatas perkataan yang
dan
“menjurus”
memfitnah
pada
teman-teman
korban bahwa korban lah yang menggodanya. Pada saat itu korban merasa
mengalami
masa
sebagai
tindakan pelecehan seksual.
Korban yang mempunyai tingkat
pendidikan sarjana ke atas menganggap
teman-temannya meninggal-kannya, dan
bahwa hal-hal tersebut di atas sudah
memihak pada pelaku; atau takut untuk
tergolong
memihak siapapun sehingga memilih
seksual, selama korban merasa tidak
menjauhi korban. Karena ditinggalkan
menginginkan adanya perlakuan seperti
oleh beberapa teman dekatnya, dan tidak
itu dari pelaku.
dukungan
keluarganya,
korban
mana
dianggap
sebagian
mendapat
di
belum
dari
sempat
pada
tindakan
pelecehan
beberapa
Pada umumnya korban sepakat
merasa
bahwa sentuhan yang tidak dikehendaki
hidupnya tidak berarti.
dari pelaku pada bagian-bagian tubuh
korban yang sensitif adalah dianggap
sebagai pelecehan seksual. Semua korban
Reaksi Korban Pelecehan Seksual
sepakat bahwa perilaku menunjukkan
Persepsi korban mengenai pelecehan
bagian tubuh (private part) dari pelaku
seksual berbeda-beda, dan karenanya
terhadap korban dengan tanpa adanya
bereaksi secara
persetujuan dari korban, adalah tindakan
berbeda
pula.
Para
korban berasal dari status sosial-ekonomi
pelecehan
yang berbeda-beda, dan pendidikan yang
(Science Today, 2008) semakin besar
berbeda pula.
dorongan lingkungan pada perempuan
seksual.
Menurut
Leaper
Korban yang mempunyai pendi-
untuk mengadopsi peran jender tra-
dikan lebih rendah (pada penelitian ini
disional, maka mereka semakin sensitif
pendidikan terendah adalah lulusan SMU)
terhadap adanya seksisme.
umumnya lebih permissive pada kejadian
Sebagai garis besar, pada umum-
pelecehan seksual, dalam arti, batasan
nya reaksi pertama yang didapati pada
mengenai apa yang dinamakan sebagai
para korban pelecehan seksual dalam
pelecehan seksual itu lebih longgar. Pada
penelitian ini adalah tidak berani meng-
beberapa korban, pelecehan seksual baru
adukan apa yang dialaminya, dan cen-
dikatakan
derung berusaha menutupi apa yang
sebagai
pelecehan
apabila
BioKultur, Vol.I/No.1/Januari-Juni 2112, hal. 68
Myrtati D Artaria, “Efek dari Pelecehan Seksual di Lingkungan Kampur: Studi Preliminer” hal. 53-72.
telah terjadi, sampai terdapat indikasi
adanya suatu peristiwa yang terjadi pada
bahwa yang dialaminya itu juga terjadi
si pelaku pelecehan, yang membuat
pada
korban merasa harus membuka jati diri si
orang
lain.
Orang
lain
yang
mengalami pelecehan seksual tersebut
pelaku.
kemudian menjadi teman untuk bercerita.
Berdasarkan wawancara terhadap
Hal ini terjadi pada tiga dari korban yang
korban, terdapat indikasi bahwa latar
diwawancarai.
belakang kepercayaan, etnik, dan status
Enam
dari
korban
pelecehan
sosial korban juga mempunyai andil
seksual memilih untuk bercerita hanya
terhadap perbedaan persepsi mengenai
pada teman paling dekat yang dapat
dan reaksi terhadap perilaku pelecehan
dipercaya, sebelum akhirnya mereka ber-
seksual.
usaha mengadukan pada pihak yang
penelitian ini belum dilakukan wawan-
dapat memberi kemungkinan perlindung-
cara yang mendalam untuk menggali
an terhadap tindakan pelecehan seksual
seberapa jauh hal-hal tersebut di atas
lebih jauh.
mempengaruhi
Meskipun
demikian,
respon
dan
pada
perilaku
Tiga dari enam korban di atas
korban pelecehan. Ini disebabkan karena
berusaha melupakan peristiwa itu karena
waktu penelitian sangat singkat, dan
tidak ada tanda-tanda akan adanya
masih berupa studi penjajagan.
konsekuensi terhadap perilaku pelecehan
seksual terhadap si pelaku. Salah satu
Kesimpulan
dari ke tiga orang ini kemudian tidak mau
Peristiwa pelecehan seksual menyebab-
membicarakan peristiwa itu lagi.
kan
akibat
yang
sangat
merugikan
Hanya satu orang menyimpan
terhadap korban, karena dapat meng-
rapat-rapat peristiwa yang menimpanya,
akibatkan gangguan baik secara psi-
sampai bertahun-tahun kemudian dia
kologis dan fisik. Sayangnya, pelecehan
memutuskan untuk menceritakan pada
seksual yang tidak melibatkan tindakan
beberapa teman dekatnya. Alasan dari
fisik (penetrasi ataupun kekerasan fisik
tindakan ini adalah perasaan sangat malu
yang berbekas pada tubuh korban) sulit
dan takut direndahkan oleh orang lain
untuk diterima oleh pengadilan agar
apabila ada yang mengetahui apa yang
dapat memberikan keadilan pada si
telah terjadi padanya. Keputusan untuk
korban, karena dianggap tidak ada bukti
menceritakan apa yang dialaminya itu
yang cukup untuk menahan pelaku. Apa-
beberapa tahun kemudian didorong oleh
lagi biasanya pelecehan terjadi di tempat
BioKultur, Vol.I/No.1/Januari-Juni 2112, hal. 69
Myrtati D Artaria, “Efek dari Pelecehan Seksual di Lingkungan Kampur: Studi Preliminer” hal. 53-72.
yang tertutup, atau tidak ada saksi lain
korban maupun dari sisi pemberian
yang menyaksikan terjadinya peristiwa
keadilan (dengan memberikan punish-
pelecehan seksual.
ment)
terhadap
pelaku.
Selayaknya
Pelecehan seksual menyebabkan
tempat-tempat di mana berkumpulnya
rasa malu, marah, sedih, dendam, dan
para intelektual seperti universitas men-
merasa tidak berarti. Akibat yang lain
jadi pelopor dan memikirkan agar tidak
dapat pula terjadi pada fisik, seperti
terjadi pelecehan seksual di wilayahnya.
rambut rontok dan kondisi tubuh yang
menurun
karena
Amerika
Serikat,
tindakan-
nafsu
tindakan bersifat seksual yang tidak
makan. Kohesitas dengan teman dan
dikehendaki, permintaan untuk melaku-
keluarga
karena
kan pelayanan seksual, dan perbuatan-
peristiwa pelecehan seksual, baik karena
perbuatan bersifat verbal atau fisik
gangguan
yang
merupakan tindakan pelecehan seksual di
dialami oleh korban, ataupun karena
tempat kerja ketika (1) penyerahan diri
keputusan teman atau keluarga untuk
terhadap perbuatan itu dilakukan secara
menjauhi si korban.
eksplisit
dapat
fisik
menurunnya
Di
merenggang
dan
psikologis
maupun
implisit
di
dalam
Menurut Schneider et al.(1998)
lingkungan kerja individu, (2) penye-
"sexual harassment doesn't have to be
rahan diri atau penolakan terhadap
particularly egregious to have negative
perbuatan itu digunakan sebagai dasar
consequences.
although
untuk membuat keputusan-keputusan di
many women do not see themselves as
dalam tempat kerja yang mempunyai
victims of harassment, our study suggests
akibat pada si individu, (3) perbuatan itu
that they are still more likely to experience
mempunyai tujuan atau akibat yang tidak
negative psychological and job-related
masuk akal, yang mengganggu kinerja si
outcomes because of the behaviors they
individu atau menciptakan lingkungan
experienced." Jadi, meskipun si obyek ti-
kerja yang ofensif, hostil, atau meng-
dak merasa menjadi korban, efek psi-
intimidasi (Code of Federal Regulations,
kologis telah nampak dalam kinerjanya.
2000, p. 186 dalam Paludi & Paludi,
Furthermore,
Mengingat akibat-akibat yang cu-
2003).
kup serius karena pelecehan seksual,
Apabila di Indonesia belum ada
maka layak untuk dipikirkan tindakan
undang-undang yang mantap dalam me-
dalam melindungi korban, baik dari sisi
lindungi korban pelecehan seksual, maka
remedial untuk memulihkan kondisi si
seharusnya undang-undang atau peraturBioKultur, Vol.I/No.1/Januari-Juni 2112, hal. 70
Myrtati D Artaria, “Efek dari Pelecehan Seksual di Lingkungan Kampur: Studi Preliminer” hal. 53-72.
an pemerintah mensyaratkan masingmasing lingkungan kerja untuk menciptakan aturan khusus untuk menjamin
adanya perlindungan terhadap korban
pelecehan seksual, dan pencegahan agar
tidak terjadi pelecehan seksual.
Studi ini dapat menjadi awal untuk
penelitian yang lebih besar dengan melibatkan jumlah informan lebih banyak,
dalam lingkup yang lebih luas. Dengan
demikian akan dapat dihasilkan data
lebih
banyak
mengatasi
sehingga
dapat
lebih
persoalan-persoalan
yang
muncul dalam kaitan dengan pelecehan
seksual di tempat kerja.
Daftar Pustaka
Berdahl, J. L., Magley, V. J., & Waldo, C. R.
(1996) “The sexual harassment of
men: Exploring the concept with
theory and data”, Psychology of
Women Quarterly, 20, 527–547.
Boland, M. L. (2002) Sexual Harassment:
Your Guide to Legal Action. Naperville, Illinois: Sphinx Pub.
Dall’Ara, E., & Maass, A. (1999) “Studying sexual harassment in the
laboratory: Are egalitarian women
at higher risk?” Sex Roles, 41, 681–
704.
Dziech, B. W. & Weiner, L. (1990) The
Lecherous Professor: Sexual Harassment on Campus, Illinois: University of Illinois Press.
Fiske, S. T., & Stevens, L. E. (1993) “What’s
so special about sex? Gender
stereotyping and discrimination”.
In S. Oskamp & M. Costanzo (Eds.),
Gender Issues in Contemporary
society, 173–196.
Franke, K. M. (1997) “What’s wrong
with sexual harassment?” Stanford Law Review, 49, 691–772.
Gutek, B. A. (1985) Sex and the Workplace: The Impact of Sexual Behavior and Harassment on Women, Men, and Organizations. San
Francisco: Jossey-Bass.
Kinasih, S. E. (2007) “Perlindungan dan
penegakan HAM terhadap korban
pelecehan seksual”. Masyarakat,
Kebudayaan dan Politik 20(4).
Maass, A., Cadinu, M., Guarnieri, G., &
Grasselli, A. (2003) “Sexual
harassment under social identity
threat: The computer harassment
paradigm”, Journal of Personality
and Social Psychology, 85, 853–
870.
MacKinnon, C. A. (1979) Sexual Harassment of Working Women. New
Haven, CT: Yale University Press.
Michele Paludi and Carmen A. Paludi,
Jr.(2003) Academic and Workplace
Sexual Harassment: A Handbook of
Cultural, Social Science, Management, and Legal Perspectives.
London: Praeger.
Schneider, Kimberly T., Fitzgerald, Louise
F., & Swan, Suzanne (1998) “Jobrelated and psychological effects of
sexual harassment in the workplace: empirical evidence from two
organizations”, Journal of Applied
Psychology, Vol. 82, No. 3. http:
//www.selfhelpmagazine.
com/
articles/wf/harass.html. Di-akses
5 Feb. 2009.
Schultz, V. (1998) “Reconceptualizing
sexual harassment”. Yale Law
Journal, 107, 1683–1796.
Shupe, Ellen I.; Cortina, Lilia M.; Ramos,
Alexandra; Fitzgerald, Louise F.;
BioKultur, Vol.I/No.1/Januari-Juni 2112, hal. 71
Myrtati D Artaria, “Efek dari Pelecehan Seksual di Lingkungan Kampur: Studi Preliminer” hal. 53-72.
Salisbury, Jan. (2002) “The
Incidence and Outcomes of Sexual
Harassment among Hispanic and
Non-Hispanic White Women: A
Comparison across Levels of
Cultural Affiliation”.. Psychology of
Women
Quarterly.
http://pt.
wkhealth.com/pt/re/pswq/abstra
ct.00001333-200212000-00004.
htm. Diakses 5 Feb. 2009.
“Teen Girls Still Experience Sexual Harassment and Sexism” (2008-0519) Science Today. http://www.
ucop.edu/sciencetoday/article/17
853. Diakses 5 Feb. 2009.
Zhang, L. (2006) “Sexual harassment in
the hospitality industry: A study
on a Chinese state-owned hotel,
Master Thesis, Nottingham: The
University of Nottingham.
BioKultur, Vol.I/No.1/Januari-Juni 2112, hal. 72
Download