Myrtati D Artaria, “Efek dari Pelecehan Seksual di Lingkungan Kampur: Studi Preliminer” hal. 53-72. Efek Pelecehan Seksual di Lingkungan Kampus: Studi Preliminer Myrtati D. Artaria (Dosen Departemen Antropologi FISIP Unair; [email protected]) Abstract Sexual harassment is a human rights issue, and it needs the attention of the national and international authority. Although most people have concern related to the sexual harassment in the globalization context, in Indonesia, this issue in the local places, even in the life in campus often is neglected. This research was a preliminary study, and trying to identify what kind of sexual harassment in the campus life in a particular university in Indonesia, how the victims dealt with it, and what the effects were. The perception of the act of sexual harassment seemed to be influenced by the education level of the victims, and probably the ethnic backround, the belief, and the social status of the victims. Key words: sexual, harassment, campus, effect, perception Abstrak Pelecehan seksual adalah merupakan issue tentang hak asasi manusia, yang mana membutuhkan perhatian dari dunia internasional maupun nasional. Meskipun kebanyakan orang peduli pada hal-hal berkaitan dengan pelecehan seksual dalam konteks global, di Indonesia, issue ini di tempat-tempat lokal, bahkan di lingkungan kampus sering terlupakan. Penelitian ini adalah penelitian awal, dan mencoba mengidentifikasi macam pelecehan seksual di kehidupan kampus di suatu universitas di Indonesia, bagaimana korbannya berusaha mengatasi kesulitan-kesulitannya, dan bagaimana efeknya pada korban. Persepsi mengenai tindakan pelecehan seksual rupanay dipengaruhi oleh tingkat pendidikan korban, dan mungkin juga oleh latar belakang etnik, kepercayaan, dan status sosial korban. Kata kunci: seksual, pelecehan, kampus, efek, persepsi P elecehan seksual adalah perbuat- didik dan administrator sekolah banyak an yang tidak dikehendaki oleh yang menolak untuk mengakui bahwa obyek, perbuatan masalah ini ada di lingkungan mereka yang mempunyai sifat-sifat seksual yang (Dziech & Weiner 1990). Meskipun meliputi mulai dari transgresi yang kejadian pelecehan seksual ini telah ringan, menjengkelkan, sampai dengan terjadi dan terdokumentasi sejak akhir perlakuan serius seperti aktifitas seksual abad 19, hal ini tidak diakui kebera- yang dipaksakan. Banyak yang menge- daannya (dan karenanya tidak dilakukan luhkan bahwa di lingkungan pendidikan, tindakan apapun), dan baru diberi nama pelecehan khusus pada era 1970an (Bulzarik, 1978 merupakan seksual banyak menjadi “rahasia yang terlupakan”, karena pen- dalam Shupe et al., 2002). BioKultur, Vol.I/No.1/Januari-Juni 2112, hal. 53 Myrtati D Artaria, “Efek dari Pelecehan Seksual di Lingkungan Kampur: Studi Preliminer” hal. 53-72. Perilaku pelecehan seksual diper- korban, atau tidak sadar bahwa perilaku- kirakan dimotivasi oleh keinginan seksual nya dianggap sebagai pelecehan seksual. pelaku (misalnya Bahkan ketika perilaku itu sudah di- Franke, 1997; Gutek, 1985; kategorikan sebagai pelanggaran hukum, MacKinnon, 1979; Schultz, 1998). Meski- mungkin saja si pelaku masih tidak me- pun demikian, yang paling sering terjadi nyadari bahwa perilakunya itu melanggar adalah pelecehan jender, yaitu lingkungan hukum. Tokh yang dinamakan “hukum” yang itu terhadap menurut korban mendukung adanya tindak sendiri, dalam hal pengaturan kekerasan terhadap korban dalam bentuk terhadap pelecehan seksual dan perko- pelanggaran terhadap ideal mengenai saan, di Indonesia masih belum jelas hubungan antar jender (Berdahl, Magley, (Kinasih, 2007). & Waldo, 1996; Dall’Ara & Maass, 1999; Macam-macam pelecehan seksual Fiske & Stevens, 1993; Franke, 1997; menurut Dzeich & Weiner (1990) antara Maass, Cadinu, Guarnieri, & Grasselli, lain tipe “Pemain-Kekuasaan” atau “quid 2003). pro quo”, di mana pelaku melakukan Pelecehan seksual bisa terjadi pelecehan untuk ditukar dengan benefit pada berbagai kesempatan, pelaku bisa yang bisa mereka berikan karena posisi siapa saja, misalnya supervisor, klien, (sosial)nya, misalnya dalam memperoleh teman kerja, guru, dosen, murid atau atau mempertahankan pekerjaan, men- mahasiswa/i, teman, atau orang asing. dapat nilai bagus, rekomendasi, proyek, Korbannya adalah orang yang dilecehkan promosi, order, dan kesempatan-kesem- secara patan lain. langsung, atau orang yang mengetahui kejadian itu dan kemudian Tipe dua adalah “berperan sebagai merasa terganggu oleh kejadian tersebut. figur Ibu/Ayah”. Pelaku pelecehan men- Meskipun efek negatif dari kejadian itu coba untuk membuat hubungan seperti sering terjadi, tetapi perbuatan itu belum mentor dengan korbannya, sementara itu tentu melanggar hukum. Korbannya bisa intensi seksualnya ditutupi dengan pre- laki-laki maupun perempuan, dan pelaku tensi berkaitan dengan atensi akademik, pelecehan bisa laki-laki atau perempuan. profesional, atau personal. Ini merupakan Pelaku tidak selalu berjenis kelamin yang berlawanan dengan korban. cara yang sering digunakan oleh guru yang melecehkan muridnya. Pelaku pelecehan mungkin saja tidak Tipe tiga adalah “Anggota Kelom- sadar bahwa perilakunya mengganggu pok” (“geng”). Ini semacam inisiasi untuk BioKultur, Vol.I/No.1/Januari-Juni 2112, hal. 54 Myrtati D Artaria, “Efek dari Pelecehan Seksual di Lingkungan Kampur: Studi Preliminer” hal. 53-72. dianggap sebagai anggota dari suatu dipaksa untuk menjadi pelipur lara atas kelompok tertentu. Misalnya, pelecehan penderitaan yang diceritakannya. dilakukan pada seseorang yang ingin di- Tipe delapan adalah “Pelecehan anggap sebagai anggota kelompok terten- situasional”, di mana pelaku memanfaat- tu, dilakukan oleh anggota-anggota ke- kan situasi korban yang sedang ditimpa lompok yang lebih senior. kemalangan. Berlainan dengan tipe sebe- Tipe empat adalah “Pelecehan di lumnya, yang sedang ditimpa kemalangan tempat tertutup”. Pelecehan ini dilakukan justru adalah si korban, dan kemudian oleh pelaku secara tersembunyi, dengan pelaku memanfaatkan ketidakberdayaan tidak ingin terlihat oleh siapapun, se- korban. Misalnya, korban yang sedang hingga tidak ada saksi. sakit, korban yang mengalami cacat fisik, Tipe lima adalah “Groper”, yaitu pelaku yang suka memegang-megang korban yang sedang dilanda stress karena ditinggal mati keluarganya, dsb. anggota tubuh korban. Aksi memegang- Tipe sembilan adalah “Pest”, yaitu megang tubuh ini dapat saja dilakukan di pelaku yang memaksakan kehendak tempat umum ataupun di tempat yang dengan tidak mau menerima jawaban sepi. “tidak”. Pemaksaan kehendak ini diTipe enam adalah “Oportunis”, lakukan karena pelaku sangat mengingin- yaitu pelaku yang mencari kesempatan kan untuk melakukan perbuatan yang adanya kemungkinan untuk melakukan ingin dia lakukan, tidak peduli dengan pelecehan. Misalnya di tempat umum perasaan korban. yang penuh sesak, pelaku akan mempu- Tipe sepuluh adalah “The Great nyai kesempatan untuk mendaratkan Gallant”, yaitu orang yang mengatakan tangannya di bagian-bagian tubuh ter- komentar-komentar “pujian” yang berle- tentu korban. bihan, tidak pada tempatnya, sehingga Tipe tujuh adalah “Confidante”, menimbulkan rasa malu pada korban. yaitu pelaku yang suka mengarang cerita Dapat saja komentar-komentar itu justru untuk menimbulkan simpati dan rasa berlawanan dengan kondisi yang sebe- percaya dari korban. Sebagai contoh, narnya dari si korban. korban mula-mula terbawa perasaan Tipe sebelas adalah “Intellectual karena pelaku menceritakan permasalah- seducer”, di mana pelaku memperguna- annya. Setelah itu pelaku membawa kan pengetahuan dan kemampuan untuk korban pada situasi di mana si korban mencari tahu tentang kebiasaan atau BioKultur, Vol.I/No.1/Januari-Juni 2112, hal. 55 Myrtati D Artaria, “Efek dari Pelecehan Seksual di Lingkungan Kampur: Studi Preliminer” hal. 53-72. pengalaman korban, dan kemudian dipergunakan untuk melecehkan korban. menyebabkan atmosfir yang mendorong terjadinya pelecehan seksual yang tertuju Tipe dua belas adalah orang yang pada pribadi tertentu. Sebagai contoh, “Incompetent”, yaitu orang yang secara ketika obsenitas merupakan hal yang sosial tidak kompeten dan ingin men- biasa di suatu lingkungan kantor, individu dapatkan perhatian dari seseorang (yang 3x lebih besar kemungkinannya diper- tidak mempunyai perasaan yang sama lakukan sebagai obyek seks. Juga, ketika terhadap pelaku pelecehan), kemudian gurauan yang bersifat seksual merupakan setelah ditolak, pelaku balas dendam hal yang umum, maka pelecehan seksual dengan cara melecehkan si penolak. kemungkinan terjadinya 3 sampai 7 kali Tipe terakhir bentuk pelecehan lebih sering (Boland, 2002). seksual adalah “Lingkungan”, yaitu yang Efek yang bisa terjadi pada korban dianggap “sexualized environment”. Ini pelecehan seksual antara lain kemampu- adalah lingkungan yang mengandung an di sekolah, atau pekerjaan yang obsenitas, gurauan-gurauan berbau seks, menurun, serta jumlah absensi mening- grafiti yang eksplisit menampilkan hal-hal kat. Dapat pula terjadi kehilangan peker- seksual, melihat pornografi di internet, jaan atau karier, dan kemudian kehi- poster-poster dan obyek yang merendah- langan pendapatan. Pada korban dari kan secara seksual, dsb. Biasanya hal ini lingkungan mahasiswa, korban dapat saja tidak ditujukan secara personal pada membatalkan kuliah, mengubah rencana seseorang, tetapi bisa menyebabkan ling- akademik, atau berhenti kuliah. Perem- kungan yang ofensif terhadap orang puan korban pelecehan seksual dilapor- tertentu. kan melakukan pembolosan kerja lebih Sebagai contoh kasus, pernah banyak, produktifitasnya rendah, dan seorang pegawai mendapatkan kompen- kondisi fisik maupun emosinya sangat sasi dari atasannya setelah dia meng- buruk (Shupe et al., 2002). abaikan keluhannya bahwa rekan-rekan Secara umum, akibat dari pele- kerjanya di kantor menghabiskan terlalu cehan seksual adalah adanya korban yang banyak menjadi waktu melihat obyek-obyek “tertuduh” karena dikritik seksual yang di download dari internet, berkaitan dengan cara berpakaiannya, sehingga menciptakan “atmosfir obseni- gaya hidupnya, dan kehidupan pribadinya tas secara umum” di kantornya. Ling- diserang. Selain itu, korban menjadi kungan yang seperti ini disinyalir dapat obyek dan terhina karena menjadi bahan BioKultur, Vol.I/No.1/Januari-Juni 2112, hal. 56 Myrtati D Artaria, “Efek dari Pelecehan Seksual di Lingkungan Kampur: Studi Preliminer” hal. 53-72. gosip. Korban menjadi obyek seksual Berbagai masalah psikologis dan secara publik (karena “dievaluasi” oleh fisik dapat terjadi, seperti: depresi, panik, sekelompok orang). resah, tidak bisa tidur, mimpi buruk, Korban dianggap telah turun re- malu, merasa bersalah, sulit berkon- putasinya dan nama baiknya. Korban sentrasi, sakit kepala, rasa lelah, ke- kehilangan kepercayaan terhadap ling- hilangan motivasi, masalah pencernaan, kungan yang serupa dengan lingkungan masalah dengan pola makan (kelebihan di mana pelecehan terjadi. Juga, korban berat atau turun berat badannya), merasa mungkin kehilangan kepercayaan ter- dikhianati, merasa marah, merasa tidak hadap orang-orang yang bertipe seperti berdaya, merasa tidak punya kontrol, orang yang pernah melecehkannya, atau tekanan darah naik, kehilangan konfiden orang-orang yang punya kedudukan se- dan rasa percaya diri, menarik diri, perti orang yang pernah melecehkannya. kehilangan rasa percaya pada manusia Selain akibat-akibat di atas, kadangkala terjadi korban mengalami stress lain, trauma, pikiran-pikiran dan usaha bunuh diri, dll. berkaitan dengan orang yang mempunyai Efek yang dapat terjadi pada suatu hubungan dekat dengannya, kadang- organisasi bila terjadi kasus pelecehan kadang menyebabkan putus, atau per- seksual di antara staff atau pegawai ceraian; masalah dengan hubungan yang adalah adanya produktifitas menurun, terjalin dengan teman, atau dengan dan konflik antar anggota team me- kolega. ningkat. Keberhasilan dalam mencapai Pada lingkungan yang kurang tujuan-tujuan finansial menjadi menurun paham tentang psikologis korban pe- pula. Selain itu kepuasan terhadap peker- lecehan seksual, dan lebih memihak pada jaan pada beberapa orang menjadi me- pelaku pelecehan, maka terjadi pele- nurun. Dapat pula terjadi kehilangan staff mahan jaringan yang mendukung korban, atau ahli, kehilangan murid atau maha- karena ditinggalkan oleh orang-orang siswa, karena mengundurkan diri atau (teman dan keluarga) di sekelilingnya. dipecat, disebabkan karena yang ber- Kadangkala korban harus pindah kota, sangkutan adalah korban atau pelaku pindah kerja, pindah sekolah, dsb. Ini pelecehan seksual. berakibat pada hilangnya referensi atau rekomendasi. Pengetahuan bahwa pelecehan seksual dibiarkan saja pada suatu instansi akan menyebabkan menurunnya standar BioKultur, Vol.I/No.1/Januari-Juni 2112, hal. 57 Myrtati D Artaria, “Efek dari Pelecehan Seksual di Lingkungan Kampur: Studi Preliminer” hal. 53-72. etik dan disiplin pada organisasi secara terlalu sedikit, atau yang mengaku pernah umum, sehingga staf atau murid atau menjadi korban pelecehan seksual terlalu mahasiswa atau sedikit. Ini akan memberikan kesulitan kehilangan rasa percaya, pada seniornya untuk mendapatkan hasil perhitungan atau pada pimpinan. Apabila masalahnya statistik yang dapat dipercaya, dengan diabaikan, instansi akan turun pamornya. kebermaknaan yang dapat diterima. kehilangan respek, Bisa saja terjadi bahwa korban mela- Metode kualitatif lebih dipilih porkan ke pengadilan, sehingga merugi- untuk penelitian ini, karena memberikan kan instansi. keuntungan untuk peneliti dalam men- Meskipun dampak dari pelecehan seksual cukup serius seperti yang jalin hubungan baik dengan informan, dan kemudian menggali informasi diungkapkan di atas, tetapi ada indikasi mengenai apa yang telah terjadi dan bahwa pelecehan seksual terjadi di bagaimana lingkungan kampus suatu perguruan peristiwa pelecehan seksual, atau “coping tinggi negeri di Jawa Timur. Oleh karena strategies” yang dimiliki oleh para korban itu peneliti ingin mengetahui sejauh mana pelecehan seksual (Hughes and Tadic, pelecehan 1998 dalam Zhang, 2006). terjadi pada lingkungan dia mengatasi efek dari kampus yang terpandang dan mempunyai reputasi baik secara nasional maupun Tahapan Penelitian internasional. Sampel diambil dengan cara snow-ball Tipe penelitian ini adalah kualitatif sampling, karena korban pelecehan yang menggunakan studi kasus. Tipe ini seksual biasanya tidak selalu terbuka dipilih taraf pada orang yang belum dikenalnya penjajagan untuk mengetahui seberapa dengan baik. Pada awalnya, peneliti banyak insiden pelecehan seksual di mendengar kabar bahwa ada seseorang lingkungan jenis yang menjadi korban pelecehan seksual pelecehan seksual yang terjadi, dan di suatu fakultas, di suatu universitas seberapa keterbukaan korban pelecehan terkemuka. Kemudian peneliti mendekati seksual korban tersebut untuk mencari tahu karena masih kampus, untuk mau dalam apa saja membicarakan peristiwa ini. kebenaran dari berita yang beredar, dan Metode kuantitatif tidak diguna- mencoba untuk menjalin hubungan dari kan dalam penelitian ini, karena ada sekedar kenal menjadi teman yang lebih dugaan bahwa jumlah sampel akan dekat. BioKultur, Vol.I/No.1/Januari-Juni 2112, hal. 58 Myrtati D Artaria, “Efek dari Pelecehan Seksual di Lingkungan Kampur: Studi Preliminer” hal. 53-72. Setelah terjalin keakraban, peneliti mulai bertanya berkaitan dengan peristiwa pelecehan seksual yang dikabarkan dengan batas waktu yang diberikan oleh instansi dalam meneliti masalah ini. Pengambilan sampel dilakukan pernah terjadi. Ketika keakraban mulai pada satu fakultas di satu universitas terjalin, peneliti mengemukakan niat un- negeri di Jawa Timur, di mana peneliti tuk meneliti masalah pelecehan seksual mendengar ini dan hasil wawancara akan diper- pegawainya pernah dan masih sering lakukan sebagai data, untuk kemudian mengalami dianalisis. atasannya. Peneliti tidak dapat membuka maksud Setelah diberitahu tentang wawancara salah pelecehan satu seksual dari oleh mendapat identitas tempat dilakukan penelitian, jaminan bahwa identitas korban maupun karena dapat membuat korban merasa pelaku tidak akan dibuka, maka korban terancam baik karier maupun keamanan lebih membicarakannya dirinya, apabila beberapa dari mereka secara terbuka tentang apa yang telah didapati oleh pelaku telah menceritakan terjadi. tentang peristiwa itu. Tidak ada alasan mau untuk dan bahwa Korban dari pelecehan seksual tertentu untuk mengambil lokasi peneliti- yang telah diwawancarai memberitahu an di sana, hanya kebetulan saja berita bahwa ada korban-korban yang lain, dari mengenai pelecehan seksual ini terjadi di pelaku yang sama. Kemudian peneliti universitas terkenal di Surabaya. mulai mendekati orang-orang berikutnya Data diambil melalui wawancara yang dikatakan sebagai korban pelecehan secara mendalam, dan digunakan pere- seksual. Satu orang dari korban dikenal kam agar kemudian dapat didengarkan peneliti dengan baik, dua orang lagi kembali setelah usai wawancara. Ber- dikenal peneliti sebagai kolega tetapi dasarkan pengakuan korban, peneliti bukan sebagai teman dekat, dan sisanya diarahkan untuk mewawancarai orang peneliti hanya mengetahui nama mereka lain lagi yang diketahui juga mengalami dari daftar pegawai dan staff pengajar di pelecehan seksual. Ini terjadi karena suatu instansi tertentu. Proses pencarian biasanya korban pelecehan seksual lebih informasi mengenai korban yang lain, merasa nyaman apabila menceritakan pendekatan dan pengalamannya pada sesama korban, berjalan karena anggapan bahwa orang yang beberapa kali, dan berlanjut sampai mengalami hal yang sama akan lebih kemudian terhadap wawancara mereka, ini mengerti dan tidak akan mengejek atau BioKultur, Vol.I/No.1/Januari-Juni 2112, hal. 59 Myrtati D Artaria, “Efek dari Pelecehan Seksual di Lingkungan Kampur: Studi Preliminer” hal. 53-72. melecehkan, apalagi kalau pelakunya adalah orang yang sama. Wawancara tidak dilakukan pada hari pertama bertemu, atau hari pertama Sementara itu, peneliti juga men- membicarakan topik ini, tapi dilakukan cari informasi mengenai korban lain yang setelah beberapa kali pertemuan. Seba- dilecehkan oleh pelaku yang lain (outer gian besar dari mereka membutuhkan circle) dari pelaku yang pertama, dan kawan yang dapat dipercaya untuk ber- melakukan bagi cerita mengenai pengalaman ter- snowball sampling lagi, sehingga informasi dapat lebih beragam. Triangulasi data tidak dilakukan sebut, dan kehadiran peneliti dalam mendengarkan pengalaman mereka me- pada penelitian ini karena peneliti tidak rupakan hal yang dapat melegakan dapat mewawancarai pelaku pelecehan perasaan mereka. Hal-hal penting yang seksual, dan pada saat terjadi pelecehan didapatkan dari percakapan-percakapan seksual korban hanya berdua dengan awal ini dicatat sesudah pertemuan, pelaku, sehingga tidak ada saksi mata. sehingga dapat dijadikan bahan dalam Peneliti hanya dapat melakukan peme- menggali informasi lebih dalam ketika riksaan bersilang (cross check) terhadap dilakukan wawancara sesungguhnya. hasil wawancara dari beberapa korban Wawancara dilakukan pada tem- yang kebetulan dilecehkan oleh seorang pat tertutup dan tersembunyi dari orang- pelaku orang yang lalu lalang. Jenis perta- yang sama, apakah polanya memang sama. Menurut nyaannya adalah “open-ended questions” Russel (2005 dalam Zhang, 2006) “Information exchanged between two parties facilitated the sense dan semi terstruktur. Rekaman dari wawancara ini kemudian dianalisis. Hasil dari pencarian informasi of trust”. Setelah terjalin hubungan yang mengenai adanya korban pelecehan baik dengan informan, peneliti mulai seksual di suatu fakultas di salah satu berterus terang bahwa sedang melakukan universitas ternama itu peneliti mene- penelitian mengenai pelecehan seksual. mukan 11 orang korban. Tidak semua Keterbukaan dan keterusterangan pene- korban bersedia direkam suaranya ketika liti yang disampaikan, untuk tetap mera- mengungkapkan bagaimana perasaannya hasiakan jati diri mereka, sangat mem- mengenai peristiwa yang dialaminya. bantu dalam menumbuhkan rasa percaya Sebagian besar mengaku bahwa mereka mereka untuk lebih banyak menceritakan sebenarnya tidak ingin mengungkap hal pengalaman dan perasaan mereka. ini, dan tidak mau membicarakannya. BioKultur, Vol.I/No.1/Januari-Juni 2112, hal. 60 Myrtati D Artaria, “Efek dari Pelecehan Seksual di Lingkungan Kampur: Studi Preliminer” hal. 53-72. Penyebabnya antara lain karena takut, 5 tahun yang lalu, dan sampai saat ini atau malu, atau khawatir ada konsekuensi masih belum mampu mengungkapkan baik secara sosial, dan mungkin ekonomi, secara keseluruhan peristiwa tersebut. apabila si pelaku mengetahui bahwa Sebelas (11) orang korban ter- korbannya telah mengungkap apa yang sebut terdiri dari 10 perempuan dan 1 telah dilakukannya. Sebagian mengatakan laki-laki. Sembilan (9) dari 11 orang itu bahwa apa yang terjadi sangat menya- mengaku kitkan secara psikologis, membuatnya terganggu karena pengalaman mereka merasa tersebut. terpukul dan direndahkan, bahwa Pelaku kinerja mereka pelecehan yang sehingga membicarakannya lagi menye- menimbulkan efek psikologis yang tidak babkan dirasakannya kembali rasa sakit mengenakkan pada para korban di atas hati itu. Sebagian lagi mengatakan bahwa kebetulan semuanya adalah laki-laki. kalau diungkapkan, khawatir orang akan Jenis pelecehan yang dijumpai menertawakannya dan menganggap itu pada 11 orang itu antara lain dalam hal yang sepele, padahal peristiwa itu bentuk pelecehan secara verbal, sentuhan telah menjadi beban secara psikologis pelaku (baik secara lembut ataupun pada si korban. secara paksa) terhadap bagian tubuh Peneliti berusaha meyakinkan korban, pemaksaan terhadap korban bahwa jati diri mereka tidak akan di- untuk menyentuh bagian tubuh pelaku, ungkap. Selain itu, peneliti juga berusaha dan exhibionisme. memahami perasaan mereka sehingga Peristiwa pelecehan seksual pada terbangun rapport yang baik antara orang-orang itu terjadi mulai dari 9 tahun korban pelecehan dan peneliti. Dengan yang lalu sampai dengan satu tahun demikian selanjutnya mereka lebih dapat terakhir ini. Peristiwanya kebanyakan mempercayai peneliti, serta bersedia (pada 6 dari 11 orang itu) terjadi lebih menceritakan apa yang telah terjadi. dari sekali, di-lakukan oleh orang yang Para korban mengaku bahwa pe- sama. Tiga (3) dari 11 orang itu ristiwa yang terjadi itu menimbulkan mengalami hanya sekali oleh seorang beban psikologis pada beberapa saat pelaku, setelah kejadian, dan ada yang menim- trauma yang sangat dalam. Dua dari 11 bulkan trauma psikologis sampai ber- orang itu mengalami lebih dari sekali oleh tahun-tahun. Salah satu dari korban pelaku berbeda. tetapi sudah mengakibatkan mengalami pelecehan seksual itu sekitar BioKultur, Vol.I/No.1/Januari-Juni 2112, hal. 61 Myrtati D Artaria, “Efek dari Pelecehan Seksual di Lingkungan Kampur: Studi Preliminer” hal. 53-72. Sebagian besar (9 peristiwa) untuk memberi nilai buruk pada maha- pelecehan seksual ini terjadi antara siswa yang tidak memenuhi kehendak- orang-orang di lingkungan fakultas yang nya. Selain itu, jenis pelecehan ini dapat sama (baik pelaku maupun korban), dan dilakukan pada seorang atasan pada terjadi di lingkungan kampus. Satu orang bawahannya di lingkungan kampus. Apa- lagi mengalami pelecehan di luar kampus, lagi jika si pelaku mempunyai kedudukan tapi dilakukan oleh pelaku yang berasal penentu dalam kenaikan pangkat pe- dari fakultas yang sama. Hanya 1 dari 11 gawai atau dalam pengangkatan pegawai orang di atas yang mengalami pelecehan baru. seksual tersebut di luar kampusnya, dan Peran sebagai ayah yang melin- dilakukan oleh orang yang berasal dari dungi kemudian memanfaatkan keperca- luar fakultasnya. yaan itu, juga sangat dimungkinkan dalam dunia pendidikan, karena seorang dosen Jenis Pelecehan Seksual yang Terjadi dapat menjadi figur yang diharapkan Jenis pelecehan seksual yang terjadi menjadi pengganti ayah atau ibu mereka. adalah quid pro quo (3 kasus), berperan Individu yang mempunyai kerinduan sebagai ayah yang melindungi/membim- semacam bing (2 kasus), pelecehan di tempat belakang keluarganya, dapat terperang- tertutup (6 kasus), groper (3 kasus), kap oleh pelaku pelecehan seksual yang pelecehan situasional (1 kasus), pest (1 berpura-pura sebagai figur orang tua kasus), sexualized environment (1 kasus), yang melindungi. ini karena berbagai latar great gallant (1 kasus). Jumlah dari jenis Pelecehan di tempat tertutup di pelecehan ini lebih dari jumlah korban, lingkungan kampus di mungkinkan apa- karena bila dalam satu kejadian dapat ruangan-ruangan tidak diatur mewakili lebih dari satu jenis pelecehan. sedemikian rupa agar tetap terpantau Misalnya, salah satu kasus adalah quid pro oleh quo Pengubahan tata ruang agar bebas dari sekaligus pelecehan di tempat tertutup. Jenis pelecehan quid pro quo orang-orang kemungkinan kadang yang pelecehan membutuhkan sangat memungkinkan terjadi di ling- sehingga kungan kampus, terutama karena adanya secepatnya. tidak dapat lalu lalang. seksual dana ter- ekstra, dilaksanakan posisi dosen yang mempunyai kesempatan untuk mempergunakan posisinya BioKultur, Vol.I/No.1/Januari-Juni 2112, hal. 62 Myrtati D Artaria, “Efek dari Pelecehan Seksual di Lingkungan Kampur: Studi Preliminer” hal. 53-72. Dampak Pelecehan Seksual pada peristiwa itu. Pada waktu menonton Secara garis besar dari hasil wawancara TV bersama keluarga, lalu ada sinetron dengan mereka bisa disimpulkan bahwa yang mirip seperti pengalamannya, dia peristiwa pelecehan seksual yang dialami tidak tahan untuk menangis karena telah macam teringat pengalamannya sendiri. Korban para mengaku bahwa peristiwa itu sempat korbannya. Berbagai macam perasaan mengganggu keluarganya karena korban yang muncul, yang mereka ungkapkan terganggu secara psikologis, karena selalu (tidak semua sama pada setiap korban) teringat pada peristiwa itu. menimbulkan perasaan tidak berbagai enak pada antara lain perasaan tidak nyaman, jijik, Ketika peneliti bertanya pada takut, was-was, tertekan, kesal, jengkel, korban mengapa dia takut untuk men- benci, perasaan ceritakan mengenai peristiwa itu, dan berdosa yang amat sangat, dan/atau kenapa tidak melapor-kan pada pimpinan depresi panjang. secepatnya setelah peristiwa itu terjadi dendam, traumatis, Salah satu korban (nomor ID 4) mengatakan: padahal dia merasa sangat terganggu dan sangat takut apabila pelaku melakukannya lagi, dia menjawab bahwa pelaku “Saya sangat ngerasa jijik, kaget, dan marah, sekaligus takut, karena dia narik tangan saya, nyengkeram sampek tangan saya sakit, terus ndekatkan tangan saya buat nyentuh …maaf… kemaluannya…, sementara tangan yang satunya lagi masih sedang sibuk narik resluiting celananya ke bawah. Semakin saya mau nglepaskan tangan saya, tambah kuat cengkeramannya sampek akhirnya di sini (pergelangan tangan) saya biru beberapa hari”. Lebih lanjut lagi dia menceritakan, bahwa perasaan trauma itu bertahan sampai lama, dan selalu teringat setiap kali ada hal-hal yang mengingatkan lagi mengancam akan melakukan sesuatu sehingga nanti-nya sulit untuk naik jabatan. Jenis-jenis perasaan yang muncul tergantung pada pelecehan seksual macam apa yang mereka alami, dan tergantung pada sifat dasar atau karakter pribadi si korban. Salah satu korban tidak dapat menceritakan peristiwa pelecehan seksual yang dialaminya selama bertahun-tahun, karena menganggap itu sebagai aib, sekaligus ada rasa takut bahwa pelaku akan memfitnahnya, karena si pelaku mempunyai posisi lebih senior dan mempunyai reputasi yang baik. BioKultur, Vol.I/No.1/Januari-Juni 2112, hal. 63 Myrtati D Artaria, “Efek dari Pelecehan Seksual di Lingkungan Kampur: Studi Preliminer” hal. 53-72. Menurut pengakuan korban (Nomor ID 3): “Aku ngroso peristiwa iku wis nyebabno aku diprawani, masiyo aku gak dicekel blas ambek wonge. Wong iku wis njebak aku, mbujuki aku, terus ngunci aku nang njero. Wong-e mudo terus onani, sampek klimaks. Aku dikongkon nontok… yo.. dikongkon nontok wonge ngono iku. Aku uiiisin, bingung, sekaligus wedi. Ape mlayu gak isok, mergo lawange dikunci. Aku kan gak tau nontok wong lanang koyok ngono. Aku yo wedi nek dhek-e sampek lapo-lapo nang aku, yo’opo? Aku guuemeteran ambek nontok wong iku, sampek wonge klimaks. Rasane suwe… ngono, sebab aku wuuedi! Aku gak nyongko nek wong iku, seniorku, sing tak ajeni, ternyata kok ngono iku nang aku”. (“Aku merasa peristiwa itu telah menyebabkan aku seperti diperawani, meskipun aku tidak disentuhnya. Dia menjebakku, membohongiku, lalu mengunciku di ruangan. Dia telanjang lalu mulai melakukan masturbasi, sampai mencapai klimaks. Aku diminta untuk terus menontonnya, ya.. disuruh menonton orangnya seperti itu. Aku merasa sangat malu, bingung, sekaligus takut. Mau lari tidak bisa karena pintu dikunci. Aku belum pernah melihat laki-laki dalam keadaan seperti itu sebelumnya. Aku takut dia melakukan sesuatu yang lebih jauh lagi, bagaimana? Aku sangat gemetaran di sana sambil melihat dia melakukan itu, sampai klimaks. Waktu yang serasa sangat panjang, dan menakutkan. Aku tidak menyangka bahwa dia yang selama ini menjadi senior yang kuhormati, ternyata melakukan hal seperti itu padaku”). Korban mengaku bahwa ketika dia akhirnya menikah, dia tidak berani menceritakan pengalamannya itu pada suaminya, karena malu, dan takut disalahkan. Dia juga tidak berani menceritakan pada koleganya yang lain. Korban takut dipersalahkan, misalnya dianggap menggoda seniornya itu. Selama ini seniornya itu terkenal sebagai orang yang gemar bersedekah pada anak yatim piatu. Apalagi peristiwa itu tidak diketahui oleh saksi manapun, hanya dia dan si pelaku yang tahu. Dia merasa tidak mempunyai posisi yang kuat untuk melaporkan, karena orang pasti tidak percaya bahwa seniornya itu mampu melakukan tindakan seperti itu pada juniornya. Perasaan bersalah dan berdosa muncul pada para korban karena orangorang di sekeliling mereka yang mengetahui peristiwa itu ada yang menyalahkan bahwa mereka mengalami peristiwa itu karena kesalahan, kelengahan, atau kecerobohan mereka sendiri. Mereka menyesal bahwa mereka telah tidak berhati-hati sehingga peristiwa itu terjadi di luar dugaan. Bahkan ada yang disalahkan karena dianggap mereka telah melakukan BioKultur, Vol.I/No.1/Januari-Juni 2112, hal. 64 Myrtati D Artaria, “Efek dari Pelecehan Seksual di Lingkungan Kampur: Studi Preliminer” hal. 53-72. ketidaksopanan dalam cara bersikap, oleh orang-orang tertentu, begitu pula berpakaian, atau berkata-kata, sehingga sebaliknya. Karenanya, korban mesti memancing tindakan pelecehan seksual. diyakinkan bahwa rasa bersalah itu harus Bahkan ketika seorang korban ingin dihapuskan dari pikiran mereka untuk melaporkan pelaku, dapat cepat pulih dari perasaan-perasaan orang-orang di sekitarnya ada yang yang negatif yang merugikan diri mereka mencegah dengan berbagai alasan. sendiri. atau menuntut Contohnya: perlulah Pada pelecehan seksual yang me- dilaporkan…. Kamu kan perempuan? libatkan mahasiswa sebagai korban, me- Pasti kamu “Tidak nanti yang disalahkan. reka mengaku bahwa terjadi keresahan yang malu itu ketika harus mengambil mata kuliah yang pelaku diampu oleh dosen itu. Seandainya bisa, nggak akan malu meskipun diketahui dia akan menghindari mengambil mata umum dia pernah melakukan pelecehan kuliah, karena adanya perasaan tidak seksual”. Atau: “Kalau sampai terjadi nyaman, kecuali itu mata kuliah wajib. pelecehan seksual, pasti ada sebabnya. Ketika peneliti bertanya kepada korban, Pasti kamu akan disalahkan karena kamu apa yang mereka lakukan jika tidak ada telah melakukan hal-hal yang nggak pilihan dan harus mengambil mata kuliah bener. Mungkin cara berpakaian kamu itu? Gimanapun juga, perempuan. Laki-laki sebagai terlalu sexy? Mungkin kata-kata kamu Korban menjawab bahwa dia mengundang? Atau kamu ceroboh, nggak harus menjaga sedapat mungkin tidak waspada jadi mberi kesempatan orang itu memberi kesempatan terjadinya peleceh- buat ngelakukan pelecehan?” an seksual lagi, misalnya selalu menjaga Pada kenyataannya, dari hasil jarak apabila terpaksa menghadap. Juga, wawancara, semua peristiwa pada ke 11 mengajak teman bersama-sama meng- orang di atas tidak dapat mendukung hadap apabila memang perlu menemui si dengan yang dosen. Cepat-cepat menjauh kalau dosen mengatakan bahwa itu terjadi karena mulai mendekati secara fisik, karena kesalahan korban. Suatu situasi yang tangannya “dapat saja tiba-tiba mendarat sama dapat diinterpretasi berbeda oleh di tempat-tempat yang tidak semestinya” orang yang berbeda. (penulis meminjam kata-kata yang di- meyakinkan pendapat Situasi yang netral pun dapat ucapkan oleh korban bernomor ID 1). diinterpretasi menjadi situasi “mesum” Menurut korban, situasi seperti ini sangat BioKultur, Vol.I/No.1/Januari-Juni 2112, hal. 65 Myrtati D Artaria, “Efek dari Pelecehan Seksual di Lingkungan Kampur: Studi Preliminer” hal. 53-72. tidak nyaman, tapi dia tidak tahu harus mencari pertolongan ke mana. Korban ingin situasi berubah, tapi tidak tahu bagai-mana dapat mengubah Seorang korban (nomor ID 2) situasi itu. Korban bahkan mengalami mengatakan bahwa apa yang dia alami perubahan penampilan (dalam berpakai- berusaha dilupakan saja, karena hanya an) akan menyiksa dia, tokh dia masih akan konflik dalam batinnya, sekaligus konflik bertemu dengan orang itu. Dia hanya dengan suaminya yang disebabkan oleh berusaha untuk menghindari apabila fitnah-fitnah yang dihembuskan oleh harus bertemu dengan orang itu. Tentu pelaku mengenai dirinya ke telinga saja usaha menghindari ini juga mem- suaminya. bawa ketidaknyamanan dalam melakukan aktifitas perkuliahan. dan perubahan perilaku akibat Pelecehan seksual kadang tidak dinyana oleh korban, karena peristiwa Pada kasus pelecehan yang dila- dapat terjadi begitu cepat, dan di luar kukan oleh atasan pada bawahan, di- perkiraan korban. Misalnya, pelecehan katakan oleh korban (nomor ID 9) bahwa seksual dia merasa tidak tenang tiap hari dalam bernomor ID 5 dilakukan oleh koleganya bekerja, was-was sendiri ketika mereka sedang bersama- kalau-kalau dipanggil oleh atasannya sama merencanakan suatu proyek kerja untuk menghadap. Dia tidak berani sama. karena senantiasa melaporkan karena takut kehilangan pekerjaan, karena merasa yang terjadi pada korban Ketika akan diwawancarai, korban posisinya menolak dan mengatakan tidak ingin belum mantap sebagai orang yang relatif membicarakan masalah itu. Peneliti men- baru bekerja di sana. dapatkan informasi dari teman dekat Pelaku mempunya posisi yang korban bahwa koleganya tiba-tiba me- sangat senior dan mempunyai andil megang-megang pahanya ketika mereka dalam penentuan apakah korban akan sedang duduk berhadap-hadapan meng- tetap bekerja di sana. Korban merasa gunakan meja yang sama. Korban merasa tidak nyaman selama bekerja, tetapi sangat kaget, malu dan marah, tetapi merasa tidak berdaya dalam menghadapi tidak mampu melabrak pelaku, karena atasannya suatu alasan tertentu, dan kemudian yang suka men-daratkan tangannya di tempat-tempat yang tidak semestinya. korban mengadu pada teman dekatnya. Sejak itu korban tidak ingin menyapa koleganya itu lagi, dan tidak ingin BioKultur, Vol.I/No.1/Januari-Juni 2112, hal. 66 Myrtati D Artaria, “Efek dari Pelecehan Seksual di Lingkungan Kampur: Studi Preliminer” hal. 53-72. membicarakan peristiwa itu lagi. Peneliti alat sekaligus hasil dari dominasi laki-laki tidak dapat mendapatkan informasi ten- dalam masyarakat. tang bagaimana perasaan korban menge- Karenanya, “Fungsi dari pelecehan nai peristiwa itu, bagaimana dia meng- seksual adalah untuk tetap mengatur atasinya, dan bagaimana dia menghadapi interaksi laki-laki koleganya apabila suatu saat bertemu dengan norma-norma (karena tetap berada dalam satu kantor); kelamin yang diterima oleh masyarakat, karena dan untuk memertahankan dominasi laki- korban menolak untuk di- wawancarai. Kejadian pelecehan seksual di perempuan status sesuai jenis laki dalam dunia kerja, dan karenanya secara ekonomis tetap mengintimidasi, tempat kerja barangkali dipicu oleh tidak mendorong perempuan untuk sejarah setempat di mana laki-laki lebih bekerja, atau mengusahakan agar perem- mendominasi mayoritas posisi di tempat puan keluar dari tempat kerja” (Tangri, kerja yang mempunyai status tinggi, Burt, & Johnson, 1982, p. 40 dalam Paludi sementara perempuan menempati posisi & Paludi, 2003). status pekerjaan rendah dan pendapatan Perbuatan pelecehan dalam ben- yang kecil, di mana bekerja merupakan tuk perabaan dapat saja merupakan ekstensi perannya di ranah domestik. representasi dari rasa superioritas si Perempuan diharapkan mempunyai sifat pelaku (dalam hal ini laki-laki) terhadap yang peduli pada sesama dan menerima si perempuan. Dapat pula merupakan dominasi dan otoritas laki-laki. Ketika representasi dari keter-tarikan si pelaku jumlah perempuan bekerja meningkat, ini (seperti dikatakan oleh Franke, 1997; tentu mengubah banyak hal di dalam Gutek, 1985; MacKinnon, 1979; Schultz, keluarga, sekolah, dan komunitas, di 1998) mana peran jender tradisional mulai perasaan si korban. berubah. Perubahan menimbulkan konflik. dengan tidak memedulikan Salah satu korban (nomor ID 11) mengaku bahwa dia mengalami gangguan Menurut Power Theory of Sexual Harass- fisik setelah terjadinya peristiwa ment menurut Powell (1986), Rospenda, pelecehan seksual. Korban mengalami Richman, & Nawyn (1998), McKinney mimpi buruk, rambut rontok, jantung (1994) (semuanya dalam Paludi & Paludi, sering berdebar-debar, dan kecemasan. 2003); pelecehan seksual adalah suatu Nafsu makan menurun sehingga kondisi fisik pun menurun. BioKultur, Vol.I/No.1/Januari-Juni 2112, hal. 67 Myrtati D Artaria, “Efek dari Pelecehan Seksual di Lingkungan Kampur: Studi Preliminer” hal. 53-72. Apalagi setelah peristiwa itu, melibatkan sentuhan-sentuhan pada karena korban berani melaporkan, maka bagian-bagian sensitif. Sentuhan pada si pelaku melakukan teror lewat e-mail, tangan, atau sebatas perkataan yang dan “menjurus” memfitnah pada teman-teman korban bahwa korban lah yang menggodanya. Pada saat itu korban merasa mengalami masa sebagai tindakan pelecehan seksual. Korban yang mempunyai tingkat pendidikan sarjana ke atas menganggap teman-temannya meninggal-kannya, dan bahwa hal-hal tersebut di atas sudah memihak pada pelaku; atau takut untuk tergolong memihak siapapun sehingga memilih seksual, selama korban merasa tidak menjauhi korban. Karena ditinggalkan menginginkan adanya perlakuan seperti oleh beberapa teman dekatnya, dan tidak itu dari pelaku. dukungan keluarganya, korban mana dianggap sebagian mendapat di belum dari sempat pada tindakan pelecehan beberapa Pada umumnya korban sepakat merasa bahwa sentuhan yang tidak dikehendaki hidupnya tidak berarti. dari pelaku pada bagian-bagian tubuh korban yang sensitif adalah dianggap sebagai pelecehan seksual. Semua korban Reaksi Korban Pelecehan Seksual sepakat bahwa perilaku menunjukkan Persepsi korban mengenai pelecehan bagian tubuh (private part) dari pelaku seksual berbeda-beda, dan karenanya terhadap korban dengan tanpa adanya bereaksi secara persetujuan dari korban, adalah tindakan berbeda pula. Para korban berasal dari status sosial-ekonomi pelecehan yang berbeda-beda, dan pendidikan yang (Science Today, 2008) semakin besar berbeda pula. dorongan lingkungan pada perempuan seksual. Menurut Leaper Korban yang mempunyai pendi- untuk mengadopsi peran jender tra- dikan lebih rendah (pada penelitian ini disional, maka mereka semakin sensitif pendidikan terendah adalah lulusan SMU) terhadap adanya seksisme. umumnya lebih permissive pada kejadian Sebagai garis besar, pada umum- pelecehan seksual, dalam arti, batasan nya reaksi pertama yang didapati pada mengenai apa yang dinamakan sebagai para korban pelecehan seksual dalam pelecehan seksual itu lebih longgar. Pada penelitian ini adalah tidak berani meng- beberapa korban, pelecehan seksual baru adukan apa yang dialaminya, dan cen- dikatakan derung berusaha menutupi apa yang sebagai pelecehan apabila BioKultur, Vol.I/No.1/Januari-Juni 2112, hal. 68 Myrtati D Artaria, “Efek dari Pelecehan Seksual di Lingkungan Kampur: Studi Preliminer” hal. 53-72. telah terjadi, sampai terdapat indikasi adanya suatu peristiwa yang terjadi pada bahwa yang dialaminya itu juga terjadi si pelaku pelecehan, yang membuat pada korban merasa harus membuka jati diri si orang lain. Orang lain yang mengalami pelecehan seksual tersebut pelaku. kemudian menjadi teman untuk bercerita. Berdasarkan wawancara terhadap Hal ini terjadi pada tiga dari korban yang korban, terdapat indikasi bahwa latar diwawancarai. belakang kepercayaan, etnik, dan status Enam dari korban pelecehan sosial korban juga mempunyai andil seksual memilih untuk bercerita hanya terhadap perbedaan persepsi mengenai pada teman paling dekat yang dapat dan reaksi terhadap perilaku pelecehan dipercaya, sebelum akhirnya mereka ber- seksual. usaha mengadukan pada pihak yang penelitian ini belum dilakukan wawan- dapat memberi kemungkinan perlindung- cara yang mendalam untuk menggali an terhadap tindakan pelecehan seksual seberapa jauh hal-hal tersebut di atas lebih jauh. mempengaruhi Meskipun demikian, respon dan pada perilaku Tiga dari enam korban di atas korban pelecehan. Ini disebabkan karena berusaha melupakan peristiwa itu karena waktu penelitian sangat singkat, dan tidak ada tanda-tanda akan adanya masih berupa studi penjajagan. konsekuensi terhadap perilaku pelecehan seksual terhadap si pelaku. Salah satu Kesimpulan dari ke tiga orang ini kemudian tidak mau Peristiwa pelecehan seksual menyebab- membicarakan peristiwa itu lagi. kan akibat yang sangat merugikan Hanya satu orang menyimpan terhadap korban, karena dapat meng- rapat-rapat peristiwa yang menimpanya, akibatkan gangguan baik secara psi- sampai bertahun-tahun kemudian dia kologis dan fisik. Sayangnya, pelecehan memutuskan untuk menceritakan pada seksual yang tidak melibatkan tindakan beberapa teman dekatnya. Alasan dari fisik (penetrasi ataupun kekerasan fisik tindakan ini adalah perasaan sangat malu yang berbekas pada tubuh korban) sulit dan takut direndahkan oleh orang lain untuk diterima oleh pengadilan agar apabila ada yang mengetahui apa yang dapat memberikan keadilan pada si telah terjadi padanya. Keputusan untuk korban, karena dianggap tidak ada bukti menceritakan apa yang dialaminya itu yang cukup untuk menahan pelaku. Apa- beberapa tahun kemudian didorong oleh lagi biasanya pelecehan terjadi di tempat BioKultur, Vol.I/No.1/Januari-Juni 2112, hal. 69 Myrtati D Artaria, “Efek dari Pelecehan Seksual di Lingkungan Kampur: Studi Preliminer” hal. 53-72. yang tertutup, atau tidak ada saksi lain korban maupun dari sisi pemberian yang menyaksikan terjadinya peristiwa keadilan (dengan memberikan punish- pelecehan seksual. ment) terhadap pelaku. Selayaknya Pelecehan seksual menyebabkan tempat-tempat di mana berkumpulnya rasa malu, marah, sedih, dendam, dan para intelektual seperti universitas men- merasa tidak berarti. Akibat yang lain jadi pelopor dan memikirkan agar tidak dapat pula terjadi pada fisik, seperti terjadi pelecehan seksual di wilayahnya. rambut rontok dan kondisi tubuh yang menurun karena Amerika Serikat, tindakan- nafsu tindakan bersifat seksual yang tidak makan. Kohesitas dengan teman dan dikehendaki, permintaan untuk melaku- keluarga karena kan pelayanan seksual, dan perbuatan- peristiwa pelecehan seksual, baik karena perbuatan bersifat verbal atau fisik gangguan yang merupakan tindakan pelecehan seksual di dialami oleh korban, ataupun karena tempat kerja ketika (1) penyerahan diri keputusan teman atau keluarga untuk terhadap perbuatan itu dilakukan secara menjauhi si korban. eksplisit dapat fisik menurunnya Di merenggang dan psikologis maupun implisit di dalam Menurut Schneider et al.(1998) lingkungan kerja individu, (2) penye- "sexual harassment doesn't have to be rahan diri atau penolakan terhadap particularly egregious to have negative perbuatan itu digunakan sebagai dasar consequences. although untuk membuat keputusan-keputusan di many women do not see themselves as dalam tempat kerja yang mempunyai victims of harassment, our study suggests akibat pada si individu, (3) perbuatan itu that they are still more likely to experience mempunyai tujuan atau akibat yang tidak negative psychological and job-related masuk akal, yang mengganggu kinerja si outcomes because of the behaviors they individu atau menciptakan lingkungan experienced." Jadi, meskipun si obyek ti- kerja yang ofensif, hostil, atau meng- dak merasa menjadi korban, efek psi- intimidasi (Code of Federal Regulations, kologis telah nampak dalam kinerjanya. 2000, p. 186 dalam Paludi & Paludi, Furthermore, Mengingat akibat-akibat yang cu- 2003). kup serius karena pelecehan seksual, Apabila di Indonesia belum ada maka layak untuk dipikirkan tindakan undang-undang yang mantap dalam me- dalam melindungi korban, baik dari sisi lindungi korban pelecehan seksual, maka remedial untuk memulihkan kondisi si seharusnya undang-undang atau peraturBioKultur, Vol.I/No.1/Januari-Juni 2112, hal. 70 Myrtati D Artaria, “Efek dari Pelecehan Seksual di Lingkungan Kampur: Studi Preliminer” hal. 53-72. an pemerintah mensyaratkan masingmasing lingkungan kerja untuk menciptakan aturan khusus untuk menjamin adanya perlindungan terhadap korban pelecehan seksual, dan pencegahan agar tidak terjadi pelecehan seksual. Studi ini dapat menjadi awal untuk penelitian yang lebih besar dengan melibatkan jumlah informan lebih banyak, dalam lingkup yang lebih luas. Dengan demikian akan dapat dihasilkan data lebih banyak mengatasi sehingga dapat lebih persoalan-persoalan yang muncul dalam kaitan dengan pelecehan seksual di tempat kerja. Daftar Pustaka Berdahl, J. L., Magley, V. J., & Waldo, C. R. (1996) “The sexual harassment of men: Exploring the concept with theory and data”, Psychology of Women Quarterly, 20, 527–547. Boland, M. L. (2002) Sexual Harassment: Your Guide to Legal Action. Naperville, Illinois: Sphinx Pub. Dall’Ara, E., & Maass, A. (1999) “Studying sexual harassment in the laboratory: Are egalitarian women at higher risk?” Sex Roles, 41, 681– 704. Dziech, B. W. & Weiner, L. (1990) The Lecherous Professor: Sexual Harassment on Campus, Illinois: University of Illinois Press. Fiske, S. T., & Stevens, L. E. (1993) “What’s so special about sex? Gender stereotyping and discrimination”. In S. Oskamp & M. Costanzo (Eds.), Gender Issues in Contemporary society, 173–196. Franke, K. M. (1997) “What’s wrong with sexual harassment?” Stanford Law Review, 49, 691–772. Gutek, B. A. (1985) Sex and the Workplace: The Impact of Sexual Behavior and Harassment on Women, Men, and Organizations. San Francisco: Jossey-Bass. Kinasih, S. E. (2007) “Perlindungan dan penegakan HAM terhadap korban pelecehan seksual”. Masyarakat, Kebudayaan dan Politik 20(4). Maass, A., Cadinu, M., Guarnieri, G., & Grasselli, A. (2003) “Sexual harassment under social identity threat: The computer harassment paradigm”, Journal of Personality and Social Psychology, 85, 853– 870. MacKinnon, C. A. (1979) Sexual Harassment of Working Women. New Haven, CT: Yale University Press. Michele Paludi and Carmen A. Paludi, Jr.(2003) Academic and Workplace Sexual Harassment: A Handbook of Cultural, Social Science, Management, and Legal Perspectives. London: Praeger. Schneider, Kimberly T., Fitzgerald, Louise F., & Swan, Suzanne (1998) “Jobrelated and psychological effects of sexual harassment in the workplace: empirical evidence from two organizations”, Journal of Applied Psychology, Vol. 82, No. 3. http: //www.selfhelpmagazine. com/ articles/wf/harass.html. Di-akses 5 Feb. 2009. Schultz, V. (1998) “Reconceptualizing sexual harassment”. Yale Law Journal, 107, 1683–1796. Shupe, Ellen I.; Cortina, Lilia M.; Ramos, Alexandra; Fitzgerald, Louise F.; BioKultur, Vol.I/No.1/Januari-Juni 2112, hal. 71 Myrtati D Artaria, “Efek dari Pelecehan Seksual di Lingkungan Kampur: Studi Preliminer” hal. 53-72. Salisbury, Jan. (2002) “The Incidence and Outcomes of Sexual Harassment among Hispanic and Non-Hispanic White Women: A Comparison across Levels of Cultural Affiliation”.. Psychology of Women Quarterly. http://pt. wkhealth.com/pt/re/pswq/abstra ct.00001333-200212000-00004. htm. Diakses 5 Feb. 2009. “Teen Girls Still Experience Sexual Harassment and Sexism” (2008-0519) Science Today. http://www. ucop.edu/sciencetoday/article/17 853. Diakses 5 Feb. 2009. Zhang, L. (2006) “Sexual harassment in the hospitality industry: A study on a Chinese state-owned hotel, Master Thesis, Nottingham: The University of Nottingham. BioKultur, Vol.I/No.1/Januari-Juni 2112, hal. 72