nilai-nilai pend terkandungdalam makkah dan madinah” fatih nim

advertisement
NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK YANG
TERKANDUNGDALAM NOVEL “PESAN INDAH DARI
MAKKAH DAN MADINAH” KARYA AHMAD ROFI’ USMANI
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas dan Melengkapi Syarat
Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata l (S.1)
Pada Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan
Oleh:
FATIH NOOR FAHMI
NIM: 131310000273
PROGRAM STUDI : PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI)
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NAHDLATUL ULAMA’
(UNISNU)JEPARA
2015
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Lamp. : 4 (empat) eks.
Hal
: Naskah Skripsi
An. Sdr. Fatih Noor Fahmi
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Setelah saya meneliti dan mengadakan perbaikan seperlunya, bersama
ini saya kirim naskah skripsi Saudara :
Nama
: Fatih Noor Fahmi
Nomor Induk : 131310000273
Program Studi : Pendidikan Agama Islam (PAI)
Judul
: NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK YANG
TERKANDUNG DALAM NOVEL PESAN
INDAH DARI MAKKAH DAN MADINAH
KARYA AHMAD ROFI’ USMANI
Dengan ini saya mohon kiranya skripsi Saudara tersebut dapat segera
dimunaqasyahkan.
Demikian harap menjadikan maklum.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Jepara, 22 September 2015
Pembimbing,
Drs. Maswan, MM.
NIP.-
iv
SURAT PERNYATAAN
Dengan penuh kejujuran dan tanggung jawab, penulis menyatakan bahwa
skripsi ini tidak berisi materi yang telah pernah ditulis oleh orang lain atau
diterbitkan. Demikian juga skripsi ini tidak berisi satupun pikiran-pikiran orang lain,
kecuali informasi yang terdapat dalam referensi yang dijadikan bahan rujukan dan
disebutkan dalam daftar pustaka
Jepara, 22 September 2015
FATIH NOOR FAHMI
NIM. 131310000273
v
MOTTO
)
(٥٠ :
“Katakanlah: "Apakah sama orang yang buta dengan yang melihat?” Maka
Apakah kamu tidak memikirkan(nya)?” (QS. Al-An’am : 50).1
(٩ :
)
“Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.” (QS. AzZumar : 9).2
1
M. Quraish Shihab, Al-Lubab Makna, Tujuan, dan Pelajaran dari Surah-Surah AlQur’an, (Tangerang: Lentera Hati, 2012), hlm. 337.
2
Ibid., hlm. 419
vi
PERSEMBAHAN
Rasa syukur yang teramat sangat dalam kepada Allah SWT yang dengan
kebesaran-Nya skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik. Skripsi ini bukanlah
akhir dari tugas saya untuk menuntut ilmu, melainkan sebuah awal untuk
berusaha.
Skripsi ini saya persembahkan untuk orang-orang yang telah banyak
berjasa dalam hidup saya, berjasa dalam memberikan motivasi sehingga skripsi ini
dapat terselesaikan.
Rasa terima kasih ini saya ucapkan untuk :
1. Kedua orang tuaku yang selalu saya sayangi dalam keadaan apapun.
Bapak Ahmad Khotib, Ibu Rofikoh, serta adik saya Rizki Karimatul
Amaliyah, mereka merupakan motivator pertama yang paling hebat dalam
kehidupan saya.
2. Kepada seluruh keluarga besar saya, terutma almarhum kakek saya, Kakek
Sugiran yang semasa hidup beliau sangat menyayangi saya dan
mendukung agar saya menutut ilmu setinggi-tingginya.
3. Bapak Drs. Maswan, MM. Dengan kesabaran dan ketelatenan beliau
dalam membimbing dan mengarahkan penulis dalam menyelesaikan
skripsi ini sampai membuahkan hasil yang maksimal sebagaimana yang
diharapkan penulis.
vii
4. Para guru dan para dosen yang telah menjadi orang tua baru dan pelita
bagiku dalam menuntut ilmu sehingga saya dapat mewujudkan harapan
dan cita-cita.
5. Seluruh teman-teman dan sahabat-sahabatku Dedy Yusuf, Ahmad Zaenal
Arifin, Nur Arifin, Khoirul Arifin, Farid Anam, dan Muhammad Abdul
Ghofur, yang selalu memberikan semangat dan dorongan baik moril
maupun spiritual dalam menyelesaikan skripsi ini
6. Kepada teman-teman seperjuanganku Tarbiyah A.2 tahun 2011/ ONAR
Speed Community yang merupakan keluarga baru saya dalam mengarungi
bangku perkuliahan selama empat tahun. Yang telah memberikan
pengalaman kebersamaan yang tidak akan mungkin terlupakan.
7. Seluruh pencari ilmu yang tidak pernah lelah dalam belajar dan mengkaji
ilmu. Semoga Allah meninggikan derajat kita dengan ilmu yang kita
miliki. Amin.
viii
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, taufiq,
hidayah seta inayah-Nya, sehingga pada kesempatan ini penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini. Skripsi yang berjudul “Nilai-Nilai Pendidikan Akhlak
yang Terkandung dalam Novel Pesan Indah dari Makkah dan Madinah Karya
Ahmad Rofi’ Usmani” ini disusun guna memenuhi salah satu syarat memperoleh
gelar Sarjana Strata Satu (S1) pada fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan
UNISNU Jepara.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepda semua
pihak yang telah membantu penulis, baik secara langsung maupun tidak langsung
dalam penulisanskripsi ini. Untuk itu, penuis mengucapkan terima kasih kepada :
1. Prof. Dr. KH. Muhtarom HM., selaku Rektor UNISNU Jepara.
2. Drs. KH. Akhirin Ali, M. Ag., selaku Dekan Fakultas Tarbiyah dan Ilmu
Keguruan UNISNU Jepara.
3. Drs. Maswan, MM., selaku Dosen Pembimbing yang senantiasa
meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan yang begitu berharga bagi
penulis.
4. Seluruh karyawan Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan UNISNU Jepara
yang dengan sabar melayani dan membantu penulis dalam mengurusi
berbagai administrasi yang diperlukan oleh penulis.
5. Kedua orang tuaku yang selalu saya sayangi dalam keadaan apapun. Bapak
Ahmad Khotib, Ibu Rofikoh, serta adik saya Rizki Karimatul Amaliyah,
ix
mereka merupakan motivator pertama yang paling hebat dalam kehidupan
saya.
6. Kepada seluruh keluarga besar saya, terutma almarhum kakek saya, Kakek
Sugiran yang semasa hidup beliau sangat menyayangi saya dan mendukung
agar saya menutut ilmu setinggi-tingginya.
7. Para guru dan para dosen yang telah menjadi orang tua baru dan pelita
bagiku dalam menuntut ilmu sehingga saya dapat mewujudkan harapan dan
cita-cita.
8. Seluruh teman-teman dan sahabat yang selalu memberikan semangat dan
dorongan baik moril maupu spiritual dalam menyelesaikan skripsi ini.
9. Kepada teman-teman seperjuanganku Tarbiyah A.2 tahun 2011 yang
merupakan keluarga baru saya dalam mengarungi bangku perkuliahan
selama empat tahun. Yang telah memberikan pengalaman kebersamaan
yang tidak akan mungkin terlupakan.
10. Serta kepada semua pihak yang turut membantu terselesaikannya skripsi ini,
yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu.
Tiada yang dapat penulis berikan kecuali doa semoga Allah senantiasa
membalas kebaikan dan melimpahkan rahmat serta nikmat-Nya.
Penulis skripsi ini dilakukan dengan sebaik-baiknya, namun penulis
menyadari bahwa tidak ada gading yang tak retak. Begitu pula penulisan skripsi
ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran dan
kritik yang membangun untuk perbaikannya.
x
Akhirnya dengan segala kerendahan hati, penulis mohon maaf apabila
terdapat kata-kata yang tidak berkenan. Dan semoga tulisan ini bisa memberi
manfaat bagi kita semua. Amin.
xi
ABSTRAK
Fatih Noor Fahmi
(NIM: 131310000273). NILAI-NILAI
PENDIDIKAN AKHLAK YANG TERKANDUNG DALAM NOVEL
PESAN INDAH DARI MAKKAH DAN MADINAH KARYA AHMAD
ROFI’ USMANI.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: (1). Untuk mengetahui nilainilai pendidikan akhlak yang terkandung dalam novel “Pesan Indah dari Makkah
dan Madinah”Karya Ahmad Rofi’ Usmani(2). Mengetahui bagaimana
pelaksanaan nilai-nilai pendidikan akhlak dalam novel “Pesan Indah dari Makkah
dan Madinah” Karya Ahmad Rofi’ Usmani.
Penelitian ini merupakan jenis penelitian kepustakaan (Library Research),
yaitu, menjadikan bahan pustaka sebagai sumber data utama yang dimaksudkan
untuk menggali teori-teori dasar dan konsep-konsep yang telah ditemukan oleh
para ahli terdahulu. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah
menggunakan metode kualitatif, yaitu prosedur penelitian yang menghasilkan data
deskriptif berup kata-kata tertulis atau lisan dari oran-orang dan perilaku yang
dapat dinikmati. Sedangkan pendekatan yang digunakan adalah pendekatan
analisis, yaitu pendekatan yang berusaha memahami gagasan, cara pandang, cara
pengarang menampilkan gagasan atau mengimajinasikan ide-idenya, sikap
pengarang dalam menampilkan gagasan-gagasannya, elemen intrinsik dan
mekanisme hubungan dari setiap elemen intrinsik itu sehingga mampu
membangun keselarasan dan kesatuan dalam rangka membangun totalitas bentuk
maupun maknanya. Untuk pengumpulan data, Metode pengumpulan data yang
penulis gunakan dalam penelitian ini adalah Library researchyaitu penelitian
kepustakaan atau penelitian murni, yaitu mengumpulkan data-data kepustakaan
yang representetif dan relevan dengan objek studi ini, baik dari buku, jurnal,
majalah maupun surat kabar dan wawancara yaitu suatu teknik riset dalam bentuk
pengamatan langsung melalui pertanyaan-pertanyaan kepada responden. Untuk
menganalisis, penulis menggunakan metode Content Analysis, yaitu usaha untuk
mengungkapkan isi sebuah buku yang menggambarkan sikap pribadi dan
masyarakat pada waktu buku itu ditulis. Singkatnya content analysis adalah
analisis ilmiah tentang isi pesan suatu karya sastra.
Dalam penelitian ini, penulis menemukan banyak sekali amanat dan nilainilai pendidikan akhlak yang ada dalam novel Pesan Indah dari Makkah dan
Madinah Karya Ahmad Rofi’ Usmani ini. Jadi novel ini dapat dijadikan sebagai
bahan atau media pendidikan, yang dapat diambil nilai-nilai positifnya bagi
pembaca.
Dari hasil analisis penulis, terdapat beberapa nilai-nilai pendidikan akhlak
yang terkandung dalam novel Pesan Indah dari Makkah dan Madinah Karya
Ahmad Rofi’Usmani, yaitu : 1) Akhlak kepada Orang tua dan orang yang lebih
ii
tua. 2) Akhlak kepada Allah. 3) Nilai kesabaran. 4) Nilai keikhlasan. 5) Nilai
Amanah.
Berdasarkan hasil penelitian ini, diharapkan akan menjadi baha ninformasi
dan masukan bagi para tenaga pengajar, para ahli, dan semua pihak yang
membutuhkan di lingkungan Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan UNISNU
Jepara.
iii
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ............................................................................................. i
ABSTRAK ............................................................................................................ ii
HALAMAN NOTA PEMBIMBING .................................................................. iv
HALAMAN SURAT PERNYATAAN .............................................................. v
HALAMAN MOTTO .......................................................................................... vi
HALAMAN PERSEMBAHAN .......................................................................... vii
HALAMAN KATA PENGANTAR.................................................................... ix
HALAMAN DAFTAR ISI................................................................................... xi
BAB I
: PENDAHULUAN
A. Latar Belakang .............................................................................. 1
B. Penegasan Istilah............................................................................ 6
C. Rumusan Masalah .......................................................................... 8
D. Tujuan Penulisan ........................................................................... 8
E. Manfaat Penelitian ......................................................................... 8
F. Kajian Pustaka................................................................................ 9
G. Metode Penelitian........................................................................... 11
H. Sistematika Penulisan ................................................................... 13
BAB II : LANDASAN TEORI
A. Pengertian Nilai-Nilai Pendidikan Akhlak..................................... 15
1. Pengertian Nilai........................................................................ 15
2. Pengertian Pendidikan Akhlak................................................. 17
3. Dasar dan Tujuan Pendidikan Akhlak ..................................... 22
4. Metode Pendidikan Akhlak ..................................................... 29
5. Nilai-Nilai Pendidikan Akhlak ................................................ 35
B. Tinjauan Umum Novel................................................................... 37
1. Pengertian Novel...................................................................... 37
2. Jenis Novel ............................................................................... 38
3. Unsur-Unsur Novel .................................................................. 40
4. Unsur Moral dalam Novel........................................................ 47
xii
BAB III : DESKRIPSI NOVEL KARYA AHMAD ROFI’ USMANI
A. Biografi Ahmad Rofi’ Usmani....................................................... 49
B. Gambaran Umum Novel Pesan Indah dari Makkah dan
Madinah.......................................................................................... 51
C. Sinposis Novel Pesan Indah dari Makkah dan Madinah ................ 53
BAB IV : ANALISIS
NILAI-NILAI
PENDIDIKAN
AKHLAK
DALAM NOVEL PESAN INDAH DARI MAKKAH DAN
MADINAH
A. Analisis Novel dan Nilai Pendidikan ............................................ 61
1.
Analisis Novel “Pesan Indah dari Makkah dan Madinah”
Karya Ahmad Rofi’ Usmani.................................................... 61
2.
Analisis Nilai-Nilai Pendidikan Akhlak dalam Novel “Pesan
Indah dari Makkah dan Madinah” ......................................... 71
B. Pelaksanaan Nilai Pendidikan Akhlak ........................................... 77
BAB V : PENUTUP
A. Simpulan ....................................................................................... 83
B. Saran............................................................................................... 84
C. Kata Penutup ................................................................................. 86
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
LAMPIRAN-LAMPIRAN
xiii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sebuah karya fiksi ditulis untuk menyampaikan pesan moral dalam
sikap dan tingkah laku para tokoh sesuai dengan pandangan pengarangnya
tentang konsep moral. Melalui cerita, sikap, dan tingkah laku tokoh-tokoh
itulah pembaca diharapkan dapat mengambil hikmah dari pesan-pesan yang
ingin disampaikan.1
Pesan-pesan yang disampaikan dalam sebuah karya fiksi pada
hakikatnya adalah bersifat universal, maksudnya adalah diyakini semua
manusia. Pembaca diharapkan dapat menghayati pesan-pesan ini kemudian
dapat menerapkan dalam kehidupannya.
Sebuah karya sastra bukan semata-mata hanya berisi khayalan belaka,
tetapi didalamnya mengandung pertaruhan nilai dan juga analisis terhadap
suatu masalah. Dengan demikian hal-hal yang bersifat intelektual bisa juga
ditemukan dalam sebuah karya sastra. Faisal Tehrani mengatakan bahwa
betapa pentingnya pendididkan anak-anak yang didasari dengan sastra dan
ajaran Islam.
Cerita dan puisi yang baik berdasarkan Islam dapat menumbuhkan
kebaikan yang dapat berpengaruh pada moral anak-anak. Manfaat membaca
sastra dan mempelajari sastra adalah untuk menunjangketrampilan berbahasa,
1
Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta : Gadjah Mada University
Press, 2008), hlm. 321.
1
2
meningkatkan pengetahuan sosial budaya, mengembangkan rasa karsa dan
pembentukan watak.2
Adanya aspek negatif tayangan-tayangan di media massa, elektronik
dan internet menyebabkan anak-anak lebih mudah terpengaruh. Media sastra
dapat menjadi media yang sempurna untuk menangkal aspek negatif dari
perkembangan tekhnologi.3Jadi nilai pendidikan akhlak yang didalam karya
sastra bermuara pada agama, atau nilai-nilai tradisi.
Yang dikatakan dengan pengertian sastra ialah teks-teks yang tidak
hanya disusun atau dipakai untuk tujuan komunikatif yang praktis dan yang
hanya berlangsung untuk sementara.4 Karya sastra sebagai sebuah seni,
menurut Oliver Leamen dalam “Estetika Islam” dipandang sebagai keindahan
yang tercermin dalam keindahan jiwa sang sastrawan dan dalam tingkat
relaitas yang lebih tinggi, yang di dalamnya menggambarkan keindahan
wujud ketuhanan itu sendiri.5
Disini ada korelasi antara moralitas seorang pengarang dengan pesanpesan yang akan disampaikan dalam suatu karya sastra. Dimana pesan yang
disampaikan merupakan manifestasi kehidupan religius pengarang yang
terutang dalam karya sastra, sehingga pembaca dapat mengaplikasikan pesan
tersebut dalam kehidupan nyata.
2
M. Atar Semi, Rancangan Pengajaran Bahasa & Sastra Indonesia, Edisi Ke-1,
(Bandung : Angkasa, 1990), hlm. 154.
3
Faisal Tehrani, “Sastra Kanak-kanak Pendekatan Islam”, http://www.blogger.com/postcreate.g/blog.id, diakses 16 April 2015.
4
Partini Sardjono Pradotokusumo, Pengkajian Sasta, (Jakarta : PT Gramedia Pustaka
Utama, 2005), hlm. 28
5
Oliver Leamen, Estetika Islam; Menafsir Seni dan Keindahan, Terj. Irfan Abubakar,
(Bandung : Mizan, 2005), hlm. 157
3
Perkembangan sastra di Indonesia kaitannya dengan dunia Islam
khususnya yang berisi tentang pendididkan Islam dapat dilihat dalm karya
sastra klasik. Karya-karya tersebut mengarah pada sastra didaktis, sastra yang
berprestasi pada maslah pengemban nilai pendidikan, tuntunan, dan ajaran.
Hal tersebut dapat ditemui dalam karya-karya sastra Jawa klasik. Mungkin
hal itu dapat dimaklumi karena dalam tradisi sastra Jawa klasik memang
berlaku sebagai alat pendidikan.
Kisah-kisah yang terdapat dalam al-Qur’an dan al-Hadits seringkali
juga digunakan sebagai media menyampaikan ajaran Islam atas pendidikan
kepada pendengarnya. Kisah tersebut berfungsi untuk mendidik manusia agar
meneledani hal-hal yang baik dan menghindari yang buruk. Karena Islam
juga mengajarkan manusia untuk selalu melakukan perbuatan yang baik dan
meninggalkan perbuatan yang buruk, sehingga seseorang tersebut dapat
memiliki akhlak yang baik.
Sebagaimana dalam Firman Allah dalam surat al-Qalam ayat 4
yang berbunyi :
(٤ : ‫اﻟﻘﻠم‬)
“Dan Sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang
agung” (Q.S. Al-Qalam : 4)
Salah satu media pendidikan yang memuat cerita atau kisah
diantaranya adalah novel. Novel dapat dikatakan sebagai media belajar
4
karena novel merupakan salah satu bentuk perwujudan yang bersifat teknis
dari metode cerita.6 Satu hal yang melandasi novel dimasukkan sebagai media
belajar adalah isi novel yang berupa cerita, Isi dari cerita tersebut sangat
menarik, ringan, menghibur serta mendidik.
Novel mampu memikat dan menarik perhatian pembaca tanpa
memakan waktu yang lama, mampu menyentuh nurani pembaca dalam
keadaan yang utuh menyeluruh, mampu mendidik perasaan ketuhanan seperti
rasa khauf dan cinta terhadap sesuatu yang patut untuk dicintai dan diridhai.
Novel juga memberikan kesempatan mengembangkan pola
pikirannya
sehingga terpuaskan.7 Namun, tentunya tidak semua novel dapat menjadi
media pendidikan. Novel yang dapat menjadi media pendidikan adalah novel
yang memuat nilai-nilai cerita yang mendidik manusia secara menyeluruh.
Sedangkan cerita yang baik adalah cerita yang mampu mendidik budi pekerti,
akal, imajinasi dan etika seorang anak, serta potensi pengetahuan yang
dimiliki.
Seperti yang diketahui kisah yang mengandung nilai sastra yang
tinggi memungkinkan untuk menembus dan mengunggah domain afektif
yang berbobot ketuhanan. Diantara tujuan kisah dalam al-Qur’an adalah
untuk memberikan peringatan kepada kaum mukminin.
6
Abdul Muhaimin dan Mujib, Pemikiran Pendidikan Islam, (Bandung : Trigenda Karya,
2003), hlm. 260
7
Abdurrahman an-Nahwlawi, Prinsip-prinsip Metode Pendidikan Islam, (Bandung :
IKAPI, 1989), cet-1, hlm. 12
5
Sebagaimana firman Allah :

(١٢٠ : ‫ھود‬)
“Dan semua kisah dari Rasul-rasul Kami ceritakan kepadamu,
ialah kisah-kisah yang dengannya Kami teguhkan hatimu; dan
dalam surat ini telah datang kepadamu kebenaran serta
pengajaran dan peringatan bagi orang-orang yang beriman.”(Q.S.
Huud : 120).
Cerita mempunyai daya tarik yang mampu menyentuh perasaan. Apa
daya tarik itu serta bagaimana pengaruhnya terhadap jiwa belum ada
seorangpun yang mengetahuinya secara pasti.8 Oleh karena itu, cerita
merupakan kumpulan bimbingan yang tidak terkirakan banyaknya. Demikian
pula, walaupun kata-kata yang dipergunakan untuk menuliskannya tidak
begitu banyak merupakan kumpulan berbagai ungkapan dan model sastra
yang tidak dapat diperkirakan banyaknya sejak dialog sampai kepada tata
kalimat dan tata bunyi, penonjolan pelaku, ketelitian saat yang tepat dalam
cerita agar hati menerima perasaan dan meneguhkannya agar menimbulkan
irama bumi yang diketahui.9
Novel Pesan Indah dari Makkah dan Madinah ini juga patut dibaca,
karena berisi tentang teladan-teladan empat khalifah bijak (khulafaur
8
hlm. 348
9
Muhammad Quthb, Sistem Pendidikan Islam, (Bandung : PT. Al-Ma’arif, 1993), cet-3,
Ibid., hlm. 351
6
rasyidin). Dengan bahasa yang indah dan menawan, tentang cinta,
persahabatan, kemuliaan, kepemimpinan, kebijaksanaan, dan jalan menuju
surga. Betapa indah jika kisah-kisah teladan ini kita simak, renungkan dan
praktikkan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam buku ini juga ditampilkan
teladan-teladan empat khalifah bijak (khulafaur rasyidin) serta norma dan
hukum agar menjadi cermin bagi kaum muslim.
Berdasarkan
latar
belakang
di
atas,
peneliti
tertarik untuk
meneliti dan mengkaji lebih dalam tentang novel Pesan Indah dari Makkah
dan Madinah Karya Ahmad Ahmad Rofi’ Usmani yang didalamnya terdapat
nilai pendidikan akhlak kepada Allah swt., kepada diri sendiri, dan kepada
sesama manusia.Maka peneliti tertarik untuk meneliti nilai akhlak yang
terdapat dalam novel tersebut, dengan judul“Nilai-nilai Pendidikan Akhlak
Dalam Novel Pesan Indah dari Makkah dan Madinah Karya Ahmad Rofi’
Usmani”
B. Penegasan Istilah
Untuk lebih mempermudah pemahaman terhadap skripsi ini, maka
penulis akan menjelaskan pengertian judul tersebut untuk menghindarkan
terjadinya perbedaan persepsi.
1. Nilai Pendidikan Akhlak
Menurut Zakiah Daradjat Pendidikan Islam
(akhlak) adalah
pendidikan individu dan pendidikan masyarakat.10 Ahmad Tafsir
mengemukakan bahwa pendidikan Islam (akhlak) sebagai bimbingan
10
Zakiah Daradjat, et. al., Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta : Bumi Aksara, 2006), hlm. 28
7
yang diberikan seorang agar ia bisa berkembang secara maksimal sesuai
dengan ajaran Islam. Samsul Nizar mengemukakan bahwa pendidikan
Islam adalah suatu sistem yang memungkinkan seseorang (peserta didik)
dapat mengarahkan kehidupannya sesuai dengan ideologi Islam.11Nilai
adalah kualitas suatu hal itu dapat disukai, diinginkan berguna atau
dapat menjadi objek kepentingan. Nilai adalah suatu yang berharga
bermutu, menunjukkan
kualitas, dan
berguna
bagi manusia,
pendidikan akhlak terdiri dari dua kata yaitu pendidikan dan akhlak.
Pendidikan adalah suatu proses pendewasaan diri melalui pengajaran dan
latihan.12Sedangkan akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa,
yang dengannya
buruktanpa
lahirlah
memerlukan
macam-macam
pemikiran
dan
perbuatan
baik
atau
pertimbangan. Jadi nilai
pendidikan akhlak adalah pengarahan tentang apa dan bagaimana yang
seharusnya dilakukan oleh seorang manusia dari perbuatan mereka.
2. Novel Pesan Indah dari Makkah dan Madinah
Novel merupakan karya fiksi yang mengungkapkan aspek-aspek
kemanusiaan yang lebih mendalam dan disajikan dengan halus.
Novel Pesan Indah dari Makkah dan Madinah adalah karya dari Ahmad
Rofi’ Usmani yang isinya mengajarkan kepada pembaca tentang kasih
sayang, keikhlasan, dan ketabahan. Yang diambil langsung dari kisah
nyata empat Khlaifah bijak (khulafaur rasyidin)
11
Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam pendekatan historis , teoritis dan praktis,
(Jakarta : Ciputat Pers, 2002), hlm. 32
12
Poerwadarminto, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1985), hlm.
702.
8
C. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka permasalahan dapat
dirumuskan sebagai berikut:
1. Apa sajakah nilai–nilai pendidikan akhlak yang dapat dipetik dalam
novel “Pesan Indah dari Makkah dan Madinah” Karya Ahmad Rofi’
Usmani?
2. Bagaimana pelaksanaan nilai-nilai pendidikan akhlak dalam novel
“Pesan Indah dari Makkah dan Madinah”?
D. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui nilai–nilai pendidikan akhlak yang terkandung dalam
novel Pesan Indah dari Makkah dan Madinah Karya Ahmad Rofi’
Usmani
2. Untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan nilai-nilai pendidikan akhlak
dalam novel Pesan Indah dari Makkah dan Madinah di era globalisasi
saat ini
E. Manfaat Penulisan
Adapun manfaat yang diharapkan adalah:
1. Teoritis
a. Dapat memperluas khasanah ilmu dalam karya ilmiah terutama dalam
buku cerita.
b. Sebagai wahana pemikiran dan menetapkan teori-teori yang ada
dengan realitas yang ada di masyarakat.
9
2. Praktis
a. Dapat memberikan kontribusi bagi pembaca dalam pengajaran
terutama memahami makna atau hikmah dalam suatu cerita.
b. Dapat
memberi
masukan
kepada
peneliti
untuk
penelitian
selanjutnya.
c. Sebagai transformasi nilai pendidikan yang terimplementasikan dalam
kehidupan sehari-hari.
F. Kajian Pustaka
Setelah melakukan tinjauan berbagai pustaka, sepengetahuan peneliti
belum ada penelitian yang secara khusus mengkaji tenang nilai-nilai
pendidikan akhlak dalm novel Pesan Indah dari Makkah dan Madinah Karya
Ahmad Rofi’ Usmani. Namun peneliti menemukan beberapa tulisan yang
terkait dengan tema yang peneliti angkat diantaranya adalah
1. Skripsi berjudul “Nilai-Nilai Pendidikan Agama Islam Dalam UndangUndang Republik Indonesia (Studi Komparasi tentang undang2 sistem
pendidikan Nasional dari tahun 1945 sampai tahun 2003)”. Oleh
Choirun Nisa’ Jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas Tarbiyah dan
Ilmu Keguruan UNISNU Jepara Tahun 2013. Peneleitian ini terfokus
untuk menciptakan sistem yang ideal untuk bangsa Indonesia dan untuk
mengikuti perkembangan global.
2. Skripsi berjudul “Nilai-Nilai Pendidikan Akhlak Dalam Kitab Bidayatul
Hidayah Aktualisasinya Dalam Pendidikan Islam”. Oleh Nur Khafidhin
10
Jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan
UNISNU Jepara Tahun 2014. Peneleitian ini terfokus pada analisis
tentang pendidikan akhlak dalam kitab Bidayatul Hidayah.
3. Buku berjudul “Pendidikan Karakter: Pengintegrasian 18 Nilai
Pembentukan Karakter dalam Mata Pelajaran”. Oleh Sri Narwanti.
Buku ini akan memandu pembacanya dalam menerapkan nilai-nilai
karakter sehingga membentuk siswa yang unggul dalam ilmu
pengetahuan dan teknologi.
4. Buku berjudul “Pendidikan Karakter Berbasis Nilai dan Etika di
Sekolah”. Oleh Agus Zaenul Fitri. Buku ini membahas aspek pendidikan
karakter, mulai dari pengertian, fungsi, tujuan, prinsip, model pendidikan
nilai dan etika sampai dengan contoh.
5. Artikel
berjudul
“Seni
Pertunjukan
Wayang
Sebagai
Wahana
Pendidikan” Oleh Dr. Sayanto, S. Kar., MA. Artikel ini membahas
tentang salah satu bentuk seni yang mengandung nilai-nilai pendidikan
adalah wayang kulit, karena mampuu beradaptasi dengan budaya
jamannya.
Penelitian yang dilakukan penulis berbeda dengan penelitian yang
ada. Penulis mengangkat karya sastra novel yang inspiratif, menggugah,
memberi semangat baru dalam kehidupan, serta penuh dengan nilai-nilai
moral yang terkandung didalamnya. Perbedaan yang sangat mendasar dari
novel “Pesan Indah dari Makkah dan Madinah” Karya Ahmad Rofi’ Usmani
ini adalah memuat kisah-kisah yang bukan hanya masalah duniawi saja, akan
11
tetapi
juga
mengandung
mutiara-mutiara
pendidikan
akhlak
yang
memberikan hikmah tersendiri bagi pembacanya. Perbedaan yang lain dengan
skripsi yang sudah ada, adalah pokok dan obyek yang diteliti yaitu novel yang
berjudul Pesan Indah dari Makkah dan Madinah Karya Ahmad Rofi’
Usmani.
G. Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian adalah:
1. Jenis Penelitian ini merupakan library research (penelitian pustaka), yaitu
suatu usaha untuk memperoleh data atau informasi yang diperlukan serta
menganalisis suatu permasalahan melalui sumber-sumber kepustakaan.13
2. Sumber Data
Jenis penelitian ini adalah library research (penelitian pustaka), maka data
yang diperoleh dari bahan-bahan pustaka adalah berupa sumber data
primer dan sumber data sekunder, yaitu sebagai berikut :
a. Sumber data primer.
Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari subjek
penelitian dengan menggunakan alat pengambilan data langsung pada
subjek informasi yang di cari.14 Sumber data primer dalam penelitian
ini adalah novel Pesan Indah karya Ahmad Rofi’ Usmani. Data ini
tersaji dalam bentuk kata-kata, frase, kalimat, dan wacana yang
termuat dalam novel Pesan Indah karya Ahmad Rofi’ Usmani, yang
diterbitkan oleh Penerbit Mizan Pustaka pada Februari 2008
13
14
hlm. 91
Sutrisno Hadi, Metodologi research I,(Yogyakarta : Andi Ofset,1997), hlm.82
Saifuddin Azwar, Metodologi Penelitian, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar Ofifset, 2004),
12
b. Sumber data sekunder
Data sekunder adalah data yang di peroleh dari pihak lain, tidak
langsung dari subjek penelitiannya, tetapi dapat mendukung atau
berkaitan dengan tema yang di angkat.15Sumber sekunder dalam
penelitian kali ini antara lain: Artikel atau tulisan yang berkaitan
dengan novel Pesan Indah karya Ahmad Rofi’ Usmani, baik dari
media cetak berupa jurnal, koran, majalah, testimoni, atau dari media
elektronik seperti internet dan televisi.
c. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data adalah prosedur yang sistematik dan standar untuk
memperoleh data yang diperlukan, dalam hal ini akan selalu ada
hubungan antara teknik pengumpulan data dengan masalah penelitian
yang ingin di pecahkan. Pengumpulan data tak lain adalah suatu
proses pengadaan data untuk keperluan penelitian.
Adapun cara pengumpulan data dalam penelitian ini, penulis
menggunakan teknik dokumenter, teknik dokumenter merupakan cara
mengumpulkan data melalui peninggalan tertulis,seperti arsip-arsip,
dalil atau hukum-hukum dan lain-lain yang berhubungan dengan
masalah penelitian.16
d. Teknik Analisis Data
15
Ibid., hlm, 92
Margono, Metodelogi Penelitian Pendidikan, (Jakarta: Rineka Cipta, 2004), hlm. 181
16
13
Dalam analisis data, penulis menggunakan metode diskriptif analisis
yaitu, suatu usaha untuk mengumpulkan data dan menyusun data
kemudian diusahakan adanya analisis dan interpretasi atau penafsiran
terhadap data tersebut.17 Dalam penelitian ini, peneliti menganalisa
data dengan menggunakan analisis isi (content analysis), yang
merupakan analisis ilmiah tentang isi pesan suatu komunikasi,
demikian menurut Barcus. Secara teknis, content analysis ini
mencakup upaya:
1) Klasifikasi tanda-tanda yang dipakai dalam komunikasi.
2) Menggunakan kriteria sebagai dasar klasifikasi.
3) Menggunakan teknik analisis tertentu sebagai pembuat prediksi.
H. Sistematika Penulisan
Dalam
masalah yang
penulisan
sesuai
skripsi
dengan
ini,
tujuan
penulisan
yang
membahas
akan
dicapai.
masalahAdapun
sistematika penulisan skripsi meliputi :
Bab I pendahuluan, yang memuat tentang latar belakang masalah,
penegasan istilah, rumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan,
kajian pustaka, metode penelitian dan sistematika penulisan.
Bab II, memuat landasan teori tentang pendidikan akhlak dan novel,
yang terdiri dari: Pengertian Nilai, Pengertian Pendidikan Akhlak, Dasar dan
Tujuan Pendidikan Ahlak, Metode Pendidikan Ahlak, Nilai-nilai Pendidikan
17
Winarno Surakhmad, Pengantar Penelitian Ilmiah Dasar Metode Tehnik, (Bandung :
Transito, 1998), hlm. 139
14
Ahlak, Pengertian Novel, Jenis Novel, Unsur-unsur Novel, dan Unsur Moral
dalam Novel.
Bab III, memuat deskripsi novel memuat dan mengkaji tentang
biografi penulis novel, yaituAhmad Rofi’ Usmani, mulai dari riwayat
hidupnya, riwayat pendidikan, karya-karya beliau yang telah dipublikasikan,
dan gambaran umum tentang tema, latar (setting lokasi), penokohan, pesan
yang disampaikan dalam novel tersebut serta sedikit sinopsis dari novel
“Pesan Indah dari Mekkah dan Madinah” karya Ahmad Rofi’ Usmani ini.
Bab IV, merupakan analisa Nilai Pendidikan Akhlak dalam Novel
Pesan Indah dari Mekkah dan Madinah karya Ahmad Rofi’ Usmani. Berisi
tentang kesimpulan hasil analisa penulis yaitu menemukan nilai-nilai
pendidikan akhlak dalam novel Pesan Indah dari Mekkah dan Madinah dan
pelaksanaan nilai-nilai pendidikan akhlak.
Bab V, merupakan penutup dari skripsi yang ditulis, memuat
kesimpulan dari pembahasan dan analisis pada bab-bab sebelumnya,
kemudian saran-saran, dan kata penutup (closing speech) yang berisi rasa
syukur dan terima kasih kepada semua pihak yang membantu kelancaran
penulisan skripsi ini, juga memberikan kesempatan bagi siapa pun untuk
memberikan saran dan kritik bagi penelitian ini.
Bagian akhir terdiri dari daftar pustaka, daftar lampiran, daftar ralat
dan daftar riwayat pendidikan penulis.
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Nilai –Nilai Pendidikan Akhlak
1. Pengertian Nilai
Secara garis besar nilai dibagi menjadi dua kelompok yaitu
nilai-nilai nurani (values of being) dan nilai-nilai memberi (values
of giving). Nilai-nilai nurani adalah nilai yang ada dalam diri
manusia kemudian berkembang menjadi perilaku serta cara kita
memperlakukan orang lain. Yang termasuk dalam nilai-nilai nurani
adalah kejujuran, keberanian, cinta damai, keandalan diri, potensi,
disiplin, tahu batas, kemurnian, dan kesesuaian. Nilai-nilai memberi
adalah nilai yang perlu dipraktikkan atau diberikan yang kemudian akan
diterima sebanyak yang diberikan. Yang termasuk pada kelompok nilainilai memberi adalah setia, dapat dipercaya, hormat, cinta, kasih sayang,
peka, tidak egois, baik hati, ramah, adil, dan murah hati.1
Nilai
adalah
menyangkut suatu
suatu
penetapan
atau
jenis apresiasi atau
suatu
kualitas
yang
minat. Sehingga
nilai
merupakan suatu otoritas ukuran subjek yang menilai, dalam artian di
dalam koridor keumuman dan kelaziman dalam batas-batas tertentu yang
pantas bagi pandangan individu dan sekelilingnya.2
1
Zaim El-Mubaroh, Membumikan Pendidikan Nilai Mengumpulkan yang Terputus dan
Menyatukan yang Tercerai, (Bandung: Alfabeta, 2009), hlm. 7
2
Ibid., hlm. 120
15
16
Adapun pengertian nilai menurut beberapa ahli adalah sebagai
berikut3:
a. Menurut Young, nilai diartikan sebagai asumsi-asumsi yang
abstrak dan sering didasari hal-hal penting.
b. Green, memandang nilai sebagai lesadaran yang secara kolektif
berlangsung dengan didasari emosi terhadap objek, ide dan
perseorangan.
c. Woods, mengatakan bahwa nilai merupakan petunjuk-petunjuk
umum yang telah berlangsung lama yang mengarahkan tingkah
laku dan kepuasan dalam kehidupan sehari-hari.
d. Dalam pengertian lain, nilai adalah konsepsi-konsepsi abstrak
dalam diri manusia atau masyarakat, mengenai hal-hal yang
dianggap baik dan benar serta hal-hal yang dianggap buruk dan
salah.
Nilai adalah suatu tipe kepercayaan yang berada dalam ruang
lingkup sistem kepercayaan, dimana seseorang harus bertindak atau
menghindari suatu tindakan, atau mengenai sesuatu yang pantas atau
tidak pantas dikerjakan, dimiliki dan dipercaya.4
Nilai adalah seauatu yang berharga bagi kehidupan manusia.
Menurut Chabib Thaha, “nilai adalah suatu yang bersifat abstarak, bukan
fakta, tidak hanya persoalan benar dan salah yang menurut pembuktian
3
Abdul Muhaimin dan Mujib, Pemikiran Pendidikan Islam, (Bandung: Trigenda Karya,
1998), hlm. 110
4
Mawardi Lubis , Evaluasi Pendidikan Nilai, cet-4, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2009),
hlm. 16
17
empiris, melainkan soal penghayatan yang dikehendaki dan tidak
dikehendaki, disenangi dan tidak disenangi.5
Sedangkan Sidi Gazalba mengartikan nilai adalah sesuatu yang
bersifat abstrak dan ideal. Nilai bukan konkrit, bukan fakta, tidak
hanya
sekedar
soal
penghayatan
yang
dikehendaki
dan
tidak
dikehendaki, yang disenangi dan yang tidak disenangi. Nilai itu
terletak antara hubungan subjek dan objek. Seperti garam, emas Tuhan
itu tidak bernilai bila tidak ada subjek yang menilai. Garam
menjadi berarti setelah ada orang yang membutuhkan, emas menjadi
berharga setelah ada orang yang mencari perhiasan, dan Tuhan akan
menjadi berarti setelah ada makhluk yang membutuhkannya. Tetapi
nilai juga terletak pada barang (objek), nilai ketuhanan karena dalam
dzat Tuhan terdapat sesuatu yang sangat berharga bagi manusia, dan
dalam logam emas terdapat zat yang tidak lapuk, antikarat dan jenis
keindahan lainnya yang sangat berharga bagi manusia.6
2. Pengertian Pendidikan Akhlak
a. Pengertian Pendidikan
Pendidikan dalam arti luas adalah semua perbuatan dan
usaha manusia dari generasi tua untuk memberikan pengetahuannya,
5
hlm. 60.
hlm. 17.
Chabib Thaha, Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996),
6
Mawardi Lubis , Evaluasi Pendidikan Nilai, cet-4, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2009),
18
pengalamannya, kecakapannya dan keterampilannya pada generasi
dibawahnya.7
Kata pendidikan yang umum digunakan sekarang, dalam
bahasa Arabnya adalah “tarbiyah”, dengan kata kerja “rabba”. Kata
kerja Rabba (mendidik) sudah digunakan pada zaman nabi
Muhammad SAW seperti terlihat dalam ayat Al-Quran dan AlHadits Nabi.8
Kata Tarbiyah ini berasal dari tiga kata yaitu: Pertama,
rabba-yarbuu, yang berarti bertambah, tumbuh dan berkembang.
Kedua, rabiya yang berarti menjadi besar, dan yang ketiga, rabbayarubbu yang berarti memperbaiki, menguasai urusan, menuntun
dan memlihara.9
Dari ketiga akar kata al-tarbiyah dengan penggunaannya di
dalam Al-Qur’an, maka al-tarbiyah atau pendidikan secara harfiah
mengandung arti mengembangkan, menumbuhkan, memelihara dan
merawatnya dengan penuh kasih sayang. Dengan pengertian
kebahasan ini, maka kata al-tarbiyah atau pendidikan adalah istilah
yang berkaitan dengan usaha menumbuhkan atau menggali segenap
potensi fisik, psikis, bakat, talenta dan berbagai kecakapan lainnya
yang dimiliki manusia, atau mengaktualisasikan berbagai potensi
7
Ibid., hlm. 16
Zakiah Daradjat, dkk., Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta : Bumi Aksara, 2006), hlm. 25
9
Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis,
(Jakarta: Ciputat Pers, 2002), hlm. 26
8
19
manusia yang terpendam kemudian mengembangkannya dengan
cara merawatnya dan menumpuknya dengan penuh kasih sayang.10
Adapun pengertian pendidikan yang dimaksud adalah proses
menumbuh kembangkan kognitif, sikap dan perilaku seseorang yang
dilakukan secara bertahap dalam rangka mendewasakan kepribadian
dengan melalui pengajaran dan latihan serta dengan menggunakan
alat-alat pendidikan yang baik agar kelak menjadi manusia dewasa
yang bermanfaat bagi dirinya, masyarakat serta bahagia dunia dan
akhirat.
b. Pengertian Akhlak
Akhlak berasal dari bahasa Arab, khilqun yang berati
kejadian, perangai, tabiat atau karakter. Sedangkan dalam pengertian
istilah, akhlak adalah sifat yang melekat pada diri seseorang dan
menjadi identitasnya. Selain itu, akhlak dapat pula diartika sebagai
sifat yang telah dibiasakan, ditabiatkan, didarah dagingkan, sehingga
menjadi
kebiasaan
dan
mudah
dilaksanakan,
dapat
dilihat
indikatornya, dan dapat dirasakan manfaatnya. Akhlak terkait
dengan memberikan penilaian terhadap sesuatu perbuatan dan
menyatakan baik dan buruk.11
Kata akhlak jika diurai secara bahasa bersal dari rangkaian
huruf-huruf
kha-la-qa,
jika
digabungkhalaqa
yanag
berarti
menciptakan. Ini mengingatkan kepada kita pada kata al-khaliq yaitu
10
hlm. 19
11
Abudin Nata, Pemikiran Pendidikan Islam & Barat, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012),
Ibid., hlm. 208.
20
Allah. Dan kata mahluk yaitu seluruh alam yang Allah ciptakan.
Maka kata akhlak tidak bisa dipisahkan dengan al-khaliq dan
mahluk.
Akhlak
berarti
sebuah
perilaku
yang
muatannya
“menghubungkan” antara hamba dengan Allah sang Khaliq.12
Akhlak adalah sifat dan keadaan yang tertanam dengan kokoh
dalam jiwa yang kemudian memancar dalam ucapan, perbuatan,
penghayatan dan pengalaman yang dilakukan dengan mudah.13
Akhlak atau moral adalah merupakan seperangkat tata nilai yang
sudah jadi dan siap pakai.
Dengan diterapkannya akhlak tersebut, maka akan tercipta
kehudupan yang tertib, teratur, aman, damai dan harmonis, sehingga
setiap orang akan merasakan kenyamanan yang menyebabkan ia
dapat mengaktualisasikan segenap potensi dirinya, yakni berupa
cipta (pikiran), rasa (jiwa), dan karsa (panca indera)-nya yang
selanjutnya ia menjadi bangsa yang beradab dan berbudaya seta
mencapai kemajuan dan kesejahteraan hidupnya secara utuh.14
Jadi dengan demikian akhlak adalah sifat dan keadaan yang
sudah menginternalisasi dan menyatu dalam diri manusia dan
selanjutnya membentuk karakteratau kepribadian yang membedakan
seseorang dengan orang lainnya.15
12
Wahid Amdi, Risalah Akhla Panduan Perilaku Muslim Modern, (Solo: Era Intermedia,
2004), hlm. 13.
13
Ibid., hlm. 215.
14
Ibid., hlm 208
15
Ahmad Amin, Etika (Ilmu Akhlak), (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1993), hlm. 215
21
Adapun beberapa istilah yang dipakai untuk mengatakan
akhlak adalah sebagai berikut:
1) Etika
Perkataan etika barasal dari bahasa Yunani, ethos yang
berarti adat kebiasaan. Etika adalah filsafat tentang nilai,
kesusilaan tentang baik buruk. Etika juga merupakan bagian dari
filsafat yang mengajarkan keluhuran budi.
Etika sebagai salah satu cabang dari filsafat yang
mempelajari tingkah laku manusia untuk menentukan nilai
perbuatan tersebut, baik atau buruk, maka ukuran untuk
menentukan nilai itu adalah akal pikiran, atau dengan kata lain,
dengan akal lah orang dapat menentukan baik buruknya
perbuatan manusia. Baik karena akal menentukannya baik atau
buruk karena akal memutuskan buruk.
2) Moral
Moral berasal dari kata mores yaitu jamak dari mos yang
berarti adat kebiasaan. Moral merupakan istilah yang digunakan
untuk memberikan bahasan terhadap aktivitas manusia dengan
nilai/hukum baik atau buruk, benar atau salah. Dalam kehidupan
sehari-hari dikatakan bahwa orang yang mempunyai tingkah
laku baik disebut yang bermoral.
Secarfa umum moral menyaran pada pengertian (ajaran
tentang) baik buruk yang diterima umum menjadi perbuatan,
22
sikap, kewajiban dan sebagainya: akhlak, budi pekerti, susila.
Istilah:bermoral”, misalnya; tokoh bermoral tinggi, berarti
mempunyai pertimbangan baik dan buruk.
3) Kesusilaan
Kesusilaan berasal dari kata susila yang mendapat
awalan ke- dan akhiran –an.
Susila berasal dari bahasa
Sansekerta yaitu su dan sila. Su berarti baik, bagus dan sila
berarti dasar, prinsip, peraturan hidup atau norma. Kesusuilaan
sama
dengan
kesopanan.
Ini
menunjukkan
kesusilaan
bermaksud membimbing manusia agar hidip sopan sesuai
dengan norma tata susila.
Dari uraian di atas terlihat persamaan antara akhlak,
etika, moral yang sama-sama mempelajari tentang hukum
perbuatan manusia. Namun antara ketiganya terdapat perbedaan
yang terletak pada tolok ukur masing-masing, dimana ilmu
akhlak menilai akhlak manusia dengan tolok ukur ajaran alQuran dan hadis, etika dengan pertimbangan akal pikiran, dan
moral dengan adat kebiasaan yang umum berlaku di masyarakat.
3. Dasar dan Tujuan Pendidikan Akhlak
a. Dasar pendidikan akhlak daam surat Luqman ayat 13-19

(١٣ :
)
23
“Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada
anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai
anakku,
janganlah
kamu
mempersekutukan
Allah,
Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar
kezaliman yang besar".(QS. Luqman : 13).16
Menurut M. Quraish Shihab, dalam ayat ini Luqman memulai
nasihatnya
dengan menekankan perlunya menghindari
syirik/memepersekutukan Allah. Menurut beliau larangan ini
sekaligus mengandung pengajaran tentang wujud dan keesaan
Tuhan. Bahwa redaksi pesannya berbentuk larangan, jangan
mempersekutukan Allah untuk sesuatu yang buruk sebelum
melaksanakan yang baik.17

(١٤ :
)
“Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik)
kepada dua orang ibu- bapaknya; ibunya telah mengandungnya
dalam Keadaan lemah yang bertambah- tambah, dan menyapihnya
dalam dua tahun[1180]. bersyukurlah kepadaku dan kepada dua
orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu”.(QS.
Luqman : 14).18
Ayat diatas tidak menyebutkan jasa bapak, tetapi menekankan
kepada jasa ibu. Ini disebabkan karena ibu berpotensi untuk tidak
dihiraukan oleh anak karena kelemahan ibu, berbeda degan bapak.19
Di sisi lain, peranan bapak dalam konteks kelahiran anak, lebih
ringan dengan peranan ibu. Setelah perubahan semua proses
kelahiran anak dipikul sendirian oleh ibu. Bukan hanya sampai masa
kelahirannya, tetapi berlanjut dengan penyusuan bahkan lebih dari
itu. Memang ayah pun bertanggung jawab menyiapkan dan
membantu ibu agar beban yang dipikulnya tidak terlalu berat, tetapi
ini tidak menyentuh anak secara langsung, berbeda dengan perasaan
ibu.
16
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Pesan, Kesan dan Keserasian Alqur’an, (Jakarta:
Lentera Hati, 2002), hlm. 127
17
Ibid.
18
Ibid., hlm. 129
19
Ibid.
24


(١٥ :
)
“Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan
dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu,
Maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah
keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang
kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu,
Maka Kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan”. (QS.
Luqman : 15).20
Tidak semua perintah orang tua harus dituruti dan
dilaksanakan bila perintah tersebut menyuruh untuk berlaku syirik
kepada Allah atau perbuatan buruk lainnya. Sebagaimana penjelasan
ayat di atas, menguraikan kasus yang merupakan pengecualian
mentaati perintah kepada orang tua, sekaligus keharusan untuk
meninggalkan kemusyrikan dalam bentuk kapan dan dimanapun.21


(١٦ :
)
(Luqman berkata): "Hai anakku, Sesungguhnya jika ada
(sesuatu perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau
di langit atau di dalam bumi, niscaya Allah akan mendatangkannya
(membalasinya). Sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha
mengetahui”. (QS. Luqman : 16).22
Ayat ini menjelaskan dan menggambarkan Kuasa Allah
melakukan perhitungan atas amal-amal perbuatan manusia di akhirat
nanti. Melalui keduanya tergabung uraian tentang keesaan Allah dan
20
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Pesan, Kesan dan Keserasian Alqur’an, (Jakarta:
Lentera Hati, 2002), hlm. 133
21
Ibid.
22
Ibid., hlm. 136
25
keniscayaan hari kiamat. Dua prinsip dasar akidah Islam yang sering
kali mewakili semua akidahnya.23

(١٧ :
)
“Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia)
mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan
yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa
kamu. Sesungguhnya yang demikian itu Termasuk hal-hal yang
diwajibkan (oleh Allah)”. (QS. Luqman : 17).24
Nasihat Luqman pada dua ayat di atas berkaitan dengan
amal-amal shaleh yang puncaknya adalah shalat, serta amal-amal
kebajikan dalam amar ma’ruf nahi munkar, juga nasihat berupa
perisai yang membentengi seseorang dari kegagalan yaitu sabar dan
tabah.


(١٩-١٨ :
)
“Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia
(karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi
dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang
yang sombong lagi membanggakan diri”. (QS. Luqman : 18)
“Dan sederhanalah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah
suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai”.
(QS. Luqman : 19).25
Kemudian nasihat Luqman pada dua ayat ini berkaitan
dengan akhlak dan sopan santun berinteraksi dengan sesama
manusia. Materi pelajaran akidah beliau selingi dengan materi
pelajaran akhlak, bukan hanya saja agar peserta didik tidak jenuh
dengan suatu materi, tetapi juga untuk mengisyaratkan bahwa
23
Ibid.
Ibid., hlm. 137
25
Ibid., hlm. 139
24
26
pelajaran akidah dan akhlak merupakan satu kesatuan yang tidak
dapat dipisahkan.
b. Tujuan Pendidikan Akhlak
Sebagaimana kita ketahui bahwa belajar di waktu waktu kecil
bagaikan mengukir di atas batu. Ungkapan ini berarti bahwa di
waktu kecil yaitu anak yang belum berusia baligh adalah fase emas
untuk menanamkan nilai-nilai yang baik dalam diri mereka. Hal ini
dikarenakan dalam diri mereka dalam fase ini anak-anak akan
merekam doktrin dengan mudah dan mendalam. Jiwa mereka masih
bersih dari dosa dan maksiat jika dibandingkan dengan orang
dewasa. Oleh sebab itu dalam menerima ilmu atau hal-hal yang
diajarkan pada mereka akan mudah ditangkap dan dipahami untuk
kemudian diamalkan ke dalam kehidupannya secara terus-menerus
hingga menjadi karakter dalam dirinya. Untuk itu akhlak Islam
bertujuan untuk:
1) Agar anak-anak dapat membedakan akhlak yang baik dan buruk
Sebagaimana yang dikutip oleh Abudin Nata, Ahmad
Amin mengemukakan bahwa tujuan mempelajari ilmu akhlak
dan permasalahannya menyebabkan kita dapat menetapkan
sebagian perbuatan lainnya sebagai yang baik dan sebagian
perbuatan lainnya sebagai yang buruk. Bersikap adil termasuk
baik, sedangkan berbuat zalim termasuk perbuata buruk,
membayar hutang kepada pemiliknya termasuk baik, sedangkan
27
mengingkari hutang kepada pemiliknya termasuk perbuatan
buruk.26
Adapun
standar
kebaikan
adalah
sesuatu
yang
menyenangkan, baik bagi pelaku atau yang menerimanya.
Hanya saja banyak pihak yang pasti selalu memunculkan
banyak kepentingan yang beragam, bahkan selalu bertentangan.
Sesuatu yang menyenangkan bagi orang lain belum tentu
menyenangkan juga bagi dirinya sendiri dan sebaliknya juga.
Maka, kebaikan memang harus memiliki standar yang bisa
diterima oleh semuanya, dan itulah kebaikan agama. Artinya
Sesuatu dianggap baik adalah jika Islam memandang hal itu
baik. Sebaliknya sesuatu yang dianggap keburukan adalah
apabila dianggap buruk oleh agama.27
2) Membersihkan kalbu dari hawa nafsu dan amarah.
Dalam pandangan kaum sufi, manusia cenderung
mengikuti hawa nafsu. Manusia cenderung ingin menguasai
dunia atau berusaha agar berkuasa di dunia. Menurut Imam AlGhazali, cara hidup seperti iniakan membawa manusia ke jurang
kehancuran moral. Oleh sebab itu manusia harus mampu
menguasai hawa nafsu dan amarah. Apabila manusia mampu
mengisi hatinya dengan sifat-sifat terpuji maka ia akan menjadi
26
5
Abudin Nata, Pemikiran Pendidikan Islam & Barat, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), hlm.
27
Wahid Amdi, Risalah Akhla Panduan Perilaku Muslim Modern, (Solo: Era Intermedia,
2004), hlm. 30
28
cerah dan tenang. Dan segala tindakan dan perbuatannyaselalu
berdasarkan niat yang ikhlas.
3) Mengarahkan berbagai aktifitas kehidupan manusia di segala
bidang
Akhlak mempunyai peranan yang sangat penting dalam
Islam. Bahkan merupakan bagian yang tidak dipisahkan dalam
kehidupan manusia. Pentingnya akhlak ini dapat dirasakan oleh
manusia
itu
sendiri
dalam
kehidupan
berkeluarga
dan
bermasyarakat bahkan dalam kehidupan bernegara.28
4) Menggapai kebahagiaan
Dengan diterapkannya akhlak maka akan tercipta
kehidupan yang tertib, teratur, aman, terkendali, damai dan
harmonis, sehingga setiap orang akan merasakan kenyamanan
yang menyebabkan ia dapat mengaktualisasikan segenap potensi
dirinya, yakni berupa cipta (pikiran), ras (jiwa), dan karsa
(panca indera)-nya yang selanjutnya ia menjadi bangsa yang
beradab
dan
berbudaya
serta
mencapai
kemajuan
dan
kesejahteraan hidupnya secara utuh. Sebaliknya, tanpa adanya
akhlak maka manusia akan mengalami kehidupan yang kacau.
Kelangsungan hidup, akal, keturunan, harta dan keamanan
terancam.29
28
Chabib Thoha, et. al., Metodologi Pengajaran Agma, (Yogyakarta: Pustaka pelajar,
1999), hlm. 144
29
Abudin Nata, Pemikiran Pendidikan Islam & Barat, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012),
hlm. 208
29
Pendidikan akhlak sebagaimana pendapat Muhammad
Athiyah Al-Barasi, adalah untuk membentuk orang-orang
bermoral baik berkemauan keras, sopan dalam berbicara dan
perbuatan, mulia dalam bertingkah laku serta beradab.30
Sedangkan
menurut
Muhammad
Jamhari,
tujuan
pendidikan akhlak adalah :
1) Membentukk kepribadian muslim, maksudnya ialah segala
perilaku baik ucapan, perbuatan, pikiran dan kata hatinya
mencerminkan sikap ajaran Islam. Sebagaimana firman
Allah dalam surat Fushilat ayat 33 yang artinya “Siapakah
yang lebih baik perkataannya dari pada orang yang
menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang shaleh, dan
berkata ; “sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang
menyerah diri” (QS. Fushilat : 33)
2) Mewujudkan perbuatan yang mulia dan terhindarnya
perbuatan tercela. Dengan bimbingan hati yang diridhoi
Allah dengan keikhlasan, maka akan terwujud perbuatanperbuatan yang terpuji, yang seimbang antara kehidupan
dunia dan akhirat serta terhindar dari perbuatan tercela.31
4. Metode Pendidikan Akhlak
Menurut
Abdurrahman
An-Nahlawi
metode
pendidikan
(akhlak) Islam sangat efektif dalam membina akhlak anak didik, bahkan
30
Muhammad Athiyah Al-Abrasyi, Dasar-Dasar Pendidikan Islam. Terj. Bustomi Abdul
Ghoni, (Jakatrta: Bulan Bintang, 1994), cet-III, hlm. 103
31
Ibid.
30
tidak sekedar itu, metode pendidikan ini memberikan motivasi sehingga
memungkinkan
umat
Islam
mampu
menerima
petunjuk
Allah.
menurutnya, metode pendidikan (akhlak) Islam yangtepat adalah metode
dialog, metode kisah qur’ani dan nabawi, metode ibrah dan nasihat serta
metode targhib dan tarhib.32
a. Metode dialog qur’ani dan nabawi
Metode dialog adalah metode menggunakan tanya jawab,
apakah pembicaraan antara dua orang atau lebih, dalam pembicaraan
tersebut mempunyai tujuan dan topik tertentu. Metode dialog
berusaha menghubungkan pemikiran seseorang dengan orang lain,
serta mempunyai manfaat pelaku dan pendengarnya.33 Hal itu berarti
bahwa dialog dilakukan antar dua orang, baik secara langsung
berhadapan ataupun melalui bacaan.
Pembaca dialog akan mendapat keuntungan berdasarkan
karakteristik dialog, yaitu topik dialog disajikan dengan pola dinamis
sehingga materi tidak membosankan, pembaca tertuntun untuk
mengikuti dialog hingga selesai. Melalui dialog, perasaan dan emosi
pembaca akan terbangkitkan. Topik pembicaraan yang disajikan
bersifat realistik dan manusiawi.34
Dalam al-Qur’an banyak memberi informasi tentang dialog,
di antara bentuk-bentuk dialog terebut
32
adalah dialog khitabi,
Abdurrahman An-Nahlawi, Ushulut Tarbiyah Islamiyah Wa Asalibiha Fii Baiti Wal
Madrasati Wal Mujtama’, Terj. Shihabudin, (Jakarta: Gema Insani Pers, 1996), hlm. 204
33
Ibid., hlm. 205
34
Ibid., hlm. 204
31
taabudi, deskriptif, naratif, argumentatif, serta dialog nabawiyah.35
Dalam mendidik akhak para sahabat, Nabi sering menggunakan
metode diaog. Dengan metode ini anak didik mempunyai
kesempatan betanya secara langsung tentang sesuatu yang tidak atau
belum mereka pahami.
b. Metode kisah qur’ani dan nabawi
Kisah
mengandung
aspek
pendidikan,
yaitu
dapat
mengaktifkan dan membangkitkan kesadaran pembacanya, membina
perasaan ketuhanan dengan cara mempengaruhi emosi, mengarahkan
emosi, mengaktualisasikan psikis yang membawa pembaca larut
dalam setting emosional cerita, topik cerita memuaskan pikiran.
Selain itu kisah dalam al-Qur’an bertujuan mengokohkan wahyu dan
risalah para nabi, kisah dalam al-Qur’an memberi informasi terhadap
agama yang dibawa para Nabi berasal dari Allah. Kisah dalam alQur’an dapat menghibur umat Islam yang sedang bersedih atau
tertimpa musibah.36
Cerita mengusung dua unsur, positif dan negatif. Adanya
dua unsur ini akan memeberi warna dalam diri anak jika tidak ada
filter dari para orang tua dan pendidik. Metode mendidik akhlak
melalui cerita atau kisah berperan dalam pembentukan akhlak, moral
dan akal anak.37
35
Ibid.hlm. 204
Ibid., hlm. 239
37
Abdul Aziz Abdul Majid, Alqissah Fi Al-Tarbiyah, Terj. Neneng Yanti Kh. dan Iip
Dzulkifli Yahya, (Bandung: PT Remaja Rosda Karya, 2001), hlm. 4
36
32
Metode mendidik akhlak melalui kisah akan memberi
kesempatan pada anak unttuk berfikir, merasakan dan merenungi
kisah tersebut seolah ia berperan dalam kisah tersebut. Sehingga
adanya keterkaitan emosi anak terhadap kisah akan memberi peluang
bagi anak untuk meniru tokoh yang berakhlak baik dan menghindari
perilaku tokoh yang berakhlak buruk.
c. Metode nasihat
Nasihat menempati kedudukan tinggi dalam agama, karena
agama adalah nasihat. Hal ini diungkapkan oleh Nabi Muhammad
sampai tiga kali ketika memberi pelajaran kepada pembacanya. di
samping
itu
menyampaikan
pendidik
dan
hendaknya
memberi
memperhatikan
nasihat.
Memberikan
cara-cara
nasihat
hendaknya disesuaikan dengan situasi dan kondisi. Pendidik
hendaknya selalu sabar dalam menyampaikan nasihat dan tidak
merasa bosan dan putus asa.38
Muhammad bin Ibrahim al-Hamd mengatakan cara
mempergunakan rayuan atau sindiran dalam nasihat, yaitu :
1) Rayuan dalam nasihat, seperti memuji kebaikan murid, dengan
tujuan agar siswa lebih meningkatkan kualitas akhlaknya,
dengan mengabaikan membicarakan keburukannya.
38
Muhammad Bin Ibrahim Al-Hamd, Maal Mualimin, Terj. Ahmad Syaikhu, (Jakarta:
Darul Haq, 2002), hlm. 140
33
2) Menyebutkan tokoh-tokoh agama umat Islam masa lalu,
sehingga membangkitkan semangat anak didik untuk mengikti
jejak mereka.
3) Membangkitkan semangat dan kehormatan anak didik.
4) Sengaja menyampaikan nasihat di tengah anak didik.
5) Menyampaikan nasihat secara tidak langsung atau sindiran.
6) Memuji di hadapan orang yang berbuat kesalahan, orang yang
melakukan sesuatu berbeda dengan perbuatannya. Kalau hal ini
dilakukan akan mendorongnya untuk berbuat kebajikan dan
meninggalkan keburukan.39
Dengan cara teresbut maka akan memaksimalkan dampak
nasihat terhadap perubahan tingkah laku dan akhlak anak.
d. Metode pembiasaan akhlak terpuji
Manusia
mempunyai
kesempatanyang
sama
untuk
membentuk akhlaknya. Apakah dengan pembiasaan yang baik atau
dengan yang buruk. Hal ini menunjukkan bahwa metode pembiasaan
dalam membentuk akhlak mulai dengan sangat terbuka luas dan
merupakan salah satu metode yang tepat. Pembiasan yang dilakukan
sejak dini akan membawa kegemaran dan kebiasaan tersebut akan
menjadi semacam adaptasi kebiasaan sehingga menjadi bagian tidak
terpisahkan dai kepribadiannya.
39
Muhammad Bin Ibrahim Al-Hamd, Maal Mualimin, Terj. Ahmad Syaikhu, (Jakarta:
Darul Haq, 2002), hlm. 142
34
Imam Al-Gazali mengatakan, “Anak adalah amanah orang
tuanya, hatinya yang bersih adalah permata berharga nan murni,
yang kosong dari setiap tulisan dan gambar. Hati itu siao menerima
tulisan dan cenderung pada setiap yang ia inginkan. Oleh karena itu
jika dibiasakan mengerjakan yang baik, lalu tumbuh di atas
kebaikan itu maka bahagialah ia di dunia dan akhirat, orang tuanya
punn mendapat pahala bersama”.
e. Metode keteladanan
Seperti yang diungkapkan oleh Muhammad bin Ibrahim AlHamd “Pendidik itu besar di mata anak didiknya. Apa yang dilihat
dari gurunya akan ditiruya. Karena murid akan meniru dan
meneladanai apa yang dilihat dari gurunya”.40
Keteladanan sangat penting dalam mendidik akhlak anak.
Keteladanan menjadi titik sentral dalam mendidik dan membina
akhlak
anak
didik.
Kalau
pendidik
berakhlak
baik
maka
kemungkinan besar anak didiknya juga akan berakhlak baik, karena
murid akan meniru gurunya. Dan Allah telah mengutus Rasul untuk
menjadi teladan yang baik.
f. Metode targhib dan tarhib
Sebagaimana yang telah diungkapkan Abdurrahman AnNahlawi “Targhib adalah janji yang disertai bujukan dan rujukan
40
Muhammad Bin Ibrahim Al-Hamd, Maal Mualimin, terj. Ahmad Syaikhu, (Jakarta:
Darul Haq, 2002), hlm. 27
35
untuk
menunda
kemaslahatan,
kelezatan,
dan
kenikmatan.
Sedangkan Tarhib adalah ancaman, intimidasi melalui hukum”.41
Metode pendidikan akhlak dapat berupa janji, pahala atau
hadiah dan dapat juga berupa hukuman. Pemberian hadiah dan
hukuman sangat efektif dalam mendidik akhlak terpuji.
5. Nilai-Nilai Pendidikan Akhlak
Anak yang beradab juga jujur dalam perkataannya, tawadlu’,
sabar ketika mendapat musibah, tidak memutuskan silaturahmi dan tidak
meninggikan suaranya ketika berbicara atau tertawa.42
Secara garis besar, nilai-nilai pendidikan akhlak Islam bagi anakanak diarahkan pada kepatuhan Allah swt., yakni mengerjakan perintah
dan menjauhi larangan-Nya. Nilai-nilai tersebut yaitu:
a. Nilai Kesabaran
Sabar merupakan sikap tegar dalam menghadapai ketentuan
dari Allah.43Obyek sabar adalah jiwa, di dalam jiwa terdapat
kekuatan
penolak
dan
pendorong.
Hakikat
sabar
adalah
mengarahkan kekuatan pendorong kepada apa yang bermanfaat
41
Abdurrahman An-Nahlawi, Ushulut Tarbiyah Islamiyah Wa Asalibiha Fii Baiti Wal
Madrasati Wal Mujtama’, Terj. Shihabudin, (Jakarta: Gema Insani Pers, 1996), hlm. 296
42
Umar bin Ahmad Baraja, Al Akhlakul Bin Banin, (Jakarta: CV Ahmad Nabhan, t.t),
hlm. 4-5
43
Ibn Al-Qayyim Al-Jauziyah, Kemuliaan Sabar dan Keagungan Syukur, (Yogyakarta:
Mitra Pustaka, 2005), hlm. 7
36
baginya dan mengarahkan kekuatan penolak dari apa yang
merugikannya.44
b. Nilai Keihklasan
Ikhlas
berarti
rela,
dengan
tulus
hati,
atau
rela
hati.45Sedangkan menurut Al Ashifani sebagaimana yang telah
dikutip oleh Erwati Azis bahwa “hakikat ikhlas adalah terbebas dari
segala sesuatu selain Allah.46
c. Nilai Kejujuran
Jujur berarti berkata apa adanya sesuai dengan situasi dan
kondisi yang sebenarnya. Jujur tidak mengenal kompromi terhadap
pelakunya. Sepintas, jujur memang terkadang tidak menyenangkan,
apalagi bila terkait hal-hal yang merugikan diri sendiri. Tapi pada
hakikatnya jujur membawa kemaslahatan bagi semua pihak.
d. Nilai Amanah
Sebagaimana
yang
diungkapkan
oleh
Sutan
Rajasa
“Amanah berarti kepercayaan, jujur, setia dalam menjalankan
sesuatu tugas dan tanggung jawab.47 Dalam hal ini cara yang terbaik
adalah menghormati hak-hak yang dimiliki oleh anak.
44
hlm. 232
45
Muhammad Chirzin, Menempuh Jalan Allah, (tt.p. Madani Pustaka Hikmah, 2000),
Sutan Rajasa, Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya: Karya Utama, 2002), hlm. 229
Erwati Azis, Prinsip-Prinsip Pendidikan Islam, (Solo: Tiga Serangkai, 2003), hlm. 37
47
Sutan Rajasa, Loc-Cit, hlm. 28
46
37
B. Tinjauan Umum Novel
1. Pengertian Novel
Novel (Inggris : novel) dan cerita pendek merupakan dua bentuk
karya sastra yang sekaligus disebut fiksi. Sebutan novel berasal dari
bahasa italianovella. Secara harfiah novella berarti ‘sebuah barang baru
yang kecil’, dan kemudian diartikan sebagai ‘cerita pendek dalam bahasa
prosa’. Dewasa ini istilah novella mengandung pengertian yang sama
dengan istilah Indonesia novelette (Inggris : novelette), yang berarti
sebuah karya prosa fiksi yang panjangnya cukupan, tidak terlalu panjang
namun juga tidak terlalu pendek.48
Novel adalah sebuah karya fiksi prosa yang ditulis secara naratif;
biasanya dalam bentuk cerita. Penulis novel disebut novelis. Novel lebih
panjang (setidaknya 40.000 kata) dan lebih kompleks dari cerpen, dan
tidak dibatasi keterbatasan struktural dan metrikal sandiwara atau sajak.
Umumnya sebuah novel bercerita tentang tokoh-tokoh dan kelakuan
mereka dalam kehidupan sehari-hari, dengan menitik beratkan pada sisisisi yang aneh dari naratif tersebut. Novel dalam bahasa Indonesia
dibedakan dari roman. Sebuah roman alur ceritanya lebih kompleks dan
jumlah pemeran atau tokoh cerita juga lebih banyak.49
Novel adalah suatu bentuk karya sastra yang berbentuk prosa
yang mempunyai unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik. Sebuah novel
48
Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakartaa: Gadjah Mada University
Press, 2007), hlm. 9-10
49
https://id.wikipedia.org/wiki/Novel?_e_pi=7%2CPAGE_IDp10%2C8404968647,
(diakses tanggal 25 Agustus 2015)
38
biasanya mengisahkan/menceritakan tentang kehidupan manusia dalam
berinteraksi dengan lingkungan dan juga sesamanya.50
2. Jenis Novel
a. Novel Populer
Sebutan novel populer atau novel pop mulai merebak sesudah
suksesnya novel Karmila dan Cintaku di Kampus Biru pada tahun
70-an. Sesudah itu, setiap novel hiburan, tidak peduli mutunya,
disebut juga sebagai “novel pop”. Kata “Pop” erat diasosiasikan
dengan kata populer.
Novel populer adalah novel yang populer pada masanya dan
banyak penggemarnya, khususnya pembaca di kalangan remaja. Ia
menampilkan masalah-masalah yang aktual dan selalu men-zaman,
namun hanya sampai pada tingkat permukaan. Novel populer tidak
mempermasalahkan kehidupan secara intens, tidak berusaha
meresapi hakikat kehidupan. Sebab, jika demikian halnya, novel
populer akan menjadi berat dan berubah menjadi novel serius, dan
boleh jadi akan ditinggalkan oleh pembacanya. Oleh karena itu novel
populer pada umumnya bersifat artifical, hanya bersifat sementara,
cepat ketinggalan zaman dan tidak memaksa orang untuk
membacanya sekali lagi. Ia, biasanya cepat dilupakan orang, apalagi
50
Sora
N,
Pengertian
Novel
dan
Unsur-Unsurnya,
http://www.
pengertianku.net/2014/08/pengertian-novel-dan-unsur-unsurnya.html, (diakses tanggal 25 Agustus
2015)
39
dengan munculnya novel-novel baru yang lebih opuler pada masa
sesudahnya.51
Novel populer lebih mudah dibaca dan mudah dinikmati
karena masalah yang diceritakan ringan-ringan, tetapi aktual dan
menarik, yang terlihat hanya pada masalah yang itu-itu saja seperti
cinta asmara dengan model kehidupan yang berbau mewah, kisah
percintaan antara pria tampan dan wanita cantik secara umum cukup
menarik, mampu membuai pembaca yang memang sedang remaja
mengalami masa peka untuk itu, dan barangkali dapat untuk sejenak
melupakan kepahitan hidup yang dialaminya secara nyata.
Selain dari itu, berbagai unsur cerita seperti plot, tema,
karakter, latar dan lain-lain biasanya bersifat stereotip, hanya bersifat
itu-itu saja atau begitu-begitu saja, dan tidak mengutamakan adanya
unsur-unsur
pembaharuan.
Hal
yang
demikian
memang
mempermudah pembaca yang semata-mata mencari cerita dan
hiburan belaka, dan membaca novel itu hanya bagaikan mengenali
dan mempermudah kembali sesuatu yang telah dikenali dan atau
dimiliki sebelumnya.52
b. Novel Serius
Novel serius harus sanggup memberikan yang serba
berkemungkinan, dan itulah sebenarnya makna sastra yang sastra.
Membaca novel serius, jika kita ingin memahaminya dengan baik,
51
Burhan Nurhiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakartaa: Gadjah Mada University
Press, 2007), hlm. 18
52
Ibid., hlm. 22
40
diperlukan gaya konsentrasi yang tinggi dan disertai kemauan untuk
itu. Pengalaman dan permasalahann kehidupan yang ditampilkan
dalam novel jenis ini disoroti dan diungkapkan sampai ke inti
hakikat kehidupan yang bersifat universal. Novel serius disamping
memberikan
hiburan,
juga
terimplisit
tujuan
memberikan
pengalaman yang berharga kepada pembaca, atau paling tidak,
mengajakanya untuk meresapi dan merenungkan secara lebih
sungguh-sungguh tentang permasalahan yang dikemukakan.53
Novel serius membuat aktivitas pembaca secara lebih serius,
menuntun pembaca untuk “mengoperasikan” daya intelektualnya.
Pembaca dituntut untuk mengkonstruksikan duduk persoalan
masalah dan hubungan antar tokoh. Novel seperti ini tidak bersifat
mengabdi kepada selera pembaca, dan memang pembaca novel
seperti ini tidak mungkin banyak.
3. Unsur-Unsur Novel
Sebuah novel merupakan sebuah totalitas, suatu kemenyeluruhan
yang bersifat artistik. Sebuah totalitas, novel mempunyai bagian-bagian,
unsur-unsur, yang saling berkaitan satu dengan yang lain secara erat dan
saling menguntungkan. Inilah yang membuat novel menjadi lebih
berwujud.54 Berikut unsur novel dan unsur fiksi menurut pandangan
tradisional.
53
Ibid., hlm, 18
Ibid., hlm. 22
54
41
a. Unsur Intrinsik
Unsur intrinsik adalah unsur-unsur yang membangun karya
sastra itu sendiri. Unsur-unsur inilah yang membuat karya sastra
hadir sebagai karya sastra, unsur yang secara factual akan dijumpai
jika orang membaca karya sastra.
Unsur intrinsik sebuah novel adalah novel-novel yang (secara
langsung) turut serta membangun cerita. Kepaduan antar berbagai
unsur intrinsik inilah yang membuat novel berwujud. Atau
sebaliknya, jika dilihat dari sudut pembaca, unsur-unsur cerita inilah
yang akan dijumpai jika kita membaca sebuah novel.
1) Tema
Tema merupakan ide pokok atau permasalahan utama yang
mendasari jalan cerita atau novel. Dalam novel, tema didukung
oleh pelukisan latar atau tingkah laku dan sifat tokoh. Novel ini
ini bertemakan tentang teladan-teladan empat khalifah bijak
(khulafaur rasyidin). Dengan bahasa yang indah dan menawan,
tentang
cinta,
persahabatan,
kemuliaan,
kepemimpinan,
kebijaksanaan, dan jalan menuju surga.
2) Setting
Setting merupakan keterangan, petunjuk dan pengacuan yang
berkaitan dengan waktu, ruang dan suasana terjadinya peristiwa
sebuah karya sastra. Ada tiga jenis latar dalam karya sastra
novel, yaitu latar tempat, waktu dan suasana. Setting pada novel
42
ini terjadi di kota Makkah dan Madinah. Dapat dilihat pada
halaman 41, sebagaimana yang telah dikutip sebelumnya.
“Hari itu sebuah kafilah dagang memasuki perbatasan
kota Makkah. Kota yang satu ini, seperti diketahui,
merupakan kota kelahiran Rasulullah Saw. dan juga
merupakan kota suci umat Muslim…””
3) Sudut pandang
Sudut pandang atau point of view adalah cara pengarang
mengungkapkan cerita. Sudut pandang dibagi menjadi tiga,
yaitu:
a) Pengarang menggunakan sudut pandang tokoh dan kata
ganti orang pertama, mengisahkan apa yang terkadi dengan
dirinya dan mengungkapkan perasaannya sendiri dengan
kata-katanya sendiri.
b) Pengarang menggunakan sudut pandang tokoh bawahan, ia
lebih banyak mengamati dari luar dari pada terlihat didalam
cerita. Pengarang biasanya menggunakan kata ganti orang
ketiga.
c) Pengarang menggunakan sudut pandang impersonal, ia
sama sekali berdiri di luar cerita, ia serba melihat, serba
mendengar, serba tahu. Ia melihat sampai ke dalam pikiran
tokoh dan mampu mengisahkan rahasia batin yang paling
dalam dari tokoh.
43
Dalam novel ini pengarang menggunakan sudut pandang
impersonal, karena pengarang sama sekali berdiri di luar cerita,
ia serba melihat, serba mendengar, serba tahu.
4) Alur atau Plot
Alur atau plot adalah keseluruhan jalinan peristiwa yang
membentuk satu kesatuan yang disebut cerita. Ada tiga jenis
alur dalam karya sastra novel, yaitu alur maju, alur mundur dan
alur gabungan.
Alur maju disajikan secara berurutan dari tahap perkenalan,
pengantar, dilanjutkan tahap penampilan masalah, dan diakhiri
tahap penyelesaian. Alur mundur disusun dengan mendahulukan
tahap klimaks atau penyelesaian dan sisusul tahap-tahap seperti
pendahuluan, pemunculan masalah, konflik dan peleraian.
Sedangkan alur gabungan merupakan perpaduan antara alur
maju dan alur mundur. Susunan penyajian urutan peristiwa
diawali dengan puncak keterangan, lalu dilanjutkan dengan
perkenalan dan diakhiri penyelesaian.55
Jalan cerita dalam novel ini menggunakan alur maju dan mundur
atau gabungan.
55
Burhan Nurhiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakartaa: Gadjah Mada University
Press, 2007), hlm. 85
44
5) Penokohan
Penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang
seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita.56 Tokoh dalam
novel berperan sebagai pribadi utuh, lengkap dengan keadaan
lahiriah dan batiniah. Karena itu, kita dapat mengetahui tokoh
yang memunyai sifat pemarah, pemalu, pennyabar dan lainlain.57
Tokoh utama dalam novel ini adalah Abu Bakar Al-Shiddiq,
‘Umar bin khaththab, ‘Usman bin ‘Affan, dan ‘Ali bin Abu
Thalib.
6) Amanat
Amanat merupakan ajaran moral atau pesan didaktis yang
hendak disampaikan penngarang kepada pembaca melalui
karyanya. Tidak jauh berbeda dengan cerita lainnya, amanat
dalam novel akan disampaikan rapi dan disembunyikan
pengarangnya dalam keseluruhan isi cerita. Karena itu, untuk
menemukannya tidak cukup dengan membaca dua atau tiga
paragraf, melainkan harus habis sampai tuntas. Dalam novel ini
banyak sekali amanat yang disampaikan pengarang. Ini Salah
satu amanat yang disampaikan oleh pengarang:
Jabatan sendiri sejatinya bukan hak pribadi ataupun
turunan, tetapi ia hak masyarakat. Karena itu, jangankan
56
Ibid., hlm. 165
Uti Darwanti, et. al., Bahasa Indonesia Untuk SMA/MA Sederajat, (Klaten: PT. Intan
Perwira, 2010), hlm. 16-17
57
45
suap, hadiah dalam kaitan jabatan pun terlarang
menerimanya.
7) Gaya bahasa
Gaya bahasa berfungsi untuk menciptakan suatu nada atau
suasana persuasif serta merumuskan dialog yang mampu
memperlihatkan hubungan dan interaksi antara sesama tokoh.58
b. Unsur Ekstrinsik
Unsur Ekstrinsik adalah unsur-unsur yang berada di luar
karya sastra itu, tetapi secara tidak langsung mempengaruhi
bangunan atau sistem organisme karya sastra. Atau secara lebih
khusus ia dapat dikatakan sebagai unsur-unsur yang mempengaruhi
bangun cerita sebuah karya sastra, namun sendiri tidak ikut menjadi
bagian di dalamnya. Walau demikian, unsur ekstrinsik cukup
berpengaruh terhadap totalitas bangun cerita yang dihasilkan.59
Sebagaimana halnya unsur intrinsik, unsur ekstrinsik juga
terdiri dari sejumlah unsur. Unsur-unsur yang dimaskud antara lain
adalah:
1) Latar belakang pengarang, menyangkut di dalamnya asal daerah
atau suku bangsa, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, agama
dan ideologi. Unsur ini sedikit banyak berpengaruh pada isi
58
E. Kokasih, Dasar-Dasr Keterampilan Bersastra, (Bandung: CV. Yrama Widya,
2012), hlm. 71
59
Sora
N,
Pengertian
Novel
dan
Unsur-Unsurnya,
http://www.
pengertianku.net/2014/08/pengertian-novel-dan-unsur-unsurnya.html, (diakses tanggal 25 Agustus
2015)
46
suatu novel. Misalnya novel yang dikarang orang padang
berbeda dengan novel yang dikarang orang sunda.
2) Kondisi sosial budaya, dimaksudkan bahwa novel yang dibuat
pada zaman kolonial akan bebeda dengan novel yang dibuat
pada zaman kemerdekaan atau pada masa reformasi. Seperti
halnya novel yang dikarang oleh seorang yang hidup ditengahtengah masyarakat metropolis akan berbeda dengan novel yang
dikarang oleh pengarang yng hidup di tengah-tengah masyrakat
tradisional.
3) Tempat atau kondisi alam, dimakudkan bahwa novel yang
dikarang oleh sesorang yang hidup di daerah agraris sedikit
banyak akan berbeda dengan novel yang dikarang oleh
pengarang yang terbiasa hidup di daerah gurun.60
Keadaan di lingkunag pengarang seperti ekonomi, politik dan
sosial juga berpengaruh terhadap karya sastra, dan hal itu
merupakan unsur ekstrinsik pula. Unsur ekstrinsik yang lain
misalnya pandangan hidup suatu bangsa, berbagai karya seni
orang lain dan sebagainya.
Unsur ekstrinsik novel ini adalah pengarangya itu sendiri
yaitu Ahmad Rofi’ Usmani, lahir di Cepu, Jawa Tengah, 26 Januari
1953. Alumnus dan mantan pengurus Pondok Pesantren Krapyak
Yogyakarta (1973-1974).
60
Sora
N,
Pengertian
Novel
dan
Unsur-Unsurnya,
http://www.
pengertianku.net/2014/08/pengertian-novel-dan-unsur-unsurnya.html, (diakses tanggal 25 Agustus
2015)
47
Menyelesaikan S1 Fakultas Syariah Institut Agama Islam
Negeri (IAIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta, pada 1977. Selepas itu,
pada 1978, dia diterima di Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar,
Kairo, Mesir. Selama sekitar enam tahun di Mesir.
4. Unsur Moral dalm Novel
Moral, seperti halnya tema, dilihat dari segi dikhotomi bentuk isi
karya sastra merupakan unsur isi. Ia merupakan sesuatu yang ingin
disampaikan oleh penngarang kepada pembaca, merupakan makna yang
terkandung dalam sebuah karya, makna yang disarankan lewat cerita.
Secara umum moral menyaran kepada pengertian baik buruk yang
diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban dan sebagainya.
Moral dalam karya sastra biasanya, mencerminkan pandangan
hidup pengarang yang bersangkutan, pandangannya tentang nilai-nilai
kebenaran, dan hal itulah yang ingin disampaikan kepada pembaca.
Sebuah karya fiksi ditulis oleh pengarang untuk, antara lain
menawarkanmodel kehidupan yang diidealkannya. Fiksi mengandung
penerapan moral dalam sikap dan tingkah lakiu para tokoh sesuai dengan
pandangannya tentang moral. Melalui cerita, sikap, dan tingkah laku
tokoh-tokoh itulah pembaca diharapkan dapat mengambil hikmah dari
pesan-pesan yang disampaikan, yang diamanatkan.
Moral dalam karya sastra, atau hikmah yang diperoleh pembaca
lewat sastra, selalu dalam pengertian yang baik. Dengan demikian, jika
dalam sebuah karya ditampilkan sikap dan tingkah lakuyang kurang
48
terpuji, baik mereka berlaku sebagai tokoh antagonis ataupun protagonis,
tidaklah berarti pengarang menyarankan kepaada pembaca untuk
bersikap dan bertindak secara demikian. Sikap dan tingkah laku tokoh
tersebut hanyalah model, model yang kurang baik, yang sengaja
dittampilkan justru agar tidak diikuti atau minimal dicenderungi oleh
pembaca.61
61
E. Kokasih, Dasar-Dasr Keterampilan Bersastra, (Bandung: CV. Yrama Widya,
2012), hlm. 322
BAB III
Deskripsi Novel Karya Ahmad Rofi’ Usmani
A. BiografiAhmad Rofi’ Usmani
Ahmad Rofi’ Usmani, lahir di Cepu, Jawa Tengah, 26 Januari 1953.
Alumnus dan mantan pengurus Pondok Pesantren Krapyak Yogyakarta
(1973-1974), kala itu di bawah pimpinan K.H. Ali Maksum (alm.) yang
pernah menjadi Rois Am Syuriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, ini
menyelesaikan S1 Fakultas Syariah Institut Agama Islam Negeri (IAIN)
Sunan Kalijaga, Yogyakarta, pada 1977. Selepas itu, pada 1978, dia diterima
di Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir. Selama sekitar enam
tahun di Mesir, mantan Ketua Lembaga Penelitian Ilmiah Persatuan Pelajar
Indonesia di Mesir (1981-1983) ini juga menghadiri program pascasarjana di
bidang sejarah dan kebudayaan Islam di Fakultas Dar Al-‘Ulum, Universitas
Kairo, Kairo, Mesir. Di sisi lain, selama itu pula, dia juga mempelajari dan
mendalami bahasa Prancis di Lembaga Kebudayaan Prancis di Kairo. 1
Sekembalinya ke tanah air, pada 1984, suami seorang dokter spesialis
penyakit dalam ini kemudian berkiprah di bidang media massa, antara lain
menjadi Pemimpin Pelaksana majalah Panggilan Adzan dan Redaktur Ahli
majalah Kiblat (1988-1992). Selain itu, ayah dua putri yang pernah
mengunjungi sejumlah negara, antara lain Arab Saudi, Mesir, Pakistan,
Brunei Darussalam, Thailand, Singapura, Malaysia, Jerman, Uni Emirat
1
Ahmad Rofi’ Usmani, Pesan Indah dari Makkah dan Madinah, (Bandung: Mizania,
2008), hlm. 7
49
50
Arab, Austria, Prancis, Luksemburg, dan Korea ini selalu meluangkan
sebagian waktunya untuk menerjemahkan, menyunting, dan menyusun buku.
Karya-karya tulisnya yang sudah terbit, baik berupa karya sendiri, suntingan,
maupun terjemahan, antara lain adalah :
1. Wangi Akhlak Nabi (2007)
2. Nama-Nama Islami nan Indah untuk Anak Anda (2007)
3. Rumah Cinta Rasulullah (2007)
4. Mutiara Akhlak Rasulullah Saw. (2006)
5. Teladan Indah Rasulullah dalam Ibadah (2005)
6. Muhammad: Nabi Barat dan Timur (2004)
7. Ihyâ’ ‘Ulûm Al-Dîn, 14 jilid (2004)
8. Anak Gol- da Meir pun Memeluk Islam (2004)
9. Dua Wajah Luciana (2004)
10. Membedah Pemikiran Islam (2000)
11. Pesona Islam (1998)
12. Kajian Kontemporer Al-Quran (1998)
13. Tokoh-Tokoh Muslim yang Mengukir Zaman (1998)
14. Sejarah Kebudayaan Islam (1997)
15. Nasruddin Hoja: Riwayat Hidup, Anekdot, dan Filsafatnya (1993)
16. Al-Ghazali: Sang Sufi Sang Filosof (1987)
17. Filsafat Sejarah Menurut Ibn Khaldun (1987)
18. Sufi dari Zaman ke Zaman (1987)
19. Filsafat Kebudayaan Islam (1986)
51
20. Filsafat dan Puisi Iqbal (1985)
21. Al-Quran dan Ilmu Jiwa (1985)
22. dan Islam Menjawab Tantangan Zaman (1983).2
B. Gambaran Umum Novel Pesan Indah dari Makkah dan Madinah
Novel Pesan Indah dari Makkah dan Madinah ini berisi tentang
teladan-teladan empat khalifah bijak (khulafaur rasyidin). Dengan bahasa
yang indah dan menawan, tentang cinta, persahabatan, kemuliaan,
kepemimpinan, kebijaksanaan, dan jalan menuju surga. Betapa indah jika
kisah-kisah teladan ini kita simak, renungkan dan praktikkan dalam
kehidupan sehari-hari. Dalam buku ini juga ditampilkan teladan-teladan
empat khalifah bijak (khulafaur rasyidin) serta norma dan hukum agar
menjadi cermin bagi kaum muslim.
Novel ini bertemakan kepemimpinan yang bertanggung jawab atas
kehormatan kaum perempuan, keselamatan jiwa, keamanan harta benda,
tegaknya hukum , dan kepemimpinan atas kaum Muslim hendaklah tidak di
tangan orang yang pelit, karena ia akan mengincar kekayaan mereka; tidak di
tangan orang yang bodoh, karena ia akan menyesatkan mereka; tidak di
tangan orang yang berperilaku kasar, karena ia di jauhi mereka; tidak di tanga
pengecut, karena ia akan merangkul suatu kelompok dan meninggalkan
kelompok lain; tidak di tangan orang yang menerima suap; karena ia akan
2
Ahmad Rofi’ Usmani, Pesan Indah dari Makkah dan Madinah, (Bandung: Mizania,
2008), hlm. 8
52
meniadakan hak-hak umat yang dipimpinnya; dan tidak di tangan orang yang
tak mengindahkan hukum, karena ia akan mencelakakan umat.
Novel ini menyajikan untaian kisah-kisah menawan yang khususnya
berkenaan cinta, persahabatan, kepemimpinan, kebijasanaan bertindak,
tindakan dan sikap mulia, serta jalan menuju surga ini dapat dijadikan sebagai
arahan usaha kita dalam mencintai Allah Swt. dan Rasul-Nya serta para
sahabat. Novel ini juga menjadi spirit untuk membangun persahabatan dan
menjalin hubungan yang tulus di antara sesama hamba-Nya, dan mengajak ke
arah sikap bijak dalam bertindak, baik dalam masyarakat maupun keluarga
seperti yang diteladankan oleh mereka, serta meniti jalan mulia yang selaras
dengan ketentuan Allah Swt. dan Rasul-Nya.
Seperti halnya karya-karya Ahmad Rofi’ Usmani yang sebelumnya,
Teladan Indah Rasulullah Saw. dalam Ibadah, Mutiara Akhlak rasulullah
Saw., Rumah Cinta Rasulullah, dan Wangi Akhlak Nabi yang diangkat dari
beberapa buku hadis yang diperkaya dengan berbagai sumber lain, novel ini
pun diangkat dari berbagai sumber, baik dari berbagai buku hadis maupun
karya-karya lainnya. Walau juga hanya berupa untaian kisah, Ahmad Rofi’
Usmani berharap kiranya budiman pembaca memungut darinya teladan dan
hikmah yang sangat menawan dan bermanfaat bagi usaha kita untuk
memahami dan menghayati segala hal yang diteladankan oleh keempat
sahabat (khulafaur rasyidin) bijak tersebut. Juga, walau karya ini tidak terlalu
lengkap, Ahmad Rofi’ Usmani berharap kiranya kisah-kisah yang disajikan
dalam karya ini dapat menampilkan gambaran yang cukup gamblang tentang
53
kehidupan mereka yang berkenaan dengan beberapa aspek tersebut dan halhal yang berkaitan dengan nilai-nilai mulia seperti yang mereka teladankan.
Di sisi lain, sekali lagi, Ahmad Rofi’ Usmani sepenuhnya menyadari,
novel yang terdiri dari empat bagian ini bukan sebuah karya yang sempurna.
Karena itu, apabila dalam novel ini terdapat kekurangan dan kelemahan,
sekali lagi Ahmad Rofi’ Usmani sampaikan, semua itu sepenuhnya dari
penulis dan merupakan tanggung jawabnya. Karena itu pula, kritik dan saran
dari pembaca tentu senantiasa penulis harapkan demi perbaikan kedepan.
Meskipun demikian, penulis berharap kiranya karya ini dapat menjadi setetes
ilmu yang menebarkan manfaat bagi para pembaca sekalian dan sebagai amal
jariah penulis yang diterima oleh Allah Swt.
C. Sinopsis Novel Pesan Indah dari Makkah dan Madinah
Di bagian awal novel Pesan Indah dari Makkah dan Madinahini
membahas kisah-kisah seputar cinta dan persahabatan. Dimana Rasulullah
Saw. dalam sebuah hadis, menetapkan tindakan saling mencintai dan saling
menyayangi di antara sesama Muslim sebagai syarat iman dan masuk surga.
“Dan, siapa pun yang mencintai sesama manusia denga ntulus
demi mengharap ridha Allah Swt., dan jika membencinya juga
karena-Nya, berarti ia telah menyempurnakan imannya”.
Rasulullah
Saw.
menggambarkan
kerja
sama,
persaudaraan,
persahabatan, dan solidaritas di antara kaum Muslim laksana organ-organ
tubuh yang saling mendukung, saling membantu, saling melengkapi.
Rasulullah Saw. tidak hanya mengajak para sahabat khususnya dan kaum
54
Muslim umumnya untuk menjalin tali cinta, persaudaraan, dan persahabatan.
Namun, beliau juga berusaha mewujudkannya dalam tataran praktis di
masyarakat yang dibinanya di Madinah langsung selepas hijrah. Beliau
mempersaudarakan kaum Muhajirin dengan kaum Anshar. Dengan cara yang
demikian itu, beliau berupaya mempererat jaloinancinta, persaudaraan,
persahabatan, dan solidaritas di antara mereka. Semua itu sangat membantu
dalam mewujudkan stabilitas masyarakat di Madinah. Hal inilah yang
menjadikan kaum Muslim kala itu lebih leluasa dalam menyebarkan dakwah
Islamiyah.
Hari itu sebuah kafilahdagang memasuki perbatasan kota Makkah.
Kota yang satu ini, seperti diketahui, merupakan kota kelahiran Rasulullah
Saw. dan juga merupakan kota suci umat Muslim. Dalam Al-Qur’an, kota ini
juga disebut sebagai Bakkah, Umm Al-Qura (Ibu kota negara), Balad alBaldah (Negeri), Haram Amin (Tanah suci nan Aman), Wad Ghair Dzizar
(Lembah nan gersang), Ma’ad (Tempat kembali), dan Qaryah (Negeri). Jauh
sebelu ajaran Islam datang, kota suci ini sudah banyak dikunjungi jamaah
haji, selain sebagai pusat perdagangan. Pada masa Romawi dan Bizantium, di
kota ini diperdagangkan barang-barang dari India, Afrika Timur, dan dari
Timur Jauh sampai ke negara-negara mediterania. Hasil-hasil dari Timur
dikapalkan ke Aden, Yaman, dan dari sana diangkut kafilah unta menyusuri
pantai bafrat menuju Mesir, Damaskus, dan Eropa. Karena Makkah
merupakan pos utama lalu lintas kafilah, tak aneh jika kala itu sebagia nbesar
penduduk kota suci itu terlibat dalam perdagangan.
55
Kota suci yang didirikan oleh Ibrahim a.s. dan putranya, Isma’il a.s.,
ini secara geogrfis terletak dilembah yang dikitari gunung-gunung. Lembah
ini sekitar delapan kilometer memanjang dari barat ke timur dengan lebar
sekitar 3,2 kilometer. Gunung-gunung yang mengitari kota ini adalah: Jabal
Al-Falaj, Jabal Al-Qu’aiqaghan, Jabal La’ala, Jabal Kudai, Jabal Abu Qais,
Jabal Khandimah. Hampir seluruh gunung-gunung tersebut kini telah
berpenghuni.
Ketika kafilah dagang Makkah yang diikuit Abu Bakar Al-Shiddiq itu
memasuki perbatasan kota Makkah, mereka dijemput oleh serombongan kecil
penjemput yang yang dipimpin Amr’ bin Hisyam atau lebih dikenal dengan
panggilan Abu Jahal. Mereka pun saling berpelukan. Selepas berbagi sapa,
Abu Jahal kemudian membuka percakapan, ”Wahai ‘Atiq! (panggilan Abu
Bakar sebelum memeluk Islam) Apakah orang telah menceritakan kepadamu
tentang sahabat karibmu?”
”Apakah yang engkau maksudkan itu adalah Muhammad Al-Amin?”
tanya Abu Bakar penuh rasa ingin tahu. “Memang, yang kumaksudkan adalah
anak yatim dari Bani Hasyim itu!” Jawab Amr bin Hisyam geram. “Apakah
engkau mendengar sendiri apa yang dikatakannya, wahai ‘Amr?” tanya Abu
Bakar lebih lanjut.
“Ya, aku, dan semua orang mendengarnya!” jawab ‘Amr bin Hisyam
sangat ketus, ”Apa katanya?” tanya lagi ‘Amr bin Hisyam, semakin ketus.
“Dia mengutusnya kepada kita tuhan-tuhan yang disembah oleh nenek
moyang kita!”
56
“Apakah dia mengatakan bahwa Allah telah menyampaikan wahyu
kepadanya?” tanya Abu Bakar kembali. “Begitu yang dia katakan!” jawab
‘Amr bin Hisyam sangat ketus. “Apakah dia menceritakan bagaimana Allah
berbicara
dengannya?”
tanya
lagi
Abu
Bakar.
“Katanya,
Jibril
mendatangunya di Gua Hira!” jawab ‘Amr bin Hisyam hampir tak kuasa
meredam gelegak amarahnya.
Mendengar jawaban yang demikian itu, wajah Abu Bakar pun tampak
berbinar-binar, seolah saat itu sang surya hanya memendari dirinya. Dengan
tenang, dia kemudian berucap. “Jika kemudian, benarlah dia!”
Madinah, pagi hari senin, 12 Rabi’ul Al-Awwal 11 H/8 Juni 632 M.
Pagi itu Rasulullah Saw. merasa kesehatan beliau membaik. Tetappi, pada
sore harinya kesehatan beliau memburuk kembali. Beliau pingsan beberapa
kali. Walau menghadapi sakratulmaut, beliau tida pernah lupa kepada
Tuhannya. Beliau terus-menerus mengucapkan istighfar, “Ampunilah aku, ya
Allah”.
Sampai menjelang malam, pernapasan Rasulullah Saw. masih terlihat
lancar. bibir beliau membasahi tangan. Lalu beliau mengusapkannya ke muka
beliau. Beliau, yang berada di pangkuan ‘Aisyah binti Abu Bakar Al-Shiddiq,
kemudian mengangkat tangan dan menunjuk dengan jari beliau seraya
berkata tiga kali ”Ya Allah, perkenankanlah aku bertemu dengan Teman
Yang Maha Tinggi”.
Ruh Rasulullah Saw. pun kembali kepada Yang Memilikinya. Segera
berita kewafatan beliau tersebut menyebar di kalangan kaum Musloim. Dan,
57
segera terjadi perbedaan pendapat di antara para sahabat beliau, antara yang
yakin bahwa beliau telah kembali ke hadirat Allah Swt. dan yang berpendapat
bahwa beliau tidak wafat. ‘Umar bin Al-Khaththab termasuk yang tidak yakin
bahwa beliau telah wafat. Malah, dia mengancam orang yang mengatakan
sebaliknya dengan hukuman. Namun, ancamannya yang demikian itu tidak
dihiraukan Abu Bakar Al-Shiddiq.
Tanpa menghiraukan ucapan ‘Umar bin Al-Kaththab, Abu Bakar AlShiddiq yang baru menerima kabar tentang kewafatan rasulullah Saw.,
langsung menuju kamar ‘Aisyah, putrinya. Dia pun menemui beliau dan
menyingkap kain hibrah dari Yaman yang menutup wajah beliau. Selepas itu,
dia mencium wajah beliau dan berkata, “Demi sesungguhnya maut yang telah
ditetapkan Allah atas dirimu, sunggguh maut telah angkau rasakan kini. Dan,
setelah itu, tidak engkau rasakan lagi untuk selamanya!”.
Selepas menutup kembali kain penutup wajah itu, Abu Bakar AlShiddiq lantas keluar menemui khalayak ramai dan meminta mereka agar
menghentikan pembicaraan mereka. Lantas, dia meneruskan langkahlangkahnya, diikiuti orang-orang yang ingin mengetahui bagaimana kejadian
yang sebenarnya. Selepas memuji Allah, dia pun berkata, “Wahai saudarasaudaraku! Barang siapa menyembah Muhammad, ketahuilah bahwa
Muhammad telah wafat. Dan barang siapa menyembah Allah, Allah
Mahahidup dan tak akan mati.
Selepas itu Abu Bakar Al-Shiddiq membaca ayat Al-Qur’an,
“Muhammad tidak lain hanyalah seorang Rasul, sungguh telah berlalu
58
sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah jika Dia wafat atau dibunuh kamu
berbalik ke belakang (murtad)? Barangsiapa yang berbalik ke belakang,
Maka ia tidak dapat mendatangkan mudharat kepada Allah sedikitpun, dan
Allah akan memberi Balasan kepada orang-orang yang bersyukur”.(QS. Ali
Imran : 144)
‘Umar bin Al-Kaththab, selepas mendengar Abu Bakar AlShiddiqmembacakan ayat itu, jatuh tersungkur ke tanah. Kedua kakinya
sudah tak kuasa menahan lagi, selepas di yakin Rasulullah Saw. memang
sudah berpulang ke hadirat Allah Swt. Dan, semua orang terdiam selepas
mendengar dan melihat kenyataan itu.
Hari itu Al-Hasan Al-Bashri, saat itu baru berusia sekitar 13 tahun,
sedang berwudhu di sebuah masjid di Bashrah. Terkenal sebagai seorang
ulama generasi tabi’in dan sufi terkemuka abad 2 H/8 M, dia lahir di Madinah
pada 21 H/642 M, pada masa pemerintahan ‘Umar bon Al-Kaththab, dengan
nama lengkap Abi Sa’id Al-Hasan bin Abu Al-Hasan Yassar Al-Bashri.
Namun, kemudian keluarganya pindah ke Bashrah, selepas terjadinya perang
Shiffin pada 35 H/656 M, sehingga lebih terkenal dengan sebutan “AlBashri” (yang asal bashri). Dia tumbuh dewasa di Kota Nabi dalam
lingkungan yang salehdan mendalam pengetahuan agamanya. Tak aneh jika
selama bermukim di Kota Suci itu, dia bertemu tidak kurang dari 70 sahabat.
Pada 42 H/662 M, tokoh ini ikut serta dalam pasukan ‘Abdullah bin ‘Amir,
Gubernur Bashrah, dalam berbagai ekspedisi militer sampai ke Kabul. Dan,
59
dia baru kembali ke Bashrah pada 53 H/673 M dan meneta di kota itu sampai
berpulang ke hadirat Allah pada kamis, 1 Rajab 110 H/10 Oktober 728 M.
Tak lama kemudian seorang pria melintas dan memerhatikan dengan
cermat cara Al-Hasan Al-Bashri muda berwudhu. Lantas, ucapnya, “Wahai
anak muda! Berwudhulah dengan baik, niscaya Allah melimpahkan kebaikan
kepadamu”.
Usai berwudhu, Al-Hasan Al-Bashri menengadahkan kepalanya.
Betapa gembira hatinya ketika dia tahu, ternyata pria itu tidak lain adalah
Amirul Mukminin ‘Ali bin Abu Thalib. Dia pun segera berjalan cepat
mengikuti langkah-langkah sang khalifah. Ketika tahu anak muda itu
mengikutinya, sang khalifah pun bertanya, “Wahai anak muda, apakah
engkau mempunyai keperluan denganku?”
“Benar, wahai Amirul Mukminin! Berilah saya beberapa patah nasihat
yang berguna bagi saya, di dunia dan akhirat”, jawab Al-Hasan Al-Bashri.
Sang khalfah pun menghentikan langkah-langkahnya dan diam
bebrapa lam. Lantas, ucapnya, “Wahai anak muda! ketahuilah, orang yang
percaya kepada Allah, niscaya dia selamat. Barang siapa takut berbuat dosa,
niscaya dia terhindar dari perbuatan dosa. barang siapa hidip di dunia ini tak
mudah terpikat oleh pesona duniawi, diakhirat kelak dia akan bergembira
melihat pahala yang dikaruniakan Allah Swt. kepadanya”.
Usai berucap demikian, sang khalifah diam sejenak. Lantas, ucapnya,
“Wahai anak muda! Maukah engkau kuberi nasihat lain lagi?”.
60
“Tentu, ahai Amirul Mukminin”, jawab Al-Hasan Al-Bashri penuh
semangat.
“Wahai anak muda! Jika engkau merindukan pertemuan dengan Allah
di akhirat kelak, Allah tentu meridhaimu. Karena itu, hendaklah selama
engkau hidup di dunia ini tidak mudah terpikat oleh pesona duniawi dan
senantiasa mendambakan kehidupan akhirat. Engkau harus jujur dalam segala
urusanmu, agar kelak engkau termasuk orang-orang yang meraih keselamatan
di akhirat. Ingatlah, jika engkau benar-benar mencamkan nasihatku ini, insya
Allah engkau akan memperoleh manfaatnya”, pesan sang khalifah yang
kemudian melanjutkan perjalanannya.
BAB IV
ANALISISNILAI – NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM NOVEL
“PESAN INDAH DARI MAKKAH DAN MADINAH”
A. Analisis Novel Pesan Indah dari Makkah dan Madinah, dan Nilai
Pendidikan yang Terkandung di Dalamnya.
Analisis berarti penyelidikan terhadap suatu peristiwa, karangan, dan
sebagainya dengan tujuan untuk mengetahui keadaan yang sebenarnya.1
Dalam hal ini penulis akan menganalisis novel Pesan Indah dari
Makkah dan Madinah karya Ahmad Rofi’ Usmani dan nila-nilai pendidikan
akhlak yang terkandung di dalamnya.
1. Analisis Novel Pesan Indah dari Makkah dan Madinah Karya
Ahmad Rofi’ Usmani
Analsis novel akan dimulai dengan memahami unsur-unsur yang
terdapat dalam novel. Unsur-unsur tersebut adalah intrinsik dan
ekstrinsik.
Adapun unsur intrinsiknya, yang meliputi :
a. Tema
Novel ini ini bertemakan tentang teladan-teladan empat khalifah
(khulafaur rasyidin) bijak. Dengan bahasa yang indah dan menawan,
tentang
cinta,
persahabatan,
kemuliaan,
kepemimpinan,
kebijaksanaan, dan jalan menuju surga.
1
Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2007), hlm. 43
61
62
b. Latar atau Setting
Setting pada novel ini terjadi di kota Makkah dan Madinah. Dapat
dilihat pada halaman 41, sebagaimana yang telah dikutip
sebelumnya.
“Hari itu sebuah kafilah dagang memasuki perbatasan kota
Makkah. Kota yang satu ini, seperti diketahui, merupakan kota
kelahiran Rasulullah Saw. dan juga merupakan kota suci umat
Muslim…””
c. Sudut Pandang atau Point of View
Dalam novel ini pengarang menggunakan sudut pandang impersonal,
karena pengarang sama sekali berdiri di luar cerita, ia serba melihat,
serba mendengar, serba tahu.
d. Alur atau plot
Jalan cerita dalam novel ini menggunakan alur maju dan mundur
atau gabungan. Merupakan perpaduan antara alur maju dan alur
mundur. Susunan penyajian urutan peristiwa diawali dengan puncak
keterangan, lalu dilanjutkan dengan perkenalan dan diakhiri
penyelesaian
e. Penokohan
Tokoh utama dalam novel ini adalah Abu Bakar Al-Shiddiq, ‘Umar
bin khaththab, ‘Usman bin ‘Affan, dan ‘Ali bin Abu Thalib. Dengan
watak yang hampir sama yakni bijaksana dalam bertindak dan
berucap.
63
f. Amanat
Dalam novel ini banyak sekali amanat yang disampaikan pengarang.
Beberapa amanat yang disampaikan oleh pengarang:
1) Jabatan adalah hak setiap masyarakat dan tidak boleh digunakan
macam-macam. Seperti pada halaman 108. Berikut kutipannya:
“Jabatan sendiri sejatinya bukan hak pribadi ataupun
turunan, tetapi ia hak masyarakat. Karena itu, jangankan
suap, hadiah dalam kaitan jabatan pun terlarang
menerimanya.”
2) Janganlah jabatan itu di cari!. Seperti pada halaman 124. Berikut
kutipannya:
“Sadarlah engkau, wahai ‘Amr! Engkau akan berada
dibawah kepemimpinannya. Ketahuilah, sejatinya orang
yang memburu keinginan menjadi pemimpin hanyalah
karena persoalan kehormatan di dunia. ‘Amr, hendaklah
engkau takut kepada Allah. Kalau tidak karena Allah,
janganlah engkau dengan usahamu itu sengaja engkau cari.
Berangkatlah dengan pasukanmu itu. Kalau sekali ini bukan
engkau yang memegang pimpinan, insya Allah tak lama lagi
engkaulah yang akan memegang pimpinan teratas.”
3) Mengingatkan pemimpin yang tak adil. Seperti pada halaman
146. Berikut kutipannya:
“Demi Allah, kami tidak akan menedengarkannya!” tukas
salah seorang yang hadir kala itu dengan nada suara sangat
ketus. ”Demi Allah, kami tidak akan menyimaknya!”
“Kenapa, wahai Salman?” tanya sang khalifah kaget dan
penuh tanda taya.
“Ya,” jawab Salman Al-Farisi, oraang yang menukas
tersebut, kecewa, “karena engkau mengistimewakan diirmu
sendiri dibandingkan dengan kami dalam pembagian baju
kemarin: kami masing-masing hanya diberi sehelai baju,
sedangkan engkau sendiri mengambil dua helai!”
Betapa kaget ‘Umar bin Al-Kaththab mendengar jawaban
Salman Al-Farisi yang demikian itu. Sejenak kemudian sang
khalifah melayangkan pandangannya ke khalayak raamai.
64
Dan, bebrapa saat kemudian, dia bertanya, “Dimankah
‘Abdullah bin ‘Umar?”
“Inilah saya, wahai Amirul Mukminin,” jawab ‘Abdullah,
putra sang khalifah, pelan seraya bangkit dari kuburnya.
“Abdullah! Kain siapakah yang sehelai lagi yang saya
kenakan ini?” tanya sang khalifah kepada putranya.
“Kain jatah saya, wahai Amirul Mukminin,” jawab sang
putra dihadapan khalayak ramai sambil menghadapkan
wjahnhya ke arah Salman Al-Farisi dan orang-orang
sekitarnya.
Mendengar jawaban sang putra, sang khalifah pun menarik
napas. Lega. Dan, kemudian ucapnya kepada khalayak
ramai, “Sebagaimana kalian ketahui, saya itu bertubuh
tinggi. Karena kain bagian saya pendek, ‘Abdullah pun
mmeberikan jatahnya kepada saya untuk menyambung baju
jatah saya.”
“Alhamdulillah, kini katakanlah pesanmu, wahai Amirul
Mukminin!
Kami
akan
mendengarkannya
dan
mematuhinya,” ucap Salman Al-Farisi mendengar jawaban
sang khalifah tersebut, dengan menahan lelehan air matanya
karena bangga dan kagum dengan perilaku dan sikap ‘Umar
bin Al-Kaththab.”
4) Meluruskan pemahaman yang keliru.Seperti pada halaman 197.
Berikut kutipannya:
“Aku sangat marah karena Hudzaifah mengatakan bahwa ia
tidak menyukai lebenaran!” jawab sang khalifah sangat
kesal dan geram.
“Ia benar karena tidak menyukai kematian, wahai Amirul
Mukminin. Bukanah kematian itu kebenaran?” ucap suami
Fatimah Al-Zahra’ itu membenarkan ucapan Hudzaifah bin
Al-Yaman.
“Ya!” jawab sang khalifah masih kesal. “Tapi, ia juga
mengatakan bahwa ia menyukai fitnah.”
“Ucapannya itu juga benar, wahai Amirul Mukminin, karena
ia menyukai harta dan anak-anak. Bukankah Allah
berfirman, Dan hanyalah fitnah (cobaan) (QS Al-Anfal :
28).”
“Benar,” tukas sang khalifah dengan nada suara yang tidak
lagi menggelegak karena marah. “Tapi, dia juga mengatakan
bahwa dia memercayai sesuatu yang tidak pernah
dilihatnya.”
“Wahai Amirul Mukminin. Itu memang benar, karena dia
memercayai keesaan Allah, ajal, kebangkitan kembali di hari
65
kiamat, surga, dan neraka. Bukankah dia tidak pernah
melihat semua itu?” papar ‘Ali bin Abu Thalib.
“Tapi, Abu Al-Hasan, dia juga mengatakan bahwa dia shalat
tanpa wudhu!” ucap sang kahlifah masih belum puas.
“Ucapannya itu juga benar, wahai Amirul Mukminin, karena
yang dia maksudkan adalah ucapan shalawat (shalawat
adalah kosa kata jamak bagi kosakata shalat) kepada Rasul
Saw.,” ucap Ali bin Abu Thalib yang seakan tak pernah
kehilangan khazanah jawaban.
“Tapi, yang paling ketelaluan dia mengaku mempunyai
sesuatu di bumi yang tidak dimiliki oleh Allah!” ucap sang
khalifah dengan nada tinggi.
“Wahai Amirul Mukminin,” jawab ‘Ali bin Abu Thalib
meredam amarah sang khalifah. “Dalam hal itu pun dia juga
tidak bersalah, karena di bumi ini dia mempunyai anak dan
istri, sedangkan Allah Mahasuci: Dia tidak beristri dan tidak
beranak.”
“Wahai Abu Al-Hasan!” Sungguh, anak ibunya ‘Umar
(maksudnya dirinya sendiri) nyaris celaka. Semupama tiada
engkau, celakalah ‘Umar,” ucap sang khalifah sangat kagum
dan puas dengan jawaban-jawaban menantu tercinta Rasul
Saw. tersebut.”
5) Bersikap kesatria saat berperang. Seperti pada halaman 227.
Berikut kutipannya:
“Namun, tiba-tiba tatkala dalam beberapa detik lagi pisau
‘Ali akan menghabisi nyawa lawan, tinggal bebrapa inci dari
dadanya, lawan iu meludahi muka ‘Ali, tepat mengenai mata,
hidung, dan mulutnya.
Tentu, ‘Ali sangat jijik dan marah. Namun, yang sangat
mengherankan, dalam keadaan darahnya menggelegak
karena merasa dihina dan dilecehkan, ‘Ali justru
melemparkan pisaunya kesamping. Lalu, dia segera berdiri,
dan kemudian dia menyuruh sang lawan pergi. Betapa
bingungnya sang lawan yang keras kepala tersebut. Dengan
nada tak percaya dia bertanya, “Mengapa kau lepaskan aku?
Mengapa engkau tidak jadi membunuhku? Gilakah engkau?
Padahal tadi, kalau tidak aku, pasti engkau yang mampus?”
“Untuk membunuhmu bisa kuselelsaikan lain kali!” jawab
suami Fatimah Al-Zahra’ itu sambil mengusap debu yang
masih menempel di bajunya, “Tapi, kalau aku membunuhmu
yang sekarang ini, itu kulakukan bukan karena Allah Swt.
semata, melainkan karena aku marah akibat kau ludahi.
Berbeda dari sebelumnya ketika aku betul-betul bertempur
66
atas dasar keyakinan untuk membela agama yang benar. Aku
tak ingin mengotori tanganku dan perjuanganku dengan
darah manusia karena alasan hawa nafsu. Betapapun
besarnya kemarahanku karena kau hina melewati
perbuatanmu meludahi wajahku tadi.”
6) Memperlakukan tawanan seperti sahabat. Seperti pada halaman
49. Berikut kutipannya:
“Tawanan-tawanan perang itu bukan orang lain. Mereka
masih keluarga kita sendiri. Ada yang terdekat dan ada pula
yang jauh. Ada yang masih dalam hubungan orang tua, ada
yang masih dalam hubungan anak dan paman. Begitulah
seterusnya. Karena itu, kasihi dan sayangilah mereka. Ada
dua pendapat yang bergejolak dalam benak saya, yang lebih
baik mereka dibebaskan. Jika tidak demikian, mereka dapat
dibebaskan jika keluarga mereka menebusnya dengan harta
mereka. Harta tebusan yang akan kita terima, kiranya dapat
digunakan untuk baiaya segala keperluan pertahanan kaum
Muslim. Kiranya dengan cara demikian, mereka mendapat
petunjuk dari Allah dan Allah mengarahkan hati mereka
pada petunjuk yang benar!”
7) Memaafkan istri tercinta yang bersikap kasar. Seperti pada
halaman 72. Berikut kutipannya:
“Sejatinya saya datang untuk mengadukan kepadamu perihal
keburukan perilaku istri saya. Tapi, ketika saya sampai
disini, saya mendengar istrimu ternyata bersikap demikian
pula kepadamu. Maka, saya berucap dalam hati, ‘Jika
demikian keadaan Amirul Mukmminin dengan istrinya,
betapa pula saya dengan istri saya. Saya pun membatalkan
niat saya tersebut dan bermaskud akan pulang.”
“Wahai saudaraku! Saya memaafkannya karena beberapa
sebab: ia adalah juru masak makananku, membuatkan roti
untukku, mencucikan pakaianku, dan menyusui anak-anakku.
Padahal, semua itu tidak wajib atas dirinya. Selain itu, ia
menenangkan hatiku dari perbuatan haram, karena itu saya
memaafkannya,” ucap ‘Umar bin Al-Kaththab menjelaskan.
“Waha Amirul Mukminin! Demikian pula halnya dengan istri
saya,” ucap sang tamu.
“Maafkanlah dia wahai saudaraku. Itu tidaklah lama kok!
saran sang khalifah itu.
67
8) Tidak membedakan antara raja dan hamba sahaya. Seperti pada
halaman 150. Berikut kutipannya:
“Ketika Jabalah bin Al-Aiham sedang berthawaf di seputar
Ka’bah, tiba-tiba seorang Arab Badui menginjak pakaian
yang dikenakannya. Merasa tidak senang, dia pun menampar
muka orang Badui itu hingga hidungnya berdarah. Lalu, dia
melanjutkan langkah-langkahnya, seakan tak pernah terjadi
apa pun. Mendapat perlakuan demikian itu, orang badui itu
pun menemui ‘Umar bin Al-Kaththab ddan melaporkan
kejadian yang dialaminya. Maka, ‘Umar segera memanggil
jabalah dan berucap kepadanya, “Jabalah bin Al-Aiham.
Kita semua tiada bedanya di hapapan hukum. Juga, tiada
bedanya antara raja dan hamba sahaya. Jabalah, aku telah
menerima keluhan mengenai apa yang engkau lakukan
terhadap saudaramu ini. Bagimu ada pilihan: saudaramu ini
menerima perlakuanmu dan memaafkanmu, atau engkau
membiarkannya menamparmu seperti halnya engkau telah
menamparnya”
9) Menjawab dengan sabar setiap pertanyaan. Seperti pada halaman
234. Berikut kutipannya:
“Wahai Amirul Mukminin! Apakah engkau dapat melihat
Tuhan?”
“Celakalah engkau, hai Dza’lab! Tidak mungkin aku
menyembah Tuhan yang tidak kulihat,” jawab ‘Ali bin Abu
Thalib.
“Bagaimana engkau melihat-Nya? Cobalah jelaskan kepada
kami bagaimana rupa-Nya?” tanya Dza’lab lebih lanjut.
“Engkau memang orang yang benar-benar celaka, hai
Dza’lab!” ucap sang khlaifah. “Allah tidap dapat dilihat
dengan daya penglihatan mata, tapi dapat dilihat dengan
mata hati melewati keimanan! Ketahuilah, hai Dza’lab,
Tuhanku tidak dapat disebut jauh atau dekat, bergerak atau
diam, dan tidak bisa pula disebut datang atau pergi. Tuhanku
Mahalembut, tapi tidak dapat disebut sebagai sesuatu yang
lembut. Dia Mahabesar, tapi tidak dapat disebut sebagai
yang besar. Dia Mahatinggi dan Mahamulia, tapi tidak dapat
disebut sebagai sesuatu yang keras dan kasar. Dia Maha
Pengasih dan Maha Penyayang, tapi tidak dapat disebut
sebagai sesuatu yang lemah. Dia diimani bukan dengan
ibadah (yakni ibadah jasmani semata). Dia dapat dijangkau
bukan dengan sentuhan daya indra. Dia berfirman bukan
68
dengan kata-kata. Dia berada pada segala sesuatu tanpa
bersenyawa (manunggal). Dia berada di luar segala sesuatu,
tapi tidak jauh. Dia diatas segala sesuatu, tapi tidak dapat
disebut berada di atas. Dia di depan segala sesuatu, tapi
tidak dapat disebut berada di depan. Dia berda di dalam
sesuatu, tapi tidak seperti berada di dalam sesuatu. Dia
berada di luar segala sesuatu, tapi tidak seperti sesuatu yang
keluar dari sesuatu.”
Ketika jawaban sang khalifah sampai pada kalimat terakhir,
Dza’lab benar-benar tertegun. Sejaenak kemudian, dia
mengucapkan istighfar dan berucap,” Demi Allah, saya
belum pernah mendengar jawaban seperti itu. saya sumpah
tidak akan berbuat lagi serupa tadi!”
10) Memuliakan orang yang berusia lanjut. Seperti pada halaman
287. Berikut kutipannya:
“Suatu saat pada waktu subuh, ‘Ali bin Abu Thalib tergesagesa memburu shalat berjamaah di Masjid Nabawi,
Madinah. Namun, langkahnya terhambat oleh langkah pria
lanjut usia yang berjalan lamban sekali didepannya.
‘Ali bin Abu Thalib pun melambatkan langkahnya untuk
mengikuti untuk mengikuti di belakang orang laanjut usia itu,
demi menghormati ketuaannya. Kecemasan ‘Ali memuncak,
karena sebentar lagi shalat jama’ah yang dipimpin
Rasulullah Saw. akan usai. Ternyata, orang tua itu tidak
memasuki masjid. Tahulah ‘Ali, pria itu adalah seorang
Nasrani.
Malaikat Jibril berkata kepada Rasulullah Saw.”Wahai
Muhammad! Sesungguhnya tadi itu hanya karena ‘Ali
tergesa-gesa mengejar shalat berjamaah, tapi terantuk
langkah seorang laki-laki Nasrani tua yang tidak dikenalnya,
‘Ali menghormatinya karena ketuaanya, tak berani
mendahuluinya, serta memeberi hak orang itu berjalan.
Maka, Allah memerintahkanku untuk menetapkanmu dalam
keadaan ruku’ hingga ‘Ali bisa menyusul shalat jamaah ini.
Tapi, ini tidak mengherankan. Yang sangat mengherankan,
Allah telah memerintahkan malaikat Mikail mengekang laju
matahari, agar waktu subuh menjadi panjang. Itu semua
dilkakukan demi ‘Ali.
Lalu Rasul Saw, berucap, “Itulah derajat seseorang yang
memuliakan orang tua, meski orang tua itu Nasrani.”
69
g. Gaya bahasa (majas)
Gaya
bahasa
(majas)
berdasarkan
struktur
kalimat
yang
digunakannya memperlihatkan gaya penyampaian cerita yang sangat
deskriptif, memotret sesuatu dengan sangat detail. Serta pemanfaatan
gaya bahasa berdasarkan langsung tidaknya makna membuat
pengungkapan bisa lebih tersembunyi namun mengandung efek
estetika makna yang dalam.
Beberapa gaya bahasa yang digunakan pengarang antara lain:
1) Perumpamaan, adalah perbandingan dua hal yang pada
hakikatnya berkaitan dan yang sengaja dianggap sama. Seperti
pada halaman 197. Berikut kutipannya:
“Aku kini menjadi orang yang tidak menyukai kebenaran.
Aku menyukai fitnah. Aku shalat tanpa wudhu. Dan aku
mempunyai sesutu di bumi yang tidak dimiliki Allah di
langit!”
Kemudian pada halaman 119. Berikut kutipannya:
“Berapa lamakah kita akan menikmati hal yang baik ini
(maksudnya Islam) yang dikaruniakan Allah selepas masa
jahiliah?”
2) Polisidenton, adalah gaya bahasa yang menyebutkan beberapa
hal dengan menggunakan kata penghubung. Seperti pada
halaman 118. Berikut kutipannya:
“Aku akan mengangkat pemimpin atas kalian dan memegang
hak kuasa mereka atas kalian. Karena itu, taatlah kepada
Allah, dan janganlah melanggar perintah pemimpinpemimpin kalian. Hendaklah kalian berniat baik dan
memperbaiki perilaku kalian. Sungguh, Allah bersama
orang-orang yang bertakwa dan berbuat baik.
70
3) Ironi, adalah gaya bahasa yang menyatakan makna yang
berlawanan atau bertentangan, dengan maksud menyindir.
Seperti pada halaman 201. Berikut kutipannya:
“Wahai Amirul Mukminin! Engkau memberi perempuan itu
terlalu banyak”
4) Hiperbola, adalah gaya bahasa yang menyatakan sesuatu dengan
berlebih-lebihan. Seperti pada halaman 197. Berikut kutipannya:
“Terimalah hidangan dari kami, Karena jika ayahku datang
dan mendapatkan kalian belum menyantapnya, tentu kami
akan kena marah”
Diatas adalah unsur novel dari segi intrinsik, adapun segi
ekstrinsik dari novel ini adalah unsur-unsur yang berada di luar karya
sastra itu, tetapi secara tidank langsung mempengaruhi bangunan karya.
Adapun unsur ekstrinsik ini ialah pengarangnya itu sendiri yaitu Ahmad
Rofi’ Usmani. Ahmad Rofi’ Usmani, lahir di Cepu, Jawa Tengah, 26
Januari 1953. Alumnus dan mantan pengurus Pondok Pesantren Krapyak
Yogyakarta (1973-1974), kala itu di bawah pimpinan K.H. Ali Maksum
(alm.) yang pernah menjadi Rois Am Syuriyah Pengurus Besar Nahdlatul
Ulama, ini menyelesaikan S1 Fakultas Syariah Institut Agama Islam
Negeri (IAIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta, pada 1977. Selepas itu, pada
1978, dia diterima di Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar, Kairo,
Mesir.
Selama sekitar enam tahun di Mesir, mantan Ketua Lembaga
Penelitian Ilmiah Persatuan Pelajar Indonesia di Mesir (1981-1983) ini
71
juga menghadiri program pascasarjana di bidang sejarah dan kebudayaan
Islam di Fakultas Dar Al-‘Ulum, Universitas Kairo, Kairo, Mesir. Di sisi
lain, selama itu pula, dia juga mempelajari dan mendalami bahasa
Prancis di Lembaga Kebudayaan Prancis di Kairo.
Sekembalinya ke tanah air, pada 1984, suami seorang dokter
spesialis penyakit dalam ini kemudian berkiprah di bidang media massa,
antara lain menjadi Pemimpin Pelaksana majalah Panggilan Adzan dan
Redaktur Ahli majalah Kiblat (1988-1992).
Selain itu, ayah dua putri yang pernah mengunjungi sejumlah
negara, antara lain Arab Saudi, Mesir, Pakistan, Brunei Darussalam,
Thailand, Singapura, Malaysia, Jerman, Uni Emirat Arab, Austria,
Prancis, Luksemburg, dan Korea ini selalu meluangkan sebagian
waktunya untuk menerjemahkan, menyunting, dan menyusun buku.
2. Analisis Nilai-Nilai Pendidikan Akhlak dalam Novel Pesan Indah
dari Makkah dan Madinah
Nilai pendidikan Islam (akhlak) adalah hal yang melekat pada
peendidikan Islam (akhlak) yang digunakan sebagai dasar manusia untuk
mencapai tujuan hidup manusia yang mengabdi pada Allah, dan nilainilai tersebut perlu ditanamkan pada anak-anak sejak usia kecil karena
pada masa tersebut adalah masa yang tepat untuk menanamkan kebiasaan
baik.
72
Adapun nilai-nilai pendidikan akhlak yang terkandung dalam
novel “Pesan Indah dari Makkah dan Madinah”, adalah:
a. Akhlak terhadap orang tua, tercermin pada halaman 278. Beikut
kutipannya:
“langkahnya terhambat oleh langkah pria lanjut usia yang
berjalan lamban sekali didepannya.
‘Ali bin Abu Thalib pun melambatkan langkahnya untuk
mengikuti untuk mengikuti di belakang orang laanjut usia itu,
demi menghormati ketuaannya. Kecemasan ‘Ali memuncak,
karena sebentar lagi shalat jama’ah yang dipimpin
Rasulullah Saw. akan usai. Ternyata, orang tua itu tidak
memasuki masjid. Tahulah ‘Ali, pria itu adalah seorang
Nasrani.
Malaikat Jibril berkata kepada Rasulullah Saw.”Wahai
Muhammad! Sesungguhnya tadi itu hanya karena ‘Ali
tergesa-gesa mengejar shalat berjamaah, tapi terantuk
langkah seorang laki-laki Nasrani tua yang tidak dikenalnya,
‘Ali menghormatinya karena ketuaanya, tak berani
mendahuluinya, serta memeberi hak orang itu berjalan.
maka, Allah memerintahkanku untuk menetapkanmu dalam
keadaan ruku’ hingga ‘Ali bisa menyusul shalat jamaah ini.”
Khalifah ‘Ali bin Abu Thalib menghormati orang tua Nasrani
tersebut karena ketuaanya, tak berani mendahuluinya, serta
memeberi hak orang itu berjalan.Maka, Allah memerintahkan
Malaikat Jibril untuk menetapkan Rasulullah Saw. dalam keadaan
ruku’ hingga ‘Ali bisa menyusul shalat jamaah. Tapi, ini tidak
mengherankan.
Yang
sangat
mengherankan,
Allah
telah
memerintahkan malaikat Mikail mengekang laju matahari, agar
waktu subuh menjadi panjang. Itu semua dilkakukan demi ‘Ali.
Itulah derajat seseorang yang memuliakan orang tua, meski
orang tua itu Nasrani sekalipun.
73
b. Akhlak terhadap Allah, tercermin pada halaman 227. Beikut
kutipannya:
“saat itu ‘Ali bin Abu Thalib sedang terlihat adu pedang
dengan seorang panglima lawan yang tangguh. …. “Namun,
tiba-tiba tatkala dalam beberapa detik lagi pisau ‘Ali akan
menghabisi nyawa lawan, tinggal bebrapa inci dari dadanya,
lawan iu meludahi muka ‘Ali, tepat mengenai mata, hidung,
dan mulutnya.
Tentu, ‘Ali sangat jijik dan marah. Namun, yang sangat
mengherankan, dalam keadaan darahnya menggelegak
karena merasa dihina dan dilecehkan, ‘Ali justru
melemparkan pisaunya kesamping. Lalu, dia segera berdiri,
dan kemudian dia menyuruh sang lawan pergi. Betapa
bingungnya sang lawan yang keras kepala tersebut. Dengan
nada tak percaya dia bertanya, “Mengapa kau lepaskan aku?
Mengapa engkau tidak jadi membunuhku? Gilakah engkau?
Padahal tadi, kalau tidak aku, pasti engkau yang mampus?”
“Untuk membunuhmu bisa kuselelsaikan lain kali!” jawab
suami Fatimah Al-Zahra’ itu sambil mengusap debu yang
masih menempel di bajunya, “Tapi, kalau aku membunuhmu
yang sekarang ini, itu kulakukan bukan karena Allah Swt.
semata, melainkan karena aku marah akibat kau ludahi.
Berbeda dari sebelumnya ketika aku betul-betul bertempur
atas dasar keyakinan untuk membela agama yang benar. Aku
tak ingin mengotori tanganku dan perjuanganku dengan
darah manusia karena alasan hawa nafsu. Betapapun
besarnya kemarahanku karena kau hina melewati
perbuatanmu meludahi wajahku tadi.”
Khalifah ‘Ali bin Abu Thalib tidak membunuh panglima
yang meludahi wajahnya karena jika dilakukan dia bukan karena
Allah Swt. semata, melainkan karena beliau marah akibat diludahi.
Beliau tak ingin mengotori tangannya dan perjuangannya dengan darh
manusia karena alasan hawa nafsu.
c. Nilai Amanah, tercermin pada halaman 108. Berikut kutipannya:
“Jabatan sendiri sejatinya bukan hak pribadi ataupun
turunan, tetapi ia hak masyarakat. Karena itu, jangankan
74
suap, hadiah dalam
menerimanya.”
kaitan
jabatan
pun
terlarang
Kemudian pada halaman 124, berikut kutipannya:
“Sadarlah engkau, wahai ‘Amr! Engkau akan berada
dibawah kepemimpinannya. Ketahuilah, sejatinya orang
yang memburu keinginan menjadi pemimpin hanyalah
karena persoalan kehormatan di dunia. ‘Amr, hendaklah
engkau takut kepada Allah. Kalau tidak karena Allah,
janganlah engkau dengan usahamu itu sengaja engkau cari.
Berangkatlah dengan pasukanmu itu. Kalau sekali ini bukan
engkau yang memegang pimpinan, insya Allah tak lama lagi
engkaulah yang akan memegang pimpinan teratas.”
d. Nilai Kesabaran, tercermin pada halaman 234. Berikut kutipannya:
“Wahai Amirul Mukminin! Apakah engkau dapat melihat
Tuhan?”
“Celakalah engkau, hai Dza’lab! Tidak mungkin aku
menyembah Tuhan yang tidak kulihat,” jawab ‘Ali bin Abu
Thalib.
“Bagaimana engkau melihat-Nya? Cobalah jelaskan kepada
kami bagaimana rupa-Nya?” tanya Dza’lab lebih lanjut.
“Engkau memang orang yang benar-benar celaka, hai
Dza’lab!” ucap sang khlaifah. “Allah tidap dapat dilihat
dengan daya penglihatan mata, tapi dapat dilihat dengan
mata hati melewati keimanan! Ketahuilah, hai Dza’lab,
Tuhanku tidak dapat disebut jauh atau dekat, bergerak atau
diam, dan tidak bisa pula disebut datang atau pergi. Tuhanku
Mahalembut, tapi tidak dapat disebut sebagai sesuatu yang
lembut. Dia Mahabesar, tapi tidak dapat disebut sebagai yang
besar. Dia Mahatinggi dan Mahamulia, tapi tidak dapat
disebut sebagai sesuatu yang keras dan kasar. Dia Maha
Pengasih dan Maha Penyayang, tapi tidak dapat disebut
sebagai sesuatu yang lemah. Dia diimani bukan dengan
ibadah (yakni ibadah jasmani semata). Dia dapat dijangkau
bukan dengan sentuhan daya indra. Dia berfirman bukan
dengan kata-kata. Dia berada pada segala sesuatu tanpa
bersenyawa (manunggal). Dia berada di luar segala sesuatu,
tapi tidak jauh. Dia diatas segala sesuatu, tapi tidak dapat
disebut berada di atas. Dia di depan segala sesuatu, tapi tidak
dapat disebut berada di depan. Dia berda di dalam sesuatu,
tapi tidak seperti berada di dalam sesuatu. Dia berada di luar
segala sesuatu, tapi tidak seperti sesuatu yang keluar dari
sesuatu.”
75
Ketika jawaban sang khalifah sampai pada kalimat terakhir,
Dza’lab benar-benar tertegun. Sejaenak kemudian, dia
mengucapkan istighfar dan berucap,” Demi Allah, saya
belum pernah mendengar jawaban seperti itu. saya sumpah
tidak akan berbuat lagi serupa tadi!”
Kemudian pada halaman 72, berikut kutipannya:
“Sejatinya saya datang untuk mengadukan kepadamu perihal
keburukan perilaku istri saya. Tapi, ketika saya sampai disini,
saya mendengar istrimu ternyata bersikap demikian pula
kepadamu. Maka, saya berucap dalam hati, ‘Jika demikian
keadaan Amirul Mukmminin dengan istrinya, betapa pula saya
dengan istri saya. Saya pun membatalkan niat saya tersebut
dan bermaskud akan pulang.”
“Wahai saudaraku! Saya memaafkannya karena beberapa
sebab: ia adalah juru masak makananku, membuatkan roti
untukku, mencucikan pakaianku, dan menyusui anak-anakku.
Padahal, semua itu tidak wajib atas dirinya. Selain itu, ia
menenangkan hatiku dari perbuatan haram, karena itu saya
memaafkannya,” ucap ‘Umar bin Al-Kaththab menjelaskan.
“Waha Amirul Mukminin! Demikian pula halnya dengan istri
saya,” ucap sang tamu.
“Maafkanlah dia wahai saudaraku. Itu tidaklah lama kok!
saran sang khalifah itu.
e. Nilai Keikhlasan, tercermin pada halaman 115. Berikut kutipannya:
“Umar bin Al-Khaththab kemudian mengusulkan kepada para
sahabat agar Abu Bakar Al-Shiddiq diberi tunjangan selaku
khalifah yang mengurusi kepentingan umum tanpa harus
mencari nafkah sendiri: separuh domba setiap hari ditambah
250 dinar setahun, yang kemudian dinaikkan menjadi seekor
domba setiap hari dan 300 dinar setahun. Mendengar usul
demikian, dan selepas merenungkan bahwa beban negara
akan lebih berat untuk dirangkap dengan perdagangan, dia
pun berucap, “Tugas ini tak sesuai dengan urusan dagang.
Untuk tugas ini dan mengurus umat seharusnya ditekuni
secara khusus, sedangkan untuk keluargaku dapat disediakan
gaji seperlunya.”
Usul itu akhirnya disetujui. Sejak itu, Abu Bakar Al-Shiddiq
tidak lagi membawa bongkokan kain ke pasar. Dan, dia hanya
menerima gaji dari Bait Al-Mal yang sekadar cukup untuk
memenuhi keperluannya dan keperluan keluarganya.”
76
Kemudian pada halaman 154. Berikut kutipannya:
“Ketika ‘Umar bin Al-Kaththab telah dekat dengan tempat
asal api, dia melihat seorang perempuan tengah baya sedang
mengaduk-aduk periuk di atas api, sedangkan anak-anaknya
menangis tiada hentinya. …………………
“’Umar pun meninggalkan perempuan papa itu langsung
kembali ke dalam kota Madinah, menuju Bait Al-Mal, untuk
mengambil dan mengangkat tepung gandum, sehingga
janggutnya memutih terekena tepung itu. Sahabatnya yang
menyertainya meminta dan bersedia memikul tepung gandum
itu ke tempat perempuan tadi. Tapi, ‘Umar menolak uluran
tangan itu seraya berkata, “Demi Allah! Sungguh saya
sebagai Amirul Mukminin telah bersalah membiarkan rakyat
kelaparan. Saya sangat takut pada azab Allah di akhirat kelak
atas ketelodaran ini, karena saya tidak memerhatikan
kehidupan rakyat. Bukankah setiap pemimpin kelak di akhirat
akan ditanya tentang orang-orang yang dipimpinnya. Apakah
yang akan saya jawabkan kelak dalam pertanyaa Tuhan
kepada saya?”
‘Umar pun kembali ke tempat perempuan yang ditinggalkan
itu dan menyerahkan tepung gandum itu untuk dimasak. Selain
itu, dia juga berpesan kepada perempuan itu agar esok
harinya datang kepada khalifah untuk melaporkan hal yang
telah terjadi. Esok harinya, selepas perempuan itu berhadapan
dengan khalifah, tahulah ia dengan siapa ia berhadapan, yang
telah memberikan serta memikul tepung gandum semalam.”
Kemudian pada halaman 202. Berikut kutipannya:
“Sang khalifah pun bertanya kepada utusan itu dengan
perasaan heran, “Siapakah Sa’id bin ‘Amir yang namanya
tertulis di sini?”
“Ia adalah gubernur kami, wahai Amirul Mukminin,” jawab
mereka.
“Gubernur kalian? Gubernur kalian orang miskin?” tanya
sang khalifah kaget dan penasaran.
“Demi Allah! Memang, dia adalah seorang miskin. Malah,
pernah hingga berhari-hari dapurnya tak mengepulkan asap,
wahai Amirul Mukminin.” jawab utusan itu apa adanya.
Mendengar jawaban para utusan tersebut, air mata sang
khalifah pun meleleh. Ketika utusan itu meminta izin untuk
meninggalkan Madinah, ‘Umar bin Al-Khaththab menitipkan
uang seribu dinar untuk gubernur mereka. Dan ketika itu
sampai ke Homs, titipan khalifah pun disampaikan kepada
Sa’id bin ‘Amir. Utusan itu berharap, sang gubernur akan
77
gembira menerima kiriman tersebut. Namun, kenyataannya
berbeda sama sekali.
“Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun,” seru Sa’id bin ‘Amir
selepas melihat uang begitu banyak itu.
Mendengar ucapan Sa’id bin ‘Amir yang demikian, istrinya
pun keluar dari dalam rumah seraya bertanya, “Apa yang
terjadi? Khalifah meninggal dunia?”
“Bukan!” jawab Sa’id bin ‘Amir. “Tapi, lebih besar dari itu.
Ancaman duniawi bakal merasuk jiwaku. Akibatnya, amal
kebajikanku selama ini bakal rusak.”
Kemudian Sa’id bin ‘Amir menceritakan kepada istrinya
perihal kiriman dari khalifah tersebut. Lantas, ucapnya,
“Bagaimana kita akan menerima uang ini, sedangkan masih
banyak rakyat kita yang lebih memerlukan daripada kita.”
Suami-istri itu akhirnya sepakat, uang itu akan dibagikan
kepada kaum fakir dan miskin di Homs.”
B. Pelaksanaan Nilai-Nilai Pendidikan Akhlak dalam novel “Pesan Indah
dari Makkah dan Madinah” Karya Ahmad Rofi’ Usmani
Dalam penelitian ini, nilai-nilai pendidikan akhlak yang terkandung
dalam novel ”Pesan Indah dari Makkah dan Madinah”, diantaranya adalah :
1. Akhlak terhadap Orang Tua
Akhlak terhadap orang tua (bapak dan ibu) adakalanya ketika
mereka masih hidup dan adakalanya mereka sudah meninggal dunia.
a. Akhlak terhadap orang tua ketika masih hidup.
Orang tua adalah orang secara jasmani menjadi asal keturunan anak.
Seorang anak kandung merupakan bagian dari darah daging orang
tuanya. Sehingga apa yang dirasakan oleh anaknya juga dirasakan
oleh orang tuanya demikian sebaliknya.
Itu pula yang menjadi sebab secara kudrati setiap orang tua
menyayangi dan mencintai anaknya sebagaimana menyayangi diri
78
sendiri. Kasih sayang mereka curahkan semenjak anak masih dalam
kandungan sampai lahir bahkan sampai tua.
Orang tua tidak mengharapkan balas jasa dari anak atas semua
pengorbanan yang telah diberikan. Harapan orang tua hanya satu
yaitu kelak anaknya menjadi anak yang soleh solehah, anak yang
dapat memberi kebahagiaan dunia dan anak yang mendoakan
mereka setelah mereka meninggal dunia.
Atas dasari itu, anak harus berbaakti kepada orang tua baik mereka
masih hidup ataupun setelah mereka meninggal dunia.
b. Akhlak terhadap orang tua yang sudah meninggal dunia
Orang tua yang sudah meninggal dunia tidak dapat lagi menerima
apa-apa, selain apa yang mereka lakukan di dunia kecuali mereka
mempunyai tiga perkara, yaitu: amal jariyah, ilmu yang diajarkan,
dan anak soleh yang selalu mendoakannya.
Orang tua yang sudah meninggal masih memliki hak mendapatkan
limpahan pahala dari doa yang disampaikan anaknya. Hal ini juga
berarti bahwa anak memiliki kewajiban mendoakan orang tuanya
yang sudah meninggal.
Kita sebagai anak, meskipun apabila orang tua kita sudah wafat,
mereka tetap wajib dihormati. Oleh sebab itu kewajiban anak
terhadap orang tua berlanjut sampai mereka wafat.
79
2. Akhlak terhadap Allah
Akhlak terhadap Allah dapat diartikan sebagai sikap atau
perbuatan yang seharusnya dilakukan oleh manusia sebagai makhluk
Tuhan. Berkenaan dengan kahlak kepada Allah dilakukan dengan cara
memuji-Nya, yakni menjadikan Tuhan sebagai satu-satunya yang
menguasai diri kita. Oleh sebab itu kita sebagai hamba Allah mempunyai
cara-cara yang tepat untuk mendekatkan diri. Adapun cara-caranya
adalah sebagai berikut :
a. Mentauhidkan Allah, yaitu dengan tidak menyekutukan-Nya kepada
sesuatu apapun. Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam surat AlIkhlas ayat 1-4.
b. Bertaqwa kepada Allah, maksudnya dengan berusaha semaksimal
mungkin untuk dapat melaksanakan apa-apa yang telah Allah
perintahkan dan meninggalkan apa-apa yang dilarang-Nya.
c. Beribadah kepada Allah, sebagaimana yang telah dijelaskan dalam
surat Al-An’am ayat 162, Al-Mu’min ayat 11 dan 65, serta surat AlBayyinah ayat 7 dan 8.
d. Taubat, sebagai seorang manusia biasa, kita juga tidak akan pernah
luput dari sifat salah dan lupa. Karena ini memang menjadi tabiat
manusia. Oleh sebab itu, ketika kita terjerumus dalam kesalahan dan
dosa hendaklah segera bertaubat kepada Allah, sebagaimana
dijelaskan dalam surat Ali Imron ayat 135.
80
e. Membaca al-Qur’an, seseorang yang mencintai sesuatu tentulah ia
akan banyak dan sering menyebutnya. Demikian juga dengan
mukmin yang mencintai Allah, tentu akan selalu menyebut nama
Allah dan juga senantiasa akan membaca firman-Nya. Dalam sebuah
hadis Rasul menjelaskan bahwa kelak dihari kiamat, Al-Qur’an akan
memberi syafa’at kepada orang yang gemar membacanya.
f. Ikhlas, yaitu beramal semata-mata mengharapkan ridha Allah atau
dengan kata lain berbuat tanpa pamrih.
g. Khauf dan raja’, yaiut takut dan harap. Maksudnya adalah sepasang
sikap batin yang harus dimiliki secara seimbang oleh setiap muslim.
h. Tawakkal, adalah membebaskan diri dari segala kebergantungan
kepada selain Allah dan menyerahkan kepurtusan segala sesuatunya
kepada Allah. Tawakkal harus diawali dengan kerja keras dan usaha
yang maksimal. Bukanlah dinamakan tawakkal kalau hanya pasrah
menunggu nasib sambil berpangku tangan tanpa melakukan apa-apa.
3. Nilai Amanah
Dalam surat An-Nisa’ ayat 58, dijelaskan bahwa amanah tidak
hanya menyangkut urusan material dan hal-hal yang bersifat fisik. Katakata adalah amanah, menunaikan hak Allah adalah amanah, berlaku baik
kepada sesama manusia amanah.
Jadi selain kita menjaga kepercayaan, kita juga harus menjaga
kata-kata, menunaikan hak Allah serta selalu berbuat baik kepada
sesama. Amanah berarti kepercayaan jujur, setia dalam menjalankan
81
sesuatu tugas dan tanggung jawab. Dalam hal ini cara yang terbaik
adalah menghormati hak-hak yang dimiliki oleh anak.
4. Nilai Kesabaran
Sabar merupakan sikap tegar dalam menghadapi ketentuan dari
Allah. Kesabaran adalah ketenangan hati dalam menghadapi cobaan,
kesabaran adalah kata yang indah dan mudah untuk diucapkan. Namun,
tidak banyak orang yang mampu melaksanakan. Dan derajat kesabaran
inilah yang sesungguhnya membedakan antara hidup orang sukses
dengan orang yang gagal dalam aktivits hidupnya. Terkait dengan ini,
seorang bijak mengatakan bahwa orang sukses adalah orang yang terus
mencoba meskipun telah mengalami banyak kegagalan. Ia memandang
kehidupan sebagai peluang untuk mencapai kesuksesan.
Kesabaran bukan proses diam dan pasif, melainkan proses aktif,
tubuh aktif dan iman yang aktif. Justru dari musibah yang disikapi
dengan kesabaran akan turun rahmat dan petunjuk dari Allah.
Dengan kata lain, di dunia ini tidak ada sesuatu kesuksesan apa
pun
yang tidak
dapat
diraih oleh orang-orang
yang mampu
mempersiapkan dirinya secara baik dan mendapatkannya dengan penuh
kesabaran.
5. Nilai Keikhlasan
Ikhlas berarti rela, dengan tulus hati, atau rela hati.2 Rasa ikhlas
bisa berkaitan dengan kebahagiaan. Jika kita dapat membuat dan
2
Sutan Rajasa, Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya: Karya Utama, 2002), hlm. 229.
82
mengkondisikaan suasana hati sedemikian rupa pada posisi ikhlas maka
kita akan merasa bahagia dan tenang. Dengan sebuah keikhlasan
menerima apa yang terjadi akan membuat kita kembali menatap suatu
kejadian dengan suat upesona. Terima dengan ikhlas apa yang kita
miliki, apa yang terjadi, dan apa yang telah menimpa kita. Maka kita
tidak akan lagi merasa terbebani dalam hidup ini.
Dengan nilai-nilai akhlak yang ditampilkan dalam tokoh, kita dapat
mencontoh mereka yang mempunyai karakteristik bijaksana dalam bertindak,
menyayangi keluarga, sabar dalam menghadapi segala ujian, dan taat kepada
Allah.
Dengan mencontoh sifat dan sikap keempat khalifah bijak, kita juga
hendaknya mampu mengaplikasikan nilai-nilai akhlak yang terkandung dalam
novel. Misalnya kita hendaknya selalu bersabar dalam menjalani hidup,
bersabar dalam mendidik anak, karena secara tidak langsung kita juga telah
mengaplikasikan metode teladan, sehingga anak akan meniru menjadi sabar
dalam kesehariaannya.
Dan nilai-nilai akhlak lainnya seperti amanah, akhlak kepada Allah,
kepada orang tua dan orang yang lebih tua, serta nilai keikhlasan hendaknya
kita tanamkan sedini mungkin pada anak-anak sehingga nilai tersebut benarbenar menjadi karakter dalam diri anak hingga usia dewasa.
BAB V
PENUTUP
A. Simpulan
Setelah meneliti novel Pesan Indah dari Makkah dan Madinah dari
berbagai unsur, maka dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Nilai-nilai pendidikan akhlak yang terdapat dalam novel Pesan Indah
dari Makkah dan Madinah, berdasar hasil analisis nilai-nilai pendidikan
akhlak tersebut terdapat lima nilai. Yaitu: (a) Akhlah terhadap Orang tua,
(b) Akhlak terhadap Allah, (c) Amanah, (d) Kesabaran, yang merupakan
ketenangan hati dalam menghadapai cobaan, (e) Keikhlasan, yaitu
ketulusan hati. Namun juga terdapat banyak amanat pendidikan yang
terkandung dalam novel ini, seperti: patuh pada pemimpin, tidak
meninggalkan sholat, tidak putus asa, selalu berbuat baik.
2. Pelaksanaan nilai-nilai pendidikan akhlak yang terkandung dalam novel
Pesan Indah dari Makkah dan Madinah, adalah sebagai berikut: Akhlak
terhadap Allah, Akhlak terhadap Allah dapat diartikan sebagai sikap atau
perbuatan yang seharusnya dilakukan oleh manusia sebagai makhluk
Tuhan. Adapun caranya adalah sebagai berikut: Mentauhidkan Allah
Allah, bertaqwa kepada Allah, beribadah kepada Allah, melakukan
taubat, membaca Al-Qur’an, menerima dengan ikhlas, menanamkan sifat
hauf dan raja’ serta bertawakkal kepada Allah. Kemudian Akhlak
terhadap orang tua (bapak dan ibu) adakalanya ketika mereka masih
hidup dan ada kalanya ketika mereka sudah meninggal dunia. Selalu
83
84
mengabdi kepada mereka ketika mereka masih hidup, dan setelah mereka
meninggal dunia pun kita tetap mempunyai kewajiban mengabdi kepada
mereka dengan cara mendoakannya. Kemudian akhlak terhadap orang
yang lebih tua, walaupun orang yang lebih tua tersebut berbeda
keyakinan/ agama dengan kita. Kemudian nilai Amanah, amanah tidak
hanya menyangkut urusan material dan hal-hal yang bersifat fisik. Katakata adalah amanah, menunaikan hak Allah adalah amanah, berlaku baik
kepada sesama manusia adalah amanah. Kemudian nilai kesabaran, sabar
merupakan sikap tegar dalam menghadapi ketentuan dari Allah.
Kesabaran adalah ketenangan hati dalam menghadapi cobaan. Lalu nilai
Keikhlasan, ikhlas berarti rela, dengan tulus hati, atau rela hati. Rasa
ikhlas
bisa
berkaitan
dengan
kebahagiaan.
Jika
kita
dapat
mengkondisikan suasana hati sedemikian rupa pada posisi ikhlas maka
kita akan merasa bahagia dan tenang. Dengan sebuah keikhlasan
menerima apa yang terjadi akan membuat kita kembali menatap suatu
kejadian dengan suatu pesona.
B. Saran
Beberapa saran berikut agar dapat menjadi bahan masukan yang
berguna dan bermanfaat bagi pihak-pihak yang bersangkutan, anatara lain :
1. Saran kepada Orang Tua
Orang tua hendaknya lebih bisa mengawasi putra-putri mereka.
Ajarilah anak melaksanakan ibadah sejak dini. Berilah perhatian dan
85
kasih sayang. Jadikanlah keluarga sebagai tempat berkembangnya
ahklakul karimah. Serta mendorong anak untuk mencari ilmu dunia
dan ilmu agam agar mampu merealisasikan dirinya (self realization)
serta mengamalkan ajaran islam.
2. Saran kepada guru bahasa dan sastra Indonesia
Guru hendaknya dapat memaksimalkan penggunaan media atau
bahan atau sumber pembelajaran sastra, dalam hal ini adalah novel.
Dalam novel selain terdapat amanat yang disampaikan pengarang,
terdapat juga gaya bahasa yang dipergunakan oleh pengarang yang dapat
dipelajari. Disamping itu, guru hendaknya juga memperhatikan amanat
dari sebuah sastra sebelum memutuskan untuk menjadikan karya sastra
tersebut seagai bahan pembelajaran.
3. Saran kepada pembaca karya sastra
Pembaca karya sastra hendaknya mengambil nilai-nilai postif
dalam sebuah karya sastra. Salah satu karya sastra yang patut untuk
dibaca dan diambil nilai positifnya adalah novel Pesan Indah dari
Makkah dan Madinah karya Ahmad Rofi’ Usmani.
4. Saran kepada peneliti lain
Peneliti lain sebaiknya dalam meneliti novel harus membaca
dengan intensif. Karena dengan demikian kita sebagai peneiti akan lebih
mudah menemukan nilai-nilai pendidikan untuk diteliti lebih lanjut.
86
C. Kata Penutup
Alhamdulillah dengan segala puji syukur penulis panjatkan kehadirat
Allah SWT karena berkat rahmat, taufiq, serta hidayah-Nya penulis dapat
menyelesaikan penyusunan skripsi dengan judul “Nilai-Nilai Pendidikan
Akhlak yang Terkandung dalam Novel Pesan Indah dari Makkah dan
Madinah Karya Ahmad Rofi’ Usmani”.
Penulis
telah
berupaya
semaksimal
mungkin
dengan
segala
kemampuan, namun penulis yakin hasilnya masih jauh dari kesempurnaan.
Oleh karena itu, kritik serta saran yang membangun selalu peneliti harapkan
khususnya kepada para pembaca.
Akhirnya penulis berdoa semoga skripsi yang berjudul ”Nilai-Nilai
Pendidikan Akhlak yang Terkandung dalam Novel Pesan Indah dari Makkah
dan Madinah Karya Ahmad Rofi’ Usmani” ini, dapat bermanfaat dan semoga
Allah selalu menunjukkan kepada kita jalan yang lurus yaitu jalan orangorang yang diberi nikmat, bukan jalan orang-orang yang sesat. Amin ya rabal
alamin.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Jauziyah, Ibn Al-Qayyim, Kemuliaan Sabar dan Keagungan Syukur,
Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2005.
Al-Hamd, Muhammad bin Ibrahim, Maal Muallimin, terj. Ahmad Syaikhu,
Jakarta: Darul Haq, 2002.
Amdi, Wahid, Risalah Akhla Panduan Perilaku Muslim Modern, Solo: Era
Intermedia, 2004.
Amin, Ahmad, Etika (Ilmu Akhlak), Jakarta: PT Bulan Bintang, 1993.
An-Nahwlawi, Abdurrahman, Prinsip-prinsip Metode Pendidikan Islam,
Bandung: IKAPI, 1989, Cet-1.
------------------, Ushulut Tarbiyah Islamiyah Wa Asalibiha Fii Baiti Wal
Madrasati Wal Mujtama’, terj. Shihabudin, Jakarta: Gema Insani Pers,
1996.
Azis, Erwati, Prinsip-Prinsip Pendidikan Islam, Solo: Tiga Serangkai, 2003.
Azwar, Saifuddin, Metodologi Penelitian, Yogyakarta: Pustaka Pelajar Ofifset,
2004.
Azis, Abdul Majid Abdul, Alqissah Fi Al-Tarbiyah, terj. Neneng Yanti Kh. dan
Iip Dzulkifli Yahya, Bandung: PT Remaja Rosda Karya, 2001.
Daradjat, Zakiah dkk., Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 2006.
Darwati, Uti dkk., Bahasa Indonesia Untuk SMA/MA Sederajat, Klaten: PT.
Intan Perwira, 2010.
Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2007.
El-Mubaroh, Zaim, Membumikan Pendidikan Nilai Mengumpulkan yang
Terputus dan Menyatukan yang Tercerai. Bandung: Alfabeta, 2009.
Hadi, Sutrismo, Metodoligi Research I, Yogyakarta: Andi Ofset, 1997.
Kosasih, E, Dasar-Dasr Keterampilan Bersastra, Bandung: CV. Yrama Widya,
2012.
Leamen, Oliver, Menafsir Seni dan Keindahan, terj. Irfan Abubakar, Bandung:
Mizan Pustaka, 2005.
Lubis, Mawardi, Evaluasi Pendidikan Nilai, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009,
Cet-1
Margono, Metodelogi Penelitian Pendidikan, Jakarta: Rineka Cipta, 2004.
Muhaimin & Mujib, Abdul, Pemikiran Pendidikan Islam, Bandung: Trigenda
Karya, 2003.
N,
Sora,
Pengertian
Novel
dan
Unsur-Unsurnya,
http://www.
pengertianku.net/2014/08/pengertian-novel-dan-unsur-unsurnya.html,
2015.
Nata, Abudin, Pemikiran Pendidikan Islam & Barat, Jakarta: Rajawali Pers,
2012.
Nizar, Samsul, Filsafat Islam Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis, Jakarta:
Ciputat Pers, 2002.
Nurgiyantoro, Burhan, Teori Pengkajian Fiksi, Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press, 2008.
Poerwadarminto, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1985.
Pradotokusumo, Partini Sardjono, Pengkajian Pustaka, Jakarta: PT. Gramedia
Pustaka Utama, 2005.
Quraish, M. Shihab, Tafsir Al-Misbah Pesan, Kesan dan Keserasian Alqur’an,
Jakarta: Lentera Hati, 2002
Qutb, Muhammad, Sistem Pendidikan Islam, Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1993.
Rajasa, Sutan, Kamus Ilmiah Populer, Surabaya: Karya Utama, 2002.
Semi, M. Atar, Rancangan Pengajaran Bahasa & Sastra Indonesia, Bandung:
Angkasa, 1990, edisi Ke-1
Surakhmad, Winarno, Pengantar Peneliitan Ilmiah Dasar Metode Tehnik,
Bandung: Transito, 1998.
Thaha, Chatib, Kapita Selekta Pendidikan Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
1996.
Tehrani, Faisal, diakses 16 April 2015 “Sastra Kanak-kanak Pendekatan Islam”,
http://www.blogger.com/post-create.g/blog.id.
Usmani, Ahmad Rofi’, Pesan Indah dari Mekkah dan Madinah, Bandung:
Mizania, 2008.
https://id.wikipedia.org/wiki/Novel?_e_pi=7%2CPAGE_IDp10%2C840496864
7, 2015)
RIWAYAT HIDUP
Nama
:
FATIH NOOR FAHMI
Tempat/Tgl Lahir
:
Jepara, 23 Februari 1994
Jenis Kelamin
:
Laki-laki
No. Induk
:
131310000273
Alamat
:
Rengging RT 05/ RW 01 Pecangaan Jepara
No. Telp/Email
:
085842122231/ [email protected]
Jenjang Pendidikan :
1. SD N 02 Rengging Lulus Tahun 2005
2. MTs Al-Muttaqin Rengging Lulus Tahun 2008
3. SMA WALISONGO Pecangaan Lulus Tahun 2011
4. Universitas Islam Nahdlatul Ulama (UNISNU) Jepara, Angkatan 2011
Demikian daftar riwayat pendidikan penulis yang dibuat dengan data yang
sebenarnya dan semoga menjadi keterangan yang lebih jelas.
Jepara, 22 September 2015
Penulis
FATIH NOOR FAHMI
NIM. 131310000273
Download