NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK YANG TERKANDUNGDALAM NOVEL “PESAN INDAH DARI MAKKAH DAN MADINAH” KARYA AHMAD ROFI’ USMANI SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Tugas dan Melengkapi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata l (S.1) Pada Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan Oleh: FATIH NOOR FAHMI NIM: 131310000273 PROGRAM STUDI : PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI) FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM NAHDLATUL ULAMA’ (UNISNU)JEPARA 2015 PERSETUJUAN PEMBIMBING Lamp. : 4 (empat) eks. Hal : Naskah Skripsi An. Sdr. Fatih Noor Fahmi Assalamu’alaikum Wr. Wb. Setelah saya meneliti dan mengadakan perbaikan seperlunya, bersama ini saya kirim naskah skripsi Saudara : Nama : Fatih Noor Fahmi Nomor Induk : 131310000273 Program Studi : Pendidikan Agama Islam (PAI) Judul : NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK YANG TERKANDUNG DALAM NOVEL PESAN INDAH DARI MAKKAH DAN MADINAH KARYA AHMAD ROFI’ USMANI Dengan ini saya mohon kiranya skripsi Saudara tersebut dapat segera dimunaqasyahkan. Demikian harap menjadikan maklum. Wassalamu’alaikum Wr. Wb. Jepara, 22 September 2015 Pembimbing, Drs. Maswan, MM. NIP.- iv SURAT PERNYATAAN Dengan penuh kejujuran dan tanggung jawab, penulis menyatakan bahwa skripsi ini tidak berisi materi yang telah pernah ditulis oleh orang lain atau diterbitkan. Demikian juga skripsi ini tidak berisi satupun pikiran-pikiran orang lain, kecuali informasi yang terdapat dalam referensi yang dijadikan bahan rujukan dan disebutkan dalam daftar pustaka Jepara, 22 September 2015 FATIH NOOR FAHMI NIM. 131310000273 v MOTTO ) (٥٠ : “Katakanlah: "Apakah sama orang yang buta dengan yang melihat?” Maka Apakah kamu tidak memikirkan(nya)?” (QS. Al-An’am : 50).1 (٩ : ) “Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.” (QS. AzZumar : 9).2 1 M. Quraish Shihab, Al-Lubab Makna, Tujuan, dan Pelajaran dari Surah-Surah AlQur’an, (Tangerang: Lentera Hati, 2012), hlm. 337. 2 Ibid., hlm. 419 vi PERSEMBAHAN Rasa syukur yang teramat sangat dalam kepada Allah SWT yang dengan kebesaran-Nya skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik. Skripsi ini bukanlah akhir dari tugas saya untuk menuntut ilmu, melainkan sebuah awal untuk berusaha. Skripsi ini saya persembahkan untuk orang-orang yang telah banyak berjasa dalam hidup saya, berjasa dalam memberikan motivasi sehingga skripsi ini dapat terselesaikan. Rasa terima kasih ini saya ucapkan untuk : 1. Kedua orang tuaku yang selalu saya sayangi dalam keadaan apapun. Bapak Ahmad Khotib, Ibu Rofikoh, serta adik saya Rizki Karimatul Amaliyah, mereka merupakan motivator pertama yang paling hebat dalam kehidupan saya. 2. Kepada seluruh keluarga besar saya, terutma almarhum kakek saya, Kakek Sugiran yang semasa hidup beliau sangat menyayangi saya dan mendukung agar saya menutut ilmu setinggi-tingginya. 3. Bapak Drs. Maswan, MM. Dengan kesabaran dan ketelatenan beliau dalam membimbing dan mengarahkan penulis dalam menyelesaikan skripsi ini sampai membuahkan hasil yang maksimal sebagaimana yang diharapkan penulis. vii 4. Para guru dan para dosen yang telah menjadi orang tua baru dan pelita bagiku dalam menuntut ilmu sehingga saya dapat mewujudkan harapan dan cita-cita. 5. Seluruh teman-teman dan sahabat-sahabatku Dedy Yusuf, Ahmad Zaenal Arifin, Nur Arifin, Khoirul Arifin, Farid Anam, dan Muhammad Abdul Ghofur, yang selalu memberikan semangat dan dorongan baik moril maupun spiritual dalam menyelesaikan skripsi ini 6. Kepada teman-teman seperjuanganku Tarbiyah A.2 tahun 2011/ ONAR Speed Community yang merupakan keluarga baru saya dalam mengarungi bangku perkuliahan selama empat tahun. Yang telah memberikan pengalaman kebersamaan yang tidak akan mungkin terlupakan. 7. Seluruh pencari ilmu yang tidak pernah lelah dalam belajar dan mengkaji ilmu. Semoga Allah meninggikan derajat kita dengan ilmu yang kita miliki. Amin. viii KATA PENGANTAR Segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, taufiq, hidayah seta inayah-Nya, sehingga pada kesempatan ini penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi yang berjudul “Nilai-Nilai Pendidikan Akhlak yang Terkandung dalam Novel Pesan Indah dari Makkah dan Madinah Karya Ahmad Rofi’ Usmani” ini disusun guna memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Strata Satu (S1) pada fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan UNISNU Jepara. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepda semua pihak yang telah membantu penulis, baik secara langsung maupun tidak langsung dalam penulisanskripsi ini. Untuk itu, penuis mengucapkan terima kasih kepada : 1. Prof. Dr. KH. Muhtarom HM., selaku Rektor UNISNU Jepara. 2. Drs. KH. Akhirin Ali, M. Ag., selaku Dekan Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan UNISNU Jepara. 3. Drs. Maswan, MM., selaku Dosen Pembimbing yang senantiasa meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan yang begitu berharga bagi penulis. 4. Seluruh karyawan Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan UNISNU Jepara yang dengan sabar melayani dan membantu penulis dalam mengurusi berbagai administrasi yang diperlukan oleh penulis. 5. Kedua orang tuaku yang selalu saya sayangi dalam keadaan apapun. Bapak Ahmad Khotib, Ibu Rofikoh, serta adik saya Rizki Karimatul Amaliyah, ix mereka merupakan motivator pertama yang paling hebat dalam kehidupan saya. 6. Kepada seluruh keluarga besar saya, terutma almarhum kakek saya, Kakek Sugiran yang semasa hidup beliau sangat menyayangi saya dan mendukung agar saya menutut ilmu setinggi-tingginya. 7. Para guru dan para dosen yang telah menjadi orang tua baru dan pelita bagiku dalam menuntut ilmu sehingga saya dapat mewujudkan harapan dan cita-cita. 8. Seluruh teman-teman dan sahabat yang selalu memberikan semangat dan dorongan baik moril maupu spiritual dalam menyelesaikan skripsi ini. 9. Kepada teman-teman seperjuanganku Tarbiyah A.2 tahun 2011 yang merupakan keluarga baru saya dalam mengarungi bangku perkuliahan selama empat tahun. Yang telah memberikan pengalaman kebersamaan yang tidak akan mungkin terlupakan. 10. Serta kepada semua pihak yang turut membantu terselesaikannya skripsi ini, yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu. Tiada yang dapat penulis berikan kecuali doa semoga Allah senantiasa membalas kebaikan dan melimpahkan rahmat serta nikmat-Nya. Penulis skripsi ini dilakukan dengan sebaik-baiknya, namun penulis menyadari bahwa tidak ada gading yang tak retak. Begitu pula penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun untuk perbaikannya. x Akhirnya dengan segala kerendahan hati, penulis mohon maaf apabila terdapat kata-kata yang tidak berkenan. Dan semoga tulisan ini bisa memberi manfaat bagi kita semua. Amin. xi ABSTRAK Fatih Noor Fahmi (NIM: 131310000273). NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK YANG TERKANDUNG DALAM NOVEL PESAN INDAH DARI MAKKAH DAN MADINAH KARYA AHMAD ROFI’ USMANI. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: (1). Untuk mengetahui nilainilai pendidikan akhlak yang terkandung dalam novel “Pesan Indah dari Makkah dan Madinah”Karya Ahmad Rofi’ Usmani(2). Mengetahui bagaimana pelaksanaan nilai-nilai pendidikan akhlak dalam novel “Pesan Indah dari Makkah dan Madinah” Karya Ahmad Rofi’ Usmani. Penelitian ini merupakan jenis penelitian kepustakaan (Library Research), yaitu, menjadikan bahan pustaka sebagai sumber data utama yang dimaksudkan untuk menggali teori-teori dasar dan konsep-konsep yang telah ditemukan oleh para ahli terdahulu. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan metode kualitatif, yaitu prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berup kata-kata tertulis atau lisan dari oran-orang dan perilaku yang dapat dinikmati. Sedangkan pendekatan yang digunakan adalah pendekatan analisis, yaitu pendekatan yang berusaha memahami gagasan, cara pandang, cara pengarang menampilkan gagasan atau mengimajinasikan ide-idenya, sikap pengarang dalam menampilkan gagasan-gagasannya, elemen intrinsik dan mekanisme hubungan dari setiap elemen intrinsik itu sehingga mampu membangun keselarasan dan kesatuan dalam rangka membangun totalitas bentuk maupun maknanya. Untuk pengumpulan data, Metode pengumpulan data yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah Library researchyaitu penelitian kepustakaan atau penelitian murni, yaitu mengumpulkan data-data kepustakaan yang representetif dan relevan dengan objek studi ini, baik dari buku, jurnal, majalah maupun surat kabar dan wawancara yaitu suatu teknik riset dalam bentuk pengamatan langsung melalui pertanyaan-pertanyaan kepada responden. Untuk menganalisis, penulis menggunakan metode Content Analysis, yaitu usaha untuk mengungkapkan isi sebuah buku yang menggambarkan sikap pribadi dan masyarakat pada waktu buku itu ditulis. Singkatnya content analysis adalah analisis ilmiah tentang isi pesan suatu karya sastra. Dalam penelitian ini, penulis menemukan banyak sekali amanat dan nilainilai pendidikan akhlak yang ada dalam novel Pesan Indah dari Makkah dan Madinah Karya Ahmad Rofi’ Usmani ini. Jadi novel ini dapat dijadikan sebagai bahan atau media pendidikan, yang dapat diambil nilai-nilai positifnya bagi pembaca. Dari hasil analisis penulis, terdapat beberapa nilai-nilai pendidikan akhlak yang terkandung dalam novel Pesan Indah dari Makkah dan Madinah Karya Ahmad Rofi’Usmani, yaitu : 1) Akhlak kepada Orang tua dan orang yang lebih ii tua. 2) Akhlak kepada Allah. 3) Nilai kesabaran. 4) Nilai keikhlasan. 5) Nilai Amanah. Berdasarkan hasil penelitian ini, diharapkan akan menjadi baha ninformasi dan masukan bagi para tenaga pengajar, para ahli, dan semua pihak yang membutuhkan di lingkungan Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan UNISNU Jepara. iii DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL ............................................................................................. i ABSTRAK ............................................................................................................ ii HALAMAN NOTA PEMBIMBING .................................................................. iv HALAMAN SURAT PERNYATAAN .............................................................. v HALAMAN MOTTO .......................................................................................... vi HALAMAN PERSEMBAHAN .......................................................................... vii HALAMAN KATA PENGANTAR.................................................................... ix HALAMAN DAFTAR ISI................................................................................... xi BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang .............................................................................. 1 B. Penegasan Istilah............................................................................ 6 C. Rumusan Masalah .......................................................................... 8 D. Tujuan Penulisan ........................................................................... 8 E. Manfaat Penelitian ......................................................................... 8 F. Kajian Pustaka................................................................................ 9 G. Metode Penelitian........................................................................... 11 H. Sistematika Penulisan ................................................................... 13 BAB II : LANDASAN TEORI A. Pengertian Nilai-Nilai Pendidikan Akhlak..................................... 15 1. Pengertian Nilai........................................................................ 15 2. Pengertian Pendidikan Akhlak................................................. 17 3. Dasar dan Tujuan Pendidikan Akhlak ..................................... 22 4. Metode Pendidikan Akhlak ..................................................... 29 5. Nilai-Nilai Pendidikan Akhlak ................................................ 35 B. Tinjauan Umum Novel................................................................... 37 1. Pengertian Novel...................................................................... 37 2. Jenis Novel ............................................................................... 38 3. Unsur-Unsur Novel .................................................................. 40 4. Unsur Moral dalam Novel........................................................ 47 xii BAB III : DESKRIPSI NOVEL KARYA AHMAD ROFI’ USMANI A. Biografi Ahmad Rofi’ Usmani....................................................... 49 B. Gambaran Umum Novel Pesan Indah dari Makkah dan Madinah.......................................................................................... 51 C. Sinposis Novel Pesan Indah dari Makkah dan Madinah ................ 53 BAB IV : ANALISIS NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM NOVEL PESAN INDAH DARI MAKKAH DAN MADINAH A. Analisis Novel dan Nilai Pendidikan ............................................ 61 1. Analisis Novel “Pesan Indah dari Makkah dan Madinah” Karya Ahmad Rofi’ Usmani.................................................... 61 2. Analisis Nilai-Nilai Pendidikan Akhlak dalam Novel “Pesan Indah dari Makkah dan Madinah” ......................................... 71 B. Pelaksanaan Nilai Pendidikan Akhlak ........................................... 77 BAB V : PENUTUP A. Simpulan ....................................................................................... 83 B. Saran............................................................................................... 84 C. Kata Penutup ................................................................................. 86 DAFTAR PUSTAKA DAFTAR RIWAYAT HIDUP LAMPIRAN-LAMPIRAN xiii BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sebuah karya fiksi ditulis untuk menyampaikan pesan moral dalam sikap dan tingkah laku para tokoh sesuai dengan pandangan pengarangnya tentang konsep moral. Melalui cerita, sikap, dan tingkah laku tokoh-tokoh itulah pembaca diharapkan dapat mengambil hikmah dari pesan-pesan yang ingin disampaikan.1 Pesan-pesan yang disampaikan dalam sebuah karya fiksi pada hakikatnya adalah bersifat universal, maksudnya adalah diyakini semua manusia. Pembaca diharapkan dapat menghayati pesan-pesan ini kemudian dapat menerapkan dalam kehidupannya. Sebuah karya sastra bukan semata-mata hanya berisi khayalan belaka, tetapi didalamnya mengandung pertaruhan nilai dan juga analisis terhadap suatu masalah. Dengan demikian hal-hal yang bersifat intelektual bisa juga ditemukan dalam sebuah karya sastra. Faisal Tehrani mengatakan bahwa betapa pentingnya pendididkan anak-anak yang didasari dengan sastra dan ajaran Islam. Cerita dan puisi yang baik berdasarkan Islam dapat menumbuhkan kebaikan yang dapat berpengaruh pada moral anak-anak. Manfaat membaca sastra dan mempelajari sastra adalah untuk menunjangketrampilan berbahasa, 1 Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta : Gadjah Mada University Press, 2008), hlm. 321. 1 2 meningkatkan pengetahuan sosial budaya, mengembangkan rasa karsa dan pembentukan watak.2 Adanya aspek negatif tayangan-tayangan di media massa, elektronik dan internet menyebabkan anak-anak lebih mudah terpengaruh. Media sastra dapat menjadi media yang sempurna untuk menangkal aspek negatif dari perkembangan tekhnologi.3Jadi nilai pendidikan akhlak yang didalam karya sastra bermuara pada agama, atau nilai-nilai tradisi. Yang dikatakan dengan pengertian sastra ialah teks-teks yang tidak hanya disusun atau dipakai untuk tujuan komunikatif yang praktis dan yang hanya berlangsung untuk sementara.4 Karya sastra sebagai sebuah seni, menurut Oliver Leamen dalam “Estetika Islam” dipandang sebagai keindahan yang tercermin dalam keindahan jiwa sang sastrawan dan dalam tingkat relaitas yang lebih tinggi, yang di dalamnya menggambarkan keindahan wujud ketuhanan itu sendiri.5 Disini ada korelasi antara moralitas seorang pengarang dengan pesanpesan yang akan disampaikan dalam suatu karya sastra. Dimana pesan yang disampaikan merupakan manifestasi kehidupan religius pengarang yang terutang dalam karya sastra, sehingga pembaca dapat mengaplikasikan pesan tersebut dalam kehidupan nyata. 2 M. Atar Semi, Rancangan Pengajaran Bahasa & Sastra Indonesia, Edisi Ke-1, (Bandung : Angkasa, 1990), hlm. 154. 3 Faisal Tehrani, “Sastra Kanak-kanak Pendekatan Islam”, http://www.blogger.com/postcreate.g/blog.id, diakses 16 April 2015. 4 Partini Sardjono Pradotokusumo, Pengkajian Sasta, (Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama, 2005), hlm. 28 5 Oliver Leamen, Estetika Islam; Menafsir Seni dan Keindahan, Terj. Irfan Abubakar, (Bandung : Mizan, 2005), hlm. 157 3 Perkembangan sastra di Indonesia kaitannya dengan dunia Islam khususnya yang berisi tentang pendididkan Islam dapat dilihat dalm karya sastra klasik. Karya-karya tersebut mengarah pada sastra didaktis, sastra yang berprestasi pada maslah pengemban nilai pendidikan, tuntunan, dan ajaran. Hal tersebut dapat ditemui dalam karya-karya sastra Jawa klasik. Mungkin hal itu dapat dimaklumi karena dalam tradisi sastra Jawa klasik memang berlaku sebagai alat pendidikan. Kisah-kisah yang terdapat dalam al-Qur’an dan al-Hadits seringkali juga digunakan sebagai media menyampaikan ajaran Islam atas pendidikan kepada pendengarnya. Kisah tersebut berfungsi untuk mendidik manusia agar meneledani hal-hal yang baik dan menghindari yang buruk. Karena Islam juga mengajarkan manusia untuk selalu melakukan perbuatan yang baik dan meninggalkan perbuatan yang buruk, sehingga seseorang tersebut dapat memiliki akhlak yang baik. Sebagaimana dalam Firman Allah dalam surat al-Qalam ayat 4 yang berbunyi : (٤ : اﻟﻘﻠم) “Dan Sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung” (Q.S. Al-Qalam : 4) Salah satu media pendidikan yang memuat cerita atau kisah diantaranya adalah novel. Novel dapat dikatakan sebagai media belajar 4 karena novel merupakan salah satu bentuk perwujudan yang bersifat teknis dari metode cerita.6 Satu hal yang melandasi novel dimasukkan sebagai media belajar adalah isi novel yang berupa cerita, Isi dari cerita tersebut sangat menarik, ringan, menghibur serta mendidik. Novel mampu memikat dan menarik perhatian pembaca tanpa memakan waktu yang lama, mampu menyentuh nurani pembaca dalam keadaan yang utuh menyeluruh, mampu mendidik perasaan ketuhanan seperti rasa khauf dan cinta terhadap sesuatu yang patut untuk dicintai dan diridhai. Novel juga memberikan kesempatan mengembangkan pola pikirannya sehingga terpuaskan.7 Namun, tentunya tidak semua novel dapat menjadi media pendidikan. Novel yang dapat menjadi media pendidikan adalah novel yang memuat nilai-nilai cerita yang mendidik manusia secara menyeluruh. Sedangkan cerita yang baik adalah cerita yang mampu mendidik budi pekerti, akal, imajinasi dan etika seorang anak, serta potensi pengetahuan yang dimiliki. Seperti yang diketahui kisah yang mengandung nilai sastra yang tinggi memungkinkan untuk menembus dan mengunggah domain afektif yang berbobot ketuhanan. Diantara tujuan kisah dalam al-Qur’an adalah untuk memberikan peringatan kepada kaum mukminin. 6 Abdul Muhaimin dan Mujib, Pemikiran Pendidikan Islam, (Bandung : Trigenda Karya, 2003), hlm. 260 7 Abdurrahman an-Nahwlawi, Prinsip-prinsip Metode Pendidikan Islam, (Bandung : IKAPI, 1989), cet-1, hlm. 12 5 Sebagaimana firman Allah : (١٢٠ : ھود) “Dan semua kisah dari Rasul-rasul Kami ceritakan kepadamu, ialah kisah-kisah yang dengannya Kami teguhkan hatimu; dan dalam surat ini telah datang kepadamu kebenaran serta pengajaran dan peringatan bagi orang-orang yang beriman.”(Q.S. Huud : 120). Cerita mempunyai daya tarik yang mampu menyentuh perasaan. Apa daya tarik itu serta bagaimana pengaruhnya terhadap jiwa belum ada seorangpun yang mengetahuinya secara pasti.8 Oleh karena itu, cerita merupakan kumpulan bimbingan yang tidak terkirakan banyaknya. Demikian pula, walaupun kata-kata yang dipergunakan untuk menuliskannya tidak begitu banyak merupakan kumpulan berbagai ungkapan dan model sastra yang tidak dapat diperkirakan banyaknya sejak dialog sampai kepada tata kalimat dan tata bunyi, penonjolan pelaku, ketelitian saat yang tepat dalam cerita agar hati menerima perasaan dan meneguhkannya agar menimbulkan irama bumi yang diketahui.9 Novel Pesan Indah dari Makkah dan Madinah ini juga patut dibaca, karena berisi tentang teladan-teladan empat khalifah bijak (khulafaur 8 hlm. 348 9 Muhammad Quthb, Sistem Pendidikan Islam, (Bandung : PT. Al-Ma’arif, 1993), cet-3, Ibid., hlm. 351 6 rasyidin). Dengan bahasa yang indah dan menawan, tentang cinta, persahabatan, kemuliaan, kepemimpinan, kebijaksanaan, dan jalan menuju surga. Betapa indah jika kisah-kisah teladan ini kita simak, renungkan dan praktikkan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam buku ini juga ditampilkan teladan-teladan empat khalifah bijak (khulafaur rasyidin) serta norma dan hukum agar menjadi cermin bagi kaum muslim. Berdasarkan latar belakang di atas, peneliti tertarik untuk meneliti dan mengkaji lebih dalam tentang novel Pesan Indah dari Makkah dan Madinah Karya Ahmad Ahmad Rofi’ Usmani yang didalamnya terdapat nilai pendidikan akhlak kepada Allah swt., kepada diri sendiri, dan kepada sesama manusia.Maka peneliti tertarik untuk meneliti nilai akhlak yang terdapat dalam novel tersebut, dengan judul“Nilai-nilai Pendidikan Akhlak Dalam Novel Pesan Indah dari Makkah dan Madinah Karya Ahmad Rofi’ Usmani” B. Penegasan Istilah Untuk lebih mempermudah pemahaman terhadap skripsi ini, maka penulis akan menjelaskan pengertian judul tersebut untuk menghindarkan terjadinya perbedaan persepsi. 1. Nilai Pendidikan Akhlak Menurut Zakiah Daradjat Pendidikan Islam (akhlak) adalah pendidikan individu dan pendidikan masyarakat.10 Ahmad Tafsir mengemukakan bahwa pendidikan Islam (akhlak) sebagai bimbingan 10 Zakiah Daradjat, et. al., Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta : Bumi Aksara, 2006), hlm. 28 7 yang diberikan seorang agar ia bisa berkembang secara maksimal sesuai dengan ajaran Islam. Samsul Nizar mengemukakan bahwa pendidikan Islam adalah suatu sistem yang memungkinkan seseorang (peserta didik) dapat mengarahkan kehidupannya sesuai dengan ideologi Islam.11Nilai adalah kualitas suatu hal itu dapat disukai, diinginkan berguna atau dapat menjadi objek kepentingan. Nilai adalah suatu yang berharga bermutu, menunjukkan kualitas, dan berguna bagi manusia, pendidikan akhlak terdiri dari dua kata yaitu pendidikan dan akhlak. Pendidikan adalah suatu proses pendewasaan diri melalui pengajaran dan latihan.12Sedangkan akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa, yang dengannya buruktanpa lahirlah memerlukan macam-macam pemikiran dan perbuatan baik atau pertimbangan. Jadi nilai pendidikan akhlak adalah pengarahan tentang apa dan bagaimana yang seharusnya dilakukan oleh seorang manusia dari perbuatan mereka. 2. Novel Pesan Indah dari Makkah dan Madinah Novel merupakan karya fiksi yang mengungkapkan aspek-aspek kemanusiaan yang lebih mendalam dan disajikan dengan halus. Novel Pesan Indah dari Makkah dan Madinah adalah karya dari Ahmad Rofi’ Usmani yang isinya mengajarkan kepada pembaca tentang kasih sayang, keikhlasan, dan ketabahan. Yang diambil langsung dari kisah nyata empat Khlaifah bijak (khulafaur rasyidin) 11 Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam pendekatan historis , teoritis dan praktis, (Jakarta : Ciputat Pers, 2002), hlm. 32 12 Poerwadarminto, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1985), hlm. 702. 8 C. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka permasalahan dapat dirumuskan sebagai berikut: 1. Apa sajakah nilai–nilai pendidikan akhlak yang dapat dipetik dalam novel “Pesan Indah dari Makkah dan Madinah” Karya Ahmad Rofi’ Usmani? 2. Bagaimana pelaksanaan nilai-nilai pendidikan akhlak dalam novel “Pesan Indah dari Makkah dan Madinah”? D. Tujuan Penulisan 1. Untuk mengetahui nilai–nilai pendidikan akhlak yang terkandung dalam novel Pesan Indah dari Makkah dan Madinah Karya Ahmad Rofi’ Usmani 2. Untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan nilai-nilai pendidikan akhlak dalam novel Pesan Indah dari Makkah dan Madinah di era globalisasi saat ini E. Manfaat Penulisan Adapun manfaat yang diharapkan adalah: 1. Teoritis a. Dapat memperluas khasanah ilmu dalam karya ilmiah terutama dalam buku cerita. b. Sebagai wahana pemikiran dan menetapkan teori-teori yang ada dengan realitas yang ada di masyarakat. 9 2. Praktis a. Dapat memberikan kontribusi bagi pembaca dalam pengajaran terutama memahami makna atau hikmah dalam suatu cerita. b. Dapat memberi masukan kepada peneliti untuk penelitian selanjutnya. c. Sebagai transformasi nilai pendidikan yang terimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. F. Kajian Pustaka Setelah melakukan tinjauan berbagai pustaka, sepengetahuan peneliti belum ada penelitian yang secara khusus mengkaji tenang nilai-nilai pendidikan akhlak dalm novel Pesan Indah dari Makkah dan Madinah Karya Ahmad Rofi’ Usmani. Namun peneliti menemukan beberapa tulisan yang terkait dengan tema yang peneliti angkat diantaranya adalah 1. Skripsi berjudul “Nilai-Nilai Pendidikan Agama Islam Dalam UndangUndang Republik Indonesia (Studi Komparasi tentang undang2 sistem pendidikan Nasional dari tahun 1945 sampai tahun 2003)”. Oleh Choirun Nisa’ Jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan UNISNU Jepara Tahun 2013. Peneleitian ini terfokus untuk menciptakan sistem yang ideal untuk bangsa Indonesia dan untuk mengikuti perkembangan global. 2. Skripsi berjudul “Nilai-Nilai Pendidikan Akhlak Dalam Kitab Bidayatul Hidayah Aktualisasinya Dalam Pendidikan Islam”. Oleh Nur Khafidhin 10 Jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan UNISNU Jepara Tahun 2014. Peneleitian ini terfokus pada analisis tentang pendidikan akhlak dalam kitab Bidayatul Hidayah. 3. Buku berjudul “Pendidikan Karakter: Pengintegrasian 18 Nilai Pembentukan Karakter dalam Mata Pelajaran”. Oleh Sri Narwanti. Buku ini akan memandu pembacanya dalam menerapkan nilai-nilai karakter sehingga membentuk siswa yang unggul dalam ilmu pengetahuan dan teknologi. 4. Buku berjudul “Pendidikan Karakter Berbasis Nilai dan Etika di Sekolah”. Oleh Agus Zaenul Fitri. Buku ini membahas aspek pendidikan karakter, mulai dari pengertian, fungsi, tujuan, prinsip, model pendidikan nilai dan etika sampai dengan contoh. 5. Artikel berjudul “Seni Pertunjukan Wayang Sebagai Wahana Pendidikan” Oleh Dr. Sayanto, S. Kar., MA. Artikel ini membahas tentang salah satu bentuk seni yang mengandung nilai-nilai pendidikan adalah wayang kulit, karena mampuu beradaptasi dengan budaya jamannya. Penelitian yang dilakukan penulis berbeda dengan penelitian yang ada. Penulis mengangkat karya sastra novel yang inspiratif, menggugah, memberi semangat baru dalam kehidupan, serta penuh dengan nilai-nilai moral yang terkandung didalamnya. Perbedaan yang sangat mendasar dari novel “Pesan Indah dari Makkah dan Madinah” Karya Ahmad Rofi’ Usmani ini adalah memuat kisah-kisah yang bukan hanya masalah duniawi saja, akan 11 tetapi juga mengandung mutiara-mutiara pendidikan akhlak yang memberikan hikmah tersendiri bagi pembacanya. Perbedaan yang lain dengan skripsi yang sudah ada, adalah pokok dan obyek yang diteliti yaitu novel yang berjudul Pesan Indah dari Makkah dan Madinah Karya Ahmad Rofi’ Usmani. G. Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian adalah: 1. Jenis Penelitian ini merupakan library research (penelitian pustaka), yaitu suatu usaha untuk memperoleh data atau informasi yang diperlukan serta menganalisis suatu permasalahan melalui sumber-sumber kepustakaan.13 2. Sumber Data Jenis penelitian ini adalah library research (penelitian pustaka), maka data yang diperoleh dari bahan-bahan pustaka adalah berupa sumber data primer dan sumber data sekunder, yaitu sebagai berikut : a. Sumber data primer. Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari subjek penelitian dengan menggunakan alat pengambilan data langsung pada subjek informasi yang di cari.14 Sumber data primer dalam penelitian ini adalah novel Pesan Indah karya Ahmad Rofi’ Usmani. Data ini tersaji dalam bentuk kata-kata, frase, kalimat, dan wacana yang termuat dalam novel Pesan Indah karya Ahmad Rofi’ Usmani, yang diterbitkan oleh Penerbit Mizan Pustaka pada Februari 2008 13 14 hlm. 91 Sutrisno Hadi, Metodologi research I,(Yogyakarta : Andi Ofset,1997), hlm.82 Saifuddin Azwar, Metodologi Penelitian, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar Ofifset, 2004), 12 b. Sumber data sekunder Data sekunder adalah data yang di peroleh dari pihak lain, tidak langsung dari subjek penelitiannya, tetapi dapat mendukung atau berkaitan dengan tema yang di angkat.15Sumber sekunder dalam penelitian kali ini antara lain: Artikel atau tulisan yang berkaitan dengan novel Pesan Indah karya Ahmad Rofi’ Usmani, baik dari media cetak berupa jurnal, koran, majalah, testimoni, atau dari media elektronik seperti internet dan televisi. c. Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan data adalah prosedur yang sistematik dan standar untuk memperoleh data yang diperlukan, dalam hal ini akan selalu ada hubungan antara teknik pengumpulan data dengan masalah penelitian yang ingin di pecahkan. Pengumpulan data tak lain adalah suatu proses pengadaan data untuk keperluan penelitian. Adapun cara pengumpulan data dalam penelitian ini, penulis menggunakan teknik dokumenter, teknik dokumenter merupakan cara mengumpulkan data melalui peninggalan tertulis,seperti arsip-arsip, dalil atau hukum-hukum dan lain-lain yang berhubungan dengan masalah penelitian.16 d. Teknik Analisis Data 15 Ibid., hlm, 92 Margono, Metodelogi Penelitian Pendidikan, (Jakarta: Rineka Cipta, 2004), hlm. 181 16 13 Dalam analisis data, penulis menggunakan metode diskriptif analisis yaitu, suatu usaha untuk mengumpulkan data dan menyusun data kemudian diusahakan adanya analisis dan interpretasi atau penafsiran terhadap data tersebut.17 Dalam penelitian ini, peneliti menganalisa data dengan menggunakan analisis isi (content analysis), yang merupakan analisis ilmiah tentang isi pesan suatu komunikasi, demikian menurut Barcus. Secara teknis, content analysis ini mencakup upaya: 1) Klasifikasi tanda-tanda yang dipakai dalam komunikasi. 2) Menggunakan kriteria sebagai dasar klasifikasi. 3) Menggunakan teknik analisis tertentu sebagai pembuat prediksi. H. Sistematika Penulisan Dalam masalah yang penulisan sesuai skripsi dengan ini, tujuan penulisan yang membahas akan dicapai. masalahAdapun sistematika penulisan skripsi meliputi : Bab I pendahuluan, yang memuat tentang latar belakang masalah, penegasan istilah, rumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan, kajian pustaka, metode penelitian dan sistematika penulisan. Bab II, memuat landasan teori tentang pendidikan akhlak dan novel, yang terdiri dari: Pengertian Nilai, Pengertian Pendidikan Akhlak, Dasar dan Tujuan Pendidikan Ahlak, Metode Pendidikan Ahlak, Nilai-nilai Pendidikan 17 Winarno Surakhmad, Pengantar Penelitian Ilmiah Dasar Metode Tehnik, (Bandung : Transito, 1998), hlm. 139 14 Ahlak, Pengertian Novel, Jenis Novel, Unsur-unsur Novel, dan Unsur Moral dalam Novel. Bab III, memuat deskripsi novel memuat dan mengkaji tentang biografi penulis novel, yaituAhmad Rofi’ Usmani, mulai dari riwayat hidupnya, riwayat pendidikan, karya-karya beliau yang telah dipublikasikan, dan gambaran umum tentang tema, latar (setting lokasi), penokohan, pesan yang disampaikan dalam novel tersebut serta sedikit sinopsis dari novel “Pesan Indah dari Mekkah dan Madinah” karya Ahmad Rofi’ Usmani ini. Bab IV, merupakan analisa Nilai Pendidikan Akhlak dalam Novel Pesan Indah dari Mekkah dan Madinah karya Ahmad Rofi’ Usmani. Berisi tentang kesimpulan hasil analisa penulis yaitu menemukan nilai-nilai pendidikan akhlak dalam novel Pesan Indah dari Mekkah dan Madinah dan pelaksanaan nilai-nilai pendidikan akhlak. Bab V, merupakan penutup dari skripsi yang ditulis, memuat kesimpulan dari pembahasan dan analisis pada bab-bab sebelumnya, kemudian saran-saran, dan kata penutup (closing speech) yang berisi rasa syukur dan terima kasih kepada semua pihak yang membantu kelancaran penulisan skripsi ini, juga memberikan kesempatan bagi siapa pun untuk memberikan saran dan kritik bagi penelitian ini. Bagian akhir terdiri dari daftar pustaka, daftar lampiran, daftar ralat dan daftar riwayat pendidikan penulis. BAB II LANDASAN TEORI A. Nilai –Nilai Pendidikan Akhlak 1. Pengertian Nilai Secara garis besar nilai dibagi menjadi dua kelompok yaitu nilai-nilai nurani (values of being) dan nilai-nilai memberi (values of giving). Nilai-nilai nurani adalah nilai yang ada dalam diri manusia kemudian berkembang menjadi perilaku serta cara kita memperlakukan orang lain. Yang termasuk dalam nilai-nilai nurani adalah kejujuran, keberanian, cinta damai, keandalan diri, potensi, disiplin, tahu batas, kemurnian, dan kesesuaian. Nilai-nilai memberi adalah nilai yang perlu dipraktikkan atau diberikan yang kemudian akan diterima sebanyak yang diberikan. Yang termasuk pada kelompok nilainilai memberi adalah setia, dapat dipercaya, hormat, cinta, kasih sayang, peka, tidak egois, baik hati, ramah, adil, dan murah hati.1 Nilai adalah menyangkut suatu suatu penetapan atau jenis apresiasi atau suatu kualitas yang minat. Sehingga nilai merupakan suatu otoritas ukuran subjek yang menilai, dalam artian di dalam koridor keumuman dan kelaziman dalam batas-batas tertentu yang pantas bagi pandangan individu dan sekelilingnya.2 1 Zaim El-Mubaroh, Membumikan Pendidikan Nilai Mengumpulkan yang Terputus dan Menyatukan yang Tercerai, (Bandung: Alfabeta, 2009), hlm. 7 2 Ibid., hlm. 120 15 16 Adapun pengertian nilai menurut beberapa ahli adalah sebagai berikut3: a. Menurut Young, nilai diartikan sebagai asumsi-asumsi yang abstrak dan sering didasari hal-hal penting. b. Green, memandang nilai sebagai lesadaran yang secara kolektif berlangsung dengan didasari emosi terhadap objek, ide dan perseorangan. c. Woods, mengatakan bahwa nilai merupakan petunjuk-petunjuk umum yang telah berlangsung lama yang mengarahkan tingkah laku dan kepuasan dalam kehidupan sehari-hari. d. Dalam pengertian lain, nilai adalah konsepsi-konsepsi abstrak dalam diri manusia atau masyarakat, mengenai hal-hal yang dianggap baik dan benar serta hal-hal yang dianggap buruk dan salah. Nilai adalah suatu tipe kepercayaan yang berada dalam ruang lingkup sistem kepercayaan, dimana seseorang harus bertindak atau menghindari suatu tindakan, atau mengenai sesuatu yang pantas atau tidak pantas dikerjakan, dimiliki dan dipercaya.4 Nilai adalah seauatu yang berharga bagi kehidupan manusia. Menurut Chabib Thaha, “nilai adalah suatu yang bersifat abstarak, bukan fakta, tidak hanya persoalan benar dan salah yang menurut pembuktian 3 Abdul Muhaimin dan Mujib, Pemikiran Pendidikan Islam, (Bandung: Trigenda Karya, 1998), hlm. 110 4 Mawardi Lubis , Evaluasi Pendidikan Nilai, cet-4, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2009), hlm. 16 17 empiris, melainkan soal penghayatan yang dikehendaki dan tidak dikehendaki, disenangi dan tidak disenangi.5 Sedangkan Sidi Gazalba mengartikan nilai adalah sesuatu yang bersifat abstrak dan ideal. Nilai bukan konkrit, bukan fakta, tidak hanya sekedar soal penghayatan yang dikehendaki dan tidak dikehendaki, yang disenangi dan yang tidak disenangi. Nilai itu terletak antara hubungan subjek dan objek. Seperti garam, emas Tuhan itu tidak bernilai bila tidak ada subjek yang menilai. Garam menjadi berarti setelah ada orang yang membutuhkan, emas menjadi berharga setelah ada orang yang mencari perhiasan, dan Tuhan akan menjadi berarti setelah ada makhluk yang membutuhkannya. Tetapi nilai juga terletak pada barang (objek), nilai ketuhanan karena dalam dzat Tuhan terdapat sesuatu yang sangat berharga bagi manusia, dan dalam logam emas terdapat zat yang tidak lapuk, antikarat dan jenis keindahan lainnya yang sangat berharga bagi manusia.6 2. Pengertian Pendidikan Akhlak a. Pengertian Pendidikan Pendidikan dalam arti luas adalah semua perbuatan dan usaha manusia dari generasi tua untuk memberikan pengetahuannya, 5 hlm. 60. hlm. 17. Chabib Thaha, Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), 6 Mawardi Lubis , Evaluasi Pendidikan Nilai, cet-4, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2009), 18 pengalamannya, kecakapannya dan keterampilannya pada generasi dibawahnya.7 Kata pendidikan yang umum digunakan sekarang, dalam bahasa Arabnya adalah “tarbiyah”, dengan kata kerja “rabba”. Kata kerja Rabba (mendidik) sudah digunakan pada zaman nabi Muhammad SAW seperti terlihat dalam ayat Al-Quran dan AlHadits Nabi.8 Kata Tarbiyah ini berasal dari tiga kata yaitu: Pertama, rabba-yarbuu, yang berarti bertambah, tumbuh dan berkembang. Kedua, rabiya yang berarti menjadi besar, dan yang ketiga, rabbayarubbu yang berarti memperbaiki, menguasai urusan, menuntun dan memlihara.9 Dari ketiga akar kata al-tarbiyah dengan penggunaannya di dalam Al-Qur’an, maka al-tarbiyah atau pendidikan secara harfiah mengandung arti mengembangkan, menumbuhkan, memelihara dan merawatnya dengan penuh kasih sayang. Dengan pengertian kebahasan ini, maka kata al-tarbiyah atau pendidikan adalah istilah yang berkaitan dengan usaha menumbuhkan atau menggali segenap potensi fisik, psikis, bakat, talenta dan berbagai kecakapan lainnya yang dimiliki manusia, atau mengaktualisasikan berbagai potensi 7 Ibid., hlm. 16 Zakiah Daradjat, dkk., Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta : Bumi Aksara, 2006), hlm. 25 9 Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis, (Jakarta: Ciputat Pers, 2002), hlm. 26 8 19 manusia yang terpendam kemudian mengembangkannya dengan cara merawatnya dan menumpuknya dengan penuh kasih sayang.10 Adapun pengertian pendidikan yang dimaksud adalah proses menumbuh kembangkan kognitif, sikap dan perilaku seseorang yang dilakukan secara bertahap dalam rangka mendewasakan kepribadian dengan melalui pengajaran dan latihan serta dengan menggunakan alat-alat pendidikan yang baik agar kelak menjadi manusia dewasa yang bermanfaat bagi dirinya, masyarakat serta bahagia dunia dan akhirat. b. Pengertian Akhlak Akhlak berasal dari bahasa Arab, khilqun yang berati kejadian, perangai, tabiat atau karakter. Sedangkan dalam pengertian istilah, akhlak adalah sifat yang melekat pada diri seseorang dan menjadi identitasnya. Selain itu, akhlak dapat pula diartika sebagai sifat yang telah dibiasakan, ditabiatkan, didarah dagingkan, sehingga menjadi kebiasaan dan mudah dilaksanakan, dapat dilihat indikatornya, dan dapat dirasakan manfaatnya. Akhlak terkait dengan memberikan penilaian terhadap sesuatu perbuatan dan menyatakan baik dan buruk.11 Kata akhlak jika diurai secara bahasa bersal dari rangkaian huruf-huruf kha-la-qa, jika digabungkhalaqa yanag berarti menciptakan. Ini mengingatkan kepada kita pada kata al-khaliq yaitu 10 hlm. 19 11 Abudin Nata, Pemikiran Pendidikan Islam & Barat, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), Ibid., hlm. 208. 20 Allah. Dan kata mahluk yaitu seluruh alam yang Allah ciptakan. Maka kata akhlak tidak bisa dipisahkan dengan al-khaliq dan mahluk. Akhlak berarti sebuah perilaku yang muatannya “menghubungkan” antara hamba dengan Allah sang Khaliq.12 Akhlak adalah sifat dan keadaan yang tertanam dengan kokoh dalam jiwa yang kemudian memancar dalam ucapan, perbuatan, penghayatan dan pengalaman yang dilakukan dengan mudah.13 Akhlak atau moral adalah merupakan seperangkat tata nilai yang sudah jadi dan siap pakai. Dengan diterapkannya akhlak tersebut, maka akan tercipta kehudupan yang tertib, teratur, aman, damai dan harmonis, sehingga setiap orang akan merasakan kenyamanan yang menyebabkan ia dapat mengaktualisasikan segenap potensi dirinya, yakni berupa cipta (pikiran), rasa (jiwa), dan karsa (panca indera)-nya yang selanjutnya ia menjadi bangsa yang beradab dan berbudaya seta mencapai kemajuan dan kesejahteraan hidupnya secara utuh.14 Jadi dengan demikian akhlak adalah sifat dan keadaan yang sudah menginternalisasi dan menyatu dalam diri manusia dan selanjutnya membentuk karakteratau kepribadian yang membedakan seseorang dengan orang lainnya.15 12 Wahid Amdi, Risalah Akhla Panduan Perilaku Muslim Modern, (Solo: Era Intermedia, 2004), hlm. 13. 13 Ibid., hlm. 215. 14 Ibid., hlm 208 15 Ahmad Amin, Etika (Ilmu Akhlak), (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1993), hlm. 215 21 Adapun beberapa istilah yang dipakai untuk mengatakan akhlak adalah sebagai berikut: 1) Etika Perkataan etika barasal dari bahasa Yunani, ethos yang berarti adat kebiasaan. Etika adalah filsafat tentang nilai, kesusilaan tentang baik buruk. Etika juga merupakan bagian dari filsafat yang mengajarkan keluhuran budi. Etika sebagai salah satu cabang dari filsafat yang mempelajari tingkah laku manusia untuk menentukan nilai perbuatan tersebut, baik atau buruk, maka ukuran untuk menentukan nilai itu adalah akal pikiran, atau dengan kata lain, dengan akal lah orang dapat menentukan baik buruknya perbuatan manusia. Baik karena akal menentukannya baik atau buruk karena akal memutuskan buruk. 2) Moral Moral berasal dari kata mores yaitu jamak dari mos yang berarti adat kebiasaan. Moral merupakan istilah yang digunakan untuk memberikan bahasan terhadap aktivitas manusia dengan nilai/hukum baik atau buruk, benar atau salah. Dalam kehidupan sehari-hari dikatakan bahwa orang yang mempunyai tingkah laku baik disebut yang bermoral. Secarfa umum moral menyaran pada pengertian (ajaran tentang) baik buruk yang diterima umum menjadi perbuatan, 22 sikap, kewajiban dan sebagainya: akhlak, budi pekerti, susila. Istilah:bermoral”, misalnya; tokoh bermoral tinggi, berarti mempunyai pertimbangan baik dan buruk. 3) Kesusilaan Kesusilaan berasal dari kata susila yang mendapat awalan ke- dan akhiran –an. Susila berasal dari bahasa Sansekerta yaitu su dan sila. Su berarti baik, bagus dan sila berarti dasar, prinsip, peraturan hidup atau norma. Kesusuilaan sama dengan kesopanan. Ini menunjukkan kesusilaan bermaksud membimbing manusia agar hidip sopan sesuai dengan norma tata susila. Dari uraian di atas terlihat persamaan antara akhlak, etika, moral yang sama-sama mempelajari tentang hukum perbuatan manusia. Namun antara ketiganya terdapat perbedaan yang terletak pada tolok ukur masing-masing, dimana ilmu akhlak menilai akhlak manusia dengan tolok ukur ajaran alQuran dan hadis, etika dengan pertimbangan akal pikiran, dan moral dengan adat kebiasaan yang umum berlaku di masyarakat. 3. Dasar dan Tujuan Pendidikan Akhlak a. Dasar pendidikan akhlak daam surat Luqman ayat 13-19 (١٣ : ) 23 “Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar".(QS. Luqman : 13).16 Menurut M. Quraish Shihab, dalam ayat ini Luqman memulai nasihatnya dengan menekankan perlunya menghindari syirik/memepersekutukan Allah. Menurut beliau larangan ini sekaligus mengandung pengajaran tentang wujud dan keesaan Tuhan. Bahwa redaksi pesannya berbentuk larangan, jangan mempersekutukan Allah untuk sesuatu yang buruk sebelum melaksanakan yang baik.17 (١٤ : ) “Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu- bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam Keadaan lemah yang bertambah- tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun[1180]. bersyukurlah kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu”.(QS. Luqman : 14).18 Ayat diatas tidak menyebutkan jasa bapak, tetapi menekankan kepada jasa ibu. Ini disebabkan karena ibu berpotensi untuk tidak dihiraukan oleh anak karena kelemahan ibu, berbeda degan bapak.19 Di sisi lain, peranan bapak dalam konteks kelahiran anak, lebih ringan dengan peranan ibu. Setelah perubahan semua proses kelahiran anak dipikul sendirian oleh ibu. Bukan hanya sampai masa kelahirannya, tetapi berlanjut dengan penyusuan bahkan lebih dari itu. Memang ayah pun bertanggung jawab menyiapkan dan membantu ibu agar beban yang dipikulnya tidak terlalu berat, tetapi ini tidak menyentuh anak secara langsung, berbeda dengan perasaan ibu. 16 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Pesan, Kesan dan Keserasian Alqur’an, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), hlm. 127 17 Ibid. 18 Ibid., hlm. 129 19 Ibid. 24 (١٥ : ) “Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, Maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, Maka Kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan”. (QS. Luqman : 15).20 Tidak semua perintah orang tua harus dituruti dan dilaksanakan bila perintah tersebut menyuruh untuk berlaku syirik kepada Allah atau perbuatan buruk lainnya. Sebagaimana penjelasan ayat di atas, menguraikan kasus yang merupakan pengecualian mentaati perintah kepada orang tua, sekaligus keharusan untuk meninggalkan kemusyrikan dalam bentuk kapan dan dimanapun.21 (١٦ : ) (Luqman berkata): "Hai anakku, Sesungguhnya jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di dalam bumi, niscaya Allah akan mendatangkannya (membalasinya). Sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha mengetahui”. (QS. Luqman : 16).22 Ayat ini menjelaskan dan menggambarkan Kuasa Allah melakukan perhitungan atas amal-amal perbuatan manusia di akhirat nanti. Melalui keduanya tergabung uraian tentang keesaan Allah dan 20 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Pesan, Kesan dan Keserasian Alqur’an, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), hlm. 133 21 Ibid. 22 Ibid., hlm. 136 25 keniscayaan hari kiamat. Dua prinsip dasar akidah Islam yang sering kali mewakili semua akidahnya.23 (١٧ : ) “Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu Termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah)”. (QS. Luqman : 17).24 Nasihat Luqman pada dua ayat di atas berkaitan dengan amal-amal shaleh yang puncaknya adalah shalat, serta amal-amal kebajikan dalam amar ma’ruf nahi munkar, juga nasihat berupa perisai yang membentengi seseorang dari kegagalan yaitu sabar dan tabah. (١٩-١٨ : ) “Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri”. (QS. Luqman : 18) “Dan sederhanalah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai”. (QS. Luqman : 19).25 Kemudian nasihat Luqman pada dua ayat ini berkaitan dengan akhlak dan sopan santun berinteraksi dengan sesama manusia. Materi pelajaran akidah beliau selingi dengan materi pelajaran akhlak, bukan hanya saja agar peserta didik tidak jenuh dengan suatu materi, tetapi juga untuk mengisyaratkan bahwa 23 Ibid. Ibid., hlm. 137 25 Ibid., hlm. 139 24 26 pelajaran akidah dan akhlak merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. b. Tujuan Pendidikan Akhlak Sebagaimana kita ketahui bahwa belajar di waktu waktu kecil bagaikan mengukir di atas batu. Ungkapan ini berarti bahwa di waktu kecil yaitu anak yang belum berusia baligh adalah fase emas untuk menanamkan nilai-nilai yang baik dalam diri mereka. Hal ini dikarenakan dalam diri mereka dalam fase ini anak-anak akan merekam doktrin dengan mudah dan mendalam. Jiwa mereka masih bersih dari dosa dan maksiat jika dibandingkan dengan orang dewasa. Oleh sebab itu dalam menerima ilmu atau hal-hal yang diajarkan pada mereka akan mudah ditangkap dan dipahami untuk kemudian diamalkan ke dalam kehidupannya secara terus-menerus hingga menjadi karakter dalam dirinya. Untuk itu akhlak Islam bertujuan untuk: 1) Agar anak-anak dapat membedakan akhlak yang baik dan buruk Sebagaimana yang dikutip oleh Abudin Nata, Ahmad Amin mengemukakan bahwa tujuan mempelajari ilmu akhlak dan permasalahannya menyebabkan kita dapat menetapkan sebagian perbuatan lainnya sebagai yang baik dan sebagian perbuatan lainnya sebagai yang buruk. Bersikap adil termasuk baik, sedangkan berbuat zalim termasuk perbuata buruk, membayar hutang kepada pemiliknya termasuk baik, sedangkan 27 mengingkari hutang kepada pemiliknya termasuk perbuatan buruk.26 Adapun standar kebaikan adalah sesuatu yang menyenangkan, baik bagi pelaku atau yang menerimanya. Hanya saja banyak pihak yang pasti selalu memunculkan banyak kepentingan yang beragam, bahkan selalu bertentangan. Sesuatu yang menyenangkan bagi orang lain belum tentu menyenangkan juga bagi dirinya sendiri dan sebaliknya juga. Maka, kebaikan memang harus memiliki standar yang bisa diterima oleh semuanya, dan itulah kebaikan agama. Artinya Sesuatu dianggap baik adalah jika Islam memandang hal itu baik. Sebaliknya sesuatu yang dianggap keburukan adalah apabila dianggap buruk oleh agama.27 2) Membersihkan kalbu dari hawa nafsu dan amarah. Dalam pandangan kaum sufi, manusia cenderung mengikuti hawa nafsu. Manusia cenderung ingin menguasai dunia atau berusaha agar berkuasa di dunia. Menurut Imam AlGhazali, cara hidup seperti iniakan membawa manusia ke jurang kehancuran moral. Oleh sebab itu manusia harus mampu menguasai hawa nafsu dan amarah. Apabila manusia mampu mengisi hatinya dengan sifat-sifat terpuji maka ia akan menjadi 26 5 Abudin Nata, Pemikiran Pendidikan Islam & Barat, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), hlm. 27 Wahid Amdi, Risalah Akhla Panduan Perilaku Muslim Modern, (Solo: Era Intermedia, 2004), hlm. 30 28 cerah dan tenang. Dan segala tindakan dan perbuatannyaselalu berdasarkan niat yang ikhlas. 3) Mengarahkan berbagai aktifitas kehidupan manusia di segala bidang Akhlak mempunyai peranan yang sangat penting dalam Islam. Bahkan merupakan bagian yang tidak dipisahkan dalam kehidupan manusia. Pentingnya akhlak ini dapat dirasakan oleh manusia itu sendiri dalam kehidupan berkeluarga dan bermasyarakat bahkan dalam kehidupan bernegara.28 4) Menggapai kebahagiaan Dengan diterapkannya akhlak maka akan tercipta kehidupan yang tertib, teratur, aman, terkendali, damai dan harmonis, sehingga setiap orang akan merasakan kenyamanan yang menyebabkan ia dapat mengaktualisasikan segenap potensi dirinya, yakni berupa cipta (pikiran), ras (jiwa), dan karsa (panca indera)-nya yang selanjutnya ia menjadi bangsa yang beradab dan berbudaya serta mencapai kemajuan dan kesejahteraan hidupnya secara utuh. Sebaliknya, tanpa adanya akhlak maka manusia akan mengalami kehidupan yang kacau. Kelangsungan hidup, akal, keturunan, harta dan keamanan terancam.29 28 Chabib Thoha, et. al., Metodologi Pengajaran Agma, (Yogyakarta: Pustaka pelajar, 1999), hlm. 144 29 Abudin Nata, Pemikiran Pendidikan Islam & Barat, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), hlm. 208 29 Pendidikan akhlak sebagaimana pendapat Muhammad Athiyah Al-Barasi, adalah untuk membentuk orang-orang bermoral baik berkemauan keras, sopan dalam berbicara dan perbuatan, mulia dalam bertingkah laku serta beradab.30 Sedangkan menurut Muhammad Jamhari, tujuan pendidikan akhlak adalah : 1) Membentukk kepribadian muslim, maksudnya ialah segala perilaku baik ucapan, perbuatan, pikiran dan kata hatinya mencerminkan sikap ajaran Islam. Sebagaimana firman Allah dalam surat Fushilat ayat 33 yang artinya “Siapakah yang lebih baik perkataannya dari pada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang shaleh, dan berkata ; “sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang menyerah diri” (QS. Fushilat : 33) 2) Mewujudkan perbuatan yang mulia dan terhindarnya perbuatan tercela. Dengan bimbingan hati yang diridhoi Allah dengan keikhlasan, maka akan terwujud perbuatanperbuatan yang terpuji, yang seimbang antara kehidupan dunia dan akhirat serta terhindar dari perbuatan tercela.31 4. Metode Pendidikan Akhlak Menurut Abdurrahman An-Nahlawi metode pendidikan (akhlak) Islam sangat efektif dalam membina akhlak anak didik, bahkan 30 Muhammad Athiyah Al-Abrasyi, Dasar-Dasar Pendidikan Islam. Terj. Bustomi Abdul Ghoni, (Jakatrta: Bulan Bintang, 1994), cet-III, hlm. 103 31 Ibid. 30 tidak sekedar itu, metode pendidikan ini memberikan motivasi sehingga memungkinkan umat Islam mampu menerima petunjuk Allah. menurutnya, metode pendidikan (akhlak) Islam yangtepat adalah metode dialog, metode kisah qur’ani dan nabawi, metode ibrah dan nasihat serta metode targhib dan tarhib.32 a. Metode dialog qur’ani dan nabawi Metode dialog adalah metode menggunakan tanya jawab, apakah pembicaraan antara dua orang atau lebih, dalam pembicaraan tersebut mempunyai tujuan dan topik tertentu. Metode dialog berusaha menghubungkan pemikiran seseorang dengan orang lain, serta mempunyai manfaat pelaku dan pendengarnya.33 Hal itu berarti bahwa dialog dilakukan antar dua orang, baik secara langsung berhadapan ataupun melalui bacaan. Pembaca dialog akan mendapat keuntungan berdasarkan karakteristik dialog, yaitu topik dialog disajikan dengan pola dinamis sehingga materi tidak membosankan, pembaca tertuntun untuk mengikuti dialog hingga selesai. Melalui dialog, perasaan dan emosi pembaca akan terbangkitkan. Topik pembicaraan yang disajikan bersifat realistik dan manusiawi.34 Dalam al-Qur’an banyak memberi informasi tentang dialog, di antara bentuk-bentuk dialog terebut 32 adalah dialog khitabi, Abdurrahman An-Nahlawi, Ushulut Tarbiyah Islamiyah Wa Asalibiha Fii Baiti Wal Madrasati Wal Mujtama’, Terj. Shihabudin, (Jakarta: Gema Insani Pers, 1996), hlm. 204 33 Ibid., hlm. 205 34 Ibid., hlm. 204 31 taabudi, deskriptif, naratif, argumentatif, serta dialog nabawiyah.35 Dalam mendidik akhak para sahabat, Nabi sering menggunakan metode diaog. Dengan metode ini anak didik mempunyai kesempatan betanya secara langsung tentang sesuatu yang tidak atau belum mereka pahami. b. Metode kisah qur’ani dan nabawi Kisah mengandung aspek pendidikan, yaitu dapat mengaktifkan dan membangkitkan kesadaran pembacanya, membina perasaan ketuhanan dengan cara mempengaruhi emosi, mengarahkan emosi, mengaktualisasikan psikis yang membawa pembaca larut dalam setting emosional cerita, topik cerita memuaskan pikiran. Selain itu kisah dalam al-Qur’an bertujuan mengokohkan wahyu dan risalah para nabi, kisah dalam al-Qur’an memberi informasi terhadap agama yang dibawa para Nabi berasal dari Allah. Kisah dalam alQur’an dapat menghibur umat Islam yang sedang bersedih atau tertimpa musibah.36 Cerita mengusung dua unsur, positif dan negatif. Adanya dua unsur ini akan memeberi warna dalam diri anak jika tidak ada filter dari para orang tua dan pendidik. Metode mendidik akhlak melalui cerita atau kisah berperan dalam pembentukan akhlak, moral dan akal anak.37 35 Ibid.hlm. 204 Ibid., hlm. 239 37 Abdul Aziz Abdul Majid, Alqissah Fi Al-Tarbiyah, Terj. Neneng Yanti Kh. dan Iip Dzulkifli Yahya, (Bandung: PT Remaja Rosda Karya, 2001), hlm. 4 36 32 Metode mendidik akhlak melalui kisah akan memberi kesempatan pada anak unttuk berfikir, merasakan dan merenungi kisah tersebut seolah ia berperan dalam kisah tersebut. Sehingga adanya keterkaitan emosi anak terhadap kisah akan memberi peluang bagi anak untuk meniru tokoh yang berakhlak baik dan menghindari perilaku tokoh yang berakhlak buruk. c. Metode nasihat Nasihat menempati kedudukan tinggi dalam agama, karena agama adalah nasihat. Hal ini diungkapkan oleh Nabi Muhammad sampai tiga kali ketika memberi pelajaran kepada pembacanya. di samping itu menyampaikan pendidik dan hendaknya memberi memperhatikan nasihat. Memberikan cara-cara nasihat hendaknya disesuaikan dengan situasi dan kondisi. Pendidik hendaknya selalu sabar dalam menyampaikan nasihat dan tidak merasa bosan dan putus asa.38 Muhammad bin Ibrahim al-Hamd mengatakan cara mempergunakan rayuan atau sindiran dalam nasihat, yaitu : 1) Rayuan dalam nasihat, seperti memuji kebaikan murid, dengan tujuan agar siswa lebih meningkatkan kualitas akhlaknya, dengan mengabaikan membicarakan keburukannya. 38 Muhammad Bin Ibrahim Al-Hamd, Maal Mualimin, Terj. Ahmad Syaikhu, (Jakarta: Darul Haq, 2002), hlm. 140 33 2) Menyebutkan tokoh-tokoh agama umat Islam masa lalu, sehingga membangkitkan semangat anak didik untuk mengikti jejak mereka. 3) Membangkitkan semangat dan kehormatan anak didik. 4) Sengaja menyampaikan nasihat di tengah anak didik. 5) Menyampaikan nasihat secara tidak langsung atau sindiran. 6) Memuji di hadapan orang yang berbuat kesalahan, orang yang melakukan sesuatu berbeda dengan perbuatannya. Kalau hal ini dilakukan akan mendorongnya untuk berbuat kebajikan dan meninggalkan keburukan.39 Dengan cara teresbut maka akan memaksimalkan dampak nasihat terhadap perubahan tingkah laku dan akhlak anak. d. Metode pembiasaan akhlak terpuji Manusia mempunyai kesempatanyang sama untuk membentuk akhlaknya. Apakah dengan pembiasaan yang baik atau dengan yang buruk. Hal ini menunjukkan bahwa metode pembiasaan dalam membentuk akhlak mulai dengan sangat terbuka luas dan merupakan salah satu metode yang tepat. Pembiasan yang dilakukan sejak dini akan membawa kegemaran dan kebiasaan tersebut akan menjadi semacam adaptasi kebiasaan sehingga menjadi bagian tidak terpisahkan dai kepribadiannya. 39 Muhammad Bin Ibrahim Al-Hamd, Maal Mualimin, Terj. Ahmad Syaikhu, (Jakarta: Darul Haq, 2002), hlm. 142 34 Imam Al-Gazali mengatakan, “Anak adalah amanah orang tuanya, hatinya yang bersih adalah permata berharga nan murni, yang kosong dari setiap tulisan dan gambar. Hati itu siao menerima tulisan dan cenderung pada setiap yang ia inginkan. Oleh karena itu jika dibiasakan mengerjakan yang baik, lalu tumbuh di atas kebaikan itu maka bahagialah ia di dunia dan akhirat, orang tuanya punn mendapat pahala bersama”. e. Metode keteladanan Seperti yang diungkapkan oleh Muhammad bin Ibrahim AlHamd “Pendidik itu besar di mata anak didiknya. Apa yang dilihat dari gurunya akan ditiruya. Karena murid akan meniru dan meneladanai apa yang dilihat dari gurunya”.40 Keteladanan sangat penting dalam mendidik akhlak anak. Keteladanan menjadi titik sentral dalam mendidik dan membina akhlak anak didik. Kalau pendidik berakhlak baik maka kemungkinan besar anak didiknya juga akan berakhlak baik, karena murid akan meniru gurunya. Dan Allah telah mengutus Rasul untuk menjadi teladan yang baik. f. Metode targhib dan tarhib Sebagaimana yang telah diungkapkan Abdurrahman AnNahlawi “Targhib adalah janji yang disertai bujukan dan rujukan 40 Muhammad Bin Ibrahim Al-Hamd, Maal Mualimin, terj. Ahmad Syaikhu, (Jakarta: Darul Haq, 2002), hlm. 27 35 untuk menunda kemaslahatan, kelezatan, dan kenikmatan. Sedangkan Tarhib adalah ancaman, intimidasi melalui hukum”.41 Metode pendidikan akhlak dapat berupa janji, pahala atau hadiah dan dapat juga berupa hukuman. Pemberian hadiah dan hukuman sangat efektif dalam mendidik akhlak terpuji. 5. Nilai-Nilai Pendidikan Akhlak Anak yang beradab juga jujur dalam perkataannya, tawadlu’, sabar ketika mendapat musibah, tidak memutuskan silaturahmi dan tidak meninggikan suaranya ketika berbicara atau tertawa.42 Secara garis besar, nilai-nilai pendidikan akhlak Islam bagi anakanak diarahkan pada kepatuhan Allah swt., yakni mengerjakan perintah dan menjauhi larangan-Nya. Nilai-nilai tersebut yaitu: a. Nilai Kesabaran Sabar merupakan sikap tegar dalam menghadapai ketentuan dari Allah.43Obyek sabar adalah jiwa, di dalam jiwa terdapat kekuatan penolak dan pendorong. Hakikat sabar adalah mengarahkan kekuatan pendorong kepada apa yang bermanfaat 41 Abdurrahman An-Nahlawi, Ushulut Tarbiyah Islamiyah Wa Asalibiha Fii Baiti Wal Madrasati Wal Mujtama’, Terj. Shihabudin, (Jakarta: Gema Insani Pers, 1996), hlm. 296 42 Umar bin Ahmad Baraja, Al Akhlakul Bin Banin, (Jakarta: CV Ahmad Nabhan, t.t), hlm. 4-5 43 Ibn Al-Qayyim Al-Jauziyah, Kemuliaan Sabar dan Keagungan Syukur, (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2005), hlm. 7 36 baginya dan mengarahkan kekuatan penolak dari apa yang merugikannya.44 b. Nilai Keihklasan Ikhlas berarti rela, dengan tulus hati, atau rela hati.45Sedangkan menurut Al Ashifani sebagaimana yang telah dikutip oleh Erwati Azis bahwa “hakikat ikhlas adalah terbebas dari segala sesuatu selain Allah.46 c. Nilai Kejujuran Jujur berarti berkata apa adanya sesuai dengan situasi dan kondisi yang sebenarnya. Jujur tidak mengenal kompromi terhadap pelakunya. Sepintas, jujur memang terkadang tidak menyenangkan, apalagi bila terkait hal-hal yang merugikan diri sendiri. Tapi pada hakikatnya jujur membawa kemaslahatan bagi semua pihak. d. Nilai Amanah Sebagaimana yang diungkapkan oleh Sutan Rajasa “Amanah berarti kepercayaan, jujur, setia dalam menjalankan sesuatu tugas dan tanggung jawab.47 Dalam hal ini cara yang terbaik adalah menghormati hak-hak yang dimiliki oleh anak. 44 hlm. 232 45 Muhammad Chirzin, Menempuh Jalan Allah, (tt.p. Madani Pustaka Hikmah, 2000), Sutan Rajasa, Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya: Karya Utama, 2002), hlm. 229 Erwati Azis, Prinsip-Prinsip Pendidikan Islam, (Solo: Tiga Serangkai, 2003), hlm. 37 47 Sutan Rajasa, Loc-Cit, hlm. 28 46 37 B. Tinjauan Umum Novel 1. Pengertian Novel Novel (Inggris : novel) dan cerita pendek merupakan dua bentuk karya sastra yang sekaligus disebut fiksi. Sebutan novel berasal dari bahasa italianovella. Secara harfiah novella berarti ‘sebuah barang baru yang kecil’, dan kemudian diartikan sebagai ‘cerita pendek dalam bahasa prosa’. Dewasa ini istilah novella mengandung pengertian yang sama dengan istilah Indonesia novelette (Inggris : novelette), yang berarti sebuah karya prosa fiksi yang panjangnya cukupan, tidak terlalu panjang namun juga tidak terlalu pendek.48 Novel adalah sebuah karya fiksi prosa yang ditulis secara naratif; biasanya dalam bentuk cerita. Penulis novel disebut novelis. Novel lebih panjang (setidaknya 40.000 kata) dan lebih kompleks dari cerpen, dan tidak dibatasi keterbatasan struktural dan metrikal sandiwara atau sajak. Umumnya sebuah novel bercerita tentang tokoh-tokoh dan kelakuan mereka dalam kehidupan sehari-hari, dengan menitik beratkan pada sisisisi yang aneh dari naratif tersebut. Novel dalam bahasa Indonesia dibedakan dari roman. Sebuah roman alur ceritanya lebih kompleks dan jumlah pemeran atau tokoh cerita juga lebih banyak.49 Novel adalah suatu bentuk karya sastra yang berbentuk prosa yang mempunyai unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik. Sebuah novel 48 Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakartaa: Gadjah Mada University Press, 2007), hlm. 9-10 49 https://id.wikipedia.org/wiki/Novel?_e_pi=7%2CPAGE_IDp10%2C8404968647, (diakses tanggal 25 Agustus 2015) 38 biasanya mengisahkan/menceritakan tentang kehidupan manusia dalam berinteraksi dengan lingkungan dan juga sesamanya.50 2. Jenis Novel a. Novel Populer Sebutan novel populer atau novel pop mulai merebak sesudah suksesnya novel Karmila dan Cintaku di Kampus Biru pada tahun 70-an. Sesudah itu, setiap novel hiburan, tidak peduli mutunya, disebut juga sebagai “novel pop”. Kata “Pop” erat diasosiasikan dengan kata populer. Novel populer adalah novel yang populer pada masanya dan banyak penggemarnya, khususnya pembaca di kalangan remaja. Ia menampilkan masalah-masalah yang aktual dan selalu men-zaman, namun hanya sampai pada tingkat permukaan. Novel populer tidak mempermasalahkan kehidupan secara intens, tidak berusaha meresapi hakikat kehidupan. Sebab, jika demikian halnya, novel populer akan menjadi berat dan berubah menjadi novel serius, dan boleh jadi akan ditinggalkan oleh pembacanya. Oleh karena itu novel populer pada umumnya bersifat artifical, hanya bersifat sementara, cepat ketinggalan zaman dan tidak memaksa orang untuk membacanya sekali lagi. Ia, biasanya cepat dilupakan orang, apalagi 50 Sora N, Pengertian Novel dan Unsur-Unsurnya, http://www. pengertianku.net/2014/08/pengertian-novel-dan-unsur-unsurnya.html, (diakses tanggal 25 Agustus 2015) 39 dengan munculnya novel-novel baru yang lebih opuler pada masa sesudahnya.51 Novel populer lebih mudah dibaca dan mudah dinikmati karena masalah yang diceritakan ringan-ringan, tetapi aktual dan menarik, yang terlihat hanya pada masalah yang itu-itu saja seperti cinta asmara dengan model kehidupan yang berbau mewah, kisah percintaan antara pria tampan dan wanita cantik secara umum cukup menarik, mampu membuai pembaca yang memang sedang remaja mengalami masa peka untuk itu, dan barangkali dapat untuk sejenak melupakan kepahitan hidup yang dialaminya secara nyata. Selain dari itu, berbagai unsur cerita seperti plot, tema, karakter, latar dan lain-lain biasanya bersifat stereotip, hanya bersifat itu-itu saja atau begitu-begitu saja, dan tidak mengutamakan adanya unsur-unsur pembaharuan. Hal yang demikian memang mempermudah pembaca yang semata-mata mencari cerita dan hiburan belaka, dan membaca novel itu hanya bagaikan mengenali dan mempermudah kembali sesuatu yang telah dikenali dan atau dimiliki sebelumnya.52 b. Novel Serius Novel serius harus sanggup memberikan yang serba berkemungkinan, dan itulah sebenarnya makna sastra yang sastra. Membaca novel serius, jika kita ingin memahaminya dengan baik, 51 Burhan Nurhiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakartaa: Gadjah Mada University Press, 2007), hlm. 18 52 Ibid., hlm. 22 40 diperlukan gaya konsentrasi yang tinggi dan disertai kemauan untuk itu. Pengalaman dan permasalahann kehidupan yang ditampilkan dalam novel jenis ini disoroti dan diungkapkan sampai ke inti hakikat kehidupan yang bersifat universal. Novel serius disamping memberikan hiburan, juga terimplisit tujuan memberikan pengalaman yang berharga kepada pembaca, atau paling tidak, mengajakanya untuk meresapi dan merenungkan secara lebih sungguh-sungguh tentang permasalahan yang dikemukakan.53 Novel serius membuat aktivitas pembaca secara lebih serius, menuntun pembaca untuk “mengoperasikan” daya intelektualnya. Pembaca dituntut untuk mengkonstruksikan duduk persoalan masalah dan hubungan antar tokoh. Novel seperti ini tidak bersifat mengabdi kepada selera pembaca, dan memang pembaca novel seperti ini tidak mungkin banyak. 3. Unsur-Unsur Novel Sebuah novel merupakan sebuah totalitas, suatu kemenyeluruhan yang bersifat artistik. Sebuah totalitas, novel mempunyai bagian-bagian, unsur-unsur, yang saling berkaitan satu dengan yang lain secara erat dan saling menguntungkan. Inilah yang membuat novel menjadi lebih berwujud.54 Berikut unsur novel dan unsur fiksi menurut pandangan tradisional. 53 Ibid., hlm, 18 Ibid., hlm. 22 54 41 a. Unsur Intrinsik Unsur intrinsik adalah unsur-unsur yang membangun karya sastra itu sendiri. Unsur-unsur inilah yang membuat karya sastra hadir sebagai karya sastra, unsur yang secara factual akan dijumpai jika orang membaca karya sastra. Unsur intrinsik sebuah novel adalah novel-novel yang (secara langsung) turut serta membangun cerita. Kepaduan antar berbagai unsur intrinsik inilah yang membuat novel berwujud. Atau sebaliknya, jika dilihat dari sudut pembaca, unsur-unsur cerita inilah yang akan dijumpai jika kita membaca sebuah novel. 1) Tema Tema merupakan ide pokok atau permasalahan utama yang mendasari jalan cerita atau novel. Dalam novel, tema didukung oleh pelukisan latar atau tingkah laku dan sifat tokoh. Novel ini ini bertemakan tentang teladan-teladan empat khalifah bijak (khulafaur rasyidin). Dengan bahasa yang indah dan menawan, tentang cinta, persahabatan, kemuliaan, kepemimpinan, kebijaksanaan, dan jalan menuju surga. 2) Setting Setting merupakan keterangan, petunjuk dan pengacuan yang berkaitan dengan waktu, ruang dan suasana terjadinya peristiwa sebuah karya sastra. Ada tiga jenis latar dalam karya sastra novel, yaitu latar tempat, waktu dan suasana. Setting pada novel 42 ini terjadi di kota Makkah dan Madinah. Dapat dilihat pada halaman 41, sebagaimana yang telah dikutip sebelumnya. “Hari itu sebuah kafilah dagang memasuki perbatasan kota Makkah. Kota yang satu ini, seperti diketahui, merupakan kota kelahiran Rasulullah Saw. dan juga merupakan kota suci umat Muslim…”” 3) Sudut pandang Sudut pandang atau point of view adalah cara pengarang mengungkapkan cerita. Sudut pandang dibagi menjadi tiga, yaitu: a) Pengarang menggunakan sudut pandang tokoh dan kata ganti orang pertama, mengisahkan apa yang terkadi dengan dirinya dan mengungkapkan perasaannya sendiri dengan kata-katanya sendiri. b) Pengarang menggunakan sudut pandang tokoh bawahan, ia lebih banyak mengamati dari luar dari pada terlihat didalam cerita. Pengarang biasanya menggunakan kata ganti orang ketiga. c) Pengarang menggunakan sudut pandang impersonal, ia sama sekali berdiri di luar cerita, ia serba melihat, serba mendengar, serba tahu. Ia melihat sampai ke dalam pikiran tokoh dan mampu mengisahkan rahasia batin yang paling dalam dari tokoh. 43 Dalam novel ini pengarang menggunakan sudut pandang impersonal, karena pengarang sama sekali berdiri di luar cerita, ia serba melihat, serba mendengar, serba tahu. 4) Alur atau Plot Alur atau plot adalah keseluruhan jalinan peristiwa yang membentuk satu kesatuan yang disebut cerita. Ada tiga jenis alur dalam karya sastra novel, yaitu alur maju, alur mundur dan alur gabungan. Alur maju disajikan secara berurutan dari tahap perkenalan, pengantar, dilanjutkan tahap penampilan masalah, dan diakhiri tahap penyelesaian. Alur mundur disusun dengan mendahulukan tahap klimaks atau penyelesaian dan sisusul tahap-tahap seperti pendahuluan, pemunculan masalah, konflik dan peleraian. Sedangkan alur gabungan merupakan perpaduan antara alur maju dan alur mundur. Susunan penyajian urutan peristiwa diawali dengan puncak keterangan, lalu dilanjutkan dengan perkenalan dan diakhiri penyelesaian.55 Jalan cerita dalam novel ini menggunakan alur maju dan mundur atau gabungan. 55 Burhan Nurhiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakartaa: Gadjah Mada University Press, 2007), hlm. 85 44 5) Penokohan Penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita.56 Tokoh dalam novel berperan sebagai pribadi utuh, lengkap dengan keadaan lahiriah dan batiniah. Karena itu, kita dapat mengetahui tokoh yang memunyai sifat pemarah, pemalu, pennyabar dan lainlain.57 Tokoh utama dalam novel ini adalah Abu Bakar Al-Shiddiq, ‘Umar bin khaththab, ‘Usman bin ‘Affan, dan ‘Ali bin Abu Thalib. 6) Amanat Amanat merupakan ajaran moral atau pesan didaktis yang hendak disampaikan penngarang kepada pembaca melalui karyanya. Tidak jauh berbeda dengan cerita lainnya, amanat dalam novel akan disampaikan rapi dan disembunyikan pengarangnya dalam keseluruhan isi cerita. Karena itu, untuk menemukannya tidak cukup dengan membaca dua atau tiga paragraf, melainkan harus habis sampai tuntas. Dalam novel ini banyak sekali amanat yang disampaikan pengarang. Ini Salah satu amanat yang disampaikan oleh pengarang: Jabatan sendiri sejatinya bukan hak pribadi ataupun turunan, tetapi ia hak masyarakat. Karena itu, jangankan 56 Ibid., hlm. 165 Uti Darwanti, et. al., Bahasa Indonesia Untuk SMA/MA Sederajat, (Klaten: PT. Intan Perwira, 2010), hlm. 16-17 57 45 suap, hadiah dalam kaitan jabatan pun terlarang menerimanya. 7) Gaya bahasa Gaya bahasa berfungsi untuk menciptakan suatu nada atau suasana persuasif serta merumuskan dialog yang mampu memperlihatkan hubungan dan interaksi antara sesama tokoh.58 b. Unsur Ekstrinsik Unsur Ekstrinsik adalah unsur-unsur yang berada di luar karya sastra itu, tetapi secara tidak langsung mempengaruhi bangunan atau sistem organisme karya sastra. Atau secara lebih khusus ia dapat dikatakan sebagai unsur-unsur yang mempengaruhi bangun cerita sebuah karya sastra, namun sendiri tidak ikut menjadi bagian di dalamnya. Walau demikian, unsur ekstrinsik cukup berpengaruh terhadap totalitas bangun cerita yang dihasilkan.59 Sebagaimana halnya unsur intrinsik, unsur ekstrinsik juga terdiri dari sejumlah unsur. Unsur-unsur yang dimaskud antara lain adalah: 1) Latar belakang pengarang, menyangkut di dalamnya asal daerah atau suku bangsa, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, agama dan ideologi. Unsur ini sedikit banyak berpengaruh pada isi 58 E. Kokasih, Dasar-Dasr Keterampilan Bersastra, (Bandung: CV. Yrama Widya, 2012), hlm. 71 59 Sora N, Pengertian Novel dan Unsur-Unsurnya, http://www. pengertianku.net/2014/08/pengertian-novel-dan-unsur-unsurnya.html, (diakses tanggal 25 Agustus 2015) 46 suatu novel. Misalnya novel yang dikarang orang padang berbeda dengan novel yang dikarang orang sunda. 2) Kondisi sosial budaya, dimaksudkan bahwa novel yang dibuat pada zaman kolonial akan bebeda dengan novel yang dibuat pada zaman kemerdekaan atau pada masa reformasi. Seperti halnya novel yang dikarang oleh seorang yang hidup ditengahtengah masyarakat metropolis akan berbeda dengan novel yang dikarang oleh pengarang yng hidup di tengah-tengah masyrakat tradisional. 3) Tempat atau kondisi alam, dimakudkan bahwa novel yang dikarang oleh sesorang yang hidup di daerah agraris sedikit banyak akan berbeda dengan novel yang dikarang oleh pengarang yang terbiasa hidup di daerah gurun.60 Keadaan di lingkunag pengarang seperti ekonomi, politik dan sosial juga berpengaruh terhadap karya sastra, dan hal itu merupakan unsur ekstrinsik pula. Unsur ekstrinsik yang lain misalnya pandangan hidup suatu bangsa, berbagai karya seni orang lain dan sebagainya. Unsur ekstrinsik novel ini adalah pengarangya itu sendiri yaitu Ahmad Rofi’ Usmani, lahir di Cepu, Jawa Tengah, 26 Januari 1953. Alumnus dan mantan pengurus Pondok Pesantren Krapyak Yogyakarta (1973-1974). 60 Sora N, Pengertian Novel dan Unsur-Unsurnya, http://www. pengertianku.net/2014/08/pengertian-novel-dan-unsur-unsurnya.html, (diakses tanggal 25 Agustus 2015) 47 Menyelesaikan S1 Fakultas Syariah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta, pada 1977. Selepas itu, pada 1978, dia diterima di Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir. Selama sekitar enam tahun di Mesir. 4. Unsur Moral dalm Novel Moral, seperti halnya tema, dilihat dari segi dikhotomi bentuk isi karya sastra merupakan unsur isi. Ia merupakan sesuatu yang ingin disampaikan oleh penngarang kepada pembaca, merupakan makna yang terkandung dalam sebuah karya, makna yang disarankan lewat cerita. Secara umum moral menyaran kepada pengertian baik buruk yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban dan sebagainya. Moral dalam karya sastra biasanya, mencerminkan pandangan hidup pengarang yang bersangkutan, pandangannya tentang nilai-nilai kebenaran, dan hal itulah yang ingin disampaikan kepada pembaca. Sebuah karya fiksi ditulis oleh pengarang untuk, antara lain menawarkanmodel kehidupan yang diidealkannya. Fiksi mengandung penerapan moral dalam sikap dan tingkah lakiu para tokoh sesuai dengan pandangannya tentang moral. Melalui cerita, sikap, dan tingkah laku tokoh-tokoh itulah pembaca diharapkan dapat mengambil hikmah dari pesan-pesan yang disampaikan, yang diamanatkan. Moral dalam karya sastra, atau hikmah yang diperoleh pembaca lewat sastra, selalu dalam pengertian yang baik. Dengan demikian, jika dalam sebuah karya ditampilkan sikap dan tingkah lakuyang kurang 48 terpuji, baik mereka berlaku sebagai tokoh antagonis ataupun protagonis, tidaklah berarti pengarang menyarankan kepaada pembaca untuk bersikap dan bertindak secara demikian. Sikap dan tingkah laku tokoh tersebut hanyalah model, model yang kurang baik, yang sengaja dittampilkan justru agar tidak diikuti atau minimal dicenderungi oleh pembaca.61 61 E. Kokasih, Dasar-Dasr Keterampilan Bersastra, (Bandung: CV. Yrama Widya, 2012), hlm. 322 BAB III Deskripsi Novel Karya Ahmad Rofi’ Usmani A. BiografiAhmad Rofi’ Usmani Ahmad Rofi’ Usmani, lahir di Cepu, Jawa Tengah, 26 Januari 1953. Alumnus dan mantan pengurus Pondok Pesantren Krapyak Yogyakarta (1973-1974), kala itu di bawah pimpinan K.H. Ali Maksum (alm.) yang pernah menjadi Rois Am Syuriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, ini menyelesaikan S1 Fakultas Syariah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta, pada 1977. Selepas itu, pada 1978, dia diterima di Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir. Selama sekitar enam tahun di Mesir, mantan Ketua Lembaga Penelitian Ilmiah Persatuan Pelajar Indonesia di Mesir (1981-1983) ini juga menghadiri program pascasarjana di bidang sejarah dan kebudayaan Islam di Fakultas Dar Al-‘Ulum, Universitas Kairo, Kairo, Mesir. Di sisi lain, selama itu pula, dia juga mempelajari dan mendalami bahasa Prancis di Lembaga Kebudayaan Prancis di Kairo. 1 Sekembalinya ke tanah air, pada 1984, suami seorang dokter spesialis penyakit dalam ini kemudian berkiprah di bidang media massa, antara lain menjadi Pemimpin Pelaksana majalah Panggilan Adzan dan Redaktur Ahli majalah Kiblat (1988-1992). Selain itu, ayah dua putri yang pernah mengunjungi sejumlah negara, antara lain Arab Saudi, Mesir, Pakistan, Brunei Darussalam, Thailand, Singapura, Malaysia, Jerman, Uni Emirat 1 Ahmad Rofi’ Usmani, Pesan Indah dari Makkah dan Madinah, (Bandung: Mizania, 2008), hlm. 7 49 50 Arab, Austria, Prancis, Luksemburg, dan Korea ini selalu meluangkan sebagian waktunya untuk menerjemahkan, menyunting, dan menyusun buku. Karya-karya tulisnya yang sudah terbit, baik berupa karya sendiri, suntingan, maupun terjemahan, antara lain adalah : 1. Wangi Akhlak Nabi (2007) 2. Nama-Nama Islami nan Indah untuk Anak Anda (2007) 3. Rumah Cinta Rasulullah (2007) 4. Mutiara Akhlak Rasulullah Saw. (2006) 5. Teladan Indah Rasulullah dalam Ibadah (2005) 6. Muhammad: Nabi Barat dan Timur (2004) 7. Ihyâ’ ‘Ulûm Al-Dîn, 14 jilid (2004) 8. Anak Gol- da Meir pun Memeluk Islam (2004) 9. Dua Wajah Luciana (2004) 10. Membedah Pemikiran Islam (2000) 11. Pesona Islam (1998) 12. Kajian Kontemporer Al-Quran (1998) 13. Tokoh-Tokoh Muslim yang Mengukir Zaman (1998) 14. Sejarah Kebudayaan Islam (1997) 15. Nasruddin Hoja: Riwayat Hidup, Anekdot, dan Filsafatnya (1993) 16. Al-Ghazali: Sang Sufi Sang Filosof (1987) 17. Filsafat Sejarah Menurut Ibn Khaldun (1987) 18. Sufi dari Zaman ke Zaman (1987) 19. Filsafat Kebudayaan Islam (1986) 51 20. Filsafat dan Puisi Iqbal (1985) 21. Al-Quran dan Ilmu Jiwa (1985) 22. dan Islam Menjawab Tantangan Zaman (1983).2 B. Gambaran Umum Novel Pesan Indah dari Makkah dan Madinah Novel Pesan Indah dari Makkah dan Madinah ini berisi tentang teladan-teladan empat khalifah bijak (khulafaur rasyidin). Dengan bahasa yang indah dan menawan, tentang cinta, persahabatan, kemuliaan, kepemimpinan, kebijaksanaan, dan jalan menuju surga. Betapa indah jika kisah-kisah teladan ini kita simak, renungkan dan praktikkan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam buku ini juga ditampilkan teladan-teladan empat khalifah bijak (khulafaur rasyidin) serta norma dan hukum agar menjadi cermin bagi kaum muslim. Novel ini bertemakan kepemimpinan yang bertanggung jawab atas kehormatan kaum perempuan, keselamatan jiwa, keamanan harta benda, tegaknya hukum , dan kepemimpinan atas kaum Muslim hendaklah tidak di tangan orang yang pelit, karena ia akan mengincar kekayaan mereka; tidak di tangan orang yang bodoh, karena ia akan menyesatkan mereka; tidak di tangan orang yang berperilaku kasar, karena ia di jauhi mereka; tidak di tanga pengecut, karena ia akan merangkul suatu kelompok dan meninggalkan kelompok lain; tidak di tangan orang yang menerima suap; karena ia akan 2 Ahmad Rofi’ Usmani, Pesan Indah dari Makkah dan Madinah, (Bandung: Mizania, 2008), hlm. 8 52 meniadakan hak-hak umat yang dipimpinnya; dan tidak di tangan orang yang tak mengindahkan hukum, karena ia akan mencelakakan umat. Novel ini menyajikan untaian kisah-kisah menawan yang khususnya berkenaan cinta, persahabatan, kepemimpinan, kebijasanaan bertindak, tindakan dan sikap mulia, serta jalan menuju surga ini dapat dijadikan sebagai arahan usaha kita dalam mencintai Allah Swt. dan Rasul-Nya serta para sahabat. Novel ini juga menjadi spirit untuk membangun persahabatan dan menjalin hubungan yang tulus di antara sesama hamba-Nya, dan mengajak ke arah sikap bijak dalam bertindak, baik dalam masyarakat maupun keluarga seperti yang diteladankan oleh mereka, serta meniti jalan mulia yang selaras dengan ketentuan Allah Swt. dan Rasul-Nya. Seperti halnya karya-karya Ahmad Rofi’ Usmani yang sebelumnya, Teladan Indah Rasulullah Saw. dalam Ibadah, Mutiara Akhlak rasulullah Saw., Rumah Cinta Rasulullah, dan Wangi Akhlak Nabi yang diangkat dari beberapa buku hadis yang diperkaya dengan berbagai sumber lain, novel ini pun diangkat dari berbagai sumber, baik dari berbagai buku hadis maupun karya-karya lainnya. Walau juga hanya berupa untaian kisah, Ahmad Rofi’ Usmani berharap kiranya budiman pembaca memungut darinya teladan dan hikmah yang sangat menawan dan bermanfaat bagi usaha kita untuk memahami dan menghayati segala hal yang diteladankan oleh keempat sahabat (khulafaur rasyidin) bijak tersebut. Juga, walau karya ini tidak terlalu lengkap, Ahmad Rofi’ Usmani berharap kiranya kisah-kisah yang disajikan dalam karya ini dapat menampilkan gambaran yang cukup gamblang tentang 53 kehidupan mereka yang berkenaan dengan beberapa aspek tersebut dan halhal yang berkaitan dengan nilai-nilai mulia seperti yang mereka teladankan. Di sisi lain, sekali lagi, Ahmad Rofi’ Usmani sepenuhnya menyadari, novel yang terdiri dari empat bagian ini bukan sebuah karya yang sempurna. Karena itu, apabila dalam novel ini terdapat kekurangan dan kelemahan, sekali lagi Ahmad Rofi’ Usmani sampaikan, semua itu sepenuhnya dari penulis dan merupakan tanggung jawabnya. Karena itu pula, kritik dan saran dari pembaca tentu senantiasa penulis harapkan demi perbaikan kedepan. Meskipun demikian, penulis berharap kiranya karya ini dapat menjadi setetes ilmu yang menebarkan manfaat bagi para pembaca sekalian dan sebagai amal jariah penulis yang diterima oleh Allah Swt. C. Sinopsis Novel Pesan Indah dari Makkah dan Madinah Di bagian awal novel Pesan Indah dari Makkah dan Madinahini membahas kisah-kisah seputar cinta dan persahabatan. Dimana Rasulullah Saw. dalam sebuah hadis, menetapkan tindakan saling mencintai dan saling menyayangi di antara sesama Muslim sebagai syarat iman dan masuk surga. “Dan, siapa pun yang mencintai sesama manusia denga ntulus demi mengharap ridha Allah Swt., dan jika membencinya juga karena-Nya, berarti ia telah menyempurnakan imannya”. Rasulullah Saw. menggambarkan kerja sama, persaudaraan, persahabatan, dan solidaritas di antara kaum Muslim laksana organ-organ tubuh yang saling mendukung, saling membantu, saling melengkapi. Rasulullah Saw. tidak hanya mengajak para sahabat khususnya dan kaum 54 Muslim umumnya untuk menjalin tali cinta, persaudaraan, dan persahabatan. Namun, beliau juga berusaha mewujudkannya dalam tataran praktis di masyarakat yang dibinanya di Madinah langsung selepas hijrah. Beliau mempersaudarakan kaum Muhajirin dengan kaum Anshar. Dengan cara yang demikian itu, beliau berupaya mempererat jaloinancinta, persaudaraan, persahabatan, dan solidaritas di antara mereka. Semua itu sangat membantu dalam mewujudkan stabilitas masyarakat di Madinah. Hal inilah yang menjadikan kaum Muslim kala itu lebih leluasa dalam menyebarkan dakwah Islamiyah. Hari itu sebuah kafilahdagang memasuki perbatasan kota Makkah. Kota yang satu ini, seperti diketahui, merupakan kota kelahiran Rasulullah Saw. dan juga merupakan kota suci umat Muslim. Dalam Al-Qur’an, kota ini juga disebut sebagai Bakkah, Umm Al-Qura (Ibu kota negara), Balad alBaldah (Negeri), Haram Amin (Tanah suci nan Aman), Wad Ghair Dzizar (Lembah nan gersang), Ma’ad (Tempat kembali), dan Qaryah (Negeri). Jauh sebelu ajaran Islam datang, kota suci ini sudah banyak dikunjungi jamaah haji, selain sebagai pusat perdagangan. Pada masa Romawi dan Bizantium, di kota ini diperdagangkan barang-barang dari India, Afrika Timur, dan dari Timur Jauh sampai ke negara-negara mediterania. Hasil-hasil dari Timur dikapalkan ke Aden, Yaman, dan dari sana diangkut kafilah unta menyusuri pantai bafrat menuju Mesir, Damaskus, dan Eropa. Karena Makkah merupakan pos utama lalu lintas kafilah, tak aneh jika kala itu sebagia nbesar penduduk kota suci itu terlibat dalam perdagangan. 55 Kota suci yang didirikan oleh Ibrahim a.s. dan putranya, Isma’il a.s., ini secara geogrfis terletak dilembah yang dikitari gunung-gunung. Lembah ini sekitar delapan kilometer memanjang dari barat ke timur dengan lebar sekitar 3,2 kilometer. Gunung-gunung yang mengitari kota ini adalah: Jabal Al-Falaj, Jabal Al-Qu’aiqaghan, Jabal La’ala, Jabal Kudai, Jabal Abu Qais, Jabal Khandimah. Hampir seluruh gunung-gunung tersebut kini telah berpenghuni. Ketika kafilah dagang Makkah yang diikuit Abu Bakar Al-Shiddiq itu memasuki perbatasan kota Makkah, mereka dijemput oleh serombongan kecil penjemput yang yang dipimpin Amr’ bin Hisyam atau lebih dikenal dengan panggilan Abu Jahal. Mereka pun saling berpelukan. Selepas berbagi sapa, Abu Jahal kemudian membuka percakapan, ”Wahai ‘Atiq! (panggilan Abu Bakar sebelum memeluk Islam) Apakah orang telah menceritakan kepadamu tentang sahabat karibmu?” ”Apakah yang engkau maksudkan itu adalah Muhammad Al-Amin?” tanya Abu Bakar penuh rasa ingin tahu. “Memang, yang kumaksudkan adalah anak yatim dari Bani Hasyim itu!” Jawab Amr bin Hisyam geram. “Apakah engkau mendengar sendiri apa yang dikatakannya, wahai ‘Amr?” tanya Abu Bakar lebih lanjut. “Ya, aku, dan semua orang mendengarnya!” jawab ‘Amr bin Hisyam sangat ketus, ”Apa katanya?” tanya lagi ‘Amr bin Hisyam, semakin ketus. “Dia mengutusnya kepada kita tuhan-tuhan yang disembah oleh nenek moyang kita!” 56 “Apakah dia mengatakan bahwa Allah telah menyampaikan wahyu kepadanya?” tanya Abu Bakar kembali. “Begitu yang dia katakan!” jawab ‘Amr bin Hisyam sangat ketus. “Apakah dia menceritakan bagaimana Allah berbicara dengannya?” tanya lagi Abu Bakar. “Katanya, Jibril mendatangunya di Gua Hira!” jawab ‘Amr bin Hisyam hampir tak kuasa meredam gelegak amarahnya. Mendengar jawaban yang demikian itu, wajah Abu Bakar pun tampak berbinar-binar, seolah saat itu sang surya hanya memendari dirinya. Dengan tenang, dia kemudian berucap. “Jika kemudian, benarlah dia!” Madinah, pagi hari senin, 12 Rabi’ul Al-Awwal 11 H/8 Juni 632 M. Pagi itu Rasulullah Saw. merasa kesehatan beliau membaik. Tetappi, pada sore harinya kesehatan beliau memburuk kembali. Beliau pingsan beberapa kali. Walau menghadapi sakratulmaut, beliau tida pernah lupa kepada Tuhannya. Beliau terus-menerus mengucapkan istighfar, “Ampunilah aku, ya Allah”. Sampai menjelang malam, pernapasan Rasulullah Saw. masih terlihat lancar. bibir beliau membasahi tangan. Lalu beliau mengusapkannya ke muka beliau. Beliau, yang berada di pangkuan ‘Aisyah binti Abu Bakar Al-Shiddiq, kemudian mengangkat tangan dan menunjuk dengan jari beliau seraya berkata tiga kali ”Ya Allah, perkenankanlah aku bertemu dengan Teman Yang Maha Tinggi”. Ruh Rasulullah Saw. pun kembali kepada Yang Memilikinya. Segera berita kewafatan beliau tersebut menyebar di kalangan kaum Musloim. Dan, 57 segera terjadi perbedaan pendapat di antara para sahabat beliau, antara yang yakin bahwa beliau telah kembali ke hadirat Allah Swt. dan yang berpendapat bahwa beliau tidak wafat. ‘Umar bin Al-Khaththab termasuk yang tidak yakin bahwa beliau telah wafat. Malah, dia mengancam orang yang mengatakan sebaliknya dengan hukuman. Namun, ancamannya yang demikian itu tidak dihiraukan Abu Bakar Al-Shiddiq. Tanpa menghiraukan ucapan ‘Umar bin Al-Kaththab, Abu Bakar AlShiddiq yang baru menerima kabar tentang kewafatan rasulullah Saw., langsung menuju kamar ‘Aisyah, putrinya. Dia pun menemui beliau dan menyingkap kain hibrah dari Yaman yang menutup wajah beliau. Selepas itu, dia mencium wajah beliau dan berkata, “Demi sesungguhnya maut yang telah ditetapkan Allah atas dirimu, sunggguh maut telah angkau rasakan kini. Dan, setelah itu, tidak engkau rasakan lagi untuk selamanya!”. Selepas menutup kembali kain penutup wajah itu, Abu Bakar AlShiddiq lantas keluar menemui khalayak ramai dan meminta mereka agar menghentikan pembicaraan mereka. Lantas, dia meneruskan langkahlangkahnya, diikiuti orang-orang yang ingin mengetahui bagaimana kejadian yang sebenarnya. Selepas memuji Allah, dia pun berkata, “Wahai saudarasaudaraku! Barang siapa menyembah Muhammad, ketahuilah bahwa Muhammad telah wafat. Dan barang siapa menyembah Allah, Allah Mahahidup dan tak akan mati. Selepas itu Abu Bakar Al-Shiddiq membaca ayat Al-Qur’an, “Muhammad tidak lain hanyalah seorang Rasul, sungguh telah berlalu 58 sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah jika Dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)? Barangsiapa yang berbalik ke belakang, Maka ia tidak dapat mendatangkan mudharat kepada Allah sedikitpun, dan Allah akan memberi Balasan kepada orang-orang yang bersyukur”.(QS. Ali Imran : 144) ‘Umar bin Al-Kaththab, selepas mendengar Abu Bakar AlShiddiqmembacakan ayat itu, jatuh tersungkur ke tanah. Kedua kakinya sudah tak kuasa menahan lagi, selepas di yakin Rasulullah Saw. memang sudah berpulang ke hadirat Allah Swt. Dan, semua orang terdiam selepas mendengar dan melihat kenyataan itu. Hari itu Al-Hasan Al-Bashri, saat itu baru berusia sekitar 13 tahun, sedang berwudhu di sebuah masjid di Bashrah. Terkenal sebagai seorang ulama generasi tabi’in dan sufi terkemuka abad 2 H/8 M, dia lahir di Madinah pada 21 H/642 M, pada masa pemerintahan ‘Umar bon Al-Kaththab, dengan nama lengkap Abi Sa’id Al-Hasan bin Abu Al-Hasan Yassar Al-Bashri. Namun, kemudian keluarganya pindah ke Bashrah, selepas terjadinya perang Shiffin pada 35 H/656 M, sehingga lebih terkenal dengan sebutan “AlBashri” (yang asal bashri). Dia tumbuh dewasa di Kota Nabi dalam lingkungan yang salehdan mendalam pengetahuan agamanya. Tak aneh jika selama bermukim di Kota Suci itu, dia bertemu tidak kurang dari 70 sahabat. Pada 42 H/662 M, tokoh ini ikut serta dalam pasukan ‘Abdullah bin ‘Amir, Gubernur Bashrah, dalam berbagai ekspedisi militer sampai ke Kabul. Dan, 59 dia baru kembali ke Bashrah pada 53 H/673 M dan meneta di kota itu sampai berpulang ke hadirat Allah pada kamis, 1 Rajab 110 H/10 Oktober 728 M. Tak lama kemudian seorang pria melintas dan memerhatikan dengan cermat cara Al-Hasan Al-Bashri muda berwudhu. Lantas, ucapnya, “Wahai anak muda! Berwudhulah dengan baik, niscaya Allah melimpahkan kebaikan kepadamu”. Usai berwudhu, Al-Hasan Al-Bashri menengadahkan kepalanya. Betapa gembira hatinya ketika dia tahu, ternyata pria itu tidak lain adalah Amirul Mukminin ‘Ali bin Abu Thalib. Dia pun segera berjalan cepat mengikuti langkah-langkah sang khalifah. Ketika tahu anak muda itu mengikutinya, sang khalifah pun bertanya, “Wahai anak muda, apakah engkau mempunyai keperluan denganku?” “Benar, wahai Amirul Mukminin! Berilah saya beberapa patah nasihat yang berguna bagi saya, di dunia dan akhirat”, jawab Al-Hasan Al-Bashri. Sang khalfah pun menghentikan langkah-langkahnya dan diam bebrapa lam. Lantas, ucapnya, “Wahai anak muda! ketahuilah, orang yang percaya kepada Allah, niscaya dia selamat. Barang siapa takut berbuat dosa, niscaya dia terhindar dari perbuatan dosa. barang siapa hidip di dunia ini tak mudah terpikat oleh pesona duniawi, diakhirat kelak dia akan bergembira melihat pahala yang dikaruniakan Allah Swt. kepadanya”. Usai berucap demikian, sang khalifah diam sejenak. Lantas, ucapnya, “Wahai anak muda! Maukah engkau kuberi nasihat lain lagi?”. 60 “Tentu, ahai Amirul Mukminin”, jawab Al-Hasan Al-Bashri penuh semangat. “Wahai anak muda! Jika engkau merindukan pertemuan dengan Allah di akhirat kelak, Allah tentu meridhaimu. Karena itu, hendaklah selama engkau hidup di dunia ini tidak mudah terpikat oleh pesona duniawi dan senantiasa mendambakan kehidupan akhirat. Engkau harus jujur dalam segala urusanmu, agar kelak engkau termasuk orang-orang yang meraih keselamatan di akhirat. Ingatlah, jika engkau benar-benar mencamkan nasihatku ini, insya Allah engkau akan memperoleh manfaatnya”, pesan sang khalifah yang kemudian melanjutkan perjalanannya. BAB IV ANALISISNILAI – NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM NOVEL “PESAN INDAH DARI MAKKAH DAN MADINAH” A. Analisis Novel Pesan Indah dari Makkah dan Madinah, dan Nilai Pendidikan yang Terkandung di Dalamnya. Analisis berarti penyelidikan terhadap suatu peristiwa, karangan, dan sebagainya dengan tujuan untuk mengetahui keadaan yang sebenarnya.1 Dalam hal ini penulis akan menganalisis novel Pesan Indah dari Makkah dan Madinah karya Ahmad Rofi’ Usmani dan nila-nilai pendidikan akhlak yang terkandung di dalamnya. 1. Analisis Novel Pesan Indah dari Makkah dan Madinah Karya Ahmad Rofi’ Usmani Analsis novel akan dimulai dengan memahami unsur-unsur yang terdapat dalam novel. Unsur-unsur tersebut adalah intrinsik dan ekstrinsik. Adapun unsur intrinsiknya, yang meliputi : a. Tema Novel ini ini bertemakan tentang teladan-teladan empat khalifah (khulafaur rasyidin) bijak. Dengan bahasa yang indah dan menawan, tentang cinta, persahabatan, kemuliaan, kepemimpinan, kebijaksanaan, dan jalan menuju surga. 1 Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2007), hlm. 43 61 62 b. Latar atau Setting Setting pada novel ini terjadi di kota Makkah dan Madinah. Dapat dilihat pada halaman 41, sebagaimana yang telah dikutip sebelumnya. “Hari itu sebuah kafilah dagang memasuki perbatasan kota Makkah. Kota yang satu ini, seperti diketahui, merupakan kota kelahiran Rasulullah Saw. dan juga merupakan kota suci umat Muslim…”” c. Sudut Pandang atau Point of View Dalam novel ini pengarang menggunakan sudut pandang impersonal, karena pengarang sama sekali berdiri di luar cerita, ia serba melihat, serba mendengar, serba tahu. d. Alur atau plot Jalan cerita dalam novel ini menggunakan alur maju dan mundur atau gabungan. Merupakan perpaduan antara alur maju dan alur mundur. Susunan penyajian urutan peristiwa diawali dengan puncak keterangan, lalu dilanjutkan dengan perkenalan dan diakhiri penyelesaian e. Penokohan Tokoh utama dalam novel ini adalah Abu Bakar Al-Shiddiq, ‘Umar bin khaththab, ‘Usman bin ‘Affan, dan ‘Ali bin Abu Thalib. Dengan watak yang hampir sama yakni bijaksana dalam bertindak dan berucap. 63 f. Amanat Dalam novel ini banyak sekali amanat yang disampaikan pengarang. Beberapa amanat yang disampaikan oleh pengarang: 1) Jabatan adalah hak setiap masyarakat dan tidak boleh digunakan macam-macam. Seperti pada halaman 108. Berikut kutipannya: “Jabatan sendiri sejatinya bukan hak pribadi ataupun turunan, tetapi ia hak masyarakat. Karena itu, jangankan suap, hadiah dalam kaitan jabatan pun terlarang menerimanya.” 2) Janganlah jabatan itu di cari!. Seperti pada halaman 124. Berikut kutipannya: “Sadarlah engkau, wahai ‘Amr! Engkau akan berada dibawah kepemimpinannya. Ketahuilah, sejatinya orang yang memburu keinginan menjadi pemimpin hanyalah karena persoalan kehormatan di dunia. ‘Amr, hendaklah engkau takut kepada Allah. Kalau tidak karena Allah, janganlah engkau dengan usahamu itu sengaja engkau cari. Berangkatlah dengan pasukanmu itu. Kalau sekali ini bukan engkau yang memegang pimpinan, insya Allah tak lama lagi engkaulah yang akan memegang pimpinan teratas.” 3) Mengingatkan pemimpin yang tak adil. Seperti pada halaman 146. Berikut kutipannya: “Demi Allah, kami tidak akan menedengarkannya!” tukas salah seorang yang hadir kala itu dengan nada suara sangat ketus. ”Demi Allah, kami tidak akan menyimaknya!” “Kenapa, wahai Salman?” tanya sang khalifah kaget dan penuh tanda taya. “Ya,” jawab Salman Al-Farisi, oraang yang menukas tersebut, kecewa, “karena engkau mengistimewakan diirmu sendiri dibandingkan dengan kami dalam pembagian baju kemarin: kami masing-masing hanya diberi sehelai baju, sedangkan engkau sendiri mengambil dua helai!” Betapa kaget ‘Umar bin Al-Kaththab mendengar jawaban Salman Al-Farisi yang demikian itu. Sejenak kemudian sang khalifah melayangkan pandangannya ke khalayak raamai. 64 Dan, bebrapa saat kemudian, dia bertanya, “Dimankah ‘Abdullah bin ‘Umar?” “Inilah saya, wahai Amirul Mukminin,” jawab ‘Abdullah, putra sang khalifah, pelan seraya bangkit dari kuburnya. “Abdullah! Kain siapakah yang sehelai lagi yang saya kenakan ini?” tanya sang khalifah kepada putranya. “Kain jatah saya, wahai Amirul Mukminin,” jawab sang putra dihadapan khalayak ramai sambil menghadapkan wjahnhya ke arah Salman Al-Farisi dan orang-orang sekitarnya. Mendengar jawaban sang putra, sang khalifah pun menarik napas. Lega. Dan, kemudian ucapnya kepada khalayak ramai, “Sebagaimana kalian ketahui, saya itu bertubuh tinggi. Karena kain bagian saya pendek, ‘Abdullah pun mmeberikan jatahnya kepada saya untuk menyambung baju jatah saya.” “Alhamdulillah, kini katakanlah pesanmu, wahai Amirul Mukminin! Kami akan mendengarkannya dan mematuhinya,” ucap Salman Al-Farisi mendengar jawaban sang khalifah tersebut, dengan menahan lelehan air matanya karena bangga dan kagum dengan perilaku dan sikap ‘Umar bin Al-Kaththab.” 4) Meluruskan pemahaman yang keliru.Seperti pada halaman 197. Berikut kutipannya: “Aku sangat marah karena Hudzaifah mengatakan bahwa ia tidak menyukai lebenaran!” jawab sang khalifah sangat kesal dan geram. “Ia benar karena tidak menyukai kematian, wahai Amirul Mukminin. Bukanah kematian itu kebenaran?” ucap suami Fatimah Al-Zahra’ itu membenarkan ucapan Hudzaifah bin Al-Yaman. “Ya!” jawab sang khalifah masih kesal. “Tapi, ia juga mengatakan bahwa ia menyukai fitnah.” “Ucapannya itu juga benar, wahai Amirul Mukminin, karena ia menyukai harta dan anak-anak. Bukankah Allah berfirman, Dan hanyalah fitnah (cobaan) (QS Al-Anfal : 28).” “Benar,” tukas sang khalifah dengan nada suara yang tidak lagi menggelegak karena marah. “Tapi, dia juga mengatakan bahwa dia memercayai sesuatu yang tidak pernah dilihatnya.” “Wahai Amirul Mukminin. Itu memang benar, karena dia memercayai keesaan Allah, ajal, kebangkitan kembali di hari 65 kiamat, surga, dan neraka. Bukankah dia tidak pernah melihat semua itu?” papar ‘Ali bin Abu Thalib. “Tapi, Abu Al-Hasan, dia juga mengatakan bahwa dia shalat tanpa wudhu!” ucap sang kahlifah masih belum puas. “Ucapannya itu juga benar, wahai Amirul Mukminin, karena yang dia maksudkan adalah ucapan shalawat (shalawat adalah kosa kata jamak bagi kosakata shalat) kepada Rasul Saw.,” ucap Ali bin Abu Thalib yang seakan tak pernah kehilangan khazanah jawaban. “Tapi, yang paling ketelaluan dia mengaku mempunyai sesuatu di bumi yang tidak dimiliki oleh Allah!” ucap sang khalifah dengan nada tinggi. “Wahai Amirul Mukminin,” jawab ‘Ali bin Abu Thalib meredam amarah sang khalifah. “Dalam hal itu pun dia juga tidak bersalah, karena di bumi ini dia mempunyai anak dan istri, sedangkan Allah Mahasuci: Dia tidak beristri dan tidak beranak.” “Wahai Abu Al-Hasan!” Sungguh, anak ibunya ‘Umar (maksudnya dirinya sendiri) nyaris celaka. Semupama tiada engkau, celakalah ‘Umar,” ucap sang khalifah sangat kagum dan puas dengan jawaban-jawaban menantu tercinta Rasul Saw. tersebut.” 5) Bersikap kesatria saat berperang. Seperti pada halaman 227. Berikut kutipannya: “Namun, tiba-tiba tatkala dalam beberapa detik lagi pisau ‘Ali akan menghabisi nyawa lawan, tinggal bebrapa inci dari dadanya, lawan iu meludahi muka ‘Ali, tepat mengenai mata, hidung, dan mulutnya. Tentu, ‘Ali sangat jijik dan marah. Namun, yang sangat mengherankan, dalam keadaan darahnya menggelegak karena merasa dihina dan dilecehkan, ‘Ali justru melemparkan pisaunya kesamping. Lalu, dia segera berdiri, dan kemudian dia menyuruh sang lawan pergi. Betapa bingungnya sang lawan yang keras kepala tersebut. Dengan nada tak percaya dia bertanya, “Mengapa kau lepaskan aku? Mengapa engkau tidak jadi membunuhku? Gilakah engkau? Padahal tadi, kalau tidak aku, pasti engkau yang mampus?” “Untuk membunuhmu bisa kuselelsaikan lain kali!” jawab suami Fatimah Al-Zahra’ itu sambil mengusap debu yang masih menempel di bajunya, “Tapi, kalau aku membunuhmu yang sekarang ini, itu kulakukan bukan karena Allah Swt. semata, melainkan karena aku marah akibat kau ludahi. Berbeda dari sebelumnya ketika aku betul-betul bertempur 66 atas dasar keyakinan untuk membela agama yang benar. Aku tak ingin mengotori tanganku dan perjuanganku dengan darah manusia karena alasan hawa nafsu. Betapapun besarnya kemarahanku karena kau hina melewati perbuatanmu meludahi wajahku tadi.” 6) Memperlakukan tawanan seperti sahabat. Seperti pada halaman 49. Berikut kutipannya: “Tawanan-tawanan perang itu bukan orang lain. Mereka masih keluarga kita sendiri. Ada yang terdekat dan ada pula yang jauh. Ada yang masih dalam hubungan orang tua, ada yang masih dalam hubungan anak dan paman. Begitulah seterusnya. Karena itu, kasihi dan sayangilah mereka. Ada dua pendapat yang bergejolak dalam benak saya, yang lebih baik mereka dibebaskan. Jika tidak demikian, mereka dapat dibebaskan jika keluarga mereka menebusnya dengan harta mereka. Harta tebusan yang akan kita terima, kiranya dapat digunakan untuk baiaya segala keperluan pertahanan kaum Muslim. Kiranya dengan cara demikian, mereka mendapat petunjuk dari Allah dan Allah mengarahkan hati mereka pada petunjuk yang benar!” 7) Memaafkan istri tercinta yang bersikap kasar. Seperti pada halaman 72. Berikut kutipannya: “Sejatinya saya datang untuk mengadukan kepadamu perihal keburukan perilaku istri saya. Tapi, ketika saya sampai disini, saya mendengar istrimu ternyata bersikap demikian pula kepadamu. Maka, saya berucap dalam hati, ‘Jika demikian keadaan Amirul Mukmminin dengan istrinya, betapa pula saya dengan istri saya. Saya pun membatalkan niat saya tersebut dan bermaskud akan pulang.” “Wahai saudaraku! Saya memaafkannya karena beberapa sebab: ia adalah juru masak makananku, membuatkan roti untukku, mencucikan pakaianku, dan menyusui anak-anakku. Padahal, semua itu tidak wajib atas dirinya. Selain itu, ia menenangkan hatiku dari perbuatan haram, karena itu saya memaafkannya,” ucap ‘Umar bin Al-Kaththab menjelaskan. “Waha Amirul Mukminin! Demikian pula halnya dengan istri saya,” ucap sang tamu. “Maafkanlah dia wahai saudaraku. Itu tidaklah lama kok! saran sang khalifah itu. 67 8) Tidak membedakan antara raja dan hamba sahaya. Seperti pada halaman 150. Berikut kutipannya: “Ketika Jabalah bin Al-Aiham sedang berthawaf di seputar Ka’bah, tiba-tiba seorang Arab Badui menginjak pakaian yang dikenakannya. Merasa tidak senang, dia pun menampar muka orang Badui itu hingga hidungnya berdarah. Lalu, dia melanjutkan langkah-langkahnya, seakan tak pernah terjadi apa pun. Mendapat perlakuan demikian itu, orang badui itu pun menemui ‘Umar bin Al-Kaththab ddan melaporkan kejadian yang dialaminya. Maka, ‘Umar segera memanggil jabalah dan berucap kepadanya, “Jabalah bin Al-Aiham. Kita semua tiada bedanya di hapapan hukum. Juga, tiada bedanya antara raja dan hamba sahaya. Jabalah, aku telah menerima keluhan mengenai apa yang engkau lakukan terhadap saudaramu ini. Bagimu ada pilihan: saudaramu ini menerima perlakuanmu dan memaafkanmu, atau engkau membiarkannya menamparmu seperti halnya engkau telah menamparnya” 9) Menjawab dengan sabar setiap pertanyaan. Seperti pada halaman 234. Berikut kutipannya: “Wahai Amirul Mukminin! Apakah engkau dapat melihat Tuhan?” “Celakalah engkau, hai Dza’lab! Tidak mungkin aku menyembah Tuhan yang tidak kulihat,” jawab ‘Ali bin Abu Thalib. “Bagaimana engkau melihat-Nya? Cobalah jelaskan kepada kami bagaimana rupa-Nya?” tanya Dza’lab lebih lanjut. “Engkau memang orang yang benar-benar celaka, hai Dza’lab!” ucap sang khlaifah. “Allah tidap dapat dilihat dengan daya penglihatan mata, tapi dapat dilihat dengan mata hati melewati keimanan! Ketahuilah, hai Dza’lab, Tuhanku tidak dapat disebut jauh atau dekat, bergerak atau diam, dan tidak bisa pula disebut datang atau pergi. Tuhanku Mahalembut, tapi tidak dapat disebut sebagai sesuatu yang lembut. Dia Mahabesar, tapi tidak dapat disebut sebagai yang besar. Dia Mahatinggi dan Mahamulia, tapi tidak dapat disebut sebagai sesuatu yang keras dan kasar. Dia Maha Pengasih dan Maha Penyayang, tapi tidak dapat disebut sebagai sesuatu yang lemah. Dia diimani bukan dengan ibadah (yakni ibadah jasmani semata). Dia dapat dijangkau bukan dengan sentuhan daya indra. Dia berfirman bukan 68 dengan kata-kata. Dia berada pada segala sesuatu tanpa bersenyawa (manunggal). Dia berada di luar segala sesuatu, tapi tidak jauh. Dia diatas segala sesuatu, tapi tidak dapat disebut berada di atas. Dia di depan segala sesuatu, tapi tidak dapat disebut berada di depan. Dia berda di dalam sesuatu, tapi tidak seperti berada di dalam sesuatu. Dia berada di luar segala sesuatu, tapi tidak seperti sesuatu yang keluar dari sesuatu.” Ketika jawaban sang khalifah sampai pada kalimat terakhir, Dza’lab benar-benar tertegun. Sejaenak kemudian, dia mengucapkan istighfar dan berucap,” Demi Allah, saya belum pernah mendengar jawaban seperti itu. saya sumpah tidak akan berbuat lagi serupa tadi!” 10) Memuliakan orang yang berusia lanjut. Seperti pada halaman 287. Berikut kutipannya: “Suatu saat pada waktu subuh, ‘Ali bin Abu Thalib tergesagesa memburu shalat berjamaah di Masjid Nabawi, Madinah. Namun, langkahnya terhambat oleh langkah pria lanjut usia yang berjalan lamban sekali didepannya. ‘Ali bin Abu Thalib pun melambatkan langkahnya untuk mengikuti untuk mengikuti di belakang orang laanjut usia itu, demi menghormati ketuaannya. Kecemasan ‘Ali memuncak, karena sebentar lagi shalat jama’ah yang dipimpin Rasulullah Saw. akan usai. Ternyata, orang tua itu tidak memasuki masjid. Tahulah ‘Ali, pria itu adalah seorang Nasrani. Malaikat Jibril berkata kepada Rasulullah Saw.”Wahai Muhammad! Sesungguhnya tadi itu hanya karena ‘Ali tergesa-gesa mengejar shalat berjamaah, tapi terantuk langkah seorang laki-laki Nasrani tua yang tidak dikenalnya, ‘Ali menghormatinya karena ketuaanya, tak berani mendahuluinya, serta memeberi hak orang itu berjalan. Maka, Allah memerintahkanku untuk menetapkanmu dalam keadaan ruku’ hingga ‘Ali bisa menyusul shalat jamaah ini. Tapi, ini tidak mengherankan. Yang sangat mengherankan, Allah telah memerintahkan malaikat Mikail mengekang laju matahari, agar waktu subuh menjadi panjang. Itu semua dilkakukan demi ‘Ali. Lalu Rasul Saw, berucap, “Itulah derajat seseorang yang memuliakan orang tua, meski orang tua itu Nasrani.” 69 g. Gaya bahasa (majas) Gaya bahasa (majas) berdasarkan struktur kalimat yang digunakannya memperlihatkan gaya penyampaian cerita yang sangat deskriptif, memotret sesuatu dengan sangat detail. Serta pemanfaatan gaya bahasa berdasarkan langsung tidaknya makna membuat pengungkapan bisa lebih tersembunyi namun mengandung efek estetika makna yang dalam. Beberapa gaya bahasa yang digunakan pengarang antara lain: 1) Perumpamaan, adalah perbandingan dua hal yang pada hakikatnya berkaitan dan yang sengaja dianggap sama. Seperti pada halaman 197. Berikut kutipannya: “Aku kini menjadi orang yang tidak menyukai kebenaran. Aku menyukai fitnah. Aku shalat tanpa wudhu. Dan aku mempunyai sesutu di bumi yang tidak dimiliki Allah di langit!” Kemudian pada halaman 119. Berikut kutipannya: “Berapa lamakah kita akan menikmati hal yang baik ini (maksudnya Islam) yang dikaruniakan Allah selepas masa jahiliah?” 2) Polisidenton, adalah gaya bahasa yang menyebutkan beberapa hal dengan menggunakan kata penghubung. Seperti pada halaman 118. Berikut kutipannya: “Aku akan mengangkat pemimpin atas kalian dan memegang hak kuasa mereka atas kalian. Karena itu, taatlah kepada Allah, dan janganlah melanggar perintah pemimpinpemimpin kalian. Hendaklah kalian berniat baik dan memperbaiki perilaku kalian. Sungguh, Allah bersama orang-orang yang bertakwa dan berbuat baik. 70 3) Ironi, adalah gaya bahasa yang menyatakan makna yang berlawanan atau bertentangan, dengan maksud menyindir. Seperti pada halaman 201. Berikut kutipannya: “Wahai Amirul Mukminin! Engkau memberi perempuan itu terlalu banyak” 4) Hiperbola, adalah gaya bahasa yang menyatakan sesuatu dengan berlebih-lebihan. Seperti pada halaman 197. Berikut kutipannya: “Terimalah hidangan dari kami, Karena jika ayahku datang dan mendapatkan kalian belum menyantapnya, tentu kami akan kena marah” Diatas adalah unsur novel dari segi intrinsik, adapun segi ekstrinsik dari novel ini adalah unsur-unsur yang berada di luar karya sastra itu, tetapi secara tidank langsung mempengaruhi bangunan karya. Adapun unsur ekstrinsik ini ialah pengarangnya itu sendiri yaitu Ahmad Rofi’ Usmani. Ahmad Rofi’ Usmani, lahir di Cepu, Jawa Tengah, 26 Januari 1953. Alumnus dan mantan pengurus Pondok Pesantren Krapyak Yogyakarta (1973-1974), kala itu di bawah pimpinan K.H. Ali Maksum (alm.) yang pernah menjadi Rois Am Syuriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, ini menyelesaikan S1 Fakultas Syariah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta, pada 1977. Selepas itu, pada 1978, dia diterima di Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir. Selama sekitar enam tahun di Mesir, mantan Ketua Lembaga Penelitian Ilmiah Persatuan Pelajar Indonesia di Mesir (1981-1983) ini 71 juga menghadiri program pascasarjana di bidang sejarah dan kebudayaan Islam di Fakultas Dar Al-‘Ulum, Universitas Kairo, Kairo, Mesir. Di sisi lain, selama itu pula, dia juga mempelajari dan mendalami bahasa Prancis di Lembaga Kebudayaan Prancis di Kairo. Sekembalinya ke tanah air, pada 1984, suami seorang dokter spesialis penyakit dalam ini kemudian berkiprah di bidang media massa, antara lain menjadi Pemimpin Pelaksana majalah Panggilan Adzan dan Redaktur Ahli majalah Kiblat (1988-1992). Selain itu, ayah dua putri yang pernah mengunjungi sejumlah negara, antara lain Arab Saudi, Mesir, Pakistan, Brunei Darussalam, Thailand, Singapura, Malaysia, Jerman, Uni Emirat Arab, Austria, Prancis, Luksemburg, dan Korea ini selalu meluangkan sebagian waktunya untuk menerjemahkan, menyunting, dan menyusun buku. 2. Analisis Nilai-Nilai Pendidikan Akhlak dalam Novel Pesan Indah dari Makkah dan Madinah Nilai pendidikan Islam (akhlak) adalah hal yang melekat pada peendidikan Islam (akhlak) yang digunakan sebagai dasar manusia untuk mencapai tujuan hidup manusia yang mengabdi pada Allah, dan nilainilai tersebut perlu ditanamkan pada anak-anak sejak usia kecil karena pada masa tersebut adalah masa yang tepat untuk menanamkan kebiasaan baik. 72 Adapun nilai-nilai pendidikan akhlak yang terkandung dalam novel “Pesan Indah dari Makkah dan Madinah”, adalah: a. Akhlak terhadap orang tua, tercermin pada halaman 278. Beikut kutipannya: “langkahnya terhambat oleh langkah pria lanjut usia yang berjalan lamban sekali didepannya. ‘Ali bin Abu Thalib pun melambatkan langkahnya untuk mengikuti untuk mengikuti di belakang orang laanjut usia itu, demi menghormati ketuaannya. Kecemasan ‘Ali memuncak, karena sebentar lagi shalat jama’ah yang dipimpin Rasulullah Saw. akan usai. Ternyata, orang tua itu tidak memasuki masjid. Tahulah ‘Ali, pria itu adalah seorang Nasrani. Malaikat Jibril berkata kepada Rasulullah Saw.”Wahai Muhammad! Sesungguhnya tadi itu hanya karena ‘Ali tergesa-gesa mengejar shalat berjamaah, tapi terantuk langkah seorang laki-laki Nasrani tua yang tidak dikenalnya, ‘Ali menghormatinya karena ketuaanya, tak berani mendahuluinya, serta memeberi hak orang itu berjalan. maka, Allah memerintahkanku untuk menetapkanmu dalam keadaan ruku’ hingga ‘Ali bisa menyusul shalat jamaah ini.” Khalifah ‘Ali bin Abu Thalib menghormati orang tua Nasrani tersebut karena ketuaanya, tak berani mendahuluinya, serta memeberi hak orang itu berjalan.Maka, Allah memerintahkan Malaikat Jibril untuk menetapkan Rasulullah Saw. dalam keadaan ruku’ hingga ‘Ali bisa menyusul shalat jamaah. Tapi, ini tidak mengherankan. Yang sangat mengherankan, Allah telah memerintahkan malaikat Mikail mengekang laju matahari, agar waktu subuh menjadi panjang. Itu semua dilkakukan demi ‘Ali. Itulah derajat seseorang yang memuliakan orang tua, meski orang tua itu Nasrani sekalipun. 73 b. Akhlak terhadap Allah, tercermin pada halaman 227. Beikut kutipannya: “saat itu ‘Ali bin Abu Thalib sedang terlihat adu pedang dengan seorang panglima lawan yang tangguh. …. “Namun, tiba-tiba tatkala dalam beberapa detik lagi pisau ‘Ali akan menghabisi nyawa lawan, tinggal bebrapa inci dari dadanya, lawan iu meludahi muka ‘Ali, tepat mengenai mata, hidung, dan mulutnya. Tentu, ‘Ali sangat jijik dan marah. Namun, yang sangat mengherankan, dalam keadaan darahnya menggelegak karena merasa dihina dan dilecehkan, ‘Ali justru melemparkan pisaunya kesamping. Lalu, dia segera berdiri, dan kemudian dia menyuruh sang lawan pergi. Betapa bingungnya sang lawan yang keras kepala tersebut. Dengan nada tak percaya dia bertanya, “Mengapa kau lepaskan aku? Mengapa engkau tidak jadi membunuhku? Gilakah engkau? Padahal tadi, kalau tidak aku, pasti engkau yang mampus?” “Untuk membunuhmu bisa kuselelsaikan lain kali!” jawab suami Fatimah Al-Zahra’ itu sambil mengusap debu yang masih menempel di bajunya, “Tapi, kalau aku membunuhmu yang sekarang ini, itu kulakukan bukan karena Allah Swt. semata, melainkan karena aku marah akibat kau ludahi. Berbeda dari sebelumnya ketika aku betul-betul bertempur atas dasar keyakinan untuk membela agama yang benar. Aku tak ingin mengotori tanganku dan perjuanganku dengan darah manusia karena alasan hawa nafsu. Betapapun besarnya kemarahanku karena kau hina melewati perbuatanmu meludahi wajahku tadi.” Khalifah ‘Ali bin Abu Thalib tidak membunuh panglima yang meludahi wajahnya karena jika dilakukan dia bukan karena Allah Swt. semata, melainkan karena beliau marah akibat diludahi. Beliau tak ingin mengotori tangannya dan perjuangannya dengan darh manusia karena alasan hawa nafsu. c. Nilai Amanah, tercermin pada halaman 108. Berikut kutipannya: “Jabatan sendiri sejatinya bukan hak pribadi ataupun turunan, tetapi ia hak masyarakat. Karena itu, jangankan 74 suap, hadiah dalam menerimanya.” kaitan jabatan pun terlarang Kemudian pada halaman 124, berikut kutipannya: “Sadarlah engkau, wahai ‘Amr! Engkau akan berada dibawah kepemimpinannya. Ketahuilah, sejatinya orang yang memburu keinginan menjadi pemimpin hanyalah karena persoalan kehormatan di dunia. ‘Amr, hendaklah engkau takut kepada Allah. Kalau tidak karena Allah, janganlah engkau dengan usahamu itu sengaja engkau cari. Berangkatlah dengan pasukanmu itu. Kalau sekali ini bukan engkau yang memegang pimpinan, insya Allah tak lama lagi engkaulah yang akan memegang pimpinan teratas.” d. Nilai Kesabaran, tercermin pada halaman 234. Berikut kutipannya: “Wahai Amirul Mukminin! Apakah engkau dapat melihat Tuhan?” “Celakalah engkau, hai Dza’lab! Tidak mungkin aku menyembah Tuhan yang tidak kulihat,” jawab ‘Ali bin Abu Thalib. “Bagaimana engkau melihat-Nya? Cobalah jelaskan kepada kami bagaimana rupa-Nya?” tanya Dza’lab lebih lanjut. “Engkau memang orang yang benar-benar celaka, hai Dza’lab!” ucap sang khlaifah. “Allah tidap dapat dilihat dengan daya penglihatan mata, tapi dapat dilihat dengan mata hati melewati keimanan! Ketahuilah, hai Dza’lab, Tuhanku tidak dapat disebut jauh atau dekat, bergerak atau diam, dan tidak bisa pula disebut datang atau pergi. Tuhanku Mahalembut, tapi tidak dapat disebut sebagai sesuatu yang lembut. Dia Mahabesar, tapi tidak dapat disebut sebagai yang besar. Dia Mahatinggi dan Mahamulia, tapi tidak dapat disebut sebagai sesuatu yang keras dan kasar. Dia Maha Pengasih dan Maha Penyayang, tapi tidak dapat disebut sebagai sesuatu yang lemah. Dia diimani bukan dengan ibadah (yakni ibadah jasmani semata). Dia dapat dijangkau bukan dengan sentuhan daya indra. Dia berfirman bukan dengan kata-kata. Dia berada pada segala sesuatu tanpa bersenyawa (manunggal). Dia berada di luar segala sesuatu, tapi tidak jauh. Dia diatas segala sesuatu, tapi tidak dapat disebut berada di atas. Dia di depan segala sesuatu, tapi tidak dapat disebut berada di depan. Dia berda di dalam sesuatu, tapi tidak seperti berada di dalam sesuatu. Dia berada di luar segala sesuatu, tapi tidak seperti sesuatu yang keluar dari sesuatu.” 75 Ketika jawaban sang khalifah sampai pada kalimat terakhir, Dza’lab benar-benar tertegun. Sejaenak kemudian, dia mengucapkan istighfar dan berucap,” Demi Allah, saya belum pernah mendengar jawaban seperti itu. saya sumpah tidak akan berbuat lagi serupa tadi!” Kemudian pada halaman 72, berikut kutipannya: “Sejatinya saya datang untuk mengadukan kepadamu perihal keburukan perilaku istri saya. Tapi, ketika saya sampai disini, saya mendengar istrimu ternyata bersikap demikian pula kepadamu. Maka, saya berucap dalam hati, ‘Jika demikian keadaan Amirul Mukmminin dengan istrinya, betapa pula saya dengan istri saya. Saya pun membatalkan niat saya tersebut dan bermaskud akan pulang.” “Wahai saudaraku! Saya memaafkannya karena beberapa sebab: ia adalah juru masak makananku, membuatkan roti untukku, mencucikan pakaianku, dan menyusui anak-anakku. Padahal, semua itu tidak wajib atas dirinya. Selain itu, ia menenangkan hatiku dari perbuatan haram, karena itu saya memaafkannya,” ucap ‘Umar bin Al-Kaththab menjelaskan. “Waha Amirul Mukminin! Demikian pula halnya dengan istri saya,” ucap sang tamu. “Maafkanlah dia wahai saudaraku. Itu tidaklah lama kok! saran sang khalifah itu. e. Nilai Keikhlasan, tercermin pada halaman 115. Berikut kutipannya: “Umar bin Al-Khaththab kemudian mengusulkan kepada para sahabat agar Abu Bakar Al-Shiddiq diberi tunjangan selaku khalifah yang mengurusi kepentingan umum tanpa harus mencari nafkah sendiri: separuh domba setiap hari ditambah 250 dinar setahun, yang kemudian dinaikkan menjadi seekor domba setiap hari dan 300 dinar setahun. Mendengar usul demikian, dan selepas merenungkan bahwa beban negara akan lebih berat untuk dirangkap dengan perdagangan, dia pun berucap, “Tugas ini tak sesuai dengan urusan dagang. Untuk tugas ini dan mengurus umat seharusnya ditekuni secara khusus, sedangkan untuk keluargaku dapat disediakan gaji seperlunya.” Usul itu akhirnya disetujui. Sejak itu, Abu Bakar Al-Shiddiq tidak lagi membawa bongkokan kain ke pasar. Dan, dia hanya menerima gaji dari Bait Al-Mal yang sekadar cukup untuk memenuhi keperluannya dan keperluan keluarganya.” 76 Kemudian pada halaman 154. Berikut kutipannya: “Ketika ‘Umar bin Al-Kaththab telah dekat dengan tempat asal api, dia melihat seorang perempuan tengah baya sedang mengaduk-aduk periuk di atas api, sedangkan anak-anaknya menangis tiada hentinya. ………………… “’Umar pun meninggalkan perempuan papa itu langsung kembali ke dalam kota Madinah, menuju Bait Al-Mal, untuk mengambil dan mengangkat tepung gandum, sehingga janggutnya memutih terekena tepung itu. Sahabatnya yang menyertainya meminta dan bersedia memikul tepung gandum itu ke tempat perempuan tadi. Tapi, ‘Umar menolak uluran tangan itu seraya berkata, “Demi Allah! Sungguh saya sebagai Amirul Mukminin telah bersalah membiarkan rakyat kelaparan. Saya sangat takut pada azab Allah di akhirat kelak atas ketelodaran ini, karena saya tidak memerhatikan kehidupan rakyat. Bukankah setiap pemimpin kelak di akhirat akan ditanya tentang orang-orang yang dipimpinnya. Apakah yang akan saya jawabkan kelak dalam pertanyaa Tuhan kepada saya?” ‘Umar pun kembali ke tempat perempuan yang ditinggalkan itu dan menyerahkan tepung gandum itu untuk dimasak. Selain itu, dia juga berpesan kepada perempuan itu agar esok harinya datang kepada khalifah untuk melaporkan hal yang telah terjadi. Esok harinya, selepas perempuan itu berhadapan dengan khalifah, tahulah ia dengan siapa ia berhadapan, yang telah memberikan serta memikul tepung gandum semalam.” Kemudian pada halaman 202. Berikut kutipannya: “Sang khalifah pun bertanya kepada utusan itu dengan perasaan heran, “Siapakah Sa’id bin ‘Amir yang namanya tertulis di sini?” “Ia adalah gubernur kami, wahai Amirul Mukminin,” jawab mereka. “Gubernur kalian? Gubernur kalian orang miskin?” tanya sang khalifah kaget dan penasaran. “Demi Allah! Memang, dia adalah seorang miskin. Malah, pernah hingga berhari-hari dapurnya tak mengepulkan asap, wahai Amirul Mukminin.” jawab utusan itu apa adanya. Mendengar jawaban para utusan tersebut, air mata sang khalifah pun meleleh. Ketika utusan itu meminta izin untuk meninggalkan Madinah, ‘Umar bin Al-Khaththab menitipkan uang seribu dinar untuk gubernur mereka. Dan ketika itu sampai ke Homs, titipan khalifah pun disampaikan kepada Sa’id bin ‘Amir. Utusan itu berharap, sang gubernur akan 77 gembira menerima kiriman tersebut. Namun, kenyataannya berbeda sama sekali. “Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun,” seru Sa’id bin ‘Amir selepas melihat uang begitu banyak itu. Mendengar ucapan Sa’id bin ‘Amir yang demikian, istrinya pun keluar dari dalam rumah seraya bertanya, “Apa yang terjadi? Khalifah meninggal dunia?” “Bukan!” jawab Sa’id bin ‘Amir. “Tapi, lebih besar dari itu. Ancaman duniawi bakal merasuk jiwaku. Akibatnya, amal kebajikanku selama ini bakal rusak.” Kemudian Sa’id bin ‘Amir menceritakan kepada istrinya perihal kiriman dari khalifah tersebut. Lantas, ucapnya, “Bagaimana kita akan menerima uang ini, sedangkan masih banyak rakyat kita yang lebih memerlukan daripada kita.” Suami-istri itu akhirnya sepakat, uang itu akan dibagikan kepada kaum fakir dan miskin di Homs.” B. Pelaksanaan Nilai-Nilai Pendidikan Akhlak dalam novel “Pesan Indah dari Makkah dan Madinah” Karya Ahmad Rofi’ Usmani Dalam penelitian ini, nilai-nilai pendidikan akhlak yang terkandung dalam novel ”Pesan Indah dari Makkah dan Madinah”, diantaranya adalah : 1. Akhlak terhadap Orang Tua Akhlak terhadap orang tua (bapak dan ibu) adakalanya ketika mereka masih hidup dan adakalanya mereka sudah meninggal dunia. a. Akhlak terhadap orang tua ketika masih hidup. Orang tua adalah orang secara jasmani menjadi asal keturunan anak. Seorang anak kandung merupakan bagian dari darah daging orang tuanya. Sehingga apa yang dirasakan oleh anaknya juga dirasakan oleh orang tuanya demikian sebaliknya. Itu pula yang menjadi sebab secara kudrati setiap orang tua menyayangi dan mencintai anaknya sebagaimana menyayangi diri 78 sendiri. Kasih sayang mereka curahkan semenjak anak masih dalam kandungan sampai lahir bahkan sampai tua. Orang tua tidak mengharapkan balas jasa dari anak atas semua pengorbanan yang telah diberikan. Harapan orang tua hanya satu yaitu kelak anaknya menjadi anak yang soleh solehah, anak yang dapat memberi kebahagiaan dunia dan anak yang mendoakan mereka setelah mereka meninggal dunia. Atas dasari itu, anak harus berbaakti kepada orang tua baik mereka masih hidup ataupun setelah mereka meninggal dunia. b. Akhlak terhadap orang tua yang sudah meninggal dunia Orang tua yang sudah meninggal dunia tidak dapat lagi menerima apa-apa, selain apa yang mereka lakukan di dunia kecuali mereka mempunyai tiga perkara, yaitu: amal jariyah, ilmu yang diajarkan, dan anak soleh yang selalu mendoakannya. Orang tua yang sudah meninggal masih memliki hak mendapatkan limpahan pahala dari doa yang disampaikan anaknya. Hal ini juga berarti bahwa anak memiliki kewajiban mendoakan orang tuanya yang sudah meninggal. Kita sebagai anak, meskipun apabila orang tua kita sudah wafat, mereka tetap wajib dihormati. Oleh sebab itu kewajiban anak terhadap orang tua berlanjut sampai mereka wafat. 79 2. Akhlak terhadap Allah Akhlak terhadap Allah dapat diartikan sebagai sikap atau perbuatan yang seharusnya dilakukan oleh manusia sebagai makhluk Tuhan. Berkenaan dengan kahlak kepada Allah dilakukan dengan cara memuji-Nya, yakni menjadikan Tuhan sebagai satu-satunya yang menguasai diri kita. Oleh sebab itu kita sebagai hamba Allah mempunyai cara-cara yang tepat untuk mendekatkan diri. Adapun cara-caranya adalah sebagai berikut : a. Mentauhidkan Allah, yaitu dengan tidak menyekutukan-Nya kepada sesuatu apapun. Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam surat AlIkhlas ayat 1-4. b. Bertaqwa kepada Allah, maksudnya dengan berusaha semaksimal mungkin untuk dapat melaksanakan apa-apa yang telah Allah perintahkan dan meninggalkan apa-apa yang dilarang-Nya. c. Beribadah kepada Allah, sebagaimana yang telah dijelaskan dalam surat Al-An’am ayat 162, Al-Mu’min ayat 11 dan 65, serta surat AlBayyinah ayat 7 dan 8. d. Taubat, sebagai seorang manusia biasa, kita juga tidak akan pernah luput dari sifat salah dan lupa. Karena ini memang menjadi tabiat manusia. Oleh sebab itu, ketika kita terjerumus dalam kesalahan dan dosa hendaklah segera bertaubat kepada Allah, sebagaimana dijelaskan dalam surat Ali Imron ayat 135. 80 e. Membaca al-Qur’an, seseorang yang mencintai sesuatu tentulah ia akan banyak dan sering menyebutnya. Demikian juga dengan mukmin yang mencintai Allah, tentu akan selalu menyebut nama Allah dan juga senantiasa akan membaca firman-Nya. Dalam sebuah hadis Rasul menjelaskan bahwa kelak dihari kiamat, Al-Qur’an akan memberi syafa’at kepada orang yang gemar membacanya. f. Ikhlas, yaitu beramal semata-mata mengharapkan ridha Allah atau dengan kata lain berbuat tanpa pamrih. g. Khauf dan raja’, yaiut takut dan harap. Maksudnya adalah sepasang sikap batin yang harus dimiliki secara seimbang oleh setiap muslim. h. Tawakkal, adalah membebaskan diri dari segala kebergantungan kepada selain Allah dan menyerahkan kepurtusan segala sesuatunya kepada Allah. Tawakkal harus diawali dengan kerja keras dan usaha yang maksimal. Bukanlah dinamakan tawakkal kalau hanya pasrah menunggu nasib sambil berpangku tangan tanpa melakukan apa-apa. 3. Nilai Amanah Dalam surat An-Nisa’ ayat 58, dijelaskan bahwa amanah tidak hanya menyangkut urusan material dan hal-hal yang bersifat fisik. Katakata adalah amanah, menunaikan hak Allah adalah amanah, berlaku baik kepada sesama manusia amanah. Jadi selain kita menjaga kepercayaan, kita juga harus menjaga kata-kata, menunaikan hak Allah serta selalu berbuat baik kepada sesama. Amanah berarti kepercayaan jujur, setia dalam menjalankan 81 sesuatu tugas dan tanggung jawab. Dalam hal ini cara yang terbaik adalah menghormati hak-hak yang dimiliki oleh anak. 4. Nilai Kesabaran Sabar merupakan sikap tegar dalam menghadapi ketentuan dari Allah. Kesabaran adalah ketenangan hati dalam menghadapi cobaan, kesabaran adalah kata yang indah dan mudah untuk diucapkan. Namun, tidak banyak orang yang mampu melaksanakan. Dan derajat kesabaran inilah yang sesungguhnya membedakan antara hidup orang sukses dengan orang yang gagal dalam aktivits hidupnya. Terkait dengan ini, seorang bijak mengatakan bahwa orang sukses adalah orang yang terus mencoba meskipun telah mengalami banyak kegagalan. Ia memandang kehidupan sebagai peluang untuk mencapai kesuksesan. Kesabaran bukan proses diam dan pasif, melainkan proses aktif, tubuh aktif dan iman yang aktif. Justru dari musibah yang disikapi dengan kesabaran akan turun rahmat dan petunjuk dari Allah. Dengan kata lain, di dunia ini tidak ada sesuatu kesuksesan apa pun yang tidak dapat diraih oleh orang-orang yang mampu mempersiapkan dirinya secara baik dan mendapatkannya dengan penuh kesabaran. 5. Nilai Keikhlasan Ikhlas berarti rela, dengan tulus hati, atau rela hati.2 Rasa ikhlas bisa berkaitan dengan kebahagiaan. Jika kita dapat membuat dan 2 Sutan Rajasa, Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya: Karya Utama, 2002), hlm. 229. 82 mengkondisikaan suasana hati sedemikian rupa pada posisi ikhlas maka kita akan merasa bahagia dan tenang. Dengan sebuah keikhlasan menerima apa yang terjadi akan membuat kita kembali menatap suatu kejadian dengan suat upesona. Terima dengan ikhlas apa yang kita miliki, apa yang terjadi, dan apa yang telah menimpa kita. Maka kita tidak akan lagi merasa terbebani dalam hidup ini. Dengan nilai-nilai akhlak yang ditampilkan dalam tokoh, kita dapat mencontoh mereka yang mempunyai karakteristik bijaksana dalam bertindak, menyayangi keluarga, sabar dalam menghadapi segala ujian, dan taat kepada Allah. Dengan mencontoh sifat dan sikap keempat khalifah bijak, kita juga hendaknya mampu mengaplikasikan nilai-nilai akhlak yang terkandung dalam novel. Misalnya kita hendaknya selalu bersabar dalam menjalani hidup, bersabar dalam mendidik anak, karena secara tidak langsung kita juga telah mengaplikasikan metode teladan, sehingga anak akan meniru menjadi sabar dalam kesehariaannya. Dan nilai-nilai akhlak lainnya seperti amanah, akhlak kepada Allah, kepada orang tua dan orang yang lebih tua, serta nilai keikhlasan hendaknya kita tanamkan sedini mungkin pada anak-anak sehingga nilai tersebut benarbenar menjadi karakter dalam diri anak hingga usia dewasa. BAB V PENUTUP A. Simpulan Setelah meneliti novel Pesan Indah dari Makkah dan Madinah dari berbagai unsur, maka dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Nilai-nilai pendidikan akhlak yang terdapat dalam novel Pesan Indah dari Makkah dan Madinah, berdasar hasil analisis nilai-nilai pendidikan akhlak tersebut terdapat lima nilai. Yaitu: (a) Akhlah terhadap Orang tua, (b) Akhlak terhadap Allah, (c) Amanah, (d) Kesabaran, yang merupakan ketenangan hati dalam menghadapai cobaan, (e) Keikhlasan, yaitu ketulusan hati. Namun juga terdapat banyak amanat pendidikan yang terkandung dalam novel ini, seperti: patuh pada pemimpin, tidak meninggalkan sholat, tidak putus asa, selalu berbuat baik. 2. Pelaksanaan nilai-nilai pendidikan akhlak yang terkandung dalam novel Pesan Indah dari Makkah dan Madinah, adalah sebagai berikut: Akhlak terhadap Allah, Akhlak terhadap Allah dapat diartikan sebagai sikap atau perbuatan yang seharusnya dilakukan oleh manusia sebagai makhluk Tuhan. Adapun caranya adalah sebagai berikut: Mentauhidkan Allah Allah, bertaqwa kepada Allah, beribadah kepada Allah, melakukan taubat, membaca Al-Qur’an, menerima dengan ikhlas, menanamkan sifat hauf dan raja’ serta bertawakkal kepada Allah. Kemudian Akhlak terhadap orang tua (bapak dan ibu) adakalanya ketika mereka masih hidup dan ada kalanya ketika mereka sudah meninggal dunia. Selalu 83 84 mengabdi kepada mereka ketika mereka masih hidup, dan setelah mereka meninggal dunia pun kita tetap mempunyai kewajiban mengabdi kepada mereka dengan cara mendoakannya. Kemudian akhlak terhadap orang yang lebih tua, walaupun orang yang lebih tua tersebut berbeda keyakinan/ agama dengan kita. Kemudian nilai Amanah, amanah tidak hanya menyangkut urusan material dan hal-hal yang bersifat fisik. Katakata adalah amanah, menunaikan hak Allah adalah amanah, berlaku baik kepada sesama manusia adalah amanah. Kemudian nilai kesabaran, sabar merupakan sikap tegar dalam menghadapi ketentuan dari Allah. Kesabaran adalah ketenangan hati dalam menghadapi cobaan. Lalu nilai Keikhlasan, ikhlas berarti rela, dengan tulus hati, atau rela hati. Rasa ikhlas bisa berkaitan dengan kebahagiaan. Jika kita dapat mengkondisikan suasana hati sedemikian rupa pada posisi ikhlas maka kita akan merasa bahagia dan tenang. Dengan sebuah keikhlasan menerima apa yang terjadi akan membuat kita kembali menatap suatu kejadian dengan suatu pesona. B. Saran Beberapa saran berikut agar dapat menjadi bahan masukan yang berguna dan bermanfaat bagi pihak-pihak yang bersangkutan, anatara lain : 1. Saran kepada Orang Tua Orang tua hendaknya lebih bisa mengawasi putra-putri mereka. Ajarilah anak melaksanakan ibadah sejak dini. Berilah perhatian dan 85 kasih sayang. Jadikanlah keluarga sebagai tempat berkembangnya ahklakul karimah. Serta mendorong anak untuk mencari ilmu dunia dan ilmu agam agar mampu merealisasikan dirinya (self realization) serta mengamalkan ajaran islam. 2. Saran kepada guru bahasa dan sastra Indonesia Guru hendaknya dapat memaksimalkan penggunaan media atau bahan atau sumber pembelajaran sastra, dalam hal ini adalah novel. Dalam novel selain terdapat amanat yang disampaikan pengarang, terdapat juga gaya bahasa yang dipergunakan oleh pengarang yang dapat dipelajari. Disamping itu, guru hendaknya juga memperhatikan amanat dari sebuah sastra sebelum memutuskan untuk menjadikan karya sastra tersebut seagai bahan pembelajaran. 3. Saran kepada pembaca karya sastra Pembaca karya sastra hendaknya mengambil nilai-nilai postif dalam sebuah karya sastra. Salah satu karya sastra yang patut untuk dibaca dan diambil nilai positifnya adalah novel Pesan Indah dari Makkah dan Madinah karya Ahmad Rofi’ Usmani. 4. Saran kepada peneliti lain Peneliti lain sebaiknya dalam meneliti novel harus membaca dengan intensif. Karena dengan demikian kita sebagai peneiti akan lebih mudah menemukan nilai-nilai pendidikan untuk diteliti lebih lanjut. 86 C. Kata Penutup Alhamdulillah dengan segala puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena berkat rahmat, taufiq, serta hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi dengan judul “Nilai-Nilai Pendidikan Akhlak yang Terkandung dalam Novel Pesan Indah dari Makkah dan Madinah Karya Ahmad Rofi’ Usmani”. Penulis telah berupaya semaksimal mungkin dengan segala kemampuan, namun penulis yakin hasilnya masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kritik serta saran yang membangun selalu peneliti harapkan khususnya kepada para pembaca. Akhirnya penulis berdoa semoga skripsi yang berjudul ”Nilai-Nilai Pendidikan Akhlak yang Terkandung dalam Novel Pesan Indah dari Makkah dan Madinah Karya Ahmad Rofi’ Usmani” ini, dapat bermanfaat dan semoga Allah selalu menunjukkan kepada kita jalan yang lurus yaitu jalan orangorang yang diberi nikmat, bukan jalan orang-orang yang sesat. Amin ya rabal alamin. DAFTAR PUSTAKA Al-Jauziyah, Ibn Al-Qayyim, Kemuliaan Sabar dan Keagungan Syukur, Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2005. Al-Hamd, Muhammad bin Ibrahim, Maal Muallimin, terj. Ahmad Syaikhu, Jakarta: Darul Haq, 2002. Amdi, Wahid, Risalah Akhla Panduan Perilaku Muslim Modern, Solo: Era Intermedia, 2004. Amin, Ahmad, Etika (Ilmu Akhlak), Jakarta: PT Bulan Bintang, 1993. An-Nahwlawi, Abdurrahman, Prinsip-prinsip Metode Pendidikan Islam, Bandung: IKAPI, 1989, Cet-1. ------------------, Ushulut Tarbiyah Islamiyah Wa Asalibiha Fii Baiti Wal Madrasati Wal Mujtama’, terj. Shihabudin, Jakarta: Gema Insani Pers, 1996. Azis, Erwati, Prinsip-Prinsip Pendidikan Islam, Solo: Tiga Serangkai, 2003. Azwar, Saifuddin, Metodologi Penelitian, Yogyakarta: Pustaka Pelajar Ofifset, 2004. Azis, Abdul Majid Abdul, Alqissah Fi Al-Tarbiyah, terj. Neneng Yanti Kh. dan Iip Dzulkifli Yahya, Bandung: PT Remaja Rosda Karya, 2001. Daradjat, Zakiah dkk., Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 2006. Darwati, Uti dkk., Bahasa Indonesia Untuk SMA/MA Sederajat, Klaten: PT. Intan Perwira, 2010. Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2007. El-Mubaroh, Zaim, Membumikan Pendidikan Nilai Mengumpulkan yang Terputus dan Menyatukan yang Tercerai. Bandung: Alfabeta, 2009. Hadi, Sutrismo, Metodoligi Research I, Yogyakarta: Andi Ofset, 1997. Kosasih, E, Dasar-Dasr Keterampilan Bersastra, Bandung: CV. Yrama Widya, 2012. Leamen, Oliver, Menafsir Seni dan Keindahan, terj. Irfan Abubakar, Bandung: Mizan Pustaka, 2005. Lubis, Mawardi, Evaluasi Pendidikan Nilai, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009, Cet-1 Margono, Metodelogi Penelitian Pendidikan, Jakarta: Rineka Cipta, 2004. Muhaimin & Mujib, Abdul, Pemikiran Pendidikan Islam, Bandung: Trigenda Karya, 2003. N, Sora, Pengertian Novel dan Unsur-Unsurnya, http://www. pengertianku.net/2014/08/pengertian-novel-dan-unsur-unsurnya.html, 2015. Nata, Abudin, Pemikiran Pendidikan Islam & Barat, Jakarta: Rajawali Pers, 2012. Nizar, Samsul, Filsafat Islam Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis, Jakarta: Ciputat Pers, 2002. Nurgiyantoro, Burhan, Teori Pengkajian Fiksi, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2008. Poerwadarminto, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1985. Pradotokusumo, Partini Sardjono, Pengkajian Pustaka, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2005. Quraish, M. Shihab, Tafsir Al-Misbah Pesan, Kesan dan Keserasian Alqur’an, Jakarta: Lentera Hati, 2002 Qutb, Muhammad, Sistem Pendidikan Islam, Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1993. Rajasa, Sutan, Kamus Ilmiah Populer, Surabaya: Karya Utama, 2002. Semi, M. Atar, Rancangan Pengajaran Bahasa & Sastra Indonesia, Bandung: Angkasa, 1990, edisi Ke-1 Surakhmad, Winarno, Pengantar Peneliitan Ilmiah Dasar Metode Tehnik, Bandung: Transito, 1998. Thaha, Chatib, Kapita Selekta Pendidikan Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996. Tehrani, Faisal, diakses 16 April 2015 “Sastra Kanak-kanak Pendekatan Islam”, http://www.blogger.com/post-create.g/blog.id. Usmani, Ahmad Rofi’, Pesan Indah dari Mekkah dan Madinah, Bandung: Mizania, 2008. https://id.wikipedia.org/wiki/Novel?_e_pi=7%2CPAGE_IDp10%2C840496864 7, 2015) RIWAYAT HIDUP Nama : FATIH NOOR FAHMI Tempat/Tgl Lahir : Jepara, 23 Februari 1994 Jenis Kelamin : Laki-laki No. Induk : 131310000273 Alamat : Rengging RT 05/ RW 01 Pecangaan Jepara No. Telp/Email : 085842122231/ [email protected] Jenjang Pendidikan : 1. SD N 02 Rengging Lulus Tahun 2005 2. MTs Al-Muttaqin Rengging Lulus Tahun 2008 3. SMA WALISONGO Pecangaan Lulus Tahun 2011 4. Universitas Islam Nahdlatul Ulama (UNISNU) Jepara, Angkatan 2011 Demikian daftar riwayat pendidikan penulis yang dibuat dengan data yang sebenarnya dan semoga menjadi keterangan yang lebih jelas. Jepara, 22 September 2015 Penulis FATIH NOOR FAHMI NIM. 131310000273