Pengaruh Penyuntikan Ekstrak Kelenjar Hipofisis

advertisement
TINJAUAN PUSTAKA
Biologi Reproduksi Ikan Jambal Siam
Ikan jambal Siam mencapai matang kelamin pada urnur dua sampai tiga tahun
dengan bobot tiga sampai lima kilogram (Varikul dan Boonsom 1968). Pada ikan
jantan, kematangan kelamin dicapai pada umur dua sampai tiga tahun, sedangkan
pada betinanya yaitu pada umur tiga sampai empat tahun. Musim pemijahan ikan
jarnbal Siam berlangsung dari bulan September sampai April dengan puncak musim
pada bulan Oktober sampai Desember. Puncak musim terjadi pada saat musim hujan,
baik pada ikan yang dipelihara di kolarn dengan sistem perairan rnengalir maupun
pada sistem perairan tergenang (Utiah 2000).
lkan betina yang telah matang gonad mempunyai ciriciri perut iiampak besar
dan lembek, kulit bagian perut tipis, genital membengkak dan berwarna merah tua,
dan jika sekitar genital ditekan akan keluar beberapa butir telur yang seragam
ukurannya dan warnanya agak kuning serta bening serta terpisah satu sama lain. Ikan
jantan yang sudah matang kelarnin ditandai dengan keluarnya cairan sperma yang
berwarna putih susu bila diurut bagian perutnya.
Jumlah telur yang dihasilkan oleh seekor ikan betina bervariasi bergantung
kepada ukunn induk. Seekor induk jambal Siam dapat menghasilkan sekitar 1 - 1.5
juta butir telur.
Umurnnya telur muda berwarna putih sedangkan telur matang
berwarna kuning, tergantung pada jenis pakan yang dikonsumsinya. Telur akan
menjadi adhesif (menempel) setelah mengalami kontak dengan air di sekelilingnya.
'
Mekanisme Hormon Reproduksi dalam Proses Perkembangan
dan Kematangan Akhir Gonad
.
Reproduksi ikan diatur oleh poros hipotalamus-hipofisis-gonad. GnRH yang
diproduksi hipotalamus mempunyai struktur kimiawi dekapeptida dan memiliki daya
kerja merangsang sekresi GTH I dan GTH II. Dalam kondisi fisiologik yang normal,
hormon gonadotropin di dalam peredaran darah mempunyai mekanisme pengaturan
olehnya sendiri sehingga akan selalu dalam kadar optimum untuk menjaga
keseimbangan keadaan organ sasarim yang berada di bawah pengaruhnya.
Mekanisme pengaturan ini disebut umpan balik, baik negatif maupun positif
Secara alami perkembangan gonad ikan dipengaruhi oleh hormon
gonadotropin yang dihasilkan oleh hipofisis sebagai respon hipotalamus terhadap
sinyal-sinyal lingkungan, seperti suhu, naik turunnya permukaan air, curah hujan, dan
lain-lain. Hipofisis menghasilkan GTH I dan GTH 11 yang merangsang kelenjar
gonad untuk menghasilkan hormon gonad (steroid). GTH I mempunyai daya kerja
untuk merangsang pertumbuhan ovari (vitelogensis), dan GTH I1 untuk merangsang
pematangan akhir. Elizur, Zmora, Rosenfeld, Meiri, Hassin, Gordin, dan Zohar
(1996) menyatakan bahwa kandungan GTH I urnumnya tinggi pada saat
vitelogenesis, sedangkan kandungan GTH I1 tinggi pada saat pematangan akhir dan
ovulasi.
Apabila kadar hormon steroid di dalam peredaran darah telah melewati batas
keperluan, hormon steroid ini akan menghambat hipofisis untuk mengurangi sekresi
GTH. Dengan demikian produksi hormon steroid akan menurun mencapai kadar
yang optimum.
Hormon steroid dapat menghambat hipotalamus dengan cara
menghambat produksi GnRH, sehingga sekresi GTH akan berkurang (Gambar 1).
Pada ikan betina, ovari berespon terhadap peningkatan konsentrasi
L
gonadotropin melalui produksi estradiol-l7P. Estradiol-17P beredar menuju hati,
memasuki jaringan dengan cara difusi dan secara spesifik merangsang sintesis
vitelogenin (Ng dan Idler 1983). Aktivitas vitelogenesis ini menyebabkan nilai
hepatosomatic index (HSI) dan gonadosomatic index (GSI) ikan meningkat (Cerda,
Calman, Lafleur, and Limesand 1996). Menurut Effendie (1997), pertambahan bobot
gonad ikan betina pada saat matang gonad dapat mencapai 10- 25% dari bobot tubuh
dan pada ikan jantan 5 - 10%. Adapwi pertambahan bobot gonad pada ikan patin
betina yang matang gonad mencapai 5.1 - 13.3% (Siregar 1999). Lebih lanjut
dikemukakan oleh Effendie (1997) bahwa semakin lanjut tingkat kematangan gonad,
ukuran diameter telur yang ada dalam gonad akan menjadi semakin besar.
Siklus ovari berkaitan dengan siklus konsentrasi hormon steroid seks yang
cenderung meningkat sejalan dengan perkembangan ovari dan menurun setelah
pemijahan. Hal ini terjadi bersasnaan dengan penurunan laju sintesis estrogen dalarn
ovari (Van Bohemen dan Lambert 1981) dan memungkinkan sekresi gonadotropin
naik sampai ke tingkat ovulasi dengan mengurangi hambatan urnpan balik.
Penurunan estrogen ini juga mengurangi penghambatan potensial terhadap
pematangan gonad yang dirangsang gonadotropin dan konsentrasi estrogen yang
minimum diduga menandai kematangan gonad. Dengan mekanisme umpan balik
(negatif maupun positif), maka keseimbangan hormonal di dalam tubuh akan
terjamin, sehingga keseimbangan fisiologis juga akan dipertahankan selama tubuh
masih dapat dan marnpu untuk melakukannya (Redding dan Patino 1993).
Kelenjar Hipofisis
Hormon yang digunakan untuk manipulasi pematangm gonad dan ovulasi
ikan dapat berbentuk hormon alamiah maupun sintetis, di antaranya adalah human
chorionic gonadotropin (HCG) (Zairin, Furukawa, dan Aida 1992), gonadotropin ikan
salmon (Sato et al. 1996), luteinizing hormone releasing hormone (I,HRH dan
LHRH-a) (Ernawati 1999), ekstrak hipofisis ikan mas (Epler et al. 1986), ekstrak
hipofisis ikan chum salmon (Todo, Adachi, d m Yamauchi 1995), estradiol-17P
(Indriastuti 2000), l7a-metiltestosteron (Emawati 1999), dan lain-lain. Salah satu
jenis hormon yang dapat mempercepat proses kematangan gonad adalah
gonadotropin. Gonadotropin adalah hormon glikoprotein yang berasal dari hipofisis
atau plasenta yang merangsang perkembangan dan hngsi gonad. Gonadotropin
merupakan faktor utama yang diperlukan untuk memacu perkembangan dan
pematangan sel telur. Gonadotropin bekerja secara tidak langsung melalui stimulasi
sintesis hormon steroid oleh kelenjar gonad yang mempengaruhi perkembangan sel
telur (estradiol-17P) dan pematangan akhir (maturation-inducing hormone, MM;
17% 20P dihydroxy-4-pregnen-3-one, 17a,20(3-DP) (Nagahama et al. 1993).
Ekstrak kelenjar hipofisis yang mengandung hormon gonadotropin sangat
efektif untuk memngsang beberapa spesies ikan untuk mencapai kematangan tahap
akhir telur. Epler et al. (1986) melaporkan bahwa penyuntikan ekstrak kelenjar
hipofisis ikan mas dua kali berturut-turut dengan dosis 0.5 dan 4.0 mgkg pada ikan
mas (Cjprinus carpio L.) mampu meningkatkan kematangan gonad dan menjamin
keberhasilan ovulasi sebesar 80%. Hasil penelitian Todo et al. (1995) pada ikan sidat
Jepang menunjukkan bahwa penyuntikan hipofisis ikan chum salmon sebanyak 20
pglg BBIminggu mampu memacu proses viteiogenesis dimana awal proses
vitelogenesis terjadi pada minggu ke-9. Serum vitelogenin meningkat tajam pada
suntikan pertama dan meningkat secara bertahap sarnpai akhir proses vitelogenesis
(minggu ke-17-20).
Adapun Sato el al. (1996) melaporkan bahwa penyuntikan
ekstrak gonadotropin salmon (sGTH) dalam bentuk emulsi tipe WIO dengan
menggunakan FlA sebanyak 200 pg sGTWlOO g bobot tubuh dapat mempercepat
vitelogenesis dan kematangan gonad ikan sidat Jepang (Anguilla japonica)
dibandingkan dengan penyuntikan sGTH melalui larutan salin (Sato et al. 1996).
Aktivitas ekstrak kelenjar hipofisis bergantung kepada umur, jenis kelamin,
dan kematangan donor, di samping metode pengumpulan dan teknik yang digunakan
untuk mengawetkan kelenjar hipofisis. Standarisasi ekstrak kelenjar hipofisis baik
yang segar maupun yang telah diawetkan dalam aseton sulit dilakukan karena
kandungan honnon gonadotropin dalam ekstrak tidak selalu sama.
Menurut
Woynarovich dan Horvath (1980), kandungan hormon gonadotropin pada kelenjar
hipofisis ikan bervariasi menurut musim pemijahan dan selama stadia tertentu dalam
hidupnya. Hasil penelitian Elizur et al. (1996) yang dilakukan pada ikan gilthead
seabream (Sparus auratus) menunjukkan bahwa selama musim pemijahan kandungan
P-GTH 1 pada jantan 2.5 kali lebih tinggi dibandingkan pada betina. Adapun hasil
penelitian Swanson (1 99 1) menunjukkan bahwa kandungan GTH I pada jantan coho
salmon yang matang gonad lebih tinggi dibandingkan pada betinanya. Konsentrasi
GTH-I1 pada hipofisis ikan lele (Clarias batrachus) jantan dan betina mencapai
L
puncaknya pada fase pra-pemijahan yaitu sebesar 10-12 nglmg hipofisis (Joy, Singh,
Senthilkumaran, dan Goos 2000).
Secara umum dosis total untuk menyeragamkan kematangan telur dan ovulasi
pada induk yang berukuran lebih dari 5 kg digunakan hipofisis sebesar 2.5 - 3 mg,
untuk induk ukuran 2 - 5 kg digunakan 1.5 nig, sedangkan untuk induk ukuran 0.5 2 kg digunakan 0.75 mg. Kelenjar hipofisis ikan mas yang telah diawetkan dalam
aseton dengan bobot 2.5 - 3 mg berasal dari 1.5 - 2 kg ikan mas. Umumnya dosis
hipofisis yang diberikan per kilogram bobot induk betina adalah 3 - 4.5 mg
(Woynarovich dan Horvath, 1980).
Vitelogenesis dan Perkembangan Gonad
Dua proses yang terjadi selama oogenesis adalah perkembangan dan
pematangan sel telur. Gonadotropin yang disekresikan oleh hipofisis memegang
peran penting pada kedua proses tersebut.
Kelenjar hipofisis ikan teleost
mensekresikan dua jenis gonadotropin (GTH I dan GTH II). Pada ikan salmonid,
GTH I disekresikan selama proses perkembangan gonad dan berpemn untuk
menstimulasi perturnbuhan ovari dan proses steroidogenesis. Sebaliknya, selama
periode pematangan sel telur, kelenjar hipofisis mensekresikan GTH I1 yang
meningkatkan proses steroidogenesis untuk memacu pematangan akhir sel telur
(Nagahama et al. 1993). Walaupun gonadotropin merupakan mediator utama pada
proses perkembangan dan pematangan sel telur, hormon ini tidak bekerja secara
lmgsung, tetapi melalui produksi hormon steroid oleh sel folikel.
Prorrr vikloprnrrlr
Praerpen
....
ngen .khir
Gan~bar1 . Proses vitelogenesis pada ikan (Aida, KObayashi, dan Kaneko 199 1)
Vitelogenesis pada ikan teleost terjadi melalui dua tahapan yaitu peningkatan
sekresi estradiol-17P oleh gonadotropin, ymg kemudian menstimulasi sintesis dan
sekresi vitelogenin oleh hati. Peningkatan kanduilgan estradiol- 17P terjadi selama
ikan betina aktif melakukm, proses vitelogenesis. Kapasitas produksi estradiol-17P
oleh folikel sebagai respon terhadap stimulasi gonadotropin meningkat selama
perkembangan sel telur, tetapi secara cepat mengalanli penurunan pada saat sel telur
mencapai tingkat kematangan (Nagahama et al. 1993).
Vitelogenin secara selektif diserap oleh oosit yang sedang berkembang
melalui aliran darah. Vitelogenin yang diserap ke dalam oosit akan menyebabkan
ukuran oosit dan gonad bertambah besar. Setelah mencapai ukuran maksimurn,
perkembangan akan terhenti dan oosit akan memasuki fase dorman (Woynarovich
.
dan Horvath 1980).
Proses vitelogenesis pada ikan jambal Siam dapat dipercepat melalui rekayasa
hormonal. Berdasarkan pada beberapa hasil penelitian, hormon-hormon yang efektif
merangsang sintesis dan sekresi vitelogenin pada ikan jarnbal Siam antara lain
estradiol-17P (Indriastuti 2000; Monijung 200 1), LHRH-a (Ernawati 19991,
testosteron (Ernawati 1999, Sarwoto 200 I), dan HCG (Siregar 1999).
Untuk mengukur tingkat perkembangan gonad Nikolsky dalam Effendie
(1 997) membagi tingkat kematangan gonad dalam tujuh tahapan, yaitu :
Tahap I
:
Tidak masak.
Individu masih belum berhasrat inengadakan
reproduksi. Ukuran gonad kecil.
Tahap I1
:
Masa istirahat.
Produk seksual belum berkembang.
Gonad
berukuran kecil. Telur tidak dapat dibedakan oleh mata.
Tahap 111
:
Hampir masak. Telur dapat dibedakan oleh mata. Testes berubah
dari transparan menjadi warna ros.
Tahap IV
:
Masak. Produk seksual masak.
Produk seksual mencapai bobot
maksimum. Tetapi produksi tersebut belum keluar bila perut diberi
sedikit tekanan.
Tahap V
:
Reproduksi. Bila perut diberi sedikit tekanan produk seksualnya
akan menonjol keluar dari lubang pelepasan, bobot gonad cepat
menurun sejak permulaan berpijah sampai pemijahan selesai.
Tahap VI
:
Keadaan salin. Produk seksual te!ah dikeluarkan. Lubang genital
berwarna kemerahan. Gonad mengempis. Ovarium berisi beberapa
telur sisa. Testes juga berisi sperma sisa.
Tahap VII :
Masa istirahat. Produk seksual telah dikeluarkan. Wama kemerahmerahan pada lubang genital telah pulih. Gonad kecil dan telur
belum terlihat oleh mata.
Adapun Siregar (1 999) membagi tingkat kematangan gonad ikan jambal Siam
betina secara morfologi dan histologi sebagai berikut :
TKG
I
I1
1
,
IV
MORFOLOGI"
Ovari masih kecil dan halus
seperti benang. Wama ovari
merah muda, memanjang di
rongga perut.
U k u m ovari bertambah besar,
warna ovari berubah menjadi
coklat muda, butiran telur belum
terlihat.
Ukuran ovari relatif besar dan
mengisi hampir sepertiga rongga
perut. Butir-butir telur terlihat
jelas dan benvarna kuning muda.
Gonad mengisi penuh rongga
perut, semakin pejal dan warna
butimn telur kuAng tua. Butiran
telur besarnya hampir sama dan
mudah dipisahkan.
Kantung
tubulus seminifer a ~ a lunak.
k
HISTOLOGI~'
Didominasi
oleh
oogonia
berukuran 7.5-12.5 pm. Inti sel
besar.
1
Oogonia menjadi oosit, ukuran
p
membentuk
200-250
kantung
kuning
telur.
Sitoplasma berwarna ungu.
Lumen berisi telur. Ukuran oosit
lnti mulai
750- 1125 pm.
tampak.
Inti terlihat jelas dan sebaran
kuning- telur mendominasi oosit.
Ukuran oosit 1300-1500 pm.
Keterangan :
1. Klasifikasi menurut Nikolsky dalam Effendie (1 997)
2. Klasifikasi menurut Chinabut et al. (1 99 1)
-
1
I
Sistem Penghantaran Hormon
Rekayasa hormonal merupakan salah satu teknik yang dapat digunakan untuk
menginduksi perkembangan gonad, kematangan gonad, dan ovulasi.
_
Sistem
penghantaran hormon dapat dilakukan secara akut atau kronis. Sistem penghantaran
hormon secara akut dapat berupa penyuntikan larutan cab yang mengandung hormon.
Sistem ini umumnya digunakan untuk merangsang pematangan akhir dan ovulasi.
Kelemahan dari sistem ini yaitu hormon akan cepat hilang dari sistem peredamn
darah dan penyuntikan yang berulang kali dapat menyebabkan gangguan pada fhngsi
gonad, stres, dan bahkan kematian.
Sistem penghantaran hormon secara kronis dapat melalui impantasi pelet
kolesterol (Crim et al. 1988) maupun dengan menggunakan emulsi (Sato et al. 1995).
Sistem ini dapat mengatur ketersediaan hormon secara terus-menerus dalam jangka
waktu yang lama di dalam sirkulasi darah dan umumnya digunakan untuk
merangsang perkembangan dan pematangan gonad. Sistem penghantaran hormon
dengan menggunakan teknik implantasi masih memiliki beberapa kelemahan yaitu
sukar untuk menentukan dosis hormon yang tepat dalam pelet kolesterol yang
digunakan, belum tersedianya ukuran pelet untuk ikan yang berbeda ukuran dan
jenisnya, dapat menyebabkan stres pada ikan k m n a timbulnya lubang bekas implan,
dan rentan penyakit.
Untuk mengatasi masalah ini maka dikembangkan sistem
penghantaran hormon dengan menggunakan emulsi. Penggunaan emulsi memiliki
beberapa keunggulan antara lain dosis hormon dapat diketahui dengan pasti,
pelepasan hormon terjadi secara perlahan dan bertahap, serta dapat meminimumkan
stres pada ikan.
Emulsi merupakan sistem koloid yang mengandung fase diskontinyu yang
terdistribusi secara seragam dan sangat halus di dalam fase kontinyu. Sejumlah
emulsi dibuat dengan menggunakan Freund's incomplete adjuvant (FIA).
. FIA
membentuk tipe emulsi tetes air dalam minyak atau water-in-oil (WIO) dan umumnya
digunakan untuk meningkatkan imunitas terhadap antigen untuk respon dalam jangka
waktu yang lama.
Bahan lain yang digunakan untuk membuat emulsi adalah
lipophilized gelatin (LG) dan minyak, yang membentuk tipe emulsi water-in-oil-inwater (W/O/W). Emulsi tipe WIOIW adalah sistem penyebaran tetesan minyak yang
mengandung butiran air yang lebih kecil. Lapisan minyak diantara dua h e cair
(internal. dan eksternal) berperan sebagai membran. Emulsi tipe W/O/W memiliki
potensi sebagai mikroenkapsulasi dan dapat berperan sebagai pembawa hormon
dalam mengontrol dan rnemperpanjang pelepasan hormon (Sato et al. 1995).
Emulsi dengan menggunakan LG mampu melepaskan glukosa dan sGTH
secara perlahan dan bertahap baik dalam percobaan secara in vitro maupun in vivo
(Sato et al. 1996).
Hasil penelitian Bugar (2000), Sugihartono (2000), dan
Tjendanawangi (2000) menunjukkan bahwa penggunaan LG (C 14 dan C 16) yang
diaplikasikan secara in vivo pada ikan jarnbal Siam dapat mengendalikan pelepasan
HCG di dalam plasma darah.
Menurut hasil penelitian Sato et al. (1996) pada ikan sidat Jepang, pemberian
sGTH dengan menggunakan emulsi LG, emulsi FIA atau lamtan salin memberikan
efek yang berbeda pada kematangan gonad. Pada kelompok ikan yang diberi emulsi
LG yang mengandung sGTH, semua ikan matang gonad dengan variasi peningkatan
bobot tubuh dan GSI yang rendah serta terjadi peningkatan konsentrasi estradiol-17P
dan testosteron.
Pada kelompok ikan yang diberi perlakuan emulsi FIA yang
mengandung sGTH, bobot tubuh dan GSI pada sebagian ikan meningkat dan
sebagian lainnya tidak menunjukkan adanya peningkatan. Selain itu konsentrasi
L
estradiol-17P dan testosteron menunjukkan adanya fluktuasi yang bervariasi.
Pemberian hormon secara berulang dengan menggunakan emulsi FIA dikhawatirkan
dapat menstimulasi pembentukan antibodi. Respon yang rendah terhadap sGTH
kemungkinan disebabkan karena diproduksinya antibodi. Pada kelompok ikan yang
diberi perlakuan dengan larutan saliil yang mengandung sGTH, hampir semua ikan
bobot tubuhnya relatif tetap dan GSJ sangat bervariasi. Hal ini diperkirakan karena
pemberian sGTH dalam larutan salin memerlukan periode waktu yang lebih lama
untuk mencapai kematangan gonad.
Monijung (200 1) menyatakan bahwa penyuntikan hormon estradiol- 17P
melalui emulsi W I O N LG (C 14) efektif mempercepat proses vitelogenesis pada ikan
jambal Siam. Dosis hormon estradiol-17P yang efektif untuk penyuntikan berkala
dengan selang waktu sepuluh hari sekali adalah 250 pgkg bobot ikan. Hasil
penelitian Sarwoto (2001) menunjukkan bahwa penyuntikan hormon testosteron
melalui emulsi W I O N pada ikan jambal Siam berpengaruh terhadap proses
vitelogenesis di dalam tubuh yang diindikasikan dengan adanya peningkatan kadar
hormon testostemn dan estradiol-l7P dalam plasma darah, peningkatan ukuran
diameter telur, GSI dan HSI. Dosis penyuntikan testostemn yang efektif adalah 50I00 pglkg bobot ikan.
Download