1 GAYA BAHASA DALAM CERITA MADRE KARYA DEWI LESTARI Akmaliatus Saida1 Wahyudi Siswanto2 Heri Suwignyo2 E-mail: [email protected] Universitas Negeri Malang, Jalan Semarang No. 5 Malang 65145 ABSTRACT :The purpose of this research is to describe the usage of language style including (1) rhetorical, (2) figurative, and (3) function of these language style in story Madre by Dewi Lestari. The data is analyzed through document analysis employing the technique of descriptive qualitative. The results of the research are as follows; (1) there are eighteen types of rhetoric used in the story, (2) there are thirteen types of figurative language in story Madre, and (3) there are four functions of language style representing the writer's style. Keywords: language style, rhetorical, Language figurative, fiction appreciation. ABSTRAK :Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan penggunaan gaya bahasa (1) retoris, (2) kiasan, dan (3) fungsi kedua gaya bahasa dalam cerita Madre karya Dewi Lestari. Data dianalisis dengan kajian dokumen dengan teknik deskriptif kualitatif. Hasil penelitian adalah (1) digunakan delapan belas jenis gaya bahasa retoris, (2) digunakan tiga belas jenis gaya bahasa kiasan, dan (3) dari gaya bahasa yang digunakan terdapat empat fungsi gaya bahasa yang mewakili pribadi penulis. Kata Kunci: gaya bahasa, retoris, bahasa kiasan, apresiasi Prosa. Setiap sesuatu pasti diciptakan untuk suatu hal tertentu atau dengan tujuan tertentu yang bermanfaat. Begitu pula dengan karya sastra, setiap karya sastra tidak sekadar diciptakan untuk hiburan semata. Tetapi, ada maksud dan tujuan tertentu. Sastra berfungsi sebagai penghibur sekaligus mengajarkan sesuatu (Wellek dan Warren, 1990:25). Karena itu sastra sering dianggap indah dan bermanfaat. Manfaat dari karya sastra salah satunya adalah nilai kognitif dari drama dan novel adalah segi psikologisnya. “Novelis dapat mengajarkan lebih banyak tentang sifat-sifat manusia daripada psikolog. Jadi dalam sebuah novel diceritakan tiruan dari kehidupan yang mencerminkan kehidupan nyata yang dapat mengungkap kehidupan batin setiap tokoh, sehingga dapat ditarik nilai psikologi dari cerita yang ada sebagai pembelajaran dari kehidupan nyata para pembaca. Gaya bahasa merupakan pemanfaatan kedua aspek bahasa dan sastra. Tetapi penelitian ini lebih mengarah ke arah kajian sastra, yang ada dalam lingkup stilistika. Karena menurut Ratna (2009) dalam bukunya Stilistika: Kajian Puitika 1 Akmaliatus Saida adalah Mahasiswa Universitas Negeri Malang, Artikel ini dibuat berdasarkan skripsi penulis. 2 Wahyudi Siswanto adalah dosen jurusan sastra Indonesia, sebagai pembimbing skripsi dari Akmaliatus Saida. 2 Heri Suwignyo adalah dosen jurusan sastra Indonesia, sebagai pembimbing skripsi dari Akmaliatus Saida. 2 Bahasa, Sastra dan Budaya. Menyebutkan jika stilistika merupakan penjembatan antara bahasa dan sastra untuk saling memahami antar keduanya. Stilistika hadir untuk mengupas lebih dalam keindahan yang ada di dalam bahasa sehingga makna yang disampaikan oleh penulis dapat tersalurkan. oleh karena itu, kajian stilistika digunakan untuk mengungkapkan bagaimana caranya kemungkinan itu dimanfaatkan dan bagaimana efeknya. Sehingga Stilistika berupaya menunjukkan bagaimana unsur-unsur suatu teks berkombinasi membentuk suatu pesan (Sudjiman, 1993:7). Menurut Keraf (1984) gaya bahasa ada lima bagian yaitu gaya bahasa yang dibagi menjadi segi nonbahasa dan bahasa itu sendiri, gaya bahasa berdasarkan pilihan kata yaitu mencangkup gaya bahasa resmi, gaya bahasa tak resmi, dan gaya bahasa percakapan. Gaya berdasarkan nada yang dibagi lagi menjadi gaya sederhana, gaya mulia dan bertenaga, dan gaya menengah. Berikutnya ada gaya bahasa berdasarkan struktur kalimat yaitu menyangkut klimaks, antiklimaks, paralelisme, antitesis,dan repetisi dan yang terakhir gaya bahasa berdasarkan langsung tidaknya makna. gaya bahasa ini di bagi menjadi dua yaitu gaya bahasa retoris dan gaya bahasa kiasan. Penelitian ini berfokus pada penggalian makna yang terdapat dalam gaya bahasa berdasarkan langsung tidaknya makna yang terkandung dalam cerita Madre. Maka penggunaan gaya bahasa Retoris dan gaya bahasa kiasan lebih tepat untuk menggaji masalah ini. Gaya retoris dan gaya bahasa kiasan merupakan alat untuk mengetahui apakah gaya bahasa yang ada dalam cerita Madre ini memiliki makna yang diungkapkan secara langsung atau melalui suatu “permainan” katakata yang menyebabkan makna tersebut tersembunyi dan perlu digali lebih dalam. Pengkajian karya sastra yang memusatkan pada segi gaya bahasa merupakan penelitian yang sudah tidak asing lagi. Tetapi, penelitian tentang gaya bahasa yang berfokus pada langsung tidaknya makna dalam cerita Madre ini masih jarang dilakukan. Penelitian ini bukan penelitian baru karena sudah banyak penelitianpenelitian sejenis yang telah dilakukan seperti penggunaan gaya bahasa dalam kumpulan puisi”Telepon Genggam” karya Joko Pinurbo yang ditulis oleh Rafahmi (2010), Diksi dan Gaya Bahasa dalam Syair lagu campursari karya Cak Dikin yang ditulis dalam Skripsi Riyato, gaya penuturan dalam syair lagu Raihan oleh Ayu (2003), gaya bahasa dalam novel Supernova karya Dewi Lestari dan masih banyak lagi bentuk kajian gaya bahasa yang sejenis dengan penelitian ini. Dalam penelitian skripsi penggunaan gaya bahasa dalam kumpulan puisi”Telepon Genggam” karya Joko Pinurbo oleh Rafahmi (2010) menemukan fungsi yang ada dalam tiap gaya bahasa 1) fungsi gaya bahasa sinekdoke yang intinya memperindah, 2) fungsi gaya bahasa metonimia yang intinya mengkongkretkan,3) fungsi gaya bahasa aliterasi yang dapat menciptakan efek dramatis, dan 4) fungsi gaya bahasa asonansi yang dapat menciptakan efek lebih. Dari temuan tersebut memang dapat dilihat jika gaya bahasa yang diteliti dalam peneliti tersebut hanya pada gaya bahasa perbandingan, pertentangan, pertautan, dan gaya bahasa perulangan. Berbeda dengan penelitian Gaya Bahasa Dalam Cerita “Madre” karya Dewi Lestari, penelitian ini berfokus pada gaya bahasa berdasarkan langsung tidaknya makna yang bertujuan untuk (1) melihat penggunaan gaya bahasa retoris, (2) melihat penggunaan gaya bahasa retoris, dan (3) fungsi dari kedua gaya bahasa tersebut. penelitian ini dengan penelitian 3 sebelumnya juga berbeda yaitu jika Rafahmi meneliti tentang puisi sedangkan penelitian ini berupa karya fiksi yaitu cerita. METODE Penelitian di desain dengan menggunakan pendekatan stilistika. Pendekatan stilistika dalam penelitian ini adalah untuk melihat bentuk keindahan bahasa yang digunakan oleh Dewi Lestari dalam karyanya berupa cerita Madre. Keindahan bahasa tersebut berupa gaya bahasa, karena gaya bahasa membutuhkan unsur bahasa dan unsur sastra. Kedua unsur tersebut adalah suatu bentuk bahasa yang khas, bahasa yang telah dilentur-lenturkan oleh pengarang sehingga mencapai kesan keindahan dan kehalusan rasa (Semi, 1990:81). Oleh karena itu, pendekatan stilistika dalam penelitian ini mencoba melihat lebih dalam kemampuan Dewi Lestari dalam mengolah bahasa melalui gaya bahasa. Penelitian ini dilakukan pada tahun 2012. Dalam penelitian ini peneliti bertindak sebagai instrumen utama yang dibantu dengan alat yang berupa tabel pengumpulan dan pengolahan data. peneliti bertindak sebagai perencana, pelaksana, pengumpul data, penafsir data, dan pada akhirnya menjadi pelapor hasil penelitian. Validasi penggunaan instrumen ini dengan di baca oleh seorang yang ahli yaitu dosen pembimbing. Data yang digunakan dalam penelitian berupa kutipan kata, frasa, kalimat, paragraf, yang berupa narasi tokoh, narasi latar, narasi konflik, dialog tokoh dengan tokoh lain, dialog tokoh dengan lingkungan dan monolog tokoh yang berkaintan dengan gaya bahasa berdasarkan langsung tidaknya makna dalam cerita Madre karya Dewi Lestari. Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah cerita Madre karya Dewi Lestari (2011) cetakan kedua yang diterbitkan oleh penerbit Bentang di Yogyakarta. Bentuk analisis data dalam penelitian ini adalah (1) identifikasi data, yaitu menunjukkan gaya bahasa dari aspek gaya bahasa retoris dan kiasan dalam cerita Madre karya Dewi Lestari, (2) menguraikan gaya bahasa dari aspek gaya bahasa retoris dan kiasan dalam cerita Madre karya Dewi Lestari, dan (3) interpretasi, yaitu suatu kegiatan untuk memberikan pandangan kritis terhadap bahan kajian. HASIL Hasil dari penelitian adalah (1) terdapat delapan belas jenis gaya bahasa retoris dalam cerita Madre karya Dewi Lestari, (2) terdapat tiga belas jenis gaya bahasa kiasan dalam cerita Madre karya Dewi Lestari, dan (3) terdapat empat fungsi utama dari penggunaan gaya bahasa dalam cerita Madre karya Dewi Lestari. Hasil ini dapat di kelompokkan menurut masalah yang diteliti, Berikut hasil dari setiap rumusan masalah. Penggunaan Gaya Bahasa Retoris dalam Cerita Madre karya Dewi Lestari Gaya bahasa retoris adalah gaya bahasa yang semata-mata merupakan penyimpangan dan konstruksi biasa untuk mencapai efek tertentu (Keraf, 1984:129). Dalam karya sastra berupa prosa baik itu novel, cerpen ataupun lainnya gaya bahasa retoris sering digunakan. Begitu pula dengan penggunaan gaya bahasa retoris dalam cerita Madre karya Dewi Lestari, gaya bahasa retoris banyak digunakan. Dalam gaya bahasa retoris ini terdapat dua puluh empat jenis gaya bahasa yang masing-masing memiliki bentuk dan nama tersendiri. Dari kedua puluh 4 empat jenis gaya bahasa tersebut diantaranya adalah aliterasi, asonansi, anastrof, apofasis, apostrof, asindenton, polisindeton, kiasmus, elipsis, eufemismus, litotes, histeron proteron, pleonasme dan tautology, perifrasis, prolepsis, erotesis, silepsis dan zeugma, koreksio, hiperbola, paradoks, dan oksimoron. Kedua puluh empat jenis gaya bahasa retoris tidak seluruhnya digunakan dalam cerita Madre karya Dewi Lestari. Dari prosedur pengumpulan yang digunakan pada sumber data ditemukan delapan belas jenis gaya bahasa retoris yang digunakan dalam sumber data. Delapan belas gaya bahasa tersebut adalah gaya bahasa aliterasi, asonansi, anastrof/ inversi, apofasis/ preterisio, asindenton, polisindenton, kiasmus, elipsis, eufimismus, litotes, histeron proteron, pleonasme dan tautologi, perifrasis, erotesis, silepsis, koreksio atau eparnortosi, paradoks, dan oksimoron. Penggunaan Gaya Bahasa Kiasan dalam Cerita Madre kaya Dewi Lestari Gaya bahasa kiasan adalah gaya bahasa yang merupakan bentuk penyimpangan yang lebih jauh, khususnya di bidang makna. gaya bahasa ini memiliki tingkatan yang lebih tinggi dari gaya bahasa retoris. Gaya bahasa kiasan ini memiliki beberapa cabang yaitu gaya bahasa kiasan simile, metafora, alegori, parabel, fabel, personifikasi, alusi, eponim, epitet, sinekdoke, metonmia, antonomasia, hipalase, ironi, sinisme dan sarkasme, satire, innuendo, antifrasis dan Pun atau paronomasia. Dari sekian banyak gaya bahasa kiasan, yang digunakan Dewi Lestari dalam cerita Madre hanyalah tiga belas jenis gaya bahasa. ketiga belas jenis gaya bahasa kiasan yang digunakan tersebut adalah gaya bahasa simile, metafora, personifikasi, alusi, epitet, sinekdoke, metonmia, antonomasia, hipalase, ironi, sinisme dan sarkasme, satire, innuendo, dan antifrasis. Fungsi Gaya Bahasa Retoris dan Kiasan dalam Cerita Madre karya Dewi Lestari Gaya bahasa dalam sebuah prosa dapat difungsikan untuk, 1) memaparkan gagasan secara lebih hidup dan menarik, 2) menggambarkan suasana secara lebih hidup dan menarik, 3) untuk menekankan ataupun menyanggahkan suatu gagasan, 4) untuk menyampaikan gagasan secara tidak langsung (Aminuddin, 2001). Inti dari peryataan Aminuddin di atas adalah untuk mendukung sagala hal yang ada dalam suatu karya prosa dengan bahasa pilihan atau penyimpangan bahasa yang diinginkan pengarang. Dari penjabaran gaya bahasa yang ada dalam gaya bahasa berdasarkan langsung tidaknya makna, baik itu gaya bahasa retoris maupun gaya bahasa kiasan. Semua fungsi gaya bahasa menurut Aminuddin (2001) seluruhnya dipakai dalam cerita Madre. Diantara keempat fungsi gaya bahasa dalam prosa atau cerita Madre yaitu (1) penggunaan gaya-gaya bahasa tertentu dalam cerita menimbulkan fungsi untuk memaparkan gagasan secara lebih hidup. Diantara gaya bahasa yang memiliki fungsi ini adalah gaya bahasa personifikasi, metonimia, metonimia dan lain-lain. (2) Fungsi yang kedua yaitu menggambarkan suasana secara lebih hidup dan menarik dapat dilihat dari pemakaian gaya bahasa apofasis, anastrof, kiasmus dan ellipsis. (3) Fungsi ketiga yaitu untuk menekankan ataupun menyangga suatu gagasan. Salah satu fungsi ketiga inilah yang banyak ada dalam gaya bahasa yang dipakai Dewi Lestari dalam cerita Madre. Diantara gaya bahasa yang menekankan makna diantaranya gaya bahasa aliterasi dan asonansi, silepsis, oksimoron, metonimia, epitet, metonimia dan hipalase. Sedangkan yang mengaburkan makna 5 diantaranya yaitu gaya bahasa antonomasia. (4) Fungsi gaya bahasa terakhir dalam cerita Madre yaitu untuk menyampaikan gagasan secara tidak langsung. Fungsi ini behubungan langsung dengan gaya bahasa yang sedang dibahas yaitu gaya bahasa berdasarkan langsung tidaknya makna. fungsi ini dipakai oleh gaya bahasa alusi, sinekdoke,pleonasme, tautology dan perifrasis. Selain fungsi di atas, gaya bahasa dalam setiap karya sastra pasti dapat mewakili penulisnya, karena gaya bahasa dalam karya sastra tergantung pada latar belakang penulis yang dapat memberi nilai terhadap watak, pribadi, kemampuan dan lain-lain. Fungsi-fungsi di atas tidak lepas dari citra keindahan yang ditimbulkan gaya bahasa yang digunakan, sehingga menambah nilai makna yang dituliskan pengarang. Kekhasan tulisan Dewi Lestari juga tidak lepas dari efek-efek tertentu yang tercipta. Seperti, pemilihan kata yang digunakannya dalam cerita ini memberikan gambaran tentang kepribadian Dewi Lestari yang cerdas, santun serta kesederhanaan yang tergambar dalam pemilihan kata, Selain itu pengetahuannya yang sangat luas juga tergambar dalam cerita Madre. Baik secara jelas maupun tersamarkan sebuah tulisan pasti akan mencerminkan sosok yang menuliskan tulisan tersebut. Karena, sebuah tulisan merupakan hasil dari olah pikir seseorang. Karena proses dalam sebuah tulisan dibutuhkan olah otak yang tergantung pada penulis itu sendiri. Cerita Madre karya Dewi Lestari ini merupakan hasil olah pikir yang luas biasa. Cerita ini merupakan bentuk cerita yang unik dan indah untuk dinikmati, serta makna yang ingin disampaikan juga memberikan kesan yang positif dan bermanfaat. PEMBAHASAN Dari hasil temuan di atas perlu penjelasan dari bagaimana hasil tersebut tercapai. Berikut pembahasan dari tiga rumusan masalah dalam penelitian ini. Penggunaan Gaya Bahasa Retoris Dalam Cerita Madre Karya Dewi Lestari Dari paparan hasil di atas telah diketahui penggunaan gaya bahasa apa saja yang digunakan dalam sumber data. Delapan belas jenis gaya bahasa retoris tersebut yaitu gaya bahasa aliterasi. (1) Aliterasi adalah gaya bahasa yang berwujud perulangan konsonan yang sama (Keraf,1984:130). Gaya bahasa ini membahas tentang bentuk kalimat atau frasa yang di dalamnya terdapat huruf konsonan yang diulang. Dalam cerita Madre karya Dewi Lestari, gaya bahasa aliterasi ini sebenarnya banyak ditemukan. Di antara konsonan yang paling sering digunakan antara lain B, M, P, D, S, T, K, J dan L . tetapi banyaknya penggunaan gaya bahasa aliterasi ini tidak membuat majas tersebut memiliki kualitas yang tinggi dalam hal penggulangan konsonan. Dari penggulangan konsonan di atas, pemakai bunyi cacophony dalam data tidak keseluruan digunakan pada gaya bahasa aliterasi. Karena tidak semua yang memakai gaya bahasa aliterasi atau penggulangan konsonan ini memiliki kesan kebekuan, kesepian atau kesedian atau kebekuan. (2) Asonansi adalah sejenis gaya bahasa repetisi yang berwujud perulangan vokal yang sama (Tarigan, 1985:182). Keindahan bahasa yang menggunakan pemilihan kata yang cermat. Sehingga penggunaan gaya bahasa aliterasi ini banyak digunakan di dalam cerita Madre dan semua vokal yaitu a, i, u, e dan o digunakan dengan baik untuk memanfaatkan gaya bahasa ini. Kebanyakan gaya bahasa asonansi ini termasuk bentuk euphony yang 6 mengesankan kalimat yang berakhiran konsonan dikaitkan dengan suatu keriangan, vitalitas, maupun gerak yang mengarang pada kesenangan. Tetapi sebaliknya, sebagian besar data yang termasuk di dalam gaya bahasa ini mengarah pada suasana yang kurang menyenangkan. (3) Anastrof / Inversi adalah gaya retoris yang diperoleh dengan pembalikan susunan kata yang biasa dalam kalimat (Keraf, 1984:130). pembalikan susuna kata dalam gaya bahasa anastrof, berupa pembalikan subyekpredikat yang secara umum berurutan menjadi terbalik. Penggunaan gaya bahasa anastrof / inverse dalam cerita Madre karya Dewi Lestari jarang digunakan. Penemuan data yang diperoleh dalam penelusuran pencarian dalam teks cerita Madre hanya sejumlah delapan buah kata. Sebagian gaya bahasa anastrof ini digunakan untuk identitas tokoh Pak Hadi yang memiliki ciri khas tersendiri. (4) Apofasis/ Preterisio adalah sebuah gaya penulisan untuk menegaskan sesuatu, tetapi tampaknya menyangkal (Keraf, 1984:130). Seperti membiarkan saja sesuatu tersebut berlalu bahkan terkesan disangkal oleh penulis, tetapi inilah gaya bahasa yang memainkan bahasa sebagai objek ‘permainan’. Gaya bahasa ini merupakan salah-satu ciri khas Dewi Lestari dalam karyanya Madre. Sering beliau seperti menyepelekan sesuatu yang jika dibaca lebih dalam lagi, ternyata itulah sesuatu yang ingin disampaikan oleh Dewi Lestari atau berupa makna yang terpendam dalam tulisannya tersebut. (5) Asindeton adalah semacam gaya bahasa yang berupa acuan padat dan mapat dalam beberapa kata, frasa, atau klausa yang sederajat tidak dihubungkan dengan kata sambung. Bentuk-bentuk tersebut biasanya dipisahkan saja oleh tanda koma ( Tarigan, 1985:142). Penggunaan gaya bahasa asidenton dalam cerita Madre karya Dewi Lestari dalam penjaringan data banyak digunakan. Karena Dewi Lestari sering menyebutkan sesuatu yang lebih dari dua hal. Selain itu gaya bahasa asidenton tersebut juga digunakan untuk menerangkan sesuatu hal. Dan sepertinya pengarang ingin apa yang dibayangkannya sesuai dengan yang dibayangkan oleh pembaca. Sehingga Dewi Lestari tidak jarang mendeskripsikan keterangan berupa setting latar yang banyak dan lengkap sehingga gambaran yang diinginkannya jelas dan tersalurkan. (6) Polisindeton adalah suatu gaya yang merupakan kebalikan dari asindeton (Keraf, 1984:131). dalam polisidenton beberapa kata, frase, atau klausa yang berurutan dihubungkan satu sama lain dengan kata-kata sambung. Penggunaan gaya bahasa polisidenton dalam cerita Madre karya Dewi Lestari kurang digunakan. Karena sebenarnya jika dalam kalimat terdapat beberapa frasa yang saling berhubungan lebih dari dua maka cukup digunakan tanda koma atau menggunakan gaya bahasa asindenton. Tetapi gaya bahasa polisidenton ini digunakan sebagai variasi gaya yang membuat pembaca tidak jenuh dengan sesuatu yang sama dan selalu diulang. (7) Kiasmus adalah semacam acuan atau gaya bahasa yang terdiri dari dua bagian, baik frasa atau klausa, yang sifatnya berimbang dan dipertentangkan satu sama lain, tetapi susunan frasa atau klausanya itu terbalik bila di bandingkan dengan frasa dan klausa lainnya (Keraf,1984: 132). Pertentangan dalam satu kata tersebut terkadang dipakai sinonim suatu kata, untuk membandingkan sesuatu yang berbalik tetapi berimbang. Penggunaannya digunakan untuk mencapai efek tertentu yang diinginkan dalam kalimat dalam cerita Madre. 7 (8) Elipsis adalah suatu gaya yang berwujud menghilangkan suatu unsur kalimat yang dengan mudah dapat diisi atau ditafsirkan sendiri oleh pembaca atau pendengarnya, sehingga struktur gramatikal atau kalimatnya memenuhi pola yang berlaku (Keraf,1984:132). Jadi jika dalam satu kalimat tersebut tidak memiliki struktur yang lengkap tetapi hanya dengan apa yang ada tersebut pembaca sudah dapat menafsirkan apa yang hilang tersebut. Karena kesederhanaan dalam penggunaan kata atau kalimat dalam karya Dewi Lestari merupakan ciri khas yang sering ditemui dalam karyanya. (9) Eufemismus adalah mempergunakan kata-kata dengan arti yang baik atau dengan tujuan yang baik (Keraf,1984). Gaya bahasa ini pada intinya adalah unsur kesopanan yang membuat kalimat lebih santun. Penggunaan majas ini memang salah satu gaya bahasa yang sering digunakan dalam karya Dewi Lesatari. Karena, bahasa yang digunakan dalam karyanya berupa bahasa yang santun dan terkesan indah. (10) Litotes yaitu gaya bahasa yang mengandung pernyataan yang dikecilkecilkan, dikurangi dari kenyataan sebenarnya, atau merendahkan diri ( Tarigan, 1984:58). Gaya bahasa litotes ini hanya digunakan pada seorang tokoh. Dari gaya bahasa litotes tersebut menjadikan karakter tokoh tersebut memiliki sifat yang rendah diri. (11) Histeron Proteron adalah semacam gaya bahasa yang merupakan kebalikan dari sesuatu yang logis atau kebalikan dari sesuatu yang wajar (Keraf, 1984:132). Gaya bahasa ini hanya digunakan pada saat-saat tokoh seperti membayangkan sesuatu yang tidak mungkin, seperti pada data yang telah disebutkan di atas, yang hanya sekadar untuk menguatkan makna pada kalimat yang menggunakan gaya bahasa ini. (12) Pleonasme adalah acuan yang mempergunakan kata-kata lebih banyak dari pada yang diperlukan untuk menyatakan satu pikiran atau gagasan (Keraf, 1984:132) gaya bahasa tautologi sebernarnya sama dengan gaya bahasa pleonasme tetapi terdapat perbedaan yang mencolok dari kedua gaya bahasa ini yaitu pada gaya bahasa tautologi merupakan bentuk penggunaan kata-kata yang sebenarnya menggulang kata yang telah ada sebelumnya. Tetapi dalam penggunaannya khususnya dalam cerita Madre karya Dewi Lestari membuat kalimat terkesan lebih hidup dan dapat menyiratkan makna yang lebih terarah sesuai dengan keinginan penulis karena terjadinya pengulangan atau penambahan kata yang lebih membuat kalimat tersebut semakin jelas mengarah pada makna. (13) Perifrasis adalah gaya yang mirip dengan pleonasme, perbedaannya terletak dalam hal bahwa kata-kata yang berlebihan itu sebenarnya dapat diganti dengan satu kata saja (Keraf, 1984:132). Dalam gaya bahasa ini menggunakan kata-kata yang banyak tetapi sebenarnya kata-kata tersebut hanya sekedar pemborosan kata yang dapat digantikan dengan hanya satu kalimat. Penggunaaan majas ini hanya digunakan pada saat-saat tertentu yang menurut penulis tepat menggunakan gaya bahasa ini. Sehingga dalam cerita Madre ini terkesan ringkas tetapi memiliki makna yang luas sesuai dengan yang diharapkan pengarang. (14) Erotesis atau Pertanyaan Retoris adalah semacam pertanyaan yang dipergunakan dalam pidato atau tulisan dengan tujuan untuk mencapai efek yang lebih mendalam dan penekanan yang wajar dan sama sekali tidak menghendaki jawaban (Keraf, 1984:133). Kebanyakan gaya bahasa ini dipakai tokoh saat ia berdialog dengan diri sendiri atau yang biasa disebut monolog. Tetapi tidak 8 memungkinkan jika gaya bahasa ini digunakan saat berdialog antar tokoh dengan tujuan menekankan atau meyakinkan. (15) Silepsis dan Zeugma adalah gaya yang dipakai orang untuk mempergunakan dua konstruksi rapatan dengan menggabungkan sebuah kata dengan dua kata lain yang sebenarnya hanya sebuah kata yang mempunyai hubungan dengan kata pertama (Keraf, 1984:132). Secara tidak langsung gaya bahasa Zeugma ini menggunakan kata yang berlawanan, tetapi yang memiliki hubungan dengan kalimat sebelumnya hanya salah satu kata saja. Penggabungan dua kata yang bertentangan atau tidak dalam penggunaannya di dalam cerita Madre karya Dewi Lestari bisa dibagi menjadi dua bagian, yaitu penggunaan yang sering dilakukan oleh gaya bahasa silepsis yang merupakan kalimat yang sematiknya kurang pas. Serta penggunaan gaya bahasa zeugma yang minim sekali sehingga dalam keseluruhan teks cerita gaya bahasa ini dapat di hitung dengan jari. Karena penggunaan lawan kata atau kata yang dipertentangkan dalam satu kalimat memang sulit untuk dipadukan dalam satu kalimat. (16) Koreksio atau Eparnortosi adalah suatu gaya yang berwujud, mulamula menegaskan sesuatu, tetapi kemudian memperbaikinya (Keraf, 1984:133). Seperti yang sering terjadi dalam dialog yang penuturnya kurang yakin dalam menyatakan pendapat yang kemudian sang penutur meyakinkannya dengan mengubah opsi yang pertama atau membenarkannya. Penggunan majas koreksio dalam cerita Madre karya Dewi Lestari sangatlah terbatas dua kalimat saja. Majas ini digunakan pada saat tokoh Mei ragu-ragu dalam memastikan sesuatu. (17) Paradoks adalah semacam gaya bahasa yang mengandung pertentangan yang nyata dengan fakta-fakta yang ada (Keraf, 1984:133). Dari penggunaan gaya bahasa paradoks dalam sumber data, gaya bahasa ini sering digunakan. Penggunaan majas tersebut dimanfaatkan untuk menekankan sesuatu dalam kalimat yang tentunya tidak menyampingkan makna yang ingin dicapai. (18) Oksimoron adalah suatu acuan yang berusaha untuk menggabungkan kata-kata untuk mencapai efek yang bertentangan (Keraf, 1984:134). Hampir sama dengan majas paradoks tetapi perbedaannya terdapat dalam usaha untuk menggabungkan. Kata-kata pertentangan dalam satu kalimat dirangkai dengan apik berkat keahlian menulis Dewi Lestari yang tidak dapat diragukan lagi. Penggunaan Gaya Bahasa Kiasan Dalam Cerita Madre Karya Dewi Lestari (1) Gaya bahasa persamaan atau gaya bahasa Simile adalah perbandingan yang bersifat eksplisit (Keraf, 1985:138 ). Penggunaan gaya bahasa persamaan dalam cerita Madre sebenarnya sering dijumpai. Gaya bahasa ini dikuatkan lagi dengan penggunaan kata-kata yang memang lazim digunakan untuk menyamakan sesuatu, yaitu kata seperti, bagai atau bagaikan, kayak, seolah, dan semacam. Tetapi kata yang paling sering digunakan adalah kata “seperti”, karena kata ini memang tidak asing dalam hal menyamakan sesuatu. (2) Metafora adalah semacam analogi yang membandingkan dua hal secara langsung, tetapi dalam bentuk yang singkat (Keraf, 1984:139). Penggunaan gaya bahasa metafora dalam cerita Madre karya Dewi Lestari sebenarnya hampir sama dengan penggunaan gaya bahasa simile. Kedua gaya bahasa ini digunakan beriringan agar gaya bahasa yang dipakai dalam cerita tersebut terkesan bervariasi. Persamaan-persamaan yang dipakainya pun tidak monoton yang telah sering digunakan oleh penulis lain, tetapi banyak persamaan yang terkesan baru 9 dan memang cocok untuk digunakan dalam persamaan pada kata yang digunakan sehingga membuat kata-kata yang ada dalam cerita Madre lebih “bernyawa”. (3) Personifikasi atau gaya bahasa prosopopoeia adalah semacam gaya bahasa kiasan yang mengambarkan benda-benda mati atau barang-barang yang tidak bernyawa seolah-olah memiliki sifat-sifat kemanusiaan (Keraf, 1984:140). Penggunaan gaya bahasa personifikasi pada cerita Madre banyak digunakan, dengan tujuan untuk lebih menghidupkan atau di atas disebutkan “bernyawa” lagi sesuatu yang disebutkan dengan menggunakan gaya bahasa ini. Gaya personifikasi ini juga banyak menggunakan gaya yang khas dan termasuk baru sehingga efek yang ditimbulkan terkadang tidak dapat ditebak oleh pembaca. (4) Gaya bahasa alusi adalah semacam acuan yang berusaha mengsugestikan kesamaan antara orang, tempat atau peristiwa (Keraf, 1984:141). Gaya bahasa alusi, pengguna dalam cerita sebenarnya sangat terbatas. pemakaian gaya bahasa ini dalam cerita tergolong dalam alusi yang baru dan efektif. (5) Gaya bahasa epitet adalah semacam acuan yang menyatakan suatu sifat atau ciri khusus dari seseorang atau sesuatu hal (Keraf, 1984:141). Penggunaan gaya bahasa epitet dalam cerita Madre ini sering digunakan. Beberapa kata yang digunakan dalam gaya bahasa epitet antara lain awan hitam, turis domestic, air muka,hubungan langsung dan lainnya. Terkadang kata yang digunakan memiliki makna yang telah disepakati tetapi Dewi Lestari terkadang juga memasukkan unsur-unsur yang terbilang baru sehingga pembaca merasa terhibur dan tidak menjenuhkan. (6) Menurut Tarigan (1985:248) sinekdoke adalah gaya bahasa yang menyebutkan nama bagian sebagai penganti nama keseluruhan, atau sebaliknya. Penggunaan gaya bahasa sinekdoke, baik pras pro toto maupun totum pras parte terkadang digunakan dalam cerita Madre. Penggunaan gaya bahasa ini kebanyakan menggunakan bagian tubuh tertentu untuk yang prasprototo. Dan yang totumprasparte memberikan efek yang lebih simple dan efisien dalam penggunaan kalimat. Karena pembaca dapat menafsikan sediri apa yang dimaksudkan oleh pengarang melalui tulisan yang diberi efek dengan gaya bahasa sinekdoke. (7) Gaya bahasa metonimia adalah suatu gaya bahasa yang mempergunakan sebuah kata untuk menyatakan suatu hal lain (Keraf, 1984:142). Penggunaan gaya bahasa metonimia ini sering digunakan, terutama penggunaan kata Madre. Katakata yang digunakan dalam gaya bahasa metonimia membuat kalimat yang digunakan lebih padat, dan juga tanpa mengulangi lagi atau menerangkan kata apa yang ditulis penulis karena pembaca sebagian besar telah memahaminya. (8) Gaya bahasa antonomasia adalah gaya bahasa yang merupakan bentuk khusus dari sinekdoke untuk menggantikan nama diri, gelar resmi atau jabatan (Keraf, 1984:142). Dari penjaringan data yang telah dilakukan oleh peneliti, gaya bahasa antonomasia ini sangat sulit ditemukan dari dalam sumber data. (9) Gaya bahasa hipalase adalah semacam gaya bahasa di mana sebuah kata tertentu dipergunakan untuk menerangkan sebuah kata yang seharusnya dikenakan pada sebuah kata yang lain (Keraf, 1984:142). Penggunaan gaya bahasa ini terkadang digunakan karena ditemukan delapan belas data yang berupa kalimat, yang merupakan gaya bahasa hipalase ini. Sedikit mengulang dari pembahasa di atas penggunaan gaya bahasa ini sangat baik digunakan dalam sumber data karena kwalitas penulis yang tidak sembarangan. 10 (10) ironi adalah suatu acuan yang ingin mengatakan sesuatu dengan makna atau maksud yang berlainan dari apa yang terkandung dalam rangkaian katakatanya (Keraf, 1984:143). Penggunaan gaya bahasa sindiran yang dimulai dari gaya bahasa ironi, sinisme dan sarkasme memang digunakan oleh Dewi Lestari dalam ceritanya yang berjudul Madre. Tetapi, gaya bahasa yang digunakan tersebut tidak tergolong sangat kasar atau keras, karena dari awal Dewi Lestari telah menciptakan kesan santun pada cerita yang ia tulis. Walau sindiran atau kata-kata kasar harus digunakan, tetapi beliau telah memilih kata secara cermat sehingga kata yang digunakan tetap santun walau efek yang digunakan semestinya harus kasar. (11) Gaya bahasa satire adalah ungkapan yang menertawakan atau menolak sesuatu (Keraf, 1984:144). Penggunaan gaya bahasa Satire ini banyak digunakan oleh Dewi Lestari. Dihasilkan dua puluh kalimat yang merupakan bantuk dari gaya bahasa satire dalam cerita Madre. Gaya bahasa Dewi Lestari memang santun, sehingga memang jarang digunakan kalimat-kalimat yang menyatakan ironi secara terang-terang. (12) Gaya bahasa inuendo adalah semacam sindiran dengan mengecilkan kenyataan yang sebenarnya (Keraf, 1984:145). Penggunaan gaya bahasa inuendo dalam cerita Madre karya Dewi Lestari ini jarang digunakan. Teknik penggunaan gaya bahasa sindiran yang mengecilkan masalah ini sebenarnya dikemas indah karena kalimat yang menggunakan gaya bahasa ini terkesan enak dibaca dan mudah dipahami walau sebenarnya kalimat tersebut adalah sindiran, tetapi terkadang pembaca tidak sadar kalau kalimat tersebut adalah bentuk sindiran. (13) Gaya bahasa antifrasis adalah semacam ironi yang berwujud penggunaan sebuah kata dengan makna kebalikan, yang bisa saja dianggap sebagai ironi sendiri, atau kata-kata yang dipakai untuk menangkal kejahatan, roh jahat dan sebagainya (Keraf, 1984:145). Penggunaan gaya bahasa antifrasis ini banyak digunakan oleh Dewi Lestari. Cara penghalusan kalimat atau pemutar balikkan makna kalimat yang dari kasar ia susun menjadi kalimat yang sopan merupakan keahlian Dewi Lestari yang tidak dapat diragukan lagi. Fungsi Gaya Bahasa Retoris dan Gaya Bahasa Kiasan Dalam Cerita Madre karya Dewi Lestari Fungsi gaya bahasa menurut Aminuddin (2001) yaitu penggunaan gayagaya bahasa tertentu dalam cerita menimbulkan fungsi untuk memaparkan gagasan secara lebih hidup. Diantara gaya bahasa yang memiliki fungsi ini adalah gaya bahasa personifikasi, metonimia, metonimia dan lain-lain.Fungsi yang kedua yaitu menggambarkan suasana secara lebih hidup dan menarik dapat dilihat dari pemakaian gaya bahasa apofasis, anastrof, kiasmus dan ellipsis. Fungsi ketiga yaitu untuk menekankan ataupun menyangga suatu gagasan. Fungsi ketiga ini banyak dalam cerita Madre. Diantara gaya bahasa yang menekankan makna diantaranya gaya bahasa aliterasi dan asonansi, silepsis, oksimoron, metonimia, epitet, metonimia dan hipalase. Sedangkan yang mengaburkan makna diantaranya yaitu gaya bahasa antonomasia. Fungsi gaya bahasa terakhir dalam cerita Madre yaitu untuk menyampaikan gagasan secara tidak langsung. Fungsi ini behubungan langsung dengan gaya bahasa yang sedang dibahas yaitu gaya bahasa berdasarkan langsung tidaknya makna. fungsi ini dipakai oleh gaya bahasa alusi, sinekdoke,pleonasme, tautology dan perifrasis. 11 Fungsi-fungsi di atas tidak lepas dari citra keindahan yang ditimbulkan gaya bahasa yang digunakan, sehingga menambah nilai makna yang dituliskan pengarang. Dengan gaya kepengarangan Dewi Lestari yang indah dan “cantik “ membuat karyanya begitu banyak disukai. Kekhasan tulisan Dewi Lestari juga tidak lepas dari efek-efek tertentu yang tercipta. Karena, pemilihan kata yang digunakannya dalam cerita ini memberikan gambaran tentang kepribadian Dewi Lestari yang cerdas. Kecerdasan penulis terlihat jelas dari cerita yang dibangun. Madre merupakan sebuah bentuk cerita yang unik, tetapi memiliki banyak isi yang dapat kita galih dalamnya. Selain itu, kesantun serta kesederhanaan yang tergambar dalam pemilihan kata yang digunakan membuat pembaca merasa enak untuk membaca. Seperti pada penggunaan gaya bahasa eufimismus, litotes, dan gaya bahasa yang menggunakan kata-kata ganti yang lebih halus pada gaya bahasa metonimia dan personifikasi yang banyak ditemukan dalam sumber data. Baik secara jelas maupun tersamarkan sebuah tulisan pasti akan mencerminkan sosok yang menuliskan tulisan tersebut. Karena, sebuah tulisan merupakan hasil dari olah pikir seseorang. Karena proses dalam sebuah tulisan dibutuhkan olah otak yang tergantung pada penulis itu sendiri. Cerita Madre karya Dewi Lestari ini merupakan hasil olah pikir yang luas biasa. Cerita ini merupakan bentuk cerita yang unik dan indah untuk dinikmati, serta makna yang ingin disampaikan juga memberikan kesan yang positif dan bermanfaat. PENUTUP kesimpulan Kedua puluh satu gaya bahasa dalam gaya bahasa retoris tidak seluruhnya dipakai pada cerita Madre. Penggunaan gaya bahasa retoris dalam cerita Madre hanya delapan belas jenis gaya bahasa. Kedelapan belas gaya bahasa di atas merupakan bentuk penyimpangan yang melibatkan konstruksi kata atau kalimat. Seperti pada penggulangan huruf-huruf tertentu pada aliterasi dan asonansi. Pembalikan susunan konstruksi kalimat dalam gaya bahasa anastrof. Penegasan yang menyangkal pada gaya bahasa apofasis. Penggunaan kata-kata yang banyak sehingga membutuhkan kata hubung atau tanda hubung pada gaya bahasa asindenton dan polisindenton. Bentuk pertentengan dari suatu kata pada gaya bahasa kiasmus, silepsis, paradoks dan oksimoron. Gaya bahas elipsis yang menghilangkan unsur kalimat. Memperhalus arti dalam gaya bahasa eufimismus dan litotes. Gaya bahasa pleonasme dan perifrasis yang memakai kata yang berlebihan. Serta gaya bahasa erotesis yang seperti monolog dan gaya bahasa koreksio yang membenarkan perkataan sendiri. Gaya bahasa retoris ini masih belum melibatkan makna dalam pemakaiannya, sedikit yang menggunakan makna kata tetapi, tidak sedalam pada gaya bahasa kiasan. Gaya bahasa adalah bentuk penggunaan bahasa berdasarkan peyimpangan makna. Gaya bahasa ini dibagi menjadi enam belas jenis gaya bahasa. Keenam belas gaya bahasa tersebut tidak seluruhnya digunakan dalam cerita Madre. Dari keenam belas gaya bahasa kiasan, tiga belas jenis gaya bahasa yang digunakan Dewi Lestari dalam sumber data. Gaya bahasa kiasan merupakan bentuk penyimpangan bahasa yang melibatkan unsur makna. Jadi, ketiga belas jenis gaya bahasa dalam cerita Madre merupakan bentuk penyimpangan makna yang menimbulkan kesan-kesan tertentu yang mempengarui makna cerita Madre. 12 Dari kedua gaya bahasa berdasarkan langsung tidaknya makna di atas, didapatkan fungsi yang mempengaruhi cerita. Fungsi tersebut diantaranya memaparkan gagasan secara lebih hidup dan menarik, menggambarkan suasana secara lebih hidup dan menarik, untuk menekankan ataupun menyanggahkan suatu gagasan, dan untuk menyampaikan gagasan secara tidak langsung. Keempat fungsi tersebut seluruhnya ada di dalam tiga puluh satu jenis gaya bahasa baik dari gaya bahasa retoris maupun gaya bahasa kiasan. Keempat fungsi ada dalam gaya bahasa pada sumber data membuat karya sastra tersebut mencerminkan kesopanaan yang tercermin dari pemilihan kata yang digunakan pengarang, kesederhanaan yang khas dalam cerita sehingga terkesan melalui karya sastranya yaitu cerita Madre pengarang merupakan pribadi yang cerdas, sederhana, santun, serta berwawasan luas. Saran Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, muncul beberapa saran dari kesimpulan di atas. (1)Saran ditujukan kepada para peneliti bahasa agar dapat dilakukan penelitian sejenis yang lebih mendalam dalam bidang gaya bahasa. (2) Saran ditujukan kepada para guru dan pembelajar bahasa Indonesia. Disarankan agar menggunakan temuan penelitian ini sebagai salah-satu materi pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di sekolah. Hal ini diajukan dalam rangka mengembangkan kreatifitas siswa dibidang sastra. (3)Saran ditujukan kepada pembaca dan masyarakat umum untuk lebih mencintai karya sastra Indonesia, terutama jenis prosa. (4)Saran ditujukan kepada para penyair untuk lebih memperhatikan penggunaan gaya bahasa, baik retoris maupun kiasan untuk dapat menimbulkan efek keindahan dan dramatisasi dalam karya sastra. Daftar Rujukan Aminuddin. 2001. Kerangka Pemahaman Sastra Modern. Malang: PPS UM. Keraf, G. 1984. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama Lestari, D. 2011. Madre. Yogyakarta: Bentang Pustaka. Rafahmi, F.N. 2010. Penggunaan Gaya Bahasa Dalam Kumpulan Puisi “Telepon Genggam” Karya JokoPinurbo. Skripsi Tidak Diterbitkan : Fakultas Sastra UM. Ratna, N. K, 2009. Stilistika,kajian puitika bahasa, sastra dan budaya.. Yogyakrta: Pustaka Pelajar. Semi, M.A. 1990. Metode Penelitian Sastra. Bandung: Angkasa. Sudjiman, P. 1993. Bunga Rampai Stilistika. Jakarta: Temprint Tarigan, H.G. 1985. Pengajaran Gaya Bahasa. Bandung: Angkasa. Wellek, R. dan Austin W. 1990. Teori Kesusatraan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.