Masyarakat dan keanekaragamannya (heterogenitas) adalah permasalahan yang memang selalu ada dalam klehidupan ini. Masyarakat terbentuk karena adanya perbedaan, sementara perbedaan sendiri menjadikan kehidupan dalam bermasyarakat menjadi lebih hidup, lebih menarik dan layak untuk diperbincangkan. A. H e t e r o g e n i t a s Ada dua macam Heterogenitas, yakni:… 1. Heterogenitas masyarakat berdasarkan profesi/pekerjaan. Masyarakat Indonesia yang besar ini penduduknya terdiri dari berbagai profesi seperti pegawai negeri, tentara, pedagang, pegawai swasta, dsbnya. Setiap pekerjaan memerlukan tuntutan profesionalisme agar dpat dikatakan berhasil. Untuk itu diperlukan penguasaan ilmu dan melatih ketrampilan yang berkaitan dengan setiap pekerjaan. Setiap pekerjaan juga memiliki fungsi di masyarakat karena merupakan bagian dari struktur masyarakat itu sendiri. Hubungan antar profesi atau orang yang memiliki profesi yang berbeda hendaknya merupakan hubungan horisontal dan hubungan saling menghargai biarpun berbeda fungsi, tugas, bahkan berbeda penghasilan. 2. Heterogenitas atas dasar jenis kelamin. Di Indonesia biarpun secara konstitusional tidak terdapat diskriminasi sosial atas dasar jenis kelamin, namun pandangan “gender” masih dianut sebagaian besar masyarakat Indonesia. Pandangan gender ini dikarenakan faktor kebudayaan dan agama. Apabila kita melihat kemajuan Indoensia sekarang ini, banyak perempuan yang berhasil mengusai Iptek dan memiliki posisi yang strategis dalam masyarakat. Maka sudah selayaknya perbedaan jenis kelamin dikatagorikan secara horisontal, yaitu hubungan kesejajaran yang saling membutuhkan dan saling melengkapi. Dari kedua macam Heterogenitas tersebut dapat ditarik kesimpulan : melalui Hetrogenitas memunculkan adanya profesionalismeprofesionalisme dalam pekerjaan, keterampilan-keterampilan khusus (skill), spesialisasi-spesialisasi pekerjaan, penyadaran HAM, dsbnya. B. Masyarakat Kota Kota adalah pusat kehidupan yang dapat dilihat dari berbagai macam sudut pandang pendekatan. Aspek tersebut memberikan gambaran bahwa kota menjadi tempat manusia atau masyaakat berperilaku mengisi aktifitas kehidupannya sehari-hari. Dengan berperilaku manusia dapat dilihat melalui teropong sosiologi maupun antropologinya, atau dapat juga dilihat dari aspek fisik perkotaan yang akan memberikan kontribusi pada perilaku sosio-antropologinya (manusia dan struktur sosialnya). Kata antropologi, diambil dari bahasa Yunani anthropos (“human”) dan logia (“study”), sedangkan antropologi adalah “the study of man” atau “the study of humankind”. Kemudian distribusi dari (urban anthropology) antropologi perkotaan jelas mendukung sosio-kultural antropologi, bagaimana pun, mereka mengakui bahwa arkeologi telah memberikan kontribusi signifikan pada studi peradaban dan sistem spasial perkotaan. Istilah antropologi perkotaan mulai digunakan pada tahun 1960-an. Dengan perubahan difokuskan pada “urban anthropology” melawan tradisi antropologi yang menekankan pada “primitif” dan masyarakat petani, mengasingkan tentang perkotaan, kelompok dan masyarakat industri (Basham 1978). Kemunculan dari antropologi perkotaan juga diakibatkan oleh Perang Dunia ke-II dan proses dekolonisasi. Dalam pandangan para pakar urban anthropology, ketertarikan pada kota telah membenarkan tuntutan akan tradisi antropologi yang menaruh perhatian pada keseluruhan dan bermacam budaya manusia serta masyarakat. Secara teoritis, antropologi perkotaan melibatkan studi dari sistem budaya kota baik hubungan dari kota terhadap tempat-tempat yang luas dan kecil, serta penduduk sebagai bagian dari sistem perkotaan (Kemper 1996). Di Amerika antropologi di bagi menjadi empat bidang: – Sociocultural anthropology (sosiokultural antropologi), studi mengenai adat-istiadat dan masyarakat; – Archaeology (arkeologi), studi mengenai pra-sejarah manusia; – Linguistics (linguistik), studi mengenai bahasa; dan – Physical anthropology (antropologi fisik/ragawi), studi mengenai fisiologi manusia. Atau secara tradisional antropologi telah dibagi ke dalam: (1) cultural anthropology (antropologi budaya) yang terdiri dari beberapa sub-bidang: (a) antropologi sosial (social anthropology) atau etnologi (ethnology) berurusan dengan studi komparatif dari kebudayaan dan kemasyarakatan; (b) arkeologi (archeology) berurusan dengan rekonstruksi dari kehidupan manusia di masa lalu melalui analisa artifak dan benda peninggalan dari budaya yang punah; dan (c) anthropological linguistics (antropologi linguistik) merupakan studi bahasa sebagai cara kerja pertama dari komunikasi manusia. (2) physical anthropology (antropologi fisik/ragawi) adalah bersangkutan dengan evolusi spesies manusia, dan karakter biologis dari populasi manusia yang lalu dan sekarang. Perbedaan cara pandang sosiologi dan antropologi muncul pada human relations nya: Sosiologi, secara kontras tidak membicarakan orang tertentu dari kota akan tetapi lebih pada keterikatan hubungan personal dengan rural life. Cara pandang ini berkembang lebih awal dalam ilmu sosial dengan pemikiran evolusi sosial. Hal itu merupakan refleksi studi “Suicide” dari Emile Durkheim (1897), dengan konsep anomie atau state of normlessness. Anomie suicide merupakan karakter bagi mereka yang hidup terisolasi, dari dunia impersonal. Ferdinand Tönnies (1887), membuat jarak antara Gemeinschaft (community) dan Gesellschaft (society) konsep dasarnya, secara kontras untuk mendalami hubungan kontraktual pertalian karakter masyarakat kapitalis dan aktivitas bersama dari masyarakat feudal. Sedangkan Louis Wirth (1938) dalam “Urbanism as a way of life”, mengembangkan teori pengaruh dalam organisasi sosial dan perilakunya urban life. Louis Wirth, menyatakan bahwa urbanisme akan baik bila pendekatannya dilakukan dari tiga perspektif (cara pandang) yang saling berhubungan (inter-related): 1. as a physical structure (struktur fisiknya); 2. as a system of social organization (sistem dari organisasi sosialnya); dan 3. as a set of attitudes and ideas and a “constellation of personalities” (tatanan perilaku dan gagasan serta “kumpulan dari kepribadian”). Antropologi, lebih pada pertalian keluarga dan kelompok yang similar terkait dengan urban setting. Kota-kota di Afrika Barat, kehidupan perkotaan hampir keseluruhannya diorganisasi oleh klan (marga) dan kesukuan. Hal itu juga terdapat di Indonesia, China, dan Taiwan. Sosiologi perkotaan C. Sosiologi Perkotaan Apa sosiologi itu? Sosiologi adalah studi empiris dari struktur sosial (kemasyarakatan). Struktur sosial tidak sekedar hanya individu dan perilaku individu. Struktur sosial termasuk di dalamnya kelompok, pola sosial, organisasi, instruksi sosial, keseluruhan masyarakat, dan tentu saja perkotaan. Atau lebih jelasnya ilmu sosiologi adalah yang mengkaji atau menganalisis segi-segi kehidupan manusia bermasyarakat dalam kawasan kota atau perkotaan. Karakter kota dan masyarakat: a. Kota mempunyai fungsi-fungsi khusus; b. Mata pencaharian penduduknya di luar agraris; c. Adanya spesialisasi pekerjaan warganya; d. Kepadatan penduduk; e. Ukuran jumlah penduduk; f. Warganya (relatif) mobility; g. Tempat permukiman yang tampak permanen; dan h. Sifat-sifat warganya yang heterogen, kompleks, social relations yang impersonal dan eksternal, dan lain sebagainya. Kemudian ilmu tersebut berkembang dan berkaitan dengan apa yang dinamakan urban sosiologi (sosiologi perkotaan). Urban sosiologi adalah merupakan sub-disiplin di dalam sosiologi difokuskan pada urban environment (lingkungan perkotaan). Menjelaskan beberapa topik-topik sebagai bagian dari perkembangan perkotaan, struktur perkotaan, jalan kehidupan dalam perkotaan, pemerintahan, dan permasalahan perkotaan. Karena penduduk yang tinggal di perkotaan akan dipengaruhi oleh kota. Untuk memahaminya kita harus mempelajari perkotaan. Berbagai permasalahan berhadapan masyarakat kita berhubungan pada lingkungan urban. Untuk memahami permasalahannya kita perlu mempelajari kota. Dengan belajar bagaimana kota-kota dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan natural kita dapat mengerti link antara nature dan struktur sosial. D. Antropolgi perkotaan sebagai kelompok sosial Dengan sendirinya antropologi perkotaan dikenal melalui sosiologi perkotaan terutama dalam perspektif istilah yang berbeda: studi-studi sosiologi lebih difokuskan dalam issue penggalan (fragmented), antropologi perkotaan secara teoritis sedikit mengarah pada pendekatan holistik (Ansari & Nas 1983:2). Hal-hal yang mendorong berkembangnya sosiologi adalah: (1) konfrontasi dengan perubahan sosial yang hebat; (2) munculnya masyarakat yang makin berdiferensiasi; dan (3) keinginan manusia untuk membuat perubahan sosial dan kemajuan yang diorganisasikan secara sistematis. Beberapa definisi mengenai sosiologi: “Sosiologi adalah penelitian secara ilmiah terhadap interaksi sosial dan hasilnya, yaitu organisasi sosial” (WF. Ogburn & MF. Nimkoff). “Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari hubungan antara manusia dalam kehidupan kelompok” (Roucek & Warren). “Sociology, the scientific study of human interaction” (James W. Vander Zanden 1979:626). Dari tahun 1930-an sampai dengan 1950-an antropologi kebudayaan telah tumbuh dan lebih ditekankan pada studi masyarakat petani serta impaknya terhadap kota-kota dan kehidupannya (Redfield 1947). Perhatian yang lebih utama diberikan pada migrasi desa-kota, urban adaptation, etnik, dan kemiskinan (Lewis 1968; Hannerz 1969). Kemudian Fox (1977) mengidentifikasi lima perbedaan tipe dari kota, serta membahas hubungan kota dan masyarakat yang lebih luas terpancang di dalamnya. Akhirnya Basham (1978) menawarkan sebuah diskusi dari studi masyarakat perkotaan dan beberapa topik yang mempunyai hubungan. E. Metodologi Permasalahan yang paling utama pada antropologi perkotaan adalah aplikasi dua teknik pendekatan antropologi, yaitu partisipan-observasi dan holistik di dalam riset perkotaan. Teknik dari metode antropologi ditekankan pada suku (tribe) dan masyarakat perdesaan/petani di mana hal itu lebih terbuka dan memungkinkan untuk pengembangan hakekat hubungan personal setiap orang di masyarakat. Para pakar antropologi perkotaan diminta untuk memperluas pengetahuan dalam mengembangkan kemampuan dengan memasukkan materi-materi tertulis, survei, studi kesejarahan, novels (ceritera-ceritera), dan sumber-sumber lainnya. Tantangan dari para pakar antropologi perkotaan adalah untuk menata keseluruhan sumber materi yang berbeda dan untuk mencoba realitas kelompok yang lebih luas tanpa mengorbankan penjelasan dengan mengkarakterisasi etnografi dan antropologi secara umum. Dalam skala yang luas tujuan dari studi-studi antropologi perkotaan didominasi: – studi komparasi dengan komunitas tunggal (comparative study with single community); – studi dengan multi-komunitas (multy-community studies); – survei wilayah (regional survey); – analisa tingakat nasional (national-level analyses); – studi komparasi tingkat nasional (comparative multy-national studies); dan – studi teori dan metodologi secara umum (general theoritical and methodological studies). Pada skala kecil tujuan studi antropologi perkotaan fokus utamanya: mengenai individu-individu di dalam sejarah kehidupannya, spesifikasi pada konteks masyarakat (seperti, marketplaces, gangs, shopping centers), unit-unit tempat tinggal, dan tempat kerja. (Kemper 1991b) Menurut Fox (1977), ada perbedaan tradisi dalam penelitian antropologi perkotaan dengan mempertahankan kontinuitas dengan antropologi tradisional dan metode-metodenya yang tidak memfokuskan pada perkotaan, tetapi ke dalam unit yang lebih kecil di dalam kota. Satu contoh, adalah antropologi mengenai kemiskinan kota (urban poverty). Kemudian Oscar Lewis memperkenalkan istilah “culture of poverty” (budaya kemiskinan), yang mana dipahami sebagai bentuk dari kehidupan yang muncul secara independen akibat hilangnya faktor ekonomi dan politik (Valentine 1968; Goode & Eames 1996). F. Antropologi dan urbanisme Urbanisasi antropologi (migrasi desa-kota) berdiri saling memotong di antara kota dan desa. Bidang ini spesial kuat berkembang dalam penelitian di Afrika oleh para antropolog Inggris, dan studi di Amerika Latin oleh peneliti dari Amerika. Di sini penekanan dalam skala luas tergantung dari pergerakan fisik penduduk desa ke kota-kota dan adaptasi populasi dari imigran terhadap lingkungan barunya difokuskan mengenai perubahan struktur sosial, hubungan interpersonal dan identitas kolektif di dalam kota (Abu-Lughod 1962) Kecenderungan dari urbanisasi menunjukkan, bahwa jumlah penduduk yang akan berurbanisasi akan bertambah di masa medatang. Untuk itu bidang antropologi kemungkinan akan memusatkan ke dalam antropologi perkotaan (Ansari & Nas 1983:6) Ada jarak di antara “antropolog yang melakukan riset dalam kota, tetapi tanpa banyak memahami konteks perkotaan; hanya menitik beratkan pada struktur kehidupan kota dan pengaruhnya dalam perilaku manusia atau silang budaya; dan mereka yang menitik beratkan pada perkembangan dari sistem internasional perkotaan melalui waktu dan ruang sebagai perbedaan wilayah sosial-budaya dan politik-ekonomi” (Kemper 1991b: 374). Antropologi perkotaan di tahun 1960-an dan 1970-an difokuskan pada issue khusus, sebagai contoh, migrasi, pertalian keluarga (kinship), kemiskinan, dan lain sebagainya. Di tahun 1980-an diperluas ketertarikan pada semua aspek dari kehidupan perkotaan (urban life). Di dalam prakteknya, antropologi perkotaan telah melebur pada bagian khusus dari geografi, ekologi, dan disiplin lainnya. Issue kontemporer dari antropologi perkotaan adalah: – Masalah perkotaan; – Migrasi desa-kota; – Adaptasi dan penyesuaian dari manusia dalam populasi lingkungan yang padat; – Efek dari penataan kota di atas pluralisme budaya dan stratifikasi sosial; – Hubungan sosial (social networks); – Fungsi dari paertalian keluarga; – Pertumbuhan dari kota; – Kejahatan (crime); – Perumahan (housing); – Arsitektur; – Transportasi; – Penggunaan dari ruang (use of space); – Pekerja (employment); – Infrastruktur; dan – Demografi/kependudukan. G. Masyarakat kota sebagai community Adalah suatu kelompok teritorial di mana penduduknya menyelenggarakan kegiatan-kegiatan hidup sepenuhnya. Dengan demikian, suatu community memiliki ciri-ciri: 1. berisi kelompok manusia; 2. menempati suatu wilayah geografis; 3. mengenal pembagian kerja ke dlam spesialisasi dengan fungsi-fungsi yang saling tergantung; 4. memiliki kebudayaan dan sistem sosial bersama yang mengatur kegiatan mereka; 5. para anggotanya sadar akan kesatuan serta kewargaan mereka dari community; dan 6. mampu berbuat secara kolektif menurut cara tertentu. Hal ini dapat diperjelas lagi bahwa community dapat dibagi menurut jenisnya menjadi empat jenis community: Rural; Fringe (pinggiran);Town; dan Metropolis. Sedangkan kondisi-kondisi yang diperlukan bagi suatu kota (city) adalah: 1. pembagian kerja dalam spesialisasi yang jelas; 2. organisasi sosial lebih berdasarkan kelas sosial dari pada kekeluargaan; 3. lembaga pemerintah lebih berdasarkan teritorium daripada kekeluargaan; 4. suatu sistem perdagangan dan pertukangan; 5. mempunyai sarana komunikasi dan dokumentasi; dan 6. berteknologi yang rasional. Kota di dunia Barat masih terbagi atas jenis town dan city, dan masing-masing disebut coraknya menurut fungsi dominan, sehingga ada kota pertambangan, tangsi, pemerintahan, pendidikan, perdagangan, industri, turisme, dan sebagainya. H. Kriteria kota dan definisinya Kota dapat berupa town (kota kecil) dapat city (kota besar). Di Denmark, Swedia, Albania, dan Finlandia permukiman dengan 200 jiwa sudah disebut town; Di Argentina dan Kanada suatu tempat dengan 1.000 jiwa sudah disebut kota, sedangkan di Amerika Serikat, dan Meksiko 2.500 jiwa; Di Italia, Yunani, dan Spanyol untuk dapat digolongkan kota penduduknya paling sedikit 10.000 jiwa; dan Di Nederland dengan 20.000 jiwa, sedang di Indonesia menurut sensus 1971 juga 20.000 jiwa ditambah dengan beberapa syarat fasilitas lain. Contoh lain yang dikemukakan oleh Wilcox, daerah dengan jumlah penduduk 100 jiwa disebut community; 100 hingga 1.000 jiwa disebut village, dan 1.000 jiwa ke atas disebut city. Perbedaan antara kota dan desa PJM. Nas (1979) menjelaskan bahwa, (1). Kota bersifat besar dan memberikan gambaran yang jelas, sedangkan pedesaan itu kecil dan bercampur-baur, tanpa gambaran yang tegas; (2). Kota mengenal pembagian kerja yang luas, desa (pedalaman) tidak; (3). Struktur sosial di kota differensiasi yang luas, sedangkan di pedesaan relatif sederhana; (4). Individualitas memainkan peranan penting dalam kebudayaan kota, sedangkan di pedesaan hal ini kurang penting; di pedesaan orang menghayati hidupnya terutama dalam kelompok primer; dan (5). Kota mengarahkan gaya-hidup pada kemajuan, sedangkan pedesaan lebih berorientasi pada tradisi, dan cenderung pada konservatisme. Dunia Barat dalam Sosiologi Perkotaan membuat perincian objek studi sebagai pengkhususan: 1. kemiskinan dan ketergantungan; 2. salah adaptasi perorangan dan disorganisasi kepribadian; dan 3. kenakalan remaja dan kejahatan. Untuk mempelajari itu semua dicakup tiga pokok sebagai berikut: 1. persebaran keruangan dari gejala dan tempat tinggal para pelakunya; 2. studi khusus terhadap para pelaku kejahatan untuk mengetahui jenis dan dalamnya motivasi; dan 3. menstudi kejahatan yang diorganisasikan (termasuk parageng-nya). I. Ciri-ciri struktur sosial kota Struktur sosial dari kota dapat dirinci atas beberapa gejala sebagai berikut: (a) heterogenitas sosial, kepadatan penduduk mendorong terjadinya persaingan dalam pemanfaatan ruang; (b) hubungan sekunder, jika hubungan antar penduduk di desa disebut primer, di kota disebut sekunder; (c) kontrol (pengawasan sekunder), di kota orang tak mempedulikan peri laku pribadi sesamanya; (d) toleransi sosial, orang-orang kota secara fisik berdekatan, tetapi secara sosial berjauhan; (e) mobilitas sosial, di sini yang dimaksud adalah perubahan status sosial seseorang; (f) ikatan sukarela, secara sukarela orang menggabungkan diri ke dalam perkumpulan yang disukainya; (g) Individualisasi, merupakan akibat dari sejenis atomisasi, orang dapat memutuskan apa-apa secara pribadi, merencanakan kariernya tanpa desakan orang lain; dan (h) segregasi keruangan, akibat dari kompetisi ruang terjadi pada pola sosial yang berdasarkan persebaran tempat tinggal atau sekaligus kegiatan sosial-ekonomis. J. Urbanisasi dan urbanisme PJM. Nas (1979:42), berbendapat bahwa urbanisasi adalah proses yang digerakkan oleh perubahan-perubahan struktural dalam masyarakat, sehingga daerah-daerah yang dulu merupakan daerah pedesaan dengan struktur mata pencaharian yang agraris maupun sifat kehidupan masyarakat lambat laun atau melalui proses yang mendadak memperoleh sifat kehidupan kota. Urbanisasi yang berarti “gejala perluasan pengaruh kota ke pedesaan, baik dilihat dari sudut morfologi, ekonomi, sosial, maupun sosial-psikologis”. Konsep urbanisasi juga mencakup: pertumbuhan suatu permukiman menjadi kota (desa menjadi kota), perpindahan penduduk ke kota (dalam bentuk migrasi mutlak, atau ulang alik), atau kenaikan prosentase penduduk yang tinggi di kota. Istilah urbanisasi dalam garis besarnya mempunyai dua pengertian: pertama, urbanisasi berarti proses pengkotaan, yakni proses pengembangan atau mengkotanya suatu daerah (desa). Kedua, urbanisasi berarti perpindahan atau pergeseran penduduk dari desa ke kota. Migrasi ke kota terjadi karena adanya perbedaan kemajuan antara kota dan desa. Kehidupan kota yang jauh lebih enak, banyak kesempatan kerja yang bisa diperoleh di kota, mengundang penduduk desa untuk datang ke kota. Dengan demikian erat kaitan antara proses urbanisasi dan sarana komunikasi serta transportasi modern telah menyebabkan terjadinya dua gejala: 1. gejala peleburan kesatuan-kesatuan komuniti kecil menjadi kesatuan komuniti yang lebih besar; dan 2. gejala pe-massa-an masyarakat, sebagai ciri kebudayaan modern. Gejala pertama timbul karena daerah-daerah atau lingkungan masyarakat yang tadinya tertutup, terisolasi secara geografik maupun sosial-kultural, menjadi terbuka, sejalan dengan semakin meluasnya jaringan komunikasi dan transportasi. Gejala kedua, pemassaan masyarakat terjadi karena dengan melalui sarana komunikasi dan tranportasi modern secara luas dan serentak dapat didistribusikan, dan diterima semua lapisan masyarakat, terlepas dari perbedaan kekayaan, pendidikan, dan tingkat sosial atau segi-segi lainnya. Proses urbanisasi tidak hanya proses difusi kebudayaan kota ke desa, tetapi juga terhadap masyarakat kota itu sendiri. Karena dalam kenyataan di kota-kota (termasuk kota besar) dalam negara-negara berkembang masih terdapat “desa-desa” di dalamnya. Kingsley Davis, membedakan urbanization dari growth of cities: yang pertama menyatakan proporsi dari penduduk yang tinggal di kota. Dapat saja terjadi pertumbuhan di kota tanpa terjadi peningkatan urbanisasi. Proses urbanisasi terbatas, yaitu sampai tercapai seratus persen, sedang pertumbuhan kota berjalan tanpa ada batasnya. Di negara-negara yang maju urbanisasi menciptakan dua kelas masyarakat, yaitu proletariat kota (mereka yang gagal dalam social climbing), dan klas yang terdiri atas kaum lapisan sosial menengah (tukang dan pedagang). Di Inggris, urbanisasi berjalan berdampingan dengan industrialisasi. Di sini muncul tiga fenomena secara bersamaan, yaitu ekspansi penduduk, pertumbuhan kota, dan perubahan industri. Industrialisasi di Barat dalam abad ke-19 dan yang terjadi di Asia Tenggara mempunyai trend yang lain: di Barat pendorongnya adalah revolusi teknologi, sedang di Asia Tenggara keparahan krisis ekonomi di pedesaan yang agraris. Sosiolog Louis Wirth, mengatakan makin besar tempat tinggal, makin padat penduduknya, makin heterogen manusianya, maka makin menonjol karakteristik masyarakatnya. Di samping itu Louis Wirth juga menjelaskan: (a) Urbanisasi menimbulkan inovasi, spesialisasi, diversitas, dan anonimitas. Kota dapat menciptakan cara hidup yang berbeda, disebutkan dengan istilah Urbanism; dan (b) Luas (size), kepadatan (density), dan heterogenitas (heteroginity) merupakan variabel bebas yang menentukan urbanisme, atau gaya hidup kota. Heterogenitas masyarakat kota mengakibatkan munculnya gejala depersonalisasi, lunturnya kepribadian orang, ia menjadi penting secara individual saja. Gejala ini dalam proses selanjutnya akan menuju impersonalitas dari masyarakat modern. Pada bagian lain, Georg Simmel mengupas impersonalitas dan melukiskan orang kota sebagai yang: (1) cenderung mencari privacy; (2) berhubungan dengan orang-orang lain hanya dalam peranan-peranan khusus saja; dan (3) menilai segalanya dengan standar uang. Selain menimbulkan klas baru, urbanisasi juga menciptakan gaya hidup (way of life) yang baru. Sedangkan Roe (1971), memandang gaya hidup kota modern memiliki tiga nivo kehidupan: (1) nivo kelompok primer yang akrab, ini terdapat dalam relasi orang dengan keluarga, teman dan tetangga; (2) nivo kelugasan kelompok sekunder, ini terdapat dalam relasi orang dengan teman-teman sekerja; dan (3) nivo kelompok berdasar peranan, ini bersifat anonim dan di situ terdapat interaksi misalnya, antara pribumi dan orang asing, si kaya dan si miskin. K. Migrasi desa-kota dan pertumbuhan kota Di Eropa, penduduk yang meninggalkan rumahnya untuk ke kota telah benar-benar pindah dari cara hidup desa ke tradisi perkotaan di mana mereka telah bermigrasi. Meninggalkan wilayah desa masuk ke kota yang terorganisir, terjadi setelah adanya faham dari luar, hal ini sebagai akibat dari kolonialisme Eropa. Dalam artikel “The Cultural Role of Cities,” Redfield & Singer mengatakan, istilah primary urbanization and secondary urbanization digunakan untuk membedakan antara: – perkembangan kota sebagai natural outgrowth (hasil alami) dari tradisi-tradisi yang menjadi bagian mereka (primary urbanization); serta – dan peradaban atau pra-peradaban masyarakat jelata (folk society) dari tradisi-tradisi perkotaan sebagai hasil pengaruh dari luar (secondary urbanization). Bahwa yang permulaan mendiami kota, adalah kaum migran yang telah “ditekan” untuk meninggalkan tempat tinggal di desa atau kota-kecil, sebagai akibat dari faktor kesukaran ekonomi, dari pada “tarikan” oleh kesempatan kerja di kota. Beyond push and pull cityward migration as a multidimensional phenomenon. Meningkatnya urbanisasi di dunia dapat di analisis dari: 1. tipe dari urban migration; dan 2. kebudayaan, ekonomi, dan motivasi personal dari pergerakan penduduk. Variasi dari migrasi ke kota dapat dibagi menjadi beberapa kategori (Hackenberg & Wilson): – sedentary, pola pergerakan individu terutama dibatasi pada wilayah tempat tinggalnya, yang kadang-kadang mengunjungi lokasi-lokasi ritual dan seremonial; – circulatory, pola pergerakan individu dilakukan paling tidak sekali, atau beberapa kali, pada urban setting untuk periode yang panjang, tetapi mereka tetap tinggal di tempat komunitasnya; – oscillatory, mereka telah meninggalkan tempat asalnya untuk periode yang panjang dan kembali ke tempat asalnya, namun tidak menetap di tempat asalnya, karena sudah menetap di kota secara permanen; dan – linear, imigran benar-benar migrasi dari desa ke kota dengan pengertian mereka meninggalkan tempat asalnya dan tidak pernah kembali. Secara umum, bagi siapa yang meninggalkan tempat tinggalnya, adalah untuk mencari pekerjaan di kota mengikuti teman atau saudara dari tempat asalnya, tujuannya mendapatkan pekerjaan dan tempat untuk hidup. Kejahatan, sakit jiwa, dan permasalahan sosial: – nutrition and diabetes; – urban psychopathology; – juvenile delinquency (kejahatan remaja); – prostitution; dan – political corruption. L. Kemiskinan di perkotaan Budaya kemiskinan (culture of poverty) merupakan interpretasi kemiskinan sebagai gaya hidup yang bersifat integral, di mana terjadi bentuk-bentuk tertentu dari penyesuaian dan partisipasi terhadap dunia yang ada di sekelilingnya (Oscar Lewis). Munculnya budaya khusus tentang kemiskinan yang menentukan sepenuhnya hubungan antara individu dan kepribadian kaum miskin. Lalu apa penyebab kemiskin itu, kemudian di paparkan sebagai berikut: – kemiskinan yang bersifat kultural; – kemiskinan dan budaya dua-duanya terletak dalam lingkaran setan; dan – orang miskin dapat disosialisasikan pula di dalam budaya kemiskinan itu yang mewujudkan budaya yang dominan baginya. Kemudian ada lima jenis kebijakan dalam memecahkan masalah kawasan kumuh di perkotaan (Johnstone): a) Sikap laisser fair, pemerintah membiarkan dibangunna perumahan liar mengikuti permainan ekonomi; b) Alamist approach, pendekatan yang memandang bermunculannya gubug-gubug reyot kaum papa sebagai ancaman; c) Pendekatan sesisi (partial approoach), pemerintah memberikan subsidi kepada perushaan swasta yang mendidrikan perumahan bagi penduduk yang mampu membayar secara kredit; d) Total approach, pendekatan menyeluruh, pemerintah mendirikan secara besar-besaran perumahan untuk kaum ekonomi lemah; dan e) Pendekatan progresif (progresisive approach), pemecahan bersama penghuninya. M. Peradaban kota Peradaban istilah terjemahan dari civilization, dengan kata latin civis (warga kota) dan civitas (kota; kedudukan warga kota). Peradaban mewujudkan puncak-puncak dari kebudayaan (Huntington). Di samping hal itu, Franz Boas mengatakan, lahirnya kultur sebagai akibat dari pergaulan manusia dengan lingkungan alamnya. Meliputi budaya materiil, relasi sosial, seni, agama, dan sistem moral serta gagasan dan bahasa. Definisi budaya memberikan tekanan pada dua hal: pertama, unsur-unsurnya baik yang berupa adat kebiasaan atau gaya hidup hidup masyarakat yang bersangkutan; dan kedua, fungsi-fungsi yang spesifik dari unsur-unsur tadi demi kelestarian masyarakat dan solidaritas antar individu. Antropolog Malinowski (1944), membedakan lagi budaya material dan yang spiritual: pertama, menyangkut adat-kebiasaan dan pranata kemasyarakatan; dan kedua, menyangkut berbagai harapan, nilai dan gagasan yang berlaku umum. Sejarawan Oswaldo Spengler, memandang kultur sebagai pertumbuhan jiwa manusia yang bermasyarakat, dalam makna yang serba asli, mengandung kehidupan dan bersifat mulia, kuat, dan kaya. Dia berusaha menarik garis yang jelas antara budaya dan peradaban: – budaya, yang dominan nilai spiritual, menekankan perkembangan individu di bidang mental dan moral. (Yunani kuno sebagai budaya); dan – peradaban: yang dominan nilai material, menekankan kesejahteraan fisik dan material. (Romawi kuno sebagai peradaban) Spengler menyebut Zivilization (peradaban) sebagai produk akhir di mana budaya di situ telah menjadi steril, suatu kondisi yang akhirnya akan dialami oleh semua budaya yang ada. Ini berbeda dengan pendapat Huntington, bahwa civilization adalah puncak-puncak dari kultur. Dalam tafsiran Spengler justru sebaliknya, yakni bahwa Zivilization adalah lebih rendah daripada kultur karena merupakan hasil dari pemerosotannya. N. Sikap manusia terhadap kota Dalam menilai kota terdapat polarisasi antara dua faham. Golongan kolot, yakni para localis yang lebih berpangkal pada emosi, pengamatan pribadi, dan nostalgi. Mereka berpendapat bahwa yang ada tak usah dirubah, demi nilai sejarahnya. Golongan cosmopolitans, menghendaki perubahan drastis, yakni supaya wajah kota dirubah, sehingga lebih nampak corak modern dan internasional. Bagi localis ini berarti perlindungan terhadap yang ada. Sedangkan bagi cosmopolitans, itu berarti pemugaran yang disertai pertimbangan penggunaan ruang secara efektif dan kreatif. Dalam filsafat mengenai kota dibicarakan pula faham mereka yang disebut “pembenci kota” dan “pencinta kota”. Para pembenci kota terdiri atas mereka yang putus asa dalam menghadapi kebobrokan kehidupan dalam kota. Kota mereka pandang sebagai sumber gejala kekerasan, pemabukan, penyakit jiwa, kejahatan, frustrasi, perceraian, dan sebagainya. Sehubungan dengan itu: Arsitek Frank Lloyd Wright, melukiskan manusia kota sebagai ternak goblok atau kelompok semut yang berputar-putar bingung mencari lubangnya. Filsuf abad ke-19 Emerson, memperingatkan bahwa kota menjadikan manusia semakin cerewet dan keranjingan hiburan serta iseng. Tokoh pembenci kota dalam sejarahnya adalah Jenghis Khan, selama hidupnya merasa diancam oleh kota, dalam rangka meluaskan kerajaannya, kota-kota di Asia banyak yang dihancurkan dengan sewenang-wenang. Dalam mengupas “pencinta kota”, F.L. Wright membagi manusia purba atas dua golongan: pertama, penghuni gua, ini seperti manusia kota sekarang; dan kedua, mereka yang berpindah-pindah, ini mirip petualang berasal dari pedesaan sekarang. Dengan adanya gejala urbanisasi yang melanda dunia sekarang ini para “pecinta kota” membela diri: kaum urbanis dengan sukarela meninggalkan desa karena mereka ingin terlepas dari cengkeraman kebodohan, dan sedikitnya kesempatan untuk maju. Hal ini didukung pula oleh pendapat dari Paul Tillich, yang mengatakan bahwa justru dengan kehadiran mereka kita menjadi lebih menarik karena menawarkan hal-hal serba baru dan aneh. Arsitek Eliel Saarinen mengatakan, bagaimana pun, perkembangan fisik dan mental manusia banyak tergantung dari corak lingkungan tempat ia dibesarkan sejak bayi, dan bertempat tinggal serta bekerja sebagai orang dewasa. Sumber Pustaka Ansy’ari, S.I. 1993. Sosiologi Kota dan Desa. Surabaya: Usaha Nasional. Basham, R. 1978. Urban Antrophology: The Cross-Culture Study of Complex Societies. United States of America: Mayfield Publishing Company. Daldjoeni, N. 1977. Seluk Beluk Masyarakat Kota (Pusparagam Sosiologi Kota dan Ekologi Sosial). Bandung: P.T. Alumni. Nas, d. P. J. M. 1979. Kota di Dunia Ketiga: Pengantar Sosiologi Kota. Jilid 1. Jakarta: Bhratara Karya Aksara. Spreiregen, P. D. (1965). Urban Design: The Architecture of Towns and Cities. New York: McGraw-Hill Book Company. ( 2009 by antariksa ) Bintarto, R, Prof, Drs. 1983. Interaksi Desa-Kota dan Permasalahannya. Ghalia Indonesia; Jakarta Belanja. Siapa yang tidak suka berbelanja? Semua orang pasti suka berbelanja asalkan ada uang. Kalau dulu seseorang berbelanja karena ingin memenuhi kebutuhan hidupnya seperti makan, minum, pakain dan sebagainya. Berbeda dengan sekarang menurut Haryanto Soedjatmiko, penulis buku “Saya Berbelanja Maka Saya Ada” dimana belanja menjadi tolak ukur jati diri seseorang sebab terkait dengan banyak aspek, antara lain aspek sosial dan psikologis. Dari aspek psikologis, misalnya diamana belanja ada hubungannya dengan rasa gengsi. Dari aspek Sosial, dengan belanja bisa menunjukkan status orang tertentu. Konsumerisme telah mengubah konsumsi yang seperlunya menjadi konsumsi yang mengada ada. Orientasi kebutuhan (need) bergeser kepemenuhan keinginan (want). Konsumerisme sendiri merupakan budaya belanja dimana masyarakat biasanya menghabiskan uang untuk barang-barang yang bukan merupakan kebutuhan primer. Membeli tas, sepatu, dan sandal tidak cukup satu saja, mereka cenderuang memebeli beberapa dan menyesuaikan dengan warna baju yang mereka kenakan. Padahal satu saja sebenarnya sudah cukup, kita bisa membeli warna putih atau hitam yang biasanya sepadan dengan warna apapun. Melalui belanja, seseorang tidak lagi mementingkan apa yang dapat diperbuat dengan barang tersebut, melainkan apa yang diakatakan atau tampak oleh orang lain melalui barang tersebut terhadap dirinya sebagai konsumen. Ketika kita ingin makan, dengan nasi dan lauk seadanya tentu sudah bisa kenyang. Tetapi kenapa seseorang harus ke Restoran mahal dahulu hanya untuk mengenyangkan perutnya? Ini tidak lepas dari rasa gengsi dan status sosial tersebut. Seseorang akan merasa lebih bangga ketika bisa makan di restoran dengan biaya yang tidak sedikit ketimbang makan di warung biasa walaupun intinya sama, yaitu kenyang. Ada prestis tersendiri ketika dilihat oleh rekan kerjanya, atau orang yang dikenal ketika mereka duduk di restoran mahal tersebut. Berbelanja (shopping) agaknya telah menjadi ciri-ciri manusia yang hidup di zaman kontemporer dewasa ini. Konsumerisme dan Sosiologi Konsumsi (Mujibur Rohman) Jika ungkapan Descartes Cogito Ergo Sum (Aku berpikir, maka aku ada) menjadi kebanggan dan wujud peneguhan eksistensi manusia berdasarkan rasionalitas. Saat ini, yang dominan adalah, Emo Ergo Sum (Aku berbelanja, maka aku ada) Sebuah peneguhan eksistensial manusia yang kadang tanpa dasar nalar. Sadar atau tidak, nilai tukar dan nilai guna sebagai tolak ukur produksi dan konsumsi kini bergeser menjadi nilai tanda dan nilai simbol semata. Ya, hanya penampilan luar yang diutamakan bukan fungsi atau manfaat barang tersebut yang dipertimbangkan. Ketika belanja menjadi berlebihan di situlah orang mulai berkata tentang konsumtif dan ujung-ujungnya konsumeris. Konsumerisme, pada awalnya adalah consumer-ism, sebuah aliran yang hendak melindungi konsumen dari gempuran barang-barang produksi. Dalam perkembangan selanjutnya, konsumerisme beralih kepada suatu pola pikir dan tindakan di mana konsumen yang dilindungi itu membeli barang bukan karena ia membutuhkan barang tersebut, melainkan karena tindakan membeli itu sendiri memberikan kepuasan kepadanya. Dengan kata lain, bisa saja seseorang yang terjangkit konsumerisme selalu merasa bahwa ia belanja karena ia membutuhkan barang tersebut, meskipun pada momen refleksi berikutnya, ia sadar bahwa ia tak membutuhkan barang tersebut. Inilah akar konsumerisme, yaitu agar ekonomi bisa terus berjalan dengan baik, anggota masyarakat harus terus membeli. Mungkin lebih bijak jika uang lebih yang kita punya diatabung saja. Sebagai seorang muslim, alangkan lebih baiknya pula, jika ada rezeki lebih diberikan kepada orang yang kurang mampu, atau menyumbang untuk pembangunan masjid dan sebagainya yang tentunya lebih bermanfaat dan merupakan tabungan pahala bagi kita sendiri. sekali-kali lihat kebawah, rasanya terlalu dholim jika kita hanya menuruti nafsu sesaat dengan hal-hal seperti itu, sedangkan masih banyak orang yang membutuhkan uluran tangan kita. Kadang ada pula orang yang hidupnya biasa-biasa saja tapi hanya karena ingin mengikuti mode dan trend jahiliyah tersebut, sampai melakukan hal-hal yang tidak benar seperti menekan orang tua agar memberikan uang jajan lebih, menghabiskan uang SPP atau uang kos bulanan. semoga kita dijauhkan dari hal-hal seperti itu. Untuk memanage pengeluaran kita mungkin perlu untuk mengelist daftar kebutuhan kita mulai dari yang paling penting, penting, cukup penting, dan tidak penting, supaya kita tahu barang apa atau kebutuhan apa yang harus kita dahulukan. Dan jangan lupa untuk menyisakan sedikit – banyak dari harta kita buat saudara-saudara yang mebutuhkan. Karena dari apa yang kita miliki ada hak orang lain didalamnya.