RESTRUKTURISASI SEKTOR KETENAGALISTRIKAN MENUJU PASAR LISTRIK KOMPETITIF Ulysses Simandjuntak, I Made Ro Sakya, Sinthya Roesly *) Wacana restrukturisasi sektor ketenagalistrikan ke arah penciptaan pasar listrik kompetitif telah berjalan lebih dari dua tahun sejak diluncurkannya dokumen Kebijakan Restrukturisasi Sektor Ketenagalistrikan oleh Menteri Pertambangan dan Energi pada Agustus 1998. Berbagai langkah dalam rangka restrukturisasi industri kelistrikan menuju pasar listrik yang kompetitif sesuai rencana Pemerintah Indonesia seperti tertuang dalam dokumen tersebut telah mulai dirintis. Persiapan pembentukan Badan Pengatur, studi tentang Grid Code dan Distribution Code, studi tentang Transmission Charges, studi tentang Market Rules JawaBali dan pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) pengganti Undang-Undang Ketenagalistrikan Nomor 15 tahun 1985 adalah beberapa contoh kegiatan dalam rangka restrukturisasi yang telah dan sedang dilaksanakan. Di samping itu, PLN sebagai pelaku terbesar pada industri kelistrikan Indonesia telah pula secara bertahap merestrukturisasi organisasinya dalam upaya untuk menciptakan organisasi yang lebih efisien serta mempersiapkan diri untuk mampu bersaing dalam suasana yang kompetitif. Salah satu aspek yang menarik untuk ditinjau lebih jauh adalah implementasi pasar listrik sesuai gambaran yang ada pada hasil studi konsultan di Direktorat Jenderal Listrik dan Pemanfaatan Energi Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral tentang Market Rules Sistem Jawa-Bali, yang telah diselesaikan pada awal 2001. Studi konsultan tersebut telah berhasil merumus-kan suatu aturan pasar listrik untuk sistem Jawa Bali baik pada era Single Buyer maupun pada era pasar listrik kompetitif, Multi Buyer Multi Seller. Makalah ini akan membahas mengenai konsep pasar listrik yang diusulkan oleh konsultan tersebut di atas, operasionalisasi dari konsep tersebut termasuk kaitannya dengan konsep restrukturisasi pada RUU Ketenagalistrikan yang baru, serta berbagai kendala yang perlu diatasi dalam implementasinya seperti adanya masalah kondisi sistem yang constraints, masalah pembangkit listrik swasta, pertumbuhan beban sistem yang relatif tinggi, kompetensi dan kredibilitas Badan Pengatur, dan lain sebagainya. Diusulkan dalam makalah ini suatu kerangka implementasi restrukturisasi industri kelistrikan yang mungkin dilaksana-kan setelah meninjau berbagai kondisi yang ada. I. Pendahuluan Upaya Pemerintah Indonesia untuk me-restrukturisasi sektor ke-tenagalistrikan Indonesia menuju sektor yang kompetitif telah berjalan lebih dari dua tahun. Pembentukan sektor ketenagalistrikan kompetitif yang umumnya ditandai dengan adanya pasar listrik kompetitif memerlukan dilaksanakannya serangkaian kegiatan yang tidak sederhana. Kegiatan ini antara lain meliputi penataan peraturanperundangan yang mendukung, Badan Pengatur yang kredibel, struktur dan aturan pelaksanaan pasar listrik, serta mekanisme pentarifan yang sesuai untuk bidang usaha yang masih secara natural bersifat monopoli. Di samping itu agar implementasi pasar listrik dapat berjalan efektif diperlukan prasyarat terhadap kondisi sistem yang ada, seperti sistem harus dalam keadaan over-supply, kendala transmisi yang minimal, keseimbangan posisi pelaku pasar, dan telah dilengkapi oleh sistem pengukuran (metering system) dan sistem yang mengelola pasar listrik (disebut dengan Market Operation System, MOS (Fungsi MOS umumnya meliputi pengelolaan penawaran pelaku pasar, penentuan harga/scheduling, setelmen dan penagihan. MOS berinteraksi dengan sistem metering dan SCADA/EMS, serta memerlukan perangkat IT seperti komputer, software aplikasi dan sistem komunikasi). yang sesuai dengan Market Rules yang berlaku. Makalah ini akan menguraikan secara ringkas berbagai upaya restrukturisasi yang telah dilakukan Pemerintah dalam dua tahun terakhir, kemajuan yang telah dicapai, konsep pasar listrik yang akan diimplementasikan, dan beberapa kendala yang sedang dan akan dihadapi dalam implementasi restrukturisasi pasar listrik. Suatu kerangka implementasi restrukturisasi yang dianggap perlu diambil Pemerintah akan diusulkan pada bagian akhir. Fokus makalah hanya pada implementasi pasar listrik kompetitif di sistem Jawa-Bali, mengingat sebagaimana disebutkan dalam Kebijakan Restrukturisasi Pemerintah sistem ini dianggap lebih mature di-bandingkan dengan sistem ketenagalistrikan wilayah lainnya dan merupakan sistem pertama di Indonesia yang akan menerapkan pasar listrik kompetitif. Gambaran umum sistem Jawa Bali dapat dilihat pada lampiran. II. Kemajuan Upaya Restrukturisasi Sejak diluncurkannya Kebijakan Restrukturisasi Sektor Ketenagalistrikan Indonesia oleh Menteri Pertambangan dan Energi pada Agustus 1998 (Policy Paper), berbagai upaya telah dilakukan untuk mewujudkan sistem tenaga listrik yang sesuai dengan gambaran pada dokumen tersebut, yaitu sistem yang efisien, kompetitif, transparan, melindungi ke-pentingan konsumen, serta mampu men-jamin kelangsungan tersedianya tenaga listrik dengan mutu dan harga yang layak. Penciptaan sistem seperti dimaksud di atas didukung pula oleh institusi internasional seperti World Bank, Asian Development Bank dan USAID. Bantuan ada yang berupa grants dan juga berupa pinjaman yang diiringi dengan Technical Assistance untuk studi-studi yang diperlukan. 2.1. Upaya Pemerintah Beberapa upaya yang telah dilakukan Pemerintah dalam kerangka restrukturisasi adalah: pembuatan RUU Ketenagalistrikan pengganti UU No. 15/1985, persiapan pembentukan Badan Pengatur, studi tentang Grid Code, Distribution Code, Competitive Tendering Code, Tariff Code dan Market Rules Sistem Jawa Bali. Saat ini juga sedang disiapkan Rancangan Peraturan Pemerintah untuk memungkinkan pelaksanaan pasar Single Buyer dan yang akan mendefinisikan wilayah kompetitif dan non-kompetitif. Berbagai seminar yang dimaksudkan untuk memberikan penyamaan persepsi tentang konsep restrukturisasi kepada masyarakat juga telah dilaksanakan. Saat ini DPR telah mulai membahas RUU Ketenagalistrikan yang telah disampaikan oleh Pemerintah. Sisi bahan bakar primer, yang terkait erat dengan sektor listrik, juga di-deregulasi melalui Undang Undang Migas yang baru. 2.2. Upaya PLN PLN selaku pelaku terbesar di sektor ketenagalistrikan Indonesia merupakan pihak yang paling terpengaruh dengan adanya kebijakan restrukturisasi Pemerintah. Untuk mengantisipasi tekanan yang akan muncul dengan adanya sistem yang lebih kompetitif maka PLN telah melakukan berbagai upaya, seperti: perombakan organisasi yang tadinya bersifat sentralistik menjadi entitas-entitas bisnis yang lebih mandiri dan memiliki sasaran usaha yang lebih fokus, pemisahan bidang usaha yang bersifat kompetitif dan monopoli, renegosiasi kontrak listrik swasta, pelaksanaan bidding energi internal antar anak perusahaan pembangkit milik PLN, pengembangan kontrak-kontrak pembelian tenaga listrik dengan anak perusahaan pembangkit, kontrak jasa transmisi dan distribusi, serta pengembangan SDMnya. 2.3. Pengembangan Perangkat Pasar Listrik Pengembangan berbagai perangkat untuk implementasi pasar listrik dapat dikatakan masih dalam tahap awal. PLN telah mulai mengembangkan sistem metering yang menggunakan meter elektronik di Sistem Jawa-Bali. Namun saat ini instalasi yang lengkap hanya terdapat pada sisi interkoneksi dengan Pembangkit, belum dikembangkan untuk interkoneksi dengan Distribusi. Sistem yang seyogyanya tertata dengan kemampuan automatic meter reading saat ini masih dalam tahap penyempurnaan. Untuk dapat melaksanakan proses bidding yang merupakan ciri dalam implementasi pasar listrik diperlukan sistem komunikasi untuk penyampaian penawaran dan informasi oleh pelaku pasar. Dan tentu saja diperlukan suatu perangkat optimasi (market clearing engine) yang reliable dan mengakomodasi logika optimasi yang sesuai dengan aturan pasar listrik yang berlaku. Sistem komunikasi yang terdedikasi untuk pelaksanaan pasar listrik dan perangkat optimasi yang mendukung saat ini belum mulai dikaji. Sistem komunikasi yang digunakan saat ini hanya terbatas pada kebutuhan operasi sistem, sedangkan perangkat optimasi yang dipilih saat ini masih merupakan hak prerogatif PLN, khususnya PLN P3B. Suatu sistem pemantauan kinerja operasional pembangkit atau sistem pencatatan komunikasi operasi real time masih perlu disiapkan sebagai salah satu sumber informasi bagi perhitungan kewajiban finansial dan penyelesaian perselisihan transaksi antar pelaku pasar. Di samping itu, suatu sistem setelmen yang menghitung dan mencatat kewajiban finansial akibat transaksi yang terjadi pada pasar listrik sesuai mekanisme yang berlaku perlu pula ada. Suatu sistem yang terintegrasi atau MOS yang terdiri atas fungsi-fungsi di atas belum mulai dikembangkan. Perangkat peraturan operasional seperti Grid Code, Distribution Code, dan Market Rules telah selesai dalam bentuk konsep, namun dokumen-dokumen ini masih perlu disesuaikan dengan kondisi yang ada dan diperiksa asas konsistensinya antara satu dengan lainnya. Tampaknya dokumen-dokumen tersebut masih perlu dilengkapi dengan suatu aturan peralihan untuk masa transisi menuju terciptanya kondisi yang diasumsikan pada saat penyusunannya. Mekanisme pengawasan pelaksanaan pasar listrik sesuai dokumen atau aturan yang ada perlu pula dirumuskan secara jelas untuk memastikan implementasi berjalan dengan baik. Pentarifan terhadap usaha yang bersifat monopoli seperti transmisi dan distribusi perlu pula didefiniskan. Pada saat Policy Paper diluncurkan, Pemerintah bersama dengan konsultan Haigler Bailly telah selesai melakukan studi Transmission Pricing sistem Jawa-Bali. Sekarang, konsep Tariff Code yang mengatur masalah ini juga sudah ada. Namun, mengingat mekanisme penanganan tarif transmisi ini harus selasa dengan Market Rules yang akan diadopsi, maka kedua hasil studi tersebut perlu ditindak-lanjuti dan dikaji kembali penerapannya. III. Konsep Pasar Listrik Sistem Jawa-Bali Bagian di bawah ini akan menjelaskan konsep pasar Single Buyer dan pasar Multi Buyer Multi Seller sesuai gambaran dalam Market Rules hasil studi konsultan DJLPE yang terdiri atas KEMA Consulting, Pace Global Energy Services, Professor Frank Wolak dari Stanford University, PT Connusa Energindo dan Institute Teknologi Bandung (ITB). Sebagai gambaran, sebelumnya akan diuraikan mekanisme yang berlaku pada sistem Jawa-Bali saat ini. 3.1. Mekanisme Saat Ini Saat ini PLN dengan dua anak perusahaan pembangkitnya merupakan pelaku bisnis terbesar di sistem Jawa-Bali. Beberapa perusahaan pembangkit swasta telah beroperasi dan mulai menyalurkan tenaga listrik ke sistem tenaga listrik Jawa Bali. Jual beli tenaga listrik antara PLN dan perusahaan pembangkit baik swasta maupun anak perusahaan PLN dilakukan melalui kontrak pembelian tenaga listrik (Power Purchase Agreement, PPA). Ketentuan-ketentuan operasional, legal dan komersial pada kontrak-kontrak tersebut sangat bervariasi. Belum terdapat kontrak transmisi dan kontrak penjualan tenaga listrik kepada perusahaan distribusi, kecuali kontrak konsumen besar dengan PLN, sebab pengusahaan transmisi dan distribusi dilakukan oleh unit operasional yang masih menjadi satu institusi secara hukum dengan PLN. Pemisahan biaya transmisi yang dikenakan kepada distribusi hanya terbatas pada transfer pricing tanpa menggunakan suatu kontrak. Dapat dikatakan bahwa struktur saat ini merupakan struktur “Single Buyer”, dimana PLN Pusat bertindak sebagai Single Buyer. Sampai dengan tahun 1999, beban pembelian tenaga listrik ini dilimpahkan kepada PLN P3B sebagai unit operasional yang menjalankan ketentuan kontrak yang ada. Mulai tahun 2000, pembebanan tersebut dialihkan ke PLN Pusat, sehingga dalam laporan keuangannya PLN P3B hanya menerima pendapatan dari penyediaan jasa transmisi. 3.2. Pasar Single Buyer Market Rules atau Aturan Pasar Listrik dimaksudkan sebagai acuan bekerjanya pasar listrik. Isi Market Rules Single Buyer (SB) ini terdiri atas: definisi, latar belakang, tujuan pasar listrik dan tujuan aturan pasar listrik, peran dan tanggung jawab pelaku pasar, penyambungan ke grid, metering, mekanisme pasar seperti proses bidding dan penanganan ancillary services, penagihan dan setelmen, interpretasi aturan pasar listrik, penyimpanan dokumen, dan publikasi informasi. 1. Model Pasar Pada fase SB, perusahaan transmisi yang juga menjalankan fungsi dispatch berperan sebagai agen Pembeli Tunggal (Single Buyer), yang membeli listrik dari pembangkit dan menjualnya kepada perusahaan distribusi atau konsumen besar melalui sistem transmisi (lihat Gambar-1). Dispatch pembangkit dilakukan berdasarkan konsep biaya variabel termurah, yang meliputi biaya bahan bakar serta biaya variabel operasi dan pemeliharaan pembangkit. Perusahan transmisi juga bertanggung-jawab dalam perencanaan sistem, mengupayakan investasi sistem yang optimal dan melakukan koordinasi pengembangan sistem transmisi dan pembangkitan. Sentralisasi fungsi perencanaan, operasi transmisi dan dispatch dianggap akan memfasilitasi operasi yang efisien dan perencanaan yang efektif. Pengadaan pembangkit baru akan dilaksanakan secara transparan dan melalui tender yang kompetitif (competitive bidding). Pengaturan Komersial Pelaku pasar pada fase SB terdiri atas perusahaan pembangkit, transmisi, distribusi dan konsumen besar. Badan Pengatur memegang peranan penting pada masa ini, khususnya dalam bidang usaha transmisi dan distribusi. Peranan badan pengatur pada sisi pembangkitan akan tidak signifikan sebab interaksinya telah diatur dalam kontrak jual beli tenaga listrik (power purchase agreement, PPA) antara pembangkit dan perusahaan transmisi. PPA mengatur hak dan kewajiban kedua belah pihak dalam berbagai aspek seperti finansial serta aspek operasional pembangkit dan sistem tenaga listrik. Pembayaran akan dihitung berdasarkan dua komponen pembayaran: fixed (pembayaran kapasitas) dan variabel (pembayaran energi). Pembayaran kapasitas merupakan pembayaran atas biaya-biaya tetap tahunan pembangkit seperti biaya investasi, return atas investasi, biaya tetap operasi dan pemeliharaan, dan biaya tetap lainnya. Pembayaran ini tidak tergantung pada tingkat pembebanan (dispatch) pembangkit. Sedangkan pembayaran energi, yang tergantung pada dispatch pembangkit, dimaksudkan untuk mengkompensasi biaya bahan bakar serta biaya variabel operasi dan pemeliharaan pembangkit. Pembayaran dengan dua komponen tarif ini mengalokasikan resiko sedemikian sehingga perusahaan transmisi akan menanggung resiko dispatch serta pertumbuhan beban, dan perusahaan pembangkit menanggung resiko operasi dan pemeliharaan pembangkit, sehingga memberikan insentif yang jelas bagi operasi yang efisien oleh kedua belah pihak. Pada fase SB ini juga telah terdapat proses bidding biaya variabel untuk pembelian energi dari pembangkit. Namun, penawaran dari pembangkit yang disampaikan kepada SMO ini akan dibatasi oleh suatu tingkat harga (price cap) tertentu yang diatur dalam PPA. Pembangkit akan menerima pembayaran untuk komponen fixed (kapasitas) sesuai PPA dan pembayaran energi sesuai hasil penawaran mereka. Captive Power dalam hal ini juga dibenarkan untuk ikut serta dalam proses bidding. Namun mereka hanya akan menerima pembayaran energi atas excess power yang disalurkan ke grid, sebab mereka tidak memiliki kapasitas yang firm. Untuk pembangkit skala kecil (small power plants, SPP) diusulkan suatu tarif dan model kontrak yang standar untuk menghindari biaya administratif yang tinggi, memudahkan investor SPP dan mengurangi waktu dan biaya yang dibutuhkan dalam interaksi dengan SPP. Single Buyer akan mengenakan tarif tenaga listrik curah (bulk supply tariff, BST) kepada konsumennya. BST ini merupakan harga transfer dari perusahaan transmisi ke konsumennya, yang dihitung berdasarkan biaya energi dan kapasitas pembangkitan. BST bisa terpisah dari biaya transmisi tergantung dari penanganan biaya transmisi yang diadopsi. BST harus dirancang sedemikian rupa agar diperoleh keseimbangan antara kebutuhan konsumen akan harga yang stabil dan kebutuhan perusahaan transmisi terhadap fleksibilitas dalam menanggapi perubahan pola beban dan konsumsi. Biaya sistem transmisi dirancang untuk menutupi biaya investasi, operasi dan pemeliharaan transmisi dan return yang dibutuhkan. Biaya ini harus mampu memberi sinyal kepada pengguna sistem mengenai dampak dari perilaku mereka terhadap efisiensi sistem serta biaya pengembangan sistem. Karena komponen terbesar dari biaya operasi dan pemeliharaan transmisi tergantung pada tingkat pembebanan maksimum, lokasi beban dan penggunaan sistem, maka tarif dengan dua komponen, biaya beban dan biaya energi, diusulkan untuk diadopsi. Biaya beban dikaitkan dengan kapasitas MW yang digunakan oleh pembangkit dan konsumen, sedangkan biaya energi didasarkan pada pengukuran kWh yang disalurkan. Biaya transmisi dapat dihitung berdasarkan biaya marginal atau accounting cost recovery. Kontrak penyambungan merupakan pengaturan komersial yang juga penting pada pasar SB. Kontrak ini mengatur penyambungan antara pengguna grid dan perusahaan transmisi. Pengguna grid berkewajiban untuk membayar sebagian atau seluruh biaya peralatan baru yang diperlukan untuk penyambungan ke grid serta biaya operasi dan pemeliharaan dari fasilitas penyambungan yang diperuntukkan bagi mereka. Tarif kepada konsumen akhir (retail tariff) idealnya merupakan penjumlahan dari BST dan biaya transmisi/distribusi. Mengingat perusahaan transmisi melakukan pembelian dan penjualan, maka pada tahap ini perusahaan transmisi bisa juga berfungsi sebagai administrator bagi subsidi yang terdapat pada sistem. 3.3. Pasar Multi Buyer Multi Seller Isi Aturan Pasar untuk fase Multi Buyer Multi Seller (MBMS) meliputi interpretasi dari Aturan Pasar, partisipasi pelaku pasar, adiministrasi, supervisi dan pelaksanaan aturan, ketentuan penyambungan grid, reliability sistem tenaga, wholesale metering, operasi sistem dan pasar bilateral, kontrak bilateral fisik dan energy forward market, penagihan dan setelmen, pelayanan, perencanaan dan pengadaan transmisi, dan definisi. Aturan Pasar ini hanya mengatur interaksi dan operasi pada tingkat wholesale market saja. Pada tahap ini perusahaan distribusi akan memisahkan bidang usaha jaringan (monopoli) dengan usaha retail (kompetitif). Distribusi akan menyediakan pelayanan jaringan distribusi, dan Perusahaan Retail akan menyediakan jasa suplai tenaga listrik, metering, penagihan, dsb. Gambar-2 menunjukkan fungsi-fungsi yang ada pada struktur pasar MBMS.(Struktur yang menggambarkan seluruh pelaku pasar. Perusahaan distribusi akan menyediakan jasa penyaluran melalui sistem distribusi juga dengan mekanisme kontrak baik dengan perusahaan retail, konsumen besar, maupun perusahaan pembangkit. Karena penyediaan jasa penyaluran untuk suatu kawasan itu dikelola secara monopoli maka harga penyediaan jasa akan diatur oleh suatu badan regulasi (Regulatory Body). Perusahaan-perusahaan retail akan bersaing satu sama lain dalam memperoleh konsumennya. Konsumen akhir akan bebas memilih siapa saja yang menjadi pemasok listriknya. Akan terdapat Wholesale Market Power Pool yang merupakan pasar jual beli tenaga listrik. Perusahaan transmisi /dispatch melakukan penyediaan jasa transmisi, dan jasa lainnya untuk keperluan operasi sistem. Perusahaan-perusahaan pembangkit akan bersaing satu sama lain dalam menjual tenaga listrik yang diproduksinya. Penjualan tenaga listrik dapat dilakukan dengan bidding melalui atau langsung kepada perusahaan retail atau konsumen besar dengan mekanisme kontrak bilateral. Konsumen besar dapat membeli tenaga listrik melalui perusahaan retail, langsung ke perusahaan pembangkit atau lewat Pool. Kepemilikan transmisi dan fungsi operasi pasar listrik, operasi sistem serta administrasi setelmen diusulkan untuk dilaksanakan oleh satu entitas yang disebut sebagai SMO (System & Market Operator), setidaknya pada tahap awal. Argumentasi terhadap hal ini adalah sebagai berikut : (i) pemisahan fungsi-fungsi tersebut pada tahap awal akan merupakan sumber inefisiensi, (ii) keberadaan SMO sebagai satu entitas dengan wewenang penuh terhadap sistem transmisi akan menghasilkan operasi sistem yang lebih andal dan efisien, (iii) wewenang penuh terhadap kepemilikan dan operasi sistem akan menghasilkan pengembangan sistem transmisi yang lebih baik, khususnya bila melihat proyeksi pertumbuhan beban sistem yang cukup tinggi (lebih dari 9% per tahun). Untuk memudahkan pengaturan dan pengawasan terhadap fungsifungsi tersebut, maka fungsi sistem operasi, administrasi setelmen dan kepemilikan transmisi pada SMO harus berada dalam struktur manajemen (departemen) dengan pembukuan yang terpisah. SMO akan mengoperasikan power pool/pasar spot yang menentukan operasi sistem dan harga listrik. Untuk dapat menghindari munculnya conflict of interests, SMO tidak dibenarkan untuk berafiliasi dengan salah satu pelaku pasar. Pengawasan terhadap pelaksanaan fungsi SMO dapat dilakukan dengan berbagai cara, seperti pengawasan langsung oleh pelaku pasar, pengawasan melalui Komite yang mewakili semua kepentingan, atau melalui pengawasan langsung oleh badan regulator atau pemerintah. Konsultan mengusulkan pengawasan yang berbentuk Komite yang disebut dengan SMO Advisory Group, sebab bisa memastikan pelaku pasar memperoleh dan memberikan masukan mengenai pelaksanaan pasar listrik secara langsung. Di samping itu perlu pula dibentuk suatu komite pemantauan perilaku pelaku pasar (Market Surveillance Committee) khususnya pada tahap awal implementasi pasar listrik. Keberadaan Komite ini haruslah memiliki kekuatan hukum dan dikenal oleh peraturan perundangan yang berlaku. Garis besar desain pasar listrik MBMS yaitu sbb : Pasar Energi Terdapat pasar energi real-time (spot market) yang dicacah setiap setengah jam. Pembangkit dan dispatchable load melakukan penawaran dan akan didispatch secara fisik oleh SMO berdasarkan harga termurah. Selanjutnya pelaku pasar akan menerima informasi market clearing price dari SMO. Pelaku pasar boleh untuk menawarkan hingga 20 pasang harga-kuantitas dan 5 ramping up/down rate. Harga Penawaran mencakup seluruh biaya (single price), seperti biaya energi, biaya start up, dll. Terdapat pula day-ahead forward market untuk energi, yang bersifat voluntary. SMO akan melakukan lelang (auction) atas penawaran dari sisi pembangkit dan beban. Pasar ini murni bersifat finansial. Harga yang muncul merupakan indikasi atas ekspektasi harga energi real time, sehingga akan membantu pengaturan strategi hedging dan penanganan kontrak bilateral fisik. Di samping kedua pasar tersebut di atas, pelaku pasar boleh pula melakukan kontrak bilateral antar mereka dan dapat secara voluntary menyampaikan data kontrak kepada SMO untuk keperluan setelmen. Ancillary Services Penyediaan ancillary services seperti cadangan operasi, pengaturan frekuensi, daya reaktif, black start dan layanan reliability must-run diperoleh melalui kontrak dengan jangka waktu maksimum 18 bulan. Pemenuhan kebutuhan ancillary services harus diupayakan dilakukan melalui proses yang kompetitif. Akan diadopsi model kontrak standar yang disetujui oleh Regulator dengan prinsip cost-reimbursement. Dalam kondisi darurat, SMO berwenang untuk mendapatkan ancillary services dari pelaku pasar yang tidak terikat kontrak atau yang mampu menyediakan layanan di luar kewajiban penyambungan mereka, dengan kompensasi full opportunity payment. Pengembalian stranded costs ini diperoleh melalui pengenaan Competition Transition Charge (CTC) kepada konsumen dalam rentang beberapa tahun. Pembangkit Hidro Pembangkit hidro akan dikelola oleh suatu entitas independen, yaitu Operator Hidro. Operator Hidro akan menyampaikan penawaran setelah mempertimbangkan kegunaan air bagi keperluan lainnya, seperti irigasi. Profit yang diperoleh dari pengelolaan pembangkit hidro ini akan digunakan untuk membantu pendanaaan subsidi bagi sektor ketenagalistrikan. Kongesti Transmisi Konsultan mengusulkan agar biaya kongesti transmisi (Biaya kongesti transmisi yaitu perbedaan antara biaya solusi dispatch optimum dan solusi dispatch akibat adanya kongesti transmisi) dialokasikan secara merata baik kepada pembangkit maupun beban. Perhitungan biaya ini mengacu pada sistem Jawa-Bali sebagai single zone. Saat ini sistem Jawa-Bali dibagi dalam 3-zonal sistem transmisi, namun dengan selesainya loop transmisi 500 kV jalur selatan maka kendala transmisi menjadi minimal dan sistem Jawa-Bali secara elektrikal dapat dilihat sebagai single node system, sehingga tidak diperlukan untuk mengadopsi sistem perhitungan yang lebih kompleks seperti locational based (nodal) pricing. Stranded Costs Stranded Costs didefinisikan sebagai selisih antara sunk cost (dari capital investment dan PPA) dan net operating income (pendapatan dari penjualan layanan pembangkit dikurangi modal dan biaya operasi masa datang yang belum dikeluarkan). Pembayaran Pelaku Pasar Pembangkit yang didispatch sesuai dengan merit order penawaran akan memperoleh pembayaran atas energi yang disalurkan sesuai dengan market clearing price. Market clearing price merupakan hasil dari optimasi pembangkitan dengan kondisi sistem yang unconstrained (tanpa kongesti). Pembangkit yang terpaksa dijalankan akibat kongesti transmisi meskipun out of merit (constrained-on unit) akan menerima pembayaran sebesar penawaran mereka. Sedangkan pembangkit yang terpaksa tidak dijalankan (constrained-off unit) akan menerima pembayaran sebesar selisih antara market clearing price dan penawaran mereka. Biaya-biaya ini akan diperoleh dari seluruh pelaku pasar melalui Biaya Uplift. Hasil optimasi pembangkitan dengan kondisi yang constrained akan digunakan untuk menentukan Biaya Uplift. Setelmen untuk setiap selang ½ jam akan meliputi, pembayaran untuk energy forward market, pasar energi real time, pengelolaan kongesti dan uplift. Sedangkan yang tidak dihitung berdasarkan selang ½ jam adalah biaya transmisi, pembayaran ancillary services, biaya administrasi SMO, penalti, denda dan CTC. Pengembalian biaya ancillary services akan diperoleh dari konsumen berdasarkan jumlah MWh yang dikonsumsi. Ekspansi Sistem Transmisi SMO bertanggung jawab dalam perencanaan dan identifikasi kebutuhan sistem transmisi, mengevaluasi alternatif pengembangan yang ada, dan melaksanakan proses pengadaan sesuai ketentuan. Pelaku pasar bisa mengajukan upgrade dari sistem transmisi untuk dipertimbangkan dalam proses evaluasi SMO. SMO akan mendokumentasi evaluasi dari fasilitas eksisting dan yang direncanakan, serta dampak dari alternatif yang secara teknis feasible dalam Laporan Tahunan SMO. Pengembalian biaya transmisi akan ditentukan oleh regulator sebagaimana diatur dalam Aturan Tarif (Tariff Code) yang berlaku. Struktur Pasar Dari hasil simulasi terhadap aturan pasar yang telah dirumuskan, maka untuk menghindari timbulnya market power yang memungkinkan tidak efektifnya pasar listrik Konsultan merekomendasikan bahwa pembangkit PLN tidak dikelompokkan dalam satu perusahaan melebihi 5.000 hingga 6.000 MW (dengan asumsi beban puncak sistem lebih dari 16.000 MW dan kapasitas tersedia sekitar 22 GW) . Setidak-tidaknya harus terdapat 3 perusahaan pembangkit yang menangani pembangkit PLN eksisting dan konsentrasi kepemilikan terhadap peaking plant harus dihindari. IV. Kendala Implementasi Restrukturisasi Berbagai kendala implementasi restrukturisasi yang dihadapi saat ini dapat dirangkum sebagai berikut: (i) adanya kendala transmisi antara bagian barat dan timur sistem Jawa-Bali, (ii) kondisi suplai dalam memenuhi beban yang cukup terbatas, (iii) masalah kontrak listrik swasta, (iv) pasar energi primer yang belum kompetitif (kecuali batu bara pad saat ini), (v) peraturan perundangan yang belum mendukung, (vi) tarif yang belum mencerminkan tingkat keekonomian sesungguh-nya, (vii) belum adanya aturan pentarifan untuk usaha yang monopoli, (viii) belum terdapat kejelasan mekanisme subsidi pada industri yang telah diunbundling, (ix) belum terbentuknya Badan Pengatur yang independen dan kredibel, (x) belum tersedianya sistem metering dan MOS yang memadai. V. Rekomendasi Implementasi Dari uraian di atas dan mengacu pada berbagai kendala yang ada, maka langkah implementasi berikut sebaiknya perlu dilakukan: 1. Mengimplementasikan pasar listrik model SB dengan terlebih dahulu melakukan: (i) (ii) (iii) (iv) (v) (vi) pemisahan entitas bisnis sesuai fungsi pembangkitan, transmisi (SMO) dan distribusi; persiapan kelengkapan perangkat pendukung seperti kontrak jual beli listrik, kontrak transmisi / penyambungan Grid Code, prosedur perencanaan dan pengembangan sistem (Planning & Competitive Tendering Code); penyempurnaan terhadap Aturan Pasar SB hasil studi konsultan; persiapan sistem metering dan MOS untuk pasar SB; integrasi PPA listrik swasta dengan pasar SB (PPA eksisting tidak mewajibkan Listrik Swasta untuk berpartisipasi pada pasar listrik. Jika proses renegosiasi belum selesai, Listrik Swasta pada tahap Single Buyer bisa dianggap sebagai suatu system constraint, sehingga dioperasikan sesuai ketentuan kontrak. Namun, hal ini tentu saja akan mengurangi efektifitas mekanisme pasar yang ada. Alternatif lainnya adalah membentuk “PPA Trader” yang akan ikut proses bidding untuk pembangkit Listrik Swasta dan diberi insentif untuk memaksimal-kan nilai PPA) ; kejelasan mekanisme subsidi, dan (vii) penentuan entitas yang berfungsi sebagai regulator. 2. Mengimplementasikan wholesale market sebagai transisi menuju pasar MBMS setelah terlebih dahulu memastikan: (i) (ii) (iii) (iv) (v) (vi) (vii) (viii) (ix) minimalnya kendala transmisi dengan diselesaikannya saluran transmisi 500 kV jalur selatan; kondisi sistem yang telah over supply; pasar energi primer yang telah diliberalisasi; tarif listrik yang telah mencapai tingkat keekonomiannya; terdapatnya peraturan per-undangan yang mendukung; dibentuknya Badan Regulator yang independen dan kredibel; dapat di integrasikannya PPA listrik swasta dengan pasar MBMS; penyempurnaan Aturan Pasar MBMS hasil studi konsultan telah dilakukan; dan adanya kesiapan sistem metering dan MOS yang memadai untuk pasar MBMS. 3. Mengimplementasikan pasar listrik kompetitif penuh setelah: (i) diperoleh keyakinan bahwa wholesale market telah bekerja dengan baik; (ii) pemisahan bisnis jaringan dan retail perusahaan distribusi telah terjadi; (iii) disusunnya aturan rinci dari kerja retail market; dan (iv) pengaturan pentarifan bagi bidang usaha yang bersifat monopoli seperti distribusi (jaringan) dan layanan terhadap franchised customers telah terdefinisi. RUU Ketenagalistrikan yang sedang dibahas saat ini mengatur batasan waktu implementasi pasar listrik sejak berlakunya RUU tersebut sebagai UU, yaitu: 1. Paling lama 1 tahun sesudahnya dibentuk Badan Pelaksana penanganan subsidi (Dana Pembangunan Ketenagalistrikan Sosial, DPKS); 2. Paling lama 2 tahun sesudahnya dibentuk Badan Pengatur; 3. Paling lama 3 tahun sesudahnya telah ada daerah yang menerapkan sistem kompetisi pasar pembeli tunggal; 4. Paling lama 7 tahun sesudahnya telah ada daerah yang menerapkan mekanisme pasar kompetisi penuh. Dari banyaknya persiapan yang perlu dilakukan, tampaknya batasan waktu yang digariskan dalam RUU Ketenagalistrikan merupakan kerangka implementasi yang sangat ketat. Seandainya RUU ini diundangkan, maka rangkaian kegiatan yang akan dilakukan seperti diuraikan di atas harus benar-benar dicermati pelaksanaannya. Implementasi restrukturisasi bukanlah suatu pekerjaan yang sederhana. Dan meskipun terlihat bahwa tanggung jawab sebagian besar kegiatan berada di tangan Pemerintah, kesuksesannya membutuhkan kerja keras dari berbagai pihak. Disamping itu, hal ini tentu saja sangat tergantung dengan kondisi perekonomian bangsa dalam beberapa tahun mendatang. Implementasi seyogyanya dilakukan dengan tingkat kehati-hatian yang tinggi. Setiap prasyarat/ kondisi yang harus ada serta aturan main yang jelas dalam semua sendi operasi sektor ketenagalistrikan haruslah disiapkan secara matang agar sistem Jawa-Bali dapat terhindar dari malapetaka sebagaimana terjadi pada sistem di California di penghujung tahun 2000 setelah deregulasi yang dilakukan mereka mulai tahun 1998. VI. Penutup Telah diuraikan konsep pasar listrik sistem Jawa-Bali, kemajuan dan kendala implementasinya, serta rangkaian kegiatan yang perlu dicermati dalam proses pelaksanannya. Jelas terlihat bahwa di samping persyaratan infrastruktur yang bersifat teknis, kesuksesan implementasi restrukturisasi juga sangat tergantung pada kesiapan semua pihak baik Pemerintah, pelaku industri, maupun masyarakat luas selaku konsumen sektor ini. Mengingat perubahan yang akan terjadi pada sektor ketenagalistrikan merupakan suatu langkah yang fundamental, maka kontribusi semua pihak, termasuk perguruan tinggi, dalam proses yang sedang berjalan akan sangat bermanfaat. Referensi: [1] Menteri Pertambangan dan Energi Republik Indonesia, Kebijakan Restrukturisasi Sektor Ketenagalistrik-an, Jakarta, 25 Agustus 1998. [2] Kema Consulting, Pace Global Energy et al., Market Rules for the Java Bali Power System, 31 Januari 2001. [3] Kema Consulting, Pace Global Energy et al., Market Rules for the Java Bali Power System – Multi Buyer Market, 31 Maret 2001. *) Ir. Ulysses R. Simandjuntak, MSc. , Ir. I Made Ro Sakya, MEngSc. Ir. Sinthya Roesly, MEngSc. - PT PLN (Persero) Unit Bisnis Strategis Penyaluran dan Pusat Pengatur Beban Jawa Bali sebagai staf ahli di Unit Bidding & Operasi Sistem. Beban Puncak Sistem : 12.380 MW () Daya Terpasang : 18,145 MW - PT. Indonesia Power = 8,659 MW - PT PJB = 6,492 MW - IPPs = 2,994 MW Jumlah Unit Pembangkit : + 200 unit Transmisi 70, 150, 500 kV: 17.214 kms Kapasitas Trafo 70, 150, 500 kV: 46.778 MVA Total Pembangkit : 72.6 TWh (th.2000) Generation Mix beban puncak : Coal = 36 % Gas = 32 % Oil = 16 % Hydro = 9 % Geohermal = 7 % Jumlah Pelanggan : 20 juta