III. Konsep Pasar Listrik Sistem Jawa-Bali

advertisement
RESTRUKTURISASI SEKTOR KETENAGALISTRIKAN
MENUJU PASAR LISTRIK KOMPETITIF
Ulysses Simandjuntak, I Made Ro Sakya, Sinthya Roesly *)
Wacana restrukturisasi sektor ketenagalistrikan ke arah penciptaan pasar listrik kompetitif
telah berjalan lebih dari dua tahun sejak diluncurkannya dokumen Kebijakan Restrukturisasi
Sektor Ketenagalistrikan oleh Menteri Pertambangan dan Energi pada Agustus 1998.
Berbagai langkah dalam rangka restrukturisasi industri kelistrikan menuju pasar listrik yang
kompetitif sesuai rencana Pemerintah Indonesia seperti tertuang dalam dokumen tersebut
telah mulai dirintis. Persiapan pembentukan Badan Pengatur, studi tentang Grid Code dan
Distribution Code, studi tentang Transmission Charges, studi tentang Market Rules JawaBali dan pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) pengganti Undang-Undang
Ketenagalistrikan Nomor 15 tahun 1985 adalah beberapa contoh kegiatan dalam rangka
restrukturisasi yang telah dan sedang dilaksanakan. Di samping itu, PLN sebagai pelaku
terbesar pada industri kelistrikan Indonesia telah pula secara bertahap merestrukturisasi
organisasinya dalam upaya untuk menciptakan organisasi yang lebih efisien serta
mempersiapkan diri untuk mampu bersaing dalam suasana yang kompetitif.
Salah satu aspek yang menarik untuk ditinjau lebih jauh adalah implementasi pasar
listrik sesuai gambaran yang ada pada hasil studi konsultan di Direktorat Jenderal
Listrik dan Pemanfaatan Energi Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral
tentang Market Rules Sistem Jawa-Bali, yang telah diselesaikan pada awal 2001.
Studi konsultan tersebut telah berhasil merumus-kan suatu aturan pasar listrik untuk
sistem Jawa Bali baik pada era Single Buyer maupun pada era pasar listrik
kompetitif, Multi Buyer Multi Seller.
Makalah ini akan membahas mengenai konsep pasar listrik yang diusulkan oleh
konsultan tersebut di atas, operasionalisasi dari konsep tersebut termasuk kaitannya
dengan konsep restrukturisasi pada RUU Ketenagalistrikan yang baru, serta
berbagai kendala yang perlu diatasi dalam implementasinya seperti adanya masalah
kondisi sistem yang constraints, masalah pembangkit listrik swasta, pertumbuhan
beban sistem yang relatif tinggi, kompetensi dan kredibilitas Badan Pengatur, dan
lain sebagainya. Diusulkan dalam makalah ini suatu kerangka implementasi
restrukturisasi industri kelistrikan yang mungkin dilaksana-kan setelah meninjau
berbagai kondisi yang ada.
I.
Pendahuluan
Upaya Pemerintah Indonesia untuk me-restrukturisasi sektor ke-tenagalistrikan
Indonesia menuju sektor yang kompetitif telah berjalan lebih dari dua tahun.
Pembentukan sektor ketenagalistrikan kompetitif yang umumnya ditandai dengan
adanya pasar listrik kompetitif memerlukan dilaksanakannya serangkaian kegiatan
yang tidak sederhana. Kegiatan ini antara lain meliputi penataan peraturanperundangan yang mendukung, Badan Pengatur yang kredibel, struktur dan aturan
pelaksanaan pasar listrik, serta mekanisme pentarifan yang sesuai untuk bidang
usaha yang masih secara natural bersifat monopoli.
Di samping itu agar implementasi pasar listrik dapat berjalan efektif diperlukan
prasyarat terhadap kondisi sistem yang ada, seperti sistem harus dalam keadaan
over-supply, kendala transmisi yang minimal, keseimbangan posisi pelaku pasar,
dan telah dilengkapi oleh sistem pengukuran (metering system) dan sistem yang
mengelola pasar listrik (disebut dengan Market Operation System, MOS (Fungsi
MOS umumnya meliputi pengelolaan penawaran pelaku pasar, penentuan
harga/scheduling, setelmen dan penagihan. MOS berinteraksi dengan sistem
metering dan SCADA/EMS, serta memerlukan perangkat IT seperti komputer,
software aplikasi dan sistem komunikasi). yang sesuai dengan Market Rules yang
berlaku.
Makalah ini akan menguraikan secara ringkas berbagai upaya restrukturisasi yang
telah dilakukan Pemerintah dalam dua tahun terakhir, kemajuan yang telah dicapai,
konsep pasar listrik yang akan diimplementasikan, dan beberapa kendala yang
sedang dan akan dihadapi dalam implementasi restrukturisasi pasar listrik. Suatu
kerangka implementasi restrukturisasi yang dianggap perlu diambil Pemerintah akan
diusulkan pada bagian akhir.
Fokus makalah hanya pada implementasi pasar listrik kompetitif di sistem Jawa-Bali,
mengingat sebagaimana disebutkan dalam Kebijakan Restrukturisasi Pemerintah
sistem ini dianggap lebih mature di-bandingkan dengan sistem ketenagalistrikan
wilayah lainnya dan merupakan sistem pertama di Indonesia yang akan menerapkan
pasar listrik kompetitif. Gambaran umum sistem Jawa Bali dapat dilihat pada
lampiran.
II.
Kemajuan Upaya Restrukturisasi
Sejak diluncurkannya Kebijakan Restrukturisasi Sektor Ketenagalistrikan Indonesia
oleh Menteri Pertambangan dan Energi pada Agustus 1998 (Policy Paper), berbagai
upaya telah dilakukan untuk mewujudkan sistem tenaga listrik yang sesuai dengan
gambaran pada dokumen tersebut, yaitu sistem yang efisien, kompetitif, transparan,
melindungi ke-pentingan konsumen, serta mampu men-jamin kelangsungan
tersedianya tenaga listrik dengan mutu dan harga yang layak.
Penciptaan sistem seperti dimaksud di atas didukung pula oleh institusi internasional
seperti World Bank, Asian Development Bank dan USAID. Bantuan ada yang berupa
grants dan juga berupa pinjaman yang diiringi dengan Technical Assistance untuk
studi-studi yang diperlukan.
2.1. Upaya Pemerintah
Beberapa upaya yang telah dilakukan Pemerintah dalam kerangka restrukturisasi
adalah: pembuatan RUU Ketenagalistrikan pengganti UU No. 15/1985, persiapan
pembentukan Badan Pengatur, studi tentang Grid Code, Distribution Code,
Competitive Tendering Code, Tariff Code dan Market Rules Sistem Jawa Bali. Saat
ini juga sedang disiapkan Rancangan Peraturan Pemerintah untuk memungkinkan
pelaksanaan pasar Single Buyer dan yang akan mendefinisikan wilayah kompetitif
dan non-kompetitif. Berbagai seminar yang dimaksudkan untuk memberikan
penyamaan persepsi tentang konsep restrukturisasi kepada masyarakat juga telah
dilaksanakan. Saat ini DPR telah mulai membahas RUU Ketenagalistrikan yang
telah disampaikan oleh Pemerintah. Sisi bahan bakar primer, yang terkait erat
dengan sektor listrik, juga di-deregulasi melalui Undang Undang Migas yang baru.
2.2.
Upaya PLN
PLN selaku pelaku terbesar di sektor ketenagalistrikan Indonesia merupakan pihak
yang paling terpengaruh dengan adanya kebijakan restrukturisasi Pemerintah. Untuk
mengantisipasi tekanan yang akan muncul dengan adanya sistem yang lebih
kompetitif maka PLN telah melakukan berbagai upaya, seperti: perombakan
organisasi yang tadinya bersifat sentralistik menjadi entitas-entitas bisnis yang lebih
mandiri dan memiliki sasaran usaha yang lebih fokus, pemisahan bidang usaha
yang bersifat kompetitif dan monopoli, renegosiasi kontrak listrik swasta,
pelaksanaan bidding energi internal antar anak perusahaan pembangkit milik PLN,
pengembangan kontrak-kontrak pembelian tenaga listrik dengan anak perusahaan
pembangkit, kontrak jasa transmisi dan distribusi, serta pengembangan SDMnya.
2.3.
Pengembangan Perangkat Pasar Listrik
Pengembangan berbagai perangkat untuk implementasi pasar listrik dapat dikatakan
masih dalam tahap awal.
PLN telah mulai mengembangkan sistem metering yang menggunakan meter
elektronik di Sistem Jawa-Bali. Namun saat ini instalasi yang lengkap hanya
terdapat pada sisi interkoneksi dengan Pembangkit, belum dikembangkan untuk
interkoneksi dengan Distribusi. Sistem yang seyogyanya tertata dengan kemampuan
automatic meter reading saat ini masih dalam tahap penyempurnaan.
Untuk dapat melaksanakan proses bidding yang merupakan ciri dalam implementasi
pasar listrik diperlukan sistem komunikasi untuk penyampaian penawaran dan
informasi oleh pelaku pasar. Dan tentu saja diperlukan suatu perangkat optimasi
(market clearing engine) yang reliable dan mengakomodasi logika optimasi yang
sesuai dengan aturan pasar listrik yang berlaku.
Sistem komunikasi yang
terdedikasi untuk pelaksanaan pasar listrik dan perangkat optimasi yang mendukung
saat ini belum mulai dikaji. Sistem komunikasi yang digunakan saat ini hanya
terbatas pada kebutuhan operasi sistem, sedangkan perangkat optimasi yang dipilih
saat ini masih merupakan hak prerogatif PLN, khususnya PLN P3B.
Suatu sistem pemantauan kinerja operasional pembangkit atau sistem pencatatan
komunikasi operasi real time masih perlu disiapkan sebagai salah satu sumber
informasi bagi perhitungan kewajiban finansial dan penyelesaian perselisihan
transaksi antar pelaku pasar. Di samping itu, suatu sistem setelmen yang
menghitung dan mencatat kewajiban finansial akibat transaksi yang terjadi pada
pasar listrik sesuai mekanisme yang berlaku perlu pula ada. Suatu sistem yang
terintegrasi atau MOS yang terdiri atas fungsi-fungsi di atas belum mulai
dikembangkan.
Perangkat peraturan operasional seperti Grid Code, Distribution Code, dan Market
Rules telah selesai dalam bentuk konsep, namun dokumen-dokumen ini masih perlu
disesuaikan dengan kondisi yang ada dan diperiksa asas konsistensinya antara satu
dengan lainnya. Tampaknya dokumen-dokumen tersebut masih perlu dilengkapi
dengan suatu aturan peralihan untuk masa transisi menuju terciptanya kondisi yang
diasumsikan pada saat penyusunannya.
Mekanisme pengawasan pelaksanaan pasar listrik sesuai dokumen atau aturan
yang ada perlu pula dirumuskan secara jelas untuk memastikan implementasi berjalan
dengan baik.
Pentarifan terhadap usaha yang bersifat monopoli seperti transmisi dan distribusi
perlu pula didefiniskan. Pada saat Policy Paper diluncurkan, Pemerintah bersama
dengan konsultan Haigler Bailly telah selesai melakukan studi Transmission Pricing
sistem Jawa-Bali. Sekarang, konsep Tariff Code yang mengatur masalah ini juga
sudah ada. Namun, mengingat mekanisme penanganan tarif transmisi ini harus
selasa dengan Market Rules yang akan diadopsi, maka kedua hasil studi tersebut
perlu ditindak-lanjuti dan dikaji kembali penerapannya.
III.
Konsep Pasar Listrik Sistem Jawa-Bali
Bagian di bawah ini akan menjelaskan konsep pasar Single Buyer dan pasar Multi
Buyer Multi Seller sesuai gambaran dalam Market Rules hasil studi konsultan
DJLPE yang terdiri atas KEMA Consulting, Pace Global Energy Services, Professor
Frank Wolak dari Stanford University, PT Connusa Energindo dan Institute Teknologi
Bandung (ITB). Sebagai gambaran, sebelumnya akan diuraikan mekanisme yang
berlaku pada sistem Jawa-Bali saat ini.
3.1.
Mekanisme Saat Ini
Saat ini PLN dengan dua anak perusahaan pembangkitnya merupakan pelaku bisnis
terbesar di sistem Jawa-Bali. Beberapa perusahaan pembangkit swasta telah
beroperasi dan mulai menyalurkan tenaga listrik ke sistem tenaga listrik Jawa Bali.
Jual beli tenaga listrik antara PLN dan perusahaan pembangkit baik swasta maupun
anak perusahaan PLN dilakukan melalui kontrak pembelian tenaga listrik (Power
Purchase Agreement, PPA). Ketentuan-ketentuan operasional, legal dan komersial
pada kontrak-kontrak tersebut sangat bervariasi.
Belum terdapat kontrak transmisi dan kontrak penjualan tenaga listrik kepada
perusahaan distribusi, kecuali kontrak konsumen besar dengan PLN, sebab
pengusahaan transmisi dan distribusi dilakukan oleh unit operasional yang masih
menjadi satu institusi secara hukum dengan PLN. Pemisahan biaya transmisi yang
dikenakan kepada distribusi hanya terbatas pada transfer pricing tanpa
menggunakan suatu kontrak.
Dapat dikatakan bahwa struktur saat ini merupakan struktur “Single Buyer”, dimana
PLN Pusat bertindak sebagai Single Buyer. Sampai dengan tahun 1999, beban
pembelian tenaga listrik ini dilimpahkan kepada PLN P3B sebagai unit operasional
yang menjalankan ketentuan kontrak yang ada. Mulai tahun 2000, pembebanan
tersebut dialihkan ke PLN Pusat, sehingga dalam laporan keuangannya PLN P3B
hanya menerima pendapatan dari penyediaan jasa transmisi.
3.2. Pasar Single Buyer
Market Rules atau Aturan Pasar Listrik dimaksudkan sebagai acuan bekerjanya
pasar listrik. Isi Market Rules Single Buyer (SB) ini terdiri atas: definisi, latar
belakang, tujuan pasar listrik dan tujuan aturan pasar listrik, peran dan tanggung
jawab pelaku pasar, penyambungan ke grid, metering, mekanisme pasar seperti
proses bidding dan penanganan ancillary services, penagihan dan setelmen,
interpretasi aturan pasar listrik, penyimpanan dokumen, dan publikasi informasi.
1. Model Pasar
Pada fase SB, perusahaan transmisi yang juga menjalankan fungsi dispatch
berperan sebagai agen Pembeli Tunggal (Single Buyer), yang membeli listrik dari
pembangkit dan menjualnya kepada perusahaan distribusi atau konsumen besar
melalui sistem transmisi (lihat Gambar-1). Dispatch pembangkit dilakukan
berdasarkan konsep biaya variabel termurah, yang meliputi biaya bahan bakar serta
biaya variabel operasi dan pemeliharaan pembangkit.
Perusahan transmisi juga bertanggung-jawab dalam perencanaan sistem,
mengupayakan investasi sistem yang optimal dan melakukan koordinasi
pengembangan sistem transmisi dan pembangkitan. Sentralisasi fungsi
perencanaan, operasi transmisi dan dispatch dianggap akan memfasilitasi operasi
yang efisien dan perencanaan yang efektif.
Pengadaan pembangkit baru akan dilaksanakan secara transparan dan melalui
tender yang kompetitif (competitive bidding).
Pengaturan Komersial
Pelaku pasar pada fase SB terdiri atas perusahaan pembangkit, transmisi, distribusi
dan konsumen besar.
Badan Pengatur memegang peranan penting pada masa ini, khususnya dalam
bidang usaha transmisi dan distribusi. Peranan badan pengatur pada sisi
pembangkitan akan tidak signifikan sebab interaksinya telah diatur dalam kontrak
jual beli tenaga listrik (power purchase agreement, PPA) antara pembangkit dan
perusahaan transmisi.
PPA mengatur hak dan kewajiban kedua belah pihak dalam berbagai aspek seperti
finansial serta aspek operasional pembangkit dan sistem tenaga listrik. Pembayaran
akan dihitung berdasarkan dua komponen pembayaran: fixed (pembayaran
kapasitas) dan variabel (pembayaran energi). Pembayaran kapasitas merupakan
pembayaran atas biaya-biaya tetap tahunan pembangkit seperti biaya investasi,
return atas investasi, biaya tetap operasi dan pemeliharaan, dan biaya tetap lainnya.
Pembayaran ini tidak tergantung pada tingkat pembebanan (dispatch) pembangkit.
Sedangkan pembayaran energi, yang tergantung pada dispatch pembangkit,
dimaksudkan untuk mengkompensasi biaya bahan bakar serta biaya variabel
operasi dan pemeliharaan pembangkit.
Pembayaran dengan dua komponen tarif ini mengalokasikan resiko sedemikian
sehingga perusahaan transmisi akan menanggung resiko dispatch serta
pertumbuhan beban, dan perusahaan pembangkit menanggung resiko operasi dan
pemeliharaan pembangkit, sehingga memberikan insentif yang jelas bagi operasi
yang efisien oleh kedua belah pihak.
Pada fase SB ini juga telah terdapat proses bidding biaya variabel untuk pembelian
energi dari pembangkit. Namun, penawaran dari pembangkit yang disampaikan
kepada SMO ini akan dibatasi oleh suatu tingkat harga (price cap) tertentu yang
diatur dalam PPA. Pembangkit akan menerima pembayaran untuk komponen fixed
(kapasitas) sesuai PPA dan pembayaran energi sesuai hasil penawaran mereka.
Captive Power dalam hal ini juga dibenarkan untuk ikut serta dalam proses bidding.
Namun mereka hanya akan menerima pembayaran energi atas excess power yang
disalurkan ke grid, sebab mereka tidak memiliki kapasitas yang firm.
Untuk pembangkit skala kecil (small power plants, SPP) diusulkan suatu tarif dan
model kontrak yang standar untuk menghindari biaya administratif yang tinggi,
memudahkan investor SPP dan mengurangi waktu dan biaya yang dibutuhkan
dalam interaksi dengan SPP.
Single Buyer akan mengenakan tarif tenaga listrik curah (bulk supply tariff, BST)
kepada konsumennya. BST ini merupakan harga transfer dari perusahaan transmisi
ke konsumennya, yang dihitung berdasarkan biaya energi dan kapasitas
pembangkitan. BST bisa terpisah dari biaya transmisi tergantung dari penanganan
biaya transmisi yang diadopsi. BST harus dirancang sedemikian rupa agar diperoleh
keseimbangan antara kebutuhan konsumen akan harga yang stabil dan kebutuhan
perusahaan transmisi terhadap fleksibilitas dalam menanggapi perubahan pola
beban dan konsumsi.
Biaya sistem transmisi dirancang untuk menutupi biaya investasi, operasi dan
pemeliharaan transmisi dan return yang dibutuhkan. Biaya ini harus mampu
memberi sinyal kepada pengguna sistem mengenai dampak dari perilaku mereka
terhadap efisiensi sistem serta biaya pengembangan sistem. Karena komponen
terbesar dari biaya operasi dan pemeliharaan transmisi tergantung pada tingkat
pembebanan maksimum, lokasi beban dan penggunaan sistem, maka tarif dengan
dua komponen, biaya beban dan biaya energi, diusulkan untuk diadopsi. Biaya
beban dikaitkan dengan kapasitas MW yang digunakan oleh pembangkit dan
konsumen, sedangkan biaya energi didasarkan pada pengukuran kWh yang
disalurkan. Biaya transmisi dapat dihitung berdasarkan biaya marginal atau
accounting cost recovery.
Kontrak penyambungan merupakan pengaturan komersial yang juga penting pada
pasar SB. Kontrak ini mengatur penyambungan antara pengguna grid dan
perusahaan transmisi. Pengguna grid berkewajiban untuk membayar sebagian atau
seluruh biaya peralatan baru yang diperlukan untuk penyambungan ke grid serta
biaya operasi dan pemeliharaan dari fasilitas penyambungan yang diperuntukkan
bagi mereka.
Tarif kepada konsumen akhir (retail tariff) idealnya merupakan penjumlahan dari
BST dan biaya transmisi/distribusi.
Mengingat perusahaan transmisi melakukan pembelian dan penjualan, maka pada
tahap ini perusahaan transmisi bisa juga berfungsi sebagai administrator bagi
subsidi yang terdapat pada sistem.
3.3.
Pasar Multi Buyer Multi Seller
Isi Aturan Pasar untuk fase Multi Buyer Multi Seller (MBMS) meliputi interpretasi dari
Aturan Pasar, partisipasi pelaku pasar, adiministrasi, supervisi dan pelaksanaan
aturan, ketentuan penyambungan grid, reliability sistem tenaga, wholesale metering,
operasi sistem dan pasar bilateral, kontrak bilateral fisik dan energy forward market,
penagihan dan setelmen, pelayanan, perencanaan dan pengadaan transmisi, dan
definisi. Aturan Pasar ini hanya mengatur interaksi dan operasi pada tingkat
wholesale market saja.
Pada tahap ini perusahaan distribusi akan memisahkan bidang usaha jaringan
(monopoli) dengan usaha retail (kompetitif). Distribusi akan menyediakan pelayanan
jaringan distribusi, dan Perusahaan Retail akan menyediakan jasa suplai tenaga
listrik, metering, penagihan, dsb. Gambar-2 menunjukkan fungsi-fungsi yang ada
pada struktur pasar MBMS.(Struktur yang menggambarkan seluruh pelaku pasar.
Perusahaan distribusi akan menyediakan jasa penyaluran melalui sistem distribusi
juga dengan mekanisme kontrak baik dengan perusahaan retail, konsumen besar,
maupun perusahaan pembangkit. Karena penyediaan jasa penyaluran untuk suatu
kawasan itu dikelola secara monopoli maka harga penyediaan jasa akan diatur oleh
suatu badan regulasi (Regulatory Body). Perusahaan-perusahaan retail akan
bersaing satu sama lain dalam memperoleh konsumennya. Konsumen akhir akan
bebas memilih siapa saja yang menjadi pemasok listriknya.
Akan terdapat Wholesale Market Power Pool yang merupakan pasar jual beli tenaga
listrik. Perusahaan transmisi /dispatch melakukan penyediaan jasa transmisi, dan
jasa lainnya untuk keperluan operasi sistem. Perusahaan-perusahaan pembangkit
akan bersaing satu sama lain dalam menjual tenaga listrik yang diproduksinya.
Penjualan tenaga listrik dapat dilakukan dengan bidding melalui atau langsung
kepada perusahaan retail atau konsumen besar dengan mekanisme kontrak
bilateral. Konsumen besar dapat membeli tenaga listrik melalui perusahaan retail,
langsung ke perusahaan pembangkit atau lewat Pool.
Kepemilikan transmisi dan fungsi operasi pasar listrik, operasi sistem serta
administrasi setelmen diusulkan untuk dilaksanakan oleh satu entitas yang disebut
sebagai SMO (System & Market Operator), setidaknya pada tahap awal.
Argumentasi terhadap hal ini adalah sebagai berikut :
(i)
pemisahan fungsi-fungsi tersebut pada tahap awal akan merupakan sumber
inefisiensi,
(ii) keberadaan SMO sebagai satu entitas dengan wewenang penuh terhadap
sistem transmisi akan menghasilkan operasi sistem yang lebih andal dan
efisien,
(iii) wewenang penuh terhadap kepemilikan dan operasi sistem akan menghasilkan
pengembangan sistem transmisi yang lebih baik, khususnya bila melihat
proyeksi pertumbuhan beban sistem yang cukup tinggi (lebih dari 9% per
tahun). Untuk memudahkan pengaturan dan pengawasan terhadap fungsifungsi tersebut, maka fungsi sistem operasi, administrasi setelmen dan
kepemilikan transmisi pada SMO harus berada dalam struktur manajemen
(departemen) dengan pembukuan yang terpisah.
SMO akan mengoperasikan power pool/pasar spot yang menentukan operasi sistem
dan harga listrik. Untuk dapat menghindari munculnya conflict of interests, SMO
tidak dibenarkan untuk berafiliasi dengan salah satu pelaku pasar.
Pengawasan terhadap pelaksanaan fungsi SMO dapat dilakukan dengan berbagai
cara, seperti pengawasan langsung oleh pelaku pasar, pengawasan melalui Komite
yang mewakili semua kepentingan, atau melalui pengawasan langsung oleh badan
regulator atau pemerintah. Konsultan mengusulkan pengawasan yang berbentuk
Komite yang disebut dengan SMO Advisory Group, sebab bisa memastikan pelaku
pasar memperoleh dan memberikan masukan mengenai pelaksanaan pasar listrik
secara langsung. Di samping itu perlu pula dibentuk suatu komite pemantauan
perilaku pelaku pasar (Market Surveillance Committee) khususnya pada tahap awal
implementasi pasar listrik. Keberadaan Komite ini haruslah memiliki kekuatan hukum
dan dikenal oleh peraturan perundangan yang berlaku.
Garis besar desain pasar listrik MBMS yaitu sbb :
Pasar Energi
Terdapat pasar energi real-time (spot market) yang dicacah setiap setengah jam.
Pembangkit dan dispatchable load melakukan penawaran dan akan didispatch
secara fisik oleh SMO berdasarkan harga termurah. Selanjutnya pelaku pasar akan
menerima informasi market clearing price dari SMO.
Pelaku pasar boleh untuk menawarkan hingga 20 pasang harga-kuantitas dan 5
ramping up/down rate. Harga Penawaran mencakup seluruh biaya (single price),
seperti biaya energi, biaya start up, dll.
Terdapat pula day-ahead forward market untuk energi, yang bersifat voluntary. SMO
akan melakukan lelang (auction) atas penawaran dari sisi pembangkit dan beban.
Pasar ini murni bersifat finansial. Harga yang muncul merupakan indikasi atas
ekspektasi harga energi real time, sehingga akan membantu pengaturan strategi
hedging dan penanganan kontrak bilateral fisik.
Di samping kedua pasar tersebut di atas, pelaku pasar boleh pula melakukan
kontrak bilateral antar mereka dan dapat secara voluntary menyampaikan data
kontrak kepada SMO untuk keperluan setelmen.
Ancillary Services
Penyediaan ancillary services seperti cadangan operasi, pengaturan frekuensi, daya
reaktif, black start dan layanan reliability must-run diperoleh melalui kontrak dengan
jangka waktu maksimum 18 bulan. Pemenuhan kebutuhan ancillary services harus
diupayakan dilakukan melalui proses yang kompetitif. Akan diadopsi model kontrak
standar yang disetujui oleh Regulator dengan prinsip cost-reimbursement.
Dalam kondisi darurat, SMO berwenang untuk mendapatkan ancillary services dari
pelaku pasar yang tidak terikat kontrak atau yang mampu menyediakan layanan di
luar kewajiban penyambungan mereka, dengan kompensasi full opportunity
payment. Pengembalian stranded costs ini diperoleh melalui pengenaan Competition
Transition Charge (CTC) kepada konsumen dalam rentang beberapa tahun.
Pembangkit Hidro
Pembangkit hidro akan dikelola oleh suatu entitas independen, yaitu Operator Hidro.
Operator Hidro akan menyampaikan penawaran setelah mempertimbangkan
kegunaan air bagi keperluan lainnya, seperti irigasi. Profit yang diperoleh dari
pengelolaan pembangkit hidro ini akan digunakan untuk membantu pendanaaan
subsidi bagi sektor ketenagalistrikan.
Kongesti Transmisi
Konsultan mengusulkan agar biaya kongesti transmisi (Biaya kongesti transmisi
yaitu perbedaan antara biaya solusi dispatch optimum dan solusi dispatch akibat
adanya kongesti transmisi) dialokasikan secara merata baik kepada pembangkit
maupun beban. Perhitungan biaya ini mengacu pada sistem Jawa-Bali sebagai
single zone. Saat ini sistem Jawa-Bali dibagi dalam 3-zonal sistem transmisi, namun
dengan selesainya loop transmisi 500 kV jalur selatan maka kendala transmisi
menjadi minimal dan sistem Jawa-Bali secara elektrikal dapat dilihat sebagai single
node system, sehingga tidak diperlukan untuk mengadopsi sistem perhitungan yang
lebih kompleks seperti locational based (nodal) pricing.
Stranded Costs
Stranded Costs didefinisikan sebagai selisih antara sunk cost (dari capital
investment dan PPA) dan net operating income (pendapatan dari penjualan layanan
pembangkit dikurangi modal dan biaya operasi masa datang yang belum
dikeluarkan).
Pembayaran Pelaku Pasar
Pembangkit yang didispatch sesuai dengan merit order penawaran akan
memperoleh pembayaran atas energi yang disalurkan sesuai dengan market
clearing price. Market clearing price merupakan hasil dari optimasi pembangkitan
dengan kondisi sistem yang unconstrained (tanpa kongesti).
Pembangkit yang terpaksa dijalankan akibat kongesti transmisi meskipun out of
merit (constrained-on unit) akan menerima pembayaran sebesar penawaran
mereka. Sedangkan pembangkit yang terpaksa tidak dijalankan (constrained-off
unit) akan menerima pembayaran sebesar selisih antara market clearing price dan
penawaran mereka. Biaya-biaya ini akan diperoleh dari seluruh pelaku pasar
melalui Biaya Uplift. Hasil optimasi pembangkitan dengan kondisi yang constrained
akan digunakan untuk menentukan Biaya Uplift.
Setelmen untuk setiap selang ½ jam akan meliputi, pembayaran untuk energy
forward market, pasar energi real time, pengelolaan kongesti dan uplift. Sedangkan
yang tidak dihitung berdasarkan selang ½ jam adalah biaya transmisi, pembayaran
ancillary services, biaya administrasi SMO, penalti, denda dan CTC. Pengembalian
biaya ancillary services akan diperoleh dari konsumen berdasarkan jumlah MWh
yang dikonsumsi.
Ekspansi Sistem Transmisi
SMO bertanggung jawab dalam perencanaan dan identifikasi kebutuhan sistem
transmisi, mengevaluasi alternatif pengembangan yang ada, dan melaksanakan
proses pengadaan sesuai ketentuan. Pelaku pasar bisa mengajukan upgrade dari
sistem transmisi untuk dipertimbangkan dalam proses evaluasi SMO. SMO akan
mendokumentasi evaluasi dari fasilitas eksisting dan yang direncanakan, serta
dampak dari alternatif yang secara teknis feasible dalam Laporan Tahunan SMO.
Pengembalian biaya transmisi akan ditentukan oleh regulator sebagaimana diatur
dalam Aturan Tarif (Tariff Code) yang berlaku.
Struktur Pasar
Dari hasil simulasi terhadap aturan pasar yang telah dirumuskan, maka untuk
menghindari timbulnya market power yang memungkinkan tidak efektifnya pasar
listrik Konsultan merekomendasikan bahwa pembangkit PLN tidak dikelompokkan
dalam satu perusahaan melebihi 5.000 hingga 6.000 MW (dengan asumsi beban
puncak sistem lebih dari 16.000 MW dan kapasitas tersedia sekitar 22 GW) .
Setidak-tidaknya harus terdapat 3 perusahaan pembangkit yang menangani
pembangkit PLN eksisting dan konsentrasi kepemilikan terhadap peaking plant
harus dihindari.
IV.
Kendala Implementasi Restrukturisasi
Berbagai kendala implementasi restrukturisasi yang dihadapi saat ini dapat
dirangkum sebagai berikut:
(i)
adanya kendala transmisi antara bagian barat dan timur sistem Jawa-Bali,
(ii)
kondisi suplai dalam memenuhi beban yang cukup terbatas,
(iii)
masalah kontrak listrik swasta,
(iv)
pasar energi primer yang belum kompetitif (kecuali batu bara pad saat ini),
(v)
peraturan perundangan yang belum mendukung,
(vi)
tarif yang belum mencerminkan tingkat keekonomian sesungguh-nya,
(vii) belum adanya aturan pentarifan untuk usaha yang monopoli,
(viii) belum terdapat kejelasan mekanisme subsidi pada industri yang telah diunbundling,
(ix)
belum terbentuknya Badan Pengatur yang independen dan kredibel,
(x)
belum tersedianya sistem metering dan MOS yang memadai.
V.
Rekomendasi Implementasi
Dari uraian di atas dan mengacu pada berbagai kendala yang ada, maka langkah
implementasi berikut sebaiknya perlu dilakukan:
1. Mengimplementasikan pasar listrik model SB dengan terlebih dahulu melakukan:
(i)
(ii)
(iii)
(iv)
(v)
(vi)
pemisahan entitas bisnis sesuai fungsi pembangkitan, transmisi (SMO) dan
distribusi;
persiapan kelengkapan perangkat pendukung seperti kontrak jual beli listrik,
kontrak transmisi / penyambungan Grid Code, prosedur perencanaan dan
pengembangan sistem (Planning & Competitive Tendering Code);
penyempurnaan terhadap Aturan Pasar SB hasil studi konsultan;
persiapan sistem metering dan MOS untuk pasar SB;
integrasi PPA listrik swasta dengan pasar SB (PPA eksisting tidak
mewajibkan Listrik Swasta untuk berpartisipasi pada pasar listrik. Jika
proses renegosiasi belum selesai, Listrik Swasta pada tahap Single Buyer
bisa dianggap sebagai suatu system constraint, sehingga dioperasikan
sesuai ketentuan kontrak. Namun, hal ini tentu saja akan mengurangi
efektifitas mekanisme pasar yang ada. Alternatif lainnya adalah membentuk
“PPA Trader” yang akan ikut proses bidding untuk pembangkit Listrik Swasta
dan diberi insentif untuk memaksimal-kan nilai PPA) ;
kejelasan mekanisme subsidi, dan
(vii) penentuan entitas yang berfungsi sebagai regulator.
2. Mengimplementasikan wholesale market sebagai transisi menuju pasar MBMS
setelah terlebih dahulu memastikan:
(i)
(ii)
(iii)
(iv)
(v)
(vi)
(vii)
(viii)
(ix)
minimalnya kendala transmisi dengan diselesaikannya saluran transmisi
500 kV jalur selatan;
kondisi sistem yang telah over supply;
pasar energi primer yang telah diliberalisasi;
tarif listrik yang telah mencapai tingkat keekonomiannya;
terdapatnya peraturan per-undangan yang mendukung;
dibentuknya Badan Regulator yang independen dan kredibel;
dapat di integrasikannya PPA listrik swasta dengan pasar MBMS;
penyempurnaan Aturan Pasar MBMS hasil studi konsultan telah
dilakukan; dan
adanya kesiapan sistem metering dan MOS yang memadai untuk pasar
MBMS.
3. Mengimplementasikan pasar listrik kompetitif penuh setelah:
(i)
diperoleh keyakinan bahwa wholesale market telah bekerja dengan baik;
(ii)
pemisahan bisnis jaringan dan retail perusahaan distribusi telah terjadi;
(iii)
disusunnya aturan rinci dari kerja retail market; dan
(iv)
pengaturan pentarifan bagi bidang usaha yang bersifat monopoli seperti
distribusi (jaringan) dan layanan terhadap franchised customers telah
terdefinisi.
RUU Ketenagalistrikan yang sedang dibahas saat ini mengatur batasan waktu
implementasi pasar listrik sejak berlakunya RUU tersebut sebagai UU, yaitu:
1. Paling lama 1 tahun sesudahnya dibentuk Badan Pelaksana penanganan subsidi
(Dana Pembangunan Ketenagalistrikan Sosial, DPKS);
2. Paling lama 2 tahun sesudahnya dibentuk Badan Pengatur;
3. Paling lama 3 tahun sesudahnya telah ada daerah yang menerapkan sistem
kompetisi pasar pembeli tunggal;
4. Paling lama 7 tahun sesudahnya telah ada daerah yang menerapkan mekanisme
pasar kompetisi penuh.
Dari banyaknya persiapan yang perlu dilakukan, tampaknya batasan waktu yang
digariskan dalam RUU Ketenagalistrikan merupakan kerangka implementasi yang
sangat ketat. Seandainya RUU ini diundangkan, maka rangkaian kegiatan yang
akan dilakukan seperti diuraikan di atas harus benar-benar dicermati
pelaksanaannya. Implementasi restrukturisasi bukanlah suatu pekerjaan yang
sederhana. Dan meskipun terlihat bahwa tanggung jawab sebagian besar kegiatan
berada di tangan Pemerintah, kesuksesannya membutuhkan kerja keras dari
berbagai pihak. Disamping itu, hal ini tentu saja sangat tergantung dengan kondisi
perekonomian bangsa dalam beberapa tahun mendatang.
Implementasi seyogyanya dilakukan dengan tingkat kehati-hatian yang tinggi. Setiap
prasyarat/ kondisi yang harus ada serta aturan main yang jelas dalam semua sendi
operasi sektor ketenagalistrikan haruslah disiapkan secara matang agar sistem
Jawa-Bali dapat terhindar dari malapetaka sebagaimana terjadi pada sistem di
California di penghujung tahun 2000 setelah deregulasi yang dilakukan mereka
mulai tahun 1998.
VI.
Penutup
Telah diuraikan konsep pasar listrik sistem Jawa-Bali, kemajuan dan kendala
implementasinya, serta rangkaian kegiatan yang perlu dicermati dalam proses
pelaksanannya. Jelas terlihat bahwa di samping persyaratan infrastruktur yang
bersifat teknis, kesuksesan implementasi restrukturisasi juga sangat tergantung
pada kesiapan semua pihak baik Pemerintah, pelaku industri, maupun masyarakat
luas selaku konsumen sektor ini.
Mengingat perubahan yang akan terjadi pada sektor ketenagalistrikan merupakan
suatu langkah yang fundamental, maka kontribusi semua pihak, termasuk perguruan
tinggi, dalam proses yang sedang berjalan akan sangat bermanfaat.
Referensi:
[1] Menteri Pertambangan dan Energi Republik Indonesia, Kebijakan
Restrukturisasi Sektor Ketenagalistrik-an, Jakarta, 25 Agustus 1998.
[2] Kema Consulting, Pace Global Energy et al., Market Rules for the Java Bali
Power System, 31 Januari 2001.
[3] Kema Consulting, Pace Global Energy et al., Market Rules for the Java Bali
Power System – Multi Buyer Market, 31 Maret 2001.
*) Ir. Ulysses R. Simandjuntak, MSc. , Ir. I Made Ro Sakya, MEngSc. Ir. Sinthya
Roesly, MEngSc. - PT PLN (Persero) Unit Bisnis Strategis Penyaluran dan
Pusat Pengatur Beban Jawa Bali sebagai staf ahli di Unit Bidding & Operasi
Sistem.
Beban Puncak Sistem : 12.380 MW
()
Daya Terpasang : 18,145 MW
- PT. Indonesia Power = 8,659 MW
- PT PJB = 6,492 MW
- IPPs = 2,994 MW
Jumlah Unit Pembangkit : + 200 unit
Transmisi 70, 150, 500 kV: 17.214 kms
Kapasitas Trafo 70, 150, 500 kV: 46.778 MVA
Total Pembangkit : 72.6 TWh
(th.2000)
Generation Mix beban puncak :
Coal = 36 %
Gas = 32 %
Oil = 16 %
Hydro = 9 %
Geohermal = 7 %
Jumlah Pelanggan : 20 juta
Download