bab ii tinjauan pustaka

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Spesies Invasif
Secara ekologi, invasi didefinisikan sebagai pergerakan suatu spesies dari
suatu area dengan kondisi tertentu menuju area lain dengan kondisi yang berbeda
kemudian secara perlahan spesies tersebut mengokupasi habitat barunya
(Clements 1905 diacu dalam Alpert et al. 2000). Spesies tersebut mampu
menginvasi lingkungan apabila berasosiasi dengan baik di lingkungan yang baru
sehingga akan menguntungkan pertumbuhannya tetapi merugikan bagi spesies
lokal (Alpert et al. 2000).
Spesies invasif adalah spesies yang muncul sebagai akibat dari aktivitas
manusia, melampaui penyebaran normalnya yang dapat mengancam lingkungan,
pertanian dan sumber daya yang lainnya. Spesies invasif dapat berupa seluruh
kelompok taksonomi meliputi virus, cendawan, alga, lumut, paku-pakuan,
tumbuhan tinggi, invertebrata, ikan, amphibi, reptil, burung dan mamalia (Hossain
2009). Proses invasif pada suatu ekosistem dapat terjadi oleh spesies asing
sehingga spesies tersebut dikenal sebagai spesies asing invasif (invasive alien
species/IAS). Pejchar dan Mooney (2009) mendefinisikan spesies asing invasif
yaitu spesies asing (non-native) yang pada umumnya diintroduksi oleh manusia
kemudian mengancam ekosistem, habitat atau spesies lainnya dan menyebabkan
perubahan global pada lingkungan.
Alpert et al. (2000) menduga spesies asing yang bersifat non invasif dapat
menjadi invasif apabila selama beberapa tahun terjadi fluktuasi hujan atau iklim,
adanya spesies mutualisma dari spesies asing tersebut atau melalui evolusi. Proses
invasi suatu lingkungan tidak hanya disebabkan oleh adanya introduksi spesies
asing, tetapi spesies-spesies lokal juga dipertimbangkan dapat menjadi invasif
ketika penyebarannya dilakukan di dalam habitat buatan manusia seperti kebun
atau halaman atau ketika kelimpahannya meningkat akibat campur tangan
manusia di habitat alaminya (Randall 1997 diacu dalam Alpert et al. 2000).
5
2.1.1 Proses invasi dan karakter biologis tumbuhan asing invasif
Tumbuhan asing invasif dikenal sebagai tumbuhan bukan asli dari suatu
ekosistem dan mampu bersaing dengan baik dalam memperoleh sumberdaya di
ekosistem barunya sehingga menyebabkan dampak yang merusak bagi struktur,
komposisi dan pertumbuhan vegetasi asli pada ekosistem tersebut (Moris et al.
2009). Pada dasarnya proses invasi dari spesies tumbuhan asing dapat dibagi
menjadi tiga proses, yaitu proses introduksi, proses kolonisasi dan proses
naturalisasi (Cousens & Mortimer 1995 diacu dalam Radosevich et al. 2007).
Perkembangan spesies tumbuhan yang bersifat invasif tidak lepas dari upaya
introduksi yang dilakukan secara sengaja atau tidak disengaja. Cornel dan Lawton
(1992) diacu dalam Whitten et al. (1999) menjelaskan potensi mengintroduksi
spesies tumbuhan di luar ekosistem alaminya terjadi akibat kondisi ekosistem
alami yang jenuh oleh spesies-spesies tumbuhan yang sangat sedikit atau hampir
tidak ada. Williamson dan Fitter (1996) diacu dalam Alpert et al. (2000)
memperkirakan hanya 0.1% dari seluruh spesies tumbuhan yang diintroduksi di
luar ekosistem alaminya oleh manusia berkembang menjadi invasif. Spesies
tumbuhan yang diintroduksi akan menjadi invasif apabila mampu bernaturalisasi
dengan habitat yang baru sehingga sukses membangun populasi spesiesnya,
menyebar secara luas dan bergabung dengan sekelompok tumbuhan (Radosevich
et al. 2007).
Rejmanek (2000) diacu dalam Radosevich et al. (2007) mendeskripsikan
beberapa karakteristik biologi yang berhubungan dengan sifat invasif suatu
spesies tumbuhan diantaranya mudah tersebar oleh manusia dan hewan,
kecocokan
dengan
lingkungan
yang
konstan,
ukuran
genom
kecil,
perkembangbiakan vegetatif dan penyebaran biji yang efektif serta sangat
bergantung
terhadap
keberadaan
musuh
biologisnya.
Sukisman
(2010)
menyatakan karakteristik yang paling terlihat pada tumbuhan invasif diantaranya
cepat membentuk naungan, merupakan spesies pionir, memiliki fenologi yang
berbeda dan tidak memiliki musuh alami.
6
2.1.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi invasi tumbuhan asing
Distribusi spesies invasif dipengaruhi oleh faktor biotik dan faktor abiotik.
Faktor abiotik yang mempengaruhi keberadaan spesies tumbuhan asing invasif
diantaranya jenis tanah, kemasaman tanah, kelembaban tanah, kualitas dan
kuantitas pencahayaan, pola presipitasi, variasi temperatur pada tanah, air dan
udara (Radosevich et al. 2007). Richardson dan Pyšek (2000) diacu dalam
Radosevich et al. (2007) menyatakan bahwa setidaknya terdapat empat faktor
yang mempengaruhi keberhasilan proses invasi suatu spesies yaitu ketersediaan
sumberdaya, gangguan, kompetisi dan tekanan terhadap propagul.
Kualitas suatu lahan merupakan salah satu faktor penentu kesuksesan
tumbuhan asing menginvasi ekosistem barunya. Lingkungan komunitas tumbuhan
dengan ketersediaan sumberdaya yang tinggi memiliki kemungkinan besar untuk
terganggu dan terinvasi. Huston dan De angelis (1994) diacu dalam Moris et al.
(2009) menyatakan komunitas yang kaya akan spesies (tingkat heterogenitas yang
tinggi) menjadi kondisi yang disukai oleh spesies asing untuk mendapatkan
keuntungan daripada kondisi lingkungan dengan tingkat keanekaragaman yang
rendah.
Kesuksesan tumbuhan asing menginvasi suatu lingkungan juga dipengaruhi
oleh gangguan yang terjadi di lingkungan tersebut. Gangguan pada lingkungan
menyebabkan ketidakseimbangan kompetisi dan okupasi habitat tumbuhan utama
pada ekosistem tersebut dan menyebabkan faktor abiotik lebih berperan sebagai
suksesor invasi tumbuhan asing daripada faktor biotiknya (Moris et al. 2009).
Sastroutomo (1990) menyatakan spesies-spesies gulma pada habitat yang telah
terganggu (seperti tepi jalan, tepi danau/rawa/sungai, tempat pembuangan
sampah) lebih bervariasi dibandingkan dengan spesies pada habitat yang belum
terganggu. Keanekaragaman spesies gulma pada habitat yang telah terganggu
dapat terjadi akibat adanya perubahan lingkungan yang nyata sejalan dengan
waktu dari proses suksesi sekunder pada habitat tersebut (Sastroutomo 1990).
7
2.1.3 Dampak ekologi dari spesies tumbuhan asing invasif
Keberadaan spesies invasif di luar lingkungan alaminya dapat menjadi
ancaman bagi kelangsungan proses alami yang terdapat dalam lingkungan
tersebut. Kehadiran spesies tumbuhan asing invasif dapat menyederhanakan
ekosistem dengan menekan pertumbuhan spesies asli dan mengubahnya menjadi
sistem yang monokultur. Perkembangbiakan dari spesies tumbuhan asing invasif
selalu menyebabkan keanekaragaman spesies asli dan proses regenerasi alaminya
menurun, produktivitas hutan menurun dan menyebabkan degradasi lingkungan
(Fei et al. 2009). Parker et al. (1999) diacu dalam Radosevich (2007)
menguraikan beberapa dampak ekologi yang disebabkan oleh tumbuhan invasif
yaitu:

Mereduksi keanekaragaman hayati

Gangguan terhadap spesies yang terancam punah dan habitatnya

Habitat bagi serangga, burung dan satwaliar asli terancam hilang

Mengubah proses ekologi alami seperti suksesi tumbuhan

Meningkatnya frekuensi dan intensitas dari kebakaran alami

Gangguan terhadap asosiasi tumbuhan dengan satwa seperti polinasi
dan penyebaran benih.
2.1.4 Peraturan mengenai spesies asing invasif
Spesies asing invasif dapat mengancam kelestarian keanekaragaman hayati
sehingga diperlukan peraturan untuk mengendalikan introduksi dan penyebaran
spesies asing invasif di Indonesia. Pusat Karantina Tumbuhan dan Keamanan
Hayati Nabati (2011) menyatakan sampai saat ini peraturan yang khusus mengatur
tentang spesies asing invasif belum terdapat di Indonesia. Namun, beberapa
peraturan nasional yang terkait dengan spesies asing baik yang bersifat invasif
maupun tidak, diuraikan sebagai berikut:
1.
Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai
Dampak Lingkungan Hidup. Pasal 3 Ayat (1) mengenai usaha dan atau
kegiatan yang kemungkinan dapat menimbulkan dampak besar dan penting
terhadap lingkungan hidup, termasuk introduksi tumbuh-tumbuhan, spesies
8
hewan, dan spesies jasad renik. Kegiatan introduksi ini wajib melakukan
AMDAL.
2. Undang-undang Nomor 13 Tahun 2010 tentang Hortikultura Pasal 88 Ayat
(3) mengenai impor produk hortikultura dilakukan melalui pintu yang telah
ditetapkan. Pintu yang dimaksudkan untuk memudahkan pengawasan terkait
dengan masuknya OPT karantina, keamanan hayati, spesies-spesies asing
yang invasif dan keamanan pangan.
3.
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1994 tentang pengesahan United Nation
Convention on Biological Diversity (CBD) Pasal 8 butir h mengenai setiap
pihak yang menandatangani konvensi ini diwajibkan untuk mencegah
masuknya serta mengendalikan atau membasmi spesies-spesies asing yang
mengancam ekosistem, habitat atau spesies lain di habitat yang asli.
4.
Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis
Tumbuhan dan Satwa Pasal 5 Ayat (1) suatu jenis tumbuhan dan satwa wajib
ditetapkan dalam golongan yang dilindungi apabila: butir 1.b, terjadi
penurunan yang tajam jumlah individunya di alam. Adapun dalam
penjelasannya penurunan populasi ini terkait dengan ancaman dari faktor luar
termasuk spesies asing (jenis introduksi). Pada Ayat (2) butir 2.e dijelaskan
mengenai pemasukan jenis asing harus dihindarkan, butir 2.f dijelaskan selain
dari jenis tumbuhan dan satwa asli, jenis asing juga termasuk didalamnya,
sehingga jenis-jenis asing ini perlu dimusnahkan.
5.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Keanekaragaman
Hayati dan Ekosistemnya, Bab IV, Pasal 19 Ayat (3) mengatur dan melarang
aktivitas yang dapat mengubah kondisi alami kawasan suaka alam seperti
menambah spesies yang tidak asli, Bab VII, Pasal 33, Ayat (2) yang melarang
melakukan aktivitas yang dapat mengubah zona inti taman nasional seperti
menambah spesies satwa dan tumbuhan yang tidak asli.
6.
Undang-undang Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman
yang menegaskan perlindungan dan pencegahan kehilangan tumbuhan dari
gulma atau tumbuhan penggangu lainnya serta aksi pemberantasan organisme
pengganggu yang mampu berkembang seperti gulma di beberapa lokasi dan
menekan pertumbuhan tumbuhan lainnya (Bab I, Pasal 1, Ayat 7, 8, Bab III,
9
Pasal 21). Selain itu, dalam pasal 10 menyebutkan mekanisme introduksi
spesies asing dan beberapa pasal mengenai monitoring dan manajemen gulma
dan spesies asing.
7.
Undang-undang Nomor 16 Tahun 1992 mengenai Karantina Hewan, Ikan
dan Tumbuhan yang mengatur tugas dan fungsi utama karantina hewan dan
tumbuhan di pelabuhan, bandara, daerah perbatasan dan pelabuhan antar
pulau. Karantina dilaksanakan berdasarkan berbagai komoditas, seperti
persediaan makanan, tanaman budidaya, hasil perkebunan dan hasil hutan
yang bertujuan untuk melindungi kehidupan dan kesehatan hewan dan
tumbuhan tersebut.
Invasi spesies asing di ekosistem atau habitat tertentu telah menjadi
perhatian dunia sejak Konferensi Tingkat Tinggi Bumi di Rio de Janeiro, Brazil
pada tahun 1992. Adapun perangkat hukum mengenai pengendalian spesies asing
invasif pada level internasional diantaranya:
1. Convention on Biological Diversity (CBD) tahun 1992 mengenai konservasi
insitu yang berkaitan dengan pencegahan masuknya spesies asing invasif,
mengendalikan dan membasmi spesies yang mengancam ekosistem, habitat
dan spesies (pasal 8 butir h).
2. Konferensi Ramsar di Iran tahun 1971 dan Kosta Rika tahun 1998. Resolusi
VII.4 mengenai spesies invasif dan lahan basah terkait dengan kesadaran akan
beberapa ancaman spesies asing terhadap ekologi dan karakteristik lahan
basah, spesies lahan basah, daratan dan lautan.
3. Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and
Flora (CITES) dalam Konferensi Resolusi 13.10 tahun 1997 mengenai
perdagangan spesies asing invasif dengan hasil rekomendasi diantaranya: a).
Mempertimbangkan masalah spesies asing invasif dalam peraturan dan
perundang-undangan yang terkait dengan hewan dan tumbuhan yang
diperdagangkan secara hidup-hidup, b). Berkonsultasi dengan otoritas
manajemen
terkait
tujuan
impor
suatu
negara,
kemungkinan
dan
penerapannya, serta pertimbangan ekspor yang berpotensi sebagai spesies
asing invasif, untuk memutuskan peraturan yang diberlakukan dalam hal
impor, dan c). Mempertimbangkan peluang sinerginya CITES dan CBD untuk
10
bekerjasama dan berkolaborasi antara dua konvensi dalam isu introduksi
spesies asing yang berpotensi invasif.
2.2
Penyebaran Spasial
Komunitas tumbuhan memperlihatkan adanya diferensiasi penyebaran baik
secara vertikal maupun horizontal, yakni setiap spesiesnya tersebar dengan tinggi
di atas permukaan tanah yang berbeda dan juga tersebar pada lokasi dan jarak
yang berbeda. Penyebaran secara vertikal dari suatu spesies tumbuhan biasanya
dipengaruhi oleh adanya perbedaan intensitas cahaya matahari. Penyebaran
tumbuhan secara horizontal dipermukaan tanah memiliki kompleksitas yang
tinggi. Whitaker (1970) diacu dalam Sastroutomo (1990) mengidentifikasi empat
macam penyebaran dari setiap spesies tumbuhan secara horizontal dalam
komunitas tumbuhan (juga untuk setiap individu dalam populasi) yaitu
penyebaran secara acak, mengelompok (kontagius), teratur (kontagius negatif)
dan penyebaran secara kombinasi pengelompokan individu ke dalam koloni dan
distribusi regular.
Tipe penyebaran pada komunitas tumbuhan di habitat alami biasanya
dijumpai secara acak dan tidak pernah dijumpai tipe penyebaran yang sangat
teratur dengan jarak yang relatif sama dari individu ke individu lainnya. Tipe
penyebaran mengelompok juga dapat ditemui pada komunitas tumbuhan di habitat
alami yang disebabkan oleh pola penyebaran biji dari tumbuhan induk, gradasi
lingkungan mikro atau kekerabatan antar spesies baik yang bersifat positif
maupun negatif (Sastroutomo 1990).
Setiap spesies tumbuhan pada suatu komunitas akan memiliki pola
penyebaran tersendiri. Pola ini dapat memiliki persamaan dengan spesies lainnya
tetapi tidak mungkin seluruhnya sama. Oleh karena itu, komunitas tumbuhan
merupakan gabungan dari beberapa pola penyebaran berbagai spesies tumbuhan
dan saling berinteraksi (Sastroutomo 1990).
11
2.3
Sistem Informasi Geografis
Sistem Informasi Geografis (SIG) merupakan sistem untuk pengambilan,
penyimpanan, pemeriksaan, penggabungan, manipulasi, analisis atau penyajian
data keruangan yang memiliki referensi bumi (Chorley 1987 diacu dalam
Syamsudin & Suryadi 2006). Sistem informasi geografi digunakan untuk
menyederhanakan
proses
sehingga
mengefisienkan
pekerjaan
seperti
mengintegrasikan data dari berbagai sumber atau digunakan untuk meningkatkan
kapasitas analisis data seperti memfasilitasi pembentukan model analisis data dan
menyajikan data dengan output dalam bentuk yang interaktif (Syamsudin &
Suryadi 2006).
Sistem informasi geografi merupakan sistem kompleks yang biasanya
terintegrasi dengan lingkungan sistem-sistem komputer yang lain ditingkat
fungsional dan jaringan. Komponen-komponen yang menyusun SIG biasanya
terdiri dari perangkat keras, perangkat lunak, data dan informasi geografi dan
manajemen (Prahasta 2001). Jaya (2002) menyebutkan pada bidang kehutanan,
SIG sangat diperlukan guna mendukung pengambilan keputusan untuk
memecahkan masalah keruangan (spasial) mulai dari tahap perencanaan,
pengelolaan sampai dengan pengawasan. Aplikasi SIG di bidang kehutanan
banyak dilakukan untuk memonitoring pergerakan satwa dan membuat model
kesesuaian habitat flora dan fauna. Beberapa penelitian di bidang konservasi yang
menggunakan aplikasi Sistem Informasi Geografis diantaranya:

Aplikasi SIG untuk pemetaan kesesuaian habitat kedaung (Parkia
timoriana (D.C Merr) di Taman Nasional Meru Betiri (Sebastian 2007).

Pemetaaan kesesuaian habitat Rafflesia patma Blume di Cagar Alam dan
Taman Wisata Alam Pananjung Pangandaran dengan menggunakan SIG
(Gamasari 2007).

Pemetaaan kesesuaian habitat Rafflesia patma Blume di Cagar Alam
Leuweung Sancang Garut - Jawa Barat dengan menggunakan SIG
(Herdiyanti 2009).

Pemetaan kesesuaian habitat Rafflesia zollingeriana Kds. (studi kasus di
Resort Sukamade wilayah seksi I Sarongan Taman Nasional Meru BetiriJawa Timur) (Dhistira 2011).
Download