View/Open - Repository | UNHAS

advertisement
ANALISIS PERKUATAN TANAH LEMPUNG LUNAK DENGAN APLIKASI KOLOM
AGREGAT STUDI KASUS : PROYEK MAKASSAR NEW PORT
Tri Harianto1), Sitti Hijraini Nur(1), Nuriah Adhastira(2).
ABSTRAK : Pelabuhan Makassar merupakan salah satu dari empat pelabuhan utama di Indonesia yang berperan sebagai
pintu gerbang untuk kawasan Indonesia timur. Ditinjau dari posisi geografisnya, lokasi pelabuhan Makassar cukup
strategis dalam jalur pelayaran Internasional. Untuk mendukung hal tersebut maka, sarana dan prasarana pelabuhan
Makassar harus terus ditingkatkan. Peningkatan ini untuk mengantisipasi perkembangan perdagangan dan industri secara
lebih efektif dan efisien. Mengevaluasi pola deformasi embankment pada tanah lunak tanpa perkuatan dan diperkuat
kolom agregat.Menganalisis hubungan waktu, tahapan penimbunan, dan penurunan embankment tanpa perkuatan dan
diperkuat kolom agregat. Pengujian trial embankment dengan skala penuh (full scale) dengan perkuatan kolom agregat
geotextile yang dilakukan pada Proyek Pembangunan Makassar New Port yang berlokasi di Jalan Sultan Abdullah Raya
Kelurahan Buloa Kecamatan Tallo, Kota Makassar Provinsi Sulawesi Selatan. Waktu pelaksanaan pengujian
direncanakan dilakukan selama kurang lebih tiga bulan. Deformasi embankment pada tanah lempung lunak tanpa
perkuatan kolom terjadi penurunan yang lebih besar dan membutuhkan waktu yang cukup lama sedangkan pada
perkuatan kolom agregat membutuhkan waktu yang lebih singkat dengan penurunan yang lebih kecil dalam periode
waktu yang sama. Selama 120 hari dilakukan pengamatan di lapangan, konstruksi tanpa perkuatan pada akhir
penimbunan telah mengalami penurunan lapangan sekitar 796 mm (analisis 763mm). Jika dibandingkan konstruksi
dengan perkuatan kolom agregat terjadi penurunan akhir embankment lapangan sekitar 648 mm (analisis 676mm).
Sehingga konstruksi dengan kolom agregat dapat mereduksi penurunan sebesar 20%.
Kata Kunci : vertikal kolom, kolom agregat, deformasi embankment
I. PENDAHULUAN
Menurut Triatmodjo (1992) pelabuhan
(port) merupakan suatu daerah perairan yang
terlindungi dari gelombang dan digunakan
sebagai tempat berlabuhnya kapal maupun
kendaraan air lainnya yang berfungsi untuk
menaikkan atau menurunkan penumpang,
barang, maupun hewan, reparasi, pengisian
bahan bakar dan lain sebagainya yang
dilengkapi
dengan
dermaga
tempat
menambatkan kapal, kran-kran untuk bongkar
muat barang, gudang trasito, serta tempat
penyimpanan barang dalam waktu lebih lama,
sementara menunggu penyaluran ke daerah
tujuan atau kapal selanjutnya. Selain itu,
pelabuhan merupakan pintu gerbang serta
penghubung antar daerah, pulau bahkan benua
maupun antar bangsa yang dapat memajukan
daerah belakangnya atau juga yang biasa dikenal
dengan daerah pengaruh. Daerah belakang ini
merupakan daerah yang mempunya hubungan
kepentingan ekonomi, sosial, maupun untuk
kepentingan pertahanan yang dikenal dengan
pangkalan militer angkatan laut.
Pelabuhan Makassar merupakan salah satu
dari empat pelabuhan utama di Indonesia yang
berperan sebagai pintu gerbang untuk kawasan
Indonesia
timur.
Ditinjau
dari
posisi
geografisnya, lokasi pelabuhan Makassar cukup
strategis dalam jalur pelayaran Internasional.
Untuk mendukung hal tersebut maka, sarana dan
prasarana pelabuhan Makassar harus terus
ditingkatkan.
Peningkatan
ini
untuk
mengantisipasi perkembangan perdagangan dan
industri secara lebih efektif dan efisien.
Pelabuhan Makassar saat ini sangat sulit untuk
dikembangkan lagi, oleh karena itu rencana
pengembangan pelabuhan ditetapkan dilokasi
baru yang dikenal dengan Makassar New Port.
Pelabuhan baru ini dibangun dengan sistem
reklamasi di perairan dangkal yang karakteristik
tanah dasarnya yaitu tanah lempung lunak.
Secara teknik tanah lempung lunak memiliki
potensi permasalahan dengan daya dukung yang
relatif kecil serta potensi penurunan yang cukup
besar dan berlangsung cukup lama. Perkuatan
tanah pada tanah lunak dapat dilakukan dengan
salah satu metode yaitu melakukan penimbunan
secara bertahap dan tanah dasarnya menggunakan
perkuatan dengan kolom agregat. Kolom agregat
atau kolom agregat direncanakan sebagai suatu
alternatif baru di rekayasa perbaikan atau
perkuatan
tanah
dasar
untuk
mampu
meningkatkan suatu daya dukung tanah dasar dan
dapat mempercepat proses dari konsolidasi.
Penelitian ini dilaksanakan dengan uji skala
penuh (full scale) yang berlokasi di Makassar
New Port, Dimana penurunan tanah diukur setiap
hari mulai dari proses persiapan, konstruksi, dan
masa tunggu, disamping itu dilakukan analisis
deformasi embankment serta laju peningkatan
daya dukung tanah akibat konsolidasi.
II. TINJAUAN PUSTAKA
A.
Tanah Lempung Lunak Di Indonesia
Menurut Craig (1991) Tanah merupakan
akumulasi mineral yang tidak mempunyai
atau lemah ikatan antar partikelnya yang
terbentuk karena pelapukan dari batuan.
Tanah lempung merupakan tanah dengan
ukuran mikrokonis sampai dengan sub
mikrokonis yang berasal dari pelapukan
unsur-unsur kimiawi penyusun batuan. Tanah
lempung sangat keras dalam keadaan kering,
bersifat plastis pada kadar air sedang,
sedangkan pada keadaan air yang lebih tinggi
tanah lempung akan bersifat lengket
(kohesif) dan sangat lunak. (Terzaghi, 1987).
B.
Tanah Lempung Laut (marine clay)
Tanah lempung laut (marine clay) memiliki potensi
kembang susut yang tinggi karena jenis tanah ini
terdiri dari tanah lempung dan berlumpur dimana
memiliki sifat drainase yang buruk, daya dukung
yang
rendah
dan
dapat
menyebabkan
ketidakstabilan suatu lereng.
Gerakan lateral pada garis pantai mempengaruhi
kenaikan permukaan air laut yang akan
menyebabkan pengembangan tanah lempung laut,
dimana hal ini berpotensi menghancurkan pondasi
bangunan yang ada diatasnya. Perubahan kondisi
iklim di lokasi konstruksi akan menyebabkan daya
dukung tanah yang relatif kecil sehingga akan
membutuhkan banyak biaya untuk pembangunan
dan perawatan.
C.
Karakteristik dan Permasalahan Tanah
Lunak
Untuk membangun suatu konstruksi pada suatu
lokasi perlu diadakan pengujian lapangan dan
pengujian laboraratorium dari sampel tanah. Uji
lapangan yang banyak dilakukan adalah pengujian
penetrasi standar (Standard Penetration Test) dan
uji penetrasi kerucut statis.
Lapisan tanah lunak didefenisikan sebagai
lempung (clay) atau lanau (silt) yang mempunyai
harga pengujian penetrasi standar (Standart
Penetration Test) lebih kecil atau sama dengan 4.
Demikian pula lapisan tanah berpasir yang
dalam keadaan lepas mempunyai harga N yang
kurang dari 10. Biasanya lapisan tanah lunak
terbentuk oleh proses alamiah. Tebal, luas dan
stratifikasinya tergantung dari corak topografi dan
geologi yang membentuk lapisan itu.
Indikasi lapangan yang menunjukkan tanah
lunak adalah bisa dibentuk dengan mudah oleh jari
tangan dan akan keluar di antara jari jika diremas
dengan kepalan tangan. Selain memiliki kuat geser
rendah dan komprebilitas yang tinggi, lempung
sebagai tanah lunak berbutir halus mempunyai
plastisitas tinggi dan perubahan kembang susut
yang relatif besar dimana dalam kondisi kadar
airnya bertambah maka volumenya mengembang
dan begitu pula sebaliknya akan menyusut dan
pecah-pecah apabila dalam keadaan kering.
Plastisas adalah sifat yang memungkinkan tanah
berubah bentuk tanpa terjadinya perubahan isi.
Selain itu tanah lempung juga memiliki sifat
kohesif yaitu rekatan antar sesama partikel.
Tanah yang dalam keadaan plastis, besarnya
jaringan gaya antar partikel akan sedemikian
hingga partikel bebas untuk relatif menggelincir
antara yang satu dengan lainnya, dengan kohesi
antaranya tetap dipelihara. Ditinjau dari ukuran
butirannya, lempung didefinisikan sebagai
golongan partikel yang berukuran kurang dari
0,002 mm (Das, 1985).
Namun demikian, partikel beukuran antara
0,002 mm sampai 0,005 mm juga masih di
golongkan sebagai partikel lempung.
Sifat-sifat dan perilaku lempung ini sangat
bergantung pada komposisi mineral-mineralnya,
unsur-unsur kimianya, tekstur lempung, dan
partikel-partikelnya serta pengaruh lingkungan di
sekitarnya.
D. Kondisi Geologi Tanah di Lokasi
Penelitian
Secara umum batuan dasar (litologi) di
sekitar lokasi penelitian merupakan lapisan alluvial
pantai berupa lanau berlempung yang secara
geologis lapisannya merupakan deposit lapisan
tanah endapan dataran rendah yang dipengaruhi
oleh sungai Tallo.
Batuan dasar yang mengalasi wilayah
Makassar adalah batu pasir, tufa, batu lempung,
konglomerat dan breksi. Batuan tersebut secara
umum keras (kompak) dan mempunyai daya
dukung yang besar, struktur geologi pada batuan
merupakan formasi Camba mempunyai jurus
Utara-Selatan dengan kemiringan berkisar antara
5o-12o ke arah Barat. Umur batuan diperkirakan
masa Miosen Atas (±20 juta tahun, RAB Sukamto,
1975) dengan ketebalan sekitar 1420 meter.
Dari hasil penyelidikan tanah diperoleh
informasi bahwa lapisan permukaan merupakan
lapisan tanah lanau berlempung dengan
konsistensi sangat lunak sedangkan lapisan
dibawahnya berupa batu bolder, statigrafi tanah di
lokasi penelitian dapat rangkum pada Tabel 3.
Tabel 3 Susunan lapisan tanah di lokasi
penelitian
Kedalaman
0,00 - 2,45
2,45 - 4,45
> 4,45
E.
Jenis
tanah
Lanau
berlempung
Lempung
berlanau
Bolder
1.
2.
3.
Fase Awal, dimana terjadi penurunan dengan
segera sesudah beban bekerja, penurunan ini
terjadi akibat proses penekanan udara keluar
dari dalam pori tanah. Pada lempung jenuh
kemungkinan ini sangat kecil namun pada
lempung tidak jenuh sangat besar.
Fase
konsolidasi
primer
(primary
consolidation), yaitu penurunan yang
diakibatkan oleh perubahan volume pada
tanah kohesif jenuh yang dipengaruhi oleh
kecepatan aliran air yang meninggalkan
rongga pori tanah akibat adanya tambahan
tekanan.
Fase konsolidasi sekunder (secondary
consolidation), merupakan proses lanjutan
dari konsolidasi primer, dimana prosesnya
berjalan
sangat
lambat.
Penurunan
konsolidasi sekunder terjadi sebagai akibat
aksi deformasi partikel tanah yang bersifat
plastis. Pada tanah anorganik penurunan
konsolidasi sekundar jarang diperhitungkan.
N-SPT
1
6
> 60
Konsepsi Penurunan Tanah
Jika suatu lapisan tanah dibebani, tanah
tersebut akan mengalami regangan atau penurunan
(settlement). Regangan yang terjadi disebabkan
oleh berubahnya susunan tanah maupun
berkurangnya rongga pori/air di dalam tanah
tersebut. Jumlah dari regangan sepanjang
kedalaman lapisan merupakan penurunan total
tanah, yaitu jumlah total dari penurunan segera dan
penurunan konsolidasi. Apabila tanah mengalami
pembebanan
dan
mengalami
konsolidasi,
penurunan tersebut berlangsung dalam 3 fase, yaitu
:
Gambar 2 Grafik hubungan waktupemampatan selama konsolidasi untuk suatu
pembebanan yang diberikan.
Analisis penurunan dimaksudkan
untuk memperkirakan penurunan suatu
konstruksi sebagai akibat tanah yang
mengalami konsolidasi. Penurunan terdiri
dari:
a. Penurunan segera (immediate settlement)
b.
Penurunan pertama konsolidasi
(Primary consolidation)
c. Penurunan
ke
dua
konsolidasi/rangkak
(Secondary
consolidation settlement/creep)
Penambahan beban vertikal di atas
permukaan tanah akan menyebabkan
penurunan
(settlement).
Besarnya
penurunan yang terjadi pada lapisan tanah
yang diakibatkan adanya beban, adalah
merupakan
penjumlahan
dari
tiga
komponen penurunan.
𝑆𝑡 = 𝑆𝑖 + 𝑆𝐶 + 𝑆𝑠 (1)
dimana:
St = penurunan total (m)
Si = penurunan segera (m)
Sc = penurunan konsolidasi primer (m)
Ss = penurunan konsolidasi sekunder (m)
Harga Si jauh lebih kecil dari pada
harga Sc dan waktu yang diperlukan juga
lebih kecil dari pada waktu Sc. Sedangkan
Ss merupakan tahapan kedua sesudah
selesainya penurunan pertama, waktu yang
diperlukan
Ss
sangat
lama
dan
penurunannya pun sangat kecil.
Penurunan Segera (Si)
Penurunan segera (immediately
settlement)
merupakan
akibat
dari
deformasi elastis tanah kering, basah, dan
jenuh air tanpa adanya perubahan kadar air.
persamaannya
diturunkan
dengan
menggunakan prinsip dasar teori elastis
atau formula dari BIAREZ
Menurut Wahyudi (1997) dalam
Sutra (2014), besar pemampatan tanah
akibat konsolidasi primer dari tanah
lempung tergantung dari kondisi sejarah
tanahnya, yaitu normally consolidated
(NC) atau overconsolidated (OC).
a.
Kondisi Normally Consolidated
(NC)
Tekanan overburden pada saat itu
adalah merupakan tekanan meksimum yang
pernah dialami oleh tanah itu. Besarnya
penurunan NC dihitung dengan pers.(2.3):
𝑆𝑐 =
𝑆𝑐 =
𝐶𝑐 ∙ℎ
1+𝑒0
𝐶𝑐 ∙ℎ
1+𝑒0
𝜎′
∙ 𝑙𝑜𝑔 (𝜎1′ )
0
𝑃0 +∆𝑃
∙ 𝑙𝑜𝑔 (
𝑃0
atau
)
b. Kondisi Overconsolidated (OC)
Tekanan overburden yang dialami
tanah saat itu lebih kecil dari tekanan yang
pernah dialami oleh tanah tersebut
sebelumnya. Besar penurunan tanah yang
terkonsolidasi berlebih, dapat dihitung
dengan pers.(4) dan pers.(5).
Bila 𝜎0′ + ∆𝜎 ≤ 𝜎𝑐′ , maka:
𝐶𝑐 ∙ℎ
∆𝜎
∙ 𝑙𝑜𝑔 (1 + 𝜎′ )
1+𝑒0
0
Bila 𝜎0′ + ∆𝜎 > 𝜎𝑐′ , maka:
𝐶𝑐 ∙ℎ
𝜎′
𝐶𝑐 ∙ℎ
𝑆𝑐 = 1+𝑒
∙ 𝑙𝑜𝑔 (𝜎1′ ) + 1+𝑒
0
0
0
𝑆𝑐 =
Gambar 3 Penurunan segera pondasi
ℎ
𝑆𝑖 = 𝑞 ∙ ∑ 𝑖 (𝐸𝑖′ )
(2)
𝑖
dimana:
Si = penurunan segera (m)
q= tegangan yang bekerja pada permukaan
tanah
hi = kedalaman tanah lapisan i (m)
E’ = modulus elastis Oedometrik di lapisan
i diperoleh dari tes konsolidasi (t/m2)
1.
(3)
(4)
𝜎0′ +∆𝜎
)(5)
𝜎𝑐′
∙ log (
dimana:
h = tebal lapisan lempung (m)
𝑒0 = angka pori awal (Initial Void Ratio)
𝐶𝐶 = Indeks Pemampatan (Compression
Index)
𝐶𝑠 = Indeks muai (Swelling Index)
∆𝜎 = Penambahan tegangan dimuka tanah
(Surcharge) (t/m2)
𝜎0′ = tegangan overburden efektif (t/m2)
𝜎𝑐′ = tegangan prakonsolidasi efektif (t/m2)
Parameter Tanah untuk Perhitungan
Consolidation Settlement (Sc)
Berikut merupakan cara menentukan
parameter tanah yang digunakan dalam
perhitungan consolidation settlement
Penurunan Konsolidasi Primer (Sc)
1.
Tebal lapisan compressible
2.
Tebal lapisan compressible
(H) yang diperhitungkan adalah yang
masih bisa mengalami proses
konsolidasi primer, yaitu yang
memiliki nilai N-SPT < 10,
sedangkan untuk tanah dengan NSPT > 10 dianggap sudah tidak
mengalami proses konsolidasi primer
sehingga tidak perlu diperhitungkan
sebagai bagian dari tebal lapisan
compressible (H).
Beban atau Surcharge
Surcharge yang dimaksud adalah
besarnya beban yang bekerja di atas
permukaan tanah asli (compressible
soil) dalam satuan tegangan.
Persamaan
yang
digunakan
ditentukan dari distribusi tegangan
tanah yang dialami.
𝑃𝑜 = 𝛾𝑡𝑎𝑛𝑎ℎ × 𝐻
Bila tanah terendam air, maka yang
digunakan adalah harga berat volume
tanah efektif (𝛾′ = 𝛾𝑠𝑎𝑡 − 𝛾𝑤 ) dimana
𝛾𝑠𝑎𝑡 adalah berat isi jenuh dan 𝛾𝑤
adalah berat volume air.
Distribusi tegangan tanah (∆P)
∆P ini didistribusikan oleh massa
tanah dimana semakin dalam lapisan
tanah maka pengaruh ∆P yang
diterima semakin sedikit. Parameter
ini dapat di hitung dengan pers.(2.7).
∆𝑃 = 𝐼 × 𝑞0
𝐼=
1
𝐵 +𝐵
(( 1𝐵 2 ) (𝛼1
𝜋
2
𝐵
+ 𝛼2 ) − 𝐵1 (𝛼2 )) (8)
2
dimana:
𝐵 +𝐵
𝐵
α₁ = arctg ( 1 2 ) - arctg ( 1 ) (radian)
𝐵
𝑧
𝑧
α₂ = arctg ( 𝑧1 ) (radian)
B₁ = ½ lebar timbunan
B₂=panjang proyeksi horizontal kemiringan
timbunan
1.
Waktu Penurunan Tanah
Menurut Terzaghi lama waktu
konsolidasi (t) dapat dihitung dalam pers.
(9)
𝑡=
(6)
dimana:
𝛾𝑡𝑎𝑛𝑎ℎ = berat volume tanah (t/m³)
H
= tebal lapisan tanah
3.
sedangkan n adalah perbandingan panjang
struktur atau permukaan tanah (L) dengan
kedalaman tanah yang ditinjau (z).
𝑇𝑣 (𝐻𝑑𝑟 )2
𝐶𝑣
(9)
dimana:
t
= waktu konsolidasi
Tv = faktor waktu
Cv = koevisien konsolidasi vertikal
(cm²/s)
Hdr = panjang aliran air drainage di
dalam tanah (m)
2.
Parameter
Tanah
Lamanya Konsolidasi
untuk
1.
Faktor Waktu
Faktor waktu Tv merupakan fungsi
langsung dari derajat konsolidasi (U%) dan
bentuk dari distribusi tegangan air pori (u)
didalam tanah (aliran 1 arah atau 2 arah).
(7)
2.
dimana:
I = faktor pengaruh yang merupakan fungsi
dari kedalaman tanah yang ditinjau (z)
dengan luasan berbentuk empat persegi
panjang.
𝑞0 = beban terbagi rata di atas (t/m²)
Dimana m adalah perbandingan lebar
struktur atau permukaan tanah (B) dengan
kedalaman tanah yang ditinjau (z),
Koefisien Konsolidasi Vertikal (Cv)
Koefisien
konsolidasi
vertikal
menentukan kecepatan pengaliran pada
arah vertikal dalam tanah karena pada
umumnya konsolidasi berlangsung satu
arah saja yaitu arah vertikal, maka
koefisien konsolidasi sangat berpengaruh
terhadap kecepatan konsolidasi yang
terjadi. Harga Cv dapat di cari
menggunakan pers.(10). Apabila lapisan
tanah homogen dan mempunyai beberapa
nilai Cv, maka harga Cv rata-rata dapat
ditentukan dengan pers.(11).
𝐶𝑣 =
𝑇𝑣 ∙𝐻 2
(10)
𝑡
dimana:
𝐶𝑣 = koefisien konsolidasi (cm2/dtk)
𝑇𝑣 = faktor waktu tergantung dari derajat
konsolidasi (U)
H = tebal lapisan tanah compressible (m)
t = waktu untuk mencapai derajat
konsolidasi U% (dtk)
𝐶𝑣 =
𝐻
𝐻
𝐻
𝐻
( 1 )+( 2 )+⋯+( 𝑖 )
𝐶𝑣1
𝐶𝑣2
𝐶𝑣𝑖
(11)
dimana:
𝐶𝑣𝑖 = koefisien konsolidasi lapisan-i
(cm2/dtk)
H = tebal lapisan tanah compressible (m)
𝐻𝑖 = tebal lapisan tanah compressible
lapisan-i (m)
F. Daya Dukung Tanah
Analisis kapasitas dukung tanah
bertujuan untuk mengetui kemampuan
tanah dalam mendukung beban yang
bekerja diatasnya. Hal ini diperlukan agar
ketika beban bekerja tidak menimbulkan
tekanan tanah yang dapat mengakibatkan
penurunan besar atau keruntuhan.
Kondisi tanah timbunan yang
terletak di atas tanah lunak secara tipikal
umumnya seperti pada Gambar 5, yaitu
tanah lunak didasari oleh lapisan yang lebih
kuat di bawahnya. Tebal tanah lunak (h)
akan mempengaruhi kapasitas dukung
tanah yang nilainya bergantung pada lebar
pondasi timbunan (B).
Gambar 5 Lebar timbunan dan tebal lapis
tanah lunak
Tebal tanah lunak sangat tebal
Jika tebal lapisan tanah lunak sangat
tebal dibandingkan dengan lebar timbunan
atau B/h sangat besar, kapasitas dukung
tanah dihitung dengan persamaan sebagai
berikut :
qu  cu Nc
Pilarczyk (2000) menyarankan nilai Nc
= 3,5 untuk lereng vertikal (galian) sampai
Nc = 5,5 untuk lereng yang kemiringannya
kurang dari 50o. Tinggi timbunan ijin
dinyatakan dalam persamaan :
Ha 
cu N c
 SF 
Dengan SF adalah faktor aman yang
diambil antara 1,5 sampai 2.
G.
Perbaikan
dan
Perkuatan
Tanah
1.
Perbaikan
Tanah
dengan
Pembebanan Awal (Preloading)
Metode pembebanan awal (preloading)
adalah metode penimbunan beban yang
besarnya sama dengan besar beban
konstruksi
yang
akan
dilaksanakan.
Preloading dilaksanakan ketika tanah dasar
memiliki daya dukung yang tidak cukup
kuat. Pemberian beban yang tinggi dan besar
akan menyebabkan kelongsoran pada tanah
tersebut sehingga waktu yang dibutuhkan
untuk mencapai tinggi timbunan rencana
tergantung dari peningkatan daya dukung
tanah dasarnya.
Pemberian beban tanah dasar akan
memberikan tambahan tegangan serta
menambah besar kuat geser pada tanah.
Kondisi ini disebut dengan peristiwa gain
strength.
Bila Hinisial < Ha maka penimbunan
dapat dilakukan setiap minggu tanpa
penundaan. Tetapi bila Hinisial >Ha maka
penimbunan harus diletakkan berdasarkan
peningkatan daya dukung tanah dasarnya.
Jika harus dilakukan setiap minggunya
maka harus didukung oleh perkuatan tanah
misalnya geotextile.
Perhitungan besar penurunan akibat
preloading atau timbunan bertahap.
Jika Po’+∆P₁ ≤ Pc:
𝑆𝑐 =
𝐶𝑠∙𝐻
𝑃′ + ∆𝑃
log ( 0 𝑃 1 )
1+𝑒0
0′
(15)
Jika Po’+∆P₁ + ∆P₂ > Pc:
𝐶𝑠∙𝐻
𝑃′
log ( ′ 𝑐 ) +
1+𝑒0
𝑃0 + ∆𝑃1
𝐶𝑐 ∙
𝑃0′ + ∆𝑃1 +∆𝑃2
log (
)
(16)
1+𝑒0
𝑃𝑐′
𝑆𝑐 =
a.
Jika Po’+∆P₁ + ∆P₂ + ∆P₃ > Pc:
𝐶𝑐 ∙
𝑃0′ + ∆𝑃1 +∆𝑃2 +∆𝑃3
)
𝑃0′ + ∆𝑃1 +∆𝑃2
𝑆𝑐 = 1+𝑒 log (
0
(17)
dimana:
H = tebal lapisan lempung (m)
𝑒0 = angka pori awal (Initial Void Ratio)
𝐶𝐶 = Indeks Pemampatan (Compression
Index)
𝐶𝑠 = Indeks muai (Swelling Index)
∆P = Penambahan tekanan vertikal (t/m²)
Kenaikan kekuatan tanah (gain
strength) pada tanah kohesif merupakan
kenaikan nilai kohesi yang ditunjukkan
dalam persamaan :
Cu  U . tan  '.p
Untuk
menambah
kecepatan
konsolidasi digunakan beban tambahan
yang
sifatnya
sementara
atau
prapembebanan
(preloading).
Beban
tambahan
(ps),
besarnya
dihitung
sedemikian
sehingga
sesudah
pembongkaran penurunan konsolidasi dari
sisa timbunan telah selesai. Johnson (1970)
menyarankan
persamaan
penurunan
konsolidasi primer akibat beban terbagi rata
pf dan pf+ps, sebagai berikut :
2.
Drainase Vertikal
Stabilitas
tanah
menggunakan
drainase vertikal digunakan pada tanah
b.
c.
mampu mampat, jenuh air, seperti tanah
lempung dan tanah berbutir halus lainnya.
Tujuan utama dari drainase vertikal adalah
untuk mempercepat proses konsolidasi dan
mereduksi tekanan air pori dengan cara
memperpendek lintasan aliran air pori,
Gambar 6 menunjukkan skema dranase
vertikal.
Ketika penurunan tanah timbunan
mencapai
penurunan
tertentu
atau
kecepatan penurunan yang terjadi sangat
rendah, maka kelebihan tanah preloading
dapat bongkar.
Jika dikombinasi dengan preloading,
keuntungan utama sistem drainase
vertikal adalah :
Mempercepat proses penurunan konsolidasi
sehingga waktu pelaksanaan proyek lebih
singkat.
Dapat mengurangi jumlah beban tambahan
yang dibutuhkan guna mencapai nilai
penurunan pada waktu yang telah
ditentukan.
Mempercepat kenaikan kuat geser tanah
dasar akibat proses konsolidasi.
Gambar 6 Skema stuktur dranase vertikal
(
18)
Gambar 7 Proses konsolidasi kombinasi
drainase vertikal dan preloading
Dalam suatu koordinat silinder tiga
dimensi, persamaan konsolidasi dengan
perbedaan sifat tanah dalam arah horizontal
U v  f Tv 
dan vertikal sekaligus dapat ditulis sebagai
berikut :
C
Tv  ( v 2 t
H dr
k 
Ch   h Cv
 kv 
20)
U h  f Th 
Tabel 5 Rentang nilai rasio kh/kv pada tanah
lempung
Kondisi tanah
kh/kv
Lapisan
tanahnya
seragam, tidak ditemukan
lensa.
1.2±0.2
Lapisan lempung dengan
lensa terputus dan lapisan
tanahnya
memiliki
permeabilitas tinggi
Lapisan lempung dengan
sesekali ditemukan lensa
lanau secara acak
Lapisan lempung dengan
lensa yang tidak menerus
dan
lapisan
tanahnya
memiliki
permeabilitas
tinggi
Th 
Persamaan Th menunjukkan bahwa bila
jarak drainase vertikal berkurang maka
proses konsolidasi bertambah cepat.
u
1 – 1.5
2
4u av  2  r  r 2  rw 


r
ln

e  

D 2 F n  
2 
 rw 
F n  
2-5
2-4
Ch
t
D2
n2
3n 2  1


ln
n

n2 1
4n 2
 1 
D2

t
F nln 
8Ch
1

U
h 

U h 1  e
8Th
F n 
Dimana :
t = waktu yang diperlukan untuk mencapai Uh (dtk)
D = diameter equivalen dari lingkaran tanah yang merupaka
dari equivalen vertical drain (cm)
Ch = koefisien konsolidasi akibat aliran arah horizontal (cm2/
Uh = derajat konsolidasi akibat aliran air arah horizontal (%)
Persamaan umum untuk kasus ideal
tanpa gangguan (smear) yang sering
digunakan untuk perancangan awal. Hasbo
(1979) memberikan persamaan F(n) yang
berbeda, yaitu :
Gambar 8 Skema dranase vertikal
Prisma vertikal tanah di sekitar drainase
vertikal dapat dianggap sebagai blok-blok
silinder dengan jari-jari re= D/2 (D =
diameter pengaruh drainase vertikal)
Gambar 8. Penyelesaian dapat dituliskan
dalam dua bagian, yaitu :
F n  
n2 
1
 ln n   0,75  2
2
n 1
n
1 

1  2  
 4n  
F n 
n2 
1 
 ln n  0,75  2 
2
n 1
n 
Dalam praktek, jarak drainase jarang
sekali dibawah 0,8 m dan umumnya n>12.
Oleh karena itu, dengan sedikit kesalahan
dapat disederhanakan menjadi :
F n  ln n  0,75
Dengan n = D/dw = re/rw lebih sering
digunakan dalam perancangan dalam
penyelesaian aliran radial, untuk kasus
regangan-vertikal sama (equal vertikalstrain).
Penurunan total (dapat dihitung dengan
penjumlahkan31)penurunan setiap lapisan
tanah Sct = Sc1+Sc2+Sc3+….Scn.
H. Kerangka Pikir Penelitian
𝑈 = 1 − (1 − 𝑈𝑣 )(1 − 𝑈ℎ ) (32)
dimana:
U = derajat konsolidasi tanah akibat aliran
vertikal dan radial
Uv = derajat konsolidasi vertikal
Uh = derajat konsolidasi radial
Penurunan Bagian Tanah Mampu
Mampat
Penyelesaian penurunan kelompok
tiang gesekan dapat dihitung dengan
asumsi bahwa tanah lempung sepanjang 2/3
bagian atas tiang tidak mampu mampat dan
pada bagian bawahnya diasumsikan
tanahnya mudah mampat. Pada titik ini
beban dilimpahkan secara merata dan
menyebar membentuk sudut 30o terhadap
garis vertikal.
Gambar 12. Kerangka pikir penelitian
III. METODOLOGI PENELITIAN
A. Lokasi Penelitian
Pengujian trial embankment dengan skala
penuh (full scale) dengan perkuatan kolom
agregat geotextile yang dilakukan pada Proyek
Pembangunan Makassar New Port yang
berlokasi di Jalan Sultan Abdullah Raya
Kelurahan Buloa Kecamatan Tallo, Kota
Makassar Provinsi Sulawesi Selatan. Waktu
pelaksanaan
pengujian
direncanakan
dilakukan selama kurang lebih tiga bulan.
Gambar 10 Penurunan kelompok tiang
pada tanah lunak
Tanah dibagian bawah dibagi menjadi
beberapa lapisan, dimana dan po dan p
dihitung di tengah setiap lapisan.
Penyelesaian penurunan setiap lapisan
dihitung dengan menggunakan rumus :
 p'  p 
C .H

S c  c dr log  o
1  eo
 po ' 
Gambar 12. Lokasi Penelitian
(
B.
Pengumpulan
Data
33)
Pengumpulan data untuk penelitian
ini dilakukan pada proyek Pembangunan
Makassar New Port, dengan pemilik
pekerjaan yaitu PT. Pelabuhan Indonesia
IV (Persero). Teknik pengumpulan data
dalam penelitian ini terbagi menjadi dua
yaitu data primer dan pengumpulan data
sekunder.
1.
Data Primer
Data primer yang diperlukan untuk
melakukan studi penelitian yang berupa
peta lokasi penelitian, hasil penyelidikan
tanah yang di kerjakan di lapangan dan di
laboratorium (tanah dasar dan material
timbunan), kondisi muka air tanah dan data
pengujian karakteristik material kolom
agregat. Data ini diperlukan dalam
penentuan pada lokasi Rancangan dan
penggambaran geometri untuk keperluan
analisis deformasi embankment jalan.
2.
Data Sekunder
Data sekunder dapat diperoleh dari
suatu instansi yang terkait dengan kegiatan
proyek dan hasil penelitian sebelumnya.
Data sekunder yang dibutuhkan adalah
karakteristik material geotextile.
C.
Rancangan Struktur Geoteknis
ditanam sedalam 3 m dengan diameter 60
cm yang terbungkus geotextile non woven.
Proses
pemancangan
dibantu
oleh
eskavator dengan menggunakan cashing
baja rancangan terlebih dahulu, katika
cashing telah terinstal baru kemudian
memasukkan agregat berupa batu mangga
yang berukuran 10-15 cm yang telah
terbungkus geotextile. Untuk mencegah
masuknya material timbunan ke tanah dasar
maka di atas tanah dasar dipasang rakitan
raft bambu dengan diameter 10 cm
sebanyak empat lapis dan ditutupi oleh non
woven geotextile TS=32,24 kN/m dan
kemudian pemasangan Settlement Plate
dilakukan di atas geotextile yang
penempatannya
pada
pusat
badan
embakment rencana.
Penimbunan
tahap
pertama
dilakukan di atas lapisan geotextile tersebut
dan seterusnya sampai embakment tersebut
mencapai tinggi 3,5 m. setiap tahap
penimbunan
tetap
memperhatikan
kestabilan embakment agar tidak terjadi
keruntuhan. Model struktur embankment
dan
posisi penempatan instrument dan
detail kolom agregat diperlihatkan pada
Gambar 13.
Profil Geoteknis
Pada tahap awal perencanaan perlu
dilakukan pembuatan profil geoteknis
untuk menentukan karakteristik tiap
lapisan tanah. Profil geoteknis dibuat
berdasarkan hasil dari penyelidikan tanah
di lokasi studi. Dalam penelitian ini,
pengujian lapangan yang dilakukan adalah
menggunakan Boring Log oleh Pelindo IV.
3.
Model Struktur Embankment
Model struktur embankment berupa
lebar dan tinggi timbunan yang tepat sangat
mempengaruhi akurasi penelitian yang
benar sehingga menghasilkan prediksi
deformasi yang sesuai di lapangan.
Pengujian
konstruksi
trial
embankment
direncanakan
memiliki
panjang 6,5 m, lebar 10 m, kemiringan
lereng 1 Horizontal : 1 Vertikal, dan tinggi
3,5 m. Tanah di dasar embankment tersebut
diberi perkuatan kolom agregat geotextile.
Kolom agregat geotextile yang digunakan
Gambar 13. Trial Embankment kolom
agregat
D.
Metode Analisis
Dari interpretasi hasil bor dalam
maka dapat disimpulkan bahwa tanah dasar
merupakan tanah lempung lunak yang
indeks plastisitasnya tinggi dan dengan
nilai penetrasi yang sangat kecil, dimana
tanah dasar akan sangat rentan terhadap
penurunan
konsolidasi.
Analisis
perhitungan yang digunakan untuk
mengetahui suatu penurunan dengan teori
konsolidasi Terzaghi 1 (satu) dimensi dan 3
(tiga) dimensi untuk tanah lempung lunak
yang diperkuat dengan menggunakan
kolom agregat geotextile.
Untuk melihat pola deformasi pada
penelitian
dan
keruntuhan
tanah
menggunakan teori keruntuhan mohrcoulomb maka digunakan parameterparameter kuat geser tanah (kohesi dan
sudut geser tanah). Dari Hasil analisis
maka dapat disimpulkan suatu perkiraan
deformasi,
waktu,
penurunan
dan
peningkatan daya dukung pada tanah dasar.
Analisis
konstruksi
embankment
dilakukan secara beban bertahap dengan
tipe analisis consolidation / plastic
sesuai dengan rencana pekerjaan pada
lokasi studi.
IV.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Desain Parameter Tanah
Desain
parameter
tanah
menggunakan perilaku fisik tanah (index
properties) dan pengujian perilaku mekanis
tanah
(engineering
properties)
yang
disesuaikan dengan standart yang telah
ditentukan dengan pengujian laboratorium
dan secara garis besar hasil pengujian yang
digunakan dalam perencanaan dapat dilihat
pada Tabel 6
Preloading dilakukan di lapangan secara
bertahap dengan pengecekan terhadap tinggi
timbunan kritis terlebih dahulu. Meski pun
penimbunan dilakukan secara bertahap,
namun
dalam
perencanaannya tidak dilakukan pemadatan
pada tahap penimbunan tersebut.
Gambar 19. Flowchart AnalisisPerhitungan
1. Penentuan Tinggi timbunan Timbunan
Kritis
Tinggi Penimbunan harus memperhatikan
tinggi timbunan kritis yang masih mampu
dipikul oleh tanah dasar agar timbunan tidak
mengalami kelongsoran.
Angka keamanan pada tinggi awal
timbunan yang digunakan yaitu (safety
factor) SF= 1.75
𝐻𝑎 =
𝐶𝑢𝑁𝑐
ɤ(𝑆𝐹)
faktor pengaruh beban maka diperoleh nilai
I sebesar 0.49.
∆P
=Ixq
= 0.49 x 1.54 t/m²
= 1.49 t/m²
1.64𝑥5.5
𝐻𝑎 =
= 2.86 𝑚
1.8𝑥(1.75)
c.
maka timbunan dilakukan secara
bertahap, yaitu 4 tahapan selama 17
minggu dimana timbunan tahap 1 setinggi
2.1 m, dan tahap 2 setinggi 0.7 m, tahap 3
setinggi 1.9 m, dan tahap 4 setinggi 2.3 m,
untuk menghindari kelongsoran.
𝑆𝑐 1 =
=
a.
= H x 𝛾𝑡𝑖𝑚𝑏𝑢𝑛𝑎𝑛
= 0.86 x 1.8 t/m³
= 1.54 t/m²
Tegangan overburden efektif (Po’)
1.30 ∙3
1+1.60
𝑆𝑐 2 =
Berikut
ini
adalah
contoh
perhitungan penurunan tanah dasar tahap 1
(dibawah Ground Water Level) akibat
beban timbunan tanah setinggi 2,1 m.
I. Penurunan dengan Tinggi Timbunan
Tanpa Perkuatan kolom
𝑞0
𝐶𝑐 ∙ℎ
1+𝑒0
𝑃0 ′+∆𝑃1
)
𝑃0 ′
∙ 𝑙𝑜𝑔 (
1.50+1.49
)
1.50
∙ 𝑙𝑜𝑔 (
= 0.23 𝑚
2.
Perhitungan
Penururunan
Tanah Akibat Timbunan Bertahap
Pada Tahap 1 diketahui data tanah
adalah sebagai berikut:
Besar penurunan yang terjadi.
=
𝐶𝑐 ∙ℎ
1+𝑒0
1.09 ∙2
1+2.40
𝑃0 ′+∆𝑃2
)
𝑃0 ′
∙ 𝑙𝑜𝑔 (
3.10+1.49
)
3.10
∙ 𝑙𝑜𝑔 (
= 0.06 𝑚
𝑆𝑐 1 +𝑆𝑐 2 = 0.29
Tabel 7. Hasil Analisis Penurunan dengan
Tinggi Timbunan Tahap 1 Tanpa Perkuatan
U
t
St
(%)
(hari)
(m)
0
0
0.00
0.05
1
0.03
= 0.86 ∙ 0.50
0.07
2
0.04
= 1.50 𝑡⁄ 2
𝑚
0.08
3
0.05
0.09
4
0.05
0.10
5
0.06
0.11
6
0.06
0.12
7
0.07
0.13
8
0.07
0.14
9
0.08
0.15
10
0.08
0.15
11
0.09
0.16
12
0.09
𝑃0′1 = 𝐻1 ∙ 𝛾𝑑
𝑃0′ 2 = 𝐻2 ∙ 𝛾𝑑
= 0.86 ∙ 0.80
= 3.10 𝑡⁄ 2
𝑚
+
= 4.60 𝑡⁄ 2
𝑚
b.
Penambahan tegangan ∆P
Dihitung
dengan
menentukan
parameter faktor pengaruh I dengan
menggunakan persamaan. Dari grafik
𝑃0′1
𝑃0′ 2
0.17
13
0.09
0.17
14
0.10
0.18
15
0.10
0.19
16
0.10
0.19
17
0.11
0.20
18
0.11
0.20
19
0.11
0.21
20
0.12
0.21
21
0.12
0.22
22
0.12
0.22
23
0.12
0.23
24
0.13
0.23
25
0.13
II.
Grafik menunjukkan pada saat 120
hari
penimbunan
telah
mengalami
penurunan dilapangan sebesar 796 mm dan
dari hasil analisis terjadi penurunan sebesar
763 mm.
Sedangkan pada pengamatan pola
deformasi
untuk
embankment
menggunakan perkuatan kolom agregat
yang diamati secara terus-menerus sampai
penurunan sudah tidak berarti dengan
tahapan penimbunan dan pola penurunan
Hasil Pengukuran Analisis dan
Pengamatan Penurunan
Pada pengamatan di lapangan
dengan penurunan embankment tanpa
perkuatan yang dilakukan dari tahapan
persiapan, penimbunan awal sampai waktu
tunggu bertujuan agar data pembacaan
penurunan terbaca setiap harinya.
dapat dilihat pada Gambar 21.
Gambar 21 Tahapan Penimbunan dan Pola
Deformasi Tanah Dasar dengan Perkuatan
Kolom Agregat.
Demikian pula pada embankment
yang dengan perkuatan agregat selama 120
hari pengamatan dilapangan dan dihitung
secara analisis maka dapat disimpulkan
bahwa terjadi penurunan akhir embankment
pada lapangan sekitar 648 mm dan
dibandingkan dengan hasil analisis
penurunan embankment yaitu 676 m.
BAB VPENUTUP
A.
Gambar 20 Tahapan Penimbunan
dan Pola Deformasi Embankment tanpa
Perkuatan Kolom
KESIMPULAN
Dari hasil analisis yang dilakukan
pada penelitian ini maka dapat diambil
suatu kesimpulan sebagai berikut :
1. Deformasi embankment pada tanah
lempung lunak tanpa perkuatan kolom
terjadi penurunan yang lebih besar dan
membutuhkan waktu yang cukup lama
sedangkan pada perkuatan kolom agregat
membutuhkan waktu yang lebih singkat
dengan penurunan yang lebih kecil dalam
periode waktu yang sama.
2. Selama 120 hari dilakukan pengamatan di
lapangan, konstruksi tanpa perkuatan pada
akhir penimbunan telah mengalami
penurunan lapangan sekitar 796 mm
(analisis 763mm). Jika dibandingkan
konstruksi dengan perkuatan kolom agregat
terjadi penurunan akhir embankment
lapangan sekitar 648 mm (analisis 676mm).
Sehingga konstruksi dengan kolom agregat
dapat mereduksi penurunan sebesar 20%.
B.
SARAN
1.
Sebaiknya penelitian menggunakan
piezometer dan settlement plate serta
menambahkan waktu pengamatan di
lapangan sehingga dapat menghasilkan
parameter yang lebih banyak dan hasil
analisis perhitungan lebih teliti.
2.
Dari
hasil
penelitian maka
diperlukan penelitian lebih lanjut dengan
uji skala penuh (full scale) dan model skala
laboratorium agar dapat mengetahui
pengaruh kolom agregat geotextile dengan
berbagai variasi ukuran diameter dan jarak
antar kolom.
3.
Sebagai masukan kepada pemilik
proyek agar dapat menggunakan material
ramah lingkungan dengan bahan material
yang digunakan tersedia dilapangan,
ditinjau dari segi biaya relatif murah, dan
dari proses pemasangan lebih mudah.
DAFTAR PUSTAKA
Bowles, J.E, (1993), Alih Bahasa Ir. Johan
Kelana Putra Edisi Kedua, Sifat-Sifat Fisis
Dan Geoteknis Tanah, Penerbit Erlangga,
Jakarta.
Bergado, D. T. 1996. Soft Ground
Improvement in Lowland and Other
Environments. New York: Asce Press.
Thancaisawat,
T.,
Bergado,
D.T.,
Voottipruex, P. 2008. Numerical simulation
and sensitivity analyses of full-scale test
embankment with reinforced lightweight
geomaterials
on
softBangkokclay,www.elsevier.com/Locate
d/geotexmem, 498-511.
Terzaghi, K., Peck, R.B, G., 1948. Soil
Mechanics in Engineering Practice 2rd Ed.,
John Wiley and Sons, New York.
Terzaghi, K., Peck, R.B. and Mesri, G.,
1996. Soil Mechanics in Engineering
Practice 3rd Ed., John Wiley and Sons, New
York.
Das, Braja M., (1995), Mekanika Tanah
(Prinsip-prinsip Rekayasa Geoteknis) Jilid
1, Erlangga, Jakarta.
Das, Braja M., (1995), Mekanika Tanah
(Prinsip-prinsip Rekayasa Geoteknis) Jilid
2, Erlangga, Jakarta.
Hardiyatmo, C. H., (2010), Mekanika
Tanah 1 . Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta.
Hardiyatmo, C. H., (2010), Geosintetik
Untuk Perkerasan Jalan Raya, . Gadjah
Mada University Press, Yogyakarta.
Hardiyatmo, C. H., (2010), Mekanika
Tanah 2 . Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta.
Harianto, Tri., Samang, L., dan Zubair,
Achmad., 2010. Efektifitas pondasi Raft
dan Pile Dalam Mereduksi Penurunan
Tanah Dengan Metode Numerik, Konteks 4
pp 79-86.
Harianto, Tri., Djamaluddin, R., Muhiddin,
A.B., Maricar, I., and Sitepu, F., 2012.
Characteristic’s and Behavior Study on
Raft and Pile Bamboo as a soil
Embankment Reinforcement (in Indonesia).
Proceding of the 6th Annual Meeting of
Konfrensi Teknik Sipil (Konteks 6),
Trisakti University, November 1-2, 2012, p
G59-G65.
Download