TELAAH PENYEBAB GEJALA “GAPONG” PADA KACANG TANAH DAN KEMUNGKINAN CARA PENGENDALIANNYA Oleh: Agustina Asri Rahmianna Yuliantoro Baliadi BALAI PENELITIAN TANAMAN KACANG-KACANGAN DAN UMBI-UMBIAN Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian 2009 TELAAH PENYEBAB GEJALA “GAPONG” PADA KACANG TANAH DAN KEMUNGKINAN CARA PENGENDALIANNYA A. A. Rahmianna dan Y. Baliadi Abstrak Istilah “Gapong” yang mulai dipublikasikan pada tahun 1930an digunakan untuk menamakan polong kacang tanah yang tidak berisi biji, polong berwarna hitam, kulit polong rapuh dan kadang-kadang diikuti oleh kondisi busuk. Banyak petani di eks Karisidenan Cirebon mengeluhkan gejala ini, karena menimbulkan kerigian ekonomi sangat besar, melebihi karena serangan penyakit daun. Hingga kini penyebab utama “gapong” masih belum diketahui sehingga cara penanganannya juga belum pasti. Hasil survei tanaman kacang tanah di Kab. Cirebon dan Majalengka pada musim kemarau tahun 2008 menunjukkan bahwa istilah gapong digunakan untuk menunjuk kondisi polong yang tidak sehat dengan beragam keadaan. Namun demikian apabila dipilahpilahkan maka kondisi gapong bisa disebabkan karena serangan nematoda, serangan hama tanah, serangan penyakit tular tanah, maupun karena luka mekanis (terluka oleh alat-alat petanian) yang sangat memungkinkan untuk dikendalikan atau ditekan serangannya dengan menggunakan pestisida atau teknologi pengendalian yang lainnya. Sedangkan fenomena gapong yang mengacu pada kondisi polong berwarna hitam, kulit polong bagian luar melepuh seperti terbakar, berserabut dan rapuh serta diikuti oleh batang yang kaku, daun berukuran lebih kecil dan kaku, hingga kini masih belum bisa diatasi. Hasil penelitian memberikan indikasi bahwa tampaknya ketersediaan unsur hara makro N, P, K, Ca, dan pupuk kandang di dalam tanah berhubungan dengan munculnya gejala gapong. Selain itu, aplikasi mulsa jerami juga bisa menekan gejala “gapong” Kesehatan tanaman terutama dari penyakit daun bercak dan karat daun serta perlakuan benih dengan fungisida Captan juga menekan kerusakan polong. Ke depan, hasil penelitian ini ingin kami gabungkan dengan kearifan lokal untuk mengendalikan gejala “gapong” Kata kunci: gejala gapong, kacang tanah 2 Assessing the “gapong” symptom in peanut pods and its possible management A. A. Rahmianna dan Y. Baliadi Abstract The “gapong” symptom was firstly published in around 1930’s. This term is used to express the condition of peanut pods that its seeds do not fully fulfilled (mostly are empty pods), blackened pods, brittle shells and sometimes rot. Many peanut farmers in ex-Karisidenan Cirebon complain about that symptom, as it is caused huge economic failure more than it is caused by foliar diseases infection. Until recently, the main cause for “gapong” incidence has not fully identified and therefore the management treatment has not been fixed. Survey on peanut crops in Cirebon and Majalengka regency during the dry season 2008 showed that the term of “gapong” pointed the unhealthy peanut pods with various conditions. The grouping based on the main cause resulted in gapong could be caused by nematode attack, soil pest attack, soil borne diseases infestation, as well as physical wounds. All these causes are reasonably controlled or at least their infestation can be minimized by applying pesticides or other control technologies. Whilst, the “gapong” that refers to pod condition of blackened, burned-symptom of shells, harsh surface and brittle and followed with hard stems, is unsolved problem. The research results seemingly indicated that the availability of macro nutrients N, P, K, Ca, and organic manure have a special relation to the appearance of “gapong” symptom. In addition, the application of rice straw as mulch is somehow successful in minimizing the “gapong” symptom. The free-foliar diseases infection crops as well as fungal seed treatment with Captan gave a good prospect in reducing the amount of damaged/rotted pods. In the future, we keen to enrich the local wisdom in combating “gapong” symptom with our research findings. Key words: Arachis hypogaea L; “gapong symptom. 3 Latar Belakang Gejala/fenomena “Gapong” pada kacang tanah, yang dicirikan dengan polong tidak berisi dilanjutkan dengan busuk pada ujung polong, banyak dikeluhkan oleh petani pada beragam agroekologi. Gejala ”Gapong” menyebabkan kerugian ekonomi yang tinggi, melebihi kerugian yang diakibatkan oleh serangan penyakit daun. Pengamatan sampel polong dengan gejala gapong yang diambil dari lapang baik ketika polong masih dalam fase perkembangan atau pada saat panen menunjukkan adanya infeksi jamur-jamur tular tanah. Penyebab primer dari penyakit ini belum diketahui dengan pasti dan jamur-jamur tersebut agaknya bukan penyebab primer dari gapong. Dengan demikian serangan jamur merupakan infeksi sekunder (secondary infection). Serangan “Gapong” sangat merugikan karena menyebabkan kerugian ekonomi yang sangat nyata. Belum banyak laporan yang mengupas cara pengendalian gapong. Semangun (2004) menginformasikan bahwa ada yang menganjurkan untuk melakukan pengairan yang teratur setiap 2 minggu sekali. Pengairan dilakukan pada malam hari karena pengairan pada waktu pagi hari akan memperparah insiden gapong. Pengairan sebaiknya dihentikan paling lambat 15 hari menjelang panen, karena pengairan dalam waktu 15 hari menjelang panen akan memperparah insiden gapong. Tampaknya, dampak dari perubahan iklim global akan mengakibatkan kesulitan untuk menjamin air selalu tersedia bagi tanaman pada musim kemarau. Oleh karena itu, dipandang perlu menelaah dengan seksama penyebab utama gejala gapong dan kemungkinan cara pengendaliannya. Identifikasi Gejala “Gapong” Gejala “Gapong” banyak dikeluhkan petani di Kabupaten Cirebon, Kuningan dan Majalengka (Jawa Barat) dan di kabupaten Banjarnegara (Jawa Tengah), karena menyebabkan kerugian yang besar. Berjangkitnya gejala gapong dilaporkan pertama kali pada tahun 1930 an di Karisidenan Cirebon berdasarkan tulisan Leefman pada tahun 1933 dan 1934, dan van der Goot pada tahun 1934 dan 1935. Selanjutnya, laporan pada tahun 1953 menyebutkan bahwa karena besarnya kerugian ekonomi yang diderita, maka petani tidak mau menanam kacang tanah pada musim kemarau (Semangun, 2004). Selain menyebabkan rendahnya jumlah polong isi, gejala gapong juga menyebabkan penurunan berat dan kualitas polong, sehingga mengakibatkan harga jual yang rendah. “Gapong” dicirikan dengan polong berwarna coklat kehitaman mulai dari bagian ujung, kulit polong menjadi rapuh (brittle), biji menjadi keriput/tidak bernas dan berwarna coklat, berbau apek dan rasa tidak enak (Hadi, pers comm). Ciri-ciri ini mirip sekali dengan serangan jamur R. solani pada polong seperti yang dilaporkan Subrahmanyam dan Ravindranath (1988), dan polong akan busuk pada serangan yang lebih parah. Hingga sekarang, serangan gapong masih menjadi salah satu penyebab rendahnya pendapatan petani kacang tanah di daerah-daerah tersebut di atas. Sutarto et al. (1988) dan Semangun (2004) mengemukakan bahwa gejala gapong ternyata bisa diketahui dari daun dan polongnya. Tanaman yang terserang mempunyai daun-daun yang terasa kaku jika dipegang dan kadang-kadang warnanya agak kekuningan. Namun, gejala ini sering tidak terlihat. Gejala gapong hanya dapat diketahui dengan memeriksa polong yang berada di dalam tanah. Apabila tanaman dicabut, maka akan tampak polong dengan bintik-bintik kecil berwarna coklat 4 kehitaman dan biji busuk. Pengamatan Hardaningsih (pers. comm) menunjukkan adanya serangan Aspergillus niger, Penicilium sp dan Rhizoctonia solani pada kulit polong, biji yang busuk dan eksudat yang ada. Gejala gapong muncul pertama kali pada waktu polong sudah setengah masak. Pada kulitnya terdapat bercak-bercak bulat berwarna hitam, lebih kurang bergaris tengah sampai dengan 5 mm. Kadang-kadang beberapa bercak bergabung sehingga membentuk bercak yang besar. Di tengah bercak, terjadi sebuah lubang yang bentuknya tidak teratur. Pada polong yang masih muda, biji-biji menjadi busuk, sedangkan pada biji yang sudah masak biji masih dapat berkecambah. Apabila hal ini terjadi beberapa waktu menjelang panen, biji masak tersebut berkecambah sehingga pada waktu panen tidak dihasilkan biji (Semangun, 2004). Faktor lingkungan ternyata mempengaruhi serangan gapong ini. Gejala gapong paling parah terjadi pada kacang tanah yang ditanam di tanah pasir dan tanah laterit ringan. Musim tanam sangat mempengaruhi timbulnya gejala ini. Kacang tanah yang ditanam pada musim kemarau sangat peka terhadap serangan gapong terlebih jika masih turun hujan pada fase generatif (Semangun, 2004). Somaatmadja (1985) mengemukakan bahwa dari gejala-gejala yang timbul pada polong, gejala tersebut identik dengan penyakit “meadow nematode” yang disebabkan oleh P. leiocephalus dan spesies lainnya yang terdapat di North Carolina, Amerika Serikat. Porter et al. (1984) menyebutkan bahwa nematoda Prathylenchus brachyurus merupakan nematoda yang paling umum menyerang kacang tanah dan tersebar sangat luas terutama pada lahan kacang tanah dengan tektur tanah pasiran.Pemuliaan untuk membentuk varietas yang tahan tampaknya akan menjadi alat pengendalian yang efektif. Sutarto et al (1988) menyebutkan adanya dugaan penyakit ini disebabkan oleh nematoda, tanaman keracunan oleh air tanah dan musim tanam yang tidak tepat. Namun hal ini masih disangsikan. Dugaan bahwa penyakit gapong disebabkan oleh nematoda masih perlu dipastikan. Semangun (2004) melaporkan bahwa sampai sekarang penyebab primer dari gapong belum diketahui dengan pasti. Hasil pengamatan memang menunjukkan bahwa pada polong yang busuk terdapat jamur Aspergillus dan Penicilium. Namun agaknya jamur-jamur ini bukan penyebab utama dari gapong. Dari pendapat-pendapat di atas, kami susun dua skenario tentang gejala ”gapong”. Skenario pertama: pada awalnya, polong kacang tanah diserang nematoda Prathylenchus brachyurus dan setelah jaringan kulit polong dirusak akan ditumbuhi jamur yang menyebabkan daerah tersebut menjadi busuk berwarna gelap. Good et al (1958) dalam Porter et al (1982) menyatakan bahwa kerusakan pada kulit polong dan pericarp karena serangan nematoda ini dapat dideskripsikan sebagai adanya luka yang berwarna coklat keunguan dengan batas luka yang jelas dari jaringan di sekitarnya yang tidak terserang. Miller dan Duke (1961) dalam Porter et al (1982) mendiskripsikan bahwa kerusakan oleh P. brachyurus sebagai luka kecil atau titk (pin-point) berwarna coklat pada kulit polong, yang akan tampak sebagai spot atau bulatan kecil (speckled) jika luka-luka tersebut jumlahnya banyak. Boswell (1968) dalam Porter et al (1982) mengatakan bahwa serangan nematoda berawal dari sebuah titik berwarna coklat muda pada permukaan kulit polong, kemudian areal yang terserang akan berubah menjadi berwarna lebih gelap dan semakin lebar ketika nematoda makan dan berkembang biak di situ. Serangan nematoda yang parah akan menyebabkan tanaman tumbuh kerdil, daun berwarna kekuningan dan berkurangnya volume akar. Lebih lanjut dikemukakan bahwa bakteri dan jamur akan menyerang jaringan yang sudah mati sehingga bisa menyebabkan busuknya biji dan polong. Ternyata ada interaksi antara nematoda dengan patogen lain pada kacang tanah. Hasil pengamatan Porter di lapang menunjukkan bahwa 5 nematoda P. brachyurus ditemukan berasosiasi dengan miselia jamur terutama jamur Penicilium dan Fusarium (Porter et al., 1982). Boswell (1968) dalam Porter et al (1982) mengatakan bahwa jamur R. solani sering berasosiasi pada luka (lesion) yang jaringannya rusak oleh nematoda. Nematoda berada di pinggir luka sedangkan hifa jamur mendominasi areal yang sudah berwarna gelap. Jaringan yang sudah rusak karena serangan nematoda akan ditumbuhi mikroorganisme lain dan lubang pada kulit polong akan dijadikan sebagai pintu untuk masuknya spora atau hifa jamur yang kemudian mengkolonisasi biji sehingga biji rusak (Porter et al., 1984). Terjadinya infeksi jamur pada jaringan yang sudah rusak sesuai dengan penemuan Christensen (1957) dalam Diener et al. (1982) yang menyebutkan bahwa jamur-jamur saprofit umumnya tidak menyerang polong kacang tanah kecuali polong telah rusak karena praktek budidaya, serangan nematoda, serangga, jamur patogen atau kerusakan fisiologis karena lingkungan yang ekstrim. Sedangkan skenario kedua adalah tanaman pada awalnya mempunyai masalah nutrisi/unsur hara. Porter et al., (1984) mengemukakan bahwa sebagai akibat kekurangan unsur hara kalsium atau adanya ketidakseimbangan hara kalsium, kalium dan magnesium pada daerah polong, maka polong akan terserang Rhizoctonia solani atau mikroorganisme yang lain. Hal ini sesuai dengan pengamatan Hardaningsih dan Hadi (2008) untuk polong dan biji kacang tanah yang berasal dari pertanaman musim kemarau 2007 pada lahan sawah di Kabupaten Banjarnegara. Dengan demikian adanya bukti bahwa polong dan biji yang busuk sangat mungkin merupakan hasil akhir dari adanya masalah nutrisi pada tanaman. Sankara Reddi (1988) mengemukakan bahwa berdasar banyak laporan maka rasio hara K:Ca:Mg lebih penting daripada konsentrasi masing-masing unsur untuk pertumbuhan dan hasil kacang tanah. Hal ini karena meningkatnya konsentrasi Mg akan menurunkan atau menghambat penyerapan K dan Ca. Demikian pula tingginya kandungan K di daerah polong (geocarphosphere) akan menurunkan kualitas polong apabila konsentrasi Ca di daerah polong rendah. Penelitian pada tanah geluh pasiran (sandy loam) pada kondisi tadah hujan atau berpengairan di Tirupati, India menunjukkan aplikasi unsur hara K:Ca:Mg dengan rasio 4:4:0 menghasilkan polong kacang tanah dan keuntungan lebih tinggi (Subba Rao et al. 1988 dalam Sankara Reddi, 1988). Sementara Gascho dan Davis (1994) merangkum publikasi dari banyak peneliti dan mengemukakan bahwa kandungan Ca yang rendah di daerah polong menyebabkan polong busuk karena serangan jamur tular tanah, antara lain R. solani. Mereka juga menekankan pentingnya rasio hara K:Ca:Mg. Suplai K dan Mg dalam konsentrasi tinggi akan meningkatkan insiden polong busuk. Observasi Gejala ”Gapong” pada Tanaman Kacang Tanah Pengumpulan informasi tentang gejala gapong dilakukan dengan cara datang ke lahan petani pada sekitar saat panen kacang tanah pada musim kemarau di Cirebon dan Majalengka. Pengambilan sampel polong, tanaman dan tanah di daerah polong dilakukan pada sekitar 10-20 lokasi untuk setiap kabupaten. Pengamatan nematoda pada pertanaman kacang tanah Identifikasi nematoda berdasarkan pada bentuk morfologi dan panjang tubuh stadia juvenil dan dewasa mengikuti petunjuk Mai dan Lyon (1975) dan Siddiqi (1986). Populasi masing-masing jenis nematoda/100 g contoh tanah dihitung. Pengamatan juga 6 dilakukan pada polong-polong yang diduga terserang “gapong” dengan cara mengamati gejala pada kulit polong dan bagian luar, dalam, dan biji-biji yang terbentuk. Macam dan jenis nematoda yang terdapat di dalam tanah pada pertanaman kacang tanah yang disurvei di Kab. Cirebon secara rinci dicantumkan pada Tabel 1 dan Gambar 1. Helicotylenchus dan Rotylenchulus Criconemella ornata Meloidogyne, Helicotylenchus dan Rotylenchulus Pratylenchus sp. Gambar 1. Jenis nematoda yang dominan ditemukan di tanaman kacang tanah (Foto: Y. Baliadi, 2008) Nematoda peluka akar, Pratylenchus sp. ditemukan di 16 dari 16 lokasi pengambilan contoh tanah. Di tujuh lokasi, populasi nematoda peluka akar tergolong tinggi (102-150 ekor/100 g tanah) dan berdasarkan karakter morfologi, spesies yang dominan adalah P. brachyurus. Spesies lain yang teridentifikasi adalah P. zeae dan P. penetrans. Nematoda puru akar (Meloidogyne sp.) ditemukan di 16 lokasi, di lima lokasi populasinya cukup tinggi (88-160 ekor/100 g tanah). Kacang tanah tergolong tanaman yang tahan terhadap infeksi Meloidogyne, kecuali terhadap M. arenaria dan M. hapla. Spesies nematoda puru akar yang teridentifikasi sebagian besar adalah M. graminicola, khususnya pada contoh tanah yang berasal dari lahan sawah atau pertanaman sebelumnya adalah padi sawah atau padi gogo. M. arenaria dan M. javanica di lima lokasi populasinya tinggi dan lebih dominan dibandingkan M. graminicola. Pada contoh tanah yang diamati tidak ditemukan jenis M. hapla dan M. incognita. Nematoda bentuk ginjal (Rotylenchulus sp.) hanya ditemukan di sembilan lokasi dengan kisaran populasi 2-38 ekor/100g tanah dan diduga adalah R. reniformis. Nematoda spiral (Helicotylenchus sp.) juga ditemukan di semua lokasi pengambilan contoh tanah. Populasi nematoda ini paling tinggi dengan kisaran 42-230 ekor/100 g tanah. Spesies NPT lain yang teridentifikasi adalah Macrosposthonia ornata (Criconemella ornata), Hirschmaniella oryzae, dan nematoda pemangsa cendawan dan bakteri (free-living nematode). 7 Pada umumnya akibat infeksi tanaman pada tanaman kacang tanah tidak begitu tampak, kecuali puru-puru pada akar akibat infeksi Meloidogyne sp. Walaupun demikian, pada sistem perakaran kacang tanah yang telah dicuci bersih terlihat adanya beberapa gejala berupa nekrotik dan klorosis pada beberapa polong kacang tanah. Pada bagian yang nekrotik terjadi penebalan pada kulit menyerupai kanker berwarna coklat kekuningan menyerupai tanda/gejala terserang oleh M. arenaria. Selain itu juga diamati gejala berupa perlukaan-perlukaan memanjang pada kulit polong menyerupai gejala khas serangan P. brachyurus. Tabel 1. Jenis nematoda parasit tanaman yang berasosiasi dengan sistem perakaran tanaman kacang tanah di Kab. Cirebon, 12-14 Juli 2008 Lokasi Desa Munjul, Astanajapura ** Desa Munjul, Astanajapura ** Desa Munjul, Astanajapura (Gogo-k. tanah-bera) Desa Gumilang Tonggoh, Greged (Gogo-k.tanah-bera) Desa Gumulung Lebak. Greged (Gogo-k.tanahk.tanah): A. craccivora Desa Gumilang Tonggoh, Greged (Gogo-k.tanahbera): N. viridula Desa Gumilang Tonggoh, Greged (Gogo-k.tanah-bera) Desa Gumilang Tonggoh, Greged (Gogo-k.tanah-bera) Desa Sindang kasih, Beber (Padi sawah-k.tanah-bera) Desa Sindang kasih, Beber Desa Sindang kasih, Beber (Padi gogo-k.tanah-bera) Desa Sindang kasih, Beber (Ubi jalar-k.tanah-bera) Desa Wanayasa, Beber (Padi sawah-k.tanah-bera) Desa Wanayasa, Beber (Padi sawah-k.tanah-bera) Desa Mertapada, Astanajapura (Padi gogo-k.tanah-bera) 8 Populasi nematoda/100 g tanah *) Pratylen Meloi- Helicoty Crico- Rotylen Hirschma Freechus dogyne -lenchus nemella niella living chulus 28 10 39 2 - 16 56 126 98 68 14 2 28 80 30 8 42 20 - 20 62 92 46 180 4 - 4 90 24 48 64 28 4 12 72 44 12 68 - - 16 68 144 20 184 40 28 80 124 8 128 28 20 68 99 6 10 2 18 28 6 45 132 98 42 113 12 38 18 104 102 60 202 48 - 14 97 58 92 126 18 20 74 106 40 76 204 58 16 - 84 Desa Munjul, Astanajapura Desa Munjul, Astanajapura Desa Munjul, Astanajapura 140 150 132 130 160 88 230 140 175 30 20 38 6 - 220 270 89 230 150 174 Keterangan: * ekstraksi nematode dengan metode modifikasi corong Baermann; ** pengamatan pada polong hasil panen. Sumber: A.A. Rahmianna dkk 2009 M. ornata tergolong ektoparasit migratori, dikenal dengan nama nematoda cincin (ring nematode). Nematoda ini cukup penting secara ekonomi karena diketahui sebagai penyebab ”peanut yellows” Gejala daun-daun kuning banyak dijumpai di lokasi survei (Gambar 2) dan gejala tersebut oleh petani juga dinyatakan sebagai salah satu penanda ”gapong”. Penurunan hasil dapat mencapai 50% disertai dengan gejala diskolorisasi berupa nekrotik coklat pada akar, polong, dan tangkai polong kacang tanah serta seringkali menimbulkan penyakit lebih kompleks dengan beberapa patogen tular tanah (soil borne diseases). Gambar 2. Ciri gejala “gapong” pada daun kacang tanah (Foto: Y. Baliadi, 2008) Sejauh mana peran NPT dalam kompleks penyakit gapong belum dapat diketahui bila hanya berdasarkan hasil identifikasi terhadap contoh-contoh tanah yang diperoleh dari pertanaman kacang tanah karena saat pengambilan contoh tanah bukan pada musim gapong dan pertanaman kacang tanah yang terserang gapong juga rendah. Namun demikian dapat dikemukakan bahwa NPT mungkin saja berkontribusi pada terjadinya ”gapong”. Pada tipe ”gapong” dengan pembatasan awal diduga disebabkan oleh akumulasi dampak serangan tiga jenis NPT, yaitu P. brachyurus, M. arenaria, dan M. ornata. Peran ketiganya secara tidak langsung adalah sebagai prekursor bagi cendawancendawan tular tanah seperti Rhizoctonia solani, Sclerotium rolfsii, Fusarium sp., dan Aspergillus sp., karena pengamatan lapang dan polong-polong kacang tanah contoh juga ditemukan adanya kompleks serangan cendawan tular tanah (Gambar 3). 9 Polong terserang M. arenaria Polong terserang. P. brachyurus Gambar 3. Gejala “gapong” yang diduga disebabkan oleh nematoda (Foto: Y. Baliadi, 2008) Gambar 4. Polong terserang kompleks patogen tular tanah, Sclerotium rolfsii, Rhizoctonia solani, Pythium sp. atau Fusarium sp. (Fptp: Y. Baliadi, 2008) M. graminicola dan Hirschmaniella oryzae adalah NPT padi dan pada populasi tinggi dapat menimbulkan kerusakan dan kehilangan hasil tinggi. M. graminicola dapat menggunakan kedelai sebagai inang, sehingga diduga kacang tanah juga menjadi salah satu inang pilihannya. Free-living nematode populasinya tergolong tinggi. Kelompok nematoda ini beberapa di antaranya adalah pemangsa cendawan dan bakteri yang efektif dan kehadirannya dengan populasi tinggi diduga akibat kondisi tanah yang relatif menguntungkan bagi pertumbuhan dan perkembangan cendawan-cendawan dan bakteri penghuni tanah termasuk patogen-patogen cendawan dan bakteri tular tanah (soil-borne diseases). Enam genus nematoda parasit tanaman yaitu: Meloidogyne, Pratylenchus, Rotylenchulus, Helicotylenchus, Hirschmaniella, dan Criconemella diidentifikasi pada contoh tanah yang diambil dari perakaran kacang tanah di Kab. Majalengka dengan frekuensi deteksi masing-masing genus adalah 45,9%; 45,9%; 10,81%; 21,62%; 43,24%; dan 5,40% (n=36) (Tabel 2). Genus Meloidogyne dan Pratylenchus menunjukkan frekuensi deteksi tertinggi (45,9%) dan ini berarti kedua genus tersebut ditemukan di 17 lokasi dari 37 lokasi yang diamati. Meloidogyne adalah penyebab gejala puru pada akar dan kulit polong kacang tanah yang terinfeksi, sedangkan Pratylenchus adalah penyebab gejala luka pada akar dan kulit polong kacang tanah. Genus Criconemella yang juga punya potensi tinggi menurunkan hasil kacang tanah hanya terdeteksi di dua lokasi (5,40%). Tingginya frekuensi deteksi genus Hirschmaniella (43,24%) disebabkan agroekosistem pertanaman kacang tanah sebagian besar menerapkan pola pergiliran tanam dengan padi. Genus Rotylenchulus dan Helicotylenchus merupakan nematoda penting pada sebagian besar tanaman budidaya. Pola tumpang sari kacang tanah dengan 10 padi, kedelai, kacang hijau, ubi jalar mendukung kontinuitas keberadaan keduanya di lahan pertanaman kacang tanah. Nematoda hidup bebas yang pada galibnya menggunakan mikroorganisme termasuk jamur dan bakteri sebagai sumber nutrisi dideteksi pada 34 lokasi pengambilan contoh tanah. Tingginya populasi nematoda hidup bebas mencerminkan tingkat keragaman spesies yang tinggi dan juga mencerminkan stabilitas agroekosistem yang juga tinggi. Beberapa genus nematoda hidup bebas adalah juga agens pengendali efektif terhadap patogen jamur dan bakteri. Tabel 2. Nematoda parasit dan hidup bebas (free-living nematodes) pada perakaran kacang tanah di daerah endemis “gapong” di Kab. Majalengka, Jawa Barat. Jenis dan populasi nematoda per 10 g tanah No Kecamatan 1 Majalengka 2 Majalengka 3 Majalengka 4 Cigasong 5 Cigasong 6 Cigasong 7 Sukahaji 8 Sukahaji 9 Rajagaluh 10 Rajagaluh 11 Leuwimunding 12 Leuwimunding 13 Leuwimunding 14 Leuwimunding 15 Palasah 16 Palasah 17 Palasah 18 Palasah 19 Palasah 20 Palasah 21 Cigasong 22 Cigasong 23 Sukahaji 24 Sukahaji 25 Sukahaji 26 Sukahaji 27 Rajagaluh 28 Rajagaluh 29 Palasah 30 31 32 33 34 35 36 Frekuensi deteksi (%) (N = 36 contoh tanah) Desa Munjul Munjul Sidamukti Cigasong Cigasong Cigasong Salagedang Salagedang Rajagaluh Rajagaluh Nanggerang Leuwikujang Leuwikujang Leuwikujang Sindanghaji Sindanghaji Pasir Pasir Kramat Kramat Tajur Tajur Ciekesik Ciekesik Ciekesik Ciekesik Telargedang Telargedang Kramat - Meloido Pratylen- Rotylen Helicoty Hirschm Cricone Free -gyne chus -chulus -lenchus aniella mella living 10 110 20 80 10 130 20 40 400 30 20 80 20 20 10 40 50 60 140 40 10 10 30 20 160 20 10 20 300 10 30 30 460 40 10 40 10 810 10 70 130 50 230 240 710 10 440 10 60 60 20 90 10 20 40 40 20 70 10 20 30 160 20 1950 80 90 10 910 10 130 30 40 190 110 20 80 10 180 80 650 30 10 160 20 140 2300 10 480 10 120 20 50 1050 50 40 40 10 570 17 17 4 8 16 2 34 (45,94% (45,94% (10,81 (21,62% (43,24% (5,40%) (91,89 ) ) %) ) ) %) Keterangan: * ekstraksi nematoda dengan metode modifikasi corong Baermann Sumber: A. A. Rahmianna dkk, 2009 11 Pengamatan polong kacang tanah terserang ”Gapong” Berdasarkan pengamatan pada polong kacang tanah, maka gapong dapat diklasifikasikan ke dalam empat kelompok (Gambar 5), yaitu: 1. Polong terbentuk sempurna, biji tidak terbentuk (kopong) 2. Polong terbentuk sempurna, 1-2 biji tidak terbentuk sempurna 3. Polong terbentuk, ada gejala nekrotik dan klorosis, biji pada bagian kulit polong bergejala nekrotik berubah warna 4. Polong terbentuk, ada lubang (± 1-2 mm), biji tergerek, ada bekas kotoran 5. Tanaman tumbuh subur, daun terserang mites, polong tidak terbentuk atau jarang Gambar 5. Variasi gejala ”gapong” pada kacang tanah Hasil pengamatan pada polong-polong yang terindikasi ”gapong” menunjukkan bahwa gejala gapong variasinya luas, sebagaimana cara penyebutan oleh masyarakat tani, yaitu kemprong, kempong, kopong, cenos. Gejala ”gapong” berupa polong hampa atau keriput serupa dan banyak dijumpai di sentra-sentra pertanaman kacang tanah lain di luar Cirebon. Pengamatan lebih diarahkan pada ”gapong” yang kulit polongnya terdapat luka dan lubang. Hasil pengamatan terhadap polong-polong dengan gejala-gejala tersebut membuktikan bahwa gejala”gapong” terdapat pada semua ukuran polong (dari polong muda hingga tua, berukuran kecil hingga besar). Bila polong dibuka ditemukan bekasbekas liang gerekan larva serangga. Hasil gerekan larva menyisakan bekas-bekas kotoran bulat kecil berukuran seragam. Lubang berukuran 2-3 mm pada kulit polong adalah jalan keluar larva saat melanjutkan stadia pupa di dalam tanah. Diduga imago serangga meletakkan telur sesaat sebelum ginofor akan masuk ke dalam tanah. Telur mungkin menetas sebelum atau sesudah ginofor masuk ke dalam tanah. Larva yang menetas masuk ke dalam kulit polong. Tingkat keparahan gejala gerekan bergantung pada umur dan perkembangan polong kacang tanah. Pertanyaan menarik: apakah larva di dalam polong kacang tanah dapat berpindah polong di dalam 12 tanah? mengingat polong kacang tanah saling berdekatan dan dalam satu tanaman ditemukan lebih dari 2-3 polong yang menunjukkan gejala ”gapong”. Berdasarkan pada tipe gerekan dan mekanisme serangan diduga serangga yang menyerang adalah Etiella sp (Gambar 6). Pada lokasi pengambilan contoh tanah diamati adanya pola tanam tumpangsari dengan kedelai atau pada satu hamparan dapat ditemukan kedelai ditanam bersamaan dengan kacang tanah. Selain kedelai, Etiella sp. juga menggunakan tanaman orok-orok (Crotalaria sp.) sebagai tanaman inangnya. Dua jenis Crotalaria sp. banyak ditemukan di lokasi survei (Gambar 7). Imago E. zinckenella Imago E. hobsoni Telur E. zinckenella Gambar 6. Penggerek polong, Etiella sp.(Foto: Y. Baliadi 2008) Kedelai Crotalaria sp. Polong Crotalaria sp. Crotalaria sp. Gambar 7. Tanaman inang hama penggerek polong, Etiella sp. (Foto: Y. Baliadi, 2008) Pengamatan tanaman kacang tanah terserang ”Gapong” Pengambilan sampel tanaman yang dilaksanakan di Kabupaten Majalengka pada musim panen September 2008 menunjukkan bahwa dari 90 tanaman yang diambil pada 16 lokasi di empat kecamatan, sebanyak 57,7% dari jumlah batang berada pada kondisi kaku, selebihnya (42,3%) berada pada kondisi sehat yang ditampakkan dengan batang yang lemas. Ternyata pada batang yang lemas, terdapat lebih banyak polong sehat, sebaliknya pada batang yang kaku terdapat polong tidak sehat, polong berlubang, polong tidak jadi, polong terserang gapong dan puru akar dalam jumlah yang lebih banyak (Tabel 3). 13 Tabel 3. Ragam kualitas polong pada batang yang kaku dan batang yang lemas tanaman kacang tanah dari Kabupaten Majalengka. MK II 2008. Batang Jumlah Polong Polong Polong Pol muda Ginofor Polong Gapong Polong rusak berpuru Batang sehat hitam berlubang berlubang (%) (%) (%) (%) (%) (%) (%) (%) (%) Kaku 57,7 32,5 73,2 96 100 60 63 84,5 73,3 Lemas 42,3 67,5 26,8 4 0 40 37 15,5 26,7 Sumber: A.A. Rahmianna dkk, 2009 Pengamatan yang lebih rinci pada semua polong yang ada (sebanyak 945 polong) pada semua tanaman sampel yang diperoleh menunjukkan adanya ragam kondisi fisik biji pada beragam kondisi fisik polong (Tabel 4). Tabel 4. Ragam kualitas biji pada polong tanaman kacang tanah dari Kab. Majalengka. MK II 2008. Kondisi fisik polong Biji sehat (%) Polong sehat Polong ber-puru Polong ber-bintik hitam Gapong Rusak mekanis Polong berlubang Polong berjamur 39,2 8,9 5,4 1,2 Biji coklat (%) 11,1 4,8 10,2 Biji ngecap (%) Biji rusak (%) Biji berjamur (%) 1,8 9,9 1,5 4,6 1,5 Sumber: A.A. Rahmianna dkk, 2009 Ternyata pada polong yang sehat terdapat pula biji yang sudah berubah warna menjadi coklat. Demikian pula pada polong yang tidak sehat (misal pada polong yang berpuru, berbintik hitam dan yang berlubang) selain menghasilkan biji yang sudah berubah warna dan penampilan (ngecap: kulit ari biji berwarna coklat dan berlendir), juga terdapat biji yang masih sehat. Keadaan ini mendukung hasil pengamatan sampel tanaman dan polong yang berasal dari Kab. Cirebon yaitu adanya ragam kondisi fisik biji dan polong. Pemahaman petani tentang “gapong” Pengumpulan informasi dari beragam sumber (petani, penangkar, penyuluh, pedagang) tentang penyebab, ciri-ciri dan upaya pengendalian gejala “gapong” terangkum pada tabel-tabel berikut. 14 Tabel 6. Hasil survei tentang ciri-ciri gejala gapong. MT 2008. Daun dan batang Majalengka Tanaman kehitam-hitaman dan kuning Daun hitam/berem Daun dan batang agak keras--keras, batang tegak, warna hijau Batang keras, daun merah/kuning Daun kuning/berem/merah Cirebon Tanaman hijau, kerdil, tidak mekar Daun merah, keropos Polong dan biji Polong hitam seperti terbakar, isi kosong Biji hitam, terbakar, kempros Polong garis-garis hitam (disebut tutung), kulit polong tebal Polong bagus, isi kosong, polong hitam, ada lubang di polong Bintik-bintik hitam pada polong Tanpa biji atau polong besar biji kecil Polong keriput (peot) Polong keropos Polong berlubang kecil besar, coklat Polong tidak penuh bahkan kosong Polong utuh/berlubang tapi kosong Sumber: A.A. Rahmianna dkk, 2009 Tabel 7. Hasil survei tentang penyebab terjadinya gejala gapong. MT 2008. Majalengka Tanaman MK II, tanam Juni-Juli Tanah berpasir, bisa tidak panen. Di tanah liat/aluvial tidak terlalu parah Hawa panas diairi Pengaruh pengairan (MK II): waktu pengisian polong kurang air disiram siang hari hampir semua terserang polong bagus tapi isinya keriput kecil. Di polong ada titik hitam Waktu pembijian kena air, jika kekurangan air gapong banyak, kalau teratur tidak ada Siang hari diairi tanah terlalu panas (tanah seperti api disiram air) Tanam MK II, polong muda diairi terlalu banyak jadi gapong. Seharusnya polong muda dibiarkan sampai berbiji baru diairi Tanah abang pengairan di siang hari (kalo malam baik) Kurang air/pengairan siang hari Terlalu banyak air Cirebon Bibit muda Tanam dilakukan pada saat tanah masih panas, siang hari Pemberian urea terlalu banyak Tanaman MK yang kurang air tanah nelo hama masuk dan menyebabkan kemprong Tanam bulan Mei-Juli (hal ini karena cara pengairan yang terlalu lama) Keadaan kering lalu kena hujan di awal bunga Air kurang (susah diatur) Cendawan kebersihan Berbunga terlalu jenuh, layu Sumber: A.A. Rahmianna dkk, 2009 15 Tabel 8. Hasil survei tentang upaya pembenahan gejala gapong. MT 2008. Majalengka Jangan mengairi di siang hari Pengairan dilakukan pada jam 2, 3,4 pagi hawa masihh dingin Setiap pagi digembor Jangan diberi pupuk urea Cirebon Abu dapur Jerami ditambah garam dan air Sumber: A.A. Rahmianna dkk, 2009 Petani Majalengka memiliki pengalaman yang panjang mengenai Gapong atau tutung. Petani setempat menuturkan gapong pada kacang tanah (suuk)banyak muncul di lahan sawah dengan jenis tanah berpasir pada pertanaman kacang tanah yang ditanam pada Juni-Juli di MK II. Hal ini didukung oleh perntayaan Semangun (2004) bahwa musim tanam sangat mempengaruhi timbulnya gejala ini. Kacang tanah yang ditanam pada musim kemarau sangat peka terhadap serangan gapong terlebih jika masih turun hujan pada fase generatif. Pertanaman kacang tanah di lahan dengan jenis tanah liat/aluvial serangannya tidak parah, sedangkan pada jenis tanah berpasir hampir tidak panen (puso). Yang dimaksud gapong adalah bila urat-urat hitam tampak di kulit polong, berwarna hitam seperti bekas kena api (terbakar), dalam polong tidak ada biji karena hangus dan bila ada bijinya kecil dan keriput. Kondisi polong tersebut diistilahkan ”kempros”. Istilah ”leob” adalah pada kondisi panas disiang hari lahan kacang tanah diairi dan memunculkan gejala gapong dengan ciri-ciri seperti disiram dengan air panas. Pengamatan pada polong kacang tanah dengan gejala khas gapong juga ditemukan adanya lubang dan bercak kehitaman. Adanya lubang kecil pada polong kacang tanah salah satunya disebabkan oleh serangan larva penggerek polong (Etiella sp.) sedangkan gejala kehitaman dapat disebabkan oleh serangan nematoda atau jamur patogenik. Gejala gapong pada bagian tanaman lain adalah batang berubah warna menjadi agak kehitaman, batang agak tegak, daun agak keras dan warna daun kekuningan. Diding Casdi (PPL, per comm.) menginformasikan pada intensitas serangan Cercospora sp. tinggi seringkali disertai dengan pemunculan gejala gapong. Pembuktian di lapang menunjukkan bahwa 30-40% indikasi tersebut benar. Petani setempat telah memahami fenomena tersebut, namun sulit dihindari karena jadual pengairan bertepatan saat siang hari. Oleh karena itu di MK II hampir seluruh pertanaman kacang tanah akan terdapat serangan gapong dengan tingkat serangan beragam antar lokasi. Selama tahun 2008 minat bertanam kacang tanah turun karena sejak April-Mei sudah tidak ada air hujan. Teknologi pengendalian terhadap gapong tidak ada. Upaya pengendalian gapong di Majalengka diarahkan pada tindakan preventif, yakni bagaimana agar gejala gapong tidak muncul. Tindakan pencegahan yang diterapkan antara lain: (1) tidak mengairi disiang hari. Teknik serupa juga digunakan oleh petani untuk mengendalikan hama lanas pada ubi jalar. Petani menjelaskan berdasarkan pranata mangsa, MK II adalah sat panas-panasnya tanah dimana disiang hari seperti ada uap asap. Pengairan dilakukan di pagi (< pk. 10.00) dan sore hari (<pk 15.00), (2) pergiliran tanaman. Petani mencoba menanam mentimun (non palawija) tahun 2007 dan pertanaman kacang tanah pada tahun 2008 tumbuh baik. Petani setempat mengistilahkan “unjuk gigi waktu kecil, menangis di waktu besar”, (3) menunda pengairan ± 2 minggu saat pembentukan polong (istilah petani sudah keluar kacang). Penangkar benih kacang 16 tanah menyatakan teknologi tersebut efektif. Pemahaman “tidak terlalu ambisi kepada air” salah satu nya adalah tindakan penundaan pengairan tersebut. Alternatif Cara Pengendalian Gejala ”Gapong” Faktor penyebab gejala “gapong” yang berupa polong berlubang, busuk, berbintik hitam, luka mekanis atau berpuru telah diketahui dan bisa dikendalikan dengan aplikasi pestisida maupun tindakan agronomis lainnya. Sedangkan gejala gapong yang mengacu pada polong rapuh, kulit polong hitam seperti terbakar, kulit menipis, berserabut, rapuh, cracking masih belum diketahui penyebabnya. Berdasarkan penuturan narasumbernarasumber yang berada di lapang, hal ini karena pengairan yang dilakukan pada siang hari pada saat pembentukan polong/polong muda pada tanah berpasir dengan suhu yang tinggi (Rahmianna dkk 2008). Cara pengendalian gejala gapong tersebut belum ditemukan dari penelitian ini. Oleh karena itu disarankan perlunya dilakukan penelitian di daerah endemik “Gapong” untuk mengetahui secara detail penyebab dan kemungkinan cara menanggulanginya. Pengelolaan unsur hara Kegiatan dilakukan pada lokasi endemik gejala “gapong” di desa Pasir, kecamatan Palasah, kab. Majalengka pada musim tanam kacang tanah tahun 2009. Secara ringkas dapat dikemukakan bahwa gejala “gapong” sangat parah pada percobaan ini. Kualitas polong yang diamati dari 1 kg polong yang diambil pada setiap petak perlakuan menunjukkan bahwa pengaruh pengelolaan hara nyata terhadap Persen bobot polong baik yang terdiri atas polong berukuran besar dan kecil (nisbah bobot polong baik yang berukuran normal/berat polong total) dan persen bobot polong rusak (nisbah bobot polong rusak/bobot polong total). Pemupukan lengkap atau tanpa pemupukan sama sekali memberikan kualitas polong paling baik (% bobot polong baik tertinggi dan % bobot polong rusak paling rendah). Ditambahkan bahwa hara kalsium (digunakan kapur petanian) dan mulsa jerami, masing-masing sangat mempengaruhi kualitas polong yaitu menyebabkan polong rusak paling tinggi (Gambar 8 B). Sedangkan pengamatan pada 10 tanaman contoh menunjukkan bahwa hara kalsium, nitrogen dan kalium, masing-masing bertanggungjawab pada proses pengisian polong. Hal ini ditunjukkan dengan tingginya persen jumlah polong hampa pada perlakuan tanpa unsur-unsur hara tersebut (Gambar 8 A). (A) Polong rusak Polong besar O ul sa L -m -K -B L L -P Polong kecil LN O ul sa L -m -K L -B -P L LN Polong isi L Polong hampa 100% 90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0% Le ng ka p (L Ta ) np a pu pu k L -C a Polong rusak L Le ng ka p (L Ta ) np a pu pu k L -C a 100% 90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0% (B) Gambar 8. Persen jumlah polong isi, hampa dan rusak per tanaman (A) dan persen berat polong kecil baik, besar baik dan polong rusak dari 1 kg polong (B) pada delapan perlakuan (Sumber N: 50 kg Urea/ha; Sumber P: 100 kg SP-36; Sumber K: 50 kg KCl; Sumber Ca: 500 kg kapur pertanian, Pupuk kandang 10 t/ha, Jerami 10 t/ha) 17 Penanaman genotipe kacang tanah yang sesuai 100% 80% Polong rusak 60% Polong hampa 40% Polong isi 20% Polong rusak Polong besar Polong kecil Tu ra ng ga Si ng a Ka nc J e il ra pa h Bi so n G H 16 JP 72 JP 26 JP 58 Lo ka l Tu ra ng ga Si ng a Ka nc J e il ra pa h Bi so n G H 16 JP 72 JP 26 JP 58 Lo ka l 0% 100% 90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0% (A) (B) Gambar 9. Persen jumlah polong isi, hampa dan rusak per tanaman (A) dan persen berat polong kecil baik, besar baik dan polong rusak dari 1 kg polong (B) pada 10 genotipe. Sebanyak 10 genotipe kacang tanah dengan beragam karakter ditanam dalam satu hamparan dengan kegiatan pengelolaan hara. Karakter-karakter tersebut adalah berkulit polong tebal (Turangga dan Singa), berkulit polong sedang (Kancil), berkulit polong tipis (Bison dan Jerapah), toleran kekeringan pada fase generatif (JP 72, JP 58), tahan bercak dan karat daun (GH 16, JP 26) dan varietas lokal. Dari polong dan keragaan tanaman yang dihasilkan ternyata tanda-tanda gejala”gapong” tidak separah percobaan pengelolaan hara. Dengan demikian persen berat polong rusak atau persen jumlah polong hampa juga rendah (Gambar 9 A dan B). Hal ini diperkuat oleh pernyataan para petani di desa tersebut, bahwa “gapong” terjadi pada lokasi-lokasi tertentu. Hal ini tidak kami perkirakan sebelumnya. Pengendalian hama polong dan penyakit tanaman D, Et ,N em T, B/ K -S D Polong kecil L D, Et ,N em D T, B/ K -S L (A) LHm -E t L LHm -S T LNe m L Le ng ka p (L Ta ) np a B/ K 0% Polong besar LHm 20% Polong rusak -E t Polong isi L Polong hampa 40% LHm Polong rusak 60% 100% 90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0% L -S T LNe m 80% Le ng ka p (L ) Ta np a B/ K 100% (B) Gambar 10. Persen jumlah polong isi, hampa dan rusak per tanaman (A) dan persen berat polong kecil baik, besar baik dan polong rusak dari 1 kg polong (B) pada delapan perlakuan. Lokasi yang dipakai sebagai tempat percobaan ternyata juga mempunyai sejarah “gapong” yang tidak parah. Dengan demikian pengaruh perlakuan terhadap kualitas fisik polong juga tidak begitu nyata. Namun demikian dapat disampaikan di sini bahwa tanaman yang tidak mendapat perlakuan benih dengan fungisida Captan atau tanaman tidak dikendalikan penyakit daunnya (karat dan bercak daun) dan keduanya menghasilkan persen bobot polong rusak paling tinggi (Gambar 10 B). Dengan demikian dapat diinformasikan bahwa seed treatment dan pengendalian panyakit bercak dan karat daun berpengaruh pada kualitas polong. Pengamatan jumlah polong isi dan hampa pada tanaman tanaman contoh juga mendukung hal ini (Gambar 10 A). 18 KESIMPULAN Berdasarkan hasil yang diperoleh maka dapat disimpulkan bahwa: 1. Faktor penyebab gejala “gapong” yang berupa polong berlubang, busuk, berbintik hitam, luka mekanis atau berpuru telah diketahui dan bisa dikendalikan dengan aplikasi pestisida maupun tindakan agronomis lainnya. 2. Sedangkan gejala gapong yang mengacu pada polong rapuh, kulit polong hitam seperti terbkar, kulit menipis, berserabut, dan rapuh masih belum diketahui penyebabnya. Cara pengendalian gejala gapong tersebut belum ditemukan dari penelitian ini. 3. Dugaan sementara, ketidakseimbangan unsur hara utama N, P, K, dan Ca menjadi penyebab mudahnya polong diserang hama atau penyakit. Dengan demikian keseimbangan hara di dalam tanah harus dipertahankan. 4. Polong yang menempel pada tanaman yang diserang penyakit daun dan atau penyakit tular tanah lebih mudah terkena “gapong” 5. Saran: perlu dilakukan penelitian di daerah endemik “Gapong” untuk mengetahui secara detail penyebab dan kemungkinan cara menanggulanginya, dengan memanfaatkan kearifan lokal. DAFTAR PUSTAKA Diener, U.L., R.E. pettit and R.J. Cole. 1982. Aflatoxins and other mycotoxins in peanuts. P. 486-519. In. H.E. Pattee and C.T. Young. (Eds.). Peanut Science and Technology. Amer. Peanut Res. Educ.Soc., Inc., Texas. Gascho, G.J., and J.G. Davis. 1988. Mineral nutrition. P. 214-254. In. J. Smartt (Ed.). The Groundnut Crop. Chapman & Hall. London. Hardaningsih, S., dan M. Hadi. 2008. Penyebab penyakit bercak polong dan hawar batang pada tanaman kacang tanah di Kabupaten Banjarnegara. Hal. 386-391. Dalam. A. Harsono (peny.). Inovasi Teknologi Kacang-kacangan dan Umbi-umbian Mendukung Kemandirian Pangan dan Kecukupan Energi. Prosiding Seminar di Balitkabi pada tanggal 9 November 2007. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Porter, D.M., D.H. Smith, and R.Rodriguez-Kabana. 1982. Peanut plant diseases. P. 326-410. In. H.E. Pattee and C.T. Young. (Eds.). Peanut Science and Technology. Amer. Peanut Res. Educ.Soc., Inc., Texas. Porter, D.M., D.H. Smith, and R.Rodriguez-Kabana. 1984. Compendium of Peanut Diseases. The American Phytopathological Soc. St. Paul, Minnesota. 73 pp. Sankara Reddi, G.H., 1988. Cultivation, storage and marketing. P. 318-383. In. P.S. Reddy (Ed.). Groundnut. Publications and Information Division Indian Council of Agricultural Research. New Delhi. Semangun, H., 2004. Penyakit-penyakit tanaman Pangan di Indonesia. Gadjah Mada Univ., Press. Yogyakarta. p. 152-154. 19 Somaatmadja, S. 1985. Kacang Tanah (Arachis hypogaea L.). C.V. Yasaguna. Jakarta. 48 hlm. Subrahmanyam, P., and V. Ravindranath. 1988. Fungal and nematode diseases. P. 453507. In. P.S. Reddy (Ed.). Groundnut. Publications and Information Division Indian Council of Agricultural Research. New Delhi. Sutarto, Ig.,H., Harnoto dan S.A. Rais. 1988. Kacang Tanah. Buletin Teknik No.2. Balai Penelitian Tanaman Pangan Bogor. Bogor. 47 hlm. 20