EFEK POSISI BIJI MUDA DALAM POLONG TERHADAP

advertisement
214
EFEK POSISI BIJI MUDA DALAM POLONG TERHADAP PERTUMBUHAN
IN-VITRO PLANTLET KEDELAI
Oleh: Teguh Wijayanto1), Gusti Ray Sadimantara1), dan Nurdin2)
ABSTRACT
One main problem of soybean breeding program is a long generative period for seed maturity.
The culture of immature embryo offers an alternative solution for shortening the soybean generative
period. This research aimed to know the growth of soybean plantlets originated from in vitro-cultured
immature embryo of different seed position in the pod. This research was conducted at the
Agrotechnology Laboratory, Faculty of Agriculture, University of Halu Oleo. The experiment used the
randomized complete design (RCD) of a single experimental treatment of seed position in the pod (L),
with 3 (three) treatment levels, namely seed at nearest position (dorsal) (L1), seed in the middle
position (middle) (L2), and seed at farthest position (axial) (L3). The experiment data were analyzed
descriptively. The research results showed that the treatment of seed position in the pod gave no real
effect on all observed variables. However, the nearest seed position (L1) in general gave slightly better
plantlet growth.
Keywords: anthesis, breeding cycle, pod age, soybean immature embryos
PENDAHULUAN
Kedelai (Glycine max (L.) Merill)
merupakan tanaman pangan penting
Indonesia. Akan tetapi dalam memproduksi
benih unggul pemulia dihadapkan dengan
persoalan lamanya periode pematangan
(fase generatif) biji kedelai, sehingga
memerlukan waktu yang lama untuk
periode perbanyakan atau siklus pemuliaan
berikutnya. Menurut Purnawati dan Hidajat
(1994), kedelai di Indonesia mulai berbunga
rata-rata sekitar umur 35 hari dan baru
matang rata-rata sekitar umur 90 hari,
sehingga dengan kata lain fase generatifnya
sekitar 55 hari.
Untuk
memecahkan
masalah
lamanya waktu pematangan biji dan
penanaman kembali benih kedelai untuk
generasi berikutnya dalam kegiatan
pemuliaan
tanaman
kedelai,
maka
diperlukan
suatu
strategi
untuk
mempersingkat siklus generatif tanaman
kedelai. Kultur embrio muda (immature)
adalah satu teknik kultur jaringan dengan
menumbuhkan embrio muda secara in vitro
pada kondisi aseptik. Keberhasilan teknik
kultur embrio ditentukan oleh beberapa
faktor, diantaranya adalah umur biji muda
1
(embrio) (Kosmiatin dan Mariska, 2005).
Selain umur polong, letak/posisi biji dalam
polong
juga
diduga
mempengaruhi
pertumbuhan plantlet kedelai dalam tabung
kultur.
Croser et al. (2010) menyatakan bahwa
pertumbuhan embrio muda, selain
dipengaruhi oleh faktor eksternal seperti
medium, suhu, dan cahaya, di duga juga
dipengaruhi oleh umur polong dan letak
biji dalam polong.
Di dalam polong kedelai biasanya
terdapat biji yang berjumlah 3 buah
(Irwan, 2006). Secara umum biji yang
berada di bagian pangkal polong (dorsal)
diduga akan mendapatkan asupan
asimilat lebih banyak dibanding biji
bagian tengah (middle) dan ujung
(aksial). Distribusi asimilat dari daun ke
tongkol dan bulir pada tanaman jagung
dan
padi
terjadi
variasi
yang
mengakibatkan perbedaan kadar nutrisi
pada biji yang dipengaruhi letak biji pada
tongkol dan bulir (Mugnisjah dan
Setiawan, 1990). Oleh sebab itu, untuk
mendapatkan jawaban apakah ada
pengaruh
letak
biji
terhadap
pertumbuhan embrio muda kedelai maka
perlu dilakukan penelitian tentang
AGRIPLUS,
Volume
23Pertanian
Nomor :Universitas
03 September
2013,
ISSN 0854-0128
)Staf Pengajar Jurusan
Agroteknologi
Fakultas
Halu Oleo,
Kendari
2)
Alumni Jurusan Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas Halu Oleo, Kendari
214
215
respon pertumbuhan embrio muda
kedelai secara in vitro pada variasi letak
biji.
METODE PENELITIAN
Rancangan Penelitian
Penelitian
dilaksanakan
di
laboratorium
yang
disusun
dengan
Rancangan Acak Lengkap (RAL), dengan
perlakuan letak/posisi biji, yang terdiri atas:
biji pada bagian pangkal polong (L1), biji
pada bagian tengah polong (L2), dan biji
pada bagian ujung polong (L3). Setiap
perlakuan diulang 15 kali, dengan demikian
didapatkan 45 unit percobaan dimana setiap
unit terdiri dari dua sampel. Data yang
diambil hanya pada tanaman yang tumbuh
baik (bebas kontaminasi).
Penanaman dan Pemeliharaan tanaman
kedelai sebagai sumber eksplan
Media tanam berupa campuran tanah
dan pupuk kandang dengan perbandingan
volume 3 : 1 digunakan sebagai media
tumbuh tanaman kedelai di dalam pot
ukuran 30 x 40 cm dalam glasshouse. Setiap
pot ditanam sebanyak tiga benih kedelai dan
apabila sudah tumbuh hanya dua tanaman
terbaik yang dipertahankan.
Tanaman dipupuk sekitar 2 minggu
setelah tanam dan setiap 2 minggu
berikutnya, sesuai rekomendasi dosis
pemupukan.
Pembuatan media kultur
Media yang digunakan untuk kultur
embrio muda kedelai ini adalah kombinasi
medium padat B5 dan medium cair L6KK
(Croser et al., 2010; Wijayanto et al., 2012).
Medium B5 pH 5,5 (sebanyak 5 mL)
dimasukkan ke tabung kontainer ukuran 30
mL, disterilkan dengan autoclave, kemudian
setelah sterilisasi setiap tabung dibiarkan
dingin di suhu ruang, dengan posisi
dimiringkan
(45o)
sampai
medium
memadat. Medium cair L6KK diberikan (1
mL) ditambahkan pada medium padat B5
setelah embrio muda nantinya ditanam.
Pemanenan polong muda dan sterilisasi
Polong
yang
belum
matang
(immature) dipanen secara hati-hati pada
sekitar umur 21 hari setelah pembungaan.
Prosedur sterilisasi standar (Croser
et al., 2010; Wijayanto, et al., 2012)
diterapkan untuk polong kedelai. Polong
dicuci dengan alkohol 70% selama 5 menit,
kemudian dengan larutan sodium hipoklorit
2.5 % + 1 tetes Tween-20 selama 5 menit
dengan pengocokan. Tahap akhir, polong
dibilas 3 kali dengan aquades steril selama
masing-masing 5 menit,
kemudian
ditiriskan dan dikeringanginkan pada kertas
saring steril sekitar 15 menit.
Pengambilan biji muda dari polong dan
Isolasi immature embrio
Polong yang sudah steril dijepit
dengan pinset pada posisi horizontal lalu
dipotong melintang pada pertengahan antara
biji bagian pangkal dengan biji bagian
tengah, pemotongan juga dilakukan antara
biji bagian tengah dengan biji bagian ujung.
Agar lebih teratur pembedahan biji
dilakukan pada biji bagian pangkal terlebih
dahulu. Biji pangkal dijepit dengan pinset
dengan posisi vertikal, ujung mata pisau
bedah diletakkan pada bagian bawah kulit
polong (titik temu antara kulit) kemudian
pisau ditekan dengan pelan hingga kulit
polong mulai terbelah. Setelah itu, kulit
polong yang sebelah ditekan dengan pisau
bedah dan kulit yang sebelahnya lagi ditarik
dengan pinset sehingga kulit polong
terbelah.
Prosedur isolasi embrio dilakukan
secara aseptik di dalam laminar air flow
cabinet
dengan
bantuan
mikroskop
disecting, seperti yang dilakukan Croser et
al. (2010) dan Wijayanto et al. (2012).
Isolasi embrio dari biji dilakukan dengan
mengupas
selaput
benih
dengan
menggunakan pisau bedah, kemudian biji
dijepit dengan pinset dilanjutkan dengan
membelah kotiledon. Setelah kotiledon
terpisah
embrio
diisolasi
dengan
menggunakan ujung pisau lalu embrio
ditanam pada medium padat B5 dalam
tabung polikarbonat 30 mL, yang telah
disiapkan.
AGRIPLUS, Volume 23 Nomor : 03 September 2013, ISSN 0854-0128
216
Kultur embrio muda
Satu embrio ditanam dalam satu
tabung yang berisi medium B5 padat (5
mL), selanjutnya ditambahkan medium
L6KK cair (1 mL) pada suhu sekitar 20o C,
seperti diuraikan dalam Croser et al. (2010).
Embrio yang telah ditanam dalam tabung
polikarbonat diletakkan pada rak kultur di
ruang kultur. Suhu ruangan kultur sekitar
22-25oC, dengan penyinaran lampu
influorescens (12 jam terang dan 12 jam
gelap).
Pengamatan dan Analisis Data
Pengamatan variabel pertumbuhan
dilakukan setiap 5 hari selama 20 hari.
Variabel penelitian diamati adalah sebagai
berikut:
1. Tinggi plantlet (mm): tinggi plantlet
diukur mulai dasar hipokotil bawah
sampai titik tumbuh. Plantlet diukur
setiap lima hari.
2. Jumlah daun (helai): jumlah daun
plantlet yang telah membuka penuh,
diukur setiap lima hari.
3. Jumlah akar (buah): jumlah akar yang
tumbuh diukur setiap lima hari
4. Panjang akar (mm): panjang akar diukur
pada umur 20 HST (pengamatan
terakhir). Akar yang diukur adalah akar
terpanjang.
Data pengamatan dianalisis secara
deskriptif. Data yang dianalisis bersumber
dari unit (plantlet) bebas kontaminan.
Perlakuan untuk variabel tinggi plantlet,
jumlah daun, jumlah akar, dan panjang akar
dihitung rata-rata dan standar deviasinya.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
penelitian
menunjukkan
adanya perbedaan persentase embrio
berkecambah (data tidak ditampilkan) pada
berbagai perlakuan letak/posisi biji.
Perbedaan ini dapat disebabkan oleh ukuran
embrio yang berbeda dan sangat kecil. Hal
ini sejalan dengan pernyataan Kosmiatin
dan Mariska (2005) bahwa penanaman
embrio yang masih sangat muda
menghadapi kendala teknis sulitnya
mengisolasi embrio dari polong karena
ukuran embrio yang sangat kecil.
Selama
masa
kultur,
terjadi
kontaminasi pada beberapa tabung kultur,
dan menyisakan sekitar 10 ulangan per
perlakuan. Kesepuluh ulangan ini yang
selanjutnya digunakan sebagai objek
pengamatan. Data rata-rata pertumbuhan
plantlet kedelai pada berbagai letak biji
disajikan pada Tabel 1.
Berdasarkan rekapitulasi nilai ratarata pertumbuhan (Tabel 1), secara umum
terlihat bahwa perlakuan letak biji dalam
polong (L) tidak memberikan keragaman
nilai rata-rata pertumbuhan plantlet yang
cukup tinggi, meskipun perlakuan L1
cenderung sedikit lebih baik dibanding
perlakuan L2 dan L3. Setelah dilakukan uji
t, tidak terdapat perbedaan yang nyata antar
taraf perlakuan letak biji (L).
Embrio berasal dari peleburan gamet
jantan dan gamet betina yang berkembang
menjadi zigot (pro-embrio). Seiring dengan
perkembangan biji (embrio) dengan tahapan
zigot, globular, hati (heart), kotiledon dan
matang tentu ada proses pertumbuhan
embrio (Tilton dan Russel, 1984). Menurut
Wattimena et al., (2011), kejadian yang
menentukan dalam perkembangan embrio
adalah pembentukan meristem apikal pucuk
dan meristem apikal akar. Organisasi dari
meristem apikal akar dapat dilihat mulai
dari awal tahap hati, saat hipokotil
memanjang dan kotiledon mulai terbentuk,
sedangkan pembentukan meristem apikal
pucuk baru mulai kelihatan pada saat akhir
tahap hati, setelah meristem apikal akar
terbentuk. Dengan demikian, embrio tahap
pada akhir hati sudah bisa ditumbuhkan
secara in vitro, namun yang menjadi
masalah adalah komposisi medium, ukuran
embrio sangat kecil (0,5 mm), sebagaimana
juga dilaporkan oleh Tilton dan Russel
(1984), dan lembek sehingga mudah rusak.
AGRIPLUS, Volume 23 Nomor : 03 September 2013, ISSN 0854-0128
217
Tabel 1.
No
1
2
3
4
Rekapitulasi nilai rata-rata pertumbuhan plantlet embrio muda kedelai pada variasi
letak biji
Variabel
Tinggi Plantlet
5 HST
10 HST
15 HST
20 HST
Jumlah Daun
15 HST
20 HST
Jumlah Akar
5 HST
10 HST
15 HST
20 HST
Panjang Akar
20 HST
L1
20±9,41
36±8,22
40,8±5,47
43±4,5
Letak Biji
L2
18,7±9,71
34,9±4,44
39,7±6,41
41,9±4,09
L3
18,7±9,02
34,7±7,70
40,8±5,41
42,6±4,6
1,33±1
2,0±0
1,1±0,99
1,9±0,32
1,1±0,99
2,1±0,32
1,8±0,67
11±5,17
19,1±3,89
43±4,5
1,7±0,67
10±5,08
18,1±4,65
42,2±4,8
1,9±0,74
9,9±4,91
17,7±3,97
42,7±4,74
69,8±22,52
68,2±23,37
68,6±23,21
A
B
C
Gambar 1. Tahapan isolasi benih muda (A) dan kultur immature embrio (B), sampai
dihasilkan plantlet kedelai (C) (umur 30 HST), pada variasi letak biji dalam
polong
Menurut Tilton dan Russel (1984),
sitokinin mengontrol perkecambahan biji,
mempengaruhi
transfer
auksin
dan
memungkinkan bekerjanya giberelin dengan
menghilangkan
penghambat
tumbuh.
Menurut Kartina (1993), respon auksin
dalam jaringan dipengaruhi oleh kadar
giberelin dalam jaringan.
Selanjutnya
Christianingsih (2008) menyatakan bahwa
peranan giberelin dalam pemanjangan sel
adalah menginduksi pembentukan enzim
hidrolase dan proteolase yang diharapkan
dapat melepaskan asam amino triptofan
sebagai prekursor auksin, sehingga kadar
auksin meningkat. Dengan meningkatnya
auksin dan dihambatnya asam absisat
AGRIPLUS, Volume 23 Nomor : 03 September 2013, ISSN 0854-0128
218
(ABA) maka dormansi embrio akan pecah,
sehingga embrio dapat berkecambah dan
tumbuh.
Hasil
penelitian
menunjukkan
bahwa benih muda kedelai, baik benih yang
letaknya di pangkal, tengah, maupun ujung
polong, dapat tumbuh dengan baik pada
medium kultur embrio (Gambar 1). Namun,
perlakuan letak biji (L) dalam polong
memberikan tingkat keragaman yang rendah
terhadap nilai rata-rata pertumbuhan
plantlet kedelai. Hal ini diduga karena
translokasi fotosintat dari tanaman induk
(daun dan polong) ke embrio yang sedang
berkembang
dalam
polong
tidak
dipengaruhi oleh jarak biji dalam polong.
Asimilat yang ditranslokasikan dari daun
dan polong dipicu oleh difusi dan sel-sel
transfer melalui unting (strand) pembuluh
yang bercabang dari jaringan pembuluh
yang merentang melalui polong dan
kemudian lewat melampaui tali pusar ke
dalam
integumen
(Mugnisjah
dan
Setiawan,1990).
KESIMPULAN
Perbedaan letak biji dalam polong (L)
tidak memberikan pengaruh terhadap
pertumbuhan
plantlet
kedelai
yang
ditumbuhkan dari embrio muda secara invitro. Namun secara umum biji pada bagian
pangkal polong (L1) memberikan nilai ratarata variabel pertumbuhan plantlet (tinggi,
jumlah daun, jumlah akar dan panjang akar)
sedikit lebih tinggi dibanding biji pada
bagian tengah (L2) dan bagian ujung (L3)
polong.
Hasil penelitian ini juga
menunjukkan bahwa teknik kultur embrio
muda merupakan suatu teknik yang
menjanjikan, dan berpeluang untuk
diterapkan dalam rangka mempersingkat
siklus pemuliaan tanaman kedelai.
DAFTAR PUSTAKA
Christianingsih, R., 2008.
Pengaruh
triakontanol dan giberelin terhadap
pertumbuhan dan persentase buah jadi
tanaman buncis. J. Agros. 10 (2): 3542.
Croser, J., M.C. Castello dan K. Edwards,
2010. Lupin immature seed culture for
generation acceleration. CLIMA
report.
Irwan, A.W., 2006. Budidaya Tanaman
Kedelai.
Fakultas
Pertanian
Universitas Padjajaran. Jatinangor.
Kartina, A.M., 1993. Pengaruh variasi jarak
tanam dan pemangkasan pada
tanaman buncis. Tesis. UGM.
Yogyakarta.
Kosmiatin, M dan I. Mariska, 2005. Kultur
embrio dan penggandaan kromosom
hasil persilangan kacang hijau dan
kacang hitam. Jurnal Bioteknologi
Pertanian 10 (1): 24-34.
Mugnisjah, W.Q., dan A. Setiawan, 1990.
Pengantar Produksi Benih. Rajawali,
Jakarta.
Purnawati, E., dan J.R. Hidajat, 1994.
Karakterisasi Plasmanutfah Kedelai,
Dalam Koleksi dan Karakterisasi
Plasmanutfah Pertanian. Balitbangtan,
Jakarta.
Tilton, V.R., dan S.H. Russel., 1984. In
vitro culture of immature Soybean
embryos. Plant Physiol. 115: 191-200.
Wattimena, G.A., A.M. Nurhajati, N.M.A.
Wiendi, D. Efendi, B.S. Purwoko dan
N. Khumaida, 2011. Bioteknologi
dalam Pemuliaan Tanaman. IPB
Press. Bogor.
Wijayanto, T., G.R. Sadimantara, dan D.
Erawan, 2012. Percepatan fase
generatif menggunakan Immature
Embryo Culture untuk membantu
memperpendek
siklus
breeding
kedelai (Penelitian Riset Unggulan
Unhalu 2012).
AGRIPLUS, Volume 23 Nomor : 03 September 2013, ISSN 0854-0128
Download