Basis Antropologis dalam Dialektika Sosiologi Shariati1 Oleh: Zulfi Saeful Jalil2 Sekilas Mengenai Biografi Shariati Ali Shariati lahir di Mazinan, Provinsi Khurasan, Timur Laut Iran pada tanggal 24 November 1933. Ia merupakan anak pertama dari empat bersaudara. Ayahnya bernama Muhammad Taqi’, seorang mulla (ulama) modernis, dan ibunya bernama Zahra. Sosok sang ayah sangat berpengeruh terhadap perjalanan intelektual Shariati. Sejak kecil Shariati kerap menghabiskan waktu bersama ayahnya untuk membaca buku di perpustakaan sang ayah, yang mempunyai koleksi 2000 buku. Tahun 1941 Shariati mengenyam pendidikan dasarnya di sekolah swasta Ibn Yamin. Sejak saat itu, sikap “mendua” nampak dari perilaku sehari-harinya. Ia rajin, pendiam, namun tak mau diatur. Ia merepresentasikan soliteritas seorang jenius, yang asik dengan dunianya sendiri. PR dari sekolah jarang dikerjakan, tetapi ia adalah seorang kutu buku. Ia sudah mengenal mistisime dan filsafat sejak di sekolah menengah atas. Buku-buku yang dilahapnya saat itu, mencerminkan minatnya pada sastra. Saddeq-e Hayat (novelis Iran beraliran nihilis), Arthur Schopenhauer, Franz Kafka, dan Maurice Maeterlinck (penulis Belgia yang memadukan mistisisme dan simbolisme) adalah orang-orang yang menginsprirasi sekaligus membuat Shariati muda mengalami krisis kepribadian dan keyakinan religiusnya terguncang. Akan tetapi, di tepi jurang pergolakan pemikiran Shariati itu, ia diselamatkan oleh karya Jalaludin Rumi, Matsnawi. Ketika berumur 18 tahun, sekitar tahun 1950, Shariati masuk Kolese Pendidikan Guru di Mashad. Kala itu ia juga mengajar di sebuah sekolah. Selama belajar di sana, ia banyak berkenalan dengan orang-orang dari kalangan yang perekonomiannya lemah. Nampaknya pertemuan dengan mereka itu menjadi kegelisahan tersendiri bagi Shariati. Dua tahun kemudian ia lulus. Medio 1952-1955, kondisi politik Iran sedang bergejolak. Kondisi ini menyeret Shariati ke gelanggang politik. Ia bergabung dengan Gerakan Sosialis Penyembah Tuhan (The Movement of God-Worshipping Socialist). Gerakan ini awalnya bergabung dengan Partai Iran,namun memisahkan diri dan mendirikan Liga Kemerdekaan Rakyat Iran, yang setelah sukses mengkudeta Mossadeq, berubah nama menjadi Partai Rakyat Iran. Kesibukan Shariati dalam aktifitas politik tidak menghambatnya untuk menyelesaikan studi akademisnya, hingga akhirnya ia meraih diploma di bidang sastra. Di tahun 1955 ia resmi menjadi mahasiswa Fakultas Sastra Universitas Mashad. Selama menjadi mahasiswa di sana, Shariati sempat dijebloskan ke dalam penjara selama satu bulan oleh pemerintah karena terlibat di Gerakan Perlawanan Nasional. Di Universitas Mashad, Shariati berjumpa dengan Purane Syari’at Razavi lalu menikah pada 15 Juli 1958. Lima bulan setelah menikah, Shariati memperoleh gelar BA Sastra Persia. Karena kecerdasan intelektual dan ketajaman intuitifnya, Shariati mendapat beasiswa untuk studi di Sorbonne. Di Paris, ia bersua dengan beragam ide, pemikiran, dan gagasan-gagasan baru. Dia berinteraksi dengan pemikiran-pemikiran Marx, Sartre, Franz Fanon, Louis Massignon, Albert Camus, Henry Bergson, A.H.G. Chandell dan tokoh-tokoh besar lain yang sezaman dengan dia.3 Karya Fanon bertitel A Dying Colonialism dan Wretched of the Earth diterjemahkan Shariati ke dalam bahasa Persia. Gagasan Fanon tentang pembebasan dunia ketiga dari penindasan, imperialism, dan kolonialisme, meresapi karakter berpikir Shariati. 1 Tulisan ini dibuat untuk diskusi regular LPIK pada senin, 10 Februari 2014. adalah Manusia Yang Maha Siswa dari Kab. Bandung Barat tapi bukan anggota Kembara. 2Penulis 3 Ali Syari’ati, Islam Agama “Protes”, (Pustaka Hidayah), h.8. Shariati aktif menulis, baik berbentuk terjemahan, prosa, puisi, dan berbagai jenis artikel. Tulisannya sering dimuat di Jurnal Mahasiswa Iran di Paris. Namun selain kegiatan jurnalistik dan intelektual, kegiatan politik pun tetap ia jalani. Antara tahun 1962-1963, dengan caranya sendiri, Shariati menyokong segala bentuk perlawanan terhadap Shah Iran yang terkenal otoriter. Setelah meraih gelar doctor dalam ilmu sosiologi, pada september 1964, Shariati kembali ke Iran. Naas, di perjalanan dia ditangkap dan harus kembali merasakan dinginnya tembok penjara. Setahun kemudian dibebaskan, lalu mengajar di Universitas Mashad. Pada 16 Mei 1977, Shariati meninggalkan Iran menuju Belgia yang lalu dilanjutkan ke Inggris. 19 Juni 1977 menjadi hari kelabu bagi rakyat dan pemuda Iran, pasalnya tersiar kabar bahwa Shariati ditemukan tebujur kaku secara misterius di Inggris. Namun, secara resmi pemerintah menyebutkan bahwa Shariati wafat karena serangan jantung. Emansipasi sebagai Motif Utama Dialektika Sosiologi Pemikiran, ide, dan gagasan yang keluar dari seorang pemikir tak bisa dilepaskan dari konteks sosialpolitik dan kultural dimana ia hidup. Pemikiran Shariati tak bisa dilepaskan dari konteks Iran. Secara umum, krisis dan pergolakan di era 60-70-an adalah “ibu kandung” pemikiran dan gagasan Ali Shariati.4 Dorongan terbesar yang menggugah Shariati adalah membebaskan rakyat Iran dari rejim Shah Reza Pahlevi yang korup, menindas dan otoriter.5 Untuk tujuan itulah, akhirnya Shariati secara sadar menciptakan sebuah filsafat yang bisa menjelma sebagai ideologi pembebasan. Sebuah ideologi yang emansipatif, membebaskan rakyat dari penindasan dan kekuasaan penindas. Demi menyediakan sebuah ideologi pembebasan bagi rakyat Iran, Shariati menolak dikotomi antara politik dan kesalehan, ideologi dan kepercayaan.6 Kerangka ideology pembebasan ini ia ramu dengan menyusun sebuah “teori” yang disebut dialektikasosiologi. Dialektika sosiologi ini memiliki dua sayap: sayap deskriftif dan sayap normatif. Sayap deskriftif terdiri dari dua bagian utama, yakni basis antropologis dan inti kerangka teoritis. Pada kesempatan ini saya hanya akan memaparkan tentang Basis Antropologisnya saja. Basis antroplogis ini menjadi suatu kualitas ontologis bagi Shariati dalam mengembangkan teorinya. Dengan kata lain, basis antropologis ini merupakan pemikiran dasar tentang realitas, dalam hal ini manusia. Langkah awal Shariati dalam mengkonstruksi konsep dialektika sosiologi adalah dengan mengajukan pandangan tentang manusia. Manusia menjadi alas dasar filsafatnya, dan mengambil format sebuah “citra hakikat manusia”. Akan wajar bila muncul sebuah pertanyaan, mengapa persoalan manusia jadi sedemikian penting bagi Shariati? Lalu mengapa harus berawal dari manusia? Sebagaimana kita ketahui, Thomas Hobbes berangkat dari sebuah pandangan umum tentang hakikat manusia dalam membangun filsafat sosialnya, Ali Shariati pun melakukan hal demikian. Dalam bukunya yang berjudul Man and Islam, sebagaimana dikutip Subhi-Ibrahim, Shariati berkata bahwa “masalah manusia adalah masalah terpenting dari semua masalah”.7 Membangun suatu masyarakat atau kebudayaan akan gagal total bila pertanyaan “siapa” dan “bagaimana” manusia tak terlebih dahulu dijawab. 4 M. Subhi-Ibrahim, Ali Shariati: Sang Ideolog Revolusi Islam, (Jakarta: Dian Rakyat, 2012), h.22 Gambaran korupsi yang maha-dahsyat diungkap oleh Fereydon Hoveida, duta besar Iran untuk PBB. Walau Fereydon sendiri adalah seorang koruptor, namun ia tak tahan melihat korupsi Shah Reza serta keluarganya yang sudah tak masuk akal. Amin Rais, Cakrawala Islam: Antara Cita dan Fakta, (Bandung: Mizan, 1997), h.200. 6 M. Subhi-Ibrahim, Ali Shariati: Sang Ideolog Revolusi Islam, op.cit.,h.33. 7 Ibid. h.34. 5 Makna di Balik Kisah Penciptaan Adam Dalam mencitrakan hakikat manusia, hal pertama yang dilakukan Shariatii adalah dengan menelisik sejarah penciptaan manusia itu sendiri. Shariati mengutip al-Qur’an, surat al-Baqarah ayat 30-34. Inti dari serangkaian ayat itu adalah pertanyaan malaikat pada Allah tentang motif diciptakannya manusia sebagai khalifah di bumi. Malaikat mempertanyakan hal itu karena beranggapan bahwa manusia hanya akan membuat kerusakan dan menumpahkan darah sesama manusia. Namun Allah berkehendak lain dan menganggap malaikat itu sotoy alias sok tahu. Allah berkata “Aku lebih mengetahui apa yang kalian tidak ketahui”. Allah pun menciptakan Adam dari tanah8. Lalu Allah menghembus ruh-Nya pada “bahan mentah” Adam itu.9 Setelah meniupkan ruh-Nya, Allah mengajarkan al-asma (nama-nama) kepada Adam, dan Dia memerintah malaikat untuk sujud kepada Adam. Selanjutnya, Allah memanggil semua makhluk-Nya, dan menawari mereka (semua makhluk) amanah. Namun, tak satu pun yang sanggup mengemban amanah tersebut. Akhirnya, hanya manusia yang bersedia mengemban amanah tersebut. Proses ini dilihat Shariati sebagai suatu apresiasi Islam terhadap nilai luhur manusia. Lebih lanjut, Shariati menafsir bahwa asma yang diajarkan Allah pada manusia adalah metafora atau simbolisasi dari pengetahuan. Lalu, Shariati kembali menafsirkan istilah amanah yang diemban manusia itu bermakna kehendak bebas (free will).10 Seluruh rangkaian penjelasan mengenai sejarah penciptaan manusia ini bermuara pada sebuah ide sentral, yakni bahwa manusia adalah makhluk bidimensional, atau makhluk yang memiliki dua dimensi: dimensi ruh Allah dan dimensi tanah. Selain itu, manusia menjadi unggul diatas makhluk lain karena dilengkapi pengetahuan (asma) dan kehendak bebas (amanah). Manusia sebagai Realitas Dialektis Secara lebih rinci, Shariati memaparkan bahwa ruh Allah dan tanah sebagai unsur pembentuk manusia, perlu dimengerti secara simbolik. Bagi Shariati, tanah (hama’ masnun) adalah simbol kerendahan, stagnasi, dan pasifitas mutlak. Sedangkan ruh Allah merupakan simbol dari gerakan transendentif (gerakan tanpa henti ke arah/menuju kesempurnaan dan kemulian yang tak terbatas).11 Jadi dalam diri manusia, terdapat dua potensi yang bertentangan nan kontardiktif: pasifitas dan gerakan, kerendahan dan kemuliaan. Dalam diri manusia, ada kecenderungan untuk diam, imobil, bisu, beku, sebagaimana tanah liat yang hanya dapat berubah dari kondisi asalinya bila ada pengaruh dari luar—sepenuhnya dideterminasi oleh yang eksternal. Namun, manusia memiliki dimensi lain, yakni dimensi ruh Allah. Dimensi yang mengangkat manusia ke derajat yang lebih tinggi. Setiap individu mempunyai dua dimensi tersebut. Itulah mengapa Shariati menyebut manusia selain sebagai makhluk bidimensional, juga sebagai realitas dialektis (a dialectic reality).12 Dengan menggunakan kehendak bebas yang menjadi pembeda manusia dengan makhluk lain, manusia harus mampu memilih untuk mengatasi ketegangan antara dua dimensi tadi yang terus berperang dalam diri manusia. Dua unsur tadi itu (tanah dan ruh Allah) merupakan tesis dan anti-tesis. Manusia harus senatiasa berhijrah, mencapai suatu sintesis (dalam pandangan Shariati, yang menjadi sintesis ini adalah Allah/ruh Allah). Mengapa bisa demikian? Mengapa harus kembali pada ruh 8 Shariati mendaftar penjelasan al-Qur’an tentang bahan dasar penciptaan Adam. Menurutnya, al-Qur’an menyebut bahan dasar manusia secara berbeda: turah atau lempungan tembikar (QS al-Hajj: 5), hamaim masnun atau lembung busuk (QS al-Hijr: 26), tin atau lempung (QS al-An’am: 2, al-Mu’min: 12). Menurut Shariati, ketiga hal itu memiliki kesamaan, yakni berasal dari unsur tanah. Ali Shariati, tentang Sosiologi Islam: Himpunan Ceramah Ali Shariati, (Yogya: Penerbit Ananda, 1982), h.73. 9 QS al-Hijr: 29, Shaad: 72. 10 M. Subhi-Ibrahim, Ali Shariati: Sang Ideolog Revolusi Islam, op.cit.,h.38. 11 Ali Shariati, tentang Sosiologi Islam: Himpunan Ceramah Ali Shariati, op.cit., h.88 12 Ibid. h. 89. (Allah)? Bagaimana penjelasannya? Pertanyaan ini akan dijawab pada penjelasan berikutnya tentang fenomena dialektis. Manusia sebagai Fenomena Dialektis Dalam pandangan Shariati, manusia pada fitrahnya bersifat dualistik dan di dalamnya mengandung unsur kontradiktif yang saling mendominasi. Keadaan tarik menarik dalam diri manusia itu diistilahkan Shariati sebagai fenomena dialektis (dialectical phenomenon).13 Allah merupakan arah gerakan dalam diri manusia. Gerakan tarik-menarik dalam diri manusia ini, haruslah berorieantasi ke arah Allah. Shariati mendasarkan pendapatnya ini berdasarkan penafsiran terharadp surat al-Baqarah ayat 156. Menurutnya kata Ilaihi berarti kembali “kepada” Allah bukan ke “dalam” Allah— sebagaimana tafsiran kebanyakan kaum sufi. Menurut Shariati, walau secara implisit, ayat ini menyatakan orientasi gerakan manusia, yakni ke arah kesempurnaan (Allah).14 Karena Allah tidak terbatas, maka gerak menuju Allah adalah gerakan terus menerus tanpa batas, dan tanpa henti. Tiga Kategori Manusia Tak berhenti sampai menyatakan orientasi gerakan dalam diri manusia, Shariati juga mengemukakan tiga kategori manusia. Lagi-lagi, Shariati menukil terminology yang terdapat dalam al-Qur’an. Kategori-kategori manusia itu adalah basyar, insan, dan an-nas. Kategori basyar dan insan terkait dengan kualitas manusia. Perbedaan antara basyar dan insan terletak pada kemampuannya untuk melepaskan diri dari empat penjara manusia, yakni: alam, sejarah, masyarakat, dan diri sendiri (ego). Basyar didefinisikan oleh Shariati sebagai manusia yang sekedar ada (being). Manusia dalam arti fisio-biologis.15 Manusia yang hanya mengikuti naluri-instingtifnya saja. Tidak jauh berbeda seperti halnya hewan dan tumbuhan. Kita tentunya tahu bahwa kehidupan hewan hanya sekedar makan, tidur, sakit, dan mati.Tidak dapat memaknai realitas. Manusia tipe basyar ini belum mampu mengatasi penjara-penjara yang membatasi dirinya. Bila basyar adalah manusia yang sekedar ada (being), lain halnya dengan insan yang berarti manusia yang menjadi (becoming).16 Manusia yang termasuk dalam kategori insan, selalu dinamis dan maju menuju ke arah kesempurnaan, selalu mengarah kepada ruh Allah, bukan ke arah tanah liat yang stagnan. Insan adalah manusia yang selalu berevolusi secara permanen ke arah Tuhan Yang Tanpa Batas, Yang MahaAbadi, dan Yang Maha Mutlak. Otomatis gerakan Insan adalah gerakan yang terusmenerus, tanpa batas, dinamis, selalu berusaha mencapai Yang Maha Baik. Inilah yang dimaksud Shariati sebagai manusia dalam keadaannya yang menjadi. Terdapat tiga atribut pokok yang dimiliki Insan: Kesadaran, Kehendak Bebas, dan Kreatifitas.17 Pertama, kesadaran diri. Kesadaran diri adalah pengalaman mengenai kualitas dan esensi diri, dunia, dan relasi dunia dengan diri.18 Kemampuan ini yang membuat manusia dapat mengambil jarak dengan dirinya sendiri, untuk menyadari diri, dan alam sekitanya, untuk memahami tempat dimana ia hidup. Kedua, kehendak bebas. Kehendak bebas ini terwujud ketika manusia bebas dalam menentukan pilihan. Kebebasan yang sebenarnya adalah kebebasan yang digunakan untuk menerobos bentengbenteng yang menghalangi laju evolusi manusia ke tingkat tertinggi kemanusiaannya. Bentengbenteng tersebut adalah masyarakat, alam, sejarah, dan egonya sendiri. Ketiga, kreatifitas atau daya 13 Ibid. h.91. Bunyi dari ayat tersebut: “Orang-orang yang sabar itu adalah mereka yang bila tertimpa musibah, maka berucap 14 ‘innalillahi wa inna ilaihi rajiun’”. 15 M. Subhi-Ibrahim, Ali Shariati: Sang Ideolog Revolusi Islam, op.cit.,h.42. Ibid. h.43. 17 Ibid. h.44. 18 Ibid. 16 cipta. Insan senantiasa memiliki potensi kreatif yang memungkinkannya mencipta benda, barang, dan alat yang tidak disediakan oleh alam dan berfungsi memudahkan kehidupan manusia. Ketiga unsur di atas mewujud dalam ilmu. Ilmulah, menurut Shariati, yang dapat membebaskan manusia dari kerangkeng sejarah, masyarakat, dan alam. Manusia dapat memahami pola-pola dan hukum-hukum yang ada di kehidupan dengan menggunakan ilmu. Dengan ilmu manusia dapat meloloskan diri dari tiga kerangkeng tadi dan bahkan merekayasanya. Ego, sebagai penjara terakhir, dalam pandangan Shariati, hanya dapat diatasi oleh cinta. Menurut Shariati, cinta memiliki daya untuk mendorong kita memberontak, menolak, ataupun mengorbankan diri hanya demi cita-cita dan orang lain.19 Setelah basyar dan insan, kategori manusia yang ketiga adalah an-nas. Shariati memberi dua definisi perihal an-nas: sebagai kutub Habil dan sebagai massa.20 Pertama, Kutub Habil adalah lawan dari Kutub Qabil yang menindas dan eksploitatif. Bagi Shariati, Allah berpihak kepada an-nas, bahkan kata an-nas dapat ditukar dengan kata Allah, begitupun sebaliknya. Kedua, an-nas diartikan sebagai massa atau rakyat. Shariati beranggapan, sinonim yang paling mendekati an-nas adalah massa. Massa ini terdiri dari segenap rakyat yang merupakan kesatuan tanpa menghiraukan perbedaan kelas ataupun sifat yang membedakan mereka di dalamnya. An-nas adalah massa yang mana adalah rakyat itu sendiri. Untuk melengkapi uraiannya tentang manusia, Shariati menciptakan suatu citra manusia ideal. Shariati mengkarakteristikan manusia ideal dengan beberapa karakter dasar. Pertama, memilih kutub ruh Allah daripada kutub tanah dalam pergulatan internalnya.21 Manusia yang memiliki komitmen untuk tetap berevolusi menuju ke kesempurnaan manusia teomorfis, yang senantiasa menyerap kualitas-kualitas Ilahiah. Kedua, mampu mengatasi empat penjara manusia. Manusia yang mampu membebaskan diri dari determinasi sejarah, alam, dan masyarakat dengan menggunakan ilmu dan teknologi. Lalu, mengatasi kurungan ego dengan cinta kasih. Ketiga, selalu berada di tengah-tengah masyarakat,22 tidak mengisolasi diri dan selalu memperjuangkan kepentingan kemanusiaan. Keempat, memilikikeseimbangan jiwa.23 Terakhir, memiliki modal utama manusia ideal, yakni pengetahuan, akhlak, dan seni. Ketiga modal ini merupakan representasi dari kebenaran, kebajikan, dan keindahan,24 yang tetap selalu komitmen dengan tiga penopang insan: kesadaran, kreatifitas, dan kebebasan. Dengan modal-modal itulah manusia menjalankan tugasnya sebagai khalifah Allah di muka bumi ini. 19 Ibid. h.45 Ali Shariati, tentang Sosiologi Islam: Himpunan Ceramah Ali Shariati, op.cit., h.116-117. 21 Ibid. h. 121. 22 Ibid. h. 122. 23 Ibid. 24 Ibid. h. 124 20