1 ANCAMAN BANJIR BANDANG – TANAH LONGSOR DI BERBAGAI DAERAH (MK. Degradasi Sumberdaya Alam dan Lingkungan; smno.psdl.ppsub2013) Kejadian bencana alam tanah longsor dan banjir-bandang yang meluas di berbagai daerah Jawa Timur, adalah dampak dari “pemanenan hutan” dan perubahan fungsi hutan secara besar-besaran menjadi lahan pertanian dan pemukiman di daerah hulu sungai dan daerah pegunungan. Hal ini menjadi tanggung jawab semua pihak, termasuk masyarakat, suasta dan pemerintah, serta PT Perhutani yang memegang monopoli dalam pengelolaan hutan di Jawa Timur. Alih areal hutan menjadi lahan pertanian juga dapat dilakukan oleh masyarakat, mungkin karena kurang memahami hakekat dan fungsi hutan yang sebenarnya. Bencana tanah longsor dan banjir-bandang juga merupakan peninggalan masalah masa lalu dan sebagai akibat dari ketidak-efektifan pemerintah dalam menata kawasan hutan di Jawa Timur. Saat ini tidak mudah untuk membenahi dan mengatur kembali lingkungan kawasan hutan yang telah rusak di Jawa Timur. KASUS-KASUS AKTUAL di INDONESIA Longsor – Banjir Bandang Pacet, Mojokerto Musibah tanah longsor di pemandian air panas Pacet, Mojokerto, menelan korban tewas 30 orang (angka sementara), ratusan tertimbun/ hilang (JP 12-12-2002) bersama dengan aset-aset yang tiada ternilai harganya (JP, 13/12 2002). Bagaimana musibah ini dapat dijelaskan? Musibah banjir bandang di Pacet adalah BENCANA ALAM, datangnya tiba-tiba, tidak dapat diduga, dan tidak dapat ditolak manusia, seolah-olah telah menjadi takdir. Keppres No. 32/1990 : Kawasan lindung yang memiliki kemiringan 45 derajat lebih dilarang ditanami pohon-pohonan yang siap tebang (jenis pohon yang bernilai ekonomi tinggi). Fakta di Pacet menunjukkan bahwa jenis pohonnya adalah pinus dan mahoni (jenis siap tebang yg bernilai ekonomi tinggi). Siapa yang melanggar aturan? Keppres No. 32/1990 : di dalam radius 32 meter dari batas aliran sungai dilarang ditanami pohon siap tebang. Faktanya lahan tepian sungai ini juga ditanami jenis pohoj siap tebang. Analisis Citra Satelit Penyebab banjir bandang di Pacet akan dikaji oleh MENRISTEK dengan menggunakan metode foto citra satelit. Analisis situasi daerah sekitar lokasi kejadian dapat dengan metode ini diharapkan dapat menghasilkan langkah-langkah solutif, termasuk pembangunan sejumlah dam-pengendali (cek dam) di daerah hulu, dan mengusulkan bantuan dari pemerintah pusat. 2 Ramai-ramai Class action (JP 14-12-2002) Sebagian keluarga korban tragedi Pemandian Air Panas Pacet dan beberapa elemen masyarakat siap mengajukan gugatan class action. Pihak pengelola area wisata pemandian air hangat dianggap telah lalai dalam memperhatikan keselamatan jiwa manusia. Gugatan secara hukum diajukan terhadap pihak pengelola, yaitu PT. Perhutani. DPC PPP Mojokerto dan DPD PAN Jatim juga siap mendukung upaya class action. DPRP Kab. Mojokerto berencana juga malakukan langkah class action dengan pihak yang digugat adalah PT Perhutani. Institusi ini dinilai selama ini sebatas mengeksploitasi hutan, tanpa mau serius memperhatikan dampak negatifnya. Imbasnya Pemkab Mojokerto sering mendapat musibah akibat rusaknya hutan. Menteri Negara LH tampaknya juga mempersilahkan upaya class action. Tujuannya untuk mengetahui siapa yang salah dalam tragedi tsb. Masyarakat mempunyai hak untuk menggugat penyelenggara negara yg dinilai merugikan keselamatan dan kepentingan umum. IPM (Ikatan Pengacara Mojokerto) membentuk tim pencari fakta untuk mendukung upaya class action. Faktor Risiko Longsor Masalah kegagalan lereng dapat disebabkan oleh kombinasi dari kejenuhan air dan aliran air, material tanah yang lemah, dan lereng yang curam. Kebanyakan longsor dipicu setelah periode hujan lebat ketika tanah sangat basah untuk jangka waktu lama. Sumber: http://www.dnv.org/article.asp?c=1030 3 Mengurangi Risiko Longsor Meskipun mereka mungkin disebabkan oleh kondisi di atas lereng tidak stabil , tanah longsor dapat mempengaruhi sifat dan fasilitas di bagian bawah lereng berpotensi tidak stabil . Pertimbangkan tetangga Anda (di samping dan di bawah ) ketika membuat penilaian atau drainase perubahan pada properti anda: 1. Mematuhi peraturan daerah dan mencari nasihat dari seorang ahli Profesional 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. atau Geoscientist jika kita memiliki kekhawatiran tentang ketidakstabilan lereng yang dapat mempengaruhi properti anda. Hubungi instansi pemerintah kalau ada kekhawatiran ketidakstabilan lereng di daerah properti publik . Alihkan aliran air di sekitar dan jauh dari lereng yang tidak stabil, ukuran dan strukturnya dibuat dengan cara yang terkendali . Hindari genangan air di dekat lereng . Menampung aliran air dengan menangkap cucuran air dari atap dan drainage trotoar di selokan yang diperkeras. Desain lansekap untuk menyalurkan air dari lereng yang curam . Hubungi instansi pemerintah untuk memeriksa bahwa rumah Anda terhubung , dengan sistem drainase kawasan . Menyalurkan air melalui sistem saluran , selokan jalan atau parit-parit yang menuju ke sungai. Hindari penimbunan material, termasuk sampah halaman , material galian , pasir dan tanah , di puncak-puncak lereng curam atau di sepanjang saluran drainase yang sudah ada . Jangan melemahkan bagian bawah lereng curam tanpa nasihat dari seorang insinyur profesional atau geoscientist . Menjauhkan struktur atau lansekaping sejauh mungin dari lereng curam atau titik-titik saluran pembuangan. Memeriksa dan memperbaiki kebocoran pada pipa , pipa irigasi , saluran air , selokan , downspouts dan kolam renang . Memeriksa struktur yang rusak seperti retak di pondasi atau trotoar , menutup pintu dan jendela , lantai miring , kerusakan dinding penahan . Memperkuat atau re - vegetasi lereng yang curam , terutama kalau ada alur-alur (gully) atau tanah yang gundul. Pohon dan vegetasi alam dapat memiliki pengaruh menstabilkan di lereng dalam kondisi tertentu . Sebelum melakukan pembersihan vegetasi atau bekerja di lereng apapun, hubungi instansi pemerintah untuk memastikan adanya peraturan dan persyaratan izin. Menanam campuran jenis pohon, semak dan tanaman – vegetasi ini akan membantu menyaring dan menyerap sebagian air , sehingga memperlambat erosi. Longsor Kawasan Wisata Sedudo, Kabupaten Nganjuk Kawasan wisata air terjun Sedudo, Desa Ngliman, Kec. Sawahan, Nganjuk; dinyatakan ditutup karena dilanda bencana tanah longsor (JP, 14-12-2002). Hujan deras awal desember 2002 di lereng G. Wilis mengakibatkan tanah longsor di lokasi air terjun dan sekitarnya. Batu-batu, kerikil, lumpur dan materian vegetasi berjatuhan 4 dari atas bersama dengan aliran air banjir. Kerugian yang besar menimpa aset-aset wisata pemandian-air terjun. Hasil Analisis menunjukkan bahwa terjadinya tanah longsor karena semakin sedikitnya jumlah (populasi) pohon di lereng G. Wilis, bahkan sebagian gundul. Pepohonan hilang karena penebangan (pohon yang ekonomis) oleh manusia dan kebakaran hutan pada musim kemarau lalu. Daerah Potensi Longsor adalah: 1. Daerah-daerah di mana bencana longsor telah terjadi sebelumnya 2. Daerah yang memiliki topografi curam 3. Daerah yang merupakan saluran drainase air hujan. 5 Puluhan kecamatan di Kab Jember RAWAN BENCANA ALAM (Tragedi Baban Silosanen) Sistem informasi mengenai “bencana alam” yang terjadi di wilayah Kabupaten Jember telah dikoordinasikan oleh BAKESBANG Kab. Jember. Instansi ini telah berupaya semaksimal mungkin untuk menyampaikan informasi, himbauan, dan peringatan kepada masyarakat berkaitan dengan aneka bentuk bencana-alam yang terjadi di Kabupaten Jember. Sebanyak 22 wilayah kecamatan di Kab. Jember dinyatakan rawan bencana alam banjir, tanah longsor, badai, dan/atau angin kencang. Daerah rawan banjir meliputi 17 kecamatan, lokasi paling rawan adalah di sekitar kawasn hutan gundul Baban Silosanen, Kec. Silo. Daerah tanah longsor meliputi Kec. Jelbuk, Arjasa, Sumberjambe, Silo dan Mayang. Daerah rawan badai laut – topan - lesus adalah Kencong, Puger, Ambulu, Tempurejo dan Wuluhan. Hujan deras dan angin kencang mengakibatkan bencana banjir bandang yang mengalir dari kawasan hutan gundul Baban Silosanen, Kecamatan Silo, Jember (JP 12-12-2002). Empat jembatan ambrol dan beberapa unit rumah rusak, transportasi lumpuh total. Banjir yg parah melanda Desa Karangharjo dan Harjomulyo, sebanyak 27 rumah tergenang air, tiga di antaranya rusak berat, 34 KK atau 85 warga diungsikan (JP 13-12-2002). Banjir tahun ini dianggap yang paling parah. Banjir lumpur juga terjadi di Desa Garahan, 17 rumah terendam lumpur , ancaman kiriman lumpur dikhawatirkan akan terjadi lagi dari kawasan hutan Baban Silosanen. Aliran permukaan air yang deras menggelontor tanah yang berasal dari daerah garapan hutan yang gundul, longsoran berikutnya dikhawatirkan mengandung 6 material batu-batu. Penggundulan hutan di kawasan Baban Silosanen dituding warga sebagai penyebab terjadinya banjir bandang. Wilayah Kabupaten Malang Kritis: Terancam bahaya banjir dan tanah longsor Ancaman bahaya banjir dan tanah longsor di wilayah kabupaten Malang sangat serius selama musim hujan 2002/2003. Empat faktor penyebab yang dianggap paling bertanggung jawab ialah: (1). Hutan Gundul, (2). Kualitas kritis DAM, (3). Erosi dan Sedimentasi tinggi, dan (4). Curah hujan tinggi. Faktor utama penyebab munculnya hutan gundul, adalah: 1. Penebangan illegal (“penjarahan”) 2. Pemanenan hutan produksi oleh PERHUTANI 3. Kebakaran hutan 4. Kematian pohon akibat kekeringan/kemarau panjang. Kualitas Dam Penahan sangat jelek, karena: (1) Sedimentasi sangat tinggi, sehingga penuh sedimen, (2) Bangunan fisik DAM telah tua, (3) Vegetasi pengaman DAM sudah berkurang. Lokasi rawan 1. Lereng G. Semeru bagian selatan 2. Lereng G.Kawi – Panderman: 2.1. Banjir bandang 2001 di Pagak, 50 unit rumah rusak , kerugian sekitar 1 miliar rp 2.2. Banjir bandang 2002 di Karangwidoro , Kec Dau, 1 orang tewas, 65 unit rumah rusak, 6 unit DAM jebol, kerugian sekitar 2.9 miliar rp. 3. Lereng G. Arjuno – Welirang 3.1. Banjir bandang 1997/98 di Singosari, satu orang tewas, 2 unit jembatan ambrol, 100 unit rumah rusak, kerugian 10 miliar rp. 4. Lereng G. Bromo 5. Peg. Kapur selatan Banjir bandang th 2000 di Kecamatan Tirtoyudo, 10.000 ha sawah rusak, 206 unit rumah rusak, 4 unit jembatan ambrol, kerugian Rp 6 miliar . Akibat banjir lumpur dan sedimentasi, biaya pengerukan bendungan meningkat drastis, milyaran rupiah. Besarnya sedimendasi dalam waduk diakibatkan oleh erosi tanah yang intensif di daerah aliran waduk yang terletak di wilayah Kabupaten Malang dan Kota Batu. Program penghijauan dan reboisasi menjadi hal yang sangat mendesak. Tempat wisata alam (wana wisata), Coban Rondo (Pujon) dan Coban Pelangi (Poncokusumo), ditutup karena ancaman longsor dianggap sangat serius. Dinas Pariwisata Kab Malang meminta kepada Perhutani, kemudian Perhutani mengirim surat resmi ke Departemen Kehutanan. 7 Gunung Panderman dan Arjuno KRITIS, Kota Batu Siaga I Musim kemarau panjang berdampak pada kerawanan kebakaran hutan di kawasan G. Panderman. Berbagai dampak negatif terjadi akibat kebakaran hutan. Ribuan kera seru lumbung warga, akibat kehabisan makanan karena hutan di G. Panderman terbakar (JP 14-10-2002). Sekitar 3000 ekor kera turun ke rumah-rumah penduduk Dusun Toyomarto, menyerbu lumbung makanan di rumah-rumah penduduk. Sekitar 2000 ekor sapi perah milik penduduk juga terancam kekurangan pakan rumput-hijauan, yang biasanya diambil dari hutan-hutan. Kebakaran hutan juga berdampak pada kerlangkaan sumber air. Audit lingkungan oleh KAPEDAL Batu menunjukkan bahwa dari 1111 titik sumber air yang terdeteksi ternyata 50% di antaranya debit airnya mati (JP 14-10-2002). Akibat selanjutnya adalah ancaman kelangkaan air bersih yang dihadapi oleh masyarakat yang tinggal di lereng-lereng bukit/gunung, ancaman ini mulai terasa berat selama tiga tahun terakhir selama musim kemarau. PEMKOT Batu menyediakan anggaran sekitar Rp 300 juta (JP 9-8-2002) untuk membangun sarana air bersih di Desa Oro-oro Ombo, Ngaglik dan Songgokerto yg terletak di lereng G. Panderman. Pada musim hujan tahun ini, ancaman banjir bandang di kota Batu, akibat dari tanah longsor di G. Panderman dan Arjuno, direspon oleh Pemkot dengan menetapkan Status Kota Batu Siaga I. Ada 15 titik rawan longsor yang terletak di releng gf. Panderman dan Arjuno, yakni Desa Tlekung, Gunungsari, Tulungrejo, dan Pesanggrahan (JP 13-12-2002). Imam Kabul (Walikota Batu) geram pada PERHUTANI (JP 17-12-2002), dianggap kurang serius mengelola hutan di wilayah Kota Batu. Penjarahan hutan lindung meliputi areal seluas 3000 ha (KRPH Junggo), 1000 ha (KRPH Punten), 900 ha (KRPH Karangan), dan 1000 ha (KRPH Oro-oro Ombo). Hutan-hutan di lereng gunung telah dibuka dan digarap sebagai lahan pertanian. Pemkot Batu mempersiapkan PERDA tentang status hutan di Kota Batu, Pengelolaan hutan diserahkan ke PEMKOT sebagai hutan lindung. Sambil menunggu PERDA, saat ini sudah ada Surat Keputusan Walikota Batu No. 22 tahun 2002 tentang pengalihan status pengelolaan hutan lindung ke Pemkot Batu. Data pada PT Perhutani menunjukkan bahwa total hutan di Kota Batu 11.700 ha, terdiri atas 7000 ha hutan produksi dan sekitar 4700 ha hutan lindung. (JP 18-12-2002). Pengalihan status pengelolaan hutan ini terkendala oleh adanya dua Peraturan Pemerintah: (1). PP Nomor 14 Tahun 2000 tentang Pengelolaan Hutan di P. Jawa oleh Perhutani, dan (2). PP No. 34 Tahun 2002 tentang wewenang Perhutani pengelola hutan di Indonesia. Ancaman Banjir Kota Surabaya (JP 31-10-2002) Pola hidup dan perilaku masyarakat kota Surabaya dianggap menjasi faktor serius dalam kaitannya dengan ancaman banjir kota. Mereka masih suka membuang sampah di sembarang tempat, termasuk saluran-saluran air drainase. Dinas Pengendalian dan Penanggulangan (DPP) Banjir Kota Surabaya telah menyelesaikan 60% pengerusak saluran pembuangan air hujan ke laut. Namun baru 8 beberapa bulan dikeruk, saluran drainse sudah penuh lagi dengan aneka bentuk sedimen, sampah dan limbah. Bagaimana mengatasinya?. Pada TA 2002 DPP Kota Surabaya menerima anggaran untuk penanganan banjir sekitar 33 milyar (JP 10-82002). Berbagai proyek teknik-sipil dilaksanakan untuk mengantisipasi banjir, saluran drainase, gorong-gorong, pompa air, Bozem, dll. Proyek-proyek ini semuanya ditujukan untuk mempercepat aliran air hujan menuju ke laut; sedangkan proyekproyek untuk memaksimumkan jumlah air hujan yang masuk ke dalam tanah masih dipertanyakan?. Tiga akar masalah banjir kota Surabaya adalah: 1. Perbedaan elevasi antara pusat kota Surabaya dengan pesisir pantai sangat tipis, sehingga aliran air hujan di permukaan sangat lambat. 2. Perubahan peruntukan / penggunaan lahan di seluruh wilayah kota dan sekitarnya, sehingga sangat mengurangi kesempatan air hujan untuk dapat memasuki tanah (infiltrasi dan perkolasi), dan memaksimumkan limpasan permukaan 3. Selokan/saluran drainase yang tidak jelas ujung-pangkalnya, dimensinya sangat minim, tersumbat sampah dan lainnya. 4. Kiriman banjir dari daerah atas / hulu. BANJIR LAHAR DINGIN G. KELUD MENGANCAM WILAYAH Blitar dan Kediri Semakin berkurangnya areal hutan yang seharusnya berfungsi sebagai penyangga di kawasan lereng G. Kelud dalam empat tahun terakhir ini, diperkirakan dapat menimbulkan ancaman bencana tanah longsor, dan banjir lahar dingin. Sejumlah areal hutan di Krisik, G. Gedang dan Kali Badak telah berubah menjadi pemukiman penduduk, perkebunan, dan tegalan/ lahan pertanian palawija. Sejumlah areal hutan lainnya menjadi gundul atau populasi pohonnya jarang-jarang. Sejumlah dam pengendali material G. Kelud sudah penuh sedimen dan harus dikeruk kalau memungkinkan, atau bangunan dam ditinggikan. Sisa material letusan G. Kelud 1990, saat ini masih 150 juta meter kubik, yang setiap saat dapat berubah menjadi lahar dingin kalau curah hujan cukup tinggi. Pohon juga ikut mengendlaikan banjir dengan memperlambat aliran air hujan sehingga tidak semua masuk ke sungai pada satu waktu yang bersamaan. Apa yang terjadi ketika kita berjalan di bawah pohon dan angin bertiup setelah terjadi hujan? Tentu kita merasa seperti ada hujan lagi. Hal ini karena sejumlah air hujan ditahan pada tajuk pohon. Sebagian air hgujan ini menguap dari daun (transpirasi), dan sebagian lagi jatuh ke tanah setelah beberapa saat hujan berhenti. Tetapi jika semua pohon ditebang tidak ada yang menahan air hujan, sehingga debit sungai naik dengan sangat cepat. 9 Pohon hutan juga menjaga tanah longsor karena akar pohon membantu memperkuat tanah dan menyimpannya di tempat, betapa pentingnya pohon untuk keseimbangan hidrologi (http://keith-travelsinindonesia.blogspot.com/2010/09/into-jungle.html) Mengapa kita harus menanam pohon? 1. Pohon mempunyai tajuk yang indah. 2. Pohon meredam kebisingan dan memberikan keamanan. 3. Pohon dapat meningkatkan nilai properti hingga 15%. 4. Ketika pohon mengelilingi rumah, lagu-lagu burung menghiasi udara. 5. Pohon menyediakan oksigen dan menyerap polusi udara. 6. Pohon mendinginkan lingkungan udara (hingga 12°) di musim panas dan menjadi hangat di musim dingin. 7. Pohon memperlambat limpasan air hujan dan dapat mencegah banjir. 10 Empat wilayah Kecamatan di Bondowoso Rawan Longsor Luas lahan kritis di wilayah ini sekitar 41.000 ha, sekitar 36.000 ha adalah lahan kritis milik penduduk, dan 5000 ha termasuk kawasan hutan dibawah pengelolaan PT Perhutani (Kmp, 23-11-2002). Wilayah kecamatan yang terancam tanah longsor adalah Wringin, Pakem, Tegal Ampel dan Binakal. Tingkat kerawanan tanah kritis dicirikan oleh kondisi tanah yang sudah merekah (retak-retak), sehingga curah hujan yang tinggi akan mengakibatkan longsor. Musibah tanah longsor pada awal tahun 2002 telah menelan 18 korban jiwa , 144 unit rumah penduduk rusak dan roboh. Upaya-upaya reboisasi dan penghijauan telah dilakukan oleh PEMKAB, bekerjasama dengan PT Perhutani, Departemen Kehutanan, dan masyarakat sekitar. Namun hasilnya masih belum dapat dibuktikan. Jember: Banjir dan Hutan Gundul FOKUS, Kompas Cyber Media Jakarta, Kamis, 05 Januari 2006, 05:41 WIB Hujan yang turun terus menerus sejak akhir tahun 2005 hingga memasuki tahun 2006 menimbulkan banjir di beberapa daerah, terutama di Pulau Jawa. Awal tahun 2006 ditandai oleh banjir bandang dan tanah longsor melanda Kecamatan Panti, Kecamatan Rambipuji, Kecamatan Tanggul, dan Kecamatan Arjasa, Kabupaten Jember, Jawa Timur. 11 Hujan lebat sejak Minggu (1/1) malam itu menyebabkan banjir dan tanah longsor pada keesokan harinya (Senin, 2/1). Terjadinya banjir bandang dan tanah longsor yang mengagetkan penduduk Jember mengakibatkan 51 orang tewas, ratusan rumah hancur, ratusan hektare sawah rusak, dan ratusan warga terjebak dan terisolasi karena jembatan terputus. Sampai saat ini tim SAR terus bekerja keras menyelamatkan penduduk yang terjebak di tengah-tengah air bercampur lumpur. Bantuan makanan dan obat-obatan pun mengalir ke Jember. Bupati Jember, menyatakan bencana alam ini tak terlepas dari gundulnya hutan di lereng Gunung Argopuro yang merupakan hulu Sungai Kaliputih, Sungai Bedadung dan Sungai Jompo. Namun musibah ini diduga juga ada hubungannya dengan adanya lumbung-lumbung di aliran sungai. Seharusnya air ke luar dari lumbung, tetapi salurannya tertutup kayu yang sudah tua sehingga air tersumbat. Selain Jember, tanah longsor juga menimpa Banjarnegara, Jawa Tengah. Tanah longsor menimbun Kampung Gunungrejo di Kecamatan Banjarmangu, sekitar 15 kilometer arah utara kota Banjarnegara, Rabu (4/1) dini hari. Seperti diberitakan Kompas (Kamis, 5/1), dari lima RT di kampung yang berpenduduk 655 jiwa itu, hanya satu RT yang selamat dari musibah. Kita sungguh prihatin atas terjadinya bencana banjir dan tanah longsor yang menimpa Pulau Jawa. Hujan lebat sepanjang Januari-Februari seharusnya membuat wilayah lain di Indonesia siap siaga mengantisipasi kejadian serupa. Namun, kita lebih prihatin lagi karena hutan sebagai penyangga air hujan justru sebagian besar gundul akibat penebangan yang membabi buta. Padahal hutan gundul sangat berpotensi menimbulkan bencana alam, seperti banjir bandang dan tanah longsor. Dirut Perum Perhutani, mengakui 60 persen hutan Perhutani di Pulau Jawa berpotensi rawan bencana akibat penjarahan. Bahkan Menhut membenarkan, secara nasional luas hutan yang dipastikan gundul mencapai 59,2 juta hektar, dari total luas hutan 120,35 juta hektar. Pengalaman membuktikan bahwa ulah manusia merusak hutan, melakukan penebangan secara serampangan merupakan bom waktu di kemudian hari. Namun, hal ini berkali-kali terjadi, hutan tetap saja dijarah, sedangkan penanaman kembali tidak secepat penjarahan itu terjadi. Semestinya manusia hidup bersatu dengan alam dan memelihara lingkungan sekitar. Jika lingkungan dirusak, akibatnya sungguh luar biasa, dan akhirnya manusia juga yang menderita. Hutan Gundul, Ekosistem Sungai Rusak (http://www.warsi.or.id/bulletin/alamsumatera/ASP_Edisi9/asp9_11.htm) Sungai, dalam sejarahnya, telah memberi manfaat besar bagi umat manusia, hingga kini. Selain sebagai sumber air, sungai juga bermanfaat sebagai sarana perhubungan, sumber tenaga (listrik dengan PLTA _Pembangkit Listrik Tenaga Air), serta juga sebagai sumber pangan, karena menyimpan keragaman plasma nutfah. Kerusakan lahan berhutan, yang kerap terjadi di daerah dengan kelerengan curam, berpengaruh terhadap kerusakan ekosistem sungai, yang hulunya ke arah hutan. Ini terjadi karena dalam daur hidro-orologis terdapat suatu rantai perjalanan air: mulai saat hujan hingga bermuara ke laut. Kawasan hutan yang dikategorikan sebagai daerah tangkapan air hujan, merupakan bagian dari mata rantai itu. Sebab, 12 hutan pada daerah perbukitan dan pergunungan berfungsi sebagai penyimpan cadangan air hujan, sekaligus penyarin yang bekerja secara alami. Proses penyaringan dari berbagai strata vegetasi, disertai kemampuan vegetasi menahan laju erosi lapisan atas tanah, mampu mengurangi gangguan pada ekosistem sungai secara alami pula. Forest hydrological cycle (adapted from Hélie et al., 2005) Beberapa bencana seperti erosi, pendangkalan sungai di hilir, penurunan kualitas air sungai serta kepunahan spesies, terjadi karena hutan yang berada di hulu mengalami penggundulan. Jika dilakukan secara besar-besaran, akan mempengaruhi persediaan air tanah pada musim kemarau. Ini terkait dengan fungsi hutan sebagai kantung (penahan) air. Pada daerah yang gradien muka air tanahnya tinggi, daerah itu akan mudah kekurangan air di musim kemarau. Alasannya, permukaan air sungai lebih rendah dari permukaan air tanah. Akibat penggundulan hutan (deforestasi), selain berdampak pada sungai, secara tidak langsung juga mempengaruhi pertumbuhan pohon dan tanaman. Sebab, kandungan lengas tanah yang seharusnya cukup, menjadi berkurang karena air hujan lebih sedikit yang terinfiltrasi ke dalam lapisan tanah. Pengaruh lebih luas adalah berkurangnya populasi ikan di sungai. Beberapa jenis ikan kurang mampu beradaptasi karena terjadi perubahan habitat secara cepat. Perubahan intensitas penetrasi sinar matahari, oksigen, kandungan mineral dan tingkat keasaman (PH), adalah beberapa penyebabnya. Dengan berkurangnya populasi ikan, ini juga berdampak secara luas pada siklus rantai makanan. Populasi satwa, di antaranya, akan ikut berkurang karena kehilangan makanan. Menjaga kelestarian ekosistem sungai sama halnya dengan menghindari 13 kepunahan generasi mendatang. Salah satu cara untuk mengantisipasinya adalah dengan mencoba ramah pada alam dan hutan yang masih tersisa. Hutan gundul penyebab banjir bandang Waspada Online, Warta Sunday, 02 May 2010 15:48 SUDARMANTO, Koresponden Kepolisian, WASPADA ONLINE Musibah baniir bandang yang melanda kabupaten Samosir telah diperkirakan bertahun-tahun lalu. Hutan di Samosir telah rusak parah dan tidak ada lagi daerah penyanggah. Padahal pemerintah telah mengingatkan namun tidak direspon secara memadai. Sebelumnya, banjir bandang melanda desa Sabulan dan desa Rassang Bosi di Kecamatan Sitio-tio kabupaten Samosir pada, Kamis (29/4) malam. Dalam peristiwa itu, satu orang tewas, empat warga hanyut terbawa arus, yang hingga saat ini masih dilakukan pencarian. Selain itu, 4 unit jembatan masing-masing jembatan Tanda Rohot, Lumban Nahor, Lumban Garada dan jembatan HKBP Sitahutahu, yang menjadi penghubung antara dua desa putus. Tidak terlepas dari itu, banjir bandang yang juga menghantam tiga desa di kecamatan Sayurmatinggi, kabupaten Tapanuli Selatan, Sabtu (3/4) malam hingga menyebabkan tiga warga meninggal dunia, juga akibat perusakan hutan. Karenanya, aparat terkait pengamanan hutan diminta untuk menindaklanjuti dugaan yang ada. Sebab, persoalan bencana seperti ini di bumi Tapsel sekitarnya sudah yang keempatkalinya terjadi dalam rentang waktu 10 bulan terakhir. 14 Hutan Gundul Jadi Penyebab Masyarakat, Satpol PP, dan Dalmas Polres Subang Bersihkan Sisa Banjir Bandang (23 May 2010 ; Nasional, Pikiran Rakyat) Banjir bandang yang menimpa Kampung Cikondang Desa Nagrak Kecamatan Ciater diduga karena gundulnya hutan yang berada di atas desa tersebut. Selain gundulnya hutan yang ada di atas desa, banjir juga dipengaruhi oleh adanya pembuangan sampah ilegal. Seperti diberitakan "PR" sebelumnya, bencana banjir bandang dan tanah longsor di Ciater Subang merusak sedikitnya 15 bangunan rumah dan penginapan. Selain itu, 15 unit sepeda motor dan 2 mobil ikut hanyut terbawa air. Bencana itu diperkirakan telah menimbulkan kerugianmencapai ratusan juta. Sebab, untuk kerusakan Hotel Sari Alam saja, menurut pemiliknya, diperkirakan mencapai Rp 250 juta. "Hampir semua sarana hotel terbawa banjir bandang itu. Sementara itu, kondisi di daerah bencana banjir bandang mulai pulih setelah aparat Satpol PP dan anggota Dalmas Polres Subang beserta masyarakat setempat bergotong royong membersihkan lumpur, sampah, serta material lainnya. Bantuan untuk para korban banjir pun mulai mengalir ke lokasi kejadian. Palang Merah Indonesia (PMI) Cabang Subang dan PDAM setempat menyerahkan bantuan berupa 22 kotak obat-obatan, 6 kotak besar makanan bayi, puluhan kain sarung, dan tikar. Begitu mendapat laporan adanya bencana, PMI langsung mengirimkan petugas Satgana ke lapangan, sedangkan bantuannya baru diserahkan pada siang harinya. Kepala Bagian Sosial Setda Subang, segera menyalurkan bantuan bagi warga korban banjir dan longsor. Kami akan segera melakukan koordinasi dengan Dinas Sosial Kabupaten Subang. Karena, mereka yang memiliki stok beras. Sementara itu, memasuki hari ke dua, luapan Sungai Citarum masih merendam ribuan rumah di tiga Kecamatan di Kabupaten Bekasi, yaitu Muaragembong, Kedungwaringin, dan Cikarang Timur. Kecamatan Muaragembong menjadi kecamatan dengan ketinggian air paling tinggi mencapai hampir 15 meter. Hal seperti ini sebenarnya merupakan kejadian yang masih biasa. Kalau luapan Citarum pada April lalu baru luar biasa, namanya juga masyarakat yang hidup di pinggir laut, sudah tidak heran jika kejadian banjir seperti ini (menurut Camat Muaragembong). Meski begitu, pihaknya sudah mengimbau untuk tidak panik karena ketinggian air di Sungai Citarum masih bisa diatasi. Kami tetap mengantisipasi bahaya banjir tersebut, tetapi tidak perlu ada kepanikan lantaran tinggi air masih bisa ditangani. Sementara itu, di Kecamatan Cikarang Timur dan Kedungwaringin, ketinggian banjir mulai surut meski hanya surut dua puluh sentimeter. Hingga kini, ketinggian air hanya mencapai sekitar satu meter. Banjir Bandang Di Serang Akibat Hutan Gundul (Muhammad Hilman Fikri; Rabu, 22 September 2010 15:29 WIB Serang (ANTARA Banten) Banjir bandang yang terjadi di Kecamatan Baros, Kabupaten Serang, Provinsi Banten, pada Senin malam, akibat gundulnya hutan di Gunung Karang, Kabupaten 15 Pandeglang. Wakil Bupati Serang menyatakan, pihaknya akan segera melakukan koordinasi dengan Pemerintah Kabupaten Pandeglang dan Pemerintah Provinsi Banten. Kalau tidak segera ditanggulangi, nanti ketika hujan, wilayah Baros pasti banjir lagi. Ini perlu solusi antar daerah. Camat Baros menyatakan, setiap tahun di Kecamatan Baros memang kerap terjadi banjir. "Tetapi tahun ini yang paling besar di Gunung Karang, Kabupaten Pandeglang, karena hutan semakin gundul. Akibatnya ya banjir ke sini. Ia mengungkapkan, jumlah rumah yang terkena banjir Senin malam bertambah 10 dari sebelumnya 42 rumah. Saat ini masyarakat masih beres-beres rumah mereka dibantu TNI dan polsek setempat. Dikhawatirkan banjir bandang dari luapan Sungai Ciwaka ini akan terjadi lagi jika hujan deras kembali terjadi. Dua desa di Kecamatan Baros, Kabupaten Serang, Provinsi Banten, Senin malam sekitar pukul 21.00 WIB terkena banjir bandang. Sebanyak 52 rumah terendam dan 5 rumah terbawa hanyut. ANALISIS FAKTOR PENYEBAB BENCANA Bencana alam banjir-bandang yang terjadi di Indonesia akhir-akhir ini terasa sangat memprihatinkan. Kejadian-kejadian banjir bandang, banjir lumpur, tanah longsor, erosi-sedimentasi, pencemaran air, badai-topan-angin puyuh, kebakaran hutan, kelangkaan air bersih, gempa bumi dan lainnya, telah mengakibatkan kerugian material dan korban jiwa yang sangat besar. Ancaman bencana alam ini diyakini masih akan berlanjut pada tahun-tahun mendatang, bahkan diperkirakan tidak kalah parahnya dibandingkan dengan kejadian selama tahun ini. Banyak komentar, analisis dan kajian-kajian praktis dan penelitian ilmiah telah dan sedang dilakukan untuk mencari alternatif solusi yang ampuh. Berbagai proyek pembangunan telah dirancang dan didanai untuk dilaksanakan dalam kaitannya dengan penanganan bencana alam tersebut dengan sekala anggaran milyaran rupiah. Namun semua upaya itu masih belum mampu memupus kekhawatiran sebagian besar masyarakat Jawa Timur terhadap ancaman bencana alam di masa mendatang. Beberapa faktor yang diyakini menjadi penyebab terjadinya bencana alam di Jawa Timur adalah: 1. Curah hujan yang tinggi 2. Geomorfologi dan Topografi: Bergunung, dan Lereng yang curam 3. Formasi geologi: Vulkanik muda 4. Vegetasi Penutup Tanah: Hutan gundul 5. Perilaku manusia & masyarakat dalam berinteraksi dengan lingkungannya: Konsumtif dan eksploitatif. 6. Lemahnya sistem dan perangkat yuridis dalam kaitannya dengan penanganan dampak bencana alam. Tiga faktor alam (1), (2) dan (3) tampaknya berada di luar jangkauan rekayasa efektif oleh manusia. Semua itu sebenarnya diciptakan oleh Sang Pencipta sebagai “rahmatan lil alamin”, namun karena ulah manusia yang keliru pada akhirnya dapat mendatangkan “mudharat” dan bencana alam. 16 Faktor (4), (5) dan (6) sepenuhnya berada dibawah kendali dan rekayasa manusia dan masyarakatnya. Kasus- kasus aktual yang dijelaskan di atas, kalau dicermati membuktikan bahwa kekeliruan mengelola vegetasi penutup tanah, utamanya hutan pegunungan, mengakibatkan “air hujan” yang diciptakan sebagai “rahmatan lil alamin” berubah menjadi “mudhoratan lil alamin”, menjelma menjadi berbagai bentuk bencana / musibah seperti banjir, banjir lumpur, banjir bandang, tanah longsor, badai-topanangin puyuh, dan lainnya. Menurut “sunnatullah”-nya (hukum alam), air hujan yang jatuh di permukaan bumi ini harus sebanyak-banyaknya masuk ke dalam tanah (bumi), kemudian “menghidupkan” bumi (menyuburkan tanah), dan dari situ akan tumbuh aneka buahbuahan hasil pertanian untuk manusia. Melalui berbagai cara, air hujan dapat memasuki tanah (Infiltrasi dan perkolasi), di antaranya dengan bantuan pohonpohonan, tajuk pohon membantu intersepsi air hujan, sedangkan akar pohon membantu ilfiltrasi dan perkolasi; akibatnya limpasan permukaan air hujan menjadi minimal. Pohon-pohonan ini dapat berdiri sendiri secara individual, atau sekumpulan pohon sejenis (populasi, hutan tanaman), atau campuran jenis berupa ekosistem hutan lindung. Di Jawa Timur, kawasan butan lindung seluas 349.068 ha, dan kawasan hutan produksi 621.948 ha; Total kawasan hutan seluas 971.116 ha (Ditjen RLPS , 2000). Berbagai bentuk ulah manusia dalam memanfaatkan sumberdaya alam hutan, telah terbukti mengakibatkan populasi pohon semakin menipis atau bahkan penggundulan hutan. Sebagai akibat dari berkurangnya jumlah pohon atau hilangnya pohon-pohonan, maka permukaan tanah menjadi tidak terlindung terhadap pukulan air hujan. Akibatnya hanya sedikit sekali air hujan yang dapat memasuki tanah (infiltrasi dan perkolasi) dan sebagian besar air hujan “HARUS” mengalir di permukaan tanah yang curam (surface runoff) dengan menghanyutkan apa saja yang ada di permukaan tanah. Terjadilah erosi, pengikisan tanah dan akhirnya terjadilah tanah longsor, banjir, banjir lumpur atau banjir bandang. Di daerah bawah (hilir), bencana banjir biasanya terjadi karena banjir kiriman dari daerah atas (hulu), dan air hujan yang jatuh tidak dapat masuk ke dalam tanah, serta saluran drainase air hujan semakin minim karena tersumbat oleh berbagai bentuk sampah/limbah, atau karena dihuni oleh berbagai kepentingan manusia. Banyak faktor yang bisa menjadi pemicu banjir bandang di berbagai daerah di Indonesia. Banjir bandang merupakan suatu proses aliran air yang deras dan pekat karena disertai dengan muatan masif bongkah-bongkah batuan dan sedimen tanah (sering pula disertai dengan batang-batang kayu) yang berasal dari arah hulu sungai. Selain berbeda dari segi muatan yang terangkut di dalam aliran air tersebut, banjir bandang ini juga berbeda dibandingkan banjir biasa. Sebab, dalam proses banjir ini, terjadi kenaikan debit air secara tiba-tiba dan cepat meskipun tidak diawali dengan turunnya hujan. 17 Pemukiman di lereng bukit harus selalu memperhatikan kondisi bukit diatasnya. Banjir biasanya terjadi dengan diawali oleh proses pembendungan alamiah di daerah hulu sungai yang berada pada lereng-lereng perbukitan tinggi. Pembendungan alamiah ini sering terjadi sebagai akibat terakumulasinya endapan-endapan tanah dan batuan yang longsor dari bagian atas lereng. Proses pembendungan alamiah ini dapat terjadi secara lebih cepat apabila disertai dengan penumpukan batang-batang kayu yang terseret saat longsor terjadi. Kondisi cuaca ekstrim memungkinkan sebagai pemicu longsoran dan banjir bandang. Sumber: http://munkerz.blogspot.com/2010/10/analisabanjir-wasior.html 18 Sumber: http://k3mpitz.blogspot.com/2010/03/banjir.html BANJIR. Bencana alam yang terjadi di Indonesia sepanjang 2009 hingga 2010 didominasi akibat banjir dengan prosentase sebanyak 60 persen disusul oleh longsor, gempa bumi dan tsunami. Lihat saja banjir bandang yang banyak terjadi karena sungai tiba-tiba meluap atau contohlah di jakarta yang kebanyakan banjir terjadi karena ulah manusia sendiri. Banjir dapat terjadi karena berbagai sebab, baik alam maupun manusia. Berikut adalah hal-hal yang dapat menyebabkan terjadinya banjir: Peristiwa alam seperti Curah hujan tinggi dalam jangka waktu yang lama. Buruknya penanganan sampah (membuang sampah disungai atau selokan), hingga kemudian membuat saluran air tersumbat. Bendungan yang kurang terkoordinir (tersumbat sampah dan atau waktunya perbaikan) yang mengakibatkan saluran air tidak sempurna. Penebangan hutan secara liar dan tidak terkendali di daerah dataran tinggi yang menyebabkan banjir dan juga tanah longsor. Kurangnya lahan serap air di daerah perkotaan. Sehingga memudahkan terjadi bencana banjir. Kiriman atau bencana banjir bandang dari wilayah yang lebih tinggi. Pembangunan tempat permukiman dimana tanah kosong diubah menjadi jalan gedung, tempat parkir, hingga daya serap air hujan tidak ada. BANJIR dan tanah longsor dapat mengancam warga di sekitar hutan, terutama di hulu DAS. Banjir, tanah longsor, dan kekeringan memang akan silih berganti menerjang. Hal ini semua menjadi muara dari merosotnya daya dukung lingkungan hidup. Hutan, sebagai sistem penyangga kehidupan, telah tereduksi dengan hebat, baik kualitas maupun luasannya. Lampung, misalnya, provinsi yang luasnya sekitar 3 juta kilometer persegi ini sekarang hanya menyisakan hutan tidak sampai 20 persen. Padahal, Undang-Undang Kehutanan mematok luas hutan minimal 30 persen dari daratan. 19 Sumber: http://sosbud.kompasiana.com/2009/11/26/menyusuri-hulu-banjir-dan-longsor/ KERANGKA SOLUSI Hidrologi Hutan SISTEM agroforestri yang juga dikenal dengan ‘wanatani’ dalam mempertahankan produktivitas lahan, dan sekaligus memberikan perlindungan terhadap fungsi hidrologi. Hubungan antara pengelolaan DAS yang berkelanjutan (lestari) dengan fungsi hidrologi dan agroforestri menjadi kajian yang relevan dalam konteks hidrologi DAS. Hubungan antara pengelolaan DAS berkelanjutan dengan fungsi hidrologi dan agroforestri (Sumber: Van Noordwijk et al., 2004). 20 Aliran sungai lebih ditentukan oleh tingkat curah hujan daripada oleh proses hidrologi lainnya yang dipengaruhi oleh DAS. Aspek utama yang termasuk dalam aliran sungai adalah total hasil air tahunan, keteraturan aliran, frekuensi terjadinya banjir pada lahan basah, dataran aluvial dan ketersediaan air pada musim kemarau. Agar lebih terfokus dalam mempelajari fungsi DAS diperlukan pemilahan antara kontribusi hujan, terrain (bentuk topografi wilayah serta sifat geologi lain yang tidak dipengaruhi langsung oleh adanya alih guna lahan), serta peran tutupan lahan (terutama yang langsung dipengaruhi oleh aktivitas manusia). “Hujan atau presipitasi” (P) akan terurai menjadi aliran sungai (Q) dan evapotranspirasi (E) pada suatu sistem neraca air. Hubungan antara faktor-faktor ini dapat membantu kita dalam memahami logika dan tarik ulur antara perubahan transmisi air, daya sangga kejadian puncak hujan dan fungsi DAS dalam menyalurkan air secara perlahan. Dengan melakukan analisis hubungan perubahan tutupan lahan terhadap proses intersepsi kanopi, infiltrasi air ke dalam tanah, penyerapan air oleh tanaman, penyimpanan air di dalam tanah untuk sementara waktu (yang selanjutnya akan mengalami evapotranspirasi dan transpirasi oleh tanaman), maka dapat dipahami dampak tutupan lahan terhadap neraca air tahunan. Skema hubungan presipitasi, evapotranspirasi, infiltrasi dan aliran sungai. (Sumber: Van Noordwijk et al., 2004). Tutupan lahan oleh tajuk pohon (tutupan pohon) dengan segala bentuknya dapat mempengaruhi aliran air. Tutupan pohon tersebut dapat berupa hutan alami, atau sebagai permudaan alam (natural regeneration), pohon yang dibudidayakan, pohon sebagai tanaman pagar, atau pohon monokultur (misalnya hutan tanaman industri). Pengaruh tutupan pohon terhadap aliran air adalah dalam bentuk: Intersepsi air hujan. Selama kejadian hujan, tajuk pohon dapat mengintersepsi dan menyimpan sejumlah air hujan dalam bentuk lapisan tipis air (waterfilm) pada permukaan daun dan batang yang selanjutnya akan mengalami evaporasi sebelum jatuh ke tanah. Banyaknya air yang dapat diintersepsi dan dievaporasi tergantung pada indeks luas daun (LAI), karakteristik permukaan daun, dan karakteristik hujan. Intersepsi merupakan komponen penting jika jumlah curah 21 hujan rendah, tetapi dapat diabaikan jika curah hujan tinggi. Apabila curah hujan tinggi, peran intersepsi pohon penting dalam kaitannya dengan pengurangan banjir. Daya pukul air hujan. Vegetasi dan lapisan seresah melindungi permukaan tanah dari pukulan langsung tetesan air hujan yang dapat menghancurkan agregat tanah, sehingga terjadi pemadatan tanah. Hancuran partikel tanah akan menyebabkan penyumbatan pori tanah makro sehingga menghambat infiltrasi air tanah, akibatnya limpasan permukaan akan meningkat. Peran lapisan seresah dalam melindungi permukaan tanah sangat dipengaruhi oleh ketahanannya terhadap pelapukan; seresah berkualitas tinggi (mengandung hara, terutama N tinggi) akan mudah melapuk sehingga fungsi penutupan permukaan tanah tidak bertahan lama. Infiltrasi air. Proses infiltrasi dipengaruhi oleh tekstur dan struktur tanah lapisan atas dan lapisan-lapisan lainnya dalam profil tanah. Struktur tanah juga dipengaruhi oleh aktivitas biota yang sumber energinya tergantung kepada bahan organik (seresah di permukaan, eksudasi organik oleh akar, dan akar-akar yang mati). Ketersediaan makanan bagi biota (terutama cacing tanah), penting untuk mengantisipasi adanya proses peluruhan dan penyumbatan pori makro tanah. Lima faktor yang mempengaruhi partisi air hujan menjadi komponen debit sungai dan evapotranspirasi. (Sumber: Van Noordwijk et al., 2004). Serapan air. Sepanjang tahun tanaman menyerap air dari berbagai lapisan tanah untuk mendukung proses transpirasi pada permukaan daun. Faktor – faktor yang mempengaruhi jumlah serapan air oleh pohon adalah fenologi pohon, distribusi akar dan respon fisiologi pohon terhadap cekaman parsial air tersedia. Serapan air oleh pohon diantara kejadian hujan akan mempengaruhi jumlah air yang dapat disimpan dari kejadian hujan berikutnya, sehingga selanjutnya akan mempengaruhi proses infiltrasi dan aliran permukaan. Serapan air pada musim kemarau, khususnya dari lapisan tanah bawah akan mempengaruhi jumlah air tersedia untuk ‘aliran lambat’ (slow flow). 22 Drainase lansekap. Besarnya drainase suatu lansekap (bentang lahan) dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain kekasaran permukaan tanah, relief permukaan tanah yang memungkinkan air tinggal di permukaan tanah lebih lama sehingga mendorong terjadinya infiltrasi, tipe saluran yang terbentuk akibat aliran permukaan yang dapat memicu terjadinya ‘aliran cepat air tanah’ (quick flow). Selain tutupan pohon, ada faktor lain yang dapat mempengaruh fungsi hidrologi tanah. Pada hutan alami, perlintasan hewan biasanya meninggalkan jalan setapak yang merupakan pemicu petama terbentuknya jalur aliran permukaan walaupun tingkatannya masih belum membahayakan. Jalan yang terbentuk oleh kendaraan berat selama penebangan pohon juga meningkatkan runoff air hujan menuju sungai. Konversi hutan biasanya juga ditujukan untuk perbaikan drainase guna melindungi tanaman dari bahaya penggenangan dan atau aliran permukaan. Hal ini berdampak sangat baik kalau air hujan dapat diresapkan ke dalam tanah sebanyakbanyaknya. Adanya kawasan resapan air hujan pada suatu lansekap mempunyai peranan penting dalam mengurangi terjadinya banjir di daerah hilir. Namun sebaliknya, jika ada usaha mengurangi frekuensi terjadinya banjir di daerah hulu dengan mempercepat aliran-permukaan (runoff) ke hilir, justru akan meningkatkan resiko banjir di daerah hilir. Skematik hidrologi hutan (Sumber: http://water.westgis.ac.cn/) 23 Kalau analisis yang dikemukakan di atas benar, maka hanya ada satu solusi hakiki yang dapat diusulkan untuk dilakukan, yaitu “KEMBALI KEPADA SUNNATULLAH-nya AIR HUJAN”. Secara lebih operasional, HUKUM ALAM air hujan ini dapat dijabarkan menjadi empat macam strategi, yaitu : 1. Memasukkan air hujan sebanyak-banyaknya ke dalam bumi, sesuai dengan karakteristik dan kemampuan permukaan bumi 2. Menyalurkan air hujan di permukaan bumi secepat mungkin menuju sungai dan/atau laut 3. Menampung air hujan di permukaan bumi untuk sementara waktu guna diambil manfaatnya 4. Mengembalikan air hujan secepatnya ke atmosfer di tempat-tempat yang relevan. Implementasi keempat strategi tersebut mensyaratkan adanya “teknologi tepat guna” yang dilakukan oleh “sumberdaya manusia yang berdaya” dan dikendalikan oleh “sistem kelembagaan yang efektif”. Metode Memanen dan Memanfaatkan Air Hujan untuk Penyediaan Air Bersih (Sumber: bebasbanjir2025.wordpress.com) 24 Bangunan sumur resapan adalah salah satu rekayasa teknik konservasi air (Sumber: bebasbanjir2025.wordpress.com). 1. TEKNOLOGI TEPAT GUNA Berbagai teknologi tepat guna telah ada dan siap digunakan untuk memfasilitasi meresapnya air hujan ke dalam bumi; beberapa di antaranya adalah: 1. Teknologi yg bersifat mekanik-sipil, seperti Bozem, Zone resapan, Sumur resapan, Kolam resapan, dan lainnya 2. Teknologi yang bersifat biologis, yang populer dengan istilah PENGHIJAUAN, REBOISASI, AGROFORESTRI, GSP (Gerakan Sejuta Pohon), Kebun Campuran, dan lainnya. 25 BIO-PORI berfungsi menampung air hujan/aliran permukaan agar dapat meresap ke dalam tanah (Sumber: blhdmakassar.info) Penghutanan kembali ditandai oleh kegiatan penanaman pohon-pohonan di dalam kawasan hutan: 1. Kawasan hutan produksi: Jenis pohon yang mempunyai nilai ekonomi tinggi, seperti Jati, Mahoni, Damar, Pinus, Akasia, Sengon, dll. Seharusnys sistem penanamannya tidak 100% monokultur dengan tegakan sejenis siap tebang; paling tidak ada 10-20% jalur permanen tegakan pohon lindung. 2. Kawasan Hutan Lindung: Jenis pohon yang mempunyai nilai hidrologi tinggi dan nilai ekonomi rendah, seperti Pohon Beringin, Terembesi dll. Reboisasi kawasan hutan lindung dengan jenis-jenis tegakan yg bernilai ekonomis-tinggi berarti menjadi “bom waktu” untuk pencurian dan penjarahan. 3. Taman Nasional: Jenis pohon-pohonan yang mempunyai nilai estetika dan nilai ekologi tinggi, serta nilai ekonomi rendah. Penghijauan adalah penanaman pohon-pohonan pada lahan-lahan di luar kawasan hutan: 1. Kawasan Perkebunan Rakyat: Penanaman dengan Sistem Empat Strata (SES), yaitu: 1. Strata I : Jenis Pohon Lindung, bernilai ekonomi rendah dan bernilai hidrologi / ekologi tinggi 2. Strata II: Jenis komersial, kopi, kakao, kelapa dll. 3. Strata III: Jenis cover-crop, feed crops 4. Strata III: Jenis Cacing Tanah. 26 2. Kawasan Tegal Talun / Kebun Campuran: Penanaman dengan Sistem Empat Strata (SES), yaitu: 1. Strata I : Jenis Pohon Lindung, bernilai ekonomi rendah dan bernilai hidrologi / ekologi tinggi 2. Strata II: Jenis ekonomis: buah-buahan, tanaman industri. 3. Strata III: Jenis cover-crop, feed crops 4. Strata III: Jenis Cacing Tanah. 3. Kawasan Tegal / Pertanian Lahan Kering: Penanaman dengan Sistem Tumpangsari, alley cropping, dll: 1. Strata I : Jenis Tanaman Lindung, bernilai ekonomi rendah dan bernilai hidrologi / ekologi tinggi 2. Strata II: Jenis ekonomis: aneka jenis palawija/ sayuran. 3. Strata III: Jenis cover-crop, feed crops, hedge-row 4. Strata IV: Kolam / Penampung Air Hujan. 4. Kawasan Lahan Pekarangan: Penanaman dengan Sistem Agroforestri: 1. Strata I : Jenis Tanaman Lindung, bernilai ekonomi rendah dan bernilai hidrologi / ekologi tinggi, sbg pembatas lahan. 2. Strata II: Jenis pohon ekonomis: aneka buah-buahan. 3. Strata III: Jenis cover-crop, feed crops, hedge-row 4. Strata IV: Kolam / Penampung Air Hujan. 5. Kawasan Pemukiman / perumahan / perkotaan: 1. Strata I: Jenis pohon lindung, nilai ekonomi rendah dan nilai ekologi tinggi 2. Strata II: Jenis perdu yang bernilai estetika tinggi 3. Strata III: Jenis cover crop. Berbagai bentuk teknologi sipil telah dikembangkan untuk menyalurkan air permukaan menuju ke sungai dan laut, misalnya sistem drainase kota, saluran pembuangan air, pompanisasi, dll. Teknologi untuk menampung air hujan di permukaan bumi sementara waktu guna diambil manfaatnya, seperti embung, kolam ikan, mina-padi, reservoir, dll. 2. Pengembangan SDM dan Pemberdayaan Masyarakat Bertitik tolak dari hal-hal di atas maka Visi dalam pemberdayaan masyarakat dalam kaitannya dengan upaya penyelamatan hutan tanah dan air adalah: Memberdayakan masyarakat sehingga mampu “keluar dari” ketidakmampuan, ketertinggalan dan kemiskinannya. 27 Sumber: http://www.kphrandublatung.perumperhutani.com Pelatihan “PLDT” Bagi Masyarakat Desa Hutan Upaya Pemerintah Propinsi Jawa Tengah untuk memperkuat sektor pertanian dengan slogan "Bali Ndeso Mbangun Deso" dalam penerapannya juga merambah pada lembaga masyarakat desa hutan dan kelompok tani hutan, kedua kelompok masyarakat tersebut sudah menampakkan jati dirinya sebagai pelopor pembaharuan perekonomian pedesaan. Sistem PHBM yang sudah berjalan delapan tahun secara umum belum bisa merubah kehidupan masyarakat desa hutan secara keseluruhan dalam meningkatkan taraf hidup masyarakat, sehingga LMDH masih memerlukan bimbingan dan pengawalan yang lebih intensif dari berbagai kalangan yang berkompeten, termasuk dari Dinas Kehutanan Propinsi Jawa Tengah dan Kabupaten Blora yang menyelenggarakan pelatihan pemanfaatan lahan di bawah tegakan yang dilaksanakan di Blora. Pelatihan pemberdayaan masyarakat desa hutan dengan cara memanfaatkan kawasan hutan untuk kegiatan pertanian dibawah tegakan dilaksanakan untuk mempercepat kemandirian masyarakat desa hutan dimana dalam mencapai tujuan tersebut masih perlu adanya campur tangan berbagai pihak dengan ragam pengetahuan yang berbeda namun mempunyai tujuan yang sama yaitu membentuk masyarakat desa hutan yang mandiri di Ngliron KPH Randublatung. Tujuan utama pelatihan ini memberikan bekal kepada peserta dalam hal ketrampilan berwira usaha baik mengenai pembuatan kompos bokhasi, budidaya empon – empon serta usaha pengawetan pakan ternak dengan pola silase. Pemerintah Provinsi Jawa Tengah bertekad untuk memberdayakan masyarakat petani, sedangkan di bidang kehutanan, pelatihan ini pada masyarakat desa hutan serta kelompok tani hutan dengan harapan agar mereka nantinya bisa mandiri dan tidak menggantungkan pihak lain. Hal ini karena menurut evaluasi penggunaan dana sharing yang diberikan oleh Perhutani kepada LMDH yang ada belum mencapai sasaran yang optimal. Hal tersebut 28 mendorong pemerintah dalam hal ini Dinas Kehutanan bersama – sama dengan Perhutani harus bekerja lebih giat untuk memberikan motivasi dan mengawal mereka ( LMDH ) agar bisa lebih mempunyai daya pacu dalam memanfaatkan dana sharing sehingga bisa bermanfaat bagi masyarakat luas dan salah satu upaya tersebut melalui pelatihan manajerial dan ketrampilan berusaha tersebut. Dalam pelatihan yang dikuti oleh 30 orang dari LMDH se kabupaten Blora serta 10 orang dari kelompok tani hutan tersebut materi yang diberikan disesuaikan dengan kebutuhan yang dipandang cocok untuk dikembangkan di desa masing – masing sehingga bisa cepat diserap, diterapkan dan bersentuhan langsung dengan masyarakat desa hutan. Selain itu bagi LMDH maupun Kelompok tani hutan hak juga diinformasikan bahwa saat ini untuk mendukung program bali desa mbangun desa telah disiapkan program pendanaan untuk mendukung kegiatan ekonomis produktif bagi masyarakat terkait program tersebut. Sumber: http://www.antarafoto.com/peristiwa/v1267333801/hasil-hutan-tanamanrakyat 29 MISI: PANCABAKTI PEMBERDAYAAN Masyarakat Bagaimana melestarikan fungsi produksi H.T.A. ? Bagaimana Mengolah HASIL primer? Bagaimana memanfaatkan Peluang Pasar? ? Bagaimana Menyediakan Sarana Penunjang? (AGRO-INDUSTRI) Bagaimana memproduksi yang benar ? (USAHATANI) 30 STRATEGI PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MELINDUNGI MENGAJAK MEMBERITAHU MEMIHAKI MEMBANTU & MENDAMPINGI MELATIH 31 PRASYARAT PEMBERDAYAAN SIRAMAN ROHANI Manajemen Finansial PENDAMPINGAN PENYEHATAN BIOFISIK PENYEHATAN LINGKUNGAN PENDIDIKAN KETRAMPILAN (Continuing Education) KONSEPSI PEMBERDAYAAN MASYARAKAT Istilah “pemberdayaan masyarakat” sering menjadi bahan kajian dan pembahasan lintas kepentingan. Apa sebenarnya arti dari “pemberdayaan masyarakat” tersebut? Secara lugas dapat diartikan sebagai suatu proses yang membangun manusia atau masyarakat melalui pengembangan kemampuan masyarakat, perubahan perilaku masyarakat, dan pengorganisasian masyarakat. Ada tiga tujuan utama dalam pemberdayaan masyarakat yaitu mengembangkan kemampuan masyarakat, mengubah perilaku masyarakat, dan mengorganisir diri masyarakat. Kemampuan masyarakat yang dapat dikembangkan tentunya banyak sekali seperti kemampuan untuk berusaha, kemampuan untuk mencari informasi, kemampuan untuk mengelola kegiatan, kemampuan dalam pertanian dan masih banyak lagi sesuai dengan kebutuhan atau permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat. Perilaku masyarakat yang perlu diubah tentunya perilaku yang merugikan masyarakat atau yang menghambat peningkatan kesejahteraan masyarakat. Contoh yang terjadi di masyarakat, seperti anak tidak boleh sekolah, ibu hamil tidak boleh makan telor, yang membicarakan rencana pembangunan desa hanya kaum laki-laki saja, dan masih banyak lagi yang terjadi di masyarakat. 32 Pengorganisasian masyarakat dapat dijelaskan sebagai suatu upaya masyarakat untuk saling mengatur dalam mengelola kegiatan atau program yang mereka kembangkan. Disini masyarakat dapat membentuk panitia kerja, melakukan pembagian tugas, saling mengawasi, merencanakan kegiatan, dan lain-lain. Lembaga-lembaga adat yang sudah ada sebaiknya perlu dilibatkan karena lembaga inilah yang sudah mapan, tinggal meningkatkan kemampuannya saja. Pemberdayaan masyarakat adalah proses pembangunan di mana masyarakat berinisiatif untuk memulai proses kegiatan sosial untuk memperbaiki situasi dan kondisi diri sendiri. Pemberdayaan masyarakat hanya bisa terjadi apabila warganya ikut berpartisipasi. Suatu usaha hanya berhasil dinilai sebagai "pemberdayaan masyarakat" apabila kelompok komunitas atau masyarakat tersebut menjadi agen pembangunan atau dikenal juga sebagai subyek. Disini subyek merupakan motor penggerak, dan bukan penerima manfaat (beneficiaries). Sumber: http://dkn.or.id/program/kehutanan-dan-ekonomi/ Proses Belajar Pemberdayaan MDH di Jawa Pengelolaan hutan di Jawa selalu bersentuhan dengan permasalahan sosial. Kurang lebih 20 juta orang hidupnya tinggal di sekitar hutan-hutan di Pulau Jawa. Peran masyarakat dalam pengelolaan hutan di Pulau Jawa merupakan faktor utama dalam perjalanan pengelolaan hutan di pulau terpadat ini. Sejak tahun 1982 Perum Perhutani sudah memulai program pendekatan kesejahteraan masyarakat dalam rangka mengikut sertakan masyarakat dalam pengelolaan hutan. Di tahun 1984 Perhutani mengeluarkan program perhutanan sosial yang kemudian di tahun 1994 berubah menjadi program pembinaan masyarakat desa hutan (PMDH) terpadu. 33 PRINSIP PENDAMPINGAN PENDAMPING Broadcasting System Group YANG DIDAMPINGI SUBSTANSI PESAN/ INFORMASI/ Receiving System Groups Berdasarkan prinsip di atas maka upaya pemberdayaan dapat diarahkan pada: (a). Peningkatan kualitas dan kemampuan sumberdaya manusia dan masyarakat, baik biofisik, sosial-politik, maupun mental-spiritual, melalui jalur pelayanan pendidikan (IMTAQ dan IPTEK), pelayanan kesehatan, dan perbaikan gizi dan lingkungan. (b). Pengembangan tingkat partisipasi penduduk secara sinergis untuk membentuk kelompok usaha bersama sehingga mempunyai posisi tawar yang lebih kuat dalam bernegosiasi dengan pihak lain (c). Pengembangan dan membuka usaha produktif yang dapat diakses oleh kelompok masyarakat secara berkelanjutan. (d). Penguatan akses rumahtangga dalam penguasaan faktor-faktor produksi, utamanya modal dan teknologi. (e). Pemihakan kebijakan publik yang mampu mendorong peningkatan daya beli masyarakat. 34 4. Institutional Building Pengembangan Kelembagaan Keswadayaan masyarakat dilakukan untuk mengembangkan kelembagaan keswadayaan atau volunter yang berfungsi dalam penggalangan solidaritas sosial dan partisipasi masyarakat luas untuk memecahkan masalah penyelamatan Hutan, Tanah dan Air. Sasaran yang harus dicapai adalah terwujudnya sistem kelembagaan keswadayaan di masyarakat dan keaktifan kelompok masyarakat, kelompok asosiasi, organisasi yayasan, lembaga swadaya masyarakat dalam membantu pemecahan masalah pengelolaan sumberdaya Hutan, Tanah dan Air. Kegiatan yang dapat diprioritaskan dalam pengembangan kelembagan keswadayaan masyarakat adalah : (1) pengembangan skema jaringan kerja kegiatan keswadayaan, (2) pengembangan kapasitas lembaga-lembaga keswadayaan, (3) pengembangan forum komunikasi antar tokoh penggerak dan lembagalembaga yang bergerak dalam kegiatan keswadayaan, (4) pengembangan kemitraan antar organisasi keswadayaan, orcanisasi masyarakat setempat, dan pemerintah, (5) pengurangan hambatan regulasi dan iklim yang menyangkut keberadaan peran organisasi keswadayaan. Sumber: http://3.bp.blogspot.com/ 35 DAFTAR PUSTAKA Agus, F. 1998. Aplikasi Teknik Konservasi Tanah Pada Lahan Kritis di Indonesia. Kumpulan Makalah Ekspose Hasil Penelitian Teknik Rehabilitasi dan Reboisasi Lahan Kritis. Wanariset II Kuok, Balai Penelitian Kehutanan Pematang Siantar. Agus, F. A, Abdurachman, A, Rachman, S. H, Talao’ohu, A, Dariah, B. R, Prawiradiputra, B, Hafif, dan Wiganda, S, (1999), Teknik Konservasi Tanah dan Air, Sekretariat Tim Pengendali Bantuan Penghijauan dan Reboisasi Pusat. Departemen Kehutanan. Arsyad, S. 2000. Pengawetan Tanah dan Air, Departemen Ilmu-Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Asdak, C, 1995. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Dahal, R. J, Hasegawa, S, Nonomura, A, Yamanaka, M, Dhakal, S, and Paudyal, P. 2008. Predictive Modelling of Rainfall-Induced Landslide Hazard in The Lesser Himalaya of Nepal Based on Weights-of-Evidence, Geomorphology, Vol. 102, pp. 496 - 510. Dai, F. C, Lee, C. F, Li, J, and Z.W. Xu. 2001. Assessment of Landslide Susceptibility on The Natural Terrain of Lantau Island, Hong Kong, Environmental Geology, Vol. 40, pp. 381 - 391. Dayusita, D, Sugiarto B, A. Dwi. 2008. Arahan Pemanfaatan Lahan Kawasan Rawan Bencana Longsor SSWP Ngantang Kabupaten Malang, Thesis, Jurusan Perencanaan Wilayah Kota, Fakultas Teknik, Universitas Brawijaya, Malang. Departemen Kehutanan. 2001. Pedoman Penyelenggaraan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai, Departemen Kehutanan, Jakarta. Departemen Kehutanan, (2008), Implementasi Kebijakan Program Pengelolaan DAS Brantas, Konsultasi Publik Pengelolaan DAS Terpadu, BP DAS Brantas, Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Kehutanan Sosial, Departemen Kehutanan, Jakarta. Departemen Pertanian. 1993. Laporan Inventarisasi/ Identifikasi Lahan Marginal/ Kritis pada Kawasan Lahan Usahatani Seluruh Indonesia, Direktorat Bina Rehabilitasi dan Pengembangan Lahan, Departemen Pertanian, Jakarta. Departemen Pertanian. 2007. Teknologi Budidaya pada Sistem Usaha Tani Konservasi, Sosialisasi Pedum Budidaya Pertanian pada Lahan Pegunungan, Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Lahan Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian. Direktorat Pengelolaan DAS. 2008. Pola Umum Kriteria dan Standar Pengelolaan DAS Terpadu, Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial, Direktorat Pengelolaan DAS, Jakarta. Hardiyatmo, H. R. 2006. Penanganan Tanah Longsor dan Erosi, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Hawkins, Sembiring, R. H, Lubis, D, dan Suwardjo, (1991), The Potensial of Alley Cropping in The Uplands of East and Central Java, Upland and Agriculture Conservation Project-Farming System Research, Agency for Agriculture Research and Development, Salatiga. 36 Hirmawan, F. 1994. Pemahaman Sistem Dinamis Kestabilan Lereng untuk Mitigasi Kebencanaan Longsor. Makalah Penunjang No. 17 Simposium Nasional Mitigasi Bencana Alam. Kerjasama Fakultas Geografi UGM - Bakornas Penanggulangan Bencana, Yogyakarta. Karama, A. S, dan A. Abdurrachman. 1995. Kebijaksanaan Nasional dalam Penanganan Lahan Kritis di Indonesia. Prosiding Lokakarya dan Ekspose Teknologi Sistem Usahatani Konservasi dan Alat Mesin Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Yogyakarta, 17-19 Januari 1995. Manwan, I., Suryanata, K, McCauley, D. S, dan Sawit, M. H, (1988), Status dan Kecenderungan Perubahan Agroekosistem Lahan Kering, KEPAS Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Bogor. Meine van Noordwijk, Fahmuddin Agus, Didik Suprayogo, Kurniatun Hairiah, Gamal Pasya, Bruno Verbist dan Farida. 2004. PERANAN AGROFORESTRI DALAM MEMPERTAHANKAN FUNGSI HIDROLOGI DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS). AGRIVITA VOL. 26 NO.1 Maret 2004. Notohadiprawiro, T. 1988. Pembaharuan Pandangan terhadap Kedudukan Lahan Kering dalam Pembangunan Pertanian Pangan yang Terlanjutkan, Seminar Fakultas Pertanian UNISRI, Surakarta. Paimin, Sukresno, dan Purwanto. 2006. Sidik Cepat Degradasi Sub Daerah Aliran Sungai (Sub DAS), Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam, Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Pemerintah Daerah Kota Batu, (2002), RTRW Kota Batu 2002, Pemerintah Daerah Kota Batu, Batu. Pranadji T. 2004. Strategi Pengembangan Teknologi Usaha Tani Konservasi untuk Pembangunan Pedesaan Berkelanjutan, Forum Penelitian Agro Ekonomi, Vol. 22, No. 2: 113 - 125. Priyono, N.N.S. dan S.A., Cahyono. 2004. Teknologi pengelolaan daerah aliran sungai: cakupan, permasalahan dan upaya penerapannya. Prosidings Seminar Multifungsi Pertanian dan Konservasi Sumberdaya Lahan, Puslitbang Tanah dan Agroklimat - Badan Litbang Pertanian, di Bogor tanggal 18 Desember 2003. Putra, E. H. 2006. Daerah Rawan Longsor di DAS Tondano Menggunakan Metode Raster Based Overlay. Forum Geografi, Vol. 20. Ramakrishnan, S. S. 2006. Landslide Zonation for Hill Area Development. www.gisdevelopment.net. Sheng, T. C. 1986. Watershed Management Planning: Practical Approaches, FAO Conservation Guide 14, FAO, UN, Rome. Suripin, 2004. Pelestarian Sumber Daya Tanah dan Air, Penerbit ANDI Yogyakarta. Thomas, D., Weyerhaeuser, H. dan Saipothong, P., 2003. ‘Improved Tools for Managing Agroforestry Landscapes in Northern Thailand: Pilot Application of Spatial Analysis and Negotiation Support Systems. In: Jianchu, X. and Mikesell, S. (eds) Landscapes of Diversity: Indigenous Knowledge, Sustainable Livelihoods and Resource Governance in Montane Mainland Southeast Asia. Proceedings of the III Symposium on MMSEA 25–28 August 2002, Lijiang, P.R. China. Kunming: Yunnan Science and Technology Press. p. 381–400. 37 Wilopo, W. dan H. Agus, 2004. Bencana Alam Longsor di Indonesia; Kasus Longsoran yang Terjadi di Kabupaten Purworejo dan Gunung Kidul, Yogyakarta.