ancaman banjir bandang longsor vs. kekeringan kelangkaan air

advertisement
1
ANCAMAN BANJIR BANDANG - LONGSOR VS.
KEKERINGAN - KELANGKAAN AIR BERSIH
DI JAWA TIMUR
I. PENDAHULUAN
Kejadian longsor dan banjir yang meluas di berbagai daerah, terutama
di Pulau Jawa, adalah dampak dari pembabatan hutan dan perubahan
fungsi hutan secara besar-besaran menjadi lahan pertanian dan
pemukiman di daerah hulu sungai dan daerah lereng gunung. Hal ini
menjadi tanggung jawab semua pihak, terutama PT Perhutani yang
memegang monopoli dalam pengelolaan hutan di Jawa. Bila tidak ingin
dibubarkan, PT Perhutani harus mengubah konsep kegiatannya dari
menebang hutan menjadi menanam kembali.
Alih areal hutan menjadi lahan pertanian juga dapat dilakukan oleh
masyarakat, karena kurang memahami fungsi hutan yang sebenarnya.
Perhutani sebaiknya diberi kesempatan melakukan pembenahan, harus
mampu secepatnya mengubah konsep dan melakukan pembenahan
dalam waktu tiga tahun ke depan.
Perhutani juga harus dilibatkan dalam pembahasan tentang moratorium
pembabatan hutan di Jawa.
Longsor dan banjir juga merupakan peninggalan masalah masa lalu dan
sebagai akibat dari ketidak-efektifan pemerintah dalam menata kawasan
di Jawa. Saat ini sulit membenahi dan mengatur kembali lingkungan
yang telah rusak di Jawa.
Sebanyak 2.5 juta hektar hutan produksi, yaitu hutan komersial dan
hutan monokultur di P. Jawa harus dipulihkan menjadi hutan-hutan
alam yang dapat mengembalikan fungsi ekologis yang sudah hilang
selama ini akibat tingginya eksploitasi.
Masyarakat sebenarnya sudah siap mengelola hutan secara lebih
polikultur, bukan monokultur dan bukan industri. Misalnya pengelolaan
hutan oleh masyarakat di Wonosobo yang menunjukkan hasil positif.
Pengelolaan hutan masyarakat adalah pengelolaan hutan yang tidak
hanya berorientasi kayu, seperti yang dilakukan oleh Perhutani. Hutan
mempunyai fungsi ekologis dan fungsi sosial. Dengan pemiulihan jenis
komoditas yang dilakukan oleh masyarakat, fungsi-fungsi hutan tersebut
ternyata dapat dikembalikan. Masyarakat biasanya tidak menanam satu
jenis komoditas dengan cara monokultur. Orientasinya juga tidak hanya
kayu, tetapi juga produk yang lebih beragam.
DAERAH RAWAN BANJIR DAN LONGSOR
2
5-12 FEBRUARI 2003
Propinsi
Kabupaten/Kota
Keterangan
LAMPUNG
BANTEN
Lampung Selatan
Lebak
Pandegelang
Jakut
Jakpus
Jakbar
Jaktim
Jaksel
Bandung
Kota Bandung
Bekasi
Bogor
Ciamis
Cianjur
Garut
Cirebon
Kuningan
Indramayu
Majalengka
Purwakarta
Subang
Sukabumi
Sumedang
Tasikmalaya
Banyumas
Sragen
Kendal
Purwodadi
Semarang
Magelang
Sleman
Kulonprogo
Tulungagung
Malang
Bone
Gowa
Kota Palangkaraya
Kotawaringin Barat
Kotawaringinj Timur
Banjir dan Longsor
Banjir dan Longsor
Longsor
Banjir
Banjir
Banjir
Banjir
Banjir
Banjir dan Longsor
Banjir dan Longsor
Banjir
Banjir dan Longsor
Banjir dan Longsor
Longsor
Longsor
Banjir dan Longsor
Longsor
Banjir dan Longsor
Banjir dan Longsor
Banjir dan Longsor
Longsor
Banjir dan Longsor
Banjir dan Longsor
Banjir dan Longsor
Banjir dan Longsor
Longsor
Longsor
Longsor
Banjir dan Longsor
Banjir dan Longsor
Longsor
Longsor
Longsor
Longsor
Longsor
Longsor
Banjir
Banjir
Banjir
DKI Jakarta
JAWA BARAT
JAWA TENGAH
YOGYAKARTA
JAWA TIMUR
Sulawesi Selatan
Kalimantan Tengah
II. ISU-ISU AKTUAL di JAWA TIMUR
2.1.
Longsor – Banjir Bandang Pacet, Mojokerto
3
Musibah tanah longsor di pemandian air panas Pacet, Mojokerto,
menelan korban tewas 30 orang (angka sementara), ratusan tertimbun/
hilang (JP 12-12-2002) bersama dengan aset-aset yang tiada ternilai
harganya (JP, 13/12 2002). Bagaimana musibah ini dapat dijelaskan?
Musibah banjir bandang di Pacet adalah BENCANA ALAM, datangnya
tiba-tiba, tidak dapat diduga, dan tidak dapat ditolak manusia, seolaholah telah menjadi takdir.
Keppres No. 32/1990 : Kawasan lindung yang memiliki kemiringan 45
derajat lebih dilarang ditanami pohon-pohonan yang siap tebang (jenis
pohon yang bernilai ekonomi tinggi). Fakta di Pacet menunjukkan
bahwa jenis pohonnya adalah pinus dan mahoni (jenis siap tebang yg
bernilai ekonomi tinggi). Siapa yang melanggar aturan?
Keppres No. 32/1990 : di dalam radius 32 meter dari batas aliran sungai
dilarang ditanami pohon siap tebang. Faktanya lahan tepian sungai ini
juga ditanami jenis pohoj siap tebang.
Analisis Citra Satelit
Penyebab banjir bandang di Pacet akan dikaji oleh MENRISTEK
dengan menggunakan metode foto citra satelit. Analisis situasi daerah
sekitar lokasi kejadian dapat dengan metode ini diharapkan dapat
menghasilkan langkah-langkah solutif, termasuk pembangunan
sejumlah dam-pengendali (cek dam) di daerah hulu, dan mengusulkan
bantuan dari pemerintah pusat.
Ramai-ramai Class action (JP 14-12-2002)
Sebagian keluarga korban tragedi Pemandian Air Panas Pacet dan
beberapa elemen masyarakat siap mengajukan gugatan class action.
Pihak pengelola area wisata pemandian air hangat dianggap telah lalai
dalam memperhatikan keselamatan jiwa manusia. Gugatan secara
hukum diajukan terhadap pihak pengelola, yaitu PT. Perhutani.
DPC PPP Mojokerto dan DPD PAN Jatim juga siap mendukung upaya
class action.
DPRP Kab. Mojokerto berencana juga malakukan langkah class action
dengan pihak yang digugat adalah PT Perhutani. Institusi ini dinilai
selama ini sebatas mengeksploitasi hutan, tanpa mau serius
memperhatikan dampak negatifnya. Imbasnya Pemkab Mojokerto
sering mendapat musibah akibat rusaknya hutan.
Menteri Negara LH tampaknya juga mempersilahkan upaya class
action. Tujuannya untuk mengetahui siapa yang salah dalam tragedi
4
tsb. Masyarakat mempunyai hak untuk menggugat penyelenggara
negara yg dinilai merugikan keselamatan dan kepentingan umum.
IPM (Ikatan Pengacara Mojokerto) membentuk tim pencari fakta untuk
mendukung upaya class action.
2.2.
Longsor Sedudo, Nganjuk
Kawasan wisata air terjun Sedudo, Desa Ngliman, Kec. Sawahan,
Nganjuk; dinyatakan ditutup karena dilanda bencana tanah longsor (JP,
14-12-2002). Hujan deras awal desember 2002 di lereng G. Wilis
mengakibatkan tanah longsor di lokasi air terjun dan sekitarnya. Batubatu, kerikil, lumpur dan materian vegetasi berjatuhan dari atas
bersama dengan aliran air banjir. Kerugian yang besar menimpa asetaset wisata pemandian-air terjun.
Hasil Analisis menunjukkan bahwa terjadinya tanah longsor karena
semakin sedikitnya jumlah (populasi) pohon di lereng G. Wilis, bahkan
sebagian gundul. Pepohonan hilang karena penebangan (pohon yang
ekonomis) oleh manusia dan kebakaran hutan pada musim kemarau
lalu.
2.3.
Puluhan kecamatan di Kab Jember RAWAN BENCANA ALAM
(Tragedi Baban Silosanen)
Sistem informasi “bencana alam” dikoordinasikan oleh BAKESBANG
Kab. Jember.
Sebanyak 22 wilayah kecamatan di Kab. Jember dinyatakan rawan
bencana alam banjir, tanah longsor, badai, dan/atau angin kencang.
Daerah rawan banjir meliputi 17 kecamatan, lokasi paling rawan adalah
di sekitar kawasn hutan gundul Baban Silosanen, Kec. Silo.
Daerah tanah longsor meliputi kec. Jelbuk, Arjasa, Sumberjambe, Silo
dan Mayang.
Daerah rawan badai laut – topan - lesus adalah Kencong, Puger,
Ambulu, Tempurejo dan Wuluhan.
Hujan deras dan angin kencang mengakibatkan bencana banjir
bandang yang mengalir dari kawasan hutan gundul Baban Silosanen,
Kecamatan Silo, Jember (JP 12-12-2002). Empat jembatan ambrol dan
beberapa unit rumah rusak, transportasi lumpuh total.
5
Banjir yg parah melanda Desa Karangharjo dan Harjomulyo, sebanyak
27 rumah tergenang air, tiga di antaranya rusak berat, 34 KK atau 85
warga diungsikan (JP 13-12-2002). Banjir tahun ini dianggap yang
paling parah.
Banjir lumpur juga terjadi di Desa Garahan, 17 rumah terendam lumpur
, ancaman kiriman lumpur dikhawatirkan akan terjadi lagi dari kawasan
hutan Baban Silosanen.
Aliran permukaan air yang deras menggelontor tanah yang berasal dari
daerah garapan hutan yang gundul, longsoran berikutnya dikhawatirkan
mengandung material batu-batu. Penggundulan hutan di kawasan
Baban Silosanen dituding warga sebagai penyebab terjadinya banjir
bandang.
2.4.
Pemandian air panas Cangar, Desa Tulungrejo, Kota Batu
DITUTUP
Ancaman bahaya longsor dijumpai di berbagai titik di sepanjang jalan
menuju lokasi pemandian air panas. Kondisi hutan lindung di sekitar
pemandian masih “dianggap lebat”, kemiringan tanah rata-rata 30
derajat.
2.5.
Kab. Malang kritis: Terancam bahaya banjir dan tanah
longsor (NEBANG YES, REBOISASI NO)
Ancaman bahaya banjir dan tanah longsor di wilayah kabupaten Malang
sangat serius selama musim hujan 2002/2003. Empat faktor penyebab
yang dianggap paling bertanggung jawab ialah:
(1). Hutan Gundul
(2). Kualitas kritis DAM
(3). Erosi dan Sedimentasi tinggi
(4). Curah hujan tinggi.
Faktor utama penyebab munculnya hutan gundul, adalah:
1. Penebangan illegal (“penjarahan”)
2. Pemanenan hutan produksi oleh PERHUTANI
3. Kebakaran hutan
4. Kematian pohon akibat kekeringan/kemarau panjang.
6
Kualitas Dam Penahan sangat jelek, karena:
1. Sedimentasi sangat tinggi, sehingga penuh sedimen
2. Bangunan fisik DAM telah tua
3. Vegetasi pengaman DAM sudah berkurang.
Lokasi rawan
1. Lereng G. Semeru bagian selatan
2. Lereng G.Kawi – Panderman:
2.1. Banjir bandang 2001 di Pagak, 50 unit rumah rusak ,
kerugian sekitar 1 miliar rp
2.2. Banjir bandang 2002 di Karangwidoro , Kec Dau, 1
orang tewas, 65 unit rumah rusak, 6 unit DAM jebol,
kerugian sekitar 2.9 miliar rp.
3. Lereng G. Arjuno – Welirang
3.1. Banjir bandang 1997/98 di Singosari, satu orang tewas, 2
unit jembatan ambrol, 100 unit rumah rusak, kerugian 10
miliar rp.
4. Lereng G. Bromo
5. Peg. Kapur selatan:
5.1. Banjir bandang th 2000 kec. Tirtoyudo, 10.000 ha sawah
rusak, 206 unit rumah rusak, 4 unit jembatan ambrol,
kerugian 6 miliar rp.
Akibat banjir lumpur dan sedimentasi, biaya pengerukan bendungan
meningkat drastis, milyaran rupiah. Besarnya sedimendasi dalam
waduk diakibatkan oleh erosi tanah yang intensif di daerah aliran
waduk yang terletak di wilayah Kabupaten Malang dan Kota Batu.
Program penghijauan dan reboisasi menjadi hal yang sangat
mendesak.
Tempat wisata alam (wana wisata), Coban Rondo (Pujon) dan Coban
Pelangi (Poncokusumo), ditutup karena ancaman longsor dianggap
sangat serius.
Dinas Pariwisata Kab Malang meminta kepada
Perhutani, kemudian Perhutani mengirim surat resmi ke Departemen
Kehutanan.
2.6.
Gunung Panderman dan Arjuno KRITIS, Kota Batu Siaga I
7
Musim kemarau panjang berdampak pada kerawanan kebakaran hutan
di kawasan G. Panderman. Berbagai dampak negatif terjadi akibat
kebakaran hutan. Ribuan kera seru lumbung warga, akibat kehabisan
makanan karena hutan di G. Panderman terbakar (JP 14-10-2002).
Sekitar 3000 ekor kera turun ke rumah-rumah penduduk Dusun
Toyomarto, menyerbu lumbung makanan di rumah-rumah penduduk.
Sekitar 2000 ekor sapi perah milik penduduk juga terancam kekurangan
pakan rumput-hijauan, yang biasanya diambil dari hutan-hutan.
Kebakaran hutan juga berdampak pada kerlangkaan sumber air. Audit
lingkungan oleh KAPEDAL Batu menunjukkan bahwa dari 1111 titik
sumber air yang terdeteksi ternyata 50% di antaranya debit airnya mati
(JP 14-10-2002).
Akibat selanjutnya adalah ancaman kelangkaan air bersih yang
dihadapi oleh masyarakat yang tinggal di lereng-lereng bukit/gunung,
ancaman ini mulai terasa berat selama tiga tahun terakhir selama
musim kemarau. PEMKOT Batu menyediakan anggaran sekitar Rp 300
juta (JP 9-8-2002) untuk membangun sarana air bersih di Desa Oro-oro
Ombo, Ngaglik dan Songgokerto yg terletak di lereng G. Panderman.
Pada musim hujan tahun ini, ancaman banjir bandang di kota Batu,
akibat dari tanah longsor di G. Panderman dan Arjuno, direspon oleh
Pemkot dengan menetapkan Status Kota Batu Siaga I. Ada 15 titik
rawan longsor yang terletak di releng gf. Panderman dan Arjuno, yakni
Desa Tlekung, Gunungsari, Tulungrejo, dan Pesanggrahan (JP 13-122002).
Imam Kabul (Walikota Batu) geram pada PERHUTANI (JP 17-12-2002),
dianggap kurang serius mengelola hutan di wilayah Kota Batu.
Penjarahan hutan lindung meliputi areal seluas 3000 ha (KRPH
Junggo), 1000 ha (KRPH Punten), 900 ha (KRPH Karangan), dan 1000
ha (KRPH Oro-oro Ombo). Hutan-hutan di lereng gunung telah dibuka
dan digarap sebagai lahan pertanian.
Pemkot mempersiapkan PERDA tentang status hutan di Kota Batu,
Pengelolaan hutan diserahkan ke PEMKOT sebagai hutan lindung.
Sambil menunggu PERDA, saat ini sudah ada Surat Keputusan
Walikota Batu No. 22 tahun 2002 tentang pengalihan status
pengelolaan hutan lindung ke Pemkot Batu. Data PT Perhutani
menunjukkan bahwa total hutan di Kota Batu 11.700 ha, terdiri atas
7000 ha hutan produksi dan sekitar 4700 ha hutan lindung. (JP 18-122002).
8
Permintaan Walikota Batu untuk mengalihkan status hutan ditanggapi
dingin oleh PT Perhutani KPH Malang. Pengalihan status pengelolaan
hutan ini mustahil direalisasikan karena ada dua Peraturan Pemerintah:
(1). PP Nomor 14 Tahun 2000 tentang Pengelolaan Hutan di P. Jawa
oleh Perhutani, dan
(2). PP No. 34 Tahun 2002 ttg wewenang Perhutani pengelola hutan di
Indonesia.
2.7.
Hujan-badai-angin-topan serang Ngawi
Bencana alam berupa angin puyuh dan hujan-badai menyerang wilayah
Ngawi (JP 18-11-2002). Bencana ini membawa korban lima orang
tewas, puluhan rumah rusak, satu unit bangunan SD rusak, dan satu
unit jembatan ambrol.
Kencangnya terpaan angin puyuh ini disebabkan oleh karena semakin
sedikitnya jumlah pepohonan yang mampu berfungsi menahan
kecepatan angin.
2.8.
AKIBAT PENCURIAN KAYU PERHUTANI RUGI Rp 48.6 miliar
rp. (Kmp. 8-11-2002)
Pencurian kayu selama tahun 2002 telah menyulitkan Perhutani.
Hingga September 2002 jumlah kayu yg dicuri mencapai 280.360
pohon dengan total krugian Rp 48.6 milyar. Sedangkan kerugian tahun
2001 mencapai 816.000 pohon dengan kerugian Rp 177.6 milyar.
Tahun 1998-2000 terjadi banyak kasus penjarahan hutan, sedangkan
saat ini yg terjadi pencurian kayu sedikit-demi sedikit dilakukan oleh
siapa saja.
2.9.
Wonorejo, Kab. Tulungagung juga LONGSOR
Bencana tanah longsor terjadi di kawasan sekitar Waduk
Wonorejo, Tulungagung (JP 13-12-2002). Tidak ada korban jiwa, saat
batu-batu dan tanah longsor terjadi kebetulan jalan-raya sedang sepi.
Ancaman tanah longsor dan banjir bandang masih menghantui
masyarakat sekitar bersamaan dengan hujan lebat yang terus terjadi.
9
Kecamatan rawan tanah longsor dan banjir bandang adalah Pagerwojo,
Pucanglaban, Sendang, dan Kalidawir. Wilayah ini berada di lereng G.
Wilis.
2.10. Tangkis Kali Porong Mengkhawatirkan: Dinas PU anggap Enteng
(JP 17-12-2002)
Kekhawatiran warga Jabon dan sekitarnya akan longsornya tangkis K.
Porong akibat penambangan pasir “liar” menggunakan mesin penyedot
pasir, ditepis enteng oleh Dinas PU Pengairan, Kab. Sidoarjo.
Kemampuan mesin penyedot dapat mengikis tanah dan pasir di
dasar sungai hingga melampaui batas aman.
Pengerukan Kali Buntung sepanjang 5.5 km telah dilakukan
sejak Agustus 2002 dan diperkirakan selesai sebelum husim hujan tiba
(JP 8-10-2002). Kegiatan pengerukan sedimen sungai berjalan lancar,
namun maslaah lain timbul adalah akibat penumpukan sedimen hasil
kerukan di sepanjang tepian sungai. Hal ini jelas mengandung
kerawanan-kerawnaan, termasuk efektifitas hasil pengerukan sungai;
sedimen hasil kerukan dapat kembali masuk ke dalam sungai.
2.11. Cemoro Sewu, Sarangan, Magetan Terancam (JP 14-10-2002)
Musim kemarau panjang mendorong terjadinya kebakaran hutan di
lereng G. Lawu. Kencangnya hembusan angin mempercepat kobaran
api memasuki kawasan hutan lindung. Kebakaran hutan pinus di sekitar
kawasan telaga Sarangan membuat Perhutani KPH Lawu kang-kabut.
Hutan lindung (dengan vegetasi pinus) yang ludes terbakar seluas 150200 ha.
2.12. Ancaman Banjir Kota Surabaya (JP 31-10-2002)
Pola hidup dan perilaku masyarakat kota Surabaya dianggap
menjasi faktor serius dalam kaitannya dengan ancaman banjir kota.
Mereka masih suka membuang sampah di sembarang tempat,
termasuk saluran-saluran air drainase.
Dinas Pengendalian dan Penanggulangan (DPP) Banjir Kota
Surabaya telah menyelesaikan 60% pengerusak saluran pembuangan
air hujan ke laut. Namun baru beberapa bulan dikeruk, saluran drainse
10
sudah penuh lagi dengan aneka bentuk sedimen, sampah dan limbah.
Bagaimana mengatasinya?
Pada TA 2002 DPP Kota Surabaya menerima anggaran untuk
penanganan banjir sekitar 33 milyar (JP 10-8-2002). Berbagai proyek
teknik-sipil dilaksanakan untuk mengantisipasi banjir, saluran drainase,
gorong-gorong, pompa air, Bozem, dll. Proyek-proyek ini semuanya
ditujukan untuk mempercepat aliran air hujan menuju ke laut;
sedangkan proyek-proyek untuk memaksimumkan jumlah air hujan
yang masuk ke dalam tanah masih dipertanyakan?.
Tiga akar masalah banjir kota Surabaya (Kmp 21-11-2002):
1. Perbedaan elevasi antara pusat kota Surabaya dengan
pesisir pantai sangat tipis, sehingga aliran air hujan di
permukaan sangat lambat.
2. Perubahan peruntukan / penggunaan lahan di seluruh
wilayah kota dan sekitarnya, sehingga sangat mengurangi
kesempatan air hujan untuk dapat memasuki tanah (infiltrasi
dan perkolasi), dan memaksimumkan limpasan permukaan
3. Selokan/saluran drainase yang tidak jelas ujung-pangkalnya,
dimensinya sangat minim, tersumbat sampah dan lainnya.
4. Kiriman banjir dari daerah atas / hulu.
2.13. Gunung Ijen dalam Status Waspada (JP 24-9-2002)
Kantor Pusat Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana
Geologi menetapkan status G. Ijen menjadi waspada. Aktivitas vulkanik
sedang
meningkat
dan
sewaktu-waktu
dampaknya
dapat
membahayakan lingkungan sekitarnya.
Aktivitas G. ijen mengancam pencemaran sumber-sumber air di
desa-desa lereng G. Ijen. Kualitas air dicirikan oleh pH sangat rendah
(0.09), ini sangat membahayakan bagi kehidupan.
2.14. BANJIR LAHAR DINGIN G. KELUD MENGANCAM WILAYAH
Blitar dan Kediri
Semakin berkurangnya areal hutan yang seharusnya berfungsi sebagai
penyangga di kawasan lereng G. Kelud dalam empat tahun terakhir ini,
diperkirakan dapat menimbulkan ancaman bencana tanah longsor, dan
banjir lahar dingin (Kmp, 21-11-2002). Sejumlah areal hutan di Krisik,
G. Gedang dan Kali Badak telah berubah menjadi pemukiman
penduduk, perkebunan, dan tegalan/ lahan pertanian palawija.
Sejumlah areal hutan lainnya menjadi gundul atau populasi pohonnya
11
jarang-jarang. Sejumlah dam pengendali material G. Kelud sudah
penuh sedimen dan harus dikeruk kalau memungkinkan, atau
bangunan dam ditinggikan.
Sisa material letusan G. Kelud 1990, saat ini masih 150 juta
meter kubik, yang setiap saat dapat berubah menjadi lahar dingin kalau
curah hujan cukup tinggi.
2.15. Empat wilayah Kecamatan di Bondowoso Rawan Longsor
Luas lahan kritis di wilayah ini sekitar 41.000 ha, sekitar 36.000 ha
adalah lahan kritis milik penduduk, dan 5000 ha termasuk kawasan
hutan dibawah pengelolaan PT Perhutani (Kmp, 23-11-2002).
Wilayah kecamatan yang terancam tanah longsor adalah
Wringin, Pakem, Tegal Ampel dan Binakal. Tingkat kerawanan tanah
kritis dicirikan oleh kondisi tanah yang sudah merekah (retak-retak),
sehingga curah hujan yang tinggi akan mengakibatkan longsor.
Musibah tanah longsor pada awal tahun 2002 telah menelan 18
korban jiwa , 144 unit rumah penduduk rusak dan roboh.
Upaya-upaya reboisasi dan penghijauan telah dilakukan oleh
PEMKAB, bekerjasama dengan PT Perhutani, Departemen Kehutanan,
dan masyarakat sekitar.
Namun hasilnya masih belum dapat
dibuktikan.
12
III.
ANALISIS FAKTOR PENYEBAB BENCANA
Bencana alam yang terjadi di Jawa Timur hingga akhir tahun 2002
ini terasa sangat memprihatinkan. Kejadian-kejadian banjir bandang,
banjir lumpur, tanah longsor, erosi-sedimentasi, pencemaran air, badaitopan-angin puyuh, kebakaran hutan, kelangkaan air bersih, gempa
bumi dan lainnya, telah mengakibatkan kerugian material dan korban
jiwa yang sangat besar. Ancaman bencana alam ini diyakini masih
akan berlanjut pada tahun 2003, bahkan diperkirakan tidak kalah
parahnya dibandingkan dengan kejadian selama tahun 2002.
Banyak komentar, analisis dan kajian-kajian praktis dan
penelitian ilmiah telah dan sedang dilakukan untuk mencari alternatif
solusi yang ampuh. Berbagai proyek pembangunan telah dirancang
dan didanai untuk dilaksanakan dalam kaitannya dengan penanganan
bencana alam tersebut dengan sekala anggaran milyaran rupiah.
Namun semua upaya itu masih belum mampu memupus kekhawatiran
sebagian besar masyarakat Jawa Timur terhadap ancaman bencana
alam tahun 2003.
Beberapa faktor yang diyakini menjadi penyebab terjadinya
bencana alam di Jawa Timur adalah:
1. Curah hujan yang tinggi
2. Geomorfologi dan Topografi: Bergunung, dan Lereng yang curam
3. Formasi geologi: Vulkanik muda
4. Vegetasi Penutup Tanah: Hutan gundul
5. Perilaku manusia & masyarakat dalam berinteraksi dengan
lingkungannya: Konsumtif dan eksploitatif.
6. Lemahnya sistem dan perangkat yuridis dalam kaitannya dengan
penanganan dampak bencana alam.
Tiga faktor alam (1), (2) dan (3) tampaknya berada di luar jangkauan
rekayasa efektif oleh manusia. Semua itu sebenarnya diciptakan oleh
Sang Pencipta sebagai “rahmatan lil alamin”, namun karena ulah
manusia yang keliru pada akhirnya dapat mendatangkan “mudharat”
dan bencana alam.
Faktor (4), (5) dan (6) sepenuhnya berada dibawah kendali dan
rekayasa manusia dan masyarakatnya.
Kasus- kasus aktual yang dijelaskan di atas, kalau dicermati
membuktikan bahwa kekeliruan mengelola vegetasi penutup tanah,
utamanya hutan pegunungan, mengakibatkan “air hujan” yang
13
diciptakan sebagai “rahmatan lil alamin” berubah menjadi “mudhoratan
lil alamin”, menjelma menjadi berbagai bentuk bencana / musibah
seperti banjir, banjir lumpur, banjir bandang, tanah longsor, badaitopan-angin puyuh, dan lainnya.
Menurut “sunnatullah”-nya (hukum alam), air hujan yang jatuh di
permukaan bumi ini harus sebanyak-banyaknya masuk ke dalam tanah
(bumi), kemudian “menghidupkan” bumi (menyuburkan tanah), dan dari
situ akan tumbuh aneka buah-buahan hasil pertanian untuk manusia.
Melalui berbagai cara, air hujan dapat memasuki tanah (Infiltrasi dan
perkolasi), di antaranya dengan bantuan pohon-pohonan, tajuk pohon
membantu intersepsi air hujan, sedangkan akar pohon membantu
ilfiltrasi dan perkolasi; akibatnya limpasan permukaan air hujan menjadi
minimal. Pohon-pohonan ini dapat berdiri sendiri secara individual, atau
sekumpulan pohon sejenis (populasi, hutan tanaman), atau campuran
jenis berupa ekosistem hutan lindung.
Di Jawa Timur, kawasan butan lindung seluas 349.068 ha, dan
kawasan hutan produksi 621.948 ha; Total kawasan hutan seluas
971.116 ha (Ditjen RLPS , 2000).
Berbagai bentuk ulah manusia dalam memanfaatkan sumberdaya alam
hutan, telah terbukti mengakibatkan populasi pohon semakin menipis
atau bahkan penggundulan hutan. Sebagai akibat dari berkurangnya
jumlah pohon atau hilangnya pohon-pohonan, maka permukaan tanah
menjadi tidak terlindung terhadap pukulan air hujan. Akibatnya hanya
sedikit sekali air hujan yang dapat memasuki tanah (infiltrasi dan
perkolasi) dan sebagian besar air hujan “HARUS” mengalir di
permukaan tanah yang curam (surface runoff) dengan menghanyutkan
apa saja yang ada di permukaan tanah. Terjadilah erosi, pengikisan
tanah dan akhirnya terjadilah tanah longsor, banjir, banjir lumpur atau
banjir bandang.
Di daerah bawah (hilir), bencana banjir biasanya terjadi karena banjir
kiriman dari daerah atas (hulu), dan air hujan yang jatuh tidak dapat
masuk ke dalam tanah, serta saluran drainase air hujan semakin minim
karena tersumbat oleh berbagai bentuk sampah/limbah, atau karena
dihuni oleh berbagai kepentingan manusia.
14
IV. KERANGKA SOLUSI
Kalau analisis yang dikemukakan dalam Bab III di atas benar, maka
hanya ada satu solusi hakiki yang dapat diusulkan untuk dilakukan,
yaitu “KEMBALI KEPADA SUNNATULLAH-nya AIR HUJAN”.
Secara lebih operasional, HUKUM ALAM air hujan ini dapat dijabarkan
menjadi empat macam strategi, yaitu :
1. Memasukkan air hujan sebanyak-banyaknya ke dalam bumi, sesuai
dengan karakteristik dan kemampuan permukaan bumi
2. Menyalurkan air hujan di permukaan bumi secepat mungkin menuju
sungai dan/atau laut
3. Menampung air hujan di permukaan bumi untuk sementara waktu
guna diambil manfaatnya
4. Mengembalikan air hujan secepatnya ke atmosfer di tempat-tempat
yang relevan.
Implementasi keempat strategi tersebut mensyaratkan adanya
“teknologi tepat guna” yang dilakukan oleh “sumberdaya
manusia yang berdaya” dan dikendalikan oleh “sistem
kelembagaan yang efektif”.
4.1.
TEKNOLOGI TEPAT GUNA
Berbagai teknologi tepat guna telah ada dan siap digunakan untuk
memfasilitasi meresapnya air hujan ke dalam bumi; beberapa di
antaranya adalah:
1. Teknologi yg bersifat mekanik-sipil, seperti Bozem, Zone
resapan, Sumur resapan, Kolam resapan, dan lainnya
2. Teknologi yang bersifat biologis, yang populer dengan istilah
PENGHIJAUAN, REBOISASI, AGROFORESTRI, GSP
(Gerakan Sejuta Pohon), Kebun Campuran, dan lainnya.
Reboisasi adalah penanaman pohon-pohonan di dalam kawasan hutan:
1. Kawasan hutan produksi: Jenis pohon yang mempunyai nilai
ekonomi tinggi, seperti Jati, Mahoni, Damar, Pinus, Akasia, Sengon,
dll. Seharusnys sistem penanamannya tidak 100% monokultur
15
dengan tegakan sejenis siap tebang; paling tidak ada 10-20% jalur
permanen tegakan pohon lindung.
2. Kawasan Hutan Lindung: Jenis pohon yang mempunyai nilai
hidrologi tinggi dan nilai ekonomi rendah, seperti Pohon Beringin,
Terembesi dll. Reboisasi kawasan hutan lindung dengan jenis-jenis
tegakan yg bernilai ekonomis-tinggi berarti menjadi “bom waktu”
untuk pencurian dan penjarahan.
3. Taman Nasional: Jenis pohon-pohonan yang mempunyai nilai
estetika dan nilai ekologi tinggi, serta nilai ekonomi rendah.
Penghijauan adalah penanaman pohon-pohonan pada lahan-lahan di
luar kawasan hutan:
1. Kawasan Perkebunan Rakyat:
Penanaman dengan Sistem Empat Strata (SES), yaitu:
1. Strata I : Jenis Pohon Lindung, bernilai ekonomi
rendah dan bernilai hidrologi / ekologi tinggi
2. Strata II: Jenis komersial, kopi, kakao, kelapa dll.
3. Strata III: Jenis cover-crop, feed crops
4. Strata III: Jenis Cacing Tanah.
2. Kawasan Tegal Talun / Kebun Campuran:
Penanaman dengan Sistem Empat Strata (SES), yaitu:
1. Strata I : Jenis Pohon Lindung, bernilai ekonomi rendah dan
bernilai hidrologi / ekologi tinggi
2. Strata II: Jenis ekonomis: buah-buahan, tanaman industri.
3. Strata III: Jenis cover-crop, feed crops
4. Strata III: Jenis Cacing Tanah.
3. Kawasan Tegal / Pertanian Lahan Kering:
Penanaman dengan Sistem Tumpangsari, alley cropping, dll:
1. Strata I : Jenis Tanaman Lindung, bernilai ekonomi rendah
dan bernilai hidrologi / ekologi tinggi
2. Strata II: Jenis ekonomis: aneka jenis palawija/ sayuran.
3. Strata III: Jenis cover-crop, feed crops, hedge-row
4. Strata IV: Kolam / Penampung Air Hujan.
4. Kawasan Lahan Pekarangan:
Penanaman dengan Sistem Agroforestri:
1. Strata I : Jenis Tanaman Lindung, bernilai ekonomi rendah
dan bernilai hidrologi / ekologi tinggi, sbg pembatas lahan.
2. Strata II: Jenis pohon ekonomis: aneka buah-buahan.
3. Strata III: Jenis cover-crop, feed crops, hedge-row
16
4. Strata IV: Kolam / Penampung Air Hujan.
5. Kawasan Pemukiman / perumahan / perkotaan:
1. Strata I: Jenis pohon lindung, nilai ekonomi rendah dan nilai
ekologi tinggi
2. Strata II: Jenis perdu yang bernilai estetika tinggi
3. Strata III: Jenis cover crop.
Berbagai bentuk teknologi sipil telah dikembangkan untuk
menyalurkan air permukaan menuju ke sungai dan laut, misalnya
sistem drainase kota, saluran pembuangan air, pompanisasi, dll.
Teknologi untuk menampung air hujan di permukaan bumi sementara
waktu guna diambil manfaatnya, seperti embung, kolam ikan, minapadi, reservoir, dll.
17
4.2. Pengembangan SDM dan Pemberdayaan Masyarakat
Bertitik tolak dari hal-hal di atas maka Visi dalam pemberdayaan
masyarakat dalam kaitannya dengan upaya penyelamatan hutan tanah dan air
adalah:
Memberdayakan rumahtangga sehingga mampu “keluar dari”
ketidak-mampuan, ketertinggalan dan kemiskinannya.
MISI: PANCABAKTI PEMBERDAYAAN RUMAHTANGGA
Bagaimana
melestarikan
fungsi produksi
H.T.A. ?
Bagaimana
Mengolah
HASIL primer?
Bagaimana
memanfaatkan
Peluang Pasar?
?
Bagaimana
Menyediakan
Sarana Penunjang?
(AGRO-INDUSTRI)
Bagaimana
memproduksi
yang benar ?
(USAHATANI)
18
STRATEGI PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
MELINDUNGI
MENGAJAK
MEMBERITAHU
MEMIHAKI
MEMBANTU &
MENDAMPINGI
MELATIH
19
PRASYARAT PEMBERDAYAAN
SIRAMAN
ROHANI
Manajemen
Finansial
PENDAMPINGAN
PENYEHATAN
BIOFISIK
PENYEHATAN
LINGKUNGAN
PENDIDIKAN
KETRAMPILAN
(Continuing Education)
20
PRINSIP PENDAMPINGAN
PENDAMPING
Broadcasting
System
Group
YANG
DIDAMPINGI
SUBSTANSI
PESAN/
INFORMASI/
Receiving
System
Groups
Berdasarkan prinsip di atas maka upaya pemberdayaan dapat
diarahkan pada:
(a). Peningkatan kualitas dan kemampuan sumberdaya manusia dan
masyarakat, baik biofisik, sosial-politik, maupun mental-spiritual, melalui
jalur pelayanan pendidikan (IMTAQ dan IPTEK), pelayanan kesehatan,
dan perbaikan gizi dan lingkungan.
(b). Pengembangan tingkat partisipasi penduduk secara sinergis untuk
membentuk kelompok usaha bersama sehingga mempunyai posisi tawar
yang lebih kuat dalam bernegosiasi dengan pihak lain
(c). Pengembangan dan membuka usaha produktif yang dapat diakses oleh
kelompok masyarakat secara berkelanjutan.
(d). Penguatan akses rumahtangga dalam penguasaan faktor-faktor produksi,
utamanya modal dan teknologi.
(e). Pemihakan kebijakan publik yang mampu mendorong peningkatan daya
beli masyarakat.
21
4.3.
Institutional Building
Pengembangan Kelembagaan Keswadayaan masyarakat dilakukan untuk
mengembangkan kelembagaan keswadayaan atau volunter yang berfungsi dalam
penggalangan solidaritas sosial dan partisipasi masyarakat luas untuk memecahkan
masalah penyelamatan Hutan, Tanah dan Air.
Sasaran yang harus dicapai adalah terwujudnya sistem kelembagaan
keswadayaan di masyarakat dan keaktifan kelompok masyarakat, kelompok asosiasi,
organisasi yayasan, lembaga swadaya masyarakat dalam membantu pemecahan
masalah pengelolaan sumberdaya Hutan, Tanah dan Air.
Kegiatan yang dapat diprioritaskan dalam pengembangan kelembagan
keswadayaan masyarakat adalah :
(1) pengembangan skema jaringan kerja kegiatan keswadayaan,
(2) pengembangan kapasitas lembaga-lembaga keswadayaan,
(3) pengembangan forum komunikasi antar tokoh penggerak dan lembagalembaga yang bergerak dalam kegiatan keswadayaan,
(4) pengembangan kemitraan antar organisasi keswadayaan, orcanisasi
masyarakat setempat, dan pemerintah,
(5) pengurangan hambatan regulasi dan iklim yang menyangkut keberadaan
peran organisasi keswadayaan.
22
IV.
PENUTUP
Bertitik-tolak dari uraian di atas, maka diperlukan suatu ACTIONPLAN terpadu di tingkat Jawa Timur yang melibatkan segenap
stakeholder yang relevan dengan pemanfaatan dan penyelamatan
HUTAN, TANAH dan AIR.
( Resensi, Soemarno, Agustus 2005)
Download