5 TINJAUAN PUSTAKA Pertumbuhan Jaringan Otot Pertumbuhan merupakan proses terjadinya perubahan ukuran tubuh dalam suatu organisme sebelum mencapai dewasa, sedangkan perkembangan adalah produk hasil perbedaan pertumbuhan dari masing-masing bagian tubuh suatu organisme (Butterfield 1988). Perubahan ukuran meliputi perubahan bobot hidup, bentuk dimensi linier dan komposisi tubuh termasuk pula perubahan pada komponen-komponen tubuh seperti otot, lemak, tulang dan organ dalam serta komponen kimia terutama air, lemak, protein, dan abu (Soeparno 2005). Tumbuh kembang dipengaruhi oleh faktor genetik, pakan, jenis kelamin, hormon, lingkungan, dan manajemen (Judge et al. 1989). Pertumbuhan ternak terdiri atas tahap cepat yang terjadi mulai awal sampai pubertas dan tahap lambat yang terjadi pada saat kedewasaan tubuh telah tercapai (Tillman et al. 1998). Saat kecepatan pertumbuhan mendekati konstan, kemiringan kurva, hampir tidak berubah, dalam hal ini pertumbuhan otot, tulang dan organ-organ penting mulai berhenti, sedangkan penggemukan (fattening) mulai dipercepat (Judge et al. 1989). Pertumbuhan jaringan otot merupakan tujuan akhir dari berternak hewan pedaging, hal ini dicapai melalui dua bioproses pokok, yaitu asupan protein dan perkembangbiakan sel otot. Asupan protein adalah fungsi dari sintesis dan degradasi protein. Perkembangbiakan sel miogenik dan asupan protein otot dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti hormonal atau agen neurotropik, latihan, luka dan penyakit (Allen et al. 1979). Perkembangbiakan sel otot dapat dibedakan atas tahapan sebelum lahir dan sesudah lahir. Pertumbuhan otot sebelum lahir ditandai sebagai periode hiperplasia serabut otot, sebaliknya pertumbuhan setelah lahir terutama akibat hipertropi. Peningkatan jumlah serabut otot setelah kelahiran meski sangat kecil, tetapi beberapa studi telah menunjukkan bahwa proliferasi sel miogenik tidak berhenti pada saat lahir. Hal ini dibuktikan dengan peningkatan total DNA otot yang luar biasa setelah lahir (Allen et al. 1979). 6 Hipertropi otot rangka dimulai dengan kejadian mikrotrauma pada jaringan otot terlatih. Sel yang membangun jaringan (serabut otot), memperoleh inti tambahan dari sel satelit yang aktif yang melebur kepada sel otot dewasa. Sel satelit dan sinyal yang mengaktifkannya dipercaya sebagai rahasia di balik hipertropi otot (Hawke & Garry 2001). Suatu usaha untuk mencegah trauma selanjutnya, nukleus yang jumlahnya telah meningkat karena pensinyalan yang dibuat oleh latihan dan integrasi dari sel satelit, meningkatkan sintesis protein sarkomer, seperti aktin dan miosin, meningkatkan ukuran dari miofibril yang membangun isi sel tersebut. Peningkatan protein kontraktil meningkatkan kekuatan otot, berkontribusi kepada peningkatan ukuran sarkomer dan membuat penampang otot seperti sebuah silinder yang menjadi lebih besar. Sel otot tersebut tidak terbagi, peningkatan ukuran terjadi hanya pada taraf sarkomer (Russell et al. 2000). Peran Testosteron dalam Pertumbuhan Otot Pertumbuhan ternak diatur oleh hormon baik secara langsung maupun tidak langsung (Soeparno 2005). Faktor endokrin mempengaruhi pertumbuhan otot dan perkembangannya sepanjang hidup, berlebih atau berkurangnya hormon mempengaruhi struktur dan fungsi otot secara berlawanan (Veldhuis et al. 2005), terutama androgen yang berhubungan dengan ukuran otot dan kekuatan, dengan suatu hubungan yang kompleks antara taraf androgen dengan kinerja mekanis. Androgen dan latihan telah memperlihatkan dampaknya pada ukuran serta kekuatan otot baik secara tunggal maupun kombinasi (Bhasin et al. 1996). Serabut otot sebagai anatomi lanjut otot rangka, responsif terhadap latihan dan faktorfaktor endokrin. Secara sederhana sehubungan dengan penggunaan energi, serabut otot dikelompokkan atas serabut "kejang lambat" (tipe I) dan "kejang cepat" (tipe II) yang lebih lanjut dibagi lagi atas tipe IIa dan tipe IIb. Testosteron merangsang hipertropi kedua serabut otot tipe I dan II (Kadi et al. 1999). Terapi testosteron pada lelaki tua yang memiliki kadar testosteron serum rendah dapat meningkatkan kinerja dan kekuatan fisiknya lebih dari 36 bulan, pemberian kombinasi dengan Finasteride dan tingginya taraf dihidrotestosteron 7 serum tidaklah penting (Page et al. 2005). Testosteron menginduksi peningkatan massa otot melalui hipertropi serabut otot (Sinha-Hikim 2002; Bhasin et al. 2003). Mekanisme aksi anabolik testosteron terhadap otot masih kurang dipahami. Secara umum dijelaskan bahwa testosteron meningkatkan saldo protein otot melalui stimulasi sintesis protein otot, menurunkan degradasi protein otot, dan meningkatkan penggunaan kembali asam amino (Arny et al. 1998). Peningkatan sintesis protein otot yang distimulasi testosteron adalah sekitar 27%, sebaliknya oksidasi leusin berkurang tipis sekitar 17%, namun sintesis protein tubuh total tidak berubah nyata. Morfometri otot menunjukkan peningkatan tidak nyata dalam diameter serabut otot (Griggs et al. 1989). Proporsi efek anabolik dari androgen dapat juga menjadi suatu anti-katabolik melalui suatu aksi anti-glukokortikoid (Danhaive & Rousseau 1988; Zhao et al. 2004). Hossner (2005) menyatakan bahwa androgen alami dan sintetik memiliki mekanisme aksi yang berbeda. Testosteron dan DHT meningkatkan sintesis maupun degradasi protein, meskipun pengaruh sintesisnya lebih dominan. Sebaliknya androgen sintetik TBA mengurangi sintesis maupun degradasi protein, meski pengaruhnya pada pengurangan degradasi protein lebih besar. Vektor selular kunci bagi androgen sehubungan dengan hipertropi otot adalah sel satelit (Chen et al. 2005). Sel satelit berlokasi di bawah basal lamina serabut sel dan merupakan suatu subtipe sel otot yang responsif terhadap adaptasi postnatal, tumbuh dan terbarui (Mauro 1961). Mereka memiliki bermacammacam potensi, termasuk proliferasi, peleburan atau transdiferensiasi (Zammit et al. 2004). Perlakuan androgen juga meningkatkan jumlah sel satelit pada orang muda (Sinha-Hikim et al. 2003). Faktor-faktor transkripsi yang merupakan myogenic regulatory factors (MRFs) bekerja pada sel satelit, terdiri atas miogenin; MRF4; MyoD dan Myf5, yang berekspresi secara anatomis dan bergantung pada waktu (Buckingham et al. 2003). Menurut Bhasin et al. (2003) testosteron meningkatkan tanggung jawab sel-sel punca pluripotent ke dalam garis turunan regenerasi otot dan menghambat diferensiasi mereka terhadap garis turunan regenerasi adiposa. Hipotesis bahwa target utama dari aksi androgen 8 adalah sel punca pluripotent menyatukan penjelasan atas pengaruh yang berlawanan dari testosteron terhadap otot dan lemak. Dua gen yang mungkin menengahi pengaruh testosteron adalah IGF-I (suatu regulator pertumbuhan pada jalur autokrin dan parakrin) dan androgen reseptor (AR), di sisi lain gen spesifik otot yang berperan negatif dalam pertumbuhan massa otot adalah miostatin (Mateescu & Thonney 2002). Veldhuis et al. (2005) menambahkan bahwa testosteron dan estradiol mengatur IGF-I bebas, IGFBP-1 dan konsentrasi IGF-I/IGFBP-1 dimerik. Peningkatan taraf IGF-I otot menstimulasi peningkatan proliferasi sel satelit, menghasilkan peningkatan pertumbuhan otot (White et al. 2003) dan memelihara tingginya jumlah proliferasi sel satelit pada suatu titik di dalam kurva pertumbuhan di mana jumlah dan aktivitas sel satelit normalnya menurun sehingga memperpanjang periode cepat pertumbuhan otot (Pampusch et al. 2003). Bukti-bukti bahwa aksi androgen pada otot berinteraksi dengan IGF-I semakin banyak, pada otot diafragma tikus terjadi peningkatan ekpresi mRNA IGF-I yang bergantung pada dosis ekspos androgen (Lewis et al. 2002). Peningkatan yang sama juga terjadi pada sel satelit sapi jantan yang diambil kemudian diperlakukan dengan berbagai konsentrasi androgen (menggunakan trenbolone) (Kamanga-Sollo et al. 2004). Sebaliknya Gibney et al. (2005) menyatakan bahwa efek anabolik testosteron tidak bergantung pada IGF-I. Hal ini disimpulkan dari percobaannya mengenai pengaruh growth hormone (GH) dan testosteron secara tunggal dan kombinasi terhadap metabolisme protein tubuh. Ditemukannya bahwa rangsangan GH meningkatkan sirkulasi IGF-I dan diperbesar oleh testosteron, IGF-I tidak meningkat dengan ketiadaan GH. Penggunaan testosteron dan GH bebas dan tambahan, mempengaruhi metabolisme protein, oksidasi lemak dan penggunaan energi istirahat. Suatu studi terhadap sepuluh lelaki tua yang diekspos secara berurutan dengan testosteron; GH atau keduanya, ekspresi gen IGF-I otot meningkat 1.9 kali dalam kelompok GH dan 2.3 kali pada kelompok testosteron+GH (Brill et al. 2002). Percobaan terakhir yang lebih besar (n=80) perlakuan acak terkontrol dari GH banding testosteron atau kedua-duanya, suatu pengaruh nyata secara statistik terhadap ukuran otot dan 9 komposisi tubuh hanya yang ditemukan di dalam kelompok kombinasi (Giannoulis et al. 2006). Uji in vitro menunjukkan bahwa tidak satupun dari hormon protein hipofisa anterior (GH, prolactin, LH, thyrotrophan) yang memiliki kemampuan secara langsung mempengaruhi proliferasi sel satelit, namun tidak demikian dengan faktor pertumbuhan fibroblast (Allen et al. 1986). Glukokortikoid sebaliknya merangsang atropi otot skeletal sehubungan dengan meningkatnya pengaturan oleh ekspresi gen miostatin (Ma et al. 2003). Kehilangan massa otot rangka dan kemunculan glukokortikoid bebas, secara parsial dapat ditolong dengan suatu penghambat proteasome yang kuat. Hal ini berhubungan dengan ekspresi mRNA dari berbagai faktor yang berperan dalam degradasi tergantung ubiquitinproteasome dan mungkin untuk mengendalikan perubahan model otot rangka tak bergerak selama atropi (Krawiec et al. 2005). Testosteron beraksi secara berbeda pada otot rangka dari bagian tubuh yang berbeda dimana ekpresi mRNA IGF-I dan AR berbeda nyata antara otot splenius dan semitendinosus, tetapi ekspresi miostatin berbeda tidak nyata (Mateescu & Thonney 2002). Perbedaan aksi steroid juga terlihat antarorgan, White et al. (2003) menemukan bahwa taraf mRNA IGFBP-3 dari hati lebih tinggi 24% pada steer yang diimplantasi Revalor-S®, sedangkan pada otot tidak berbeda. Taraf mRNA, IGFBP-5, HGF dan miostatin pada kedua organ tidak dipengaruhi perlakuan. Ekspresi reseptor androgen (AR) pada sel-sel CD34C, fibroblas, otot halus dan sel satelit telah diperlihatkan melalui pengujian immunohistokimia (Sinha-Hikim et al. 2004). Penggunaan β-adrenergic clenbuterol pada domba betina dapat menurunkan konsentrasi kolagen karena protein miofibril le bih dipilih untuk diproduksi, tetapi kelarutan kolagen tidak terpengaruh (Young et al. 1995). Testosteron merangsang peningkatan Ca intraseluler dengan mekanisme nongenomik dalam kultur miosit jantung tikus (Vicencio et al. 2006). Testosteron meningkatkan transportasi laktat, monokarboksilat pada otot skeletal tikus. Studi ini memperlihatkan bahwa testosteron merangsang peningkatan protein monocarboxylate transporter (MCT)1 dan MCT4 berikut kandungan 10 plasmalemanya pada otot skeletal. Bagaimanapun rangsangan testosteron bersifat spesifik jaringan dan ekspresi protein MCT1 tidak berubah pada jantung. Peningkatan transportasi laktat pada jantung oleh rangsangan testosteron tidak dapat diterangkan dengan perubahan kandungan MCT1 plasmalema, tapi pada otot skeletal peningkatan laju transportasi laktat berhubungan dengan peningkatan MCT1 dan MCT4 plasmalema (Enoki et al. 2006). Metabolisme Testosteron Testosteron adalah steroid dengan inti siklopentan-perihidro-phenantren dengan gugus keton pada posisi 3 dan gugus alkohol sekunder pada posisi 17. Senyawa ini berupa kristal putih yang tidak larut dalam air dan larut dalam pelarut lemak. Testosteron disintesis di dalam sel-sel Leydig (sel interstisial) yang tersebar dalam jaringan ikat antara tubulus seminiferus yang bergelung akibat rangsangan Luteinizing Hormone (LH) atau Interstitial Cell Stimulating Hormone (ICSH) (Murray et al. 1999). Biosintesis testosteron berasal dari kholesterol. Struktur kerangka C-27 pada kolesterol berasal dari Acetyl-CoA yang telah mengalami serangkaian peristiwa sebagai berikut : diawali pembentukan asetat menjadi mevalonat yang membutuhkan enzim HMG-CoA-reduktase kemudian diubah menjadi skualen dilanjutkan dengan lanosterol. Selanjutnya lanosterol akan diubah menjadi kolesterol sebagai produk intermediate dengan mengambil 3 gugus karbon. Selain sebagai prekursor hormon steroid, kolesterol yang banyak terdapat di membran sel juga merupakan salah satu komponen penting bagi kelangsungan hidup sel (Steimer 2003). Biosintesis hormon steroid termasuk testosteron dimulai dari pengubahan kolesterol menjadi pregnenolon. Pengaturannya diperantarai oleh peningkatan cAMP intraseluler ataupun oleh Ca2+ melalui jalur inositol trifosfat. Rangsangan terhadap cAMP dapat bersifat akut maupun kronis (dalam beberapa jam sampai hari). Rangsangan akut dimulai sejak pengiriman kolesterol ke dalam bagian dalam mitokondria dengan perantaraan Steroidogenic acute regulatory (StAR), sedangkan rangsangan kronis terjadi saat pengubahan kolesterol menjadi 11 p pregnenolon n. Proses konnversi berlanngsung di daalam mitokoondria pada stadium s ini d dengan mem mbutuhkan enzim e side chain c cleavaage (scc), N NADPH, oksigen serta s sitokrom P4 450 secara teerbatas sesuuai dengan kebutuhan k (G Gambar 1 daan 2). Ca2+ d dalam hal ini i berfungssi untuk meeningkatkan aktivitas ennzim scc (L Litwack & S Schmidt 20002b). Gambar 1. Skema bio osintesis horrmon testosteeron (King & Marchesinni 2004) Keceppatan sekressi testosteron rata-rata sebesar 4-99 mg/d (13 3.9 – 31.2 n nmol/d) dallam kondisii normal paada jantan dewasa. Seebanyak 97% % hormon t testosteron di d dalam plaasma terikat oleh proteinn; 40% terikaat oleh β-gloobulin atau d disebut gonaadal steroid d binding gloobulin (GBG G), 40% albbumin dan 17% 1 terdiri a atas protein yang lain (William ( 19983). Senadaa dengan ituu Murray et al. (1999) m menyatakan bahwa teestosteron terikat dallam β-globbulin plasm ma dengan 12 Protein ini sering spesifiisitas, afinitaas yang relaatif tinggi, daan kapasitass terbatas. P dinam makan sex hoormone bindding globulinn (SHBG) dan d diprodukksi di dalam hati. SHBG G dan albumiin mengikat 97-99% horrmon testosteron yang beeredar dan hanya h sebagiian kecil darri testosteronn yang beradda dalam benntuk bebas ((biologis akttif) di dalam sirkulasi darah. Testossteron yang telah disek kresikan akan bersirkulaasi di ma kurang leb bih 30 samppai 60 menit (Guyton & H Hall 1996) dalam darah selam Gamb bar 2. Mekannisme aksi hhormon sterooid dalam intti sel B Berbeda darri reseptor hormon h prootein, reseptoor steroid teerletak di dalam d sitoplaasma sel (Poollard 1999) atau inti seel (West et al. a 1990) (G Gambar 2). MulaM mula hormon maasuk ke dalaam sel denggan cara diffusi dipermuudah, dan seegera mengiikat reseptorr protein speesifik di dalaam sitoplasm ma. Reseptorr hormon steroid secaraa inaktif dipelihara dalaam suatu heaat shock protein 90 (H HSP 90). Appabila terjadii ikatan antaara hormon dan reseptorr, maka HSP P 90 menjaddi aktif dan akan melepaskan diri. Kemudian K ikatan hormoon dan resepptor akan seegera menujju ke nukleu us. Ikatan koompleks horrmon-reseptoor di dalam nukleus n akaan mempengaruhi koaktiivator dan faktor fa transkkripsi secara menyeluruhh untuk mennghasilkan suatu s 13 kompleks transkripsional aktif yang nantinya akan mempertinggi ekspresi target gen dan menimbulkan efek hormon steroid (West et al. 1990). Testosteron dapat bebas masuk ke dalam sitoplasma di dalam organ target. Gabungan hormon selanjutnya akan terikat ke dalam jaringan dan akan segera diubah menjadi dihidrotestosteron, suatu bentuk androgen yang paling aktif. Pengubahan bentuk testosteron menjadi dihidrotestosteron membutuhkan enzim intraseluler dari retikulum endoplasmik yakni 5α-reduktase. Proses tersebut terutama terjadi di dalam organ-organ target khusus seperti kelenjar prostat serta genetalia eksterna (Guyton & Hall 1996). Pengubahan menjadi bentuk aktif ini mengakibatkan aktivitas biologik seperti perkembangan organ asesori, distribusi rambut tubuh. Testosteron dan dihidrotestosteron juga beraksi secara lansung ke dalam muskulus. Testosteron dapat meningkatkan sintesis protein di dalam sel otot, sehingga membuat sel otot menjadi lebih kenyal (Brook & Marshall 1996). Testosteron yang terikat di dalam jaringan hati, akan diubah menjadi androsteron dan dehidroepiandrosteron (Guyton & Hall 1996), etiocholanolon, epiandrosteron (Felig et al. 1981). Metabolit tersebut kemudian secara serempak dikonjugasikan sebagai glukoronida atau sulfat (terutama glukoronida) agar dapat larut di dalam air (Steimer 2003). Konjugat kemudian akan dieksresikan ke dalam feses melalui usus dan empedu atau ke dalam urin melalui ginjal. Berdasarkan waktunya, metabolit yang terkonjugasi dengan glukoronat hanya membutuhkan waktu yang lebih singkat dalam tubuh dibandingkan dengan konjugat sulfat (Steimer 2003). Fraksi bebas testosteron masuk dalam sel cible, ikatan rangkapnya disaturasi oleh 5α-reduktase, dan diperoleh androstanolon aktif. Senyawa yang terakhir ini terikat pada protein sitoplasmik spesifik yang mengantar sampai pada intinya. Akibatnya mendorong sintesis RNA, aktivitasnya langsung pada otot, saluran Wolff, cartilage larynx dan sistem saraf pusat. Sistem Pengendalian Hipotalamus-Hipofisa-Testis Hormon protein yang mengatur fungsi gonad pada hewan jantan secara langsung terdiri atas tiga jenis yakni : Follicle Stimulating Hormone (FSH), Luteinizing hormone (LH) serta Prolactin (Jhonson & Everrit 1995). FSH dan LH 14 merupakan glikoprotein yang mempunyai 2 subunit polipeptida, sedangkan prolactin hanya terdiri atas polipeptida rangkai tunggal. FSH dan LH bekerja berdasarkan suatu kontrol dari faktor hipotalamik yang disebut dengan gonadotrophine-releasing hormone (GnRH). Pemberian GnRH dapat merangsang sekresi FSH dan LH dengan mekanisme kerja sebagai berikut : diawali dengan adanya sinyal yang merangsang sel penghasil GnRH yang ditransmisikan dari akson ke akhiran saraf untuk memasuki hipofisis secara fenestrasi. GnRH di dalam membran sel hipofisis, akan berikatan dengan reseptor melalui perantara protein-G. Ikatan hormon dan reseptor tersebut akan mengaktifkan enzim fosfolipase C. Enzim fosfolipase C menghidrolisis PIP2 membentuk diacylglycerol (DAG) dan IP3 (Inositol triPhosphat). Diasilgliserol mengaktifkan protein kinase C yang kemudian dapat melakukan fosforilase protein spesifik untuk mengangkut FSH dan LH keluar sel. IP3 yang berikatan dengan reseptor juga merangsang pelepasan ion Ca2+ sampai terjadi stimulasi enzim protein kinase C yang ikut berpartisipasi dalam pengangkutan FSH dan LH keluar sel (Litwack & Schmidt 2002a), namun infus GnRH dalam waktu yang lama justru akan menurunkan kadar LH dan testosteron (Jhonson & Everitt 1995). GnRH dalam aplikasinya tidak disekresikan secara terus menerus oleh hipotalamus, namun secara pulsatil selama beberapa menit dan terjadi secara periodik 1 sampai 3 jam sekali. Konsekuensinya, sekresi LH juga bersifat pulsatil. Pemberian GnRH secara terus menerus justru menghilangkan pengaruh GnRH yakni tidak disekresikannya baik LH maupun FSH (Guyton & Hall 1996). Aktivitas saraf yang menyebabkan pelepasan GnRH secara pulsatif terjadi di bagian mediobasal hipotalamus, khususnya di nukleus arkuatus. Daerah tersebut mengendalikan aktivitas seksual baik pada jantan maupun betina (Jhonson & Everrit 1995) Teknik Pendeteksian Hormon Hormon setelah disekresikan oleh organ endokrin akan beredar ke seluruh tubuh dengan cara berikatan secara lemah dengan protein tertentu. Hormon tidak mempunyai saluran tersendiri, sehingga disekresikan melalui pembuluh darah. 15 Hormon dalam waktu tertentu akan dipecah menjadi senyawa yang tidak aktif yang selanjutnya akan disekresikan dari tubuh dalam bentuk feses maupun urin. Hormon yang tidak terikat di dalam jaringan akan diubah oleh hati sebelum diekskresikan lewat usus, atau ke dalam urin melalui ginjal (Guyton & Hall 1996). Berdasarkan hal tersebut deteksi suatu hormon dapat dilakukan melalui plasma/serum, feses, urin maupun saliva (Brook & Marshall 1996). Denhard (2004) melaporkan bahwa deteksi hormon dengan menggunakan saliva mempunyai pola yang sangat mirip dengan plasma, namun konsentrasi pada saliva jauh lebih rendah dibanding plasma. Berdasarkan manipulasi terhadap hewan, pengambilan sampel dikelompokkan menjadi invasif (plasma/serum, saliva) maupun non-invasif (feses dan urin) (Brook & Marshall 1996). Potensi Pasak Bumi Tanaman pasak bumi (Eurycoma longifolia Jack /ELJ) telah lama dikenal masyarakat Indonesia sebagai tanaman obat yang berkhasiat menyembuhkan berbagai penyakit. Lebih jauh ekstrak ELJ telah dilaporkan memiliki sifat afrodisiak, aktivitas cytotoxic, antimalarial, anxiolytic, dan antiulcer. Studi fitokimia menunjukkan bahwa tanaman ELJ memiliki serangkaian senyawa kuasinoid (seperti eurycomalacton, eurycomanon, and eurycomanol) yang terutama bertanggung jawab atas rasa pahit, triscullanetype triterpenes, turunan squalene, biphenyl-neo-lignans, canthin-6-one dan β-carboline alkaloids (Bedir et al. 2003). Meski memiliki banyak khasiat, tanaman ELJ lebih populer dengan fungsi afrodisiak untuk meningkatkan vitalitas pria. Eurycoma longifolia umumnya distandardisasi pada eurycomanone, 13alpha(21)-epoxyeurycomanone, eurycomalactone, dan 14,15beta-dihydroxyklaineanone sebagai marker acuan untuk ekstrak organik, sedangkan quassinoid dan glikoprotein yang lebih polar digunakan sebagai standar untuk ekstrak dengan air (Sambandan et al. 2006) . Hasil pengamatan Hamzah dan Yusof (2003) memperlihatkan bahwa larutan ekstrak Eurycoma longifolia Jack meningkatkan massa bebas lemak, mengurangi lemak tubuh, serta meningkatkan kekuatan dan ukuran otot, dan demikian mungkin memiliki suatu efek ergogenik. Suplementasi 100 mg/hari eurycoma 16 longifolia pada pria dapat meningkatkan massa lean tubuh 2.13 kg dan menurunkan lemak 2.86%. Chan (2000) menyatakan bahwa ekstrak ELJ dapat meningkatkan kadar testosteron sehingga disebutnya sebagai testosterone booster, namun kenaikan kadar hormon testosteron tersebut tidak akan lebih dari 400%. Tikus yang diberi ekstrak ELJ 28 mg/kg BB, kadar testosteronnya nyata lebih tinggi dibanding perlakuan kontrol negatif tragacanth 1%, tetapi berbeda tidak nyata dengan kontrol positif mesterolone 0.42 mg/kg BB (Nainggolan & Simanjuntak 2005). Lebih rinci dijelaskan Taufiqqurrachman (1999) bahwa pemberian ekstrak ELJ dosis 25 mg/kg BB dapat meningkatkan kadar LH 17.8% dan testosteron 99.5% pada tikus, namun jika dosisnya ditingkatkan 2 kali (50 mg) hasilnya tidak menjadi lebih baik, dengan peningkatan LH hanya 17.3% dan testosteron 93.2% dibanding kontrol. Sambandan et al. (2006) menemukan suatu komposisi dari fraksi ekstrak air ELJ yang mengandung glikopeptida dengan bobot molekul 4300 dalton dan disusun oleh sekitar 36 asam amino, adalah kelompok yang memiliki aktivitas meningkatkan sintesis testosteron. Peptida Bioaktif, Metode Ekstraksi dan Karakterisasi Peptida bioaktif adalah fragmen protein spesifik yang berdampak positif pada fungsi atau kondisi tubuh dan akhirnya dapat mempengaruhi kesehatan (Kitts & Weiler 2003). Mereka mempengaruhi banyak proses biologi termasuk membangkitkan perilaku, saraf, hormonal, respons nutrisi dan gastrointestinal (Clare & Swaisgood 2000). Peptida bioaktif biasanya mengandung 3 -20 residu asam amino dan aktivitas mereka berdasarkan komposisi dan sekuen asam amino (Pihlanto-Leppa¨la¨ 2000) Metode ekstraksi untuk total peptida/protein maupun untuk fraksinasi selektif semuanya didasarkan pada perbedaan kelarutan senyawa tersebut dalam larutan akueus. Perubahan keadaan ionik dan pH umumnya digunakan untuk memperoleh interaksi elektrostatik minimal (Lillford 1998). Menurut Zayas (1997), kelarutan protein bergantung pada komposisi dan sekuen asam amino, bobot molekul, konformasi dan jumlah grup polar dan nonpolar pada asam amino. Faktor-faktor yang mempengaruhi kelarutan protein adalah 1) pH, bila kelarutan 17 protein diplotkan sebagai fungsi dari pH akan terbentuk kurva V dengan kelarutan terendah pada titik isoelektriknya. Kelarutan akan meningkat pada kondisi asam dan basa dan dapat dipertinggi dengan meningkatkan muatan protein; 2) kekuatan ion, garam dengan konsentrasi rendah (0.5-1.0 M) dapat meningkatkan kelarutan protein, tetapi di atas 0.15 M dapat menurunkan kelarutan protein tersebut; 3) pemanasan, kelarutan kebanyakan peptida akan menurun dengan perlakuan panas, tetapi pada suhu 40-50 oC kelarutannya meningkat; 4) skondisi proses, seperti pH ekstraksi dan presipitasi serta kecepatan pengadukan atau pencampuran mempengaruhi kelarutan peptida. Proteksi Komponen Bioaktif Pakan Ruminansia Proses pencernaan makanan pada ternak ruminansia relatif lebih kompleks dibandingkan proses pencernaan pada jenis ternak lainnya. Sistem pencernaan ruminasia memiliki suatu proses yang disebut memamah biak (ruminasi) dan tidak terlepas dari bantuan sejumlah mikroba. Mikroba rumen dapat dibagi dalam tiga grup utama yaitu bakteri, protozoa dan fungi (Czerkawski 1986). Bakteri rumen dapat diklasifikasikan berdasarkan substrat utama yang digunakan, karena sulit mengklasifikasikan berdasarkan morfologinya. Beberapa jenis bakteri yang dilaporkan oleh Hungate (1966) adalah (a) bakteri pencerna selulosa (Bakteroides succinogenes, Ruminococcus flavafaciens, Ruminococcus albus, Butyrifibrio fibrisolvens), (b) bakteri pencerna hemiselulosa (Butyrivibrio fibrisolvens, Bakteroides ruminocola, Ruminococcus sp), (c) bakteri pencerna pati (Bakteroides ammylophilus, Streptococcus bovis, Succinnimonas amylolytica), (d) bakteri pencerna gula (Triponema bryantii, Lactobasilus ruminus), (e) bakteri pencerna protein (Clostridium sporogenus, Bacillus licheniformis). Protein pakan di dalam rumen akan mengalami hidrolisis oleh enzim proteolitik menjadi asam amino dan oligopeptida. Asam-asam amino selanjutnya mengalami katabolisme menghasilkan amonia, VFA dan CO2. Amonia menjadi sumber nitrogen utama untuk sintesis de novo asam-asam amino bagi mikroba rumen. Amonia tersebut berkontribusi besar terhadap pulamonia rumen. Diperlukan kisaran konsentrasi amonia tertentu untuk memaksimumkan laju sintesis protein mikroba (Arora 1989). 18 Aksi mikroba ini juga diikuti kerugian tertentu, misalnya protein terlarut yang bernilai nutrisi tinggi dapat tercerna dan teraminasi di dalam rumen dan sebagian disintesis kembali ke dalam protein mikroba yang bernilai nutrisi lebih rendah. Asam amino yang merupakan unit penyusun molekul protein, juga secara kimia diubah oleh mikroorganisme rumen menjadi karbon dioksida, asam lemak terbang dan amonia. Suplementasi asam amino untuk ruminansia perlu disiapkan dalam suatu bentuk yang dapat mencegahnya dari degradasi kimia di dalam rumen dan memudahkan penyerapannya menjadi wujud yang tersedia secara biologis. Bermacam pendekatan telah digunakan untuk keberhasilan penyampaian asam amino atau analognya secara kimia bioequivalent pada lokasi penyerapan. Usaha ini telah difokuskan terutama pada metionin dan sedikit pada lisin, karena asam amino ini telah dikenal sebagai sesuatu yang dapat membatasi pertumbuhan dan produksi susu atau protein susu pada ruminansia di bawah beberapa kondisi pakan. Wujud asam amino yang terproteksi dari degradasi rumen dapat dikelompokkan ke dalam dua kategori umum. Pertama termasuk analog, derivat, atau senyawa polimer dari asam amino. Kategori yang kedua adalah asam amino terkapsulasi. Metode alternatif untuk mengurangi degradasi ruminal pada asam amino termasuk yang didasarkan pada perlakuan kimia atau fisika dari protein pakan atau suatu penghambatan degradasi mikroba pada asam amino dengan antibiotik dan senyawa kimia lainnya. Analog asam amino utama atau derivat yang telah dievaluasi kemampuannya untuk ketahanan degradasi mikroba adalah analog hidroksi metionina (MHA), N-(hydroxymethyl)-DL-methionine calsium dan mono-pIus di-N-(hydroxymethyl)-L-lysine kalsium. Banyak analog lainnya, derivat, dan bentuk polimer metionin dan lisin yang telah dievaluasi untuk stabilitas di dalam rumen secara in vitro dan in vivo (Papas et al. 1984). Beberapa macam ekstrak tumbuhan yang disalurkan melewati rumen telah dipelajari karakteristiknya oleh Cardozo et al. (2005). Hasilnya menunjukkan bahwa pengaruh ekstrak tumbuhan dalam fermentasi rumen pada pakan sapi pedaging dapat bergantung pada pH rumen. Ketika pH 5.5, bawang putih, 19 capsicum, yucca, dan kayu manis mengubah fermentasi mikroba rumen mengarah ke propionat, yang lebih efisien secara energi. Komposisi Tubuh Domba Berg dan Butterfield (1976) mengemukakan bahwa bobot karkas adalah bobot hidup setelah dikurangi bobot saluran pencernaan, darah, kepala, kulit, dan keempat kaki mulai dari persendian carpus atau tarsus ke bawah. Dinyatakan bahwa dijumpai sedikit modifikasi, kadang-kadang dengan atau tanpa ginjal, lemak ginjal, lemak pelvis, lemak sekitar ambing, diaphragma dan ekor. Perbedaan sangat besar adalah lemak ginjal atau lemak pelvis termasuk ke dalam karkas atau tidak. Karkas sebagai satuan produksi dinyatakan dalam bobot karkas dan persentase karkas. Persentase karkas adalah perbandingan antara bobot karkas dengan bobot hidup saat dipotong (dikurangi isi saluran pencernaan dan urine) dikali 100 % (Judge et al. 1989; Berg & Butterfield 1976; Tulloh 1978). Menurut Berg dan Butterfield (1976) persentase karkas dipengaruhi oleh bobot karkas, bobot ternak, kondisi, bangsa ternak, proporsi bagian-bagian nonkarkas, ransum yang diberikan dan cara pemotongan. Herman (1993) menyatakan bahwa persentase karkas domba priangan adalah sebesar 55.1% dan domba Ekor Gemuk adalah sebesar 55.3% pada bobot potong 40 kg. Persentase karkas bervariasi karena umur dan perlemakan dari domba tersebut, sedangkan persentase tulang, otot dan lemak dalam karkas dipengaruhi oleh umur, bangsa dan perlemakan pada domba. Hasil penelitian Sugiyono (1997) mendapatkan bahwa bobot karkas domba lokal yang diberi pakan konsentrat biasa adalah sebesar 7.5 kg dari bobot hidup 19.3 kg dan persentase karkasnya 39.1%. Johnston (1983) menyatakan bahwa persentase karkas pada domba yang kurus dan kondisinya buruk kurang dari 40%, sedangkan pada kondisi gemuk persentase karkas dapat melebihi 60 %. Pendapat lain dikemukakan Tulloh (1978) bahwa apabila ternak tidak diberi makan atau minum untuk suatu periode tertentu (dua hari misalnya) maka persentase karkas akan meningkat karena berkurangnya jumlah urin dan feses selama periode tertentu. Komposisi pakan juga berpengaruh pada besarnya persentase karkas. 20 Ternak yang mendapat pakan hijauan dengan mutu yang rendah, mengandung lebih banyak digesta di dalam saluran pencernaannya dari pada ternak yang diberi pakan bermutu tinggi dengan proporsi biji-bijiannya yang tinggi. Ternak yang dipuasakan keragaman persentase karkasnya dapat mencapai 4% lebih besar (Tulloh 1978). Menurut Soeparno (2005) perbedaan komposisi tubuh dan karkas di antara bangsa ternak disebabkan oleh perbedaan ukuran tubuh dewasa atau perbedaan bobot pada saat dewasa. Komponen utama karkas terdiri atas jaringan otot, tulang dan lemak (Berg et al. 1978). Kualitas karkas sangat ditentukan oleh imbangan ketiga komponen tersebut. Tulang sebagai kerangka tubuh, merupakan komponen karkas yang tumbuh dan berkembang paling dini, kemudian disusul oleh otot dan yang paling akhir oleh jaringan lemak (Soeparno 2005). Proporsi komponen karkas dan potongan karkas yang dikehendaki konsumen adalah karkas atau potongan karkas yang terdiri atas proporsi daging tanpa lemak (lean) yang tinggi, tulang yang rendah dan lemak yang optimal (Natasasmita 1978). Komponen karkas yang dapat memberikan nilai ekonomis adalah lemak, karena lemak berfungsi sebagai pembungkus daging dan memberikan keempukan pada daging (Berg & Butterfield 1976). Kirton et al. (1974) menyatakan bahwa kandungan lemak pada domba memperlihatkan perbedaan yang nyata karena perbedaan bangsa dan jenis kelamin. Hasil penelitian Sugiyono (1997) mendapatkan bahwa domba lokal yang diberi pakan konsentrat biasa, persentase daging tanpa lemak (lean), lemak dan tulangnya berturut-turut adalah sebesar 62.63%, 5.42% dan 24% dari bobot setengah karkas. Herman (1993) dan Rachmadi (2003) menyatakan bahwa semakin tinggi bobot potong yang diperoleh menyebabkan bobot karkas segar dan persentase karkas akan semakin tinggi. Herman (1993) menyatakan bahwa pada bobot potong 17.5 kg, bobot karkas, otot, tulang dan lemak pada domba priangan berturut-turut adalah sebesar 8 290, 2 554, 720 dan 598 gram sedangkan untuk domba Ekor Gemuk berturut-turut 8 530, 2 521, 724 dan 794 gram. Rachmadi (2003) menyatakan bahwa domba yang diberi pakan konsentrat yang mengandung bungkil inti sawit sebanyak 45% mempunyai bobot tubuh kosong, bobot karkas 21 dan persentase karkasnya berturut-turut adalah sebesar 14.30 kg, 6.24 kg dan 43.57% dengan masa penggemukan enam bulan. Murray dan Slezacek (1979) melaporkan bahwa tidak ada perbedaan dalam proporsi daging, tulang dan jaringan ikat maupun perlemakan pada tingkat pemberian pakan yang berbeda pada domba, tetapi berbeda dalam depot lemak tubuhnya. Domba yang mendapat pakan lebih banyak mempunyai lemak subkutan lebih banyak, namun lemak intramuskuler lebih rendah. 22