PEMETAAN KEJADIAN DBD BERDASARKAN ANGKA BEBAS

advertisement
Jurnal Keperawatan & Kebidanan – Stikes Dian Husada Mojokerto
PEMETAAN KEJADIAN DBD BERDASARKAN ANGKA BEBAS JENTIK DAN
JENIS INFEKSI VIRUS DENGUE
Agus Putra Murdani1, Santi Martini2, Windhu Purnomo3
1
Universitas Bakti Indonesia Banyuwangi, [email protected]
2
Departemen Epidemiologi FKM UA, [email protected]
3
Departemen Biostatistik dan KependudukanFKM UA, [email protected]
Alamat Korespondensi: Departemen Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Airlangga Surabaya, Jawa Timur, Indonesia
ABSTRAK
Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan salah satu penyakit endemis di
Indonesia, dengan daerah terjangkit yang semakin meluas dan angka kesakitan
yang cenderung meningkat dari tahun ke tahun, bahkan sering menimbulkan
Kejadian Luar Biasa (KLB). IR DBD di Kabupaten Banyuwangi pada tahun 2014
sebesar 29,42 per 100.000 penduduk. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
menganalisis hubungan antara kejadian DBD dengan Angka Bebas Jentik (ABJ)
dan jenis virus dengue berdasarkan pemetaan. Jenis penelitian ini adalah penelitian
observasional-analitik dengan desain cross sectional. Penelitian dilaksanakan di
Kecamatan Purwoharjo Kabupaten Banyuwangi. Sampel adalah pasien yang
datang berobat ke puskesmas dengan gejala demam tinggi mendadak tanpa sebab
yang jelas berlangsung selama 3-5 hari dan disertai dengan 2 atau lebih tandatanda : mual, muntah, bintik perdarahan, nyeri sendi yang berada di wilayah
Kecamatan Purwoharjo Kabupaten Banyuwangi Tahun 2015 yaitu sebesar 27
pasien.Pengambilam sampel dilakukan dengan menggunakan teknik accidental
sampling. Analisis data dengan uji Fisher's Exact Test. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara Angka Bebas Jentik (ABJ) dengan
Kejadian DBD dengan p-value 1,000 yang berarti p-value> 0,05.Infeksi primer
maupun infeksi sekunder sebagian besar terjadi di daerah dengan ABJ <
95%.Kesimpulan dari penelitian ini bahwasuatu daerah akan terbebas dari kejadian
DBD apabila didukung daerah di sekitarnya juga terbebas dari jentik. Disarankan
untuk memberdayakan masyarakat untuk berperan aktif dalam upaya melakukan
pemberantasan sarang nyamuk (PSN) yang dilakukan secara serempak dan
berkesinambungan.
Kata kunci : demam berdarah dengue, angka bebas jentik, infeksi virus
dengue,sistem informasi geografis
Hal 30
Jurnal Keperawatan & Kebidanan – Stikes Dian Husada Mojokerto
PENDAHULUAN
Demam Berdarah Dengue (DBD)
merupakan salah satu penyakit endemis di
Indonesia,dengan daerah terjangkit yang
semakin meluas dan angka kesakitan yang
cenderung meningkat dari tahun ke tahun,
bahkan sering menimbulkan Kejadian Luar
Biasa (KLB). Penyakit DBD di Indonesia mulai
dikenal sejak tahun 1968 di Surabaya dan
Jakarta,dan setelah itu jumlah kasus DBD
terus bertambah seiring dengan semakin
meluasnyadaerah endemis DBD. Dampak
dari penyakit DBD tidak hanya sering
menimbulkan KLB tetapi jugamenimbulkan
dampak buruk sosial maupun ekonomi.
Dampak
atau
kerugian
sosial
yang
terjadiantara lain karena menimbulkan
kepanikan dalam keluarga, kematian anggota
keluarga,dan usia harapan pendudukyang
berkurang (Kemenkes RI, 2014). Penyakit
DBD dahulu hanya menyerang atau
ditemukan pada anak-anak, namun sekarang
juga banyak ditemukan pada orang dewasa.
Prevalensi terendah ditemukan pada bayi
(0,2%) dan prevalensi tertinggi ditemukan
pada kelompok umur 25 – 34 tahun (0,7%).
Prevalensi
DBD
pada
laki-laki
dan
perempuantidak terlihat adanya perbedaan.
DBD klinis relatif lebih tinggi di pedesaan,
namun kasus yang terdeteksi berdasarkan
diagnosis tenaga kesehatan lebih banyak di
perkotaan (Balitbangkes, 2007).
Prevalensi kejadian DBD klinis sebesar
0.6% (rentang: 0,3% - 2,5%) yang tersebar di
seluruh Indonesia. Pada 12 provinsi
didapatkan prevalensi DBD klinis lebih tinggi
dari angka nasional, yaitu Nusa Tenggara
Timur (2,5%), Papua Barat (2,0%), Bengkulu
dan DKI Jakarta (1,2%), Sulawesi Tengah dan
Nusa Tenggara Barat serta NAD (1,1%),
Sulawesi Tenggara (1,0%), Papua (0,9%),
Riau dan Maluku Utara (0,8%), dan Sulawesi
Barat (0,7%) (Balitbangkes, 2007).
Situasi DBD di Indonesia sejak tahun
2008-2013 menunjukkan adanya peningkatan
angka kesakitan yang mengindikasikan
bahwa penyakit DBD masih menjadi masalah
di Indonesia. Angka kesakitan atau Incidence
Rate (IR) DBD pada tahun 2008 sebesar
59,02 per 100.000 penduduk, kemudian
meningkat pada tahun 2009 denganIncidence
Rate(IR) DBD sebesar 68,22 per 100.000
penduduk, namun mengalami penurunan
pada tahun 2010 dengan Incidence Rate(IR)
DBD
sebesar
65,7
per
100.000
penduduk.Tahun 2011terjadi penurunan lebih
besar dibanding tahun sebelumnya dengan
Incidence Rate(IR) DBD sebesar 27,67 per
100.000 penduduk, dan kembali terjadi
peningkatan secara terus menerus pada
tahun 2012 dengan Incidence Rate (IR) DBD
sebesar 37,27 per 100.000 penduduk dan
pada tahun 2013 Incidence Rate(IR)DBD
sebesar 45,85 per 100.000 penduduk
(Kemenkes RI, 2014). Dalam kurun waktu
tersebut menunjukkan IR DBD cenderung
fluktuatif yang mengindikasikan bahwa
penyakit DBD di Indonesia masih menjadi
masalah kesehatan.
Jumlah kabupaten atau kota terjangkit
DBD tahun 2008-2013 cenderung mengalami
peningkatan. Jumlah kabupaten atau kota
terjangkit DBD pada tahun 2008 sebanyak
356 kabupaten atau kota, kemudian
meningkat terus menerus pada tahun 2009
sebanyak 384 kabupaten atau kota dan pada
tahun 2010 sebanyak 400 kabupaten atau
kota. Pada tahun 2011 jumlah kabupaten atau
kota terjangkit DBD mengalami penurunan
menjadi 374 kabupaten atau kota, dan
meningkat pada tahun 2012 sebanyak 417
kabupaten atau kota, kemudian menurun
kembali pada tahun 2013 sebanyak 412
kabupaten atau kota (Kemenkes RI, 2014).
Provinsi Jawa Timur merupakan wilayah
endemis DBD di Indonesia. Provinsi Jawa
Timur yang memiliki 38 kabupaten atau kota
dari tahun 2011 sampai tahun 2013
persentase kabupaten atau kota terjangkit
DBD sangat tinggi mencapai 100% yang
semuanya pernah terjangkit DBD (Kemenkes
RI, 2014).Berdasarkan data Dinas Kesehatan
Provinsi Jawa Timur, angka kesakitan atau
Incidence Rate (IR) DBD di Provinsi Jawa
Timur pada tahun 2013 adalah 39,14 per
100.000 penduduk dan angka kematian atau
Case Fatality Rate (CFR) sebesar 1,05%.
Terjadi peningkatan jumlah kasus pada tahun
2013 dibandingkan tahun 2012 yang sebesar
8.266 kasus dengan Incidence Rate (IR)
sebesar 21,72 per 100.000penduduk, namun
pada tahun 2014 mengalami penurunan
Incidence Rate (IR) DBD sebesar 24,33 per
100.000 penduduk (Profil Kesehatan Provinsi
Jawa Timur, 2014).
Dilihat dari kondisi geografis, wilayah
Kabupaten Banyuwangi terdiri dari 31,72%
area kawasan hutan, 22,04% permukiman,
14,21% perkebunan, 11,44% persawahan,
sisanya dipergunakan untuk jalan, ladang dan
lain-lain dan wilayahnya pantai sampai
pegunungan, sebagian besar berada di
Hal 31
Jurnal Keperawatan & Kebidanan – Stikes Dian Husada Mojokerto
bawah ketinggian 1.000 di atas permukaan
laut (dpl), yang memungkinkan vektor DBD
dapat berkembangbiak dengan baik dan
menyebar hampir sebagian besar wilayah
Kabupaten Banyuwangi, sehingga wilayah
Kabupaten Banyuwangi rentan terhadap
penularan DBD.
Berdasarkan data Dinas Kesehatan
Kabupaten Banyuwangi, angka kesakitan atau
Incidence Rate (IR) DBD di Kabupaten
Banyuwangi tahun 2012-2014mengalami
peningkatan secara terus menerus. Pada
tahun 2012 angka kesakitan atau Incidence
Rate(IR) DBD sebesar 8,12 per 100.000
penduduk, kemudian meningkat pada tahun
2013 dengan Incidence Rate (IR) DBD
sebesar 15,62 per 100.000 penduduk dan
pada tahun 2014 meningkat dengan Incidence
Rate (IR) DBD sebesar 24,33 per 100.000
penduduk. Hal ini menunjukkan bahwa
Incidence Rate (IR) DBD di Kabupaten
Banyuwangi pada tahun 2014 berbanding
terbalik dengan Incidence Rate (IR) DBD di
Propinsi Jawa Timur, yaitu pada tahun 2014
IR DBD per 100.000 penduduk Propinsi Jawa
Timur mengalami penurunan dari tahun
sebelumnya,
sedangkan
Kabupaten
Banyuwangi sebaliknya pada tahun 2014
mengalami
peningkatan
dari
tahun
sebelumnya, hal tersebut mengindikasikan
bahwa penyakit DBD masih menjadi masalah
kesehatan
di
Kabupaten
Banyuwangi.Kejadian DBD di Kabupaten
Banyuwangi telah menyebar di 24 kecamatan
yang ada, termasuk diantaranya Kecamatan
Purwoharjo.Kecamatan
Purwoharjo
merupakan
daerah
endemis
DBD.
Berdasarkan
data
Dinas
Kesehatan
Kabupaten Banyuwangi pada tahun 2013,
Kecamatan Purwoharjo menempati urutan
pertama jumlah kasus terbanyak dengan
jumlah kasus sebanyak 32 kasus dengan
angka kesakitan atau Incidence Rate (IR)
DBD sebesar 48,64 per 100.000 penduduk,
namun pada tahun 2014 tidak mengalami
perubahan atau stagnant dengan jumlah
kasus sebanyak 31 kasus dengan angka
kesakitan atau Incidence Rate (IR) DBD
sebesar 46,94 per 100.000 penduduk. Hal
tersebut mengindikasikan bahwa kejadian
DBD di Kecamatan Purwoharjo masih menjadi
masalah kesehatan. Peta endemisitas DBD di
Kabupaten Banyuwangi dapat dilihat pada
gambar 1.
Gambar 1. Peta Endemisitas Kejadian
DBD Kabupaten Banyuwangi
Tahun 2013
Beberapa program yang dilakukan oleh
Dinas Kesehatan Kabupaten Banyuwangi
dalam
upaya
pencegahan
dan
penanggulangan DBD dititikberatkan pada
penggerakan potensi masyarakat untuk
berperan serta dalam Pemberantasan Sarang
Nyamuk (PSN), pemantauan Angka Bebas
Jentik (ABJ), pengenalan gejala DBD dan
penanganannya
pada
masyarakat,
pengasapan (fogging), kegiatan surveilans
epidemiologi, penyuluhan atau promosi
kesehatan dan pengobatan penderita.
Program yang telah dilakukan Dinas
Kesehatan Kabupaten Banyuwangi belum
cukup berhasil menurunkan angka kesakitan
atau Incidence Rate (IR) DBD di Kabupaten
Banyuwangi. Faktor yang berisiko terjadinya
penularan dan semakin berkembangnya
penyakit DBD,antara lain: pertumbuhan
jumlah penduduk yang tidak memiliki pola
tertentu, faktor urbanisasi yang tidak
berencana dan terkontrol dengan baik,
semakin
majunya
sistem
transportasi
sehingga mobilisasi penduduk sangat mudah,
sistem pengelolaan limbah dan penyediaan
air
bersih
yang
tidak
memadai,
berkembangnya penyebaran dan kepadatan
nyamuk, kurangnya sistem pengendalian
nyamuk yang efektif, serta melemahnya
struktur kesehatan masyarakat. Selain faktorfaktor lingkungan tersebut diatas status
imunologi seseorang, strain virus/serotipe
virus yang menginfeksi, usia dan riwayat
genetik juga berpengaruh terhadap penularan
penyakit. Selain itu faktor yang berhubungan
Hal 32
Jurnal Keperawatan & Kebidanan – Stikes Dian Husada Mojokerto
dengan peningkatan kejadian DBD adalah
peran serta masyarakat dalam pengendalian
DBD, terutama pada kegiatan Pemberantasan
Sarang Nyamuk (PSN) masih belum
terlaksana dengan baik, meskipun pada
umumnya pengetahuan tentang DBDdan
cara-cara pencegahannya sudah cukup tinggi
(Kemenkes RI, 2011b).
Penyakit Demam Berdarah Dengue
disebabkan oleh infeksi virus dengue yang
ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti dan
Aedes albopictus, yang tersebar luas di
daerah tropis dan subtropis. Telah diketahui
terdapat 4 serotype yaitu virus dengue
serotipe 1, 2, 3 dan 4. Infeksi dengue sering
bersifat sub klinis ataupun bersifat demam
yang dapat sembuh sendiri (self-limited febrile
disease).
Permasalahan dalam DBD adalah
gejala yang tidak spesifik dari DBD, mirip
dengan demam seperti pada infeksi lain
(influenza, chikungunya, demam typhoid, dll.),
sehingga untuk menegakkan diagnosa DBD
dengan membedakan dengan infeksi lain
sangat sulit. Untuk menegakkan diagnosa
DBD bila hanya dengan gejala klinis saja
sangat tidak bisa dipercaya, diperlukan
dukungan uji laboratorium untuk kepastian
penyebab (Basundari, 2008). Oleh karena itu,
perlu diagnosa lebih awal terhadap pasien
yang
terinfeksi
virus
dengue
guna
menentukan tindakan selanjutnya, sehingga
pasien segera mendapatkan penanganan
yang sesuai dengan tata laksana penyakit,
dan juga segera dapat menentukan langkahlangkah untuk mencegah penularan penyakit
yang lebih meluas (Kemenkes RI, 2011a).
Diagnosis infeksi virus dengue, selain
dengan melihat gejala klinis, juga dilakukan
dengan pemeriksaan darah di laboratorium.
Beberapa hasil laboratorium DBD adalah
penurunan Hb disertai dengan penurunan
hematokrit, peningkatan jumlah sel limfosit
atipikal atau limfosit plasma biru (LPB) > 4%
di darah tepi yang biasanya dijumpai pada
hari sakit ketiga sampai hari ketujuh, jumlah
trombosit < 100.000/µl biasanya ditemukan
diantara
hari
ke
3-7
sakit,
terjadi
hemokonsertrasi
dengan
peningkatan
hematokrit > 20%. Selain itu, dalam
menegakkan diagnosis infeksi virus dengue
diperlukan pemeriksaan untuk mendeteksi
adanya antibodi spesifik terhadap virus
dengue di dalam serum penderita baik berupa
IgM anti dengue maupun IgG anti dengue.
Selama ini kasus terdiagnosis Demam
Berdarah Denguedidasarkan pada kriteria
diagnosis klinis ditambah pemeriksaan
serologi
uji
haemagglutination-inhibition
digunakan untuk konfirmasi infeksi virus
dengue. Tetapi pemeriksaan ini memerlukan
waktu yang lama, persyaratan tertentu yang
harus dilakukan dan biaya yang sangat
mahal.
Program pengendalian dalam diagnosis
Demam Berdarah Dengue membutuhkan
suatu tes yang cepat, praktis dan dapat
dipercaya untuk infeksi dengue primer dan
sekunder. Rapid Diagnosis Test (RDT)
merupakanalat yang tepat untuk memenuhi
kebutuhan dalam mendiagnosis infeksi
dengue primer dan sekunder yang digunakan
untuk mendeteksi NS1, IgG dan IgM. Pada
pasien terinfeksi dengue pada tahap awal
penyakitNS1glycoprotein muncul dengan
konsentrasi yang tinggi. Antigen NS1
ditemukan pada hari pertama hingga hari ke
sembilan sejak awal demam pada pasienpasien dengan infeksi dengue primer maupun
infeksi dengue sekunder. Respon kekebalan
terhadap infeksi dengan memproduksi
antibodi IgM muncul pada hari ke 3-5 sejak
gejala dan bertahan untuk jangka waktu 30-60
hari. Antibodi IgG muncul disekitar hari ke 14
dan bertahan seumur hidup. Infeksi dengue
sekunder sering menghasilkan demam tinggi
dan pada banyak kasus disertai dengan
terjadinya pendarahan (haemorrhagic) dan
gangguan sirkulasi (circulatory failure). Infeksi
dengue sekunder ditunjukkan dengan titer
antibodi IgG meningkat dalam 1-2 hari setelah
gejala muncul dan merangsang respon
antibodi IgM setelah 20 hari infeksi.
Penyakit DBD menyerang pada semua
kolompok, namun manifestasi klinis pada
anak-anak biasanya menunjukkan gejala lebih
ringan dibandingkan dengan orang dewasa.
Penderita yang sembuh dari infeksi dengan
satu jenis serotipe akan memberikan imunitas
homolog
seumur
hidup
tetapi
tidak
memberikan perlindungan terhadap infeksi
serotipe lain dan dapat terjadi infeksi lagi oleh
serotipe lainnya (Kemenkes RI, 2011a).
Saat ini yang sedang dilakukan oleh
Dinas Kesehatan Kabupaten Banyuwangi
adalah pengolahan register kasus DBD dalam
bentuk tabuler, grafik, dan pemetaan sebaran
kasus berdasarkan wilayah endemis, sporadis
dan bebas menurut kelurahan atau desa.
Pengolahan register kasus DBD akan menjadi
lebih bermanfaat apabila dipetakan menurut
Hal 33
Jurnal Keperawatan & Kebidanan – Stikes Dian Husada Mojokerto
tempat tinggal penderita untuk mengetahui
distribusi penyakit secara kewilayahan.
Salah satu cara yang bisa dilakukan
dalam merancang program pemberantasan
dan pencegahan DBD yang lebih baik adalah
dengan melakukan analisis spasial dengan
menggunakan Sistem Informasi Geografis
(SIG). SIG merupakan suatu sistem atau
teknologi berbasis komputer yang dibangun
dengan
tujuan
untuk
mengumpulkan,
menyimpan, mengolah dan menganalisa,
serta menyajikan data dan informasi dari
suatu objek atau fenomena yang berkaitan
dengan
letak
atau
keberadaanya
di
permukaan bumi.Kemampuan SIG untuk
memetakan
penyakit
berbasis
alamat
penderita bermanfaat dalam melihat sebaran.
Selain itu, SIG, dapat digunakan untuk
mengaanalisis terjadinya DBD dengan
dikaitkan dengan determinan penyakit meliputi
faktor lingkungan, perilaku, kependudukan
dan sarana pelayanan kesehatan dan faktorfaktor yang berisiko terjadinya kejadian DBD,
sehingga dapat dihasilkan peta faktor risiko,
peta kasus dan peta kegiatan lain.Keuntungan
dari SIG dengan menggunakan teknik
overlayer dapat dilakukan perencanaan
maupun evaluasi program pemberantasan
DBD (Hariyana, 2007).
Berdasarkan hal tersebut di atas maka
penting untuk mengetahui hubungan angka
bebas jentik terhadap kejadian Demam
Berdarah Dengue dan diagnosis infeksi virus
dengue dengan pemeriksaan serologis (IgG
dan IgM) menggunakan Rapid Diagnosis Test
(RDT) untuk mendeteksi adanya antibodi
spesifik terhadap virus dengue di dalam
serum penderita baik berupa IgM anti dengue
maupun IgG anti dengue sehingga dapat
diketahui jenisinfeksi virus dengue pada
penderita
Demam
Berdarah
Denguedi
Kecamatan
Purwoharjo
Kabupaten
Banyuwangi.
METODE PENELITIAN
Penelitian
ini
adalah
penelitian
observasional - analitik yang bertujuan
menganalisis hubungan antara kejadian
demam berdarah dengue (DBD) dengan
Angka Bebas Jentik (ABJ) dan jenis infeksi
virus
dengue
berdasarkan
pemetaan.
Pemetaan dengan memanfaatkan Sistem
Informasi Geografis (SIG). Penelitian ini
menggunakan desain cross sectional.
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan
Maret s/d bulan Juli 2015. Penelitian
dilakukan
di
Kecamatan
Purwoharjo
Kabupaten Banyuwangi, Provinsi Jawa Timur.
Populasi target adalah seluruh pasien yang
datang berobat ke puskesmas yang berada di
wilayah Kecamatan Purwoharjo Kabupaten
Banyuwangi.Populasi
terjangkau
adalah
seluruh pasien yang datang berobat ke
puskesmas dengan gejala demam tinggi
mendadak
tanpa
sebab
yang
jelas
berlangsung selama 3-5 hari dan disertai
dengan 2 atau lebih tanda-tanda : mual,
muntah, bintik perdarahan, nyeri sendi yang
berada di wilayah Kecamatan Purwoharjo
Kabupaten Banyuwangi Tahun 2015.
Sampel dalam penelitian ini adalah
seluruh pasien yang tinggal di Kecamatan
Purwoharjo Kabupaten Banyuwangi dengan
kriteria inklusi: 1) pasien yang berobat ke
puskesmas
yang
berada
di
wilayah
Kecamatan
Purwoharjo
Kabupaten
Banyuwangi pada bulan Juni 2015 – Juli
2015; 2) mengalami gejala demam tinggi
mendadak
tanpa
sebab
yang
jelas
berlangsung selama 3-5 hari dan disertai
dengan 2 atau lebih tanda-tanda : mual,
muntah, bintik perdarahan, nyeri sendi; 3)
Bersedia
menjadi
subyek
penelitian.
Sedangkan kriteria eksklusi:1) sebelumnya
pernah menderita penyakit DBD; 2) tidak
disertai dengan gejala diare.Diperoleh sampel
sebesar 27 pasien dengan menggunakan
teknik accidental sampling, secara kebetulan
bertemu dengan peneliti dapat digunakan
sebagai sampel atau bersedia dijadikan
sebagai sampel.
Variabel terikat yang diteliti dalam
penelitian ini adalah kejadian Demam
Berdarah Dengue. Variabel independen terdiri
dari umur, jenis kelamin, Angka Bebas Jentik
(ABJ), antibodi IgG dan IgM.
Data Primer yang dikumpulkan adalah
untuk mengidentifikasi infeksi virus dengue
dilakukan pemeriksaan serologis (IgG dan
IgM) dengan mengambil sampel darah pasien
dengan menggunakan Rapid Diagnostic Test
(RDT), dilakukan apabila sampel telah
memenuhi kriteria inklusi dan mengambil titik
koordinat tempat tinggal penderita DBD
dengan cara kunjungan ke rumah penderita
dengan menggunakan Global Positioning
System (GPS).
Data
sekunder
diperoleh
dari
puskesmas
yang
berada
di
wilayah
Kecamatan
Purwoharjo
Kabupaten
Banyuwangi dan Dinas Kesehatan Kabupaten
Banyuwangi berupa nama pasien, umur, jenis
Hal 34
Jurnal Keperawatan & Kebidanan – Stikes Dian Husada Mojokerto
kelamin, alamat dan Angka Bebas Jentik
(ABJ).
Analisis bivariat dilakukan dengan
menggunakan uji Fisher's Exact Test dengan
derajat kepercayaan 95%. Ketentuan ada
atau tidaknya hubungan variabel bebas
dengan variabel terikat dengan melihat nilai p.
Nilai p lebih kecil atau sama dengan alpha (p
≤ 0,05)berarti ada hubungan variabel bebas
dengan variabel terikat dan tidak ada
hubungan jika nilai p> 0,05.Analisis dilakukan
dengan menggunakan program aplikasi
statistik komputer. Pemetaan distribusi
gambaran serologis (IgG dan IgM) dengan
menggunakan Sistem Informasi Geografis
(SIG).
HASIL PENELITIAN
Distribusi Kejadian DBD Berdasarkan KarakteristikResponden
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, diperoleh distribusi kejadian DBD
berdasarkan karakteristikresponden.Karakteristik responden dalam penelitian ini meliputi jenis
kelamin dan umur.Distribusi kejadian DBD berdasarkan karakteristikrespondendisajikan dalam
tabel 1.
Berdasarkan tabel 1, diketahui bahwa angka prevalensi kejadian DBD di Kecamatan
Purwoharjo Tahun 2015 sebesar 77,8% dan angka prevalensi kejadian DBD pada jenis kelamin
laki-laki lebih tinggi dibandingkan dengan perempuan.
Berdasarkan tabel 1, diketahui juga bahwa angka prevalensi kejadian DBD pada
kelompok umur 0-5 tahun (usia balita) atau pada anak-anak lebih tinggi dibandingkan dengan
usia dewasa.
Tabel 1. Distribusi Kejadian DBD Berdasarkan KarakteristikResponden
Kejadian DBD
Karakteristik
Menderita DBD
Tidak menderita DBD
n
%
n
%
Jenis Kelamin
Perempuan
13
100
0
0
Laki-laki
8
57,1
6
42,9
Jumlah
21
77,8
6
22,2
Umur
0 – <5 tahun
1
100
0
0
5 – <10 tahun
8
88,9
1
11,1
10 – <15
3
75
1
25
tahun
≥ 15 tahun
9
69,2
4
30,8
Jumlah
21
77,8
6
22,2
Jumlah
%
13
14
27
100
100
100
1
9
100
100
100
4
13
27
100
100
Angka Bebas Jentik (ABJ) di Kecamatan Purwoharjo Kabupaten Banyuwangi
Pengamatan vektor DBD penting dilakukan untuk mengetahui penyebaran, kepadatan
nyamuk, habitat utama jentik, dan dugaan risiko terjadinya penularan. Kepadatan populasi
nyamuk Ae. aegypti dapat diketahui dengan melakukan survei nyamuk, jentik, dan perangkap
telur. Ukuran yang dipakai untuk mengetahui kepadatan jentik Ae. Aegypti adalah ABJ,
House Index (HI), Container Index (CI), dan Breteau Index (BI) (Kemenkes RI, 2011).
Pemeriksaan jentik nyamuk Aedes aegypti di Kecamatan Purwoharjo dilakukan secara visual
pada kontainer baik yang berada di dalam rumah maupun di luar rumah dengan menggunakan
alat bantu senter. ABJ dapat memberikan gambaran tentang kepadatan vektor nyamuk Ae.
aegypti pada suatu wilayah. Ukuran atau indikator keberhasilan PSN DBD adalah ABJ ≥95%
yang diharapkan penularan DBD dapat dicegah atau dikurangi (Kemenkes RI, 2011). Angka
Bebas Jentik (ABJ) di Kecamatan Purwoharjo Tahun 2015 disajikan dalam tabel 3.
Hal 35
Jurnal Keperawatan & Kebidanan – Stikes Dian Husada Mojokerto
Tabel 2. Distribusi Angka Bebas Jentik (ABJ) di Kecamatan Purwoharjo Tahun 2015
Desa
Wilayah Kerja
ABJ (%)
Desa Sidorejo
95
Desa Purwoharjo
70
Puskesmas
Purwoharjo
Desa Kradenan
80
Desa Bulurejo
95
Desa Grajagan
88
Desa
79
Puskesmas
Glagahagung
Grajagan
Desa Sumberasri
67
Desa Karetan
72
Berdasarkan tabel 2,diketahui bahwa hanya 2 desa yang berhasil melaksanakan PSN
DBD dengan Angka Bebas Jentik (ABJ) ≥95%, yaitu Desa Sidorejo dan Desa Bulurejo yang
berada di wilayah kerja Puskesmas Purwoharjo. Sedangkan desa yang lainnya (Desa
Purwoharjo, Desa Kradenan, Desa Grajagan, Desa Glagahagung, Desa Sumberasri, Desa
Karetan) masih di bawah 95%.
Jenis Infeksi Virus Dengue Pada Kejadian DBD
Pemeriksaan serologis terhadap responden dengan menggunakan Rapid Diagnostic Test
(RDT)untuk mendeteksi antibodi IgG dan IgM. Distribusi gambaran serologis (IgG dan IgM)
pada kejadian DBD disajikan dalam tabel 4 dan distribusi jenis infeksi virus dengue disajikan
dalam tabel 5.
Tabel 3. Distribusi Gambaran Serologis (IgG dan IgM) Pada Penderita DBD di Kecamatan
Purwoharjo Tahun 2015.
Pemeriksaan Serologis
Frekuensi
%
IgG (-) dan IgM (+)
2
7,4
IgG (+) dan IgM (+)
5
18,5
IgG (+) dan IgM (-)
14
51,9
IgG (-) dan IgM (-)
6
22,2
Jumlah
27
100
Berdasarkan tabel 3, diketahui bahwa gambaran serologis (IgG dan IgM) pada penderita
DBD di Kecamatan Purwoharjo pada tabel 5 didapatkan bahwa sebagian besar (51,9%)
memiliki gambaran serologis IgG (+) dan IgM (-). Sebanyak 5 penderita (18,5%) menunjukkan
hasil IgG (+) dan IgM (+). Sebanyak 2 penderita (7,4%) menunjukkan hasil IgG (-) dan IgM (+)
dan sebanyak 6 penderita (22,2%) menunjukkan hasil negatif pada IgG dan IgM. Dari tabel
tersebut dapat diuraikan hasil analisa terhadap 27 pasien yang menunjukkan bahwa sebagian
besar penderita DBD dengan jenis infeksi sekunder, yaitu sebesar 70,4%. Sedangkan infeksi
primer sebesar 7,4% dan hasil negatif sebesar 22,2%.
Tabel 4. Distribusi Gambaran Serologis (IgG dan IgM) Pada Penderita DBD Di Kecamatan
Purwoharjo Berdasarkan Jenis Kelamin Tahun 2015.
Pemeriksaan Serologis
Jenis
IgG (-),
IgG (+),
IgG (+),
IgG (-),
Kelamin
%
%
%
%
Total
%
IgM (+)
IgM (+)
IgM (-)
IgM (-)
Laki-laki
1
7,7
4
30,8
8
61,5
0
0
13
100
Perempuan
1
7,1
1
7,1
6
42,9
6
42,9
14
100
Total
2
7,4
5
18,5
14
51,9
6
22,2
27
100
Tabel 5 Distribusi Gambaran Serologis (IgG dan IgM) Pada Penderita DBD Di Kecamatan
Purwoharjo Berdasarkan Umur Tahun 2015.
Pemeriksaan Serologis
IgG
IgG
Umur
IgG (-),
IgG (-),
%
(+),
%
(+),
%
%
Total
%
IgM (+)
IgM (-)
IgM (+)
IgM (-)
Hal 36
Jurnal Keperawatan & Kebidanan – Stikes Dian Husada Mojokerto
0 – <5 tahun
5 – <10 tahun
10 – <15
tahun
≥ 15 tahun
Total
1
1
100
11,1
0
4
0
44,4
0
3
0
33,3
0
1
0
11,1
1
9
100
100
0
0
0
0
3
75
1
25
4
100
0
2
0
7,4
1
5
7,7
18,5
8
14
61,5
51,9
4
6
30,8
22,2
13
27
100
100
Tabel 6 Analisis Kejadian DBD berdasarkan Angka Bebas Jentik (ABJ)
Kejadian DBD
ABJ
Tidak
Menderita DBD
%
%
Jumlah
Menderita DBD
ABJ ≥ 95%
1
100
0
0
1
ABJ < 95%
20
76,9
6
23,1
26
Jumlah
21
77,8
6
22,2
27
Berdasarkan
tabel
4,
distribusi
gambaran serologis (IgG dan IgM) pada
penderita DBD di Kecamatan Purwoharjo
berdasarkan jenis kelamin didapatkan bahwa
jenis kelamin laki-laki sebagian besar (61,5%)
memiliki gambaran serologis IgG (+) dan IgM
(-). Sedangkan jenis kelamin perempuan
sebagian besar (42,9%) memiliki gambaran
serologis IgG (+) dan IgM (-).
Berdasarkan
tabel
5,
distribusi
gambaran serologis (IgG dan IgM) pada
penderita DBD di Kecamatan Purwoharjo
berdasarkan umur didapatkan bahwa pada
umur 0 – <5 tahun terdapat 1 penderita
(100%) dengan gambaran serologi IgG (-),
IgM (+). Pada umur 5 – <10 tahun sebagian
besar (44,4%) memiliki gambaran serologi
IgG (+), IgM (+). Pada umur 10 – <15 tahun
sebagian besar (75%) memiliki gambaran
serologi IgG (+), IgM (-). Sedangkan pada
umur ≥ 15 tahun sebagian besar (61,5%)
memiliki gambaran serologi IgG (+), IgM (-).
Analisis Kejadian DBD Berdasarkan Angka
Bebas Jentik (ABJ) di Kecamatan
Purwoharjo
Hasil
analisis
kejadian
DBD
berdasarkan Angka Bebas Jentik (ABJ)
disajikan dalam tabel 6.Berdasarkan hasil
penelitian analisis kejadian DBD berdasarkan
Angka Bebas Jentik (ABJ) dari tabel 6,
diketahui bahwa angka prevalensi kejadian
DBD pada ABJ ≥ 95% lebih tinggi
dibandingkan
dengan
ABJ
<
95%.
Berdasarkan hasil uji statistik Fisher's Exact
Test diperoleh p-value sebesar 1,000 yang
berarti p-value> 0,05, sehingga dapat
disimpulkan bahwa tidak ada hubungan
Angka Bebas Jentik (ABJ) dengan kejadian
DBD.
%
100
100
100
p-value
1,000
Pemetaan Kejadian DBD Berdasarkan
Angka Bebas Jentik (ABJ) dan Jenis
Infeksi Virus Dengue
Kecamatan Purwoharjo merupakan
daerah endemis demam berdarah dengue
dengan membawahi wilayah kerja Puskesmas
Purwoharjo dan Puskesmas Grajagan.
Pemetaan kejadian demam berdarah dengue
berdasarkan Angka Bebas Jentik (ABJ) dan
Jenis
Infeksi
Virus
Dengue
dengan
memanfaatkan Sistem Informasi Geografis
(SIG). Langkah-langkah yang dilakukan
adalah mengumpulkan, mempersiapkan dan
menyimpan data spasial dan atributnya dari
berbagai sumber. Data yang digunakan
antara lain : 1) peta Kecamatan Purwoharjo
Kabupaten Banyuwangi dalam format .shp file
yang di dalam peta shp tersebut terdapat
atribut kabupaten, kecamatan, kelurahan atau
desa; 2) data ABJ per kelurahan atau desa
yang diperoleh dari Puskesmas Purwoharjo
dan Puskesmas Grajagan; 3) data penderita
demam berdarah dengue berupa jenis
kelamin, umur, alamat tempat tinggal; 4) data
infeksi virus dengue yang diperoleh dari
pemeriksaan serologis IgG dan IgM dengan
menggunakan Rapid Diagnostic Test (RDT);
5) titik koordinat tempat tinggal penderita
demam berdarah dengue berupa latitude dan
longitude yang diperoleh dari kunjungan ke
rumah
dengan mengunakan Global
Positioning System (GPS). Setelah semua
data yang diperlukan terkumpul kemudian
data
diolah
dan
diproses
kemudian
menampilkan dalam bentuk peta kejadian
demam berdarah dengue. Sebaran kasus
demam berdarah dengue di Kecamatan
Purwoharjo dapat dilihat pada gambar 2.
Hal 37
Jurnal Keperawatan & Kebidanan – Stikes Dian Husada Mojokerto
yang lebih tua, sedangkan aktivitasnya sering
bermain atau sekolah, dimana selama
beberapa jam atau bahkan hampir seharian
berada di dalam kondisi dan waktu yang
meningkatkan risiko terkena gigitan nyamuk
penular DBD bahkan multibiting yang juga
dapat meningkatkan risiko terkena infeksi
sekunder sehingga meningkatkan risiko
terkena DBD. Hasil penelitian Dardjito, dkk
(2008), menunjukkan bahwa kelompok umur <
12 tahun berisiko 19,056 kali terkena DBD
dibandingkan kelompok umur ≥ 12 tahun.
Gambar 2. Pemetaan
Kejadian
Berdasarkan ABJ dan
Infeksi Virus Dengue
DBD
Jenis
PEMBAHASAN
Karakteristik Responden
Hasil penelitian menunjukkan angka
prevalensi laki-laki lebih tinggi daripada
perempuan. Tingginya prevalensi kejadian
DBD pada jenis kelamin laki-laki disebabkan
tingginya aktivitas di luar rumah pada saat
nyamuk Ae. aegyptiaktif menggigit pada siang
hari dengan 2 puncak aktivitas yaitu pada
pukul 08.00 – 12.00 dan 15.00 – 17.00 yang
menyebabkan risiko tergigit oleh nyamuk Ae.
aegyptidi setiap tempat sangat besar pada
laki-laki (Sudarmo, 2004).
Rasio
jenis
kelamin
selalu
diperhitungkan dalam berbagai peristiwa
penyakit tertentu karena bila suatu penyakit
lebih tinggi frekuensinya pada pria dibanding
perempuan,
tidak
selalu
berarti
pria
mempunyai risiko lebih tinggi, hal ini
dipengaruhi oleh rasio jenis kelamin pada
populasi tersebut (Ridwan, 2009).
Hasil penelitian juga menunjukkan
angka prevalensi pada kelompok umur 0 - <5
tahun lebih tinggi daripada kelompok umur 5 –
<10 tahun, 10 – <15 tahun dan ≥ 15 tahun.
Hal ini menunjukkan bahwa umur merupakan
salah satu faktor risiko kejadian DBD dan
umur yang lebih muda lebih rentan terkena
DBD. Menurut WHO (2009), kelompok umur <
12 tahun memiliki daya tahan tubuh yang
masih rendah dibandingkan kelompok umur
Angka Bebas Jentik (ABJ) di Kecamatan
Purwoharjo Kabupaten Banyuwangi
Keberadaan jentik Ae. aegyptidi suatu
daerah merupakan indikator terdapatnya
populasi nyamuk Ae. aegyptidi daerah
tersebut. Angka Bebas Jentik (ABJ) adalah
persentase jumlah rumah atau bangunan
yang tidak ditemukan jentik terhadap jumlah
rumah atau bangunan yang diperiksa.Sampai
saat ini vaksin dan obat virus DBD belum
ditemukan, sehingga salah satu strategi
utamadan paling efektif untuk pengendalian
penyakit DBD adalah dengan cara melakukan
upayapreventif dengan pemutusan rantai
penularan melalui gerakan PSN-DBD. Ukuran
atau indikator keberhasilan PSN DBD adalah
ABJ ≥ 95% yang diharapkan penularan DBD
dapat dicegah atau dikurangi (Kemenkes RI,
2011b).
Hasil penelitian diperoleh 2 Desa yang
berhasil melaksanakan PSN DBD dengan
ABJ ≥ 95%, yaitu Desa Bulurejo dan Desa
Sidorejo.
Sedangkan 6
Desa
(Desa
Purwoharjo, Desa Kradenan, Desa Grajagan,
Desa Glagahagung, Desa Karetan dan Desa
Sumberasri) masih di bawah 95%. Hal ini
menunjukkan daerah tersebut sebagian besar
PSN DBD masih rendah sehingga rawan
untuk terjadinya DBD dan mempunyai
peluang lebih besar untuk terjadinya KLB
apabila tidak diambil tindak lanjut terhadap
keberadaan vektor penular DBD.
Perlu kewaspadaan dini terhadap
peningkatankasus dan atau faktor resiko
DBD,
seperti:
adanya
peningkatan
populasinyamuk, penurunan ABJ <95%,
adanya
perubahan
cuaca,
dan
peningkatantempat-tempat
perindukan(Kemenkes RI, 2011b).Belum ada
obat anti virus untuk mengatasi infeksi virus
Dengue, makamemutus rantai penularan,
pengendalian
vektor
DBD
dianggap
yangterpenting saat ini.DBD merupakan salah
Hal 38
Jurnal Keperawatan & Kebidanan – Stikes Dian Husada Mojokerto
satu penyakit berbasis lingkungan, oleh
karena itu pengendalian vektornya tidak
mungkin berhasil dengan baik tanpa
melibatkan peranserta masyarakat termasuk
lintas sektor, lintas program, LSM, tokoh
masyarakat
dan
penyandang
dana.
Pengendalian vektor DBD harus berdasarkan
pada data daninformasi tentang bioekologi
vektor, situasi daerah termasuk sosial
budayanya.Beberapa metode pengendalian
vektor antara lain dengan: a) Kimiawidengan
insektisida dan larvasida, b) Biologi dengan
menggunakan musuh alamiseperti predator,
bakteri dll, c) Managemen lingkungan seperti
mengelola
ataumeniadakan
habitat
perkembangbiakan nyamuk yang terkenal
dengan 3 M plus ataugerakan PSN
(pengendalian sarang nyamuk), d) penerapan
peraturan
perundangan,e)
meningkatkan
peran serta masyarakat dalam pengendalian
vektor.
Pengendalian vektor terpadu atau
dikenal
sebagai
Integrated
VectorManagement(IVM)
adalah
pengendalian
vektor
yang
dilakukan
denganmenggunakan kombinasi beberapa
metode pengendalian vektor, berdasarkan
pertimbangan keamanan, rasionalitas dan
efektivitas
pelaksanaannya
sertakesinambungannya.
Jenis Infeksi Virus Dengue Pada Kejadian
DBD
Pemeriksaan serologis IgG dan IgM
pada penderita DBD diperlukan untuk
mempertajam diagnosis DBD dan untuk
membedakan antara infeksi primer dan
sekunder. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa infeksi sekunder lebih banyak daripada
infeksi primer. Hal ini disebabkan wilayah di
Kecamatan Purwoharjo sebagian besar
memiliki ABJ < 95%, sehingga sangat besar
kemungkinan risiko terkena gigitan nyamuk
penular DBD bahkan multibiting. Mengingat
infeksi primer terjadi pada pasien tanpa
riwayat terkena infeksi dengue sebelumnya,
yang ditandai dengan meningkatnya kadar
IgM lebih dahulu yang lebih tinggi
dibandingkan dengan kadar IgG. Sedangkan
infeksi sekunder terjadi pada pasien dengan
riwayat paparan virus dengue sebelumnya,
kekebalan terhadap virus dengue yang sama
atau homolog muncul seumur hidup, namun
setelah beberapa waktu bisa terjadi infeksi
dengan virus dengue yang berbeda. Jika
pasien yang terinfeksi kedua kali dengan
serotype virus yang berbeda, lebih berpeluang
untuk menderita infeksi yang berat seperti
Demam Berdarah Dengue (DBD) maupun
Sindrom Syok Dengue (SSD).
Infeksi
dengue
sekunder
sering
menghasilkan demam tinggi dan pada banyak
kasus disertai dengan terjadinya pendarahan
(haemorrhagic) dan gangguan sirkulasi
(circulatory failure). Infeksi dengue sekunder
ditunjukkan dengan titer antibodi IgG
meningkat dalam 1-2 hari setelah gejala
muncul dan merangsang respon antibodi IgM
setelah 20 hari infeksi (Kemenkes RI,
2011a).Dengan terdeteksinya IgG-anti dengue
dapat diketahui infeksi sekunder lebih awal,
karena pada infeksi sekunder dapat muncul
manifestasi berat bila terjadi infeksi ulangan
oleh virus dengue yang serotipenya berbeda
dengan infeksi sebelumnya. Infeksi sekunder
dikhawatirkan dapat jatuh pada keadaan yang
lebih berat seperti Sindrom Syok Dengue
(SSD).
Hasil penelitian yang dilakukan Putu dan
A.A.W. Lestari(2014), menunjukkan bahwa
pasien dengan infeksi sekunder lebih sering
menimbulkan efek perdarahan parah dan
kegagalan sistem sirkulasi yang berakibat
syok, untuk itu harus dilakukan perawatan
yang tepat dan cepat dari tenaga kesehatan
terhadap kejadian DBD, jika tidak maka dapat
menimbulkan
perdarahan
parah
dan
kegagalan sistem sirkulasi yang berakibat
syok dan dapat menyebabkan kematian.
Tantracheewathorn
T,
dan
Tantracheewathorn
S.,
(2007),dari
penelitiannya menyimpulkanbahwa usia, jenis
kelamin,
dan
status
gizi
bukanmerupakanfaktor
risiko
SSD,
sedangkan infeksi sekundermerupakanfaktor
risiko SSD.Gonzales, dkk (2006), juga
menyimpulkan bahwainfeksi dengue berat
lebih dominan pada usia 4-9 bulan dananak
usia 5-9 tahun serta pada infeksi
sekunder.Gonzales, dkk (2005),didapatkan
bahwa berdasarkan hasil serologidengue
rapid test,29%kasus DBD mengalami syok.
Pasien DBD dan SSD sebagian besar adalah
infeksi sekunder, sedangkanDD sebagian
besar dengan infeksi primer.
Maka penting untuk membedakan
infeksi dengue primer atau sekunder untuk
prognosis DBD yang lebih baik dan tidak
hanya
sekedar
menemukan
hasil
pemeriksaan IgG dan IgM positif atau negatif,
serta perlu perhatian khusus dan penanganan
yang cepat dan tepat terhadap infeksi virus
Hal 39
Jurnal Keperawatan & Kebidanan – Stikes Dian Husada Mojokerto
dengue sekunder karena dapat menimbulkan
perdarahan parah dan kegagalan sistem
sirkulasi yang berakibat syok dan dapat
menyebabkan kematian.
Analisis Kejadian DBD Berdasarkan Angka
Bebas Jentik (ABJ) di Kecamatan
Purwoharjo
Keberadaan jentik di suatu wilayah
diketahui dengan indikator ABJ. ABJ
merupakan persentase rumah atau tempat
umum
yang
tidak
ditemukan
jentik
(Kemenkes,
2011b).
Hasil
penelitian
menunjukkan tidak ada hubungan Angka
Bebas Jentik (ABJ) dengan kejadian DBD. Hal
ini
disebabkan
banyak
faktor
yang
menyebabkan kejadian DBD, antara lain :
1) Untuk mendapatkan Angka Bebas Jentik
(ABJ) peneliti tidak melakukan pemeriksaan
jentik sendiri tetapi ABJ yang dipakai
menggunakan data sekunder yang diperoleh
dari puskesmas sehingga perlu dipertanyakan
validitas data ABJ apakah pemeriksaan jentik
yang telah dilakukan, sudah dilakukan dengan
benar.
ABJ
didapatkan
pada
saat
Pemeriksaan Jentik Berkala (PJB) yang
dilakukan secara berkala minimal 3 bulan
sekali oleh masing-masing puskesmas
terutama di desa/kelurahan endemis (cross
check)
pada
tempat-tempat
perkembangbiakan nyamuk Aedes aegypti di
100 sampel rumah/bangunan yang dipilih
secara acak serta diulang untuk setiap siklus
pemeriksaan (Kemenkes RI, 2011b).
Contoh cara memilih sampel 100
rumah/bangunan sebagai berikut: a) Dibuat
daftar RW dan RT untuk tiap desa/kelurahan;
b) Setiap RT diberi nomor urut; c) Dipilih
sebanyak 10 RT sampel secara acak
(misalnya dengan cara systematic random
sampling) dari seluruh RT yang ada di wilayah
desa/kelurahan; d) Dibuat daftar nama kepala
keluarga (KK) atau nama TTU dari masingmasing RT sampel atau yang telah terpilih; e)
Tiap KK/rumah/TTU diberi nomor urut,
kemudian dipilih 10 KK/rumah/TTU yang ada
di tiap RT sampel secara acak (misalnya
dengan cara systematic random sampling).
Pemeriksaan
jentik
yang
benar
dilakukan dengan cara sebagai berikut: a)
Memeriksa tempat penampungan air dan
kontainer yang dapat menjadi habitat
perkembangbiakan nyamuk Aedes sp. di
dalam dan di luar rumah untuk mengetahui
ada tidaknya jentik; b) Jika pada penglihatan
pertama tidak menemukan jentik, tunggu kira-
kira 1/2 -1 menit untuk memastikan bahwa
benar-benar tidak ada jentik; c) Menggunakan
senter untuk memeriksa jentik di tempat gelap
atau air keruh.
2) Pelaksanaan kegiatan Pemberantasan
Sarang Nyamuk (PSN) juga merupakan
kegiatan yang paling berpengaruh terhadap
keberadaan jentik di tempat penampungan air
karena berhubungan secara langsung.
Keberadaan jentik nyamuk di tempat
penampungan air dapat berkurang bahkan
hilang, jika seseorang melakukan praktik PSN
dengan benar. Seseorang melakukan praktik
PSN DBD berarti telah melaksanakan praktik
pencegahan (preventif) yang merupakan
aspek dari perilaku pemeliharaan kesehatan
(health maintenance) dan pelaksanaan
perilaku kesehatan lingkungan (Notoatmodjo,
2007). Pemeriksaan jentik dilakukan secara
teratur oleh petugas kesehatan atau kader
atau petugas pemantau jentik (jumantik) pada
tempat-tempat perkembangbiakan nyamuk
Aedes aegypti. Tujuan pemeriksaan jentik
adalah untuk melakukan pemeriksaan jentik
nyamuk penular DBD dan memotivasi
keluarga
dan
masyarakat
dalam
melaksanakan PSN DBD. Dengan kunjungan
yang berulang-ulang disertai penyuluhan
diharapkan masyarakat dapat melakukan
PSN DBD secara teratur dan terus-menerus
(Depkes RI, 2010).
Pengendalian DBD akan optimal jika
semua wilayah meningkatkan kemampuan
penduduknya yang meliputi individu, keluarga,
kelompok dan masyarakat, pimpinan lembaga
pemerintah,
swasta
dan
organisasi
kemasyarakatan sehingga mampu mencegah
dan melindungi diri dari penularan DBD
melalui perubahan perilaku (PSN DBD) dan
kebersihan lingkungan baik yang ada di
lingkungan dalam maupun di luar rumah agar
bebas dari tempat perkembangbiakan vector
DBD.
3) Mobilitas masyarakat yang tinggi,
masyarakat tidak hanya beraktivitas di daerah
dengan ABJ ≥ 95%, namun juga beraktivitas
di daerah dengan ABJ < 95%. Mengingat
sebagian besar infeksi virus dengue atau
kasus DBD berada di daerah dengan ABJ <
95%, sehingga memungkinkan masyarakat
untuk tergigit nyamuk Aedes aegypti pada
saat beraktivitas di daerah dengan ABJ <
95%.Kemungkinan besar haltersebut terjadi
karena kemajuan bidang transportasiyang
meningkatkan mobilitas penduduk sehingga
memudahkanpenyebaran sumber penular
Hal 40
Jurnal Keperawatan & Kebidanan – Stikes Dian Husada Mojokerto
DBD dari satu kotakekota yang lain atau dari
kota ke desa. Mobilitas pendudukyang tinggi
tersebut
disebabkan
oleh
lokasi
pekerjaan,pencarian pelayanan kesehatan,
belanja ke luardaerah,atau mengunjungi
sanak keluarga.
Hasil penelitian yang dilakukan Utami
(2015)
menyatakan
bahwa
mobilitas
penduduk dan perilakumasyarakat memiliki
hubungan yang signifikan dengan kejadian
DBD.Mobilitas memudahkan penularan dari
satu tempat ke tempat lain dan biasanya
penyakit menular dimulai dari pusat sumber
penularan kemudian mengikuti lalu lintas
penduduk. Semakin tinggi mobilitas semakin
besar kemungkinan penyebaran penyakit
DBD.
Menghadapi mobilitas penduduk yang
tinggi, diperlukan kerjasama antar wilayah
dalam upaya pengendalian penyakit DBD.
Upaya pengendalian DBD tidak dapat
dilaksanakan oleh sektor kesehatan saja,
tetapi diperlukan kemitraandengan melibatkan
berbagai sektor yaitu lembaga pemerintah,
dunia usaha, mediamassa dan organisasi
masyarakat
lainnya
dalam
upaya
menanggulangi masalahkesehatan khususnya
Demam Berdarah Dengue (DBD),sehingga
hasil yang dicapai lebih optimal dan saling
menguntungkan (Kemenkes RI, 2011b).
Pemetaan Kejadian DBD Berdasarkan
Angka Bebas Jentik (ABJ) dan Jenis
Infeksi Virus Dengue
Pemetaan
dengan
menggunakan
Sistem
Informasi
Geografis
(SIG)
menunjukkan bahwa kasus DBD tidak hanya
terjadi pada daerah dengan ABJ < 95%
namun juga terjadi pada daerah dengan ABJ
≥ 95%. Hal ini karena daerah dengan ABJ ≥
95% dikelilingi oleh daerah dengan ABJ <
95%, sehingga kemungkinan terjadi infeksi
dan penyebaran nyamuk Aedes aegypti dari
daerah dengan ABJ < 95% menuju ke daerah
dengan ABJ ≥ 95%, mengingat kemampuan
terbang nyamuk Aedes sp. betina rata-rata 40
meter, namun secara pasif misalnya karena
angin atau terbawa kendaraan dapat
berpindah lebih jauh (Kemenkes RI, 2011).
Suatu daerah akan terbebas dari
kejadian DBD apabila didukung daerah di
sekitarnya juga terbebas dari jentik (ABJ ≥
95%), karena itu ABJ ≥ 95%harus diupayakan
pada seluruh desa agar upaya pencegahan
dan penanggulangan DBD dapat terlaksana
secara optimal.
Pemetaan juga menunjukkan bahwa
infeksi primer maupun infeksi sekunder
sebagian besar terjadi di daerah dengan ABJ
< 95%. Hal ini perlu diwaspadai dan perhatian
khusus mengingat ABJ di Kecamatan
Purwoharjo sebagian besar di bawah 95%
yang
menunjukkan
wilayah
tersebut
merupakan daerah sensitif atau rawan DBD
dan memiliki peluang lebih besar untuk
terjadinya epidemi apabila tidak diambil tindak
lanjut terhadap keberadaan vektor penular
DBD. Infeksi primer hanya terjadi di desa
Sumberasri, hal ini menimbulkan dugaan
hanya terdapat 1 jenis serotype virus dengue
di desa Sumberasri mengingat infeksi primer
terjadi tanpa riwayat terkena infeksi dengue
sebelumnya dengan virus dengue yang sama
atau homolog, namun perlu dilakukan
penelitian untuk mengetahui jenis serotype di
desa
Sumberasri.
Sedangkan
infeksi
sekunder menyebar di 5 desa, dan terbanyak
di Desa Kradenan sebanyak 7 kasus (ABJ <
95%), kemudian diikuti Desa Grajagan
sebanyak 5 kasus (ABJ < 95%), Desa
Purwoharjo sebanyak 3 kasus (ABJ < 95%),
Desa Glagahagung 2 kasus (ABJ < 95%),
Desa Karetan (ABJ < 95%) dan Desa Bulurejo
(ABJ ≥ 95%)
sebanyak 1 kasus. Hal ini juga menimbulkan
dugaan terdapat beberapa jenis serotype
virus dengue di 5 desa tersebut mengingat
infeksi sekunder terjadi dengan riwayat
paparan virus dengue sebelumnya kemudian
terinfeksi kedua kali dengan serotype virus
yang berbeda, namun perlu dilakukan
penelitian untuk mengetahui jenis serotype di
5 desa yang terdapat infeksi sekunder.
Perlu perhatian lebih pada wilayahwilayah kecamatan dengan ABJ rendah dan
analisis kejadian DBD dengan menggunakan
pemetaan atau Sistem Informasi Geografis
(SIG) dapat digunakan sebagai salah satu
metode untuk mempelajari hubungan sebaran
kejadian DBD dengan variabel yang
mempengaruhinya, serta digunakan dalam
kegiatan deteksi secara dini wilayah-wilayah
yang berpotensi kejadian DBD tinggi serta
prioritas penanganannya.
Upaya pengendalian sangat penting
dilakukan untuk mencegah semakin luasnya
transmisi virus dengue di wilayah Kecamatan
Purwoharjo
yaitu
dengan
kegiatan
Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) DBD
dengan 3M plus. Salah satu sarana yang
dapat
digunakan
adalah
dengan
pemberdayaan masyarakat dan masyarakat
Hal 41
Jurnal Keperawatan & Kebidanan – Stikes Dian Husada Mojokerto
akan lebih bersemangat dalam praktik PSN
apabila didukung oleh sarana dan prasarana
yang memadai. Disamping itu penggerakan
Juru Pemantau Jentik (Jumantik) juga dapat
menurunkan rumah positif jentik, hal ini sesuai
dengan penelitian Taviv dkk (2010), yang
menyatakan bahwa pemanfaatan ikan cupang
plus pemantau jentik efektif meningkatkan
ABJ dan menurunkan House Index (HI),
Container Index (CI), dan Breteau Index (BI).
SIMPULAN
Angka prevalensi kejadian DBD pada
jenis kelamin laki-laki lebih tinggi daripada
perempuan dan angka prevalensi kejadian
DBD tertinggi pada kelompok umur 0 – <5
tahun.
ABJ di Keamatan Purwoharjo sebagian
besar
masih
di
bawah
95%
yang
menunjukkan daerah tersebut merupakan
daerah rawan DBD dan mempunyai peluang
lebih besar untuk terjadinya KLB apabila tidak
diambil tindak lanjut terhadap keberadaan
vektor penular DBD.
Infeksi primer maupun infeksi sekunder
sebagian besar terjadi di daerah dengan ABJ
< 95%.Tidak ada hubungan antara Angka
Bebas Jentik (ABJ) dengan kejadian DBD
karena data ABJ menngunakan data
sekunder dan suatu daerah akan terbebas
dari kejadian DBD apabila didukung daerah di
sekitarnya juga terbebas dari jentik ( ABJ ≥
95%).
SARAN
Saran yang dapat diberikan dari
penelitian ini diantaranya bagi stakeholder
atau instansi terkait :
1. Lebih meningkatkan penyuluhan tentang
faktor
risiko
tejadinya
DBD
dan
pencegahan DBD dengan PSN DBD (3M
Plus) tanpa mengesampingkan daerah
yang bebas jentik serta alat pelindung diri
agar terhindar dari gigitan nyamuk Aedes.
Aegypti
2. Memberdayakan
masyarakat
untuk
berperan aktif dalam upaya melakukan
Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN)
yang dilakukan secara serempak dan
berkesinambungan.
3. Melaksanakan pemeriksaan jentik secara
rutin setiap 3 bulan sekali dan
mengaktifkan juru pemantau jentik
4. Perlu perhatian khusus dan penanganan
yang cepat dan tepat terhadap infeksi virus
dengue
sekunder
karena
dapat
menimbulkan perdarahan parah dan
kegagalan sistem sirkulasi yang berakibat
syok dan dapat menyebabkan kematian.
DAFTAR PUSTAKA
Balitbangkes, (2007). Riset Kesehatan Dasar.
Jakarta:
Badan
Penelitian
dan
Pengembangan
Kesehatan,
Departemen
Kesehatan
Republik
Indonesia.
Basundari S.U., (2008). Pemanfaatan Antibodi
Dalam Diagnosis Demam Berdarah
Dengue. Jurnal Ekologi Kesehatan,
Vol.7, No.3. hlm.795-802
Dardjito, E., Yuniarno,S., Wibowo, C.,
Saptaprasetya DL, A., Dwiyanti, H.,
(2008). Beberapa Faktor Risiko Yang
Berpengaruh
Terhadap
Kejadian
Penyakit Demam Berdarah Dengue
(DBD) di Kabupaten Banyumas. Media
Litbang Kesehatan. Vol.XVIII, no.3
Tahun 2008, hlm. 126-136.
Depkes RI., (2010). Pencegahan dan
Pemberantasan
Demam
Berdarah
Dengue di Indonesia. Jakarta: Ditjen
PP&PL Depkes RI.
Gonzales D, Osvaldo E, Peres J, Eric
Martines, Suzan V, Castro G., (2005).
Classical dengue haemorrhagic fever
resulting from two dengue infections
spaced 20 years of more apart: Havana,
dengue
3
epidemic
2001-2002.
InternationalJournalof Infection Disease.
2005; 9:280-5.
Hammond S.N., Balmaseda A., Perez L.,
Tellez Y., Saborio S.A., (2006).
Differences in dengue severity in infants,
children, and adults in a 3years hospitalbase study in Nicaragua. TheAmerican
Journalof
Tropical
Medicineand
Hygiene. 2006;73:1063-70.
Hariyana B., (2007). Pengembangan Sistem
Informasi
Surveilans
Epidemiologi
Demam Berdarah Dengue untuk
Kewaspadaan Dini dengan Sistem
Informasi Geografis di Wilayah Dinas
Kesehatan Kabupaten Jepara.Tesis.
Sumatera: Universitas Diponegoro.
Hal 42
Jurnal Keperawatan & Kebidanan – Stikes Dian Husada Mojokerto
Kemenkes RI., (2011a). Petunjuk Teknis
Penggunaan Rapid Diagnostic Test
(Rdt) Untuk Penunjang Diagnosis Dini
DBD.
Jakarta:
Subdirektorat
Pengendalian Arbovirosis-Dit PPBBDitjen PP dan PL.
Kemenkes RI., (2011b). Modul Pengendalian
Demam Berdarah Dengue. Jakarta:
Ditjen PP&PL Kementerian Kesehatan
RI.
Kemenkes RI., (2014). Profil Kesehatan
Indonesia.
Jakarta:
Kementerian
Kesehatan RI.
Murdani, A.P., (2015). Analisis Kejadian DBD
Berbasis Pemetaan Angka Bebas Jentik
(ABJ) dan Gambaran Serologis (IgG
dan IgM) di Kecamatan Purwoharjo
Kabupaten
Banyuwangi,
Tesis,
Universitas Airlangga Surabaya.
Notoatmodjo S., (2007). Promosi Kesehatan
dan Ilmu Perilaku. Jakarta: Rineka
Cipta.
Putu G.H.W. dan A.A.W. Lestari, (2014).
Gambaran Serologis Igg-Igm Pada
Pasien Demam Berdarah di RSUP
Sanglah Periode Juli-Agustus 2014. FK
Universitas Udayana.
Demam Berdarah Dengue di Kabupaten
Bantaeng
Propinsi
Sulawesi
Selatan,Tesis,Universitas
HasanuddinMakasar.
Sudarmo S.P., (2004). Masalah Demam
Berdarah Dengue di Indonesia. Jakarta:
Balai Penerbit FKUI.
Tantracheewathorn
T,
dan
Tantracheewathorn S., (2007). Risk
factors of dengue shock syndrome in
children. Journal of the Medical
Association of Thailand. 2007; 90(2)
:272-7
Taviv, Y, Akhmad Saikhu dan Hotnida Sitorus,
(2010). Pengendalian DBD melalui
Pemanfaatan Pemantau Jentik dan Ikan
Cupang di Kota Palembang. Buletin
Penelitian Kesehatan, Vol. 38, No. 4,
2010, hlm. 215-224.
Utami,
R.S.B.,
(2015).
Hubungan
Pengetahuan, Lingkungan dan Perilaku
Masyarakat dengan Kejadian Demam
Berdarah Dengue (Studi kasus di
Kelurahan Putat Jaya Surabaya Tahun
2010-2014),
Skripsi,
Universitas
Airlangga Surabaya.
WHO, (2009). Dengue guidelines for
diagnosis treatment, prevention and
control new edition 2009. WHO
Ridwan, R. dan Mujida, A.M., (2009).
Pemetaan dan Analisis Kejadian
Hal 43
Download