EKSPRESI FISION DAN KONSEKUENSINYA

advertisement
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
Oseana, Volume XXVI, Nomor 4, 2001: 33 - 41
ISSN 0216-1877
EKSPRESI FISION DAN KONSEKUENSINYA BAGI POPULASI
FISIPARUS HOLOTHUROIDEA (ECHINODERMATA)
oleh
Pradina Parwati*)
ABSTRACT
EXPRESSION OF FISSION AND ITS CONSEQUENCES TO HOLOTHURIAN
POPULATIONS. Unlike sexual reproduction which is universal, asexual reproduction of fisiparous species may not occur in certain habitats. Fission area tends to
be spesific. Each species may need particular requirement of triggers, including
failure of sexual recruitment. Active fission effects individual size of the populations
while the population density remains stable. This paper presents expression of
asexual reproduction by fission in fisiparous holothurians, the consequences of
fission and several suggestion for future work in relation to potential of fission.
PENDAHULUAN
Aspidochirota, yaitu: Holothuria surinamensis
Semper (CROIZER 1917), Holothuria parvula
Salenka (KILLE, 1942; EMSON & MLASENOV,
1987), Holothuria atra Jager ( BONHAM &
HELD 1963, HARRIOTT 1982, CONAND 1996),
Holothuria edulis Lesson (HARRIOTT 1985,
UTHICKE 1997) Holothuria leucospilota
TOWNSLEY & TOWNSLEY 1973, CONAND
et al. 1997), Stichopus chloronotus Brandt
(UTHICKE, 1997, CONAND et al. 1998)
Stichopus horrens (HARRIOTT 1980 dalam
Smiley et al. 1998), dan Actinopyga difficilis
Semper (DEICHMANN 1922); dan dua jenis
dari bangsa Dendrochirota, yakni Cucumaria
lactea dan Cucumaria planci Brandt (SMILEY
Potensi regenerasi yang dimiliki
anggota filum Ekhinodermata muncul dalam
proses outotomi, termasuk "evisceration
(membuang organ dalam ) sebagai mekanisme
pertahanan diri (self-defense), dan fission
(pembelahan ) sebagai mekanisme reproduksi
aseksual. Hanya 3 kelas dari ekhinordemata
Astroidea (kelompok binatang laut),
Ophiuroidea (kelompok binatang mengular)
dan Holothuroidea (kelompok teripang) yang
melakukan reproduksi aseksual melalui fision
(EMSON & WILKE 1980).
Sampai saat ini, baru diketahui 10
species teripang yang bersifat fisiparus, yaitu
species yang melakukan dua mekanisme
reproduksi, aseksual dan seksual. Delapan
diantaranya merupakan anggota bangsa
1)
et al. 1988). DARSONO (1999) tidak
memasukkan Cucumaria lactea, dan
memasukkan Thelenota ananas ke kelompok
fisiparus.
Balitbang Biologi Laut, Puslitbang Oseanografi LIPI, Jakarta
33
Oseana, Volume XXVI no. 4, 2001
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
DEICHMANN (1922) dan EMSON &
WILKIE (1980) memberi batasan spesies
fisiparous, yaitu jenis-jenis yang populasinya
pernah ditemukan memperbanyak diri dengan
cara membelah menjadi dua bagian secara
alamiah, dan masing-masing belahan tumbuh
menjadi individu yang normal. Batasan ini
penting diberikan mengingat daya regenerasi
Holothuroidea, untuk memulihkan luka atau
mengganti bagian tubuh yang hilang
sangatlah besar. Jika pembelahannya
merupakan pembelahan buatan atau karena
aktivitas predator, maka jenis bersangkutan
tidak tergolong dalam kelompok fisiparus
walaupun kedua belahan mampu tumbuh
menjadi individu normal kembali. Thelenota
ananas yang digunakan dalam percobaan
REICHENBACH & HOLLOWAY (1990)
merupakan salah satu contoh. Dalam
percobaan pembelahan buatan, ternyata
masing-masing belahan mampu tumbuh
menjadi individu normal kembali. Namun
demikian spesies ini tidak dimasukkan ke dalam
kelompok fisiparus, karena belum ada
populasinya di alam yang pernah diketemukan
dengan reproduksi aseksual alamiah.
Tidak seperti reproduksi seksual yang
selalu hadir, reproduksi aseksual melalui fision
pada kelompok teripang fisiparus, tidak
muncul. Contoh, H. leucospilota di perairan
pulau Heron, perairan barat Australia
(FRANKLIN 1980) dan di perairan Hongkong
(ONGCHE 1990) tidak dilaporkan melakukan
fision, padahal populasinya di utara Australia, Darwin (PURWATI 2001) dan di pulau
Reunion, Samudra Hindia (CONAND et al.
1997) diketahui melakukan fision. S.
chloronotus di stasion Etang sale pulau
Reunion hanya berbiak secara seksual, tetapi
populasinya di stasiun Trou d'eau, juga di
pulau Reunion (CONAND et al. 1998) dan
beberapa lokasi di Great Barrier Reef, Australia (FRANKLIN 1980, UTHICKE 1970)
bereproduksi secara aseksual. H.atra di
Nanwan, Taiwan tidak menunjukkan adanya
fision, padahal di Wanlitung yang berjarak
hanya 20 mil dari lokasi pertama, fision
merupakan strategi penting untuk mempertahankan populasinya (CHAO et al.
1993).
Hingga saat ini, potensi fision
(fissiparity) masih terus diteliti. Faktor-faktor
lingkungan yang mendorong terjadinya
reproduksi aseksual, dan statusnya sebagai
suatu fenomena perkembangbiakan bagi
populasi yang bersangkutan masih belum
dapat diidentifikasi. Selain itu, aspek genetika
mulai dirambah untuk membuktikan apakah
ada perbedaan genotip antara species
fisiparus yang melakukan fision dan yang
tidak.
Topik reproduksi aseksual dengan
fision pernah dipublikasi oleh DARSONO
(1999). Dalam tulisan tersebut dipaparkan
proses pembelahannya dan karakterisktik
individu-individu hasil aktivitas fision.
Kompilasi dari berbagai laporan memperlihatkan bahwa posisi konstriksi yang
merupakan area pemisahan (area fision) antara
belahan yang membawa mulut dan belahan
yang membawa anus cenderung spesifik. Pada
jenis H. leucospilota, area fisionnya sekitar 1/
3 - 1/4 dari ujung mulut (PURWATI 2001,
TOWNSLEY & TOWNSLEY 1973, CONAND
et al. 1997). Area fision H. atra dilaporkan
44% dari ujung mulut (CHAO et al. 1993), dan
pada H. parvula (KILLE 1942) dan H.
surinamensis (CROZIER 1917), fision membagi
tubuh induk menjadi dua sama besar.
Proses fision pada Stichopus
chloronotus yang dinding tubuhnya mudah
sekali meluruh (disintegrating) jika mendapat
gangguan, berbeda dari spesies lain yang
melakukannya dengan "constriction" dan
twisting". Pada Stichopus chloronotus, area
fision yang terletak lebih ke arah anus melunak
dan berubah menjadi semi cair. Kemudian
bagian mulut bergerak menjauhi bagian anus
hingga kedua bagian berpisah. Proses ini
hanya memerlukan waktu 5 menit (UTHICKE
2001b).
34
Oseana, Volume XXVI no. 4, 2001
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
Gambar 1. Holothuria leucospilota dalam proses pembelahan, menunjukkan bagian
yang akan menjadi individu anterior (a) dan bagian yang akan menjadi
individu posterior (p)
Gambar 2. Individu Holothuria leucospilota di dalam aquarium yang menunjukkan
belahan anterior (a) dan belahan posterior (p), N adalah individu normal.
35
Oseana, Volume XXVI no. 4, 2001
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
Fision juga berarti peremajaan
(rejuvenite) (EMSON & WILKIE, 1980)
dengan cara mengganti atau menumbuhkan
kembali bagian-bagian tubuh yang hilang.
Kemampuan pulih menjadi individu normal
dapat berbeda antara belahan mulut dan
belahan anus. Belahan posterior tubuh H.
atra di perairan Nanwan, Taiwan (CHAO et
al. 1993) dan S. chloronotus di perairan Tru
d'eau, pulau Reunion (CONAND, et al 1998)
dilaporkan memiliki survival (lolos hidup) yang
lebih tinggi dari belahan anteriornya. Hal ini
cendrung juga terjadi pada bagian posterior
H. leucospilota (CONAND et al. 1997,
PURWATI2001), dengan sebab yang mungkin
berbeda. Pada species yang terakhir, dalam
kondisi tubuh normal, kaki-kaki tabung
(pseudopodia) di sisi ventral (perut) posterior
(belakang) tubuh setiap individu berpegangan
pada substratnya untuk menghindari terbawa
arus. Setelah pembelahan fision berlangsung,
tingkah laku ini tetap bertahan, sehingga
bagian posterior yang relatif berukuran besar
dan memiliki kemampuan berpegang pada
substrat, dengan sendirinya memiliki
mekanisme yang membantu bertahan pada
habitatnya. Sebaliknya, bagian anteriror selain
berukuran lebih kecil sehingga menjadikannya sebagai sasaran predator yang mudah,
juga tidak mempunyai kemampuan bertahan
dari arus air. Kondisi ini mempertinggi
kemungkinan gagal bertahan pada habitatnya.
Pada H. parvula di perairan Bermuda,
masing-masing bagian hasil fision tumbuh
hampir bersamaan dan menjadi individu normal secara morfologis dalam waktu 3 minggu,
atau sampai mulai makan dalam waktu 2 bulan
(KILLE 1942, EMSON & MLADENOV 1987).
Sedangkan S. chloronotus memerlukan 3 bulan
untuk beregenerasi pada fision buatan
(REICHENBACH & HOLLOWAY 1985).
KARAKTERISTEK POPULASI
TERIPANG FISIPARUS
Species teripang fisiparus dengan
aktivitas fision yang menonjol biasanya
menghasilkan suatu populasi dengan ukuran
individu yang relatif kecil, dengan densitas
yang relatif lebih besar jika dibandingkan
dengan populasi lain (dari species yang sama)
yang tidak melakukan reproduksi aseksual
dengan fision. Penjelasan yang bisa diberikan
adalah karena fision membagi satu individu
besar menjadi dua individu yang kecil-kecil.
Karena pertumbuhan teripang yang relatif
lambat, maka diperlukan waktu yang lama
untuk mencapai ukuran besar. Padahal fision
berjalan terus.
Aktivitas reproduksi aseksual ternyata
tidak memperbesar ukuran populasi yang
bersangkutan (CHAO et al., 1993, CONAND
et al. 1997, 1998 UTHICKE et al. 1998,
UTHICKE 2001a). Karena, seperti halnya
reproduksi seksual, aktivitas fision dilakukan
untuk mempertahankan jumlah optimal
i n d iv id u s e s u a i d e n g a n d a y a d u k u n g
habitatnya. Rekruitment (penambahan jumlah
individu dalam populasi) dilakukan sebagai
usaha alamiah populasi untuk mengganti
individu yang hilang. Karena ukuran yang
relatif lebih kecil inilah maka jumlah individu
per satuan areanya lebih tinggi, dibandingkan
kalau individunya berukuran besar. Hal ini
berhubungan dengan daya dukung habitat
terhadap biomassa populasi.
Ciri khas populasi fisiparus seperti di
atas dicontohkan oleh beberapa species
berikut. Populasi fisiparus H. leucospilota di
perairan Darwin, Australia (PURWATI 2001)
memiliki ukuran individu maksimum 400 gram
dengan densitas 0.05-0.29 individu/m2. Di
pulau Reunion Island, Samudra Hindia,
individu H. Leucospilota lebih padat, 0.5-1.2
individu/m2 (CONAND et al. 1997).
Relativitasnya bisa dibandingkan dengan
36
Oseana, Volume XXVI no. 4, 2001
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
populasi lain dari jenis yang sama, yang hanya
berbiak secara seksual, seperti yang hidup di
pulau Heron, Great Barrier Reef, Australia
barat, dengan ukuran individu mencapai 101200 gram dan densitas 0.03-0.26 individu/m2
(FRANKLIN 1980). Populasi H.atra yang
bereproduksi secara aseksual yang hidup di
perairan Wanlitung, Taiwan (CHAO et al.
1993) dan di terumbu bagian belakang pulau
Reunion, Indo Pasifik tropis (CONAND 1996),
terdiri dari individu-individu yang berukuran
lebih kecil (kurang dari 190 gram dengan
densitas 0.98 individu/m2, dan 150 gram
dengan densitas 4/m2) jika dibandingkan
dengan populasi H.atra dari Nanwan, Taiwan
yang hanya berbiak secara seksual (351-1400
gram dengan densitas 0,0024 individu/m2).
Individu dari populasi S.chloronotus yang
diteliti di terumbu karang bagian belakang
pulau Reunion (CONAND et al. 1998) dan di
beberapa lokasi di Great Barrier Reef
(FRANKLIN 1980, UTHICKE 1997) juga
menampakkan fenomena yang sama, dengan
perbandingan dari spesies yang sama yang
hidup di terumbu karang pulau Reunion
bagian luar (CONAND et al. 1998).
Fision yang terjadi di suatu habitat
diperkirakan karena dirangsang oleh faktorfaktor eksternal tertentu. Namun hingga saat
ini, belum ada determinasi faktor lingkungan
yang mana yang mampu memunculkan potensi
reproduksi aseksual suatu populasi fisiparus.
Berbagai faktor eksternal yang diduga berperan
atau turut mendorong terjadinya fision, seperti
panas langsung dan lamanya penyinaran
matahari yang lebih besar dari periode-periode
yang lain setiap tahunnya, surut yang ekstrim
yang mengakibatkan dedikasi, perubahan
salinitas maupun suhu air serta ketersediaan
makanan yang berlebihan melalui proses
eutrofikasi (CHAO et al. 1993, CONAND 1998,
UTHICKE 1997), tampaknya bekerja secara
lokal dan spesifik. Fision pada H.atra di
perairan pulau Heron diperkirakan dipacu oleh
radiasi matahari yang lebih kuat dari biasanya,
yang terjadi pada periode dimana surut air
laut mencapai puncak terendah (CONAND
1998). Kondisi seperti ini didukung oleh CHAO
et al. (1993). Namun, faktor luar seperti ini
tidak berlaku untuk populasi fisiparus H.atra
lainnya di pulau Reunion, karena populasi ini
hidup di zona subtidal (CONAND 1996), juga
tidak berlaku untuk populasi fisiparus dari
spesies lain, H.edulis, yang hidup di
kedalaman 12-15 m (UTHICKE 1997).
Melihat apa yang sudah dilaporkan
oleh para peneliti, faktor luar yang mendorong
terjadinya fision ada kemungkinan unik bagi
setiap species. H.leucospilota dan
S.chloronotus dari habitat yang sama di pulau
Reunion, hanya S.chloronotus yang
bereproduksi secara asexual (FRANKLIN
1980). H. atra, H.leucopilota dan S.chloronotus
yang berbagi habitat di perairan pulau
Fanning, Papua New Guinea, hanya
H.leucospilota yang teramati melakukan fision
(TOWNSLEY & TOWNSLEY 1973). Demikian
juga H.atra dan H.leucospilota yang hidup
bersama di Rongelap atoll, hanya H.atra yang
melakukan fision (BONHAM & HELD 1963).
Pengamatan pada tiga spesies yang melakukan
fision di habitatnya menunjukkan hal yang
sama ketika mereka dipelihara di aquarium.
Ternyata H.atra tidak melakukan fision,
sedangkan H.edulis dan S.chloronotus
mengalami fision yang kemudian diasumsikan
bahwa H.atra memerlukan aksi arus dan
pasang surut untuk merangsang reproduksi
aseksualnya (UTHICKE 1997).
Selain itu, reproduksi seksual yang
gagal karena ketidak-berhasilan larva dan/juvenile bertahan hidup karena suatu hal,
mungkin saja bisa merangsang individuindividu dalam populasi untuk berbiak secara
aseksual. Dengan demikian, fission
dirangsang secara tidak langsung oleh faktorfaktor lingkungan yang menghambat
recruitmen seksual.
37
Oseana, Volume XXVI no. 4, 2001
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
F1SION vs REPRODUKSI SEKSUAL
Penghambatan reproduksi seksual
karena aktivitas fision mungkin juga terjadi
secara langsung' individu-individu yang
memiliki gonad matang ternyata juga membelah
diri, seperti pada H.leucospilota di perairan
Darwin, sehingga kegagalan pemijahan
(pengeluaran telur dan sperma matang) terjadi.
Belum diketahui apakah ini juga terjadi pada
populasi atau spesies yang lain.
Seperti halnya reproduksi seksual,
reproduksi aseksual melalui fision dapat terjadi
secara musiman atau sepanjang tahun. H.atra
di perairan Wanlitung, Taiwan dan di terumbu
karang belakang pulau Reunion melakukan
reproduksi aseksual sepanjang tahun dengan
aktivitas tertinggi pada saat suhu rata-rata air
laut mencapai maksimum. Aktivitas maksimum
fision terjadi pada periode yang sama dengan
reproduksi seksualnya (CHAO et al. 1994,
CONAND 1996). Di empat terumbu karang
Great Barrier Reef, belahan selatan bumi,
spesies ini melakukan fision secara musiman,
yang juga bersamaan dengan periode
reproduksi seksual (UTHICKE 1997).
S.chloronotus di perairan subtropis
dan tropis di belahan bumi selatan, berbiak
secara aseksual hanya pada musim dingin
(FRANKLIN 1980, CONAND et al. 1998),
setelah masa reproduksi seksual selesai
(UTHICKE 1997). Reproduksi aseksual pada
H.leucospilota di perairan tropis Darwin
dilakukan sepanjang tahun, dan ada tendensi
memuncak pada bulan Januari-April, sementara
reproduksi seksual hanya terjadi sekali
setahun, dalam rentang waktu yang sangat
sempit di bulan April (PURWATI 2001). Sampai
saat ini belum ada penelitian lain yang
berhubungan dengan siklus reproduksi
aseksual pada spesies ini.
Reproduksi aseksual dengan fision
pada spesies teripang fisiparus belum terlihat
memiliki pola sebaran tertentu. Untuk melihat
kecenderungan sebaran geografis dan
kedalaman habitatnya, masih diperlukan lebih
Di beberapa habitat, fision dianggap
lebih efektif untuk mempertahankan ukuran
populasi, jika dibandingkan dengan peran
reproduksi seksual. Hal ini didukung oleh
fakta yang teramati bahwa fenomena fision
muncul terutama di habitat yang tidak
mendukung bagi keberhasilan 'recruitment'
seksual (CHAO et al. 1993, JAQUEMET et
al. 1999). Fenomena yang ditemui pada
populasi fisiparus, gonad umumnya tetap
berkembang (PURWATI 2001, CONAND
1997, 1998, UTHICKE 1997). Sehingga
dapat
dikatakan
bahwa
kegagalan
'recruitment' seksual terjadi bukan pada
perkembangan gonadnya atau gametnya,
tetapi mungkin terjadi pada fertilisasi yang
gagal, larve atau juvenil yang tidak
berkembang normal karena substrat yang
berubah/rusak atau makanan yang tidak
mencukupi, juga mungkin karena kehadiran
predator larva dan juvenil. Sebaliknya, recruitment melalui fision menghasilkan individuindividu baru yang telah beradaptasi dengan
lingkungannya, terbebas dari periode kritis
yang dialami semasa larva dan juvenile, dan
terhindar dari kemungkinan terbawa arus.
Selain sebagai mekanisme mempertahankan populasi yang efektif, aktivitas
reproduksi aseksual dengan fision juga
dianggap bisa menghambat atau menurunkan
kapasitas reproduksi seksual (CONAND 1996,
HARRIOTT 1985). Hal ini mungkin saja terjadi
karena fision mengurangi ukuran individu,
dan individu yang kecil memiliki gonad yang
relatif kecil juga, sehingga produksi garnet
berkurang. Dampaknya adalah terjadinya
penurunan kesempatan bertemunya telur dan
sperma di kolom air. Alasan ini sebenarnya
masih berupa teori, apakah populasi yang
terdiri dari individu berukuran besar tetapi
berjumlah sedikit, lebih efektif dalam
pembiakan seksual dari pada populasi yang
terdiri dari individu berukuran kecil tetapi dalam
jumlah banyak.
38
Oseana, Volume XXVI no. 4, 2001
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
banyak lagi lokasi populasi yang melakukan
reproduksi aseksual. Perairan Indonesia sangat
potensial dijadikan area survei, untuk melihat
apakah ada variasi antar populasi suatu
spesies teripang fisiparus yang hidup di
perairan tropis.
akan mempersempit area pencarian.
Tiga diantara 10 jenis teripang yang
fisiparus merupakan jenis yang dieksploitasi
dan ada kecenderungan terjadi penurunan
stok alamnya, seperti yang terjadi di perairan
Thailand (BUSSARAWIT & THONGTHAM
1999), Philipina (AKAMINE 2000) dan Indonesia (DARSONO & AZIZ, 2001). Potensi
reproduksi aseksualnya hingga saat ini belum
pernah di pelajari untuk tujuan pemeliharaan
atau pemulihan stok. Percobaan-percobaan
yang mengarah ke penggunaan fision sebagai
teknik propangasi aseksual akan menjadi suatu
upaya baru dalam memelihara stok teripang di
alam, disamping penerapan management yang
sesuai.
INFORMASI YANG MASIH
DIBUTUHKAN
Ketersediaan peta sebaran geografis
dan kedalaman populasi fisiparus teripang
akan sangat membantu memahami fenomena
fision. Peta ini akan memberikan gambaran
apakah ada kaitan antara fisipariti dengan
posisi berdasarkan garis lintang, atau
kedalaman. Ini membutuhkan lebih banyak
lagi daftar populasi yang fisiparus. Selain itu,
pengetahuan genetika dapat membantu
apakah fisipariti ini berhubungan dengan
genotip, atau hanya merupakan suatu potensi
yang kemunculannya dipengaruhi atau
tergantung pada faktor alam tertentu.
Reproduksi aseksual yang dilakukan sepanjang
tahun seperti halnya H.leucospilota di
perairan Darwin memberi gambaran bahwa
stimulus yang berasal dari faktor eksternal
selalu tersedia. Apakah benar keberhasilan
reproduksi seksuallah yang menghambat
kemunculan reproduksi aseksual?
Sejauh yang bisa ditelusur, belum ada
penelitian laboratorium yang bertujuan melihat
kecepatan regenerasi individu hasil fision,
maupun untuk memilah faktor eksternal yang
mana yang dibutuhkan suatu populasi
fisiparus untuk bereproduksi secara aseksual.
Percobaan dengan memindahkan individu dari
populasi fisiparus ke populasi (dari spesies
yang sama) yang hanya bereproduksi seksual
saja, atau sebaliknya, akan membantu
mengidentifikasi faktor-faktor yang menstimulir
fision. Selain iru, percobaan laboratorium
dengan variasi perlakuan seperti suhu,
salinitas, kuat cahaya dan lamanya penyinaran
UC APAN TEREMAKASIH
Topik tulisan ini merupakan sebagian dari
pembahasan dalam skripsi untuk meraih jenjang
M.Sc. dengan dukungan finansial dari ADPAusAID. Saya mengucapkan terimakasih
kepada kedua supervisor, Dr. Jim Luong-van
dan Dr. Michel Guinea dari Northern Territory
University, Darwin, atas kesabaran dan
pengertian mereka selama masa studi.
DAFTAR PUSTAKA
AKAMINE, J. 2000. Sea cucumbers from the
coral reef to the world market. In.
Bisayan knowledge, movement & identity (Ushijima, I. & C.N. Zayas eds.).
Quezon city, The Philippines: 223-244.
BONHAM, K. & HELD, E.E. 1963. Ecological
observation on the sea cucumbers
Holothuria atra and Holothuria
leucospilota at Rengelap Atoll,
Marshall Islands. Pacific Science 17:
309-314.
39
Oseana, Volume XXVI no. 4, 2001
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
BUSSARAWIT, S. & THONGTHAM, N. 1999.
Sea cucumber fisheries and trade in
Thailand.
Proc.
International
Conference: The conservation of sea
cucumbers in Malaysia, their
taxonomy, ecology and trade. Kuala
Lumpur. Malaysia: 26-36.
CROZIER, W. J. 1917. Multiplication by fission in holothurians. The American
Naturalist 51: 560-566.
DARSONO, P. 1999. Reproduksi a-seksual
pada teripang, Oseana 24 (2): 1-11.
DARSONO, P. & AZIZ, A. 2001. Fauna
ekhinodermata dari daerah terumbu
karang pulau-pulau Derawan,
Kalimantan Timur. Pesisir dan Pantai
Indonesia VI: 213-225.
CHAO, S.-M, CHEN, C.-P. & ALEXANDER,
P.S. 1993. Fission and its effect on
population structure of Holothuria
atra (Echinodermata: Holothuroidea)
in Taiwan. Marine Biology 116: 109115.
DEICHMANN, E. (1922). On some cases of
multiplication by fission and of coalescence in holothurians, with notes
on the synonym of Actinopyga parvula
(Selenka). Papers from Dr. Th.
Morthensens's Pacific Expedition 19:
14-16.
CHAO, S.-M., CHEN, C.-P. & ALEXANDER,
P.S. 1994. Reproduction and growth of
Holothuria atra (Echinodermata:
Holthuroidea) at two contrasting sites
in Southern Taiwan. Marine Biology,
119:565-570.
EMSON, R.H. & WILKIE, I.C. 1980. Fission
and autotomy in echonoderms.
Oceanography Marine Biology Annual Review 18: 155-250.
CONAND, C. 1996. Asexual reproduction by
fission in Holothuria atra: variability
of some parameters in populations from
the tropical Indo-Pacific. Oceanologia
Acta. 19 (3-4): 209-216.
EMSON, R.E. & MLADENOV, P.V. 1987.
Studies of the fissiparous holothurians
Holothuria
parvula
(Selenka)
(Echinodermata: Holothurioidea). Journal of Experimental Marine: Biology
and Ecology III: 159-211.
CONAND, C, MOREL, C. & MUSSARD, R.
1997. A new study of asexual reproduction in holothurian : fission in
Holothuria leucospilota populations
on Reunion Island in the Indian
Ocean, SPC Beche-de-mer Information
Bulletin 9: 5-11.
FRANKLIN, S.E. 1980. The reproductive biology and some aspencts of the population ecology of the holothurians
Holothuria leucospilota (Brand) and
Stichopus chloronotus (Brandt). Phd.
Thesis, University of Sydney.
CONAND, C, ARMAND, J., DIJOUX, N. &
GARRYER, J. 1998. Fission in a population of Stichopus chloronotus on
Reunion Island, Indian Ocean. SPC
Beche-de-mer Information Bulletin 10:
15-23.
HARRIOTT, V J. 1982. Sexual and asexual reproduction of Holothuria atra, Jaeger
at Heron Island Reef, Great Barrier
Reef. Mem. Australian Museum 16: 5366.
40
Oseana, Volume XXVI no. 4, 2001
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
HARRIOTT, V.J. 1985. Reproductive biology
of three congeneric sea cucumber species, Holothuria atra, H. impatiens,
H. edulis, at Heron Reef, Great Barrier
Reef Australian Journal of Marine
and Freshwater Research 36: 51-57.
REICHENBACH, N, NISHAR, Y. & SAEED,
A. 1996. Species and size-related trends
in asexual propagation of commercially
important species of tropical sea cucumber (Holothuroidea). Journal of the
World Aquaculture Society 27 (4): 475482.
JAQUEMET, S., ROUSSET, V. & CONAND,
C. 1999. Asexual reproduction parameters and the influence of fission on a
Holothuria atra sea cucumber population .from a fringing reef of Reunion
Island (Indian Ocean). SPC beche-de-
SMILEY, S., MCEUEN, F.S., CHAFFEE, C. &
KRISHNAN, S. 1988. Echinodermata:
Holothuroidea. In: Reproduction of
Marine invertebrates (Arthur, G.C., ed.).
Academic Press, New York: 663-749.
mer Information Bulletin 11: 13-18.
KILLE, F.R. 1942. Regeneration of the reproductive system following binary fission in the sea cucumber, Holothuria
parvula (Selenka). Biology Bulletin
83: 55-66.
TOWNSLEY, SJ. & TOWNSLEY, M.P. (1973).
A preliminary investigation of biology
and ecology of the holothurians at
Fanning Island. Hawaii Institute of
Geophisics. University of Hawaii: 173186.
ONGCHE, R.G. 1990. Reproductive cycle of
Holothuria leucospilota Brandt (Echinodermata: Holothuroidea) in
Hongkong and the role of body tissue
in reproduction. Asian Marine
Biology 1: 115-132.
UTHICKE, S. 1977. Seasonality of asexual
reproduction in Holothuria (Halodeima)
atra, H.edulis and Stichopus
chloronotus
(Holothuroidea:
Aspidochirotida) on the Great Barrier
Reef. Marine Biology 129: 435-441.
PURWATI, P. 2001. Reproduction in a fissiparous holothurian species, Holothuria
leucospilota Clark 1920 in tropical waters of Darwin, Northern Territory, Australia, M.Sc. Thesis. Northern Territory
University, Darwin : 139 pp.
UTHICKE, S. 2001a. Influence of asexual reproduction on the structure and dynamics of Holothuria (Halodema) atra
and Stichopus chloronatus populations
of the Great Barrier Reef. Marine
Freshwater Research 52 (2): 205-215.
REICHENBACH, N. & HOLLOWAY, S. (1995).
Potential for asexual propagation of
several commercial important species
of tropical sea cucumber (Echinodermata) Journal of the World Aquaculture
Society 26 (3): 272-278.
UTHICKE, S. (2001b). The process of asexual
reproduction by transverse fission in
S.chloronotus (greenfis). SPC Bechede-mer Information Buletin 14: 23-25.
41
Oseana, Volume XXVI no. 4, 2001
Download