2 Tinjauan Pustaka

advertisement
2 Tinjauan Pustaka
2.1 Dasar Mekanika Kuantum
2.1.1 Persamaan Schrödinger4,7
Postulat mendasar dalam mekanika kuantum menyatakan bahwa untuk setiap sistem,
terdapat suatu fungsi gelombang ,Ψ, dan suatu operator tertentu. Operasi operator yang
bersangkutan terhadap fungsi gelombang tersebut akan menghasilkan suatu besaran terukur
tertentu untuk sistem tersebut. Salah satu operator tersebut adalah Hamiltonian, Ĥ. Operasi
Hamiltonian terhadap fungsi gelombang suatu sistem akan menghasilkan nilai Energi sistem,
E.
)
HΨ = EΨ
Persamaan di atas dikenal sebagai persamaan Schrödinger. Persamaan ini merupakan suatu
persamaan diferensial yang disusun sedemikian rupa sehingga memenuhi kriteria:
1. Ketaatan terhadap asas kekekalan energi. Asas ini menyatakan bahwa energi total
dalam sistem adalah kekal. Energi tersebut merupakan jumlah dari energi potensial
dan energi kinetik.
2. Linear dan bernilai tunggal. Kriteria matematis tersebut mengisyaratkan adanya sifat
superposisi bagi pemecahan persamaan Schrödinger di atas. Selain itu, nilai tunggal
bagi solusi persamaan di atas menunjukkan bahwa tidak diperkenankan ada dua
probabilitas (atau lebih) untuk ditemukannya partikel di suatu titik yang sama.
3. Ketaatan pada hipotesis deBroglie. Dengan demikian,
pemecahan persamaan
Schrödinger untuk suatu partikel bermomentum p, akan membentuk fungsi
gelombang dengan panjang gelombang yang setara dengan h/p.
Penyusunan dengan kriteria di atas akan menghasilkan persamaan Schrödinger waktu-bebas
satu dimensi sebagai berikut.
−
h2 d 2Ψ
+ VΨ = EΨ
2m dx 2
5
Perluasan persamaan tersebut bagi sistem tiga dimensi berpartikel banyak, sudah cukup
untuk dijadikan landasan teori bagi penentuan sifat-sifat sistem kimia (molekul, atom,
dsb.)4.Ungkapan persamaan Schrödinger untuk sistem ini umumnya disederhanakan sebagai:
)
HΨ = EΨ
Dengan nilai Hamiltonian (Ĥ) ditentukan sebagai:
e2Zk
e2Zk Zl
h2 2
h2 2
e2
∇i − ∑
∇ k − ∑∑
+∑ +∑
Hˆ = −∑
rik
rkl
i 2me
j 2m k
i
k
i < j rij
k <l
2.1.1.1
Fungsi Gelombang, Orbital dan Fungsi Basis
Penyelesaian persamaan Schrödinger di atas adalah suatu fungsi gelombang yang mewakili
sistem yang bersangkutan. Sayangnya, fungsi gelombang tersebut hanya dapat diselesaikan
secara eksak untuk sistem-sistem sangat sederhana7, seperti atom hidrogen dan molekul H2+.
Penyelesaian bagi atom hidrogen tersebut seringkali disebut sebagai Orbital. Ketika
berhadapan dengan suatu sistem molekul yang lebih kompleks dari atom hidrogen atau
molekul H2+, maka salah satu hal yang dapat dilakukan adalah menghampiri fungsi
gelombang sistem tersebut dengan fungsi gelombang lain yang telah terdefinisi secara eksak.
Cara yang paling sederhana dalam menghampiri fungsi gelombang suatu sistem besar adalah
dengan mengasumsikan bahwa fungsi gelombang sistem kompleks tersebut (misalnya atom)
adalah perkalian dari fungsi gelombang elektron penyusunnya4. Selanjutnya, fungsi
gelombang elektron yang dipakai adalah solusi persamaan Schrödinger bagi elektron dalam
atom hidrogen. Dengan demikian, selanjutnya istilah orbital dan fungsi gelombang sering
kali dipertukarkan dengan menambahkan molekul, atom atau hidrogen ke dalam frasanya
(tergantung sistem yang diperbincangkan). Sebagai contoh atom Karbon. Atom ini terdiri
atas enam elektron. Dengan demikian fungsi gelombang bagi atom ini (orbital atom) adalah
hasil kali dari enam fungsi gelombang elektron pada atom hidrogen (orbital hidrogen),
dengan tingkat energi yang berlainan (dan berurutan dari tingkat energi dasar, hingga tingkat
energi ke enam). Penyusunan fungsi gelombang di atas sering dikenal sebagai hasil kali
Hartree (Hartree Product). Pernyataan atas fungsi gelombang ini sering disederhanakan
sebagai:
C: 1s22s22p2
Pernyataan tersebut secara eksplisit menyatakan bahwa masing-masing terdapat dua elektron
dengan orbital hidrogen 1s, 2s, dan 2p.
Ketika spin elektron ikut dipertimbangkan dalam menyusun fungsi gelombang sistem, maka
perlu dipertimbangkan pula asas Pauli. Asas tersebut secara umum menyatakan bahwa
6
fungsi gelombang sistem harus berubah tanda jika dilakukan pertukaran satu elektron dengan
elektron yang lain. Perkalian sederhana orbital hidrogen di atas jelas tidak dapat memenuhi
asas Pauli ini. Hal ini dapat diatasi dengan menyusun orbital atom sebagai hasil dari
Determinan Slater (DS).
ΨDS =
1
N!
χ 1 (1)
χ1 (2)
χ 2 (1) L
χ 2 ( 2) K
χ N (1)
χ N (2)
M
M
O
M
χ1 ( N ) χ 2 ( N ) L χ N ( N )
Orbital molekul ΨDS di atas terbukti mampu berubah tanda jika dilakukan pertukaran
elektron. Penulisan orbital dalam bentuk persamaan di atas akan sangat merepotkan untuk
atom-atom yang semakin besar. Selain itu, penulisan determinan di atas cukup terwakili oleh
penulisan komponen diagonalnya saja. Oleh sebab itu, selanjutnya penulisan orbital atom
kemudian disederhanakan menjadi:
C: 1s22s22p2
Setelah orbital atom dapat tersusun dengan baik, selanjutnya dilakukan pendekatan terhadap
orbital molekul. Cara paling sederhana yang hingga kini banyak digunakan adalah dengan
menyusun orbital molekul sebagai kombinasi linear dari orbital atom penyusunnya4. Metode
ini sering dikenal sebagai metode Linear Combination of Atomic Orbital – Molecular
Orbital (LCAO-MO).
N
φ LCAO − MO = ∑ aiϕ i
i =1
Sejauh ini, penyusunan orbital molekul dilakukan secara bertahap. orbital hidrogen elektron
dalam tiap atom membentuk orbital atom melalui kaidah determinan Slater. Selanjutnya
orbital atom tersebut membentuk orbital molekul dengan kaidah LCAO-MO. Kerumitan
orbital hidrogen berujung pada biaya komputasi yang relatif tinggi. Ha ini diatasi dengan
menggunakan persamaan gelombang lain yang lebih sederhana (pada beberapa kasus
merupakan himpunan dari beberapa fungsi sederhana), namun memiliki kedekatan dengan
orbital hidrogen. Berbagai persamaan gelombang tersebut sering kali disebut sebagai
himpunan basis (basis set).
Himpunan basis yang paling sederhana adalah himpunan basis bertipe Slater 4(Slater-type
Orbital, STO). Himpunan basis ini mendekati orbital nyata dengan persamaan:
n +l / 2
(
2ζ )
ϕ STO (r , θ , φ ; ζ , n, l , m ) =
r r −1e −ζr Yl m (θ , φ )
l/2
[(2n )!]
7
Keunggulan STO terdapat pada kemiripannya dengan orbital hidrogen. Meski demikian,
pada beberapa metode perhitungan (mis. Teori Hartree-Fock), orbital ini praktis tidak dapat
terpakai karena adanya keterbatasan komputasi (tidak ada solusi analitik untuk persamaan
Schrödinger yang disusun dengan basis set orbital ini).
Kendala di atas diatasi dengan diperkenalkannya orbital bertipe Gaussian (Gaussian-type
Orbital, GTO).
⎛ 2α ⎞
ϕGTO (x, y, z;α , i, j, k ) = ⎜ ⎟
⎝π ⎠
3/ 4
⎡ (8α )i + j +k i! j!k!⎤
⎢
⎥
(
)
(
)
(
)
i
j
k
2
!
2
!
2
!
⎣
⎦
1/ 2
x i y j z k e −α (x
2
+ y2 +z2
)
GTO sangat unggul secara komputasi dibandingkan STO. Namun demikian belum dapat
menandingi kemiripan STO dengan orbital hidrogen. Untuk menjawab tantangan ini, Fungsi
Gaussian terkontraksi (STO-MG) diperkenalkan sebagai kombinasi antara STO dan GTO.
M
ϕ STO − MG ( x, y, z; [α ], i, j , k ) = ∑ c aφ ( x, y, z; α a , i, j , k )
a =1
Fungsi
di
atas
mencerminkan
usaha
untuk
mendekati
orbital
STO
dengan
mengkombinasikan secara linear beberapa fungsi Gaussian. Nilai M pada fungsi dan notasi
di atas menunjukkan jumlah fungsi Gaussian yang dipakai untuk menyusun orbital tersebut.
Fungsi-fungsi Gaussian tersebut dikenal sebagai primitif. Pada prakteknya, jika
dibandingkan terhadap STO, maka kinerja yang paling optimal diperoleh dengan
menggunakan tiga primitif Gaussian (M=3)4. Dengan demikian, suatu orbital bukan hanya
diwakili oleh satu fungsi, melainkan kombinasi dari beberapa fungsi yang lebih sederhana.
Dari titik ini, konsep himpunan basis lebih jelas terlihat.
Pada perkembangan selanjutnya, peningkatan kualitas himpunan basis dilakukan dengan
cara yang mirip dengan pembentukan himpunan basis terkontraksi. Terdapat benang merah
yang secara empiris menyatakan bahwa semakin besarnya ukuran basis set akan membawa
pada kedekatan orbital yang dibentuk dengan kenyataan. Namun demikian hal ini harus
dibayar dengan biaya komputasi yang lebih tinggi (waktu, kapasitas komputer, dsb.).
Dalam STO-MG, setiap orbital dari inti hingga kulit terluar diwakili oleh hanya satu basis
set. Hal ini dikenal sebagai “single-ζ ”. Kualitas basis set dapat ditingkatkan lebih lanjut
dengan dapat dilakukan dengan melakukan “dekontraksi” terhadap STO-MG. Dengan
demikian, daripada satu fungsi basis untuk satu orbital, maka dapat dibuat dua atau tiga
fungsi basis untuk tiap orbital. Fungsi tersebut terdiri atas fungsi terkontraksi (dengan
beberapa primitif) dan fungsi tak terkontraksi dari primitif yang tersisa. Misalnya untuk
STO-3G, peningkatan menjadi “double-ζ” dilakukan dengan membentuk dua fungsi basis
8
untuk tiap orbital atom. Salah satu fungsi basis berisi dua primitif terkontraksi dan satu yang
lain berisi satu primitif tak terkontraksi. Untuk STO-3G, skema ini dapat dilakukan hingga
“triple-ζ”.
Pada prakteknya, berdasarkan “kereaktifan”-nya, orbital suatu atom dapat dibagi menjadi
orbital kulit dalam dan orbital valensi (terluar). Orbital kulit dalam cenderung tidak
terpengaruh oleh dinamika ikatan kimia (pemutusan ikatan, pembentukan ikatan, ionisasi,
dsb.). di lain pihak, orbital valensi cenderung berperilaku sebaliknya. Oleh sebab itu, untuk
mengoptimalkan kinerja basis set dalam perhitungan, maka orbital kulit dalam dapat
dipertahankan dalam bentuk terkontraksinya (single-ζ). Kemudian pengembangan double
atau triple-ζ dilakukan hanya terhadap orbital valensi saja. Basis set yang diperoleh dengan
cara ini umum dikenal sebagai himpunan basis split-valence atau valence-multiple- ζ. Notasi
bagi basis set ini dinyatakan dengan N-31G dan N-311G. Angka N menunjukkan jumlah
total primitif yang dipakai untuk setiap orbital. Dua angka setelah minus menunjukkan
dekontraksi double-ζ terhadap orbital valensi, sedangkan tiga angka menunjukkan triple- ζ.
Pada sistem yang lebih besar dari atom (mis. Molekul), kadang fungsi basis yang ada masih
belum cukup memadai. Hal ini muncul karena pada sistem atom, fungsi basis yang dipakai
berpusat pada bagian tengah atom. Ketika fungsi basis tersebut digunakan untuk menyusun
orbital molekul, maka diperlukan fungsi basis yang lebih memberikan kebebasan bagi
elektron untuk bergerak menjauhi inti. Kendala ini diatasi dengan penambahan satu fungsi
basis ke dalam setiap orbital atom valensi dalam molekul. Fungsi basis yang ditambahkan
adalah fungsi basis bagi orbital di atas orbital valensi yang bersangkutan. Dengan demikian,
basis set bagi orbital valensi atom C dapat dipolarisasi dengan menambahkan fungsi basis
bagi orbital d. Notasi bagi basis set yang disusun dengan cara ini umumnya berupa
penambahan tanda bintang (*) atau “(orbital tambahan)” pada notasi tak polar, mis. 6-31G*
atau 6-31G(d). Langkah ini selanjutnya berkembang dengan makin diperbanyaknya fungsi
basis yang mempolarisasi suatu himpunan basis. Salah satu contohnya adalah himpunan
basis 6-31G(3d2fg,2pd). Himpunan basis tersebut mempolarisasi orbital valensi p dengan
tiga fungsi d, dua fungsi f dan satu fungsi g. Himpunan basis tersebut juga menunjukkan
polarisasi dengan dua fungsi p dan satu fungsi d, terhadap orbital valensi s.
Kendala tentang kebebasan elektron di atas di atasi lebih lanjut dengan memberikan efek
difusi pada himpunan basis. Efek ini diberikan dengan menambahkan satu fungsi s dan satu
fungsi p dengan eksponen kecil ke dalam himpunan basis untuk atom berat. Hal ini
dinotasikan dengan satu tanda tambah dalam notasi himpunan basis, misalnya 6-31+G(d).
Tanda tambah yang kedua menunjukkan adanya efek difusi fungsi s pada atom H.
9
2.1.1.2
Hamiltonian
Pada prinsipnya, operator Hamiltonian tersusun beberapa komponen yang membentuk energi
total suatu sistem (misalnya molekul). Komponen tersebut antara lain energi kinetik elektron
dan inti, gaya tarik elektron dengan inti, gaya tolak antar elektron dan gaya tolak antar inti.
Berdasarkan prinsip ini, secara matematis operator Hamiltonian untuk banyak partikel dapat
dinyatakan sebagai berikut.
e2Zk
e2Zk Zl
h2 2
h2 2
e2
Operator
∇i − ∑
∇ k − ∑∑
+∑ +∑
Hˆ = −∑
rik
rkl
i 2me
j 2m k
i
k
i < j rij
k <l
di
atas
umum di pakai untuk persamaan Schrödinger dengan asumsi paling awal, bahwa sistem
tersebut tidak bergantung pada waktu.
Pada perkembangan selanjutnya diperkenalkan pendekatan Born-Oppenheimer. Pendekatan
tersebut mengasumsikan bahwa inti dalam sistem tidak bergerak, karena jika dibandingkan
dengan kecepatan elektron, maka praktis kecepatan inti mendekati nol. Pendekatan ini makin
menyederhanakan operator Hamiltonian, sebab komponen energi kinetik inti menjadi hilang,
dan komponen interaksi inti-elektron menjadi konstan (terhadap posisi inti).
Seiring dengan penyusunan orbital molekul Hartree, diperkenalkan pula Hamiltonian untuk
orbital molekul tersebut. Sebagaimana yang terjadi pada fungsi gelombang, maka
Hamiltonian suatu molekul dapat dinyatakan sebagai jumlah dari Hamiltonian partikel
penyusunnya.
N
Hˆ = ∑ hi
i =1
Dengan ungkapan bagi ĥi dalam satuan kuantum,
Z
1
hˆi = − ∇ i2 − ∑ k
2
k =1 rik
M
Hamiltonian ini, beriringan dengan fungsi gelombang Hartree, menjadi dasar penyusunan
fungsi gelombang suatu molekul dari fungsi gelombang partikel penyusun molekul tersebut.
2.1.1.3
Energi
Energi sistem merupakan hasil operasi Hamiltonian terhadap fungsi gelombang. Penentuan
energi ini memiliki pengaruh yang sangat besar dalam penentuan fungsi gelombang, dan
penentuan struktur pada pembahasan lebih jauh, karena energi suatu perhitungan akan selalu
memenuhi prinsip variasional. Prinsip tersebut menyatakan bahwa apapun fungsi gelombang
sistem yang kita pilih, energi hasil perhitungannya tidak akan berada di bawah energi sistem
yang sebenarnya. Secara matematis, hal ini dinyatakan sebagai:
10
∫ ΦHΦdr ≥ E
∫ Φ dr
2
0
Dengan berpegang pada prinsip ini, maka untuk memperoleh fungsi gelombang yang
mendekati sistem, seseorang tinggal mencari fungsi gelombang yang dapat menghasilkan
energi seminimal mungkin. Dengan demikian, kita dapat menyusun atau meramalkan fungsi
gelombang awal sebebas mungkin, dan kemudian kualitas fungsi gelombang tersebut akan
ditentukan oleh seberapa rendah energi yang dihasilkannya.
2.2 Perhitungan dengan Komputasi
2.2.1 Metode Hartree-Fock4
Hartree mengusulkan suatu metode untuk menyelesaikan persamaan Schrödinger di atas.
Untuk fungsi gelombang, Hartree mengusulkan fungsi gelombang sistem sebagai hasil kali
Hartree dari fungsi gelombang partikel penyusun sistem.
ΨHP = ψ 1ψ 2ψ 3 Kψ N
Dengan demikian, terdapat Hamiltonian bagi setiap fungsi gelombang elektron sesuai
persamaan:
Z
1
hˆi = − ∇ i2 − ∑ k
2
k =1 rik
M
Dari sudut pandang ideal (sistem nyata), sebenarnya begitu lebih dari satu elektron
dimasukkan ke dalam satu sistem, maka fungsi gelombang tiap partikel akan memiliki
Hamiltonian yang sesuai dengan hubungan:
Z
1
hˆi = − ∇ i2 − ∑ k + Vi { j}
2
k =1 rik
M
Dengan ungkapan Vi{j} menunjukkan potensial interaksi satu elektron dengan semua
elektron lain yang menempati orbital j.
Vi { j} = ∑ ∫
j ≠i
ρj
ri j
dr
Hamiltonian pada sudut pandang ideal akan membawa pada fungsi gelombang yang lain
sama sekali dengan fungsi gelombang yang disusun dari hasil kali Hartree. Oleh sebab itu,
11
Hartree mengusulkan sebuah prosedur berulang yang bertujuan mendekati fungsi gelombang
ideal ini dengan fungsi gelombang produk Hartree sebagai awal.
Pada prosedur SCF, terlebih dahulu ditentukan kerapatan elektron dan fungsi gelombang tiap
partikel penyusun sistem. Selanjutnya, untuk setiap partikel penyusun sistem, persamaan
ĥiψ=εiψ diselesaikan dengan menggunakan kerapatan yang telah ditentukan sebelumnya dan
Hamiltonian sebagai berikut.
Z
1
hˆi = − ∇ i2 − ∑ k + Vi { j}
2
k =1 rik
M
Langkah ini akan menghasilkan fungsi gelombang dan kerapatan elektron yang baru.
Selanjutnya, fungsi gelombang dan kerapatan elektron yang baru tersebut diproses kembali.
Hal ini dilakukan terus menerus hingga suatu saat diperoleh fungsi gelombang dengan
kerapatan elektron yang sama dengan sebelumnya. Saat itu, fungsi gelombang terakhir
dianggap sebagai orbital SCF paling baik bagi sistem tersebut. Prosedur ini umumnya
disertai dengan optimasi geometri untuk struktur yang paling stabil. Penggambaran umum
metode SCF dalam optimasi geometri dapat dilihat pada Gambar 2.1.
Gambar 2.1 Prosedur Optimasi Geometri
12
Penerapan determinan Slater dalam menyusun fungsi gelombang dari produk Hartree dan
pemakaiannya dalam prosedur SCF telah diperkenalkan pertama kali oleh Fock. Dengan
demikian, prosedur ini sering kali dikenal sebagai metode Hartree-Fock Self-Consistent Field
(HF-SCF). Istilah Restricted Hartree-Fock (RHF) digunakan ketika dalam menyusun fungsi
gelombang tersebut dipakai asumsi bahwa seluruh elektron memiliki pasangan spin-nya
masing-masing dan setiap orbital terisi oleh sepasang elektron. Ketika batasan tersebut
dihilangkan, dan setiap orbital dapat terisi oleh satu elektron, maka dapat disusun fungsi
gelombang yang baru. Penerapan asas ini dikenal sebagai Unrestricted Hartree-Fock (UHF).
2.2.2 Teori Kerapatan Fungsional (DFT)4
Teori Kerapatan Fungsional berusaha menyederhanakan usaha dalam mencari energi suatu
sistem. jika pada HF, diperlukan variabel posisi setiap elektron untuk membangun fungsi
gelombang sistem atom atau molekul untuk ditentukan energinya, maka DFT mencoba
mendekati sistem tersebut dengan menggunakan satu variabel, yaitu fungsi kerapatan seluruh
atom dalam ruang. Dengan demikian, penentuan energi sistem akan lebih sederhana dan
mudah secara komputasi.
Metode DFT dilandasi oleh teori Hohenberg-Kohn. Teori tersebut mengasumsikan bahwa
dalam sistem atom atau molekul, terdapat gas elektron dengan kerapatan tertentu yang
berinteraksi dengan suatu gaya non-elektron (mis. Inti, gaya luar, dsb). Selanjutnya,
Hohenberg-Kohn menyatakan bahwa kerapatan elektron yang menyusun suatu sistem atom
atau molekul, merupakan satu-satunya variabel yang diperlukan untuk menentukan
Hamiltonian, fungsi gelombang, dan energi sistem yang bersangkutan.
Teori kedua Hohenberg-Kohn menyatakan bahwa prinsip variasi juga berlaku pada
pendekatan secara DFT. Dengan demikian, semua pendekatan yang berusaha dilakukan
terhadap fungsi kerapatan elektron suatu fungsi, akan menghasilkan energi sistem yang tidak
pernah kurang dari energi sistem yang sebenarnya.
Berdasarkan dua teori tersebut, Kohn dan Sham menyusun suatu persamaan yang
memetakan kerapatan elektron terhadap energi.
E [ρ (r )] = Tni [ρ (r )] + Vne [ρ (r )] + Vee [ρ (r )] + E xc [ρ (r )]
Persamaan tersebut menyatakan bahwa energi sistem selalu tersusun atas energi kinetik
elektron dengan asumsi elektron tidak saling berinteraksi (sistem tak nyata), potensial
interaksi inti-elektron, potensial tolak-menolak klasik antar elektron, dan koreksi total nilai
energi yang muncul karena adanya interaksi non-klasik antar elektron. Pendekatan sistem
13
nyata dari sistem tak nyata semacam ini dapat berlaku karena kedua sistem tersebut tetap
memiliki kerapatan yang sama, sepanjang jumlah atom dan posisinya sama.
Elektron diasumsikan tidak berinteraksi dalam sistem tak nyata. Dengan demikian, ungkapan
energi kinetik bagi sistem ini cukup diwakili oleh jumlah dari energi kinetik tiap elektron
dalam keadaan tunggal. Persamaan energi sebagai fungsi kerapatan di atas selanjutnya dapat
dinyatakan secara lengkap dalam ungkapan yang melibatkan orbital elektron sebagai:
N ⎛
1
E [ρ (r )] = ∑ ⎜ χ i − ∇ i2 χ i − χ i
⎜
2
i
⎝
nuclei
∑
k
⎞ N
Zk
1 ρ (r ' )
χi ⎟ + ∑ χi ∫
dr ' χ i + E xc [ρ (r )]
⎟ i
ri − rk
2 ri − r '
⎠
Dengan orbital elektron dan kerapatan dapat dihubungkan dengan:
N
ρ = ∑ χi | χi
i =1
Pada persamaan tersebut, Exc mewakili selisih total energi dari sistem tak nyata dengan
sistem nyata.
Persamaan energi tersebut dapat diselesaikan dengan menemukan orbital χ yang
meminimalkan nilai E. Jika χ tersusun atas orbital elektron tunggal χi , maka persamaan
berikut akan dipenuhi.
hiKS χ i = ε i χ i
dengan operator Kohn-Sham (hiKS) yang didefinisikan sebagai:
nuclei
ρ (r ' )
1
Zk
hiKS = − ∇ i2 − ∑
+∫
dr ' + V xc
2
ri − r '
k ri − rk
dan
V xc =
δE xc
δρ
Persamaan tersebut dapat diselesaikan jika sebelumnya telah diketahui bentuk fungsional Exc.
Pendekatan awal untuk bentuk Ex mengikuti persamaan :
ε x [ρ (r )] = −
9α ⎛ 3 ⎞
⎜ ⎟
8 ⎝π ⎠
1/ 3
ρ 1 / 3 (r )
Pendekatan semacam ini dikenal sebagai Local Density Approximation (LDA) sebab
persamaan tersebut secara eksplisit menyatakan bahwa nilai εc pada suatu posisi dapat
dihitung secara langsung dari nilai kerapatan pada posisi tersebut. Nilai α selanjutnya
14
bervariasi antara α=2/3 pada metode LDA, α=1 pada metode Slater, dan α=3/4 pada metode
Xα.
Seluruh metode tersebut selanjutnya dapat diperluas dengan menambah efek polarisasi spin
menjadi:
⎡ (1 + ζ )4 / 3 + (1 − ζ )4 / 3 − 2 ⎤
⎥
2(21 / 3 − 1)
⎣
⎦
ε x [ρ (r ), ζ ] = ε x0 [ρ (r )] + {ε 1x [ρ (r )] − ε x0 [ρ (r )]}⎢
Pendekatan tersebut dikenal sebagai Local Spin Density Approximation (LSDA).
Pendekatan bagi bentuk ec diajukan oleh Vosko, Wilk, dan Nusair (VWN) yang setipe
dengan LSDA. Persamaan untuk ec ini berbentuk:
⎧
⎫
⎛ 4c − b 2 ⎞
rS
2b
⎟
⎪ln
⎪
+
tan −1 ⎜
2
⎜2 r +b⎟
⎪ rS + b rS + c
⎪
−
c
b
4
S
⎠
⎝
A⎪
⎪
ε ci (rS ) = ⎨
⎬
2
⎧ ⎡ r −x
⎤ 2(b − 2 x )
2 ⎞⎫
2⎪
⎛
bx 0
−
4
c
b
⎪ ⎢
⎪
S
0
0
⎟ ⎬⎪
⎥+
tan −1 ⎜
⎨ln
⎪− 2
2
⎜
⎟ ⎪
4c − b
⎪⎩ x 0 + bx 0 + c ⎪⎩ ⎢⎣ rS + b rS + c ⎥⎦
⎝ 2 rS + b ⎠⎪⎭⎪⎭
(
)
Terapan yang paling umum untuk ec ini adalah VWN dan VWN5. Kombinasi antara εx
Slater dan ec VWN umum dikenal sebagai metode SVWN.
Pada sistem molekuler, kerapatan elektron umumnya tidak homogen dalam ruang. Dengan
demikian diperlukan Exc yang lebih baik dari LDA atau LSDA. Salah satu cara untuk
memperbaiki nilai LSDA adalah dengan menambahkan komponen gradien kerapatan ke
dalam nilai εxc (Generalized Gradient Approximation, GGA).
⎡ ∇ρ (r ) ⎤
⎥
4/3
⎣ ρ (r ) ⎦
LSDA
ε xGGA
/ c [ρ (r )] = ε x / c [ρ (r )] + ∆ε x / c ⎢
Beberapa fungsional εx GGA yang terkenal adalah B, CAM, FT97, dsb. Fungsional εc GGA
yang cukup terkenal adalah LYP (diperkenalkan oleh Lee, Yang, dan Parr). Kombinasi εxc
yang sering digunakan adalah metode BLYP.
Peningkatan kualitas fungsional lebih lanjut adalah dengan menambahkan komponen
turunan kedua kerapatan ke dalam nilai εxc. Hal ini dikenal sebagai meta-GGA.
Pendekatan yang lain dilakukan dengan mengkombinasikan antara Ex dari HF dengan Exc
dari DFT. Kombinasi yang cukup terkenal adalah kombinasi model B3LYP. Model tersebut
didefinisikan sebagai:
E xcB 3 LYP = (1 − a )E xLSDA + aE xHF + b∆E xB + (1 − c )EcLSDA + cEcLYP
Dengan nilai a, b, dan c dioptimasi hingga diperoleh nilai 0,20, 0,72, dan 0,81.
15
Dengan adanya suatu fungsional Exc tertentu, maka persamaan
KS selanjutnya dapat
diselesaikan dengan metode Self-consistent. Pada langkah awal, ditentukan kerapatan
elektron mula-mula. Selanjutnya kerapatan elektron tersebut digunakan untuk menyelesaikan
persamaan Kohn-Sham untuk setiap elektron dalam sistem. Langkah ini menghasilkan
kerapatan elektron baru yang selanjutnya dipakai kembali untuk menyelesaikan persamaan
Kohn-Sham. Proses ini terus diulang hingga diperoleh kerapatan elektron yang sama dengan
kerapatan elektron sebelumnya.
2.2.3 Perhitungan Dasar Kimia Komputasi
2.2.3.1
Parameter Struktur2
Di samping ungkapan dalam bentuk koordinat Kartesius, suatu struktur dapat diungkapkan
dalam bentuk koordinat internal. Dalam koordinat internal, posisi suatu titik tersusun atas
tiga komponen.
a. komponen jarak. Komponen ini menunjukkan jauh suatu titik terhadap satu titik
yang lain dalam suatu sistem. Meskipun tidak diharuskan, komponen ini sering kali
digunakan untuk menunjukkan bahwa suatu titik terhubung dengan titik yang lain.
Komponen ini praktis tidak terpakai pada sistem yang terdiri dari satu titik.
Gambar 2.2 Dua titik yang dihubungkan oleh komponen jarak qb
b. Komponen sudut anguler. Komponen ini menunjukkan sudut yang dibentuk oleh dua
titik yang saling berhubungan (melalui komponen jarak) dengan satu titik lain
sebagai referensi.
16
Gambar 2.3 Tiga titik yang dihubungkan dua komponen jarak (u dan v) serta satu
komponen sudut angular qa
c. Komponen Sudut dihedral. Sudut ini dibentuk oleh bidang dari tiga titik yang saling
berhubungan (melalui komponen sudut anguler) dan satu titik lain sebagai referensi.
Gambar 2.4 Empat titik yang dihubungkan oleh tiga komponen jarak (u’,v’,w’), dua
sudut angular (φu dan φv), sertasatu sudut dihedral qd
Koordinat internal umumnya lebih disukai dalam perhitungan kimia komputasi. Hal ini
terjadi karena secara alami koordinat internal akan selalu menghasilkan maksimal enam
variabel lebih sedikit dibandingkan koordinat Kartesian. Selain itu, penyusunan koordinat
internal yang memperhatikan hubungan antara satu titik dengan titik yang lain juga sangat
membantu fokus perhitungan (misalnya dalam memodelkan pemutusan ikatan, struktur
keadaan dasar, dan sebagainya).
2.2.3.2
Optimasi Geometri2,4,12
Pendekatan dalam menentukan hubungan struktur suatu sistem dengan energinya dapat
dilakukan dengan mendefinisikan adanya suatu nilai vektor g yang menunjukkan arah
gradien energi E pada setiap parameter struktur q. ungkapan ini dinyatakan sebagai:
17
⎡ ∂E
⎢ ∂q
⎢ 1
⎢ ∂E
g (q ) = ⎢ ∂q 2
⎢ M
⎢ ∂E
⎢
⎣⎢ ∂q N
⎤
⎥
⎥
⎥
⎥
⎥
⎥
⎥
⎦⎥
Parameter struktur q merupakan suatu vektor yang dibentuk oleh koordinat setiap komponen
penyusun sistem. Ukuran vektor ini bergantung pada jumlah komponen penyusun sistem dan
jenis koordinat yang digunakan. Untuk koordinat Kartesian, parameter struktur q memiliki
ukuran 3N, dengan N adalah jumlah komponen penyusun sistem. Pada koordinat internal,
ukuran vektor tersebut adalah 3N-6.
Optimasi geometri umumnya bertujuan menentukan suatu bentuk struktur q yang memiliki
energi paling rendah dibanding seluruh kemungkinan struktur q yang lain. Secara matematis,
syarat ini diungkapkan sebagai:
g (q ) = 0
dan
∂2E
>0
∂qi2
Pendekatan awal bagi permasalahan ini adalah dengan berusaha mencari titik stasioner
terlebih dahulu. Suatu struktur awal q mula-mula ditentukan vektor gradiennya. Selanjutnya
struktur tersebut diubah sejauh suatu jarak tertentu ke arah yang berlawanan dengan vektor
gradien tersebut. Langkah ini terus diulang terhadap struktur yang baru hingga diperoleh
vektor gradien sebesar nol.
Dengan menggunakan metode dasar tersebut, biasanya titik optimal akan dicapai setelah
dilakukan banyak pengulangan, bahkan kadang tidak akan pernah tercapai. Metode yang
lebih baik dikenal sebagai prosedur Newton-Rhapson. Dalam prosedur ini, didefinisikan
hubungan umum energi dengan struktur q sebagai deret Taylor tingkat dua multidimensi.
∂E
E(q) = E(qeq ) + ∑ (qi − qi,eq )
∂qi
i =1
3N −6
q=qeq
1 3N −6 3N −6
∂2 E
+ ∑ ∑ (qi − qi,eq )(q j − q j ,eq )
2! i=1 j =1
∂qi ∂q j
Ungkapan tersebut dituliskan dalam bentuk matriks sebagai:
(
)
E (q ( k +1) ) = E (q ( k ) ) + q ( k +1) − q ( k ) g ( k ) ) +
(
)
(
1 ( k +1)
q
− q ( k ) H ( k ) q ( k +1) − q ( k )
2
18
)
q=qeq
Dengan q adalah suatu konfigurasi struktur tertentu (k), g mewakili vektor gradien yang
telah disebutkan sebelumnya, dan H dikenal sebagai matriks Hessian. Elemen matriks
Hessian tersebut dirumuskan sebagai:
H ij( k ) =
∂2E
∂qi ∂q j
q= q (k)
Pada titik stasioner berlaku ungkapan:
0 = g (k) + H (k) (q (k +1 ) − q (k) )
Atau
q (k +1 ) = q (k) − (H (k) ) g (k)
-1
Dengan demikian, optimasi geometri untuk suatu struktur yang ke-k (q(k)) dilakukan dengan
menghitung vektor gradien g dan matriks Hessian untuk struktur tersebut. Kemudian
berdasarkan persamaan di atas, dapat ditentukan suatu struktur baru (k+1) yang seharusnya
akan memiliki vektor gradien sebesar nol. Jika nilai vektor gradien struktur ini belum
terpenuhi, maka prosedur di atas akan diulang kembali pada struktur yang baru tersebut.
Metode Newton-Rhapson memiliki nilai lebih dalam menentukan titik stasioner karena
metode tersebut sekaligus memberikan gambaran seberapa jauh perubahan yang harus
dilakukan terhadap struktur awal. Meskipun demikian, metode ini tidak dapat menjamin
hasil perhitungan akan menuju struktur dengan energi terendah. Oleh sebab itu, dalam suatu
optimasi geometri, mutlak diperlukan suatu struktur awal yang sudah mendekati kondisi
optimal.
Pengembangan metode Newton-Rhapson selanjutnya dilakukan oleh Schlegel12 dan lainlain. Metode ini dikenal sebagai quasi-Newton. Istilah quasi muncul karena pada tiap tahap
iterasi, nilai Hessian tidak diperoleh secara analitik, melainkan didekati melalui berbagai
cara. Perbedaan metode quasi-Newton satu dengan yang lain umumnya pada persamaan
yang dipakai untuk menentukan nilai pendekatan Hessian ini2 .
Optimasi geometri untuk keadaan transisi secara umum mengikuti metode yang sama dengan
optimasi geometri biasa. Perbedaan yang ada di antara keduanya adalah pada syarat yang
harus dipenuhi. Untuk struktur keadaan transisi harus dipenuhi:
g (q ) = 0
Dengan nilai turunan kedua energi terhadap salah satu parameter struktur (qj) bernilai
negatif, dan bernilai positif untuk seluruh parameter struktur yang lain (qi).
19
∂2E
∂2E
dan
<0
>
0
∂q 2j
∂qi2
2.2.3.3
Perhitungan Energi Satu Titik
Perhitungan satu titik adalah perhitungan pada suatu struktur tanpa mengubah struktur
tersebut. Perhitungan semacam ini dapat berguna untuk melihat secara mendalam pengaruh
beberapa parameter struktur terhadap energi. Selain itu, perhitungan ini dapat dipakai untuk
mempelajari sifat suatu struktur dengan tingkat perhitungan yang lebih tinggi. Salah satu
strategi yang umum dipakai adalah optimasi struktur dengan tingkat perhitungan rendah,
kemudian dilanjutkan dengan perhitungan satu titik bagi struktur teroptimasi dengan
memakai tingkat perhitungan yang lebih tinggi.
2.2.3.4
Perhitungan Frekuensi4
Struktur hasil optimasi geometri atau perhitungan satu titik merupakan struktur yang
mengabaikan sama sekali pergerakan inti atom dalam suatu sistem molekul. Energi hasil
perhitungan ini masih belum mencukupi untuk mendekati kondisi nyata. Beberapa parameter
yang perlu ditambahkan sebagai koreksi adalah energi vibrasi molekul pada nol Kelvin dan
energi termal molekul jika dilakukan pendekatan pada suhu di atas nol Kelvin.
Koreksi termal (baik nol Kelvin maupun lebih) dapat dilakukan dengan melakukan prosedur
perhitungan frekuensi. Dari perhitungan frekuensi, dapat diramalkan spektrum IR dan
Raman suatu molekul. Selain itu, koreksi termal bagi molekul pada suhu nol Kelvin (Zero
Point Vibrational Energy, ZPVE atau ZPE) juga ditentukan pada prosedur ini.
∆ZPVE =
modus
∑
i
1
hω i
2
Setelah mengkoreksi dengan ZPVE, energi sistem selanjutnya dapat disesuai berdasarkan
suhunya. Beberapa besaran termodinamika lain juga dapat ditentukan melalui perhitungan
frekuensi ini.
Perhitungan frekuensi juga menjadi salah satu cara untuk menguji keabsahan struktur hasil
suatu perhitungan. Keberhasilan suatu optimasi geometri ditunjukkan oleh tidak adanya nilai
frekuensi imaginer pada setiap modus vibrasi pada struktur yang bersangkutan. Di lain
pihak, struktur keadaan transisi ditunjukkan oleh adanya satu nilai frekuensi imajiner.
20
2.2.4 Perhitungan Entalpi Reaksi dan Energi Pengaktifan4
Sebagaimana yang telah disinggung pada pembahasan mengenai perhitungan frekuensi,
untuk menyesuaikan dengan sistem nyata, perlu dilakukan penyesuaian atas nilai energi hasil
perhitungan komputasi. Salah satu besaran yang umum digunakan dalam penentuan
energetika reaksi adalah entalpi. Nilai entalpi didasarkan pada persamaan:
H = E + PV
Untuk suatu molekul M, ditentukan nilai entalpi pembentukan pada suhu 298K pada keadaan
standar∆H0f,298 berdasarkan persamaan:
atom
atom
z
z
∆H of , 298 (M ) = E (M ) + ZPVE (M ) + [H 298 (M ) − H 0 (M )] − ∑ E ( X z ) + ∑ H of ,0 ( X z )
Dengan X adalah atom penyusun molekul tersebut. Berdasarkan persamaan tersebut, maka
entalpi reaksi untuk suatu tahap reaksi:
TS
A + B ⎯⎯→
C
dapat diungkapkan sebagai:
o
∆H 298
= E (C ) + ZPVE (C ) + [H 298 (C ) − H 0 (C )] − {E ( A) + ZPVE ( A) + [H 298 ( A) − H 0 ( A)] + E (B ) + ZPVE (B ) + [H 298 (B ) − H 0 (B )]}
persamaan
tersebut
dapat
disesuaikan
untuk kasus energi
pengaktifan.
Dengan
mengasumsikan bahwa berjalannya suatu reaksi akan melalui mekanisme:
Ea
A ⎯⎯→
TS ⎯
⎯→ B
maka nilai energi pengaktifan dapat disimpulkan sebagai:
o
Ea 298
= E (TS ) + ZPVE (TS ) + [H 298 (TS ) − H 0 (TS )] − E ( A) + ZPVE ( A) + [H 298 ( A) − H 0 ( A)]
21
Download