Pembaca Sastra di Masa Krisis Oleh: Bagus Takwin Beruntunglah pembaca sastra di masa krisis. Keberuntungan itu tentu saja bukan disebabkan oleh materi atau karena pembaca sastra memiliki nilai jual yang tinggi. Juga bukan karena sastra telah memberikan solusi-solusi perbaikan masyarakat yang ampuh. Soalnya bukan politik, bukan ekonomi. Sastra tidak sama dengan para demonstran atau kaum ‘reformis’ atau ‘politikus’ yang punya ‘keampuhan praktis’ mengubah kondisi masyarakat secara langsung dan cepat. Sastra juga tidak seperti ekonomi yang mampu meningkatkan income per capita rakyat Indonesia, atau memperbaiki citra perekonomian Indonesia. Sejarah menunjukkan sastra tidak pernah punya efek seampuh dan secepat politik. Juga tidak seberpengaruh ekonomi dalam mendorong sebuah rezim turun tahta. Pada masa krisis nasional di Indonesia, masalah yang berkaitan dengan sastra adalah masalah ‘kesejahteraaan psikologis’. Pembaca sastra lebih berpotensi memiliki kesejahteraan psikologis di masa-masa krisis dibanding bukan pembaca sastra. Juga bila dibandingkan peminat ekonomi dan politik (kecuali jika mereka juga senang membaca karya sastra). Apa yang membuatnya begitu? Sastra memiliki kemampuan untuk memperkuat kondisi psikologis manusia. Pertama, sastra mampu meningkatkan kompleksitas pikiran pembacanya. Kedua, sastra berpotensi untuk meningkatkan kemampuan berpikir positif pembacanya. Ketiga, Sastra mampu memberi insight (percikan-percikan pemikiran) dan inspirasi kepada pembacanya untuk menemukan penyelesaian masalah, paling tidak tentang bagaimana menghadapi masalah. Keempat, sastra memiliki efek terapeutik bagi pembacanya, menghibur, dan menenangkan pikiran serta perasaan. Kelima, sastra memiliki kemampuan menghidupkan generator rasa ingin tahu pada pembacanya, membangkitkan keinginan untuk menjelajahi cakrawala pengetahuan, merangsang pikiran dan perasaan untuk aktif (semacam olah raga otak). *** Kompleksitas pikiran adalah kemampuan untuk melihat suatu permasalahan dari berbagai sudut pandang dan kemampuan untuk menerima serta menggabungkan berbagai sudut pandang itu untuk menyelesaikan masalah. Membaca karya sastra yang beragam akan meningkatkan kompleksitas pikiran karena si pembaca akan berhadapan dengan berbagai kejadian yang digambarkan dalam karya-karya itu. Meskipun hanya sebatas kognisi dan afeksi, pembaca karya sastra mendapat pengalaman menyelami seluk beluk tokoh dan peristiwa dalam karya sastra yang dibacanya. Pembaca juga dimungkinkan berempati, bahkan bersimpati pada tokoh cerita. Di sini pembaca sangat dimungkinkan untuk mengambil peran tokoh cerita. Ia memiliki kesempatan untuk berpikir, merasa, dan menghayati dunia dengan menggunakan sudut pandang tokoh. Pengalaman yang memberi kesempatan pada seseorang untuk bertukar peran atau roletaking dengan orang lain yang memiliki latar belakang berbeda meningkatkan kemampuan seseorang dalam menilai suatu hal dari berbagai sudut pandang (Kohlberg, 1984). Dengan kemampuan melihat masalah dari berbagai sudut pandang, ia dapat melihat berbagai alternatif pemecahan masalah yang dengan sendirinya meningkatkan kemampuannya memecahkan persoalan. Berdasarkan caranya memandang dunia, kemampuan berpikir manusia dapat digolongkan menjadi dua: kemampuan berpikir negatif dan berpikir positif. Berpikir negatif adalah cara mengolah informasi dari lingkungan dengan sudut pandang negatif. Sedangkan berpikir positif menggunakan cara pandang yang positif. Orang yang berpikir negatif cenderung memandang dunia sebagai hal yang jelek, salah, tak dapat dipercaya, dan merugikan. Sedang orang yang berpikir positif cenderung memandang dunia sebagai hal baik, dapat dipercaya, menjanjikan keberhasilan, menyenangkan, dan bersahabat. Sejak kecil, kemampuan berpikir negatif sudah berkembang sebagai akibat dari perasaan takut dan tak berdaya sebagai anak kecil. Semakin dewasa seseorang, semakin tinggi kemampuannya berpikir positif. Selain itu, ia makin mampu menentukan apa saja yang sebaiknya ditanggapi secara positif dan apa saja yang harus ditanggapi secara negarif. Tetapi perkembangan kemampuan berpikir positif ini sering terhambat oleh pengalaman-pengalaman negatif individu. Pengalaman negatif cenderung meninggalkan bekas yang lebih dalam daripada pengalaman positif. Bekas yang lebih dalam ini dapat menutup hal-hal positif yang pernah dialaminya. Sastra memberikan berbagai gambaran peristiwa dan kondisi psikologis tokohtokohnya. Gambaran-gambaran ini akan membuka pikiran pembaca terhadap hal-hal yang positif. Pembaca dapat menyelami liku-liku kejadian, seluk-beluk peristiwa dan jiwa manusia. Berbagai pengalaman psikologis yang mencakup kognisi dan afeksi ini akan membantu pembaca karya sastra untuk melihat bahwa dunia ini tidak melulu terdiri dari hal-hal negatif. Peran sastra adalah menghindarkan pembacanya dari hendaya yang ada dalam mengembangkan kemampuan berpikir positif. Sastra membantu pembacanya mencapai keseimbangan dalam penggunaan kemampuan berpikir positif dan negatif. Salah satu fungsi sastra adalah untuk mengkomunikasikan ide dan menyalurkan pikiran serta perasaan estetis manusia pembuatnya. Ide itu disampaikan lewat amanat yang pada umumnya ada dalam sastra (Sapardi Djoko Damono, 1996). Selain ide, dalam sastra terdapat juga deskripsi berbagai peristiwa, gambaran psikologis, dan berbagai dinamika penyelesaian masalah. Hal ini dapat menjadi sumber insight (percikanpercikan pemikiran) dan inspirasi bagi pembacanya. Dalam hal kesiapan menghadapi krisis, sastra memiliki peranan untuk menumbuhkan semacam kepekaan terhadap krisis (sense of crisis) pada pembacanya. Konflik-konflik dan tragedi yang digambarkan dalam karya sastra memberikan kesadaran pada pembaca bahwa hal itu dapat terjadi dalam kehidupan nyata dan dialami langsung oleh pembaca. Kesadarannya itu membentuk semacam kesiapan dalam diri untuk menghadapi krisis. Kesiapan menghadapi krisis mengarahkan manusia untuk mengatisipasi datangnya krisis dan mempersiapkan berbagai hal yang dapat mencegah atau menghentikan krisis. Lewat bacaan sastra itu pula pembaca mendapat insight untuk menyelesaikan masalah. Sastra juga dapat dijadikan sumber inspirasi tentang cara-cara meminimalkan akibat-akibat krisis. Sastra juga berguna bagi para pembacanya sebagai media hiburan. Penggunaan sastra dalam terapi seni (art therapy) juga dapat dilakukan. Dengan membaca karya sastra, seseorang mendapatkan suatu kesenangan dari alur cerita, permainan bunyi, juga dari permainan makna. Pembaca dapat melepaskan ketegangan setelah membaca karya sastra. Efek hiburan dan terapeutis positif dari karya sastra dapat diperoleh lewat proses membaca yang intens dan melibatkan keseluruhan diri pembaca. Seperti berolahraga atau mendengarkan nyanyian, penghayatan terhadap karya sastra akan menimbulkan perasaan senang, tenang, dan melegakan. Karya sastra dapat memberikan efek rekreasi dan relaksasi pada pembacanya. Efek rekreasi dan relaksasi ini dapat membantu manusia untuk menjernihkan pikiran sehingga lebih mampu menyelesaikan masalah-masalah dengan lebih tenang dan teliti. *** Di saat-saat krisis, kualitas-kualitas psikologis seperti kompleksitas pikiran, kemampuan mengontrol persepsi, kemampuan mengolah informasi secara kritis, dan kreativitas dalam memecahkan masalah sangat dibutuhkan. Saat ini, begitu semerawutnya situasi Indonesia dalam berbagai bidang ekonomi, politik, sosial, dan budaya. Kesemerawutan ini belum juga menampakkan titik terang sehingga menuntut manusia memiliki kualitas psikologis yang dapat membantunya bertahan menghadapi berbagai krisis. Seperti sekelompok orang di tengah bencana alam, menunggu bencana reda sembari mencoba bertahan dengan segala kemampuan, berupaya mengurangi efek bencana dengan ‘bekal’ yang dimilikinya. ‘Bekal’ itu sedikit banyak dapat diperoleh dari pengalaman membaca sastra. Di sinilah letak keberuntungan pembaca sastra. Pada masa yang sangat sulit sekalipun, ‘kesejahteraan psikologis’-nya tetap terjaga. Tentu saja sastra tidak dapat berperan sendiri dalam meningkatkan kesejahteraan psikologis seseorang. Berbagai faktor lain harus juga dilibatkan. Sastra hanya salah satu hal positif di antara begitu banyaknya hal positif yang ada di dunia. Kemujaraban perannya adalah hasil sinergi dengan berbagai hal positif lainnya. Sastra seperti guru, kemujaraban perannya tidak langsung terlihat dan tidak berdiri sendiri. Keduanya punya peran mendidik. Guru yang baik, kata Goenawan Mohamad dalam Catatan Pinggir-nya (9 Mei 1987), adalah guru yang punya jejak panjang dalam diri anak didiknya. Guru yang mampu menghidupkan generator keingintahuan murid-muridnya, menghidupkan keinginan untuk menjelajahi cakrawala pegetahuan. Seperti guru, sastra yang baik adalah sastra yang mampu menggugah rasa ingin tahu pembacanya, mampu menghidupkan generator keinginan menjelajahi pengetahuan dalam benak pembaca. Sastra yang punya jejak panjang, bergaung melewati berbagai zaman.*** Depok, 13 Juli 1998