FX Teddy Badai Samodra 2 - Institut Teknologi Sepuluh Nopember

advertisement
Seminar Nasional Pascasarjana IX – ITS, Surabaya 12 Agustus 2009
ISBN No.
Spesifikasi Kinerja Termal Sistim Konstruksi Kulit
Rumah Tinggal Tropis dalam Variasi Altitude
FX Teddy Badai Samodra 1*
Laboratorium Sains Arsitektur dan Teknologi
Jurusan Arsitektur
1*
Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya, Indonesia
[email protected]
Abstrak
Penelitian tentang kinerja termal bangunan serta penghematan energi lewat rancangan
secara pasif telah banyak dilakukan peneliti di berbagai tempat dengan spesifikasi iklim
lokal yang berbeda-beda, termasuk di daerah tropis. Penelitian bangunan di daerah ini
seharusnya lebih banyak lagi dilakukan karena jumlahnya masih sangat terbatas. Hal ini
terjadi karena kondisi iklim yang relatif stabil, tidak terdapat banyak variasi baik dalam satu
hari, satu bulan atau satu tahun. Jadi, potensi yang mungkin spesifik untuk penghematan
energi menjadi kurang terakomodasi. Konstruksi kulit bangunan, khususnya dinding dengan
berbagai bentuk bukaan merupakan faktor penting dalam mendistribusikan aliran udara dari
luar ke dalam bangunan dan sebaliknya. Dalam makalah ini, kinerja termal dipaparkan
sebagai hasil pembahasan studi kasus rumah tinggal pedesaan Jawa di tiga tempat
berbeda yang memiliki perbedaan ketinggian (altitude): Dataran tinggi, dataran rendah, dan
pesisir. Studi dilakukan dengan pengamatan di kondisi nyata (field survey) dan lewat model
(modelling) simulasi. Hasil pengamatan dan pengukuran di lapangan dan simulasi
menunjukkan bahwa setiap daerah yang memiliki perbedaan ketinggian akan memiliki
karakter spesifik sebagai bangunan tropis (upaya menghangatkan atau mendinginkan) dan
perlakuan yang berbeda untuk sistim konstruksi kulit akibat pengaruh penggunaan material
dan kinerja termal yang memiliki nilai kritis yang mirip sebagai pengaruh pola hunian rumah
tinggal.
Katakunci: Altitude, kinerja termal, konstruksi kulit, rumah tinggal tropis, simulasi
1. Pendahuluan
Sistim konstruksi kulit bangunan merupakan
elemen yang memiliki potensi dalam simulasi
kinerja termal dan memiliki hubungan dengan
lingkungan secara vertikal maupun horisontal
(Goulart, 2004). Kinerja termal rumah tinggal
tropis, secara spesifik berkarakter tradisional
dengan material bangunan dan kondisi
lingkungannya yang mempertimbangkan batas
imej tradisional, memiliki potensi untuk dicapai
optimasi (Yimprayoon, 2003). Perbedaan altitude
menyebabkan terjadi variasi iklim lingkungannya.
Perbedaan kondisi lingkungan akan memberikan
pengaruh pada nilai kenyamanan termal
(Humphreys dan Nicol, 2000; Brager dan de
Dear, 2001). Di sisi lain, faktor budaya
menyebabkan rumah tinggal tradisional memiliki
kemiripan karakter meskipun berada di
ketinggian dari permukaan laut (altitude) yang
berbeda (Rapoport, 1969; Santosa et al., 2006).
Berdasarkan kondisi di atas, maka tulisan ini
disusun untuk memberikan deskripsi kinerja
adaptasi bangunan tropis dengan kasus rumah
tinggal tradisional Jawa kampung (pedesaan).
2. Metode yang diterapkan
Dalam makalah ini, kinerja termal dipaparkan
sebagai hasil pembahasan studi di tiga tempat
berbeda yang memiliki perbedaan ketinggian
(altitude): Dataran tinggi, dataran rendah, dan
pesisir. Studi dilakukan dengan pengamatan
kondisi nyata (field survey) dan lewat model
(modelling) simulasi.
3. Adaptasi Arsitektur dalam Variasi
Altitude
3.1 Bentuk Adaptasi
Bentuk adaptasi terhadap lingkungan dapat
dilakukan oleh manusia atau lingkungan
binaannya (arsitektur). Faktor manusia dapat
ditunjukkan
dengan
bagaimana
mereka
berpakaian dan beraktivitas. Proses adaptasi
arsitektur, khususnya tradisional, terbentuk dari
pemikiran dan pengalaman masyarakat dalam
jangka waktu yang lama. Secara tradisional hal
tersebut diterapkan secara turun-temurun.
Hunian tradisional merupakan bentuk ekspresi
budaya dan iklim (Xie et al., 2006). Ekspresi ini
mengkombinasikan kearifan budaya dan respon
terhadap iklim lingkungannya. Perkembangan
budaya masyarakat tradisional selama ratusan
tahun selalu diikuti oleh perbaikan pemahaman
teknologi yang beradaptasi terhadap lingkungan
mereka
(ekologis).
Pemahaman
adaptasi
terhadap lingkungan dapat digambarkan dengan
metoda
aplikasi
teknologi
secara
pasif
(menggunakan energi yang minimum). Hal inilah
yang menjadi karakter khas tipologi arsitektur
Seminar Nasional Pascasarjana IX – ITS, Surabaya 12 Agustus 2009
ISBN No.
tradisional yang membedakan dengan bentuk
modern, yaitu penerapan strategi respon
lingkungan secara alami.
Dalam konteks arsitektur tropis dalam lingkungan
vernakular, meskipun dalam kondisi termal
lingkungannya yang ekstrim, kenyamanan termal
masih dapat ditetapkan. Penentuan kenyamanan
termal ini didasari oleh bentuk adaptasi manusia
sebagai penghuni dan arsitektur sebagai
huniannya. Dalam kondisi yang berbeda konteks
lingkungannya,
zona
kenyamanan
akan
mengalami
pergeseran
sesuai
karakter
penghuni/pemakai bangunan, baik fisik maupun
nonfisik (sosial dan budaya).
Menurut Brager dan De Dear (2001), bentuk
adaptasi lingkungan fisik untuk mencapai
kenyamanan dipengaruhi oleh faktor kontekstual,
sejarah, dan preferensi (pilihan hidup). Adaptasi
arsitektur terhadap lingkungan seperti daerah
tropis dapat diterapkan dengan seleksi material
dan pembentukan bayangan oleh elemen
bangunan (Senanayake, 2002). Bentuk adaptasi
dengan pembayangan juga ditentukan kondisi
lingkungan. Permukaan lingkungan yang padat
(kota) dapat memanfaatkan kondisi bangunan
sekitarnya untuk saling membayangi, sebaliknya
di daerah desa, faktor vegetasi sebagai
pembentuk pembayangan lingkungan akan lebih
efektif.
cenderung dingin dan akan menuntut proses
penghangatan pasif pada kondisi tertentu.
Perbedaan kondisi lingkungan juga akan
memberikan pengaruh pada nilai kenyamanan
termal (Gambar 1. dan 2.). Perbedaan
0
temperatur rata-rata lingkungan sebesar 2 C
akan menggeser nilai temperatur netralnya
0
sebesar ± 1 C. Formulasi ini akan teratur pada
kondisi bangunan dengan penyejukan pasif.
Brager dan de Dear (2001) menunjukkan dalam
0
rentang kenyamanan dalam bangunan 6 C,
setiap perbedaan temperatur dari lingkungannya
sebesar 50C akan mengakibatkan pergeseran
0
rentang kenyamanan ± 2 C.
Gambar 1. Perbedaan Temperatur Lingkungan dan
Kenyamanan Termal
(Sumber: Humphreys dan Nicol, 2000)
3.2 Variasi dalam Perbedaan Altitude
Altitude dalam konteks ini menunjuk pada
ketinggian dari permukaan laut (geographical
altitude). Perbedaan altitude tidak hanya
menyebabkan terjadinya perubahan karena
perbedaaan lokasi atau translokasi, namun lebih
kepada transformasi yaitu perubahan bentuk fisik
lingkungan secara fisik akan berpengaruh pada
iklim local dan pola hidup secara sosial budaya.
3.2.1 Variasi Fisik
Perbedaan ketinggian dari permukaan laut
(geographical altitude) akan memberikan variasi
pada nilai radiasi matahari. Kondisi ini juga
dipengaruhi sudut ketinggian matahari (solar
altitude). Semakin tinggi geographical altitude
dan solar altitude akan menyebabkan semakin
tinggi juga nilai radiasinya (Oki dan Shiina, 2003).
Secara fisik, bangunan seperti juga rumah tinggal
pedesaan di dataran tinggi akan memiliki
permasalahan radiasi yang lebih tinggi daripada
dataran rendah dan pesisir dalam kondisi solar
altitude yang sama.
Korelasi temperatur dan lokasi ketinggian dari
permukaan laut (altitude) dalam teori Houbolt
(Mangunwijaya, 1994) menunjukkan bahwa pada
0
daerah di bawah garis lintang 60 , setiap
kenaikan 100m akan terjadi penurunan sebesar
0,570C. Dalam penelitian lain, Biber (2003)
menunjukkan perbedaan 500m altitude akan
0
berakibat perbedaan temperatur sebesar 3.25 C.
Hal ini menggambarkan bahwa bangunan
(termasuk rumah tinggal pedesaan) di lokasi
pesisir akan mengalami kondisi temperatur yang
paling tinggi dan penyejukan pasif paling
ditekankan dalam kinerja termal. Sebaliknya,
pada dataran tinggi kondisi temperatur akan
Gambar 2. Pergeseran Rentang Kenyamanan
(Sumber: Brager dan de Dear, 2001)
Angin merupakan elemen iklim yang berubah
karena perbedaan kekasaran permukaan.
Karena perbedaan altitude, topografi lingkungan
berubah karena adanya perbedaan jenis
permukaan. Pada studi imej pedesaan, tipologi
permukaan berupa rural atau yang lebih rendah
kekasarannya. Perbedaan yang terjadi adalah
variasi permukaan karena kepadatan dan jenis
vegetasi bukan bangunan. Henderson dan
Harper (2003) menggambarkan kekasaran
permukaan pada daerah dengan altitude lebih
rendah akan memiliki kecepatan angin yang lebih
tinggi karena daerahnya lebih berongga seperti
daerah pantai terbuka. Perbedaan ini juga
ditunjukkan oleh Biber (2003), daerah dengan
altitude lebih tinggi memiliki tekanan udara lebih
kecil. Tekanan udara pada daerah pesisir yang
lebih tinggi memberi peluang untuk penyejukan
pada bangunan dalam lingkungan yang relatif
lebih panas dari daerah di atasnya. Daerah
dataran tinggi tidak banyak membutuhkan angin
untuk mencapai kenyamanan termal karena
kondisi lingkungannya yang cenderung dingin.
Seminar Nasional Pascasarjana IX – ITS, Surabaya 12 Agustus 2009
ISBN No.
Brooks dan Huff (2006) melakukan percobaan
balon udara untuk mengukur efek altitude
terhadap kelembaban relatif. Secara umum
hasilnya menunjukkan bahwa semakin tinggi
altitude akan meningkatkan nilai kelembaban
relatif karena rasio air terhadap udara semakin
tinggi. Namun, dalam kondisi tertentu akan terjadi
penyimpangan karena pengaruh dari kondisi
awan.
Awan
dapat
meningkatkan
nilai
kelembaban karena mampu mengubah udara
menjadi air (pengembunan). Kondisi ini pula akan
berpengaruh pada presipitasi atau curah hujan.
Secara
umum,
kondisi
altitude
tidak
menggambarkan secara signifikan perbedaan
curah hujan. Namun, karena pengaruh angin
kurang kuat dan tekanan udara lebih kecil,
daerah dataran tinggi akan cenderung memiliki
curah hujan lebih tinggi.
Variasi kelembaban udara karena altitude juga
dipengaruhi oleh perbedaan tekanan atmosfer
setiap lokasi geografis. Semakin tinggi lokasi dari
permukaan laut, maka semakin rendah tekanan
atmosfer. Tekanan atmosfer (atmospheric
pressure) ini akan bernilai konstan pada altitude
di atas 917m (Krüger, 2001). Kelembaban udara
berbanding terbalik dengan tekanan udara. Jadi,
seperti yang ditunjukkan oleh percobaan Brooks
dan Huff (2006), dapat digambarkan juga bahwa
semakin tinggi altitude, maka semakin tinggi pula
kelembaban udara (absolut maupun relatif).
3.2.2 Variasi Sosial Budaya
Dalam arti yang lebih luas, transformasi
mencakup bukan saja perubahan pada bentuk
luar, namun juga pada hakikat atau sifat dasar,
fungsi,
dan
struktur
atau
karakteristik
perekonomian suatu masyarakat. Perubahan ini
menunjukkan
bagaimana
rumah
tinggal
pedesaan hadir dalam budaya masyarakat
tradisional. Kemiripan bentuk arsitektural dari
perbedaan
altitude
yang
terjadi
sangat
dimungkinkan karena rumah tinggal dibentuk
akibat faktor-faktor di atas, bukan oleh pengaruh
lingkungan
fisik
seperti
faktor
klimatik.
Transformasi sosial budaya dapat digambarkan
oleh transformasi pertanian di pedesaan, yaitu
sebagai perubahan bentuk, ciri, struktur, dan
kemampuan sistem pertanian atau bentuk
kegiatan
ekonomi
lain
yang
dapat
menggairahkan,
menumbuhkan,
mengembangkan,
dan
menyehatkan
perekonomian masyarakat pedesaan.
Dalam konteks kinerja termal bangunan,
transformasi sosial budaya karena perbedaan
altitude dapat diindikasikan oleh perbedaan pola
hidup (perbedaan mata pencaharian) yang
berpengaruh pada pola hunian. Pola hunian ini
akan menjelaskan variasi pemakaian bangunan
(jam aktif bangunan) yang selanjutnya akan
berpengaruh pada aspek-aspek sebagai berikut:
1. Waktu
pemakaian
bangunan
(waktu
diperhitungkan untuk kenyamanan termal).
2. Penjadwalan bukaan, pemakaian bangunan
akan berpengaruh pada waktu bukaan dibuka
atau ditutup (secara langsung berimbas pada
nilai pertukaran udara oleh ventilasi).
3. Internal heat gain, panas yang dihasilkan oleh
aktivitas yang menjadi bagian pola hidup
pemakai bangunan.
Perubahan pola hidup ini dapat juga dijadikan
pedoman untuk menelusuri kemampuan adaptasi
pemakai bangunan (behavior adaptation) sebagai
bentuk physiological adaptation to climate atau
aklimatisasi.
4. Pembahasan Hasil
Berdasarkan studi lapangan seperti dalam
pembahasan sebelumnya, ada tiga bagian pokok
yang membedakan varian rumah tinggal
pedesaan, yaitu:
1. Dimensi kulit bangunan yang ditunjukkan oleh
keberadaan atau ketidakberadaan bangunan
tambahan (Pekiwan).
2. Bukaan yang ditandai dengan variasi jumlah
bukaan utama (satu atau tiga buah pintu).
3. Material kulit bangunan, memiliki variasi pada
dinding, bukaan, dan atap.
4.1 Dimensi Kulit Bangunan
Perbedaan volume bangunan mengindikasikan
perbedaan luas lantai. ASHRAE standard 62.22003 menunjukkan bahwa bangunan rumah
tinggal berlantai rendah seperti rumah tinggal
pedesaan memiliki variasi kebutuhan pertukaran
udara (ACH). Pada kondisi jumlah ruang tidur
yang sama, luas lantai bangunan akan
berbanding terbalik dengan fungsi tertentu
dengan ACH (Gambar 3.). Jadi, rumah tinggal
pedesan yang memiliki lantai lebih luas (dengan
Pekiwan) akan membutuhkan ACH lebih kecil
pada kondisi jumlah kamar tidur yang sama.
Untuk meningkatkan aliran udara dalam
bangunan, maka volume bangunan akan
diterapkan lebih kecil. Hal ini berarti bahwa dalam
kondisi lingkungan (altitude), bentuk, dan
orientasi bangunan yang sama, nilai volume
bangunan akan berbanding terbalik dengan aliran
dan pertukaran udara. Proporsi bangunan
berperan dalam menentukan aliran panas ke
dalam bangunan melalui kulit. Secara optimal
untuk daerah tropis lembab, proporsi bangunan
berkisar pada interval 1:1 dan 1:2 (Vechaphutti,
2001).
Rumah tinggal pedesaan dengan Pekiwan
memiliki volume bangunan yang lebih besar
tentunya dibanding tanpa Pekiwan. Dalam lokasi
altitude yang sama, baik pada lokasi dataran
tinggi, dataran rendah, maupun pesisir, nilai
kecepatan
angin
dalam
bangunan
dan
pertukaran udara akan lebih optimal pada objek
rumah tinggal pedesaan tanpa Pekiwan. Secara
teoritik, dapat diprediksikan bahwa kondisi
lingkungan yang cenderung lebih panas seperti
pesisir akan lebih membutuhkan rancangan
rumah tinggal pedesaan yang memiliki kecepatan
angin internal lebih tinggi seperti pada rumah
tanpa Pekiwan tersebut. Sebaliknya, di dataran
tinggi yang memiliki temperatur luar yang
cenderung dingin, rumah tinggal akan merespon
lingkungan dengan meminimalisasi aliran udara
dingin ke bangunan, khususnya pada jam-jam
terdingin.
Seminar Nasional Pascasarjana IX – ITS, Surabaya 12 Agustus 2009
ISBN No.
4.2 Bukaan
Selain proporsi bangunan, faktor penting yang
mempengaruhi pemasukan panas melalui kulit
bangunan adalah rasio jendela sebagai bukaan
terhadap dinding atau WWR = window to wall
ratio. Variasi ini akan berpengaruh pada pola
ventilasi yang berperan pada keluaran nilai
pertukaran udara dan kecepatan angin dalam
bangunan. Pada bangunan di daerah tropis
lembab, luasan bukaan pada kulit bangunan
direkomendasikan berkisar antara 10% - 20%
dari luas lantai bangunan (Urasa, 1998). Kondisi
ini akan lebih baik apabila terdapat bukaan yang
luas antar ruang dalam bangunan. Hal ini
dimaksudkan untuk memberikan aliran udara
yang cukup dari lingkungan ke dalam bangunan
secara merata. Dengan demikian dapat
meningkatkan nilai pertukaran udara bangunan.
Gambar 3. Standard Kebutuhan Pertukaran Udara
(Sumber: Sherman, ASHRAE standard 62.2-2003)
Gambar 5. Hasil Simulasi pada Optimasi Luas Bukaan
untuk Ventilasi Hunian Tradisional
(Sumber: Santosa, 2001)
Gambar 4. Geometri Bangunan dan Degree-Hours
(Sumber: Pessenlehner and Mahdavi, 2003)
Volume bangunan ditentukan juga oleh bentuk
geometri atau morfologinya. Stadard penilainnya
dapat
ditentukan
dengan
nilai
Relative
Compactness (RC). Pessenlehner and Mahdavi
(2003) menunjukkan bahwa nilai RC berbanding
lurus dengan Degree-Hours (overheating). Hal ini
berarti semakin menyatu atau compact bentuk
bangunan, maka akan semakin panas kondisi
ruang di dalamnya (Gambar 4.). Sebaliknya, bila
bentuk bangunan menyebar atau banyak lipatan
pada kulitnya, maka akan terbentuk bayangan
yang dapat menurunkan temperatur dalam
bangunan. Rumah tinggal pedesaan merupakan
bentuk bangunan yang tunggal dan compact.
Desain bangunan seperti ini akan mudah
menerima panas karena dimensi kulitnya yang
besar dan terjadi pembentukan bayangan yang
minimum pada kulitnya. Kondisi ini dapat
dimanipulasi dengan penataan tapak. Rumah
tinggal pedesaaan di daerah dataran tinggi
memiliki peluang dalam kinerja termal dengan
morfologi tapak ini karena lingkungannya yang
cenderung dingin.
Perbedaan jumlah bukaan pada rumah tinggal
pedesaan (seperti dalam perbedaan 3 bukaan
dan 1 bukaan utama rumah tinggal pedesaan)
akan sangat berpengaruh pada kinerja termal
bangunan (Gambar 5.). Santosa (2001)
mengilustrasikan bahwa dalam hunian tradisional
kampung, luasan bukaan berbanding terbalik
dengan nilai temperatur. Di daerah tropis dengan
lokasi dataran tinggi, lingkungan cenderung
dingin. Bangunan akan merespon lingkungan
dengan
meminimalisasi
bukaan
untuk
mengurangi kondisi underheating. Di lokasi ini,
bangunan akan cenderung mengalami durasi
kenyamanan lebih tinggi pada kondisi bulan
terpanas daripada terdingin.
Adaptasi bangunan terhadap iklim tidak dapat
hanya ditentukan oleh elemen bangunan saja,
tetapi
juga
mempertimbangjkan
masalah
operation
mode.
Operation
mode
ini
menggambarkan pola hidup penguni yang
menentukan kondisi elemen bangunan, seperti
bukaan. Hal yang khusus pada konteks ini adalah
penjadwalan bukaan.
Seminar Nasional Pascasarjana IX – ITS, Surabaya 12 Agustus 2009
ISBN No.
Tabel 1. Sistim Ventilasi (Penjadwalan Bukaan) Rumah
Tinggal Pedesaan
Penjadwalan Bukaan
Dataran
Dataran
Pesisir
Tinggi
Rendah
P
J
P
J
P
J
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
1
1
1
0
0
1
1
1
1
0
0
0
1
0
0
1
1
0
1
0
0
1
1
0
1
0
0
1
1
0
1
0
0
1
1
0
1
0
0
1
1
1
1
0
0
0
1
1
1
0
0
0
1
0
1
0
0
0
1
0
1
1
1
0
1
0
1
1
1
0
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
0
0
0
0
1
1
0
0
0
0
1
1
0
0
0
0
1
1
Waktu
01.00
02.00
03.00
04.00
05.00
06.00
07.00
08.00
09.00
10.00
11.00
12.00
13.00
14.00
15.00
16.00
17.00
18.00
19.00
20.00
21.00
22.00
23.00
24.00
Keterangan:
1 = Terbuka; 0 = Tertutup
Tidak Dihuni (Jam Tidak Aktif atau Pasif)
Dihuni (Jam Aktif )
P Pintu
J
Jendela
13
12
12
11 11 11 11
PE RTUKARAN UDARA/JAM
11
10
9 9
8
8
7
7
7 7
7 7
6
BULAN TERPANAS
5
5
4
Min
3
1
0
14
13
1 1 11 1 1 11 1 1
1 1 11 1 1
0 0 00 0 0 00
1
2 3
0 0 00 0 0
4 5
6
7
9 10 11 12 13 14 15131613 17 18 19 20 21 22 23 24
8
12 12
WAKTU
12
11
10
9
11 11
10
11
10 10
9
10
9
9
8
8
7
6
BULAN TERDINGIN
6
6
6
BULAN TERPANAS
5
4
3
2
Min
1 00 00 00 00
0
11 1 2 3 4 5
10
00 0 0 00 0 0 00 0 0 0 0 00
6
7
8
0 0 00 0 0
9 10 11
10 12
10 13 14 15 16 17
10 18 19 20 21 22 23 24
W AKTU
9
9 9
9
P E RT UK AR AN UD AR A/JAM
BULAN TERDINGIN
6 6
6
2
P E RT UK AR AN UD AR A/JAM
9
9
8
8
7
7
6
7
6
5
8
7
7
6
6
6
5
5
BULAN TERDINGIN
BULAN TERPANAS
5
4
4
33
3
3
3
3
2
2
1
8
7
6
6
Min
2
11 1
11
00 00 00 00 00 00
0
1
2
3
4
5
6
7
8
Dari studi observasi lapangan dapat ditunjukkan
bahwa ketiga lokasi yang dibedakan oleh
ketinggian permukaan memiliki fenomena
spesifik yang berbeda dalam pola penghunian.
Perbedaan kondisi ekonomi menyebabkan
perbedaan perilaku yang juga akan berpengaruh
pada sistim ventilasi. Tabel 1. menggambarkan
sisitim ventilasi (penjadwalan bukaan) pada
rumah tinggal pedesaan dalam rata-rata 24 jam.
Pada dataran tinggi, rumah dihuni pada jam
00.00 - 06.00, 12.00 - 13.00, dan 17.00 - 21.00.
Kondisi ini identik dengan penjadwalan
pembukaan pintu, sedang jendela dibiarkan
terbuka pada jam 05.00 - 21.00. Di daerah
dataran rendah, penduduk beraktivitas pada jam
07.00 - 14.00, oleh karena itu bangunan akan
berperan aktif pada jam 00.00 - 06.00 dan 15.00 24.00. Bukaan, baik pintu maupun jendela
berfungsi sama (terbuka) pada jam 05.00 - 06.00
dan 15.00 - 21.00. Dari deskrispsi sistim ventilasi
kedua lokasi dataran tersebut dapat ditunjukkan
bahwa pada jam 22.00 - 04.00 akan rentan
dengan rendahnya nilai pertukaran udara pada
jam pakai atau aktif bangunan. Pada lokasi di
daerah pesisir, pola hidup sebagai nelayan
sedikit berbalik dengan kedua lokasi di atas.
Bangunan dipakai pada jam 07.00 - 24.00
dengan pembukaan pintu pada jam 07.00 - 11.00
dan jendela pada jam 07.00 - 24.00. Pada lokasi
ini kondisi kritis terhadap rendahnya nilai
pertukaran udara secara alami dapat dihindari
karena penjadwalan penutupan bukaan terjadi
pada jam tidak aktif (bangunan tidak terpakai)
yaitu pada jam 01.00 - 06.00.
Standard minimum pertukaran udara untuk
rumah tinggal adalah 4 kali/jam (Szokolay, 1987).
Dari hasil Simulasi AIOLOS, pertukaran udara
dalam 24 jam ditunjukkan oleh Gambar 6. Variasi
nilai sangat dipengaruhi oleh pola bukaan dan
signifikan pada bulan-bulan tertentu. Pada
dataran rendah dan pesisir, bulan terpanas
cenderung memiliki nilai yang lebih tinggi dari
bulan terdingin, sedang pada lokasi dataran
tinggi bulan terdingin cenderung lebih tinggi
nilainya dari bulan terpanas.
9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24
W AKTU
Gambar 6. Pertukaran Udara oleh Perbedaan Altitude
4.3 Material
Dalam kinerja termal, bangunan tradisional
memiliki potensi untuk dimodifikasi lebih baik.
Dalam studi faktor kenyamaman dan kenikmatan
bangunan, arsitektur tradisional memiliki struktur
dan konstruksi ringan, dengan dinding bambu
dan atap rumbia atau genteng serta proteksi
radiasi dengan sosoran.
Material tradisional merupakan bahan pelepas
panas bukan penyimpan panas. Karakater
dinding ventilasi ini akan menyimpan seperempat
panas dibanding dinding masif seperti pada tipe
bangunan kolonial, di mana perbedaaan
temperatur siang dan malam sekitar 8ºC.
Temperatur ruangan dalam bangunan tradisional
dapat lebih baik dari tipe rumah lain,
pengangkatan seluruh rumah di atas tanah akan
mengurangi beban panas dari dalam tanah
karena mendayagunakan angin lebih banyak
sebagai ventilasi dibanding tipe kolonial maupun
modern.
Seminar Nasional Pascasarjana IX – ITS, Surabaya 12 Agustus 2009
ISBN No.
Konstruksi ringan tradisional akan memberikan
periode kenyamanan lebih lama dibanding
konstruksi berat pada bangunan kolonial ataupun
modern. Hal spesifik dari tipologi material
bangunan adalah material ringan seperti dalam
bangunan tradisonal akan rentan panas pada
siang hari namun akan lebih dingin pada malam
sampai pagi hari (Gambar 7.). Hal sebaliknya
pada dinding berat, karena memiliki kemampuan
menahan dan menyimpan panas yang lebih
tinggi, pada malam hari akan rentan dengan
pemanasan dalam bangunan namun cukup
mampu menahan panas pada siang hari.
banyak. Kondisi tapak yang menyatu akan
memberikan peneduhan yang baik untuk
bangunan dan mengurangi penetrasi angin
dingin terutama pada malam hari.
2. Volume bangunan yang lebih kecil di daerah
tropis akan mengurangi luasan penampang
(perimeter) sistem konstruksi kulit bangunan
yang terekspos terhadap matahari. Kondisi ini
tepat untuk daerah yang cenderung panas
seperti di pesisir dan dataran rendah.
3. Luas bukaan sebagai elemen kulit yang lebih
besar di daerah panas di banding di daerah
yang lebih dingin, akan memberikan peluang
angin sebagai alat penyejuk pasif bangunan.
4. Material
ringan
di
daerah
panas
memungkinkan panas cepat masuk ke dalam
bangunan pada siang hari, namun juga akan
cepat dilepas ke lingkungan. Sebaliknya di
daerah dingin memerlukan material yang
cenderung berat karena untuk menahan
panas pada siang hari dan diperlukan untuk
pengghangatan pasif pada malam hari ketika
lingkungan cenderung dingin karena time lag
yang panjang.
Gambar 7. Profil Perbandingan Kenyamanan Termal
(Sumber: Santosa, 2003)
Berdasarkan uraian dalam pembahasan di atas
dan seperti ilustrasi dalam Gambar 8., beberapa
hal dapat dipaparkan sebagai konsep spesifik
kinerja termal rumah tinggal tropis sebagai
berikut:
1. Bentuk tapak akan cenderung menyebar
untuk lingkungan tropis yang panas,
sebaliknya akan menyatu untuk lingkungan
yang relatif lebih dingin seperti di daerah
dataran tinggi. Kondisi yang menyebar di
daerah
pesisir/dataran
rendah
akan
memberikan akses untuk ventilasi lebih
Compact (Menyatu)
Menyebar
Besar
Kecil
Kecil
Besar
Berat
Ringan
Bentuk Tapak
Dingin
Dataran Rendah/
Pesisir
Panas
Volume
Bangunan
Luas Bukaan
5. Kesimpulan
Dataran Tinggi
Material
Dalam kaitannya dengan adaptasi bangunan
tropis terhadap iklim, di dataran tinggi kulit
bangunan cenderung optimal dengan material
berkonstruksi berat seperti dinding bata. Hal ini
terjadi karena kulit bangunan merespon
lingkungan yang cenderung nyaman pada siang
hari dengan menahan panas, kemudian dapat
disimpan untuk pemanasan pasif pada malam
hari yang cenderung dingin (time lag = 3 jam). Di
daerah dataran rendah maupun di pesisir,
material kulit bangunan cenderung ringan.
Santosa et al. (2006) menunjukkan bahwa dalam
merespon lingkungan yang panas sepanjang
hari, material yang cepat memasukkan panas
panas siang hari (time lag = 1 jam) akan cepat
pula melepas panas. Indikasi kemampuan
menahan panas oleh material berat (tlag besar)
ditunjukkan oleh perbedaan yang signifikan
antara
temperatur
bangunannya
dengan
temperatur lingkungannya.
Gambar 8. Spesifikasi Rumah Tinggal Tropis
Seminar Nasional Pascasarjana IX – ITS, Surabaya 12 Agustus 2009
ISBN No.
6. Pustaka
Biber, C., (2003). Air Density as a Function of
Altitude and Temperature. Electronics
Coolingzone News, September 2003.
London.
Brager, G. S. dan R. de Dear, R., (2001).
Climate, Comfort, & Natural Ventilation: A
new adaptive comfort standard for ASHRAE
Standard 55. Center for Environmental
Design Research. University of California,
Berkeley.
Brooks, C., dan Huff, I., (2006). The Effect of
Altitude on Relative Humidity. University of
Wyoming,
College
of
Engineering,
Department
of
Atmospheric
Science
Research.
Goulart, S., (2004). Thermal Inertia and Natural
Ventilation – Optimisation of Thermal
Storage as a Cooling Technique for
Residential Buildings in Southern Brazil.
Architectural
Association
School
of
Architecture. Brazil.
Henderson, D., dan Harper, B., (2003). Climate
Change and Tropical Cyclone Impact on
Coastal
Communities’
Vulneralibity.
Queensland State Government’ Department
of Natural Resources and Mines and the
Department of Emergency Services, CTS
Report TS582.
Humphreys, M.A. dan Nicol, J.F., (2000). Outdoor
temperature and indoor thermal comfort:
raising the precision of the relationship for
the 1998 ASHRAE database of field studies.
ASHRAE Transactions 206(2), pp 485-492.
Krüger, E., (2001). Estimation of Relative
Humidity for Thermal Comfort Assessment.
th
The 7 International IBPSA Conference, Rio
de Janeiro-Brazil, August 13-15.
Mangunwijaya Y.B., (1994). Pengantar Fisika
Bangunan. Djambatan. Jakarta.
Oki , M. dan Shiina, H., (2003). Preliminary Study
on an Estimation Method for Annual Solar
Irradiance at Various Geographial Altutudes.
The 8th International IBPSA Conference,
Eindhoven-Netherlands, August 11-14.
Pessenlehner, W. and Mahdavi, A., (2003).
Building Morphology, Transparence, and
th
Energy Performance. The 8 International
IBPSA Conference, Eindhoven-Netherlands,
August 11-14.
Rapoport, A., (1969). House Form and Culture.
Englewood Cliffs. Prentice Hall. New Jersey.
Santosa, M., (2001). Harmoni di Lingkungan
Tropis Lembab: Keberhasilan Bangunan
Kolonial. Jurnal Dimensi Teknik Arsitektur,
Jurusan Teknik Arsitektur, Fakultas Teknik
Sipil dan Perencanaan - Universitas Kristen
Petra, Vol. 29, No. 1, pp 34-42.
Santosa, M., (2003). Totalitas Arsitektur Tropis.
Orasi Pengukuhan Guru Besar ITS.
Surabaya.
Santosa, M., Antaryama, I G.N., Noerwasito,
V.T., Srilestari, R.N., Santoso, B.H., dan
Samodra,
F.X.T.B.S.,
(2006).
Sistim
Pendinginan Pasip (Passive Cooling) pada
Bangunan di Daerah Tropis untuk Upaya
Pembangunan yang Berkelanjutan. Laporan
Tahun II Hibah Penelitian Tim Pascasarjana
(HPTP). Direktorat Pembinaan Penelitian
dan
Pengadian
Kepada
Masyarakat,
Direktorat Pendidikan Tinggi Departemen
Pendidikan Nasional. Jakarta.
Senanayake, N. (2002). Small Dwellings and
Comfort. Architecture. Energy & Environment
2002. HDM – Housing Development and
Management. Lund University, Sweden.
Sherman, M. ASHRAE’s First Residential
Ventilation Standard. ASHRAE-American
Society of Heating, Refrigerating and Air
Conditioning Engineers standard, (2003).
Transactions no. 62.2-2003: 3.
Szokolay, S.V., (1987). Thermal Design of
Buildings.
RAIA
Education
Division.
Canberra.
Urasa, (1998). Passive Cooling and Daylight in
Hot-humid Climates. The Association of
Energy Engineers publications, pp 17-1 – 1712.
Xie, M., Zhang, G., dan Xu, F., (2006). Ecological
Technologies of a Chinese Traditional Folk
House in Hot-Summer and Cold-Winter
Zone. ICEBO2006, Shenzhen, China.
Renewable Energy Resources and a
Greener Future, Vol.VIII-4-5.
Yimprayoon, C., (2003). Indoor Thermal
Performance
of
Various
Building
Components in Tropical Climate Baan UaArthorn
Low-cos
Housing
Project.
Architecture. Energy & Environment 2003
HDM. Lund.
Download