Perekaman Visual Profil Tanah dan Objek Mikroskop dengan Menggunakan Teknologi Fotografi PRASETYO DIBYO RAHARJO A14060899 PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA LAHAN DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012 Perekaman Visual Profil Tanah dan Objek Mikroskop dengan Menggunakan Teknologi Fotografi Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pertanian di Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor Oleh PRASETYO DIBYO RAHARJO A14060899 PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA LAHAN DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012 RINGKASAN PRASETYO DIBYO RAHARJO. Perekaman Visual Profil Tanah dan Objek Mikroskop dengan Menggunakan Teknologi Fotografi. Di bawah bimbingan BASUKI SUMAWINATA dan DARMAWAN. Morfologi tanah merupakan penciri tanah yang sangat penting terkait proses pembentukan dan perkembangan tanah serta untuk identifikasi dan klasifikasi. Identifikasi morfologi tanah melalui pengamatan profil tanah perlu didukung dengan rekaman visual menggunakan kamera dalam rangka dokumentasi dan komunikasi data serta untuk diskusi yang terkait. Perkembangan teknologi fotografi yang sangat pesat memungkinkan untuk melakukan perekaman visual profil tanah dengan sangat baik. Kecanggihan teknologi ini juga dapat dimanfaatkan untuk pemotretan objek mikroskop pada pengamatan mikroskop. Penelitian ini dilakukan dalam rangka mengetahui cara terbaik pemotretan profil tanah dan pemotretan objek mikroskop. Pemotretan profil dilakukan pada dua kondisi, kondisi pertama pada lubang profil tanah dengan tanpa naungan dan kondisi kedua pada lubang profil tanah dengan naungan (kelapa sawit). Pemotretan objek mikroskop dilakukan dengan memotret objek mikroskop berupa fauna tanah dan mineral pada bidang pandang mikroskop. Pemotretan menggunakan kamera DSLR (Digital Single Lens Reflex) karena jenis kamera ini yang lebih cocok dibandingkan jenis kamera yang lainnya. Pemotretan pada lubang profil tanah pada kondisi tanpa naungan didasarkan pada tiga kualitas cahaya matahari, yaitu: cahaya terik/keras, cahaya lembut, dan cahaya menyebar. Setiap kualitas cahaya tersebut dapat dilihat dari pembentukan bayangan yang terjadi pada suatu objek. Pemotretan pada lubang profil dengan kondisi di bawah naungan hanya didasarkan pada dua kualitas cahaya, yaitu: cahaya terik dan cahaya lembut atau menyebar pada kondisi cuaca sedang mendung. Penggunaan gray card diperlukan dalam memotret profil tanah agar memperlihatkan white balance yang sesuai kondisi. Hasil penelitian menunjukan bahwa, profil tanpa naungan memiliki hasil yang terbaik saat kondisi cahaya menyebar. Kondisi ini didapat saat langit berawan. Cahaya pada kondisi mendung menyebar secara sempurna. Kondisi yang terbaik untuk memotret profil tanah dengan naungan adalah ketika berawan karena cahaya ketika berawan cenderung homogen. Pemotretan objek mikro berupa fauna tanah dan mineral tanah melalui mikroskop tidak memiliki banyak kendala dibandingkan dengan pemotretan dengan objek profil tanah. Hal ini karena pengaturan cahaya mudah dilakukan SUMMARY PRASETYO DIBYO RAHARJO. Visual Recording of Soil Profile and Microscope Object using Photographic Technology. Under Supervision of BASUKI SUMAWINATA and DARMAWAN. Soil morphology is a very important diagnostic characteristic in relation to formation and development of soil as well as for identification and classification. Identification of soil morphology by soil profile description need to be supported by visual record using camera for documentation and data communication as well as for related discussions. Advanced development of photographic technology make good visual recording of soil profile is possible. This sophisticated technology can also be used to shoot objects on the microscope. This research about visual recording of soil aimed to get best technique for takingphotograph of soil profile and microscope objects. Shooting the soil profile was done at two conditions, the first condition was that the soil profile with no shade and the second condition was that the soil profile is shaded by palm oil trees. Shooting of the microscopic object was performed to mineral and soil fauna in the field of microscope view. All shootings were done using a DSLR camera (Digital Single Lens Reflex) because this type of cameras is more suitable than the other types of cameras. Shooting of the soil profile without shade was carried out based on three conditions of light quality, i.e. bright light, soft light, and spreaded light. Each of the quality of light can be seen from the formation of shadows that occur onthe object. Shooting the profile with shade conditions was based on two qualities of lightonly, i.e. bright and spreadedsoft light of cloudy weather. The use of gray card is required in order to capture the soil profile showing the appropriate white balance conditions. The result shows that soil profile without shade had the best results at diffuse light condition. This condition is obtained when the sky is cloudy. At cloudy condition the light spread perfectly. The best result for soil profile with shade (palm oil) is at cloudy condition because at cloudy condition the light be homogeneous light. Shooting objects of micro soil fauna and soil mineral under a microscope does not have a lot of constraints as compared to shooting the soil profile because camera setting with respect to lighting is easy to handle. LEMBAR PENGESAHAN Judul Penelitian : Perekaman Visual Profil Tanah dan Objek Mikroskop dengan Menggunakan Teknologi Fotografi Nama Mahasiswa : Prasetyo Dibyo Raharjo NRP : A14060899 Mayor : Manajemen Sumberdaya Lahan Departemen : Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan Disetujui : Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II Dr. Ir. Basuki Sumawinata, M.Agr 19570610 198130 1 003 Dr. Ir. Darmawan, MSc 19631103 199002 1 001 Mengetahui, Ketua Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan Dr. Ir. Syaiful Anwar, M.Sc 19621113 198703 1 003 Tanggal Lulus: RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Maospati, Jawa Timur pada tanggal 15 Agustus 1987. Penulis adalah putra tunggal dari Bapak Wachid Sardono dan almarhumah Ibu Sriyati. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar pada tahun 2000 di SD Negeri Sukamaju 3 Depok, Jawa Barat. Kemudian pada tahun 2003 menyelesaikan studi di SLTP Perintis Depok, Jawa Barat. Selanjutnya, penulis melanjutkan pendidikan di SMA Negeri 2 Depok, Jawa Barat dan lulus pada tahun 2006. Pada tahun yang sama, penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Mahasiswa IPB). Pada tahun 2007 penulis diterima di Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, pada mayor Manajemen Sumberdaya Lahan. KATA PENGANTAR Puji syukur kepada Allah SWT yang telah memberi karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi. Skripsi yang berjudul “Perekaman Visual Profil Tanah dan Objek Mikroskop Menggunakan Teknologi Fotografi” ini merupakan salah satu syarat untuk mendapatkan gelar sarjana di Program Studi Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada: 1. Dr. Ir. Basuki Sumawinata, M.Agr selaku pembimbing pertama skripsi yang telah membimbing, memberikan ide penelitian, memberikan arahan dalam penelitian, penyelesaian skripsi dan membagi pengalaman hidup yang bermanfaat bagi penulis. 2. Dr. Ir. Darmawan, M.Sc selaku pembimbing kedua skripsi, yang telah membimbing, mengarahkan dalam penelitian, penulisan skripsi dan penyelesaian skripsi. 3. Kepada seluruh keluarga atas segala dukungan, kesabaran, dan kasih sayang yang diberikan hingga sekarang. 4. Teman – teman satu bimbingan atas kebersamaan, motivasi, dan pengertiannya. 5. Semua pihak yang telah banyak membantu menulis selama penelitian dan penyelesaian skripsi yang tidak dapat disebutkan satu – persatu. Ucapan ini mungkin tidak dapat membalas semua yang telah penulis dapatkan, semoga Allah SWT yang akan membalasnya. Penulis berharap tulisan ini dapat bermanfaat bagi pihak yang membacanya. DAFTAR ISI DAFTAR ISI............................................................................................................ i DAFTAR GAMBAR .............................................................................................. ii I. PENDAHULUAN ................................................................................................1 1.1. Latar Belakang ..............................................................................................1 1.2. Tujuan............................................................................................................2 II. TINJAUAN PUSTAKA......................................................................................3 2.1. Profil Tanah ...................................................................................................3 2.2. Karakteristik Latosol .....................................................................................4 2.3 Teknik Fotografi.............................................................................................4 2.3.1. ISO ..........................................................................................................4 2.3.2. Aperture/Diafragma ................................................................................5 2.3.3. Shutter Speed/Kecepatan Rana ...............................................................5 2.3.4. White Balance .........................................................................................6 2.3.5. Gray Card ...............................................................................................7 2.3.6. Metering (Mengukur Cahaya) ................................................................8 2.4. Mikroskop .....................................................................................................8 III. BAHAN DAN METODE ................................................................................10 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian .....................................................................10 3.2. Alat dan Bahan ............................................................................................10 3.3. Metode Penelitian........................................................................................10 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN .......................................................................12 4.1. Pemotretan Profil Tanah..............................................................................12 4.1.1. Kondisi Profil Tanah Tanpa Naungan ..................................................12 4.1.2. Kondisi Profil Tanah di Bawah Naungan .............................................19 4.2. Jarak Pemotretan Profil Tanah ....................................................................23 4.3. Aperture/Diafragma kamera........................................................................23 4.4. Pemotretan Objek Mikroskop .....................................................................24 V. KESIMPULAN DAN SARAN.........................................................................29 5.1. Kesimpulan..................................................................................................29 5.2. Saran ............................................................................................................29 DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................30 i DAFTAR GAMBAR 1. Aperture/diafragma, diagram aperture dari setiap nilai .................................5 2. Nilai white balance pada berbagai kondisi cahaya.........................................7 3. Penempatan lensa pada lubang pandang mikroskop dan dapat disambungkan ke laptop........................................................................................................11 4. Foto profil tanah pada kondisi cahaya keras/terik tanpa naungan ( A gambar profil tanah sebelum dikalibrasi white balance dengan gray card dan B gambar profil tanah setelah dikalibrasi dengan gray card) ..........................14 5. Foto profil tanah pada kondisi cahaya lembut tanpa naungan ( A gambar profil tanah sebelum dikalibrasi white balance dengan gray card dan B gambar profil tanah setelah dikalibrasi dengan gray card) ..........................16 6. Foto profil tanah pada kondisi cahaya menyebar tanpa naungan ( A gambar profil tanah sebelum dikalibrasi white balance dengan gray card dan B gambar profil tanah setelah dikalibrasi dengan gray card) ..........................18 7. Foto profil tanah pada kondisi cahaya keras/terik di bawah naungan ( A foto profil tanah sebelum dikalibrasi white balance dengan gray card dan B foto profil tanah setelah dikalibrasi dengan gray card) .......................................20 8. Foto profil tanah pada kondisi lembut atau menyebar di bawah naungan ( A foto profil tanah sebelum dikalibrasi white balance dengan gray card dan B foto profil tanah setelah dikalibrasi dengan gray card)................................22 9. Foto mineral Augit yang difoto dengan tepat melalui mikroskop (objek difoto dengan perbesaran 10X).....................................................................26 10. Foto mineral Augit difoto dengan penempatan lensa yang kurang tepat (objek difoto dengan perbesaran 10X) .........................................................26 11. Foto fauna tanah (Acari) tanpa pengubahan filter (objek difoto dengan perbesaran 4X)..............................................................................................27 12. Foto fauna tanah (Acari) dengan pengubahan filter (objek difoto dengan perbesaran 4X)..............................................................................................27 13. Foto mineral plagioklas yang difoto dengan filter cross nikol perbesaran 10X) ..............................................................................................................28 14. Foto mineral plagioklas yang difoto dengan filter cross nikol .....................28 ii I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Morfologi tanah merupakan cabang dari ilmu tanah atau pedologi. Morfologi tanah mempelajari susunan dan sifat – sifat horizon serta gejala – gejala lain dalam profil tanah yang dapat menunjukan ciri – ciri khas dari suatu jenis tanah. Berdasarkan ciri – ciri yang didapat dari morfologi maka suatu jenis tanah dapat diklasifikasikan. Klasifikasi ini dapat digunakan untuk inventarisasi sumberdaya lahan untuk berbagai tujuan, seperti: menaksir sifat tanah dan produktivitasnya, menentukan lokasi penelitian, dan menentukan kualitas lahan. Morfologi tanah ditentukan secara deskriptif di lapang melalui pengamatan profil tanah. Data morfologi tanah yang terekam dalam deskripsi profil tanah akan lebih mudah dipahami oleh sesama peneliti atau pengguna data morfologi tanah jika didukung perekaman visual profil tanah melalui pemotretan. Penggunaan kamera untuk memotret profil tanah dalam menentukan morfologi suatu tanah tidak terlepas dari kemajuan fotografi digital yang lebih baik dibandingkan fotografi analog (film). Fotografi digital memiliki banyak keunggulan dibandingkan fotografi analog, seperti: dapat dilihat langsung (instan) hasil setelah pemotretan, hasil foto dengan kualitas yang lebih baik, dan dapat langsung menyempurnakan hasil foto. Jenis kamera yang berbasis digital ini dikenal sebagai DSLR, yaitu singkatan dari Digital Single Lens Reflex. Penggunaan kamera ini memungkinkan teknik pemotretan dilakukan dengan prinsip trial and error secara lebih leluasa oleh pengguna kamera non profesional sekalipun. Beberapa prinsip dasar pengambilan foto profil tanah dalam berbagai kondisi cuaca atau cahaya perlu dipelajari sehingga prinsip dasar ini dapat dipelajari oleh surveyor dan pelaku ilmu tanah lainnya. Selain untuk perekaman visual morfologi tanah kamera DSLR dapat dimanfaatkan untuk memotret objek mikroskop. Selama ini pemotret objek mikroskop menggunakan mikroskop khusus yang menggunakan kamera. Kamera yang digunakan memiliki kualitas lebih rendah dibandingkan kamera DSLR. Harga mikroskop yang menggunakan kamera lebih mahal jika dibandingkan harga kamera DSLR. 1 1.2 Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kendala dalam memotret suatu profil tanah dan objek mikro melalui lubang pandang mikroskop serta untuk mempelajari cara – cara terbaik pengambilan foto profil tanah dan objek pada mikroskop sehingga didapatkan gambar profil tanah dan objek mikroskop yang sesuai dengan kondisi yang sama seperti yang dilihat mata dan profil tanah dideskripsikan di lapang. 2 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Profil Tanah Profil tanah atau penampang tanah digunakan untuk mempelajari sifat – sifat morfologi tanah. Pembuatan profil tanah hendaknya dibuat pada tempat representatif dari seluruh cakupan wilayah yang dipelajari. Profil tanah dibuat dengan cara menggali tanah dengan ukuran tertentu dengan persyaratan lokasi tertentu. Selain dari profil tanah, pengamatan tanah dapat dilakukan pada singkapan tanah dipinggir jalan atau bekas galian tanah. Sebelum dilakukan pengamatan, singkapan atau galian tanah yang telah lama perlu dilakukan penyegaran terlebih dahulu dengan mengupas sekitar 10 sampai 25 cm pada permukaan penampang. Pengamatan tanah harus dilakukan pada penampang tanah yang segar. Profil tanah yang sesuai untuk studi genesis dan klasifikasi tanah adalah profil yang dibuat pada tempat alami yang belum dirusak oleh aktivitas manusia. Untuk menghindari hal – hal yang tidak alami, profil tanah hendaknya: 1. Jauh dari jalan besar atau saluran air untuk menghindari adanya bekas urugan atau galian saat pembuatan jalan atau saluran air. 2. Bukan bekas jalan setapak, timbunan tanah, bekas bangunan, tempat pembuangan sampah, dan sebagainya. Untuk menghindari pemadatan artifisial. 3. Tidak terlalu dekat dengan pohon yang besar karena perakaran pohon dapat menyulitkan pembuatan profil tanah. Pengamatan yang teliti perlu dilakukan untuk meyakinkan bahwa lokasi tersebut benar – benar alami. Ciri – ciri tanah yang sudah terganggu adalah sebagai berikut: 1. Horisonisasi tanah sudah tidak teratur, lapisan gelap dan lapisan – lapisan lainnya sudah terbalik – balik. 2. Ditemukannya artefak seperti bongkahan arang, bekas pembakaran, ada benda – benda asing seperti: pecahan batu bata, pecahan kaca, pecahan genting, dan sebagainya (Suwardi dan Hidayat, 2000). 3 2.2 Karakteristik Latosol Di Indonesia, Latosol umumnya berada pada ketinggian 0 – 900 meter di atas permukaan laut, di sekeliling kipas volkan dan kerucut volkan. Area Latosol umumnya beriklim tropikal dan basah, curah hujan antara 2500 mm sampai 7000 mm (Dudal dan Soepraptohardjo, 1957). Di daerah Bogor, Latosol dapat dijumpai di daerah Darmaga, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Daerah Darmaga memiliki ketinggian 220 meter di atas permukaan laut (mdpl) dan memiliki curah hujan 3552 mm/tahun. Latosol coklat kemerahan Darmaga Bogor termasuk ke dalam order Inceptisols menurut sistem klasifikasi USDA, terletak pada zona fisiografi Bogor bagian barat, dengan bahan induk vulkanik kuarter berasal dari Gunung Salak (Yogaswara, 1977). Latosol merupakan kelompok tanah yang mengalami proses pencucian dan pelapukan lanjut, perbedaan horizon tidak jelas, dengan kandungan mineral primer dan hara rendah, pH rendah 4.5 - 5.5, kandungan bahan organiknya relatif rendah, konsistensinya lemah dan stabilitas agregatnya tinggi, terjadi akumulasi seskuioksida dan pencucian silika. Warna tanah merah, coklat kemerah – merahan atau kekuning – kuningan atau kuning tergantung dari komposisi bahan induk, umur tanah, iklim dan elevasi (Dudal dan Soepraptohardjo, 1957). Latosol memiliki dengan batas – batas horizon yang kabur, solum dalam (lebih dari 150 cm), kejenuhan basa kurang dari 50%, umumnya mempunyai epipedon umbrik dan horizon kambik (Hardjowigeno, 2003). Batasan untuk membedakan Latosol adalah berdasarkan warna horizon B seperti Latosol merah, Latosol kekuningan, Latosol kekuningan, Latosol coklat (Subardja dan Buurman, 1990). Kapasitas tukar kation tanah Latosol tergolong rendah, hal ini disebabkan oleh kadar bahan organik yang kurang dan sebagian lagi oleh sifat liat hidro – oksida. Latosol juga mempunyai kandungan basa – basa yang dapat dipertukarkan dan hara yang tersedianya rendah (Soepraptohardjo dan Suhardjo, 1978). 2.3 Teknik Fotografi 2.3.1 ISO ISO adalah ukuran kepekaan sensor kamera (digital) dalam menangkap cahaya. Semakin tinggi nilai ISO, semakin peka sensor kamera sehingga foto 4 yang dihasilkan menjadi terang (bila pengaturan lainnya tidak berubah) (Tjin, 2011). Namun, semakin tinggi ISO maka grain/noise semakin terlihat pada foto. 2.3.2 Aperture/Diafragma Dalam bidang fotografi, bukaan (en: f-number, focal ratio, f-ratio, relative aperture) adalah bilangan yang menunjukkan korelasi panjang fokus lensa terhadap diafragma. Pada semua lensa (tidak tergantung dari panjang fokus lensa tersebut), akan meneruskan intensitas cahaya yang sama. Sebagai contoh, lensa dengan panjang fokus 100mm, pada pengaturan diafragma 4 (nilai F/4), mempunyai arti bahwa diafragma pada lensa tersebut sedang terbuka dengan diameter diafragma 25mm. Biasanya dilambangkan dengan huruf F. Nilai diafragma umumnya merupakan urutan F/1, F/1.2, F/1.4, F/2, F/2.8, F/4, F/5.6, F/8, F/11, F/16, dan seterusnya (Anonim (a), 2012). Semakin besar angka diafragma, berarti semakin kecil diameter lubang diafragma di bagian dalam lensa. Besarnya diameter terbukanya diafragma akan membuat cahaya yang masuk menjadi lebih banyak, sehingga paparan cahaya bertambah dan akibatnya tingkat kecerahan foto bertambah, demikian pula sebaliknya. Pengaruh lain dari bukaan adalah terjadinya perbedaan ruang ketajaman. Angka bukaan yang kecil menyebabkan ruang ketajaman memiliki jarak yang sempit. Sebaliknya angka bukaan yang kecil akan menyebabkan ruang ketajaman luas (Freeman, 2004). Gambar 1. Aperture/diafragma, diagram aperture dari setiap nilai. 2.3.3 Shutter Speed/Kecepatan Rana Shutter speed atau kecepatan rana dalam kamera adalah menunjukan waktu yang diperlukan cahaya untuk terekam pada sensor kamera atau film. Kecepatan rana dan aperture/bukaan diafragma menentukan seberapa banyak 5 cahaya yang dapat terekam pada sensor atau film. Ukuran shutter speed/kecepatan rana biasa diberi nilai 1/1000s, 1/500s, 1/250s, 1/125s, 1/60s, 1/30s, 1/15s, 1/8s, 1/4s, 1/2s, 1s. Kecepatan rana dibagi menjadi dua macam berdasarkan lama kecepatan rana terbuka. Pertama adalah fast shutter speeds (kecepatan rana cepat) adalah kecepatan rana yang cukup cepat saat terbuka hingga tertutup yang terjadi dalam sepersekian detik. Kecepatan rana yang cepat dapat menjadikan gambar yang bergerak membeku secara tidak alami. Kecepatan rana cepat juga mengurangi efek shake (guncangan) terhadap gambar yang menjadikan gambar menjadi buram. Kedua adalah slow shutter speeds (kecepatan rana lambat), kecepatan rana ini memiliki waktu yang lama dalam membuka rana hingga rana tertutup. Hal ini memungkinkan objek terekam dalam waktu yang lama. Kecepatan rana yang lambat dapat membuat gambar terekam dalam jangka waktu lama sehingga gambar yang dihasilkan memiliki efek blur (buram) (Anonim (b), 2012). 2.3.4 White Balance Setiap kamera digital memiliki pengaturan white balance. White balance pada kamera digital membantu memastikan obyek yang seharusnya berwarna putih tetap berwarna putih pada hasil akhir gambar. Perbedaan sumber cahaya akan mengakibatkan warna yang seharusnya putih menjadi berbeda. Misalnya cahaya lilin menciptakan cahaya jingga, sementara senja memberikan nuansa kebiruan dan dingin. Mata manusia mampu mengkompensasi terhadap perubahan berbagai cahaya sehingga warna putih akan tetap berwarna putih pada kondisi cahaya lilin maupun kondisi cahaya senja. Sementara kamera digital mengalami kesulitan secara otomatis mengkompensasi hal tersebut (Anonim (c), 2012). White balance diukur dengan satuan suhu yaitu kelvin (K). Semua kamera digital biasanya telah memiliki fungsi auto white balance (AWB) yang akan secara otomatis mengukur suhu cahaya yang ada dan menyamakannya dengan kamera. Selain itu juga, ada opsi – opsi white balance lainnya di kamera seperti: Daylight, Shade, Cloudy, Tungsten, dan White Fluorescent Light (dapat dibaca di masing – masing buku panduan tiap kamera karena setiap merk dan tipe kamera berbeda – beda). Setiap white balance opsional tersebut memiliki suhu yang berbeda – beda (Tjin, 2011). 6 Saat auto white balance atau opsi – opsi white balance lainnya gagal, ada cara yang lebih akurat dalam menentukan white balance. Caranya adalah dengan menentukan custom white balance. Cara ini tidak terlalu praktis, namun membantu dalam menentukan hasil yang akurat. Gambar 2. Nilai white balance pada berbagai kondisi cahaya 2.3.5 Gray Card Gray card (kartu abu – abu) merupakan kartu yang digunakan sebagai acuan dalam mengkoreksi eksposur atau warna secara konsisten pada fotografi. Bentuk dari gray card bisa berupa kertas maupun plastik. Sebagai contoh, Kodak R-27 yang terdiri dari gray card dengan ukuran 8x10” (2 buah) dan 4x5” (1 buah). Selain untuk mengkoreksi eksposur, gray card digunakan dapat digunakan mengkoreksi White Balance (Anonim (d), 2012). Penggunaan gray card sebagai white balance dapat dilakukan baik sebelum maupun sesudah pemotretan. Sebagian besar jenis kamera digital, apalagi jenis DSLR (Digital Single Lens Reflex) memiliki fitur custom white balance. Gambar dari gray card diambil kemudian digunakan sebagai custom white balance. Untuk penggunaan sesudah pemotretan, gambar dari gray card digunakan sebagai acuan white balance. Hal ini harus menggunakan perangkat lunak (software), piksel dari gambar gray card digunakan sebagai dasar white balance dari gambar yang diinginkan (Anonim (e), 2012). 7 2.3.6 Metering (Mengukur Cahaya) Kamera mengukur cahaya dan mengatur eksposur yang optimal dengan mengukur cahaya yang dipantulkan oleh subjek, kemudian merata – ratakannya dengan fungsi algoritma tertentu (reflective light meter). Kamera digital saat ini melakukan metering berdasarkan kecepatan rana, ISO, dan aperture/diafragma. Berikut merupakan beberapa pilihan metering pada kamera: Evaluative/Matrix/Multi-Zone Metering Metering ini mempertimbangkan, menghitung, dan merata – ratakan intensitas cahaya dari seluruh pemandangan yang akan dipotret. Mode ini cukup akurat bila digunakan pada pemandangan dengan kondisi cahaya yang sama rata dan untuk banyak kondisi cahaya. Kelemahan mode ini saat adanya perbedaan intensitas cahaya yang kontras. Spot Metering Kamera hanya mengukur sebagian kecil (sekitar 1 - 5%) dari pemandangan, dihitung dari mulai titik fokus. Spot metering digunakan saat pencahayaan kontras. Seperti saat di konser musik atau acara – acara kesenian yang latar belakangnya jauh lebih gelap dari objek yang dipotret. Center – Weighted dan Partial Metering Kamera menitikberatkan sebagian besar perhitungan cahaya di bagian tengah pemandangan. Mode ini cocok digunakan bila ada sebagian dari pemandangan yang terlalu terang atau terlalu gelap dibandingkan dengan subjek foto (Tjin, 2011). 2.4 Mikroskop Berdasarkan sumber iluminasi yang dipakai, dikenal dua kelompok utama mikroskop, yaitu mikroskop cahaya dan mikroskop elektron. Mikroskop cahaya menggunakan gelombang cahaya sebagai sumber iluminasinya; tergolong ke dalamnya adalah mikroskop medan terang (brightfield), medan gelap (dark field), kontras fase (phase contrast), dan pendar fluor (fluorescence). Di pihak lain, 8 mikroskop elektron menggunakan elektron untuk iluminasinya. Ada dua macam mikroskop elektron, yaitu tipe transmisi dan tipe payar (scanning) (Hadioetomo, 1993). Pada penelitian mikroskop yang digunakan adalah mikroskop cahaya. Mikroskop cahaya atau dikenal juga dengan nama Compound light microscope adalah sebuah mikroskop yang menggunakan cahaya lampu sebagai pengganti cahaya matahari sebagaimana yang digunakan pada mikroskop konvensional. Pada mikroskop konvensional, sumber cahaya masih berasal dari sinar matahari yang dipantulkan dengan suatu cermin datar ataupun cekung yang terdapat di bawah kondensor. Cermin ini akan mengarahkan cahaya dari luar ke dalam kondensor. Mikroskop cahaya mempunyai perbesaran maksimum 1000 kali. Mikroskop mempunyai kaki yang berat dan kokoh dengan tujuan agar dapat berdiri dengan stabil. Mikroskop cahaya memiliki tiga sistem lensa, yaitu lensa obyektif, lensa okuler, dan kondensor. Lensa obyektif dan lensa okuler terletak pada kedua ujung tabung mikroskop. Lensa okuler pada mikroskop bisa berbentuk lensa tunggal (monokuler) atau ganda (binokuler). Pada ujung bawah mikroskop terdapat tempat dudukan lensa obyektif yang bisa dipasangi tiga lensa atau lebih. Di bawah tabung mikroskop terdapat meja mikroskop yang merupakan tempat preparat. Sistem lensa yang ketiga adalah kondensor. Kondensor berperan untuk menerangi obyek dan lensa-lensa mikroskop yang lain. Contoh sehari – hari menggambarkan masalah utama mikroskop cahaya. Ketika digunakan dalam biologi sel modern, kluster padat ribuan sel menghamburkan cahaya sehingga kuat bahwa sel-sel yang terletak di belakang sebuah objek tidak dapat dilihat. Meskipun lebih dikenal dari fiksi ilmiah, konsep diri merekonstruksi sinar laser menawarkan solusi yang menjanjikan untuk masalah ini (Anonim (f), 2012). 9 III. BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Pelaksanaan penelitian dilakukan sejak bulan November 2011 hingga Mei 2012. Pemotretan profil tanah dilakukan di Kebun Percobaan Cikabayan dan pemotretan objek mikroskop di Laboratorium Pengembangan Sumberdaya Fisik Lahan, Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. 3.2 Alat dan Bahan Peralatan yang digunakan meliputi: Kamera DSLR Canon 40D, Lensa EFS 18 – 55 mm F/3.5 – 5.6 (pemotretan profil), Lensa EF 50mm F/1.8 (pemotretan mikroskop), tripod, mikroskop (Olympus BX50), cangkul, pisau, Munsell Soil Chart, bak ukur, dan gray card (Kartu Abu – Abu). Bahan yang digunakan untuk pemotretan objek mikro: fauna tanah yaitu Acari dan mineral fraksi pasir yaitu Augit yang diperoleh dari contoh tanah pasir yang berasal dari Cimangkok, Cianjur, Jawa Barat. 3.3 Metode Penelitian Pemotretan profil tanah, dilakukan pada dua kondisi yang berbeda. Kondisi yang pertama profil dipotret pada kondisi tanpa naungan. Cahaya pada kondisi tanpa naungan memiliki cahaya alami (matahari) yang melimpah. Cahaya alami dibagi menjadi tiga kualitas, yaitu: kondisi matahari terik (cahaya keras), berawan (cahaya lembut), dan cuaca mendung atau sangat berawan (cahaya menyebar). Berdasarkan tiga kualitas cahaya yang berbeda akan dapat dilihat perbedaan seberapa baik cahaya yang terpapar pada bagian profil tanah yang diamati. Kondisi yang kedua ialah pemotretan profil dengan kondisi di bawah naungan (tegakan kelapa sawit). Hal ini dimaksudkan untuk melihat perbedaan hasil dari pemotretan tanpa naungan dengan yang ada naungan. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan sebelum melakukan pemotretan di bawah naungan dibagi lagi atas keadaan: terik (cahaya keras) dan mendung (cahaya lembut atau menyebar). 10 Pengaturan kamera pada pemotretan profil tanah dilakukan dengan dua tipe pengaturan. Pertama kamera diatur dalam posisi auto dan yang kedua kamera diatur agar dapat mendapatkan hasil yang maksimal sehingga didapat hasil foto yang lebih baik. Lensa yang digunakan adalah lensa standar, yaitu 18 – 55 mm. Pemotretan objek mikroskop dilakukan di dalam ruangan (laboratorium). Cahaya yang digunakan berasal langsung dari mikroskop. Seluruh pengaturan cahaya dilakukan dari mikroskop langsung. Mikroskop yang digunakan (Olympus BX50) dapat diatur kekuatan intensitas cahayanya dan memiliki beberapa filter yang digunakan. Filter yang terdapat pada mikroskop terdiri dari LBD, ND6, dan ND25. Perbesaran yang digunakan sebesar 4X/0.10P dan 10X/0.25P. Pemotretan dilakukan untuk merekam secara visual apa yang dilihat di bidang pandang mikroskop sesuai dengan yang dilihat mata. Kamera diatur pada diafragma terbesar karena objek berada pada jarak yang sempit. Pengaturan fokus sendiri dilakukan dari kamera dan mikroskop. Kamera diatur pada posisi paling dekat ke lensa. Sedangkan pengaturan fokus pada mikroskop dapat diatur disesuaikan agar objek dapat terlihat jelas. Lensa yang digunakan berbeda dengan yang digunakan pada pemotretan profil, lensa pada pemotretan objek mikroskop menggunakan lensa 50 mm. Kamera pada saat pemotretan objek mikroskop dihubungkan melalui komputer agar lebih mudah dalam pengamatan. Pada Gambar 3 dapat dilihat bagaimana penempatan lensa ke lubang pandang mikroskop dan kamera dapat disambungkan ke laptop. Gambar 3: Penempatan lensa pada lubang pandang mikroskop dan dapat disambungkan ke laptop 11 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan Wahyuningtyas (2011) jenis tanah di Kebun Percobaan Cikabayan merupakan Latosol. Tanah ini memiliki ciri – ciri batas horizon yang samar, warna 7.5YR,4/4 (brown), remah sampai gumpal, dan gembur, memiliki tekstur, dan terdapat distribusi kadar liat tinggi. 4.1 Pemotretan Profil Tanah 4.1.1 Kondisi Profil Tanah Tanpa Naungan Kondisi tanpa naungan mendapatkan cahaya matahari yang melimpah dibandingkan dengan naungan. Cahaya matahari ini memiliki kualitas cahaya yang berbeda – beda berdasarkan intensitasnya. Kualitas cahaya matahari dapat bersifat keras, lembut, dan menyebar. Kualitas cahaya dapat terlihat dari pembentukan bayangan pada suatu objek yang terkena sinar matahari. 4.1.1.1 Kondisi Cahaya Terik/Keras Hasil pemotretan profil tanah pada kondisi cahaya keras/terik disajikan pada Gambar 4. Gambar 4A merupakan profil tanah yang dipotret dengan program auto. Program ini membiarkan kamera yang memilih pengaturan sendiri tanpa ada campur tangan dari pengguna. Gambar 4B merupakan gambar dari hasil pengaturan kamera yang dilakukan oleh pengguna. Gambar ini berbeda dengan Gambar 4A karena memakai custom white balance dengan menggunakan gray card. Cahaya yang keras pada kondisi alami terbentuk ketika cahaya matahari bersinar tanpa adanya penutupan awan. Contohnya adalah cahaya matahari pada terik siang hari saat langit tidak berawan. Dari Gambar 4A hasil pemotretan pada cahaya terik, dapat dilihat bahwa cahaya terik/keras itu mengakibatkan timbulnya flare (pijar lensa) atau ghosting dan terjadi perbedaan kontras sinar yang terpapar (gelap-terang yang jelas). Efek dari cahaya keras ini memang lebih mudah terlihat dibandingkan dengan dua kondisi cahaya yang lain. Begitu juga pada Gambar 4B yang telah dirubah white balance dengan gray card masih terdapat ghosting. Ghosting pada Gambar 4A dan Gambar 4B terjadi akibat sinar yang terlalu besar intensitasnya masuk ke dalam lensa, namun tidak terlalu terlihat seperti 12 flare. Ghosting terlihat seperti kabut putih atau seperti hantu yang berwarna putih. Hal ini dapat terlihat pada bagian bawah profil di atas. Cara yang dilakukan agar mengurangi efek lens flare (pijar lensa) atau ghosting adalah tidak memotret dengan sinar matahari menyinari langsung atau terpantul langsung dari arah matahari. Cara lain yang biasa dilakukan dengan menggunakan lens hood (tudung lensa). Selain itu, kualitas lensa yang lebih baik juga bisa mengurangi efek lens flare (pijar lensa) atau ghosting. 13 A B Gambar 4: Foto profil tanah pada kondisi cahaya keras/terik tanpa naungan ( A foto profil tanah sebelum dikalibrasi white balance dengan gray card dan B foto profil tanah setelah dikalibrasi dengan gray card). 14 4.1.1.2 Kondisi Cahaya Lembut Hasil pemotretan profil tanah kondisi cahaya lembut disajikan pada Gambar 5. Gambar 5A merupakan gambar dengan program auto dari kamera. Area pada kanan bagian bawah terlihat sedikit gelap karena penyebaran cahaya yang kurang merata. Gambar 5B pada area kanan bagian bawah menjadi lebih sedikit terlihat karena white balance telah dikalibrasi sehingga warna tanah asli dan kamera menjadikan bagian yang gelap pada Gambar 5A menjadi lebih sedikit terang dibandingkan sebelumnya. Pemotretan pada kondisi cahaya lembut tidak terlalu menyulitkan dibandingkan kondisi cahaya keras (terik). Cahaya lembut masih tergolong kondisi cahaya yang cocok untuk dilakukan pemotretan terhadap lubang profil. Hasil penelitian pada kondisi cahaya lembut terbentuk dari sumber cahaya yang relatif besar. Sumber cahaya ini tidak langsung meradiasikan sinarnya langsung kepada objek tapi sinar tersebut dibiaskan oleh medium tertentu. Sebagai contoh cahaya matahari yang tertutup awan yang menyelubungi bumi. Jarak awan yang relatif dekat dengan bumi akan memberikan sinar yang telah dibiaskan dari matahari sehingga cahaya yang terbentuk menjadi lembut. Bayangan yang terjadi pada kondisi cahaya yang demikian memiliki intensitas yang lebih rendah dibandingkan kondisi cahaya keras. Kondisi cahaya lembut masih terdapat kekurangan, pada bagian bawah kanan masih terlihat adanya daerah gelap (shadow) seperti yang terlihat pada Gambar 5A. Area ini masih kurang terpapar sinar matahari secara merata. Hal ini dapat diatasi dengan penggunaan reflektor agar dapat memantulkan sedikit cahaya pada area yang gelap sehingga mendapat cahaya yang cukup. 15 A B Gambar 5: Foto profil tanah pada kondisi cahaya lembut tanpa naungan ( A foto profil tanah sebelum dikalibrasi white balance dengan gray card dan B foto profil tanah setelah dikalibrasi dengan gray card) 16 4.1.1.3 Kondisi Cahaya Menyebar Hasil pemotretan profil tanah kondisi cahaya menyebar disajikan pada Gambar 6. Gambar 6A pada posisi kamera pada program auto, tanah terlihat pada kondisi apa yang dibaca kamera tanpa mengetahui warna sebenarnya dari tanah. Penggunaan gray card sebagai custom white balance akan membuat kamera mengetahui warna sebenarnya dari tanah. Hal ini terlihat pada Gambar 6B. Cahaya yang menyebar terjadi karena sumber cahaya yang menjadi sangat besar, jauh lebih besar dari subjek foto. Di lapang, cahaya yang menyebar itu bisa ditemukan ketika cuaca sangat mendung atau sangat berawan. Hal ini disebabkan sumber cahaya, yaitu cahaya matahari disaring oleh awan. Ukuran awan yang relatif besar mengakibatkan cahaya akan terdistribusi secara merata menerangi semua bayangan yang ada. 17 A B Gambar 6: Foto profil tanah pada kondisi cahaya menyebar ( A foto profil tanah sebelum dikalibrasi white balance dengan gray card dan B foto profil tanah setelah dikalibrasi dengan gray card). 18 4.1.2 Kondisi Profil Tanah di Bawah Naungan Kondisi pemotretan profil yang lain dilakukan pada profil tanah berada pada naungan, yaitu naungan kelapa sawit. Pemotretan profil tanah pada naungan kelapa sawit di areal kebun percobaan Cikabayan. Pemotretan profil dalam kondisi naungan memiliki kendala pada kebutuhan cahaya alami (matahari). Cahaya alami tidak menyinari sepenuhnya karena terhalang oleh dedaunan. Hasil pemotretan profil tanah kondisi terik di bawah naungan disajikan pada Gambar 7. Saat kondisi cahaya matahari bersinar terik tanpa adanya penutupan awan, cahaya matahari menembus melalui dedaunan. Saat cahaya matahari menembus dedaunan, cahaya tidak seluruhnya menyinari lubang profil. Cahaya yang sebagian menembus dedaunan menyebabkan wilayah yang mendapat cahaya matahari mengalami clipping. Clipping merupakan hilangnya detail suatu wilayah pada foto yang dikarenakan cahaya yang berlebihan (overexposed) atau cahaya yang memiliki intensitas yang sangat rendah (underexposed). Hal ini terlihat dari Gambar 7A yang kurang terkena cahaya sehingga detail profil tanahnya tidak terlalu terlihat. Gambar 7A bagian yang gelap tidak terlalu terlihat dibandingkan gambar 7B. Gambar 7B bagian tanah yang gelap yang dilakukan custom white balance dengan gray card sehingga menjadi terlihat dibandingkan Gambar 7A. 19 A B Gambar 7:Foto profil tanah pada kondisi cahaya keras/terik di bawah naungan ( A foto profil tanah sebelum dikalibrasi white balance dengan gray card dan B foto profil tanah setelah dikalibrasi dengan gray card) 20 Kondisi yang kedua adalah kondisi saat cahaya matahari tertutup oleh awan (mendung). Hasil pemotretan profil tanah kondisi mendung disajikan pada Gambar 8. Penutupan awan di atmosfir sangat tinggi sehingga cahaya matahari menyebar secara merata dan intensitasnya menjadi berkurang. Kamera tidak begitu mengalami kesulitan dalam melakukan metering cahaya yang mengenai profil tanah. Walaupun pada kondisi mendung namun karena profil tanah berada di bawah naungan, cahaya yang dibutuhkan untuk menyinari masih kurang. Hal ini terlihat pada Gambar 8A dan 8B, bagian bawah profil tanah masih terlihat gelap. Gambar 8A merupakan gambar hasil dari program auto dan Gambar 8B hasil dari custom white balance yang telah dikalibrasi dengan gray card. 21 A B Gambar 8: Foto profil tanah pada kondisi lembut atau menyebar di bawah naungan ( A foto profil tanah sebelum dikalibrasi white balance dengan gray card dan B foto profil tanah setelah dikalibrasi dengan gray card) 22 4.2 Jarak Pemotretan Profil Tanah Jarak pemotretan ini berhubungan dengan kedalaman lubang profil dan focal length (jarak fokal) dari kamera. Dalam fotografi focal length menjelaskan jarak antara sensor atau film dari kamera dengan objek yang melalui lensa dalam satuan milimeter (mm). Jarak ini menentukan sudut pandang area akan yang ditangkap kamera. Jarak fokal kamera hanya menentukan ukuran gambar yang dibentuk oleh lensa, jarak tertentu akan menghasilkan gambar yang berbeda dengan jarak lainnya. Area yang tertangkap ini tergantung juga dari ukuran sensor (atau film). DSLR (Digital Single Lens Reflex) sekarang pada umumnya menggunakan sensor dengan format ukuran lebih kecil dari ukuran 35 mm (36 mm x 24 mm). Ukuran sensor kamera yang digunakan merupakan tipe APS-C (Advanced Photo System type-C) yang memiliki nilai crop factor 1,6X. Hal ini mengakibatkan adanya crop factor, crop factor ini menjadikan focal length kamera dikalikan dengan nilai crop factor yang dimiliki oleh sensor kamera. Misalnya kamera yang digunakan untuk penelitian ini memiliki nilai crop factor sebesar 1,6X, maka jika lensa yang digunakan memiliki focal length 18 – 55 mm akan menjadi 28.8 – 88 mm karena nilai focal length lensa dikali dengan nilai crop factor(18 x 1.6 = 28.8mm dan 55 x 1.6 = 88mm). Jadi, pada pemotretan dengan jarak 1,8 meter dengan lensa 18 – 55 mm dapat memotret kedalaman profil 1,6 meter. 4.3 Aperture/Diafragma kamera Modus pemotretan yang digunakan adalah modus Av maka hal yang diperlukan adalah hanya mengatur diafragma. Pada modus diafragma (Av) kecepatan rana akan otomatis menyesuaikan dengan pilihan diafragma yang digunakan. Pada setiap pemotretan pada cahaya yang berbeda menggunakan pengaturan diafragma yang sama disesuaikan dengan jarak ruang tajam yang dibutuhkan Jika belum bisa menentukan diafragma yang sesuai dengan ruang tajam yang diinginkan, di internet terdapat situs untuk menghitung ruang tajam. Situs yang dapat diakses untuk menghitung ruang tajam adalah http://www.dpreview.com/learn/?/Glossary/Optical/Depth_of_Field_01.htm. Nilai diafragama dapat dicoba satu – persatu agar mengetahui diafragma yang sesuai 23 dengan ruang tajam yang diinginkan. Berdasarkan perhitungan ruang tajam yang dilakukan di situs tersebut, didapatkan diafragma yang bernilai F/8 (jarak ruang tajam antara 1.187 – 1.870 meter) cocok untuk mendapatkan jarak ruang tajam 1,8 meter. 4.4 Pemotretan Objek Mikroskop Objek yang dilihat pada mikroskop perlu dipotret agar dapat terdokumentasi dengan baik. Mikroskop yang biasa digunakan untuk memotret obyek melalui mikroskop adalah mikroskop trinokular. Mikroskop ini memiliki lubang pengamatan berjumlah tiga. Dua lubang untuk mata pengamat dan satu lubang untuk kamera. Kamera ini dapat langsung dihubungkan ke layar monitor sehingga selain pengamat dapat melihat langsung objek seperti apa yang diamati. Namun, mikroskop ini memiliki harga yang mahal dan resolusi kamera rendah. Hasil pemotretan objek mikroskop disajikan pada Gambar 9 dan 10. Pemotretan objek pada mikroskop tidak mengalami kesulitan yang banyak dibandingkan memotret profil. Hal ini dikarenakan cahaya dari mikroskop dapat diatur sedemikian rupa sesuai dengan keinginan. Kendala pada pemotretan di mikroskop adalah pada posisi lensa dengan lubang pandang mikroskop. Posisi yang kurang tepat pada lubang pandang akan mengakibatkan kurang tepatnya objek yang dapat ditangkap dari lubang intip mikroskop dan mengganggu hasil pemotretan pada mikroskop. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 10. Penempatan yang tepat akan menghasilkan gambar yang lebih baik, seperti pada Gambar 9. Kamera DSLR pada saat ini bisa langsung terhubung dengan komputer langsung dengan menggunakan kabel yang tersedia saat membeli kamera. Hal ini dapat mempermudah pengamat dalam melihat objek pada mikroskop. Selain itu, dengan cara demikian dapat dijadikan sebagai bahan ajar saat perkuliahan dan praktikum yang berhubungan dengan mikroskop. Diafragma (aperture) kamera untuk pemotretan melalui mikroskop diatur pada diafragma maksimum (diafragma dengan nilai paling kecil). Hal ini dikarenakan ruang tajam pada mikroskop sangat pendek sehingga diafragma dengan nilai maksimum lebih tepat digunakan. Untuk mendapatkan fokus, gunakan fokus manual karena fokus otomatis kurang dapat bekerja baik pada 24 jarak sempit. Selain itu, fokus dapat diatur melalui pengaturan fokus pada mikroskop sendiri. Hasil pemotretan fauna tanah (Acari) disajikan pada Gambar 11 dan 12. Pada Gambar 11 Acari difotopada kondisi tanpa adanya pengubahan filter. Untuk memperjelas hasil gambar maka dilakukan maka dilakukan pengubahan filter sehingga gambar Acari menjadi lebih jelas yang dapat dilihat pada Gambar 12. Gambar 12 memperlihatkan dengan jelas bagian – bagian dari Acari. 25 Gambar 9: Foto mineral Augit yang difoto dengan tepat melalui mikroskop (objek difoto dengan perbesaran 10X). Gambar 10: Foto mineral Augit difoto dengan penempatan lensa yang kurang tepat (objek difoto dengan perbesaran 10X). 26 Gambar 11: Foto fauna tanah (Acari) tanpa pengubahan filter (objek difoto dengan perbesaran 4X) Gambar 12: Foto fauna tanah (Acari) dengan pengubahan filter (objek difoto dengan perbesaran 4X) 27 Gambar 13: Foto mineral plagioklas yang difoto dengan filter cross nikol perbesaran 10X). Gambar 14: Foto mineral plagioklas difoto dengan filter cross nikol 28 V.KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Dari penelitian yang telah dilakukan maka dapat diketahui bahwa pemotretan profil tanah pada kondisi terbuka tanpa naungan (lahan terbuka) harus melihat bagaimana kondisi cahaya matahari pada saat dilakukan pemotretan. Apabila kondisi cahaya matahari tidak sesuai dengan kondisi yang diinginkan maka diperlukan alat – alat pendukung sehingga kondisi cahaya yang dibutuhkan untuk memotret profil dapat dicapai. Pemotretan profil tanah pada kondisi dengan naungan (kelapa sawit) memiliki kelemahan dengan kebutuhan akan cahaya. Cahaya yang dibutuhkan untuk menyinari profil tanah tidak merata dan dengan intensitas yang kurang. Pemotretan objek mikro melalui mikroskop tidak memiliki banyak kendala, hanya kesulitan dalam menempatkan lensa dengan lubang pandang mikroskop. 5.2 Saran Disarankan untuk melakukan penelitian lebih lanjut tentang teknik pemotretan profil dengan peralatan yang lebih baik. Alat yang lebih baik akan menghasilkan kualitas foto yang lebih baik pula. Selain itu, jenis tanah untuk pemotretan profil juga ditambah agar dapat dilihat perbedaan yang signifikan dari setiap profil. 29 DAFTAR PUSTAKA Anonim (a). 2012. Depth of Field. http://www.dpreview.com/learn/?/Glossary/Optical/Depth_of_Field_01.htm . [15 Juni 2012]. Anonim (b). 2012. Shutter (photography). http://en.wikipedia.org/wiki/Shutter_(photography). [ 15 Juni 2012 ] Anonim (c). 2012, Juli. Memahami White Balance. Digital Camera Indonesia. Edisi 35. 46-48. Anonim (d). 2012. Gray Card. http://en.wikipedia.org/wiki/Gray_card. [15 Juni 2012]. Anonim (e). 2012. Gray Card Instructions. http://www.digitalartsphotography.com/instructions.htm. [15 Juni 2012] Anonim (f). 2012. Mikroskop. http://aguskrisnoblog.wordpress.com/2011/01/14/perkembanganmikroskop-sebagai-penemu-sejarah-mikrobiologi. [29 Agustus 2012] Dudal, R. dan M. Soepraptohardjo. 1957. Soil Classification in Indonesia. Pemberian Balai Besar Penyelidik Pertanian. Bogor. Freeman, Michael. 2004. Light & Lighting. London: Ilex. Hadioetomo, Ratna Siri. 1993.Teknik dan Prosedur Dasar Laboratorium. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta Hardjowigeno, S. 2003. Ilmu Tanah. Akademika Pressindo. Jakarta. Rachim, Djunaedi A. dan Suwardi. 2002. Morfologi dan Klasifikasi Tanah. Bogor: Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Subardja dan P. Buurman. 1990. A troposequence of latosol on volcanic rocks in the Bogor – Jakarta area. In red soil in Indonesia. Ed. P. Buurman. Soil Research Institute Bogor. Bogor. Suwardi dan Hidayat W. 2000. Penuntun Praktikum Morfologi dan Klasifikasi Tanah. Bogor: Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Tjin, Enche. 2011. Lighting itu Mudah!. Jakarta: Bukune. Wahyuningtyas, Anggraini Widdhi. 2011. Pengaruh Pupuk Organik Cair pada Produksi dan Serapan Hara Tanaman Caisim (Brassica juncea) Varietas Tosakan pada Latosol Darmaga.[skripsi]. Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan. Fakultas Pertanian. IPB. Yogaswara. 1977. Seri – Seri Tanah dari Tujuh Tempat di Jawa Barat. Departemen Ilmu-ilmu Tanah. Fakultas Pertanian. IPB. 30