Modul Filsafat Manusia [TM5]

advertisement
MODUL PERKULIAHAN
Filsafat Manusia
Intuisi dan Afektifitas
Fakultas
Program Studi
Psikologi
Psikologi
Tatap Muka
5
Kode MK
Disusun Oleh
MK10230
Ahmad Sabir, M.Phil.
Shely Cathrin M.Phil
Abstract
Kompetensi
Intuisi merupakan dimensi manusia
dalam kesadarannya subjektif yang
berkembang melalui rasa, sedang
sikap dan tindakan dalam intuisi
disebut afektifitas manusia
Mahasiswa dapat memahami Intuisi
sebagai kesadaran yang berkembang
melalui rasa dan afektifitas
INTUISI DAN AFEKTIFITAS
Intuisi dan Afektifitas
Suatu hari saya bertanya kepada mahasiswa apakah warna dan jenis musik yang
mereka senangi hingga dapat dinikmati oleh mereka. Masing-masing mahasiswa
memberikan jawaban yang berlain-lainan, ada yang senang dangdut, rock, klasik, pop, jazz,
hardcore, keroncong dll, bahkan di dalam beberapa yang senang dangdut misalnya juga
senang yang lainnya. Dan para mahasiswa kesulitan untuk menjelaskan kenapa mereka
menyukai salah satu jenis warna musik daripada yang lainnya, atau kenapa mereka lebih
suka satu jenis warna musik ketimbang yang lainnya. Bagi mereka kesenangan mereka
terhadap warna dan jenis musik tergantung dari suasana hatinya saat mendengarkan musik
tersebut.
Diluar soal musik, saya juga memiliki teman yang sulit bagi saya untuk memahami
jalan pikirnya. Suatu ketika, teman saya itu pernah curhat kepada saya bahwa dia tidak
menyukai seseorang katakanlah si’A’. Lalu saya bertanya apa alasannya tidak menyukai si
‘A’. Teman yang saya tanya ini sama sekali tidak memberikan jawaban yang bisa saya
terima. Teman saya itu cukup hanya berkata bahwa dia tidak suka aja tanpa alasan.
Pada kesempatan lain, lagi-lagi saya mendapati adanya sesuatu yang sulit untuk
saya mengerti hingga dapat dijelaskan. Seorang teman saya tidak jadi pergi ke Jogjakarta
untuk menghadiri suatu acara hanya dengan alasan firasat-nya yang tidak enak. Benar saja
keesokan harinya pada pagi hari terjadi kecelakaan pesawat di Jogjakarta yang
menewaskan beberapa orang. Dan kekhawatiran atas kecelakaan itu serta merta
membenarkan dan memperkuat ‘firasat’ yang dimilikinya itu. Mengenai ‘firasat’ ini sulit untuk
dimengerti dan dijelaskan, itu sebabnya kebanyakan pembicaraan tentang ‘firasat-firasat’ itu
biasanya dikemukakan setelah sesuatu terjadi.
Ketiga fenomena diatas, bukanlah sesuatu yang berada di-luar dunia dan diluar
manusia, melainkan melekat dan menjadi milik manusia di dunianya. Fenomena diatas
adalah fenomena tentang manusia, yang menunjukkan adanya dimensi manusia dalam
kesadarannya selain intelektualitasnya. Dimensi manusia dalam fenomena diatas berkaitan
juga dengan kesadaran intelektualitasnya, namun tidak sepenuhnya karena menunjukkan
adanya sesuatu diluar kesadaran yang sulit untuk diterima akal pikiran (rasio). Dimensi
manusia pada fenomena diatas menyangkut ‘rasa’ dan perasaan pada manusia yang sangat
subjektif sifatnya yang hanya dimiliki oleh masing-masing subjek manusia. Ketiga fenomena
diatas berawal dari rasa manusia yang mewujudkan dalam pikiran, sikap dan tindakan.
2014
2
Filsafat Manusia
Ahmad Sabir, M.Phil
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Sering sekali intelektualitas manusia kesulitan untuk menangkap isi dari penjelasan
tentang hal-hal yang berkaitan tentang rasa. Hal itu terjadi tidak hanya karena ‘rasa’
merupakan sesuatu yang sangat subjektif sifatnya yang hanya dimiliki oleh subjek yang
me’rasa’kan, melainkan juga karena rasa bukan sesuatu yang dapat bertambah dan dapat
penuh sebagaimana intelektualitas manusia sehingga dapat terperi dan dikontrol dalam
pikiran. ‘Rasa’ pada manusia tidak bertambah juga mencapai kepenuhan, melainkan
berubah-ubah dalam setiap kondisi dan situasi. Jika ‘intelektualitas’ di dorong dan diisi oleh
aktifitas untuk ‘mengerti’, maka ‘rasa’ di dorong dan diisi oleh aktifitas ‘mau’ yang
menunjukkan adanya kehendak pada manusia. Intelektualitas manusia letaknya di dalam
akal pikiran sedang ‘rasa’ tempatnya ada dihati. ‘Rasa’ pada manusia tidak berjalan linear,
melainkan penuh dengan patahan dan lompatan.
Rasa pada manusia juga ‘ada’ bukan tiba-tiba, melainkan sudah melekat pada
manusia dalam pengalaman hidupnya tanpa disadarinya. Dan rasa pada manusia ini juga
merupakan sumber ‘tahu’ pada manusia dalam referensi-referensi untuk menjalankan
kemungkinan hidupnya di dunia. Sumber pengetahuan yang muncul dari rasa ini sering
dikatakan sebagai intuisi pada manusia, sedang segala sikap dan tindakan yang muncul dari
intuisi ini disebut sebagai afektifitas manusia.
Landasan Intuisi dan Afektifitas Manusia
Manusia itu dalam suasana hatinya yang mendasar menjumpai kecemasan yang
berujung pada kejatuhannya (faktisitas) di dunia. Manusia sadar akan keterlemparannya di
dunia. Ia begitu saja hadir di dunia dan begitu saja ditakdirkan untuk meninggalkan dunia
baik cepat maupun lambat. Kecemasan manusia dalam dasar suasana hatinya ini, selalu
saja mengikuti kehidupannya dan selalu menuntut untuk diatasi. Dalam upaya mengatasi
inilah manusia selalu sudah jatuh dalam dunianya, secara faktis (jatuh) mengurusi dunianya,
larut dalam banalitas kesehariannya dengan segala struktur sosialitasnya di dunia.
Jalan keluar dari kejatuhan (faktisitas) manusia dalam dunianya itu tak lain dari
interpretasi diri, bahwa interpretasi merupakan kerja manusia yang telah jatuh di-dalamdunia. Dan interpretasi merupakan sesuatu yang sudah lekat pada manusia itu sendiri
sebagai dimensi yang khas milik manusia. Interpretasi mendahului setiap interaksi
kesadaran dunia pada manusia yang muncul lewat pemahaman manusia tentang diri dan
dunianya. Dengan interpretasi diri ini, pemahaman manusia menjadi berkembang, terisi dan
berbicara. Interpretasi diri seperti juga pemahaman adalah sesuatu yang kita punyai “selalu
tersedia” dan sudah melekat pada diri manusia yang ‘jatuh’ di dunia. Pemahaman dan
2014
3
Filsafat Manusia
Ahmad Sabir, M.Phil
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
interpretasi diri berbeda bukan dalam jenis tetapi dalam tingkat kelengkapan. Interpretasi
membuat kemungkinan-kemungkinan yang diproyeksikan pemahaman menjadi menentukan
dan spesifik. Jika ‘pemahaman’ merupakan dasar dari intelektualitas manusia yang berpikir
secara rasional, maka ‘interpretasi diri’ adalah dasar dari berkembangnya rasa melalui intuisi
manusia yang beirisi afektifitas manusia di dalam dunianya.
Pengertian Intuisi
Intuisi merupakan pengetahuan yang didapatkan tanpa melalui proses penalaran
tertentu. Intuisi bersifat personal dan tidak dapat diramalkan. Sebagai dasar untuk
menyusun pengetahuan secara teratur maka intuisi ini tidak dapat diandalkan. Pengetahuan
intuitif dapat dipergunakan sebagai hipotesis bagi analisis selanjutnya dalam menentukan
kebenaran (Bakker dan Zubair, 1990). Pengalaman intuitif sering hanya dianggap sebagai
sebuah halusinasi atau bahkan sebuah ilusi belaka. Sementara itu oleh kaum beragama
intuisi dipandang sebagai sumber pengetahuan yang sangat mulia (Kartanegara, 2005). Dari
riwayat hidup dan matinya Sokrates, pengetahuan intuitif disebutnya sebagai “theoria” di
mana cara untuk sampai pada pengetahuan itu adalah refleksi terhadap diri sendiri
(Huijbers, 1982). Pengetahuan intuitif pada hakikatnya merupakan pengetahuan yang
diperoleh lewat pengalaman langsung seseorang dan menghadirkan pengalaman serta
pengetahuan yang lengkap bagi orang tersebut. Pengetahuan jenis ini bersifat subyektif,
sebab hanya dialami oleh orang tersebut (Russell, 2010).
Pengetahuan intuitif bersumber pada naluri/hati seseorang (Kartanegara, 2005).
Orang timur lebih menyukai intuisi daripada akal budi karena pusat kepribadian seseorang
bukanlah inteleknya tetapi pada hatinya yang mempersatukan akal budi dan intuisi,
intelegensi dan perasaan (Watloly, 2001).
Pengetahuan yang bersumber dari intuisi merupakan pengalaman batin yang bersifat
langsung. Artinya, tanpa melalui sentuhan indera maupun olahan akal pikiran. Ketika
dengan serta-merta seseorang memutuskan untuk berbuat atau tidak berbuat dengan tanpa
alasan yang jelas, maka ia berada di dalam pengetahuan yang intuitif. Dengan demikian,
pengetahuan intuitif ini kebenarannya tidak dapat diuji baik menurut ukuran pengalaman
indriawi maupun akal pikiran. Karena itu tidak bisa berlaku umum, hanya berlaku secara
personal belaka (Suhartono, 2008). Pengetahuan intuitif muncul secara tiba-tiba dalam
kesadaran manusia melalui proses yang tidak disadari oleh manusia itu sendiri.
Pengetahuan ini muncul sebagai hasil penghayatan, ekspresi dan individualitas seseorang,
2014
4
Filsafat Manusia
Ahmad Sabir, M.Phil
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
sehingga validitas pengetahuan ini sangat bersifat pribadi. Pengetahuan intuitif disusun dan
diterima dengan kekuatan visi imaginatif dalam pengalaman pribadi seseorang.
Sifat, Bentuk, Fungsi dan Isi Intuisi
Pengetahuan intuitif merupakan pengetahuan yang bersifat particular. Jika kita
berusaha menilai sebuah lukisan misalnya, dengan pengetahuan intuitif kita akan menilainya
dengan berusaha memahami dengan baik lukisan tersebut sebagaimana adanya. (Sutrisno,
2005). Kebenaran intuitif sulit dikembangkan karena validitasnya yang sangat pribadi,
memiliki watak yang tidak komunikatif, khusus untuk diri sendiri, subjektif, tidak terlukiskan,
sehingga sulit untuk mengetahui apakah seseorang memilikinya atau tidak. Kebenaran
tersebut tidak akan dapat diuji dengan observasi, perhitungan atau eksperimen karena
kebenaran intuitif tidak berhipotesis (Kneller, 1971).
Karena pengetahuan intuitif itu bersifat aktif maka bisa kita pahami sebagai suatu
bentuk ekspresi. Dengan kata lain, intuisi adalah ekspresi sejauh ekspresi tersebut bersifat
menggubah berbagai kesan yang kita terima, melalui potensi imajinasi aktif (fantasia) ke
dalam wujud berbagai kesatuan imaji maupun keberadaan keseluruhan secara esensial
yang bersifat individual (Supangkat, 2006). Pengetahuan intuitif bersifat langsung
(intuisionisme), sebab tidak dikomunikasikan melalui media simbol dan lebih subyektif
dibanding pengetahuan rasionalis dan empiris yang lebih obyektif (Russell, 2010). Menurut
Bakker dan Zubair (1990), pengetahuan intuitif bisa dimanifestasikan menjadi empat fungsi,
yaitu : a. Kemampuan fantasi bebas. Merupakan kegiatan mental untuk menciptakan
gambaran-gambaran tanpa adanya objek real yang sesuai dengannya. b. Kemampuan
imajinasi estetis. Unsur-unsur yang terbentuk oleh permainan fantasi yang disengaja
membentuk kombinasi yang harmonis, dan mengungkap situasi batin penciptanya dalam
bentuk baru, dan mampu menggerakkan pengalaman yang sama pada orang lain. c.
Kemampuan
fantasi
dalam
fungsi
praktis.
Fungsi
ini
dapat
menjelaskan
dan
menyempurnakan penalaran. d. Kemampuan imajinasi dalam penemuan ilmiah. Imajinasi
ikut membentuk bangunan intelektual ilmu pengetahuan dan filsafat.
Sementara, intuisi manusia dengan sifat dan bentuknya ini sebagaimana juga
intelektualitas pada manusia bukan sesuatu yang kosong melainkan memiliki isi yang
menunjuk pada sikap dan tindakan. Jika intelektualitas berisikan sikap dan tindakan kognitif
dari raionalitas akal pikiran manusia, maka intuisi berisi sikap dan tindakan ‘afektif’ yang erat
kaitannya dengan rasa perasaan dan emosi. Jika validitas kognitif manusia diukur dalam
2014
5
Filsafat Manusia
Ahmad Sabir, M.Phil
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
kategori benar salah (true-fals, right-wrong), maka pada tindakan afektif manusia diukur oleh
suka atau tidak suka (like or dislike). Dalam kehidupan manusia sehari-hari, afektifitas
manusia ditandai dengan adanya cinta dan benci yang menyangkut pada tindakan
perasaan.
Pengertian Afektifitas
Afektifitas merupakan isi dari intuisi manusia yang berupa sikap dan tindakan. Menurut
kamus besar bahasa Indonesia, Afektif adalah tindakan manusia yang berkenaan dengan
rasa takut atau cinta, mempengaruhi keadaan, perasaan dan emosi, mempunyai gaya atau
makna yang menunjukkan perasaan.
Seseorang individu dalam merespon sesuatu biasanya diarahkan oleh penalaran dan
pertimbangan tetapi pada saat tertentu dorongan emosional banyak campur tangan dan
mempengaruhi pemikiran-pemikiran dan tingkah lakunya. Perbuatan atau perilaku yang
disertai perasaan tertentu disebut warna afektif yang kadang-kadang kuat, lemah atau tidak
jelas. Pengaruh dari warna afektif tersebut akan berakibat perasaan menjadi lebih
mendalam. Perasaan ini di sebut emosi (Sarlito, 1982:59).
Emosi dan perasaan adalah dua hal yang berbeda, namun tidak tegas. Keduanya
merupakan suatu gejala emosional yang secara kuantitatif berkelanjutan. Namun tidak jelas
batasnya. Menurut Crow dan Cra (1958), pengertian emosi adalah pengalaman afektif yang
disertai penyesuaian dari dalam diri individu tentang keadaan mental dan fisik dan berwujud
tingkah laku yang tampak. Emosi adalah warna afektif yang juga ditandai oleh perubahanperubahan fisik. Oleh sebab itu, afektifitas manusia sebagai sikap dan tindakan yang dilatari
oleh intuisi erat kaitannya dengan perkembangan emosi dalam perasaan manusia.
Afektifitas dan kognisi
Diakui bahwa manusia bukan saja memiliki kemampuan kognitif-intelektual, tetapi
juga afektif-intuisional. Jelasnya, di samping kognisi, afektifitas juga membuat manusia
berada secara aktif dalam dunianya serta berpartisipasi dengan orang lain dan dengan
peristiwa-peristiwa dunianya. Melalui peranan afektifitaslah, manusia tergerakkan hatinya,
keinginannya, dan perasaannya atau ketertarikannya untuk mengamati, mempelajari, dan
mengembangkan pengada-pengada aktual di sekitarnya menjadi bagian dari proses
2014
6
Filsafat Manusia
Ahmad Sabir, M.Phil
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
keberadaannya. Afektifitas tidak sama dengan pengetahuan, namun menjadi penggerak
atau penyebab dan sekaligus akibat dari proses pengetahuan manusia dalam arti
penerapannya dalam bentuk perbuatan atau tindakan. Inti persoalannya di sini adalah dalam
arti manakah afektifitas memberikan suatu pengetahuan yang memadai? Apakah tindakantindakan afektifitas mempunyai nilai kognitif? Pernyataan Immanuel Kant justru secara tegas
menolak kemungkinan ini sebagaimana jelas di dalam pandangannya mengenai kritik atas
rasio murni. Baginya, kegiatan-kegiatan afektifitas berada di luar kategori rasio murni,
karena tidak memiliki landasan nilai-nilai kognitif. dengan demikian afektifitas merupakan
bagian dari rasio praktis yang non-intelektual. Penolakan ini muncul karena adanya kesulitan
untuk memberikan status kognitif bagi hal-hal afektif yang sifatnya individual.
Kaum positivis dan saintis umumnya memandang bahwa hal-hal afektif tidak memiliki
objektivitas untuk diletakkan sebagai tindakan kognitif intelektual. Alasan penolakannya
adalah karena kendala indrawi yang tidak dapat memberikan penegasan epistemologis yang
berkesesuaian terhadapnya. Walaupun demikian, hendaknya orang tidak terlalu cepat untuk
mengambil kesimpulan hanya karena hal-hal afektifitas bersifat nonkognitif.
Theo Huijbers (1992: 60-61) mengkonstatasi pandangan para mistikus, misalnya
Bergson dan Rudolf Otto, yang menjelaskan bahwa kemampuan-kemampuan afektifitas
seperti rasa cinta (intuisi), berpartisipasi aktif dalam proses inteligensi manusia untuk
mencapai pengetahuan yang lebih memadai. Rudolf Otto menunjukkan bahwa pengalaman
(intuisi) telah memunculkan "mysterium" sebagai realitas yang menakjubkan dalam alam
pengetahuan manusia. Rasa cinta (intuisi) merupakan prapengetahuan yang menandai
daya pengetahuan dan sekaligus membangkitkan daya inteligensi manusia sehingga
inteligensi dapat berfungsi lebih memadai. Intuisi merupakan dasar yang kuat untuk
membuktikan adanya kebenaran dan realitas yang lebih memadai.
Prinsipnya orang hendaknya tidak terlalu cepat membuat dikotomi mengenai kognitif
dan afektifitas. karena terdapat kemungkinan bahwa pengetahuan tertentu mungkin hanya
tercapai melalui perasaan. Pengetahuan eksistensial mempunyai sifat sebagai kepastian
bebas dan memberi alasan untuk percaya bahwa kebebasan manusia tidak pernah absen
dari penegasan intelektual mengenai adanya afektifitas dalam alam pengetahuannya. Cinta
(disebut afektifitas positif) atau benci (disebut afektifitas negatif) dapat menjadi dasar
penentuan bagi suatu tindakan kognitif. Hal ini tentunya dilakukan melalui suatu dasar
penempatan diri yang jelas.
Sering orang begitu kacau memberikan definisi pengetahuan dengan istilah-istilah
yang sama, baik untuk pengetahuan yang sifatnya kognitif maupun untuk cara-cara
2014
7
Filsafat Manusia
Ahmad Sabir, M.Phil
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
afektifitas, misalnya, mengatakan bahwa mengenal adalah penerimaan, komunikasi.
partisipasi, kepatuhan. atau cinta, seolah-olah merupakan cara mengenal yang istimewa,
sampai orang bisa menyatakan bahwa cinta adalah satu-satunya cara autentik dari
pengetahuan itu. Memang benar bahwa mencintai bukanlah mengerti dan mengerti
bukanlah mencintai, namun demikian bukan berarti bahwa tidak ada hubungan antara
keduanya. Orang lupa bahwa cinta bukan saja membuktikan diri dalam perbuatan, tetapi
justru cinta telah mendahului perbuatan (intelektual) yang terdapat di dalam subjek. Cinta
bila terabaikan dalam tindakan kognisional mengandaikan pengetahuan sebagai hal yang
tetap kosong dan tanpa bobot.
Kondisi-kondisi Afektifitas Manusia
Afektifitas bukan hanya tindakan ke arah kebutuhan selera, kecenderungan. atau
apa yang jasmaniah saja. tetapi juga spiritual dan intelektual atau intelligible. Afektifitas
adalah satu dari unsur-unsur pokok dasariah dari cara berada manusia di dunia. dan satu
dari dimensi-dimensi esensial roh manusia. Perbuatan afektif harus dimengerti sebagai
segala gerakan atau kegiatan batin yang karenanya subjek ditarik atau ditolak. Perbuatan
tersebut sedikit mirip dengan perbuatan mengenal karena merupakan suatu tindakan
imanen yang cocok dengan perbuatan intensional yang membuat subjek terbuka dan
mengarahkan atau menghubungkan diri kepada yang lain daripada dirinya. Perbuatan afektif
mengarahkan manusia untuk dunianya dan membuat manusia berada secara lebih
langsung dan lebih intensif bersama dengan hal-hal lain, jadi sejauh lebih bersifat
eksistensial. Melalui ini tindakan afektifitas memberikan dasar atau prinsip nilai bagi suatu
proses kognitif. Pengalaman-pengalaman afektifitas justru menjadi syarat yang sangat
menentukan bagi proses inteligensi manusia.
Semua cara mengenal sebagai suatu proses kognitif-afektifitas, menunjukkan bahwa
pengetahuan imajinatif secara khusus bisa menghasut, menguatkan. mengembangkan. dan
tidak henti-hentinya menstimulasi kecenderungan dan keinginan-keinginan manusia.
Imajinasi dapat membayangkan hal-hal dengan langsung, menggayakannya. dan
menjiwainya dengan mewarnainya. Imajinasi juga dapat memperlihatkan bentuk-bentuk
kualitas dari hal-hal itu sambil memperbesar atau mengistimewakannya.
Jadi, untuk mencapai afektifitas, subjek harus berada dalam kondisi dimana subjek
akan melahirkan kegiatan afektif. Adapun kondisi-kondisi tersebut ialah:
2014
8
Filsafat Manusia
Ahmad Sabir, M.Phil
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Pertama, antara subjek dan objek harus ada ikatan kesamaan atau kesatuan itu
sendiri, karena ketika tidak ada kesamaan maka tidak akan ada afektifitas. Sebagai contoh
ketika kita berhubungan dengan sebuah objek maka dalam diri objek terdapat sesuatu yang
membuat kita tertarik atau menjauhinya, sesuatu yang ada pada diri objek pasti juga ada
dalam diri subjek yang akhirnya akan menimbulkan kegiatan afektif baik menerima atau
menolak.
Kedua, nilai (baik dan buruk), dalam kondisi ini, ketika objek dipandang memiliki
sebuah nilai maka subjek akan melahirkan kegiatan afektif, karena afektifitas itu sendiri
adalah berdasar pada kecintaan akan sesuatu maka subjek pada akhirnya akan melahirkan
kegiatan afektif untuk menolak atau menerima.
Ketiga, sifat dasariah dan kecenderungan kognitif, pada kondisi ini subjek akan
dalam melakukan sebuah afektif harus ditunjang dengan sebuah sifat dasariah yang akan
mendorong dia untuk lebih cenderung, selera, berkeinginan akan sesuatu yang pada
akhirnya akan menimbulkan kegiatan afektif yang ternyata memang sesuai dengan sifat
dasariah tersebut.
Keempat, mengenal adalah kausa dari afektifitas. Dalam proses mengenal subjek
akan mengalami kondisi dimana dia harus berusaha mendefinisikan objek yang akan
dikenalinya dan ketika definisi tentang objek tersebut telah tercapai maka pada akhirnya
akan
lahir
sebuah
keputusan
afektif
apakah
dia
harus
menyerang,
mencintai,
mempertahankan diri atau yang lainnya.
Kelima, imajinasi. Untuk menimbulkan kegiatan afektif maka imajinasi dapat menjadi
sebuah pendorong, semangat, mempengaruhi bahkan membohongi. Pengetahuan pertama
(baik dari pengalaman atau informasi dari pengenalan) akan melahirkan sebuah deskripsi
awal tentang objek, maka dalam kondisi ini subjek akan dipengaruhi untuk bertindak seperti
apa yang ia dapat pada pengalaman-pengalaman dan imajinasi yang dia dapatkan
terdahulu.
Dari penjelasan-penjelasan diatas jelaslah bahwa perbuatan afektif tidak cukup
subjek mengenal objek, menggunakannya dan menarik perhatiannya akan tetapi secara
fundamental ia disiapkan oleh keadaan dan kondisi itu sendiri yang menyebabkannya.
Cinta menurut psikolog (Juneman, S.Psi)
2014
9
Filsafat Manusia
Ahmad Sabir, M.Phil
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Ajaran bahwa sikap mementingkan diri sendiri adalah dosa berat dan bahwa
mencintai diri sendiri meniadakan cinta kepada orang lain tidak hanya terdapat dalam filsafat
dan teologi, tetapi menjadi salah satu dari berbagai gagasan sehari-hari yang disebarkan di
rumah, sekolah, bioskop, buku-buku; tentu juga di semua media yang mempengaruhi
masyarakat. ”Jangan mementingkan diri sendiri” adalah semboyan yang ditanamkan kepada
jutaan anak, dari generasi ke generasi. Arti dari semboyan itu agak samar-samar.
Kebanyakan orang rupanya akan mengatakan bahwa itu berarti jangan ingat diri, jangan
bersikap acuh tak acuh, tidak menaruh perhatian kepada orang lain. Sebetulnya hal itu
mempunyai arti lebih luas dari itu. Tidak mementingkan diri sendiri juga mengandung arti:
jangan berbuat apa yang Anda ingin buat, hentikan keinginan pribadi untuk kepentingan
orang yang berwenang. ”Jangan bersikap egoistis” dalam analisis terakhir mempunyai arti
yang mendua sama seperti yang terdapat dalam Kalvinisme. Terlepas dari pengertiannya
yang nyata, itu berarti ”jangan mencintai dirimu sendiri”, ”jangan menjadi dirimu sendiri”,
tetapi pasrahkan dirimu kepada yang lebih penting dari dirimu, kepada suatu kekuasaan luar
atau internalisasinya yakni ”kewajiban”. ”Jangan mementingkan diri sendiri” menjadi salah
satu alat ideologis yang paling kuat untuk menindas spontanitas dan perkembangan bebas
suatu kepribadian. Karena pengaruh semboyan ini, kita diminta untuk berkorban dan patuh
secara mutlak: hanya tindakan-tindakan yang tidak bermanfaat untuk individu tetapi untuk
seseorang atau sesuatu di luar diri sendiri, boleh dianggap sebagai tindakan yang tidak
egoistis.
Harus ditekankan lagi bahwa dalam arti tertentu gambaran ini bersifat sebelah.
Sebab selain dari ajaran bahwa orang tidak boleh mementingkan diri sendiri, ajaran
sebaliknya juga dipropagandakan pada masyarakat modern, yakni: ingatlah keuntunganmu
sendiri, dengan bertindak demikian, engkau juga akan memperoleh keuntungan yang paling
besar bagi orang lain. Gagasan bahwa egoisme merupakan dasar dari kesejahteraan
umum, sebenarnya merupakan prinsip di atas mana masyarakat yang bersaing dibangun.
Mengherankan bahwa dua prinsip yang kelihatannya begitu bertentangan, dapat diajarkan
berdampingan di dalam satu kebudayaan; itulah kenyataan yang tak dapat diragukan. Salah
satu dari pertentangan ini adalah timbulnya kebingungan dalam diri individu. Karena
terombang-ambing
antara
dua
ajaran
tadi,
ia
sangat
dihambat
dalam
proses
mengintegrasikan kepribadiannya. Kebingungan ini merupakan salah satu sumber yang
paling mencolok dari kebingungan dan ketidakberdayaan manusia modern.
Ajaran bahwa cinta kepada diri sendiri adalah identik dengan ”mementingkan diri
sendiri”, dan merupakan suatu alternatif bagi cinta kepada orang lain, telah meresapi filsafat,
teologi, dan pikiran populer. Ajaran yang sama telah dirasionalisasi dengan bahasa ilmiah
2014
10
Filsafat Manusia
Ahmad Sabir, M.Phil
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
dalam teori tentang narsisme dari Freud. Konsep Freud mengandaikan adanya jumlah tetap
dari energi libido. Pada bayi, seluruh libido diarahkan kepada pribadi bayi sendiri. Itulah
yang disebut Freud sebagai tahap ”narsisme primer”. Dalam perkembangan individu
tersebut, libido berpindah dari pribadi individu itu kepada objek-objek lain di luarnya. Jika
seseorang dihalang-halangi dalam mengembangkan ”relasi-relasi objeknya”, maka libido
akan ditarik kembali dari objek-objek dan diarahkan kembali kepada diri sendiri. Hal itu
disebut ”narsisme sekunder”. Maka Freud berpendapat bahwa semakin banyak cinta yang
saya arahkan kepada dunia luar, semakin kurang cinta yang tertinggal bagi diri saya sendiri,
dan sebaliknya. Maka Freud menguraikan gejala cinta sebagai suatu pemiskinan cinta diri
seseorang, karena seluruh libido dialihkan kepada suatu objek di luar dirinya.
Pertanyaan-pertanyaan yang berikut dapat timbul: Apakah observasi psikologis
membenarkan pernyataan bahwa terdapat suatu pertentangan yang mendasar dan suatu
keadaan yang tumpang tindih antara cinta kepada diri sendiri dan cinta kepada orang lain?
Apakah cinta kepada diri sendiri identik dengan sikap ingat diri atau apakah keduanya
berlawanan? Selanjutnya, apakah sikap ingat diri manusia modern sungguh-sungguh
merupakan keprihatinan bagi dirinya sendiri sebagai individu, dengan segala daya
intelektual, emosional dan sensualnya? Apakah ”ia” tidak menjadi suatu embel-embel saja
dari peran sosio-ekonomi? Adakah egoismenya identik dengan cinta diri sendiri atau apakah
egoisme itu justru disebabkan oleh kurangnya cinta diri?
Sebelumnya, kita harus menekankan kekeliruan logis yang terdapat dalam gagasan
bahwa cinta kepada orang lain dan cinta kepada diri sendiri saling meniadakan. Kalau
mencintai sesamaku sebagai manusia merupakan suatu kebajikan, maka pasti mencintai
diriku sendiri juga harus merupakan suatu kebajikan (dan bukan merupakan sesuatu yang
buruk) karena saya juga manusia. Tidak ada konsep tentang manusia di mana saya sendiri
tidak termasuk. Suatu ajaran yang menyatakan peniadaan semacam itu, terbukti dengan
sendirinya sebagai sesuatu yang kontradiktoris secara intrinsik. Gagasan yang terungkap
dalam Injil, yakni ”Cintailah sesamamu sama seperti engkau mencintai dirimu sendiri”,
secara tidak langsung mengatakan bahwa respek terhadap integritas dan keunikan dirimu
sendiri dan cinta serta pengertian terhadap dirimu sendiri tidak dapat dipisahkan dari respek
dan cinta serta pengertian terhadap pribadi yang lain. Cinta kepada diriku sendiri berkaitan
erat dengan cinta terhadap setiap pribadi lain.
Sekarang kita sampai kepada alasan-alasan psikologis yang menjadi dasar
kesimpulan-kesimpulan argumentasi kita. Biasanya, alasan-alasan ini adalah sebagai
berikut: Bukan hanya orang lain, melainkan kita sendiri adalah ”objek” dari perasaan dan
2014
11
Filsafat Manusia
Ahmad Sabir, M.Phil
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
sikap kita; sikap terhadap orang lain dan terhadap diri sendiri, sama sekali tidak
bertentangan tetapi pada dasarnya mempunyai hubungan yang erat. Sehubungan dengan
persoalan yang sedang kita diskusikan, hal ini berarti, antara cinta kepada orang lain dan
cinta kepada diri sendiri tak ada pilihan. Sebaliknya, cinta terhadap diri akan ditemukan pada
siapa saja yang mampu mencintai orang lain. Cinta pada prinsipnya tidak dapat dibagi
sejauh hal itu menyangkut hubungan antara ”objek-objek” dan pribadi itu sendiri. Cinta yang
ikhlas merupakan ungkapan dari produktivitas dan meliputi: perhatian, respek (rasa hormat),
tanggungjawab dan pengetahuan. Itu bukan suatu ”affect” (perasaan) dalam arti bahwa
perasaanku dipengaruhi oleh seseorang, melainkan suatu perjuangan aktif demi suatu
perkembangan dan kebahagiaan pribadi yang dicintai, yang berakar dalam dayaku sendiri
untuk mencintai.
Cinta adalah suatu ungkapan dari daya seseorang untuk mencintai, dan untuk
mencintai seseorang merupakan perwujudan dan pemusatan daya ini terhadap seorang
pribadi. Tidak benar bahwa terdapat hanya satu pribadi tunggal saja di dunia yang saya
dapat cintai, sebagaimana dalam gagasan tentang cinta romantis, dan tidak benar juga
bahwa untuk menemukan pribadi seperti itu merupakan kesempatan yang luar biasa dalam
hidupku. Juga tidak benar jika ada anggapan bahwa cinta bagi seseorang mengakibatkan
suatu penarikan kembali cintanya kepada orang lain. Cinta yang hanya dialami pada satu
pribadi saja justru membuktikan bahwa itu bukan cinta tetapi suatu ikatan perasaan
simbiotik. Suatu afirmasi mendasar yang terkandung dalam cinta tertuju kepada pribadi yang
dicintai sebagai perwujudan dari sifat-sifat yang khas manusiawi. Cinta terhadap satu pribadi
tertentu saja berarti cinta terhadap manusia itu sendiri. Ada semacam ”pembagian tugas” di
mana bila seseorang mencintai keluarganya sendiri tetapi tidak merasa simpati terhadap
”orang asing”, itu merupakan suatu tanda bahwa ia pada dasarnya tidak sanggup mencintai.
Cinta terhadap manusia bukan suatu abstraksi yang timbul sesudah cinta kepada seorang
pribadi tertentu, tetapi justru merupakan alasannya, walaupun secara genetis cinta itu
diperoleh dengan mencintai pribadi-pribadi tertentu. Bertolak dari penjelasan di atas dapat
disimpulkan bahwa diriku sendiri, pada prinsipnya, harus juga merupakan suatu objek
cintaku sama seperti pribadi lain. Afirmasi terhadap hidup, kebahagiaan, perkembangan,
kebebasannya sendiri, berakar pada kemampuannya untuk mencintai, yaitu: perhatian, rasa
hormat, tanggungjawab, dan pengetahuan. Jika seorang pribadi dapat mencintai secara
produktif, ia mencintai dirinya sendiri juga; jika ia hanya dapat mencintai orang lain, ia
samasekali tidak dapat mencintai.
Andaikata cinta kepada diri sendiri dan kepada orang lain pada prinsipnya saling
berhubungan, bagaimana kita menerangkan egoisme, yang dengan jelas meniadakan setiap
2014
12
Filsafat Manusia
Ahmad Sabir, M.Phil
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
perhatian yang ikhlas terhadap orang lain? Orang yang egois hanya tertarik pada dirinya
sendiri, ingin memperoleh segala sesuatu demi dirinya sendiri dan merasa tidak senang
memberi, tetapi hanya senang menerima. Dunia luar dilihat hanya dari segi keuntungan
yang dapat ia peroleh darinya; ia tidak mempunyai minat terhadap kebutuhan orang lain dan
tidak menghormati martabat dan integritas orang lain. Ia tidak melihat apapun kecuali dirinya
sendiri; ia menilai tiap orang dan setiap hal dari segi kegunaannya bagi dirinya; ia pada
dasarnya tidak sanggup mencintai. Bukankah hal ini membuktikan bahwa perhatian kepada
orang lain dan kepada diri sendiri merupakan pilihan yang tak terelakkan? Ini hanya terjadi
apabila egoisme dan cinta diri sendiri adalah identik. Namun anggapan itu merupakan suatu
pikiran yang amat keliru yang mengarahkan kita kepada sekian banyak kesimpulan yang
keliru menyangkut masalah yang kita bahas. Egoisme dan cinta diri sendiri samasekali tidak
identik, keduanya sungguh-sungguh saling bertentangan. Orang yang egoistis bukannya
terlalu mencintai diri, melainkan justru sangat kurang mencintai diri; sesungguhnya ia
membenci dirinya sendiri. Kurangnya cinta dan perhatian terhadap diri, yang hanya
merupakan suatu perwujudan dari kurangnya produktivitasnya, menyebabkan bahwa ia
merasa diri kosong dan kecewa. Ia pasti tidak merasa bahagia dan gelisah dalam usaha
merampas dari kehidupan suatu kepuasan yang pencapaiannya ia halangi sendiri. Ia
kelihatannya memperhatikan dirinya sendiri secara berlebihan, namun sebenarnya ia hanya
tidak berhasil menyembunyikan dan mengimbangi kegagalannya untuk sungguh-sungguh
memelihara dirinya sendiri. Freud mempertahankan bahwa orang yang ingat diri bersifat
narsistis, karena ia telah menarik kembali cintanya dari orang lain dan mengalihkannya
kepada dirinya sendiri. Benar bahwa orang yang ingat diri tidak mampu mencintai orang lain,
namun mereka juga tidak sanggup mencintai dirinya sendiri.
Egoisme lebih mudah kita pahami kalau dibandingkan dengan perhatian yang rakus
kepada orang lain sebagaimana kita temukan, misalnya pada seorang ibu yang terlalu
prihatin dan suka menguasai anaknya (Erich Fromm). Secara sadar ia yakin bahwa ia
sangat mencintai anaknya, namun secara tidak sadar ia sebenarnya merasakan suatu
permusuhan yang direpresi terhadap objek keprihatinannya. Ia merasa prihatin yang
berlebihan, bukan karena ia sangat mencintai anaknya, melainkan karena ia harus
mengimbangi kekurangmampuannya untuk mencintai anaknya.
Teori tentang sifat dasar egoisme ini berasal dari pengalaman pasien neurotis yang
”tidak mementingkan diri sendiri”. Sifat tak mementingkan diri ini merupakan suatu simtom
neurotis yang diobservasi pada banyak orang yang biasanya diganggu bukan oleh simtom
ini melainkan oleh simtom-simtom lain yang berhubungan dengan simtom tadi, seperti:
depresi, kelelahan, kegagalan dalam relasi cinta, dan sebagainya. Sikap mementingkan diri
2014
13
Filsafat Manusia
Ahmad Sabir, M.Phil
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
sendiri bukan hanya tidak dirasakan sebagai ”suatu simtom”, melainkan sering dianggap
sebagai ciri watak yang bagus, sebagai satu-satunya yang dibanggakan orang itu. ”Orang
yang tidak mementingkan diri sendiri” tidak ”menyukai sesuatu pun bagi dirinya sendiri”;
”hidup hanya untuk orang lain”, merasa bangga bahwa ia menganggap dirinya sendiri tidak
penting. Ia bingung melihat bahwa walaupun ia tidak mementingkan dirinya, ia tidak dapat
bahagia, dan bahwa hubungannya dengan mereka yang paling dekat dengannya tidak
memuaskannya. Ia ingin melepaskan segala kesulitan yang dianggapnya sebagai simtom,
kecuali sikap tidak mementingkan diri itu sendiri. Karya terapi psikoanalitis menunjukkan
bahwa sikap yang tidak mementingkan diri sendiri itu bukan sesuatu yang lain atau di luar
simtom-simtom lainnya, tetapi merupakan salah satu dari simtom-simtom itu, malah
sesungguhnya sering merupakan simtom yang paling penting. Karya terapi psikoanalitis
memperlihatkan bahwa ia lumpuh dalam kemampuan untuk mencintai atau untuk menikmati
sesuatu; bahwa ia diliputi rasa permusuhan melawan kehidupan, dan bahwa ia di balik
kedok sikap yang tidak mementingkan diri sendiri itu, tersembunyilah suatu sikap
egosentrisme yang halus namun kuat. Orang ini dapat disembuhkan hanya kalau sikap yang
tidak mementingkan diri sendiri juga ditafsirkan sebagai salah satu dari simtom-simtom
sedemikian rupa sehingga kurangnya produktivitas pada dirinya, yang merupakan sumber
baik dari sikapnya yang tidak mementingkan diri sendiri maupun dari gangguan-gangguan
lain, dapat diperbaiki.
Sifat dasar dari sikap tidak mementingkan diri ini menjadi nyata terutama sekali
dalam pengaruh dan akibatnya terhadap orang lain, dan sangat sering, untuk adat istiadat
kita, dalam pengaruh atas anak-anak dari seorang ibu ”yang tidak mementingkan diri”. Ia
yakin bahwa lewat sikapnya yang tidak mementingkan diri, anak-anak akan mengalami apa
artinya dicintai dan pada gilirannya mempelajari arti mencintai. Namun hasil dari sikapnya
yang tidak mementingkan diri itu samasekali tidak sepadan dengan harapannya. Anak-anak
tidak menunjukkan kebahagiaan pribadi-pribadi yang yakin bahwa mereka dicintai; mereka
cemas, kaku, takut terhadap celaan ibu dan cemas untuk bertindak sesuai dengan
harapannya. Biasanya mereka dipengaruhi oleh rasa permusuhan yang tersembunyi dari
ibunya terhadap kehidupan, yang mereka rasakan lebih daripada menyadarinya, dan
akhirnya mereka sendiri diliputi oleh kebencian tersebut. Akhirnya pengaruh sikap ibu ”yang
tidak mementingkan diri sendiri” tidak terlalu berbeda dari seorang ibu yang bersikap
egoistis; sesungguhnya pengaruh itu sering lebih jelek karena sikap tidak mementingkan diri
dari ibu menghalangi anak-anak untuk mengkritiknya. Mereka hidup dengan beban
kewajiban untuk tidak mengecewakan ibu, mereka diajar, di bawah topeng kebajikan, agar
benci terhadap kehidupan. Jika kita mempunyai kesempatan untuk mempelajari pengaruh
dari seorang ibu yang memiliki cinta pada diri sendiri yang sejati, kita dapat melihat bahwa
2014
14
Filsafat Manusia
Ahmad Sabir, M.Phil
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
tidak ada sesuatu pun yang lebih berhasil untuk memberikan seorang anak suatu
pengalaman tentang apa arti cinta, keriangan dan kebahagiaan, daripada dicintai oleh
seorang ibu yang mencintai dirinya sendiri.
Daftar Pustaka
2014
15
Filsafat Manusia
Ahmad Sabir, M.Phil
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Bakker, Anton, 2000, Antropologi Metafisik, Kanisius, Yogyakarta.
Bakker, A. dan A. C. Zubair, 1990, Metodologi Penelitian Filsafat, Kanisius:
Yogyakarta.
Huijbers, Theo, 1982, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Kanisisus;
Yogyakarta
Juneman, S, Psi, 2008, Modul Mata Kuliah Filsafat Manusia, Fakultas Psikologi,
Universitas Mercu Buana; Jakarta.
Kartanegara, Mulyadhi, 2005, Integrasi Ilmu: Sebuah Rekonstruksi Holistik,
Penerbit Arasy PT Mizan Pustaka: Bandung
Kneller, G. F, 1971, Introduction to the Philosophy of Education, John Wiley Sons
Inc; New York
Russell, B. 2010, The Problems of Philosophy, Indo-European Publishing: Los
Angeles
Supangkat, Jim dan Zaelani, Rizki A., 2006, Ikatan Silang Budaya, Art Fabrics
Sutrisno, Mudji dkk, 2005, Teks-Teks Kunci Estetika : Filsafat Seni, Galang Press;
Yogyakarta
2014
16
Filsafat Manusia
Ahmad Sabir, M.Phil
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Download