Rancangan Sistem PEManen Air Hujan

advertisement
RANCANGAN SISTEM PEMANEN AIR HUJAN
Pendahuluan
Cadangan air di daerah budidaya pertanian didukung dengan air dari daerah-tangkapan air hujan
(Gambar 1). Pada saat merancang suatu system pemanenan air, ukuran daerah-tangkapannya dihitung
atau diestimasi secara akurat untuk menjamin cukupnya runoff yang dapat dipanen untuk memenuhi
kebutuhan tanaman di lahan budidaya. Hubungan amntara kedua area lahan ini dinyatakan sebagai rasio
C:CA, yaitu rasio antara daerah-tangkapan (C) dan daerah budidaya (CA). Untuk tanaman semusim
biasanya nilai rasio C:CA sebesar 3:1, daerah tangkapan-air C tiga kali dari luas lahan budidayanya CA.
Gambar 1. Modifikasi microcatchment untuk menyalurkan dan menampung runoff
ke lokasi yang ditentukan. Parit-parit atau pematang dibuat menurut garis kontur
untuk menyalurkan air runoff.
Walaupun perhitungan rasio C:CA dapat menghasilkan system pemanenan air yang akurat,
namun biasanya tidak mudah menghitung rasio C:CA secara akurat. Data yang diperlukan (curah hujan,
runoff dan crop water requirements) seringkali tidak tersedia dan kalau ada variasinya sangat besar.
Informasi dan data seperti ini dapat beragam antar lokasi, atau antar tahun. Perhitungan dapat
memberikan kesan tentang akurasi , tetapi hal ini dapat keliru kalau perhitungannya didasarkan pada data
yang ragamnya sangat besar.
Karena alasan inilah maka biasanya sistem pemanenan air hujan dirancang dengan menggunakan
mekanisme pelatihan dan pendampingan untuk rasio C:CA. Banyak sistem pemanenan air hujan yang
berhasil biasanya dimulai dengan sekala eksperimen kecil-kecilan dengan estimasi rasio C:CA. Disain
awal kemudian dapat dimodifikasi berdasarkan pengalaman lapangan. Untuk dapat mengestimasi rasio
C:CA dan menilai secara kritis hasil-hasil eksperimen pertama dari suatu sistem panen air hujan,
diperlukan pemahaman yang komprehensif tentang bagaimana bekerjanya sistem pemanenan air hujan.
Aspek-aspek apa saja yang mempengaruhi berfungsinya sistem pemanenan air hujan?
Gambar 2. Kolam penampung air hujan untuk mendukung diversifikasi pertanian.
Kolam seperti ini cocok untuk memanen air hujan di pedesaan, menampung air
hujan untuk berbagai keperluan seperti irigasi tanaman, keperluan rumahtangga,
ternak dan aquaculture.
Gambar 3. Microcatchment budidaya mengumpulkan air runoff dari area yang luas ke
petakan lahan yang sempit. Aneka jenis tanaman dapat dibudidayakan pada petakan
lahan yang sempit ini.
Sistem Air – Tanah
Tujuan sistem pemanenan air hujan adalah memanen runoff. Runoff ini dihasilkan dalam suatu
system air – tanah , dimana berlangsung interaksi antara curah hujan dengan tanah (Gambar 4).
Prinsip sistem ini adalah sbb:
Setiap jenis tanah mempunyai kapasitas tertentu untuk menyerap air hujan. Air hujan yang tidak
dapat diserap masuk ke dalam tanah akan mengalir di permukaan tanah sebagai runoff. Jumlah runoff ini
tergantung pada kapasitas penyerapan tanah dan jumlah air hujan yang jatuh.
Jumlah air hujan yang jatuh selama peruiode tertentu pada sebidang lahan disebut INTENSITAS
HUJAN, dan dinyatakan sebagai kuantitas kedalaman air hujan dalam satuan mm per jam (mm/jam).
Kapasitas penyerapan tanah disebut KAPASITAS INFILTRASI. Ukuran kapasitas ini, laju infiltrasi
dinyatakan sebagai kuantitas kedalaman air dengan satuan mm per jam (mm/jam). Runoff dihasilkan
kalau intensitas hujan lebih besar dari laju infiltrasi tanah.
Infiltrasi dan Limpasan Permukaan (runoff)
Berikut adalah faktor-faktor yang mempengaruhi infiltrasi dan runoff.
Tipe tanah dan tekstur tanah
Table 1 menyajikan nilai-nilai laju infiltrasi untuk beberapa tipe tanah. Setiap tuipe tanah
mempunyai laju infiltrasi yang berbeda dengan tipe lainnya. Tipe tanah ini tergantung pada tekstur
tanahnya: partikel-partikel mineral penyusun tanah. Tiga tipe tanah utama dibedakan berdasarkan tiga
fraksi partikel mineral tanah: pasir, debu dan liat.
Infiltrasi
Runoff
Gambar 4.
Sistem Air - Tanah (Brouwer et al., 1986).
Tanah yang terdiri atas partikel pasir kasar (tanah bertekstur kasar) disebut tipe tanah berpasir;
tanah yang terdiri atas partikel debu yang berukuran medium (tanah bertekstur medium) disebut tipe tanah
berlempung; tanah yang terdisi tas partikel liat berukuran halus (tanah bertekstur halus) disebut tanah liat
atau tanah berliat.
Table 1. Laju infiltrasi (Brouwer et al., 1986).
Tipe tanah
Pasir = sand less
Lempung Berpasir = sandy loam
Lempung = loam
Lempung Liat = clay loam
Liat = clay
Laju Infiltrasi (mm/jam)
Kurang dari 30
20 - 30
10 - 20
5 - 10
1-5
Ukuran partikel-partikel mineral dalam suatu tanah menentukan ukuran rongga terbuka di antara
partikel-partikel tersebut, yaitu PORI TANAH. Proses infiltrasi air lebih mudah melalui pori yang
ukurannya besar pada tanah-tanah berpasir (kapasitas infiltrasi lebih tinggi) dibandingkan dengan
infiltrasi melalui pori halus pada tanah liat (kapasitas infiltrasi lebih rendah).
Struktur Tanah
Struktur tanah juga mempengaruhi kapasitas infiltrasi. Struktur tanah mencerminkan bagaimana
tatanan partikel-partikel mineral saling bergabung bersama membentuk agregat. Tanah-tanah berpasir
biasanya mempunyai struktur butir-lepas, karena individual partikel pasir tidak dapat saling melekat
bersama bergabung menjadi agregat ayang lebih besar. Beberapa tanah liat membentuk retakan-retakan
yang besar pada kondisi kering, dan aggregates (bongkahan) besar dapat diambil (ditarik) dengan tangan.
Tanah-tanah ini mempunyai takstur halus dan struktur yang kasar (agregat besar-besar). Ukuran dan
distribusi retakan-retakan di antara agregat tanah dapat mempengaruhi kapasitas infiltrasi tanah: tanah
dengan retakan-retakan besar akan mempunyai laju infiltrasi yang tinggi.
Daerah Tangkapan dan Daerah Pengolahan
Idealnya, tanah di zone penangkapan air hujan harus mampu mengubah sebanyak mungkin air
hujan menjadi runoff: tanah harus mempunyai laju infiltrasi yang rendah. Misalnya, kalau intensitas hujan
20 mm/jam jatuh pada tanah liat dengan laju infiltrasi 5 mm/jam, maka akan terjadi runoff, tetapi kalau
hujan yang sama jatuh pada tanah berpasir dengan laju infiltrasi 30 mm/jam, maka tidak akan ada runoff.
Karena alasan inilah, maka tanah-tanah berpasir tidak sesuai untuk sistem pemanenan air hujan, karena
sebagian besar air hujan yang jatuh ke tanah adan meresap ke dalam tanah dan hanya sedikit sekali runoff
yang dapat ditampung dan disalurkan ke zone pengolahan tanah.
Tanah pada zone-pengolahan tidak boleh mempuinyai laju infiltrasi yang tinggi, tetapi harus
mempunyai kapasitas yang besar untuk menyimpan air hujan dan menyediakannya bagi tanaman. Kondisi
ideal adalah daerah-tangkapan yang berbatu dan zone olahan dengan solum yang dalam, dan subur.
Dalam praktek, kondisi tanah di zone olahan dan zone tangkapan air justru sebaliknya. Kalau hal seperti
ini dijumpai, maka persyaratan bagi zone-pengolahan harus diutamakan.
Kerak = Sealing
Kapasitas infiltrasi suatu tanah juga tergantung pada efek tetesan air hujan pada permukaan tanah.
Tetesan air hujan memukul tanah permukaan dengan gaya yang cukup besar yang mampu
menghancurkan agregat tanah dan mendorong partikel halus tanah masuk ke dalam pori tanah lapisan
atas. Hal ini dapat mengakibatkan penyumbatan pori tanah dan pembentukan lapisan tipis yang kompak
dan padat di permukaan tanah, dan selanjutnya akan sangat menghambat laju infiltrasi. Efek seperti ini
lazim disebut dengan istilah “capping, crusting atau sealing; menjelaskan mengapa di daerah-daerah
dengan curah hujan tinggi dan frekuensi tinggi, biasanya diikuti oleh runoff yang sangat besar.
Tanah-tanah dengan kandungan liat yang tinggi (tanah-tanah berliat) sangat mudah membentuk
kerak-permukaan (sealing). Tanah-tanah berpasir biasanya tidak mudah membentuk kerak-permukaan.
Adanya kerak-permukaan di lokasi zone tangkapan air sangat menguntungkan untuk memanen air hujan,
karena dapat menurunkan laju infiltrtasi. Akan tetapi di lahan pengolahan, adanya kerak-permukaan ini
dianggap merugikan. Petani dapat meningkatkan laju infiltrasi di lahan pengolahan dengan jalan menjaga
kondisi permukaan tanah tetap kasar, dengan jalan membuat guludan-guludan atau pembajakan tanah.
Vegetasi
Vegetasi mempunyai pengaruh sangat besar terhadap laju infiltrasi suatu tanah. Vegetasi penutup
muka lahan yang rapat dapat melindungi tanah dari pukulan air hujan, mereduksi terbentuknya ”kerak” di
permukaan tanah, dan meningkatkan laju infiltrasi. Sistem perakaran dan bahan organic tanah
meningkatkan porositas tanah dan dengan demikian memperbaiki kapasitas infiltrasi suatu tanah. Pada
lahan-lahan yang agak miring, runoff dapat diperlambat oleh adanya vegetasi, sehingga air hujan
mempunyai kesempatan lebih banyak untuk infiltrasi. Sarana konservasi tanah memanfaatkan prinsipprinsip seperti ini. Dalam system pemanenan air, daerah-tangkapan-air (sekala mikro) idealnya dijaga
tetap rata dan bebas vegetasi.
Panjang Lereng
Biasanya lahan yang lebih miring menghasilkan lebih banyak runoff dibandingkan dengan lahan
yang lebih datar, dan dengan meningkatnya panjang lereng ternyata volume runoff menurun. Dengan
meningkatnya panjang lereng, waktu yang diperlukan oleh setetes air hujan untuk mencapai lahan
budidaya semakin besar. Hal ini berarti tersedia waktu yang lebih lama bagi tetes air hujan tersebut untuk
mengalami infiltrasi dan evaporasi. Evaporasi merupakan factor penting yang menentukan runoff di
daerah iklim kering (arid dan semi arid) , karena lembab nisbi udara yang rendah dan seringkali suhu
permukaan tanah dan suhu udaranya tinggi.
Curah Hujan dan Limpasan Permukaan
Hanya sebagian dari curah hujan pada daerah tangkapan yang menjadi runoff. Proporsi curah
hujan yang menjadi runoff ini tergantung pada berbagai faktor. Kalau intensitas hujan pada suatu kejadian
hujan lebih rendah dari kapasitas infiltrasi tanah, maka tidak akan terjadi runoff.
Proporsi dari total curah hujan yang menjadi runoff disebut FAKTOR RUNOFF. Misalnya, faktor
runoff 0.20 berarti bahwa 20% dari curah hujan selama musim pertumbuhan tanaman akan menjadi
runoff. Setiap kejadian hujan mempunyai faktor runoff sendiri-sendiri. Akan tetapi faktor runoff musiman
(atau tahunan), R, sangat penting untuk disain sistem pemanenan air hujan. Faktor- R digunakan untuk
menghitung rasio C:CA.
Efisisensi
Air runoff dari daerah tangkapan dikumpulkan di area pengolahan dan meresap ke dalam tanah.
Tidak semua air runoff yang terkumpul ini dapat digunakan oleh tanaman, karena sebagian air ini hilang
menguap dan perkolasi-dalam. Penggunaan air yang dipanen ini oleh tanaman disebut EFISIENSI
SISTEM PEMANENAN AIR dan dinyatakan sebagai FAKTOR EFISIENSI. Misalnya, faktor efisiensi
0.75 berarti bahwa 75% dari air yang dipanen dapat dimanfaatkan oleh tanaman; dan sisanya 25% hilang.
Konsekwensi untuk disain suatu sistem pemanenan air ialah bahwa semakin banyak air yang harus
dipanen untuk memenuhi kebutuhan tanaman: maka daerah tangkapannya harus dibuat semakin besar
(luas).
Kapasitas Simpanan Lengas Tanah
Air hujan yang dipanen disimpan dalam tanah di daerah lahan budidaya tanaman. Kapasitas tanah
untuk menyimpan air dan membuat air tersebut tersedia abagi tanaman disebut KAPASITAS
SIMPANAN AIR TERSEDIA. Kapasitas ini tergantung pada (i) jumlah dan ukuran pori tanah (tekstur)
dan (ii) kedalaman tanah. Kapasitas simpanan air tersedia dinyatakan dalam mm air (air simpanan) per
meter kedalaman tanah, mm/m.
Table 2. Kapasitas Simpanan Air Tersedia.
Tipe Tanah
Pasir = sand
Lempung Berpasir = sandy loam
Lempung Liat = clay loam
Liat = clay
Air Tersedia (mm/m)
55
120
150
135
Tabel 2 menyajikan nilai-nilai kapasitas penahanan air (WHC) beberapa tipe tanah. Suatu tanah
lempung dengan WHC air tersedia yang cukup baik 120 mm per meter kedalaman tanah, akan kehilangan
nilainya kalau tanah menjadi dangkal. Misalnya, 40 cm tanah pada suatu batuan induk hanya
menyediakan 48 mm air tersedia bagi tanaman.
Kapasitas simpanan air tersedia dan kedalaman tanah mempunyai implikasi penting bagi disain
sistem pemanenan air tersedia. Pada tanah yang solumnya dalam, misalnya, 2 m dengan kapasitas
simpanan air yang besar (150 mm/m) , maka kapasitas simpanan airnya sebesar 300 mm air dan tidak
akan terjadi genangan air runoff pada lahan pengolahan hingga kedalaman lebih dari 300 mm (30 cm).
Kalau jumlah air melebihi 30 cm kedalaman, maka akan hilang melalui drainage-dalam dan juga
akan dapat menimbulkan bahanya penggenangan. Kapasitas air tersedia dan kedalaman solum tanah juga
mempengaruhi jenis tanaman yang akan ditanam. Suatu tanah yang soplumnya dalam dengan kapasitas
simpanan air tersedia yang besar hanya dapat digunakan secara efektif oleh tanaman yang mempunyai
perakaran yang dalam. Misalnya, bawang-Onions, mempunyai perakaran sedalam 30 - 40 cm, sehingga
ia tidak dapat memanfaatkan sepenuhnya semua lengas tanah yang tersimpan dalam solum. Tabel 3
menyajikan kedalaman perakaran beberapa jenis tanaman.
Table 3. Kedalaman perakaran efektif tanaman (Doorenbos et al., 1979).
Jenis Tanaman
Kacang buncis = Bean
Jagung = Maize
Bawang merah = Onion
Padi = Rice
Sorghum
Bunga matahari = Sunflower
Kedalaman akar efektif (m)
0.5 - 0.7
1.0 - 1.7
0.3 - 0.5
0.8 - 1.0
1.0 - 2.0
0.8 - 1.5
Kebutuhan Air Tanaman
Kebutuhan air tanaman adalah jumlah air yang dibutuhkan oleh tanaman selama musim
pertumbuhannya. Setiap jenis tanaman mempunyai kebutuhan air tertentu. Misalnya, tanaman jagung
dewasa memerlukan air per hari lebih banyak dibandingkan dengan tanaman bawang - onions (Table 4).
Akan tetapi dalam suatu jenis tanaman tertentu, terdapat variasi kebutuhan air yang cukup besar.
Kebutuhan air tanaman terdiri atas transpirasi dan evaporasi (Gambar 5), biasanya disebut
evapotranspirasi. Kebutuhan air tanaman dipengaruhi oleh iklim dimana tanaman ditanam. Misalnya,
kultivar jagung tertentu yang ditanam di daerah iklim dingin dan berawan, ia akan memerlukan lebih
sedikit air dibandingkan kalau ia ditanam di daerah iklim panas dan cerah. Faktor iklim yang penting
disajikan pada Gambar 5 dan Tabel 5.
Table 4. Kebutuhan air, periode pertumbuhan dan kepekaan kekeringan beberapa tanaman (Brouwer et
al., 1986).
Jenis tanaman
Bean (Kacang buncis)
Maize (jagung)
Melon
Millet
Onion (bawang merah)
Rice (padi)
Sorghum
Sunflower
Total Periode
Pertumbuhan (hari)
95 - 110
125 - 180
120 – 160
105 - 140
150 - 210
90 – 150
120 - 130
125 – 130
Kebutuhan Air
Tanaman (mm/periode
pertumbuhan)
300 - 500
500 – 800
400 – 600
450 - 650
350 - 550
450 – 700
450 - 650
600 - 1000
Kepekaan thd
kekeringan
medium - high
medium - high
medium - high
low
medium - high
high
low
low - medium
Evaporasi
Transpirasi
Temperatur
Kelembaban
Radiasi
Angin
Gambar 5. Pengaruh
iklim thd kebutuhan air tanaman (Brouwer et al., 1986).
Panjangnya musim pertumbuhan setiap tanaman berbeda dengan tanaman lainnya, dan dengan
demikian total kebutuhan air selama murim pertumbuhan tanaman sangat tergantung pada jenis tanaman.
Misalnya, kebutuhan air harian tanaman melon lebih rendah dibandingkan dnegan tanaman kacangbuncis, tetapi kebutuhan air musim tanaman melon akan lebih besar dibandingkan dengan kebutuhan air
tanaman kacang-buncis, karena melon mempunyai musim pertumbuhan jauh lebih panjang. Tabel 4
menyajikan indikasi panjangnya musim pertumbuhan beberapa jenis tanaman. Umumnya musim
pertumbuhan tanaman lebih panjang kalau kondisi iklimnya dingin.
Tabel 5. Pengaruh iklim terhadap kebutuhan air tanaman (Brouwer et al., 1986).
Faktor Iklim
Temperature
Humidity
Wind speed
Sunshine
Kebutuhan Air Tanaman
Tinggi
Rendah
hot
cool
low (dry)
high (humid)
windy
little wind
sunny (no clouds)
cloudy (no sun)
Gambar 6. Faktor-faktor
kunci yang menentukan suplai air bagi tanaman irigasi
Di dalam suatu musim pertumbuhan, kebutuhan air harian suatu tanaman bervariasi dengan fase
pertumbuhan tanaman. Terpisah dari perbedaan kebutuhan airnya, setiap tanaman mempunyai respon
yang berbeda terhadap defisit air. Kalau kebutuhan air tanaman tidak terpenuhi, tanaman-tanaman yang
tidak tahan kekeringan akan mengalami reduksi hasil yang lebih besar dibandingkqan dengan tanaman
yang tahan kekeringan. Tabel 4 menyajikan indikasi kepekaan beberapa jenis tanaman terhadap
kekeringan. Untuk kondisi pemanenan air dimana kondisinya belum meyakinkan bahwa cukup banyak
runoff yang dapat dipanen, maka sebaiknya ditanam jenis tanaman yang tahan kering.
Siklus pertumbuhan tanaman merupakan periode waktu yang diperlukan suatu tanaman (semusim,
annual) untuk melengkapkan siklus musimannya, pertumbuhan dan produksi hasil panennya. Tanaman
tahunan mempunyai siklus pertumbuhan lebih sari satu tahun.
Periode pertumbuhan tanaman semusim adalah durasi dalam setahun dimana kondisi suhu, suplai air
tanah dan faktor-faktor lainnya memungkinkan tanaman itu tumbuh dan berkembang.
Dengan demikian, siklus pertumbuhan merupakan karakter suatu tanaman (yaitu kebutuhan tanaman),
sedangkan periode pertumbuhan merupakan kondisi lahan (yaitu kualitas lahan atau karakteristik lahan).
Periode pertumbuhan merupakan determinan utama dari kesesuaian lahan bagi suatu tanaman dan kultivar
tanaman. Dalam suatu daerah tertentu, periode pertumbuhan dapat beragam karena adanya variasi
temperature, suplai air dan curah hujan.
Tanaman
Kebutuhan air tanaman sangat beragam, sehingga sebaiknya dicari data dan informasi lokal
tentang kebutuhan air tanaman tertentu. Kalau tidak tersedia data, seringkali dianggap cukup
dengan mengestimasi kebutuhan air tanaman secara umum seperti Tabel 4.
Pohon
Pada umumnya kebutuhan air untuk pohon lebih sukar ditentukan dibandingkan dengan tanaman
semusim. Fase kritis untuk kebanyakan pohon adalah dua tahun pertama sejak penanaman bibit.
Kalau system perakaran pohon telah tumbuh berkembang dengan baik, pohon mempunyai
kemampuan yang besar untuk menyerap air dari tanah dan mampu bertahan atas cekapan air.
Masih belum banyak informasi mengenai respon hasil pohon terhadap deficit lengas tanah.
Satu unit micro-catchment
Zone budidaya
Lubang
infiltrasi
Lubang
infiltrasi
Gambar 7. Sistem Microcatchment (Negarim microcatchment) untuk menanam pohon
(sumber: fao.org)
Lahan /Padang Gembalaan dan Tanaman Pakan
Kebutuhan air jenis-jenis tanaman pakan yang ditanam di daerah semi-arid dan arid dengan
skema pemanenan air hujan, biasanya tidak dihitung atau diestimasi. Tujuannya adalah untuk
memperbaiki performansnya dan untuk menjamin kehidupan tanaman dari musim ke musim berikutnya,
bukan untuk memenuhi kebutuhan air tanaman secara penuh.
Perhitungan Ratio C:CA
Perhitungan Kebutuhan Air Tanaman
Kebutuhan air suatu tanaman tertentu tergantung pada jenis tanaman dan kondisi iklim dimana
tanaman ditanam. Untuk memudahkan perhitungan kebutuhan air tanaman pada kondisi iklim tertentu,
biasanya rumput ditetapkan sebagai tanaman-referensi. Kebutuhan air tanaman-referensi ini telah
ditentukan untuk zone-zone iklim tertentu seperti disajikan dalam Tabel 6.
Table 6. Nilai Evapotranspirasi Referensi ETo (Brouwer et al., 1986)
Zone Iklim
Desert/arid
Semi arid
(Moist) Sub-humid
Humid
Rataan suhu harian
Rendah (less than
15°C)
ETo (mm/hari)
4–6
4-5
3–4
1–2
Medium (15 25°C)
ETo (mm/hari)
7–8
6–7
5–6
3–4
Tinggi (above
25°C)
ETo (mm/hari)
9 - 10
8-9
7-8
5-6
Kebutuhan air tanaman referensi biasanya disebut sebagai evapotranspirasi-referensi, Eto, yang
dinyatakan dalam mm air per hari, mm/hari. Ada cara-cara yang lebih rumit untuk menentukan
evapotranspirasi-referensi, tetapi untuk keperluan disain sistem pemanenan air hujan, telah memadai
dengan menggunakan estimasi dalam Tabel 6. Data yang akurat tentang ETo paling baik kalau diperoleh
secara lokal. Dengan menggunakan informasi kebutuhan air tanaman referensi ini sebagai titik awal
perhitungan kebutuhan air suatu tanaman, maka kita telah memperhitungkan pengaruh kondisi iklim.
Hal yang harus dilakukan adalah menghubungkan kebutuhan air tanaman-referensi dengan
ekbutuhan air tanaman yang akan ditanam. Hal ini dapat dilakukan dengan menggunakan factor tanaman
(Kc), suatu factor dimana kebutuhan air tanaman referensi dikalikan untuk mendapatkan estimasi
kebutuhan air tanaman yang akan ditanam. Rumusnya:
ETcrop = Kc × ETo
ETcrop = evapotranspirasi tanaman dalam satuan mm/hari
Kc = factor tanaman
ETo = evapotranspirasi referensi dalam satuan mm/hari.
Kebutuhan air tanaman beragam dengan fase-fase pertumbuhan tanaman.
Dengan sistem pemanenan air, petani mempunyai sedikit kendali atas jumlah suplai air, meskipun
tergantung pada waktu. Oleh karena itu diperlukan untuk menghitung jumlah air yang diperlukan oleh
tanaman pada setiap fase pertumbuhannya. Untuk keperluan disain sistem pemanenan air hujan, kita
cukup menghitung jumlah total air yang dibutuhkan tanaman selama periode pertumbuhannya.
ETcrop dihitung dengan formula ETcrop = Kc × ETo, dengan rataan nilai Kc dan ETo selama
musim pertumbuhan tanaman. Tabel 7 menyajikan rata-rata nilai Kc untuk beberapa jenis tanaman.
Table 7. Rataan Faktor Tanaman (Critchley, 1991).
Tanaman
Cotton (Kapas)
Groundnuts (Kacangtanah)
Legumes (Legum)
Maize (Jagung_)
Millet
Sorghum
Rataan Kc
0.82
0.79
0.79
0.82
0.79
0.78
Berikut adalah contoh perhitungan kebutuhan air tanaman.
Tanaman yang akan ditanam: Sorghum
Panjangnya musim pertumbuhan: 120 hari
Rataan Kc: 0.78
ETo (dari informasi meteorology local dan estimasi):
Bulan
ETo (mm/hari)
1
9
2
8.5
3
8
4
8
Perhitungan rataan ETo untuk musim pertumbuhan:
ETo = (9 + 8.5 + 8 + 8) / 4 = 8.4 (mm/hari)
Perhitungan ETcrop:
ETcrop = 0.78 × 8.4 = 6.55 (mm/hari)
Rataan kebutuhan air selama musim pertumbuhan:
6.55 × 120 = sekitar. 790 mm
(Sumber: Critchley, 1991)
Curah hujan rancangan (design curah hujan)
Untuk membuat sistem pemanenan air hujan, kita harus mengetahui kuantitas hujan selama
musim pertumbuhan tanaman. Kuantitas hujan yang digunakan sebagai dasar untuk merancang suatu
sistem panen air hujan lazimnya disebut sebagai ”curah hujan rancangan”.
Kesulitan yang dihadapi dalam menentukan curah hujan rancangan secara tepat adalah tingginya
variasi hujan di daerah-daerah arid dan semi-arid. Dengan rata-rata curah hujan tahunan sebesar 400 mm,
ternyata ada tahun-tahun tanpa hujan sama sekali, dan ada tahun basah dengan curah hujan 500 - 600 mm
atau bahkan lebih.
Kalau curah hujan aktual lebih rendah dari curah hujan rancangan, maka daerah tangkapan air
tidak akan menghasilkan cukup banyak runoff untuk memenuhi kebutuhan tanaman; kalau curah hujan
aktual lebih besar dari hujan rancangan, mungkin akan terlalu banyak runoff yang dapat merusak fasilitas
pemanenan air hujan.
Pada saat memulai teknik pemanenan air hujan, disarankan untuk merancang sistem pada “sisiaman” bahwa disain bangunannya mampu menahan banjir. Seyogyanya digunakan tanaman tahan kering
untuk meminimumkan risiko kegagalan panen tanaman selama tahun-tahun tidak ada atau kurang hujan.
Direkomendasikan untuk mencoba jenis-jenis tanaman tahan kering yang telah beradaptasi dengan
kondisi lokal, untuk membandingkan produktivitasnya dalam skema pemanenan air yang baru.
Determinasi faktor runoff
Cara pertama untuk menentukan faktor R adalah dengan cara perkiraan, kemudian diikuti dengan
percobaan (coba-coba). Nilai musiman (atau tahunan) faktor runoff, R, biasanya antara 0.20 dan 0.30
pada lahan dengan kemiringan kurang dari 10%. Faktor R ini dapat sebesar 0.50 pada daerah tangkapan
alamiah yang berbatu. Faktor runoff R sering diestimasi dan dievaluasi dalam kaitannya dengan hasilhasil dari eksperimen pertama dari sistem panen air hujan.
Ke dua, lebih akurat dan lebih banyak pekerjaan, cara untuk menentukan faktor runoff .
R adalah mengukur lebih dulu faktor - r untuk individu kejadian hujan, kemudian baru dihitung
faktor runoff musiman (tahunan). Critchley (1991) menyarankan pengukuran faktor r dilakukan paling
tidak selama periode dua tahun sebelum dimulainya program konstruksi sekala besar. Untuk pengukuran
faktor runoff ( r ) diperlukan petak-petak ukur.
Petak-petak ukur ini ditempatkan di titik-titik representatif di daerah yang direncanakan akan
dibangun sistem panen air hujan. Dengan petak ukur runoff ini dimungkinkan mengukur jumlah runoff
dari masing-masing kejadian hujan. Selainn itu juga dimungkinkan mengukur faktor runoff musiman
untuk daerah sekitarnya, tetapi hal ini harus dilakukan dengan hati-hati. Faktor runoff sangat tergantung
pada kondisi lokal.
Proses terjadinya runoff (limpasan permukaan)
Pada saat hujan turun, tetesan pertama air hujan ditangkap oleh daun dan tajuk vegetasi. Ini
biasanya disebut sebagai SIMPANAN INTERSEPSI.
Gambar 8. Diagram hubungan anrata curah hujan, infiltrasi dan runoff (Sumber: Linsley et al., 1958)
Retensi
Curah Hujan
Kurva
kapasitas
infiltrasi
Infiltrasi
Kalau hujan berlangsung terus, air hujan yang mencapai permukaan tanah akan meresap ke
dalam tanah (infiltrasi) sampai mencapai suatu taraf dimana intensitas hujan melebihi kapasitas infiltrasi
tanah. Setelah itu, celah-celah dan cekungan di permukaan tanah, parit-parit, dan cekungan lainnya
(simpanan permukaan) semua dipenuhi air, dan setelah itu barulah terjadi runoff.
Kapasitas infiltrasi tanah tergantung pada tekstur dan struktur tanah, dan dipengaruhi pula oleh
kondisi lengas tanah sebelum hujan. Kapasitas awal (tanah yang kering) biasanya tinggi, tetapi kalau
hujan turun terus, kapasitas ini menurun hingga mencapai nilai keseimbangan yang disebut sebagai LAJU
INFILTRASI AKHIR.
Proses runoff akan berlangsung terus selama intensitas hujan lebih besar dari kapasitas infiltrasi
aktual, tetapi runoff segera berhenti pada saat intensitas hujan menurun hingga kurang dari laju infiltrasi
aktual.
Proses kejadian runoff air ghujan telah banyak dibahas dalam kajian pemodelan, terutama
pemodelan simulasi komputer. Akan tetapi SEMUA MODEL ini memerlukan pengetahuan yang lengkap
tentang faktor-faktor dan kondisi awal dari daerah-tangkapan airnya, yang dalam banyak hal tidak mudah
tersedia.
Faktor-faktor yang mempengaruhi runoff
Terlepas dari karakteristik hujan, seperti intensitas hujan, lama hujan dan distribusi hujan, ada
beberapa faktor khusus lokasional (daerah tangkapan air) yang berhubungan langsung dengan kejadian
dan volume runoff.
(1). Tipe Tanah
Kapasitas infiltrasi suatu tanah dipengaruhi oleh porositas tanah, yang menentukan kapasitas
simpanan air dan mempengaruhi resistensi air untuk mengalir ke lapisan tanah yang lebih dalam.
Porositas suatu tanah berbeda dengan tanah lainnya. Kapasitas infiltrasdi tertinggi dijumpai pada
tanah-tanah yang gembur, tekstur berpasir; sedangkan tanah-tanah liat dan berliat biasanya mempunyai
kapasitas infiltrasi lebih rendah. Bagan-bagan berikut menyajikan beragam kapasitas infiltrasi yang
diukur pada berbagai tipe tanah.
Kapasitas infiltrasi juga tergantung pada kadar lengas tanah pada akhir periode hujan sebelumnya.
Kapasitas infiltrasi aweal yang tinggi dapat menurun dengan waktu (asalkan hujan tidak berhenti) hingga
mencapai suatu nilai konstan pada saat profil tanah telah jenuh air. (Gambar 8 dan 9).
Gambar 9. Kurva
kapasitas infiltrasi untuk berbagai tipe tanah yang berbeda.
Liat
Lempung
Lempung berpasir
Pasir
Kondisi seperti ini hanya berlaku kalau kondisi permukaan tanah tetap utuh tidak mengalami
gangguan. Telah diketahui bahwa rataan ukuran tetesan air hujan meningkat dengan meningkatnya
intensitas hujan. Dalam suatu intensitas hujan yang tinggi, energi kinetik tetesan air hujan sangat besar
pada saat memukul permukaan tanah. Hal ini dapat menghancurkan agregat tanah dan dispersi tanah, dan
mendorong partikel-partikel halus tanah memasuki pori tanah. Pori tanah dapat tersumbat dan
terbentuklah lapisan tipis yang padat dan kompak di permukaan tanah sehingga mereduksi kapasitas
infiltrasi.
Fenomena seperti ini lazim disebut sebagai “capping, crusting atau sealing”. Hal ini dapat
menjelaskan mengapa di daerah-daerah arid dan semi-arid yang mempunyai pola hujan dengan intensitas
tinggi dan frekuensi tinggi, volume rinoff sangat besar meskipun hujannya sebentar dan kedalaman hujan
relatif kecil.
Tanah-tanah dengan kandungan liat tinggi (misalnya tanah-tanah abu volkan dengan kandungan
liat 20% ) sangat peka untuk membentuk kerak-permukaan dan selanjutnya kapasitas infiltrasi menjadi
menurun. Pada tanah-tanah berpasir, fenomena kerak-permukaan ini relatif kecil.
(2). Vegetasi
Besarnya simpanan intersepsi pada tajuk vegetasi tergantung pada macam vegetasi dan fase
pertumbuhannya. Nilai-nilai intersepsi yang lazim adalah 1 - 4 mm. Misalnya tanaman serealia,
mempunyai kapasitas simpanan intersepsi lebih kecil dibandingkan dengan rumput penutup tanah yang
rapat. Hal yang lebih penting adalah efek vegetasi terhapad kapasitas infiltrasi tanah. Vegetasi yang rapat
menutupi tanah dari tetesan air hujan dan mereduksi efek kerak-permukaan. Selain itu, perakaran
tanaman dan bahan organik dalam tanah dapat meningkatkan porositas tanah sehingga memungkinkan
lebih banyak air meresap ke dalam tanah. Vegetasi juga menghambat aliran air permukaan terutama pada
lereng yang landai, sehingga air mempunyai kesempatan lebih banyak untuk meresap dalam tanah atau
menguap.
(3). Kemiringan dan ukuran daerah tangkapan
Pengamatan pada petak-petak ukur runoff menunjukkan bahwa petak-petak pada lereng yang
curam menghasilkan runoff lebih banyak dibanding dnegan petak-petak pada lereng yang landai. Selain
itu, jumlah runoff menurun dengan meningkatnya panjang lereng. Hal seperti ini terjadi karena aliran air
permukaan lebih lambat dan waktu konsentrasinya lebih panjang (yaitu waktu yang diperlukan oleh tetes
air hujan untuk mencapai outlet daerah tangkapan air). Hal ini berarti bahwa air mempunyai lebih banyak
kesempatan untuk infiltration dan evaporasi sebelum ia mencapai titik pengukuran di outlet. Hal yang
sama juga berlaku kalau kita membandingkan daerah-daerah tangkapan yang ukurannya berbeda.
Efisiensi runoff (volume runoff per luasan area) meningkat dengan menurunnya ukuran daerahtangkapan air, yaitu semakin besar ukuran daerah-tangkapan berarti semakin besar (lama) waktu
konsentrasi air dan semakin kecil efisiensi runoff.
Gambar 10. Efisiensi runoff sebagai fungsi dari ukuran daerah tangkapan (Ben Asher, 1988).
E
f
i
s
i
e
n
s
i
R
u
n
o
f
f
Ukuran Zone Tangkapan Air, A (hektar)
Akan tetapi harus diingat bahwa diagram pada gambar di atas dibuat dari kasus khusus di daerah
“Negev desert” dan tidak berlaku umum di daerah-daerah lainnya. Diagram ini menyajikan pola
kecenderungan umum hubungan runoff dan ukuran daerah tangkapan.
Koefisien Runoff
Selain faktor-faktor yang bersifat spesifik-lokasi, perlu diperhatikan juga adalah homogenitas
kondisi fisik daerah tangkapan air. Meskipun pada sekala mikro, ternyata juga ada variasi kemiringan,
tipe tanah, vegetasi penutup dll. Oleh karena itu setiap daerah-tangkapan air mempunyai respon-runoff
yang spesifik, dan respon ini juga akan tergantung pada ragam kejadian hujan.
Disain sarana pemanenan air memerlukan pengetahuan tentang jumlah runoff yang akan
dihasilkan oleh hujan dalam suatu daerah tangkapan. Biasanya diasumsikan bahwa volume runoff
sebanding dengan kedalaman (jumlah) hujan.
Runoff [mm] = K x Rainfall depth [mm]
Dalam kondisi daerah-tangkapan di pedesaan yang tidak ada bagian kedap air, koefficien K,
yang mencerminkan persentase runoff dari suatu kejadian hujan, bukanlah merupakan faktor yang
konstan. Nilai koefisien ini sangat beragam dan tergantung pada faktor-faktor spesifik lokasi dan
karakteristik hujannya.
Misalnya, dalam suatu daerah tangkapan tertentu, dengan kondisi initial yang sama (misalnya
kadar lengas tanah awal), kejadian hujan selama 40 menit dengan intensitas rataan 30 mm/jam akan
menghasilkan persentase runoff lebih kecil dibandingkan dengan kejadian hujan selama 20 menit tetapi
dengan rataan intensitas 60 mm/jam, walaupun total hujan keduanya sama.
Penentuan Koefisien Runoff
Dengan beragam alasan, koefisien runoff yang dihasilkan dari lokasi lain tidak bioleh digunakan
untuk dasar desain pemanenan air hujan di suatu lokasi. Demikian juga, koefisien runoff untuk daerahtangkapan yang luas (besar) tidak bioleh digunakan untuk daerah tangkapan yang ukurannya kecil.
Analisis hubungan hujan - runoff dan pendugaan koefisien runoff seyogyanya dilakuakn
berdasarkan kondisi aktual lokasi, pengukuran simultan hujan dan runoff di suatu lokasi.
Koefisien runoff dari suatu kejadian hujan didefinisikan sebagai runoff dibagi dengan hujan
terkait dan dinyatakan sebagai kedalaman seluruh daerah tangkapan (mm):
Pengukuran aktual harus dilakukan hingga diperoleh kisaran nilai yang representatif. Shanan dan Tadmor
menyarankan periode dua tahun untuk mengukur hujan dan runoff sebelum dimulai program konstruksi
yang besar.
Biasanya akan diperoleh korelasi yang baik antara koefisien runoff dengan kedalaman hujan .
Gambar 11. Runoff air hujan (sumber: http://www.google.co.id/imglanding?)
Faktor Runoff , %
Gambar 12. Hubungan Hujan – runoff , Baringo, Kenya (Sumber: Finkel , 1987)
Hubungan yang lebih baik akan diperoleh kalau pengamatan meliputi kedalaman hujan, intensitas
hujan, lamanya hujan, dan kadar lengas tanah awal sebelum kejadian hujan. Hal ini memungkinkan
kejadian-kejadian hujan dikelompokkan menurut rataan intensitasnya dan kadar lengas tanah awalnya,
dan memnungkinkan menggambarkan hubungan antara koefisien runoff dengan durasi hujan terkait,
untuk berbagai intensitas hujan. Intensitas hujan dapat diukur dengan akurat menggunakan alat ukur
otomatis “autographic rain gauge”.
Rataan intensitas hujan dapat dihitung dengan jalan membagi kedalaman hujan dengan durasi
kejadian hujannya.
Pada saat menganalisis data-data hasil pengamatan, perlu diperhatikan bahwa jumlah hujan
tertentu diperlukan sebelum terjadi runoff. Jumlah hujan ini biasanya disebut dengan hujan-ambang
“threshold rainfall”, mencerminkan kehilangan initial akibat intersepsi dan simpanan depresi permukaan
serta untuk memenuhi kehilangan infiltrasi yang besar pada saat awal.
Hujan-ambang ini tergantung pada karakteristik fisik daerah dan beragam dengan kondisi daerah
tangkapan. Di daerah-daerah dengan vegetasi jarang, dan kondisi lahan yang bentuknya teratur, hujanambang ini berkisar 3 mm; sedangkan di daerah tangkapan lainnya nilai hujan-ambang ini dapat sebesar
12 mm, terutama kalau tanahnya mempunyai kapasitas infiltasi yang besar. Fakta bahwa hujan-ambang
ini harus dipenuhi lebih dahulu , dapat menjelaskan mengapa tidak setiap kejadian hujan menghasilkan
runoff. Kenyataan seperti ini harus diketahui kalau kita menilai koefisien runoff tahunan pada suatu
daerah tangkapan.
Pendugaan Runoff Musiman atau Tahunan
Pengetahuan tentang runoff dari individual kejadian hujan sangat penting dalam kaitannya
dnegan mendugaan perilaku runoff pada suatu daerah tangkapan air dan untuk mendapatkan indikasi
puncak runoff yang harus ditahan (ditampung) oleh struktur pemanenan air hujan dan kapasitas yang
diperlukan untuk menampung sementara runoff; misalnya ukuran suatu lubang infiltrasi dalam suatu
sistem mikro daerah-tangkapan air.
Akan tetapi untuk menenetukan rasio luas daerah tangkapan dengan daerah olahnnya, perlu
menduga besarnya koefisien runoff tahunan atau musiman. Ini didefinisikan sebagai total runoff dalam
setahun (atau semusim) dibadi dengan total hujan selama periode yang sama.
Koefisien runoff tahunan (atau musiman) berbeda dengan koefisien runoff yang berasal dari individual
kejadian hujan, karena ia memperhatikan juga kejadian-kejadian hujan yang tidak menghasilkan runoff.
Oleh karena itu koefisien runoff tahunan (musiman) selalu lebih kecil dibandingkan dengan rataan
arithmatik koefisien-koefisien runoff yang berasal dari individual kejadian hujan penghasil runoff.
Bagan petak ukur runoff
Gambar 13. Standar Petak Ukur Runoff (Sumber: Siegert 1978)
Petak ukur runoff digunakan untuk mengukur runoff pada kondisi yang terkontrol. Petak-petak
ukur ini harus dibuat langsung di daerah pengukuran. Karakteristik fisiknya, seperti tipe tanah, slope dan
vegetasi harus mencerminkan kondisi lokasi dimana akan dibuat bangunan pemanenan air hujan.
Ukuran petak ukur ini idealnya harus sama dengan ukuran daerah tangkapan untuk panen air
hujan. Hal seperti tidak selalu dapat dilakukan, karena masalah penyimpanan akumulasi total runoff.
Ukuran minimum yang direkomendasikan adalah lebar 3-4 m dan panjang 10-12 m. Ukuran yang lebih
kecil harus dihindarkan karena hasil yang diperoleh dari petak yang terlalu kecil biasanya akan bias
(keliru).
Gambar 14. Koefisien Runoff dalam hubungannya dengan intensitas hujan, lamanya hujan dan
lengas tanah sebelumnya. Diukur pada kondisi tanah “loess” dengan vegetasi jarang-jarang.
Kemiringan lahann 1.5%. (Sumber: Siegert , 1978).
Faktor Efisiensi.
Bagian dari hasil panen air hujan yang dapat digunakan oleh tanaman disebut dengan “FAKTOR
EFISIENSI”. EfISIENSI LEBIH TINGGI kalau area lahan pengolahan diratakan dan datar. Faktor
efisiensi ini berkisar antara 0.5 dan 0.75. Kalau tidak tersedia data pengukuran, maka cara untuk
mengestimasi faktorn efisiensi ini berdasarkan pengalaman: trial and error.
Formula untuk menghitung Rasio C:CA
1. Air yang diperlukan di lahan budidaya (CA) = Air yang dipanen di daerah tangkapan (C)
2. Air yang diperlukan di lahan budidaya (CA) = [Kebutuhan air tanaman – Curah hujan rancangan] ×
CA (m²)
dan
Air yang dipanen di daerah tangkapan (C) = R × Curah hujan rancangan × Faktor efisiensi × C (m²)
3. Oleh karena itu:
[Kebutuhan air tanaman – Hujan rancangan ] × CA =
R × Hujan rancangan × Faktor efisiensi × C
Atau
C:CA = (Kebutuhan air tanaman – Hujan rancangan) / (R x Hujan rancangan x Faktor Efisiensi).
Perhitungan rasio C:CA dengan rumus ini sangat berguna untuk sistem yang melibatkan
penanaman tanaman semusim. Untuk jenis pohon-pohonan, rasio C:CA sulit ditentukan secara akurat,
sehingga dianggap cukup dengan perhitungan kasar saja. Pohon bisanya ditanam pada micro-catchments.
Ukuran suatu micro-catchment untuk setiap pohon biasanya berkisar antara 10 m² dan 100 m², tergantung
pada kondisi iklim dan spesies tanaman yang ditanam. Untuk lahan gembalaan atau lahan pakan dalam
suatu sistem panen air hujan, tujuannya adalah untuk memperbaiki “performance” nya dan bukan
sepenuhnya untuk memenuhi kebutuhan air tanaman. Dengan demikian arahan umum untuk estimasi
rasio C:CA sudah dianggap cukup. Perhitungan rasio C:CA untuk tanaman semusim disajikan berikut ini.
Contoh perhitungan rasio C:CA untuk tanaman
Iklim:
Teknik panen air:
Tanaman:
Kebutuhan air tanaman:
Curah hujan rancangan:
Koefisien Runoff (R):
Faktor efisiensi:
C:CA =
Semi-arid
Small scale e.g. contour ridges
Sorghum
550 mm
320 mm
0.50
0.70
(550 - 320) / (320 × 0.50 × 0.70) = 2.05
Kesimpulan: daerah tangkapan air kira-kira dua-kali lebih besar dibandingkan dengan daerah
olahannya. Dalam sistem-sistem yang sekalanya lebih kecil, biasanya rasio ini lebih rendah. Hal ini
karena koefisien runoff nya lebih besar, dan ini disebabkan oleh pendeknya daerah tangkapan air, dan
lebih tingginya faktor efisiensi karena air runoff tidak terlalu banyak menggenang di zone pengolahan.
(Source: Critchley,1991)
Rasio C:CA sebesar 2:1 - 3:1 umumnya dianggap cocok untuk disain sistem micro-catchment,
yang lazim digunakan di daerah penggembalaan dan pakan ternak.
Model Micro-catchment
Setiap sistem pemanen air hujan terdiri atas zone tangkapan air (pengumpul air) dan zone
budidaya (penampung, konsentrasi). Hubungan antara kedua zone ini, dalam hal ukuran luasnya,
menentukan besarnya faktor pengganda curah hujan. Untuk merancang suatu sistem dengan tepat,
disarankan untuk mennentukan rasio antara zone tangkapan air (C) dengan zone budidaya (CA).
Harus diperhatikan bahwa perhitungan senantiasa melibatkan berbagai parameter yang sangat
beragam, terutama curah hujan dan runoff. Oleh karena itu kadangkala perlu melakukan modifikasi disain
awal dengan mempertimbangkan penghalaman lapangan, dan seringkali sangat berguna memasukkan
sarana pengamanan, seperti “cut-off drain”, untuk menghindari kerusakan akibat curah hujan melampaui
nilai rancangannya.
Perhitungan rasio C:CA sangat berguna bagi sistem pemanenan air hujan kalau ditujukan untuk
budidaya tanaman.
Daerah
tangkapan air
Daerah
tangkapan air
Zone
Budidaya,
CA
Zone
Budidaya,
CA
Strip-strip
Zone
Budidaya
Gambar 15. Prinsip dasar: Rasio antara zone budidaya (CA) dengan zone
tangkapan air (C)
Download