PENGELOLAAN SUMBER ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP BAB II PENGELOLAAN SUMBER ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP A. PENDAHULUAN Sebagai bagian pelaksanaan Repelita IV, kebijaksanaan pembangunan sektor sumber alam dan lingkungan hidup dalam tahun 1987/88 tetap diarahkan kepada upaya meningkatkan dayaguna dan hasilguna sumber alam dan lingkungan hidup bagi pembangunan yang berkelanjutan. Untuk menopang peri kehidupan yang lebih beraneka ragam, maka fungsi lingkungan hidup terus dikembangkan dan dilestarikan. Tujuan tersebut dapat dicapai dengan cara lebih meningkatkan upaya pengenalan potensi sumber alam dan lingkungan hidup, pemanfaatan sumber alam dan lingkungan hidup yang lebih memperhatikan masa depan, rehabilitasi sumber alam dan lingkungan hidup yang rusak, pencegahan kerusakan sumber alam dan lingkungan hidup, serta peningkatan kemampuan masyarakat untuk melestarikan lingkungan hidup dan memanfaatkan sumber alam secara rasional. Dengan demikian sumber alam dan lingkungan hidup, hutan, tanah dan air merupakan sasaran yang menjadi perhatian utama. B. KEBIJAKSANAAN DAN LANGKAH-LANGKAH Sebagaimana tahun-tahun sebelumnya dalam Repelita IV, dalam tahun 1987/88 kebijaksanaan pengelolaan sumber alam dan lingkungan hidup telah diwujudkan dalam 4 program pokok yaitu: (1) Inventarisasi dan Evaluasi Sumber Alam dan Lingkungan Hidup, (2) Penyelamatan Hutan, Tanah dan Air, (3) Pembinaan II/3 Sumber Alam dan Lingkungan Hidup, dan (4) Pengembangan Meteorologi dan Geofisika. Keempat program tersebut masing-masing mencakup berbagai kegiatan dalam upaya pengelolaan sumber alam dan lingkungan hidup yang lebih baik dan dilaksanakan di berbagai daerah. 1. Program Inventarisasi Lingkungan Hidup dan Evaluasi Sumber Pelaksanaan inventarisasi dan evaluasi sumber lingkungan hidup telah ditingkatkan baik jenis maupun kedalamannya. Alam dan alam dan kegiatan Informasi yang baik mengenai potensi sumber alam dan kondisi lingkungan akan sangat menunjang usaha-usaha pembangunan di berbagai sektor dan daerah. Sehubungan dengan itu maka berbagai kegiatan pemetaan sumber alam dan pengenalan kondisi lingkungan hidup terus dikembangkan. Kegiatan-kegiatan tersebut meliputi pemetaan dasar, pemetaan geologi dan hidrogeologi, pemetaan agroekologi, pemetaan vegetasi dan kawasan hutan, pemetaan kemampuan tanah, penatagunaan sumber daya alam, inventarisasi dan pemetaan tipe ekosistem, pemetaan liputan lahan, pemetaan geo-ekologi pantai, pemetaan geomorfologi, dan pemetaan arkeologi, serta peningkatan kegiatan penunjangnya seperti pendidikan, penelitian dan pengembangan teknologi. 2. Program Penyelamatan Hutan, Tanah dan Air Kegiatan-kegiatan dalam program Penyelamatan Hutan, Tanah dan Air dilaksanakan dengan tujuan untuk: (1) melindungi hasil-hasil pembangunan dari ancaman bencana yang disebabkan oleh kerusakan lingkungan seperti bahaya banjir dan kekeringan, (2) membangun sumber alam baru dan merehabilitasikan sumber alam yang rusak di daerah kritis, (3) memperbaiki sistem hidrologi di daerah aliran sungai, (4) meningkatkan produktivitas sumber daya tanah, hutan dan air, (5) mengusahakan pelestarian alam, plasma nutfah dan fungsi perlindungan wila yah. Usaha-usaha yang termasuk dalam program ini adalah penghijauan, konservasi tanah dan reboisasi, pengendalian dan pengamanan sungai, pengembangan wilayah dan penanggulangan bencana alam serta perlindungan sumber plasma nutfah, yang dilaksanakan dalam rangka pengelolaan DAS secara terpadu. Usaha lainnya yang termasuk dalam program ini adalah pembinaII/4 an dan pembangunan taman nasional dan suaka alam, pelestarian fungsi kawasan lindung dan pembinaan wisata alam, penyelamatan flora dan fauna langka serta pembinaan pelestarian ekosistem pesisir dan lautan. 3. Pembinaan Sumber Alam dan Lingkungan Hidup Dalam pembinaan sumber alam dan lingkungan hidup ditempuh kebijaksanaan yang mengusahakan agar: (1) sumber alam Indonesia digunakan secara rasional, (2) pemanfaatan sumber alam dan lingkungan hidup dilakukan dengan kebijaksanaan menyeluruh dan dengan lebih memperhitungkan kemungkinan pemanfaatannya oleh generasi mendatang, (3) pemanfaatan sumber alam diusahakan tidak merusak tata lingkungan hidup manusia, (4) kemampuan keahlian dalam bidang lingkungan hidup bagi pemerintah, swasta, dan masyarakat dapat ditingkatkan, (5) studi AMDAL diterapkan terhadap proyek-proyek yang mempunyai dampak merugikan bagi lingkungan, (6) peranserta masyarakat dalam upaya penyelamatan lingkungan semakin berkembang, (7) tata ruang yang berwawasan lingkungan makin terarah, dan (8) kesehatan lingkungan pemukiman makin meningkat. 4. Pengembangan Meteorologi dan Geofisika Kegiatan utama program pengembangan Meteorologi dan Geofisika adalah mengamati, mengumpulkan dan menafsirkan gejalagejala Meteorologi dan Geofisika secara terus-menerus dan sistematis serta melakukan analisa dan ramalan atas dasar data yang diperoleh. Hasil kegiatan Meteorologi dan Geofisika meliputi penyajian informasi keadaan cuaca, iklim dan geofisika, serta segala kejadian yang berlangsung di atmosfir. Program pengembangan Meteorologi dan Geofisika dalam tahun 1987/88 sebagaimana tahun-tahun lainnya dalam Repelita IV adalah bertujuan untuk: (1) meningkatkan kemampuan untuk memenuhi kebutuhan data dan informasi melalui pengembangan jaringan stasiun pengamatan geo-meteorologi, (2) meningkatkan kemampuan peralatan agar dapat menghasilkan data dan informasi geo-meteorologi yang lebih cepat dan lebih tepat, (3) meningkatkan kemampuan kelembagaan dan tenaga ahli serta keterampilan pegawai, (4) memperluas jangkauan dan meningkatkan kelancaran sistem penyampaian informasi meteorologi dan geofisika kepada masyarakat pemakai jasa. Pada tahun ke empat Repelita IV ini telah diusahakan untuk meningkatkan jam operasi stasiun pengamatan menjadi 24 jam penuh per hari. Di samping itu telah ditingkatkan pula kerjasama regional dan internasional di bidang meteorologi dan geofisika. II/5 C. HASIL-HASIL YANG TELAH DICAPAI 1 . Program Inventarisasi Lingkungan Hidup dan Evaluasi Sumber Alam dan Program ini mencakup kegiatan-kegiatan (1) pemetaan dasar wilayah darat dan wilayah laut, (2) pemetaan geologi dan hidrogeologi, (3) pemetaan agroekologi, (4) pemetaan vegetasi dan kawasan hutan, (5) pemetaan kemampuan tanah, (6) penatagunaan sumber daya alam seperti hutan, tanah dan air, (7) inventarisasi dan pemetaan tipe ekosistem, (8) pemetaan liputan lahan, (9) pemetaan geo-ekologi pantai, (10).pemetaan geomorfologi, (11) pemetaan arkeologi, dan (12) kegiatan-kegiatan pendidikan dan latihan, penelitian dan pengembangan teknologi dalam bidang pemetaan. a. Pemetaan Dasar Dalam pemetaan dasar digunakan potret panchromatic, yaitu pemotretan yang menghasilkan gambar sesuai dengan warna yang sebenarnya. Selain itu digunakan pula potret infra merah berwarna semu. Pemotretan untuk pemetaan tersebut dilaksanakan sekaligus dengan mempergunakan kamera ganda. Karena potret infra merah berwarna semu tersebut tidak terganggu oleh cuaca berawan ataupun kabut, maka sejak diterapkannya teknologi tersebut pada tahun 1979 telah dapat ditanggulangi sebagian besar gangguan iklim dan cuaca terhadap kegiatan pemotretan. Kegiatan pemetaan dasar diprioritaskan bagi wilayah-wilayah yang dimanfaatkan untuk lokasi transmigrasi dan lokasi pembangunan sektor penting lainnya. Di samping itu kegiatan pemetaan dasar juga mencakup survai penegasan batas internasional di darat. Penegasan batas dengan Malaysia dilakukan di Kalimantan, yang meliputi perbatasan sepanjang 1.740 km dan pelaksanaannya dilakukan oleh Jawatan Topografi Angkatan Darat. Survai perbatasan tersebut dimulai pada tahun 1984/85 yang dilanjutkan dalam tahun 1985/86 dan tahun 1986/87 dan mencapai hasil berturut-turut sepanjang 95 km, 314 km, dan 800 km. Dalam tahun 1987/88 survai perbatasan Negara RI dengan Malaysia berhasil dilakukan sepanjang 54,1 km. Hasil ini lebih kecil apabila dibandingkan dengan tahun 1986/87. Dengan demikian sampai dengan tahun 1987/88 panjang perbatasan yang telah disurvai mencapai 1.263,1 km, dan sisanya sepanjang 476,9 km masih belum disurvai. II/6 Survai penegasan perbatasan Negara RI dengan Papua Nugini yang panjangnya 725 km pelaksanaannya dilakukan oleh Badan Koordinasi Survai dan Pemetaan Nasional. Survai penegasan, batas tersebut dimulai pada tahun 1983/84 dan meliputi perbatasan sepanjang 213 km. Dalam tahun 1984/85 telah dilakukan survai perbatasan sepanjang 137 km, dan dalam tahun 1985/86 sepanjang 80 km. Dalam tahun 1986/87 tidak dilakukan survai perbatasan, demikian pula dalam tahun 1987/88. Dengan demikian sampai dengan tahun 1987/88 430 km perbatasan Negara RI - Papua Nugini telah disurvai dan sepanjang 295 km masih belum dikerjakan. Sebagai kelanjutan dari survai di darat yang telah dilaksanakan pada tahun-tahun sebelumnya, maka pada tahun 1987/88 mulai dilaksanakan survai udara. Sasaran survai udara tersebut sepanjang 430 km. Dalam tahun tersebut survai udara yang dilaksanakan mencapai sekitar 60% dari panjang perbatasan 430 km yang harus dilaksanakan, atau sama dengan 36% dari panjang perbatasan yang ada (= 725 km). Selain pemetaan dasar wilayah darat, dalam tahun 1984/85 telah dihasilkan 13 peta batimetri di daerah Selat Makasar dengan skala 1 : 250.000 dan 26 peta medan magnetik dengan skala 1 : 250.000 di daerah Selat Makasar dan Selat Sunda. Dalam tahun 1985/86 tidak diprogramkan pembuatan peta batimetri, sedangkan pada tahun 1986/87 dihasilkan 7 peta batimetri skala 1 : 250.000 dan 7 peta medan magnetik skala 1 : 250.000 di lokasi yang sama. Dalam tahun 1987/88 karena tidak termasuk dalam prioritas, maka pembuatan peta batimetri tidak dilaksanakan. Peta batimetri adalah peta yang menunjukkan kedalaman suatu lautan atau rupa bumi dasar laut. Gunanya antara lain untuk inventarisasi sumber daya laut, studi geologi laut dan geofisika. Sedangkan peta medan magnetik adalah peta kuat medan magnetik di lautan, yang antara lain diperlukan untuk menganalisa gempa, jebakan mineral, eksplorasi mineral dan lain sebagainya. b. Pemetaan Geologi dan Hidrogeologi Sasaran pemetaan geologi dan geofisika meliputi seluruh luas wilayah Indonesia. Pemetaan geologi dan .geofisika di Jawa dan Madura dengan ekala 1 : 100.000 telah dapat diselesaikan dalam tahun 1984/85, masing-masing meliputi 77,6% dan 71,6% dari seluruh sasaran yang direncanakan. Dalam tahun II/7 1985/86 areal yang dicakup pemetaan bertambah sehingga masingmasing menjadi 84,5% dan 75,9% dari seluruh luas wilayah Jawa dan Madura. Dalam tahun 1986/87 telah diselesaikan pula sehingga masing-masing menjadi 93% dan 79,3% dari seluruh sasaran yang direncanakan. Selanjutnya dalam tahun 1987/88 pemetaan geologi dan geofisika di Jawa dan Madura yang berhasil diselesaikan bertambah masing-masing meliputi 96% dan 82,76%. Untuk wilayah di luar Jawa dan Madura, pemetaan geologi dan geofisika dilaksanakan dengan skala 1 : 250.000 dan dalam tahun 1984/85 telah mencakup masing-masing 64,4% dan 23,5% dari seluruh wilayah yang menjadi sasaran pemetaan. Dalam tahun 1985/86 areal yang dicakup pemetaan tersebut bertambah sehingga masing-masing menjadi 72,4% dan 26,8%, sedangkan dalam tahun 1986/87 pemetaan geologi menjadi 73,5% dan pemetaan geofisika menjadi 29,8%. Sampai dengan tahun 1987/88 pemetaan geologi meningkat sehingga menjadi 75% dan pemetaan geofisika juga. meningkat mencapai 30,69% dari seluruh luas wilayah sasaran pemetaan di luar Jawa dan Madura. Pemetaan hidrogeologi dimaksudkan untuk menyediakan data dasar hidrogeologi kualitatif mengenai. adanya air tanah dan produktivitas lapisan pembawa air tanah. Berdasarkan pada pemetaan hidrogeologi tersebut diharapkan para perencana pembangunan dapat melaksanakan perencanaan penyediaan air yang bersumber dari air tanah secara lebih teliti. Sasaran pemetaan hidrogeologi meliputi seluruh luas wilayah Indonesia. Pemetaan hidrogeologi bersistem dengan skala 1 : 250.000 untuk kegiatan di wilayah Indonesia pada tahun 1984/85 mencapai 37,9% dan tahun 1985/86 mencapai 40% dari seluruh sasaran yang akan dicapai. Dalam tahun 1986/87 pemetaan tersebut mencapai 41%. Sedangkan dalam tahun 1987/88 cakupan pemetaan tersebut bertambah sedikit sehingga mencapai sebesar 43% dari seluruh luas wilayah Indonesia. Di samping itu dalam kegiatan pemetaan hidrogeologi, pemetaan lokasi perlu lebih diperhatikan, karena hal itu diperlukan untuk mengetahui secara lebih tepat lokasi daerah resapan dari suatu aliran air tanah. Juga penting sebagai upaya untuk pengisiannya kembali agar kelangsungan dari ketersediaan air tanah di suatu daerah dapat lebih terjamin. II/9 Sampai dengan tahun 1987/88 wilayah Indonesia yang telah terliput dalam kegiatan pemetaan hidrogeologi mencakup seluruh wilayah Jawa - Madura, Bali, Lombok, Sumbawa, Flores, Sumba, sebagian Sumatera, Timor, Kalimantan, Sulawesi dan sebagian kecil Irian Jaya. Selain dari pada itu, dalam tahun 1987/88 di wilayah DKI Jakarta dilaksanakan kegiatan pemetaan hidrogeologi, khususnya untuk penelitian peresapan/penyusupan air asin. Di samping itu telah pula dilakukan pemetaan hidrogeologi khusus untuk mengetahui secara pasti mengenai cadangan air tanah dan untuk pengembangannya lebih lanjut di beberapa wilayah, seperti Jakarta, Bandung, Semarang dan Denpasar. c. Pemetaan Agroekologi, vegetasi dan kemampuan tanah. Pemetaan vegetasi dan kawasan hutan dalam tahun 1984/85 mencakup areal seluas 4,1 juta ha untuk skala 1 : 100.000 dan 429.499 ha dengan skala 1 : 20.000. Pemetaan dalam tahun 1985/ 86 mencakup areal seluas 8 juta ha dengan skala 1 : 100.000. Dalam tahun 1986/87 telah pula dipetakan vegetasi dan kawasan hutan seluas 8 juta ha lagi dengan skala 1 : 100.000. Di samping itu dilakukan pula pemetaan citra satelit seluas 21 juta ha dengan skala 1 : 250.000. Dalam tahun 1987/88 kawasan hutan yang berhasil dipetakan turun dari tahun sebelumnya, yaitu mencakup areal seluas 4 juta ha dengan skala 1 : 100.000. Selain pemetaan kawasan hutan tersebut juga dipetakan penggunaan tanah pedusunan. Pemetaan penggunaan tanah pedusunan yang dilaksanakan dengan skala 1 : 100.000 dan 1 : 50.000 dalam tahun 1984/85 meliputi areal seluas 7,89 juta ha. Di samping itu juga dipetakan kemampuan tanah untuk pertanian dengan skala 1 : 25.000 yang meliputi areal seluas 1,12 ha. Juga dilaksanakan pemetaan penggunaan tanah kota kabupaten dan kotamadya dengan skala 1 : 5.000 di 41 kota yang meliputi areal seluas 102.500 ha, dan pemetaan penggunaan tanah kota kecamatan dengan skala 1 : 5.000 di 171 kota yang meliputi areal seluas 342.000 ha. Dalam tahun 1985/86 dilaksanakan pemetaan penggunaan tanah pedusunan dengan skala 1 : 100.000 dan 1 : 50.000 yang meliputi areal seluas 5,68 juta ha dan pemetaan kemampuan tanah untuk pertanian dengan skala 1 : 25.000 yang meliputi areal seluas 5,41 juta ha. Di samping itu pada tahun tersebut II/9 c juga dilaksanakan pemetaan penggunaan tanah kota kabupaten dan kotamadya dengan skala 1 : 5.000 di 1 9 kota yang meliputi areal seluas 46.000 ha, dan pemetaan penggunaan tanah kota kecamatan dengan skala 1 : 5.000 di 195 kota yang meliputi areal seluas 390.000 ha. Kemudian dalam tahun 1986/87 di laksanakan pemetaan penggunaan tanah pedusunan dengan skala 1 : 100.000 dan 1 : 50.000 mencakup areal seluas 11,06 juta ha, dan pemetaan penggunaan tanah kota kecamatan dengan skala 1 : 5.000 di 38 kota dan mencakup areal seluas 76.000 ha. Pemetaan penggunaan tanah pedusunan terus dilaksanakan sampai dengan tahun 1987/88. Dalam tahun tersebut dipetakan penggunaan tanah kota kecamatan dengan skala 1 : 5.000 di 21 kota kecamatan dan mencakup areal seluas 42.000 ha. Di samping itu juga telah dilakukan pemetaan kawasan Puncak di Jawa Barat dengan skala 1 : 100.000 yang mencakup areal seluas 12.000 ha. Pengukuran dan pemetaan tata guna tanah transmigrasi yang dapat diselesaikan dalam tahun 1984/85 dan tahun 1985/86 masing-masing mencakup 573.080 ha dan 119.408 ha. Dalam tahun 1986/87 telah terselesaikan 120.000 ha. Sedangkan dalam tahun 1987/88 pemetaan tata guna tanah transmigrasi yang dapat diselesaikan berkurang, hanya mencakup areal seluas 60.000 ha. d. Inventarisasi dan Penatagunaan Pemetaan Ekosistem Sumber Daya Alam dan Inventarisasi hutan dilakukan dengan penginderaan jauh bertingkat, yaitu dengan penggunaan citra satelit dan penafsiran potret udara dari berbagai skala, yang diikuti dengan survai lapangan dan pengumpulan data secara langaung. Dengan menggunakan citra satelit dalam tahun 1984/85 telah diinventarisasi areal hutan seluas 19,2 juta ha dengan skala 1 : 100.000, dan dalam tahun 1985/86 kegiatan itu mencakup areal seluas 45 juta ha dengan skala 1 : 250.000. Dalam tahun 1986/87 telah diinventarisasi areal hutan seluas 17,2 juta ha dengan skala 1 : 250.000. Selanjutnya dalam tahun 1987/88 areal hutan yang dapat diinventarisasi dengan menggunakan citra satelit turun menjadi seluas 12,0 juta ha dengan skala 1 : 250.000. Di samping inventarisasi hutan dengan menggunakan citra satelit telah pula dilakukan inventarisasi hutan dengan mengII/10 gunakan penafsiran potret udara. Dalam tahun 1984/85 telah diinventarisasi areal hutan dengan menggunakan penafsiran potret udara dengan skala 1 : 100.000 yang mencakup areal seluas 4,1 juta ha dan dengan skala 1 : 20.000 yang mencakup areal seluas 0,4 juta ha. Dalam tahun 1985/86 inventarisasi hutan yang dilakukan dengan skala 1 : 100.000 mencapai areal seluas 29•juta ha dan yang berskala 1 : 20.000 mencapai areal seluas 1,3 juta ha. Dalam tahun 1986/87 luas hutan yang diinventarisasi dengan skala 1 : 100.000 mencapai 4;4 juta ha. Pada tahun 1987/88 telah dilakukan dua inventarisasi hutan dengan penafsiran potret udara, yaitu dengan skala 1 : 100.000 yang mencakup areal seluas 2,0 juta ha dan dengan skala 1 : 20.000 seluas 2,24 juta ha. Inventarisasi pendahuluan dilaksanakan dengan maksud untuk memberikan gambaran umum yang diperlukan dalam rangka pengelolaan hutan. Dalam tahun 1984/85 telah dilakukan inventarisasi pendahuluan yang meliputi areal hutan seluas 218,5 ribu ha. Dalam tahun 1985/86 dan tahun 1986/87 hutan yang di inventarisasi masing-masing mencakup areal seluas 251,0 ribu ha dan 942,0 ribu ha. Selanjutnya dalam tahun 1987/88 inventarisasi pendahuluan tetap dilakukan dan hasilnya menunjukkan penurunan apa bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya, yaitu mencakup areal seluas 808,0 ribu ha. Selain inventarisasi hutan tersebut di atas, juga telah dilaksanakan inventarisasi dan eksplorasi sumber daya mineral logam, mineral bukan logam dan batubara. Dari hasil inventarisasi dan eksplorasi tersebut telah banyak ditemukan adanya beberapa endapan tambang, misalnya tembaga, timbal, seng, perak, emas, timah, air raksa, besi, khromit, wolfram, mangan, tufit dan pirofilit. e. Pemetaan liputan lahan Makin tingginya pertambahan penduduk dan cepatnya laju pembangunan menyebabkan perubahan dalam penggunaan lahan secara cepat. Perubahan tersebut haruslah dapat diimbangi dengan pembaharuan informasi mengenai peta penggunaan lahan, yaitu dengan dilakukannya pemetaan liputan lahan. Peta liputan lahan tersebut sangat diperlukan untuk perencanaan pem bangunan wilayah. Pemetaan liputan lahan adalah pemetaan yang dimaksud II/11 kan untuk mengetahui seluruh informasi yang ada di permukaan bumi, misalnya: hutan, pemukiman, tanah kosong, belukar dan sebagainya. Pemetaan liputan lahan tersebut dilaksanakan dengan teknik penginderaan jauh dan dilengkapi dengan survai lapangan. Penginderaan jauh yang digunakan untuk pemetaan liputan lahan dilakukan dengan menggunakan foto udara dan citra satelit. Dalam tahun 1986/87 telah dilakukan pemetaan liputan lahan yang berhasil memetakan seluruh wilayah Sumatera dengan skala 1 : 250.000. Pada tahun 1987/88 kegiatan pemetaan liputan lahan tidak termasuk dalam prioritas kegiatan, sehingga dalam tahun tersebut pemetaan liputan lahan tidak dilakukan. f. Pemetaan geo-ekologi. pantai Pemetaan geo-ekologi pantai bertujuan untuk mengetahui kondisi dan potensi daerah pantai. Mengingat pantai negara Republik Indonesia sangat panjang dan luas, maka usaha untuk memperoleh informasi mengenai kondisi dan potensi pantai tersebut perlu mendapatkan perhatian yang khusus. Pemetaan geoekologi pantai dilakukan dengan teknik penginderaan jauh dan survai sosial ekonomi di wilayah pantai. Pemetaan geo-ekologi pantai mulai dilakukan tahun 1985/86. Pada tahun tersebut pemetaan geo-ekologi pantai dilakukan di seluruh wilayah Aceh, seluruh wilayah Sumatera Utara, dan sebagian wilayah Riau. Dalam tahun 1986/87 dipetakan geo-ekologi pantai untuk seluruh Sumatera Barat, Bengkulu, Lampung dan sebagian dari Riau. Selanjutnya dalam tahun 1987/88 pemetaan geo-ekologi pantai yang dilakukan hanya mencakup wilayah Sumatera Selatan. Semua peta yang diperoleh dari hasil pemetaan geo-ekologi pantai dari tahun-tahun sebelumnya sampai dengan tahun 1987/88 tersebut berskala 1 : 250.000. g. Pemetaan geo-morfologi Pemetaan geo-morfologi dimaksudkan untuk mendapatkan informasi mengenai bentuk permukaan bumi dan proses yang terjadi padanya. Informasi ini sangat diperlukan untuk pengelolaan lingkungan dan perencanaan pembangunan, karena dengan pemetaan geo-morfologi, antara lain dapat diidentifikasikan daerah yang rentan terhadap banjir dan rentan terhadap ke longsoran dan lain sebagainya. Pemetaan geo-morfologi dilaksanakan dengan penginderaan jauh dan survai lapangan. Kegiatan pemetaan geo-morfologi di- II/12 mulai pada tahun 1984/85 dan pada tahun tersebut berhasil dipetakan sebagian wilayah Jawa Tengah dengan skala 1 .: 50.000. Pemetaan yang dilakukan dalam tahun 1985/86 mencakup seluruh wilayah Aceh untuk skala 1 : 250.000. Dalam tahun 1986/87 telah dilakukan pemetaan geo-morfologi yang mencakup wilayah Sumatera Utara, wilayah Sumatera Barat, wilayah Bengkulu, wilayah Jambi dan wilayah Lampung dengan skala yang sama dengan tahun 1985/86. Dalam tahun 1987/88 pemetaan geo-morfologi pantai yang juga berskala 1 : 250.000 tetap dilaksanakan, tetapi hanya meliputi wilayah Sumatera Selatan. h. Pemetaan Arkeologi Pemetaan arkeologi (pemetaan lokasi kepurbakalaan) telah pula dilaksanakan dalam rangka menggali dan melestarikan peninggalan sejarah bangsa. Dalam hal ini telah dilaksanakan pemetaan situs-situs kepurbakalaan. Kegiatan ini mulai dilaksanakan dalam tahun 1982/83 di Trowulan. Dalam tahun 1983/84 telah dipetakan situs kepurbakalaan di Muara Jambi. Dalam tahun 1984/85 telah dipetakan situs kepurbakalaan di Demak, Jepara, Gresik dan Palembang. Dalam tahun 1985/86 tidak dilakukan pemetaan, sedangkan dalam tahun 1986/87 dilakukan di Tuban, Gresik dan Kediri. Dalam tahun 1987/88 pemetaan arkeologi hanya dilakukan di Kediri. i. Pendidikan dan Latihan, Penelitian dan Teknologi Kegiatan di bidang survai dan pemetaan akan dapat berhasil apabila ditunjang dengan tersedianya tenaga yang menguasai teknologi dan keterampilan di bidang survai dan pemetaan. Demikianlah maka pendidikan juga memperoleh prioritas dalam pembangunan Sumber Alam dan Lingkungan Hidup. Sehubungan dengan itu, maka pada tahun 1984/85 telah berhasil dididik tenaga teknisi sebanyak 29 orang. Dalam tahun 1985/86 dan tahun 1986/87 masing-masing sejumlah 96 orang dan 142 orang. Dalam tahun 1987/88 jumlah tenaga teknisi yang berhasil dididik turun dari tahun sebelumnya, hanya sebanyak 29 orang. Pendidikan tenaga teknisi tersebut dilaksanakan di Yogyakarta dan Bandung. Teknologi penginderaan jauh telah berkembang pesat, sehingga perlu diadakan penelitian di bidang pemanfaatan tekno II/13 logi tersebut untuk berbagai bidang. Sejak Repelita III sampai tahun keempat Repelita IV, penelitian pemanfaatan teknologi tersebut telah dilakukan antara lain: (1) penelitian pemanfaatan teknik penginderaan jauh untuk pemetaan sagu di Irian Jaya, pemetaan kelapa di Sulawesi, pemetaan karat di Jambi dan Sumatera Selatan, (2) penelitian pemanfaatan teknik penginderaan jauh untuk membantu survai arkeologi di Trowulan, Banten, Jepara/Demak, Kediri, Palembang, (3) penelitian pemanfaatan teknik penginderaan jauh untuk daerah karat (kapur) di Gunung Kidul, (4) penelitian pemanfaatan teknik penginderaan jauh.untuk memantau penghijauan dan reboisasi, (5) penelitian citra radar untuk pemetaan liputan lahan di Kalimantan Selatan. Dalam rangka menunjang inventarisasi dan tata guna hutan telah dapat dihimpun berbagai data sebagai hasil dari kegiatan-kegiatan pemetaan di bidang kehutanan. Di antaranya dapat disebutkan berbagai informasi mengenai jenis pohon ekspor dan mengenai berbagai jenis tanaman yang cocok untuk reboisasi, penghijauan dan rehabilitasi padang alang-alang. Misalnya, telah diteliti sifat-sifat secara lengkap sebanyak 150 jenis botanis kayu perdagangan Indonesia dari 259 jenis yang ada. Berdasarkan data dasar yang telah diperoleh, antara lain, telah disusun sejumlah pedoman mengenai berbagai jenis kayu ekspor. Penelitian teknik budidaya rotan dan pemeliharaan tanaman rotan merupakan salah satu penelitian yang penting yang telah dapat dilaksanakan dalam tahun 1987/88. Di samping itu juga dilaksanakan penelitian biologi satwa liar dan penelitian silvikultur sagu. Pada tahun 1987/88 penelitian di bidang kehutanan telah menghasilkan beberapa masukan untuk menunjang pembangunan Hutan Tansman Industri (HTI), antara lain tentang pedoman tata cara penyiapan/penyediaan bibit meranti dari permudaan alam, juga mengenai informasi tentang sifat dan kegunaan beberapa jenis kayu HTI. Dalam usaha meningkatkan pembinaan hutan alam telah pula dihasilkan konsep penyempurnaan pedoman pelaksanaan Tebang Pilih Indonesia (TPI). Penelitian mengenai kesuburan dan produktivitaa tanah serta konservasi tanah dan air yang dilakukan selama ini telah mengungkapkan, misalnya, bahwa banyak lahan yang disediakan untuk perluasan areal pertanian ternyata merupakan tanahtanah masam, miskin hara dan tanah tererosi. Penelitian yang lain telah dapat membantu mendapatkan teknologi usaha tani sederhana yang mampu meningkatkan hasil dengan memperhatikan II/14 kelestarian lingkungan dan tingkat biaya yang dengan kemampuan petani. lebih sesuai Penelitian geologik mengenai sumber daya mineral dan air tanah serta potensi panas bumi dalam tahun 1987/88 terus dilanjutkan seperti tahun-tahun sebelumnya. Tujuannya adalah untuk memperoleh gambaran tentang besarnya deposit, volume, agaria potensi cadangan dan lokasinya di berbagai wilayah masing-masing. Di samping itu untuk dapat mempelajari kemungkinan pemanfaatan sumber-sumber daya alam yang tersedia, maka telah pula dilakukan penelitian geologik tentang tata kota dan tata daerah. Selanjutnya telah dilakukan pula penelitian geofisika kelautan di wilayah barat perairan Indonesia, yang tujuannya mencari endapan mineral timah dan mineral berat lainnya. 2. Program Penyelamatan,Hutan, Tanah dan Air Hutan, tanah dan air adalah komponen suatu ekosistem yang saling berhubungan dan saling tergantung satu dengan yang lainnya di dalam mengendalikan tata air, erosi sedimentasi, banjir dan penyediaan air serta pelestarian fungsi ekosistemnya sehingga upaya penyelamatan sumber daya tersebut harus dilaksanakan secara terpadu. Kegiatan penyelamatan hutan, tanah dan air tersebut meliputi usaha penghijauan, reboisasi, pembinaan dan pembangunan kawasan konservasi sumber daya alam, serta perbaikan, pengaturan dan pengembangan wilayah sungai. a. Penghijauan Penghijauan yang telah dilaksanakan dalam tahun 1984/85 seluruhnya mencakup areal seluas 208.452 ha, yang dilakukan di 21 propinsi, 160 kabupaten dan 1.060 kecamatan dan meliputi 34 Daerah Aliran Sungai (DAS). Dalam tahun 1984/85 tersebut telah dilaksanakan pembuatan dam pengendali dan unit percontohan masing-masing sebanyak 345 buah dari 707 unit dengan luas areal masing-masing meliputi 86.250 ha dan 109.920 ha. Di samping itu juga dilakukan pembangunan hutan rakyat dan kebun rakyat yang meliputi areal seluas 4,83 ribu ha. Pada tahun 1985/86 luas areal penghijauan meningkat menjadi 305.408 ha. Pada tahun tersebut juga telah dibangun dam pengendali dan unit percontohan masing-masing sebanyak 267 buah dan 710 unit dengan luas areal masing-masing mencakup 65.000 ha dan 236.830 ha, sedangkan pembangunan hutan rakyat dan kebun rakyat meliputi areal seluas 11,48 ribu ha. Seluruh ke II/15 giatan tersebut dilaksanakan di 2 3 propinai, 174 kabupaten dan 1.036 kecamatan yang meliputi 36 DAS. Sasaran lokasi kegiatan penghijauan dalam tahun 1986/87 sama dengan tahun 1985/86 yang mencakup areal seluas 268.583 ha. Pada tahun 1986/87 telah diselesaikan pembangunan dam pengendali dan unit percontohan masing-masing sebanyak 280 buah dan 474 unit dengan luas areal masing-masing mencakup 72.750 ha dan 175.510 ha serta pembangunan hutan rakyat dan kebun rakyat berhasil meliputi areal seluas 19,77 ribu ha. Sasaran lokasi penghijauan dalam tahun 1987/88 sama dengan tahun 1985/86 dan tahun 1986/87. Dibandingkan dengan tahun 1986/87 maka pada tahun 1987/88 luas areal pelaksanaan penghijauan menurun menjadi 72.750 ha, sedangkan pembangunan dam pengendali dan unit percontohan menurun masing -masing menjadi 138 buah dengan luas areal meliputi 34.500 ha dan 163 unit dengan luas areal meliputi 38.500 ha. Pada tahun tersebut tidak ada kegiatan pembangunan hutan rakyat dan kebun rakyat (Tabel II-1, Tabel II-2 sampai dengan Tabel II-6). Pada tahun tersebut peranan pemerintah dalam kegiatan tersebut berkurang. Meakipun demikian, berkat tingkat kesadaran dan partisipasi masyarakat diperkirakan hasilnya tidak mengalami kemunduran. Untuk meningkatkan peranserta masyarakat dalam kegiatan penghijauan, maka diadakan kegiatan-kegiatan penyuluhan yang dilakukan melalui usaha pembangunan petak percontohan dan peningkatan mutu tenaga penyuluh lapangan. Tahun 1987/88 jumlah tenaga penyuluh lapangan yang terlatih telah mencapai jumlah 5.027 orang. Adapun pelaksanaan penghijauan sejak Repelita I sampai dengan tahun 1987/88 seluruhnya berhasil mencakup 3,32 juta ha (Tabel II-7 dan Grafik II-1). b . Reboisasi Reboisasi dalam tahun 1984/85 dilakukan di 13 propinsi, 58 Kawasan Pemangkuan Hutan (KPH) dan 196 Bagian Kawasan Pemangkuan Hutan (BKPH); seluruhnya mencakup areal seluas 57.307 ha dalam 24 DAS. Sedangkan reboisasi dalam tahun 1985/86 dilakukan di 19 propinsi, 66 KPH, 250 BKPH, meliputi 27 DAS, dan luas areal pelaksanaan 72.918 ha. Usaha reboisasi dalam tahun 1986/87 dilaksanakan di 20 propinsi, 67 KPH, 251 BKPH dan luas areal pelaksanaan meningkat dibandingkan dengan tahun 1985/86 menjadi seluas 88.864 ha (Tabel II-8). II/16 TABEL II – 1 HASIL PELAKSANAAN PENGHIJAUAN MENURUT DAERAH TINGKAT I, 1983/84 – 1987/88 (ha) 1) Angka diperbaiki 2) Angka sementara - Tidak ditargetkan II/17 TABEL II – 2 PEMBUATAN DAN PENGENDALI MENURUT DAERAH TINGKAT I, 1983/84 - 1987/88 (buah) 1) Angka diperbaiki 2) Angka sementara - Tidak ditargetkan II/18 TABEL II - 3 PEMBUATAN PETAK PERCONTOHAN/DEMPLOT PENGAWETAN TANAH DAN USAHA PERTANIAN MENETAP MENURUT DAERAH TINGKAT I, 1983/84 - 1987/88 (unit) 1) Angka diperbaiki 2) Angka sementara - Tidak ditargetkan II/19 TABEL II – 4 HASIL PELAKSANAAN AREAL TANGKAPAN DAN PENGENDALI, 1983/84 - 1987/88 (ha) 1) Angka diperbaiki 2) Angka sementara - Tidak ditargetkan II/20 TABEL II – 5 HASIL PELAKSANAAN AREAL DAMPAK PETAK PERCONTOHAN, 1983/84 - 1987/88 (ha) 1) Angka diperbaiki 2) Angka sementara - Tidak ditargetkan II/21 TABEL II – 6 HASIL PELAKSANAAN HUTAN RAKYAT, 1983/84 - 1987/88 (ha) 1) Angka diperbaiki 2) Angka sementara - Tidak ditargetkan II/22 TABEL II – 7 KEADAAN HASIL PENGHIJAUAN, 1983/84 - 1987/88 (ha) 1) Angka diperbaiki 2) Angka sementara - Tidak ditargetkan II/23 GRAFIK II – 1 KEADAAN HASIL PENGHIJAUAN, 1983/84 – 1987/88 II/24 TABEL II - 8 HASIL PELAKSANAAN USAHA REBOISASI MENURUT DAERAH TINGKAT I, 1983/84 – 1987/88 1) Angka diperbaiki 2) Angka sementara - Tidak ditargetkan II/25 Dalam tahun 1987/88 dilakukan reboisasi di 18 propinsi, meliputi 57 KPH dalam 2 4 DAS dengan luas areal yang menurun dibandingkan dengan tahun sebelumnya menjadi 15.846 ha (Tabel II-8). Dengan demikian kegiatan reboisasi sejak Repelita I sampai dengan tahun 1987/88 telah berhasil membentuk hutan baru seluas 1,34 juta ha. Perkembangan hasil reboisasi selama tahun-tahun tersebut dapat dilihat dalam Tabel II-9 dan Grafik 11-2. Usaha reboisasi dan permudaan pada areal bekas tebangan di Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Selatan telah dilaksanakan sejak tahun 1982/83. Dalam tahun 1984/85 usaha ini mencapai 7.429 ha, kemudian meningkat sehingga mencapai luas 58.881 ha pada tahun 1985/86. Dalam tahun 1986/87 dapat ditingkatkan lagi 3,3% menjadi seluas 60.832 ha. Pada tahun 1987/88 kegiatan reboisasi dan permudaan pada areal bekas tebangan telah ditingkatkan menjadi 80.409 ha. Pelaksanaan reboisasi dan rehabilitasi lahan di areal pengusahaan hutan belum berjalan seperti seharusnya karena beberapa hal, antara lain: keaulitan dalam pengadaan benih dan bibit, pengusahaan teknik reboisasi belum memadai dan tenaga terampil di kalangan pemegang Hak Pengueahaan Hutan masih kurang. Untuk mengatasi masalah tersebut, mulai tahun 1984/85 diadakan tenaga petugas lapangan reboisasi dalam areal HPH. Dalam tahun 1987/88 telah diadakan perbaikan dalam penyelenggaraannya dan pengawasannyapun di daerah-daerah ditingkatkan. Untuk membantu pengembangan penyediaan benih untuk keperluan tersebut dalam tahun 1985/86 telah dikembangkan 1.600 ha sumber benih di Jawa Barat, Yogyakarta, Sumatera Selatan dan Sulawesi Selatan. Sampai dengan tahun 1987/88 untuk pelaksanaan penghijauan dan reboisasi, di samping 5.027 orang petugas lapangan penghijauan yang telah disebutkan di atas, dipekerjakan pula sebanyak 1.243 orang petugas lapangan reboisasi dan 168 orang petugas khusus penghijauan yang juga telah memperoleh latihan-latihan melalui penataran dan kursus. Perkembangan jumlah petugas lapangan penghijauan dan petugas lapangan reboisasi dapat dilihat pada Tabel II-10. Sasaran luas penghijauan dan reboisasi dalam Repelita IV adalah 3,1 juta ha. Realisasinya sampai dengan tahun 1987/88 meliputi luas sekitar 1,2 juta ha atau 35,2% dari sasaran. II/26 TABEL II - 9 KEADAAN HASIL REBOISASI, 1983/84 - 1987/88 1) (ha) 1) Angka diperbaiki 2) Angka sementara - Tidak ditargetkan II/27 GRAFIK II - 2 KEADAAN HASIL REBOISASI, 1983/84 - 1987/88 II/28 TABEL II – 10 JUMLAH PETUGAS LAPANGAN PENGHIJAUAN (PLP), DAN PETUGAS LAPANGAN REBOISASI (PLR) MENURUT DAERAN TINGKAT I, 1983/84 - 19 87 /88 1 ) (or an g) 1) 2) Angka kumulatif sejak Repelita I Angka sementara II/29 Hal ini terjadi karena adanya hambatan-hambatan. Dalam kegiatan reboisasi hambatan yang utama adalah kurangnya pengamanan terutama terhadap bahaya kebakaran, sedangkan dalam kegiatan penghijauan yang menjadi hambatan utama adalah kurangnya dukungan masyarakat dan instansi tehnis terkait. Salah satu kunci keberhasilan pelaksanaan penghijauan dan reboisasi adalah kesungguhan para pelaksana di daerah, baik dalam perencanaan, pelaksanaan, maupun dalam pengamanan hasil-hasilnya. Hutan Tanaman Industri (HTI) adalah hutan tanaman yang dibangun dalam satuan-satuan pengelolaan tertentu sebagai satuan usaha komersial yang secara ekonomis harus dapat mandiri dengan tujuan menghasilkan hasil produksi untuk diolah me lalui industri hasil hutan. Pada tahun 1984/85 pembangunan hutan tanaman industri (HTI) telah dimulai di atas areal seluas 11.000 ha. Dalam tahun 1985/86 pembangunan HTI meliputi areal seluas 23.800 ha, dan dalam tahun 1986/87 meningkat menjadi 27.100 ha. Dalam tahun 1987/88 telah dipersiapkan pembangunan HTI seluas 30.478 ha atau meningkat 3.378 ha dibandingkan dengan tahun 1986/87. Adapun lokasi pembangunan HTI tersebar di propinsi Sumatera Utara, Riau, Jambi, Aceh, Lampung, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur. c. Pembinaan dan Pembangunan Kawasan Pelestarian Alam dan Penyelamatan Flora dan Fauna Langka Kegiatan Pelestarian sumber alam dan lingkungan hidup terutama ditujukan untuk meningkatkan perlindungan atas proses ekologis esensial, mempertahankan keanekaragaman jenis sumber plasma nutfah dan ekosistemnya, menjamin kelestarian pemanfaatan sumber daya alam, dan untuk menanggulangi semua gangguan dan hambatan terhadap eksistensi sumber daya alam. Sampai dengan tahun 1986/87 telah ditunjuk 328 unit kawasan konservasi dan 19 unit taman nasional dengan areal masing-masing seluas 12.687.661 ha dan 4.665.326 ha. Dalam tahun 1987/88 telah ditunjuk 5 kawasan konservasi baru seluas 122.500 ha, yaitu 1 unit suaka margasatwa seluas 3.900 ha di Sulawesi Selatan, 1 unit Taman Buru seluas 4.610 II/30 ha di Sulawesi Selatan, 2 unit Taman Wisata seluas 54.540 h a masing-masing di Bengkulu dan Kalimantan Timur dan 1 unit taman laut seluas 59.450 ha di Nusa Tenggara Timur. Selain itu telah ditetapkan pula 1 taman nasional baru seluas 111.625 ha di Jawa Tengah. Dengan demikian luas Taman Nasional seluruhnya menjadi 4.776.951 ha, dan sampai dengan tahun 1987/88 telah ditunjuk sebanyak 333 unit kawasan konservasi dengan areal seluas 12.810.161 ha. Perkembangan taman nasional sampai dengan tahun 1987/88 dapat dilihat dalam Tabel II-11. d. Perbaikan, Pengaturan dan Pengembangan Wilayah Sungai Perbaikan, pengaturan dan pengembangan wilayah sungai meliputi kegiatan: (1) perbaikan dan pemeliharaan sungai, (2) perbaikan .dan pengaturan sungai, (3) penanggulangan akibat bencana alam gunung berapi, dan (4) pengembangan wilayah sungai. Dalam tahun 1984/85 kegiatan-kegiatan perbaikan, pengaturan dan pengembangan wilayah sungai dilaksanakan di 12 propinsi, dan areal yang diamankan mencapai 24.869 ha. Dalam tahun 1985/86 kegiatan-kegiatan tersebut dilaksanakan di 23 propinsi, dan areal yang diamankan 208.810 ha, yang terutama terdapat di propinsi Aceh, Jawa Barat, Sumatera Utara, Jawa Timur dan Jawa Tengah. Sedangkan dalam tahun 1986/87 kegiatan perbaikan dan pemeliharaan sungai dilaksanakan hampir di seluruh propinsi di Indonesia (26 propinsi) dan telah dapat mengamankan areal seluas 24.411 ha. Pada Tahun 1987/88 kegiatan tersebut berhasil mengamankan areal seluas 50.900 ha yang meliputi 12 propinsi. Perincian luas areal menurut propinsi dapat dilihat pada Tabel 11-12. Untuk menanggulangi bencana alam akibat gunung berapi, terutama terhadap bahaya banjir lahar dingin dari G. Merapi, G. Kelud, G. Semeru, G. Agung, dan G. Galunggung, maka sampai dengan tahun 1987/88 telah dilakukan pembuatan kantong-kantong pasir, dam pengendali dan bangunan pengendali lainnya. Bahaya banjir ditanggulangi dengan membangun waduk-waduk, diantaranya waduk Wonogiri yang telah berfungsi sejak tahun 1981, waduk Wadaslintang dan Kedung Ombo yang dewasa ini pembangunannya masih dalam tahap pelaksanaan. 3. Program Pembinaan Sumber Alam dan Lingkungan Hidup Dalam tahun 1985/86 telah diterbitkan Peraturan Pemerin II/31 TABEL II – 11 HASIL PELAKSANAAN KAWASAN KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM, 1983/84 - 1987/88 3) 1) 2) Angka kumulatif sejak Repelita I Angka sementara II/32 TABEL II - 12 HASIL PELAKSANAAN USAHA PENGENDALIAN SUNGAI, PENGEMBANGAN WILAYAH, DAN PENANGGULANGAN BENCANA ALAM MENURUT DAERAH TINGKAT I, 1983/84 - 1987/88 (ha) 1) Angka sementara II/33 tah No. 29 Tahun 1986 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) dengan 5 pedoman Umum Pelaksanaannya. Peraturan Pemerintah tersebut merupakan penjabaran dari Undangundang No. 4 Tahun 1982 yang mengatur tentang kewajiban memasukkan pertimbangan dampak lingkungan ke dalam setiap perencanaan pembangunan. Penilaian pertimbangan dampak lingkungan dilakukan oleh Komisi Pusat AMDAL yang dibentuk di setiap Departemen/Instansi dan di daerah di setiap Propinsi. Sampai saat ini sudah terbentuk 22 Komisi Pusat AMDAL di Departemen Perindustrian, Pekerjaan Umum, Kehakiman, Pertambangan dan Energi, Kehutanan, Pertanian, Kesehatan, Transmigrasi, Hankam, Parpostel, Sosial, Bulog, Perhubungan, Perdagangan, Pendidikan dan Kebudayaan, Dalam Negeri, Luar Negeri, Agama, Keuangan, Ristek/BPPT, Batan, dan Koperasi. Untuk Komisi Daerah AMDAL baru terbentuk di 16 propinsi, yaitu: propinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Lampung, Bali, Sumatera Selatan, Kalimantan Timur, Irian Jaya, Sulawesi Tengah, Jambi, NTT, Kalimantan Selatan, Kalimantan Barat, DKI, Sulawesi Selatan, dan Sumatera Barat. Koordinasi penanganan masalah lingkungan hidup di daerahdaerah dilaksanakan antara instansi sektoral dan pusat-pusat studi lingkungan (PSL) di berbagai perguruan tinggi, antara Biro Bina Kependudukan dan Lingkungan Hidup di lingkungan Sekretariat Wilayah Daerah Propinsi Tingkat I dan Bappeda, serta instansi-inatansi tersebut dengan Lembaga Swadaya Masyarakat. Sampai dengan tahun 1987/88 telah terbentuk 52 PSL di beberapa perguruan tinggi di Indonesia sebagai pusat pengembangan teknologi dan pusat pendidikan tenaga ahli dan terampil dalam bidang lingkungan hidup. Program peningkatan kemampuan keahlian staf PSL dilakukan dengan membuka program pendidikan pasca sarjana Strata 2 dan Strata 3 di bidang ling kungan hidup yang dilakukan di dalam negeri dan di luar negeri. Peningkatan kemampuan di bidang pemantauan dan evaluasi lingkungan bagi staf PSL dilakukan dengan memberikan kesempatan untuk dapat melakukan penelitian di bidang lingkungan dan studi AMDAL. Kursus Dasar-dasar ANDAL dan kursus Penyusunan AMDAL dikembangkan untuk meningkatkan keahlian dan keterampilan penanganan masalah lingkungan hidup. Peserta kursus berasal dari berbagai instansi pemerintah, perusahaan swasta dan Lembaga Swadaya Masyarakat. Dalam perencanaan pembangunan proyek II/34 proyek keterlibatan tenaga-tenaga lulusan kursus-kursus tersebut telah menunjukkan keberhasilannya dalam penanganan masalah lingkungan serta manfaatnya bagi pembangunan. Pelaksanaan kursus-kursus tersebut selain dilaksanakan oleh PSL-PSL di beberapa perguruan tinggi di Indonesia, juga dilakukan di luar negeri seperti Canada, Belgia, Inggris, Jepang dan Italia. Sampai dengan tahun 1986/87 kursus Dasar-dasar AMDAL dan kursus penyusunan AMDAL telah menghasilkan lulusan masingmasing sebanyak 2.787 orang dan 229 orang. Pada tahun 1987/88 hasil lulusan kursus Dasar-dasar AMDAL dan kursus penyusunan AMDAL masing-masing sebanyak 983 orang dan 191 orang, sehingga sampai dengan tahun 1987/88 hasil lulusan masing-masing kursus AMDAL sebanyak 3.770 orang dan 420 orang. Perkembangan hasil lulusan kursus-kursus AMDAL sampai dengan tahun 1987/88 secara terperinci dapat dilihat pada Tabel II-13. Studi AMDAL dalam pembangunan telah diterapkan antara lain, dalam proyek-proyek Hydro-cracksr (Dumai), PLTA Cirata (Jawa Barat), PLTA Kiwa (Kalimantan Selatan), perluasan pabrik semen Indarung (Sumatera Barat), pusat perkayuan, pabrik kertas kraft, PLTA Kedung Ombo (Jawa Tengah) dan proyek-proyek transmigrasi. Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 2 9 Tahun 1986, maka penerapan studi AMDAL akan tetap dilaksanakan terhadap proyek-proyek yang mempunyai dampak merupikan bagi lingkungan. Sebelum Peraturan Pemerintah No. 29 Tahun 1986 telah pula diterbitkan peraturan perundang-undangan sebagai dasar bagi pelaksanaan pembangunan sektoral. Untuk sektor Perindustrian, telah diterbitkan Undang-undang No. 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian yang merupakan dasar untuk berbagai ketentuan pembangunan industri yang berwawasan lingkungan. Di samping itu telah pula diterbitkan Peraturan Pemerintah tentang Tenaga Atom dan Pengawasan Pertambangan serta Pedoman Pengamanan Bahan Beracun dan Berbahaya. Penanggulangan pencemaran lingkungan dilakukan dalam berbagai bidang. Penanggulangan pencemaran di bidang industri terutama ditujukan dalam industri-industri minyak dan gas, industri baja., industri semen, industri pupuk kimia, industri tekstil dan pulp. Di bidang industri pertanian, ditujukan antara lain terhadap industri minyak sawit dan kayu lapis, serta industri kulit dan bumbu masak. Di samping itu penanggulangan pencemaran juga dilakukan terhadap usaha pertambangan. Upaya penanggulangan pencemaran yang ditimbulkan oleh TABEL II - 1 3 JUMLAH LULUSAN PENGIKUT KURSUS-KURSUS AMDAL, 1983/84 - 1987/88 1) (orang) Repelita IV No. 1. 2. 3. Jumlah Jenis Kursus 1983/84 1984/85 1985/86 1986/87 1987/88 2) Pengenalan AMDAL 259 259 259 259 259 Dasar-dasar AMDAL 967 1.452 2.002 2.787 3.770 39 99 159 229 420 1.265 1.810 2.420 3.275 Penyusunan AMDAL 4.449 1) Angka kumulatif selama Repelita III 2) Angka sementara limbah rumah tangga dilanjutkan dan disempurnakan terus. Upaya-upaya tersebut antara lain dilakukan melalui penerapan sistem daur ulang, netralisasi buangan limbah, dan melalui pengembangan pemanfaatan limbah padat dari rumah tangga di perkotaan untuk pertanian. Sebagai tolok ukur untuk menentukan terjadinya perubahan mutu lingkungan, maka sejak tahun 1978/79 terus dikembangkan rancangan Peraturan Pemerintah tentang Penanggulangan Pencemaran Air yang berisi Baku Mutu Air dan Baku Mutu Limbah Cair. Pada tahun 1982/83 dikembangkan Peraturan Pemerintah tentang Penanggulangan Pencemaran Udara yang berisi Baku Mutu Udara Ambien dan Baku Mutu Udara Emisi. Pada tahun 1983/84 dikembangkan Baku Mutu Air Laut. Baku Mutu Lingkungan ini me II/36 rupakan pedoman bagi pemerintah daerah untuk menetapkan Baku Mutu Lingkungan di daerah yang sesuai dengan kondisi lingkungan setempat. Disahkannya Undang-undang No. 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian merupakan dasar untuk berbagai ketentuan pemba ngunan industri yang berwawasan lingkungan. Upaya penelaahan kelayakan terhadap pusat pengolahan limbah industri,.terutama yang mengandung jenis bahan beracun dan berbahaya, telah dilakukan di daerah Cibinong. Upaya pengawasan dan pembinaan mutu lingkungan dilakukan dengan mengadakan pemantauan dan evaluasi atas mutu lingkungan di beberapa wilayah daratan, perairan, dan mutu udara dibeberapa kota besar. Pemantauan dan evaluasi mutu lingkungan di beberapa wilayah daratan antara lain dilakukan di Jabotabek, Gerbang Kerto Susilo, Bandung Raya, Cirebon, Yogyakarta, Medan Raya, Denpasar, Ujung Pandang, Pontianak, Palembang, di beberapa daerah aliran sungai (DAS), seperti DAS Ciliwung-Cisadane, DAS Citarum, DAS Cimanuk, DAS Bengawan Solo, DAS Brantas, DAS Musi, DAS Kapuas, DAS Citanduy, DAS Serayu, DAS Siak, DAS Jratun Seluna, dan di sungai-sungai di Bali Selatan. Di wilayah perairan lautan pemantauan dan evaluasi mutu lingkungan telah dilakukan, antara lain, di Teluk Jakarta, Selat Madura, Laut Jawa, Selat Bangka, Teluk Ambon, Selat Malaka dan Teluk Cilacap. Kota-kota besar yang di pantau dan di evaluasi mutu udaranya adalah kota Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surabaya, Medan, dan Ujung Pandang. Hasil evaluasi mengungkapkan bahwa kawasan-kawasan tersebut telah menunjukkan adanya kecenderungan peningkatan pencemaran dan sedimentasi, serta adanya kecenderungan penurunan mutu udara terutama di daerah industri dan daerah padat lalu lintas. Pemantauan dan evaluasi tersebut dalam tahun 1987/88 terus dilanjutkan dalam rangka pelaksanaan pengawasan mutu lingkungan sebagai masukan dasar untuk pengambilan langkah-langkah kebijaksanaan penanggulangannya. Dalam rangka pemantauan pencemaran udara secara global di berbagai negara dan bagian dunia, Badan Meteorologi dan Geofisika sejak tahun 1984/85 telah mendirikan stasiun Polusi Udara Regional di Puncak yang juga berfungsi sebagai stasiun acuan mutu udara untuk wilayah Indonesia. Kerjasama internasional terutama antara negara ASEAN, dalam hal lingkungan hidup dan sumber daya alam, telah dikembangkan. Kerjasama tersebut meliputi antara lain perlindungan ekosistem, pengelolaan lingkungan laut, pendidikan lingkungan 11/37 hidup, penelitian di bidang lingkungan hidup, peningkatan kemampuan institusi dan personil dan penanggulangan pencemaran industri serta pengembangan hukum lingkungan hidup. Untuk mengetahui tingkat perkembangan keadaan lingkungan di daerah-daerah, sejak.tahun 1983/84 setiap propinsi telah membuat laporan Neraca Kependudukan dan Lingkungan Hidup Daerah (NKLD), dan untuk tingkat nasional dikembangkan dalam bentuk Laporan Kualitas Lingkungan Hidup Indonesia. Sejak tahun 1987/88, laporan NKLD yang terbaik di tingkat nasional diberikan suatu piagam penghargaan. Tanggapan masyarakat terhadap penyelamatan lingkungan hidup khususnya, dan pengembangan pembangunan yang berwawasan lingkungan umumnya, nampak semakin meningkat sebagai akibat dari ikhtiar yang terus menerus dilakukan dalam meningkatkan kesadaran dan peranserta masyarakat. Dalam tahun 1985/86 telah terbentuk Dana Mitra Lingkungan, yang didirikan oleh para pengusaha untuk membantu kegiatan LSM di Indonesia. Sampai dengan tahun 1987/88 telah ada 600 unit Lembaga Swadaya Masyarakat yang bergerak dalam penyelamatan lingkungan hidup. Sampai dengan tahun keempat Repelita IV pengembangan upaya penyelamatan lingkungan dititikberatkan pada pengembangan peranserta masyarakat, baik masyarakat industri, konsumen maupun perorangan. Peranserta masyarakat bertambah nyata dengan diberikannya penghargaan KALPATARU oleh Presiden RI kepada perintis, pengabdi, dan penyelamat lingkungan. Dalam tahun 1987/88 penghargaan KALPATARU telah diberikan kepada 3 orang sebagai perintis lingkungan, 3 orang sebagai pengabdi lingkungan, dan 3 orang sebagai penyelamat lingkungan. Mulai Repelita III sampai dengan tahun 1987/88 telah diberikan penghargaan KALPATARU kepada sebanyak 24 orang perintis lingkungan, kepada 20 orang pengabdi lingkungan, dan kepada 26 orang penyelamat lingkungan. Untuk memberikan dorongan dan motivasi yang lebih besar kepada kota-kota di Indonesia untuk berusaha meningkatkan kebersihan, kesehatan, dan keindahan lingkungan perkotaannya, sejak tahun 1986 kepada kota-kota yang telah mencapai prestasi tertinggi diberikan penghargaan yang berupa "ADIPURA". Penghargaan ini diberikan setiap tahun yang diperinci berdasarkan kategori kota Metropolitan, kota Besar, dan kota Se dang. Pembinaan arahan II/38 tata ruang bertujuan untuk memberikan dalam pemanfaatan ruang untuk pembangunan dan pemukiman yang berwawasan lingkungan. Kegiatan itu mencakup pengembangan Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional. Dalam hal ini telah dilaksanakan Rencana Tata Ruang Wilayah Indonesia Timur, seperti Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur dan Irian Jaya. Upaya pembinaan tata ruang untuk wilayah-wilayah padat penduduk seperti Jabotabek, Cilegon, Gerbang Kerto Susilo, Bandung Raya dan Bogor - Puncak - Cianjur terus dilanjutkan dan dikembangkan. Pengembangan sistem informasi sumber daya alam wilayah daratan dan lautan serta lintas sektoral dalam kerangka penetapan kawasan budidaya dan kawasan non budidaya di setiap wilayah terus dilanjutkan. Selain itu keterpaduan dan keterkaitan rencana tata ruang sektoral terus diusahakan, seperti tata ruang kota, tata ruang pedesaan, tata ruang kehutanan, tata ruang perkebunan dan tata guna tanah. Pembinaan dan pelestarian jenis-jenis ekosistem (ekotipe) dilakukan juga secara terpadu dengan kegiatan-kegiatan pengembangan daerah transmigrasi, pertanian pasang surut di pantai timur Sumatera, pertambakan di pesisir Jawa Barat, Jawa Timur dan Sulawesi Selatan. Berbagai studi untuk mengetahui keadaan ekosistem terus dilaksanakan. Laporan-laporan hasil studi tersebut, yang dilakukan dalam tahun 1986/87 yang merupakan kelanjutan dari studi tahun sebelumnya, meliputi antara lain penelitian ekologik dan pengelolaan hutan payau, pengembangan wilayah pesisir, biologi perikanan daerah payau, perikanan pelagis, dan penelitian mengenai perikanan pantai. Sejak tahun 1987/88 telah mulai dilakukan studi dan uji coba peningkatan kemampuan nelayan tambak miskin tradisional dalam budidaya udang windu di pantai utara Jawa Tengah (Jepara). Dipergunakannya perairan Indonesia sebagai jalur lalu lintas kapal-kapal tanker asing meningkatkan kerawanan terhadap pencemaran laut. Karena itu dalam tahun 1985/86 dan 1986/87 dilakukan kegiatan studi mengenai kemungkinan pembentukan ekosistem nasional perlindungan laut dan penanggulangan darurat pencemaran laut, cara-cara pengelolaan tata lingkungan laut serta cara-cara rehabilitasi dan peningkatan daya dukung lingkungan pesisir pantai. Dalam upaya pelestarian terhadap jenis-jenis satwa yang tidak dilindungi, telah diadakan penertiban perburuan dengan II/39 jalan membentuk obyek olah raga dan wisata melalui penetapan taman buru. Dalam pengembangannya pada tahun 1984/85 telah dilakukan survai mengenai potensi satwa buru di Pulau Moyo di propinsi Nusa Tenggara Barat. Sedangkan dalam tahun 1985/86 telah mulai dikembangkan kegiatan penangkaran buaya di Irian Jaya dan latihan gajah di Lampung. Agar gangguan satwa liar terhadap pemukiman penduduk dan perkebunan di sekitarnya dapat dikurangi, maka pada tahun 1984/85 dan awal 1985/86 telah dilaksanakan penggiringan satwa liar ke habitat yang daya dukungnya lebih tinggi. Usaha tersebut antara lain berupa penggiringan gajah di Jambi, Lampung dan Aceh serta operasi penggiringan banteng di Leuweung Sancang di Garut. Untuk mengurangi gangguan satwa gajah, selain dengan melakukan penjinakan gajah di Pusat Latihan Gajah, sejak tahun 1987/88 ditempuh suatu kebijaksanaan terpadu yang menyerasikan besarnya populasi gajah dengan pola pembangunan yang dilaksanakan, serta penggunaan prosedur AMDAL yang memperhitungkan satwa gajah. Upaya pembangunan dan pengembangan manfaat kawasan yang sekaligus berguna bagi pengaturan tata air, pelestarian plasma nutfah, penelitian dan pendidikan, serta pariwisata antara lain telah dilaksanakan dalam bentuk pembangunan taman hutan raya. Dalam tahun 1985/86 telah diresmikan Taman Hutan Raya (THR) Bung Hatta di Sumatera Barat. Dalam tahun 1986/87 telah dimulai perencanaan pembangunan Taman Hutan Raya (THR) Bukit Suharto di Kalimantan Timur. Perbaikan lingkungan pemukiman kota merupakan salah satu bentuk usaha peningkatan kesejahteraan masyarakat dan peningkatan kesehatan lingkungan pemukiman. Upaya perbaikan lingkungan perumahan kota yang telah dilaksanakan berturut-turut dalam tahun 1983/84 mencakup 3.701 ha dan bermanfaat bagi 1,16 juta penduduk, tahun 1984/85 mencakup 4.041 ha dan bermanfaat bagi 1,29 juta penduduk, tahun 1985/86 mencakup 3.777 ha dan bermanfaat bagi 1,20 juta penduduk, dan tahun 1986/87 mencakup 3.779 ha dan bermanfaat bagi 1,44 juta penduduk. Telah pula dikembangkan penyediaan air bersih di berbagai kota propinsi dan kota kabupaten, berturut-turut tahun 1983/84 sebesar 5.082 liter/detik, tahun 1984/85 sebesar 1.405 liter/detik, tahun 1985/86 sebesar 235 liter/detik, dan tahun 1986/87 sebesar 4.014 liter/detik. Sampai dengan tahun 1987/88, upaya perbaikan lingkungan II/40 perumahan kota mencakup 4.815 ha dan bermanfaat bagi 1,35 juta penduduk. Penkembangan penyediaan air bersih di berbagai kota propinsi dan kota kabupaten pada tahun 1987/88 sebesar 3.626 liter/detik. Dalam tahun 1983/84 telah dibangun perumahan sejumlah 13.645 unit, ta hun 1984/85 sejumlah 10.516 unit, tahun 1985/86 sejumlah 15.072 unit, tahun 1986/87 sejumlah 12.886 unit. Kemudian dalam tahun 1987/88 telah dibangun perumahan sejumlah 21.865 unit. Dibandingkan dengan tahun 1983/84, rata-rata pembangunan unit perumahan dalam Repelita IV telah mengalami peningkatan. 4. Program Pengembangan Meteorologi dan Geofisika Upaya pengembangan dan rehabilitasi sarana dan prasarana meteo-geofisika terus ditingkatkan, sehingga semakin mampu dalam melaksanakan pengadaan informasi dan data, baik dilihat dari segi kualitas, kuantitas maupun luasnya daerah yang dapat dilayani. Peningkatan pelayanan penyediaan informasi di bidang meteo-geofisika dilakukan dengan menambah jam operasi stasiun pengamatan setiap harinya. Dengan demikian tingkat ketelitian data dan tingkat ketepatan ramalan, serta kecepatan dan luasnya penyebaran data telah semakin meningkat dan pelayanan data menjadi makin memadai, baik dalam kualitas maupun kuantitasnya. Juga telah dikembangkan teknik-teknik pengamatan seismo (gempa) secara terus menerus melalui pe ningkatan kemampuan peralatan telemetri seismo. Dengan berfungsinya Stasiun Bumi Satelit Cuaca (SBSC), maka bertambahlah kemampuan untuk mengambil gambar-gambar awan ataupun mengadakan perkiraan-perkiraan cuaca yang lebih teliti dan yang telah dapat mencakup seluruh wilayah Indonesia. Data dan informasi yang dihasilkan oleh berbagai satelit cuaca dan satelit sumber-sumber alam dimanfaatkan pula untuk memenuhi kebutuhan data dan informasi di bidang meteorologi dan geofisika. Dalam hubungan itu kerjasama internasional di bidang meteorologi terus dikembangkan baik di lingkungan ASEAN maupun di lingkungan internasional yang lebih luas. Hasil-hasil yang telah dicapai khusus dalam tahun 1987/88 adalah telah berfungsinya 2 buah stasiun meteorologi penerbangan/synoptic klas III dan 2 buah stasiun iklim (Tabel II-14). Dalam tahun 1986/87 dan tahun 1987/88 berturut-turut telah dapat dihasilkan produksi data sebanyak 1.476 ribu data II/41 TABEL II, - 14 JUMLAH STASIUN METEOROLOGI, KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA YANG TELAH BERFUNGSI, 1983/84 - 1987/88 LI (unit) 1) 2) 3) Angka kumulatif sejak sebelum Repelita Angka sementara Sta s ivn p ener ba nga n K ema yor a n ditu tu p, p er a lata nnya dip er gu na ka n u ntu k mel en g ka p i p er a la ta n s t a s iu n C en g ka r en g y a ng s u da h op er a s io na l. II/42 TABEL II - 15 PRODUKSI DATA STASIUN METEOROLOGI, KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA YANG TELAH BERFUNGSI, 1983/84 - 1987/88 (buah) 1) Angka sementara II/43 dan 1.222 ribu data. Penurunan produksi data ini terjadi antara lain disebabkan oleh cuaca yang baik sehingga jumlah petir (listrik udara) dan data cuaca berkurang,, gangguan alat telekomunikasi (kerusakan SSB, VHF, Telex dan lain-lain) sehingga ada data yang tidak masuk atau terkirim, adanya sebagian stasiun yang kurang aktif (pos SMPK, hujan, dan penguapan) karena alatnya rusak, serta adanya laporan yang terlambat masuk karena letak atasiun yang jauh (terpencil). Permintaan akan data informasi dan data meteorologi dan geofisika pada tahun 1984/85, 1985/86, dan 1986/87, bertu rut-turut adalah 172.000, 204.340, dan 206.300 permintaan. Tahun 1987/88, permintaan akan data informasi dan data meteorologi meningkat menjadi sebanyak 220.000 permintaan. Dengan demikian permintaan akan data informasi dan data meteorologi selalu meningkat. Ketelitian data dan ketepatan ramalan telah mengalami peningkatan dari ketepatan sekitar 75% pada akhir Repelita III menjadi 80% pada tahun 1987/88. Hasil-hasil pembangunan di bidang meteorologi dan geofisika sejak tahun 1983/84 sampai dengan tahun 1987/88, serta hubungannya antara yang satu dan yang lain, secara terperinci dapat dilihat pada Tabel II-14, dan Tabel II-15. II/44