DEGRADASI LAHAN DEGRADASI LAHAN PERTANIAN DEGRADASI LAHAN Degradasi lahan merupakan proses menurunnya kualitas dan kuantitas suatu lahan yang meliputi aspek fisika tanah, kimia tanah, biologi tanah, pada suatu bidang lahan tertentu. Dalam praktek budidaya pertanian sendiri sering akan menimbulkan dampak pada degradasi lahan. Dua faktor penting dalam usaha pertanian yang potensial menimbulkan dampak pada sumberdaya lahan, yaitu tanaman dan manusia (sosio kultural) yang menjalankan pertanian. Faktor AKTIVITAS manusia dapat memberikan dampak positip atau negatip pada suatu lahan, tergantung pada aktivitas pengelolaan pertanian yang dilakukan. Apabila dalam menjalankan pertaniannya benar maka akan berdampak positip, namun apabila cara menjalankan pertaniannya salah maka akan berdampak negatif. Kegiatan budidaya pertanian yang menimbulkan dampak antara lain meliputi kegiatan pengolahan tanah, penggunaan sarana produksi yang tidak ramah lingkungan (pupuk dan insektisida) serta sistem budidaya termasuk pola tanam yang mereka gunakan. Tiga faktor penyebab degradasi tanah akibat campur tangan manusia secara langsung, yaitu : pertanian intensif, pembukaan tambang, deforestasi. Faktor-faktor tersebut di Indonesia pada umumnya terjadi secara simultan, berikut adalah pembahasan dari ketiga degradasi pada tiga bidang. Diunduh dari: http://andikks.blogspot.com/2012/06/degradasi-lahan_05.html……… 24/12/2012 DEGRADASI LAHAN DEGRADASI LAHAN PERTANIAN Aktivitas budidaya pertanian dapat menyebabkan dampak negatif pada sumberdaya lahan. Erosi dan pencemaran tanah terjadi akibat budi daya pertanian yang melampaui daya dukung tanah. Penggunaan bahan-bahan agrokimia yang berlebihan dapat mencemari lingkungan dan mengganggu kelestarian kualitas tanah. Cara-cara budi daya pertanian yang tidak mengindahkan kaidahkaidah konservasi lahan menyebabkan kualitas lahan menurun sejalan dengan hilangnya lapisan tanah subur akibat erosi dan pencucian hara. Kegiatan pembangunan yang berpotensi menimbulkan dampak terhadap degradasi lahan antara lain kegiatan deforesterisasi, industri, pertambangan, perumahan, dan kegiatan pertanian sendiri. Apabila kegiatan tersebut tidak dikelola dengan baik, maka akan mengakibatkan terjadinya degradasi lahan pertanian yang mengancam keberlanjutan uasaha tani dan ketahanan pangan. Oleh karenanya, dalam kegiatan pembangunan hendaknya harus dipikirkan keberlanjutannya dimasa mendatang (sustainabilitas). Praktek budidaya pertanian sering mengakibatkan degradasi lahan. Kegiatan budidaya pertanian yang menimbulkan dampak negatif antara lain meliputi kegiatan pengolahan tanah, penggunaan sarana produksi yang tidak ramah lingkungan (pupuk dan pestisida), serta sistem budidaya termasuk pola tanam yang tidak tepat. Diunduh dari: http://andikks.blogspot.com/2012/06/degradasi-lahan_05.html……… 24/12/2012 DEGRADASI LAHAN Barrow (1991) merinci faktor-faktor utama penyebab degradasi lahan : 1) Bahaya alami 2) Perubahan jumlah populasi manusia 3) Marjinalisasi tanah 4) Kemiskinan 5) Status kepemilikan tanah 6) Ketidakstabilan politik dan masalah administrasi 7) Kondisi sosial ekonomi 8) Masalah kesehatan 9) Praktek pertanian yang tidak tepat, dan 10) Aktifitas pertambangan dan industri. Degradasi lahan ada tiga aspek, yaitu : aspek fisik. kimia dan biologi. 1. Degradasi fisik terdiri dari pemadatan, pengerakan, ketidakseimbangan air, terhalangnya aerasi, aliran permukaan, dan erosi. 2. Degradasi kimiawi terdiri dari asidifikasi, pengurasan unsur hara, pencucian, ketidakseimbangan unsur hara dan keracunan, salinisasi, dan alkalinisasi. 3. Degradasi biologis meliputi penurunan karbon organik tanah, penurunan keanekaragaman hayati tanah, dan penurunan karbon biomas. Diunduh dari: http://pinterdw.blogspot.com/2012/06/penyebab-degradasi-lahan.html……… 24/12/2012 DEGRADASI LAHAN TYPES OF SOIL DEGRADATION Soil degradation is any type of problem that removes soil in an area or makes high-quality soil become poor. Careless agricultural practices, pollution and deforestation cause lots of soil degradation in the world. Several types of soil degradation exist and are a threat to natural forests and planted crops. Read more: Types of Soil Degradation | eHow.com http://www.ehow.com/list_6523052_types-soil-degradation.html#ixzz2FuczEfSE SOIL EROSION NUTRIENT LOSS Erosion occurs when the topsoil that many plants need to grow gets blown or washed away. While some erosion is natural, the humans often remove plants that cover soil and, therefore, speed up erosion. Since topsoil takes so long to build back up through natural processes, erosion damage is almost irreversible. Nutrient loss often occurs in conjunction with salinization. The nutrient loss occurs through a variety of mechanisms, including leaching, erosion, runoff, crop uptake and denitrification. The crops uptake too many soil nutrients that farmers do not always replace. Deforestation and careless agricultural processes lead to soil degradation in the form of nutrient loss. After soil becomes nutrient-poor, crops and naturally occurring plants have a hard time growing in the area. Diunduh dari: http://www.ehow.com/list_6523052_types-soil-degradation.html……… 24/12/2012 DEGRADASI LAHAN SOIL DEGRADATION When plants (trees & shrubs) are cleared from a site, soil is exposed to sunlight and the eroding effects of wind and water. Soil aeration is increased and the rate of weathering increases. Apart from erosion, the proportion of organic matter in the soil gradually decreases, through the action of microbes in the soil which use it as a source of energy - unless the new land use provides some replacement. TYPES OF SOIL DEGRADATION A number of major soil related problems occur in Australia these include: 1. Kehilangan kesuburan tanah 2. Erosi Tanah 3. Salinitas 4. Pemadatan Tanah 5. Pengasaman Tanah 6. Pencemaran tanah oleh bahan kimia berbahaya. Diunduh dari: http://www.acsgarden.com/articles/other-gardening/soil-degradation.aspx……… 24/12/2012 HILANGNYA KESUBURAN TANAH KESUBURAN TANAH Land use, human nutrition and the carbon cycle form an intricate set of relationships. Healthy plants use carbon dioxide, give off oxygen and increase soil organic matter (OM), thereby enhancing soil fertility. Practices that increase organic matter can increase soil fertility while decreasing greenhouse gas emissions. Diunduh dari: http://www.fertilizer101.org/science/?seq=7 ……… 24/12/2012 HILANGNYA KESUBURAN TANAH BASIC PLANT NUTRIENT CYCLE The basic nutrient cycle usually describes the outstanding role of soil organic matter. Cycling of many plant nutrients, especially N, P, S, and micronutrients, are similar to the Carbon Cycle. Plant residues, grain green manure, farmyard manure and other substances are returned to the soil. This organic matter pool of carbon compounds serve as food for bacteria, fungi, and other decomposers. As organic matter is decomposed to simpler compounds, plant nutrients are released in available forms for root uptake and the cycle begins again. Plantavailable macronutrients such as N, P, K, Ca, Mg, S and micronutrients are also released when soil minerals dissolve. Diunduh dari: http://www.tankonyvtar.hu/hu/tartalom/tamop425/0010_1A_Book_angol_02_tapanyaggazdalkodas /ch05.html ……… 24/12/2012 HILANGNYA KESUBURAN TANAH POTENTIAL FOR N LOSSES Greater losses occur when soils enter the spring season with recharged subsoil moisture, when more N is in the nitrate form, and when soils are warm. Deciding if losses are substantial enough to warrant supplemental N application must therefore take into consideration the following factors: (1) amount of nitrate present, which is affected by time of N application, form of N applied, rate applied, and use of a nitrification inhibitor; (2) when and the length of time soils are saturated; (3) subsoil recharge, leaching rate, and drainage--water amount moved through the soil; and (4) loss of crop yield potential from water damage. Diunduh dari: http://www.ipm.iastate.edu/ipm/icm/2007/5-14/nitrogenloss.html ……… 24/12/2012 HILANGNYA KESUBURAN TANAH Integrated plant nutrient components in the Nepalese farming system An integrated nutrient model developed quite some time ago as shown below was a successful programme but it has not been popularized or has not been well adopted by large number of farmers. There should be a follow up study to see the impact on soil fertility management and to look on how best we can promote to wider areas. Diunduh dari: http://www.fao.org/docrep/010/ag120e/AG120E10.htm ……… 24/12/2012 HILANGNYA KESUBURAN TANAH KEHILANGAN HARA DARI TANAH There are several losses from soil nutrient pools caused by either unfavorable soil conditions or improper use of fertilizers. The main characteristics of these losses are the following: Losses will result in a decrease in the amounts of plant available soil nutrients Nutrient losses occur by: 1. Releases from the soil - leaving the soil-plant system 2. Transformation of soil nutrients into non-available forms (i.e. precipitation, chemical reactions resulting insoluble forms etc.) = „internal losses” PELEPASAN HARA DARI TANAH 1. 2. 3. 4. 5. Crop removal by yields Erosion losses – nutrients in soil particles removed from soil by water Runoff – loss of dissolved nutrients moving across the soil profile Leaching– moving dissolved nutrient forms downward into the groundwater Gaseous losses to the atmosphere by volatilization and denitrification. Under various cropping systems, both internal and external losses of nutrients from soils may be rather diverse. „INTERNAL LOSSES” 1. Transformation of soil nutrients into non-available forms (i.e. precipitation, chemical reactions resulting insoluble forms etc.) 2. Transformation into insoluble forms – typical for P Strong fixation in interlayer sites of clay minerals – ammonium and K+ ions 3. These forms do not leave the soil = therefore referred as „internal losses” http://www.tankonyvtar.hu/hu/tartalom/tamop425/0010_1A_Book_angol_02_tapanyaggazdalkodas /ch05.html HILANGNYA KESUBURAN TANAH What happens if we lose soil fertility, we will eventually cease to exist as soil is alive and we require soil for almost all of the food that we grow today around the world. The healthy soil contains: 1. It has sufficient concentrations of nitrogen, phosphorous, and potash (potassium) to support plant life. 2. It also has sufficient levels of the trace minerals needed for plant nutrition, including boron, chlorine, cobalt, copper, iron, manganese, magnesium, molybdenum, sulfur, and zinc. Diunduh dari: http://www.examiner.com/article/permaculture-from-a-to-z-fertility-of-the-soil ……… 24/12/2012 EROSI TANAH Soil erosion is a natural process characterized by the transport or displacement of particles (sediment) that are detached by rainfall, flowing water, or wind. Soil erosion can be caused by the improper use of lands for cultivation or grazing and by deforestation. The types of soil erosion associated with agricultural activities are : 1. Splash erosion, which occurs when rain hits exposed soils. 2. Sheet and rill erosion, which mainly moves soil particles from the surface or plough layer of the soil. Surface sediments typically contain higher pollution potential due to richer nutrient content, the presence of chemicals from past fertilizer and pesticide applications, and natural biological activities. 3. Rill and gully erosion, severe erosion in which trenches are cut to a depth greater than 1 foot. Generally, trenches too deep to be crossed by farm equipment are considered gullies (USEPA, 1994). 4. Stream and channel erosion, which occurs due to increased rates and volumes of runoff from agricultural land uses flowing through a stream or channel. Diunduh dari: http://www.cep.unep.org/pubs/Techreports/tr41en/section3.html……… 24/12/2012 EROSI TANAH Effect on soil erosion Slope angle and length affects runoff generated when rain falls to the surface. Examine the diagram below showing the relationship between hill slope position, runoff, and erosion. The amount of water on a particular hill slope segment is dependent on what falls from precipitation and what runs into it from an upslope hill slope segment. The hill slope has been divided into several segments and the amount of precipitation falling on each segment is the same. As water runs down slope, the water that has accumulated in segment A runs off adding to what falls into segment B by precipitation. The water in B runs into C, and C into D, and so on. The amount of water increases in the down slope direction as water is contributed of water from upslope segments. The velocity of the water increases as well as it moves towards the base of the slope. As a result, the amount and velocity of water, and hence rate of erosion increases as you near the base of the slope. Diunduh dari: http://www.earthonlinemedia.com/ebooks/tpe_3e/soil_systems/soil__development_soil_forming_f actors.html……… 24/12/2012 EROSI TANAH PENGENDALIAN EROSI Soil erosion occurs naturally when rain falls. Runoff flows to the lowest point of the landscape. The velocity depends on the characteristics of the soils, the slope of the land and the vegetative cover. Erosion can be a serious environmental problem when the land is disturbed by development, agriculture, or forestry. Surfaces like roads, roofs, driveways and hard-packed soils will not absorb water, and the runoff increases. Expanses of pavement like parking lots reduce the chances for ground water recharge. Exposed soils are lost and the land becomes less productive. Fertilizers and pesticides that may have been applied wash away, too, causing water quality problems for people living downstream. Diunduh dari: http://www.ecy.wa.gov/programs/wq/wqguide/erode.html……… 24/12/2012 EROSI TANAH EROSION EFFECTS ON SOIL WATER STORAGE, PLANT WATER UPTAKE, AND CORN GROWTH B. J. Andraski and B. Lowery SSSAJ. 1992. Vol. 56 No. 6, p. 1911-1919 Levels of past erosion were based on depth to red clay (2Bt horizon): slight, 0.95 m; moderate, 0.74 m; and severe, 0.45 m. The total quantity of plant-extractable water that could be stored in the upper 1 m of slightly eroded soil (181 mm) was 7% more than that for moderately eroded soil (169 mm) and 14% more than that for severely eroded soil (159 mm). For all erosion levels, water retained in the 0.5- to 1.0-m soil depth was utilized by corn. Erosion level had no negative effect on early-season plant growth. As plantextractable water decreased to <55 to 60% of total, evapotranspiration (ET) and vegetative-growth rates decreased as erosion level increased. The greatest differences in ET rates among erosion levels were observed during a 35-d period in the drought year of 1988 when rates averaged 3.7 mm d−1 for slight erosion, 2.6 mm d−1 for moderate erosion, and 2.2 mm d−1 for severe erosion. For the 3 yr in which plant water stress was observed, maximum plant heights for the slight erosion level averaged 7% more than those for moderate erosion and 13% more than those for severe erosion. Although the soil's capacity to store and supply water decreased as erosion increased, the observed effects of erosion level on grain and stover yields, grainyield components, and harvest populations typically were not significant. Diunduh dari: ……… 24/12/2012 EROSI TANAH . CROPPING AND TILLAGE SYSTEMS EFFECTS ON SOIL EROSION UNDER CLIMATE CHANGE IN OKLAHOMA X.-C.(John) Zhang SSSAJ. 2012. Vol. 76 No. 5, p. 1789-1797 Soil erosion under future climate change is very likely to increase because of increases in occurrence of heavy storms. The objective of this study is to quantify the effects of common cropping and tillage systems on soil erosion and surface runoff during 2010 to 2039 in central Oklahoma. A combination of 18 cropping and tillage systems is evaluated using the Water Erosion Prediction Project (WEPP) model for 12 climate change scenarios projected by four global climate models (GCMs) under three emissions scenarios. Tillage systems include conventional, reduced, delayedno tillage. Cropping systems include continuous monocultures of winter wheat, soybean, sorghumcotton and double crops of wheat and soybeans. Compared with the present climate, overall t tests show that the future mean precipitation will decrease by some 6% (>98.5% probability), daily precipitation variance increase by 12% (>99%), and mean temperature increase by 1.36°C (>99%). Despite the projected precipitation declines, the overall averaged runoff and soil loss will increase by 19.5 and 43.5% because of increased occurrence of large storms. Soil erosion is positively related to the degree of tillage disturbances in all cropping systems. Compared with the conventional till, reduced, delayedno tillage substantially reduce soil erosion, showing that adoption of conservation tillage will be effective in controlling soil erosion in the next 30 yr. Cropping systems decrease runoff and soil loss from continuous cotton to soybean to sorghum to wheat in all tillage systems under climate change, indicating a preference of winter wheat for controlling runoff and soil loss in the region. Diunduh dari: https://www.soils.org/publications/sssaj/abstracts/76/5/1789……… 24/12/2012 DEGRADASI LAHAN . SOIL EROSION EFFECTS ON CORN YIELDS ASSESSED BY POTENTIAL YIELD INDEX MODEL E. M. Craft , R. M. Cruse and G. A. Miller SSSAJ. 1992. Vol. 56 No. 3, p. 878-883 Soil erosion alters crop production via alteration of the soil chemical and physical environment. The objectives of this study were to: (i) develop a Potential Yield Index (PYI) model to index soil productivity based on simulated root growth, soil properties, and potential nutrient and water uptake of corn (Zea mays L.) through a growing season, (ii) utilize the PYI to estimate erosion effects on soil productivity by simulating the removal of 15 and 30 cm of soil, and (iii) simulate the impact of fertilizer additions to the eroded soil on the PYI. The PYI model independently estimates P, K, and water (W) uptake by corn. From these estimates, three separate yield indexes (PYIP, PYIK, and PYIW) are calculated. The lowest yield index is identified as the PYI for a given soil. The predicted PYIs for 45 soils in Iowa compared well to the 1984 10-yr average corn yield (R2 = 0.83) and corn suitability rating (R2 = 0.73) for each soil. Changes in the PYI were predicted for 15 and 30 cm of simulated erosion. After 15-cm soil loss, the PYI for all soils decreased, with all but three soils remaining within 15% of the uneroded PYI. The PYI decreased further after 30-cm soil loss, with only 12 soils remaining within 15% of the uneroded PYI. Fertilizer additions to the plow layer of the eroded soils were then simulated. The PYI returned to within 5% of the uneroded PYI for 38 soils with 15-cm soil loss and for 27 soils with 30-cm soil loss. The PYI indicated that the soil factor that most limited plant yield changed with the soil, amount of soil loss, and plow-layer soil fertility status. Diunduh dari: https://www.agronomy.org/publications/sssaj/abstracts/56/3/SS0560030878 ……… 24/12/2012 EROSI TANAH PERKIRAAN TINGKAT EROSI TANAH DI SUB DAS BESAI, LAMPUNG BARAT Asep Mulyono Jurnal Riset Geologi dan Pertambangan, Vol 19, No 1 (2009) Tingkat erosi tanah di sub DAS Besai telah diperkirakan sebagai dasar kuantitatif dalam merekomendasikan upaya mempertahankan, memulihkan, meningkatkan kesuburan dan fungsi tanah sebagai pengatur tata air. Perkiraan tingkat erosi tanah dilakukan dengan metoda RUSLE yang dilakukan secara spasial dengan menggunakan perangkat lunak Sistem informasi geografis (SIG). Erosivitas, erodibilitas, kemiringan lereng, panjang lereng, sistem penanaman dan faktor konservasi merupakan 6 parameter data yang dimasukan dalam pendekatan RUSLE. Tingkat konversi lahan, khususnya hutan lindung menjadi lahan pertanian dan perkebunan, sangat pesat terjadi di Sub DAS Besai. Sub DAS Besai yang terletak di wilayah Kecamatan Sumber Jaya, Kabupaten Lampung Barat merupakan salah satu bagian hulu DAS Tulang Bawang Lampung. Selama rentang waktu 30 tahun (1970 – 2000) telah terjadi penurunan tutupan lahan hutan sebesar 48 %. Perubahan terjadi sebagai akibat tingginya aktivitas masyarakat dalam usaha tani kopi monokultur dan tanaman semusim. Hasil studi menunjukkan 23.62% wilayah penelitian dikategorikan dalam tingkat erosi tanah yang normal, tingkat ringan seluas 42.98%, tingkat moderat seluas 14.57%, tingkat berat seluas 15.38% dan sangat berat seluas 3.45%. Seluas 45% wilayah dengan tutupan lahan perkebunan kopi mengalami tingkat erosi dalam kategori ringan sampai sangat berat pada semua rentang kelerengan dan jenis tanah. Perkebunan kopi sistem monokultur mengakibatkan lapisan tanah sangat mudah tergerus oleh adanya aliran permukaan dikarenakan tidak adanya tutupan tanah di bawah kanopi tanaman kopi tersebut. Diunduh dari: http://www.geotek.lipi.go.id/riset/index.php/jurnal/article/view/28 ……… 25/12/2012 EROSI TANAH EVALUASI SEDIMENT YIELD DI DAERAH ALIRAN SUNGAI CISANGGARUNG BAGIAN HULU DALAM MEMPERKIRAKAN SISA UMUR WADUK DARMA Muhammad Nursa’ban. Hasil Penelitian Dosen muda tahun 2006, Dosen Jurusan Pendidikan Geografi UNY. Hasil penelitian menunjukan bahwa tingkat erosi tanah permukaan yaitu 31.558,74 ton/tahun, atau rata-rata 573,795 ton/ha/tahun, erosi total 39.448,43 ton/tahun atau 717,244 ton/ha/tahun dan erosi tanah yang diperbolehkan yaitu 686,033 ton/tahun atau sekitar 12,473 ton/ha/tahun. Data-data tersebut menunjukkan bahwa tingkat erosi permukaan maupun erosi total berlangsung cukup tinggi dibandingkan dengan besar erosi yang diperbolehkan. Sediment Yield tahunan di Waduk Darma yaitu 32.996,419 ton/tahun atau 14.873,660 m3. Waduk Darma tidak dapat berfungsi lagi yaitu pada saat mencapai umur ± 84,25 tahun. Tahun 2006 Waduk Darma telah beroperasi selama 36 tahun sehingga sisa umur Waduk Darma sampai terpenuhinya tampungan mati oleh sedimen yaitu ± 48,25 tahun atau tampungan mati akan terisi penuh yaitu pada tahun ± 2054. Diunduh dari: staff.uny.ac.id/..../artikel_sediment%20yield_sainte... ……… 25/12/2012 EROSI TANAH PREDIKSI BEBAN NUTRIEN DAN SEDIMEN DAS SUMPUR DANAU SINGKARAK MENGGUNAKAN MODEL AGNPS Tuahta Tarigan dan Iwan Ridwansyah. LIMNOTEK, 2005, Vol, XII, No, 2, p. 34-40 AGNPS merupakan sebuah program model untuk mensimulasikan kualitas air dan sedimen dari suatu catchment yang didominasi lahan pertanian. Model ini dikombinasikan dengan perangkat program GIS untuk memperkirakan kemungkinan penambahan fospor ke DAS Sumpur, Paket Program GIS (ArcView 3.1, 3D Analyst, Spatial Analyst) digunakan untuk mempersiapkan input data model dan proses penempatan dari hasil simulasi. Perkiraan dari loading nutrient dari Sungai Sumpur yang masuk ke Danau Singkarak memperlihatkan nilai 1.875 ton tahun-1 sedimen, 52,5 ton tahun-1 Total N dan 37,5 ton tahun-1 Total P dan 195 ton tahun-1 COD. Diunduh dari: www.limnologi.lipi.go.id/.../makalah.php?... ……… 25/12/2012 EROSI TANAH MODIFIKASI FAKTOR C-USLE DALAM MODEL ANSWERS UNTUK MEMPREDIKSI EROSI DI DAERAH TROPIKA BASAH (STUDI KASUS: DAS NOPU HULU, SULAWESI TENGAH) Y. Hidayat, N. Sinukaban, H. Pawitan, dan K. Murtilaksono Jurnal Tanah dan Iklim. Vol.26 No.4 Th. 2004 Penelitian dilakukan untuk : a) mendefinisikan nilai faktor pengelolaan tanaman sebagai parameter input model ANSWERS, b) membangun model ANSWERS dalam PCRaster untuk mensimulasikan perubahan penggunaan lahan dan penerapan teknik konservasi tanah dan air, dan c) mengkaji dampak konversi hutan terhadap aliran permukaan, erosi dan kehilangan hara. Aliran permukaan dan erosi harian diukur pada lahan hutan primer, hutan sekunder, lahan terbuka, jagung, kakao muda, kakao sedang, kakao dewasa, dan tumpang sari antara kakao muda dengan jagung, pisang dan ketela pohon. Pada outlet daerah aliran sungai debit aliran ditentukan melalui pengukuran tinggi muka air dan kecepatan aliran, sedangkan volume sedimen diukur melalui pengambilan sampel sedimen. Penggunaan faktor pengelolaan tanaman parsial pada model ANSWERS dan ANSWERS-PCRaster memberikan hasil prediksi erosi lebih baik dibandingkan dengan menggunakan faktor pengelolaan tanaman USLE (faktor C-USLE), khususnya pada curah hujan tinggi. Penghutanan kembali lahan berlereng curam (> 45%) yang diikuti oleh penerapan teras gulud pada lahan pertanian merupakan tindakan pengelolaan terbaik dalam mengendalikan aliran permukaan dan erosi untuk menjamin pertanian berkelanjutan dan keberlanjutan fungsi daerah aliran sungai. Konversi hutan ke lahan pertanian telah meningkatkan aliran permukaan, erosi dan kehilangan hara. Diunduh dari: http://digilib.litbang.deptan.go.id/repository/repository/artikel/26/4/2004/0/1472 ……… 25/12/2012 EROSI TANAH . DEGRADASI TANAH DI LAHAN KERING WILAYAH BARITO KALIMANTAN TENGAH M. A. Firmansyah, R.Y. Galingging dan Suparman (Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Tengah) A. Krismawati (Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Timur) Degradasi tanah di Indonesia umumnya terjadi di lahan kering yang dipicu oleh erosi tanah dan salah kelola tanah. Tujuan tulisan ini untuk menunjukkan besarnya erosi yang terjadi pada berbagai sistem usahatani eksisting antara lain: padi gogo, jagung, kacang tanah, ubi kayu, dan karet rakyat. Lokasi penelitian dilaksanakan di Lagan (kemiringan 6%) di Kabupaten Barito Timur dan Jingah (kemiringan 16%) di Kabupaten Barito Utara. Hasil analisis menunjukkan bahwa Jingah mengalami erosi lebih besar dibandingkan Lagan, hal ini disebabkan oleh tingginya faktor erosivitas hujan, kemiringan lereng, dan teknik konservasi tanah yang buruk. Erosi potensial di Jingah mencapai 1.497 t/ha/th sedangkan di Lagan mencapai 431 t/ha/th. Kondisi tersebut menyebabkan kedua lokasi tergolong memiliki Indeks Bahaya Erosi (IBE) ekstrem, dengan nilai 47,4 untuk Jingah dan 11,2 untuk Lagan. Erosi aktual pada sistem usahatani di Jingah tertinggi pada karet rakyat mencapai 954 t/ha/th (91 mm/th), begitu juga di Lagan mencapai 183 t/ha/th (14 mm/th). Erosi aktual terendah pada sistem usahatani kacang tanah, di Jingah mencapai 505 t/ha/t (48 mm/th) dan di Lagan mencapai 97 t/ha/th (8 mm/th). Erosi yang terjadi dikedua lokasi jauh melampaui Eosi yang piperbolehkan (EDP) yang hanya mencapai 3 mm/th. Erosi yang terjadi berdampak terhadap kehilangan produktivitas cukup besar di Jingah yaitu 21% pada karet rakyat, dan terendah sebesar 2% di Lagan untuk padi gogo dan kacang tanah. Guna mencegah erosi yang besar, maka dikedua lokasi perlu dilakukan perbaikan terutama pada pengelolaan teknik konservasi tanah. Diunduh dari: jatim.litbang.deptan.go.id/.../index.php?... ……… 25/12/2012 EROSI TANAH EROSI PADA BERBAGAI PENGGUNAAN LAHAN DI DAS CITARUM S. Sutono, S. H. Tala’ohu, O. Sopandi, dan F. Agus Balai Penelitian Tanah, Bogor Prosiding Seminar Nasional Multifungsi dan Konversi Lahan Pertanian Lahan sawah mempunyai banyak fungsi, termasuk diantaranya fungsi produksi, dan lingkungan. Penelitian bertujuan untuk menduga besarnya erosi pada lahan pertanian di daerah aliran sungai Citarum serta menduga besarnya biaya pengganti (replacement cost method/RCM) pengamanan erosi jika luas lahan sawah berkurang. Pendugaan erosi menggunakan metode universal soil loss equation (USLE). Hasil penelitian menunjukkan bahwa erosi pada lahan sawah lebih rendah dibandingkan dengan tegalan, kebun campuran, kebun teh, kebun karet, dan hampir sama dengan tingkat erosi hutan. Erosi paling tinggi terjadi pada lahan tegalan. Lahan sawah erosinya berkisar antara 0,33 t/ha/tahun dan 1,45 t/ha/tahun. Seluruh replacement cost untuk Citarum pada tahun 2000 sebesar Rp. 18,6 milyar. Jumlah ini adalah perkiraan investasi yang harus dikorbankan untuk penanganan sedimen apabila sawah yang ada sekarang di Citarum mengalami konversi. Diunduh dari: balittanah.litbang.deptan.go.id/.../sutonocitarum08... ……… 25/12/2012 EROSI TANAH NERACA AIR, EROSI TANAH DAN TRANSPOR LATERAL HARA NPK PADA SISTEM PERSAWAHAN DI SUB DAS KALI BABON, SEMARANG Muhamad Kundarto 1, F. Agus 2, Azwar Maas 3, dan B. H. Sunarminto 3 Jurusan Ilmu Tanah UPN “Veteran” Yogyakarta, 2 Balai Penelitian Tanah Bogor, 3 Jurusan Tanah UGM Yogyakarta Prosiding Seminar Nasional Air, Erosi Tanah Konversi Lahan Pertanian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui neraca air, erosi tanah, dan transpor lateral hara NPK pada sistem persawahan. Penelitian dilaksanakan selama dua musim tanam dari Oktober 2001 sampai Juni 2002 di sub daerah aliran sungai Kali Babon, Semarang. Hasil penelitian pada musim ke dua menunjukkan total input air sebesar 4031,81 mm yang berasal dari air irigasi 3530,41 mm dan air hujan 501,40 mm. Total output air sebesar 3035,13 mm terdiri atas air drainase 153,22 mm, infiltrasi/perkolasi 94,74 mm, evapotranspirasi 85,87 mm, dan genangan 2701,30 mm. Selisih antara input dan output air sejumlah 996,68 mm diduga merupakan total air yang menyusup secara lateral melalui pematang (seepage dan lubang tikus/ketam) dan air yang tersimpan pada lapisan olah. Total tanah yang tererosi dari daerah atas (upland) dan masuk ke sawah pada musim sebesar 864,1 kg dan yang keluar (lewat outlet petak no. 18) sebesar 347,5 kg. Sehingga tanah yang mengendap di petak sawah sebesar 516,6 kg (2,05 t/ha). Pada musim kedua, total tanah masuk ke sawah sebesar 1567,1 kg dan yang keluar dari sawah (lewat outlet petak 18) sebesar 209,6 kg. Sehingga tanah yang mengendap di petak sawah sebesar 1357,5 kg (5,40 t/ha). Jumlah tanah yang mengendap pada musim kedua 2,5 kali lebih besar dibanding musim pertama. Total hara N, P, dan K dalam bentuk NH4+, NO3-PO43-, dan K+ yang terkandung dalam air irigasi dan masuk ke sawah masing-masing sebesar: 98; 478; 29; dan 237 g/ha/musim. Sedangkan total hara NH4+, NO3-, PO43-, dan K+ yang terkandung dalam air drainase dan keluar dari sawah masing-masing sebesar: 10; 161; 413; dan 35 g/ha/musim. Penambahan hara NH4+, NO3-, dan K+ pada sawah masing-masing sebesar: 88; 317; dan 203 g/ha/musim. Hara PO43- mengalami pengurangan sebesar 384 g/ha/musim. Diunduh dari: balittanah.litbang.deptan.go.id/.../kundarto17.pdf……… 25/12/2012 EROSI TANAH . APLIKASI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (SIG) UNTUK IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS dan ARAHAN FUNGSI LAHAN DAERAH ALIRAN SUNGAI SAMPEAN Runi Asmaranto, Ery Suhartanto dan Bias Angga Permana Jurusan Pengairan Fakultas Teknik Universitas Brawijaya DAS Sampean merupakan daerah aliran sungai yang kondisi topografinya ratarata sangat curam. Kondisi tata guna lahan yang sebagian besar sawah irigasi ini cukup memungkinkan terjadinya erosi. Apalagi tataguna lahan lainnya berupa ladang, semak dan sawah tadah hujan yang tanamannya merupakan tanaman berkedalaman akar rendah dan berperan besar dalam proses penyebab terjadinya kerusakan tanah, mempercepat laju erosi dan meningkatkan volume limpasan permukaan. Metode yang digunakan dalam menghitung besarnya laju erosi adalah metode MUSLE dimana metode tersebut menggunakan pendekatan dari faktor limpasan permukaan. Pengolahan data-datanya menggunakan Sistem Informasi Geografis (SIG) karena memudahkan dalam penganalisaan dan pengelompokan data. Dari hasil analisa diperoleh debit limpasan permukaan yang terjadi sebesar 247,967 m3/ dt. Total Erosivitas Limpasan Permukaan yang terjadi adalah 48.129,73 m2/jam, hal ini memicu terjadinya laju erosi yang rata-ratanya mencapai 43.939,94 ton/ha/thn, atau identik dengan kehilangan tanah sebesar : 258,470 cm/thn. Besarnya laju erosi pada DAS Sampean ini mengakibatkan tingkat bahaya erosi sebesar 95,54% dari luas wilayahnya termasuk sangat berat. Sedangkan untuk tingkat bahaya erosi lainnya yaitu, berat : 2,72%, sedang : 1,02%, ringan : 0,72%. Analisa kemampuan lahan didominasi kemampuan kelas VII (75,39%), yang merupakan daerah Pengembalaan Terbatas. Sedangkan ARLKT di DAS Sampean terdiri dari 3 (tiga) kawasan, yaitu Kawasan lindung (10,53%), Kawasan Penyangga (52,23%), Kawasan Budidaya Tanaman Tahunan (37,23%). Diunduh dari: jurnalpengairan.ub.ac.id/index.php/jtp/.../103 ……… 25/12/2012 EROSI TANAH TINGKAT EROSI PERMUKAAN PADA LAHAN PERTANIAN JAGUNG DI DAS ALO-POHU PROVINSI GORONTALO Fitryane Lihawa Pusat Studi Lingkungan Universitas Negeri Gorontalo PROSIDING KONFERENSI DAN SEMINAR NASIONAL PUSAT STUDI LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA KE 21. 13 – 15 SEPTEMBER 2012 DI MATARAM Fenomena pemanfaatan lahan untuk pertanian semakin meningkat, terlebih lagi setelah dicanangkannya Program Agropolitan di Provinsi Gorontalo. Pada Tahun 2003 luas pertanian lahan kering adalah 1.398 ha dan Tahun 2005 meningkat hingga 30.338 ha, dan pada Tahun 2010 mencapai 150.020 ha (Citra Landsat Tahun 2003, Tahun 2005 dan BPS Tahun 2011). Perubahan penggunaan lahan tersebut dapat mengakibatkan kerusakan DAS yang berdampak pada rusaknya fungsi hidroorologis DAS. Salah satu DAS penyumbang sedimen terbesar ke Danau Limboto adalah DAS Alo-Pohu. Pengukuran erosi permukaan dilakukan dengan menggunakan sistem plot dengan bentuk persegi panjang. Ukuran petak yaitu lebar 2 m dan panjang 5 m dan ketinggian 20 cm di atas permukaan tanah. Untuk mengkaji pengaruh curah hujan terhadap erosi permukaan pada lahan pertanian jagung digunakan analisis regresi. Hasil pengukuran erosi permukaan pada lahan pertanian jagung dengan kemiringan lereng datar (3,5%) menunjukkan bahwa tingkat erosi permukaan sebesar 1,04 ton/ha/tahun (sangat rendah), pada lereng landai tingkat erosi permukaan sebesar 9,88 ton/ha/tahun (sangat rendah), pada lereng agak curam tingkat erosi permukaan sebesar 40.588 ton/ha/tahun (rendah), dan pada lereng curam tingkat erosi permukaan sebesar 176.490 ton/ha/tahun (sedang). Hasil pengamatan selama satu tahun menunjukkan bahwa erosi permukaan akan berkurang seiring dengan umur pertumbuhan jagung. Hal ini disebabkan karena telah disertai dengan tumbuhnya tanaman bawah (rumput-rumputan) pada umur jagung memasuki bulan kedua dan ketiga. Pengaruh curah hujan terhadap erosi permukaan pada lahan pertanian jagung lereng datar adalah Log Y = -3,2 + 3,11 Log X; pada lereng landai Log Y = -3,02 + 2,93 Log X; pada lereng agak curam Log Y = -2,73 + 3,74 Log X; dan pada lereng curam Log Y = 0,28 + 1,71 Log X. Diunduh dari: repository.ung.ac.id/.../TINGKAT_EROSI_PERM... ……… 25/12/2012 EROSI TANAH ANALISIS SPASIAL TINGKAT BAHAYA EROSI DI WILAYAH DAS CISADANE KABUPATEN BOGOR Tuti Herawati (Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam) Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam. Vol. VII No. 4 : 413-424, 2010 Penelitian ini bertujuan untuk menghitung tingkat bahaya erosi di DAS Cisadane berdasarkan rumus USLE menggunakan analisis GIS. Berdasarkan rumus yang digunakan, maka diperlukan empat jenis peta sebagai dasar perhitungan tingkat bahaya erosi, yaitu peta curah hujan, peta jenis tanah, kemiringan, dan peta penutupan lahan. Pada setiap peta dilakukan klasifikasi menjadi empat atau lima kelas berdasarkan standar tertentu. Proses overlay dilakukan untuk mendapatkan hasil akhir berupa tingkat bahaya erosi yang dikategorikan menjadi lima kelas yaitu sangat ringan, ringan, sedang, berat, dan sangat berat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat bahaya erosi di DAS Cisadane meliputi sangat ringan hingga sangat berat dengan persentase luas lahan berturut-turut dari yang sangat ringan hingga sangat berat 55,85%; 15,74%; 6,33%; 0,81%; dan 0,30%. Lahan dengan tingkat bahaya erosi sangat berat meliputi luas 316 ha dan tingkat berat meliputi 851 ha. Tamansari merupakan kecamatan yang memiliki luas wilayah dengan tingkat bahaya erosi sangat berat terluas yaitu 87 ha. Beberapa kecamatan lain yang memiliki luas lahan dengan tingkat bahaya erosi berat adalah Tenjolaya, Caringain, Cijeruk, dan Nanggung. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai data dasar untuk membuat rencana pengeolaan DAS yang baik. Diunduh dari: www.forda-mof.org/index.php/content/.../788……… 25/12/2012 EROSI TANAH PENGKAJIAN PENERAPAN TEKNIK KONSERVASI TANAH PADA LAHAN USAHATANI BERBASIS TANAMAN SAYURAN DI SENTRA TEMBAKAU H. Suganda dan Ai Dariah Pengkajian Penerapan Teknik Konservasi Tanah BALITTANAH – LITBANG - DEPTAN. Studi ini bertujuan untuk mendapatkan informasi tentang penerapan teknik konservasi tanah dalam usahatani sayuran di daerah sentra tembakau, Kabupaten Temanggung. Penelitian dilaksanakan tepatnya di tengah lokasi demontrasi plot penerapan teknologi konservasi tanah dengan luas lahan 2,85 ha di Desa Batursari dengan 13 orang petani kooperator, dan 2,53 ha di Desa Kledung dengan 10 orang petani kooperator. Pengamatan berlangsung mulai musim hujan (MH) 2006/07 sampai dengan MH 2007/08. Tanah di dua lokasi tersebut tergolong Andisol. Teknik konservasi tanah yang diterapkan adalah cara mekanik dengan tambahan rumput penguat teras. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dengan menerapkan teknik konservasi tanah ternyata erosi pada lahan sayuran di sentra tembakau dapat diturunkan sebanyak 38,4 % - 66,2 %, bahkan kehilangan tanah akibat erosi dapat ditekan menjadi < 6,0 t/ha. Rumput penguat teras (paspah) dengan luasan 1 m2, dapat menghasilkan hijauan 3,6-4,0 kg, cukup untuk kebutuhan sehari pakan domba yang bobotnya sekitar 20 kg. Penerapan konservasi tanah dapat mengurangi laju kehilangan hara akibat erosi dan mempertahankan kesuburan tanah. Petani kooperator di Desa Kledung yang sudah menerapkan teknik konservasi tanah, lahannya relatif lebih subur dibanding dengan lahan petani kooperator di Desa Batursari, sehingga rata-rata pendapatannya per tahun lebih tinggi dari Rp. 3.100.000 . Diunduh dari: balittanah.litbang.deptan.go.id/.../hsuganda_sayura...……… 25/12/2012 ANCAMAN KEKERINGAN SAWAH KERING, WARGA SHALAT ISTISQO’ Petani Nagari Canduang Koto Laweh was-was jika musim kemarau terus berlanjut hingga sebulan ke depan. Irigasi yang berada di nagari itu tidak lagi mampu mengalirkan air ke lahan pertanian. Sebab debit air semakin berkurang sejak kemarau bulan lalu. Menanggapi persoalan yang terjadi, pemerintah nagari menganjurkan masyarakat untuk melaksanakan shalat minta hujan (istisqo’). ”Semoga hujan yang turun bisa menjadikan tanaman kami bisa kembali tumbuh subur,” harap Wan saat berbincang dengan Padang Ekspres di salah satu warung kopi di Jorong Tigo Alua Nagari Koto Laweh. Diunduh dari: http://padangekspres.co.id/?news=berita&id=8183 ……… 25/12/2012 ANCAMAN KEKERINGAN . 8.950 HEKTARE SAWAH DI LEBAK KEKERINGAN Rabu, 8 Agustus 2012 20:20 WIB Metrotvnews.com, Lebak: Kekeringan sawah di Kabupaten Lebak, Provinsi Banten, hingga saat ini mencapai 8.950 hektare akibat kemarau yang terjadi belakangan ini. "Kekeringan ini tentu berdampak terhadap berkurangnya produksi pangan“. Ia mengatakan pihaknya terus melakukan penyelamatan tanaman padi yang mengalami kekeringan dengan pengoptimalan pompanisasi terpadu. Diperkirakan dari 8.950 hektare itu dipastikan seluas 4.650 hektare bisa diselamatkan dengan pengairan menggunakan pompanisasi terpadu. Sedangkan 4.300 hektare terancam gagal panen. Sebagian besar areal persawahan yang terjadi kekeringan itu di daerah sawah tadah hujan. Sawah tadah hujan itu disebabkan tidak memiliki saluran irigasi yang memadai. Akibat kekeringan ini, petani mengalami kerugian hingga miliaran rupiah apabila tanaman padi mereka gagal panen. Saat ini, biaya produksi rata-rata Rp5 juta per hektare. Diunduh dari: http://www.metrotvnews.com/read/news/2012/08/08/101462/8.950-HektareSawah-di-Lebak-Kekeringan/6……… 25/12/2012 ANCAMAN KEKERINGAN ANTARA. 20 Juni 2011 | 14:10 WIB 450 Ha sawah di Indramayu terancam kekeringan INDRAMAYU: Sekitar 450 hektare sawah di Desa Soge, Indramayu, Jawa Barat, terancam gagal panen akibat kekeringan. Pasokan air memasuki musim kemarau semakin sulit dan diperkirakan ratusan hektare sawah akan terancam gagal panen akibat kekeringan. Dua sungai pemasok air, yaitu kali Prawan dan Kali Persijat, debitnya semakin menurun. Jika hujan tidak turun, diperkirakan tanaman milik petani setempat yang baru berusia kurang dari dua bulan akan kering akibat pasokan air terhambat. Petani kurang memperhatikan cuaca. Mereka terlalu memaksakan tanam padi, padahal mulai memasuki kemarau. Musim tanam tahun sebelumnya pasokan air cukup melimpah, sehingga mereka terlena diperkirakan hujan masih panjang. Menurut dia, petani di daerah pantura Indramayu harus tanggap memperkirakan pasokan air hujan karena lahan pertanian masih mengandalkan tadah hujan. Lahan pertanian di sepanjang pantai pesisir utara Indramayu memasuki kemarau setiap tahun mengalami kekeringan, sementara musim hujan sawah sering terendam akibat banjir.. Diunduh dari: http://bisnis-jabar.com/index.php/berita/450-ha-sawah-di-indramayu-terancamkekeringan……… 25/12/2012 ANCAMAN KEKERINGAN ANTARA. 12 September 2011 | 19:51 WIB 48.000 HEKTARE SAWAH DI KABUPATEN BEKASI KEKERINGAN BEKASI (bisnis-jabar.com): Dinas Pertanian Kota Bekasi, Jawa Barat, mencatat sekitar 48.000 hektare persawahan di wilayahnya mengalami kekeringan akibat debit air yang terus menurun selama musim kemarau. Sumber air dari waduk Jatiluhur melalui kali Tarum Barat terus menyusut selama musim KEMARAU. Saluran irigasi sawah di 23 kecamatan di Kabupaten Bekasi, saat ini sudah kering seiring berkurangnya debit air tersebut. Wilayah paling parah di bagian selatan, seperti Kecamatan Cibarusah, Cikarang Selatan, Serang Baru, dan Kecamatan Setu. Pompanisasi dilakukan untuk menjaga target produksi beras di Kabupaten Bekasi sebanyak 631 ribu ton setiap kali panen tetap terjaga. Diunduh dari: http://bisnis-jabar.com/index.php/berita/48-000-hektare-sawah-di-kabupatenbekasi-kekeringan ……… 25/12/2012 ANCAMAN KEKERINGAN PULUHAN HEKTARE SAWAH KEKERINGAN Puluhan hektare sawah di Dukuh Klampok, Desa Sendangsikucing, Kecamatan Rowosari mengalami kekeringan sejak satu pekan ini. Akibat kekeringan, tanaman padi berumur satu minggu terancam mati. Petani kesulitan mendapatkan pasokan air dari saluran irigasi karena lokasinya jauh. “Jika dalam jangka waktu tiga hari ke depan, pasokan air tidak ada, tanaman padi terancam mati,” (Menurut petani Sulaemi). Setiap musim kemarau tiba, puluhan hektare sawah di dukuhnya kekurangan air. Selain itu, puluhan hektare sawah di perbatasan Desa Bulak- Sendang si kucing juga kekurangan air. Pemerintah diharapkan dapat membuat saluran irigasi yang permanen agar air dapat mengairi lahan pertanian. Diunduh dari: http://www.beritakendal.com/2012/07/02/puluhan-hektare-sawah-kekeringan/ ……… 25/12/2012 ANCAMAN KEKERINGAN Jum'at, 07 September 2012 | 00:51 WIB BELASAN RIBU HEKTARE SAWAH ALAMI KEKERINGAN TEMPO.CO, Surabaya - Kepala Bidang Produksi Tanaman Pangan Dinas Pertanian Jawa Timur, Achmad Nurfalakhi, mengatakan 13,9 ribu hektare sawah bertanaman padi di Jawa Timur mengalami kekeringan. Sebagai dampak akibat kekeringan sawah, sejumlah tanaman padi mengalami puso (gagal panen). Dinas Pertanian Jawa Timur mencatat, kekeringan paling luas terjadi di Kabupaten Bojonegoro seluas 5.410 hektare, Lamongan 2.102 hektare, Tulungagung seluas 2.102 hektare, Trenggalek 1.470 hektare dan Ngawi 948 hektare. Gagal panen yang dialami petani, menurut dia, terbagi dalam berbagai kriteria. Seluas 2.977,49 hektare padi mengalami gagal panen 100 persen dan 1.961 hektare gagal panen 75 persen. Selain itu, seluas 3.429 hektare mengalami kekeringan sedang (gagal panen 50 persen) dan seluas 5.588 hektare mengalami kekeringan ringan (gagal panen 25 persen). TEMPO/Marifka Wahyu Hidayat Diunduh dari: http://www.tempo.co/read/news/2012/09/07/179427953/Belasan-Ribu-HektareSawah-Alami-Kekeringan ……… 25/12/2012 ANCAMAN CEKAMAN AIR American-Eurasian J. Agric. & Environ. Sci., 5 (2): 264-272, 2009 EFFECTS OF DROUGHT STRESS ON GROWTH AND YIELD OF RICE (ORYZA SATIVA L.) CULTIVARS AND ACCUMULATION OF PROLINE AND SOLUBLE SUGARS IN SHEATH AND BLADES OF THEIR DIFFERENT AGES LEAVES A. Mostajeran and V. Rahimi-Eichi One of the main problems of rice cultivation and production is the lack of water resources, especially during periods of low rainfall which affect the vegetative growth rate and the amount of yield. In this study the effect of low water supply on the number of heading per hill, number of grain per hill, dry weight of vegetative tissues and panicle and 1000 grain weight in three new cultivars of rice including 216, 829 and Zayandeh-Rood were measured under submerged and non-submerged conditions in a randomize complete block design with three replicates. Simultaneously, the variation in proline and total sugars in sheaths and blades of leaves at different ages was determined. The data indicated that Zayandeh-Rood cultivar showed the lowest reduction in shoot dry weigh and the number of tillers per hill under nonsubmerged conditions. Furthermore, the panicle weight and the number of filled grains per spike were higher in Zayandeh-Rood cultivar than the other cultivars. In addition, the result of this study show that Zayandeh-Rood cultivar in which originated from local cultivars, have higher ability in solute accumulation such as proline and total carbohydrates than the other new lines. Due to correlation between drought tolerance of Zayandeh-Rood and solute accumulation, it may be suggested that the solute accumulation is one of the mechanisms for drought tolerance in rice. Diunduh dari: www.idosi.org/aejaes/jaes5(2)/18.pdf ……… 25/12/2012 ANCAMAN CEKAMAN AIR EFFECTS OF WATER STRESS ON RICE GRAIN YIELD AND QUALITY AFTER HEADING STAGE ZHENG Jia-guo; REN Guang-jun; LU Xian-jun; JIANG Xin-lu Chinese Journal of Rice Science 2003, 17(3): 239-243 . Pot experiment was conducted in 2000-2001. Results showed that water stress reduced rice yield significantly within 25 days after 80% of full heading; the effects were very weak after 25 days due to water in soil could maintain rice physiological activity about 10 days. The grain quality interrelated to the grain filling degree. It was better to keep water in paddy until 25 days after 80% of full heading for rice quality cultivation. Diunduh dari: http://www.ricesci.cn/EN/abstract/abstract887.shtml……… 25/12/2012 ANCAMAN CEKAMAN AIR . Ying Yong Sheng Tai Xue Bao. 2006 Jul;17(7):1201-6. EFFECTS OF WATER STRESS DURING GRAIN-FILLING PERIOD ON RICE GRAIN YIELD AND ITS QUALITY UNDER DIFFERENT NITROGEN LEVELS. Cai Y, Wang W, Zhu Z, Zhang Z, Lang Y, Zhu Q To examine the effects of nitrogen (N) supply and water stress on rice grain yield and its quality, a pot experiment was conducted at Yangzhou University. Three rice cultivars were grown under two N levels (high N and normal N) from initial heading, and two water conditions (well watering and water stress) were installed for each of the two N levels from flowering to maturity. The results showed that when the plants of test cultivars were grown under normal N level, water stress markedly reduced the grain-filling percentage and grain weight, resulting in a significant decrease of grain yield by 11.6% to approximately 14.7%. Though the headmilled rice had a slight increase, the percentage of chalkiness was significantly increased by 18.7% to approximately 33.1%, which resulted in an inferior performance in grain-apparent quality. In contrast, when the plants were grown under high N level, water stress increased the grain yield by 18. 8% to approximately 22.2% because of the increase of grain-filling percentage and grain weight. As compared with well watering, water stress decreased the percentages of chalky grain and chalkiness by 15.3% to approximately 37.2% and 13.7% to 29.9%, respectively, which improved the performance of grain-apparent quality. The pronounced effects of N application and water treatment were observed on the RVA profile and cooked quality. Under both two N levels, water stress decreased the peak viscosity and breakdown (except for Yangdao 6) while increased the setback. According to the performance in the indices of cooked quality, the palatability became poor when subjected to water stress under normal N level, as the result of the increase of hardness and cohesiveness. In contrast, under high N level, water stress availed the ascending of viscosity at the early stage when rice flours were pasting, peak viscosity and breakdown were increased, and setback was decreased, suggesting that the palpability got well. It was concluded that mild water stress during grain-filling period was benefit for the development of high quality grain when rice plants were grown under high N level. Diunduh dari: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/17044492……… 25/12/2012 ANCAMAN CEKAMAN AIR BIOLOGIA PLANTARUM (PRAHA) 26 (4) : 263--266, 1984 EFFECT OF WATER STRESS AT DIFFERENT DEVELOPMENTAL STAGES OF FIELD-GROWN RICE AJoY K. BISWAS and M. A. CHOUDHVRI Water-stress for 10d at different developmental stages, affected relative water content and leaf water potential of plants. Subsequent rewatering removed these effects. Water stress lowered the contents of chlorophyll, protein, RNA and the activity of catalase, while it increased free proline accumulation and activities of protease, RNase and peroxidase. An overall improvement in biochemical parameters was achieved as soon as the stress was withdrawn by watering and this was reflected in subsequent developmental stages. Water-stress at the reproductive stages induced similar changes as in the vegetative stage but the removal of stress could not improve these parameters to the same extent as at the vegetative stage. In consequence, stress applied at the vegetative stage augmented yield parameters but when applied at the reproductive stage it significantly reduced the yield. Diunduh dari: http://link.springer.com/content/pdf/10.1007%2FBF02902907……… 25/12/2012 ANCAMAN CEKAMAN AIR Study of water stress effects in different growth stages on yield and yield components of different rice (Oryza sativa L.) cultivars Hemmatollah Pirdashti , Zinolabedin Tahmasebi Sarvestani , Ghorbanali Nematzadeh and A. Ismail. Australian Agronomy Conference. 2004 12th AAC, 4th ICSC. Water stress affects plant growth and development and ultimately, reduces grain yield of irrigated lowland rice. A field experiment was conducted during 2001-2003 to evaluate the effect of water stress on the yield and yield components of four rice cultivars commonly grown in Mazandaran province, Iran. The cultivars used were Tarom, Khazar, Fajr and Nemat. The different water stress conditions were water stress during vegetative, flowering and grain filling stages and well-watered was the control. Water stress at vegetative stage significantly reduced plant height of all cultivars. Water stress at flowering stage had a greater grain yield reduction than water stress at other times. The reduction of grain yield largely resulted from the reduction in fertile panicle and filled grain percentage. Water deficit during vegetative, flowering and grain filling stages reduced mean grain yield by 21%, 50% and 21% on average in comparison to control respectively. The yield advantage of two semidwaf varieties, Fajr and Nemat, were not maintained under drought stress. Diunduh dari: http://www.regional.org.au/au/asa/2004/poster/1/3/3/1095_pirdashtih.htm……… 25/12/2012 ANCAMAN CEKAMAN AIR . Journal of Agricultural Biotechnology and Sustainable Development Vol. 2(6), pp. 100-107, June 2010 EFFECT OF WATER DEFICIT AT GRAIN REPINING STAGE ON RICE GRAIN QUALITY M. Fofana, M. Cherif , B. Kone, K. Futakuchi and A. Audebert. Rice production is usually reduced by water stress that can evenly occur during rice cycle in West Africa under bimodal rainfall pattern. In order to determine the effects of water stress on rice grain quality, experiments were conducted on upland site (on ferralsol) at the main AfricaRice research center at M’be, 30 km North of Bouaké, Côte d’Ivoire. The rice varieties CG14 (Oryza glaberrima), WAB56-104 (Oryza sativa), and NERICA1 (cross WAB56-104 x CG14) were sown at 25 × 25 cm spacing during the dry season cropping period of 2000, 2001 and 2002. Irrigation line (Boon irrigation) was used to supply water until flowering stage. Water was then supply manually from the milky stage of each variety to its full ripening stage. Physical (husking yield, milling recovery, and head rice ratio), chemical (amylose and proteins contents) and cooking parameters (cooking time, volume expansion, rice flour gelatinization temperature, consistency and viscosity) of the harvested grains were determined in the laboratory. The results showed a significant difference (p < 0.05) between all the parameters in comparison with the checks samples and stressed crop. In general, NERICA 1 showed better physical and cooking quality traits than its parents. Rice samples from plots subject to lower water availability during repining stage showed higher protein content for all varieties studied. Increase in the average protein content of stressed samples were 31, 11.8 and 13.3% times, respectively for NERICA 1, CG14 and WAB56 -104, where (using the protein content of check plots as 100%) NERICA 1 showed higher husking yield, total mean milling recovery and head rice ratio for samples collected on stressed plots than the glaberrima and the sativa samples recorded on similar plots. Finding showed that cooking properties that meet West African rice consumers’ preferences for cooked rice were more improved for NERICA 1 than its parents in comparison with samples collected from stressed plots. It is concluded that moisture stress at ripening stage should be further investigated as potential indirect means of improving rice grain quality. Diunduh dari: www.academicjournals.org/jabsd/PDF/.../Fofana%20et%20al.pdf……… 25/12/2012