1 AGROEKOSISTEM SAWAH (smno.tnh.fpub) Ekosistem adalah suatu sistem ekologi yang terbentuk oleh hubungan timbal balik tak terpisahkan antara makhluk hidup dengan lingkungannya. Ekosistem bisa dikatakan juga suatu tatanan kesatuan secara utuh dan menyeluruh antara segenap unsur lingkungan hidup yang saling mempengaruhi. Ekosistem merupakan penggabungan dari setiap unit biosistem yang melibatkan interaksi timbal balik antara organisme dan lingkungan fisik sehingga aliran energi menuju kepada suatu struktur biotik tertentu dan terjadi suatu siklus materi antara organisme dan anorganisme. Matahari sebagai sumber dari semua energi yang ada. Dalam ekosistem, organisme dalam komunitas berkembang bersamasama dengan lingkungan fisik sebagai suatu sistem. Organisme akan beradaptasi dengan lingkungan fisik, sebaliknya organisme juga mempengaruhi lingkungan fisik untuk keperluan hidup. Pengertian ini didasarkan pada hipotesis Gaia, yaitu: "organisme, khususnya mikroorganisme, bersama-sama dengan lingkungan fisik menghasilkan sutu sistem kontrol yang menjaga keadaan di bumi cocok untuk kehidupan". Hal ini mengarah pada kenyataan bahwa kandungan kimia atmosfer dan bumi sangat terkendali dan sangat berbeda dengan planet lain di tata surya. Hukum Toleransi Hukum toleransi berbunyi: Kehadiran, kelimpahan dan penyebaran suatu spesies dalam ekosistem ditentukan oleh tingkat ketersediaan sumber daya serta kondisi faktor kimiawi dan fisis yang harus berada dalam kisaran yang dapat ditoleransi oleh spesies tersebut. Misalnya: Panda memiliki toleransi yang luas terhadap suhu, namun memiliki toleransi yang sempit terhadap makanannya (bambu). Berbeda dengan makhluk hidup yang lain, manusia dapat memperlebar kisaran toleransinya karena kemampuannya untuk berpikir, mengembangkan teknologi dan memanipulasi alam. Komponen Pembentuk Ekosistem Komponen-komponen pembentuk ekosistem adalah: 2 Komponen tak hidup (abiotik) Komponen abiotik yaitu komponen fisik dan kimia yang merupakan medium atau substrat tempat berlangsungnya kehidupan, atau lingkungan tempat hidup. Sebagian besar komponen abiotik bervariasi dalam ruang dan waktunya. Komponen abiotik dapat berupa bahan organik, senyawa anorganik, dan faktor yang mempengaruhi distribusi organisme, yaitu: 1. Suhu. Proses biologi dipengaruhi suhu. Mamalia dan unggas membutuhkan energi untuk meregulasi temperatur dalam tubuhnya. 2. Air. Ketrsediaan air mempengaruhi distribusi organisme. Organisme di gurun beradaptasi terhadap ketersediaan air di gurun. 3. Garam. konsentrasi garam mempengaruhi kesetimbangan air dalam organisme melalui osmosis. Beberapa organisme terestrial beradaptasi dengan lingkungan dengan kandungan garam tinggi. 4. Cahaya matahari. Intensitas dan kualitas cahaya mempengaruhi proses fotosintesis. Air dapat menyerap cahaya sehingga pada lingkungan air, fotosintesis terjadi di sekitar permukaan yang terjangkau cahaya matahari. Di gurun, intensitas cahaya yang besar membuat peningkatan suhu sehingga hewan dan tumbuhan tertekan. 5. Tanah dan batu. Beberapa karakteristik tanah yang meliputi struktur fisik, pH, dan komposisi mineral membatasi penyebaran organisme berdasarkan pada kandungan sumber makanannya di tanah. Paddy soils are characterized by two distinct layers: 1 ) a surface oxidized layer a few millimeters to a centimeter present at the soil interface; and 2) an underlying reduced layer (anaerobic) which is the principal zone of root development. The fate of applied N and its efficient use depend on where it is placed. 3 Sumber: http://www.nzdl.org/gsdlmod?e=d-00000-00---off-0fnl2.2--000----0-10-0---0---0direct-10---4-------0-1l--11-en-50---20-about---00-0-100---4----0-0-11-1-0utfZz-800&cl=CL3.33&d=HASHd3b46cd4916b56b3547bcc.2.5&gc=1….. diunduh 10/7/2011 Broadcasting ammonium-based fertilizer in the oxidized layer is an inefficient method of fertilizer application. In this method, nitrogen is lost by a combination of nitrification-denitrification, ammonium volatilization, leaching and surface run-off. As a consequence, a maximum of only 28% of the total applied nitrogen is eventually taken up by the plant. 4 Sumber: http://www.nzdl.org/gsdlmod?e=d-00000-00---off-0fnl2.2--000----0-10-0---0---0direct-10---4-------0-1l--11-en-50---20-about---00-0-100---4----0-0-11-1-0utfZz-800&cl=CL3.33&d=HASHd3b46cd4916b56b3547bcc.2.5&gc=1….. diunduh 10/7/2011 6. Iklim. Iklim adalah kondisi cuaca dalam jangka waktu lama dalam suatu area. Iklim makro meliputi iklim global, regional dan lokal. Iklim mikro meliputi iklim dalam suatu daerah yang dihuni komunitas tertentu. Komponen autotrof Terdiri dari organisme yang dapat membuat makanannya sendiri dari bahan anorganik dengan bantuan energi seperti sinar matahari (fotoautotrof) dan bahan kimia (khemo-autotrof). Komponen autotrof berperan sebagai produsen. Organisme autotrof adalah tumbuhan berklorofil, seperti padi sawah. 5 Sumber: http://www.annualreviews.org/na101/home/literatu/ publisher/ar/ journals/content/arplant/2010/arplant.2010.61.issue-1/annurevarplant-042809-112152/production/images/medium/pp610535.f1.gif Tembakau ditanam di sawah pada musim kemarau Tanaman tembakau biasanya ditanam oleh petani Peniron di musim kemarau. Hampir sebagian besar sawah di Peniron yang tadah hujan disulap menjadi ladang tembakau. Seperti daerah lain, terutama desadesa di kecamatan Karanggayam seperti Pagebangan, Clapar, Logandu, Kebakalan dan sekitarnya, budidaya tembakau menjadi andalan petani untuk berharap mendapat keuntungan yang besar. Dari jenisnya, tanaman tembakau di Peniron juga sama seperti daerah di atas, yaitu tembakau dengan daun tebal yang tentu mempunyai kadar nikotin yang cukup tinggi. 6 Di Peniron ada jenis tembakau yang menjadi primadona dan cukup terkenal dikalangan petani dan tengkulak/pedagang tembakau, yaitu tembakau Kali Keji. Dinamakan demikian karena tembakau jenis ini adalah tembakau yang ditanam disepanjang daerah kali Keji, anak sungai Cungkup. Bagi penikmat dan pedagang, tembakau dari daerah ini konon mempunyai rasa yang khas dan lebih baik dari daerah lain sehingga harga jualnya pun lebih tinggi. Bahkan untuk mendapat keuntungan yang lebih besar, para juragan tembakau mencampurnya dengan tembakau dari daerah lain seperti dari Karanggayam yang harganya lebih murah. Bertanam tembakau sebenarnya sangat menguntungkan petani karena harga jual yang didapat cukup tinggi. Seorang petani tembakau Ratim (43 tahun) menuturkan, tahun lalu dari bertanam 400 ubin yang ditanami sekitar 5000 batang, dirinya bisa mendapat uang sekitar 5.000.000,- dari tengkulak tembakau. Tanaman tempakau di lahan sawah pada musim kemarau (Sumber: http://penironku.wordpress.com/category/tulisan-asal/page/2/ ….. diunduh 10/7/2011) 7 Ada beberapa kendala yang selalu menghantui petani tembakau Peniron diantaranya : 1. Kendala permodalan. Bertani tembakau memerlukan perawatan yang ekstra untuk mendapatkan tembakau yang baik. Dengan harga pupuk dan obat pertanian yang mahal tentu sangat memberatkan petani. 2. Kendala pemasaran. Di Peniron, petani tidak menguasai akses pemasaran sehingga menjadi makanan empuk bagi para tengkulak. Yang lebih tragis, model pembayaran dari tengkulak tidak cash and carry. 3. Kendala alam. Semakin kurangnya sumber air untnuk merawat tanaman sangat mempengaruhi beratnya menanam tembakau bagi petani. Bahkan, demi mendapatkan air, petani menyirami tanaman pada malam hari. Belum lagi, karena sekarang banyak yang menggunakan pompa air, maka ada biaya tambahan untuk membeli pompa air karena jika tidak menggunakan pompa tidak akan mendapatkan air. 4. Kendala manajerial. Terutama karena tidak adanya kelompok tani tembakau, maka kendala permodalan dan pemasaran selalu menjadi masalah klasik. Posisi tawar petani yang sangat lemah menjadikan petani tembakau hanya menjadi korban permainan oleh para tengkulak. Perlu ada pendampingan/pembinaan untuk pemberdayaan terhadap petani. Komponen heterotrof Terdiri dari organisme yang memanfaatkan bahan-bahan organik yang disediakan oleh organisme lain sebagai makanannya. Komponen heterotrof disebut juga konsumen makro (fagotrof) karena makanan yang dimakan berukuran lebih kecil. Yang tergolong heterotrof adalah manusia, hewan, jamur, dan mikroba. Pengurai (dekomposer) Pengurai adalah organisme yang menguraikan bahan organik yang berasal dari organisme mati.[4] Pengurai disebut juga konsumen 8 makro (sapotrof) karena makanan yang dimakan berukuran lebih besar. Organisme pengurai menyerap sebagian hasil penguraian tersebut dan melepaskan bahan-bahan yang sederhana yang dapat digunakan kembali oleh produsen. Yang tergolong pengurai adalah bakteri dan jamur. Ada pula detritivor yaitu hewan pengurai yang memakan sisa-sisa bahan organik, contohnya adalah kutu kayu. Tipe dkomposisi ada tiga, yaitu: 1. secara aerobik : oksigen adalah penerima elektron / oksidan 2. secara anaerobik : oksigen tidak terlibat. Bahan organik sebagai penerima elektron /oksidan 3. Fermentasi : anaerobik namun bahan organik yang teroksidasi juga sebagai penerima elektron. Semua komponen tersebut berada pada suatu tempat dan berinteraksi membentuk suatu kesatuan ekosistem yang teratur. Misalnya, pada suatu ekosistem akuarium, ekosistem ini terdiri dari ikan sebagai komponen heterotrof, tumbuhan air sebagai komponen autotrof, plankton yang terapung di air sebagai komponen pengurai, sedangkan yang termasuk komponen abiotik adalah air, pasir, batu, mineral dan oksigen yang terlarut dalam air. Konsep Produktivitas Energi bersifat kekal, namun pada setiap pertukaran energi dari satu bentuk ke bentuk lainnya akan mengalami kehilangan energi. Produktivitas primer suatu ekosistem adalah laju penyimpanan energi melalui proses fotosintesa oleh produsen dalam bentuk senyawa organik yang dapat dipakai sebagai bahan makanan. Produktifitas sekunder adalah laju penyimpanan energi pada tingkat konsumen. Produktivitas primer kotor adalah hasil seluruh fotosintesa, termasuk yang terpakai untuk respirasi. Produktivitas primer bersih adalah hasil bersih fotosintesa. Produktivitas komunitas bersih adalah laju penyimpanan bahan organik yang tidak digunakan oleh heterotrof per satuan waktu. Produktivitas setiap jenis ekosistem berbeda-beda. 9 Kebergantungan Kebergantungan pada ekosistem dapat terjadi komponen biotik atau antara komponen biotik dan abiotik. antar Kebergantungan antar komponen biotik dapat terjadi melalui: 1. Rantai makanan, yaitu perpindahan materi dan energi melalui proses makan dan dimakan dengan urutan tertentu. Tiap tingkat dari rantai makanan disebut tingkat trofi atau taraf trofi. Karena organisme pertama yang mampu menghasilkan zat makanan adalah tumbuhan maka tingkat trofi pertama selalu diduduki tumbuhan hijau atau produsen. Tingkat selanjutnya adalah tingkat trofi kedua, terdiri atas hewan pemakan tumbuhan yang biasa disebut konsumen primer. Hewan pemakan konsumen primer merupakan tingkat trofi ketiga, terdiri atas hewanhewan karnivora. 2. Jaring- jaring makanan, yaitu rantai-rantai makanan yang saling berhubungan satu sama lain sedemikian rupa sehingga membentuk seperi jaring-jaring. Jaring-jaring makanan terjadi karena setiap jenis makhluk hidup tidak hanya memakan satu jenis makhluk hidup lainnya. Kebergantungan antara komponen biotik dan abiotik dapat terjadi melalui siklus materi, seperti: 1. siklus karbon 2. siklus air 3. siklus nitrogen 4. siklus sulfur Siklus ini berfungsi untuk mencegah suatu bentuk materi menumpuk pada suatu tempat. Kegiatan manusia telah membuat suatu sistem yang awalnya siklik menjadi nonsiklik, kegiatan “pembangunan” yang dilakukan oleh manusia cenderung mengganggu keseimbangan lingkungan alam. 10 Diagram of Environments and N2 Fixing Components in a rice field Ecosystem N2 fixing bacteria. 1. Asscoiated with the roots 2. In the Soil 3. Epiphytic on Rice 4. Epiphytic on weeds. Blue-gree algae 5. at soil-water interface 6. free floating 7. at air water interface 8. epihytic on rice 9. epiphytic on weeds 10 Azolla Komponen ekosistem sawah (Sumber: http://www.microbiologyprocedure.com/rhizospherephyllosphere/nitrogen-fixation-in-the-rhizosphere.html) 11 In low land flooded rice cultivation, two major subenvironments have come to be recognized-submerged plant parts and the rhizosphere. Epiphytic bacteria and algae colonize the surface of aquatic weeds. The rhizosphere is a nonphotic environment where redox, conditions are determined by the balance of oxidizing and reducing capacities of rice roots and characterized by exuded carbon compounds from roots providing energy sources for microbial growth. Nitrogen fixing microorganisms in the waterlogged rice fields contribute about 40-50 kg N /ha. This fixation is a cumulative effect of Rhodopseudomonas, blue-gree algae, both free living as well as symbiotic (photoautotrophs) and Azotobacter, Beijerinckia, Methylomonas, Clostridium, Desulfovibrio, Klebsiella, Enterobacter, Flavobacterium, Pseudomonas, Azospirillum and Rhizobium (Heterotrophs). The bulk of symbiotic nitrogen fixation in rice rhizosphere of flooded soil comes from root and stem nodules of leguminous green manure species when they are ploughed into the soil. It is also now known that nitrogen fixing bacteria occur in the rhizosphere, stalks and phyllosphere of sugarcane plants and such bacteria have also been reported inside the root cells. Siklus Nitrogen dalam Ekosistem Sawah The greater part of N in paddy soils exists in soil organic matter. This tends to be conserved more in paddy soils than in upland soils, because of the anaerobic conditions. Microbial decomposition of the organic matter gradually releases ammoniacal N (NH4+-N). As NH4+-N is stable under anaerobic conditions, it is retained as a cation on negatively charged soil mineral and organic particles, until the time when rice roots take it up. Thus, the leaching of NH4+-N from paddy fields into the environment is not significant. There is, however, one condition under which NH4+-N becomes unstable. As stated earlier, after a month or so from the start of waterlogging, a thin oxidized layer is differentiated from the reduced plow layer at the soil surface. When NH4+-N comes to this oxidized layer, it is readily transformed into nitrate (NO3--N), by nitrifying bacteria. As an anion, NO3--N is not retained by soil particles, and is readily washed with percolating water into the underlying reduced plow layer. Here, it undergoes denitrification and N is lost to the 12 atmosphere. As a way of minimizing this loss of N, a deep placement technique for ammonium fertilizers has been developed in Japan and is now widely practiced. Besides soil organic matter, there is another important source of N, i.e. biological N fixation. In paddy soils there are many microbes that are capable of fixing atmospheric N, such as blue-green algae, Clostridia, photosynthetic bacteria, and many of the heterotrophic bacteria in the rice rhizosphere. Estimates of the amount of biologically fixed N per crop of rice vary quite widely, but 30 to 40 kg/ha would be a reasonable figure. This amount of N is two or three times higher than the amount of N fixed in ordinary upland soils planted in non-leguminous crops. Interestingly enough, this amount of fixed N can explain the average yields of paddy obtained in unfertilized fields in southeast Asia (1.5 to 2 mt/ha) on the basis of 20 kg of N for 1 mt of paddy. Schematic Diagram of Nitrogen Cycle in Paddy Soil Ecosystem . Sumber: http://www.agnet.org/library/eb/413/….. diunduh 10/7/2011 13 Can Rice-Fish Farming Provide Food Security in Bangladesh? (http://www.thefishsite.com/articles/641/can-ricefish-farming-providefood-security-in-bangladesh) Bangladeshi people are popularly referred to as "Macche-Bhate Bangali" or "fish and rice makes a Bengali." Rice and fish have been an essential part of the life of Bangladeshi people from time immemorial. Rice farming is the single most important livelihood for a vast majority of the rural poor. The annual rice production is estimated to be 26.53 million tons1, while fish production is 2.32 million tons. The demand for rice and fish is constantly rising, with the population increasing by more than three million people each year. The total area of rice fields in Bangladesh is about 10.14 million ha and there are a further 2.83 million ha of seasonal rice fields where water remains for four to six months of the year. These inundated rice fields can play an important role in increasing fish production through integration of aquaculture. There are several positive effects of fish farming in rice yields. Integrated rice-fish production can optimise resource use through the complementary utilisation of land and water. Integration of fish with rice farming improves diversification, intensification, productivity and sustainability. Ricefish farming is also being regarded as an important approach to integrated pest management (IPM). The adoption of rice-fish farming in Bangladesh remains rather marginal to date due to socioeconomic, environmental, technological and institutional constraints9. Traditionally wild fish have been harvested from rice fields. The green revolution of agriculture has become a constraint for the development of rice-fish farming. With the introduction of high yielding varieties (HYV) of rice, the pest control strategy has preferred chemical pesticides. Nevertheless, reducing pesticide has taken place through IPM. The introduction of IPM with fish farming in rice fields becoming popularity in many Asian countries, such as China, Philippines, Thailand and Vietnam. 14 Satuan dalam Ekosistem Antara makhluk hidup satu dengan yang lain akan selalu terjadi interaksi. Ekosistem tersusun atas komponen-komponen yang saling berinteraksi satu dengan yang lainnya. Komponenitu membentuk satuan-satuan organisme kehidupan. Antara individu yang satu dengan lainnya dalam satu daerah akan membentuk populasi. Selanjutnya, antara populasi yang satu dengan yang lainnya dalam satu daerah akan terjadi interaksi membentuk komunitas. Selanjutnya, komunitas ini juga akan selalu beriteraksi dengan tempat hidupnya. Misalnya, rumput hidup di tanah, belalang hidup di rerumputan, dan ikanikan hidup di air. Hubungan antara makhluk hidup dengan lingkungannya akan membentuk ekosistem. Kumpulan ekosistem di dunia akan membentuk biosfer. Urutan satuan-satuan makhluk hidup dalam ekosistem dari yang kecil sampai yang besar adalah sebagai berikut: Individu Populasi Komunitas Ekosistem Biosfer. 1. Individu Tanaman Padi Istilah individu berasal dari bahasa Latin individum yang berarti tidak dapat dibagi. Di dalam ekologi, individu dapat diartikan sebagai sebutan untuk makhluk tunggal. Beberapa pengertian individu antara lain: a. Suatu individu selalu menggambarkan sifat tunggal b. Dalam diri yang tunggal terjadi proses hidup sendiri c. Proses hidup yang satu dengan lainnya berbeda. Berikut ini deskripsi individu tanaman padi. Rice is a semi-aquatic plant. In true aquatic plants air spaces (aerenchyma tissue) help to support the leaves near to the surface of the water. Locate the air spaces on the picture of the pond weed below. There are many varieties of rice and they differ in height, in 15 the amount of time they take to mature and in their water requirements. In various parts of its range, rice is grown in different ways but most of the rice in south-cast Asia is grown in unusual conditions for a cereal plant. It is grown partly submerged in water in paddy fields. The fields are flooded and then ploughed. Young rice plants are planted in the rich mud formed in these paddy fields. The oxygen concentration of this mud fails rapidly after the paddy field has been flooded. The top ten centimetres or so retains some oxygen because it is able to diffuse in but below this depth anaerobic conditions exist and there is little or no oxygen present. Rice stems contain a large number of air spaces. These spaces allow oxygen to penetrate through to the cells of roots growing in the absence of oxygen. These cells continue to get oxygen and are able to respire aerobically. Another adaptation shown by rice plants is that many of their roots are very shallow. These roots are able to make use of the oxygen which diffuses into the surface layer. When fields in which a cereal such as wheat is growing are flooded for any length of time, the plants die. The oxygen concentration of the waterlogged soil falls rapidly. The root cells are unable to get the oxygen they need in order to respire. In these conditions they can carry on respiring without oxygen. This is called anaerobic respiration and results in ethanol being formed as a waste product. Unfortunately, this substance is poisonous so a plant can only respire in this way for a short time before the ethanol concentration builds up and kills it. Cells in the roots of rice plants have been shown to be extremely tolerant of ethanol, much more so than cells from the roots of other cereals. They can therefore respire anaerobically for longer periods. There are two advantages of growing rice in paddy fields. Flooding brings about chemical changes in the soil which increases the supply of soil nutrients required by the rice plants. It also reduces weeds. Rice does not grow well when it has to compete with weeds for the resources that it needs. 16 Individu tanaman padi (Sumber: http://www.compulink.co.uk/~argus/Dreambio/fertilisers%20and%20crops/rice.htm) Anatomy of the rice plant. Rice is a semi-aquatic annual grass that grows in extremely moist areas, and the seeds sprout in water. The main stem of the rice plant has side shoots known as tillers that are able to grow roots and develop into new plants. Each tiller has a flowering head that produces the rice seed that we eat (Riceweb). This prolific seed producing and plant propagating capability contributes to the plants success as an agricultural crop. These properties also facilitate the reliance on rice as a main food item in overpopulated countries. 17 Sumber: http://www.biochem.arizona.edu/classes/bioc462/462bh2008 /462bhonorsprojects/462bhonors2000/mkaplan/rice.html ….. diunduh 10/7/2011 18 Fase pertumbuhan tanaman padi (Sumber: http://www.fao.org/docrep/T7202E/t7202e07.htm ….. diunduh 10/7/2011) 1. Nursery: from sowing to transplanting; duration approximately one month. 2. Vegetative stage: from transplant to panicle initiation; duration varies from 1½ to 3 months. Vegetative stage includes the tillering. Tillering means that several stems develop on one plant. If the rice is sown directly (broadcast), the two stages combined are called the vegetative stage. 3. Mid season or reproductive stage: from panicle initiation to flowering; duration approximately one month. This stage includes stem elongation, panicle extension and flowering. Late tillers may die. 4. Late season or ripening stage: from flowering to full maturity; duration approximately one month. This stage includes grain growth. 19 (a) Classic rice plants are highly tillered with relatively small panicles. (b) In contrast, the new plant type (NPT) architecture is characterized by fewer tillers and more productive panicles. Normally, OsmiR156 induces cleavage of OsSPL14 transcripts, leading to a repression of OsSPL14 activity. However, mutation of an OsmiR156 binding site within OsSPL14 (as seen in the SNJ, Ri22 (ref. 5) and Aikawa 1 (ref. 6) varieties) increases the levels of OsSPL14 and results in rice plants with fewer tillers but more productive panicles and consequently higher grain yields. Sumber: http://www.nature.com/ng/journal/v42/n6/fig_tab/ng0610475_F1.html ….. diunduh 12/7/2011 20 2. Populasi Padi Populasi adalah semua individu sejenis yang menempati suatu daerah tertentu. Suatu organisme disebut sejenis bila memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. Menempati daerah atau habitat yang sama b. Mempunyai persamaan bentuk, susunan tubuh, dan aktifitas c. Mampu menghasilkan keturunan yang subur, yaitu yang mampu berkembang biak. Sebagai contoh, pada suatu lahan seluas 200 m² terdapat 500 batang tanaman padi, 100 ekor belalang, 50 ekor jangkrik, 10 batang tanaman sengon, dan 30 batang tanaman kelapa. Berdasarkan data tersebut maka di dalam lahan atau daerah tersebut terdapat beberapa populasi, yaitu populasi padi, populasi belalang, populasi jangkrik, populasi sengon dan populasi kelapa. KOmpulan populasi-populasi ini lazim disebut “komunitas”. Komunitas padi sawah agroforestry (Sumber: http://www.indonesiaseoul.org/pictures/RiceField2.jpg) 21 3. Komunitas Komunitas dapat diartikan sebagai seluruh populasi yang menempati daerah yang sama. Di daerah tersebut, antar jenis makhluk hidup yang satu dengan yang lainnya akan terjadi interaksi. Kemudian interaksi itu membentuk suatu kumpulan, dimana di dalamnya setiap individu menemukan lingkungan yang dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Di dalam kumpulan tersebut terdapat suatu kerukunan untuk hidup bersama, toleransi kebersamaan, dan hubungan timbal balik yang menguntungkan dan ada pula yang merugikan. Interaksi populasi padi dengan populasi belalang (Sumber: http://www.knowledgebank.irri.org/ricedoctor/) 22 4. Ekosistem Sawah Ekosistem merupakan tatanan secara utuh dari seluruh unsur lingkungan hidup yang saling mempengaruhi. Ekosistem juga dapat diartikan sebagai hubungan timbal balik yang kompleks antara organisme dengan lingkungannya. Berdasarkan sejarah terbentuknya, ekosistem dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu: a. Ekosistem Alami, yaitu ekosistem yang terbentuk secara alami, tanpa adanya pengaruh atau campur tangan manusia. Misalnya, ekosistem gurun pasir, ekosistem hutan tropis, dan ekosistem hutan gugur. Setiap ekosistem mempunyai ciri khas. Ciri itu sangat ditentukan oleh faktor suhu, curah hujan, iklim, dan lain-lain. b. Ekosistem Buatan, yaitu ekosistem yang sengaja dibuat oleh manusia. Misalnya, kolam, waduk, sawah, ladang, dan tanam. Pada umumnya, ekosistem buatan mempunyai komponen biotik sesuai dengan yang diinginkan pembuatnya. Pada ekosistem sawah, komponen biotik yang banyak, yaitu padi dan kacang. c. Ekosistem Suksesi, yaitu ekosistem yang merupakan hasil suksesi lingkungan yang sebelumnya didahului oleh kerusakan. Pada lingkungan demikian, jenis tumbuhan yang berkembang ditentukan oleh jenis organisme yang hidup di sekitarnya. 23 Ekosistem sawah irigasi (Sumber: http://wwwdelivery.superstock.com/WI/223/1566/200701/PreviewComp/ SuperStock_1566-328983.jpg) An ecosystem is a biological environment consisting of all the organisms living in a particular area, as well as all the nonliving, physical components of the environment with which the organisms interact, such as air, soil, water, and sunlight. It is all the organisms in a given area, along with the nonliving (abiotic) factors with which they interact; a biological community and its physical environment. The entire array of organisms inhabiting a particular ecosystem is called a community.[1] In a typical ecosystem, plants and other photosynthetic organisms are the producers that provide the food.[1] Ecosystems can be permanent or temporary. Ecosystems usually form a number of food webs. Ecosystems are functional units consisting of living things in a given area, non-living chemical and physical factors of their environment, linked together through nutrient cycle and energy flow. Jasa-jasa Ekosistem Humankind benefits from a multitude of resources and processes that are supplied by natural ecosystems. Collectively, these benefits are known as ecosystem services and include products like clean drinking 24 water and processes such as the decomposition of wastes. While scientists and environmentalists have discussed ecosystem services for decades, these services were popularized and their definitions formalized by the United Nations 2004 Millennium Ecosystem Assessment (MA), a four-year study involving more than 1,300 scientists worldwide.[1] This grouped ecosystem services into four broad categories: provisioning, such as the production of food and water; regulating, such as the control of climate and disease; supporting, such as nutrient cycles and crop pollination; and cultural, such as spiritual and recreational benefits. As human populations grow, so do the resource demands imposed on ecosystems and the impacts of our global footprint. Natural resources are not invulnerable and infinitely available. The environmental impacts of anthropogenic actions, which are processes or materials derived from human activities, are becoming more apparent – air and water quality are increasingly compromised, oceans are being overfished, pests and diseases are extending beyond their historical boundaries, and deforestation is exacerbating flooding downstream. It has been reported that approximately 40-50% of Earth’s ice-free land surface has been heavily transformed or degraded by anthropogenic activities, 66% of marine fisheries are either overexploited or at their limit, atmospheric CO2 has increased more than 30% since the advent of industrialization, and nearly 25% of Earth’s bird species have gone extinct in the last two thousand years.[2] Society is increasingly becoming aware that ecosystem services are not only limited, but also that they are threatened by human activities. The need to better consider long-term ecosystem health and its role in enabling human habitation and economic activity is urgent. To help inform decision-makers, many ecosystem services are being assigned economic values, often based on the cost of replacement with anthropogenic alternatives. The ongoing challenge of prescribing economic value to nature, for example through biodiversity banking, is prompting transdisciplinary shifts in how we recognize and manage the environment, social responsibility, business opportunities, and our future as a species. Experts currently recognize four categories of ecosystem services.[1] The following lists represent samples of each: Provisioning services • food (including seafood and game), crops, wild foods, and spices • water • pharmaceuticals, biochemicals, and industrial products • energy (hydropower, biomass fuels) 25 Regulating services • carbon sequestration and climate regulation • waste decomposition and detoxification • purification of water and air • crop pollination • pest and disease control Supporting services • nutrient dispersal and cycling • seed dispersal • Primary production Cultural services • cultural, intellectual and spiritual inspiration • recreational experiences (including ecotourism) • scientific discovery 5. Biosfer Biosfer adalah kumpulan dari semua ekosistem yang terdapat di permukaan bumi ini. Ada pula ahli yang menyatakan bahwa biosfer adalah tempat beroperasinya ekosistem. Bagian bumi yang dihuni organisme hanya beberapa meter di bawah permukaan tanah hingga 9.000 meter di atas permukaan bumi, serta beberapa meter di bawah permukaan laut. Jadi, tidak di seluruh bagian bumi ini terdapat ekosistem sebab hanya daerah yang terdapat kehidupanlah yang dapat disebut ekosistem. Our biosphere is the global sum of all ecosystems. It can also be called the zone of life on Earth, a closed (apart from solar and cosmic radiation) and self-regulating system.[1] From the broadest biophysiological point of view, the biosphere is the global ecological system integrating all living beings and their relationships, including their interaction with the elements of the lithosphere, hydrosphere and atmosphere. The biosphere is postulated to have evolved, beginning through a process of biogenesis or biopoesis, at least some 3.5 billion years ago. In a broader sense; biospheres are any closed, self-regulating systems containing ecosystems; including artificial ones 26 Our biosphere is divided into a number of biomes, inhabited by broadly similar flora and fauna. On land, biomes are separated primarily by latitude. Terrestrial biomes lying within the Arctic and Antarctic Circles are relatively barren of plant and animal life, while most of the more populous biomes lie near the equator. Terrestrial organisms in temperate and Arctic biomes have relatively small amounts of total biomass, smaller energy budgets, and display prominent adaptations to cold, including world-spanning migrations, social adaptations, homeothermy, estivation and multiple layers of insulation. Specific biospheres When the word is followed by a number, it is usually referring to a specific system or number. Thus: 1. Biosphere 1, the planet Earth 2. Biosphere 2, a laboratory in Arizona which contains 3.15 acres (13,000 m²) of closed ecosystem. 3. BIOS-3, a closed ecosystem at the Institute of Biophysics in Krasnoyarsk, Siberia, in what was then the Soviet Union. 4. Biosphere J (CEEF, Closed Ecology Experiment Facilities), a experiment in Japan. The economic valuation of ecosystem services also involves social communication and information, areas that remain particularly challenging and are the focus of many researchers. In general, the idea is that although individuals make decisions for any variety of reasons, trends reveal the aggregative preferences of a society, from which the economic value of services can be inferred and assigned. 27 Biosfer lahan sawah dengan segenap kelengkapannya (Sumber: http://gurumia.com/wp-content/uploads/2010/05/paddy-in-floodBangladesh.jpg). The six major methods for valuing ecosystem services in monetary terms are: 1. Avoided cost: Services allow society to avoid costs that would have been incurred in the absence of those services (e.g. waste treatment by wetland habitats avoids health costs) 2. Replacement cost: Services could be replaced with man-made systems (e.g. restoration of the Catskill Watershed cost less than the construction of a water purification plant) 3. Factor income: Services provide for the enhancement of incomes (e.g. improved water quality increases the commercial take of a fishery and improves the income of fishers) 4. Travel cost: Service demand may require travel, whose costs can reflect the implied value of the service (e.g. value of ecotourism experience is at least what a visitor is willing to pay to get there) 5. Hedonic pricing: Service demand may be reflected in the prices people will pay for associated goods (e.g. coastal housing prices exceed that of inland homes) 6. Contingent valuation: Service demand may be elicited by posing hypothetical scenarios that involve some valuation of 28 alternatives (e.g. visitors willing to pay for increased access to national parks) Rantai Makanan Rantai makanan adalah perjalanan makan dan dimakan dengan urutan tertentu antar makhluk hidup. Di lautan, yang menjadi produsen adalah fitoplankton, yaitu sekumpulan tumbuhan hijau yang sangat kecil ukurannya dan melayang-layang dalam air. Konsumen I adalah zooplankton (hewan pemakan fitoplankton), sedangkan konsumen II-nya adalah ikan-ikan kecil, konsumen III-nya adalah ikanikan sedang, konsumen IV-nya adalah ikan-ikan besar. Rantai makanan pada ekosistem sawah (Sumber: http://3.bp.blogspot.com/_ha4-W2rqPQ0/TDiTH8ix9OI/) 29 Skema Rantai Makanan Urutan peristiwa makan dan dimakan di atas dapat berjalan seimbang dan lancar bila seluruh komponen tersebut ada. Bila salah satu komponen tidak ada, maka terjadi ketimpangan dalam urutan makan dan dimakan tersebut. Agar rantai makanan dapat terus berjalan, maka jumlah produsen harus lebih banyak daripada jumlah konsumen kesatu, konsumen kesatu lebih banyak daripada konsumen kedua, dan begitulah seterusnya. Ada satu lagi komponen yang berperan besar dalam rantai makanan, yaitu pengurai. Pengurai adalah makhluk hidup yang menguraikan kembali zat-zat yang semula terdapat dalam tubuh hewan dan tumbuhan yang telah mati. Hasil kerja pengurai dapat membantu proses penyuburan tanah. Contoh pengurai adalah bakteri dan jamur. Ekosistem merupakan tempat berlangsungnya hubungan antara makhluk hidup dengan lingkungannya. Ekosistem dibedakan menjadi dua, yaitu : ekosistem alam dan ekosistem buatan. Contoh ekosistem alam adalah hutan, danau, laut, dan padang pasir. Contoh ekosistem buatan adalah sawah, waduk, kolam, dan akuarium. 30 Bagan Jaring-jaring Makanan pada Ekosistem Sawah Pada sebuah ekosistem terdapat banyak komponen. Komponenkomponen ekosistem, antara lain, produsen, konsumen, pengurai, dan komponen abiotik. Produsen. Semua tumbuhan hijau adalah produsen dalam sebuah ekosistem. Produsen artinya penghasil, yaitu menghasilkan bahan-bahan organik bagi makhluk hidup lainnya. Contoh produsen adalah padi, ubi, sagu, dan tomat. Konsumen. Konsumen adalah pemakai bahan organik yang dihasilkan oleh produsen. Berikut ini beberapa tingkatan konsumen menurut apa yang dimakan. 1. Konsumen Tingkat I. Konsumen tingkat I adalah makhluk hidup yang memperoleh energi langsung dari produsen. 2. Konsumen Tingkat II. Konsumen tingkat II adalah makhluk hidup yang memperoleh makanan dari konsumen tingkat I. 31 3. Konsumen Tingkat III. Konsumen tingkat III adalah makhluk hidup yang memperoleh makanan dari konsumen tingkat II. Pengurai. Pengurai adalah makhluk hidup yang menguraikan kembali zat-zat yang semula terdapat dalam tubuh hewan dan tumbuhan yang telah mati. Pengurai membantu proses penyuburan tanah. Misalnya, bakteri dan jamur. Komponen Abiotik. Komponen abiotik adalah tempat tumbuhan hijau (produsen) tumbuh. Kesuburan lingkungan abiotik ditentukan oleh kerja pengurai. Ekosistem Buatan Ekosistem buatan adalah ekosistem yang diciptakan manusia untuk memenuhi kebutuhannya. Ekosistem buatan mendapatkan subsidi energi dari luar, tanaman atau hewan peliharaan didominasi pengaruh manusia, dan memiliki keanekaragaman rendah. Contoh ekosistem buatan adalah: Bendungan Hutan tanaman produksi seperti jati dan pinus Agroekosistem berupa sawah tadah hujan Sawah irigasi Perkebunan sawit Ekosistem pemukiman seperti kota dan desa Ekosistem ruang angkasa. Ekosistem kota memiliki metabolisme tinggi sehingga butuh energi yang banyak. Kebutuhan materi juga tinggi dan tergantung dari luar, serta memiliki pengeluaran yang eksesif seperti polusi dan panas. Ekosistem ruang angkasa bukan merupakan suatu sistem tertutup yang dapat memenuhi sendiri kebutuhannya tanpa tergantung input dari luar. 32 Ekosistem Sawah Sawah adalah lahan usaha pertanian yang secara fisik berpermukaan rata, dibatasi oleh pematang, serta dapat ditanami padi, palawija atau tanaman budidaya lainnya. Kebanyakan sawah digunakan untuk bercocok tanam padi. Untuk keperluan ini, sawah harus mampu menyangga genangan air karena padi memerlukan penggenangan pada periode tertentu dalam pertumbuhannya. Untuk mengairi sawah digunakan sistem irigasi dari mata air, sungai atau air hujan. Sawah yang terakhir dikenal sebagai sawah tadah hujan, sementara yang lainnya adalah sawah irigasi. Padi yang ditanam di sawah dikenal sebagai padi lahan basah (lowland rice). Padi adalah salah satu tanaman budidaya terpenting dalam peradaban. Meskipun terutama mengacu pada jenis tanaman budidaya, padi juga digunakan untuk mengacu pada beberapa jenis dari marga (genus) yang sama, yang biasa disebut sebagai padi liar. Produksi padi dunia menempati urutan ketiga dari semua serealia, setelah jagung dan gandum. Namun demikian, padi merupakan sumber karbohidrat utama bagi mayoritas penduduk dunia. Hasil dari pengolahan padi dinamakan beras. 33 Ekosistem sawah dicirikan oleh petakan-petakan lahan yang digenangi air dengan tanaman padi di dalamnya (Sumber: http://metagini.com/location/Indonesia/Sawah/206936/Pictures/ ….. diunduh 8/7/2011). 34 Ekosistem sawah dataran tinggi dicirikan oleh teras-teras bangku, bidang teras yang sempit diolah untuk menanam padi sawah. (Sumber: http://yohana-life.blogspot.com/2010/06/glitterfy.html ..... diunduh 8/7/2011) Teknik budidaya padi telah dikenal oleh manusia sejak ribuan tahun yang lalu. Sejumlah sistem budidaya diterapkan untuk padi. 1. Budidaya padi sawah (Ing. paddy atau paddy field), diduga dimulai dari daerah lembah Sungai Yangtse di Tiongkok. 2. Budidaya padi lahan kering, dikenal manusia lebih dahulu daripada budidaya padi sawah. 3. Budidaya padi lahan rawa, dilakukan di beberapa tempat di Pulau Kalimantan. 4. Budidaya gogo rancah atau disingkat gora, yang merupakan modifikasi dari budidaya lahan kering. Sistem ini sukses diterapkan di Pulau Lombok, yang hanya memiliki musim hujan singkat. 35 Setiap sistem budidaya memerlukan kultivar yang adaptif untuk masing-masing sistem. Kelompok kultivar padi yang cocok untuk lahan kering dikenal dengan nama padi gogo. Secara ringkas, bercocok tanam padi mencakup pengolahan tanah, persemaian, pemindahan atau penanaman, pemeliharaan (termasuk pengairan, penyiangan, perlindungan tanaman, serta pemupukan), dan panen. Aspek lain yang penting namun bukan termasuk dalam rangkaian bercocok tanam padi adalah pemilihan kultivar, pemrosesan biji dan penyimpanan biji. Pengolahan tanah sawah menandai dimulainya aktivitas bioekonomi pada ekosistem sawah (Sumber: http://ayobertani.files.wordpress.com/2009/04/membajak-sawah) Hama-hama penting 1. Penggerek batang padi putih ("sundep", Scirpophaga innotata) 2. Penggerek batang padi kuning (S. incertulas) 3. Wereng batang punggung putih (Sogatella furcifera) 36 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. Wereng coklat (Nilaparvata lugens) Wereng hijau (Nephotettix impicticeps) Lembing hijau (Nezara viridula) Walang sangit (Leptocorisa oratorius) Ganjur (Pachydiplosis oryzae) Lalat bibit (Arterigona exigua) Ulat tentara/Ulat grayak (Spodoptera litura dan S. exigua) Tikus sawah (Rattus argentiventer) Penyakit-penyakit penting 1. blas (Pyricularia oryzae, P. grisea) 2. hawar daun bakteri ("kresek", Xanthomonas oryzae pv. oryzae) Biodiversity and Ecosystem Services in rice environments The term “biodiversity” is being used to describe the richness and variety of life on earth. It includes diversity at the genetic level, such as that between individuals in a population, diversity of species and the diversity at the habitat and ecosystem levels. The general assumption is that the biodiversity of monocultures, such as rice, is decreased and therefore unstable and prone to pest attacks and need to be “protected”. This thinking, not necessarily true (Way and Heong 1994), has persisted for decades and is still dominant among agricultural scientists and policy makers, has been the key driver of pesticide use in many agricultural systems. Arthropod biodiversity and abundance are fundamental components of rice ecosystems that have resistance and resilience to pest attacks. They provide farms with ecosystem services, such as resistance to pest invasions and regulation of pest populations that prevent pest species from increasing to levels that can cause economic loss to farmers. Pest species at levels below the economic threshold have no yield consequences because of plant compensation abilities of the rice crop. In fact, they contribute toward the maintenance of a stable food web structure. At least 200 species of parasitoids and 150 species of predators in and around the rice ecosystems constantly provide the services that keep pest species at low levels. In addition, the aquatic fauna, often referred to as “neutrals,” play a significant role as food 37 resources for predators (Settle et al 1996). Being an island, there is great potential of discovering new species of spiders, parasitoids and less mobile predators that are inherent in Hainan. Key components, trophic levels and linkages in rice ecosystems ( Sumber: http://hainanproject.org/wp-content/uploads/2010 Rice production systems are ephemeral habitats in which rice is sowed and harvested over a period of 3 to 4 months. Many of the important rice pests are monophagous and r-strategists or opportunistic species and under normal circumstances cause little yield loss on rice farms with adequate biodiversity and ecosystem services. However, when r species, such as planthoppers, invade rice fields that are vulnerable with low biodiversity and ecosystem services, they tend to increase exponentially into outbreak proportions and destroy crops. In mainland China every year, planthoppers destroy at least a million hectares of rice (Cheng 2009) and, in years like 2005, when summer temperatures were elevated, 7.5 million hectares were destroyed. In Hainan Island, about 30,000 hectares are affected annually by planthoppers, but records of losses are not available. In the 1960s and ’70s, when rice sufficiency was the primary national objective, policies and 38 farmers adopted high pesticide routines. Today, such practices are still rampant in China and on Hainan Island as well. Research at IRRI and by Chinese scientists at Zhejiang University has now shown that routine insecticide sprays have very little economic gains but huge negative impacts on arthropod biodiversity, the food chain, and ecosystem services, which bring about planthopper outbreaks and rapid development of insecticide resistance. The important functions of biodiversity and ecosystem services had not been recognized or researched or taught in universities and had certainly not been factored into agricultural policies. It has been shown that when insecticide load is reduced arthropod biodiversity and ecosystem services can be restored (Heong et al. 2007). Lahan sawah = Wetlands Atmospheric methane (CH4) is an important greenhouse gas. On a scale of 100 years, it is approximately 20 times more effective than carbon dioxide (CO2). The total annual CH4 emission both from natural and anthropogenic terrestrial sources to the atmosphere is about 580 Tg (CH4) yr-1. The contribution of natural and man-made wetlands (e.g. rice paddy) to this global total varies between 20 and 40%. Thereby, natural wetlands are the major non-anthropogenic source of methane at present and rice agriculture accounts for some 17% of the anthropogenic CH4 emissions. This is because of the prevailing anaerobic conditions in these ecosystems, their high organic matter contents and their global distribution. Northern wetlands (>30° N) for example constitute about 60% of the global wetland area and emit a quarter to a third of the total CH4 originating from wet soils. In our research we focus on the understanding and quantification of keyprocesses involved in the formation, consumption and transport of methane in wetlands. This is crucial for reliable estimations on the impact of wetlands on the earth climate system Current and recently completed projects: 1. In-situ quantification of soil microbial processes controlling methane emissions from rice paddy soils 2. Methane production and consumption in polygonal tundra environments of the Lena Delta, Siberia 3. Methane turnover and fluxes in alpine wetlands. 39 Microbial turnover of methane and transport pathways of gases in wetlands. (Sumber: http://www.ibp.ethz.ch/research/environmentalmicrobiology/research/Wetlands) In-situ quantification of soil microbial processes controlling methane emissions from rice paddy soils. Rice paddy soil is among the most important anthropogenic sources of methane. Methane is produced anaerobically after the flooding of rice fields, either from acetate or hydrogen/carbon dioxide as substrate. In contrast, methanotrophic microorganisms oxidize methane to carbon dioxide in the presence of molecular oxygen in the root zone or at the air/water interface, thus reducing the overall methane emissions to the atmosphere. Quantification of methane turnover in soil slurry incubation under laboratory conditions is potentially biased. Therefore, the main aim of this project is to design a novel tool for the quantification of methane 40 production and consumption in the rice root zone. Specifically, we aim at the development of an in situ quantification method which allows us to assess the effect of methane turnover in the root zone on net methane emissions. The quantification concept includes the combination of pushpull tests (PPT), specific inhibitors, stable isotope fractionation and flux measurements. In a further step, we will apply this technique to assess methane turnover and emissions over a whole growth period of rice plants, and to investigate if changes are also reflected in the abundance of methanogenic/ methanotrophic organisms. Ekosistem Pertanian: Sawah – Musuh Alami Ekosistem pertanian adalah ekosistem yang sederhana dan monokultur jika dilihat dari komunitas, pemilihan vegetasi, diversitas spesies, serta resiko terjadi ledakan hama dan penyakit. Musuh alami berperan dalam menurunkan populasi hama sampai pada tingkat populasi yang tidak merugikan. Hal ini terbukti dari setiap pengamatan dilahan pertanian, khususnya padi, beberapa jenis musuh alami selalu hadir dipertanaman. Ekosistem persawahan secara teoritis merupakan ekosistem yang tidak stabil. Kestabilan ekosistem persawahan tidak hanya ditentukan oleh diversitas struktur komunitas, tetapi juga oleh sifat-sifat komponen, interaksi antar komponen ekosistem. Hasil-hasil penelitian yang dilakukan oleh para peneliti mengenai kajian habitat menunjukkan bahwa tidak kurang dari 700 serangga termasuk parasitoid dan predator ditemukan di ekosistem persawahan dalam kondisi tanaman tidak ada hama khususnya wereng batang coklat (WBC). Predator WBC umumnya polifag, akan memangsa berbagai jenis serangga. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa komunitas persawahan merupakan komunitas yang beranekaragam. Tidak tertutup kemungkinan bahwa pada ekosistem pertanian dapat dijumpai keadaan yang stabil. Apabila interaksi antar komponen dapat dikelola secara tepat maka kestabilan ekosistem pertanian dapat diusahakan. Untuk mempertahankan ekosistem persawahan yang stabil maka konsep pengendalian hama terpadu (PHT) dapat diterapkan. PHT mendapatkan efisiensi pengendalian yaitu mengurangi insektisida dan memanfaatkan metoda non kimia. Di persawahan, musuh alami 41 jelas berfungsi, sehingga akan terjadi keseimbangan biologis. Keseimbangan biologis ini kadang-kadang tercapai, tetapi bisa juga sebaliknya. Hal ini disebabkan karena faktor lain yang mempengaruhi, yaitu perlakuan agronomis dan penggunaan insektisida. Salah satu pendorong meningkatnya serangga pengganggu adalah tersedianya makanan terus menerus sepanjang waktu dan disetiap tempat. Budidaya tanaman monokultur dapat mendorong ekosistem pertanian rentan terhadap organisme pengganggu tanaman (OPT). Untuk mewujudkan pertanian berkelanjutan maka tindakan mengurangi serangan OPT melalui pemanfaatan serangga khususnya musuh alami dan meningkatkan diversitas tanaman seperti penerapan tanaman tumpang sari, rotasi tanaman dan penanaman lahan-lahan terbuka dapat dilakukan karena meningkatkan stabilitas ekosistem serta mengurangi resiko gangguan OPT. Mekanisme alami seperti predatisme, parasitisme, patogenisitas, persaingan intraspesies dan interspesies, suksesi, produktivitas, stabilitas dan keanekaragaman hayati dapat dimanfaatkan untuk mencapai pertanian berkelanjutan. Salah satu komponen PHT adalah pengendalian dengan menggunakan musuh alami. Teori mendasar dalam pengelolaan hama adalah mempertimbangkan komponen musuh alami dalam strategi pemanfaatan dan pengembangannya. Taktik pengelolaan hama melibatkan musuh alami untuk mendapatkan penurunan status hama disebut pengendalian hayati. Pemanfaatan musuh alami tidak menimbulkan pencemaran, dari segi ekologi tetap lestari dan untuk jangka panjang relatif murah. Pengendalian dengan memanfaatkan musuh alami atau secara biologis adalah kerja dari faktor biotis seperti parasitoid, predator dan patogen terhadap mangsa atau inang, sehingga menghasilkan suatu keseimbangan umum yang lebih rendah daripada keadaan yang ditunjukkan apabila faktor tersebut tidak ada atau tidak bekerja. Pengendalian HAYATI merupakan salah satu pengendalian yang dinilai cukup aman karena mempunyai beberapa keuntungan yaitu : 1) selektivitas tinggi dan tidak menimbulkan hama baru, 2) organisme yang digunakan sudah tersedia dialam, 42 3) organisme yang digunakan dapat mencari dan menemukan inangnya, 4) dapat berkembang biak dan menyebar, 5) hama tidak menjadi resisten atau kalau terjadi sangat lambat, dan 6) pengendalian berjalan dengan sendirinya. Pengendalian biologi dapat dibedakan menjadi dua bagian yaitu : 1) pengendalian biologi alami yaitu pengendalian hama dengan musuh alami, tanpa campur tangan manusia, 2) pengendalian biologi terapan yaitu pengendalian hayati dengan campur tangan manusia. Telah diketahui berbagai jenis musuh alami yang dibagi menjadi 3 kelompok yaitu : parasitoid, predator dan patogen. Terdapat 79 jenis musuh alami WBC diantaranya adalah parasitoid, predator dan patogen. Musuh alami yang potensial untuk penggerek batang padi (PBP) adalah parasitoid. Ada 3 jenis parasitoid PBP yaitu : Tetrastichus schenobii Ferr., Telenomus rowani Gah., dan Trichogramma japonicum Ashm (Jepson, 1954; Soehardjan, 1976). Sampai saat ini telah diketahui banyak spesies jamur patogen serangga (JPS) pada tanaman padi. Di antara patogen tersebut Hirsutella citriformis, Metarrhizium anisopliae dan Beauveria bassiana mempunyai potensi untuk mengendalikan WBC. Keberadaan musuh alami hama khususnya hama padi sangat penting dalam menentukan populasi hama tersebut. Parasitoid dan predator mampu menurunkan padat populasi hama, sedangkan infeksi JPS dapat mematikan dan mempengaruhi perkembangan hama, menurunkan kemampuan reproduksi, serta menurunkan ketahanan hama terhadap predator, parasitoid dan patogen lainnya. Berbagai jenis artropoda terdapat dalam ekosistem padi sawah dan turut berperan dalam keseimbangan hayati untuk mencapai pengendalian hama yang ramah lingkungan dan menuju pertanian berkelanjutan. Potensi berbagai jenis musuh alami khususnya parasitoid dan predator hama wereng coklat dan penggerek batang padi serta pelestariannya yang dapat dijadikan agen hayati untuk pengendalian hama utama tanaman padi. Konsep 43 PHT adalah cara pengendalian yang cocok untuk mewujudkan sistem pengendalian yang ramah lingkungan. Hal ini terbukti dari keanekaragaman hayati serangga sesudah PHT lebih komplek dibandingkan sebelum PHT. Ekosistem sawah: Irigasi Irigasi merupakan upaya yang dilakukan manusia untuk mengairi lahan pertaniannya. Dalam dunia modern saat ini sudah banyak model irigasi yang dapat dilakukan manusia. Pada zaman dahulu jika persediaan air melimpah karena tempat yang dekat dengan sungai atau sumber mata air, maka irigasi dilakukan dengan mangalirkan air tersebut ke lahan pertanian. Namun demikian irigasi juga biasa dilakukan dengan membawa air dengan menggunakan wadah kemudian menuangkan pada tanaman satu-persatu. Untuk irigasi dengan model seperti ini di Indonesia biasa disebut menyiram. Irigasi Permukaan Irigasi Permukaan merupakan sistem irigasi yang menyadap air langsung di sungai melalui bangunan bendung maupun melalui bangunan pengambilan bebas (free intake) kemudian air irigasi dialirkan secara gravitasi melalui saluran sampai ke lahan pertanian. Di sini dikenal saluran primer, sekunder dan tersier. Pengaturan air ini dilakukan dengan pintu air. Prosesnya adalah gravitasi, tanah yang tinggi akan mendapat air lebih dulu. 44 Pengairan padi sawah dengan sistem penggenangan petakan lahan sawah (Sumber: http://www.mypulau.com/uploads_user/200912/13/766911.jp g) Irigasi Lokal Sistem ini air distribusikan dengan cara pipanisasi. Di sini juga berlaku gravitasi, di mana lahan yang tinggi mendapat air lebih dahulu. Namun air yang disebar hanya terbatas sekali atau secara lokal. Irigasi dengan Penyemprotan Penyemprotan biasanya dipakai penyemprot air atau sprinkle. Air yang disemprot akan seperti kabut, sehingga tanaman mendapat air dari atas, daun akan basah lebih dahulu, kemudian menetes ke akar. Irigasi Tradisional dengan Ember Di sini diperlukan tenaga kerja secara perorangan yang banyak sekali. Di samping itu juga pemborosan tenaga kerja yang harus menenteng ember. 45 Irigasi Pompa Air Air diambil dari sumur dalam dan dinaikkan melalui pompa air, kemudia dialirkan dengan berbagai cara, misalnya dengan pipa atau saluran. Pada musim kemarau irigasi ini dapat terus mengairi sawah. Irigasi sistem pompa (sumber: http://atusi.edublogs.org/files/2007/11/268263346_993bd72895.jpg Irigasi Pasang-Surut di Sumatera, Kalimantan, dan Papua Dengan memanfaatkan pasang-surut air di wilayah Sumatera, Kalimantan, dan Papua dikenal apa yang dinamakan Irigasi PasangSurat (Tidal Irrigation). Teknologi yang diterapkan di sini adalah: pemanfaatan lahan pertanian di dataran rendah dan daerah rawarawa, di mana air diperoleh dari sungai pasang-surut di mana pada waktu pasang air dimanfaatkan. Di sini dalam dua minggu diperoleh 4 sampai 5 waktu pada air pasang. Teknologi ini telah dikenal sejak Abad XIX. Pada waktu itu pendatang di Pulau Sumatera memanfaatkan rawa sebagai kebun kelapa. Di Indonesia terdapat 5,6 juta Ha dari 34 Ha yang ada cocok untuk dikembangkan. Hal ini bisa 46 dihubungkan dengan pengalaman Jepang di Wilayah Sungai Chikugo untuk wilayah Kyushu, di mana di sana dikenal dengan sistem irigasi Ao-Shunsui yang mirip. Irigasi Lahan Kering dan Irigasi Tetes Di lahan kering, air sangat langka dan pemanfaatannya harus efisien. Jumlah air irigasi yang diberikan ditetapkan berdasarkan kebutuhan tanaman, kemampuan tanah memegang air, serta sarana irigasi yang tersedia. Ada beberapa sistem irigasi untuk pertanian lahan kering, yaitu: (1) irigasi tetes (drip irrigation), (2) irigasi curah (sprinkler irrigation), (3) irigasi saluran terbuka (open ditch irrigation), dan (4) irigasi bawah permukaan (subsurface irrigation). Untuk penggunaan air yang efisien, irigasi tetes merupakan salah satu alternatif. Misal sistem irigasi tetes adalah pada tanaman cabai. Ketersediaan sumber air irigasi sangat penting. Salah satu upaya mencari potensi sumber air irigasi adalah dengan melakukan deteksi air bawah permukaan (groundwater) melalui pemetaan karakteristik air bawah tanah. Cara ini dapat memberikan informasi mengenai sebaran, volume dan kedalaman sumber air untuk mengembangkan irigasi suplemen. Pengalaman Sistem Irigasi Pertanian di Niigata Jepang Sistem Irigasi Pertanian milik Mr. Nobutoshi Ikezu di Niigata Prefecture. Di sini terlihat adanya manajemen persediaan air yang cukup pada pengelolaan pertaniannya. Sekitar 3 km dari tempat tersebut tedapat sungai besar yang debit airnya cukup dan tidak berlebih. Air sungai dinaikan ke tempat penampungan air menggunakan pompa berkekuatan besar. Air dari tempat penampungan dialirkan menggunakan pipa-pipa air bawah tanah berdiameter 30 cm ke pertanian di sekitarnya. Pada setiap pemilik sawah terdapat tempat pembukaan air irigasi tersebut. Pembagian air ini bergilir berselang sehari, yang berarti sehari keluar, sehari tutup. Penggunaannya sesuai dengan kebutuhan sawah setempat yang dapat diatur menggunakan tuas yang dapat dibuka tutup 47 secara manual. Dari pintu pengeluaran air tersebut dialirkan ke sawahnya melalui pipa yang berada di bawah permukaan sawahnya. Kalau di tanah air kita pada umumnya air dialirkan melalui permukaan sawah. Sedangkan untuk mengatur ketinggian air dilakukan dengan cara menaikan dan menurunkan penutup pintu pembuangan air secara manual. Pembuangan air dari sawah masuk saluran irigasi yang terbuat dari beton sehingga air dengan mudah kembali ke sungai kecil, tanpa merembes terbuang ke bawah tanah. Pencegahan perembesan air dilakukan dengan sangat efisien. Ekosistem Sawah : Kekeringan Ribuan hektar lahan persawahan yang berada di kawasan Pantai Utara (Pantura) Kabupaten Tangerang, Banten, mengalami kekeringan akibat musim kemarau sehingga tanaman padi yang sudah berbuah dikhawatirkan terancam gagal panen karena kekurangan air. Sejumlah areal persawahan tanaman padi yang sudah berbuah mengalami kekeringan terdapat pada lima Kecamatan seperti di Kecamatan Pakuhaji, Kecamatan Kosambi, Kecamatan Mauk dan Kecamatan Teluknaga serta Kecamatan Kronjo. Tanah sawah yang kering mengalami retak-retak dan bila dibiarkan hingga tiga pekan kedepan, maka petani terancam tidak dapat panen pada musim tanam (MT) Tahun 2009 (sumber: http://www.wartakota.co.id/ read/news/8083). Untuk mengatasi kekurangan air itu, petani terpaksa menggali lubang dan ada juga yang mencari sumber lain dari sungai terdekat menggunakan mesin pompa menyedot. Namun petani yang terancam gagal panen terdapat di Desa Mauk Barat, Kecamatan Mauk dan Desa Kramat, Kecamatan Pakuhaji serta di Desa Kampung Melayu Barat, Kecamatan Teluknaga. 48 Ekosistem sawah yang mengalami kekeringan (Sumber: http://www.wartakota.co.id/read/news/8083..... diunduh 8/7/2011) Seorang petani Mulyadi (48) warga Desa Kampung Melayu Barat Kecamatan Teluknaga terpaksa menyewa pompa menyedot air dari Sungai Cisadane untuk mengairi persawahan yang kering supaya tanaman padi tidak mati. Dia sudah delapan hari menyedot air supaya tanaman padi tidak kekurangan air, karena usia tanam telah memasuki bulan ke dua. Walau begitu, air yang mengalir melalui irigasi di pantura Kabupaten Tangerang, saat ini sudah mengalami pendangkalan maka tidak mampu lagi mengalir hingga petak sawah yang letaknya relatif jauh. Sawah yang mengalami kekeringan di Kabupaten Tangerang mencapai ribuan hektar namun belum ada informasi terkait ancaman gagal panen. Meski demikian, pemerintah kabupaten terus memantau kondisi padi petani selama musim kemarau ini, karena diharapkan mereka tidak menderita rugi karena faktor cuaca. Diperkirakan musim panen padi pertengahan Agustus 2009 hingga awal Oktober 2009 pada lima kecamatan, dan diharapkan hasilnya tidak mengalami penurunan drastis. Bila kondisi sawah dalam keadaan normal, maka petani akan panen mulai dari 5,7 ton/hektar sampai 6,6 ton/hektar gabah kering giling. 49 Ribuan Hektar Sawah Di Jember Terancam Kekeringan (http://skalanews.com/baca/news/2/6/90786/daerah/ribuan-hektarsawah-di-jember-terancam-kekeringan.html) Akibat dam yang rusak ketika terjadi banjir bandang, saat ini ribuan hektar sawah di Kabupaten Jember, Jawa Timur terancam kekeringan. Menurut Kepala Dinas Pengarian Kabupaten Jember, dam yang rusak akibat banjir beberapa pekan lalu jumlahnya mencapai 18 dam. Dam-dam tersebut mengairi ribuan hektar lahan pertanian di tiga kecamatan yakni Rambipuji, Panti, dan Arjasa. Apabila 18 dam itu tidak segera diperbaiki, sekitar 4.500 hektare sawah di tiga kecamatan tersebut terancam tidak akan teraliri sehingga dapat berdampak pada kekeringan di Jember. Sampai saat ini Dinas Pengairan telah melakukan normalisasi dengan mengeruk sejumlah alur sungai dan dam untuk menghindari pendangkalan. Sungai dan dam yang telah dikeruk diantaranya adalah Dam Cempaka dan Sungai Dinoyo. Pekan lalu sungai Dinoyo meluap dan menyebabkan banjir bandang. Rencananya dinas pengairan menganggarkan dana sebesar Rp 3,8 miliar untuk memperbaiki 18 dam yang rusak. Namun ternyata anggaran yang disetujui hanya sebesar Rp 1,5 miliar. Anggaran sebesar Rp 1,5 miliar itu harus dibagi untuk Dinas Pengairan dan Bina Marga sehingga kami hanya mendapat Rp 750 juta. Dana tersebut oleh dinas pengairan rencananya akan digunakan untuk perbaikan dua dam saja, sementara 16 dam sisanya akan meminta bantuan kepada pemerintah pusat. 50 Tanaman padi sawah masih umur muda mengalami kekeringan (Sumber: http://skalanews.com/baca/news/2/6/90786/daerah/ribuanhektar-sawah-di-jember-terancam-kekeringan.html ..... diunduh 8/7/2011) Tanaman Padi di Purworejo Puso Kekurangan Air (http://www.krjogja.com/news/detail/89669/Tanaman.Padi.di.Purworejo.Pus o.Kekurangan.Air.html) Senin, 27 Juni 2011 Tanaman padi di Kabupaten Purworejo puso akibat kekeringan. Petani di Desa/Kecamatan Gebang, sudah putus asa dan membiarkan tanaman miliknya akibat sawah tidak lagi diairi air irigasi. Petani di Desa Gebang, menyatakan bahwa sudah sebulan terakhir belasan hektare sawah di wilayahnya mengalami kesulitan air. Irigasi berhenti mengalir, jika ingin memburu air, harus malam hari. Itupun airnya hanya sedikit. Kurang lebih satu hektar sawah milik sedikitnya delapan petani di Desa Gebang mengalami puso. Sementara itu, belasan hektare lainnya terancam kekeringan, kerugian yang dialami petani diperkirakan mencapai jutaan rupiah. Petani lain, mengalami kerugian ratusan ribu rupiah akibat gagal panen. Kerugian akibat 51 sudah mengeluarkan uang untuk tanam padi dan olah sawah. Petani sudah telanjur tanam padi, namun kini dipastikan puso karena tidak ada air. Padahal, saat tanam sekitar sebulan lalu, air irigasi masih lancar. Sejak tidak memperoleh air,petani membiarkan tanaman padi umur 30 hari setelah tanam (HST) miliknya. Bahkan, sawah seluas 90 ubin milik seorang petani sudah dipenuhi gulma - rumput penganggu. Akibat gagal panen, dia mengalami kerugian sedikitnya Rp 100 ribu. Petani ini mengaku sengaja membiarkan tanaman padi miliknya lantaran sudah putus asa. Ia tidak mau mengusahakan pompa untuk menyedot air sungai antaran tidak punya biaya. Jika menyewa pompa, petani akan semakin rugi, karena hasil panen tidak akan sebanding dengan biaya produksi. Selain itu, petani di Desa Gebang juga dihantui serangan hama tikus. Seluruh sawah yang tidak kekurangan air, lanjutnya, sedang menghadapi serangan hama pengerat itu. Mau menyiangi gulma, rasanya percuma, karena, selain tidak ada air, kami masih harus menghadapi hama tikus. Setelah sawah bersih dari gulma, giliran tikus dapat menyerang. Tanaman padi muda mengalami kekeringan dan petaninya kesulitan menyediakan air irigasi. (Sumber : (http://www.krjogja.com/news/detail/89669/Tanaman.Padi.di.Purwo rejo.Puso.Kekurangan.Air.html ...... diunduh 8/7/2011) 52 Multifungsi Ekosistem Sawah Perubahan paradigma pembangunan yang mengemuka sejak periode 1980-an telah melahirkan konsep pembangunan berkelanjutan, dimana aspek distribusi dan keles-tarian lingkungan maupun sosial-budaya memperoleh perhatian yang proporsional seiring dengan upaya peningkatan pertumbuhan ekonomi (Munasinghe, 1993). Kaitannya dengan hal itu, berbagai klasifikasi mengenai nilai ekonomi lahan pertanian telah dikemukakan, di antaranya oleh Munasinghe (1992), Callaghan (1992), dan Sogo Kenkyu (1998). Meski-pun terdapat beberapa perbedaan mengenai klasifikasi manfaat lahan pertanian yang dikemukakan oleh narasumber tersebut, tetapi secara garis besar penilaian ekonomi lahan pertanian harus dilihat berdasarkan manfaat penggunaan (use values) dan manfaat ba-waannya (intrinsic values). Dalam Diagram 1 dijelaskan aspek-aspek yang terkait dengan kedua manfaat tersebut, yang meliputi aspek ekonomi, lingkungan, dan sosial-budaya. 53 GSL ( Griya Sawah Lega ) Griya Sawah Lega ini berlokasi di Cisarua, Puncak - Bogor. Jawa Barat; menawarkan tempat yang nyaman, dengan suasana pedesaan dan udara yang sejuk untuk kegiatan : Wisata Agro/Wisata Desa - Rapat - Training Retreat - Outbound - Kemping - Gathering. Untuk fasil handal yang terpercaya di bidangnya GSL juga bekerja sama dengan freecamp, yang siap untuk membantu anda dalam bidang : Out bound training ; Out bound Fun; Family Gathering; Agro actifity; Indoor training; One Day Program; Raffting; Paint Ball; Team building; High Rope; Problem solving; Instalasi games dan Even organizer. Jasa=jasa wisata pada agroekosistem sawah (Sumber: http://gsldidi.blogspot.com/ ….. diunduh 8/7/2011) 54 Jasa=jasa wisata pada agroekosistem sawah (Sumber: http://gsldidi.blogspot.com/ ….. diunduh 8/7/2011) Daftar Pustaka Adams, Richard M., Laurie L. Houston, Bruce A. McCarl, Mario Tiscareno L., Jaime Matus G., and Rodney F. Weiher. The Benefits to Mexican Agriculture of on El-Nino-Southern Oscilation (ENSO) Early Warning System. Agricultural and Forest Meteorology 115 (2003). Elsevier Sciences. 183-194 pp. Andrewartha, H.G. and L.C. Birch. 1984. The ecological. The University of Chicago. 505 pp. Anwar, A., and A. Pakpahan. 1990. The Problem of Sawah-Land Conversion to Non-Agricultural Uses in Indonesia. Indonesian Journal of Tropical Agriculture 1(2):101-108. Arifin, M., I.B.G. Suryawan, B.H. Priyanto dan A. Alwi. 1997. Diversitas artropoda pada berbagai teknik budidaya padi di Pemalang, Jawa Tengah. Penelitian Pertanian Puslitbangtan 15 (2): 5-12. 55 Baehaki, S.E. 1991. Peranan musuh alami mengendalikan wereng coklat. Prosiding Seminar Sehari Tingkat Nasional. Fakultas Pertanian Universitas Jenderal Sudirman. hlm. 1-9. Balvanera, P. C. Kremen, and M. Martinez. 2005. Applying community structure analysis to ecosystem function: examples from pollination and carbon storage. Ecological Applications 15: 360-375. Balvanera, P., G.C. Daily, P.R. Ehrlich, T.H. Ricketts, S.Bailey, S. Kark, C. Kremen and H. Pereira. 2001. Conserving biodiversity and ecosystem services. Science 291: 2047. Berg, H. (2002). Rice monoculture and integrated rice-fish farming in the Mekong delta, Vietnam - economic and ecological considerations. Ecological Economics 41:95-107. Callaghan, J.R. 1992. Land use: The interaction of economics, ecology and hydrology. Chapman & Hall. London. Campbell, Neil A.; Brad Williamson; Robin J. Heyden (2006). Biology: Exploring Life. Boston, Massachusetts: Pearson Prentice Hall. ISBN 013-250882-6. http://www.phschool.com/el_marketing.html. Chan, K.M.A., M.R. Shaw, D.R. Cameron, E.C. Underwood and G.C. Daily. 2006. Conservation planning for ecosystem services. PLoS Biology 4: 2138-2152. Cheng, J.A. 2009. Rice planthopper problems and relevant causes in China. Pp 157-178. In Heong KL, Hardy B, editors. 2009. Planthoppers: new threats to the sustainability of intensive rice production systems in Asia. Los Baños (Philippines): International Rice Research Institute. Chiu, S.C. 1979. Biological control of the brown planthopper, Nilaparvata lugens Stal. In brown planthopper Threat to Rice Production in Asia. IRRI, Los Banos, Laguna, Philippines. 335-356. Cicerone, R.J. and J.D. Shetter. 1983. Sources of atmospheric methane: measurement in rice paddies and a discussion. J. Gheophys. Res.86: 7203-7209. Daily, G.C. 1997. Nature’s Services: Societal Dependence on Natural Ecosystems. Island Press, Washington. 392pp. Daily, G.C. 2000. Management objectives for the protection of ecosystem services. Environmental Science & Policy 3: 333-339. 56 Daily, G.C., T. Söderqvist, S. Aniyar, K. Arrow, P. Dasgupta, P.R. Ehrlich, C. Folke, A. Jansson, B. Jansson, N. Kautsky, S. Levin, J. Lubchenco, K. Mäler, D. Simpson, D. Starrett, D. Tilman, and B. Walker. 2000. The value of nature and the nature of value. Science 289: 395-396. De Bach, Paul. 1979. Biological control by natural enemies. Cambridge University Press, London. 323 pp. De Datta, S.K. and Buresh, R.J. 1989. Integrated nitrogen management in irrigated rice. Adv. Soil Sci., 10: 143-169. DeFries, R.S., J.A. Foley, and G.P. Asner. 2004. Land-use choices: balancing human needs and ecosystem function. Frontiers in Ecology and the Environment 2: 249-257. Dewan, S. (1992). Rice-fish farming systems in Bangladesh: past, present and future. In: Rice-Fish Research and Development in Asia (eds. C.R. dela Cruz, C. Lightfoot, B.A. Costa-Pierce, V.R. Carangal and M.P. Bimbao), ICLARM Conference Proceedings 24:11-17. Frei, M. and Becker, K. (2005). Integrated rice-fish culture: coupled production saves resources. Natural Resources Forum 29:135-143. Gupta, M.V., Sollows, J.D., Mazid, M.A., Rahman, A., Hussain, M.G. and Dey, M.M. (2002). Economics and adoption patterns of integrated ricefish farming in Bangladesh. In: Rural Aquaculture (eds. P. Edwards, D.C. Little and H. Demaine), CABI Publishing, Oxford, UK, pp. 41-53. Halwart, M. and Gupta, M.V. (2004). Culture of fish in rice fields. FAO and the WorldFish Center, 83 p. Hanson, C, J Ranganathan, C Iceland, and J Finisdore. (2008) The Corporate Ecosystem Services Review (Version 1.0). World Resources Institute. Harun, A.K.Y and Pittman, K.A. (1997). Rice-fish culture: feeding, growth and yield of two size classes of Puntius gonionotus Bleeker and Oreochromis spp. in Bangladesh. Aquaculture 154:261-281. Heong K.L. 2010. Biodiversity and Ecosystem Services in rice environments. Insect Ecologist. International Rice Research Institute Los Baños, Philippines. Heong, K. L. , Manza,A., Catindig, J., Villareal, S. and Jacobsen, T. 2007. Changes in pesticide use and arthropod biodiversity in the IRRI research farm. Outlooks in Pest ManagementOctober 2007. 57 Holzapfel-Pschorn, A.R., R. Conrad, and W. Seiler. 1986. Effect of vegetation on the emission of methane from submerged paddy soil. Plant Soil 92: 223 -233. IPCC. 1992. Climate change. In: J.T. Houghton et al (eds). The supplementary report the IPCC scientific assessment. Cambridge University Press, U.K. 29 Irawan, Bambang. 2002. Analisis nilai ekonomi sumberdaya lahan pertanian. Laporan Hasil penelitian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Iriadi, M. 1990. Analisis konversi lahan sawah ke indutri dengan metode sewa ekonomi lahan (land rent): Studi kasus di Kecamatan Cibitung, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat. Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian, IPB. IRRI, 1989. IRRI Toward 2000 and Beyond. Los Baños, Laguna, Philippines. IRRI, 1993. IRRI Rice Facts. Los Baños, Laguna, Philippines. Kartika, I. P. 1990. Analisis konversi lahan dari penggunaan pertanian ke penggunaan nonpertanian dengan pendekatan sewa ekonomi lahan (land rent): Studi Kasus di Desa Cimacan, Kecamatan Pacet, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat. Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian, IPB. Kartohardjono, A. 1988. Kemampuan beberapa predator (laba-laba, Paederus sp., Ophionea sp., Cyrtorhinus sp., dan Coccinella sp.) dalam mengurangi kepadatan wereng coklat (Nilaparvata lugens Stal.) pada tanaman padi. Penelitian Pertanian 8(1): 25-31. Kawaguchi, K. and Kyuma, K. 1977. Paddy Soils in Tropical Asia, Their Material Nature and Fertility. Univ. Press of Hawaii, Honolulu. Kawasaki, I. 1953. Natural supply of three major elements from soils of the major arable land in Japan. Nippon Nogyo Kenkyusho: 6. (In Japanese). Kazutake Kyuma. 1995. Ecological sustainability of the paddy soil-rice system in asia. Department of Environmental Science The University of Shiga Prefecture 2500 Hassaka-cho, Hikone City Japan 522. Kiene, R.P., R.S. Oremland, A. Catena, L.G. Miller, and D.G.Capone. 1986. Metabolism of Reduced Methylated Sulfur Compounds in Anaerobic 58 Sediments and by a Pure Culture of an Estuarine Methanogen. Appl Environ Microbiol. 1986 November; 52(5): 1037-1045.. Kilin, D., I.W. Laba dan P. Panudju. 1993. Dampak negatif penggunaan insektisida. Laporan Penelitian 1992/1993 Balittan Bogor. Kimura , M.D., H. Murakami, and H. Wada. 1991. CO2, H2, and CH4 production in rice rhizosphere. Soil Sci. Techno. 25: 979-981. Kludze, H.K., R.D. DeLaune, and W.H. Patrisc, Jr. 1993. Aerenchyma formation and methane and oxygen exchange in rice. Soil Sci. Soc. Am. J. 57: 386-391 Kobayashi, J. 1958. Chemical studies on the quality of the river water in the countries of Southeast Asia: Quality of water in Thailand. NogakuKenkyu 46,2: 63-112. (In Japanese). Kobayashi, J. 1961. Studies on mean water quality of Japanese rivers and its characteristics. Nogaku-Kenkyu 48,2: 63-106. (In Japanese). Koesmaryono, Y., Rizaldi Boer, Hidayat Pawitan, Yusmin, dan Irsal Las. 1999. Pendekatan Iptek dalam Mengantisipasi Penyimpangan Iklim. Prosiding Diskusi Panel Strategi Antisipatif Menghadapi Gejala Alam La-Nina dan El-Nino untuk Pembangunan Pertanian. Bogor, 1 Desember 1998. PERHIMPI, FMIPA-IPB, Puslittanak, dan ICSEA BIOTROP Bogor. Bogor . Hal 43-58. Kremen, C. 2005. Managing ecosystem services: what do we need to know about their ecology? Ecology Letters 8: 468-479. Kunda, M., Azim, M.E., Wahab, M.A., Dewan, S., Roos, N. and Thilsted, S.H. (2008). Potential of mixed culture of freshwater prawn (Macrobrachium rosenbergii) and self recruiting small species mola (Amblypharyngodon mola) in rotational rice-fish/prawn culture systems in Bangladesh. Aquaculture Research 39:506-517. Las, Irsal., A. Karim Makarim, A. Hidayat, A. Syarifuddin Karama, dan Ibrahim Manwa. 1991. Peta Agroekologi Utama Tanaman Pangan Indonesia. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Badan Litbang Pertanian. Bogor. 24 hal. Lawton, J.H. 1994. What do species do in ecosystems? Oikos 71: 367-374. Lightfoot C., dela Cruz, C.R. and Carangal, V.R. (1990). International research collaboration in rice-fish research. NAGA, the ICLARM Quarterly 13:12-13. 59 Lu, J. and Li, X. (2006). Review of rice-fish-farming systems in China - one of the globally important ingenious agricultural heritage systems (GIAHS). Aquaculture 260:106-113. Marsudiyono. 1989. Pengaruh residu insektisida terhadap Anagrus sp. parasit telur wereng coklat (Nilaparvata lugens Stal.). Skripsi Fakultas Biologi, Universitas Nasional, Jakarta 56 hlm. Mayrowani, H., S.K. Dermoredjo, A.R. Nurmanaf, Y. Soeleman., dan A. Setyanto. 2003. Nilai riil dari sistem pertanian di DAS Citarum. Makalah Seminar Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. Mohanty, R.K., Verma, H.N. and Brahmanand, P.S. (2004). Performance evaluation of rice-fish integration system in rainfed medium and ecosystem. Aquaculture 23:125-135. Munasinghe, M. 1993. . Environmental economics and sustainable development. World Bank Environmental Paper No. 3. Mustow, S.E. (2002). The effects of shading on phytoplankton photosynthesis in rice-fish fields in Bangladesh. Agriculture, Ecosystems and Environment 90:89-96. Nabi, R. (2008). Constraints to the adoption of rice-fish farming by smallholders in Bangladesh: a farming systems analysis. Aquaculture Economics and Management 12:145-153. Naeem S. 1998. "Species redundancy and ecosystem reliability" Conservation Biology 12: 39–45. Nakano et al.(1998)"Dynamic Simulation of Pressure Control System for the Closed Ecology Experiment Facility", Transactions of the Japan Society of Mechanical Engineers. 64:107-114. Nasoetion, L.I. 2003. Konversi lahan pertanian: Aspek hukum dan implementasinya. Dalam:Undang Kurnia, dkk (eds). Prosiding Seminar Nasional Multifungsi dan Konversi Lahan Pertanian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. Nasoetion, L.I. dan E. Rustiadi. 1990. Masalah konversi lahan sawah ke penggunaan non-sawah fokus Jawa dan Bali. Paper pada Pertemuan Ilmiah Pembangunan Pedesaan dan Masalah Pertanahan, 13-15 Februari 1990; PAU Studi Sosial-UGM. 60 Nasoetion, L.I. dan Winoto, J. 1996. Masalah alih fungsi lahan pertanian dan dampaknya terhadap keberlangsungan swasembada pangan. dalam: Hermanto, dkk (eds). Prosiding Lokakarya: Persaingan Dalam Pemanfaatan Sumberdaya Lahan dan Air. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian dan Ford Fondation. Neue, H.U., Becker-Heidmann, P. and Scharpenseel, H.W. 1990. Organic matter dynamics, soil propreties and cultural practices in rice lands and their relationship to methane production. In: Soil and the Greenhouse Effect, A.F. Bouwman (ed.). John Wiley and Sons, Chichester, U.K. pp. 457-466. (Cited in Yagi, K. 1991. Emission of biogenic gas compounds from soil ecosystem and their effect on global environment. 2. Methane emission from paddy fields. Jap. Jour. Soil Sci. Plant Nutr., 62: 556-562. In Japanese). Nhan, D.K., Phong, L.T., Verdegem, M.J.C., Duong, L.T., Bosma, R.H. and Little, D.C. (2007). Integrated freshwater aquaculture, crop and livestock production in the Mekong delta, Vietnam: determinants and the role of the pond. Agricultural Systems 94:445-458. Nishio, M. 1999. Multifungtional character of paddy farming. Annex 7 in: Proceedings The Second Group Meeting on Inter Change of Agricultural Technology Information between Asean Member Countries and Japan. Jakarta, 16-17 February 1999. ASEAN Secretariat, Jakarta. Nurbaeti, B., E. Soenarjo dan Waluyo. 1992. Studi peranan musuh alami penggerek batang padi Scirpophaga incertulas (Walker) (Lepidoptera; Pyralidae). Seminar Tahunan Balai Penelitian Tanaman Pangan. Bogor, 6 hlm. Nursyamsi, D., Sulaeman, M. E. Suryadi, dan F.G. Bereleka. 2001. Kandungan beberapa ion di dalam sumber air di Sub DAS Citarik dan DAS Kaligarang. Dalam: Fahmuddin Agus, dkk (eds). Prosiding Seminar Nasional Multifungsi Lahan Sawah. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. Oka, I.N. 1995. Pengendalian hama terpadu dan implementasinya di Indonesia. Gadjah Mada University Press. 255 hlm. Pathak, M.D. 1968. Ecology of common insect pest of rice. Ann. Rev. Entomol. 13 pp. 61 Pedigo, L.P. 1999. Entomology and pest management. Lowa University. Prentice Hall, Upper Sadlle River. NJ. 07458. Third Edition. P. 307. Perrot-Maître, D. (2006) The Vittel payments for ecosystem services: a "perfect" PES case? International Institute for Environment and Development, London , UK. Pramono, J., A. Bakri, dan I. Soelaiman. 1996. Persaingan dalam pemanfaatan lahan antara sector pertanian dan industri. dalam: Hermanto, dkk (eds). Prosiding Lokakarya: Persaingan Dalam Pemanfaatan Sumberdaya Lahan dan Air. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian dan Ford Fondation. Riyani, W. 1992. Analisis konversi lahan dari pertanian ke lahan perumahan dengan metode sewa ekonomi lahan (land rent): Studi kasus di wilayah Dati II Kodya Bogor, Propinsi Jawa Barat. Sass R. L., Fisher, F. M., Harcombe, P. A. dan Turner, F. T. 1990. Global Biogeochem. Cycles 4, 47-68. Sass R. L., Fisher, F. M., Turner, F. T. dan Jund, M. F. 1991. Global Biogeochem. Cycles 5, 335-350. Setiyanto, A., R. Nurmanaf, Y. Soeleman, H. Mayrowani, dan S.K. Dermoredjo. 2003. Nilai ekonomi fungsi lahan sawah untuk pengendalian pencemaran udara (air purification): Studi kasus DAS Citarum, Jawa Barat. Makalah Seminar. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. Shepard, B.M., H.R. Rapusas and D.B. Estano, 1989. Using rice straw bundles to conserve beneficial arthropod communities in rice fields. Int. Rice. Res. Newl. 14(5): 30-31. Sogo Henkyu. 1998. An economic evaluation of external economies from agriculture by replacement cost method. National Research Institute of agricultural economics, MAFF, Japan. Stern, V.M., R.F. Smith, R Van den Bosch and K.S. Hagen. 1959. The integration of chemical and biological control of spotted alfalfa aphid. Hilgardia 29 (2); 81-101. Suharsih, P. Setyanto, A. Wihardjaka, dan A.K. Makarim. 1998. Emisi gas metan dari berbagai sistem pengaturan air pada lahan sawah. Laporan Tahunan. Loka Penelitian Tanaman Pangan Jakenan. 62 Suharsih, P. Setyanto, A. Wihardjaka, dan A.K. Makarim. 1999. Pengaruh rejim air tanah terhadap besarnya emisi gas metan pada lahan sawah. Laporan Tahunan. Loka Penelitian Tanaman Pangan Jakenan. Sumaryanto dan R.T. Suhaeti. 1999. Assessment of losses related to irrigated low land conversion. dalam: I.W. Rusastra, dkk (eds). Dinamika Inovasi Sosial Ekonomi dan Kelembagaan Pertanian. Buku I. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Sumaryanto, Hermanto, dan E. Pasandaran. 1996. Dampak alih fungsi lahan sawah terhadap pelestarian swasembada beras dan sosial ekonomi petani. dalam: Hermanto, dkk (eds). Prosiding Lokakarya: Persaingan Dalam Pemanfaatan Sumberdaya Lahan dan Air. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian dan Ford Fondation. Supriyadi, S. Mangundihardjo dan E. Mahrub. 1992. Kajian Ekologi laba-laba srigala, Lycosa pseudoannulata Boes. et. Str. pada lahan padi. Kumpulan Abstrak Kongres Entomologi IV, Yogyakarta, 28-30 Januari. hlm 91. Sutono, S., H. Kusnadi, dan M.S. Djunaedi. 2001. Pendugaan erosi pada lahan sawah dan lahan kering Sub DAS Citarik dan DAS Kaligarang. Dalam: Fahmuddin Agus, dkk (eds). Prosiding Seminar Nasional Multifungsi Lahan Sawah. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. Syahbuddin, H., Manabu D. Yamanaka, and Eleonora Runtunuwu. 2004. Impact of Climate Change to Dry Land Water Budget in Indonesia: Observation during 1980-2002 and Simulation for 2010-2039. Graduate School of Science and Technology. Kobe University. Tabuchi, T. and Takamura, Y. 1985. Outflows of Nitrogen and Phosphorus from Watersheds. Tokyo University Press, Tokyo, Japan. (In Japanese). Tala’ohu, S.H., F. Agus, dan G. Irianto. 2001. Hubungan perubahan penggunaan lahan dengan daya sangga air Sub DAS Citarik dan DAS Kaligarang. Dalam: Fahmuddin Agus, dkk (eds). Prosiding Seminar Nasional Multifungsi Lahan Sawah. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. 63 Tala’ohu, S.H., S. Sutono, dan F. Agus. 2003. Daya sangga air lahan pertanian terhadap banjir dan nilai replacement cost di DAS Citarum. Makalah Seminar Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. Tarigan, S.M. dan N. Sinukaban. 2001. Peran sawah sebagai filter sedimen: studi kasus di DAS Way Besai, Lampung. Dalam: Fahmuddin Agus, dkk (eds). Prosiding Seminar Nasional Multifungsi Lahan Sawah. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. Tilman, D., C.L. Lehman, and C.E. Bristow. 1998. Diversity-stability relationships: statistical inevitability or ecological consequence? The American Naturalist 151: 277-282. Untung, K. 1992. Konsep dan strategi pengendalian hama terpadu. Makalah Simposium Penerapan PHT. PEI Cabang Bandung. Sukamandi, 3-4 September 1992. 17 hlm. van Breemen, N. and Jordens, E.R. 1983. Effects of atmospheric ammonium sulfate on calcareous and non-calcareous soils of woodlands in the Netherlands. In: Effects of Accumulation of Air Pollutants in Forest Ecosystems, B. Ulrich and J. Pankrath (eds.). D. Reidel Publishing Company, Boston, USA. Van Emden, H.P. 1976. Pest control and its ecology. Edward Arnold. 59 p. Vitousek, P.M., J. Lubchenco, H.A. Mooney, J. Melillo. 1997. Human domination of Earth’s ecosystems. Science 277: 494-499. Wahab, M.A., Kunda, M., Azim, M.E., Dewan, S. and Thilsted, S.H. (2008). Evaluation of freshwater prawn-small fish culture concurrently with rice in Bangladesh. Aquaculture Research 39:1524-1532. Walker, B.H. 1992. "Biodiversity and ecological redundancy." Conservation Biology 6: 18-23. Watson, R.T., Rodhe, H. Oeschger, H. and Siegenthaler, U. 1990. Green house gases and aerosols. In: Climate Change, the IPCC Scientific Assessment, J.T. Houghton et al. (eds.). Cambridge University Press, Cambridge, U.K., pp 1-40. (Cited in Yagi, K. 1991. Emission of biogenic gas compounds from soil ecosystem and their effect on global environment. 2. Methane emission from paddy fields. Jap. Jour. Sci. Plant Nutr. 62: 556-562. In Japanese). 64 Way, M.J. and Heong, K.L. 1994. The role of biodiversity in the dynamics and management of insect pests of tropical irrigated rice – A review. Bulletin of Entomological Research, 84, 567-587. White House. 1967. World Food Problem: A Report of the President's Science Advisory Committee. Vol. II, Report of the Panel on the World Food Supply. Washington, D.C. (Unpub.). Wihardjaka, A., dan A.K. Makarim. 2001. Emisi gas metan melalui bebrapa varietas padi pada tanah Incepticol yang disawahkan. Penelitian Pertanian Tanaman Pangan Vol. 20:1. p 10-15. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Wihardjaka, A., P. Setyanto, dan A.K. Makarim. 1997. Pengaruh varietas padi terhadap besarnya emisi gas metan pada lahan sawah. Laporan Tahunan. Loka Penelitian Tanaman Pangan Jakenan. Wihardjaka, A., P. Setyanto, dan A.K. Makarim. 1997a. Pengaruh penggunaan bahan organic terhadap hasil padi dan emisi gas metan pada lahan sawah. Laporan Tahunan. Loka Penelitian Tanaman Pangan Jakenan. Wihardjaka, A., P. Setyanto, dan A.K. Makarim. 1999. Emisi gas metan dari berbagai varietas padi. Laporan Tahunan. Loka Penelitian Tanaman Pangan Jakenan. Winoto, J. 1985. Dampak ketinggian permukaan lahan terhadap proses pembentukan lahan-lahan sawah. Jurusan Tanah. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Wu, R.S., W.R. Suc, and J.S. Chang., 1997. A simulation model for investigating the effects of rice paddy fields on run off system. p.422-427. In: Mc Donald et al (eds). Proceeding of MODSIM 97. MSSA Canberra, Australia. Yagi, K. and Minami, K. 1990. Estimates of Methane Emission from Paddy Fields. Research Reports of Div. of Environmental Planning of NIAES 6: 131-142. (In Japanese). Yoshida, K., 2001. An economic evaluation of multifunctional roles of agricultural and rural areas in Japan. Ministry of Agricultural Forestry and Fisheries. Japan.