EKOSISTEM SAWAH

advertisement
1
AGROEKOSISTEM SAWAH
(smno.tnh.fpub)
Ekosistem adalah suatu sistem ekologi yang terbentuk oleh
hubungan timbal balik tak terpisahkan antara makhluk hidup dengan
lingkungannya. Ekosistem bisa dikatakan juga suatu tatanan kesatuan
secara utuh dan menyeluruh antara segenap unsur lingkungan hidup
yang saling mempengaruhi.
Ekosistem merupakan penggabungan dari setiap unit
biosistem yang melibatkan interaksi timbal balik antara organisme dan
lingkungan fisik sehingga aliran energi menuju kepada suatu struktur
biotik tertentu dan terjadi suatu siklus materi antara organisme dan
anorganisme. Matahari sebagai sumber dari semua energi yang ada.
Dalam ekosistem, organisme dalam komunitas berkembang bersamasama dengan lingkungan fisik sebagai suatu sistem. Organisme akan
beradaptasi dengan lingkungan fisik, sebaliknya organisme juga
mempengaruhi lingkungan fisik untuk keperluan hidup. Pengertian ini
didasarkan pada hipotesis Gaia, yaitu: "organisme, khususnya
mikroorganisme,
bersama-sama
dengan
lingkungan
fisik
menghasilkan sutu sistem kontrol yang menjaga keadaan di bumi
cocok untuk kehidupan". Hal ini mengarah pada kenyataan bahwa
kandungan kimia atmosfer dan bumi sangat terkendali dan sangat
berbeda dengan planet lain di tata surya.
Hukum Toleransi
Hukum toleransi berbunyi: Kehadiran, kelimpahan dan
penyebaran suatu spesies dalam ekosistem ditentukan oleh tingkat
ketersediaan sumber daya serta kondisi faktor kimiawi dan fisis yang
harus berada dalam kisaran yang dapat ditoleransi oleh spesies
tersebut. Misalnya: Panda memiliki toleransi yang luas terhadap suhu,
namun memiliki toleransi yang sempit terhadap makanannya (bambu).
Berbeda dengan makhluk hidup yang lain, manusia dapat
memperlebar kisaran toleransinya karena kemampuannya untuk
berpikir, mengembangkan teknologi dan memanipulasi alam.
Komponen Pembentuk Ekosistem
Komponen-komponen pembentuk ekosistem adalah:
2
Komponen tak hidup (abiotik)
Komponen abiotik yaitu komponen fisik dan kimia yang
merupakan medium atau substrat tempat berlangsungnya kehidupan,
atau lingkungan tempat hidup. Sebagian besar komponen abiotik
bervariasi dalam ruang dan waktunya. Komponen abiotik dapat
berupa bahan organik, senyawa anorganik, dan faktor yang
mempengaruhi distribusi organisme, yaitu:
1. Suhu. Proses biologi dipengaruhi suhu. Mamalia dan
unggas membutuhkan energi untuk meregulasi temperatur
dalam tubuhnya.
2. Air. Ketrsediaan air mempengaruhi distribusi organisme.
Organisme di gurun beradaptasi terhadap ketersediaan air
di gurun.
3. Garam. konsentrasi garam mempengaruhi kesetimbangan
air dalam organisme melalui osmosis. Beberapa organisme
terestrial beradaptasi dengan lingkungan dengan
kandungan garam tinggi.
4. Cahaya matahari. Intensitas dan kualitas cahaya
mempengaruhi proses fotosintesis. Air dapat menyerap
cahaya sehingga pada lingkungan air, fotosintesis terjadi di
sekitar permukaan yang terjangkau cahaya matahari. Di
gurun, intensitas cahaya yang besar membuat peningkatan
suhu sehingga hewan dan tumbuhan tertekan.
5. Tanah dan batu. Beberapa karakteristik tanah yang
meliputi struktur fisik, pH, dan komposisi mineral
membatasi penyebaran organisme berdasarkan pada
kandungan sumber makanannya di tanah.
Paddy soils are characterized by two distinct layers: 1 ) a surface
oxidized layer a few millimeters to a centimeter present at the soil
interface; and 2) an underlying reduced layer (anaerobic) which is
the principal zone of root development. The fate of applied N and
its efficient use depend on where it is placed.
3
Sumber: http://www.nzdl.org/gsdlmod?e=d-00000-00---off-0fnl2.2--000----0-10-0---0---0direct-10---4-------0-1l--11-en-50---20-about---00-0-100---4----0-0-11-1-0utfZz-800&cl=CL3.33&d=HASHd3b46cd4916b56b3547bcc.2.5&gc=1…..
diunduh 10/7/2011
Broadcasting ammonium-based fertilizer in the oxidized layer is an
inefficient method of fertilizer application. In this method, nitrogen
is lost by a combination of nitrification-denitrification, ammonium
volatilization, leaching and surface run-off. As a consequence, a
maximum of only 28% of the total applied nitrogen is eventually
taken up by the plant.
4
Sumber: http://www.nzdl.org/gsdlmod?e=d-00000-00---off-0fnl2.2--000----0-10-0---0---0direct-10---4-------0-1l--11-en-50---20-about---00-0-100---4----0-0-11-1-0utfZz-800&cl=CL3.33&d=HASHd3b46cd4916b56b3547bcc.2.5&gc=1…..
diunduh 10/7/2011
6. Iklim. Iklim adalah kondisi cuaca dalam jangka waktu lama
dalam suatu area. Iklim makro meliputi iklim global,
regional dan lokal. Iklim mikro meliputi iklim dalam suatu
daerah yang dihuni komunitas tertentu.
Komponen autotrof
Terdiri dari organisme yang dapat membuat makanannya
sendiri dari bahan anorganik dengan bantuan energi seperti sinar
matahari (fotoautotrof) dan bahan kimia (khemo-autotrof). Komponen
autotrof berperan sebagai produsen. Organisme autotrof adalah
tumbuhan berklorofil, seperti padi sawah.
5
Sumber: http://www.annualreviews.org/na101/home/literatu/
publisher/ar/ journals/content/arplant/2010/arplant.2010.61.issue-1/annurevarplant-042809-112152/production/images/medium/pp610535.f1.gif
Tembakau ditanam di sawah pada musim kemarau
Tanaman tembakau biasanya ditanam oleh petani Peniron di musim
kemarau. Hampir sebagian besar sawah di Peniron yang tadah hujan
disulap menjadi ladang tembakau. Seperti daerah lain, terutama desadesa di kecamatan Karanggayam seperti Pagebangan, Clapar, Logandu,
Kebakalan dan sekitarnya, budidaya tembakau menjadi andalan petani
untuk berharap mendapat keuntungan yang besar. Dari jenisnya,
tanaman tembakau di Peniron juga sama seperti daerah di atas, yaitu
tembakau dengan daun tebal yang tentu mempunyai kadar nikotin yang
cukup tinggi.
6
Di Peniron ada jenis tembakau yang menjadi primadona dan cukup
terkenal dikalangan petani dan tengkulak/pedagang tembakau, yaitu
tembakau Kali Keji. Dinamakan demikian karena tembakau jenis ini
adalah tembakau yang ditanam disepanjang daerah kali Keji, anak sungai
Cungkup.
Bagi penikmat dan pedagang, tembakau dari daerah ini konon
mempunyai rasa yang khas dan lebih baik dari daerah lain sehingga
harga jualnya pun lebih tinggi. Bahkan untuk mendapat keuntungan
yang lebih besar, para juragan tembakau mencampurnya dengan
tembakau dari daerah lain seperti dari Karanggayam yang harganya lebih
murah.
Bertanam tembakau sebenarnya sangat menguntungkan petani karena
harga jual yang didapat cukup tinggi. Seorang petani tembakau Ratim
(43 tahun) menuturkan, tahun lalu dari bertanam 400 ubin yang
ditanami sekitar 5000 batang, dirinya bisa mendapat uang sekitar
5.000.000,- dari tengkulak tembakau.
Tanaman tempakau di lahan sawah pada musim kemarau (Sumber:
http://penironku.wordpress.com/category/tulisan-asal/page/2/ …..
diunduh 10/7/2011)
7
Ada beberapa kendala yang selalu menghantui petani tembakau Peniron
diantaranya :
1. Kendala permodalan. Bertani tembakau memerlukan perawatan
yang ekstra untuk mendapatkan tembakau yang baik. Dengan harga
pupuk dan obat pertanian yang mahal tentu sangat memberatkan
petani.
2. Kendala pemasaran. Di Peniron, petani tidak menguasai akses
pemasaran sehingga menjadi makanan empuk bagi para tengkulak.
Yang lebih tragis, model pembayaran dari tengkulak tidak cash and
carry.
3. Kendala alam. Semakin kurangnya sumber air untnuk merawat
tanaman sangat mempengaruhi beratnya menanam tembakau bagi
petani. Bahkan, demi mendapatkan air, petani menyirami tanaman
pada malam hari. Belum lagi, karena sekarang banyak yang
menggunakan pompa air, maka ada biaya tambahan untuk membeli
pompa air karena jika tidak menggunakan pompa tidak akan
mendapatkan air.
4. Kendala manajerial. Terutama karena tidak adanya kelompok tani
tembakau, maka kendala permodalan dan pemasaran selalu menjadi
masalah klasik. Posisi tawar petani yang sangat lemah menjadikan
petani tembakau hanya menjadi korban permainan oleh para
tengkulak.
Perlu
ada
pendampingan/pembinaan
untuk
pemberdayaan terhadap petani.
Komponen heterotrof
Terdiri dari organisme yang memanfaatkan bahan-bahan
organik yang disediakan oleh organisme lain sebagai makanannya.
Komponen heterotrof disebut juga konsumen makro (fagotrof) karena
makanan yang dimakan berukuran lebih kecil. Yang tergolong
heterotrof adalah manusia, hewan, jamur, dan mikroba.
Pengurai (dekomposer)
Pengurai adalah organisme yang menguraikan bahan organik
yang berasal dari organisme mati.[4] Pengurai disebut juga konsumen
8
makro (sapotrof) karena makanan yang dimakan berukuran lebih
besar. Organisme pengurai menyerap sebagian hasil penguraian
tersebut dan melepaskan bahan-bahan yang sederhana yang dapat
digunakan kembali oleh produsen. Yang tergolong pengurai adalah
bakteri dan jamur. Ada pula detritivor yaitu hewan pengurai yang
memakan sisa-sisa bahan organik, contohnya adalah kutu kayu. Tipe
dkomposisi ada tiga, yaitu:
1. secara aerobik : oksigen adalah penerima elektron /
oksidan
2. secara anaerobik : oksigen tidak terlibat. Bahan organik
sebagai penerima elektron /oksidan
3. Fermentasi : anaerobik namun bahan organik yang
teroksidasi juga sebagai penerima elektron.
Semua komponen tersebut berada pada suatu tempat dan
berinteraksi membentuk suatu kesatuan ekosistem yang teratur.
Misalnya, pada suatu ekosistem akuarium, ekosistem ini terdiri dari
ikan sebagai komponen heterotrof, tumbuhan air sebagai komponen
autotrof, plankton yang terapung di air sebagai komponen pengurai,
sedangkan yang termasuk komponen abiotik adalah air, pasir, batu,
mineral dan oksigen yang terlarut dalam air.
Konsep Produktivitas
Energi bersifat kekal, namun pada setiap pertukaran energi
dari satu bentuk ke bentuk lainnya akan mengalami kehilangan
energi.
Produktivitas primer suatu ekosistem adalah laju
penyimpanan energi melalui proses fotosintesa oleh produsen dalam
bentuk senyawa organik yang dapat dipakai sebagai bahan makanan.
Produktifitas sekunder adalah laju penyimpanan energi pada tingkat
konsumen.
Produktivitas primer kotor adalah hasil seluruh fotosintesa,
termasuk yang terpakai untuk respirasi. Produktivitas primer bersih
adalah hasil bersih fotosintesa. Produktivitas komunitas bersih adalah
laju penyimpanan bahan organik yang tidak digunakan oleh heterotrof
per satuan waktu. Produktivitas setiap jenis ekosistem berbeda-beda.
9
Kebergantungan
Kebergantungan pada ekosistem dapat terjadi
komponen biotik atau antara komponen biotik dan abiotik.
antar
Kebergantungan antar komponen biotik dapat terjadi melalui:
1. Rantai makanan, yaitu perpindahan materi dan energi
melalui proses makan dan dimakan dengan urutan
tertentu. Tiap tingkat dari rantai makanan disebut tingkat
trofi atau taraf trofi. Karena organisme pertama yang
mampu menghasilkan zat makanan adalah tumbuhan
maka tingkat trofi pertama selalu diduduki tumbuhan hijau
atau produsen. Tingkat selanjutnya adalah tingkat trofi
kedua, terdiri atas hewan pemakan tumbuhan yang biasa
disebut konsumen primer. Hewan pemakan konsumen
primer merupakan tingkat trofi ketiga, terdiri atas hewanhewan karnivora.
2. Jaring- jaring makanan, yaitu rantai-rantai makanan yang
saling berhubungan satu sama lain sedemikian rupa
sehingga membentuk seperi jaring-jaring. Jaring-jaring
makanan terjadi karena setiap jenis makhluk hidup tidak
hanya memakan satu jenis makhluk hidup lainnya.
Kebergantungan antara komponen biotik dan abiotik dapat terjadi
melalui siklus materi, seperti:
1.
siklus karbon
2.
siklus air
3.
siklus nitrogen
4.
siklus sulfur
Siklus ini berfungsi untuk mencegah suatu bentuk materi
menumpuk pada suatu tempat. Kegiatan manusia telah membuat
suatu sistem yang awalnya siklik menjadi nonsiklik, kegiatan
“pembangunan” yang dilakukan oleh manusia cenderung
mengganggu keseimbangan lingkungan alam.
10
Diagram of Environments and N2 Fixing Components in a rice field
Ecosystem N2 fixing bacteria.
1.
Asscoiated with the roots 2.
In the Soil
3.
Epiphytic on Rice
4.
Epiphytic on weeds. Blue-gree algae
5.
at soil-water interface
6.
free floating
7.
at air water interface
8.
epihytic on rice
9.
epiphytic on weeds
10
Azolla
Komponen ekosistem sawah (Sumber:
http://www.microbiologyprocedure.com/rhizospherephyllosphere/nitrogen-fixation-in-the-rhizosphere.html)
11
In low land flooded rice cultivation, two major subenvironments have
come to be recognized-submerged plant parts and the rhizosphere.
Epiphytic bacteria and algae colonize the surface of aquatic weeds.
The rhizosphere is a nonphotic environment where redox, conditions
are determined by the balance of oxidizing and reducing capacities of
rice roots and characterized by exuded carbon compounds from roots
providing energy sources for microbial growth. Nitrogen fixing
microorganisms in the waterlogged rice fields contribute about 40-50
kg N /ha. This fixation is a cumulative effect of Rhodopseudomonas,
blue-gree algae, both free living as well as symbiotic
(photoautotrophs) and Azotobacter, Beijerinckia, Methylomonas,
Clostridium, Desulfovibrio, Klebsiella, Enterobacter, Flavobacterium,
Pseudomonas, Azospirillum and Rhizobium (Heterotrophs).
The bulk of symbiotic nitrogen fixation in rice rhizosphere of flooded
soil comes from root and stem nodules of leguminous green manure
species when they are ploughed into the soil. It is also now known
that nitrogen fixing bacteria occur in the rhizosphere, stalks and
phyllosphere of sugarcane plants and such bacteria have also been
reported inside the root cells.
Siklus Nitrogen dalam Ekosistem Sawah
The greater part of N in paddy soils exists in soil organic
matter. This tends to be conserved more in paddy soils than in upland
soils, because of the anaerobic conditions. Microbial decomposition of
the organic matter gradually releases ammoniacal N (NH4+-N). As
NH4+-N is stable under anaerobic conditions, it is retained as a cation
on negatively charged soil mineral and organic particles, until the time
when rice roots take it up. Thus, the leaching of NH4+-N from paddy
fields into the environment is not significant.
There is, however, one condition under which NH4+-N
becomes unstable. As stated earlier, after a month or so from the start
of waterlogging, a thin oxidized layer is differentiated from the reduced
plow layer at the soil surface. When NH4+-N comes to this oxidized
layer, it is readily transformed into nitrate (NO3--N), by nitrifying
bacteria. As an anion, NO3--N is not retained by soil particles, and is
readily washed with percolating water into the underlying reduced
plow layer. Here, it undergoes denitrification and N is lost to the
12
atmosphere. As a way of minimizing this loss of N, a deep placement
technique for ammonium fertilizers has been developed in Japan and
is now widely practiced.
Besides soil organic matter, there is another important source
of N, i.e. biological N fixation. In paddy soils there are many microbes
that are capable of fixing atmospheric N, such as blue-green algae,
Clostridia, photosynthetic bacteria, and many of the heterotrophic
bacteria in the rice rhizosphere. Estimates of the amount of
biologically fixed N per crop of rice vary quite widely, but 30 to 40
kg/ha would be a reasonable figure. This amount of N is two or three
times higher than the amount of N fixed in ordinary upland soils
planted in non-leguminous crops. Interestingly enough, this amount of
fixed N can explain the average yields of paddy obtained in
unfertilized fields in southeast Asia (1.5 to 2 mt/ha) on the basis of 20
kg of N for 1 mt of paddy.
Schematic Diagram of Nitrogen Cycle in Paddy Soil Ecosystem .
Sumber: http://www.agnet.org/library/eb/413/….. diunduh 10/7/2011
13
Can Rice-Fish Farming Provide Food Security in Bangladesh?
(http://www.thefishsite.com/articles/641/can-ricefish-farming-providefood-security-in-bangladesh)
Bangladeshi people are popularly referred to as "Macche-Bhate
Bangali" or "fish and rice makes a Bengali." Rice and fish have been an
essential part of the life of Bangladeshi people from time immemorial.
Rice farming is the single most important livelihood for a vast majority of
the rural poor. The annual rice production is estimated to be 26.53 million
tons1, while fish production is 2.32 million tons. The demand for rice and
fish is constantly rising, with the population increasing by more than
three million people each year.
The total area of rice fields in Bangladesh is about 10.14 million ha
and there are a further 2.83 million ha of seasonal rice fields where
water remains for four to six months of the year. These inundated
rice fields can play an important role in increasing fish production
through integration of aquaculture. There are several positive
effects of fish farming in rice yields. Integrated rice-fish production
can optimise resource use through the complementary utilisation of
land and water. Integration of fish with rice farming improves
diversification, intensification, productivity and sustainability. Ricefish farming is also being regarded as an important approach to
integrated pest management (IPM).
The adoption of rice-fish farming in Bangladesh remains rather
marginal to date due to socioeconomic, environmental, technological and
institutional constraints9. Traditionally wild fish have been harvested
from rice fields. The green revolution of agriculture has become a
constraint for the development of rice-fish farming. With the introduction
of high yielding varieties (HYV) of rice, the pest control strategy has
preferred chemical pesticides. Nevertheless, reducing pesticide has taken
place through IPM. The introduction of IPM with fish farming in rice
fields becoming popularity in many Asian countries, such as China,
Philippines, Thailand and Vietnam.
14
Satuan dalam Ekosistem
Antara makhluk hidup satu dengan yang lain akan selalu
terjadi interaksi. Ekosistem tersusun atas komponen-komponen yang
saling berinteraksi satu dengan yang lainnya. Komponenitu
membentuk satuan-satuan organisme kehidupan. Antara individu
yang satu dengan lainnya dalam satu daerah akan membentuk
populasi. Selanjutnya, antara populasi yang satu dengan yang lainnya
dalam satu daerah akan terjadi interaksi membentuk komunitas.
Selanjutnya, komunitas ini juga akan selalu beriteraksi dengan tempat
hidupnya. Misalnya, rumput hidup di tanah, belalang hidup di
rerumputan, dan ikanikan hidup di air.
Hubungan antara makhluk hidup dengan lingkungannya akan
membentuk ekosistem. Kumpulan ekosistem di dunia akan
membentuk biosfer. Urutan satuan-satuan makhluk hidup dalam
ekosistem dari yang kecil sampai yang besar adalah sebagai berikut:
Individu
Populasi
Komunitas
Ekosistem
Biosfer.
1. Individu Tanaman Padi
Istilah individu berasal dari bahasa Latin individum yang berarti
tidak dapat dibagi. Di dalam ekologi, individu dapat diartikan sebagai
sebutan untuk makhluk tunggal. Beberapa pengertian individu antara
lain:
a. Suatu individu selalu menggambarkan sifat tunggal
b. Dalam diri yang tunggal terjadi proses hidup sendiri
c. Proses hidup yang satu dengan lainnya berbeda.
Berikut ini deskripsi individu tanaman padi.
Rice is a semi-aquatic plant. In true aquatic plants air spaces
(aerenchyma tissue) help to support the leaves near to the surface of
the water. Locate the air spaces on the picture of the pond weed
below. There are many varieties of rice and they differ in height, in
15
the amount of time they take to mature and in their water
requirements. In various parts of its range, rice is grown in different
ways but most of the rice in south-cast Asia is grown in unusual
conditions for a cereal plant. It is grown partly submerged in water in
paddy fields. The fields are flooded and then ploughed. Young rice
plants are planted in the rich mud formed in these paddy fields. The
oxygen concentration of this mud fails rapidly after the paddy field
has been flooded. The top ten centimetres or so retains some oxygen
because it is able to diffuse in but below this depth anaerobic
conditions exist and there is little or no oxygen present. Rice stems
contain a large number of air spaces. These spaces allow oxygen to
penetrate through to the cells of roots growing in the absence of
oxygen. These cells continue to get oxygen and are able to respire
aerobically. Another adaptation shown by rice plants is that many of
their roots are very shallow. These roots are able to make use of the
oxygen which diffuses into the surface layer.
When fields in which a cereal such as wheat is growing are flooded for
any length of time, the plants die. The oxygen concentration of the
waterlogged soil falls rapidly. The root cells are unable to get the
oxygen they need in order to respire. In these conditions they can
carry on respiring without oxygen. This is called anaerobic
respiration and results in ethanol being formed as a waste product.
Unfortunately, this substance is poisonous so a plant can only respire
in this way for a short time before the ethanol concentration builds
up and kills it. Cells in the roots of rice plants have been shown to be
extremely tolerant of ethanol, much more so than cells from the roots
of other cereals. They can therefore respire anaerobically for longer
periods. There are two advantages of growing rice in paddy fields.
Flooding brings about chemical changes in the soil which increases
the supply of soil nutrients required by the rice plants. It also reduces
weeds. Rice does not grow well when it has to compete with weeds for
the resources that it needs.
16
Individu tanaman padi (Sumber:
http://www.compulink.co.uk/~argus/Dreambio/fertilisers%20and%20crops/rice.htm)
Anatomy of the rice plant. Rice is a semi-aquatic annual
grass that grows in extremely moist areas, and the seeds sprout in
water. The main stem of the rice plant has side shoots known as tillers
that are able to grow roots and develop into new plants. Each tiller has
a flowering head that produces the rice seed that we eat (Riceweb).
This prolific seed producing and plant propagating capability
contributes to the plants success as an agricultural crop. These
properties also facilitate the reliance on rice as a main food item in
overpopulated countries.
17
Sumber:
http://www.biochem.arizona.edu/classes/bioc462/462bh2008
/462bhonorsprojects/462bhonors2000/mkaplan/rice.html
….. diunduh 10/7/2011
18
Fase pertumbuhan tanaman padi (Sumber:
http://www.fao.org/docrep/T7202E/t7202e07.htm ….. diunduh 10/7/2011)
1. Nursery: from sowing to transplanting; duration approximately
one month.
2. Vegetative stage: from transplant to panicle initiation; duration
varies from 1½ to 3 months. Vegetative stage includes the
tillering. Tillering means that several stems develop on one
plant. If the rice is sown directly (broadcast), the two stages
combined are called the vegetative stage.
3. Mid season or reproductive stage: from panicle initiation to
flowering; duration approximately one month. This stage
includes stem elongation, panicle extension and flowering.
Late tillers may die.
4. Late season or ripening stage: from flowering to full maturity;
duration approximately one month. This stage includes grain
growth.
19
(a) Classic rice plants are highly tillered with relatively small panicles. (b) In
contrast, the new plant type (NPT) architecture is characterized by fewer tillers
and more productive panicles. Normally, OsmiR156 induces cleavage of
OsSPL14 transcripts, leading to a repression of OsSPL14 activity. However,
mutation of an OsmiR156 binding site within OsSPL14 (as seen in the SNJ, Ri22 (ref. 5) and Aikawa 1 (ref. 6) varieties) increases the levels of OsSPL14 and
results in rice plants with fewer tillers but more productive panicles and
consequently higher grain yields.
Sumber:
http://www.nature.com/ng/journal/v42/n6/fig_tab/ng0610475_F1.html ….. diunduh 12/7/2011
20
2. Populasi Padi
Populasi adalah semua individu sejenis yang menempati suatu
daerah tertentu. Suatu organisme disebut sejenis bila memenuhi
persyaratan sebagai berikut:
a. Menempati daerah atau habitat yang sama
b. Mempunyai persamaan bentuk, susunan tubuh, dan
aktifitas
c. Mampu menghasilkan keturunan yang subur, yaitu yang
mampu berkembang biak.
Sebagai contoh, pada suatu lahan seluas 200 m² terdapat 500
batang tanaman padi, 100 ekor belalang, 50 ekor jangkrik, 10 batang
tanaman sengon, dan 30 batang tanaman kelapa. Berdasarkan data
tersebut maka di dalam lahan atau daerah tersebut terdapat beberapa
populasi, yaitu populasi padi, populasi belalang, populasi jangkrik,
populasi sengon dan populasi kelapa. KOmpulan populasi-populasi
ini lazim disebut “komunitas”.
Komunitas padi sawah agroforestry (Sumber:
http://www.indonesiaseoul.org/pictures/RiceField2.jpg)
21
3. Komunitas
Komunitas dapat diartikan sebagai seluruh populasi yang
menempati daerah yang sama. Di daerah tersebut, antar jenis
makhluk hidup yang satu dengan yang lainnya akan terjadi interaksi.
Kemudian interaksi itu membentuk suatu kumpulan, dimana di
dalamnya setiap individu menemukan lingkungan yang dapat
memenuhi kebutuhan hidupnya. Di dalam kumpulan tersebut terdapat
suatu kerukunan untuk hidup bersama, toleransi kebersamaan, dan
hubungan timbal balik yang menguntungkan dan ada pula yang
merugikan.
Interaksi populasi padi dengan populasi belalang (Sumber:
http://www.knowledgebank.irri.org/ricedoctor/)
22
4. Ekosistem Sawah
Ekosistem merupakan tatanan secara utuh dari seluruh unsur
lingkungan hidup yang saling mempengaruhi. Ekosistem juga dapat
diartikan sebagai hubungan timbal balik yang kompleks antara
organisme dengan lingkungannya. Berdasarkan sejarah terbentuknya,
ekosistem dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu:
a. Ekosistem Alami, yaitu ekosistem yang terbentuk secara
alami, tanpa adanya pengaruh atau campur tangan
manusia. Misalnya, ekosistem gurun pasir, ekosistem
hutan tropis, dan ekosistem hutan gugur. Setiap ekosistem
mempunyai ciri khas. Ciri itu sangat ditentukan oleh faktor
suhu, curah hujan, iklim, dan lain-lain.
b. Ekosistem Buatan, yaitu ekosistem yang sengaja dibuat
oleh manusia. Misalnya, kolam, waduk, sawah, ladang,
dan tanam. Pada umumnya, ekosistem buatan mempunyai
komponen biotik sesuai dengan yang diinginkan
pembuatnya. Pada ekosistem sawah, komponen biotik
yang banyak, yaitu padi dan kacang.
c. Ekosistem Suksesi, yaitu ekosistem yang merupakan hasil
suksesi lingkungan yang sebelumnya didahului oleh
kerusakan. Pada lingkungan demikian, jenis tumbuhan
yang berkembang ditentukan oleh jenis organisme yang
hidup di sekitarnya.
23
Ekosistem sawah irigasi (Sumber:
http://wwwdelivery.superstock.com/WI/223/1566/200701/PreviewComp/
SuperStock_1566-328983.jpg)
An ecosystem is a biological environment consisting of all the
organisms living in a particular area, as well as all the nonliving,
physical components of the environment with which the
organisms interact, such as air, soil, water, and sunlight. It is all
the organisms in a given area, along with the nonliving (abiotic)
factors with which they interact; a biological community and its
physical environment. The entire array of organisms inhabiting a
particular ecosystem is called a community.[1] In a typical
ecosystem, plants and other photosynthetic organisms are the
producers that provide the food.[1] Ecosystems can be permanent
or temporary. Ecosystems usually form a number of food webs.
Ecosystems are functional units consisting of living things in a
given area, non-living chemical and physical factors of their
environment, linked together through nutrient cycle and energy
flow.
Jasa-jasa Ekosistem
Humankind benefits from a multitude of resources and processes
that are supplied by natural ecosystems. Collectively, these benefits are
known as ecosystem services and include products like clean drinking
24
water and processes such as the decomposition of wastes. While scientists
and environmentalists have discussed ecosystem services for decades, these
services were popularized and their definitions formalized by the United
Nations 2004 Millennium Ecosystem Assessment (MA), a four-year study
involving more than 1,300 scientists worldwide.[1] This grouped ecosystem
services into four broad categories: provisioning, such as the production of
food and water; regulating, such as the control of climate and disease;
supporting, such as nutrient cycles and crop pollination; and cultural, such
as spiritual and recreational benefits.
As human populations grow, so do the resource demands imposed
on ecosystems and the impacts of our global footprint. Natural resources
are not invulnerable and infinitely available. The environmental impacts
of anthropogenic actions, which are processes or materials derived from
human activities, are becoming more apparent – air and water quality are
increasingly compromised, oceans are being overfished, pests and diseases
are extending beyond their historical boundaries, and deforestation is
exacerbating flooding downstream. It has been reported that
approximately 40-50% of Earth’s ice-free land surface has been heavily
transformed or degraded by anthropogenic activities, 66% of marine
fisheries are either overexploited or at their limit, atmospheric CO2 has
increased more than 30% since the advent of industrialization, and nearly
25% of Earth’s bird species have gone extinct in the last two thousand
years.[2] Society is increasingly becoming aware that ecosystem services are
not only limited, but also that they are threatened by human activities.
The need to better consider long-term ecosystem health and its role in
enabling human habitation and economic activity is urgent. To help
inform decision-makers, many ecosystem services are being assigned
economic values, often based on the cost of replacement with
anthropogenic alternatives. The ongoing challenge of prescribing economic
value to nature, for example through biodiversity banking, is prompting
transdisciplinary shifts in how we recognize and manage the environment,
social responsibility, business opportunities, and our future as a species.
Experts currently recognize four categories of ecosystem
services.[1] The following lists represent samples of each:
Provisioning services
• food (including seafood and game), crops, wild foods, and spices
• water
• pharmaceuticals, biochemicals, and industrial products
• energy (hydropower, biomass fuels)
25
Regulating services
• carbon sequestration and climate regulation
• waste decomposition and detoxification
• purification of water and air
• crop pollination
• pest and disease control
Supporting services
• nutrient dispersal and cycling
• seed dispersal
• Primary production
Cultural services
• cultural, intellectual and spiritual inspiration
• recreational experiences (including ecotourism)
• scientific discovery
5. Biosfer
Biosfer adalah kumpulan dari semua ekosistem yang terdapat
di permukaan bumi ini. Ada pula ahli yang menyatakan bahwa biosfer
adalah tempat beroperasinya ekosistem. Bagian bumi yang dihuni
organisme hanya beberapa meter di bawah permukaan tanah hingga
9.000 meter di atas permukaan bumi, serta beberapa meter di bawah
permukaan laut. Jadi, tidak di seluruh bagian bumi ini terdapat
ekosistem sebab hanya daerah yang terdapat kehidupanlah yang
dapat disebut ekosistem.
Our biosphere is the global sum of all ecosystems. It can also be called
the zone of life on Earth, a closed (apart from solar and cosmic
radiation) and self-regulating system.[1] From the broadest
biophysiological point of view, the biosphere is the global ecological
system integrating all living beings and their relationships, including
their interaction with the elements of the lithosphere, hydrosphere and
atmosphere. The biosphere is postulated to have evolved, beginning
through a process of biogenesis or biopoesis, at least some 3.5 billion
years ago. In a broader sense; biospheres are any closed, self-regulating
systems containing ecosystems; including artificial ones
26
Our biosphere is divided into a number of biomes, inhabited by broadly
similar flora and fauna. On land, biomes are separated primarily by
latitude. Terrestrial biomes lying within the Arctic and Antarctic Circles
are relatively barren of plant and animal life, while most of the more
populous biomes lie near the equator. Terrestrial organisms in
temperate and Arctic biomes have relatively small amounts of total
biomass, smaller energy budgets, and display prominent adaptations to
cold, including world-spanning migrations, social adaptations,
homeothermy, estivation and multiple layers of insulation.
Specific biospheres
When the word is followed by a number, it is usually referring to a
specific system or number. Thus:
1. Biosphere 1, the planet Earth
2. Biosphere 2, a laboratory in Arizona which contains 3.15
acres (13,000 m²) of closed ecosystem.
3. BIOS-3, a closed ecosystem at the Institute of Biophysics in
Krasnoyarsk, Siberia, in what was then the Soviet Union.
4. Biosphere J (CEEF, Closed Ecology Experiment Facilities), a
experiment in Japan.
The economic valuation of ecosystem services also involves social
communication and information, areas that remain particularly
challenging and are the focus of many researchers. In general, the
idea is that although individuals make decisions for any variety of
reasons, trends reveal the aggregative preferences of a society,
from which the economic value of services can be inferred and
assigned.
27
Biosfer lahan sawah dengan segenap kelengkapannya (Sumber:
http://gurumia.com/wp-content/uploads/2010/05/paddy-in-floodBangladesh.jpg).
The six major methods for valuing ecosystem services in monetary terms
are:
1. Avoided cost: Services allow society to avoid costs that would
have been incurred in the absence of those services (e.g. waste
treatment by wetland habitats avoids health costs)
2. Replacement cost: Services could be replaced with man-made
systems (e.g. restoration of the Catskill Watershed cost less than
the construction of a water purification plant)
3. Factor income: Services provide for the enhancement of incomes
(e.g. improved water quality increases the commercial take of a
fishery and improves the income of fishers)
4. Travel cost: Service demand may require travel, whose costs can
reflect the implied value of the service (e.g. value of ecotourism
experience is at least what a visitor is willing to pay to get there)
5. Hedonic pricing: Service demand may be reflected in the prices
people will pay for associated goods (e.g. coastal housing prices
exceed that of inland homes)
6. Contingent valuation: Service demand may be elicited by posing
hypothetical scenarios that involve some valuation of
28
alternatives (e.g. visitors willing to pay for increased access to
national parks)
Rantai Makanan
Rantai makanan adalah perjalanan makan dan dimakan
dengan urutan tertentu antar makhluk hidup. Di lautan, yang menjadi
produsen adalah fitoplankton, yaitu sekumpulan tumbuhan hijau yang
sangat kecil ukurannya dan melayang-layang dalam air. Konsumen I
adalah zooplankton (hewan pemakan fitoplankton), sedangkan
konsumen II-nya adalah ikan-ikan kecil, konsumen III-nya adalah ikanikan sedang, konsumen IV-nya adalah ikan-ikan besar.
Rantai makanan pada ekosistem sawah (Sumber:
http://3.bp.blogspot.com/_ha4-W2rqPQ0/TDiTH8ix9OI/)
29
Skema Rantai Makanan
Urutan peristiwa makan dan dimakan di atas dapat berjalan
seimbang dan lancar bila seluruh komponen tersebut ada. Bila salah
satu komponen tidak ada, maka terjadi ketimpangan dalam urutan
makan dan dimakan tersebut. Agar rantai makanan dapat terus
berjalan, maka jumlah produsen harus lebih banyak daripada jumlah
konsumen kesatu, konsumen kesatu lebih banyak daripada konsumen
kedua, dan begitulah seterusnya.
Ada satu lagi komponen yang berperan besar dalam rantai
makanan, yaitu pengurai. Pengurai adalah makhluk hidup yang
menguraikan kembali zat-zat yang semula terdapat dalam tubuh
hewan dan tumbuhan yang telah mati. Hasil kerja pengurai dapat
membantu proses penyuburan tanah. Contoh pengurai adalah bakteri
dan jamur.
Ekosistem merupakan tempat berlangsungnya hubungan
antara makhluk hidup dengan lingkungannya. Ekosistem dibedakan
menjadi dua, yaitu : ekosistem alam dan ekosistem buatan. Contoh
ekosistem alam adalah hutan, danau, laut, dan padang pasir. Contoh
ekosistem buatan adalah sawah, waduk, kolam, dan akuarium.
30
Bagan Jaring-jaring Makanan pada Ekosistem Sawah
Pada sebuah ekosistem terdapat banyak komponen. Komponenkomponen
ekosistem, antara lain, produsen, konsumen, pengurai, dan
komponen abiotik.
 Produsen.
Semua tumbuhan hijau adalah produsen dalam sebuah
ekosistem. Produsen artinya penghasil, yaitu menghasilkan
bahan-bahan organik bagi makhluk hidup lainnya. Contoh
produsen adalah padi, ubi, sagu, dan tomat.
 Konsumen.
Konsumen adalah pemakai bahan organik yang dihasilkan
oleh produsen. Berikut ini beberapa tingkatan konsumen
menurut apa yang dimakan.
1. Konsumen Tingkat I. Konsumen tingkat I adalah makhluk
hidup yang memperoleh energi langsung dari produsen.
2. Konsumen Tingkat II. Konsumen tingkat II adalah makhluk
hidup yang memperoleh makanan dari konsumen tingkat I.
31


3. Konsumen Tingkat III. Konsumen tingkat III adalah
makhluk hidup yang memperoleh makanan dari konsumen
tingkat II.
Pengurai.
Pengurai adalah makhluk hidup yang menguraikan kembali
zat-zat yang semula terdapat dalam tubuh hewan dan
tumbuhan yang telah mati. Pengurai membantu proses
penyuburan tanah. Misalnya, bakteri dan jamur.
Komponen Abiotik. Komponen abiotik adalah tempat
tumbuhan hijau (produsen) tumbuh. Kesuburan lingkungan
abiotik ditentukan oleh kerja pengurai.
Ekosistem Buatan
Ekosistem buatan adalah ekosistem yang diciptakan manusia
untuk memenuhi kebutuhannya. Ekosistem buatan mendapatkan
subsidi energi dari luar, tanaman atau hewan peliharaan didominasi
pengaruh manusia, dan memiliki keanekaragaman rendah. Contoh
ekosistem buatan adalah:
Bendungan
Hutan tanaman produksi seperti jati dan pinus
Agroekosistem berupa sawah tadah hujan
Sawah irigasi
Perkebunan sawit
Ekosistem pemukiman seperti kota dan desa
Ekosistem ruang angkasa.
Ekosistem kota memiliki metabolisme tinggi sehingga butuh energi
yang banyak. Kebutuhan materi juga tinggi dan tergantung dari luar,
serta memiliki pengeluaran yang eksesif seperti polusi dan panas.
Ekosistem ruang angkasa bukan merupakan suatu sistem tertutup
yang dapat memenuhi sendiri kebutuhannya tanpa tergantung input
dari luar.
32
Ekosistem Sawah
Sawah adalah lahan usaha pertanian yang secara fisik
berpermukaan rata, dibatasi oleh pematang, serta dapat ditanami
padi, palawija atau tanaman budidaya lainnya. Kebanyakan sawah
digunakan untuk bercocok tanam padi. Untuk keperluan ini, sawah
harus mampu menyangga genangan air karena padi memerlukan
penggenangan pada periode tertentu dalam pertumbuhannya. Untuk
mengairi sawah digunakan sistem irigasi dari mata air, sungai atau air
hujan. Sawah yang terakhir dikenal sebagai sawah tadah hujan,
sementara yang lainnya adalah sawah irigasi. Padi yang ditanam di
sawah dikenal sebagai padi lahan basah (lowland rice).
Padi adalah salah satu tanaman budidaya terpenting dalam
peradaban. Meskipun terutama mengacu pada jenis tanaman
budidaya, padi juga digunakan untuk mengacu pada beberapa
jenis dari marga (genus) yang sama, yang biasa disebut
sebagai padi liar. Produksi padi dunia menempati urutan ketiga
dari semua serealia, setelah jagung dan gandum. Namun
demikian, padi merupakan sumber karbohidrat utama bagi
mayoritas penduduk dunia. Hasil dari pengolahan padi
dinamakan beras.
33
Ekosistem sawah dicirikan oleh petakan-petakan lahan yang
digenangi air dengan tanaman padi di dalamnya (Sumber:
http://metagini.com/location/Indonesia/Sawah/206936/Pictures/ …..
diunduh 8/7/2011).
34
Ekosistem sawah dataran tinggi dicirikan oleh teras-teras bangku,
bidang teras yang sempit diolah untuk menanam padi sawah.
(Sumber: http://yohana-life.blogspot.com/2010/06/glitterfy.html .....
diunduh 8/7/2011)
Teknik budidaya padi telah dikenal oleh manusia sejak ribuan
tahun yang lalu. Sejumlah sistem budidaya diterapkan untuk padi.
1. Budidaya padi sawah (Ing. paddy atau paddy field), diduga
dimulai dari daerah lembah Sungai Yangtse di Tiongkok.
2. Budidaya padi lahan kering, dikenal manusia lebih dahulu
daripada budidaya padi sawah.
3. Budidaya padi lahan rawa, dilakukan di beberapa tempat di
Pulau Kalimantan.
4. Budidaya gogo rancah atau disingkat gora, yang
merupakan modifikasi dari budidaya lahan kering. Sistem
ini sukses diterapkan di Pulau Lombok, yang hanya
memiliki musim hujan singkat.
35
Setiap sistem budidaya memerlukan kultivar yang adaptif
untuk masing-masing sistem. Kelompok kultivar padi yang cocok
untuk lahan kering dikenal dengan nama padi gogo. Secara ringkas,
bercocok tanam padi mencakup pengolahan tanah, persemaian,
pemindahan atau penanaman, pemeliharaan (termasuk pengairan,
penyiangan, perlindungan tanaman, serta pemupukan), dan panen.
Aspek lain yang penting namun bukan termasuk dalam rangkaian
bercocok tanam padi adalah pemilihan kultivar, pemrosesan biji dan
penyimpanan biji.
Pengolahan tanah sawah menandai dimulainya aktivitas
bioekonomi pada ekosistem sawah (Sumber:
http://ayobertani.files.wordpress.com/2009/04/membajak-sawah)
Hama-hama penting
1. Penggerek batang padi putih ("sundep", Scirpophaga
innotata)
2. Penggerek batang padi kuning (S. incertulas)
3. Wereng batang punggung putih (Sogatella furcifera)
36
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
Wereng coklat (Nilaparvata lugens)
Wereng hijau (Nephotettix impicticeps)
Lembing hijau (Nezara viridula)
Walang sangit (Leptocorisa oratorius)
Ganjur (Pachydiplosis oryzae)
Lalat bibit (Arterigona exigua)
Ulat tentara/Ulat grayak (Spodoptera litura dan S. exigua)
Tikus sawah (Rattus argentiventer)
Penyakit-penyakit penting
1. blas (Pyricularia oryzae, P. grisea)
2. hawar daun bakteri ("kresek", Xanthomonas oryzae pv.
oryzae)
Biodiversity and Ecosystem Services in rice environments
The term “biodiversity” is being used to describe the richness and
variety of life on earth. It includes diversity at the genetic level, such
as that between individuals in a population, diversity of species and
the diversity at the habitat and ecosystem levels. The general
assumption is that the biodiversity of monocultures, such as rice, is
decreased and therefore unstable and prone to pest attacks and need
to be “protected”. This thinking, not necessarily true (Way and Heong
1994), has persisted for decades and is still dominant among
agricultural scientists and policy makers, has been the key driver of
pesticide use in many agricultural systems.
Arthropod biodiversity and abundance are fundamental components
of rice ecosystems that have resistance and resilience to pest attacks.
They provide farms with ecosystem services, such as resistance to
pest invasions and regulation of pest populations that prevent pest
species from increasing to levels that can cause economic loss to
farmers. Pest species at levels below the economic threshold have no
yield consequences because of plant compensation abilities of the
rice crop. In fact, they contribute toward the maintenance of a stable
food web structure. At least 200 species of parasitoids and 150 species
of predators in and around the rice ecosystems constantly provide the
services that keep pest species at low levels. In addition, the aquatic
fauna, often referred to as “neutrals,” play a significant role as food
37
resources for predators (Settle et al 1996). Being an island, there is
great potential of discovering new species of spiders, parasitoids and
less mobile predators that are inherent in Hainan.
Key components, trophic levels and linkages in rice ecosystems ( Sumber:
http://hainanproject.org/wp-content/uploads/2010
Rice production systems are ephemeral habitats in which rice is
sowed and harvested over a period of 3 to 4 months. Many of the important
rice pests are monophagous and r-strategists or opportunistic species and
under normal circumstances cause little yield loss on rice farms with
adequate biodiversity and ecosystem services. However, when r species,
such as planthoppers, invade rice fields that are vulnerable with low
biodiversity and ecosystem services, they tend to increase exponentially into
outbreak proportions and destroy crops. In mainland China every year,
planthoppers destroy at least a million hectares of rice (Cheng 2009) and, in
years like 2005, when summer temperatures were elevated, 7.5 million
hectares were destroyed.
In Hainan Island, about 30,000 hectares are affected annually by
planthoppers, but records of losses are not available. In the 1960s and ’70s,
when rice sufficiency was the primary national objective, policies and
38
farmers adopted high pesticide routines. Today, such practices are still
rampant in China and on Hainan Island as well. Research at IRRI and by
Chinese scientists at Zhejiang University has now shown that routine
insecticide sprays have very little economic gains but huge negative impacts
on arthropod biodiversity, the food chain, and ecosystem services, which
bring about planthopper outbreaks and rapid development of insecticide
resistance. The important functions of biodiversity and ecosystem services
had not been recognized or researched or taught in universities and had
certainly not been factored into agricultural policies. It has been shown that
when insecticide load is reduced arthropod biodiversity and ecosystem
services can be restored (Heong et al. 2007).
Lahan sawah = Wetlands
Atmospheric methane (CH4) is an important greenhouse gas. On a
scale of 100 years, it is approximately 20 times more effective than carbon
dioxide (CO2). The total annual CH4 emission both from natural and
anthropogenic terrestrial sources to the atmosphere is about 580 Tg (CH4)
yr-1. The contribution of natural and man-made wetlands (e.g. rice paddy) to
this global total varies between 20 and 40%. Thereby, natural wetlands are
the major non-anthropogenic source of methane at present and rice
agriculture accounts for some 17% of the anthropogenic CH4 emissions. This
is because of the prevailing anaerobic conditions in these ecosystems, their
high organic matter contents and their global distribution. Northern
wetlands (>30° N) for example constitute about 60% of the global wetland
area and emit a quarter to a third of the total CH4 originating from wet soils.
In our research we focus on the understanding and quantification of keyprocesses involved in the formation, consumption and transport of methane
in wetlands. This is crucial for reliable estimations on the impact of wetlands
on the earth climate system
Current and recently completed projects:
1. In-situ quantification of soil microbial processes controlling
methane emissions from rice paddy soils
2. Methane production and consumption in polygonal tundra
environments of the Lena Delta, Siberia
3. Methane turnover and fluxes in alpine wetlands.
39
Microbial turnover of methane and transport pathways of gases in wetlands.
(Sumber:
http://www.ibp.ethz.ch/research/environmentalmicrobiology/research/Wetlands)
In-situ quantification of soil microbial processes controlling methane
emissions from rice paddy soils.
Rice paddy soil is among the most important anthropogenic sources of
methane. Methane is produced anaerobically after the flooding of rice
fields, either from acetate or hydrogen/carbon dioxide as substrate. In
contrast, methanotrophic microorganisms oxidize methane to carbon
dioxide in the presence of molecular oxygen in the root zone or at the
air/water interface, thus reducing the overall methane emissions to the
atmosphere. Quantification of methane turnover in soil slurry incubation
under laboratory conditions is potentially biased. Therefore, the main aim
of this project is to design a novel tool for the quantification of methane
40
production and consumption in the rice root zone. Specifically, we aim at
the development of an in situ quantification method which allows us to
assess the effect of methane turnover in the root zone on net methane
emissions. The quantification concept includes the combination of pushpull tests (PPT), specific inhibitors, stable isotope fractionation and flux
measurements. In a further step, we will apply this technique to assess
methane turnover and emissions over a whole growth period of rice plants,
and to investigate if changes are also reflected in the abundance of
methanogenic/ methanotrophic organisms.
Ekosistem Pertanian: Sawah – Musuh Alami
Ekosistem pertanian adalah ekosistem yang sederhana dan
monokultur jika dilihat dari komunitas, pemilihan vegetasi, diversitas
spesies, serta resiko terjadi ledakan hama dan penyakit. Musuh
alami berperan dalam menurunkan populasi hama sampai pada
tingkat populasi yang tidak merugikan. Hal ini terbukti dari setiap
pengamatan dilahan pertanian, khususnya padi, beberapa jenis
musuh alami selalu hadir dipertanaman. Ekosistem persawahan
secara teoritis merupakan ekosistem yang tidak stabil. Kestabilan
ekosistem persawahan tidak hanya ditentukan oleh diversitas struktur
komunitas, tetapi juga oleh sifat-sifat komponen, interaksi antar
komponen ekosistem. Hasil-hasil penelitian yang dilakukan oleh
para peneliti mengenai kajian habitat menunjukkan bahwa tidak
kurang dari 700 serangga termasuk parasitoid
dan predator
ditemukan di ekosistem persawahan dalam kondisi tanaman tidak
ada hama khususnya wereng batang coklat (WBC). Predator WBC
umumnya polifag, akan memangsa berbagai jenis serangga. Hasil
penelitian tersebut menunjukkan bahwa komunitas persawahan
merupakan komunitas yang beranekaragam. Tidak tertutup
kemungkinan bahwa pada ekosistem pertanian dapat dijumpai
keadaan yang stabil. Apabila interaksi antar komponen dapat dikelola
secara tepat maka kestabilan ekosistem pertanian dapat diusahakan.
Untuk mempertahankan ekosistem persawahan yang stabil maka
konsep pengendalian hama terpadu (PHT) dapat diterapkan. PHT
mendapatkan efisiensi pengendalian yaitu mengurangi insektisida
dan memanfaatkan metoda non kimia. Di persawahan, musuh alami
41
jelas berfungsi, sehingga akan terjadi keseimbangan biologis.
Keseimbangan biologis ini kadang-kadang tercapai, tetapi bisa juga
sebaliknya.
Hal ini disebabkan karena faktor lain yang
mempengaruhi, yaitu perlakuan agronomis dan penggunaan
insektisida.
Salah satu pendorong meningkatnya serangga pengganggu
adalah tersedianya makanan terus menerus sepanjang waktu dan
disetiap tempat. Budidaya tanaman monokultur dapat mendorong
ekosistem pertanian rentan terhadap organisme pengganggu
tanaman (OPT). Untuk mewujudkan pertanian berkelanjutan maka
tindakan mengurangi serangan OPT melalui pemanfaatan serangga
khususnya musuh alami dan meningkatkan diversitas tanaman
seperti penerapan tanaman tumpang sari, rotasi tanaman dan
penanaman lahan-lahan terbuka dapat dilakukan karena
meningkatkan stabilitas ekosistem serta mengurangi resiko
gangguan OPT. Mekanisme alami seperti predatisme, parasitisme,
patogenisitas, persaingan intraspesies dan interspesies, suksesi,
produktivitas, stabilitas dan keanekaragaman hayati dapat
dimanfaatkan untuk mencapai pertanian berkelanjutan.
Salah satu komponen PHT adalah pengendalian dengan
menggunakan musuh alami. Teori mendasar dalam pengelolaan
hama adalah mempertimbangkan komponen musuh alami dalam
strategi pemanfaatan dan pengembangannya. Taktik pengelolaan
hama melibatkan musuh alami untuk mendapatkan penurunan status
hama disebut pengendalian hayati. Pemanfaatan musuh alami tidak
menimbulkan pencemaran, dari segi ekologi tetap lestari dan untuk
jangka panjang relatif murah. Pengendalian dengan memanfaatkan
musuh alami atau secara biologis adalah kerja dari faktor biotis
seperti parasitoid, predator dan patogen terhadap mangsa atau
inang, sehingga menghasilkan suatu keseimbangan umum yang
lebih rendah daripada keadaan yang ditunjukkan apabila faktor
tersebut tidak ada atau tidak bekerja.
Pengendalian HAYATI merupakan salah satu pengendalian
yang dinilai cukup aman karena mempunyai beberapa keuntungan
yaitu :
1) selektivitas tinggi dan tidak menimbulkan hama baru,
2) organisme yang digunakan sudah tersedia dialam,
42
3) organisme yang digunakan dapat mencari dan
menemukan inangnya,
4) dapat berkembang biak dan menyebar,
5) hama tidak menjadi resisten atau kalau terjadi sangat
lambat, dan
6) pengendalian berjalan dengan sendirinya.
Pengendalian biologi dapat dibedakan menjadi dua bagian
yaitu :
1) pengendalian biologi alami yaitu pengendalian hama
dengan musuh alami, tanpa campur tangan manusia,
2) pengendalian biologi terapan yaitu pengendalian hayati
dengan campur tangan manusia.
Telah diketahui berbagai jenis musuh alami yang dibagi
menjadi 3 kelompok yaitu : parasitoid, predator dan patogen.
Terdapat 79 jenis musuh alami WBC diantaranya adalah parasitoid,
predator dan patogen. Musuh alami yang potensial untuk penggerek
batang padi (PBP) adalah parasitoid. Ada 3 jenis parasitoid PBP
yaitu : Tetrastichus schenobii Ferr., Telenomus rowani Gah., dan
Trichogramma japonicum Ashm (Jepson, 1954; Soehardjan, 1976).
Sampai saat ini telah diketahui banyak spesies jamur patogen
serangga (JPS) pada tanaman padi. Di antara patogen tersebut
Hirsutella citriformis, Metarrhizium anisopliae dan Beauveria bassiana
mempunyai potensi untuk mengendalikan WBC. Keberadaan musuh
alami hama khususnya hama padi sangat penting dalam menentukan
populasi hama tersebut.
Parasitoid dan predator mampu
menurunkan padat populasi hama, sedangkan infeksi JPS dapat
mematikan dan mempengaruhi perkembangan hama, menurunkan
kemampuan reproduksi, serta menurunkan ketahanan hama
terhadap predator, parasitoid dan patogen lainnya.
Berbagai jenis artropoda terdapat dalam ekosistem padi
sawah
dan turut berperan dalam keseimbangan hayati untuk
mencapai pengendalian hama yang ramah lingkungan dan menuju
pertanian berkelanjutan.
Potensi berbagai jenis musuh alami
khususnya parasitoid dan predator hama wereng coklat dan
penggerek batang padi serta pelestariannya yang dapat dijadikan
agen hayati untuk pengendalian hama utama tanaman padi. Konsep
43
PHT adalah cara pengendalian yang cocok untuk mewujudkan sistem
pengendalian yang ramah lingkungan. Hal ini terbukti dari
keanekaragaman hayati serangga sesudah PHT lebih komplek
dibandingkan sebelum PHT.
Ekosistem sawah: Irigasi
Irigasi merupakan upaya yang dilakukan manusia untuk
mengairi lahan pertaniannya. Dalam dunia modern saat ini sudah
banyak model irigasi yang dapat dilakukan manusia. Pada zaman
dahulu jika persediaan air melimpah karena tempat yang dekat
dengan sungai atau sumber mata air, maka irigasi dilakukan dengan
mangalirkan air tersebut ke lahan pertanian. Namun demikian irigasi
juga biasa dilakukan dengan membawa air dengan menggunakan
wadah kemudian menuangkan pada tanaman satu-persatu. Untuk
irigasi dengan model seperti ini di Indonesia biasa disebut menyiram.
Irigasi Permukaan
Irigasi Permukaan merupakan sistem irigasi yang menyadap
air langsung di sungai melalui bangunan bendung maupun
melalui bangunan pengambilan bebas (free intake) kemudian
air irigasi dialirkan secara gravitasi melalui saluran sampai ke
lahan pertanian. Di sini dikenal saluran primer, sekunder dan
tersier. Pengaturan air ini dilakukan dengan pintu air.
Prosesnya adalah gravitasi, tanah yang tinggi akan mendapat
air lebih dulu.
44
Pengairan padi sawah dengan sistem penggenangan
petakan lahan sawah (Sumber:
http://www.mypulau.com/uploads_user/200912/13/766911.jp
g)
Irigasi Lokal
Sistem ini air distribusikan dengan cara pipanisasi. Di sini juga
berlaku gravitasi, di mana lahan yang tinggi mendapat air lebih
dahulu. Namun air yang disebar hanya terbatas sekali atau
secara lokal.
Irigasi dengan Penyemprotan
Penyemprotan biasanya dipakai penyemprot air atau sprinkle.
Air yang disemprot akan seperti kabut, sehingga tanaman
mendapat air dari atas, daun akan basah lebih dahulu,
kemudian menetes ke akar.
Irigasi Tradisional dengan Ember
Di sini diperlukan tenaga kerja secara perorangan yang
banyak sekali. Di samping itu juga pemborosan tenaga kerja
yang harus menenteng ember.
45
Irigasi Pompa Air
Air diambil dari sumur dalam dan dinaikkan melalui pompa air,
kemudia dialirkan dengan berbagai cara, misalnya dengan pipa atau
saluran. Pada musim kemarau irigasi ini dapat terus mengairi sawah.
Irigasi sistem pompa (sumber:
http://atusi.edublogs.org/files/2007/11/268263346_993bd72895.jpg
Irigasi Pasang-Surut di Sumatera, Kalimantan, dan Papua
Dengan memanfaatkan pasang-surut air di wilayah Sumatera,
Kalimantan, dan Papua dikenal apa yang dinamakan Irigasi PasangSurat (Tidal Irrigation). Teknologi yang diterapkan di sini adalah:
pemanfaatan lahan pertanian di dataran rendah dan daerah rawarawa, di mana air diperoleh dari sungai pasang-surut di mana pada
waktu pasang air dimanfaatkan. Di sini dalam dua minggu diperoleh 4
sampai 5 waktu pada air pasang. Teknologi ini telah dikenal sejak
Abad XIX. Pada waktu itu pendatang di Pulau Sumatera
memanfaatkan rawa sebagai kebun kelapa. Di Indonesia terdapat 5,6
juta Ha dari 34 Ha yang ada cocok untuk dikembangkan. Hal ini bisa
46
dihubungkan dengan pengalaman Jepang di Wilayah Sungai Chikugo
untuk wilayah Kyushu, di mana di sana dikenal dengan sistem irigasi
Ao-Shunsui yang mirip.
Irigasi Lahan Kering dan Irigasi Tetes
Di lahan kering, air sangat langka dan pemanfaatannya harus
efisien. Jumlah air irigasi yang diberikan ditetapkan berdasarkan
kebutuhan tanaman, kemampuan tanah memegang air, serta sarana
irigasi yang tersedia. Ada beberapa sistem irigasi untuk pertanian
lahan kering, yaitu:
(1) irigasi tetes (drip irrigation),
(2) irigasi curah (sprinkler irrigation),
(3) irigasi saluran terbuka (open ditch irrigation), dan
(4) irigasi bawah permukaan (subsurface irrigation).
Untuk penggunaan air yang efisien, irigasi tetes merupakan
salah satu alternatif. Misal sistem irigasi tetes adalah pada tanaman
cabai.
Ketersediaan sumber air irigasi sangat penting. Salah satu
upaya mencari potensi sumber air irigasi adalah dengan melakukan
deteksi air bawah permukaan (groundwater) melalui pemetaan
karakteristik air bawah tanah. Cara ini dapat memberikan informasi
mengenai sebaran, volume dan kedalaman sumber air untuk
mengembangkan irigasi suplemen.
Pengalaman Sistem Irigasi Pertanian di Niigata Jepang
Sistem Irigasi Pertanian milik Mr. Nobutoshi Ikezu di Niigata
Prefecture. Di sini terlihat adanya manajemen persediaan air yang
cukup pada pengelolaan pertaniannya. Sekitar 3 km dari tempat
tersebut tedapat sungai besar yang debit airnya cukup dan tidak
berlebih. Air sungai dinaikan ke tempat penampungan air
menggunakan pompa berkekuatan besar. Air dari tempat
penampungan dialirkan menggunakan pipa-pipa air bawah tanah
berdiameter 30 cm ke pertanian di sekitarnya. Pada setiap pemilik
sawah terdapat tempat pembukaan air irigasi tersebut. Pembagian
air ini bergilir berselang sehari, yang berarti sehari keluar, sehari
tutup. Penggunaannya sesuai dengan kebutuhan sawah setempat
yang dapat diatur menggunakan tuas yang dapat dibuka tutup
47
secara manual. Dari pintu pengeluaran air tersebut dialirkan ke
sawahnya melalui pipa yang berada di bawah permukaan sawahnya.
Kalau di tanah air kita pada umumnya air dialirkan melalui
permukaan sawah. Sedangkan untuk mengatur ketinggian air
dilakukan dengan cara menaikan dan menurunkan penutup pintu
pembuangan air secara manual. Pembuangan air dari sawah masuk
saluran irigasi yang terbuat dari beton sehingga air dengan mudah
kembali ke sungai kecil, tanpa merembes terbuang ke bawah tanah.
Pencegahan perembesan air dilakukan dengan sangat efisien.
Ekosistem Sawah : Kekeringan
Ribuan hektar lahan persawahan yang berada di kawasan Pantai
Utara (Pantura) Kabupaten Tangerang, Banten, mengalami
kekeringan akibat musim kemarau sehingga tanaman padi yang
sudah berbuah dikhawatirkan terancam gagal panen karena
kekurangan air. Sejumlah areal persawahan tanaman padi yang
sudah berbuah mengalami kekeringan terdapat pada lima
Kecamatan seperti di Kecamatan Pakuhaji, Kecamatan Kosambi,
Kecamatan Mauk dan Kecamatan Teluknaga serta Kecamatan
Kronjo.
Tanah sawah yang kering mengalami retak-retak dan bila
dibiarkan hingga tiga pekan kedepan, maka petani terancam tidak
dapat panen pada musim tanam (MT) Tahun 2009 (sumber:
http://www.wartakota.co.id/ read/news/8083).
Untuk mengatasi
kekurangan air itu, petani terpaksa menggali lubang dan ada juga
yang mencari sumber lain dari sungai terdekat menggunakan mesin
pompa menyedot. Namun petani yang terancam gagal panen terdapat
di Desa Mauk Barat, Kecamatan Mauk dan Desa Kramat, Kecamatan
Pakuhaji serta di Desa Kampung Melayu Barat, Kecamatan
Teluknaga.
48
Ekosistem sawah yang mengalami kekeringan (Sumber:
http://www.wartakota.co.id/read/news/8083..... diunduh 8/7/2011)
Seorang petani Mulyadi (48) warga Desa Kampung Melayu
Barat Kecamatan Teluknaga terpaksa menyewa pompa menyedot air
dari Sungai Cisadane untuk mengairi persawahan yang kering supaya
tanaman padi tidak mati. Dia sudah delapan hari menyedot air supaya
tanaman padi tidak kekurangan air, karena usia tanam telah
memasuki bulan ke dua. Walau begitu, air yang mengalir melalui
irigasi di pantura Kabupaten Tangerang, saat ini sudah mengalami
pendangkalan maka tidak mampu lagi mengalir hingga petak sawah
yang letaknya relatif jauh.
Sawah yang mengalami kekeringan di Kabupaten Tangerang
mencapai ribuan hektar namun belum ada informasi terkait ancaman
gagal panen. Meski demikian, pemerintah kabupaten terus memantau
kondisi padi petani selama musim kemarau ini, karena diharapkan
mereka tidak menderita rugi karena faktor cuaca. Diperkirakan musim
panen padi pertengahan Agustus 2009 hingga awal Oktober 2009
pada lima kecamatan, dan diharapkan hasilnya tidak mengalami
penurunan drastis. Bila kondisi sawah dalam keadaan normal, maka
petani akan panen mulai dari 5,7 ton/hektar sampai 6,6 ton/hektar
gabah kering giling.
49
Ribuan Hektar Sawah Di Jember Terancam Kekeringan
(http://skalanews.com/baca/news/2/6/90786/daerah/ribuan-hektarsawah-di-jember-terancam-kekeringan.html)
Akibat dam yang rusak ketika terjadi banjir bandang, saat ini
ribuan hektar sawah di Kabupaten Jember, Jawa Timur terancam
kekeringan. Menurut Kepala Dinas Pengarian Kabupaten Jember,
dam yang rusak akibat banjir beberapa pekan lalu jumlahnya
mencapai 18 dam. Dam-dam tersebut mengairi ribuan hektar lahan
pertanian di tiga kecamatan yakni Rambipuji, Panti, dan Arjasa.
Apabila 18 dam itu tidak segera diperbaiki, sekitar 4.500 hektare
sawah di tiga kecamatan tersebut terancam tidak akan teraliri
sehingga dapat berdampak pada kekeringan di Jember. Sampai saat
ini Dinas Pengairan telah melakukan normalisasi dengan mengeruk
sejumlah alur sungai dan dam untuk menghindari pendangkalan.
Sungai dan dam yang telah dikeruk diantaranya adalah Dam
Cempaka dan Sungai Dinoyo. Pekan lalu sungai Dinoyo meluap dan
menyebabkan banjir bandang.
Rencananya dinas pengairan menganggarkan dana sebesar Rp 3,8
miliar untuk memperbaiki 18 dam yang rusak. Namun ternyata
anggaran yang disetujui hanya sebesar Rp 1,5 miliar. Anggaran
sebesar Rp 1,5 miliar itu harus dibagi untuk Dinas Pengairan dan
Bina Marga sehingga kami hanya mendapat Rp 750 juta. Dana
tersebut oleh dinas pengairan rencananya akan digunakan untuk
perbaikan dua dam saja, sementara 16 dam sisanya akan meminta
bantuan kepada pemerintah pusat.
50
Tanaman padi sawah masih umur muda mengalami kekeringan
(Sumber: http://skalanews.com/baca/news/2/6/90786/daerah/ribuanhektar-sawah-di-jember-terancam-kekeringan.html ..... diunduh
8/7/2011)
Tanaman Padi di Purworejo Puso Kekurangan Air
(http://www.krjogja.com/news/detail/89669/Tanaman.Padi.di.Purworejo.Pus
o.Kekurangan.Air.html) Senin, 27 Juni 2011
Tanaman padi di Kabupaten Purworejo puso akibat
kekeringan. Petani di Desa/Kecamatan Gebang, sudah putus asa dan
membiarkan tanaman miliknya akibat sawah tidak lagi diairi air irigasi.
Petani di Desa Gebang, menyatakan bahwa sudah sebulan terakhir
belasan hektare sawah di wilayahnya mengalami kesulitan air. Irigasi
berhenti mengalir, jika ingin memburu air, harus malam hari. Itupun
airnya hanya sedikit. Kurang lebih satu hektar sawah milik sedikitnya
delapan petani di Desa Gebang mengalami puso. Sementara itu,
belasan hektare lainnya terancam kekeringan, kerugian yang dialami
petani diperkirakan mencapai jutaan rupiah. Petani lain, mengalami
kerugian ratusan ribu rupiah akibat gagal panen. Kerugian akibat
51
sudah mengeluarkan uang untuk tanam padi dan olah sawah. Petani
sudah telanjur tanam padi, namun kini dipastikan puso karena tidak
ada air. Padahal, saat tanam sekitar sebulan lalu, air irigasi masih
lancar. Sejak tidak memperoleh air,petani membiarkan tanaman padi
umur 30 hari setelah tanam (HST) miliknya. Bahkan, sawah seluas 90
ubin milik seorang petani sudah dipenuhi gulma - rumput penganggu.
Akibat gagal panen, dia mengalami kerugian sedikitnya Rp 100 ribu.
Petani ini mengaku sengaja membiarkan tanaman padi miliknya
lantaran sudah putus asa. Ia tidak mau mengusahakan pompa untuk
menyedot air sungai antaran tidak punya biaya. Jika menyewa
pompa, petani akan semakin rugi, karena hasil panen tidak akan
sebanding dengan biaya produksi.
Selain itu, petani di Desa Gebang juga dihantui serangan
hama tikus. Seluruh sawah yang tidak kekurangan air, lanjutnya,
sedang menghadapi serangan hama pengerat itu. Mau menyiangi
gulma, rasanya percuma, karena, selain tidak ada air, kami masih
harus menghadapi hama tikus. Setelah sawah bersih dari gulma,
giliran tikus dapat menyerang.
Tanaman padi muda mengalami kekeringan dan petaninya kesulitan
menyediakan air irigasi. (Sumber :
(http://www.krjogja.com/news/detail/89669/Tanaman.Padi.di.Purwo
rejo.Puso.Kekurangan.Air.html ...... diunduh 8/7/2011)
52
Multifungsi Ekosistem Sawah
Perubahan paradigma pembangunan yang mengemuka sejak
periode 1980-an telah melahirkan konsep pembangunan
berkelanjutan, dimana aspek distribusi dan keles-tarian lingkungan
maupun sosial-budaya memperoleh perhatian yang proporsional
seiring dengan upaya peningkatan pertumbuhan ekonomi
(Munasinghe, 1993). Kaitannya dengan hal itu, berbagai klasifikasi
mengenai nilai ekonomi lahan pertanian telah dikemukakan, di
antaranya oleh Munasinghe (1992), Callaghan (1992), dan Sogo
Kenkyu (1998). Meski-pun terdapat beberapa perbedaan mengenai
klasifikasi manfaat lahan pertanian yang dikemukakan oleh
narasumber tersebut, tetapi secara garis besar penilaian ekonomi
lahan pertanian harus dilihat berdasarkan manfaat penggunaan (use
values) dan manfaat ba-waannya (intrinsic values). Dalam Diagram 1
dijelaskan aspek-aspek yang terkait dengan kedua manfaat tersebut,
yang meliputi aspek ekonomi, lingkungan, dan sosial-budaya.
53
GSL ( Griya Sawah Lega )
Griya Sawah Lega ini berlokasi di Cisarua, Puncak - Bogor. Jawa Barat;
menawarkan tempat yang nyaman, dengan suasana pedesaan dan udara
yang sejuk untuk kegiatan : Wisata Agro/Wisata Desa - Rapat - Training Retreat - Outbound - Kemping - Gathering.
Untuk fasil handal yang terpercaya di bidangnya GSL juga bekerja sama
dengan freecamp, yang siap untuk membantu anda dalam bidang : Out
bound training ; Out bound Fun; Family Gathering; Agro actifity; Indoor
training; One Day Program; Raffting; Paint Ball; Team building; High
Rope; Problem solving; Instalasi games dan Even organizer.
Jasa=jasa wisata pada agroekosistem sawah
(Sumber: http://gsldidi.blogspot.com/ ….. diunduh 8/7/2011)
54
Jasa=jasa wisata pada agroekosistem sawah
(Sumber: http://gsldidi.blogspot.com/ ….. diunduh 8/7/2011)
Daftar Pustaka
Adams, Richard M., Laurie L. Houston, Bruce A. McCarl, Mario Tiscareno L.,
Jaime Matus G., and Rodney F. Weiher. The Benefits to Mexican
Agriculture of on El-Nino-Southern Oscilation (ENSO) Early Warning
System. Agricultural and Forest Meteorology 115 (2003). Elsevier
Sciences. 183-194 pp.
Andrewartha, H.G. and L.C. Birch. 1984. The ecological. The University of
Chicago. 505 pp.
Anwar, A., and A. Pakpahan. 1990. The Problem of Sawah-Land Conversion
to Non-Agricultural Uses in Indonesia. Indonesian Journal of Tropical
Agriculture 1(2):101-108.
Arifin, M., I.B.G. Suryawan, B.H. Priyanto dan A. Alwi. 1997. Diversitas
artropoda pada berbagai teknik budidaya padi di Pemalang, Jawa
Tengah. Penelitian Pertanian Puslitbangtan 15 (2): 5-12.
55
Baehaki, S.E. 1991. Peranan musuh alami mengendalikan wereng coklat.
Prosiding Seminar Sehari Tingkat Nasional. Fakultas Pertanian
Universitas Jenderal Sudirman. hlm. 1-9.
Balvanera, P. C. Kremen, and M. Martinez. 2005. Applying community
structure analysis to ecosystem function: examples from pollination
and carbon storage. Ecological Applications 15: 360-375.
Balvanera, P., G.C. Daily, P.R. Ehrlich, T.H. Ricketts, S.Bailey, S. Kark, C.
Kremen and H. Pereira. 2001. Conserving biodiversity and ecosystem
services. Science 291: 2047.
Berg, H. (2002). Rice monoculture and integrated rice-fish farming in the
Mekong delta, Vietnam - economic and ecological considerations.
Ecological Economics 41:95-107.
Callaghan, J.R. 1992. Land use: The interaction of economics, ecology and
hydrology. Chapman & Hall. London.
Campbell, Neil A.; Brad Williamson; Robin J. Heyden (2006). Biology:
Exploring Life. Boston, Massachusetts: Pearson Prentice Hall. ISBN 013-250882-6. http://www.phschool.com/el_marketing.html.
Chan, K.M.A., M.R. Shaw, D.R. Cameron, E.C. Underwood and G.C. Daily.
2006. Conservation planning for ecosystem services. PLoS Biology 4:
2138-2152.
Cheng, J.A. 2009. Rice planthopper problems and relevant causes in China.
Pp 157-178. In Heong KL, Hardy B, editors. 2009. Planthoppers: new
threats to the sustainability of intensive rice production systems in
Asia. Los Baños (Philippines): International Rice Research Institute.
Chiu, S.C. 1979. Biological control of the brown planthopper, Nilaparvata
lugens Stal. In brown planthopper Threat to Rice Production in Asia.
IRRI, Los Banos, Laguna, Philippines. 335-356.
Cicerone, R.J. and J.D. Shetter. 1983. Sources of atmospheric methane:
measurement in rice paddies and a discussion. J. Gheophys. Res.86:
7203-7209.
Daily, G.C. 1997. Nature’s Services: Societal Dependence on Natural
Ecosystems. Island Press, Washington. 392pp.
Daily, G.C. 2000. Management objectives for the protection of ecosystem
services. Environmental Science & Policy 3: 333-339.
56
Daily, G.C., T. Söderqvist, S. Aniyar, K. Arrow, P. Dasgupta, P.R. Ehrlich, C.
Folke, A. Jansson, B. Jansson, N. Kautsky, S. Levin, J. Lubchenco, K.
Mäler, D. Simpson, D. Starrett, D. Tilman, and B. Walker. 2000. The
value of nature and the nature of value. Science 289: 395-396.
De Bach, Paul. 1979. Biological control by natural enemies. Cambridge
University Press, London. 323 pp.
De Datta, S.K. and Buresh, R.J. 1989. Integrated nitrogen management in
irrigated rice. Adv. Soil Sci., 10: 143-169.
DeFries, R.S., J.A. Foley, and G.P. Asner. 2004. Land-use choices: balancing
human needs and ecosystem function. Frontiers in Ecology and the
Environment 2: 249-257.
Dewan, S. (1992). Rice-fish farming systems in Bangladesh: past, present and
future. In: Rice-Fish Research and Development in Asia (eds. C.R.
dela Cruz, C. Lightfoot, B.A. Costa-Pierce, V.R. Carangal and M.P.
Bimbao), ICLARM Conference Proceedings 24:11-17.
Frei, M. and Becker, K. (2005). Integrated rice-fish culture: coupled
production saves resources. Natural Resources Forum 29:135-143.
Gupta, M.V., Sollows, J.D., Mazid, M.A., Rahman, A., Hussain, M.G. and Dey,
M.M. (2002). Economics and adoption patterns of integrated ricefish farming in Bangladesh. In: Rural Aquaculture (eds. P. Edwards,
D.C. Little and H. Demaine), CABI Publishing, Oxford, UK, pp. 41-53.
Halwart, M. and Gupta, M.V. (2004). Culture of fish in rice fields. FAO and
the WorldFish Center, 83 p.
Hanson, C, J Ranganathan, C Iceland, and J Finisdore. (2008) The Corporate
Ecosystem Services Review (Version 1.0). World Resources Institute.
Harun, A.K.Y and Pittman, K.A. (1997). Rice-fish culture: feeding, growth and
yield of two size classes of Puntius gonionotus Bleeker and
Oreochromis spp. in Bangladesh. Aquaculture 154:261-281.
Heong K.L. 2010. Biodiversity and Ecosystem Services in rice environments.
Insect
Ecologist. International Rice Research Institute
Los Baños, Philippines.
Heong, K. L. , Manza,A., Catindig, J., Villareal, S. and Jacobsen, T. 2007.
Changes in pesticide use and arthropod biodiversity in the IRRI
research farm. Outlooks in Pest ManagementOctober 2007.
57
Holzapfel-Pschorn, A.R., R. Conrad, and W. Seiler. 1986. Effect of vegetation
on the emission of methane from submerged paddy soil. Plant Soil
92: 223 -233.
IPCC. 1992. Climate change. In: J.T. Houghton et al (eds). The supplementary
report the IPCC scientific assessment. Cambridge University Press,
U.K. 29
Irawan, Bambang. 2002. Analisis nilai ekonomi sumberdaya lahan pertanian.
Laporan Hasil penelitian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial
Ekonomi Pertanian.
Iriadi, M. 1990. Analisis konversi lahan sawah ke indutri dengan metode
sewa ekonomi lahan (land rent): Studi kasus di Kecamatan Cibitung,
Kabupaten Bekasi, Jawa Barat. Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian,
IPB.
IRRI, 1989. IRRI Toward 2000 and Beyond. Los Baños, Laguna, Philippines.
IRRI, 1993. IRRI Rice Facts. Los Baños, Laguna, Philippines.
Kartika, I. P. 1990. Analisis konversi lahan dari penggunaan pertanian ke
penggunaan nonpertanian dengan pendekatan sewa ekonomi lahan
(land rent): Studi Kasus di Desa Cimacan, Kecamatan Pacet,
Kabupaten Cianjur, Jawa Barat. Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian,
IPB.
Kartohardjono, A. 1988. Kemampuan beberapa predator (laba-laba,
Paederus sp., Ophionea sp., Cyrtorhinus sp., dan Coccinella sp.)
dalam mengurangi kepadatan wereng coklat (Nilaparvata lugens
Stal.) pada tanaman padi. Penelitian Pertanian 8(1): 25-31.
Kawaguchi, K. and Kyuma, K. 1977. Paddy Soils in Tropical Asia, Their
Material Nature and Fertility. Univ. Press of Hawaii, Honolulu.
Kawasaki, I. 1953. Natural supply of three major elements from soils of the
major arable land in Japan. Nippon Nogyo Kenkyusho: 6. (In
Japanese).
Kazutake Kyuma. 1995. Ecological sustainability of the paddy soil-rice
system in asia. Department of Environmental Science The University
of Shiga Prefecture 2500 Hassaka-cho, Hikone City Japan 522.
Kiene, R.P., R.S. Oremland, A. Catena, L.G. Miller, and D.G.Capone. 1986.
Metabolism of Reduced Methylated Sulfur Compounds in Anaerobic
58
Sediments and by a Pure Culture of an Estuarine Methanogen. Appl
Environ Microbiol. 1986 November; 52(5): 1037-1045..
Kilin, D., I.W. Laba dan P. Panudju. 1993. Dampak negatif penggunaan
insektisida. Laporan Penelitian 1992/1993 Balittan Bogor.
Kimura , M.D., H. Murakami, and H. Wada. 1991. CO2, H2, and CH4
production in rice rhizosphere. Soil Sci. Techno. 25: 979-981.
Kludze, H.K., R.D. DeLaune, and W.H. Patrisc, Jr. 1993. Aerenchyma
formation and methane and oxygen exchange in rice. Soil Sci. Soc.
Am. J. 57: 386-391
Kobayashi, J. 1958. Chemical studies on the quality of the river water in the
countries of Southeast Asia: Quality of water in Thailand. NogakuKenkyu 46,2: 63-112. (In Japanese).
Kobayashi, J. 1961. Studies on mean water quality of Japanese rivers and its
characteristics. Nogaku-Kenkyu 48,2: 63-106. (In Japanese).
Koesmaryono, Y., Rizaldi Boer, Hidayat Pawitan, Yusmin, dan Irsal Las. 1999.
Pendekatan Iptek dalam Mengantisipasi Penyimpangan Iklim.
Prosiding Diskusi Panel Strategi Antisipatif Menghadapi Gejala Alam
La-Nina dan El-Nino untuk Pembangunan Pertanian. Bogor, 1
Desember 1998. PERHIMPI, FMIPA-IPB, Puslittanak, dan ICSEA
BIOTROP Bogor. Bogor . Hal 43-58.
Kremen, C. 2005. Managing ecosystem services: what do we need to know
about their ecology? Ecology Letters 8: 468-479.
Kunda, M., Azim, M.E., Wahab, M.A., Dewan, S., Roos, N. and Thilsted, S.H.
(2008). Potential of mixed culture of freshwater prawn
(Macrobrachium rosenbergii) and self recruiting small species mola
(Amblypharyngodon mola) in rotational rice-fish/prawn culture
systems in Bangladesh. Aquaculture Research 39:506-517.
Las, Irsal., A. Karim Makarim, A. Hidayat, A. Syarifuddin Karama, dan Ibrahim
Manwa. 1991. Peta Agroekologi Utama Tanaman Pangan Indonesia.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Badan
Litbang Pertanian. Bogor. 24 hal.
Lawton, J.H. 1994. What do species do in ecosystems? Oikos 71: 367-374.
Lightfoot C., dela Cruz, C.R. and Carangal, V.R. (1990). International research
collaboration in rice-fish research. NAGA, the ICLARM Quarterly
13:12-13.
59
Lu, J. and Li, X. (2006). Review of rice-fish-farming systems in China - one of
the globally important ingenious agricultural heritage systems
(GIAHS). Aquaculture 260:106-113.
Marsudiyono. 1989. Pengaruh residu insektisida terhadap Anagrus sp.
parasit telur wereng coklat (Nilaparvata lugens Stal.). Skripsi
Fakultas Biologi, Universitas Nasional, Jakarta 56 hlm.
Mayrowani, H., S.K. Dermoredjo, A.R. Nurmanaf, Y. Soeleman., dan A.
Setyanto. 2003. Nilai riil dari sistem pertanian di DAS Citarum.
Makalah Seminar Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan
Agroklimat.
Mohanty, R.K., Verma, H.N. and Brahmanand, P.S. (2004). Performance
evaluation of rice-fish integration system in rainfed medium and
ecosystem. Aquaculture 23:125-135.
Munasinghe, M. 1993. . Environmental economics and sustainable
development. World Bank Environmental Paper No. 3.
Mustow, S.E. (2002). The effects of shading on phytoplankton
photosynthesis in rice-fish fields in Bangladesh. Agriculture,
Ecosystems and Environment 90:89-96.
Nabi, R. (2008). Constraints to the adoption of rice-fish farming by
smallholders in Bangladesh: a farming systems analysis. Aquaculture
Economics and Management 12:145-153.
Naeem S. 1998. "Species redundancy and ecosystem reliability"
Conservation Biology 12: 39–45.
Nakano et al.(1998)"Dynamic Simulation of Pressure Control System for the
Closed Ecology Experiment Facility", Transactions of the Japan
Society of Mechanical Engineers. 64:107-114.
Nasoetion, L.I. 2003. Konversi lahan pertanian: Aspek hukum dan
implementasinya. Dalam:Undang Kurnia, dkk (eds). Prosiding
Seminar Nasional Multifungsi dan Konversi Lahan Pertanian. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat.
Nasoetion, L.I. dan E. Rustiadi. 1990. Masalah konversi lahan sawah ke
penggunaan non-sawah fokus Jawa dan Bali. Paper pada Pertemuan
Ilmiah Pembangunan Pedesaan dan Masalah Pertanahan, 13-15
Februari 1990; PAU Studi Sosial-UGM.
60
Nasoetion, L.I. dan Winoto, J. 1996. Masalah alih fungsi lahan pertanian dan
dampaknya terhadap keberlangsungan swasembada pangan. dalam:
Hermanto, dkk (eds). Prosiding Lokakarya: Persaingan Dalam
Pemanfaatan Sumberdaya Lahan dan Air. Pusat Penelitian Sosial
Ekonomi Pertanian dan Ford Fondation.
Neue, H.U., Becker-Heidmann, P. and Scharpenseel, H.W. 1990. Organic
matter dynamics, soil propreties and cultural practices in rice lands
and their relationship to methane production. In: Soil and the
Greenhouse Effect, A.F. Bouwman (ed.). John Wiley and Sons,
Chichester, U.K. pp. 457-466. (Cited in Yagi, K. 1991. Emission of
biogenic gas compounds from soil ecosystem and their effect on
global environment. 2. Methane emission from paddy fields. Jap.
Jour. Soil Sci. Plant Nutr., 62: 556-562. In Japanese).
Nhan, D.K., Phong, L.T., Verdegem, M.J.C., Duong, L.T., Bosma, R.H. and
Little, D.C. (2007). Integrated freshwater aquaculture, crop and
livestock production in the Mekong delta, Vietnam: determinants
and the role of the pond. Agricultural Systems 94:445-458.
Nishio, M. 1999. Multifungtional character of paddy farming. Annex 7 in:
Proceedings The Second Group Meeting on Inter Change of
Agricultural Technology Information between Asean Member
Countries and Japan. Jakarta, 16-17 February 1999. ASEAN
Secretariat, Jakarta.
Nurbaeti, B., E. Soenarjo dan Waluyo. 1992. Studi peranan musuh alami
penggerek batang padi Scirpophaga incertulas (Walker)
(Lepidoptera; Pyralidae).
Seminar Tahunan Balai Penelitian
Tanaman Pangan. Bogor, 6 hlm.
Nursyamsi, D., Sulaeman, M. E. Suryadi, dan F.G. Bereleka. 2001. Kandungan
beberapa ion di dalam sumber air di Sub DAS Citarik dan DAS
Kaligarang. Dalam: Fahmuddin Agus, dkk (eds). Prosiding Seminar
Nasional Multifungsi Lahan Sawah. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat.
Oka, I.N. 1995. Pengendalian hama terpadu dan implementasinya di
Indonesia. Gadjah Mada University Press. 255 hlm.
Pathak, M.D. 1968. Ecology of common insect pest of rice. Ann. Rev.
Entomol. 13 pp.
61
Pedigo, L.P. 1999. Entomology and pest management. Lowa University.
Prentice Hall, Upper Sadlle River. NJ. 07458. Third Edition. P. 307.
Perrot-Maître, D. (2006) The Vittel payments for ecosystem services: a
"perfect" PES case? International Institute for Environment and
Development, London , UK.
Pramono, J., A. Bakri, dan I. Soelaiman. 1996. Persaingan dalam
pemanfaatan lahan antara sector pertanian dan industri. dalam:
Hermanto, dkk (eds). Prosiding Lokakarya: Persaingan Dalam
Pemanfaatan Sumberdaya Lahan dan Air. Pusat Penelitian Sosial
Ekonomi Pertanian dan Ford Fondation.
Riyani, W. 1992. Analisis konversi lahan dari pertanian ke lahan perumahan
dengan metode sewa ekonomi lahan (land rent): Studi kasus di
wilayah Dati II Kodya Bogor, Propinsi Jawa Barat.
Sass R. L., Fisher, F. M., Harcombe, P. A. dan Turner, F. T. 1990. Global
Biogeochem. Cycles 4, 47-68.
Sass R. L., Fisher, F. M., Turner, F. T. dan Jund, M. F. 1991. Global
Biogeochem. Cycles 5, 335-350.
Setiyanto, A., R. Nurmanaf, Y. Soeleman, H. Mayrowani, dan S.K.
Dermoredjo. 2003. Nilai ekonomi fungsi lahan sawah untuk
pengendalian pencemaran udara (air purification): Studi kasus DAS
Citarum, Jawa Barat. Makalah Seminar. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Tanah dan Agroklimat.
Shepard, B.M., H.R. Rapusas and D.B. Estano, 1989. Using rice straw bundles
to conserve beneficial arthropod communities in rice fields. Int. Rice.
Res. Newl. 14(5): 30-31.
Sogo Henkyu. 1998. An economic evaluation of external economies from
agriculture by replacement cost method. National Research Institute
of agricultural economics, MAFF, Japan.
Stern, V.M., R.F. Smith, R Van den Bosch and K.S. Hagen. 1959. The
integration of chemical and biological control of spotted alfalfa
aphid. Hilgardia 29 (2); 81-101.
Suharsih, P. Setyanto, A. Wihardjaka, dan A.K. Makarim. 1998. Emisi gas
metan dari berbagai sistem pengaturan air pada lahan sawah.
Laporan Tahunan. Loka Penelitian Tanaman Pangan Jakenan.
62
Suharsih, P. Setyanto, A. Wihardjaka, dan A.K. Makarim. 1999. Pengaruh
rejim air tanah terhadap besarnya emisi gas metan pada lahan
sawah. Laporan Tahunan. Loka Penelitian Tanaman Pangan Jakenan.
Sumaryanto dan R.T. Suhaeti. 1999. Assessment of losses related to irrigated
low land conversion. dalam: I.W. Rusastra, dkk (eds). Dinamika
Inovasi Sosial Ekonomi dan Kelembagaan Pertanian. Buku I. Pusat
Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian.
Sumaryanto, Hermanto, dan E. Pasandaran. 1996. Dampak alih fungsi lahan
sawah terhadap pelestarian swasembada beras dan sosial ekonomi
petani. dalam: Hermanto, dkk (eds). Prosiding Lokakarya: Persaingan
Dalam Pemanfaatan Sumberdaya Lahan dan Air. Pusat Penelitian
Sosial Ekonomi Pertanian dan Ford Fondation.
Supriyadi, S. Mangundihardjo dan E. Mahrub. 1992. Kajian Ekologi laba-laba
srigala, Lycosa pseudoannulata Boes. et. Str. pada lahan padi.
Kumpulan Abstrak Kongres Entomologi IV, Yogyakarta, 28-30
Januari. hlm 91.
Sutono, S., H. Kusnadi, dan M.S. Djunaedi. 2001. Pendugaan erosi pada
lahan sawah dan lahan kering Sub DAS Citarik dan DAS Kaligarang.
Dalam: Fahmuddin Agus, dkk (eds). Prosiding Seminar Nasional
Multifungsi Lahan Sawah. Pusat Penelitian dan Pengembangan
Tanah dan Agroklimat.
Syahbuddin, H., Manabu D. Yamanaka, and Eleonora Runtunuwu. 2004.
Impact of Climate Change to Dry Land Water Budget in Indonesia:
Observation during 1980-2002 and Simulation for 2010-2039.
Graduate School of Science and Technology. Kobe University.
Tabuchi, T. and Takamura, Y. 1985. Outflows of Nitrogen and Phosphorus
from Watersheds. Tokyo University Press, Tokyo, Japan. (In
Japanese).
Tala’ohu, S.H., F. Agus, dan G. Irianto. 2001. Hubungan perubahan
penggunaan lahan dengan daya sangga air Sub DAS Citarik dan DAS
Kaligarang. Dalam: Fahmuddin Agus, dkk (eds). Prosiding Seminar
Nasional Multifungsi Lahan Sawah. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Tanah dan Agroklimat.
63
Tala’ohu, S.H., S. Sutono, dan F. Agus. 2003. Daya sangga air lahan pertanian
terhadap banjir dan nilai replacement cost di DAS Citarum. Makalah
Seminar Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat.
Tarigan, S.M. dan N. Sinukaban. 2001. Peran sawah sebagai filter sedimen:
studi kasus di DAS Way Besai, Lampung. Dalam: Fahmuddin Agus,
dkk (eds). Prosiding Seminar Nasional Multifungsi Lahan Sawah.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat.
Tilman, D., C.L. Lehman, and C.E. Bristow. 1998. Diversity-stability
relationships: statistical inevitability or ecological consequence? The
American Naturalist 151: 277-282.
Untung, K. 1992. Konsep dan strategi pengendalian hama terpadu. Makalah
Simposium Penerapan PHT. PEI Cabang Bandung. Sukamandi, 3-4
September 1992. 17 hlm.
van Breemen, N. and Jordens, E.R. 1983. Effects of atmospheric ammonium
sulfate on calcareous and non-calcareous soils of woodlands in the
Netherlands. In: Effects of Accumulation of Air Pollutants in Forest
Ecosystems, B. Ulrich and J. Pankrath (eds.). D. Reidel Publishing
Company, Boston, USA.
Van Emden, H.P. 1976. Pest control and its ecology. Edward Arnold. 59 p.
Vitousek, P.M., J. Lubchenco, H.A. Mooney, J. Melillo. 1997. Human
domination of Earth’s ecosystems. Science 277: 494-499.
Wahab, M.A., Kunda, M., Azim, M.E., Dewan, S. and Thilsted, S.H. (2008).
Evaluation of freshwater prawn-small fish culture concurrently with
rice in Bangladesh. Aquaculture Research 39:1524-1532.
Walker, B.H. 1992. "Biodiversity and ecological redundancy." Conservation
Biology 6: 18-23.
Watson, R.T., Rodhe, H. Oeschger, H. and Siegenthaler, U. 1990. Green
house gases and aerosols. In: Climate Change, the IPCC Scientific
Assessment, J.T. Houghton et al. (eds.). Cambridge University Press,
Cambridge, U.K., pp 1-40. (Cited in Yagi, K. 1991. Emission of
biogenic gas compounds from soil ecosystem and their effect on
global environment. 2. Methane emission from paddy fields. Jap.
Jour. Sci. Plant Nutr. 62: 556-562. In Japanese).
64
Way, M.J. and Heong, K.L. 1994. The role of biodiversity in the dynamics
and management of insect pests of tropical irrigated rice – A
review. Bulletin of Entomological Research, 84, 567-587.
White House. 1967. World Food Problem: A Report of the President's
Science Advisory Committee. Vol. II, Report of the Panel on the
World Food Supply. Washington, D.C. (Unpub.).
Wihardjaka, A., dan A.K. Makarim. 2001. Emisi gas metan melalui bebrapa
varietas padi pada tanah Incepticol yang disawahkan. Penelitian
Pertanian Tanaman Pangan Vol. 20:1. p 10-15. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Tanaman Pangan.
Wihardjaka, A., P. Setyanto, dan A.K. Makarim. 1997. Pengaruh varietas padi
terhadap besarnya emisi gas metan pada lahan sawah. Laporan
Tahunan. Loka Penelitian Tanaman Pangan Jakenan.
Wihardjaka, A., P. Setyanto, dan A.K. Makarim. 1997a. Pengaruh
penggunaan bahan organic terhadap hasil padi dan emisi gas metan
pada lahan sawah. Laporan Tahunan. Loka Penelitian Tanaman
Pangan Jakenan.
Wihardjaka, A., P. Setyanto, dan A.K. Makarim. 1999. Emisi gas metan dari
berbagai varietas padi. Laporan Tahunan. Loka Penelitian Tanaman
Pangan Jakenan.
Winoto, J. 1985. Dampak ketinggian permukaan lahan terhadap proses
pembentukan lahan-lahan sawah. Jurusan Tanah. Fakultas
Pertanian. Institut Pertanian Bogor.
Wu, R.S., W.R. Suc, and J.S. Chang., 1997. A simulation model for
investigating the effects of rice paddy fields on run off system.
p.422-427. In: Mc Donald et al (eds). Proceeding of MODSIM 97.
MSSA Canberra, Australia.
Yagi, K. and Minami, K. 1990. Estimates of Methane Emission from Paddy
Fields. Research Reports of Div. of Environmental Planning of NIAES
6: 131-142. (In Japanese).
Yoshida, K., 2001. An economic evaluation of multifunctional roles of
agricultural and rural areas in Japan. Ministry of Agricultural Forestry
and Fisheries. Japan.
Download