BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Hak Asasi Manusia 1. HAM dalam Perspektif Universal Setiap manusia terlahir dengan hak paling dasar, yaitu hak untuk hidup. Ketika seseorang hidup, maka dia akan bersosialisasi dan membutuhkan orang lain untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya. Secara umum, jika apa yang ingin dilakukan seseorang dilarang oleh orang lain, maka haknya telah dibatasi. Namun sebaliknya, jika apa yang ingin kita lakukan menganggu hak orang lain, maka kita pun membatasi hak orang lain. Maka dari itu, dunia ini terdiri dari negara-negara yang memiliki aturan yang berfungsi membatasi hak warga negaranya agar diupayakan tidak terjadi konflik di antara mereka. Dasar dari semua hak asasi adalah bahwa manusia memperoleh kesempatan untuk berkembang sesuai dengan bakat dan citacitanya. HAM menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) adalah hak yang melekat pada semua manusia, apapun kebangsaan kita, tempat tinggal, jenis kelamin, asal-usul kebangsaan atau etnis, warna kulit, agama, bahasa, atau status lainnya. Kita semua sama-sama berhak atas HAM tanpa diskriminasi. Hak-hak ini semua saling bergantung, saling terkait dan tak terpisahkan.25 25United Nations Human Rights. 2010. What is Human Rights. http://www.ohchr.org/en/issues/Pages/WhatareHumanRights.aspx (diakses pada tanggal 12 Oktober 2010) 20 HAM secara universal seringkali dinyatakan dan dijamin oleh hukum, dalam bentuk perjanjian, hukum kebiasaan internasional, prinsip-prinsip umum dan sumber-sumber hukum internasional. HAM dalam hukum internasional meletakkan kewajiban Pemerintah untuk bertindak dengan cara tertentu atau untuk menahan diri dari tindakan tertentu, dalam rangka untuk melindungi HAM sebagai kebebasan dasar individu atau kelompok. Universal Declaration of Human Rights dengan tiga puluh pasalnya menjelaskan hak-hak sipil, politik, ekonomi, sosial, dan kebudayaan yang harus dinikmati manusia di setiap negara. Pengakuan HAM secara universal membenarkan pembebasan bangsa-bangsa yang tertindas. Menurut Pasal 1 Piagam PBB, salah satu tujuan PBB adalah untuk mencapai kerja sama internasional dalam mewujudkan dan mendorong penghargaan atas HAM dan kemerdekaan yang mendasar bagi semua orang, tanpa membedakan suku, bangsa, kelamin, bahasa maupun agama. HAM dibentuk menjadi sebuah komisi PBB yang dipimpin Eleanor Roosevelt. Pada 10 Desember 1948, komisi tersebut secara resmi diterima PBB. Pada awalnya, deklarasi ini hanya mengikat secara formal dan etis seluruh anggota PBB. Namun, pada tahun 1957 dibuat lagi tiga bentuk perjanjian, yaitu : a. International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights (ICESCR); b. International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR); 21 c. Optional Protocol to the International Covenant on Civil and Political Rights. Ketiga dokumen tersebut di atas diterima Sidang Umum PBB pada tanggal 16 Desember 1966, dan kepada anggota PBB diberi kesempatan untuk meratifikasinya. Kedua kovenan berisi ketentuan-ketentuan yang mengikat bagi negara yang meratifikasi dengan maksud memberi perlindungan atas hak-hak dan kebebasan probadi manusia. Hak merupakan perwujudan dari martabat manusia, yang tercermin dari kebebasan berpikir, beragama, dari ketakutan dan kesengsaraan. Khusus isi pokok dari International Covenant on Civil and Political Rights adalah semua orang mempunyai hak untuk menentukan nasibnya sendiri. Atas kekuatan hak tersebut mereka bebas dalam menentukan status politik, pendidikan dan penerangan pelatihan. John Locke, Montesquieu, dan Rousseau26 mengemukakan macam-macam HAM, yaitu : a. Kemerdekaan atas diri sendiri b. Kemerdekaan beragama c. Kemerdekaan berkumpul dan berserikat d. Hak Write of Habeas Corpus e. Hak kemerdekaan pikiran dan pers. 26 Sulaiman Hamid. 2002. Hak Asasi Manusia dalam Lembaga Suaka Hukum Iternasional. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada. hal. 27. 22 Dari sebagian besar penjelasan dan pembagian mengenai HAM, definisi universal mencakup lebih luas hak-hak individu. HAM dijelaskan lebih terperinci dan diatur dalam hukum internasional, sebagai hukum yang mengatur negara-negara di dunia. 2. HAM dalam Perspektif Liberalisme Liberalisme adalah ideologi yang bertumpu kepada filosofi individualisme, pandangan yang mengedepankan kebebasan orang per orang. Dengan demikian, individu dengan segala kebebasannya diberi kesempatan seluas-luasnya untuk mengaktualisasikan dirinya dengan maksimal.27 Konsepsi HAM dari perspektif liberalisme secara formal dapat dibaca dalam Deklarasi Kemerdekaan 13 Negara-negara Amerika 1776 “…we hold these truths to be self-evident; that all men created equal;that they are endowed by their Creator with certain inalienable rights, liberty, and the pursuit of happiness.”28 Selanjutnya Lafayette, orang Prancis yang aktif dalam perang kemerdekaan Amerika mengembangkan lebih lanjut Deklarasi Amerika ke dalam Declaration de l’Homme et du Citoyen pada tahun 1989 di Paris. 27 Prof. A. Mansyur Effendi, SH.M.S dan Taufani Sulimana Evandri, SH.MH. 2007. HAM dalam Dimensi/Dinamika Yuridis, Sosial, Politik dan Proses Penyusunan/Aplikasi Ha-Kham dalam Masyarakat. Bogor: Ghalia Indonesia. hal.10 28 Maurice Cranston (1983) dalam Prof. A. Mansyur Effendi, SH.M.S dan Taufani Sulimana Evandri, SH.MH. 2007. HAM dalam Dimensi/Dinamika Yuridis, Sosial, Politik dan Proses Penyusunan/Aplikasi Ha-Kham dalam Masyarakat. Bogor: Ghalia Indonesia. hal.11 23 “…men are born and remain free and equal in rights; indeed, that the purpose of all political associations is the conservation of the natural and inalienable rights of man; these rights are liberty, property, security, and resistance to oppression: liberty is defined as being unrestrained in doing anything that does not interfere with another’s rights, and is held to include the rights to free speech, a free prees, religion freedom, and freedom from arbitrary arrest.” Pernyataan tersebut menyebutkan bahwa makhluk dilahirkan merdeka dan tetap merdeka, manusia mempunyai hak yang sama, manusia merdeka berbuat sesuatu tanpa merugikan pihak lain, warga negara mempunyai hak yang sama dan mempunyai kedudukan dan pekerjaan umum, manusia tidak boleh dituduh dan ditangkap selain menurut undang-undang, manusia mempunyai kemerdekaan agama dan kepercayaan, dan manusia merdeka mengeluarkan pikiran. Dari pernyataan tersebut, tergambarkan bahwa mengedepankan HAM merupakan reaksi keras terhadap sistem pemerintahan, politik, dan sosial yang sebelumnya absolut. Pernyataan tersebut sekaligus merupakan perlawanan formal terhadap rezim totaliter, ancient regime (orde lama) yang menganggap bahwa negara adalah satu-satunya yang berhak mengatur segalanya, termasuk HAM. Dengan demikian, melalui paham liberal, posisi HAM diakui dan dijunjung tinggi oleh negara serta dilaksanakan oleh pemerintah. Penghormatan atas hak-hak individu yang terkesan tanpa batas menuai kritik, bahwa hal ini merupakan kelemahan paham individualisme. 24 Secara garis besar, HAM dapat dibedakan menjadi beberapa kategori29, yaitu : a. Hak-hak asasi pribadi atau personal rights, yang meliputi kebebasan menyatakan pendapat, kebebasan memeluk agama, kebebasan bergerak dan sebagainya. b. Hak-hak asasi ekonomi atau property rights, yaitu hak untuk memiliki sesuatu, membeli, menjual, dan memanfaatkannya. c. Hak-hak asasi politik atau politic rights, yaitu hak untuk ikut serta dalam pemerintahan, hak untuk dipilih dan memilih dalam suatu pemilihan umum, hak untuk mendirikan partai politik dan sebagainya. d. Hak-hak asasi untuk mendapatkan perlakuan yang sama dalam hukum dan pemerintahan atau rights of legal equality. e. Hak-hak asasi sosial dan kebudayaan atau social and culture rights, seperti hak untuk memilih pedidikan dan hak untuk mengembangkan kebudayaan. f. Hak asasi untuk mendapatkan perlakukan yang sesuai dengan tata cara peradilan dan perlindungan atau procedural rights, seperti peraturan mengenai penahanan, penangkapan, penggeledahan, dan pengadilan. 29 Sulaiman Hamid. 2002. HAM dalam Lembaga Suaka Hukum Intrnasional. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. hal.29 25 3. HAM dalam Perspektif Sosialis/Komunis Pandangan sosialis berdasar pada peran negara dalam beragam aktivitas masyarakat sehingga kesejahteraan masyarakat tercapai. Dengan demikian, semua gerakan sosial, terutama perekonomian, negara selalu ikut campur. Sebaliknya, ajaran komunisme yang dibangun Karl Marx bersifat revolusioner dan langkah apapun demi tercapainya tujuan negara. Untuk mencapai tujuan tersebut, hak perorangan dihapus dan ditiadakan secara paksa, tanpa memberi kesempatan warga untuk berbeda pendapat. Dari ajaran tersebut konsep sosialisme Marx bermaksud mendahulukan kesejahteraan daripada kebebasan.30 Marxisme secara substansi adalah teori emansipasi manusia, yang koheren nilai dengan HAM. Manusia selalu menjadi inti, titik awal dan akhir Marxisme. Manusia, baik abstrak maupun nyata, dalam Marxis menerima keberadaan hak-hak manusia. Seorang Marxis harus percaya pada HAM, karena sebuah teori untuk emansipasi manusia tidak dapat meremehkan atau mengabaikan martabat dan hak manusia. Kaum Marxis berjuang untuk HAM dari negara borjuis, dan memiliki melindungi HAM di sosialisme mereka didirikan.31 Bagi seorang Marxist, “…concept of liberty and idea of human rights, as defined by enlightenment thinkers and ideologist of the French Revolution, 30 P. Hadjon. 1985. dalam Mansyur Effendi dkk. 2007. HAM dalam Dimensi/Dinamika Yuridis, Sosial, Politik, dan Proses Penyusunan/Aplikasi Ha-kham dalam Masyarakat. Bogor Selatan: Ghalia Indonesia. hal.19 31Wei Zhou. 1998. Marxism and human rights : theroritical perspective. Creative Commons: Attribution 3.0 Hong Kong License. Hong Kong University. hal. 215 26 are the specific expressions of a bourgeois society that is on the verge of collapse.”32 Di dalam suatu masyarakat, cenderung memiliki motivasi lebih terhadap hak individu, sementara menurut Marx, masyarakat akan selalu berhadapan dengan individu lainnya sehingga mereka akan egois, sifat yang mesti dihindari karena akan menimbulkan konflik. Ajaran komunis yang menjanjikan penghapusan kelas dan perjuangan kelas bermaksud menghilangkan akar konflik sosial, karena itu HAM yang diagung-agungkan ajaran liberal menjadi tidak penting. Dalam masyarakat komunis dapat menikmati hak asasi dalam bidang ekonomi adalah kebutuhan semua anggota masyarakat dan diatur di bawah negara. Jika ajaran komunis kemudian hancur, dapat dipahami karena penolakan terhadap hak individu yang telah menjadi pahaman universal, sehingga dianggap bertentangan dengan hakekat keberadaan manusia dan bertentangan dengan agama.33 Penjelasan paham komunisme dalam hubungan internasional merupakan dasar yang lemah untuk mengkaji politik luar negeri China. Banyak hal yang dijelaskan dalam komunisme tidak diterapkan oleh Pemerintah Komunis China.34 Buku Putih China (White Papers) yang berjudul The Socialist System of Laws with Chinese Charateristics, memaparkan bagaimana China 32 Leszek Kolakowski. 1983. Dalam Mansyur Effendi dkk. 2007. HAM dalam Dimensi/Dinamika Yuridis, Sosial, Politik, dan Proses Penyusunan/Aplikasi Ha-kham dalam Masyarakat. Bogor Selatan: Ghalia Indonesia. hal.22. 33 Mansyur Effendi dkk. 2007. HAM dalam Dimensi/Dinamika Yuridis, Sosial, Politik, dan Proses Penyusunan/Aplikasi Ha-kham dalam Masyarakat. Bogor Selatan: Ghalia Indonesia. hal.22. 34 ___,The Theory of Communist Foreign Policy. hal. 281 27 mengadopsi sistem sosialis di negaranya. Dijelaskan dalam paragraf terakhir pembukaannya, The socialist system of laws with Chinese characteristics is a legal foundation for socialism with Chinese characteristics to retain its nature, a legal reflection of the innovative practice of socialism with Chinese characteristics, and a legal guarantee for the prosperity of socialism with Chinese characteristics. Its establishment is an important milestone in China's development of socialist democracy and the legal system, and showcases the great achievements of reform, opening up and the socialist modernization drive.35(terjemahan bebas: sistem hukum sosialis dengan karateristik China adalah landasan humum untuk sosialisme dengan karateristik China untuk mempertahankan sifat alamiahnya, refleksi humum dari praktek inovatif sosialisme dengan karateristik China, dan jaminan hukum bagi kemakmuran sosialisme dengan karateristik China. Adanya karateristik tersebut merupakan tonggak penting dalam pembangunan demokrasi sosialis dan sistem hukum di China, dan menampilkan reformasi besar, membuka dorongan modernisasi sosialis). Dalam kutipan di atas dijelaskan bahwa Pemerintahan China membangun sebuah negara sosialis di bawah kekuasaan hukum adalah prinsip mendasar bagi Partai Komunis China untuk memimpin dan memerintah negera. Dianggap perlu untuk mewujudkan suatu sistem hukum sosialis dengan karakteristik China, sehingga ada yang dapat memastikan dalam menjalankan urusan negara dan kehidupan sosial, semua patuh pada hukum. Ini merupakan prasyarat dan landasan bagi China untuk menerapkan prinsip mendasar dari aturan hukum dalam semua hal, dan jaminan kelembagaan untuk pembangunan dan kemajuan China. 35 White Papers. The Socialist System of Laws with Chinese Charateristics. http://www.chinahumanrights.org/Messages/China/t20111028_809304_1.htm (diakses 17 Feberuari 2012) 28 Ketika Amerika Serikat secara resmi mengakui China pada tahun 1979, China diperintah oleh sebuah pemerintahan otoriter yang didominasi oleh elit istimewa yang menjalankan kontrol melalui sistem satu partai dan belum berubah sampai hari ini. China terus diperintah oleh sekelompok kecil pemimpin yang mendominasi kunci organisasi. Semua berbagi kekuasaan dalam dominasi Partai Komunis China. Deng Xiaoping, yang menjabat sebagai Ketua Komisi Militer terus menjadi pemimpin utama China. Kebebasan berbicara, pers, agama, dan HAM terus dibatasi, meskipun liberalisasi telah terjadi dalam beberapa tahun terakhir di sana. China memiliki pandangan lain mengenai HAM. Dalam International Human Rights Conventions in China dinyatakan bahwa konsep HAM harus mencakup langkah-langkah kesehatan dan kemakmuran ekonomi, serta standar ekonomi hidup. Dalam masyarakat harmonis, kesejahteraan kolektif lebih diutamakan daripada hak-hak dari setiap individu di mana ada konflik antara keduanya.36 Ada sebuah budaya konfusianisme yang telah mengakar, budaya yang mengatakan bahwa harmonisasi dan keamanan nasional akan dicapai melalui penghormatan terhadap kelompok leluhur, sehingga China menganggap HAM bukan sebagai penghormatan terhadap hak individu melainkan hak kelompok, hak bersama. 36 China Society For Human Rights Studies. International Human Rights Conventions in China. http://www.Chinahumanrights.org/CSHRS/Magazine/Text/t20080604_349282.htm (diakses pada tanggal 12 Oktober 2010) 29 Jacobsen dan Bruun,37 menekankan bahwa untuk dapat memahami HAM di Asia, maka ada empat faktor kunci yang perlu diketahui, yaitu pengruh budaya tehadap HAM, komunitarianisme, peran kebaikan umum, dan bentuk asal negara. a. HAM bersifat kontekstual dan secara spesifik ditentukan oleh latar beakang budata, sejarah, politik, dan ekonomi tertentu, diakui bahwa HAM adalah universal, tapi interpretasi terhadap arti dan metode implementasinya dipengaruhi oleh budaya. b. Budaya Asia menekankan pada komunitarianisme, dimana individu berkewajiban atau bertanggung jawab kepada keluarga dan komunitasnya. Budaya Asia menampik individualitas. Hak-hak individu dapat mengancam ketertiban sosial dan dapat menjauhkan individu untuk memenuhi peran-peran sosialnya. Perspektif komunitarian memandang bahwa ketertiban sosial dibangun atas dasar nilai-nilai bersama, komunitas dipandang sebagai sesuatu di atas individu dan individu sangat bergantung padanya. c. Untuk menciptakan masyarakat yang tertib, maka individu harus didisiplinkan. Penenuhan hak politik individu adalah persoalan kedua setelah hak-hak komunitas dan negara terpenuhi. Pembangunan akan 37 M. Jacobsen dan O Bruun. 2000. Human Rights and Asian Values: Contesing National Identities and Cultural Representations in Asia. Dikutip oleh Michael K. Connors, “Culture and Politics in the Asia Pacific: Asian Values and Human Rights” dalam Citra Hennida dan Nurul Ratna Sari. 2008. Tibet dan Permasalahan HAM di China : Jurnal Dinamika HAM. Vol.8. hal. 37. 30 menimbulkan kesejahteraan, dan dipandang sebagai sesuatu yang nyata disbanding kepatuhan terhadap hak-hak individu yang sifatnya abstrak. d. Negara mampu memerintah untuk kebaikan bersama. Negara dan masyarakat adalah satu kesatuan. Negara berfungsi untuk memajukan masyarakat diasumsikan bahwa elit negara mampu mebuat kebijakan tanpa adanya proses kebijakan publik dan kelompok kepentigan. Legitimasi pemerintah datang bukan dari konsen masyarakat, tapi datang dari pemerintahan yang efektif dan pembangunan ekonomi. Mengenai hak dan kewajiban, China memegang prinsip hukum bahwa hak dan kewajiban adalah satu kesatuan. Berdasarkan prinsip tersebut, China mengintrepretasikan bahwa hak asasi individu bisa diterima ketika berhadapan dengan kewajiban untuk mendukung kepemimpinan nasional.38 Dalam hak sipil dan politik, China menggunakan pendekatan relativisme budaya. Menurutnya, dalam penerapan standar internasional harus diperhatikan pula adanya nilai dan norma yang berlaku di masyarakat. Dalam penerapannya, perlu diperhatikan sejarah suatu bangsa, kehidupan sosial, budaya, dan bahkan realitas politik yang ada pada negara tersebut. Dalam penelitian ini, peneliti mendefinisikan HAM itu sendiri sebagai dasar kehidupan seorang individu, dasar yang menjadi pijakan setiap orang untuk berhak memikirkan, memilih, menentukan, memutuskan, dan menjalankan 38 James D.Seymour. 1994. Human Rights in China. Current History. Academic Research Library. hal. 256 dalam Citra Hennida dan Nurul Ratna Sari. 2008. Tibet dan Permasalahan HAM di China : Jurnal Dinamika HAM. Vol.8. hal. 38. 31 apapun yang diinginkan. Penerapan perlindungan atas HAM di suatu negara, tidak dapat mengesampingkan latar belakang budaya dan tatanan kehidupan sosial mereka, karena perilaku negara ditentukan oleh sejarah kehidupan bangsa masing-masing. B. Intervensi Kekuatan militer suatu negara merupakan salah satu tolak ukur kekuatan negara mereka. Negara-negara yang memiliki kekuatan militer cukup besar akan disegani. Militer sarat dengan aksi kekerasan (violent action), namun dalam interaksinya ada pula yang dikenal sebagai aksi tanpa kekerasan (nonviolent action). Membahas mengenai nonviolent action, tercakup pula nonviolent intervention. Seperti yang dijelaskan oleh G.Sharp : One final class of the methods of nonviolent action remains, that of nonviolent intervention. The forty-one methods in this class differ from those in the classes of protest and persuasion and of noncooperation in that in some way they ‘intervene’ in the situation. Such methods of intervention operate both negatively and positively: they may disrupt, and even destroy, establishes behavior patterns, policies, relationships, or institutions which are seen as objectionable; or they may establish new behavior patterns, policies, relationships, or institutions which are preferred. Some of these methods contribute primarily to the first of these results, some to the second. 39 Kutipan di atas menjelaskan bahwa nonviolent intervention berbeda dengan bentuk protes maupun sifat persuasi. Meskipun demikian, nonviolent intervention dapat memberikan dampak positif bagi yang sesuai untuk kemudian 39 Gene Sharp. 1992. The Politics of Nonviolent Action (Part Two : The Methods of Nonviolent Action. Boston: Porter Sargent Publisher. hal. 357 32 menciptakan politik baru. Sebaliknya memberikan dampak negatif bagi yang bertolak belakang sehingga dapat mengganggu bahkan menghancurkan politik yang ada. Selanjutnya ia menambahkan : Compared with the methods of the classes of protest and persuasion and of noncooperation, the methods of nonviolent intervention pose are more direct and immediate challenge.40(terjemahan bebas : Dibandingkan dengan metode kelas protes dan persuasi dan non-kooperasi, metode intervensi tanpa kekerasan menimbulkan lebih langsung dan segera tantangan) Istilah intervensi mempunyai batasan sebagai suatu kegiatan yang dilakukan oleh suatu negara, atau suatu organisasi internasional yang mencampuri secara paksa urusan dalam negeri negara lain.41 Adapun alasan suatu negara untuk melakukan intervensi, yaitu : 1. Hak untuk mempertahankan diri, yang dimungkinkan oleh Artikel 51 Piagam PBB. 2. Diundang oleh rezim (pemerintah) yang berkuasa di negara itu untuk menghadapi perlawanan di dalam negeri.42 Intervensi kemudian dipahami secara lebih luas, melingkupi tindakan protes suatu negara terhadap tindakan negara lain. Kebanyakan protes pada tingkat negara berupa pernyataan kenegaraan dari representatif negara tersebut. 40 Gene Sharp. Ibid., hal. 357 John Baylis dan Steve Smith. 1999. The Globalization of World Politics: An Introduction to International Relations. UK: Oxford University Press. Hal. 395. dalam Anak Agung Banyu Perwita dan Yayan Mochamad Yani. 2005. Pengantar Ilmu Hubungan Internasional. Bandung: PT Remaja Rosdakarya Offset. 42 K.J. Holsty, 1988. International Politics: A Framework for Analysis. New Jersey: Prentice Hall, hal. 352. dalam Anak Agung Banyu Perwita dan Yayan Mochamad Yani. 2005. Pengantar Ilmu Hubungan Internasional. Bandung: PT Remaja Rosdakarya Offset. 41 33 Lebih nyata lagi, lebih sering negara menjadikannya sebagai politik luar negeri yang terfokus untuk satu negara saja. Hal ini terjadi karena suatu negara menganggap perilaku negara lain dapat mempengaruhi negaranya, baik secara langsung maupun tidak langsung. Adapun intervensi dispesifikkan menjadi beberapa macam, bergantung pada alasan atau tujuan dari intervensi tersebut. Salah satunya adalah intervensi kemanusiaan (human intervention). Menurut Holzgrefe human intervention, yaitu : The treat or use of force by a state (or group of states) aimed at preventing or ending widespread and grave violations of the fundamental human rights of individuals other than its own citizens, without the permission of the state within whose territory force applied43 Melalui definisi ini dijelaskan bahwa intervensi kemanusiaan adalah perlakuan oleh suatu negara terhadap masalah dalam negeri suatu negara lain tanpa izin dari negara tersebut dengan alasan HAM yang dimiliki oleh tiap individu. Ada kemungkinan bahwa intervensi jenis ini yang dipilih AS saat berusaha mencampuri masalah Tibet. Intervensi kemanusiaan terkesan lebih menunjukkan kepedulian terhadap HAM. Inilah yang dapat menjadikan tanggapan China ke AS lebih buruk. 43 J.L. Holzgrefe dan Robert O. Keohane. 2003. Humanitarian Intervention: Ethical, Legal, and Political Dilemmas. Cambridge: Cambridge University Press, hal.279. dalam Anak Agung Banyu Perwita dan Yayan Mochamad Yani. 2005. Pengantar Ilmu Hubungan Internasional. Bandung: PT Remaja Rosdakarya Offset. 34 C. Konflik dan Resolusi Konflik Individu sebagai makhluk sosial membutuhkan interaksi satu sama lain. Setiap interaksi terdapat kepentingan-kepentingan yang harus dicapai. Dalam proses pencapaian tujuan tersebut, ada langkah-langkah yang dipilih. Pilihan setiap individu berbeda. Hal ini dikarenakan latar belakang mereka menjadi pertimbangan saat mereka memilih. Latar belakang tersebut, berbeda secara wajar. Perbedaan itu kemudian menimbulkan konflik di antara keduanya. Konteks hubungan internasional, dengan negara sebagai aktornya, konflik pun terjadi. Interaksi antar negara akan membuat mereka mengemukakan berbagai pendapat dan menentukan berbagai pilihan yang berbeda-beda, termasuk dalam permasalah HAM. Perbedaan pandangan atas definisi HAM antara China dan AS menimbulkan konflik di antara keduanya. Menurut Burton, conflict is interpreted in the context of a serious nature of challenges to the existing norms, relationships, and rules of decision making44 (terjemahan bebas : konflik ditafsirkan dalam konteks yang bersifat pertentangan dengan norma yang ada, hubungan, dan aturan pengambilan keputusan). Sesuai dengan definisi konflik itu sendiri ialah pertentangan atau perbedaan antara dua atau lebih perspektif atau sudut pandang. Konflik dapat terjadi karena adanya faktor pendorong dari berbagai sisi, antara lain ekonomi, 44 J. W. Burton and Dukes, F. (1990) Conflict: Practices in Management, Settlement and Resolution. New York: St. Martin’s Press. dalam Ho Won Jeong. 2008. Understanding Conflict and Conflict Analysis. London: SAGE Publication. hal. 6. 35 politik, agama, sosial, budaya, lingkungan, hingga keterkaitan antar satu dengan yang lain hingga menjadikan konflik begitu kompleks. Lain halnya dengan Dialektika Hegel, konflik dikatakan sebagai pertentangan antara tesis, antitesis, dan sintesis yang membentuk siklus tak berujung. Tesis merupakan suatu ide, ide ini belum mencapai kesempurnaan sehingga menimbulkan antitesis. Sebagai hasil dari pertentangan di antara keduanya, maka lahirlah sintesis yang kemudian menjadi tesis baru. Tesis baru akan menghasilkan antitesis baru pula, dan seterusnya. Siklus ini hanya akan terhenti jika ditemukan tesis (ide) baru yang absolute, tanpa kekurangan.45 Ada pula teori fase. Teori ini menjabarkan bahwa terjadinya interaksi konflik melalui fase-fase dengan pola tertentu dan dalam kurun waktu tertentu. Diyakini bahwa konflik memiliki alur tententu hingga mencapai fase penyelesaiannya. Salah satu fase konflik dijelaskan oleh Donald Rothchild dan Chandra Lekha Sriram46 bahwa konflik melalui empat fase, yaitu : 1. Fase potensi konflik, konflik telah terjadi tetapi masih dalam level intensitas yang rendah. 2. Fase pertumbuhan, isu yang dipertentangkan kian meruncing. Perpecahan dalm kelompok meningkat dan kemungkinan terjadinya tindak kekerasan makin tinggi. Namun, pada fase ini hubungan antar elit masih terjadi dan isu yang dipertentangkan masih bisa dirundingkan. 45 Wirawan. 2010. Konflik dan Manajemen Konflik (Teori, Aplikasi, dan Penelitian). Jakarta : Salemba Humanika. hal.16 46 Ibid. hal.38 36 3. Fase pemicu dan eskalasi. Pada fase ini kepercayaan antar kelompok yang bertikai telah hilang, tak ada lagi kompromi. Sehingga tindak kekerasan pun kian meningkat. Dalam tahapan ini, hubungan antar elit terputus. 4. Fase pasca konflik terbagi dua, yaitu fase pengembangan militer (gencatan senjata) atau fase pengembangan institusi (rekonstruksi sosial, politik, dan ekonomi untuk kembali membina hubungan) Adapun sumber-sumber konflik yang dikemukakan oleh W. Jones47, antara lain : 1) ketimpangan kekuasaan, 2) transisi kekuasaan, 3) nasionalisme, separatism, dan iredentisme, 4) darwinisme sosial internasional, 5) kegagalan komunikasi akibat kekeliruan presepsi dan dilema keamaan, 6) kegagalan komunikasi akibat ironi atau kesalahan teknis, 7) perlombaan senjata, 8) kekompakan internal melalui konflik eksternal, 9) konflik internasional akibat perselisihan internal, 10) kerugian relatif, 11) naluri agresi, 12) rangsangan ekonomi dan ilmiah, 13) kompleks industri militier, 14) pembatasan penduduk, 15) penyelesaian konflik melalui kekerasan. Berbagai teori yang diungkapkan mengenai konflik, intisarinya tetap mengacu pada perbedaan. Dalam penelitian kali ini perbedaan yang menciptakan konflik antara AS dan China lebih kepada ideologi, sehingga disebut sebagai konflik ideologi. Perbedaan atau pertentangan ideologi mengawali persaingan antar negara, pada dekade berikutnya telah melahirkan persaingan dalam bidang lain, seperti teknologi dan ekonomi. Setiap perbedaan selalu diusahakan mendapatkan kesepakatan sebagai jalan keluarnya. Setiap konflik pun butuh resolusi konflik sebagai bentuk dari 47 Walter S. Jones. 1993. Logika Hubungan Internasional 2. Jakarta: Gramedia. hal. 179 37 penyelesaiannya. Resolusi konflik yang tercantum dalam Paris Treaty 1928, dapat melalui jalur diplomatik dan jalur hukum. Jalur diplomatik terdiri dari negosiasi, pencarian fakta, jasa-jasa baik, mediasi dan konsiliasi. Sedangkan jalur hukum terdiri dari arbitrase dan pengadilan internasional. Sebelum akhirnya sampai kepada hasil dari resolusi konflik, ada pula tahapan yang dilalui untuk mencapai damai, yaitu peace keeping, peace making, dan peace building. Peace keeping merupakan proses menghentikan atau mengurangi aksi kekerasan melalui intervensi militer yang menjalankan perang sebagai penjaga perdamaian yang netral. Peace making merupakan proses yang bertujuan mempertemukan sikap politik dan strategis dari pihak-pihak yang bertikai melalui mediasi, negosiasi, arbitrase terutama pada level elit (pemimpin). Peace building adalah proses implementasi perubahan atau rekonstruksi sosial, politik, dan ekonomi, demi tercapainya perdamaian.48 Kembali kepada resolusi konflik. Resolusi konflik tidak berjalan sendiri, butuh mekanisme yang berjalan. Salah satunya dapat dikaji dari skema berikut : 48 Yulius P. Hermawan. 2007. Transformasi dalam Studi Hubungan Internasional. Yogyakarta: Graha Ilmu. hal.93 38 Resolusi Konflik (Conflict Resolution) Mengatur Sendiri (Self Regulation) Pengadilan (Court Process) Intervensi Pihak Ketiga (Third Party Intervention) Proses Administrasi (Administration Process) Mediasi (Mediation) Resolusi Perselisihan Alternatif (Alternative Despute Resolution) Arbitrase (Arbitration) Ombudsman Sumber : Wirawan (2010 : 177) Berdasarkan gambaran skema di atas, resolusi konflik terbagi atas dua, yaitu pertama, mengatur sendiri atau diselesaikan oleh pihak berkonflik secara mandiri. Kedua, dengan adanya intervensi pihak ketiga atau adanya campur tangan pihak yang tidak berkonflik dan diupayakan bersifat netral. D. Hubungan Bilateral Setiap individu memiliki kepentingan. Ketika kumpulan individu berkumpul, maka mereka akan berupaya menyelaraskan kepentingan mereka. Sama halnya dengan kumpulan individu yang tergabung dalam institusi pemerintahan. Mereka memiliki kepentingan atas nama negara, atau dengan kata lain menjadi kepentingan negara. Pada dasarnya, suatu kepentingan berasal dari keinginan untuk lebih baik atau karena membutuhkan sesuatu yang tidak 39 dimiliki. Dalam pencapaiannya, negara pun membutuhkan negara lain, sehingga terciptalah interaksi di antara mereka. Pada tingkatan negara interaksi yang membentuk hubungan antara dua negara disebut sebagai hubungan bilateral. Hubungan internasional adalah interaksi yang melintasi batas negara. Namun, tidak semua interaksi dalam hubungan internasional dapat dikatakan sebagai hubungan bilateral. D. Krisna menyatakan bahwa: “hubungan bilateral adalah keadaan yang menggambarkan adanya hubungan saling mempengaruhi atau terjadi hubungan timbal balik antara kedua pihak”49. Dalam pernyataan tersebut hubungan dijelaskan sebagai hal yang memiliki latar belakang atau alasan untuk dilakukan. Kata timbal balik menekankan pada adanya aksi reaksi dalam hubungan bilateral. Dalam konteks negara, jika ada suatu hal yang diputuskan satu negara dan mempengaruhi negaranya, maka ada respon. Yang dapat merespon, hanya yang memiliki hubungan bilateral dengan negara tersebut. B. Kusumohadimidjojo menyatakan bahwa: “hubungan bilateral adalah suatu bentuk kerja sama di antara kedua negara baik yang berdekatan secara geografis ataupun yang jauh di seberang lautan dengan sasaran utama untuk menciptakan perdamaian dengan memperhatikan keamanan politik, kebudayaan, dan struktur ekonomi”.50 Pernyataan di atas lebih menekankan bahwa semua negara dapat menjalin hubungan bilateral. Tidak menjadikan letak sebagai faktor utama bahkan 49 Didi Krisna. 1993. Kamus Politik Internasional. Jakarta: Grasindo. hal. 18 Budiono Kusumohamidjojo. 1987. Hubungan Internasional: Kerangka Studi Analisis. Jakarta: Bina Cipta. hal. 95 50 40 penghambat. Namun, lebih kepada kondisi politik, ekonomi, dan budaya suatu negara. Jika ada yang dibutuhkan dari negara tersebut, maka akan terjalin hubungan bilateral. Meskipun demikian, terdapat beberapa variabel yang mesti dipertimbangkan dalam pelaksanaan hubungan bilateral. Holsty51 memaparkan variabel tersebut sebagai berikut: 1. Kualitas dan kuantitas kapabilitas yang dimiliki suatu negara. 2. Keterampilan mengarahkan kapabilitas tersebut untuk mendukung berbagai tujuan. 3. Kredibilitas ancaman serta gangguan. 4. Derajat kebutuhan dan ketergantungan. 5. Responsivitas di kalangan pembuat kebijakan. Dengan adanya beberapa variabel di atas, makin mempertegas bahwa hubungan bilateral terjalin karena kepentingan yang ingin dicapai. Suatu interaksi dapat dikatakan sebagai hubungan bilateral jika telah ada perjanjian antara kedua negara untuk bekerja sama dalam berbagai bidang, baik politik, ekonomi, sosial budaya, dan pertahanan keamanan. Adapun bentuk-bentuk kerja sama tentu dibentuk berdasarkan pada kepentingan kedua negara. Secara ideal, kerja sama harus bersifat saling menguntungkan untuk kedua pihak. Pencapaian kepentingan kedua negara, baik berupa pengembangan cita-cita negara, tujuan nasional, maupun realisasi politik 51 K. J. Holsty. 1998. Politik Internasional: Kerangka untuk Analisis, terj. M. Tahir Azhary. Jakarta: Erlangga. hal. 22 41 luar negeri suatu negara, diusahakan dapat diselaraskan. Ketika tidak dapat diselaraskan, maka hubungan bilateral dapat terganggu atau bahkan terputus. Oleh karena itu, hubungan AS dan China telah sesuai dengan tujuan dari dilakukannya hubungan bilateral itu sendiri, yaitu pencapaian kepentingan masing-masing negara, demi terwujudnya perdamaian dunia, keamanan, dan stabilitas ekonomi. E. Kebijakan Luar Negeri Amerika Serikat terhadap Hak Asasi Manusia Strategi perluasan demokrasi selalu menjadi tema utama politik luar negeri AS.52 Kebijakan demokrasi yang pada hakekatnya merupakan pelaksanaan dari tradisi misionaris bangsa Amerika ini mengandung tujuan yang lebih luas, yakni mempertahankan kebebasan melawan kecendrungan tirani yang tidak saja hanya berlaku bagi setiap anggota masyarakat. AS sebagai negara demokratis terkuat paling bertanggung jawab untuk memainkan suatu peran kepemimpinan untuk menjamin ditaatinya ketertiban, serta terciptanya keamanan dan perdamaian dunia. Selama lebih dari tiga dekade, pemerintah AS telah memproyeksikan HAM sebagai bagian penting dari kebijakan luar negeri mereka. Dua presiden pada khususnya, dari Partai Demokrat, Jimmy Carter dan dari Partai Republik George W. Bush, menjadikan HAM sebagai tujuan-tujuan kebijakan luar negeri mereka, meskipun keduanya dituduh hanya berada pada tataran pemikiran saja. 52 Richard C. Schroeder. 1989. Garis Besar Pemerintahan Amerika Serikat. US Department of State: Office of International Information Programs. hal.1 42 Carter mengatakan dalam sebuah pidato Juni 1977 di University of Notre Dame bahwa komitmen terhadap HAM adalah "prinsip dasar" kebijakan luar negeri AS. Dia berkata: "Sudah terlalu bertahun-tahun, kami telah bersedia untuk mengadopsi prinsip-prinsip negatif dan taktik musuh kita, kadang-kadang meninggalkan nilai-nilai kita sendiri untuk mereka." Meskipun demikian, kekhawatiran Perang Dingin AS terus sejalan dengan diktator dan rezim militer di Filipina, Zaire (sekarang Republik Demokratik Kongo), Pakistan, dan negaranegara lain di seluruh masa jabatannya. Sedangkan Bush, mendapat tekanan besar, apalagi ketika ia memilih “kebebasan” sebagai agenda diperiode kedua kepemimpinannya, di mana ia mengatakan tujuan dari kebijakan AS adalah "mengakhiri tirani di dunia kita". Beberapa ahli mengamati meningkatnya perhatian terhadap HAM dalam kebijakan luar negeri AS untuk akhir Perang Dunia II, merupakan respon terhadap trauma yang disebabkan oleh konflik massal dan genosida Nazi. Keamanan dan HAM menyokong berdirinya PBB baru, sebagian besar direkayasa oleh AS sekaligus dianggap sebagai juara dari Universal Declaration of Human Rights, yang diadopsi oleh Majelis Umum PBB pada tahun 1948, yang dibilang untuk pertama kalinya dalam dokumen internasional sebagai elemen fundamental dari martabat manusia dan kebebasan palsu kekhawatiran tentang kedaulatan nasional. Tujuan utama Kebijakan Luar Negeri AS adalah mempromosikan penghormatan terhadap HAM, sebagaimana yang terpaparkan dalam Universal 43 Declaration of Human Rights. AS memahami bahwa keberadaan HAM membantu mengamankan perdamaian, mencegah agresi, mempromosikan aturan hukum, memerangi kejahatan dan korupsi, memperkuat demokrasi, dan mencegah krisis kemanusiaan. Karena promosi HAM telah menjadi kepentingan nasional, maka AS berusaha untuk53: 1. bertanggung jawab kepada kewajiban mereka menurut norma-norma yang berlaku dalam HAM secara universal dan instrumen internasional HAM; 2. mempromosikan penghormatan terhadap HAM, termasuk kebebasan dari penyiksaan, kebebasan berekspresi, kebebasan pers, hak perempuan, hak-hak anak, dan perlindungan kaum minoritas; 3. mempromosikan aturan hukum, mencari akuntabilitas, dan mengubah budaya impunitas; 4. membantu upaya untuk mereformasi dan memperkuat kapasitas kelembagaan dari Kantor Komisaris Tinggi PBB untuk HAM dan Komisi HAM PBB, dan 5. Mengkoordinasikan kegiatan-kegiatan HAM dengan sekutu penting, termasuk Uni Eropa, dan organisasi regional. AS membentuk Bureau of Democracy, Human Rights, and Labor (BDHRL) ditahun 1993 dan masih dipertahankan hingga sekarang sebagai instrumen pemerintahan yang fokus terhadap HAM. Dalam BDHRL berlaku tiga prinsip kunci untuk bekerja pada HAM.54 Pertama, BDHRL berusaha untuk 53 54 Human Rights. U.S Departement of State. http://www.state.gov/j/drl/hr/index.htm (diakses 12 Januari 2012) Ibid., (diakses 12 Januari 2012) 44 belajar kebenaran dan fakta suatu negara dalam semua penyelidikan HAM, laporan kondisi negara, pidato dan suara di PBB, dan profil suaka. Setiap tahun, BDHRL mengembangkan, mengedit, dan menyampaikan kepada Kongres, laporan 5.000 halaman tentang kondisi HAM dari lebih 190 negara yang dihormati secara global untuk objektivitas dan akurasi. BDHRL juga menyediakan informasi yang relevan pada kondisi negara kepada instrumen pemerintah AS yang mengurusi imigrasi dan naturalisasi. Kedua, BDHRL mengambil posisi yang konsisten tentang pelanggaran masa lalu, sekarang, dan masa depan. Berkenaan dengan pelanggaran masa lalu, juga mempromosikan akuntabilitas. Untuk menghentikan berlangsungnya pelanggaran HAM, biro ini menggunakan pendekatan inside-outside, di mana faktor internal dan eksternal menjadi pertimbangan pada masalah HAM (termasuk kemungkinan sanksi) dengan dukungan sama kuat untuk reformasi internal. Untuk mencegah pelecehan dimasa depan, sehingga mempromosikan peringatan dini dan diplomasi preventif. Setiap tahun BDHRL memastikan bahwa pertimbangan HAM yang dimasukkan ke dalam pelatihan militer AS dan program bantuan keamanan, mempromosikan hak-hak perempuan melalui kampanye internasional untuk partisipasi politik dan kesetaraan penuh, melakukan dialog tingkat tinggi HAM dengan pemerintah lain, koordinat kebijakan AS terhadap manusia hak dengan sekutu, dan menimbulkan isu-isu kunci dan kasus melalui saluran diplomatik dan publik. 45 Ketiga, BDHRL menempa dan memelihara kemitraan dengan organisasi, pemerintah, dan lembaga multilateral yang berkomitmen untuk HAM. Biro ini mengambil keuntungan dari forum-forum multilateral untuk menarik perhatian internasional pada masalah HAM dan untuk mencari perbaikan. Setiap tahun, BDHRL menyediakan dukungan signifikan teknis, keuangan, atau staf untuk Delegasi AS untuk pertemuan tahunan beberapa organisasi internasional HAM, melakukan konsultasi rutin dengan suku-suku asli Amerika dan berfungsi sebagai penasihat utama dalam isu-isu hak masyarakat adat, mempertahankan hubungan dengan Komisaris Tinggi PBB untuk HAM, dan mendukung penciptaan efektif mekanisme multilateral HAM dan lembaga untuk akuntabilitas. Pendirian lembaga khusus oleh AS, memperlihatkan keseriusan mereka dalam mempromosikan HAM kepada dunia. Kepedulian ini sebenarnya menjadi latar belakang dan alasan AS melakukan tindakan-tindakan represif dan intervensi terhadap masalah HAM negara lain. Disamping itu, kekuatan nasional yang dimiliki AS sebagai salah satu negara pertama yang terbentuk di dunia, menjadikan mereka memiliki kekuatan pula dalam upaya pencapaian kepentingan nasional mereka, terkhusus pada masalah HAM. 46