TEORI FITOREMEDIASI OLEH TUMBUHAN AIR Disbatraksikan oleh Smno.jursntnhfpub.2014 . Fitoremediasi (dari bahasa Yunani kuno “phyto”, yang berarti "tumbuhan", dan bahasa Latin “remedium”, yang berarti “memulihkan kembali keseimbangan") , menggambarkan pengolahan masalah lingkungan (bioremediasi) melalui penggunaan tumbuhan yang mampu menyembuhkan masalah lingkungan tanpa perlu menggali kontaminan dan membuangnya ke tempat lain. Fitoremediasi terdiri dari mitigasi konsentrasi pencemar dalam tanah yang terkontaminasi, air, atau udara, dengan tumbuhan yang mampu mengandung, mendegradasi, atau mengeliminasi logam, pestisida, zat pelarut, bahan peledak, minyak mentah dan turunannya, serta berbagai kontaminan lainnya dari media yang mengandungnya. . Fitoremediasi dapat diterapkan dimanapun dalam tanah atau lingkungan akuatik yang statis yang telah tercemar atau menderita polusi kronis. Contoh dimana fitoremediasi telah berhasil digunakan meliputi restorasi lahan bekas tambang, mengurangi dampak kontaminan dalam tanah, air, atau udara. Kontaminan seperti logam, pestisida, pelarut, bahan peledak, dan minyak mentah dan turunannya, telah dimitigasi dalam proyek-proyek fitoremediasi di seluruh dunia. Banyak tumbuhan seperti sawi, alpine pennycress, rami, dan pigweed telah terbukti berhasil hiperakumulasi kontaminan di lokasi limbah beracun. . Keuntungan Fitoremediasi : 1. Biaya fitoremediasi lebih rendah dibandingkan dengan proses tradisional lainnya, baik in situ maupun ex situ 2. Tumbuhan dapat dengan mudah dipelihara dan dipantau 3. Kemungkinan daur-ulang dan penggunaan kembali logam berharga (oleh perusahaan yang mengkhususkan diri dalam "pertambangan fito“) 4. Metode ini tidak berbahaya karena menggunakan organisme alami dan mempertahankan lingkungan dalam keadaan lebih alami. Keterbatasan Fitoremediasi: 1. Fitoremediasi terbatas pada luas permukaan dan kedalaman yang diduduki oleh akar tumbuhan. 2. Pertumbuhan yang lambat dan biomassa yang rendah memerlukan komitmen jangka panjang 3. Dengan sistem berbasis tanaman remediasi, hal itu tidak mungkin untuk benar-benar mencegah pencucian kontaminan ke air tanah (tanpa penghapusan secara lengkap tanah yang terkontaminasi, Rupassara, S. I., R.A.Larson, G.K.Sims dan K.A.Marley. 2002. Degradation of Atrazine by Hornwort in Aquatic Systems. Bioremediation Journal , 6 (3): 217–224. Berbagai proses fitoremediasi. Berbagai proses yang dimediasi oleh tumbuhan atau ganggang dapat berguna untuk mengelola masalah lingkungan: 1. Fito-ekstraksi - serapan dan konsentrasi zat dari lingkungan ke dalam biomassa tanaman. 2. Fito-stabilisasi - mengurangi mobilitas zat dalam lingkungan, misalnya, dengan membatasi pencucian zat tersebut dari tanah. 3. Fito-transformasi - modifikasi kimiawi zat dalam lingkungan sebagai akibat langsung dari metabolisme oleh tumbuhan, seringkali mengakibatkan inaktivasinya, degradasi (fito-degradasi), atau imobilisasi (fito-stabilisasi). 4. Fito-stimulasi - peningkatan aktivitas mikroba tanah untuk degradasi kontaminan, biasanya oleh organisme yang berasosiasi dengan akar. Proses ini juga dikenal sebagai degradasi rizosfer. Fito-stimulasi juga dapat melibatkan tumbuhan air yang mendukung populasi aktif mikroba perombak, seperti dalam stimulasi degradasi atrazin oleh tumbuhan .3.. Marchiol, L., G.Fellet, D.Perosa dan G. Zerbi. 2007. Removal of trace metals by Sorghum bicolor and Helianthus annuus in a site polluted by industrial wastes: A field experience. Plant Physiology and Biochemistry, 45 (5): 379–387. 4.. Wang, J., F.J.Zhao, A.A.Meharg, A. Raab, J.Feldmann dan S.P.McGrath. 2002. Mechanisms of Arsenic Hyperaccumulation in Pteris vittata. Uptake Kinetics, Interactions with Phosphate, and Arsenic Speciation. Plant Physiology , 130 (3): 1552–1561. Fito-ekstraksi (atau fito-akumulasi) menggunakan tumbuhan atau ganggang untuk menyerap kontaminan dari tanah, sedimen atau air, ke dalam biomassa tumbuhan yang dipanen (organisme yang mampu menyerap jumlah yang lebih besar dari jumlah kontaminan normal dari tanah disebut hiperakumulator). Fito-ekstraksi telah berkembang pesat popularitasnya di seluruh dunia selama dua puluh tahun terakhir ini. Secara umum, proses ini telah sering dicoba untuk mengekstraksi logam berat. Pada saat penyerapannya, kontaminan ini biasanya terkonsentrasi dalam volume yang lebih kecil dari biomasa tumbuhan daripada volume tanah atau sedimen yang terkontaminasi. ‘Penambangan dengan tumbuhan', atau “phytomining”, juga sedang bereksperimen dengan cara: Tanaman menyerap kontaminan melalui sistem akarnya dan menyimpannya Mendez,M.O. dan R.M.Maier. 2008. Phytostabilization of Mine Tailings in Arid and Semiarid Environments—An Emerging Remediation Technology. Environ. Health Perspect., 116 (3): 278–83 Fitostabilisasi. Fitostabilisasi berfokus pada stabilisasi dan penahanan polutan jangka panjang. Misalnya, keberadaan tumbuhan dapat mengurangi erosi angin; atau akar tumbuhan dapat mencegah erosi tanah, imobilisasi polutan dengan cara adsorpsi atau akumulasi, dan menyediakan zona sekitar akar dimana polutan dapat mengendap dan menjadi stabil. Tidak seperti fitoekstraksi, fitostabilisasi berfokus terutama pada eksekusi polutan dalam tanah di sekitar akar , tetapi tidak dalam jaringan tumbuhan. Polutan menjadi kurang “bioavailable”, sehingga mengurangi paparan ternak, satwa liar, dan manusia. Contoh aplikasi semacam ini adalah penggunaan topi vegetatif untuk menstabilkan tailing tambang (Mendez dan Maier, 2008). Burken, J.G. 2004. Uptake and Metabolism of Organic Compounds: Green-Liver Model, in McCutcheon, S.C.; J.L. Schnoor, Phytoremediation: Transformation and Control of Contaminants. A Wiley-Interscience Series of Texts and Monographs, Hoboken, NJ: John Wiley, p. 59. Fitotransformasi Dalam kasus polutan organik, seperti pestisida, bahan peledak, zat pelarut, bahan kimia industri, dan zat xenobiotik lainnya, tumbuhan tertentu, seperti Cannas, dapat melakukan metabolisme menghasilkan zat-zat non-toksik (detiksifikasi). Dalam kasus lain, mikroorganisme yang hidup dalam hubungannya dengan akar tumbuhan dapat memetabolisme bahan toksik ini yang ada di dalam tanah atau air. Senyawa kompleks dan “resisten” tidak dapat dipecah menjadi molekul dasar (air, karbon dioksida, dll.) oleh molekul tanaman, sehingga istilah “fito-transformasi” mencerminkan perubahan struktur kimia tanpa mendegradasi secara lengkap molekul senyawa tersebut. Istilah “Green Liver Model" digunakan untuk menggambarkan fitotransformasi, karena tumbuhan berperilaku analog seperti liver manusia ketika berhadapan dengan senyawa xenobiotik (senyawa asing / polutan) (Burken, 2004). Setelah penyerapan xenobiotik, enzim tumbuhan meningkatkan polaritas xenobiotik dengan menambahkan gugus fungsional Baker, A.J.M. dan R.R.Brooks. 1989. Terrestrial higher plants which hyperaccumulate metallic elements – A review of their distribution, ecology and phytochemistry. Biorecovery , 1 (2): 81–126. Hiperakumulator dan Interaksi Biotik Suatu tumbuhan dikatakan hiperakumulator jika ia dapat mengkonsentrasikan polutan dalam persentase minimum yang bervariasi sesuai dengan polutan yang terlibat (misalnya: lebih dari 1000 mg / kg berat kering untuk Nikel, tembaga, kobalt, kromium , atau lebih dari 10.000 mg / kg untuk seng atau mangan) (Baker dan Brooks. 1989). Kapasitas untuk akumulasi ini disebabkan hipertoleransi, atau fito-toleransi : hasil evolusi adaptatif dari tumbuhan terhadap kondisi lingkungan yang “tidak bersahabat” melalui banyak generasi. Sejumlah interaksi dapat dipengaruhi oleh hiperakumulasi logam, termasuk perlindungan, interferensi dengan tumbuhan tetangga yang berbeda spesiesnya, mutualisme (termasuk mikoriza, penyebaran serbuk sari dan biji), komensalisme, dan biofilm. 1. 2. 3. Burken, J., D.Vroblesky dan J.C. Balouet. 2011. Phytoforensics, Dendrochemistry, and Phytoscreening: New Green Tools for Delineating Contaminants from Past and Present", Environmental Science & Technology, 45 (15): 6218–6226. Sorek, A., N. Atzmon, O. Dahan, Z.Gerstl, L.Kushisin, Y. Laor, U.Mingelgrin, A.Nasser, D.Ronen, L.Tsechansky, N.Weisbrod dan E.R.Graber. 2008. Phytoscreening: The Use of Trees for Discovering Subsurface Contamination by VOCs. Environmental Science & Technology , 42 (2): 536–542. Vroblesky, D., C.Nietch dan J.Morris. 1998. Chlorinated Ethenes from Groundwater in Tree Trunks. Environmental Science & Technology, 33 (3): 510–515.. Fito-skreening Tumbuhan dapat mentranslokasikan dan mengakumulasikan jenis-jenis kontaminan tertnetu, sehingga dapat digunakan sebagai biosensor kontaminasi bawah-permukaan, dan memungkinkan peneliti untuk melacak keberadaan kontaminan (Sorek et al., 2008; Burken, Vroblesky dan Balouet, 2011) . Zat pelarut ber-khlor, seperti trichloroethylene, telah diamati pada pangkal batang pada konsentrasi yang berhubungan dengan konsentrasinya dalam air tanah (Vroblesky, Nietch dan Morris, 1998). Untuk memudahkan pelaksanaan phytoscreening, metode standar telah dikembangkan untuk mengekstrak pokok batang guna analisis laboratorium lebih lanjut, seringkali dengan menggunakan “penggerek –borer”. Fito-skreening dapat mendorong investigasi situs lebih dioptimalkan dan mengurangi biaya pembersihan lokasi yang terkontaminasi. Rascio, N. dan N.I.Flavia. 2011. Heavy metal hyperaccumulating plants: How and why do they do it? And what makes them so interesting?. Plant Science, 180 (2): 169–181. Hossner, L.R., R.H.Loeppert, R.J.Newton dan P.J.Szaniszlo. 1998. Literature review: Phytoaccumulation of chromium, uranium, and plutonium in plant systems. Amarillo National Resource Center for Plutonium, TX (United States) Technical Report. Sarma, H. 2011. Metal hyperaccumuulation in plants: A Review focusing on phytoremediation technology. Journal of Environmental Science and Technology, 4 (2): 118–138. Hiperakumulator adalah tumbuhan yang mampu tumbuh pada tanah dengan konsentrasi logam (kontaminan) yang sangat tinggi, menyerap logam ini melalui akarnya, dan berkonsentrasi sangat tinggi logamini dalam jaringan tubuhnya (Rascio dan Flavia, 2011). Logam terkonsentrasi pada tingkat yang beracun bagi spesies yang tidak “beradaptasi” tumbuh pada tanah yang kaya kontaminan logam. Dibandingkan dengan spesies nonhiperaccumulator, akar tumbuhan hiperakumulator ini mampu mengekstrak logam dari tanah pada tingkat yang lebih tinggi, mentransfer logam lebih cepat ke batang dan daunnya, dan menyimpan sejumlah besar logam kontaminan dalam daun dan akarnya (Hossner, et al., 1998). Kemampuan untuk hiperakumulasi logam beracun ini dibandingkan spesies tetangga dekatnya ternyata disebabkan oleh perbedaan ekspresi gen dan perbedaan regulasi gen yang sama (Rascio dan Flavia, 2011). Lebih dari 500 spesies .7.. Norman, N.C. 1998. Chemistry of Arsenic, Antimony and Bismuth. Springer. p. 50. 14.. Ctirad, U. 2001. Chapter 5 Skutterudites: Prospective novel thermoelectrics. Recent Trends in Thermoelectric Materials Research I. Semiconductors and Semimetals, 69. p. 139. Arsenik mirip dengan fosfor yang menempati grup sama (kolom) dalam Tabel Periodik Unsur Kimia. Arsenik jarang diamati dalam kondisi pentavalent, namun bilangan oksidasi yang paling umum untuk arsen adalah -3 pada arsenides, seperti senyawa logam-campur intermetalik; dan +3 pada arsenite, dan senyawa organo-arsenik. Arsenik juga mudah untuk mengikat dirinya sendiri seperti yang terlihat pada ion As3-4 dalam mineral skutterudite (Ctirad, 2001). Dalam keadaan oksidasi +3, arsenik biasanya berbentuk piramida karena pengaruh pasangan elektron (Norman, 1998). Arsenik membentuk substansi tidak berwarna, tidak berbau, kristalin oksida As2O3 ("arsenik putih") dan As2O5 yang higroskopis dan mudah larut dalam air dan membentuk larutan yang bersifat masam. Asam Arsenik (V) adalah asam lemah. Garamnya disebut arsenates yang merupakan dasar dari kontaminasi arsenik dalam air-tanah, hal ini mempengaruhi banyak orang. Arsenates sintetis termasuk Paris Hijau (tembaga(II) acetoarsenite), kalsium Pearce, F. 2006. When the Rivers Run Dry: Journeys Into the Heart of the World's Water Crisis. Toronto: Key Porter. ISBN 978-1-55263-741-8. Dopp, E., A.D.Kligerman dan R.A.Diaz-Bone. 2010. Organo arsenicals. Uptake, Metabolism, and Toxicity. Royal Society of Chemistry. ISBN 978-1-84973-082-2. Biokimia arsenik mengacu pada proses-proses biokimia yang dapat menggunakan arsenik atau senyawanya, seperti arsenat. Arsenik adalah elemen yang cukup melimpah di kerak bumi, dan meskipun banyak senyawa arsenik dianggap sangat beracun, berbagai senyawa organoarsenik diproduksi secara biologis dan berbagai senyawa arsen organik dan anorganik dimetabolisme oleh berbagai organisme. Pola seperti ini juga dialami oleh unsur-unsur terkait lainnya, termasuk selenium, yang dapat menunjukkan efek menguntungkan dan merugikan. Biokimia arsenik telah menjadi topik penting karena banyak senyawa arsenik yang beracun dan ditemukan di beberapa akuifer (Pearce, 2006), berpotensi mempengaruhi jutaan orang melalui proses-proses biokimianya (Dopp, Kligerman dan DiazBone, 2010). 13.. Sakurai, T. 2003. Biomethylation of Arsenic is Essentially Detoxicating Event. Journal of Health Science , 49 (3): 171–178. Biometilasi Arsenik Arsenik anorganik dan senyawanya, setelah memasuki rantai makanan, secara progresif dimetabolisme (detoksifikasi) melalui proses metilasi (Sakurai, 2003). Metilasi terjadi melalui reaksi metilasi reduktif dan metilasi oksidatif, yaitu reduksi arsen pentavalent menjadi arsen trivalent diikuti dengan penambahan gugus metil (CH3). Pada mamalia, metilasi terjadi dalam liver oleh ensim methyltransferase, produknya adalah (CH3) 2AsOH (asam dimetil-arsinus) dan (CH3) 2As (O) OH (asam dimetil-arsinik), yang memiliki bilangan oksidasi As (III) dan As(V) (Dopp, Kligerman dan Diaz-Bone, 2010). Meskipun mekanisme metilasi arsenik pada manusia belum dapat dijelaskan, namun sumber metil adalah metionin, yang menunjukkan peran S-adenosyl metionin. Paparan dosis beracun dimulai ketika kapasitas metilasi liver ini terlampaui atau dihambat. Studi pada hewan percobaan dan manusia menunjukkan bahwa arsen anorganik dan metabolit alkohol melewati plasenta ke janin, ada bukti bahwa metilasi meningkat selama kehamilan dan hal itu dapat menjadi sangat protektif bagi organisme yang sedang berkembang. .21.. Oremland, R.S., C.W. Saltikov, F.W.Simon dan J.F. Stolz. 2009. Arsenic in the Evolution of Earth and Extraterrestrial Ecosystems. Geomicrobiology Journal , 26 (2009): 522-36. 22. Erb, T.J., P. Kiefer, B. Hattendorf, D. Günther dan J.A. Vorholt. 2012. GFAJ-1 Is an ArsenateResistant, Phosphate-Dependent Organism. Science 2012 :…….. 23. 23. Reaves, M.L., S. Sinha, J. D. Rabinowitz, L. Kruglyak dan R.J.Redfield. 2012. Absence of Detectable Arsenate in DNA from Arsenate-Grown GFAJ-1 Cells. Science 2012 : 24. Westheimer, F.H. 1987. Why nature chose phosphates. Science, 235 (4793): 1173–1178. Arsenik (V) sebagai akseptor elektron Senyawa Arsenik (V) mudah direduksi menjadi Arsenik(III) dan dapat berfungsi sebagai akseptor elektron pada primordial Bumi (Oremland et al., 2009). Dsanau-danau mengandung sejumlah besar arsenik anorganik yang larut air, menjadi pangkalan biota yang toleran As. Meskipun fosfat dan arsenat secara struktural mirip, ternyata tidak ada bukti bahwa arsen dapat menggantikan fosfor dalam DNA atau RNA (Westheimer, 1987; Erb, et al., 2012; Reaves et al., 2012). Senyawa Arsenik(V) biasanya mempunyai gugusan fungsional RAsO(OH)2 atau R2AsO (OH) (R = gugusan alkil atau aril). Asam Cacodylic, dengan rumus (CH3)2AsO2H, sangat terkenal dalam khasanah senyawa organoarsenik. Sebaliknya, asam dimethylphosphonic kurang signifikan dalam kimiawi fosfor. Asam Cacodylic muncul dari metilasi arsenik(III) oksida. Asam Phenylarsonic dapat diakses oleh reaksi asam arsenik dengan anilines, yang disebut Reaksi Bechamp. 1. 2. 3. 4. 5. 6. Dopp, E., A.D. Kligerman dan R.A. Diaz-Bone . 2010. Organoarsenicals. Uptake, Metabolism, and Toxicity. Royal Society of Chemistry. ISBN 978-1-84973-082-2. Cullen, W.R. dan K.J. Reimer. 1989. Arsenic speciation in the environment. Chemical Reviews, 89: 713–764. Bentley, R. dan T.G. Chasteen. 2002. Microbial Methylation of Metalloids: Arsenic, Antimony, and Bismuth. Microbiology and Molecular Biology Reviews , 66 (2): 250– 271. Francesconi, K.A., J.S. Edmonds dan R.V. Stick. 1992. Arsenic Compounds from the Kidney of the Giant Clam Tridacna maxima: Isolation and Identification of an Arsenic-containing Nucleoside. Jour. Chem. Soc. Perkin Trans., 1(..): 1349-1356. Bentley, R. dan T.G.Chasteen. 2002. Microbial Methylation of Metalloids: Arsenic, Antimony, and Bismuth. Microbiology and Molecular Biology Reviews , 66 (2): 250– 271. Cullen, W.R. dan K.J.Reimer. 1989. Arsenic speciation in the environment. Chemical Reviews , 89 (4): 713–764. Senyawa Organo-arsenik di Alam Trimethylarsine, dahulu dikenal sebagai Gas Gosio merupakan senyawa organ-oarsenik yang berbau busuk , biasanya dihasilkan oleh aktivitas mikroba pada substrat arsenik anorganik (Cullen dan Reimer. 1989). Sebuah sumber topikal senyawa ini adalah pigmen hijau yang pernah populer dalam “wallpaper”, Paris hijau. Berbagai gangguan penyakit dianggap disebabkan oleh senyawa ini, walaupun tingkat toksisitasnya tidak terlalu tinggi (Bentley . 1. Sharma, H.D., Reddy K.R. (2004). “Geoenvironmental Engineering.” Jon Wiley & Sons, Hoboken, New Jersey, 478-485 2. Doty, S.L. (2008). “Enhancing phytoremediation through the use of transgenics and endophytes.” New Phytologist (2008) 179: 318–333 3. Blaylock, M.J., Elless, M.P., Huang, J.W., Dushenkov, S.M. (1999). “Phytoremediation of LeadContaminated Soil at a New Jersey Brownfield Site.” Remediation, summer 1999; 93-101 4. Chaney, R.L., Broadhurst, L., Centofanti, T. (2000) “Phytoremediation of Soil Trace 5. Elements.” Bioavailability, Risk Assessment and Remediation; 311-352 6. Rock, S.A., Sayre, P.G. (1998) “Phytoremediation of Hazardous Wastes: Potential Regulatory Acceptability.” Remediation, autumn 1998; 5-17 7. Zadrow, J.J. (1999). “Recent Applications of Phytoremediation Technologies.” Remediation, spring 1999; 29-36 8. Mudhoo, A. (2011). “Phytoremediation of Cadmium: A Green Approach.” 9. Gupta et al. (2000) “Phytoremediation: An Efficient Approach for Bioremediation of Organic and Metallic Ions Pollutants.” Bioremediation and Sustainability; 213-240 10. Dushenkov, S., Mikheev, A., Prokhnevsky A., Ruchko, M., and Sorochinsky, B., Phytoremediation of radiocesium-contaminated soil in the vicinity of Chernobyl, Ukraine, Environ. Sci. Technol., Vol. 33, pp. 469-475, 1999. . Kekurangannya Fitoremediasi Banyak instansi pemerintah belum sepenuhnya memahami manfaat dari teknologi baru ini. Akibatnya, teknologi ini tidak dipertimbangkan untuk mendukung proyek-proyek yang tercantum dalam Daftar Prioritas Nasional atau daftar Superfund (Batu et al, 1998). Fitoremediasi tidak dapat mengolah kontaminasi air-dalam; rumput dapat membersihkan kontaminan hingga kedalaman tiga meter, semak-semak hingga kedalaman sepuluh meter, dan pohon berakar-dalam hingga 20 meter. Proses fitoremediasi ini umumnya lambat dan dapat memerlukan waktu tiga hingga lima tahun untuk memenuhi tujuan pembersihan yang ditargetkan. Pemilihan jenis tumbuhan yang spesifik-lokasi harus dilakukan untuk memproses campuran bahan kimia sambil mencegah kematian vegetasi. Pemilihan tumbuhan dan kombinasinya sangat banyak dan masih dalam tahap percobaan yang membutuhkan penelitian lanjutan. Proses ini sangat tergantung pada klimatologi lokal dan harus dirancang dengan pertimbangan lokal. Selain itu, operasi fitoremediasi skala besar mungkin membutuhkan peralatan pertanian kelas berat, yang umumnya terletak jauh dari daerah perkotaan yang terkontaminasi (Mudhoo, 2011). Satwa liar dan manusia dapat mengkonsumsi hasil tanaman, maka harus dilakukan tindakan untuk mencegah masuknya kontaminan ke dalam rantai makanan. Jika kontaminan . Keuntungan Akar tanaman menstabilkan tanah dan mencegah gerakan polutan melalui limpasan dan debu yang tertiup angin. Teknik ini menggunakan tanaman dan sumberdaya alam lokal, sehingga lebih murah. Remediasi ini dilakukan di tempat, menghemat biaya transportasi dan pengolahan off-site. Dibandingkan dengan sistem lainnya, biasanya estetika menyenangkan dan disukai oleh masyarakat (Sharma dan Reddy, 2004). Mudhoo (2011) membuat “klaim” bahwa sifat dangkal dan luas dari teknik ini telah membuatnya ideal untuk memulihkan tanah pertanian yang rusak akibat pencemaran limbah industri. . Latar Belakang Teoritis. Kata "phyto" (bahasa Yunani) berarti “tumbuhan”. Proses fitoremediasi melibatkan tumbuhan untuk menyembuhkan kontaminasi lingkungan. Hal ini biasanya mengacu pada penggunaan tumbuhan tanpa penggalian material atau pengolahan tanah. Banyak ragam aktivitas yang terjadi untuk menyerap atau menurunkan kontaminan pada berbagai skala. Zona akar tanaman harus kontak dengan tanah yang terkontaminasi, karena ini merupakan tempat penyerapan kontaminan. Membran akar bertindak sebagai filter dalam proses yang disebut "rhizofiltration" dan akhirnya menyerap polutan. Dua macam gaya-dorong yang menentukan perilaku kontaminan tergantung pada sifat bahan kimia polutan. "Phytodegradation" terjadi ketika proses metabolisme di dalam tumbuhan dapat memecah bahan kimia organik, sedangkan "phytoaccumulation" terjadi ketika senyawa anorganik terkunci ke dalam struktur tumbuhan (Sharma dan Reddy, 2004). Proses-proses . Latar Belakang Teoritis. Kekuatan energi pendorong dapat diidentikkan dengan pompa dan sistem miniatur pengolahan, dimana evapotranspirasi selama musim panas menyebabkan sejumlah besar kelembaban tanah harus diproses. Proses alami "phytoextraction" ini dapat menarik polutan tanah dari dalam tanah sampai ke daun, namun sebagian besar polutan ini dapat terdegradasi, atau terakumulasi kalau proses metabolisme lokal tidak mampu menghancurkannya (Sharma dan Reddy , 2004). Penyerapan air-tanah menciptakan "kerucut depresi" kecil, dan membatasi pergerapan polutan dalam tanah. Daya tarik organik dikombinasikan dengan imobilisasi air-tanah secara efektif dapat membatasi pergerakan polutan dalam proses yang disebut "phytostabilization". "Phytovolatilization" adalah sebuah proses baru yang diperkenalkan oleh Mudhoo (2011), melibatkan konversi kontaminan menjadi bentuk yang mudah menguap dan langsung mengemisikannya ke atmosfer. . Sejarah Fitoremediasi “Godfather" dari fitoremediasi dan studi tumbuhan hiperakumulator adalah R.R. Brooks dari Selandia Baru. Salah satu tulisan pertama tentang serapan logam berat yang sangat tinggi pada tumbuhan dalam ekosistem tercemar ditulis oleh Reeves dan Brooks pada tahun 1983. Mereka menemukan bahwa konsentrasi timbal dalam tumbuhan Thlaspi yang tumbuh di daerah pertambangan merupakan nilai tertinggi yang pernah dicatat untuk tanaman berbunga. Karya ilmiah Profesor Brooks tentang hiperakumulasi logam berat oleh tumbuhan menimbulkan pertanyaan bagaimana pengetahuan ini dapat digunakan untuk membersihkan tanah-tanah yang tercemar. Artikel ilmiah pertama tentang fitoremediasi ditulis oleh ilmuwan di Rutgers University, tentang penggunaan tumbuhan khusus untuk membersihkan tanah yang tercemar. Pada tahun 1993, paten Amerika Serikat diajukan oleh perusahaan bernama Phytotech. Dengan berjudul "Fitoremediasi Logam", paten mengungkapkan metode untuk menyerap logam dari tanah dengan menggunakan tumbuhan. Beberapa spesies tumbuhan, termasuk lobak dan mustard, secara genetik direkayasa untuk mengekspresikan protein yang disebut metallo-thionein. Protein tumbuhan ini mengikat logam berat dan Reeves, R.D. dan R.R. Brooks. 1983. Hyperaccumulation of lead and zinc by two metallophytes from mining areas of Central Europe. Environmental Pollution Series A, Ecological and Biological, 31(4): 277–285. Reeves dan Brooks (1983) mempelajari konsentrasi timbal dan seng dalam Thlaspi rotundifolium subsp. cepaeifolium dan Alyssum wulfenianum yang tumbuh pada material “tailing” tambang dan kerikil sungai yang terkontaminasi limbah tambang timbal-seng di Gua del PREDIL (Raibl) wilayah Italia Utara. Kandungan Pb hingga 8200 μg/g (0,82%) , Zinc hingga 17300 μg/g (1,73%) dan ditemukan dalam daun-daun kering Thlaspi . Nilainilai pada tumbuhan A. wulfenianum adalah 860 dan 2500 μg/g. Konsentrasi Pb dalam Thlaspi merupakan nilai tertinggi yang pernah tercatat pada tumbuh-tumbuhan berbunga. Keberadaan taksa non-toleran yang sangat mirip dengan dua metallo-fita ini dan tumbuh di tanah yang tidak terkontaminasi di daerah yang sama, mengisyaratkan bahwa kolonisasi limbah tambang ini merupakan proses yang bersifat neo-endemik. Rahman, M.A. dan H. Hasegawa. 2011. Aquatic arsenic: Phytoremediation using floating macrophytes. Chemosphere, 83(5): 633–646. Fitoremediasi merupakan teknologi hijau yang berbasis tumbuhan, telah menerima banyak perhatian setelah ditemukannya tumbuhan hiperakumulator yang mampu mengumpulkan, mentranslokasikan, dan mengkonsentrasikan sejumlah besar unsur-unsur beracun tertentu dalam bagian tubuhnya di atas tanah. Fitoremediasi meliputi beberapa proses yaitu, fitoekstraksi, fitodegradasi, rhizofiltrasi, fitostabilisasi dan fitovolatilisasi. Jenis-jenis tumbuhan daratan dan perairan telah diuji untuk memulihkan tanah dan air yang terkontaminasi. Sejumlah spesies tumbuhan air telah diteliti untuk remediasi kontaminan beracun seperti As, Zn, Cd, Cu, Pb, Cr, Hg, dll. (Rahman dan Hasegawa, 2011). Arsenik, salah satu unsur-unsur beracun yang mematikan, tersebar secara luas dalam sistem air sebagai hasil pelarutan mineral dari batuan vulkanik atau sedimen dan dari pengenceran air panas bumi. Selain itu, pembuangan limbah pertanian dan industri juga dipertimbangkan untuk kontaminasi arsenik di perairan alami. Beberapa tumbuhan air telah dilaporkan mampu mengakumulasikan banyak arsenik dari air yang terkontaminasi. Eceng gondok (Eichhornia crassipes), Duckweeds (Lemna gibba, Lemna minor, Spirodela polyrhiza), kangkung (Ipomoea aquatica), pakis air (Azolla . . Alvarado,S., M.Guédez, M.P. Lué-Merú, G.Nelson, A.Alvaro, A.C. Jesús dan Z. Gyula. 2002. Arsenic removal from waters by bioremediation with the aquatic plants Water Hyacinth (Eichhornia crassipes) and Lesser Duckweed (Lemna minor). Bioresource Technology, 99(17): 8436-8440. Alvarado,S et al. (2002) melakukan penelitian ini penghapusan arsenik oleh enceng-gondok (Eichhornia crassipes) dan Duckweed (Lemna minor) dengan konsentrasi 0,15 mg/ L. Kerapatan tanaman adalah 1 kg/m2 untuk Duckweed dan 4 kg/m2 untuk Eceng Gondok berdasarkan bobot basahnya. Arsen ditentukan dalam jaringan daun dan sampel air dengan Metode spektroskopi serapan atom generasi hidrida. Unsur As dipantau dari waktu ke waktu selama periode 21 hari. Tidak ada perbedaan signifikan dalam hal kemampuan bioakumulasi dari kedua spesies ini. Tingkat penyerapan untuk L. minor sebesar 140 mg As / ha/hari dengan pemulihan penghapusan sebesar 5%. Enceng gondok memiliki tingkat penghapusan 600 mg As / ha/hari dan pemulihan penghapusan 18%. Efisiensi penyerapan oleh Eceng Gondok lebih tinggi karena produksi biomassanya dan kondisi iklim yang lebih menguntungkan. Species ini merupakan alternatif yang dapat diandalkan untuk bioremediasi arsenik di perairan. . Tripathi, B.D. dan S.C. Shukla. 1991. Biological treatment of wastewater by selected aquatic plants. Environmental Pollution, 69(1): 1991 69-78.. Tripathi dan Shukla (1991) meneliti efisiensi penghapusan polutan oleh jenisjenis tumbuhan dan ganggang tertentu, Eichhornia crassipes, Microcystis aeruginosa, Scenedesmus falcatus, Chlorella vulgaris dan Chlamydomonas mirabilis, dalam kondisi laboratorium untuk mengevaluasi peran potensialnya dalam pengolahan air limbah. Air limbah Kota Varanasi, dicampur dengan limbah dari sekitar 1200 industri kecil, digunakan untuk material penelitian. Penelitian dilakukan dalam tiga tahapan, yaitu budidaya eceng gondok diikuti oleh budidaya algae, dan akhirnya budidaya eceng gondok yang ke dua. Untuk budidaya eceng gondok yang pertama, sebanyak 10 tanaman eceng gondok ditumbuhkan dalam tangki air limbah dengan waktu retensi 15 hari. Pada tahap ke dua, spesies algae dikultur dalam air limbah dan dirawat selama 5 hari, sedangkan pada tahapan ke tiga, eceng gondok ditumbuhkan lagi dalam air limbah selama 9 hari. Akuakultur tiga tahapan ini menghasilkan pengurangan yang sangat tinggi BOD (96,9%), padatan tersuspensi (78,1%), alkalinitas total (74,6%), PO4 (89,2%), NO3 (81,7%), kemasaman (73,3%), NH4 (95,1%), COD (77,9%), kesadahan (68,6%) dan bakteri coliform (99,2%). Selain itu, juga terjadi peningkatan konsentrasi oksigen terlarut (70%). . . Accumulation of arsenic by aquatic plants in large-scale field conditions: Opportunities for phytoremediation and bioindication Original Research ArticleScience of The Total Environment, Volume 433, 1 September 2012, Pages 390-397Paulo J.C. Favas, João Pratas, M.N.V. PrasadClose abstract Graphical abstract Purchase PDF - $41.95 Abstract This work focuses on the potential of aquatic plants for bioindication and/or phytofiltration of arsenic from contaminated water. More than 71 species of aquatic plants were collected at 200 sampling points in running waters. The results for the 18 most representative plant species are presented here. The species Ranunculus trichophyllus, Ranunculus peltatus subsp. saniculifolius, Lemna minor, Azolla caroliniana and the leaves of Juncus effusus showed a very highly significant (P < 0.001) positive correlation with the presence of arsenic in the water. These species may serve as arsenic indicators. The highest concentration of arsenic was found in Callitriche lusitanica (2346 mg/kg DW), Callitriche brutia (523 mg/kg DW), L. minor (430 mg/kg DW), A. caroliniana (397 mg/kg DW), R. trichophyllus (354 mg/kg DW), Callitriche stagnalis (354 mg/kg DW) and Fontinalis antipyretica (346 mg/kg DW). These results indicate the potential application of these species for phytofiltration of arsenic through constructed treatment wetlands or introduction of these plant species into natural water bodies. Karya ini berfokus pada potensi tanaman air untuk bioindication dan / atau phytofiltration arsenik dari air yang terkontaminasi. Lebih dari 71 spesies tanaman air dikumpulkan di 200 titik sampling dalam menjalankan perairan. Hasil untuk 18 jenis tumbuhan yang paling representatif yang disajikan di sini. Spesies Ranunculus trichophyllus, Ranunculus . . Phytoremediation of heavy metals—Concepts and applications Review ArticleChemosphere, Volume 91, Issue 7, May 2013, Pages 869-881Hazrat Ali, Ezzat Khan, Muhammad Anwar SajadClose abstract Graphical abstract Purchase PDF - $41.95 Abstract The mobilization of heavy metals by man through extraction from ores and processing for different applications has led to the release of these elements into the environment. Since heavy metals are nonbiodegradable, they accumulate in the environment and subsequently contaminate the food chain. This contamination poses a risk to environmental and human health. Some heavy metals are carcinogenic, mutagenic, teratogenic and endocrine disruptors while others cause neurological and behavioral changes especially in children. Thus remediation of heavy metal pollution deserves due attention. Different physical and chemical methods used for this purpose suffer from serious limitations like high cost, intensive labor, alteration of soil properties and disturbance of soil native microflora. In contrast, phytoremediation is a better solution to the problem. Phytoremediation is the use of plants and associated soil microbes to reduce the concentrations or toxic effects of contaminants in the environments. It is a relatively recent technology and is perceived as cost-effective, efficient, novel, eco-friendly, and solar-driven technology with good public acceptance. Phytoremediation is an area of active current research. New efficient metal hyperaccumulators are being explored for applications in phytoremediation and phytomining. Molecular tools are being used to better understand the mechanisms of metal uptake, translocation, sequestration and tolerance in plants. This review article comprehensively discusses the background, concepts and future trends in phytoremediation of heavy metals. Mobilisasi logam berat oleh manusia melalui ekstraksi dari bijih dan pengolahan untuk aplikasi yang berbeda telah menyebabkan pelepasan unsur-unsur ke lingkungan. Karena logam berat yang nonbiodegradable, mereka menumpuk di lingkungan dan Ye,W.L., M. A. Khan, S.P. McGrath dan F.J. Zhao. 2011. Phytoremediation of arsenic contaminated paddy soils with Pteris vittata markedly reduces arsenic uptake by rice. Environmental Pollution, 159(12): 3739-3743. Arsenic (As) accumulation in food crops such as rice is of major concern. To investigate whether phytoremediation can reduce As uptake by rice, the As hyperaccumulator Pteris vittata was grown in five contaminated paddy soils in a pot experiment. Over a 9-month period P. vittata removed 3.5–11.4% of the total soil As, and decreased phosphate-extractable As and soil pore water As by 11–38% and 18– 77%, respectively. Rice grown following P. vittata had significantly lower As concentrations in straw and grain, being 17–82% and 22–58% of those in the control, respectively. Phytoremediation also resulted in significant changes in As speciation in rice grain by greatly decreasing the concentration of dimethylarsinic acid (DMA). In two soils the concentration of inorganic As in rice grain was decreased by 50–58%. The results demonstrate an effective stripping of bioavailable As from contaminated paddy soils thus reducing As uptake by rice. Arsen (As) akumulasi dalam tanaman pangan seperti padi menjadi perhatian utama. Untuk mengetahui apakah fitoremediasi dapat mengurangi Sebagai serapan oleh beras, As hiperakumulator Pteris vittata ditumbuhkan dalam lima tanah sawah yang terkontaminasi dalam percobaan pot. Selama periode 9 bulan P. vittata dihapus 3,5-11,4% dari total tanah As, dan penurunan As dan air pori tanah diekstrak fosfat-As oleh 11-38% dan 18-77%, masingmasing. Beras tumbuh mengikuti P. vittata telah secara signifikan lebih rendah konsentrasi As dalam jerami dan gabah, menjadi 17-82% dan 22-58% dari mereka yang kontrol, masing-masing. Fitoremediasi juga mengakibatkan perubahan signifikan dalam As spesiasi dalam gabah dengan sangat