RESPON ANATOMI DAUN DAN PARAMETER

advertisement
RESPON ANATOMI DAUN DAN PARAMETER
FOTOSINTESIS TUMBUHAN PADI GOGO, CAISIM,
Echinochloa crussgalli. L., DAN BAYAM PADA BERBAGAI
CEKAMAN KEKERINGAN
MUHAMMAD ARIFAI
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2009
PERNYATAAN MENGENAI TESIS
DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini menyatakan bahwa tesis yang berjudul ” Respon Anatomi
Daun dan Parameter Fotosintesis Tumbuhan Padi Gogo, Caisim,
Echinochloa crussgalli. L., dan Bayam pada Berbagai Cekaman Kekeringan”
merupakan gagasan karya saya beserta pembimbing yang belum pernah
dipublikasikan dalam bentuk apapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip
dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan oleh penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagan akhir tesis
ini.
Bogor, Agustus 2009
Muhammad Arifai
G353070201
ABSTRACT
MUHAMMAD ARIFAI. Response of Leaf Anatomy and Photosynthesis
Parameter of Upland Rice, Green Mustard, Echinochloa crussgalli L., and
Spinach to Drought Application. Under the direction of HAMIM and
TRIADIATI.
Response of leaf anatomy and photosynthetic parameters of crops to
drought was observerd on C3 (upland rice and mustard green) and C4 plants
(Echinochloa crussgalli.L and spinach). Plants were grown in 6 kg pot containing
soil and sand (1:1, v/v) under green house condition. Drought stress was provided
by withholding water for 12 days for cultivated upland rice, mustard green and
spinach, and 14 days for E.crussgalli.L. Observation was carried out during
drought period by measuring soil water content (SWC), relative water content
(RWC), plant growth, dry weight, leaf anatomy, and photosynthetic chlorophyll
fluorescence parameters including the maximum efficiency of photosynthesis
(Fv/Fm), photochemical quenching (qP), non-photochemical quenching (qN),
quantum Yield (qY), and ascorbic acid concentration (ASA). The results showed
that drought stress caused decrease of SWC by average of 17.42% and RWC of
60%. Even though the SWC of C4 plants was lower than that of C3 plants, the
value of RWC of those two types of plants was not significantly different.
Drought stress decreased plant dry weight by 48.85% and seed production by
average of 43.80%. The longer drought decreased significantly Fv/Fm, qP, and
qY, while it increased of qN. The Fv/Fm of C4 plant (E.crussgalli.L and spinach)
were higher than that of C3 plant (upland rice and mustard green) on 12 days
after drought stressed. The drought stress also caused decrease of leaf thicknnes,
phloem diameter, bulliform and pallisade cells height, mesophyll cells and spongy
parenchyma thicknnes, while it increased xylem diameter of C3 and C4 crops.
Generally, ASA content increased after 4 days and reached maximum at the last
period of drought, even though it reduced after rewatering except in spinach
which did not accumulate ASA significantly in response to drought stress.
Keywords : drought stress, leaf anatomy, photosynthesis parameters, C3 and C4
plants.
RINGKASAN
MUHAMMAD ARIFAI. Respon Anatomi Daun dan Parameter Fotosintesis Padi
gogo, Caisim, Echinochloa crussgalli L., dan Bayam pada Berbagai Cekaman
Kekeringan. Dibimbing oleh HAMIM dan TRIADIATI.
Peningkatan suhu udara atmosfir diduga akan sangat mempengaruhi iklim
global dunia, seperti kemungkinan meningkatnya frekwensi dan tingkat
kekeringan di beberapa belahan bumi khususnya Asia dan Afrika. Keadaan ini
mempengaruhi pertumbuhan tanaman dan bahkan dapat menurunkan produksi
pertanian tadah hujan seperti menurunnya produksi beras, sehingga dapat
menimbulkan kerawanan pangan.
Secara fisiologi ada perbedaan yang menyolok antara tumbuhan C3 dan
C4 dalam menghadapi kekeringan. Pada tumbuhan C3 apabila stomata menutup
akibat kekeringan, maka laju fotorespirasi meningkat, namun laju fotosintesis
menurun. Berbeda dengan tumbuhan C4 yang memiliki metabolisme reduksi CO2
di ruang mesofil daun oleh PEP karboksilase. PEP karboksilase mengubah
fosfoenol piruvat (PEP) menjadi senyawa berkarbon empat, sehingga PEP
karboksilase tidak dapat mengikat O2 di ruang mesofil. Sementara aktivitas
Rubisco di sel seludang pembuluh relatif tinggi konsentrasi CO2-nya. Tingginya
konsentrasi CO2 di sel seludang pembuluh menyebabkan fotorespirasi pada
tumbuhan C4 sangat rendah. Hal tersebut memungkinkan tumbuhan C4 yang
relatif lebih tahan terhadap kekeringan dibanding tumbuhan C3.
Informasi tentang mekanisme fotosintesis kedua jenis tumbuhan C3 dan
C4 dilihat dari aspek fisiologi dan anatomi masih kurang. Penelitian ini bertujuan
mengamati respon anatomi daun dan parameter fotosintesis tumbuhan C3 dan C4
yang diberikan perlakuan cekaman kekeringan. Diharapkan diperoleh data dan
informasi tentang respon anatomi daun dan fisiologi tumbuhan C3 dan C4 yang
dibutuhkan dalam pengembangan tumbuhan yang toleran terhadap cekaman
kekeringan.
Dua spesies tumbuhan C3 yaitu padi gogo dan caisim dan C4 yaitu
E.crussgalli.L dan bayam ditanam dalam pot yang berukuran 6 kg di rumah kaca
dengan media campuran tanah dan pasir (1:1 v/v). Perlakuan kekeringan diberikan
dengan menunda penyiraman selama 12 hari pada padi gogo, caisim dan bayam,
dan 14 hari pada Echinochloa (E.crussgalli.L). Pengamatan dilakukan pada Kadar
Air Media (KAM), Kadar Air Relatif (KAR), tinggi tajuk, panjang akar, luas daun
bobot akar, bobot tajuk, respon anatomi daun, dan parameter laju fotosintesis (Pn)
yang meliputi: photochemical quenching (qP), non-photochemical quenching
(qN), quantum Yield (qY), efisiensi maksimum fotosintesis (Fv/Fm), dan asam
askorbat (ASA). Percobaan disusun secara faktorial dalam lingkungan Rancangan
Acak Lengkap (RAL). Faktor pertama jenis tumbuhan dengan 4 taraf yaitu padi
gogo (J1), caisim (J2), Echinochloa (J3), dan bayam (J4). Faktor kedua perlakuan
2 taraf yaitu penyiraman sebagai kontrol (K0), tanpa penyiraman sebagai
kekeringan (K1). Data dianalis dengan ANOVA dilanjutkan dengan Tukey pada
taraf α=5% menggunakan SPSS versi 15.
Perlakuan cekaman kekeringan mengakibatkan penurunan KAM rata-rata
53,58% dan KAR di bawah 60% pada tanaman uji. Selain itu kekeringan
menghambat laju pertumbuhan, menurunkan bobot kering tumbuhan yang diamati
rata-rata sebesar 48,85% dan produksi biji rata-rata yaitu 43,8%. Semakin lama
kekeringan mengakibatkan penurunan pada photochemical quenching (qP),
quantum Yield (qY), efisiensi fotosintesis maksimum (Fv/Fm), namun sebaliknya
non photochemical quenching (qN) semakin meningkat. Efisiensi fotosintesis
tumbuhan C4 (echinochloa dan bayam) relatif lebih tinggi dari tumbuhan C3 (padi
gogo dan caisim) pada 12 hari setelah kekeringan (HSK). Perlakuan cekaman
kekeringan juga menurunkan tebal daun dan diameter floem, sebaliknya
meningkatkan diameter xilem semua tanaman. Tidak ada perbedaan yang
menyolok antara tumbuhan C3 dan C4 dalam hal anatomi daun sebagai respon
terhadap cekaman kekeringan. ASA diakumulasi pada tumbuhan secara umum
mulai hari 8 hingga 12 HSK, kecuali Echinochloa yang mengakumulasi ASA
pada 10-14 HSK. Bayam hampir tidak mengakumulasi ASA selama cekaman
kekeringan, yang menandakan bahwa mungkin secara genetik tumbuhan ini tidak
mengakumulasi ASA.
Kata kunci: kekeringan, anatomi daun, fotosintesis, tumbuhan C3 dan C4.
© Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2009
Hak cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa
mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk
kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan
laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan
tersebut tidak merugikan yang wajar IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya
tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.
RESPON ANATOMI DAUN DAN PARAMETER
FOTOSINTESIS TUMBUHAN PADI GOGO, CAISIM,
Echinochloa crussgalli. L., DAN BAYAM PADA BERBAGAI
CEKAMAN KEKERINGAN
MUHAMMAD ARIFAI
Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Mayor Biologi Tumbuhan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2009
Judul Penelitian : Respon Anatomi Daun dan Parameter Fotosintesis Tumbuhan
Padi gogo, Caisim, Echinochloa crussgalli.L., dan Bayam pada
Berbagai Cekaman Kekeringan
Nama
: Muhammad Arifai
NIM
: G 353070201
Disetujui
Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Hamim, M.Si
Ketua
Dr. Dra. Triadiati, M.Si
Anggota
Diketahui
Koordinator Mayor
Biologi Tumbuhan
Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
Dr. Ir. Miftahudin, M.Si
Prof. Dr. Ir. Khairil A.Notodiputro, M.S
Tanggal Ujian: 07 Agustus 2009
Tanggal Lulus:
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. Ir. Aris Tjahjoleksono, DEA
PRAKATA
Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang selalu
melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan
tesis ini dengan judul “Respon Anatomi Daun dan Parameter Fotosintesis
Tumbuhan Padi gogo, Caisim, Echinochloa crussgalli. L., dan Bayam pada
berbagai
Cekaman Kekeringan”. Penelitian ini dibiayai oleh Departeman
Agama R.I dan Pemerintah daerah Kabupaten Wajo Sulawesi Selatan.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada:
1. Dr. Ir. Hamim, M.Si ketua komisi pembimbing yang selalu mengarahkan dan
memberi semangat bagi penulis.
2. Dr. Dra. Triadiati, M.Si sebagai komisi pembimbing atas saran dan masukan
yang berguna dalam penelitian ini.
3. Dr. Ir. Juliarni, M.Agr. atas saran dan bimbingannya dalam penyempurnaan
tesis ini.
4. Dekan Sekolah Pascasarjana dan Koordinator Mayor Biologi tumbuhan atas
kesempatan yang diberikan untuk mengikuti pendidikan di SPs IPB.
5. Departemen Agama yang telah memberi beasiswa
6. Pemerintah Kabupaten Wajo atas bantuan dana penelitian
7. Yayasan Puangrimaggalatung dan STKIP Prima Sengkang atas bantuannya.
8. Mertua, serta saudara-saudara ipar dan keluarga semua, atas segala doa dan
kasih sayangnya.
9. Seluruh sahabat yang telah membantu dalam penyelesaian tesis ini
Secara khusus, penulis sampaikan rasa terima kasih yang tulus kepada Istri
tercinta Nurjannah, S.Ag, M.PdI, atas segala pengorbanan baik moril maupun
materil, dorongan, kesabaran dan doanya. Kepada almarhum kedua orang tua
penulis, dengan iringan doa, semoga amal ibadahnya diterima di sisi Allah
SWT. Begitu pula ananda tercinta Arian Nurrifki dan Afifah Salsabilah atas
kesabaran dan pengorbanannya. Semoga Allah SWT melimpahkan rahmat dan
hidayah-Nya. Amien. Semoga tesis ini bermanfaat.
Bogor, Agustus 2009
Muhammad Arifai
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Wajo Sulawesi Selatan pada tanggal 31 Desember
1970 dari Ayah Muhammad Siri dan ibu Ambica. Penulis merupakan putra kedua
dari dua bersaudara.
Tahun 2002 penulis menyelesaikan kuliah strata satu di Program Studi
Pendidikan Biologi, Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Puangrimaggalatung Sengkang Sulawesi Selatan. Tahun akademik 2007 /2008
penulis diterima di Sekolah Pascasarjana Strata dua pada Mayor Biologi
Tumbuhan, Depertemen Biologi, Institut Pertanian Bogor, dengan Beasiswa
utusan daerah yang diselenggarakan oleh Departemen Agama RI.
Penulis mulai bekerja sebagai staf pengajar di Madrasah Aliyah Swasta
As’adiyah Putri Pusat Sengkang dari tahun 1995 sampai sekarang pada bidang
studi Biologi. Selain itu penulis juga sebagai Dosen Yayasan di STKIP PRIMA
Sengkang pada Program studi Pendidikan Biologi mulai tahun 2003. Pada tahun
1997 penulis menikah dengan Nurjannah Rum , M.PdI dan dikaruniahi dua putra
putri yaitu Arian Nurrifqhi dan Afifah Salsabilah.
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ..................................................................................
xii
DAFTAR GAMBAR .............................................................................
xiii
DAFTAR LAMPIRAN ..........................................................................
xiv
PENDAHULUAN
Latar Belakang ...........................................................................
Tujuan ........................................................................................
Hipotesis .....................................................................................
Manfaat Penelitian .....................................................................
1
3
3
4
TINJAUAN PUSTAKA
Peranan Air bagi Pertumbuhan Tanaman ..................................
Cekaman Kekeringan pada Tumbuhan ......................................
Efek Kekeringan terhadap Fotosintesis ......................................
Hambatan stomata ..........................................................
Hambatan non-stomata ...................................................
Cekaman Oksidatif .....................................................................
Penyelamatan tumbuhan dari ROS oleh asam askorbat .............
Mekanisme Toleransi terhadap Cekaman Kekeringan ..............
Pengaruh Kekeringan terhadap Anatomi daun ..........................
5
6
8
8
10
11
13
14
15
METODOLOGI PENELITIAN
Waktu dan Tempat .....................................................................
Bahan dan Alat ...........................................................................
Rancangan Percobaan ................................................................
Pelaksanaan ................................................................................
Pengambilan Data ......................................................................
17
17
17
18
19
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kadar Air Media (KAM) dan Kadar Air Relatif (KAR) daun ...
Parameter Fotosintesis ...............................................................
Kandungan Asam askorbat ........................................................
Pertumbuhan Tanaman ...............................................................
Produksi bahan kering tumbuhan ...............................................
Pengamatan Anatomi jaringan tumbuhan ..................................
23
26
29
31
35
36
KESIMPULAN DAN SARAN .............................................................
40
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................
41
LAMPIRAN .........................................................................................
48
DAFTAR TABEL
Halaman
1 Tinggi tajuk dan panjang akar tumbuhan padi gogo, caisim, Echinochloa,
bayam perlakuan kontrol (K0) dan cekaman kekeringan (K1) pada akhir
perlakuan ..................................................................................................
32
2 Bobot tajuk, bobot akar, bobot biji/pot tumbuhan C3 (padi gogo dan
caisim), Dan C4 (Echinochloa dan bayam) pada perlakuan kontrol (K0)
dan cekaman kekeringan (K1) .................................................................
35
3 Ketebalan daun, ukuran sel-sel daun, dan diameter xilem dan floem
tumbuhan C3 (padi dan caisim), dan C4 (Echinochloa dan bayam)
pada perlakuan kontrol (K0) dan kekeringan (K1) ..................................
37
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Mekanisme pembentukan ROS ........................................................
12
2 Produksi ROS pada transpor elektron fotosintesis pada kondisi
cahaya tinggi ......................................................................................
13
3 Metabolisme redoks asam askorbat ...................................................
14
4 Nilai rata-rata Kadar Air Media (KAM) dan Nilai rata-rata Kadar Air
Relatif (KAR) daun ............................................................................
23
5 Morfologi tumbuhan percobaan pada 12 HSK ..................................
24
6 Parameter fotosintesis tumbuhan uji ..................................................
28
7 Kandungan asam askorbat padi gogo, caisim, Echinochloa, dan
Bayam mulai 0 sampai 12 HSK dan 14 HSK Echinochloa ...............
30
8 Luas daun padi gogo, caisim, Echinochloa, dan bayam mulai 0
sampai 12 HSK dan recovery.............................................................
34
9 Struktur anatomi daun tanaman uji pada cekaman kekeringan..........
38
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1 Seri larutan dehidran ...........................................................................
49
2 Hasil analisis tanah yang digunakan sebagai media tanam.................
50
3 Kriteria penilaian sifat kimia tanah .....................................................
51
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Peningkatan suhu udara atmosfir diduga akan sangat mempengaruhi iklim
global dunia, seperti kemungkinan meningkatnya frekuensi dan tingkat
kekeringan di beberapa belahan bumi khususnya Asia dan Afrika (Pitelka dan
Rojas 2001). Keadaan ini mempengaruhi pertumbuhan
dan menyebabkan
penurunan produksi tumbuhan (Hamim 2005). Apalagi di daerah-daerah pertanian
padi tadah hujan, keadaan kekeringan yang berkepanjangan akan menurunkan
produksi beras, sehingga dapat menimbulkan kerawanan pangan.
Kekeringan merupakan salah satu faktor lingkungan yang besar
pengaruhnya terhadap penurunan produksi tumbuhan. Bahkan kekeringan
merupakan
penyebab
terbesar
penurunan
produksi
pangan
dunia
bila
dibandingkan dengan faktor lingkungan lain (Boyer 1985). Selain menurunkan
laju fotosintesis, kekeringan juga menyebabkan penurunan laju pertumbuhan
akibat rendahnya potensial air dan turgor tumbuhan (Tezara et al. 2002).
Secara fisiologis ada perbedaan yang menyolok antara tumbuhan C3 dan
C4 dalam menghadapi cekaman kekeringan. Pada tumbuhan C3, ketika stomata
menutup sebagai akibat kekeringan, fotosintesis neto akan menurun dengan cepat,
sedangkan fotorespirasi akan meningkat (Drake et al. 1997). Hal ini berkaitan
dengan karakteristik dari enzim fotosintetik, RuBP karboksilase (Rubisco) yang
selain mengikat CO2 juga dapat berikatan dengan oksigen dalam proses
fotorespirasi, dan keadaan ini terjadi khususnya ketika rasio CO2/O2 menurun
akibat penutupan stomata (Hamim 2005).
Tumbuhan C4 memiliki metabolisme reduksi CO2 yang berbeda dengan
C3. Pada tumbuhan C4, CO2 diikat oleh enzim PEP karboksilase di ruang mesofil
daun. Enzim PEP karboksilase dapat mengikat CO2 membentuk senyawa
berkarbon empat, namun PEP karboksilase tidak dapat mengikat O2 (Kanai dan
Edwards 1999). Senyawa berkarbon empat yang terbentuk di ruang mesofil
selanjutnya dipompa ke sel seludang pembuluh. Hal ini menyebabkan sel
seludang pembuluh memiliki kadar CO2 lebih tinggi, dan disini CO2 akan diikat
oleh rubisko membentuk gula. Tingginya konsentrasi CO2 di sel seludang
2
pembuluh menyebabkan fotorespirasi pada tumbuhan C4 sangat rendah. Hal
tersebut memungkinkan tumbuhan C4 relatif lebih tahan terhadap kekeringan
dibanding tumbuhan C3 (Voznensenskaya et al. 2003).
Pada kondisi intensitas cahaya yang tinggi, kekeringan mungkin juga bisa
mengakibatkan terjadinya cekaman oksidatif karena dalam keadaan intensitas
cahaya tinggi akan terjadi kelebihan energi dari proses reaksi terang, sedangkan
laju reduksi CO2 fotosintesis menurun drastis akibat penutupan stomata selama
cekaman (Violita 2007).
Hamim (2004) menyatakan bahwa pada tahap awal kekeringan
menyebabkan berkurangnya pembukaan stomata untuk meminimalisir kehilangan
air di bawah kondisi cahaya berlebihan. Peristiwa ini mengakibatkan terjadinya
penurunan konsentrasi CO2 intrasel, sehingga tumbuhan mengalami kelebihan
reduksi pada transfer elektron fotosintesis (Berkowitz 1998). Kelebihan reduksi
ini terjadi karena pembentukan NADPH pada reaksi terang tidak diimbangi oleh
pemakaian NADPH pada reaksi gelap karena penurunan konsentrasi CO2 intrasel.
Hal ini mengakibatkan terbentuknya spesies oksigen reaktif (ROS) yang diawali
dengan peningkatan jumlah elektron pada transpor elektron fotosintesis oleh
oksigen. Proses selanjutnya akan terbentuk berbagai bentuk senyawa ROS seperti;
superoksida (O2-), singlet oksigen (.O2), radikal hidroksil (OH-) dan hidrogen
peroksida (H2O2) (Mc Kersie dan Leshem 1994). Senyawa ROS ini akan dapat
menimbulkan kerusakan pada tumbuhan (Aroca et al. 2001). Jika hal ini
dibiarkan, maka lama kelamaan tumbuhan akan mati (Apel dan Hirt 2004).
Dalam menghadapi cekaman oksidatif yang di antaranya ditimbulkan oleh
cekaman kekeringan, dapat diatasi oleh tumbuhan melalui mekanisme adaptasi,
baik yang berjalan secara enzimatik maupun non enzimatik. Salah satu
mekanisme penyelamatan secara non enzimatik terhadap cekaman oksidatif ini
yaitu dengan mengakumulasi senyawa antioksidan seperti asam askorbat (ASA).
ASA merupakan asam organik yang terdapat di dalam kloroplas seperti halnya
klorofil yang berfungsi menetralisir radikal oksigen yang terbentuk akibat
cekaman oksidatif (Dina 2001).
Selain mekanisme fisiologis, tumbuhan juga memiliki kemampuan
adaptasi secara morfologis dan anatomis. Pada keadaan cekaman kekeringan
3
terdapat dua mekanisme utama yang mungkin terjadi pada tumbuhan, yaitu: (a)
tumbuhan berusaha menghindari cekaman, baik dengan cara melakukan
perubahan struktur morfologi dan anatomi, maupun dengan meningkatkan
efisiensi penggunaan air dengan cara mengatur laju transpirasi, dan (b)
meningkatkan toleransi terhadap cekaman kekeringan melalui perubahan kimia
sel (Meyer dan Boyer 1981)
Pada dasarnya tumbuhan memiliki mekanisme tertentu dalam menghadapi
cekaman kekeringan. Informasi tentang mekanisme tumbuhan C3 dan C4 dilihat
dari aspek fisiologis dan anatomis khususnya yang menyangkut perbedaan
kaakteristik antara tumbuhan C3 dan C4 masih kurang. Oleh karenanya kajiankajian tentang perubahan struktur anatomi, laju fotosintesis dan perubahan
fisiologi dari kedua kelompok tumbuhan tersebut saat mendapat cekaman
kekeringan khususnya untuk jenis tumbuhan C3 dan C4 yang ada di Indonesia
masih perlu dilakukan.
Tujuan
1
Membandingkan laju fotosintesis dari parameter yang diukur yaitu:
efisiensi maksimum fotosintesis (Fv/Fm), pelepasan energi untuk reaksi
fotokimia (qP), pelepasan energi untuk reaksi non fotokimia (qN), dan
quatum hasil fotosintesis (qY) terhadap perlakuan cekaman kekeringan pada
tumbuhan C3 dan C4.
2
Mengamati respon anatomi daun pada tumbuhan C3 (padi gogo dan caisim)
dan C4 (echinochloa dan bayam) pada perlakuan cekaman kekeringan.
3
Mengamati akumulasi Asam askorbat (ASA) pada tumbuhan C3 dan C4 yang
mendapat cekaman kekeringan.
Hipotesis
1
Terdapat perbedaan laju fotosintesis dari parameter yang diukur yakni;
Fv/Fm, qP, qN, dan qY terhadap perlakuan cekaman kekeringan pada
tumbuhan C3 dan C4.
2
Terdapat perbedaan respon anatomi daun terhadap cekaman kekeringan
pada tumbuhan C3 dan C4.
4
3
Peningkatan akumulasi ASA pada tumbuhan C3 dan C4 yang mendapat
cekaman kekeringan.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini dapat diperoleh data dan informasi tentang respon anatomi
daun dan fisiologi tumbuhan C3 dan C4 yang dibutuhkan dalam pengembangan
tumbuhan yang toleran terhadap cekaman kekeringan.
5
TINJAUAN PUSTAKA
Peranan Air bagi Pertumbuhan Tanaman
Air merupakan komponen utama tumbuhan, yaitu membentuk 80-90%
bobot segar jaringan yang sedang tumbuh aktif. Air sebagai komponen esensial
tumbuhan memiliki peranan antara lain: (a) sebagai pelarut, didalamnya terdapat
gas, garam, dan zat terlarut lainnya, yang bergerak keluar masuk sel, (b) sebagai
pereaksi dalam fotosintesis dan pada berbagai proses hidrolisis, dan (c) air
esensial untuk menjaga turgiditas diantaranya dalam pembesaran sel, pembukaan
stomata (Griffin et al. 2004).
Pada keadaan normal tumbuhan membutuhkan keseimbangan potensial air
antara tanah-akar-daun-atmosfer. Keseimbangan ini berarti gradien potensial air
antara bagian-bagian tersebut yang memungkinkan tumbuhan untuk melakukan
transpor air dan hara dari akar ke daun. Air akan mengalir dari potensial air tinggi
ke potensial air rendah yang dipengaruhi oleh proses transpirasi (Taiz dan Zeiger
2002).
Proses transpirasi di daun terutama terjadi pada siang hari dan dipengaruhi
oleh cahaya matahari. Ketika terjadi proses transpirasi pada tumbuhan, maka
tekanan turgor akan mengalami penurunan. Penurunan ini menyebabkan potensial
air di daun lebih rendah dari pada di akar, sehingga akan mempermudah aliran air
di xilem dari akar sampai ke daun. Peningkatan aliran air ini dibutuhkan untuk
pertumbuhan sel tanaman. Aliran air ke sel akan mengakibatkan perbesaran dan
pemanjangan sel, sehingga sel dapat tumbuh (Kramer dan Boyer 1995).
Pada kondisi lingkungan tertentu tumbuhan dapat mengalami defisit air.
Defisit air berarti terjadi penurunan gradien potensial air antara tanah-akar-daunatmosfer, sehingga laju transpor air dan hara menurun (Taiz dan Zeiger 2002).
Penurunan ini akan mengakibatkan gangguan pada pertumbuhan tanaman,
terutama pada jaringan yang sedang tumbuh (Kramer dan Boyer 1995). Hal ini
biasanya terjadi pada tanah yang kekurangan air, sehingga gradien potensial air di
tanah dan akar menurun. Itulah sebabnya tanaman yang tumbuh pada tanah yang
kering mengalami hambatan pertumbuhan.
6
Cekaman Kekeringan pada Tumbuhan
Cekaman kekeringan akan mengakibatkan rendahnya laju penyerapan air
oleh akar tanaman. Ketidakseimbangan antara penyerapan air oleh akar dan
kehilangan air akibat transpirasi membuat tanaman menjadi layu. Cekaman
kekeringan atau
drought stress dapat terjadi karena beberapa hal yaitu: (1)
tingginya kecepatan evaporasi yang melebihi persediaan air dari tanah ke akar
yang akan mengakibatkan penurunan potensial air, (2) adanya senyawa yang
bersifat osmotik, seperti pada tanah salin, yang dapat menurunkan pengambilan
air sehingga terjadi penurunan potensial osmosis dan tidak cukupnya pengambilan
air oleh tanaman yang diserap dari tanah (Borges 2003).
Cekaman
kekeringan
dapat
menghambat
pertumbuhan
tanaman.
Penghambatan pertumbuhan ini salah satunya dapat dilihat pada perluasan daun.
Penurunan luas daun merupakan respon pertama tanaman terhadap kekeringan.
Keterbatasan air akan menghambat pemanjangan sel yang secara perlahan akan
menghambat pertumbuhan luas daun. Kecilnya luas daun mengakibatkan
rendahnya transpirasi, sehingga menurunkan laju suplai air dari akar ke daun. Jika
kondisi ini dibiarkan terus menerus, lama kelamaan akan terjadi absisi daun (Taiz
dan Zeiger 2002).
Hambatan pertumbuhan pada tanaman bukan saja dari keterbatasan air,
namun dapat juga disebabkan persaingan antara tanaman dengan gulma.
Echinochloa merupakan kelompok Graminaea yang tergolong sebagai gulma
yang bersaing dengan tanaman padi. Hubungan Echinochloa dengan tanaman padi
dapat berupa kompetisi yang dapat diartikan sebagai persaingan dua organisme
dalam meraih makanan dan tempat hidup yang sama, seperti unsur hara, air,
cahaya, bahan ruang tumbuh, dan CO2. Persaingan antara gulma dengan tanaman
adalah persaingan inter spesifik. Perbedaan spesies, akan menentukan kemampuan
bersaing karena perbedaan fotosintesis, kondisi perakaran dan keadaan
morfologinya (Kennedy et al. 1983).
Echinochloa memiliki jalur fotosintesis C4, sedangkan padi tanaman C3.
Echinochloa tumbuh saat tanaman padi mulai kekurangan air, sehingga
persaingan menjelang panen berpengaruh besar terhadap kualitas hasil produksi
7
padi (Moffet dan McCarthy 1973). Namun Echinochloa memiliki potensi secara
genetik lebih tahan terhadap kekeringan dari pada tanaman padi (Kennedy et al.
1983).
Padi tersebar luas di seluruh dunia dan tumbuh dihampir semua belahan
bumi yang memiliki cukup air dan suhu udara yang cukup hangat. Padi menyukai
tanah yang lembab dan becek. Kebutuhan padi yang tinggi akan air pada
sebahagian tahap kehidupannya, sehingga menjadi suatu masalah tersendiri bagi
daerah yang memiliki curah hujan yang rendah untuk melakukan penanaman padi.
Di beberapa daerah tadah hujan, orang mengembangkan padi gogo, suatu tipe padi
lahan kering yang relatif toleran tanpa penggenangan seperti di sawah (Wikipedia
2009). Walaupun padi gogo relatif toleran terhadap kekeringan, namun padi
sebagai tanaman C3 masih kurang efisien dalam pemanfaatan air dibanding
tumbuhan C4 (Long 1999).
Tumbuhan C3 yang juga dikembangkan di Indonesia adalah caisim
(Brassica rapa. L). Caisim bukan tumbuhan asli Indonesia, namun mempunyai
kecocokan terhadap iklim, cuaca dan tanahnya, sehingga dapat dikembangkan di
Indonesia. Caisim dapat tumbuh baik di tempat yang berhawa panas maupun
berhawa dingin. Meskipun kenyataannya hasil yang diperoleh lebih baik di
dataran tinggi yang relatif berhawa sejuk.
Caisim tidak tahan terhadap kekeringan. Pada musim kemarau harus
disiram dengan teratur. Caisim membutuhkan hawa yang sejuk, sehingga tumbuh
lebih cepat jika ditanam pada kondisi yang lembab (Nicole 2006). Akan tetapi
caisim juga tidak senang pada air yang tergenang. Caisim cocok ditanam pada
akhir musim penghujan. Manfaat caisim yaitu digunakan sebagai sayuran yang
biasa dicampur dengan bakso. Caisim mempunyai tangkai daun yang panjang,
langsing berwarna putih kehijaun. Selain itu caisim memiliki rasa renyah, segar
dengan sedikit rasa pahit (Izzul 2009).
Selain caisim, salah satu tumbuhan yang dimanfaatkan juga sebagai
sayuran adalah bayam (Amaranthus caudatus. L.). Bayam sebagai sayuran hanya
umum dikenal di Asia timur dan Asia tenggara, sehingga disebut Chinese
amaranth. Bayam merupakan sayuran daun yang bergizi tinggi dan digemari oleh
semua lapisan masyarakat.
8
Bayam membutuhkan ketersediaan air di dalam tanah. Bayam termasuk
tumbuhan yang memerlukan cukup banyak air untuk pertumbuhannya.
Penanaman bayam dianjurkan pada awal musim hujan atau akhir musim kemarau.
Bayam menyukai iklim hangat dan intensitas cahaya yang relatif tinggi. Bayam
relatif tahan terhadap pengcahayaan langsung, karena merupakan tumbuhan C4.
Batang berair kurang berkayu, daun bertangkai berwarna hijau merah atau hijau
keputih-putihan (Stallknecht dan Schulz-Schaeffer 1993).
Tanaman bayam memerlukan cahaya matahari penuh. Kebutuhan akan
sinar matahari untuk tanaman bayam cukup besar. Pada tempat yang ternaungi,
pertumbuhan bayam menjadi kurus dan meninggi akibat kurang mendapat sinar
matahari penuh. Suhu udara yang sesuai berkisar antara 16-20 oC kelembaban
udara yang cocok untuk tanaman bayam antara 40-60% (Costea et al. 2006).
Efek Kekeringan terhadap Fotosintesis
Penurunan potensial air tanaman pada kondisi kekeringan menyebabkan
terjadinya penurunan laju fotosintesis. Hal ini terjadi karena adanya hambatan
yang ditimbulkan oleh penutupan stomata (stomatal limitation) maupun hambatan
akibat penurunan proses biokimia dalam tumbuhan (non-stomatal limitation)
(Kalefetoglu dan Ekmekci 2005).
Hambatan stomata
Pada kondisi cekaman kekeringan ringan (moderat) tumbuhan akan segera
mengurangi pembukaan stomata. Penurunan pembukaan stomata ini dilakukan
untuk meminimalisir kehilangan air yang berlebihan. Dengan terjadinya
penurunan pembukaan stomata, maka konsentrasi CO2 daun akan menurun
sehingga dengan sendirinya proses fotosintesis juga menurun (Flexas dan
Medrano 2002).
Comstock (2002) menambahkan bahwa pengaturan konduktan stomata
berkaitan dengan sinyal hidrolik (hydraulic signaling) dan sinyal kimia (chemical
signaling). Ketika tumbuhan mengalami kondisi cekaman kekeringan, terjadi
perubahan potensial air pada tanaman. Pada keadaan ini terjadi penurunan gradien
9
potensial air antara akar dan tanah, sehingga laju penyerapan air oleh akar
menurun. Penurunan laju penyerapan air ini dan ditambah dengan peningkatan
transpirasi akibat radiasi matahari membuat tanaman mengalami kekurangan air
(Blake dan Li 2003). Gradien potensial air akan menimbulkan hydraulic signaling
terhadap cekaman kekeringan sehingga stomata menutup (Comstock 2002).
Peningkatan konsentrasi asam absisat (ABA) pada akar tumbuhan
merupakan sinyal kimia yang akan ditranspor ke daun saat tumbuhan mengalami
kekurangan air dari tanah. Ketika cekaman kekeringan terjadi peningkatan sintesis
ABA pada akar tanaman sebagai respon terhadap keadaan defisit air tanah.
Peningkatan ABA ini terkait dengan status air di akar tumbuhan. Proses
selanjutnya ABA akan ditranspor dari akar melalui xilem menuju ke daun. Selain
di akar, tanaman juga mensintesis ABA di daun, sehingga terjadi peningkatan
ABA di daun (Srivastava 2002). Pada kondisi ini protein channel Kout di sel
penjaga daun akan diaktifkan oleh keberadaan ABA dan protein channel Kin akan
dihambat oleh ABA, sehingga banyak ion K+ yang keluar dari sel penjaga.
Kondisi ini akan menurunkan potensial osmotik sel penjaga sehingga stomata
menutup (Roberts dan Snowman 2000). Proses isyarat oleh ABA dari akar ke
daun ini dikenal dengan istilah long-distance chemical signaling (Comstock
2002).
Kehilangan ion K+ pada sel penjaga dapat disebabkan oleh penurunan
kandungan air daun, dan ABA memegang peranan penting dalam proses ini. ABA
disintesis secara lambat terus menerus di sel mesofil dan terakumulasi di
kloroplas. Ketika mesofil terhidrasi maka ada dua hal yang akan terjadi yaitu:
1 Sebagian ABA yang disimpan di kloroplas akan dilepas ke apoplas sel
mesofil. Redistribusi ABA ini bergantung kepada gradien pH daun,
keasaman bahan molekul ABA dan permeabilitas membran sel.
Redistribusi ABA memungkinkan aliran transpirasi untuk membawa
sebagian ABA ke sel penjaga (Trejo et al. 1995)
2 ABA disintesis dengan kecepatan tinggi di akar sehingga mengakibatkan
lebih banyak ABA yang diakumulasi pada apoplas daun (Taiz dan Zeiger
2002).
10
Hasil
penelitian
pada
Arabidopsis
diperoleh
bahwa
peningkatan
konsentrasi ABA seiring dengan penurunan konduktan stomata dengan semakin
lamanya kondisi kekeringan (Desikan et al. 2003). Bingham dan McCabe (2006)
menambahkan bahwa ABA merupakan faktor yang mengatur konduktansi
stomata.
Hambatan non-stomata
Hambatan non-stomata pada fotosintesis berkaitan dengan proses
metabolik yaitu pada proses transpor elektron fotosintesis. Jika kondisi kekeringan
terus terjadi maka tanaman akan mengalami penurunan proses metabolik, karena
berkurangnya difusi CO2 ke kloroplas (Chaves dan Oliveira 2004) yang nantinya
akan mengarah kepada penurunan kandungan ribulosa 1,5-biphosphat (RuBP)
pada proses fotosintesis (Flexas dan Medrano 2002). Vu et al. (1997)
menambahkan bahwa peningkatan cekaman kekeringan pada tumbuhan C3 akan
menurunkan total aktivitas rubisko.
Cekaman
kekeringan
akan
menginduksi
terjadinya
fotoinhibisi,
selanjutnya akan menurunkan kandungan protein D1 pada fotosistem II (PSII)
(Pastenes et al. 2004). PS II sebagai sistem penangkap cahaya (light harvesting
system) memiliki dua fungsi esensial yaitu; (1) menangkap cahaya pada proses
fotosintesis, (2) melepas energi tereksitasi apabila terjadi kelebihan energi.
Berdasarkan hal tersebut, PS II akan merespon isyarat eksternal dari lingkungan.
Hal ini berkaitan dengan peningkatan gradien pH (∆pH) di trans-membran
tilakoid. Peningkatan ∆pH di trans-membran tilakoid ini berfungsi sebagai kontrol
balik terhadap kelebihan transpor elektron fotosintesis. Proses ini dikenal dengan
non-photochemical quenching (NPQ) yang bergantung pada siklus xanthophyll
dan protein PsbS pada fotosistem (Horton dan Ruban 2004), sebagai mekanisme
pertahanan tumbuhan terhadap fotoinhibisi (Taiz dan Zeiger 2002).
Fotosintesis pada tumbuhan C4 melibatkan dua kumpulan sel yang
ditunjukkan dengan adanya sel-sel mesofil (Siklus C4) dan sel-sel seludang
pembuluh (siklus Calvin). Jalur C4 menggunakan enzim PEP karboksilase
terutama pengikatan awal CO2, dan karbon yang terikat mulanya terbentuk
melalui berbagai asam berkarbon empat seperti asam oksalo asetat (AOA), malat,
11
dan aspartat, kemudian CO2 akhirnya terlepas dan diikat kembali oleh enzim
RuBP karboksilase (Sugiharto et al. 2002). Tumbuhan yang mempunyai jalur ini
pada umumnya berbeda secara anatomi dengan tumbuhan C3 yaitu memiliki
anatomi ”Kranz”, dengan satu lapisan yang terikat baik di sekitar pembuluh
vaskuler dan kloroplas terpusat di dalam sel-sel mesofil yang melingkar di luar
lapisan itu sendiri.
Cekaman Oksidatif
Perubahan lingkungan yang tidak menguntungkan termasuk kekeringan
pada tumbuhan, dapat menyebabkan terbentuknya senyawa oksidatif. Jika kondisi
ini dibiarkan, tumbuhan akan mengalami
cekaman oksidatif. Pembentukan
senyawa oksidatif pada tumbuhan diawali dengan reduksi oksigen pada membran
sel kloroplas membentuk superoksida (O2-). Jika hal ini terjadi akan terbentuk
spesies oksigen reaktif (ROS) yang meliputi molekul-molekul seperti: superoksida
(O2-), singlet oksigen (.O2), radikal hidroksil (OH-) dan hidrogen peroksida (H2O2)
(Gambar 1) (Blokhina et al. 2003). Radikal bebas merupakan molekul yang sangat
reaktif,
karena
memiliki
elektron
yang
tidak
berpasangan
dan
dapat
mengakibatkan kerusakan pada membran sel (Mc Kersie dan Leshem 1994).
Contoh reaksi tersebut adalah:
2 O2- + 2 Fdox
2 O2 + 2 Fdred
Berikut tahap mekanisme pembentukan radikal hidroksil melalui keberadaan ion
metal besi:
(1) Molekul O2- yang reaktif akan berusaha melepaskan elektron bebasnya dan
bereaksi dengan H+ membentuk H2O2. (2) Proses selanjutnya hidrogen peroksida
dan superoksida bereaksi membentuk molekul yang sangat reaktif yaitu radikal
hidrosil. (3) Selain itu radikal hidroksil bisa dibentuk dengan keberadaan ion besi
melalui reaksi fenton. Keberadaan besi atau ion metal lainnya dapat meningkatkan
kerusakan oksidatif ( Mc Kersie dan Leshem 1994). Berikut ini adalah skema
pembentukan radikal bebas:
O2-
+
O2-
+
H+
H2O2
+
O2
(1)
12
O23+
Fe
2+
Fe
+ H2O2
+ O2
+ OH + OH-
O2
-
2+
Fe
(2)
+ O2
.
OH + OH + Fe3+
+ H2O2
(3)
Secara keseluruhan, reaksi pembentukan ROS dapat dilihat sebagai berikut:
Dioksigen
3O2
1
ion
Radikal
Superoksida
ion
Peroksida
O2. -
O22-
e-
O2
Oksigen
Singlet
e-
ion
Oksen
e-
O23-
O-
ion
Oksida
e-
O2-
H+
2H+
2H+
H+
2H+
HO2radikal
Perhidroksil
H2O2
Hidrogen
Peroksida
H2O
Air
OHradikal
hidroksil
H2O
Air
Gambar 1 Mekanisme pembentukan ROS (Apel dan Hirt 2004)
Menurut Mc Kersie dan Leshem (1994) ada beberapa peluang terjadinya
pembentukan ROS pada proses fotosintesis.
1
Pada PS (Photosystem) I dapat terjadi reduksi oksigen melalui reaksi
Mehler. Reduksi oksigen ini terjadi pada transport elektron feredoksin,
reduksi ini terjadi ketika NADP+ terbatas yang salah satunya disebabkan
oleh berkurangnya penggunaannya NADPH untuk fiksasi CO2 pada siklus
Calvin.
2
Pada PS II terjadi oksidasi dengan mentransfer empat single elektron dari
H2O membentuk triplet atau ground state oksigen. Selain itu alkohol
tertentu juga bisa direduksi oleh PS II.
3
Fotoaktifasi dari kloroplas secara normal mentransfer energi ke pusat
reaksi PS, namun pada kondisi yang tidak menguntungkan klorofil akan
menangkap energi cahaya pada sistem transpor elektron, sehingga dapat
mengeksitasi oksigen dari bentuk triplet ke bentuk singlet (Gambar 2).
4
Fotorespirasi merupakan lintasan yang paling mudah untuk menghasilkan
proses oksigenasi. Walaupun tidak terjadi pengaktifan oksigen di dalam
kloroplas, namun terjadi metabolisme glikolat lebih lanjut di dalam
peroksisom (Gambar 2).
13
Gambar 2 Produksi ROS pada transpor elektron fotosintesis pada kondisi cahaya
tinggi (Apel dan Hirt 2004).
Peningkatan ROS dapat menimbulkan kerusakan pada komponen
membran sel. Komponen membran sel yang mengalami kerusakan tersebut antara
lain: lipid (peroksidasi dari asam lemak tidak jenuh pada membran), protein
(denaturasi), karbohidrat, dan asam nukleat. Kerusakan membran ini dapat dilihat
dari perubahan komposisi dan kandungan lipid, pengaktifan lipid peroksidase dan
meningkatnya kebocoran membran (Blokhina et al. 2003).
Penyelamatan tumbuhan dari ROS oleh asam askorbat
Pembentukan ROS akan meningkat ketika kondisi lingkungan tidak
menguntungkan terus terjadi, namun tanaman mempunyai suatu mekanisme
penyelamatan terhadap kondisi tersebut. Mekanisme penyelamatan ini antara lain
melalui mekanisme antioksidan baik yang bersifat enzimatik maupun nonenzimatik untuk menghindari kerusakan yang terjadi akibat cekaman oksidatif.
Mekanisme pembentukan antioksidan non-enzimatik sebagai antioksidasi dengan
menghasilkan senyawa-senyawa antioksidan seperti: asam askorbat (ASA),
glutation (GSH), termasuk juga tokopherol, flavonoid, alkaloid dan karotenoid
(Apel dan Hirt 2004).
ASA atau vitamin C merupakan asam organik dengan kemampuannya
sebagai antioksidan. ASA dapat larut dalam air dan sangat mudah dioksdasi yaitu
sebagai senyawa reduktan (Gambar 3). ASA akan rusak ketika ditempatkan pada
14
cahaya atau panas yang akan berubah dalam bentuk teroksidasi yaitu asam
dehidroaskorbat (Karyotou dan Donaldson 2004).
Asam askorbat
Askorbat radikal bebas
Gambar 3 Metabolisme redoks asam askorbat (Wikipedia 2008).
Asam askorbat mempunyai banyak fungsi untuk tumbuhan (Noctor dan
Foyer 1998). Asam askorbat juga digunakan sebagai ko-faktor untuk violaxanthin
de-epoksidase pada siklus xanthophyll. Proses ini dilibatkan dalam perlindungan
pelepasan penyerapan cahaya dalam bentuk panas dan bisa diukur sebagai NPQ
dari klorofil flouressen (Sonja et al. 2001). ASA sebagai senyawa antioksidan
dapat berinteraksi dengan membran plasma dan mendonorkan elektronnya ke
radikal α-tocopheroksil yang dapat membantu melindungi membran plasma dari
peroksidasi (Asada 2006).
Mekanisme Toleransi terhadap Cekaman Kekeringan
Berdasarkan kemampuan genetiknya, daya adaptasi tumbuhan terhadap
cekaman lingkungan berbeda-beda. Jones et al. (1981) mengklasifikasikan
resistensi tanaman terhadap kekeringan berdasarkan beberapa mekanisme:
1 Melepaskan diri dari cekaman kekeringan (Drought escape) yaitu kemampuan
15
tanaman menyelesaikan siklus hidupnya sebelum mengalami defisit air yang
parah. Mekanisme ini ditunjukkan dengan perkembangan sistem pembungaan
yang cepat dan perkembangan plastisitas jaringannya.
2 Toleransi dengan potensial air jaringan yang tinggi, yaitu kemampuan tanaman
tetap menjaga potensial jaringan dengan meningkatkan penyerapan air atau
menekan kehilangan air. Pada mekanisme ini biasanya tanaman mempunyai
kemampuan untuk meningkatkan sistem perakaran dan konduktitivitas
hidrolitik atau kemampuan untuk menurunkan hantaran epidermis dengan
regulasi stomata, pengurangan absorbsi radiasi dengan pembentukan lapisan
lilin, bulu yang tebal dan penurunan permukaan evapotranspirasi melalui
penyempitan daun serta pengguguran daun tua.
3 Toleransi dengan potensial air jaringan yang rendah, yaitu kemampuan
tumbuhan untuk menjaga tekanan turgor sel dengan menurunkan potensial
airnya melalui akumulasi solut seperti gula, asam amino dan sebagainya atau
dengan meningkatkan elastisitas sel.
Ada dua pendekatan utama yang sering digunakan untuk melihat kemampuan
tumbuhan dalam menghadapi cekaman kekeringan. Pendekatan pertama adalah
dengan melihat kemampuan pengambilan air secara maksimal dengan perluasan
dan kedalaman sistem perakaran. Pendekatan kedua dengan melihat kemampuan
tumbuhan mempertahankan turgor melalui penurunan potensial osmotik,
mengingat tekanan turgor mutlak diperlukan bagi jaringan untuk menjaga tingkat
aktivitas fisiologi (Cortes dan Sinclair 1986)
Perubahan struktur tumbuhan yang terjadi sebagai respon terhadap
cekaman lingkungan berkaitan dengan sifat toleransinya. Perubahan struktur yang
mengarah kepada bentuk yang menghindarkan tumbuhan dari bahaya cekaman
yang banyak terjadi pada beberapa tumbuhan, misalnya perkembangan sistem
perakaran, perubahan bentuk daun mekanisme penutupan stomata, dan
sebagainya.
Pengaruh Kekeringan terhadap Anatomi Daun
Pengamatan daun dapat didasarkan atas fungsinya sebagai penerima
cahaya dan salah satu tempat berlangsungnya fotosintesis. Selain luas daun
16
sebagai parameter utama, ketebalan daun juga menentukan kemampuan absorbsi
cahaya yang juga menarik untuk diamati, dan dapat dinyatakan dalam bentuk
nisbah berat berat per luas daun, atau secara anatomi dengan mengukur ketebalan
sayatan melintang daun. Parameter ini cukup sensitif terhadap perubahan
lingkungan seperti kekurangan air ( Filho dan Paiva 2006).
Lamina daun merupakan bagian utama yang mengandung jaringan
fotosintesis, sedang tangkai daun yang berfungsi menopang lamina daun memiliki
jaringan fotosintesis yang relatif kecil. Pada lamina daun dari tumbuhan dikotil
terdapat sel mesofil yang terdifrensiasi menjadi jaringan palisade dan bunga
karang. Sedangkan pada tumbuhan monokotil mempunyai lamina daun yang
bagian adaksial terdapat sel bulliform yang berfungsi menutup dan membuka
helai daun bila mendapat gangguan lingkungan seperti intensitas cahaya yang
tinggi maupun cekaman kekeringan (Sutrian 1992).
Menurut Radwan (2007) terjadinya penurunan laju fotosintesis tersebut
berhubungan dengan kombinasi beberapa proses, yaitu: penutupan stomata, yang
secara hidroaktif mengurangi suplai CO2 ke dalam daun, dehidrasi kutikula,
dinding epidermis, dan membran sel mengurangi permeabilitasnya terhadap CO2.
Selain itu, bertambahnya tahanan sel mesofil terhadap pertukaran gas
dan
menurunnya efisiensi sistem fotosintesis berkenaan dengan proses-proses
biokimia dan aktivitas enzim dalam sitoplasma, terutama dalam fotosintesis
terdapat proses hidrolisis yang memerlukan air. Air sebagai komponen utama
tumbuhan dibutuhkan untuk berbagai proses metabolisme tumbuhan untuk
pertumbuhan dan perkembangan tumbuhan termasuk transportasi hara dan
mineral. Pada kondisi ini tumbuhan telah mampu kembali menjaga keseimbangan
gradien potensial osmotik antara media akar dan tajuk (Marschner 1995).
Cekaman kekeringan selain menghambat laju fotosintesis juga menekan
akumulasi N dalam tumbuhan.
17
17
BAHAN DAN METODE
Waktu dan Tempat
Penelitian dimulai dari bulan Juni 2008 hingga Maret 2009 dan,
dilaksanakan di rumah kaca
kebun percobaan Cikabayan IPB, Laboratorium
Fisiologi Tumbuhan, dan di Laboratorium Anatomi dan Morfologi Tumbuhan,
Departemen Biologi, Fakultas MIPA, Institut Pertanian Bogor .
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain: tanah ultisol
Cikabayan, pasir, pupuk NPK, TSP dan pupuk kandang. Tumbuhan C3: benih padi
gogo (Oryza sativa L.) varietas Situbagendit, caisim (Brassica rapa L.), tumbuhan
C4: Echinochloa (Echinochloa crussgalli L.), dan bayam (Amaranthus caudatus),
nitrogen cair, kantong kertas, aluminium foil, kertas saring, bahan-bahan untuk
pengukuran parameter fotosintesis, sediaan mikroskopis, dan bahan-bahan untuk
analisis kandungan asam askorbat.
Alat-alat yang digunakan untuk keperluan penanaman adalah rumah kaca,
dan timbangan duduk kapasitas 25 kg, rol meter. Alat-alat laboratorium yang
digunakan adalah: timbangan analitik, oven, cork borer, tabung reaksi, botol piol,
mortar, masker, sarung tangan, corong, biuret 50 ml, gelas ukur (250 ml dan 500
ml), mikroskop cahaya (Nikon SE), dan mikrotom putar (Yamato RV-240),
Photosynthetic chlorophyl flourometer (Qubit system model ACT 1),
tabung
o
nitrogen cair, cool box, dan freezer -30 C.
Rancangan Percobaan
Percobaan dirancang dan dilaksanakan
menggunakan Rancangan Acak
Lengkap (RAL) dengan rancangan perlakuan faktorial yang terdiri dari dua faktor.
Faktor pertama adalah jenis tanaman yang meliputi 4 taraf yaitu:
J1 : Padi gogo (O. sativa L.)
18
J2 : Echinochloa (E. crussgalli L.)
J3 : Caisim (B. rapa L.)
J4 : Bayam (A. caudatus L.)
Faktor kedua adalah perlakuan cekaman yang meliputi 2 taraf yaitu:
K0 : Disiram setiap hari (Kontrol)
K1 : Penundaan penyiraman sampai layu berat (Kekeringan)
Ada 24 unit uji ( 8 kombinasi perlakuan yang masing-masing dengan 3
ulangan).
Untuk mengetahui pengaruh dari seluruh perlakuan digunakan Analysis of
Variance (ANOVA), jika berbeda nyata dilakukan uji lanjut Tukey pada taraf 5%
dengan menggunakan program SPSS versi 15.
Pelaksanaan
Penyiapan media tanam
Pada percobaan ini digunakan empat jenis tumbuhan. Padi gogo varietas
situbagendit diperoleh dari Balai Benih Ciomas, Bogor, Echinochloa dari P.T.
Syngenta Cikampek, caisim dan bayam dari produksi P.T. Sang Hyang Seri
(Persero).
Tanah diambil dari kebun percobaan Cikabayan pada lapisan olah 0-25 cm,
kemudian dikering-udarakan. Setelah itu dihaluskan dan disaring menggunakan
saringan dengan diameter lubang 5 mm. Polibag diisi tanah campuran pasir
perbandingan 1:1 sebanyak 6 kg yang telah diberi pupuk kandang 600 g per
polibag. Sebelum ditanami, tanah di analisis sifat fisik dan kimianya untuk melihat
kadar air tanah pada keadaan kapasitas lapang untuk menentukan jumlah air yang
harus ditambahkan pada media dan titik layu permanen serta kandungan hara dan
pH tanah (Lampiran 1).
Penanaman dan pemeliharaan
Benih ditanam di polibag yang telah disiapkan, sebanyak 3-5 benih/polibag
untuk setiap perlakuan. Pada saat berumur seminggu, semua tanaman percobaan
dipupuk dengan NPK 2,5 g/polibag dan TSP 1,12 g/polibag. Setelah padi gogo dan
Echinochloa berumur 2 minggu, sedangkan caisim dan bayam berumur 1 minggu,
maka tanaman dijarangkan hingga terdapat 2 tanaman per polibag. Tanaman
disiram setiap hari sebelum diberi perlakuan cekaman kekeringan.
19
Pemberian perlakuan
Keempat jenis tumbuhan diberi perlakuan, yaitu disiram setiap hari (K0)
dan tanpa disiram (K1). Pemberian perlakuan tanpa disiram
sampai tanaman
menunjukkan gejala kritis (layu berat). Gejala layu berat terlihat setelah diberi
kondisi gelap pada tumbuhan, akan tetapi pada jam enam pagi masih tetap layu.
Kontrol setiap tanaman tetap disiram setiap hari. Media tanam ditutup mulsa, agar
penguapan langsung dari media dapat diminimalisir.
Pengambilan Data
Pengukuran KAM dan KAR
Pengukuran terhadap status air yang dilakukan meliputi: kadar air media
tanam (KAM), dan kadar air relatif daun (KAR). KAM dan KAR diukur pada 0, 4,
8, 12 hari setelah perlakuan (HSP) untuk padi gogo, caisim dan bayam, sedangkan
untuk Echinochloa diukur pada 0, 4, 8, 12 dan 14 HSP serta 2 hari setelah
penyiraman kembali (recovery).
KAM diukur dengan cara mengambil sampel tanah dari bagian atas, tengah
dan bawah polibag. Sampel tanah ditimbang untuk memperoleh berat basah (BB),
kemudian dioven pada suhu 800C selama 2x24 jam untuk mendapatkan berat
kering (BK). KAM diperoleh dengan rumus:
KAM 
BB - BK
x 100 %
BB
Kadar Air Relatif daun diukur dengan mengambil sampel daun posisi yang
ketiga pada tumbuhan dengan menggunakan cork borer diameter 1 cm. Sampel
daun yang diperoleh ditimbang untuk mendapatkan berat segar (BS), kemudian
dilakukan hidrasi selama 24 jam dalam botol kecil untuk mendapatkan berat jenuh
(BJ). Sampel selanjutnya di oven pada suhu 800C selama 2x24 jam untuk
memperoleh berat kering (BK) setelah sebelumnya didinginkan dalam desikator
(Barr and Weatherley 1962). KAR didapat dihitung dengan rumus:
KAR 
BB - BK
x 100 %
BJ - BK
20
Pengukuran Parameter Fotosintesis
Pengukuran parameter fotosintesis tanaman dilakukan pada hari ke 0, 4, 8,
12 (padi caisim, dan bayam) dan 0, 4, 8, 12, 14 (echinochloa) dan 2 hari setelah
penyiraman kembali. Parameter fotosintesis yang diamati meliputi: efisiensi
maksimum fotosintesis (Fv/Fm), energi pelepasan fotokimia (qP), energi pelepasan
non-fotokimia (qN), dan hasil quantum fotosintesis (qY). Pengukuran dilakukan
dengan menggunakan alat Photosynthetic Chlorophyl Flourescence (Qubit system
tipe ACT 1). Daun pada posisi ke-3 pada tanaman diletakkan pada Kuvet,
kemudian daun diadaptasikan pada keadaan gelap dengan cara ditutup kain hitam
selama lebih kurang 20 menit. Kemudian saturating flash dinyalakan, dan
fluorescence akan meningkat dari nilai ground state (Fo) ke nilai maksimum (Fm).
Data yang diperoleh digunakan untuk mengukur efisiensi quantum maksimum
fotosintesis dengan rumus: Fv/Fm = (Fm-Fo)/Fm. Selanjutnya Actinic light
dinyalakan, pada kondisi ini fluorescence yield akan meningkat dari nilai steady
state (Ft). Saturating flash dinyalakan dengan interval 20 detik dan akan dilakukan
pengukuran fluorescence yield pada kondisi ada cahaya (Fm’) yang ditentukan
setelah nilainya stabil. Pengukuran fluorescence yield
photochemical quenching dengan
photochemical
akan
diperoleh nilai
rumus: qP = (Fm’-Ft)/(Fm’-Fo), non
quenching, NPQ = (Fm-Fm’)/Fm’ dan quantum Yield dari
transfer elektron pada PSII, (PSII)=(Fm’-Ft)/Fm’.
Analisis Kandungan Asam Askorbat (ASA) (Reiss 1993)
Kandungan ASA diukur dengan menggunakan metode titrasi. Sampel daun
( 5 g) digerus dalam 10 ml asam metafosforik 5%, hasil gerusan disaring dengan
filter Wathman no.1. Kemudian filtrat yang diperoleh dititrasi dengan
dichlorophenol-indolphenol (DCIP) 0,8 g l-1. Titrasi dihentikan ketika filtrat tepat
berwarna merah muda. Standar asam askorbat diketahui dengan mentitrasi asam
askorbat murni yaitu: 1 ml larutan yang mengandung asam askorbat (4,0 g l-1) dan
9 ml asam metaphosporik 5% dititrasi dengan dichlorophenol-indolphenol (DCIP)
0,8 g l-1. Kandungan ASA diperoleh dengan rumus sebagai berikut :
21
a. Untuk standarisasi larutan ASA ( 4 mg ASA murni ekuivalen dengan 1 ml
yang dititrasi DCIP). DCIP sebagai indikator warna titrasi.
ASA (mg)
4 mg ASA murni
=
1 ml DCIP
Volume DCIP yang dititrasi
b. Untuk mengetahui kandungan ASA daun tanaman (ASA per100 gram jaringan
daun):
mg ASA per aliquot x (total volume ekstrak (ml)/ volume aliquot(ml)) x
(100 g/berat segar)
Pengamatan Pertumbuhan
Pengamatan pertumbuhan tanaman setelah perlakuan kekeringan yang
meliputi: tinggi tanaman, panjang akar, luas daun.
Pengambilan data tinggi tanaman dan luas daun dilakukan pada 0, 3, 6, 9,
12, 14 HSP dan 2 hari setelah penyiraman. Sedangkan panjang akar diukur setelah
12 HSP pada tumbuhan padi gogo, caisim dan bayam, serta 14 HSP pada
Echinochloa. Tinggi tajuk diukur mulai dari permukaan tanah sampai titik tumbuh.
Panjang akar diukur mulai dari pangkal akar hingga ujung akar yang paling
panjang.
Pengukuran panjang dan lebar daun dipilih posisi daun yang kedua, ketiga
dan keempat disetiap ulangan percobaan untuk menghitung luas daun (LD). LD
dihitung menggunakan ukuran panjang daun (P) dan lebar daun (L) mengikuti
metode Sitompul dan Guritno (1995), dengan rumus:
LD = P x L x k (konstanta kalibrasi = 0,74)
Produksi Bobot Kering Tanaman
Pengukuran bahan kering tanaman meliputi; bobot kering tajuk, bobot
kering akar, dan bobot kering biji. Penimbangan bobot kering tajuk dan akar
dilakukan pada saat akhir perlakuan cekaman kekeringan. Bobot kering akar dan
tajuk ditimbang secara terpisah setelah dioven 800C selama 2x24 jam. Bobot kering
biji saat panen diperoleh dengan cara menjemur biji di rumah kaca selama kurang
lebih 2 minggu, lalu ditimbang.
22
Sediaan miroskopis
Sampel daun untuk sayatan mikroskopis diambil pada 11 HSP kemudian
langsung dimasukkan ke dalam larutan fiksatif FAA (formaldehid 37%: asam
asetat glasial: alkohol 70%= 5:5:90) sebagai bahan pemfiksasi. Irisan transversal
dibuat menurut
metode parafin dengan campuran larutan n-butanol –alkohol-
akuades sebagai dehidrannya (Nakamura 1995). Daun yang telah difiksasi selama
24 jam di dalam larutan FAA dimasukkan ke dalam seri larutan dehidrasi ke-3
sampai ke-7 (Lampiran 1), dengan masing-masing tahap perendaman selama 1 jam.
Infiltrasi parafin dilakukan secara bertahap, selanjutnya blok parafin yang terbentuk
diiris setebal 10 m kemudian pita diletakkan pada gelas objek. Sebelum pita
parafin diwarnai terlebih dahulu dicelupkan ke dalam larutan xilol selama 5 menit.
Sampel yang telah dicuci dengan xilol lalu diwarnai dengan pewarnaan ganda
safranin 2% dan fast green 0,5%, kemudian ditetesi dengan canada balsam dan
ditutup dengan gelas penutup. Preparat diamati di bawah mikroskop cahaya pada 6
bidang dengan perbesaran 100, 400 dan 1000 kali. Parameter pengamatan meliputi;
tebal helai daun, epidermis atas, epidermis bawah, sel bulliform, tebal jaringan
palisade, tebal jaringan bunga karang, serta diameter xilem dan floem.
23
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kadar Air Media (KAM) dan Kadar Air Relatif (KAR) Daun
Kebutuhan air pada tumbuhan C3 (padi gogo dan caisim) dan C4
(Echnochloa dan bayam) dapat dipenuhi melalui tanah dengan jalan penyerapan
oleh akar, walaupun sebagian besar air akan dilepas ke udara dalam proses
transpirasi. Besarnya penyerapan air oleh tumbuhan dalam pot, ditandai dengan
penurunan kadar air media (KAM) tanam. Kandungan air pada tumbuhan akan
dipengaruhi oleh faktor lingkungan, dan salah satunya adalah kadar air tanah itu
sendiri.
Perlakuan cekaman kekeringan dengan menunda penyiraman dapat
menurunkan KAM tumbuhan (Gambar 4 atas). Penurunan KAM terus terjadi
sampai akhir perlakuan kekeringan yaitu 12 hari setelah perlakuan (HSP) pada padi
gogo, caisim, dan bayam, serta 14 HSP pada Echinochloa.
Padi gogo
40
Echinochloa
Caisim
Bayam
K A M (% )
30
20
10
0
0
4
8
12
Recovery
0
4
8
12
14
K A R (% )
100
80
60
40
20
0
Hari Setelah Perlakuan
0
4
8 12 14
Hari Setelah Perlakuan
Kontrol
0
4
8 12 14 16
Hari Setelah Perlakuan
0
4
8
12
14
Hari Setelah Perlakuan
Kekeringan
Gambar 4 Nilai rata-rata Kadar Air Media (KAM) (%) (Gambar atas), dan nilai rata-rata Kadar Air
relatif (KAR)(%) (Gambar bawah) padi gogo, cesim dan bayam pada 0-12 HSP dan
0-14 HSP (Echinochloa) dan recovery. Tanda panah menunjukkan titik rewatering.
Umumnya tumbuhan uji sudah layu berat pada 12 HSP yang ditunjukkan
dengan nilai KAM secara berturut-turut pada padi gogo sebesar 15,93%, caisim
sebesar 15,93%, dan bayam sebesar 14,13%. Nilai KAM pada Echinochloa pada 12
HSP sebesar 14,13%, namun secara morfologi tumbuhan Echinochloa belum
24
nampak layu berat, sehingga perlakuan kekeringan dilanjutkan hingga 14 HSK
(Gambar 5C). Penurunan KAM secara nyata terjadi antara perlakuan kekeringan
dengan kontrol, namun terhadap jenis tumbuhan yang diamati tidak berbeda nyata
(P>0,05). Walaupun demikian KAM meningkat lagi setelah dilakukan penyiraman
kembali (Gambar 4 atas).
Penurunan KAM dapat mengakibatkan terjadinya ketidakseimbangan aliran
air pada tumbuhan, sehingga terjadi defisit air dan gangguan fungsi fisiologis di
dalam sel tumbuhan. Aliran air ini terkait dengan potensial air, potensial osmotik
dan gradien tekanan. Ketika kandungan air tanah menurun, konduktivitas hidrolik
tanah juga akan menurun drastis. Penurunan ini terjadi karena adanya penguapan
akibat transpirasi. Pada tanah yang sangat kering, potensial air media akan
menurun di bawah titik layu permanen. Pada kondisi ini berarti potensial air tanah
lebih rendah dari atau sama dengan potensial osmotik tumbuhan, sehingga
tumbuhan tidak mampu mempertahankan tekanan turgor walaupun kehilangan air
lewat transpirasi berhenti (Tang et al. 2002).
Aliran air di tanah terjadi dalam bentuk aliran massa yang terjadi karena
adanya gradien tekanan. Air ini kemudian akan diserap oleh tumbuhan secara
osmosis melalui membran sel akar. Penyerapan air oleh akar terjadi karena adanya
gradien potensial osmotik ataupun gradien potensial air antara tumbuhan dan tanah
(Taiz dan Zeiger 2002). Perakaran yang lebih dalam akan meningkatkan
ketersediaan air dari proliferasi akar (berat akar persatuan volume tanah),
meningkatkan pengambilan air dari suatu satuan volume tanah sebelum terjadi
pelayuan permanen (Sharma dan Flotcher 2002).
A
B
C
D
Gambar 5 Morfologi tumbuhan percobaan pada hari 12 HSK. (A) padi gogo, (B) caisim,
(C) Echinochloa, dan (D) bayam . Tanda panah menunjukkan cekaman kekeringan.
25
Penurunan KAM akibat perlakuan cekaman kekeringan menyebabkan
penurunan kadar air relatif (KAR) daun tumbuhan, walaupun pola penurunannya
agak berbeda (Gambar 4 bawah). KAM menurun sejak awal kekeringan, namun
penurunan KAR daun baru terlihat pada hari ke-8, walaupun tidak berbeda nyata (p
>0,05) antara perlakuan cekaman kekeringan dan kontrol. Penurunan ini terus
terjadi sampai hari terakhir perlakuan hari ke-12 untuk padi gogo, caisim, dan
bayam serta 14 HSP untuk echinochloa. Nilai KAR terendah daun pada padi gogo,
caisim, dan bayam berturut-turut sebesar 56,68%, 53,97%, dan 57,97%, sedangkan
echinochloa sebesar 63,25%.
Secara umum hari ke-12 setelah perlakuan kekeringan tumbuhan
mengalami penurunan KAR di bawah 60%, kecuali pada echinochloa. Echinochloa
memiliki nilai KAR lebih tinggi dari pada ketiga tumbuhan uji (padi gogo, caisim,
dan bayam) pada 12 HSK. Hal ini kemungkinan terkait dengan karakteristik
echinochloa sebagai tumbuhan C4 yang dapat memanfaatkan air lebih efisisen.
Long (1999), menyatakan bahwa tumbuhan C4 cukup efisien dalam pemanfaatan
air. Echinochloa mengalami penurunan nilai KAR di bawah 60 % terjadi pada hari
ke-14 setelah perlakuan kekeringan yaitu sebesar 59,91% (Gambar 4 bawah).
Penurunan nilai KAR daun akan menyebabkan kehilangan turgor daun
sehingga akhirnya terjadi kelayuan, penutupan stomata, penurunan fotosintesis dan
mempengaruhi proses metabolisme dasar lainnya (Alfredo et al. 2000). Kehilangan
turgor akibat penurunan KAR daun berkaitan erat dengan kondisi air media tanam.
Pada kondisi normal, saat potensial air media lebih tinggi dari pada potensial air
tumbuhan, akar dapat menyerap air dengan baik. Proses ini berlangsung hingga
tekanan turgor bernilai positif pada jaringan tumbuhan (Taiz dan Zeiger 2002).
Ketika cekaman kekeringan terjadi, saat KAM rendah, laju penyerapan air oleh
tumbuhan menurun dan akan menurunkan tekanan turgor sel.
Kadar air relatif daun yang menggambarkan status air daun merupakan
parameter ketahanan menghadapi cekaman kekeringan. Proses fotosintesis pada
sebagian besar tumbuhan akan mulai tertekan bila nilai KAR tumbuhan lebih
rendah dari 70 %, sehingga tumbuhan memerlukan pengaturan dalam tubuhnya
diantaranya dengan melakukan penutupan stomata (Quilambo 2004).
Penurunan KAR daun akan menurunkan konduktansi stomata daun dan
dengan perlahan akan menurunkan konsentrasi CO2 di dalam daun. Karena
26
penurunan konduktansi stomata menyebabkan penurunan konsentrasi CO2, dan
dengan sendirinya akan menurunkan laju fotosintesis (Lawlor 2002). Penurunan
konduktansi stomata ini terjadi pada tumbuhan untuk mengurangi kehilangan air
yang berlebihan akibat cekaman air yang terjadi (Tezara et al. 2002).
Rewatering
akan
mengembalikan
kondisi
KAM
sehingga
dapat
meningkatkan KAR daun dengan nilai yang tidak berbeda nyata dengan tumbuhan
kontrol setelah dua hari recovery (Gambar 4 atas dan bawah). Peningkatan
kandungan air tanah dapat mengurangi faktor cekaman yang disebabkan oleh
cekaman kekeringan dan dapat menurunkan kerusakan akibat cekaman yang
terjadi. Dengan sendirinya tumbuhan dapat tumbuh kembali dan terhindar dari
kerusakan akibat cekaman air (Marschner 1995).
Peningkatan KAR daun ini diperlukan untuk perbaikan tumbuhan dari
kerusakan akibat perlakuan cekaman kekeringan. Blanco-shanchez et al. (2002)
telah
melakukan
penelitian
pada tumbuhan
Cistus
albidus
dan Cistus
monspeliensis. Pemberian air kembali pada tumbuhan yang mendapat perlakuan
kekeringan dapat meningkatkan KAR daun sampai mencapai nilai yang sama
dengan kontrol.
Parameter Fotosintesis
Perlakuan cekaman kekeringan beberapa hari menyebabkan penurunan
suplai CO2 yang berakibat pada penurunan laju fotosintesis yang dapat diamati
melalui parameter fotosintesis. Pada percobaan ini parameter fotosintesis yang
diamati meliputi; efisiensi maksimum fotosintesis (Fv/Fm), pelepasan energi untuk
reaksi fotokimia atau photochemical quenching (qP), hasil quantum fotosintesis
(qY), dan pelepasan energi reaksi non fotokimia atau non photochemical quenching
(qN).
Perlakuan cekaman kekeringan tidak terlalu besar pengaruhnya terhadap
nilai Fv/Fm, namun pada akhir cekaman (12 HSK) nilai Fv/Fm menurun cukup
besar terutama pada tumbuhan C3 (padi gogo dan caisim). Nilai Fv/Fm pada
caisim saat 12 HSK menurun dari 0,70 menjadi 0,45 µmol m-2 s-1 dan padi gogo
dari 0,62 menjadi 0,43 µmol m-2 s-1 sedangkan Echinochloa dari 0,69 menjadi 0,59
µmol m-2 s-1 dan pada bayam penurunan Fv/Fm hanya terjadi sedikit (Gambar 6A).
27
Dari parameter fotosintesis yang diukur menunjukkan efisiensi fotosintesis
maksimum (Fv/Fm) cenderung menurun pada akhir perlakuan kekeringan (Gambar
6A), walaupun tidak berbeda nyata, namun kecenderungan penurunan lebih besar
pada tumbuhan C3 dibandingkan tumbuhan C4. Penurunan Fv/Fm diduga sebagai
akibat terjadinya kerusakan piranti fotosintesis, khususnya pada fotosistem II (PSII)
(Hamim 2005).
Cekaman kekeringan secara dramatis menurunkan parameter fotosintesis
qP. Penurunan qP terlihat nyata mulai hari ke-4 (caisim) dan hari ke-8 (padi gogo)
hingga 12 HSP (Gambar 6B). Pada akhir cekaman yaitu 12 HSP nilai qP pada
tumbuhan padi gogo, caisim, dan bayam berturut-turut dari: 0,32 µmol m-2 s-1, 0,30
µmol m-2 s-1, dan 0,54 µmol m-2 s-1 serta 14 HSP pada Echinochloa sebesar 0,30
µmol m-2 s-1 dibandingkan dengan rata-rata kontrol berturut-turut sebesar 0,83
µmol m-2 s-1, 0,81 µmol m-2 s-1, 0,86 µmol m-2 s-1, dan 0,81 µmol m-2 s-1.
Berdasarkan data parameter pelepasan energi untuk reaksi fotokimia (qP)
menggambarkan bahwa telah terjadi penurunan laju fotosintesis (Pn) akibat
cekaman kekeringan. Penurunan qP pada tumbuhan C3 terjadi lebih besar dari pada
tumbuhan C4 (Gambar 6B). Hal tersebut menggambarkan bahwa pemanfaatan
energi hasil reaksi terang untuk reduksi karbon jauh lebih rendah pada tumbuhan
C3 dibanding tumbuhan C4 sebagai akibat cekaman kekeringan.
Cekaman kekeringan yang diberikan selama 12 hari telah menyebabkan
suplai air untuk menjaga tugiditas sel dan jaringan berkurang sehingga menurunkan
laju fotosintesis. Penurunan ini disebabkan terutama akibat suplai CO2 yang
berkurang akibat penutupan stomata (Cornic 2000). Pada keadaan ini pemanfaatan
energi dari reaksi terang untuk reaksi karbon menurun yang ditandai dengan
penurunan nilai qP (photochemical quenching). Penrunan qP hingga akhir periode
cekaman menandakan bahwa reaksi fotokimia fotosintesis semakin rendah dan
hampir mencapai nol. Hal ini berakibat pada terjadinya over reduksi pada
tumbuhan karena pemakaian ATP dan NADPH hasil reaksi terang tidak terjadi
(Subrahmanyam 2006).
Di lain pihak untuk menghindari terjadinya kerusakan akibat over reduksi,
energi hasil reaksi terang dimanfaatkan untuk proses non-photochemical quenching
(qN), yang dapat melepaskan kembali energi dalam bentuk panas. Hal tersebut
dapat dilihat dengan nilai qN yang justru meningkat dengan perlakuan kekeringan.
28
Peningkatan qN secara nyata mulai 4 HSP (padi gogo) dan 8 HSP (bayam) hingga
12 HSP. Pada akhir cekaman peningkatan qN tertinggi terjadi pada tumbuhan padi
gogo yaitu dari 0,24 hingga 0,69 µmol m-2 s-1 dan terendah pada Echinochloa yaitu
C
Bayam
Echinochloa
Caisim
0,6
0,4
0,2
0
q P (u m o l m -2 s -1 )
0
4
8
12
Recovery
0
4
8
12
Recovery
1
1
0,8
0,8
0,6
0,6
0,4
0,4
0,2
0,2
0
0
q N (u m o l m -2 s -1 )
B
Padi gogo
0,8
1
0,8
0,6
0,4
0,2
0
Caisim
0
4
8
12
14
Recovery
0
4
8
12
Recovery
12
14
1
1
0,8
0,6
0,4
0,2
0
q Y ( u m o l m -2 s -1 )
A
F v /F m (u m o l m -2 s -1
dari 0,57 menjadi 0,62 µmol m-2 s-1 (Gambar 6C).
0,8
0,6
0,4
0,2
0
0
4
8
12
0
4
8
12
Bayam
Recovery
0,6
D
0,4
0,2
0
Hari setelah Perlakuan
14
0
4
8
12
14
Hari setelah Perlakuan
Kontrol
0
4
8
12
14
Hari setelah Perlakuan
16
0
4
8
Hari Setelah Perlakuan
Kekeringan
Gambar 6 Parameter fotosintesis tumbuhan uji. (A) Efisiensi maksimum fotosintesis
(Fv/Fm), (B) pelepasan energi untuk reaksi fotokimia (qP), (C) pelepasan
energi untuk reaksi non fotokimia (qN) ,dan (D) quantum Yield (qY) tumbuhan
padi gogo, caisim, Echinochloa dan bayam. Tanda panah menunjukkan titik
rewatering.
Mungkin penurunan qP dikompensasi dengan disipasi energi berupa panas melalui
proses non fotokimia (qN), sehingga nilai qN meningkat. Peningkatan qN ini
berfungsi sebagai kontrol balik terhadap kelebihan transpor elektron saat
fotosintesis. Proses disipasi energi berupa panas ini merupakan suatu mekanisme
pertahanan tumbuhan terhadap kerusakan piranti fotosintesis akibat cekaman
kekeringan (Pastenes et al. 2004).
Cekaman kekeringan juga menurunkan quantum Yield (qY) pada semua
tumbuhan yang diamati di akhir perlakuan. Penurunan qY terbesar pada padi gogo
29
dari 0,46 menjadi 0,05 µmol m-2 s-1 dan penurunan terkecil pada bayam dari 0,52
menjadi 0,20 µmol m-2 s-1 setelah 12 HSP kekeringan (Gambar 6D). Peningkatan
qN dan penurunan qP menyebabkan transfer elektron yang akan menghasilkan
energi dalam bentuk ATP dan NADPH atau quantum Yield (qY) menjadi
berkurang. Hal ini ditunjukkan pada Gambar (6D). Penurunan qY disebabkan
banyaknya energi yang dilepas dalam bentuk energi panas yang terkait dengan
perubahan gradien pH dan siklus xantofil (Horton dan Ruban 2004).
Rewatering selama 2 hari meningkatkan kembali laju fotosintesis pada
semua tumbuhan yang diamati dengan nilai yang tidak berbeda nyata dengan
kontrol pada 14 HSP (padi gogo, caisim, dan bayam), dan 16 HSP (Echinochloa).
Hal ini menunjukkan bahwa tumbuhan dapat recovery setelah cekaman air dan
peningkatan laju fotosintesis seiring dengan peningkatan KAR pada daun
tumbuhan yang diuji. Menurut Wang dan Huang (2004), rewatering sangat penting
untuk perbaikan fisiologi tumbuhan yang diberi perlakuan cekaman kekeringan dan
cekaman suhu tinggi. Tumbuhan memulai kembali aktifitas fisiologinya seperti
fotosintesis, stabilitas membran sel, dan aktifitas senyawa antioksidan. Semua
proses tersebut sangat penting bagi tumbuhan
untuk perbaikan dari cekaman
seperti kekeringan.
Kandungan Asam Askorbat (ASA)
Perlakuan cekaman kekeringan dapat menginduksi peningkatan kandungan
ASA pada semua tumbuhan kecuali bayam (Gambar 7). Kandungan ASA tertinggi
dijumpai pada echinochola sebesar 17,71 g/100g berat segar dan terendah pada
bayam sebesar 6,95 g/100g berat segar, sementara itu rata-rata nilai ASA dari
semua tumbuhan kontrol adalah 5,57 g/100g berat segar. Akumulasi ASA lebih
tinggi pada tumbuhan berdaun sempit dibanding tumbuhan berdaun lebar saat
mengalami cekaman kekeringan. Bahkan pada tumbuhan bayam akumulasi ASA
hampir tidak terjadi hingga pada akhir periode cekaman kekeringan. Kandungan
ASA daun kembali mengalami penurunan setelah penyiraman kembali.
A S A ( m g /1 0 0 g B S )
30
Echinochloa
Caisim
Padi gogo
Bayam
20
15
10
5
0
0
4
8 12 14
Hari setelah Perlakuan
0
4
8 12 14
Hari setelah Perlakuan
Kontrol
0
4 8 12 14 16
Hari setelah Perlakuan
Kekeringan
0
4
8
12 14
Hari setelah Perlakuan
Gambar 7 Kandungan asam askorbat padi gogo, caisim, dan bayam mulai 0 sampai 12 HSP dan
14 HSP Echinochloa dan recovery. Tanda panah menunjukkan titik rewatering.
Perlakuan cekaman kekeringan pada tumbuhan uji dapat menginduksi
peningkatan kandungan ASA daun terutama pada tumbuhan berdaun sempit (Padi
gogo dan Echinochloa) mulai hari 8 HSP pada padi gogo dan 12 HSP pada
Echinochloa sampai akhir perlakuan kekeringan (Gambar 7). Peningkatan
kandungan ASA ini diduga berkaitan dengan tindakan penyelamatan tumbuhan
terhadap tingginya ROS terutama periode akhir cekaman. Peranan asam askorbat
(ASA) pada tumbuhan terutama diperlukan pada saat tumbuhan mengalami
cekaman oksidatif. Cekaman oksidatif dapat terjadi pada saat tumbuhan mengalami
cekaman kekeringan berat (Violita 2007). ASA digunakan sebagai senyawa
antioksidan yang dapat membantu mengubah senyawa oksidatif menjadi senyawa
yang tidak berbahaya bagi tumbuhan. ASA berkaitan dengan aktivitas enzim
askorbat peroksidase (APX) pada siklus askorbat-glutation. Pada siklus ini ASA
berperan sebagai senyawa yang ikut mengubah H2O2 menjadi H2O (Apel dan Hirt
2004).
ASA berperan sebagai agen reduksi yang dapat menetralisir spesies oksigen
reaktif (ROS) seperti hidrogen peroksida pada tumbuhan. Pembentukan senyawa
oksidatif pada tumbuhan diawali dengan reduksi oksigen pada membran sel
kloroplas membentuk ROS seperti; (O2-), H2O2 (Blokhina et al. 2003). Peningkatan
ROS dapat menimbulkan kerusakan pada komponen membran sel terutama pada
saat tumbuhan defisit air (Noctor dan Foyer 1998).
Walaupun demikian ASA bukan satu-satunya antioksidan pada tumbuhan,
seperti yang terjadi pada bayam. Bayam memiliki kandungan ASA lebih rendah
31
dibanding tanaman uji yang lainnya pada 12 HSP (Gambar 7). Hal ini menguatkan
dugaan bahwa mekanisme pertahanan tumbuhan dalam menghadapi cekaman
kekeringan melalui antioksidan mungkin dilakukan oleh enzim lain seperti
superoksida dismutase (SOD) atau glutation reduktase (GR). Kedua enzim ini juga
aktif terlibat dalam menanggulangi ROS dalam tumbuhan seperti pada kedelai
(Violita 2007).
Rewatering yang diberikan pada tumbuhan selama 2 hari, dapat
menurunkan kembali kandungan ASA daun sampai pada tingkat yang sama dengan
kontrol (Gambar 6). ASA terinduksi ketika tumbuhan kelebihan elektron karena
adanya ketidakseimbangan antara produksi NADPH oleh fotosistem I dengan
penggunaan NADPH pada siklus Calvin (Kuzniak et al. 2008). Penurunan
kandungan ASA setelah recovery
menandakan bahwa tumbuhan sudah mulai
mengalami perbaikan setelah diberikan perlakuan cekaman kekeringan. Pada
kondisi tersebut mungkin metabolisme yang terjadi pada tumbuhan sudah mulai
stabil.
Pertumbuhan Tanaman
Tinggi tumbuhan sebagai respon terhadap cekaman kekeringan
Perlakuan cekaman kekeringan dapat menekan pertumbuhan tinggi tajuk
semua tumbuhan yang diuji. Penghambatan pertumbuhan tinggi tajuk secara nyata
(p< 0,05) akibat cekaman kekeringan terjadi pada tumbuhan C4 (Echinochloa dan
bayam), sedangkan tumbuhan C3 (padi gogo dan caisim)) mengalami penurunan
yang tidak nyata (p>0,05) (Tabel 1). Perlakuan cekaman kekeringan yang diberikan
selama 12 hari menyebabkan penghambatan pertumbuhan. Perbedaan tinggi tajuk
antara perlakuan kekeringan dan kontrol paling besar terjadi pada echinochloa,
sedangkan terkecil terjadi pada padi gogo. Tinggi tajuk pada Echinochloa dan padi
gogo pada 12 HSP berturut-turut sebesar 149,7 cm dan 90,5 cm dibanding dengan
masing-masing kontrolnya berturut-turut sebesar 199 cm dan 98,5 cm (Tabel 1).
Proses pemanjangan dan perbesaran pada sel tumbuhan di antaranya
ditentukan oleh tekanan turgor. Hilangnya turgiditas dapat menghambat
pertumbuhan sel yang akibatnya pertumbuhan tanaman menjadi terhambat (Hamim
32
2003). Ketika kekeringan semakin meningkat maka tumbuhan menyesuaikan diri
melalui proses fisiologi yang kemudian diikuti perubahan struktur morfologi
tumbuhan seperti layu, meningkatkan pertumbuhan akar dan menghambat
pertumbuhan pucuk. Pertumbuhan sel merupakan fungsi tumbuhan yang paling
sensitif terhadap kekurangan air. Nilai kandungan air jaringan meristem yang
rendah, seringkali menyebabkan penurunan kandungan air yang dibutuhkan untuk
pengembangan sel. Hal ini menyebabkan pengurangan dalam hal sintesis protein,
sintesis dinding sel, dan pengembangan sel (Sharma dan Flotcher 2002).
Tabel 1 Tinggi tajuk dan panjang akar tumbuhan padi gogo, caisim, Echinochloa, dan
bayam perlakuan kontrol (K0) dan cekaman kekeringan (K1) pada akhir perlakuan
Parameter
Perlakuan
Tumbuhan C3
Padi gogo
Caisim
Tumbuhan C4
Echinochloa
Bayam
Tinggi tajuk (cm)
K0
K1
98,5c
90,5c
33,1ab
21,8a
199e
149,7d
82,2c
52b
Panjang akar (cm)
K0
K1
29,2b
38,6c
9,9a
14,3a
32,5c
50d
24,1b
31,7b
Ket: Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom, menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf
5% pada uji.
Pertumbuhan sel tanaman juga ditentukan oleh ketersedian zat hara pada
media tanam seperti
ketersedian unsur karbon untuk membentuk senyawa
polisakarida, unsur nitrogen untuk membentuk polipeptida pada dinding sel dan
unsur-unsur lain yang dibutuhkan tumbuhan dalam pertumbuhan sel (Yosilayla
2008). Pada media tanah yang digunakan dalam percobaan ini memiliki
unsur
hara yang rendah (Lampiran 2) yang diketahui melalui kriteria penilaian sifat kimia
tanah (Lampiran 3), bahkan unsur N dan C tergolong sangat rendah. Ketersedian
unsur hara dan kemampuan akar menyerap unsur hara tersebut, kemungkinan
berpengaruh terhadap penghambatan pertumbuhan tanaman uji (Tabel 1). Hal ini
berkaitan
dengan
perlakuan
cekaman
kekeringan
yang
diberikan,
yang
menyebabkan keterbatasan air sebagai pelarut unsur hara, sehingga kemampuan
akar untuk menyerap unsur hara tersebut menjadi turun. Penurunan penyerapan
hara dan air oleh akar, mengakibatkan suplai zat-zat yang dibutuhkan dalam
pertumbuhan tanaman tidak terpenuhi, sehingga pertumbuhan tanaman menjadi
terhambat (Sharma dan Flotcher 2002).
33
Berbeda dengan tajuk, perlakuan cekaman kekeringan justru meningkatkan
panjang akar pada keempat tumbuhan yang diamati. Peningkatan panjang akar
terlihat secara nyata terjadi pada Echinochloa dan padi gogo sedangkan pada
caisim dan bayam juga cenderung meningkat, namun tidak berbeda nyata antara
kekeringan dengan kontrol. Peningkatan tertinggi terjadi pada echinochloa yaitu
dari 32,5 menjadi 50 cm sedangkan terendah caisim dari 9,9 menjadi 14,3 cm
(Tabel 1). Peningkatan panjang akar akibat cekaman kekeringan merupakan respon
tumbuhan sebagai bentuk adaptasi terhadap kekeringan yang terkait dengan
kemampuan akar untuk memperoleh air tanah pada zona yang lebih dalam (Taiz
dan Zeiger 2002).
Walaupun panjang akar bertambah, akan tetapi pertumbuhan akar secara
lateral tidak berkembang. Hal ini yang mungkin menyebabkan tidak bertambahnya
bobot kering akar tumbuhan uji. Bahkan cenderung terjadi penurunan pada bobot
kering akar akibat cekaman kekeringan (Tabel 2).
Kramer (1995) menambahkan bahwa akar pada tumbuhan yang terdapat
pada tanah kering berfungsi sebagai sensor utama terhadap cekaman air. Perubahan
kandungan air tanah akan dapat menyebabkan perubahan metabolisme akar seperti;
produksi sitokinin, peningkatan produksi ABA, dan gangguan metabolisme
nitrogen yang akan mengirim sinyal biokimia ke tajuk. Sinyal ini akan
menginduksi terhambatnya pertumbuhan tajuk sehingga terjadi perubahanperubahan pada tumbuhan seperti; penghambatan pertumbuhan, konduktan stomata
dan laju fotosintesis, tanpa memperhatikan status air daun (Kramer dan Boyer
1995).
Tajuk akan tumbuh sedemikian sampai pengambilan air oleh akar menjadi
pembatas pertumbuhan selanjutnya, sebaliknya akar akan tumbuh sampai
permintaan untuk fotosintat dari tajuk sama dengan suplai fotosintat ke bagianbagian tumbuhan seperti
ke biji (Lambers et al. 1997) . Hal ini dilakukan
tumbuhan sebagai bentuk adaptasi terhadap kondisi kekeringan. Penghambatan
pertumbuhan ini terkait dengan distribusi fotosintat yang dibutuhkan organ
tumbuhan. Selain itu juga terkait dengan kemampuan akar untuk mencari air yang
lebih ke dalam tanah (Taiz dan Zeiger 2002).
Wu dan Cosgrove (2000) menyatakan bahwa mekanisme fisiologi dan
molekuler yang membantu pertumbuhan akar di bawah kondisi kekeringan dapat
34
terlihat antara lain pada perubahan dinding sel. Pada bagian akar ini akan terjadi
peningkatan aktivitas pemanjangan dan juga terdapat enzim yang dapat
menginduksi pemanjangan akar dan perubahan dinding sel akar yang lebih
kompleks.
Pengaruh kekeringan terhadap luas daun
Perlakuan cekaman kekeringan dapat menghambat pertumbuhan luas daun.
Penghambatan pertumbuhan luas daun akibat cekaman selama 12 HSP pada padi
gogo, caisim, dan bayam berturut-turut 54,6 cm, 84,8 cm, 126,7 cm dan
Echinochloa sebesar 134,3 cm pada 14 HSP dibanding masing-masing kontrol
berturut-turut sebesar 64,4 cm, 167,1 cm, 215,8 cm dan 148,6 cm (Gambar 8). Hal
ini dapat dipahami bahwa caisim dan bayam adalah tanaman berdaun lebar yang
memungkinkan penguapan per satuan luas daun lebih besar dibanding dengan
Echinochloa dan padi gogo yang memiliki tipe berdaun sempit. Penghambatan
pertumbuhan luas daun ditunjukkan pula oleh data anatomi baik secara kuantitatif
maupun kualitatif (Tabel 3 dan Gambar 9).
Luas Daun (cm )
Padi gogo
Echinochloa
200
150
100
50
0
Luas Daun (cm)
0
3
6
9
12
14
0
0
3
6
9
6
9
12
14
16
Bayam
Caisim
250
200
150
100
50
0
3
12
14
Hari setelah Perlakuan
Kontrol
0
3
6
9
12 14
Hari setelah Perlakuan
Kekeringan
Gambar 8 Luas daun padi gogo, caisim, Echinochloa, dan bayam mulai 0 hingga 12
HSP dan recovery. Tanda panah menunjukkan titik rewatering.
35
Apabila asupan air dari akar ke daun tidak terpenuhi seperti pada perlakuan
kekeringan, maka dapat menurunkan laju fotosintesis tumbuhan di daun (Gambar
6B). Penghambatan pertumbuhan luas daun merupakan respon pertama tumbuhan
terhadap kekeringan. Keterbatasan air karena penurunan KAM dan KAR akan
menghambat pemanjangan sel yang secara perlahan-lahan akan menghambat
pertumbuhan luas daun. Luas daun pada tumbuhan sangatlah penting, karena luas
daun dapat mempengaruhi absorbsi cahaya yang digunakan dalam proses
fotosintesis. Hal ini pula yang menyebabkan terjadinya penurunan laju fotosintesis
pada tingkat tajuk tumbuhan, sehingga produksi menjadi turun (Sitompul dan
Guritno 1995). Dengan demikian cekaman kekeringan tidak hanya berpengaruh
pada nisbah berat daun per satuan luas daun, tetapi juga total fotosintesis dari tajuk
tumbuhan (Szilagyi 2003).
Produksi bahan kering tumbuhan
Perlakuan cekaman kekeringan juga menurunkan bobot kering tajuk
tumbuhan uji seperti halnya pada penurunan tinggi tajuk. Penurunan bobot tajuk
secara nyata terjadi pada tumbuhan berdaun sempit (padi gogo dan Echinochloa)
dibandingkan kontrolnya (Tabel 2).
Tabel 2 Bobot tajuk, bobot akar, bobot biji/pot tumbuhan C3 (padi gogo dan caisim), dan
C4 (Echinochloa dan bayam) pada perlakuan kontrol (K0) dan cekaman
kekeringan (K1).
Bobot
kering
Tajuk (g)
Akar (g)
Biji (g)
Tumbuhan C3
Tumbuhan C4
Padi
Caisim
Echinochloa
Bayam
K0
K1
K0
K1
K0
K1
K0
K1
24,5d
18,0c
3,4ab 1,2a 31,3e 19,7cd
8,1b
3,0ab
7,7bc
3,7ab
1,1a
0,5a 9,4c
8,0bc
2,5ab
1,0a
24,4d
13,1c
2,2a
1,2a 11,8c
6,6b
10,8c
6,4b
Ket: Angka yang diikuti huruf yang sama pada baris, menunjukkan tidak berbeda nyata taraf 5% pada uji
lanjut tukey.
Kekeringan juga menyebabkan penurunan pada bobot kering akar.
Pada
umumnya perbedaan bobot kering akar tidak nyata terjadi antara cekaman
kekeringan dengan kontrol. Hal tersebut menunjukkan bahwa kekeringan lebih
besar pengaruhnya terhadap penurunan bobot kering tajuk dibanding penurunan
bobot kering akar.
36
Bobot kering merupakan parameter pertumbuhan yang baik untuk
mengamati pengaruh dari cekaman kekeringan. Bobot kering merupakan hasil
akumulasi fotosintesis tumbuhan selama pertumbuhannya (Levitt 1980). Penurunan
bobot kering mungkin terkait erat dengan penurunan laju fotosintesis selama
cekaman kekeringan baik pada tingkat satuan perluasan dan maupun fotosintesis
total tanaman (Violita 2007).
Selain penurunan bobot kering tajuk dan akar akibat kekeringan, penurunan
juga terjadi pada bobot kering biji tumbuhan. Semua tumbuhan uji mengalami
penurunan bobot kering biji, kecuali caisim (Tabel 2). Hal ini mungkin berkaitan
dengan penurunan kadar air relatif daun, yang dapat memicu penutupan stomata
(DaMatta et al. 2002) dan mengakibatkan suplai CO2 ke dalam daun rendah,
sehingga terjadi penurunan laju fotosintesis (Gambar 6A-6D). Penurunan laju
fotosintesis ini menyebabkan berkurangnya hasil fotosintat, sehingga transpor hasil
fotosintat ke titik tumbuh dan biji sebagai pusat sink juga berkurang (Srivastava
2002).
Pengamatan Anatomi Jaringan Tumbuhan
Ketebalan sel-sel daun, diameter xilem dan floem
Perlakuan cekaman kekeringan cenderung mengurangi tebal tulang daun
utama (TDU) pada empat jenis tumbuhan uji, seperti terlihat pada Tabel 3.
Umumnya penurunan TDU pada tumbuhan tidak berbeda antara perlakuan
cekaman dengan kontrol, kecuali bayam yang mengalami penurunan tebal daun
dari 1400 menjadi 470 µm (Tabel 3 dan Gambar 8A, B). Walaupun hanya pada
bayam yang terjadi penurunan tulang daun secara nyata, akan tetapi penurunan
ketebalan lamina daun (LD) terjadi pada semua tumbuhan uji.
Lamina daun merupakan organ tumbuhan yang penting, karena lamina daun
tempat berlangsungnya fotosintesis dan transpirasi tumbuhan (Esau 1977).
Perlakuan kekeringan menurunkan ketebalan lamina daun semua tumbuhan yang
diuji secara nyata (Tabel 3). Penurunan pada tebal LD tersebut memungkinkan
adanya gangguan piranti fotosintesis, juga diduga terjadi penurunan tekanan turgor
pada semua sel-sel mesofil seperti palisade dan bunga karang. Penurunan tekanan
37
turgor biasanya akan berdampak pada penurunan berbagai metabolisme di dalam
sel termasuk fotosintesis dan respirasi (Hamim 2005).
Tabel 3 Ketebalan daun, ukuran sel-sel daun, dan diameter xilem dan floem tumbuhan C3
(padi dan caisim), dan C4 (Echinochloa dan bayam) pada perlakuan kontrol (K0)
dan kekeringan (K1).
Daun
Padi
K0
Tumbuhan C3
Caisim
K1
K0
K1
Ketebalan
(µm)
TDU
LD
Tinggi Sel
(µm)
EPA
EPB
SM
SB
PS
BKR
275ab
65b
245a
28,3a
12,5bc
9,2ab
11,7a
37,5a
-
Diameter
(µm)
XTDU
XLD
FL
31,7ab
27,5ab
7,3ab
Tumbuhan C4
Echinochloa
Bayam
K0
K1
K0
K1
820d
227,5g
650cd
179,2f
646,7cd
146,7e
536,7c
95,83cd
9,3a
5,8a
8,3a
30,8a
-
15cd
10,8bc
66,7b
19,2b
12,5bc
8,3ab
19,2a
13,3a
16,7d
15d
25b
64,2b
-
10,8a
11,7bcd
11,7a
54,2a
-
36,7ab
33,3bc
4,3a
29,2a
23,3a
14,7d
36,7ab
28,3abc
8,3b
37,5b
33,3bc
12,3cd
46,7c
42,5d
8,7bc
1400e
125,8de
470bc
86,7bc
16,7d
13,3cd
52,5d
60d
11,7ab
10abc
38,3c
50,8c
30ab
26,7a
15,2d
36,7ab
34,2c
9,2bc
Ket: Angka yang diikuti huruf yang sama pada baris, menunjukkan tidak berbeda nyata taraf 5% pada uji
lanjut tukey. TDU = tulang daun utama, LD = lamina daun, EPA = epidermis atas, EPB =
epidermis bawah, SM = sel mesofil, PS = sel palisade, BKR = sel bunga karang, XTDU =
xilem TDU, XLD = xilem LD, FL = floem.
Bagian-bagian lamina daun yang diukur meliputi epidermis atas (EPA),
epidermis bawah (EPB), sel bulliform (SB), sel mesofil (SM), jaringan palisade
(PS), sel bunga karang (BKR). Perlakuan cekaman kekeringan dapat menurunkan
tebal EPA dan EPB pada daun tumbuhan uji. Penurunan tebal EPA daun lebih
tinggi pada tumbuhan C4 (Echinochloa dan bayam) dari pada C3 (padi gogo dan
caisim) (Tabel 3).
Sel bulliform (SB) merupakan ciri dari kelompok Poaceae (rerumputan)
yang tidak dimiliki oleh kelompok tumbuhan seperti Amaranthus (Sutrian 1992).
Perlakuan cekaman kekeringan dapat mengurangi tinggi sel bulliform. Penurunan
tinggi sel bulliform secara nyata terjadi pada Echinochloa (Tabel 3). Berdasarkan
pengamatan secara mikroskopis, sel bulliform mengalami pengerutan pada bagian
adaksial yang diduga akibat kekurangan air pada pemberian cekaman kekeringan
38
(Gambar 9E dan 9F). Sel bulliform adalah bagian dari EPA yang berbentuk seperti
gelembung, bervakuola besar dan dinding selnya tipis (Voznesenskaya et al. 2005).
Sel bulliform mudah dipengaruhi oleh tekanan turgor terutama pada
gerakan menutup dan membuka pada daun dewasa, karena sifatnya yang dapat
menyimpan air (Esau 1977). Apabila terjadi kekurangan air, sel bulliform
mengalami pengerutan sehingga daun menggulung (Gambar 9E dan 9F).
Penurunan tinggi SB yang nyata pada Echinochloa menggambarkan bahwa
tumbuhan ini mengalami perubahan turgor, sehingga mengarah terjadinya
penggulungan daun saat cekaman kekeringan (Alvarez et al. 2005). Selama
kekurangan air yang berlebihan, sel bulliform bersama dengan sel mesofil
mengerut, yang memungkinkan daun menjadi lebih mudah untuk melipat atau
menggulung (Longhi-Wagner 2001).
Pemberian cekaman kekeringan menurunkan ketebalan sel mesofil.
Penurunan ketebalan sel mesofil secara nyata terjadi pada Echinochloa yaitu dari
25 menjadi 11,7µm (Tabel 3).
Perlakuan cekaman kekeringan menurunkan
ketebalan jaringan palisade dan bunga karang secara nyata (p<0,05) terjadi pada
tumbuhan caisim dan bayam antara kekeringan dan kontrol. Bahkan tumbuhan
caisim mengalami degradasi sel palisade dari dua lapis menjadi satu lapis (Gambar
9G dan 9H).
K0
A
10 um
µµm C
50 um
µµm
E
100 um
µµm
50 um
G
K1
µµm I
100 um
50 um
100 um
µµm
h
B
10 um
µµm D
50 um
µµm F
100 um
µµm
H
µµm
J
µµm
Gambar 9 Struktur anatomi daun tanaman uji pada cekaman kekeringan.
Keterangan: K0 = kontrol, K1 = kekeringan, A= Tebal tulang daun utama (TDU)
bayam K0, B=TDU bayam K1, C=Tebal lamina daun (LD) padi K0, D=LD padi K1,
E= Sel bulliform (SB) padi K0, F= SB padi K1, G = Palisade (PS) caisim K0, H= PS
caisim K1, I=Diameter xilem (DX) LD Echinochloa K0, J=DXLD Echinochloa
K1. Tanda panah menunjukkan perubahan akibat kekeringan. A dan B (100x), C, D, G,
dan H (400x), E, F, I, dan J (1000x).
39
Selain dari sel-sel pada bagian lamina daun, juga dilakukan pengamatan
pada diameter xilem tulang daun utama (TDU), xilem lamina daun (LD), dan
diameter floem. Perlakuan cekaman kekeringan menyebabkan peningkatan
diameter xilem pada TDU pada tumbuhan Echinochloa (Gambar 9I dan 9J).
Kecenderungan peningkatan diameter xilem TDU juga terlihat pada padi gogo,
caisim, dan bayam, namun tidak berbeda nyata dengan kontrol (Tabel 3).
Peningkatan diameter xilem secara nyata terjadi pada LD tumbuhan yang
mendapat cekaman kekeringan pada tumbuhan C4 (Echinochloa dan bayam).
Xilem merupakan jaringan pengangkut terutama air dan hara dari akar menuju
tajuk. Perlakuan kekeringan cenderung meningkatkan diameter xilem. Perubahan
ini diduga sebagai bentuk adaptasi tumbuhan, yaitu dengan meningkatkan diameter
xilem untuk menambah penyerapan air dari tanah (Patakas et al. 2002).
Sebaliknya pemberian cekaman kekeringan menurunkan diameter floem
tumbuhan. Penurunan diameter floem daun berbeda nyata (p<0,05) pada tumbuhan
berdaun lebar (caisim dan bayam), sedangkan pada tumbuhan berdaun sempit (padi
gogo dan Echinochloa) tidak mengalami penurunan diameter floem secara nyata
(p>0,05) antara cekaman kekeringan dan kontrol (Tabel 3).
Penurunan KAM yang diikuti penurunan KAR daun menyebabkan turgor
sel daun menjadi rendah. Hilangnya turgiditas sel daun dapat menyebabkan
pengerutan pada sel daun termasuk diameter floem. Pengerutan diameter floem
pada tumbuhan berdaun lebar lebih nyata dibanding yang berdaun sempit. Hal ini
diduga karena tumbuhan berdaun lebar memiliki posisi daun yang horisontal,
sehingga lebih mudah terpapar cahaya dibanding tumbuhan berdaun sempit dengan
posisi daun yang tegak. Posisi daun yang horisontal menyebabkan transpirasi lebih
besar (Esau 1977), sehingga pengerutan diameter floem terjadi lebih besar pada
tumbuhan berdaun lebar. Pengerutan diameter floem diduga mengganggu transpor
hasil fotosintat terutama dari source ke sink (Srivastava 2002).
40
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Perlakuan cekaman kekeringan yang ditandai dengan penurunan kadar air
media (KAM) menyebabkan penurunan kadar air relarif (KAR) daun pada
tumbuhan C3 dan C4 yang diamati. Penurunan KAR daun menyebabkan
penurunan laju fotosintesis pada tumbuhan C3 dan C4 yang diperlihatkan oleh
penurunan qP dan qY, walaupun penurunan qP dan qY pada tumbuhan C4 relatif
lebih kecil dibanding C3. Hal itu menunjukkan bahwa tumbuhan C4 lebih toleran
dalam menghadapi cekaman kekeringan dibanding tumbuhan C3.
Perlakuan cekaman kekeringan menyebabkan penurunan stabilitas struktur
anatomi daun tumbuhan C3 dan C4. Penurunan stabilitas struktur anatomi daun
terlihat dengan penurunan ketebalan daun terutama ketebalan pada lamina daun dan
ukuran sel pada bagian lamina daun tumbuhan C3 dan C4. Penurunan ketebalan
daun dan ukuran sel pada bagian lamina daun tidak memiliki perbedaan spesifik
antara tumbuhan C3 dan C4 dalam menghadapi cekaman kekeringan.
Saran
Perlu diadakan penelitian lanjutan tentang perbedaan respon, baik secara
anatomi maupun fisiologi antara tumbuhan C3 dan C4 di bawah kondisi lapang.
41
DAFTAR PUSTAKA
Alfredo A, Alves C, Setter TL. 2000. Response of cassava to water deficit: leaf
area growth and abscisic acid. Crop Sci 40:131-137.
Alvarez JM, Rocha JF and Machado SR 2005. Estrutura foliar de Loudetiopsis
chrysothrix (Nees) Conerte Tristachya leiostachya Nees (Poaceae). Revta
brasil Bot 28: 23-37.
Apel K, Hirt H. 2004. Reactive oxygen species metabolism, oxydative stress, and
signal transduction. Plant Biol 55:373-399.
Aroca R, Juan JI, Manuel SD. 2001. Photosynthetic characteristica and protective
mechanisms against oxidative stress during chilling and subsequent recovery
in two maize varieties differing in chilling sensitivity. Plant Sci 161:719-726.
Asada K. 2006. Production and scavenging of reactive oxygen species in
chloroplast and their function. Plant Physiol 143:391-396.
Barr HD, Weatherley PE. 1962. A Re-Examination of the relative turgidity
technique for estimating water deficit in leaves. Aust J Biol Sci 15:413-428.
Berkowitz GA. 1998. Water and Salt Stress. In: Raghavendra AS (ed).
Photosynthesis: A Comprehensive Treatise. Cambrigde: Cambrigde Univ
Press.
Bingham IJ, McCabe VB. 2006. Commercially available plant growth regulators
and promotors modify bulk tissue abscisic acid concentration in spring barley
but not root growth and yield response to drought. Ann Appl Biol 149:291304.
Blake TJ, Li J. 2003. Hydraulic adjusment in jack pine and black spruce seedlings
under controlled cycles of dehyration and rehydration. Physiol Plant
117:532-539.
Blanco-Shanchez M, Rodrigues P, Morales MA, Ortuno MF, Torrecillas A. 2002.
Comparative growth and water relations of Cistus albidus and Cistus
monspeliensis plants during water deficit conditions and recovery. Plant Sci
162:107-113.
Blokhina O, Virolainen E, Fagerstedt 2003. Antioxidant, oxidative damage and
oxygen deprivation stress [review]. Ann Bot 91:179-194.
Borges R. 2003. How soybeans respond to drougth stress. Issues In
Agriculture.www.Uvex.edu/ces/ag/issues/drough2003/soybeansrespondstress.
html-16k. [19 Maret 2008].
42
Boyer JS. 1985. Water transport. Annu Rev Plant Physiol 36:473-516
Chaves MM, Oliveira MM. 2004. Mechanisms underlying plant resilience to
water deficits: prospects for water-saving agriculture. J Exp Bot
55(407):2365-2384.
Comtock JP. 2002. Hidraulic and chemical signaling in the control of stomatal
conductance and transpiration. J Exp Bot 53:195-200.
Cornic G. 2000. Drought stress inhibits photosynthesis by decreasing stomatal
aperture-not by effecting ATP synthesis. Plant Sci 5:187-188.
Cortes, PM, Sinclair TR. 1986. Water relation of field-grown soybean under
drougth. Crop Sci.26:993-998.
Costea M, Brenner DM, Tardif FJ, Tan YF, Sun M. 2006. Delimitation of
Amaranthus cruentus L. and Amaranthus caudatus L. using micromorphology
and AFLP analysis: an application in germplasm identification. Gen Res and
Crop Evol 53:1625-1633.
DaMatta FM, Chaves ARM, Piheiro HA, Ducati C, Loureiro ME. 2002. Drought
tolerance of two field-grown clones of Coffea canephora. Plant Sci 164:111117.
Desikan R, Cheung MK, Bright J, Henson D, Han Cock JT, Niell SJ. 2003. ABA,
Hydrogen peroxide and nitric oxide signalling in stomatal guard cell. J Exp
Bot 395(55):205-212.
Dina ZAK. 2001. Drought and gibberellic acid-dependent oxidative stress: effect
on antioxidant defense system in two lettuce cultivars. J Biol Sci 4(9):11381143.
Drake BG, Gonzalez-Meler MA, Long SP. 1997. More efficient plant: a
concequence of rising atmospheric CO2? Ann Rev Plant Physiol and Plant
Mol Biol 48:609-639.
Esau K. 1977. Anatomy of Seed Plants. 2nd Ed. Printed in the United States of
America.
Filho JPDL, Paiva EAS. 2006. The effects of sooty mold photosynthesis and
mesophyll structure of mahogany (Swietenia macrophylla. King.,
Meliaceae). Brag Camp 65:11-17.
Flexas J, Medrano H. 2002. Drought-inhibition of photosynthesis in C3 plants:
stomatal and non-stomatal limitation revisited. Ann Bot 89:183-202.
43
Griffin JJ, Ranney TG, Pharr DM. 2004. Heat and drought influence
photosynthesis, water relation, and soluble carbohydrates of two ecotypes of
redbud (Cercis canadensis). J Hort Sci 129(4):497-502.
Hamim 2003. Will the increasing atmospheric CO2 concentation change the
effect of drought on C3 and C4 species?. Ph.D.[Disertation]. University of
Essex Colchester. UK.
Hamim 2004. Underlaying drought stress effects on plant: inhibition of
photosynthesis. Hayati 11:164-169.
Hamim 2005. Respon pertumbuhan species C3 dan C4 terhadap cekaman
kekeringan dan konsentrasi CO2 tinggi. Biosfera 22:105-115.
Hardjowigeno S, Widiatmaka 2001. Kesesuaian Lahan dan Perencanaan
Tataguna Tanah. Bogor: Departemen Ilmu Tanah dan Manajemen Sumber
daya Lahan. IPB Press. Bogor.
Horton P, Ruban A 2004. Molecular design of photosystem II light-harvesting
antenna: photosyntesis and photoprotection. J Expt Bot 56:365-373.
Izzul 2009. Pengetahuan. B http/izzul-shin. Blogspot.com/pengetahuan. [14
Agustus 2009].
Jones MM, Tuner NC, Osmond CB. 1981. Mechanisms of Drought Resistance.
Pp:15-53. In Paleg LG , Aspinall D (Eds.). The Physiology and Biochemistry
of Drought Resistance in Plants. Academic Press. NewYork.
Kalefetoglu T, Ekmekci Y. 2005. The effect of drought on plants and tolerance
mechanisms [Review]. J Sci 18(4):723-740.
Kanai R, Edwards GE. 1999. The Biochemistry of C4 Photosynthesis. In: Sage
RF, Monson RK C4 Plant Biology. Academic Press. San Diego, London,
Boston, New York, Sydney, Tokyo, Toronto.
Karyotou K, Donaldson RP. 2004. Ascorbate peroxidase, a scavenger of hydrogen
peroxide in glyoxysomal membranes. Archives Biochem and Biophys
434:248-257.
Kennedy RA, Rumpho ME, Vanderzee D. 1983. Germination of Echinochloa
crus-galli (Barnyard Grass) seeds under anaerobic conditions. Plant Physiol
72:787-794.
Kramer PJ, Boyer JS. 1995. Water Relations of Plants and Soils. London
Academic Press.
Kuzniak E, Paykowski J, Urbanek H. 2008. Involvement of the antioxidative
system in tomato response to fusaric acid treatment. J Phyto 147:385-390.
44
Lambers H, Chapin III FS, Pons TL. 1997. Plant Physiological Ecology. New
York: Springer-Verlag, Inc.
Lawlor DW. 2002. Limitation to photosynthesis in water-stress leaves stomata vs
metabolism and the role of ATP. Ann Bot 89:871-885.
Levitt J. 1980. Responses of Plant to Enviromental Stresses. Vol 2. Academic
Press. New York.
Long SP. 1999. Environmental responses. In: Sage RF, Monson RK. C4 Plant
Biology. Academic Press. San Diego, London, Boston, New York, Sydney,
Tokyo, Toronto. Pp.215-249.
Longhi-Wagner HM 2001. Tribo Arundinelleae. In: Wanderley, M. G. L.;
Shepherd, G. J. and Giulietti, A. M. Flora fanerogâmica do Estado de São
Paulo, Poaceae. Fapesp - Hucitec, São Paulo. pp. 119-123.
Maschner H. 1995. Mineral Nutrition of Higher Plant. 2nd ed. Academic Press.
Meyer RF, Boyer JS. 1981. Osmoregulation solute distribution and growth in
soybean seedling having low water potential. Planta 151482-489.
McKersie BD, Leshem YY. 1994. Stress and Stress Coping in Cultivated Plants.
Netherlands: Kluwer Academic Publichers.
Moffett ML, McCarthy GJP. 1973. Xanthomonas translucens on japanese millet
(Echinochloa crus-galli var.frumentacea). J Exp Agric and Anim Husband
13(63):452-454.
Nakamura TN. 1995. Plant Tissue Observation Using microscope. In Hinata K,
Hashiba T, editor. A Manual Experiment fot Plant Biology. Tokyo: Soft
Science Publication.
Nicole S, Ramesar-Forther, Yeung EC. 2006. Physiological influence in the
development and function of the shoot apical meristem of microspore-derived
embryos of Brassica napus ‘Topas’. J Bot 84:371-383.
Noctor G, Foyer GH. 1998. Ascorbate and glutathione: keeping active oxygen
under control. Plant Physiol 49:249-279.
Patakas A, Nikoaou N, Zioziou E, Radoklou K, Noitsakis B. 2002. The role of
organic solute and in accumulation in osmotic adjusment in drought-stressed
grapevines. Plant Sci 163:361-367.
Pastenes C, Pimentel P, Lillo J. 2004. Leave movements and photoinhibition in
relation to water stressing fied-grown beans. J Exp Bot 56:425-433.
45
Pitelka L, Ramirez-Rojas A. 2001. The Carbon Cycle and Atmospheric Carbon
dioxide. In: Houghton JT, Ding Y, Griggs DJ, Noguer M, van der Linden PJ,
Dai X, Marshell K, Johnson CA (Eds). Climate Change 2001: The Scientific
Basic. Cambridge University Press. Cambridge.
Quilambo OA. 2004. Prolin content, water retention capability and cell membrane
integrity as parameters for drought tolerance in two peanut cultivars. South
African J Bot 70:227-234.
Radwan UAA. 2007. Plant water relations, stomatal behavior, photosynthetic
pigments and anatomical characteristics of Solenostemma arghel (Del.)
haynee under hyper-arid enviromental conditions. J Sci 2(2):80-92.
Reiss C.1993. Experiment in Plant Physiology: Part I; Plant Bichemistry,
Determination of ascorbic acid content of cabbage.
Roberts SK, Snowman BN. 2000. The effects of ABA on channel-mediated K+
transport across higher plant roots. J Exp Bot 51(530):1585-1594.
Salisbury FB, Ross CW. 1992. Fisiologi Tumbuhan. Edisi 4. Niksolihin S,
penerjemah; Diah RL, Sumaryono, editor. Bandung: ITB. Terjemahan dari:
Plant Physiology.
Sharma VK, Flotcher JC. 2002. Maintenance of shoot and floral meristem cell
proliferation and fate. Plant Physiol 320:33-39.
Sitompul SM, Guritno B. 1995. Analisis Pertumbuhan Tanaman. Gajah Mada
University Press. Yokyakarta.
Sonja D, Veljovic-Jovanovic, Cristina P, Graham N, Christine HF. 2001. Low
ascorbic acid in the vtc-1 mutant of Arabidopsis is assosiated with decreased
growth and intracellular redistribution of the antioxidant system. Plant
Physiol 127:426-435.
Srivastava ML. 2002. Plant Growth and Development: Hormones and
environment. California: Academic Press.
Stallknecht GF, Schulz-Schaeffer JR. 1993. Amaranthus Rediscovered. In: Janick
J, Simon JE (eds). New crops. Wiley, New York. P.211-218.
Subrahmanyam D, Subash, N, Haris A, Sikka AK. 2006. Influence of water stress
on leaf photosynthetic characteristics in wheat cultivars differing in their
susceptibility to drought. J Photosynt 44:125-129.
Sugiharto B, Murdiyanto U, Sakakibara H. 2002. Kloning dan karakteristik gen
ketahanan cekaman kekeringan pada tanaman tebu. J Ilmu Dasar 3(1):24-29.
Sutrian Y. 1992. Pengantar anatomi tumbuh-tumbuhan. Rineka Cipta. Jakarta.
46
Szilagyi L. 2003. Influence of drought on seed yield components in common
bean. Bulg. J Plant Physiol Special Issue:320-330.
Taiz L, Zeiger E. 2002. Plant physiology. Sunderland: Sinauer Associates.
Tang AC, Kawamitsu Y, Kanechi M, Boyer JS. 2002. Photosynthetic oxygen
evolution at low water potential in leaf discs lacking an epidermis. Ann Bot
89:861-870.
Tezara W, Mitchell V, Driscoll SP, Lawlor DW. 2002. Effects of water deficit and
its interaction with CO2 supply on the biochemistry and physiology of
photosynthesis in sunflower. J Exp Bot 375(53):1781-1791.
Trejo CL, Clephan AL, Davies WJ. 1995. How do stomata read abscisic acid
signal?. Plant Physiol 109:803-811.
Violita 2007. Komparasi respon fisiologi tanaman kedelai yang mendapat
cekaman kekeringan dan perlakuan herbisida paraquat: Kasus kabupaten
Bogor [ Tesis ] Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Voznesenskaya EV, Franceschi VR, Artyussheva EG, Black CC, Vladimir JS,
Edwards GE. 2003. Development of the C4 photosynthetic apparatus in
cotyledons and leaves of Salsola richteri ( Chenopodiaceae). J Plant Sci
164(4):471-487.
Voznesenskaya EV, Chuong SDX, Koteyera NK, Edwards GE, Franceschi VR.
2005. Functional compartmentation of C4 photosynthesis in the triple-layered
chlorenchyma of Aristida (Poaceae). Plant Biol 32:67-77.
Vu JCV, Allen LH, Bowes G. 1987. Drougth stress and elevated CO2 effects on
soybean ribulose bisphosphate carboxylase activity and canopy
photosynthetic rates. Plant Physiol 83 (3):573-578.
Wang Z, Huang B. 2004. Physiolgycal recovery of kentucky bluegrass from
simultaneous drought and heat stress. Crop Sci 44:1729-1736.
Wikipedia.
2008.
Ascorbic
Acid.
Free
Wikipedia.org/wiki/Ascorbic_acid. [25 Mei 2008].
Enseclopedia.
en.
Wikipedia 2009. Padi. En. Wikipedia http://id. Wikipedia. Org//wiki/padi. [14
Agustus 2009].
Wu Y, Cosgrove DJ. 2002. Adaptation of roots to low water potensials by
changes in cell wall extensibility and cell wall protein. J Exp Bot
51(350):1543-1553.
47
Yosilayla 2008. Pengaruh limbah padat kotoran ternak hasil pengendapan setelah
pelarutan terhadap serapan N, P dan pertumbuhan tanaman bayam merah
(Alternanthera amoena Voss). GDL Hub 11:30-47.
49
Chan, Jen-Hu. 1968. Climate and Agriculture. An Ecological Survey. Aldine
Publishing Com. Chicago: 304 h.
Decoteau DR. 2005. Principles of Plant Science. Environmental Factors and
Technology in Growing Plants. Upper Snddle River, New Jersey.
Hamim 2003. Will the Increasing Atmospheric CO2 Concentration Change the
Effect of Drought on C3 and C4 Species ?. Ph.D. Thesis. University Of Essex.
Colchester.United Kingdom.
Krieg, DR, Hutmacher RB. 1986. Photosyntetic Rate Control in Shorgum:
Stomatal and Non-Stomatal Factors. Crop Sci 26:112-117.
Lawlor DW. 1995. The effects of water deficit on photosynthesis. Pp.129-160.
In.N.Smirnoff (Ed). Environment and Plant Metabolism, Flexibility and
Acclimation. Bios Scientific Publishers. Oxford
Osmond CB, Winter K, Ziegler H. 1982. Fungsional Significance of Different
Pathway or CO2 Fixation in Photosynthesis. In Encyclopedia of Plant
physiology; Berlin N. S. Vol 12 B:Springer-Verlag Berlin. pp 479-548.
Laetsch. 1974. The C4 syndrome : A structural analysis. Annual Review of Plant
physiol 25:27-52.
Noggle GR, Fritz GJ. 1977. Introductory Plant Physiologi . Prentice Hall of India
Private Limited; New Delhi, 721 pp Ratnayaka HH, Morlin WT and Sterling
TM. 2003. Physiological and antioxidant.
May JM. 1999. Is Ascorbic Acid an Antioxidant for Plasma Mambrane?. Faseb
Journal 13:995-1006.
Goenadi DH, Isroi. 2003. Aplikasi bioteknologi dalam upaya peningkatan
efesiensi agribisnis yang berkelanjutan. Artikel Lembaga Riset Perkebunan
Indonesia 22957.
Supriyono, Tohari, Syukur A, Indradewa D. 2004. Kajian anatomi daun dan
bintil dalam kaitannya dengan proses fisiologi tanaman karabenguk (Mucuna
pruriens). PS Agronomi Fakultas Pertanian UGM dan UNS. http//pertanian,
uns. Ac. Id/˜ agronomi/ agrosains/vol % 206-1 [17 mar 2008].
Taiz L, Zeiger E. 1991. Plant physiology. California: The Benjamin/Cummings
Publishing Company, Inc.
Ratnayaka HH, Morlin WT, Sterling TM. 2003. Physiological and antioxidant
responses of cotton and spurred anoda under interference and mild drought. J
Exp Bot 54:2293-2305.
Sulistyaningsih YC, Dorli, Akmal H. 1994. Studi Anatomi Daun Saccharum spp.
Sebagai Induk dalam Pemuliaan Tebu. Hayati. 1:2
50
von Caemmerer S, Ludwig M, Milgate A, Farquhar GD, Price D, adger MR,
Furbang RT. 1997. Carbon isotope discrimination during C4 photosynthesis:
insights from transgenic plants. Aust.J.Plant Physiol. 24:487-493.
Smirnoff N. 1996. The function and metabolism of ascorbic acid in plants.
[ botanical briefing ]. Ann Bot 78:661-669.
Morison JIL , Lawlor DW. 1999. Intraction between increasing CO2 concentration
and temperature n plant growth. Plant, Cell Environ 22:659-682.
Karyotou K, Donaldson RP. 2004. Ascorbate Peroxidase, a Scvennger of
Hydrogen Peroxide in Glyxysomal Membranes. Archives of Biophys
434:248-257.
Kramer PJ. 1969. Plant and Water Relationships A Modern Synthesis. McGraw
Hill Comp. NewYork.
Jia DY, Zhao HL, Zhang TH. 2004. Diurnal patternsof net photosynthetic rate,
stomatal conductance, and chlorophyll fluorescence in leaves of field-grown
mungbean(Phaseolus radiatus) and millet (Setaria italica). New Zealend
Journal of Crop and Horticultural Sci. 32:273-279
Jiang Y, Huang B. 2001. Drought and stress injury to two cool-season tufgrasses
in relation to antioxidant metabolism and lipid peroxidation. Published In
Crop Sci 41:43-442.
Keles Y, Oncel I. 2002. Response of antioxidative defence system to temperature
and water stress combinations in wheat seedlings. Plant Sci 163: 783-790.
Hatfield JL. 1977. Light respon in maiz. Agrometeorology of maize (corn) Crop.
WMO. No. 481
Hopkins MF. 1984. Photosynthesis on Advanced Plant Physiology. Wilkins MB,
editor. London: Pitmann.
Yordanov, I., V. Velikova and T. Tsonev 2003. Plant Responses To Drought and
Stress Tolerance. Bulg. J Plant Physol, Species Issue:187 – 206.
Atinirmala, Pratita. 2006. Biologi Praktis. Kreasi Wacana.Yogyakarta.
Jumin HB. 1992. Ekologi Tanaman suatu Pendekatan Fisiologi. Rajawali Press
Jakarta.
Gardner FP, Brent PR, Goger L, Mitchell. 1991. Fisiologi Tanaman Budidaya.
Universitas Indonesia Press.
Lizana C et al. 2006. Differential Adaptation of Two Varieties of Common bean
to Abiotic Stress [Research Paper]. J Exp Bot 57(3):685-697.
Mattjik AA, Sumertajaya IM. 2002. Perancangan Percobaan: dengan Aplikasi
SAS dan Minitab (ed.2). Jurusan Statistik FMIPA IPB; IPB Press.Bogor.
Mutiasari A. 2008. Akumulasi aluminium pada Melastoma affine dan Melastoma
malabathricum: kasus Kabupaten Bogor [Tesis] Bogor: Sekolah Pascasarjana,
Institut Pertanian Bogor.
Ed Echeverria 2000. Vesicle-mediated solute transport between thevacuola and
the plasma membrane. Plant Physiol 123:1217-1226.
Lampiran 1 Seri larutan dehidran (Nakamura 1995)
Dehidran
3
4
5
6
7
n-butanol
40 ml
55 ml
70 ml
85 ml
100 ml
Etanol absolut
30 ml
25 ml
20 ml
15 ml
0 ml
aquades
30 ml
20 ml
10 ml
0 ml
0 ml
Lampiran 3 Kriteria penilaian sifat kimia tanah
Sifat Tanah
Sangat
Rendah
Rendah
Sedang
Tinggi
Sangat
Tinggi
C-Organik (%)
Nitrogen (%)
C/N
P2O5 HCl (mg/100g)
P2O5 Bray I (ppm)
P2O5 Olsen (ppm)
K2O KCl 25% (mg/100g)
KTK (me/100g)
< 1,00
< 0,10
<5
< 10
< 10
< 10
< 10
<5
1,00-2,00
0,10-0,20
5-10
10-20
10-15
10-25
10-20
5-16
2,01-3,00
0,21-0,50
11-15
21-40
16-25
26-45
21-40
17-24
3,01-5,00
0,51-0,75
16-25
41-60
26-35
46-60
41-60
25-40
> 5,00
> 0,75
> 25
> 60
>35
> 60
> 60
> 40
< 0,1
< 0,1
< 0,4
< 0,2
< 20
< 10
Sangat
Masam
0,1-0,2
0,1-0,3
0,4-1,0
2-5
20-35
10-20
Masam
0,3-0,5
0,4-0,7
1,1-2,0
6-10
36-50
21-30
Agak
Masam
0,6-1,0
0,8-1,0
2,1-8,0
11-20
51-70
31-60
Netral
> 1,0
> 1,0
> 8,0
> 20
> 70
> 60
Agak
Alkalis
Susunan Kation:
K (me/100g)
Na (me/100g)
Mg (me/100g)
Ca (me/100g)
Kejenuhan Basa (%)
Aluminium (%)
Alk
alis
Download