Dinamika Konflik Suriah dan Respon Politik Regional-Global Muhammad Fakhry Ghafur Abstract: The Political Crisis in Syiria is the greatest humanitarian tragedy in the political history of Middle East. Refugee, poverty, unemployment, murder and abduction adds to the already long suffering of civilians in Syria. Syiria’s conflict, after the revolution has brought out issue of increasingly complex external and internal actors. Later on, the Islamic State appeared in Iraq and Syiria and they became the part of the calculation in Syria’s political dynamics, and have impact to global security. The complexities of the conflict with the emergence of various forces have forced the world to issue a policy for establishing peace in Syria. President Barack Obama along with some other country's leaders have encouraged the United Nations Security Council, to release a resolution that could end the protracted conflict in Syria. Keywords : Political Crisis, Syria, Islamic Movement, International Response 1. Pengantar Saat ini dunia internasional tengah menyaksikan konflik akut yang terjadi dalam skala besar di Suriah. Dunia seolah terdiam dengan berbagai pembantaian dan kekerasan yang mematikan tersebut. Gelombang besar pengungsian, kemiskinan, pengangguran, penculikan dan pemerkosaansemakin menambah panjang penderitaan rakyat sipil tak berdosa yang setiap hari menjadi korban perang yang seolah tak berujung. Berdasarkan data The Syrian Observatory of Human Rights, korban tewas akibat konflik Suriah sejak Maret 2011 sampai Maret 2014 telah mencapai 146.065 jiwa.1 Tidak hanya itu, konflik ini juga mengakibatkan semakin meningkatnya jumlah 1 Killed since beginning of the Syirian Revolution, http://syriahr.com/en/index.php?option=com_news&nid=2332&Itemid=2&task=displaynews#.U_GAZ j-Szoo. 1 warga sipil yang mengungsi ke berbagai negara, seperti Turki, Lebanon dan Yordania yang menurut UNHCR berjumlah 2.598.502 orang.2 Konfik yang telah menjadi tragedi kemanusiaan itu jelas menimbulkan tanggapan dari dunia internasional. Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB), Uni Eropa, Liga Arab dan negara-negara di dunia mengutuk kekerasan yang dilakukan rezim Bashar Assad terhadap rakyat sipil di Suriah dan menuntut Bashar Assad untuk mundur karena telah kehilangan legitimasi rakyatnya. Presiden Amerika Serikat (AS) Barack Obama mendesak Dewan Kemanan PBB (DK PBB) untuk mengeluarkan resolusi mengutuk kekerasan di Suriah dan memberikan sanksi kepada rezim Assad. Namun, sampai saat ini resolusi yang diusulkan DK PBB terkait kecaman, pemberian sanksi dan penyidikan atas kejahatan perang belum membuahkan hasil dan masih mengalami hambatan apalagi setelah kedua negara besar seperti Rusia dan Cina memveto resolusi tersebut dengan alasan mencegah intervensi asing yang lebih luas di Suriah. Sementara itu, Uni Eropa memberlakukan sanksi mencakup embargo ekonomi, larangan penjualan senjata dan pencekalan tiga belas pejabat penting yang berasal dari dalam lingkungan pemerintahan rezim. Sama halnya dengan PBB dan Uni Eropa, negara-negara Arab yang tergabung dalam Liga Arab menangguhkan keanggotaan Suriah dan melakukan pemberian sanksi berupa pencekalan kepada pejabat senior Assad, pembekuan asset Suriah di negara-negara Arab dan menghentikan aktivitas di bank besar Suriah. Liga Arab pada akhirnya mendukung National Coalition for Syirian Revolutionary sebagai pemegang otoritas di Suriah yang didekralasikan di Istanbul pada 15 September 2011. Serangkaian kecaman dan sanksi pun diikuti oleh berbagai negara di dunia yang menolak kebrutalan rezim Bashar Al Assad. Upaya penyelesaian konflik melalui jalur mediasi pun sebenarnya sudah dilakukan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Namun, upaya tersebut tidak membuahkan hasil setelah kedua belah pihak yang bertikai menolak untuk berdialog. Rezim Bashar Assad mengklaim bahwa kelompok oposisi telah melakukan tindakan terorisme dengan dukungan negara-negara Barat. Sementara kelompok oposisi 2 Stories From Syirian Refugees, http://data.unhcr.org/syrianrefugees/syria.php. 2 menolak berdialog, karena sikap politik rezim yang cenderung otoriter dan kerap melakukan tindakan kekerasan terhadap rakyat sipil. Pernyataan kedua belah pihak menunjukkan adanya kebuntuan dialog sejak awal antara rezim Assad dengan para penentangnya. Di tengah upaya damai yang dilakukan berbagai pihak, eskalasi konflik dengan menggunakan kekerasan justru semakin meningkat sepanjang tahun 2013. Disamping itu solusi yang ditawarkan Assad berupa reformasi dalam bidang politik, amandemen kosntitusi dan pelaksanaan pemilu kerap diabaikan pihak oposisi yang mengakibatkan terhambatnya rekonsiliasi nasional. Tragedi berdarah yang terjadi di berbagai daerah berupa serangan senjata kimia yang menewaskan ribuan orang mendorong dunia internasional untuk melakukan langkah-langkah berupa sanksi terkait penggunaan senjata kimia. Dalam sidang DK PBB pada 11 September 2013, AS mendesak DK PBB untuk melakukan intervensi militer terhadap basis-basis kekuatan senjata kimia di Suriah. Kebijakan AS tersebut kontan menuai perdebatan panjang diantara DK PBB dan juga negara-negara di dunia. Intervensi militer tidak hanya dianggap dapat mengancam stabilitas keamanan kawasan tetapi juga dapat menjadi penghambat rencana demokratisasi yang tengah berjalan di Timur Tengah. Kasus Irak dan Afganistan dapat dijadikan contoh betapa intervensi yang melibatkan kekuatan militer tidak hanya menguras dana yang begitu besar, tetapi juga memakan waktu yang cukup lama dalam penyelesaian konflik itu sendiri. Terlepas dari perdebatan yang tengah berlangsung, tulisan ini mencoba menjelaskan kompleksitas konflik yang terjadi di Suriah baik dari isu konflik, peran aktor lokal, regional dan global serta tanggapan dari berbagai kekuatan politik dunia. Diharapkan tulisan ini dapat memberikan kontribusi bagi penyelesaian konflik yang berkepanjangan tersebut. 2. Dinamika Konflik Suriah Suriah merupakan salah satu negara yang berada di kawasan strategis Timur Tengah. Ferdinand Von Richtofen misalnya menyebut Suriah sebagai Jalur Sutera karena letaknya yang strategis tidak hanya dalam jalur perdagangan barang, tetapi juga dalam budaya dan jalur militer global. Letaknya yang strategis ditambah dengan limpahan 3 potensi kekayaan alam menjadikan Suriah sebagai negara yang diperebutkan berbagai kekuatan politik regional dan global. Sekitar 74 % mayoritas penduduk Suriah beragama Islam yang menganut paham Ahlussunnah wal Jama’ah (Sunni), kemudian Syiah Alawiyah (12%), Druze (3%) dan sebagian kecil menganut Ismailiyyah yang merupakan salah satu cabang dari aliran Syiah.3 Kelompok Syiah Alawiyah merupakan kelompok minoritas yang berpengaruh dalam pemerintahan rezim Assad. Sementara itu sebagian besar penduduknya sekitar 90% berasal dari keturunan Arab, diikuti 9% berasal dari suku Kurdi dan kelompok minoritas Armenia, Sirkasian dan Turkmenistan. Beragamnya aliran kepercayaan dan etnis yang berkembang menjadikan Suriah sebagai negara yang rentan dengan konflik. Pengaruh politik Syiah Alawiyah semakin mapan setelah rezim Assad berkuasa melalui kudeta pada tahun 1970 dan berhasil menguasai dua kelembagaan politik, yaitu angkatan bersenjata dan partai Bath yang menjadi satu-satunya partai pendukung rezim Suriah. Selama masa kepemimpinannya Hafiz Assad kerap melakukan diskriminasi dan intimidasi terhadap lawan politiknya yang mengakibatkan munculnya gerakan perlawanan dari kelompok lainnya terutama dari kalangan mayoritas Sunni. Misalnya, pada tahun 1982 terjadi serangan terhadap kota Hama yang mengakibatkan tewasnya ribuan aktivis Ikhwanul Muslimin.4 Disusul pada tahun 1999, terjadi pemberontakan gerakan Latakia yang juga berakhir dengan tewasnya ribuan rakyat sipil.5 Dari sini dapat dilihat bahwa konflik internal Suriah yang terjadi pada masa Hafiz Assad tidak hanya akibat meruncingnya perbedaan mazhab (sektarian) antara rezim yang didukung Syiah Alawiyah dengan Ikhwanul Muslimin yang mayoritas Sunni tetapi juga faktor politik yang mencakup gaya kepemimpinan diktator rezim Assad terhadap oposisi. Tuntutan perubahan politik yang disuarakan pihak oposisi kerap dibalas dengan kekerasan oleh rezim Assad. Pasca Hafiz Assad, kepemimpinan Bath Party beralih kepada anaknya Bashar Assad yang mendapat dukungan sekte Alawiyyah. Terpilihnya Bashar Assad dalam pemilu 3 Minoritas Kristen maupun Kurdi berkoalisi dalam pemerintahan rezim untuk menghindari dominasi mayoritas Sunni yang dianggap merugikan. 4 Raymond Hinnebusch, Modern Syirian Politics, Blackwell Publishing, 2007. 5 Ibid 4 2000 pada mulanya dinilai dapat membawa perubahan di Suriah dengan munculnya fenomena Damascus Spring pada tahun 2000-2001. Namun, gerakan reformasi ini terhenti setelah rezim Assad kembali melakukan kediktatoran dan diskriminasi politik dengan menangkap dan membunuh para aktivis pro perubahan. Disamping itu, Kondisi ekonomi yang tidak stabil akibat embargo ekonomi AS sejak 2004 mendorong menculnya gerakan protes di berbagai daerah di Suriah. Secara garis besar konflik internal berkepanjangan yang terjadi pada masa Bashar Assad melibatkan dua kubu, yaitu pihak pemerintah rezim otoriter dan pihak oposisi yang didukung kalangan Salafi dan Ikhwanul Muslimin. Dalam peta kekuatan politik domestik Suriah, militer Assad memiliki ratusan ribu tentara dan menguasai teknologi militer yang dikuasai divisii elite pendukung rezim yaitu Garda Republik yang sebagian besar anggotanya berasal dari Syiah Alawiyyah, karenanya pasukan loyalis rezim mempunyai keunggulan dalam konfrontasi militer langsung dengan kelompok oposisi yang memiliki pasukan dan persenjataan terbatas. Pada tahun 2005 terjadi perlawanan dari kelompok oposisi, namun berhasil diredam Assad. Disamping itu Assad pun berhasil meminimalisir gejolak demonstrasi dengan melakukan langkah-langkah perubahan, seperti liberalisasi ekonomi dan reformasi politik terbatas. Langkah yang paling mendapat sambutan luas adalah kebijakannya membebaskan tahanan politik. Sementara itu, kebijakan politik luar negeri rezim tetap menolak penjajahan Israel atas Palestina serta menentang agresi militer AS ke Irak pada tahun 2003. Kebijakan tersebut mengisolasi Suriah dari kancah politik internasional seperti halnya Iran dan para non-state actors seperti Hamas dan Hizbullah yang menentang kependudukan Israel di Palestina. Kendati Assad telah melakukan reformasi politik secara terbatas, namun rezim ini terus menekan dan menimbulkan perlawanan dari kelompok oposisi yang kemudian memuncak pada tahun 2011 seiring dengan terjadinya fenomena Arab Spring yang terjadi di beberapa negara Timur tengah. Gelombang Arab Spring di Suriah dimulai dengan munculnya aksi protes warga di Dara’a pada Maret 2011 menuntut mundurnya Presiden Assad, dibukanya kebebasan berpolitik dan reformasi ekonomi. Protes tersebut dibalas rezim Assad dengan kekerasan yang mengakibatkan jatuhnya korban. 5 Pada 6 Juni 2011, terjadi serangan yang dilakukan pemberontak hingga mengakibatkan tewasnya puluhan pasukan loyalis Assad di Jisr As Shughur.6 Peristiwa ini menunjukkan bahwa protes telah berubah menjadi konflik bersenjata yang lambat laun semakin membesar. Sepanjang tahun 2011 sampai pertengahan tahun 2013 telah terjadi beberapa kali pertempuran di beberapa daerah di Suriah. Peta konflik yang dirilis Political Geography Now pada bulan Agustus 2013 menunjukkan semakin meluasnya konflik di Suriah.7 Gambar I. Peta Konflik Suriah Sebagai respon sikap represif rezim Assad kelompok oposisi membentuk Al Jays Al Hur (Free Syirian Army/FSA) di bawah komando Kolonel Riadh Assad. FSA merupakan angkatan bersenjata pihak oposisi yang terdiri dari anggota eks- militer Assad dan sukarelawan rakyat Sipil. Gerakan militer ini didukung oleh negara-negara 6 Timeline of International Rspons to Syiria Conflict, Global Centre For The Responsibility to Protect, 2012. 7 Syirian Uprising Map, www.polgeonow.com 6 Arab yang mendapat dukungan senjata dan dana dari AS melalui Syirian Support Group. Keberadaaan FSA memperuncing konflik antara kubu loyalis rezim dengan kelompok oposisi. Sementara itu, upaya diplomatik internasional untuk melawan rezim Assad terus dilakukan kelompok oposisi di pengasingan salah satunya dengan mendirikan Syiria National Council (SNC) di bawah pimpinan Abdul Basith Saida, seorang akademisi Kurdi. Dalam penyataannya di Istanbul SNC mengklaim akan memperluas basis politik kelompok oposisi di tingkat internasional, mendukung langkah-langkah penggulingan Assad melalui intervensi internasional serta perlindungan warga sipil di Suriah. Dalam perkembangannya SNC kemudian melakukan koalisi dengan kelompok oposisi lainnya dan mendeklarasikan berdirinya Syirian National Coalition for Revolutionary and Opposition Forces di Istanbul dan mendapat dukungan dari beberapa negara di dunia.8 Kelompok oposisi lainnya adalah The National Coordination Committee for Democratic Change (NCC) yang dipimpin oleh Hassan Abdul Azhim. Berbeda dengan SNC, kelompok ini mendukung perubahan rezim namun menolak intervensi militer asing. NCC bersedia berdialog dengan kubu rezim Assad yang mendapat dukungan dari Rusia dan Cina. Mayoritas kelompok ini adalah muslim Sunni dan mendukung terciptanya iklim demokrasi di seluruh Suriah. Sementara itu, muncul juga kelompok oposisi dari gerakan Islam radikal yang juga menentang pemerintahan Bashar Al Assad, diantaranya Jabhat An Nushra atau An Nushra Front dan Islamic State in Iraq and Syiria (ISIS), keduanya merupakan afiliasi dari gerakan Al Qaeda dibawah pimpinan Ayman Az Zawahiri. Berbeda dengan FSA, SNC, NCC dan kelompok oposisi lainnya yang lahir dari gerakan lokal, sementara gerakan Jabhat An Nushra dan ISIS merupakan gerakan transnasional yang memiliki anggota dari luar Suriah. Kedua kelompok ini menjadi kekuatan baru dalam dinamika konflik di Suriah, terutama setelah berhasil menguasai beberapa wilayah di Suriah. Berdasarkan peta konflik yang dirilis majalah The Economist, sebagian besar wilayah di Suriah masih dikuasai loyalis Al Assad dan FSA, sementara itu, An Nushra dan ISIS menguasai sebagian wilayah di Timur dan Utara, seperti Raqqah, 8 Raymond Hinnebusch, Modern Syirian Politics, Blackwell Publishing, 2007. 7 Aleppo, provinsi Idlib dan kota minyak Shadadeh.9 Kendati demikian, seluruh gerakan oposisi di Suriah tidak bersatu dalam satu komando, tak jarang diantara kelompok-kelompok tersebut saling berseberangan bahkan kerap terlibat konflik langsung antara satu dengan yang lainnya. Pada 2013, Jabhat An Nushra menarik diri dari ISIS, karena aksi radikal para anggotanya yang membantai kelompok Sunni. Dalam konteks politik global saat ini, ISIS dianggap sebagai organisasi teroris yang mengancam keamanan global. ISIS telah bermetamorfosis menjadi sebuah gerakan yang kuat dan efektif di Suriah, serta bertanggung jawab dalam setiap serangan dan pemberontakan di Utara Suriah.10 Tabel 1. Aktor Internal Konflik Rezim Kelompok Oposisi Kelompok Syiah Alawiyah Syirian National Coalition (SNC) Kristen Maronite Free Syirian Army (FSA) Druze National Coordination Commite (NCC) An Nushra Front Islamic State in Iraq and Syiria (ISIS) Ahrar Asy-Syam Konflik antar berbagai kekuatan politik yang terjadi di Suriah tersebut pada akhirnya mendorong berbagai pihak baik dalam taraf domestik maupun internasional untuk sepakat mewujudkan perdamaian. Dewan Keamanan PBB, Liga Arab bersedia berdialog dengan rezim Al Assad mewujudkan peta perdamaian Suriah. Bahkan, Liga Arab yang dipimpin Nabil Al Arabi berhasil mendesak Assad untuk melakukan 9 Why Bashar Assad is Still in Charge, http://www.economist.com/news/middle-east-andafrica/21603470-rivalry-between-insurgents-helping-him-nowbut-may-eventually-underminehim. 10 Syiria Civil Map War, http://www.polgeonow.com/2013/12/syria-civil-war-map-december2013-12.html. 8 gencatan senjata dan reformasi di Suriah. Di sisi lain, AS dan negara-negara Uni Eropa mengancam akan menutup kedutaan besarnya di Damascus dan memaksa Assad untuk turun dari jabatannya. Desakan internasional tersebut menuntut rezim untuk melakukan langkah reformasi yang di usulkan PBB dan Liga Arab. Pada tanggal 26 Februari 2012 pemerintah Assad menyelenggarakan referendum guna membentuk konstitusi baru dan menyelenggarakan pemilu yang memungkinkan persaingan politik di luar partai Bath. Melalui referendum mayoritas rakyat Suriah menyetujui konstitusi baru dan penyelenggaraan pemilu, namun referendum tidak memiliki legitimasi karena rendahnya pemilih berlangsung. ditengah bentrokan yang masih 11 Di bawah konstitusi baru pada tanggal 7 Mei 2012 diselenggarakan Pemilu parlemen yang diharapkan mampu membuka kembali iklim demokrasi di Suriah. Namun, pemilu terkesan sarat manipulasi dan tertutup dengan masih mendominasinya loyalis Assad pada perolehan suara. Hasil pemilu menunjukkan partai Bath kembali memperoleh 51% suara dari 90% kursi yang diperebutkan. Hasil ini jelas di tolak oposisi yang membaikot Pemilu sejak awal. SNC mengkalim bahwa pemilu yang dilaksanakan merupakan penghinaan terhadap demokrasi ditengah serangan yang terus dilancarkan rezim Assad. Reformasi politik terbatas yang dijanjikan rezim Assad kembali memaksa terjadinya protes. Tampaknya tidak ada solusi yang tepat bagi kelompok oposisi selain “Assad harus mundur”. Pada akhirnya Pemilu yang diselenggarakan tidak membawa perubahan di Suriah bahkan, pasca Pemilu presiden Juni 2014 yang berhasil dimenangkan kembali oleh Bashar Al Assad, kekerasan semakin meningkat. Selama beberapa hari berturut-turut terjadi serangan beruntun di Damskus, Houla, Hama dan Aleppo yang menewaskan ribuan warga Suriah. Menguatnya eskalasi konflik di Suriah menandakan kebuntuan dialog antara rezim Assad, oposisi dan dunia internasional. Terdapat beberapa alasan terkait semakin kompleksnya konflik di Suriah yang terjadi sejak tahun 2011 sampai saat ini. Pertama, Perpecahan dan perselisihan yang dialami kubu oposisi terkait keterwakilan di SNC menghambat upaya internasional untuk memperluas dukungan internasional. Kelompok SNC menolak bekerjasama dengan kelompok liberal yang didukung AS 11 Current Crisis in Syiria, www.studentsummit.cz/.../1354903402701NATO_Current-crisisin-Syria 9 dan Arab Saudi. Perpecahan pun tidak hanya terjadi di kalangan elite SNC, tetapi juga di lapangan antar pasukan oposisi. FSA tidak mau berkordinasi dengan pihak lain seperti SNC maupun An Nushra Front karena dianggap tidak mewakili aspirasi seluruh rakyat. Kedua, konflik sektarian -walaupun tidak secara langsung- antara Syiah Alawiyah pendukung Assad dengan Sunni yang diwakili Ikwanul Muslimin menjadikan variabel tersendiri yang mempersulit perubahan di Suriah. Konflik sektarian di Suriah memang telah berjalan sejak lama ketika rezim Al Assad berkuasa di Suriah yang didukung kelompok Alawiyah. Diskriminasi dan intimidasi militer Assad menanamkan benih perlawanan dari kelompok Sunni di Suriah. Kedua, Kepentingan politik negara-negara besar di belakang Suriah menjadikan konflik semakin tidak menentu. Sampai saat ini terdapat beberapa negara yang tetap mendukung rezim Assad meskipun telah melakukan kejahatan perang. Rusia, Cina dan Iran adalah sekutu dekat rezim Assad, bahkan sejak awal perang dingin. Rusia merupakan pemasok senjata terbesar ke Suriah, berdasarkan data Stockholm International Peace Research Institute sepanjang tahun 2007-2011 Rusia memasok senjata sebanyak 72 persen meliputi pesawat tempur, sistem pertahanan udara dan rudal antikapal.12 Kendati tidak digunakan secara langsung dalam konflik saat ini, pasokan senjata dari Rusia meningkatkan kemampuan pertahanan Suriah terutama untuk mempertahankan diri dari intervensi militer asing. Dukungan Rusia terhadap rezim Assad pun terlihat di PBB dimana Rusia kerap memveto draft resolusi yang dikeluarkan DK PBB. Awal Februari 2012 misalnya, Rusia menggunakan hak veto terhadap draf resolusi yang diusulkan AS dan negara-negara Barat. Rusia lebih memilih jalur diplomasi langsung dengan rezim Bashar Al Assad ketimbang intervensi militer. Sementara itu, Cina adalah negara yang mempunyai kepentingan ekonomi di Suriah disamping menjadi pemasok senjata kedua terbesar setelah Rusia.13 Cina menganggap penting Suriah karena merupakan salah satu eksportir utama minyak Cina setelah Arab Saudi dan Iran. Suriah juga menjadi gerbang pintu masuk pasar ekspor komoditas Cina ke Timur Tengah. 12 Rusia Pasok 72 Persen Senjata Ke Suriah, www.kompas.com, 19 Maret 2012 Sepanjang tahun 2003-2010 Cina memasok senjata kepada rezim Assad senilai 300 juta dollar. 13 10 Terakhir, keberadaan konflik politik regional dan peran negara-negara seperti Iran, Israel dan negara-negara Arab di belakang Suriah turut memperparah konflik tidak hanya di Suriah tetapi juga di Timur Tengah. Potensi konflik di Suriah memang sangat terbuka berhubung Suriah berada di episentrum pertarungan politik kawasan. Saat ini saja ada beberapa konflik yang bersinggungan dengan Suriah, konflik Palestina - Israel yang dimulai sejak berdirinya negara Israel tahun 1948 sampai sekarang, konflik Hizbullah dan Israel di Lebanon Selatan, serta isu nuklir Iran yang menjadi polemik berkepanjangan. Kedekatan Suriah dengan negara-negara pendukung seperti Iran menjadikan konflik semakin memanas. Suriah dan Iran adalah dua negara yang menentang eksistensi Israel di Timur Tengah. Hubungan harmonis kedua negara juga tampak dari eksistensinya mendukung Hizbullah yang merupakan penentang utama Israel. Suriah bukan saja berkonfrontasi langsung dengan Israel terkait kepemilikan Dataran Tinggi Golan, tetapi juga berperan penting dalam terjadinya konflik antara Israel dan Lebanon. Jejaring kekuatan politik regional yang berafiliasi dengan Suriah menjadikan konflik suriah semakin kompleks. Dari uraian di atas terlihat begitu kempleksnya konflik Suriah yang tidak hanya melibatkan kekuatan politik internal tetapi juga kekuatan-kekuatan regional dan global yang mempunyai kepentingan di Suriah. Michael E Brown, seorang pakar ilmu politik dan hubungan internasional, George Washington University, dalam bukunya Nationalism and Ethnic Conflict pernah menyatakan bahwa konflik tidak hanya disebabkan oleh perilaku elite internal semata tetapi meliputi banyak faktor dan kepentingan seperti politik, ekonomi, sosial dan budaya yang menjadikan suatu wilayah rentan terhadap terjadinya konflik.14 Kompleksitas konflik Suriah tercermin dari terbaginya kekuatan politik kedalam dua poros yang saling bersaing dalam proxy war (medan laga) di Suriah, yaitu kelompok Islam yang tergabung dalam barisan oposisi mendapat dukungan AS, negara-negara Barat, Turki, Liga Arab, Suku Kurdi dan kelompok Mujahidin di beberapa daerah di Suriah. Tujuan politik dari kubu ini adalah menjatuhkan Assad dan mendirikan pemerintahan demokratis di Suriah disamping mengganti dominasi partai Bath dengan pemerintahan yang dapat bekerjasama dengan AS dan negara-negara Barat. Hal ini terlihat dari draf konstitusi yang dibentuk oleh Syrian National Coalition for Revolutionary and Opposition 14 Michael E Brown, Nationalism and Ethnic Conflict, 2001. 11 Forces yang antara lain berisikan dihapuskannya sistem politik partai tunggal dalam pemilu Suriah disamping penghapusan sistem Sosialisme Arab yang sangat kental dengan konstitusi Suriah di bawah kepemimpinan rezim partai Bath. Namun, peran AS dalam “pemaksaan demokrasi” di Suriah mendapat kecaman berbagai pihak terutama dengan kebijakan presiden Obama untuk melakukan intervensi militer ke Surriah. Kebijakan yang memicu perdebatan tersebut tidak hanya pada level internasional tetapi juga dalam dinamika politik AS itu sendiri dengan adanya faksi dalam kongres AS. Kedua, adalah kubu rezim Assad bersama Rusia, Cina, Iran, Hizbullah, milisi Syiah Irak dan negara-negara blok komunis dengan strategi dan rencana untuk terus mempertahankan pemerintahan rezim Assad dengan sistem sosialismenya. Sementara itu, konflik Suriah disatu sisi menjadi persoalan tersendiri bagi Israel yang menjadi sekutu AS. Kejatuhan Assad yang menjadi rival utama Israel akan mendorong lahirnya pemerintahan baru di bawah pimpinan kelompok Ikhwanul Muslimin atau Mujahidin yang menghambat kepentingan Israel. Di sisi lain konflik internal Suriah juga dapat menjadi keuntungan bagi Israel baik secara politik maupun ekonomi. Israel telah mengambil keuntungan untuk memantapkan cengkramannya di beberapa wilayah Timur Tengah termasuk Dataran Tinggi Golan yang kaya akan sumber daya alam. Yaron Ezhari, seorang analis politik Timur Tengah mengatakan bahwa konflik Suriah memberikan kesempatan kepada Israel untuk menguasai Dataran Tinggi Golan yang sebelumnya dikuasai militer Suriah. Pada titik ini kita dapat melihat bahwa konflik yang terjadi di Suriah bukan lagi menjadi persoalan domestik Suriah semata, tetapi sudah menjadi persoalan global seiring munculnya kekuatan-kekuatan politik baik regional maupun global yang mempunyai kepentingan di Suriah. Selama berbagai kekuatan tidak mau keluar dari proxy war, besar kemungkinan konflik Suriah tidak akan berakhir dalam waktu dekat. Tabel 2. Aktor Eksternal Konflik Suriah Pro-Rezim Pro-Oposisi Rusia AS Cina Uni Eropa 12 Iran Liga Arab Hisbullah Turki 3. Tanggapan Regional-Global Tidak dapat dipungkiri bahwa meluasnya konflik di Suriah menimbulkan beragam tanggapan dari dunia Internasional. Tanggapan global pada dasarnya dibangun atas prinsip-prinsip Responsibility of Protect untuk melindungi rakyat dari kekerasan akibat semakin meluasnya eskalasi konflik yang terjadi. Setiap negara mempunyai tanggung jawab untuk menjaga rakyatnya dari kejahatan kemanusiaan termasuk turut serta dalam menjaga dan mewujudkan perdamaian dunia. Prinsip-perdamaian tersebut telah menjadi bagian dari komunitas internasional terutama pasca diselenggarakannya KTT PBB 2005 di New York.15 Apabila suatu negara tidak lagi dapat melindungi rakyatnya dari kejahatan kemanusiaan, maka menjadi tanggung jawab komunitas internasional untuk melakukan intervensi guna melindungi rakyat sipil dari kejahatan tersebut dan menghindari dampak meluasnya konflik yang terjadi. Dalam kasus konflik Suriah, berbagai upaya sudah dilakukan untuk mewujudkan jalan damai baik pada level regional maupun global. Pada level regional, Liga Arab sejak awal terjadinya konflik mengecam penggunaan kekerasan yang dilakukan rezim Assad terhadap rakyat sipil. Kendati langkah Liga Arab terkesan lambat dalam menanggapi konflik, namun dengan berbagai cara pada akhirnya dapat mendesak pemerintah Assad untuk melakukan perundingan. Atas desakan negaranegara Arab, pada tanggal 19 Desember 2012 Suriah menandatangani perjanjian damai, menyetujui misi pengamat Arab di Suriah. Namun, Suriah menolak kebijakan Liga Arab untuk menyerahkan kepemimpinan dan membentuk pemerintahan persatuan nasional. Rezim Assad menilai bahwa apa yang dilakukan Liga Arab merupakan bagian dari intervensi terhadap urusan dalam negeri Suriah. Liga Arab akhirnya menetapkan sanksi yang lebih tegas bagi Suriah dengan menarik utusan 15 Pada KTT PBB 2005 di New York komunitas internasional berjanji untuk menjungjung tinggi “responsibility of Protect” demi terwujudnya perdamaian dunia. 13 mereka dan mengusir duta besar Suriah. Sayang misi damai Liga Arab tersebut terhambat oleh kepentingan sebagian negara anggotanya. Dalam tataran global, PBB sejak awal meletusnya konflik pun telah melakukan berbagai cara untuk mewujudkan perdamaian di Suriah. Pada 23 Februari 2012 misalnya, PBB menunjuk Koffi Annan sebagai mediator perdamaian (UN Supervision Mission in Syiria/UNSMIS). Namun, misi tersebut gagal setelah kubu rezim Assad dan oposisi menolak dialog disamping tidak adanya kesepakatan antara negara-negara anggota PBB menjadi salah satu ganjalan perdamaian. Kendati demikian usaha PBB untuk terus melakukan mediasi terus berjalan dengan mengangkat Lakhdar Brahimi sebagai pengganti Annan dalam misi perdamaian. Misi kedua ini pun nampaknya gagal setelah lakhdar Brahimi mengundurkan diri dari jabatannya setelah melihat tidak kunjung usainya pertikaian di Suriah. Konflik yang tak kunjung usai tersebut memaksa beberapa negara anggota yang tergabung dalam Dewan Keamanan PBB untuk mengambil sikap politik. Beberapa negara anggota tetap seperti Amerika Serikat (AS), Perancis dan Inggris mendukung pelaksanaan resolusi yang memberikan sanksi kepada Suriah dan menuntut Bashar Al Assad meletakkan jabatannya. Sementara, Rusia dan Cina kerap memveto resolusi yang dianggap sebagai bagian dari intervensi berlebihan terhadap urusan dalam negeri Suriah. Pecahnya suara dalam DK PBB tidak lepas dari faktor kepentingan negaraneagra besar baik secara politik maupun ekonomi di Suriah. Kebuntuan dialog yang terjadi pada level regional maupun global menyebabkan semakin meningkatnya konflik di Suriah. Serangan senjata kimia yang terjadi di beberapa wilayah Suriah yang menewaskan ribuan orang memaksa dunia internasional untuk lebih bersikap tegas terhadap pemerintah Suriah.16 AS adalah negara pertama yang menyatakan secara terbuka akan melakukan intervensi militer terhadap Suriah terutama untuk memaksa Assad meletakkan jabatannya. Kebijakan AS untuk menyerang Suriah jelas menuai perdebatan tidak hanya di dalam negeri AS saja tetapi juga dunia Internasional pada umumnya. Sebagaimana kita ketahui bahwa sebagian besar warga AS menolak intervensi militer ke Suriah. Berkaca pada kasus Irak dan Afganistan, intervensi militer tidak hanya akan berdampak pada 16 www.al-Jazeera.com, 21 Agustus 2013 14 terganggunya stabilitas keamanan kawasan, tetapi juga pada tansisi demokrasi yang tengah berjalan di beberapa negara Timur Tengah disamping menyalahi prinsipprinsip demokrasi itu sendiri. Kendati mayoritas warga AS dan dunia Internasional menolak intervensi militer, Presiden Obama dalam pernyataannya tanggal 11 September 2013 tampaknya tetap akan melakukan serangan ke Suriah terlebih berdasarkan hasil investigasi tim penyidik PBB bahwa terdapat 14 titik di Suriah yang menggunakan senjata kimia jenis Sarin.17 Jika AS tetap akan melakukan intervensi militernya maka Suriah akan mengalami eskalasi konflik yang berkepanjangan tidak hanya pada taraf politik domestik Suriah saja tetapi eskalasi konflik pada tataran regional dan global. Serangan yang dilakukan pihak eksternal setidaknya akan akan memunculkan aksi balasan dari kekuatan politik regional (Iran dan Hizbullah) juga dari negara-negara Arab Saudi yang menjadi sekutu utama AS. Disamping itu, krisis Suriah akan melahirkan kembali semacam perang dingin yang melibatkan kekuatankekuatan politik internasional, antara kubu yang dipimpin AS dan negara-negara Barat dengan kubu Rusia yang mencakup Cina dan Korea Utara serta negara-negara yang masuk dalam poros komunis. Hal tersebut jelas akan mengancam stabilitas keamanan dan ekonomi baik dalam skala regional maupun global. Melihat perkembangan politik yang terjadi saat di Suriah dapat penulis simpulkan bahwa keberhasilan perdamaian di Suriah dapat ditentukan oleh sejauh mana dukungan aktor eksternal dan internal dalam mewujudkan peta damai. Apabila pihak-pihak eksternal tidak melepaskan dukungan terhadap salah satu aktor yang terlibat dalam konflik internal, maka skenarionya Suriah akan mengalami konflik internal yang cukup panjang. Hal itu mengingat berbagai pihak ingin tetap mempertahankan status quo dan kepentingannya masing-masing. Tetapi jika salah satu pihak eksternal dapat melepaskan dukungan kepada salah satu kubu yang bertikai, maka upaya rekonsiliasi politik akan dapat terwujud. Singkatnya, Penyelesaian antara kubu yang bertikai bisa dijembatani dengan penyelesaian politik. Dalam hal ini negara-negara yang tidak terlibat secara langsung dalam konfrontasi konflik Suriah dapat memainkan perannya melalui jalur penyelesaian diplomasi politik termasuk Indonesia. Selagi intervensi kemanusiaan bisa dilakukan untuk menurunkan intensitas konflik, maka tidak ada alasan bagi negara manapun di dunia 17 Rahida Iyengar, Syirian Conflict and Cemical Weapons, New American Foundation, 2013. 15 untuk melakukan agresi militer yang justru dapat merusak nilai-nilai kemanusiaan itu sendiri. 4. Peran Indonesia Indonesia merupakan negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia yang mempunyai peran penting dalam kancah politik dunia. Salah satu peran Indonesia yang dianggap penting saat ini adalah mengupayakan perdamaian di berbagai negara yang tengah dilanda konflik. Pemerintah Indonesia mempunyai prinsip bahwa konflik politik yang terjadi harus segera dihentikan karena telah berujung pada semakin meluasnya krisis kemanusiaan. Peran Indonesia dalam mewujudkan perdamaian di Suriah merupakan bentuk dari amanat pembukaan UUD 1945, yaitu dalam rangka mewujudkan perdamaian dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Peran Indonesia dalam pemeliharaan perdamaian di dunia memang bukan sesuatu hal yang baru. Sepanjang sejarah, Indonesia banyak terlibat aktif dalam berbagai misi dibawah bendera Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Bahkan Indonesia oleh beberapa negara dipandang sebagai Role of Model dalam menjaga perdamaian dunia. Selama beberapa dekade Indonesia terlibat aktif dalam menjaga perdamaian, seperti konflik antara Hizbullah dan Israel di Lebanon serta mediasi konflik antara pemerintah Filipina dan The Moro Islamic Liberation Front (MILF). Kendati demikian, harapan untuk mewujudkan perdamaian nampaknya masih sebatas impian dan harapan bagi sebagian negara di dunia saat ini. Di Suriah, konflik antara pemerintah rezim Bashar Al Assad dengan milisi pemberontak semakin akut, bahkan berbagai gerakan radikal muncul kepermukaan yang menjadikan konflik Suriah semakin kompleks. Ditengah semakin kompleksnya konflik Suriah, nampaknya negara-negara di dunia perlu merubah paradigma perdamaian dan tata kelola konflik yang lebih baik. Selama ini kita menyaksikan banyak upaya-upaya diplomasi dan berbagai pertemuan internasional guna mewujudkan perdamaian dunia. Namun, upaya yang dihasilkan hanya sebatas poin-poin kesepakatan atau perjanjian bersama yang selama ini belum bisa membawa perubahan yang signifikan. Sebagai negara yang mempunyai pengalaman dalam menjaga perdamaian, Indonesia perlu merubah paradigma dalam 16 penyelesaian konflik. Dalam upaya penyelesaian konflik, selama ini Indonesia pun melakukan berbagai macam pendekatan, diantaranya melalui pendekatan kultural, pendekatan sosial dan ekonomi, melalui pendekatan politik dan melalui pendekatan agama. Namun belum membuahkan hasil yang signifikan, hal tersebut dikarenakan semakin kompleksnya konflik di Suriah yang melibatkan berbagai macam kekuatan baik internal maupun eksternal. Karenanya, menurut Broto Wardoyo, perlu ada pendekatan baru yang dapat dimanfaatkan untuk mendekatkan antar jurang yang berkepentingan tersebut, yaitu semakin meningkatnya konfesionalisme, menguatnya radikalisme dan jaringan grass roots di kalangan rakyat Suriah. Tiga tendensi ini diharapkan dapat memaksa berbagai pihak untuk segera keluar dari konflik yang berkepanjangan.18 5. Penutup Sejak pecahnya perang pada Maret 2011, Suriah seolah menjadi kawasan yang terus bergejolak. Korban tewas dari waktu ke waktu pun semakin bertambah, bahkan saat ini pertempuran antara kubu rezim dengan oposisi masih terus berlangsung. Seperti apakah akhir dari konflik politik yang terjadi di Suriah? Apakah akan seperti Tunisia, Mesir dan Libya dimana rezim akan runtuh karena desakan pihak eksternal maupun internasional. Ada kekhawatiran bila Bashar Assad jatuh, nasib Suriah akan sama dengan apa yang terjadi di Irak dengan munculnya pemerintahan boneka AS dan konflik sektarian. Hal itu dapat dilihat dari kultur politik yang hampir sama. Bedanya di Irak pada masa Saddam Husein kelompok minoritas Sunni mendominasi sitem politik rezim, sementara kelompok mayoritas Syiah terpinggirkan. Setalah Saddam Husein jatuh benturan antara beragai kepentingan pun tak dapat dihindari, konflik Irak-Lebanon betapa konflik sektarian menjadi malapetaka yang kerap terjadi dari waktu ke waktu. Inilah yang menjadi dilema politik dunia saat ini, jika konflik Suriah dibiarkan maka korban jiwa akan terus bertambah, di sisi lain jika terjadi intervensi militer akan lebih banyak jatuhnya korban baik dari rakyat sipil maupun loyalis rezim dan dikawatirkan akan menjadi perang global karena melibatkan banyak kepentingan di Timur Tengah. 18 Broto Wardoyo, Seminar Forum Kajian Kebijakan Luar Negeri, Kementerian Luar Negeri tentang Peran Pemerintah RI dalam Mengupayakan Perdamaian di Suriah, Jakarta, 28 Maret 2013. 17 Daftar Pustaka Brown, Michael E. 2001. Nationalism and Ethnic Conflict, MIT Press, Cambridge. Current Crisis in Syiria, www.studentsummit.cz/.../1354903402701NATO_Currentcrisis-in-Syria Hinnebusch, Raymond. 2007. Modern Syirian Politics, Blackwell Publishing. Hunter, Shireen T. 2001. Politik Kebangkitan Islam, Penerbit Tiara Wacana, Yogyakarta. Iyengar, Rahida. 2013. Syirian Conflict and Cemical Weapons, New American Foundation. Syiria death Toll, toll_n_3851982.html http://www.huffingtonpost.com/2013/09/01/syria-death- Timeline of International Response to Syria Conflict. 2012. Global Centre For The Responsibility to Protect. 18