Modul Metode Penelitian Kualitatif [TM14]

advertisement
METODE PENELITIAN
KUALITATIF
ETNOGRAFI
Fakultas
Program Studi
ILMU KOMUNIKASI
HUBUNGAN
MASYARAKAT
Tatap Muka
14
Kode MK
Disusun Oleh
85001
Dr. Dadan Anugrah, M.Si.
Abstract
Kompetensi
Beberapa ahli/pemikir teori
semiotika dikaitkan dengan
kedustaan, kebohongan dan
kepalsuan sebuah teori dusta. Jadi,
ada asumsi terhadap teori dusta ini
serta beberapa teori lainnya sejenis,
yang dijadikan sebagai titik
berangkat dari sebuah
kecenderungan semiotika, yang
kemudian disebut juga sebagai
hipersemiotika (hyper-semiotics)..
Setelah mempelajari modul ini,
mahasiswa diharapkan mampu
memahami:
1. Tokoh-tokoh semiotika
2. Ragam semiotik
3. Metode semiotik
MODUL 14
ETNOGRAFI
A. PENGANTAR
Etnografi adalah strategi penelitian kualitatif, yang melibatkan kombinasi
lapangan dan observasi, yang berusaha untuk memahami fenomena budaya
yang mencerminkan pengetahuan dan sistem makna membimbing kehidupan
kelompok budaya. Hal ini dipelopori di bidang antropologi sosial budaya, tetapi
juga telah menjadi metode populer di berbagai bidang lain dari ilmu-ilmu sosial,
terutama di bidang sosiologi.
Etnografi merupakan embrio dari antropologi yang lahir pada tahap
pertama dari perkembangannya, yaitu sebelum tahun 1800-an. Etnografi
merupakan hasil-hasi lcatatan penjelajah Eropa tatkala mencari rempah-rempah
ke berbagai penjuru dunia termasuk ke Indonesia. Selama perjalan itu, mereka
mencatat semua fenomena menarik yang dijumpai selama perjalanannya,
antaralain berisi tentang adat-istiadat, susunan masyarakat, bahasa dan ciri-ciri
fisik dari suku-suku bangsa tersebut (Koentjaraningrat, 1990).
Kata etnografi, berasal dari bahasa Yunani, berarti sebuah deskripsi
mengenai orang- orang atau, secara harfiah, “penulisan budaya”. Dalam
perspektif keilmuan, tipe penelitian etnografi menurut Ember dan Ember (1990)
mengemukakan bahwa etnografi adalah salah satu tipe penelitian antropologi
budaya. Ethnos (bangsa) berarti orang atau folk, sementara Graphein
(menguraikan) mengacu pada penggambaran sesuatu. Oleh karena itu etnografi
merupakan penggambaran suatu budaya atau cara hidup orang-orang dalam
sebuah komunitas tertentu. Etnografi adalah usaha untuk menjelaskan suatu
budaya atau suatu aspekdari budaya.
Secara lebih khusus, etnografi berusaha memahami tingkah laku manusia
ketika mereka berinteraksi dengan sesamanya di suatu komunitas. Singkatnya,
etnografer berusaha memahami budaya atau aspek budaya melalui serangkaian
pengamatan dan interpretasi perilaku manusia, yang berinteraksi dengan
manusia lain. Frey dan kawan-kawan berpendapat etnografi digunakan untuk
‘13
2
PANCASILA
Dr. Dadan Anugrah, M.Si.
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
meneliti perilaku manusia dalam lingkungan spesifik alamiah. Etnografer
berusaha menangkap sepenuh mungkin, dan berdasarkan perspektif orang yang
diteliti, cara orang menggunakan simbol dalam konteks spesifik. Etnografi sering
dikaitkan dengan hidup secara intim dan untuk waktu yang lama dengan suatu
komunitas pribumi yang diteliti yang bahasanya dikuasai peneliti. Budaya
merupakan konsep sentral dari etnografi. Budaya dipelajari sebagai sebuah
kesatuan. Entitas budaya adalah sistem yang digunakan bersama oleh
komunitas. Para anggota budaya ini mempelajari unsur-unsur dan konfigurasinya
melalui interaksi, serta dengan cara hidup dalam budaya lain.
Etnografi yang akarnya antropologi pada dsarnya adalah kegiatan
penelitian untuk memahami cara orang-orang berinteraksi dan bekerjasama
melalui fenomena teramati kehidupan sehari-hari (Symon dan Cassell, 1998). Ini
berarti, sebagai sebuah disiplin riset, etnografi didasarkan pada kultur konsep
yang
tersusun
menggunakan
kombinasi
teknik-teknik
pengamatan,
wawancara,dan analisis dokumen, untuk merekam komunikasi dan perilaku
orang-orangdalam latar sosial tertentu.
Etnografi membawa peneliti membenamkan diri ke dalam sebuah
kelompok, organisasi, atau komunitas di lapangan dalam jangka waktu yang
lebih
panjang.
Etnografi
bertujuan
menguraikan
suatu
budaya
secara
menyeluruh, yaknisemua aspek budaya, baik yang bersifat material seperti
artefak budaya (alat-alat, pakaian, bangunan dan sebagainya) dan yang bersifat
abstrak, seperti pengalaman,kepercayaan, norma, dan sistem nilai kelompok
yang diteliti. Etnografi menjadi sebuah cara yang dianggap paling tepat untuk
menggambarkan realitas masyarakat yang diteliti. Dalam tradisi kajianantropologi
klasik, etnografi menjadi “jembatan” antara pemikiran teoritis dan realitas
kehidupan
sehari-hari
tangkapan
sang
antropolog.
Tradisi
semacam
inimeletakkan etnografi sebagai sebuah realitas tulis yang berada di luar
realitassubyektif penulis dan realitas obyektif yang dituliskan. Intinya, etnografi
adalah sebuah cara metode untuk menangkap cara pandang komunitas terhadap
hidup secara menyeluruh (holistik) dan apa adanya.
‘13
3
PANCASILA
Dr. Dadan Anugrah, M.Si.
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
B. AZAS-AZAS POKOK TEORI ETNOGRAFI KLASIK
Etnografi merupakan suatu kebudayaan suatu suku bangsa. Namun
karena didunia ini ada suku-suku bangsa yang kecil yang terdiri dari hanya
beberapa ratus penduduk tetapi juga ada suku-suku bangsa yang besar yang
terdiri dari berjuta-juta penduduk, maka sebuah etnografi sudah tentu tidak dapat
mencakup keseluruhan dari suku bangsa yang besar. Kesatuan kebudayaan
suku bangsa di suatu komunitas dari suatu daerah geografi ekologi atau di suatu
wilayah administratif tertentu menjadi pokok sebuah etnografi., biasanya dibagi
ke dalam unsur-unsur kebudayaan yang bersifat universal:, yaitu:
1. Bahasa,
2. Sistem teknologi,
3. Sistem ekonomi,
4. Organisasi sosial,
5. Sistem pengetahuan,
6. Kesenian,
7. Sistem religi.
Dari
tujuh
unsur
yang
bersifat
universal
tersebut,
kemudian
mendeskripsikan etnografi yang disusun berdasarkan suatu kerangka etnogrfi,
yang terdiri dari bab-bab yang terbagi ke dalam sub-sub bab khusus, yaitu:
1. Nama suku bangsa.
Nama yang menjadi sebutan bagi suatu suku bangsa dalam suatu
deskripsi etnografi seringkali menimbulkan masalah, karena suku bangsa yang
bersangkutan itu sendiri tak jarang menggunakan nama yang berbeda.
2. Lokasi, lingkungan alam dan demografi.
Lokasi atau tempat tinggal dan penyebaran suku bangsa yang menjadi
pokok deskripsi etnografi perlu dijelaskan ciri-ciri geografinya, yaitu iklim (tropikal,
mediteran, iklim sedang, iklim kutub, sifat daerahnya, pegunungan, dataran
‘13
4
PANCASILA
Dr. Dadan Anugrah, M.Si.
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
tinggi, dataran rendah, jenis kepulauan, daerah rawa, hutan tropikal, sabana,
stepa, gurun dan sebagainya. Suatu etnografi juga harus dilengkapi data
demografi, yaitu data mengenai jumlah penduduk, yang diperinci dalam jumlah
wanita dan jumlah pria, data mengenai laju kelahiran dan laju kematian, serta
data orang yang pindah keluar-masuk desa.
3. Asal mula dan sejarah bangsa.
Asal mula suku bangsa yang bersangkutan biasanya harus di cari dengan
mempergunakan tulisan para ahli prehistori yang pernah melakukan penggalian
dan analisa benda-benda kebudayaan prehistori yang mereka temukan did
daerah sekitar lokasi penelitian.
4. Bahasa.
Bahasa atau sistem perlambangan manusia yang lisan maupun yang
tertulis untuk berkomunikasi satu dengan yang lain, dalam sebuah etnografi,
memberi ciri-ciri terpenting dari bahasa yang diucapkan oleh suku bangsa yang
bersangkutan., beserta variasi-variasi dari bahasa tersebut.Ciri-ciri menonjol dari
bahasa yang diucapkan oleh suku bangsa yaitu dengan menempatkan setepattepatnya dalam rangka klasifikasi baasa-bahasa sedunia.
5. Sistem teknologi.
Teknologi atau cara-cara memproduksi, memakai dan memelihara segala
peralatan hidup dari suku bangsa dalam etnografi, cukup membatasi diri
terhadap teknologi yang tradisional, yaitu teknologi dari peralatan hidupnya yang
tidak atau hanya secara terbatas dipengaruhi oleh teknologi yang berasal dari
kebudayaan “barat”.
‘13
5
PANCASILA
Dr. Dadan Anugrah, M.Si.
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
6. Sistem mata pencaharian.
Berbagai macam sistem mata pencaharian atau sistem ekonomi hanya
terbatas kepada sistem-sistem yang bersifat tradisional saja, terutama terhadap
kebudayaan suatu suku bangsa secara holistik. Sistem tersebut adalah: Berburu
dan meramu; Beternak; Bercocok tanam di ladang; Menangkap ikan; dan
Bercocok tanam menetap dengan irigasi.
7. Organisasi sosial.
Dalam tiap masyarakat kehidupan masyarakat diatur oleh adat-istiadat
dan aturan-aturan mengenai berbagai macam kesatuan di dalam lingkungan
mana ia hidup dan bergaul dari hari ke hari. Kesatuan sosial yang paling dekat
dan mesra adalah kesatuan kekerabatannya, yaitu keluarga inti yang dekat dan
kaum kerabat yang lain.
8. Sistem pengetahuan.
Dalam suatu etnografi mengenai sistem pengetahuan dalam kebudayaan
suku bangsa meliputi pengetahuan mengenai teknologi yang mencakup: 1. Alam
sekitarnya; 2. Alam flora di daerah tempat tinggalnya; 3. Alam fauna di daerah
tempat tinggalnya; 4. Zat-zat, bahan mentah, dan benda-benda dalam
linkungannya; 5. Tubuh manusia; 6. Sifat-sifat dan tingkah laku manusia; 7.
Ruang dan waktu.
9. Kesenian.
Kesenian dalam etnografi memuat tentang benda-benda hasil seni, seni
rupa, seni patung, seni ukir, atau seni hias, pada benda alat-alat sehari-hari.
Kecuali benda hasil seni rupa, lapangan kesenian lain yang juga sering
mendapat tempat dalam sebuah etnografi adalah seni musik, seni tari dan
drama.
‘13
6
PANCASILA
Dr. Dadan Anugrah, M.Si.
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
10. Agama dan sistem religi.
Religi telah menjadi pokok penting etnografi mengenai suku bangsa. Ada
dua hal yang menjadi perhatian,yaitu: 1. Upacara keagamaan dalam kebudayaan
suku bangsa biasanya merupakan unsur kebudayaan yang tampak paling lahir;
2. Bahan etnografi mengenai upacara keagamaan diperlukan untuk menyusun
teori-teori tentang asal mula religi. Sistem religi mempunyai ciri-ciri untuk
memelihara emosi keagamaan bersama dengan tiga unsur yang lain, yaitu: (i).
Sistem keyakinan; (ii). Sistem upacara keagamaan; (iii). Suatu umat yang
menganut religi tersebut.
C. ETNOGRAFI DI INDONESIA
Tidak mudah sebenarnya untuk menunjukkan ciri-ciri umum etnografietnografi yang lahir dari tangan ahli antropologi Indonesia, karena hingga kini
belum ada suatu telaahpun tentang etnografi-etnografi tersebut. Secara umum
etnografi di Indonesia dapat dikategorikan sebagai berikut:
a. Etnografi Awam
Etnografi Awam adalah etnografi yang umumnya ditulis bukan oleh para
ahli antropologi, namun mempunyai beberapa ciri yang tidak jauh berbeda
dengan berbagai etnografi dari para ahli antropologi. Kebanyakan tulisan
semacam ini berasal dari para wartawan, yang biasanya memang lebih banyak
pengalaman lapangannya (bukan pengalaman penelitiannya) daripada ahli
antropologi, serta banyak dimuat di berbagai surat kabar dan majalah-majalah
populer. Etnografi Awam semacam ini juga banyak memuat informasi yang
sering kita temukan dalam Etnografi Antropologis , namun dia berbeda dengan
yang ke dua terutama dalam soal penggunaan konsep-konsep antropologis.
Dalam Etnografi Awam konsep-konsep antropologis ataupun analitis yang biasa
ditemui dalam Etnografi Antropologis jarang tampak atau kalaupun ada konsep
tersebut seringkali tidak sangat jelas maknanya. Ciri lain dari Etnografi Awam
‘13
7
PANCASILA
Dr. Dadan Anugrah, M.Si.
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
adalah deskripsinya yang datar. Artinya di situ umumnya tidak terdapat analisa
ataupun kesimpulan tertentu dari si penulis mengenai apa yang ditulisnya.
Tujuan penulisan biasanya adalah benar-benar sekedar menyampaikan berita.
Tidak ada maksud untuk menjelaskan fenomena yang ditulis. Oleh karena itu,
judul-judul etnografi semacam ini biasanya dibuat "menarik perhatian" dengan
menggunakan kata-kata
yang
tidak
biasa,
yang
dianggap
akan
lebih
membangkitkan minat pembaca untuk mengetahui isi tulisan tersebut lebih lanjut,
bukan hanya membaca judulnya saja.
b. Etnografi Laci
Predikat ini dapat diberikan pada berbagai tulisan para ahli antropologi
yang terdapat dalam buku-buku yang diedit oleh Koentjaraningrat, seperti
misalnya "Kebudayaan Jawa” oleh Kodiran, "Kebudayaan Bugis-Makassar" oleh
Mattulada, "Kebudayaan Batak" oleh Payung Bangun, dan sebagainya, yang
terdapat dalam buku Manusia dan Kebudayaan Indonesia. Juga berbagai tulisan
ilmuwan Indonesia yang ada dalam Masyarakat Desa di Indonesia, seperti
misalnya artikel dari Budisantosa tentang masyarakat desa Celepar, tulisan
Harsya W. Bachtiar tentang masyarakat desa di Sumatera Barat, dan berbagai
tulisan lain dalam Penduduk Irian Barat, serta tulisan para ahli antropologi dari
generasi yang lebih muda yang dimuat dalam Masyarakat Terasing di Indonesia.
Berbagai tulisan dalam buku ini sebagian besar memang "hanya" berisi pelukisan
tentang apa yang dimaksud sebagai "kebudayaan" dari suku-suku bangsa yang
ditulis di situ.
Etnografi Laci semacam ini berbeda dengan etnografi Awam terutama
dalam susunan dan retorikanya. Etnografi Laci pada umumnya sudah lebih
sistematis, dalam arti uraian mengenai masyarakat atau kebudayaan diberikan
dengan mengikuti urutan tertentu yang telah ditentukan. Umumnya urutan ini
didasarkan pada pandangan mengenai unsur-unsur kebudayaan yang universal,
seperti bahasa, mata pencaharian, organisasi sosial, kesenian, agama dan
sebagainya. Judul-judul unsur kebudayaan ini menjadi semacam laci tempat si
penulis memasukkan berbagai informasi etnografi yang didapatnya dari
pengalamannya
‘13
8
di
lapangan.
PANCASILA
Dr. Dadan Anugrah, M.Si.
Tulisan-tulisan
tentang
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
kebudayaan
suku-
sukubangsa di Indonesia dalam buku Manusia dan Kebudayaan di Indonesia,
Masyarakat Desa di Indonesia, Penduduk Irian Barat, Masyarakat Terasing di
Indonesia, serta Kebudayaan Jawa, yang diedit dan ditulis oleh Koentjaraningrat
sangat jelas menunjukkan ciri ini.
Etnografi Laci umumnya sudah lebih “ilmiah” atau “antropologis”. Artinya,
dalam etnografi semacam ini kita akan menemukan banyak konsep-konsep
analitis yang penting dalam antropologi, yang tidak kita temui dalam Etnografi
Awam; sesuatu yang memang dituntut oleh tulisan-tulisan yang diinginkan
bersifat “ilmiah” dan ditujukan pada publik yang lebih terbatas, yakni mereka
yang ingin mengetahui, memahami dan dapat menjelaskan fenomena sosial
budaya, serta ingin memahami kehidupan dan dinamika masyarakat dan
kebudayaan di Indonesia. Dalam Etnografi Laci ini akan sering kita temui
pendefinisian beberapa konsep yang dipandang penting, dengan maksud untuk
mencegah simpang-siurnya pendapat yang tidak perlu antara penulis dengan
pembaca.
c. Etnografi Analitis
Etnografi semacam ini memusatkan perhatian pada satu fenomena
sosial-budaya tertentu, entah itu fenomena politik, kekerabatan, organisasi sosial,
agama ataupun yang lain. Jadi salah satu ciri penting yang membedakan
Etnografi Analitis dengan dua jenis etnografi sebelumnya adalah fokus yang
dimilikinya. Buku Singarimbun (1975) misalnya memusatkan perhatian pada
sistem kekerabatan orang Batak Karo, sedang buku Sairin (1982) memberikan
perhatian khusus pada organisasi kekerabatan orang Jawa. Buku Laksono
membahas struktur sosial masyarakat Jawa dan tradisi yang hidup di dalamnya;
buku Triyoga (1991) memperhatikan sistem kepercayaan orang Jawa tentang
Gunung Merapi, sedang buku Pranowo (1985) lebih memperhatikan adaptasi
ekologi masyarakat pedesaan di lereng Merapi. Ini semua berbeda dengan buku
Ahimsa-Putra (1986), yang membahas hubungan minawang (patron-klien) di
kawasan Sulawesi Selatan, terutama di kalangan orang Bugis-Makasar, dan
kondisi yang mendukungnya, ataupun buku Dhofier (1982) yang mengulas tradisi
dan jaringan kekerabatan para kyai di dunia pesantren Jawa.
‘13
9
PANCASILA
Dr. Dadan Anugrah, M.Si.
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Dalam pemaparannya penulis Etnografi Analitis ternyata tidak berbeda
dengan penulis Etnografi Laci, yakni sama-sama mengambil jarak dengan obyek
dan subyek penelitian. Penulis etnografi di situ masih menempatkan dirinya
sebagai pengamat atau peneliti, yang harus menjaga jarak dengan apa yang
ditelitinya, seperti dalam ilmu eksak. Dalam Etnografi Analitis masih belum kita
temukan dialog-dialog antara peneliti dengan informan. Oleh karena analisis
ditujukan pada gejala sosial-budaya, maka dengan sendirinya yang tampil dalam
etnografi adalah berbagai macam abstraksi. Berbagai data hasil pengamatan dan
wawancara dengan para informan dirangkum dalam satu uraian, yang
merupakan abstraksi dari berbagai hal yang didapat oleh penulis etnografi dari
penelitian lapangan dan penelitian kepustakaan. Keterangan-keterangan yang
langsung berasal dari informan umumnya tidak tampak, dan kalau ditampilkan
masih dalam kerangka untuk mendukung argumentasi yang diajukan.
Etnografi Analitis ini biasanya juga ditulis berawal dari sebuah
permasalahan tertentu, yang kemudian dicari jawabnya melalui suatu penelitian,
baik lapangan maupun kepustakaan. Berbagai informasi etnografis yang
diperoleh kemudian disusun sedemikian rupa untuk menjawab masalah yang
dikemukakan, sehingga Etnografi Analitis ini juga memiliki karakter sistematis,
teratur, dan mempunyai alur pemikiran yang jelas. Data etnografi yang berhasil
dihimpun dari berbagai sumber ditempatkan dalam posisi-posisi tertentu untuk
mendukung argumentasi. Pada umumnya etnografi semacam ini berupaya untuk
menampilkan keterkaitan antara unsur budaya satu dengan yang lain, dengan
permasalahan pokok sebagai pusatnya atau tali pengikatnya.
Adanya masalah yang ingin dijawab dalam Etnografi Analitis ini menuntut
pula adanya suatu perspektif tertentu untuk menjawabnya, sehingga etnografi
semacam ini pada umumnya juga memiliki kerangka teori yang lebih eksplisit.
Kerangka teori ini berfungsi membimbing si penulis etnografi mengorganisir
datanya sedemikian rupa, dan menjadi alat pembenaran etnografi tersebut untuk
memperoleh status ilmiahnya. Hadirnya kerangka teori di situ berarti pula
hadirnya berbagai konsep antropologis dengan definisi-definisi yang eksplisit.
‘13
10
PANCASILA
Dr. Dadan Anugrah, M.Si.
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Kalau Etnografi Awam dan Etnografi Laci terasa datar dan tidak argumentatif,
Etnografi Analitis adalah sebaliknya.
Etnografi Analitis biasanya bersifat argumentatif , karena ditujukan untuk
memperluas wawasan pengetahuan dan membuka dimensi-dimensi pemikiran
yang baru dan dianggap lebih dalam daripada yang sudah ada. Untuk
menguatkan kesan semacam ini, maka Etnografi Analitis seringkali diisi dengan
kritik terhadap pandangan-pandangan yang lama. Dengan begitu penulis dapat
menempatkan pandangannya dalam konteks tertentu, yang sekaligus juga
menunjukkan kelebihan dan perbedaan perspektif yang digunakannya. Etnografi
Analitis,
sesuai
dengan
cirinya,
juga
dimaksudkan
untuk
melontarkan
pandangan-pandangan baru, bukan hanya yang informatif, tetapi juga yang
eksplanatif (menjelaskan) dan interpretif (menafsirkan). Dengan adanya masalah
yang jelas dalam penulisan etnografi ini, maka pada akhirnya juga ada jawaban
atau tesis yang lebih eksplisit dalam Etnografi-etnografi Analitis ini, yang turut
menentukan “nilai ilmiah” etnografi tersebut di mata para ahli antropologi. Tesis
ini bisa berupa pandangan baru, yang berbeda dengan pandangan yang telah
ada sebelumnya, tetapi tidak berlawanan, sehingga bersifat memperluas
cakrawala pemikiran pembaca, bisa pula berupa pandangan baru yang
membantah berbagai pendapat yang sebelumnya telah ada. Etnografi Analitis
yang berupaya membantah pandangan yang lama misalnya adalah etnografi
kekerabatan orang Batak Karo dari Singarimbun (1975), dan etnografi patronklien di Sulawesi Selatan dari Ahimsa-Putra (1986), sedang Etnografi Analitis
yang berupaya membuka cakrawala baru adalah etnografi-etnografi dari
Danandjaja (1985), Laksono (1985a), Sairin (1982), Triyoga (1991), dan Pranowo
(1985).
Etnografi
Analitis
–sadar
atau
tidak—ditujukan
terutama
untuk
membangun sebuah “gedung” ilmu pengetahuan yang teratur, sistematis, dan
logis.
Suatu perbedaan lain yang penting antara Etnografi Analitis dengan dua
jenis etnografi sebelumnya adalah kerangka teorinya. Kalau Etnografi Awam
umumnya boleh dikatakan “tidak teoritis” dan “tidak antropologis”; Etnografi Laci
berawal dari kerangka berfikir yang komparatif, dengan model kebudayaan yang
sistemik dan fungsionalistis, maka Etnografi Analitis lebih bervariasi kerangka
teori dan konsep-konsepnya, sehingga tidak ada satu kerangka teori yang diikuti
‘13
11
PANCASILA
Dr. Dadan Anugrah, M.Si.
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
oleh semua atau sebagian besar penulis etnografi. Masing-masing ahli
antropologi memusatkan perhatian pada masalah yang berlainan dengan
kerangka teori yang berlainan pula, walaupun kadang-kadang ada persamaan di
sana-sini. Misalnya saja, meskipun analisis Sjafri Sairin berangkat dari kerangka
berfikir yang fungsionalistis, namun pembahasan dan kesimpulannya berbeda
dengan
Ahimsa-Putra
yang
juga
menggunakan
kerangka
pemikiran
fungsionalistis. Sjafri Sairin lebih memperhatikan fungsi sosial organisasi
kekerabatan orang Jawa, sedang Ahimsa-Putra lebih memperhatikan hubungan
fungsional antara fenomena patron-klien dengan gejala-gejala lain dalam
masyarakat Sulawesi Selatan. Implikasi lebih lanjut dari perbedaan masalah dan
orientasi teoritis tersebut adalah judul dan cara penulisan yang lebih bervariasi.
Selain itu, penulis Etnografi Analitis pada umumnya juga tidak bermaksud
untuk melakukan suatu rekonstruksi kebudayaan. Mereka tampaknya tidak
tertarik untuk menulis apa yang disebut sebagai “Kebudayaan Sukubangsa
Tertentu”. Oleh karena itu penulis Etnografi Analitis kurang tampak sebagai
“pencipta kebudayaan” atau “tukang rekonstruksi kebudayaan”. Mereka lebih
tampak sebagai analyst atau interpreter, yang mencoba “memahami” suatu
gejala sosial tertentu dengan menempatkannya dalam suatu konteks yang lebih
luas. Keberadaan Etnografi Analitis inilah yang membuat warna penulisan
etnografi di Indonesia menjadi lebih menarik. Etnografi Analitis tersebut sekaligus
juga mencerminkan tingkat kreativitas ahli antropologi di Indonesia serta
perkembangan wawasan pemikiran analitis mereka.
Daftar Pustaka
Basrowi
dan Sukidin, 2002. Metode
Mikro.Surabaya: Insan Cemdekia.
Penelitian
Kualitatif
Perspektif
Bereman, G. D., 1968, Etnography : Method and Products Introduction to Cultural
Antropology, J.A. Clitun, editor. Buston, Hungton Miflin Company
M. Antonius Birowo, 2004. Metode Penelitian Komunikiasi. Yogyakarta: Gitanyali
‘13
12
PANCASILA
Dr. Dadan Anugrah, M.Si.
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Noeng Muhadjir, 2000. Metodologi Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: RakeSarasin
Pawito, 2007. Penelitian Komunikasi Kualitatif. Yogyakarta: LKis Pe;angi Aksara.
Koentjaraningrat, 1990. “Pengantar Ilmu Antropologi””, PT Rineka Cipta
‘13
13
PANCASILA
Dr. Dadan Anugrah, M.Si.
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
‘13
14
PANCASILA
Dr. Dadan Anugrah, M.Si.
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Referensi:
Alex Sobur, 2001. Analisis Teks Media, Suatu Pengantar. Bandung: Rosda.
Alex Sobur, 2002 , Analisis Teks Media Massa: Suatu Pengantar untuk Analisis
Wacana, Simiotika dan Framing. Bandung: Remaja Rosda Karya.
Barthes, Roland. 1972. Membedah Mitos-Mitos Budaya Massa. Jakarta:
Jalasutra
Basrowi
dan Sukidin, 2002. Metode
Mikro.Surabaya: Insan Cemdekia.
Penelitian
Kualitatif
Perspektif
Deddy Mulyana, 2005. Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Bandung. Remaja
Rosdakarya.
Eriyanto, 2001. Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta:
LKIS, 2001
John Fiske. Cultural and Communication Studies Sebuah Pengantar Paling
Komprehensif. Bandung : Jalasutra
Kris Budiman, 2001. Kris Semiotika Visual, Yogyakarta: Jalasutra Cetakan I,
September 2011 (hal. 3) Walker, John A. Desain, Sejarah, Budaya;
Sebuah Pengantar Komprehensif. Yogyakarta : Jalasutra cetakan
M. Antonius Birowo, 2004. Metode Penelitian Komunikiasi. Yogyakarta: Gitanyali
Mulyana, 2005. Kajian Wacana: Teori, Metode dan Aplikasi, Prinsip-Prinsip
Analisis Wacana. Yogyakarta: Tiara Wacana
Noeng Muhadjir, 2000. Metodologi Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: RakeSarasin
Pawito, 2007. Penelitian Komunikasi Kualitatif. Yogyakarta: LKis Pe;angi Aksara.
Peter Salim, 2002. Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer. Jakarta: Modern
English Press
Rahmat Kriyantono, 2007. Teknik Praktis Riset Komunikasi. Jakarta: Kencana
Ruth Wodak, 1997. Critical Dis¬course Ana¬lysis” dalam Teun Van Dijk (ed.)
Discourse as Sosial Interaction: Discourse Studies a Multidisciplinary
Introduction, Vol 2. London: Sage Publication.
Stephen Littlejohn, 2009 . Teori Komunikasi Theories of Human Communication
edisi 9. Jakarta. Salemba Humanika.
‘13
15
PANCASILA
Dr. Dadan Anugrah, M.Si.
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Download