DETEKSI VIRUS-VIRUS UTAMA BAWANG MERAH (Allium cepa L

advertisement
DETEKSI VIRUS-VIRUS UTAMA BAWANG MERAH
(Allium cepa L.) DAN BAWANG PUTIH (A. sativum L) DARI
DAERAH JAWA BARAT DAN JAWA TENGAH
KADWATI
DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Deteksi Virus-virus
Utama Bawang Merah (Allium cepa L.) dan Bawang Putih (A. sativum L.)
dari Daerah Jawa Barat dan Jawa Tengah benar karya saya dengan arahan dari
komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan
tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Desember 2013
Kadwati
NIM A34090074
*Pelimpahan hak cipta atas karya tulis dari penelitian kerja sama dengan pihak
luar IPB harus didasarkan pada perjanjian kerja sama yang terkait.
ABSTRAK
KADWATI. Deteksi Virus-Virus Utama Bawang Merah (Allium cepa L.) dan
Bawang Putih (A. sativum L.) dari Daerah Jawa Barat dan Jawa Tengah.
Dibimbing oleh SRI HENDRASTUTI HIDAYAT.
Penyakit yang disebabkan oleh virus merupakan salah satu kendala dalam
meningkatkan produksi bawang merah (A. cepa L.) dan bawang putih (A. sativum
L.). Penelitian dilakukan untuk mendeteksi virus-virus utama bawang merah dan
bawang putih dari pertanaman di lapangan dan dari umbi dengan metode ELISA,
serta mengetahui perbedaan tingkat sensitivitas metode deteksi DIBA dan ELISA.
Sampel berupa daun dan umbi diperoleh dari beberapa daerah pertanaman bawang
di Jawa Barat (Bandung, Bogor, dan Cirebon) dan Jawa Tengah (Brebes) serta
Yogyakarta (Bantul). Infeksi GCLV, SLV, dan Potyvirus berhasil terdeteksi
menggunakan antibodi spesifik. Ketiga jenis virus menginfeksi secara tunggal
maupun bersama-sama (infeksi campuran). Rata-rata persentase infeksi virus di
pertanaman berkisar antara 11.22% sampai 14.29%, sedangkan pada sampel umbi
berkisar antara 9.18% sampai 13.27%. Metode DIBA lebih sensitif dibandingkan
metode ELISA, yaitu berhasil mendeteksi ketiga virus dengan pengenceran
antibodi 10-7, sedangkan metode ELISA hanya mampu mendeteksi pada
pengenceran antibodi 100.
Kata kunci: Carlavirus, DIBA, ELISA, Potyvirus
ABSTRACT
KADWATI. Detection of Major Viruses of Shallot (Allium cepa L.) and Garlic
(A. sativum L.) from West Java and Central Java. Supervised by SRI
HENDRASTUTI HIDAYAT.
Viral disease has been reported to cause significant effect on production of
shallot (A. cepa L.) and garlic (A. sativum L.). The study was conducted to detect
major viruses from leaves and bulbs of shallot and garlic using ELISA method,
and to know the difference in the level of sensitivity of DIBA and ELISA
detection methods. Leave and bulb samples was collected from West Java
(Bandung, Bogor and Cirebon), Central Java (Brebes), and Yogyakarta (Bantul).
Single as well as mix infection of GCLV, SLV, and Potyvirus was successfully
detected using specific antibodies. The average percentage of virus infection in
the crop ranged from 11.22% to 14.29%, whereas in the bulb ranged from 9.18%
to 13.27%. DIBA is a sensitive methods, having capability to detect target viruses
with dilution factor of antibody up to 10-7, while ELISA could only detect the
virus using undiluted antibody (100).
Key words: Carlavirus, DIBA, ELISA, Potyvirus
DETEKSI VIRUS-VIRUS UTAMA BAWANG MERAH
(Allium cepa L.) DAN BAWANG PUTIH (A. sativum L) DARI
DAERAH JAWA BARAT DAN JAWA TENGAH
KADWATI
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Pertanian
pada
Departemen Proteksi Tanaman
DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
Judul Skripsi
:
Nama Mahasisiwa:
NIM
:
Deteksi Virus-Virus Utama Bawang Merah (Allium cepa
L.) dan Bawang Putih (A. sativum L.) dari Daerah Jawa
Barat dan Jawa Tengah
Kadwati
A34090074
Disetujui oleh
Dr. Ir. Sri Hendrastuti Hidayat, M.Sc
Dosen Pembimbing
Diketahui oleh
Dr. Ir. Abdjad Asih Nawangsih, M.Si
Ketua Departemen Proteksi Tanaman
Tanggal disetujui:
PRAKATA
Puji syukur ke hadirat Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Deteksi Virus-Virus
Utama Bawang Merah (Allium cepa L.) dan Bawang Putih (A. sativum L.) dari
Daerah Jawa Barat dan Jawa Tengah” dapat terselesaikan. Penulis menyampaikan
ucapan terimakasih kepada kedua orang tua, kakak, dan adik, serta seluruh
keluarga yang senantiasa memberikan doa, dukungan, kasih sayang, serta
semangatnya kepada penulis untuk dapat menyeleseikan pendidikan di IPB.
Ucapan terimakasih kepada pihak Kementerian Agama Republik Indonesia
(Kemenag RI) yang telah memberikan beasiswa pendidikan jenjang S1 sampai
selesai kepada penulis. Ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya juga penulis
sampaikan kepada Dr. Ir. Sri Hendrastuti Hidayat M.Sc selaku dosen pembimbing
akademik dan skripsi yang telah membimbing, memberikan ilmu, saran, dan
perhatian kepada penulis selama proses penulisan skripsi ini. Penulis
mengucapkan terimakasih atas dukungan biaya penelitian melalui proyek ACIAR:
Increasing Productivity of Allium and Solanaceous Vegetable Crops in Indonesia
and Sub-Tropical Australia.
Penulis mengucapkan terimakasih juga kepada rekan-rekan di Laboratorium
Virologi Tumbuhan atas kebersamaannya, terutama Kak Sari Nurulita dan Ibu
Asniwita yang telah membimbing, serta orang-orang terkasih yang selalu
menemani saat dibutuhkan dan seluruh teman PTN 46, keluarga besar CSS MoRA
IPB terutama CSSMoRA IPB 46, dan keluarga besar PP. Al-Huda Babakan
Ciwaringin Cirebon. Semoga kebaikan yang telah diberikan memperoleh balasan
yang lebih dari Allah SWT. Penulis berharap semoga hasil penelitian ini nantinya
dapat memberikan manfaat bagi dunia pendidikan dan ilmu pengetahuan.
Bogor, Desember 2013
Kadwati
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
BAHAN DAN METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Metode Penelitian
Survei dan pengambilan sampel lapangan
Sampel daun bergejala
Sampel umbi
Penanaman sampel umbi di rumah kasa
Deteksi virus
Deteksi GCLV dengan DAS-ELISA
Deteksi SLV dengan TAS-ELISA
Deteksi Potyvirus dengan I-ELISA
Metode DIBA
Pengujian sensitivitas metode DIBA dan ELISA
HASIL DAN PEMBAHASAN
Gejala infeksi virus pada tanaman bawang di lapangan
Hasil deteksi virus pada sampel daun dari lapangan
Hasil deteksi virus pada sampel umbi
Perbandingan sensitivitas metode DIBA dan ELISA
SIMPULAN DAN SARAN
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP
viii
ix
ix
1
1
3
3
4
4
4
4
4
5
6
6
7
8
8
9
9
11
11
12
15
16
19
20
23
36
DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
Daftar sampel lapangan/daun yang digunakan dalam penelitian
Daftar sampel umbi yang digunakan dalam penelitian
Jenis gejala yang diperoleh dari lokasi pengambilan sampel
lapangan
Hasil deteksi virus dari sampel tanaman bawang berdasarkan reaksi
ELISA
Jumlah persentase dan rata-rata infeksi virus dari jenis sampel
bawang lapangan
Jumlah persentase dan rata-rata infeksi virus dari jenis sampel
bawang umbi
Pengujian titer antibodi dan antigen yang diserap dengan metode
DIBA pada GCLV
Pengujian titer antibodi dan antigen yang diserap dengan metode
DAS-ELISA pada GCLV
Pengujian titer antibodi dan antigen yang diserap dengan metode
DIBA pada SLV
Pengujian titer antibodi dan antigen yang diserap dengan metode
TAS-ELISA pada SLV
Pengujian titer antibodi dan antigen yang diserap dengan metode IELISA pada Potyvirus
Pengujian titer antibodi dan antigen yang diserap dengan metode IELISA pada Potyvirus
4
6
12
13
14
14
17
17
17
18
18
18
DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
Keadaan lahan pertanaman bawang pada saat pengambilan sampel
daun. a) lahan bawang merah di Jawa Barat, b) lahan bawang merah
di Jawa Tengah, dan c) lahan bawang putih di Jawa Barat
Sampel umbi/benih yang digunakan dalam penelitian. a) benih
bawang merah dari Brebes, b) umbi bawang merah dari Cirebon, c)
umbi bawang merah dari Bogor, dan d) umbi bawang putih dari
Bogor
Keadaan sampel umbi yang ditanam di rumah kasa (berumur 24
HST). a) bawang merah asal Cirebon, b) bawang merah asal Brebes,
dan c) Bawang putih asal Bogor
Sampel daun yang dibawa ke laboratorium untuk ditimbang dan
disimpan pada suhu -80 0C. a), b), dan c) sampel daun bawang merah,
dan d) sampel daun bawang putih
Ketentuan respon reaksi pada metode DIBA. a) reaksi negatif (-), b)
reaksi lemah (+), c) reaksi kuat (++), dan d) reaksi sangat kuat (+++)
Gejala pada sampel daun bawang merah dan bawang putih. (a)
mosaik kuning (b) mosaik hijau muda, (c) bergaris kuning, (d) daun
pipih bergaris kuning pucat di tengah, (e) keriting, (f) bercak kuning,
dan (g) permukaan atas daun berlekuk
5
5
6
6
10
11
DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Deskripsi varietas bawang yang digunakan dalam penelitian
Tahapan metode deteksi serologi DAS-ELISA (a), TAS-ELISA (b),
I-ELISA (c), dan DIBA (d) (Albersio et al. 2012)
Nilai absorbansi ELISA (NAE) pada sampel lapangan bawang
merah dan bawang putih
Nilai absorbansi ELISA (NAE) pada sampel umbi bawang merah
dan bawang putih
Hasil deteksi GCLV menggunakan metode DIBA (a) dan DASELISA (b)
Hasil deteksi SLV menggunakan metode DIBA (a) dan TASELISA (b)
Hasil deteksi Potyvirus menggunakan metode DIBA (a) dan IELISA (b)
Nilai absorbansi ELISA pada pengujian GCLV
Nilai absorbansi ELISA pada pengujian SLV
Nilai absorbansi ELISA pada pengujian Potyvirus
24
26
27
30
32
33
34
35
35
35
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tanaman bawang-bawangan (Allium) merupakan komoditas pertanian yang
memiliki nilai ekonomi tinggi dan memiliki banyak manfaat, diantaranya berguna
untuk bumbu, sayuran, obat, dan tanaman hias. Kebutuhan pasar dunia akan jenis
sayuran ini sangat tinggi, begitu pula kebutuhan nasional. Meskipun iklim,
musim, dan lahan di Indonesia mendukung budidaya tanaman bawang, namun
produksi bawang di Indonesia sangat terbatas, bahkan beberapa spesies bawang
harus diimpor (Cahyono 2003). Terdapat beberapa spesies Allium yang sering
dibudidayakan di Indonesia, tetapi umumnya dua spesies bawang yang paling
sering dikonsumsi masyarakat, yaitu bawang merah (Allium cepa L.) dan bawang
putih (A. sativum L.).
Bawang merah (A. cepa L.) merupakan komoditas sayuran yang
diprioritaskan pada usaha tani lahan kering. Tanaman bawang merah hampir
tersebar di semua wilayah Indonesia terutama di daerah dataran rendah. Produksi
bawang merah Indonesia pada tahun 2008, 2009, dan 2010 cenderung mengalami
peningkatan, yaitu 853 615, 965 164, dan 1 048 934 ton, tetapi pada tahun 2011
produksi nasional mengalami penurunan menjadi 893 124 ton, kemudian pada
tahun 2012 produksinya mengalami peningkatan menjadi 960 072 ton. Produksi
bawang merah pada tahun 2012 yang tergolong tinggi terdapat di beberapa
provinsi, yaitu Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat, Nusa Tenggara Barat, dan
Sumatera Barat, berturut-turut 381 813, 222 862, 115 896, 100 989, dan 35 838
ton (Badan Pusat Statistika 2013).
Berbeda dengan bawang merah, bawang putih (A. sativum L.) banyak
ditanam di daerah pegunungan yang cukup mendapat sinar matahari. Namun,
berkat kemajuan teknologi, bawang putih yang semula merupakan tumbuhan
daerah dataran tinggi, untuk varietas tertentu sekarang sudah dibudidayakan di
dataran rendah. Pertumbuhan bawang putih di Indonesia memang tidak banyak
menyumbang kebutuhan bawang putih dunia. Produksi bawang putih di Indonesia
pada tahun 2012 yang tergolong tinggi produksinya terdapat di beberapa provinsi,
yaitu Nusa Tenggara Barat, Jawa Tengah, Sumatera Barat, Jawa Barat, dan
Sumatera Utara berturut-turut sebesar 7929, 3944, 2352, 1874, dan 200 ton
(Badan Pusat Statistika 2013). Kebutuhan bawang putih di Indonesia cukup besar
dan terus meningkat. Konsumsi per kapita bawang putih di Indonesia mencapai
1.13 kg per tahun, sehingga kebutuhan bawang putih nasional per tahun mencapai
250 ribu ton. Jumlah ini cenderung meningkat karena bertambahnya penduduk
atau ragam penggunaan yang semakin banyak. Seperti halnya untuk bawang
merah, produksi bawang putih dalam negeri belum mampu memenuhi permintaan
tersebut, bahkan tingkat produksi dan areal tanam cenderung menurun selama
beberapa tahun terakhir ini. Saat ini kebutuhan bawang putih nasional dipenuhi
dari luar negeri terutama impor dari negara Cina. Selain berkurangnya lahan dan
produktivitas bawang putih nasional, faktor lainnya disebabkan karena produsen
dan konsumen lebih menyukai bawang putih impor karena harganya lebih murah,
ukuran umbinya lebih besar, dan penampakkannya terlihat lebih bersih
(Wulandari 2011).
2
Faktor penyebab rendahnya produksi bawang merah dan bawang putih
secara nasional adalah lahan yang semakin sempit, kurangnya penanganan tentang
ketersediaan infrastruktur dan pascapanen, kurangnya pengetahuan budidaya dan
teknologi yang memadai bagi petani, keadaan iklim yang tidak menentu, sulitnya
mendapatkan umbi atau benih yang berkualitas tinggi di pasaran, dan faktor biotik
terutama gangguan oleh OPT (Organisme Pengganggu Tanaman) (Duriat dan
Ratnawati 2008).
Bawang merah dan bawang putih di Indonesia selalu diperbanyak secara
vegetatif, sehingga diduga tidak ada klon atau benih yang bebas dari penyakit.
Penyakit pada bawang merah dan bawang putih yang bersifat tular benih dapat
berasal dari kelompok bakteri, cendawan, nematoda, dan virus. Bakteri terbawa
benih bawang diantaranya Pseudomonas allicola Starr et Burkh dan Xanthomonas
campestris penyebab penyakit bercak daun. Alternaria porri penyebab penyakit
bercak ungu, Botryotinia squamosa penyebab penyakit hawar daun, Botrytis alli
penyebab penyakit busuk leher batang, Cladosporium alli-cepae penyebab
penyakit bercak daun, Fusarium spp. penyebab penyakit layu atau busuk umbi,
Peronospora destructor penyebab penyakit busuk daun, Sclerotium cepivorum
penyebab penyakit busuk putih, dan Stemphylium vesicarium penyebab penyakit
hawar daun kropak merupakan cendawan-cendawan yang bersifat tular benih.
Nematoda Ditylenchus dipsaci dilaporkan menyerang akar bawang dan bersifat
tular benih juga. Virus tular benih yang dapat menyebabkan penyakit pada
tanaman bawang diantaranya Shallot latent virus (SLV) dan Onion yellow dwarf
virus (OYDV) (Diekmann 1997; Semangun 2010).
Lebih lanjut dilaporkan oleh Diekmann (1997) bahwa kelompok virus yang
umum menginfeksi tanaman bawang-bawangan, berasal dari genus Carlavirus,
Potyvirus, dan Allexivirus. Virus utama pada tanaman bawang dan dilaporkan
menyebabkan kerugian ekonomis diantaranya SLV dan Garlic common latent
virus (GCLV) anggota Carlavirus, OYDV, Shallot yellow stripe virus (SYSV),
dan Leek yellow stripe virus (LYSV) anggota Potyvirus, Mite-born filamentous
virus (MbFV) anggota Allexivirus. Di Indonesia infeksi LYSV, SLV, dan OYDV
telah dilaporkan pada bawang di Lembang dan Subang (Duriat dan Sukarna 1990;
Wulandari et al. 2002). Gunaeni et al. (2011) melaporkan insiden penyakit virus
tular umbi dan mendeteksi infeksi OYDV, SYSV, dan gabungan OYDV dan
SYSV. Penelitian terbaru oleh Kurniawan (2012) berhasil mendeteksi SYSV dari
bibit bawang merah lokal varietas Jawa dan Brebes.
Metode yang umum dilakukan untuk mendeteksi virus tanaman, yaitu
metode serologi Dot immunobinding assay (DIBA) dan Enzyme linked
immunosorbent assay (ELISA) serta metode molekuler Reverse transcriptionpolymerase chain reaction (RT-PCR). Fajardo et al. (2001) melaporkan
keberadaan OYDV, LYSV, dan GCLV di Brazil berdasarkan identifikasi
menggunakan metode serologi Double antibody sandwich-ELISA (DAS-ELISA)
dan RT-PCR. Lunello et al. (2007) melakukan penelitian mengenai kehilangan
hasil panen bawang putih akibat LYSV isolat asal Argentina dan berdasarkan
pengujian menggunakan metode DAS-ELISA berhasil mengetahui bahwa infeksi
LYSV mampu menurunkan bobot umbi sebesar 74%. Mahmoud et al. (2008)
melaporkan OYDV sebagai salah satu virus utama yang menginfeksi bawang
putih di Mesir berdasarkan tiga macam metode deteksi, yaitu (1) inokulasi
mekanis ekstrak daun bawang yang bergejala lesio lokal pada Chenopodium
3
amaranticolor dan C. quinoa; (2) pengujian titer antiserum OYDV dengan
metode serologi Indirect-ELISA (I-ELISA); dan (3) pengujian molekuler RT-PCR
untuk mengkonfirmasi hasil pengujian titer antiserum pada metode serologi (IELISA). Berdasarkan hasil deteksi menggunakan metode serologi Direct-ELISA
melaporkan adanya infeksi OYDV (85%), SYSV (95%), dan gabungan OYDV
dan SYSV (85%) dari tiga belas variaetas bawang merah asal Jawa Barat dan
Jawa Tengah (Gunaeni et al. 2011). Kurniawan (2012) menggunakan metode RTPCR dan berhasil mendeteksi SYSV dari bibit bawang merah lokal varietas Jawa
dan Brebes dengan kejadian penyakit berturut-turut 60% dan 53%. Kenyataan
masih kurangnya informasi mengenai jenis-jenis virus yang menginfeksi tanaman
bawang di Indonesia menjadi latar belakang penelitian ini.
Metode deteksi virus yang akurat sangat menentukan hasil pemantauan
penyakit di lapangan maupun skrining untuk memperoleh benih bebas virus.
Teknik serologi terutama DIBA dan ELISA merupakan teknik canggih yang
menjanjikan untuk deteksi dan identifikasi patogen tumbuhan (Seal dan
Elpninstone 1994; Converse dan Martin 1990). Teknik serologi dapat diterima
secara luas oleh penggunanya, terutama untuk mendeteksi virus dalam jumlah
banyak. Bahan yang diuji dapat langsung berupa ekstrak tanaman sakit tanpa
harus mengisolasi patogennya terlebih dahulu. Bila dibandingkan antara metode
DIBA dan ELISA, metode DIBA relatif lebih sederhana, cepat, ekonomis, dan
tingkat sensitivitas antibodinya lebih tinggi dibandingkan ELISA (Suryadi et al.
2009). Pengujian sensitivitas metode deteksi diperlukan untuk menentukan
metode diagnosis virus-virus yang menginfeksi bawang.
Tujuan Penelitian
Penelitian bertujuan mendeteksi keberadaan virus-virus utama bawang
merah (A. cepa L.) dan bawang putih (A. sativum L.) dari sentra pertanaman
bawang di daerah Jawa Barat dan Jawa Tengah dengan menggunakan metode
deteksi serologi (ELISA) dan mengetahui persentase infeksi virus di lapangan dan
infeksi virus terbawa benih, serta mengetahui perbedaan tingkat sensitivitas antara
metode DIBA dan ELISA untuk mendeteksi virus-virus utama bawang.
Manfaat Penelitian
Penelitian diharapkan mampu memberikan informasi kepada masyarakat
khususnya petani mengenai virus-virus yang menyebabkan penyakit pada
tanaman bawang merah dan bawang putih. Metode deteksi yang akurat, sensitif,
dan spesifik dapat menjadi acuan bagi pemantauan penyakit di lapangan maupun
pemeriksaan kesehatan umbi bawang.
BAHAN DAN METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilakukan dengan dua tahap, tahap pertama ialah survei dan
pengambilan sampel dari beberapa pertanaman bawang di daerah Jawa Barat dan
Jawa Tengah dimulai dari bulan Desember 2012 sampai April 2013. Tahap kedua,
yaitu deteksi virus dilakukan di Laboratorium Virologi Tumbuhan, Departemen
Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor dimulai dari bulan
Februari sampai September 2013.
Metode Penelitian
Penelitian terdiri dari empat kegiatan, yaitu (1) survei dan pengambilan
sampel lapangan berupa daun bergejala dan umbi; (2) penanaman umbi di rumah
kasa; (3) deteksi virus dari sampel lapangan dan sampel umbi; (4) uji sensitivitas
metode DIBA dan ELISA.
Survei dan Pengambilan Sampel Lapangan
Sampel daun bergejala. Sampel daun diambil dari pertanaman bawang
merah dan bawang putih di Bandung, Bantul, Brebes, dan Cirebon. Jenis varietas
yang ditanam berbeda dari satu daerah dengan daerah lainnya. Sampel daun yang
diperoleh dari lapangan berasal dari varietas bawang yang berbeda karena
penanaman jenis bawang di masing-masing daerah ditentukan oleh petani
setempat. Sampel bawang merah dari Balai Penelitian Tanaman Sayuran, Desa
Cikole, Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung adalah varietas Maja dan
Trisula. Sampel bawang merah varietas Crok kuning dan Biru berasal dari Desa
Sri gading, Kecamatan Sanden, Kabupaten Bantul. Sampel bawang merah dari
Desa Pengabean, Kecamatan Losari, Kabupaten Brebes dan Desa Pangenan,
Kecamatan Pangenan, Kabupaten Cirebon adalah varietas Bima curut. Sampel
bawang putih adalah varietas Lokal dari Desa Alamendah, Kecamatan Rancabali,
Kabupaten Bandung (Tabel 1).
Sampel daun yang diambil dari masing-masing lokasi sebanyak 35 sampel
daun yang menunjukkan gejala penyakit, yaitu gejala mosaik kuning, mosaik
hijau muda, bergaris kuning, daun pipih bergaris kuning pucat di tengah, keriting,
bercak kuning, dan permukaan atas daun berlekuk. Sebanyak 14 sampel daun
selanjutnya dipilih untuk tahap deteksi virus.
Tabel 1 Daftar sampel lapangan/daun yang digunakan dalam penelitian
Asal sampel (Desa, Kecamatan,
Jenis sampel
Varietas
Kabupaten)
Bawang merah
Maja dan Trisula
Cikole, Lembang, Bandung
Bawang merah
Crok kuning dan Biru*
Sri gading, Sanden, Bantul
Bawang merah
Bima curut
Pengabean, Losari, Brebes
Bawang merah
Bima curut
Pangenan, Pangenan, Cirebon
Bawang putih
Lokal
Alamendah, Rancabali, Bandung
*di Yogyakarta varietas “Bima curut” dikenal dengan nama varietas “Biru”
5
a
c
b
Gambar 1 Keadaan lahan pertanaman bawang pada saat pengambilan sampel daun.
a) lahan bawang merah di Jawa Barat, b) lahan bawang merah di Jawa
Tengah, dan c) lahan bawang putih di Jawa Barat
Sampel Umbi. Umbi diperoleh dari petani (Brebes dan Cirebon) dan dari
pasar (Bogor) (Tabel 2). Umbi yang diperoleh memiliki ukuran (diameter umbi)
yang berbeda-beda tergantung pada status penggunaannya. Umbi bawang merah
asal Brebes rata-rata berukuran 1.5 cm dengan status penggunaan untuk benih,
sedangkan umbi bawang merah dan bawang putih asal Cirebon dan Bogor
diperuntukkan sebagai umbi bawang konsumsi dengan ukuran berkisar 1 cm
sampai 2 cm (Gambar 2). Umbi yang digunakan untuk benih biasanya ditanam
lebih lama dibandingkan umbi yang digunakan untuk konsumsi dan biasanya
ukuran umbi untuk konsumsi lebih besar dibandingkan untuk bibit (Wulandari
2011).
Seperti halnya dengan sampel daun, sampel umbi berasal dari varietas yang
berbeda tergantung asal daerahnya. Sampel umbi bawang merah dari Desa Tanjung,
Kecamatan Tanjung, Kabupaten Brebes dan Desa Pangenan, Kecamatan Pangenan,
Kabupaten Cirebon adalah varietas Bima curut. Sampel umbi bawang merah dan
bawang putih asal Kabupaten Bogor yang diperoleh dari toko Agrolestari Desa
Babakan, Kecamatan Dramaga varietasnya tidak diketahui (Tabel 2).
Sampel umbi yang diambil dari masing-masing lokasi ditanam sebanyak 50
sampel umbi, kemudian diambil 14 sampel daun yang selanjutnya dipilih untuk
tahap deteksi virus.
a
Gambar 2
b
c
d
Sampel umbi/benih yang digunakan dalam penelitian. a) benih bawang
merah dari Brebes, b) umbi bawang merah dari Cirebon, c) umbi
bawang merah dari Bogor, dan d) umbi bawang putih dari Bogor
6
Tabel 2 Daftar sampel umbi yang digunakan dalam penelitian
Asal sampel
Jenis sampel
Varietas
(Desa, Kecamatan,
Kabupaten)
Bawang merah
Bima curut
Tanjung, Tanjung, Brebes
Bawang merah
Bima curut
Pangenan, Pangenan, Cirebon
Bawang merah
Tidak diketahui
Babakan, Dramaga, Bogor
Bawang putih
Tidak diketahui
Babakan, Dramaga, Bogor
Penanaman Sampel Umbi di Rumah Kasa
Umbi bawang yang diperoleh dari lapangan atau pasar ditanam di rumah
kasa selama 24 hari atau sampai muncul daun tunas (Gambar 3). Sebelum
ditanam, bagian ujung umbi/benih dipotong ± 1.0 cm untuk mempercepat
pertumbuhan. Penanaman menggunakan baki semai, dengan media tanam tanah
dan pupuk dengan perbandingan 1:1 (b:b).
Deteksi Virus
Sampel daun dari lapangan dan hasil penanaman umbi dibawa ke
Laboratorium Virologi Tumbuhan untuk ditimbang sebanyak 0.1 g daun dari
masing-masing sampel, kemudian dimasukkan ke dalam kantung plastik,
selanjutnya disimpan pada suhu -80 0C atau langsung digunakan untuk deteksi
virus dengan metode ELISA (Gambar 4).
b
a
c
Gambar 3 Keadaan sampel umbi yang ditanam di rumah kasa (berumur 24 HST).
a) bawang merah asal Cirebon, b) bawang merah asal Brebes, dan c)
Bawang putih asal Bogor
a
Gambar 4
b
c
d
Sampel daun yang dibawa ke laboratorium untuk ditimbang dan
disimpan pada suhu -80 0C. a), b), dan c) sampel daun bawang merah,
dan d) sampel daun bawang putih
7
Deteksi virus dilakukan dengan metode ELISA menggunakan tiga jenis
antibodi secara terpisah, yaitu antibodi spesifik GCLV dan SLV, dan antibodi
umum Potyvirus. Metode ELISA untuk masing-masing antibodi mengikuti
pedoman yang dianjurkan untuk masing-masing kit, yaitu metode DAS-ELISA
untuk GCLV, metode TAS-ELISA untuk SLV, dan metode I-ELISA untuk
Potyvirus. Deteksi virus ini dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya ketiga
macam virus target pada sampel uji. Hasil pengujian dengan metode ELISA
kemudian digunakan untuk menentukan persentase infeksi virus, yaitu dengan
rumus sebagai berikut:
Persentase infeksi virus = jumlah sampel terinfeksi x 100%
jumlah sampel yang diuji
Deteksi virus dilanjutkan dengan membandingkan sensitivitas dua metode
serologi, yaitu metode DIBA dan ELISA.
Deteksi GCLV dengan Double antibody sandwich-ELISA (DAS-ELISA).
Metode DAS-ELISA dilakukan berdasarkan panduan prosedur kit ELISA
(DSMZ). Teknik deteksi diawali dengan mengencerkan antibodi pertama GCLV
dalam coating buffer (pH 9.6) [air destilata 1000 ml, 1.59 g sodium carbonate
(Na2CO3), 2.93 g sodium bicarbonate (NaHCO3), dan 0.20 g sodium azide
(NaN3)] dengan perbandingan 1:1000 (v:v), kemudian antibodi yang sudah
diencerkan dimasukkan ke dalam plat mikrotiter sebanyak 100 µl per sumuran.
Plat kemudian diinkubasi selama 2 jam pada suhu 37 0C. Setelah inkubasi, cairan
dalam plat mikrotiter dibuang dan plat dicuci menggunakan PBST 100 µl per
sumuran [phosphat buffer saline tween per 1000 ml air destilata, 8.0 g sodium
chloride (NaCl), 0.2 g monobasic potassium phosphate (KH2PO4), 1.15 g dibasic
sodium phosphate (Na2HPO4), 0.2 g potassium chloride (KCl), 0.2 g sodium azide
(NaN3), dan 0.5 ml Tween-20 per liter] sebanyak 5 kali.
Tahap deteksi selanjutnya yaitu menyiapkan antigen. Antigen disiapkan
dengan menggerus 0.1 g daun yang diberi extraction buffer (pH 7.4) [200 ml
PBST + 2% PVP (polyvinyl pyrrolidone)] dengan perbandingan 1:10 (b:v).
Sebanyak 100 µl antigen diisikan pada sumuran plat mikrotiter secara duplo, dan
sebagai pembanding sumuran plat mikrotiter diisi dengan 100 µl extraction buffer,
ekstrak tanaman bawang sehat (kontrol negatif), ekstrak tanaman sampel (kontrol
positif). Plat mikrotiter kemudian diinkubasi semalaman pada suhu 4 0C.
Setelah inkubasi, cairan dalam plat mikrotiter dibuang dan plat dicuci
menggunakan PBST seperti tahapan sebelumnya. Antibodi spesifik kedua GCLV
kemudian dimasukkan pada sumuran sebanyak 100 µl setelah dilakukan
pengenceran menggunakan conjugate buffer [100 ml PBST + 2% PVP + 0.2%
egg albumin] dengan perbandingan 1:500 (v:v). Plat mikrotiter kemudian
diinkubasi pada suhu 37 0C selama 2 jam kemudian dicuci menggunakan PBST
sebanyak 5 kali.
Tahapan terakhir adalah memasukkan 100 µl substrat solution (pH 9.6) [2
tablet p-Nitrophenyl Phosphate (PNP) dalam substrat buffer 10 ml (600 ml air
destilata, 97 ml diethanolamine, dan 0.2 g NaN3)] ke dalam sumuran plat
mikrotiter. Plat mikrotiter tersebut kemudian diinkubasi dalam ruang gelap pada
suhu ruang selama 15 menit sampai 60 menit. Perubahan warna diamati pada
masing-masing sumuran, kemudian hasil ELISA dianalisis secara kuantitatif
dengan ELISA reader pada panjang gelombang 405 nm. Pengujian dinyatakan
8
positif jika nilai absorban sampel yang diuji 2 kali lebih besar daripada kontrol
negatif tanaman sehat.
Deteksi SLV dengan Triple antibody sandwich-ELISA (TAS-ELISA).
Metode TAS-ELISA dilakukan berdasarkan panduan prosedur kit ELISA
(DSMZ). Teknik deteksi diawali dengan mengencerkan antibodi SLV dalam
coating buffer (pH 9.6) dengan perbandingan 1:1000 (v:v), kemudian antibodi
yang sudah diencerkan dimasukkan ke dalam plat mikrotiter sebanyak 100 µl per
sumuran. Plat kemudian diinkubasi selama 2 jam pada suhu 37 0C. Setelah
inkubasi, cairan dalam plat mikrotiter dibuang dan plat dicuci menggunakan
PBST 100 µl per sumuran sebanyak 5 kali.
Tahap deteksi selanjutnya yaitu menyiapkan antigen. Antigen disiapkan
dengan menggerus 0.1 g daun bawang yang diberi extraction buffer dengan
perbandingan 1:10 (b:v). Sebanyak 100 µl antigen diisikan pada plat mikrotiter
secara duplo, dan sebagai pembanding sumuran plat mikrotiter diisi dengan 100
µl extraction buffer, ekstrak tanaman bawang sehat (kontrol negatif), ekstrak
tanaman sampel (kontrol positif). Plat mikrotiter kemudian diinkubasi semalam
pada suhu 4 0C.
Setelah inkubasi, cairan dalam plat mikrotiter dibuang dan plat dicuci
menggunakan PBST seperti tahapan sebelumnya. Antibodi spesifik kedua SLV
dimasukkan pada sumuran plat mikrotiter sebanyak 100 µl setelah dilakukan
pengenceran menggunakan conjugate buffer dengan perbandingan 1:500 (v:v).
Plat mikrotiter kemudian diinkubasi pada suhu 37 0C selama 2 jam kemudian
dicuci menggunakan PBST sebanyak 5 kali. Selanjutnya antibodi ketiga SLV
dimasukkan pada sumuran plat mikrotiter setelah diencerkan menggunakan
conjugate buffer dengan perbandingan 1:1000 (v:v). Plat kemudian diinkubasi
pada suhu 37 0C selama 2 jam, setelah itu dicuci kembali dengan PBST seperti
tahap sebelumnya.
Tahapan terakhir adalah memasukkan 100 µl substrat solution yang telah
dicampur PNP ke dalam sumuran plat mikrotiter. Plat mikrotiter tersebut
kemudian diinkubasi dalam ruang gelap pada suhu ruang selama 15 menit sampai
60 menit. Plat mikrotiter kemudian diamati seperti dijelaskan sebelumnya pada
metode DAS-ELISA.
Deteksi Potyvirus dengan Indirect-ELISA (I-ELISA). Metode I-ELISA
dilakukan berdasarkan panduan prosedur kit ELISA (DSMZ). Teknik deteksi IELISA disebut juga dengan nama Antigen-Coated-Plat ELISA (ACP-ELISA).
Teknik deteksi diawali dengan menggerus 0.1 g daun bawang yang diberi coating
buffer pH 9.6 yang ditambahkan 0.05 M DIECA (100 ml coating buffer + 0.855 g
DIECA) dengan perbandingan 1:10 (b:v). Sebanyak 100 µl antigen diisikan pada
sumuran plat mikrotiter secara duplo, dan sebagai pembanding sumuran plat
mikrotiter diisi dengan 100 µl coating buffer yang mengandung 0.05 M DIECA,
ekstrak tanaman bawang sehat (kontrol negatif), ekstrak tanaman bawang
terinfeksi virus (kontrol positif), kemudian plat tersebut diinkubasi semalaman
pada suhu 4 0C. Setelah inkubasi, cairan dalam plat mikrotiter dibuang dan plat
dicuci menggunakan PBST sebanyak 8 kali.
Tahap deteksi selanjutnya yaitu antibodi Potyvirus yang sudah diencerkan
dalam conjugate buffer dengan perbandingan 1:1000 (v:v) dimasukkan kedalam
sumuran plat mikrotiter sebanyak 100 µl. Plat mikrotiter kemudian diinkubasi
selama 2 jam pada suhu 37 0C, selanjutnya dicuci dengan PBST sebanyak 5 kali.
9
Antibodi kedua Potyvirus kemudian dimasukkan pada sumuran sebanyak
100 µl setelah dilakukan pengenceran menggunakan conjugate buffer dengan
perbandingan 1:1000 (v:v). Plat mikrotiter kemudian diinkubasi pada suhu 37 0C
selama 2 jam, setelah itu dicuci dengan PBST seperti tahap sebelumnya.
Tahapan terakhir adalah memasukkan 100 µl substrat solution yang telah
dicampur PNP ke dalam sumuran plat mikrotiter. Plat mikrotiter tersebut
kemudian diinkubasi dalam ruang gelap pada suhu ruang selama 15 menit sampai
60 menit. Plat mikrotiter kemudian diamati seperti dijelaskan sebelumnya pada
metode DAS-ELISA.
Metode Dot Immunobinding Assay (DIBA). Metode DIBA dilakukan
berdasarkan metode Asniwita (2013). Metode DIBA adalah metode deteksi
berdasarkan prinsip serologi ELISA tetapi perbedaan terdapat pada bahan untuk
melakukan pengujian. Metode DIBA menggunakan bahan untuk deteksi berupa
kertas membran, sehingga penyerapan atau cara kerja dalam penyerapan bahan
bekerja lebih efektif dibandingkan metode ELISA yang menggunakan plat
mikrotiter yang terbuat dari Polystirene. Reaksi positif pada metode DIBA
ditunjukkan dengan perubahan warna bening menjadi ungu pada membran
nitroselulosa yang telah ditetesi cairan tanaman, sedangkan reaksi positif pada
pengujian ELISA ditunjukkan dengan perubahan warna bening menjadi kuning
pada plat mikrotiter.
Masing-masing sampel digerus dalam tris buffer saline (TBS) dengan
perbandingan 1:10 (b:v) (TBS: Tris-HCl 0.02 M dan NaCl 0.15 M, pH 7.5).
Suspensi tanaman selanjutnya diteteskan ke atas membran nitroselulosa sebanyak
4 μl. Setelah tetesan sampel kering, membran direndam di dalam 10 ml larutan
blocking non fat milk 2% dalam TBS yang mengandung Triton X-100 dengan
konsentrasi akhir 2%. Membran kemudian diinkubasi pada suhu ruang sambil
digoyang dengan kecepatan 50 rpm selama 1 jam dengan menggunakan EYELA
multi shaker. Membran kemudian dicuci 5 kali dengan dH2O, tiap pencucian
berlangsung 5 menit sambil digoyang dengan kecepatan 100 rpm. Membran
selanjutnya direndam dalam 2.5 ml TBS yang mengandung antibodi 2.5 μl
ditambah non fat milk dengan konsentrasi akhir 2% dan kemudian membran
diinkubasi semalam pada suhu 4 0C. Membran kemudian dicuci sebanyak 5 kali
dengan Tween 0.05% dalam TBS (TBST), tiap pencucian berlangsung 5 menit.
Membran selanjutnya direndam dalam 2.5 ml TBS yang mengandung konjugat
2.5 μl (Antibodi kedua) ditambah non fat milk dengan konsentrasi akhir 2% dan
kemudian membran diinkubasi selama 60 menit sambil digoyang dengan
kecepatan 50 rpm. Membran selanjutnya dicuci kembali dengan TBST dan
direndam selama 5 menit dalam 10 ml bufer AP (Tris-HCl 0.1 M, NaCl 0.1 M,
MgCl2 5 mM, dan air) yang mengandung 1 tablet nitro blue tetrazolium (NBT)
dan bromo chloro indolil phosphate (BCIP). Bila reaksi positif akan terjadi
perubahan warna putih menjadi ungu pada membran nitroselulosa yang telah
ditetesi cairan tanaman dan reaksi dapat dihentikan dengan merendam membran
dalam dH2O.
Pengujian Sensitivitas Metode DIBA dan ELISA
Sampel lapangan yang dipilih untuk pengujian ini adalah sampel yang
memiliki titer virus yang tinggi, yaitu ditandai dengan nilai absorbansi ELISA
yang tertinggi untuk masing-masing jenis virus (GCLV, SLV, dan Potyvirus).
10
Evalusi metode DIBA dan ELISA untuk pengujian sensitivitas dilakukan dengan
perlakuan pengenceran antigen dan antibodi 100 sampai 10-7. Respon reaksi
ELISA ditentukan sebagai berikut: reaksi negatif (-) bila NAE < 2 kali NAE
kontrol negatif; reaksi lemah (+) bila NAE 2-5 kali NAE kontrol negatif; reaksi
kuat (++) bila NAE 5-8 kali NAE kontrol negatif; dan reaksi sangat kuat (+++)
bila NAE> 8 kali NAE kontrol negatif (Damayanti 2010). Respon reaksi untuk
metode DIBA ditentukan berdasarkan intensitas warna yang muncul pada
membran (Gambar 5):
a
b
c
d
Gambar 5 Ketentuan respon reaksi pada metode DIBA. a) reaksi negatif (-), b)
reaksi lemah (+), c) reaksi kuat (++), dan d) reaksi sangat kuat (+++)
HASIL DAN PEMBAHASAN
Gejala Infeksi Virus pada Tanaman Bawang di Lapangan
Sampel bawang yang diperoleh dari daerah Jawa Barat dan Jawa Tengah
menunjukkan gejala infeksi virus yang berbeda-beda. Gejala tersebut dapat
dikelompokkan menjadi tujuh jenis, yaitu (a) gejala mosaik kuning, (b) mosaik
hijau muda, (c) bergaris kuning, (d) daun pipih bergaris kuning pucat di tengah,
(e) keriting, (f) bercak kuning, dan (g) permukaan atas daun berlekuk (Gambar
6).
Berdasarkan pengamatan gejala di lapangan diketahui bahwa jenis gejala
yang paling dominan, yaitu mosaik kuning dan bergaris kuning yang diperoleh
dari semua lokasi sampel uji (Bandung, Bantul, Brebes, dan Cirebon), sedangkan
jenis gejala yang paling sedikit ditemukan, yaitu gejala permukaan atas daun
berlekuk yang ditemukan pada sampel bawang putih dari Bandung. Keragaman
gejala tertinggi ditemukan di daerah Brebes dengan lima jenis gejala (mosaik
kuning, mosaik hijau muda, bergaris kuning, daun pipih bergaris kuning pucat di
tengah, dan keriting), sedangkan keragaman gejala terendah ditemukan di daerah
Bandung dengan tiga jenis gejala (mosaik kuning, bergaris kuning, dan daun pipih
bergaris kuning pucat ditengah) (Tabel 3).
a
d
b
e
c
f
g
Gambar 6 Gejala pada sampel daun bawang merah dan bawang putih. (a) mosaik
kuning (b) mosaik hijau muda, (c) bergaris kuning, (d) daun pipih
bergaris kuning pucat di tengah, (e) keriting, (f) bercak kuning, dan
(g) permukaan atas daun berlekuk
12
Tabel 3 Jenis gejala yang diperoleh dari lokasi pengambilan sampel lapangan
No Jenis gejala
1
2
3
4
5
6
7
a
Mosaik kuning
Mosaik hijau muda
Bergaris kuning
Daun pipih bergaris
kuning pucat di tengah
Keriting
Bercak kuning
Permukaan atas daun
berlekuk
Bandung
BM
+b
+
Lokasi/jenis bawanga
Bantul
Brebes
Cirebon
BM
BM
BM
+
+
+
+
+
+
+
+
Bandung
BP
+
+
+
+
+
-
-
-
-
+
-
+
+
+
-
-
-
-
+
BM, Bawang merah; BP, Bawang putih; b +, gejala ditemukan; -, gejala tidak ditemukan
Gejala mosaik bergaris hijau dan bergaris kuning juga dilaporkan oleh
Gunaeni (2011) pada bawang merah di Jawa Barat dan Jawa Tengah yang
terinfeksi OYDV dan SYSV. Berbeda dengan Klukakcova et al. (2004) yang
melaporkan bahwa infeksi SLV dan GCLV seringkali tidak menunjukkan gejala
visual yang jelas. Oleh karena itu untuk mengetahui virus-virus yang menginfeksi
bawang di lapangan, perlu dilakukan deteksi di laboratorium menggunakan
metode yang akurat dan cukup sensitif, misalnya ELISA dan (RT) PCR.
Hasil Deteksi Virus pada Sampel Daun dari Lapangan
Berdasarkan hasil ELISA terdeteksi infeksi tiga jenis virus, GCLV, SLV,
dan Potyvirus baik secara tunggal maupun bersama-sama (infeksi campuran)
(Tabel 4). Sampel dengan gejala mosaik kuning terinfeksi oleh ketiga virus, baik
infeksi tunggal, ganda, maupun ketiganya (campuran 3 virus). Selain pada gejala
mosaik kuning, jenis infeksi tunggal dan campuran ketiga virus sangat bervariasi.
Sebagai contoh, pada gejala mosaik hijau muda hanya terdeteksi Potyvirus dan
campuran GCLV, SLV, dan Potyvirus; pada gejala bercak kuning terdeteksi
Potyvirus, campuran SLV dan Potyvirus, campuran GCLV, SLV, dan Potyvirus;
pada gejala permukaan atas daun berlekuk tidak terdeteksi GCLV. Infeksi tunggal
virus terutama terjadi oleh Potyvirus. Dilaporkan bahwa Potyvirus yang banyak
menginfeksi bawang merah dan bawang putih diantaranya OYDV, SYSV, dan
LYSV (Klukackova et al. 2004; Lunello et al. 2007; Gunaeni 2011; Kurniawan
2012). Deteksi menggunakan antibodi spesifik untuk kelompok Potyvirus perlu
dilakukan untuk memastikan jenis Potyvirus yang menginfeksi bawang di Jawa
Barat dan Jawa Tengah.
Infeksi campuran beberapa virus merupakan fenomena yang sering
ditemukan pada penyakit yang disebabkan oleh virus. Dilaporkan bahwa tanaman
cabai dapat terinfeksi oleh beberapa virus, misalnya infeksi ganda Chili veinal
mottle virus (ChiVMV) dengan Cucumber mosaic virus (CMV) dapat
menurunkan hasil panen sebesar 10% sampai 37% (Shah et al. 2001; Weeraratne
dan Yapa 2002). Akin dan Taufik et al. (2005) melaporkan bahwa CMV dapat
menginfeksi bersama dengan Tobacco mosaic virus (TMV), Potato virus Y
(PVY), maupun dengan Tobacco etch virus (TEV). Infeksi campuran tersebut
menyebabkan penghambatan pertumbuhan tanaman dan penurunan produksi lebih
berat dari pada infeksi tunggal (Subekti et al. 2006).
13
Tabel 4 Hasil deteksi virus dari sampel tanaman bawang berdasarkan reaksi
ELISA
Jenis virusb
Jenis
GCLV,
GCLV, GCLV,
SLV,
gejalaa GCLV SLV Potyvirus
SLV, dan
SLV
Potyvirus Potyvirus
Potyvirus
MK
+
+
+
+
+
+
+
MH
+
+
GK
+
+
+
+
+
+
PB
+
+
+
K
+
+
+
+
+
BK
+
+
+
AB
+
+
+
+
+
+
a
MK, Mosaik kuning; MH, Mosaik hijau muda; GK, Bergaris kuning; PB, Pipih bergaris kuning
pucat di tengah; K, Keriting; BK, Bercak kuning; AB, Permukaan atas daun berlekuk; b GCLV,
Garlic common latent virus; SLV, Shalot latent virus
Bos (1990) menyatakan bahwa mekanisme penularan infeksi virus tanaman
diantaranya dapat terjadi secara mekanis, penyambungan tanaman, penularan
dengan tali putri (Cuscuta sp.), melalui alat perkembang biakan vegetatif, melalui
biji dan serbuk sari, melalui vektor (serangga dan tungau), serta penularan oleh
organisme penghuni tanah (nematoda). Mekanisme infeksi virus bawang
umumnya terjadi melalui penularan secara mekanis dengan gesekan antar daun,
alat perkembang biakan vegetatif (terbawa umbi), dan penularan melalui vektor
(kutudaun dan tungau). Serangga jenis kutudaun yang dilaporkan paling banyak
menjadi vektor virus pada tanaman bawang, diantaranya Myzus persicae, M.
ascalonicum, dan Aphis fabae (Diekmann 1997), sedangkan Aceria tulipae,
Rhizoglyphus echinopus, R. setosus, dan Caloglyphus spp. merupakan vektor jenis
tungau yang menyebabkan infeksi virus pada bawang (Kurniawan 2012). Virus
bawang yang ditularkan secara mekanis, yaitu SYSV dan MbFV, sedangkan SLV
dan OYDV merupakan virus tular benih. Jenis virus yang ditularkan melalui
vektor, yaitu GCLV, LYSV, OYDV, SYSV, dan MbFV (Diekmann 1997).
Rata-rata persentase infeksi virus pada jenis sampel lapangan dari lima
daerah pengambilan sampel berkisar antara 0% sampai 92.86% (Tabel 5). Infeksi
tunggal oleh Potyvirus ditemukan pada semua sampel, infeksi GCLV hanya
terdapat pada sampel bawang merah asal Bandung, infeksi SLV ditemukan pada
sampel bawang merah asal Bandung, Bantul, dan Cirebon. Infeksi ganda SLV dan
Potyvirus tidak terdeteksi pada bawang merah asal Bandung, infeksi ganda
tersebut ditemukan pada sampel bawang merah asal Bantul, Brebes, dan Cirebon,
serta sampel bawang putih asal Bandung. Infeksi ganda GCLV dan Potyvirus
hanya ditemukan pada sampel bawang putih asal Bandung, sedangkan infeksi
ganda GCLV dan SLV tidak ditemukan sama sekali pada semua sampel. Infeksi
campuran 3 virus GCLV, SLV, dan Potyvirus ditemukan pada sampel bawang
merah asal Bantul dan Brebes, serta bawang putih asal Bandung (Tabel 5).
14
Tabel 5 Jumlah persentase dan rata-rata infeksi virus dari jenis sampel bawang lapangan
∑ sampel positif virus/∑ sampel yang diuji (%)
Jenis dan asal
sampel
lapangana
Varietas
BM Bandung
Maja dan
Trisula
BM Bantul
Crok kuning
dan Biru
BM Brebes
Bima curut
BM Cirebon
Bima curut
BP Bandung
Lokal
Rata-rata infeksi virus target
a
GCLV
SLV
Potyvirus
5/14 (35.71) 2/14 (14.29) 4/14 (28.57)
Rata-rata
infeksi virus
pada
masingmasing
lokasi
GCLV,
SLV
GCLV,
Potyvirus
SLV,
Potyvirus
GCLV, SLV,
dan Potyvirus
0/14 (0)
0/14 (0)
0/14 (0)
0/14 (0)
11.22
0/14 (0)
2/14 (14.29) 8/14 (57.14)
0/14 (0)
0/14 (0)
1/14 (7.14)
1/14 (7.14)
12.24
0/14 (0)
0/14 (0)
0/14 (0)
0/14 (0)
1/14 (7.14)
0/14 (0)
1/14 (7.14)
4/14 (28.57)
1/14 (7.14)
0/14 (0)
0/14 (0)
6/14 (42.86)
13/14 (92.86)
2/14 (14.29)
1/14 (7.14)
7.14
25.71
8.57
24.29
0/14 (0)
7/14 (50)
6/14 (42.86)
20
14.29
14.29
14.29
7.14
0/14 (0)
0/14 (0)
0/14 (0)
0
BM, Bawang merah; BP, Bawang putih
Tabel 6 Jumlah persentase dan rata-rata infeksi virus dari jenis sampel bawang umbi/benih
∑ sampel positif virus/∑ sampel yang diuji (%)
Jenis dan asal
sampel umbia
Varietas
BM Bogor
Tidak diketahui
BM Brebes
Bima curut
BM Cirebon
Bima curut
BP Bogor
Tidak diketahui
Rata-rata infeksi virus target
a
BM, Bawang merah; BP, Bawang putih
GCLV
SLV
Potyvirus
GCLV,
SLV
0/14 (0)
1/14 (7.14)
0/14 (0)
1/14 (7.14)
0/14 (0)
1/14 (7.14)
0/14 (0)
4/14 (28.57)
6/14 (42.86)
2/14 (14.29)
1/14 (7.14)
0/14 (0)
0/14 (0)
1/14 (7.14)
0/14 (0)
1/14 (7.14)
3.57
8.93
16.07
3.57
GCLV,
Potyvirus
SLV,
Potyvirus
0/14 (0)
5/14 (35.71)
3/14 (21.43)
0/14 (0)
0/14 (0)
9/14 (64.23)
0/14 (0)
2/14 (14.29)
5.36
28.57
GCLV, SLV,
dan Potyvirus
0/14 (0)
5/14 (35.71)
3/14 (21.43)
1/14 (7.14)
16.07
Rata-rata
infeksi virus
pada
masingmasing
lokasi
13.27
13.27
11.22
9.18
15
Berdasarkan pengujian sampel lapangan bawang merah dan bawang putih
diketahui bahwa rata-rata infeksi virus target dari masing-masing daerah
pengujian sampel berkisar antara terendah 11.22% (bawang merah varietas Maja
dan Trisula asal Bandung) sampai tertinggi 14.29% (bawang merah varietas Bima
curut asal Brebes dan Cirebon serta bawang putih varietas lokal asal Bandung)
(Tabel 5). Infeksi tertinggi berturut-turut disebabkan oleh Potyvirus (25.71%),
SLV dan Potyvirus (24.29%), GCLV, SLV, dan Potyvirus (20%), GCLV dan
Potyvirus (8.57%), GCLV (7.14%), SLV (7.14%), sedangkan infeksi ganda
GCLV dan SLV tidak terdeteksi pada semua sampel (Tabel 5).
Hasil Deteksi Virus pada Sampel Umbi
Seperti halnya pada sampel daun lapangan, sampel umbi bawang merah dan
bawang putih terinfeksi lebih dari satu virus. Sampel umbi bawang merah asal
Brebes dan bawang putih asal Bogor terinfeksi virus tunggal GCLV dan SLV,
sedangkan infeksi tunggal Potyvirus ditemukan pada sampel bawang merah asal
Bogor, Brebes, dan Cirebon. Infeksi ganda GCLV dan SLV ditemukan pada
sampel bawang merah asal Brebes dan bawang putih asal Bogor. Infeksi SLV dan
Potyvirus ditemukan pada sampel umbi bawang merah Cirebon dan Bogor serta
bawang putih Bogor. Infeksi GCLV dan Potyvirus hanya terdeteksi pada sampel
umbi bawang merah asal Brebes, sedangkan infeksi campuran GCLV dan SLV
dan Potyvirus ditemukan pada sampel umbi bawang merah asal Brebes, Cirebon,
dan bawang putih asal Bogor (Tabel 6).
Berdasarkan pengujian sampel umbi bawang merah dan bawang putih
diketahui bahwa rata-rata infeksi virus target dari masing-masing daerah
pengujian sampel berkisar antara terendah 9.18% (bawang putih asal Bogor)
sampai tertinggi 13.27% (bawang merah asal Bogor dan Brebes) (Tabel 6).
Infeksi tertinggi berturut-turut disebabkan oleh SLV dan Potyvirus (28.57%),
GCLV, SLV, dan Potyvirus (16.07%), Potyvirus (16.07%), SLV (8.93%), GCLV
dan Potyvirus (5.36%), GCLV (3.57%), GCLV dan SLV (3.57%) (Tabel 6).
Menurut van Dijk (1993) infeksi virus pada tanaman bawang-bawangan
akan terakumulasi dari satu generasi ke generasi lainnya melalui organ
perbanyakan vegetatif (umbi). Virus terbawa umbi (benih), dapat menyebabkan
pertumbuhan tanaman akan terhambat, karena virus berkembang bersama dengan
pertumbuhan tanaman (bibit). Virus terbawa benih dapat tumbuh menjadi
inokulum primer di lapangan, selanjutnya inokulum dapat menyebar di lapangan
dengan bantuan serangga vektor. Infeksi virus pada tanaman bawang dapat
menimbulkan kerugian terutama penurunan kualitas dan kuantitas hasil,
diantaranya ukuran umbi menjadi lebih kecil dan bobot umbi berkurang, sehingga
menyebabkan harga jual rendah (Sutarya dan Duriat 1991). Lunello et al. (2007)
menyatakan bahwa infeksi LYSV di Argentina dapat menurunkan bobot umbi
sebesar 36%. Gunaeni (2011) melaporkan bahwa infeksi OYDV dan SYSV dapat
menurunkan bobot umbi bawang merah sebesar 4.65% pada varietas Bima curut
dan Filipina, sedangkan Bagi et al. (2012) melaporkan kehilangan hasil yang
disebabkan infeksi OYDV dapat menurunkan bobot umbi sebesar 21.5%.
16
Perbandingan Sensitivitas Metode DIBA dan ELISA
Metode DIBA dan ELISA merupakan metode deteksi serologi yang paling
banyak dilakukan untuk diagnosis virus tumbuhan. Hasil deteksi dengan metode
DIBA untuk ketiga virus target menunjukkan reaksi yang sama. Metode DIBA
mampu mendeteksi ketiga virus sampai pada pengenceran antibodi 10-7 dengan
pengenceran antigen sampai 10-1 (Tabel 7, 9, dan 11). Metode DIBA memberikan
hasil lebih baik dibandingkan metode ELISA yang hanya mampu mendeteksi
ketiga virus target pada pengenceran antibodi 100, walaupun antigen dapat
diencerkan sampai 10-7 (Tabel 8, 10, dan 12).
Tingkat sensitivitas metode DIBA untuk antibodi Potyvirus relatif tinggi
karena mampu mendeteksi antigen virus sampai pengenceran 10-2 dengan antibodi
pada pengenceran 10-1 dan10-2. Tingkat sensitivitas metode DIBA untuk antibodi
GCLV dan SLV tergolong rendah karena hanya mampu mendeteksi antigen virus
target sampai pengenceran 10-1 dengan antibodi yang tidak diencerkan (100).
Metode ELISA hanya mampu mendeteksi virus target dengan pengenceran
antibodi sampai 10-1 untuk GCLV pada pengenceran antibodi 100 dapat
mendeteksi antigen sampai pengenceran 10-7, untuk SLV pengenceran antibodi
tertinggi 10-1 dapat mendeteksi antigen sampai pengenceran 10-1, untuk Potyvirus
pengenceran antibodi 10-1 dapat mendeteksi antigen sampai pengenceran 100.
Perbedaan sensitivitas metode DIBA dan ELISA telah dilaporkan pada
pengujian jenis virus lain. Opriana (2009) melaporkan bahwa pada pengujian
ChiVMV metode I-ELISA mampu mendeteksi ChiVMV hingga tingkat
pengenceran antigen 10-4 sedangkan metode DIBA hanya mampu mendeteksi
antigen ChiVMV sampai batas pengenceran 10-3. Anggraini (2011) melaporkan
bahwa metode I-ELISA mampu mendeteksi Bean common mosaic virus (BCMV)
sampai pengenceran antigen 10-3 sedangkan DIBA mampu mendeteksi BCMV
sampai pengenceran 10-5.
Teknik serologi terutama DIBA dan ELISA merupakan teknik canggih yang
menjanjikan untuk deteksi dan identifikasi patogen tumbuhan (Seal dan
Elpninstone 1994; Converse dan Martin 1990). Teknik serologi dapat diterima
secara luas oleh penggunanya karena (1) efisien dalam penggunaan bahan kimia;
(2) bahan kimia yang digunakan tidak berbahaya dan memiliki daya simpan; (3)
bahan yang diuji dapat langsung berupa ekstrak tanaman sakit tanpa harus
mengisolasi patogennya terlebih dahulu; (4) mempunyai kepekaan deteksi tinggi
(1-10 ng virus/ml dan 103-104 sel bakteri/ml); (5) tahap pengujiannya relatif
sederhana dan cepat, antara 5 sampai 24 jam; (6) hasil deteksi dapat diperoleh
secara kualitatif (DIBA) atau kuantitatif (ELISA); (7) dapat digunakan untuk
menguji sampel dalam jumlah besar sekaligus; dan (8) dapat digunakan langsung
di lapangan (Thomas et al. 1989; Converse dan Martin 1990).
17
Tabel 7 Pengujian titer antibodi dan antigen yang diserap dengan metode DIBA
pada GCLV
Pengenceran Ag
Pengenceran Ab
K(-) Bufer
0
-1
10
10
10-2 10-3 10-4 10-5 10-6 10-7
100
+++ +++ +
-1
10
+++ ++
10-2
+
+
10-3
+
+
10-4
+
+
-5
10
+
+
10-6
+
+
10-7
+
+
Tabel 8 Pengujian titer antibodi dan antigen yang diserap dengan metode DASELISA pada GCLV
Pengenceran Ag
Pengenceran Ab
K(-) Bufer
0
-1
-2
10 10 10 10-3 10-4 10-5 10-6 10-7
100
++ ++
+
+
+
+
+
+
10-1
10-2
-3
10
10-4
-5
10
10-6
-7
10
Tabel 9 Pengujian titer antibodi dan antigen yang diserap dengan metode DIBA
pada SLV
Pengenceran Ag
Pengenceran Ab
K(-) Bufer
100
10-1 10-2 10-3 10-4 10-5 10-6 10-7
100
+++ +++ +
10-1
+
+
10-2
+
+
10-3
+
+
-4
10
+
+
10-5
+
+
10-6
+
+
-7
10
+
+
-
18
Tabel 10 Pengujian titer antibodi dan antigen yang diserap dengan metode TASELISA pada SLV
Pengenceran Ag
Pengenceran Ab
K(-) Bufer
0
-1
-2
10 10 10 10-3 10-4 10-5 10-6 10-7
100
+++ ++
+
+
+
+
+
+
10-1
+
+
-2
10
10-3
10-4
-5
10
10-6
-7
10
Tabel 11 Pengujian titer antibodi dan antigen yang diserap dengan metode DIBA
pada Potyvirus
Pengenceran Ag
Pengenceran
K(-) Bufer
Ab
100
10-1 10-2 10-3 10-4 10-5 10-6 10-7
100
+ + + + ++ ++
10-1
+++ ++
+
-2
10
++
+
+
10-3
++
+
-4
10
++
+
10-5
++
+
-6
10
+
+
10-7
+
+
Tabel 12 Pengujian titer antibodi dan antigen yang diserap dengan metode IELISA pada Potyvirus
Pengenceran Ag
Pengenceran Ab
K(-) Bufer
0
-1
-2
10 10
10 10-3 10-4 10-5 10-6 10-7
100
+++ +++ +
+
+
+
+
+
-1
10
+
10-2
-3
10
10-4
-5
10
10-6
10-7
-
SIMPULAN DAN SARAN
Infeksi GCLV, SLV, dan Potyvirus berhasil terdeteksi dari sampel bawang
merah dan bawang putih dari daerah Jawa Barat (Bandung, Bogor, dan Cirebon)
dan Jawa Tengah (Brebes) serta Yogyakarta (Bantul). Masing-masing virus
menginfeksi secara tunggal atau bersama (infeksi campuran). Rata-rata persentase
infeksi virus di lapangan berkisar antara 11.22% sampai 14.29%, sedangkan pada
sampel umbi berkisar antara 9.18% sampai 13.27%. Metode serologi DIBA dan
ELISA dapat digunakan sebagai metode deteksi untuk virus pada tanaman
bawang. Metode DIBA mampu mendeteksi GCLV, SLV, dan Potyvirus sampai
pengenceran antibodi 10-7, sedangkan metode ELISA hanya mampu mendeteksi
pada pengenceran 100.
Infeksi virus pada tanaman bawang selain GCLV, SLV, dan Potyvirus perlu
dikonfirmasi baik pada umbi maupun tanaman di lapangan. Pengaruh infeksi virus
terhadap kehilangan hasil panen bawang perlu dipelajari untuk meningkatkan
pemahaman petani dalam menerapkan upaya pengendalian penyakit.
DAFTAR PUSTAKA
Akin HM. 2005. Kepatogenan satelit RNA yang berasosiasi dengan Cumcumber
mosaic virus (CMV-satRNA) pada tanaman cabai. Jurnal HPT Tropika.
1(5):37-41.
Albersio J, Lima A, Kelly AQ, Nascimento, Radelli P, Purcifull E. 2012. Serology
Applied to Plant Virology, Serological Diagnosis of Certain Human, Animal
and Plant Diseases. Di dalam: Dr. Moslih Al-Moslih. Editor. ISBN: 978953-51-0370-7. InTech Europe. [Internet]. [diunduh 2013 April 9];.
Tersedia pada: http://www.intechopen.com/books/serological-diagnosisofcertain-human-animal-and-plant-diseases/serology-applied-to
plant
virology.
Anggraini S. 2011. Deteksi Bean common mosaic Potyvirus penyebab penyakit
mosaik pada kacang panjang (Vigna sinensis L.) berdasarkan teknik serologi
dan PCR [Skripsi]. Bogor (ID): Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Asniwita, Hidayat SH, Suastika G, Sujiprihati S, Sausanto S, Hayati I. 2012.
Eksplorasi isolat lemah Chili veinal mottle virus pada tanamancabai di
Jambi, Sumatera Barat, dan Jawa Barat. J.Hort. 22(2):181-186.
Bagi F, Stojsin V, Budakov D, Salma MAE, Varga JG. 2012. Effect of Onnion
yellow dwarf virus (OYDV) on yield components of fall garlic (Allium
sativum L.) in Serbia. African Journal of Agricultural Research. [Internet].
[diunduh
2012
Desember
15];
7(15):2386-2390.
Doi:
10.5897/AJAR11.1772.
Bos L. 1990. Pengantar Virologi Tumbuhan. Triharso, penerjemah. Yogyakarta
(ID): Gadjah Mada University Press. Terjemahan dari: Introduction to Plant
Virology.
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2013. Luas Panen, Produksi dan Produktivitas
Bawang Merah dan Bawang Putih [Internet]. [diunduh 2013 Februari 3].
Tersedia pada: http://www.bps.go.id/tab_sub?view.php.
Cahyono B. 2003. Bawang Merah. Semarang (ID): Aneka Ilmu.
Converse RH, Martin RR. 1990. ELISA methods for plant viruses in Hampton. Di
dalam: Ball RE, Boer SD. Editor. Serological Methods for Detection and
Identification of Viral and Bacterial Plant Patogens. APS Press, St Paul,
Minn. hlm 179-196.
Damayanti TA. 2010. Sebaran dan respon ketahanan lima kultivar bengkuang
(Pachyrhizus erosus (L.) Urban) terhadap penyakit mosaik. Agrovigor.
2(3):95-101.
Diekmann M. 1997. FAO/IPGRI Technical Guidelines for the Safe Movement of
Germplasm. No. 18. Allium spp.. Roma (IT): Food and Agriculture
Organization of the United Nations, Rome/International Plant Genetik
Resources Institute, rome.
Duriat AS, Ratnawati ML. 2008. Pengaruh suhu dan waktu pemanasan benih
umbi terhadap resistensi dan degradasi virus pada bawang putih (Allium
sativum). Di dalam: Hadisoeganda WW et al.. Editor. Peningkatan
Produktivitas Kentang dan Sayuran lainnya dalam Mendukung Ketahanan
Pangan, Perbaikan Nutrisi, dan Ketahanan Lingkungan. Prosiding Seminar
21
Nasional Pekan Kentang; 2008 Agustus 20-21; Lembang. Bandung (ID). hlm
712-723.
Fajardo TVM, Nishijima M, Buso JA, Torres AC, Avila AC, Resende RO. 2001.
Garlic viral complex: Identifikation of Potyviruses and Carlaviruses in
Central Brazil. Fitopatologia Brasileira. 26(3):619-626.
Gunaeni N, Wulandari AW, Duriat AS, Muharam A. 2011. Insiden penyakit tular
umbi pada tigabelas varietas bawang merah asal Jawa Barat dan Jawa
Tengah. Jurnal Hortikultura. 21(2):164-172.
Klukackova J, Navratil M, Vesela M, Havranek P, Safarova D. 2004. Occurrence
of garlic viruses in the Czech republic. Acta fytotechnica. 16(7):126-128.
Kurniawan A. 2012. Deteksi dan identifikasi virus dan tungau pada bibit bawang
merah impor dan lokal [Tesis]. Bogor (ID): Fakultas Pertanian, Institut
Pertanian Bogor.
Lunello P, Rienzo JD, Conci VC. 2007. Yield loss in garlic by Leek yellow stripe
virus Argentina isolate. Plant Disease. [Internet]. 91(2):153-158. doi:
10.1094/PDIS-91-2-0153.
Mahmoud SYM, Maaty SAAE, Borollosy AME, Ghaffar MHA. 2008.
Identifikasi of Onion yellow dwarf Potyvirus as one of the major viruses
infecting garlic in Egypt. International Journal of Virology. 4(1):1-3.
Mavric I, Ravnikar M. 2005. A Carlavirus serologically closely related to
carnation latent virus in Slovenian garlic. Acta Agriculture Slovenica.
85(2):343-349.
Opriana E. 2009. Metode deteksi untuk pengujian respon ketahanan beberapa
genotipe cabai terhadap infeksi Chilli veinal mottle potyvirus (ChiVMV)
[Tesis]. Bogor (ID): Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Semangun H. 2000. Penyakit-Penyakit Tanaman Hortikultura di Indonesia. Ed.
ke-4: Yogyakarta (ID).
Shah H, Khalid S, Ahmad I. 2001. Prevalence and distribution of four pepper
viruses in Sindh, Punjab and North west frontier province. J. Of Biological
Science 1(4):214-217.
Subekti D, Hidayat SH, Nurhayati E, Sujiprihati S. 2006. Infeksi Cucumber
mosaic virus dan Chili veinal mottle virus terhadap pertumbuhan dan hasil
tanaman cabai. Hayati. 13(2):53-57.
Suryadi Y, Manzila I, Machmud M. 2009. Potensi pemanfaatan perangkat
diagnostik ELISA serta variannya untuk deteksi patogen tanaman. Jurnal
Agro Biogen. 5(1):39-48.
Sutarya R, Duriat AS. 1991. Respon beberapa kultivar cabai terhadap Cucumber
mosaic virus (CMV) Tobacco etch virus (TEV) dan campuran dari
CMV+TEV. Bul Penel. Hort. 21(1):72-76.
Van Dijk P. 1993. Carlavirus isolates from cultivated Allium sp. represent three
viruses. Netherlands Journal of Plant Pathology. 99(1993):233-257.
Weeraratne WAPG, Yappa DR. 2002. Reaction of chili accessions to local
isolates of Cucumbar mosaic virus and Chili veinal mottle virus. Annals of
the Sri Lanka Department of Agriculture. 4:345-352.
Wulandari N. Editor. 2011. Petunjuk Praktis Bertanam Bawang. Jakarta (ID):
Agromedia.
Seal S. dan dan Elpninstone J. 1994. Advances in identification and detection of
P. solanacearum in Hayward, A.C. and G.L. Hartman (Editor). The Disease
22
and its Cause live agent, P. Solanacearum. CAB International, Wallingford,
UK. hlm 42-57.
Thomas JE, Wong WC, Goanlock DH. 1998. Modern methods for the detection of
plant pathogens. Queenslans Agric. J. 49-53.
LAMPIRAN
24
Lampiran 1 Deskripsi varietas bawang yang digunakan dalam penelitian
1. Nama varietas
: Bima curut
Deskripsi varietas: Menurut lampiran SK. Menteri Pertanian No. 594/Kpts/TP
290/8/1984
Varietas Bima curut merupakan bawang merah lokal asli Brebes. Varietas
ini mampu menghasilkan 10 ton/ha umbi kering, dengan bobot susut panen
mencapai 22% dari bobot panen basah. Umbinya berwarna merah muda,
bentuknya lonjong kecil dengan suatu cincin kecil terletak di cakram. Tinggi
tanaman mencapai 45.5 cm dengan jumlah daun berkisar 35 sampai 40 helai.
Anakan dalam satu rumpun mencapai 7 sampai 12 buah. Bawang ini sudah
dipanen pada umur 60 hari.
Varietas Bima curut sebaiknya ditanam pada musim kemarau. Selain itu,
varietas ini cocok sekali untuk dikembangkan di dataran rendah. Varietas ini
rentan terhadap penyakit busuk daun (Phytophthora porii), tetapi tahan terhadap
penyakit busuk umbi (Botyritis allii). Di Brebes tanaman ini jarang berbunga dan
daunnya berbentuk silinder berlubang.
2. Nama varietas
: Crok kuning
Deskripsi varietas: Menurut Balai Penelitian Sayuran (1996)
Varietas ini berasal dari daerah Sidapurna, Brebes, Jawa Tengah. Umur
tanaman dari saat tanam sampai panen adalah 59-65 hari. Tinggi tanaman berkisar
antara 36-45 cm. Secara alami tanaman ini dapat berbunga di musim kemarau.
Bentuk bunga seperti payung dengan warna putih. Jumlah bunga setiap tangkai
130-180 kuntum, sedang jumlah buah setiap tangkai berkisar 80-110 buah.
Tangkai bunga setiap rumpun rata-rata 25 tangkai. Biji berbentuk bulat-gepeng,
keriput dengan warna hitam. Produksi umbi kering berkisar antara 11.2-17.3
ton/ha kering. Susut bobot umbi dari basah ke kering 22.5%. Bentuk umbi bulat
lonjong dengan bagian leher agak besar, warna umbi merah muda. Tahan terhadap
penyakit busuk umbi (Botritis sp.), tetapi peka terhadap penyakit bercak ungu
(Alternaria porri) dan antraknosa (Colletotrichum sp.). Varietas ini cocok untuk
ditanam di dataran rendah pada musim kemarau.
Keunggulan varietas Crok kuning adalah dapat tumbuh pada musim hujan.
Sayangnya, kemampuan produksi varietas bawang yang satu ini tergolong rendah,
hanya mampu menghasilkan 7 ton/ha. Tinggi tanaman mencapai 44 cm dengan
jumlah daun maksimal 35 helai. Satu rumpun memilik 10 anakan.
3. Nama varietas
: Maja
Deskripsi varietas: Menurut lampiran SK. Menteri Pertanian No: 597/Kpts/TP
290/8/1984
Varietas ini berasal dari lokal Cipanas. Tanaman mulai berbunga pada umur
50 hari, sedang masa panen mencapai umur 60 hari. Tinggi tanaman berkisar
antara 24.3-43.7 cm (34.1 cm). Secara alami tanaman agak mudah berbunga.
Jumlah anakan 6-12 umbi per rumpun. Bentuk daun silindris berlubang. Warna
daun, hijau agak tua. Banyak daun berkisar antara 16-49 helai. Bentuk bunga
seperti payung, bunga berwarna putih. Banyak buah per tangkai 60-100 (81).
Banyak bunga per tangkai 100-130 (128). Banyaknya tangkai bunga per rumpun
2-7. Bentuk biji bulat, gepeng, berkeriput. Warna biji hitam. Bentuk umbi bulat
dengan warna merah tua. Produksi umbi kering 10.9 ton/ha. Susut bobot umbi
25
(basah-kering) 24.9%. Cukup tahan terhadap busuk umbi (Botrytis alli). Peka
terhadap penyakit busuk ujung daun (Phytophthora porri). Kultivar ini baik untuk
dataran rendah dan dataran tinggi.
4. Nama varietas
: Trisula
Deskripsi varietas: Menurut Balai Penelitian Tanaman Sayuran (2011)
Bawang merah Trisula dapat dipanen pada umur 55 hari, potensi hasilnya
bisa mencapai 23.21 ton/ha dan masa penyimpanan umbi mampu bertahan sampai
5 bulan. Tinggi tanaman 40 cm, bunganya berbentuk payung berwarna putih
dengan jumlah bunga 2 per rumpun. Bentuk daun bawang varietas ini bulat sedikit
bergelembung berwarna hijau tua dengan jumlah anakan 36 per rumpun. Umbi
bawangnya berbentuk bulat keriput berwarna merah tua dengan diameter 2.5 cm.
26
Lampiran 2 Tahapan metode deteksi serologi DAS-ELISA (a), TAS-ELISA (b),
I-ELISA (c), dan DIBA (d) (Albersio et al. 2012)
(a)
(b)
(c)
(d)
27
Lampiran 3 Nilai absorbansi ELISA (NAE) pada sampel lapangan bawang merah
dan bawang putih
Jenis antibodi
Sampel dan Varietas
No
GCLV
SLV
Potyvirus
Bawang merah Bandung
1 Bufer
0.17
0.15
0.14
2 Kontrol 3-II (-) trisula 2X
0.32
0.34
0.31
3 Kontrol 3-II (-) trisula
0.32
0.32
0.32
4 Kontrol (+)
2.45
0.15
2.45
5 3-II maja
0.19
0.16
0.50
6 5-II maja
0.17
0.13
0.73
7 5-X maja
0.17
0.11
1.13
8 3-IV maja
0.21
0.12
0.28
9 5-VIII maja
0.16
0.97
0.26
10 4-X maja
0.31
0.21
0.30
12 5-II trisula
0.15
0.15
0.36
13 4-XIV trisula
0.15
0.65
0.29
14 Buffer
0.13
0.14
0.14
15 Kontrol (-) 16-BP Bogor
0.27
0.31
0.31
16 Kontrol (+) 22-BP bgr
0.14
2.45
2.45
17 2-XII maja
0.38
0.12
0.30
18 1-XIV maja
0.36
0.11
0.31
19 1-VIII maja
0.29
0.14
0.28
Bawang merah Bantul
1 Bufer
0.16
0.19
0.16
2 K(-)
0.22
0.26
0.30
3 K(+)
0.14
2.85
0.49
4 2-Crok
0.13
0.17
1.04
5 4-Crok
0.12
0.17
2.61
6 5-Crok
0.11
0.13
0.63
7 9-Crok
0.16
0.19
1.74
8 10-Crok
0.14
0.17
1.15
9 12-Crok
0.13
0.21
3.07
10 18-Crok
0.11
0.13
0.37
11 1-Biru
0.12
0.12
0.16
12 2-Biru
0.20
0.52
0.24
13 6-Biru
0.16
0.29
0.22
14 11-Biru
0.13
0.16
0.20
15 14-Biru
0.11
0.13
0.44
16 17-Biru
0.31
0.40
0.38
17 19-Biru
0.21
0.32
0.40
28
Lampiran 3 Lanjutan…
No
Sampel dan Varietas
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
Bufer
K(-)
K(+)
2- Bima curut
4- Bima curut
6- Bima curut
8- Bima curut
13- Bima curut
16- Bima curut
18- Bima curut
20- Bima curut
23- Bima curut
25- Bima curut
27- Bima curut
28- Bima curut
35- Bima curut
31- Bima curut
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
Bufer
K(-)
K(+)
1- Bima curut
2- Bima curut
3- Bima curut
6- Bima curut
8- Bima curut
10- Bima curut
11- Bima curut
15- Bima curut
18- Bima curut
21- Bima curut
24- Bima curut
27- Bima curut
31- Bima curut
35- Bima curut
Jenis antibodi
GCLV
SLV
Bawang merah Brebes
0.16
0.19
0.22
0.26
0.14
2.85
0.19
2.52
0.17
1.90
0.12
2.09
0.11
1.21
0.12
0.13
0.17
1.87
0.12
2.49
0.12
2.05
0.12
1.85
0.15
2.00
0.13
1.32
0.12
2.26
0.11
1.64
0.14
2.02
Bawang merah Cirebon
0.16
0.19
0.22
0.26
0.14
2.85
0.14
0.19
0.11
1.70
0.45
0.61
0.36
0.44
0.19
0.38
0.11
1.05
0.54
1.96
0.53
0.72
0.36
1.79
0.14
0.14
0.63
2.06
0.24
0.66
0.13
0.22
0.30
0.15
Potyvirus
0.16
0.30
0.49
3.02
2.27
1.14
0.37
0.73
3.16
1.48
0.89
0.37
2.51
0.95
0.93
1.01
0.57
0.16
0.30
0.49
0.36
0.52
1.37
0.39
0.24
2.96
0.81
2.74
0.31
0.43
0.99
0.67
0.73
1.50
29
Lampiran 3 Lanjutan...
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
Sampel dan Varietas
Bufer
K(-)
K(+)
K(+)
1-BP Lokal
2-BP Lokal
3-BP Lokal
4-BP Lokal
5-BP Lokal
6-BP Lokal
7-BP Lokal
8-BP Lokal
9-BP Lokal
10-BP Lokal
11-BP Lokal
12-BP Lokal
13-BP Lokal
14-BP Lokal
Jenis antibodi
GCLV
SLV
Bawang putih Bandung
0.18
0.15
0.32
0.34
0.33
0.33
0.15
0.15
0.62
0.27
0.54
0.29
0.56
0.17
0.59
0.12
0.19
0.66
0.50
0.57
0.52
0.27
0.56
0.12
0.39
0.51
0.51
0.92
0.44
0.42
0.18
0.19
0.65
0.36
0.64
0.41
Potyvirus
0.16
0.38
0.33
1.52
2.53
1.96
2.69
2.18
1.80
2.39
2.55
2.81
0.46
2.50
2.47
2.98
2.70
2.89
30
Lampiran 4 Nilai absorbansi ELISA (NAE) pada sampel umbi bawang merah dan
bawang putih
Jenis antibodi
GCLV
SLV
Bawang merah umbi Bogor
Bufer
0.21
0.16
K(-) 4- BP Bogor
0.39
0.28
K(+) 23- BP Bogor
0.18
1.22
1
0.25
0.60
2
0.21
0.14
3
0.19
0.12
5
0.17
0.11
8
0.18
0.24
9
0.19
0.54
12
0.18
0.13
15
0.18
0.45
16
0.15
0.15
18
0.19
0.18
20
0.19
0.20
22
0.17
0.53
25
0.15
0.10
26
0.20
0.86
Bawang merah umbi Brebes
Bufer
0.21
0.21
K(-) 4-BP Bogor
0.39
0.34
K(+) 23 BP Bogor
0.18
1.94
1- Bima curut
0.30
0.37
3- Bima curut
0.17
0.14
5- Bima curut
0.77
0.23
6- Bima curut
0.72
0.16
8- Bima curut
0.48
0.16
12- Bima curut
0.23
0.11
15- Bima curut
0.83
0.58
17- Bima curut
0.87
0.62
20- Bima curut
0.87
1.37
24- Bima curut
0.40
0.25
27- Bima curut
1.12
0.86
29- Bima curut
1.03
1.51
30- Bima curut
0.73
0.96
32- Bima curut
0.19
0.14
No Sampel dan varietas
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
Potyvirus
0.23
0.29
1.53
0.99
2.37
2.07
0.13
2.58
1.79
0.15
1.27
1.47
0.45
0.63
0.67
0.16
0.88
0.23
0.29
1.53
0.28
0.22
2.28
0.22
0.35
1.52
0.55
1.76
1.04
0.49
1.76
1.96
0.56
1.37
31
Lampiran 4 Lanjutan…
Jenis antibodi
GCLV
SLV
Bawang merah umbi Cirebon
Bufer
0.21
0.21
K(-) 4-BP Bogor
0.39
0.34
K(+) 23 BP Bogor
0.18
1.94
1- Bima curut
0.19
0.74
2- Bima curut
0.18
0.49
5- Bima curut
0.16
0.11
7- Bima curut
0.19
0.47
12- Bima curut
0.18
0.15
16- Bima curut
0.16
0.58
18- Bima curut
0.14
1.07
25- Bima curut
0.15
0.76
27- Bima curut
0.23
0.71
31- Bima curut
0.21
1.07
32- Bima curut
0.76
1.12
33- Bima curut
0.16
0.85
36- Bima curut
0.55
1.25
42- Bima curut
0.48
0.82
Bawang putih umbi Bogor
Bufer
0.15
0.10
K(-)
0.36
0.20
K(+)
0.15
0.10
K(+)
0.15
0.10
1-BP Bogor
0.25
0.77
2-BP Bogor
0.21
0.18
3-BP Bogor
0.16
0.15
17-BP Bogor
0.25
0.22
5-BP Bogor
0.23
0.18
6-BP Bogor
0.23
0.32
7-BP Bogor
0.19
0.10
8-BP Bogor
0.12
0.60
9-BP Bogor
0.49
0.41
10-BP Bogor
0.38
0.24
11-BP Bogor
0.34
0.69
12-BP-Bogor
0.15
0.24
13-BP Bogor
0.71
0.39
No Sampel dan varietas
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
Potyvirus
0.23
0.29
1.53
0.61
1.75
0.15
0.85
0.32
2.49
0.48
1.13
2.40
0.50
0.77
0.56
1.08
1.52
0.16
0.38
0.33
1.52
0.43
0.18
0.30
0.31
0.20
0.20
0.26
0.30
0.38
0.25
0.21
0.22
0.46
32
Lampiran 5 Hasil deteksi GCLV menggunakan metode DIBA (a) dan DASELISA (b)
a)
Pengenceran
Antibodi
Pengenceran antigen
100
10-1
10-2 10-3 10-4 10-5 10-610-7
K (-) Bufer
100
10-1
10- 2
10-3
10-4
10-5
10-6
10-7
b)
Ag
Ab
100
10-1
10-2
10-3
10-4
10-5
10-6
10-7
100
10-1 10-2 10-3 10-4
10-5 10-6 10-7 K (-) Bufer
33
Lampiran 6 Hasil deteksi SLV menggunakan metode DIBA (a) dan TASELISA (b)
a)
Pengenceran
antibodi
100
Pengenceran antigen
10-1
10-2 10-3 10-4
10-5 10-6 10-7
K (-)
Bufer
100
10-1
10- 2
10-3
10-4
10-5
10-6
10-7
b)
Ab
100
10-1
10-2
10-3
10-4
10-5
10-6
10-7
Ag
100
10-1 10-2 10-3 10-4
10-5 10-6 10-7 K (-) Bufer
34
Lampiran 7 Hasil deteksi Potyvirus menggunakan metode DIBA (a) dan IELISA (b)
a)
Pengenceran
Antibodi
Pengenceran antigen
100
10-1
K (-) Bufer
10-2 10-3 10-4
10-5 10-6 10-7
10-4
10-5 10-6 10-7 K (-) Bufer
100
10-1
10- 2
10-3
10-4
10-5
10-6
10-7
b)
Ag
Ab
100
10-1
10-2
10-3
10-4
10-5
10-6
10-7
100 10-1 10-2 10-3
35
Lampiran 9 Nilai absorbansi ELISA pada pengujian GCLV
Pengenceran antigen
Pengenceran
antibodi
100
10-1
10-2
10-3
10-4
10-5
10-6
10-7
K(-)x2
Bufer
100
10-1
10-2
10-3
10-4
10-5
10-6
10-7
3.05
0.37
0.15
0.13
0.13
0.13
0.13
0.12
1.90
0.25
0.13
0.12
0.12
0.12
0.12
0.12
1.36
0.22
0.12
0.12
0.12
0.12
0.12
0.11
1.20
0.21
0.12
0.12
0.12
0.12
0.12
0.11
0.91
0.20
0.12
0.12
0.12
0.12
0.12
0.11
0.88
0.18
0.12
0.12
0.12
0.11
0.11
0.11
0.54
0.18
0.12
0.12
0.12
0.11
0.11
0.11
0.45
0.15
0.11
0.11
0.11
0.11
0.11
0.11
0.33
0.25
0.25
0.23
0.19
0.18
0.18
0.17
0.14
0.14
0.13
0.12
0.12
0.11
0.11
0.11
Lampiran 10 Nilai absorbansi ELISA pada pengujian SLV
Pengenceran antigen
Pengenceran
Antibodi
100
10-1
10-2
10-3
10-4
10-5
10-6
10-7
K(-)x2
Bufer
100
10-1
10-2
10-3
10-4
10-5
10-6
10-7
3.07
0.26
0.15
0.15
0.15
0.15
0.15
0.14
3.04
0.22
0.15
0.14
0.14
0.14
0.14
0.13
1.09
0.17
0.15
0.14
0.15
0.14
0.14
0.13
1.17
0.17
0.14
0.14
0.14
0.14
0.14
0.13
0.65
0.16
0.14
0.14
0.14
0.14
0.14
0.13
0.58
0.16
0.14
0.14
0.13
0.14
0.14
0.13
0.48
0.15
0.13
0.13
0.13
0.13
0.14
0.13
0.43
0.15
0.13
0.13
0.13
0.13
0.13
0.13
0.25
0.24
0.23
0.23
0.22
0.22
0.22
0.21
0.12
0.12
0.12
0.11
0.11
0.11
0.11
0.10
K(-)x2
Bufer
0.26
0.25
0.24
0.24
0.23
0.22
0.22
0.20
0.14
0.13
0.13
0.13
0.13
0.12
0.11
0.11
Lampiran 11 Nilai absorbansi ELISA pada pengujian Potyvirus
Pengenceran
antibodi
100
10-1
10-2
10-3
10-4
10-5
10-6
10-7
Pengenceran antigen
100
10-1
10-2
10-3
10-4
10-5
10-6
10-7
1.61
0.17
0.16
0.14
0.14
0.14
0.13
0.12
1.51
0.16
0.14
0.13
0.13
0.13
0.13
0.12
0.64
0.16
0.13
0.13
0.13
0.13
0.12
0.11
0.41
0.15
0.13
0.12
0.12
0.13
0.12
0.12
0.37
0.15
0.12
0.12
0.13
0.12
0.12
0.11
0.36 0.29 0.29
0.14 0.134 0.14
0.12 0.12 0.12
0.12 0.12 0.13
0.12 0.12 0.12
0.12 0.12 0.11
0.12 0.12 0.11
0.11 0.11 0.12
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Cirebon, Jawa Barat pada tanggal 16 September 1991.
Penulis merupakan anak kedua dari tiga bersaudara pasangan Bapak Jamian dan
Ibu Mistina. Penulis menyelesaikan Pendidikan di MA Negeri Model Babakan,
Ciwaringin, Cirebon pada tahun 2009. Pada tahun 2009 penulis diterima di IPB
melalui jalur seleksi Penerimaan Beasiswa Santri Berprestasi (PBSB) CSS
MoRA IPB, diterima di Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian,
Institut Pertanian Bogor.
Selama menempuh pendidikan di IPB, penulis aktif dalam kegiatan
kemahasiswaan, diantaranya sebagai pengurus CSS MoRA IPB Divisi Sosial
Lingkungan periode 2010/2011 dan Pengembangan Sumber Daya Manusia
periode 2011/2012, Bendahara Panitia Bina Ekspo Pesantren tahun 2010, panitia
National Plant Protection 2011, dan Sekretaris Panitia Gebyar Prestasi Santri
Nasional tahun 2012.
Penulis pernah menjadi asisten mata kuliah Hama dan Penyakit Benih
Pascapanen tahun 2012 serta mata kuliah Hama dan Penyakit Tanaman Tahunan
dan Virologi Tumbuhan pada tahun 2013.
Download