P EMBOBOLAN B ANK 8 SOROTAN Bisnis Indonesia, Jumat, 13 Mei 2011 OLEH ARIF GUNAWAN S. Wartawan Bisnis Indonesia Kalau ada birokrat pasar modal yang bersemangat mengklarifikasi ketiadaan aliran dana PT Elnusa Tbk ke reksa dana Harvestindo Istimewa, dialah Djoko Hendratto, Kabiro Pengelolaan Investasi Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan. S etelah sempat menolak berkomentar mengenai dugaan aliran dana Elnusa ke PT Harvestindo Asset Management, Djoko mengundang wartawan ke kantornya untuk mengumumkan hasil temuannya, selang 4 hari setelah kasus tersebut meledak ke publik. Dua hari sebelum itu, lembaga yang bertindak sebagai wasit pasar modal ini memang telah memberikan pernyataan resmi mengenai kronologi aksi Bapepam-LK meminta penjelasan manajemen Elnusa dan PT Bank Mega Tbk seputar kisruh depositonya. Namun, penjelasan di atas kertas HVS dua lembar itu tidak cukup menjawab pertanyaan publik seputar peran Bapepam-LK mengawasi, mencegah, dan—kalau perlu—menangkal penyelewengan (fraud) dua perusahaan berstatus emiten tersebut. Karena itu, Djoko bertindak. Di kantornya, dia menyodorkan dua argumen untuk menjelaskan absennya aliran dana itu. Pertama, tak ada kenaikan nilai aktiva bersih Harvestindo Istimewa, reksa dana yang dicurigai menjadi tempat mengendapnya sebagian dana deposito Elnusa. Kedua, sejalan dengan absennya kenaikan aktiva bersih tersebut, modal kerja milik PT Harvestindo Asset Management, penerbit reksa dana Harvestindo Istimewa, juga tidak mengalami kenaikan berarti alias masih di bawah Rp25 miliar pada periode tersebut. Tak ada yang salah dari argumen Djoko. Persoalannya, penjelasan itu belum cukup kuat menangkis dugaan adanya aliran dana ke Harves- Bola liar skandal Mega-Elnusa tindo. Berdasarkan keterangan polisi, dana tersebut mengalir dari rekening giro PT Discovery Indonesia ke Harvestindo. Persisnya pada 7 September dan 29 September 2009 senilai total Rp70 miliar, plus Rp40 miliar pada 19 November 2009. Rekening itu belum termasuk dana yang mengalir dari Elnusa ke Discovery, atau yang tidak dialirkan lagi ke Harvestindo. Di luar itu, harus diakui bahwa selama ini kasus-kasus besar di pasar modal memang tidak pernah terdeteksi dari ‘data resmi’ perseroan. Skandal PT Sarijaya Permana Sekuritas yang meledak beberapa tahun lalu, misalnya. Tidak ada yang mengira perusahaan efek ini digerogoti kanker penggelapan dana, karena data laporan transaksi efek berjalan normal, meski di balik itu dana berputar silang-sengkarut tidak sejalan dengan transaksi yang dilaporkan. Begitu pula dengan skandal PT Optima Securities. Piutang macet nasabah PT Optima Kharya Capital Management dengan mudah nya ditambal dana nasabah PT Optima Securities hingga berujung kerugian Rp700 miliar. Ini tidak terdeteksi jika hanya bermodal data di atas kertas. Logika dan akal sehat kita niscaya akan mengatakan mudah bagi Ivan Ch Lita, pemilik Harvestindo Asset Management untuk memindah dana yang dikendalikannya dari satu keranjang ke keranjang lain yang sama-sama dikendalikannya. Maklum, uang tak ber-KTP. Apalagi, nilai aktiva bersih produk reksa dana Harvestindo Asset Management lain yang berbeda dengan Harvestindo Istimewa, yakni Harvestindo Maxima, sekonyong-konyong membubung jadi Rp25,01 miliar dari posisi sebelumnya Rp0. Fakta keras ini jelas mengejutkan, karena perusahaan ini memiliki rekam jejak gagal bayar di produk Sampai hari ini, penyelidikan kepolisian masih berlangsung. Begitu pula pemeriksaan yang dilakukan Bapepam-LK terhadap Harvestindo Asset Management, perusahaan manajemen investasi yang diduga menampung sebagian dana Elnusa. Saling hindar BI SN IS /A D IP UR DI YA N TO Harvestindo Istimewa yang seharusnya memberi cukup alasan bagi investor mana pun untuk menghindari produk manajer investasi tersebut. Namun, lagi-lagi, dugaan itu tak berujung jadi kebenaran positif. Djoko hanya membenarkan ada dana masuk ke reksa dana Harvestindo Maxima. Hanya, dana itu berasal dari investor lain, bukan dari Discovery. Lantas, dari mana datangnya uang Rp25 miliar itu? Di balik sanksi Citibank OLEH HENDRI T. ASWORO Wartawan Bisnis Indonesia B udi Rochadi dan Halim Alamsyah tampak santai. Sesekali jawaban ditimpali dengan canda. Bahkan dua deputi gubernur Bank Indonesia itu meluangkan waktu cukup lama. Satu jam lebih. Biasanya konferensi pers tak lebih dari dua sesi pertanyaan atau 30 menit. Tanpa beban. Kesan itu muncul saat dua pejabat bank sentral itu menyampaikan vonis atas kasus yang menimpa Citibank N.A. Cabang Indonesia, meskipun keputusan itu sempat ditunda lebih sepekan. Setelah melakukan pemeriksaan selama sebulan—atas kasus pembobolan dana nasabah oleh Relationship Manager, Malinda Dee, dan tewasnya nasabah kartu kredit Citibank, Irzen Octa, saat proses penagihan utang—BI menetapkan bank asal Amerika Serikat itu bersalah. Bank sentral memberikan vonis Citibank melanggar sejumlah ketentuan internal sendiri dan penerapan manajemen risiko. Selain itu, ditemukan juga pelanggaran dan kelemahan dalam sistem penyelenggaraan kartu kredit. Atas pelanggaran itu BI memutuskan untuk memberikan sanksi kepada Citibank, yakni menambah jangka waktu larangan untuk menerima nasabah baru layanan prioritas selama 1 tahun dan kartu kredit 2 tahun dari semula 1 bulan. Selain itu, pelarangan penggunaan jasa penagihan kartu kredit oleh pihak ketiga juga ditambah menjadi 2 tahun. BI pun menginstruksikan Citibank tak membuka kantor baru selama 1 tahun. Ketentuan tersebut berlaku sejak 6 Mei 2011. Bank sentral akan melakukan uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) ulang terhadap pejabat eksekutif dan manajemen bank yang terkait dengan kasus Citibank. BI pun menginstruksikan bank Negeri Paman Sam itu untuk menonaktifkan eksekutif yang terlibat kasus itu. Adapun pegawai Citibank di bawah pejabat eksekutif yang terlibat langsung kasus layanan prioritas dan kartu kredit diminta langsung dihentikan. Semua pejabat pun diminta tidak meninggalkan Indonesia sembari menunggu proses fit and proper test. Apakah proses penerapan sanksi itu lancar-lancar saja? Atau memang ada kasak-kusuk di balik itu semua? *** Menjelang penetapan sanksi, sejumlah petinggi Citibank Group, baik Indonesia maupun Amerika Serikat, diketahui menyambangi Kebon Sirih, kantor pusat BI. Kebetulan Vice Chairman Citibank Lew Kaden berkunjung ke Indonesia jelang putusan tersebut. Menurut informasi, Karen Brooks, mantan penasihat khusus White House, juga menyempatkan datang ke kantor BI. Sumber Bisnis mengungkapkan Brooks bertemu Halim Alamsyah. Namun, Halim tak mengonfirmasi pertemuan itu. “Siapa itu Karen Brooks?” ujarnya. Kabarnya, Karen Brooks diturunkan untuk melobi pihak Pemerintah Indonesia terkait sengketa divestasi Newmont. Satu paket dengan lobi ke bank sentral untuk meringankan sanksi atas pelanggaran Citibank. Adapun menjawab kasak-kusuk kehadiran petinggi Citibank AS, Budi Rochadi mengatakan bahwa BI meminta kantor pusat New York melakukan evaluasi menyeluruh terhadap fungsi pengendalian internal Citibank Jakarta. ‘Pendekatan’ petinggi Citibank dan utusan khusus dari Negeri Paman Sam tak membuat BI ‘kendor’. Menurut Halim, bank sentral telah melakukan investigasi secara mendalam, sehingga kesalahan Citibank tak bisa ditoleransi. “Kami kan indepth atas kasus itu,” ujarnya. Dia menegaskan kesalahan terbesar Citibank adalah melanggar empat pilar manajemen risiko, yakni pengawasan aktif dari atasan, standard operational procedure, sistem IT dan kontrol internal. Namun, hingga tadi malam Bisnis belum mendapatkan konfirmasi dari pihak Citibank atas informasi ini. Juru bicara Citibank Ditta Amahorseya hanya menjawab tiga pertanyaan dari empat yang dijakukan melalui surat elektronik. “Untuk pertanyaan akan saya susulkan ya.” Dita menjelaskan soal perekrutan 1.400 karyawan penagihan, penguatan sistem kendali internal dan komitmen Citibank untuk sepenuhnya bekerja sama dengan BI, pasca vonis atas kasus fraud dan kematian nasabah kartu kredit. Namun, ada penilaian kalangan internal BI, sanksi yang diberikan masih ringan atas pelanggaran yang dilakukan. Penyebabnya tenggat waktu yang diberikan legislatif untuk segera memberi saksi Citibank, 1 bulan pascarapat dengar pendapat dengan DPR awal April lalu. Budi Rochadi tak membantah ada unsur untuk memenuhi rekomendasi DPR. Namun, menurut dia, sanksi masih bisa bertambah jika pelanggaran melibatkan korporasi, baik pencucian uang maupun pidana. “Jadi putusan ini baru sementara. Kalau korporasi ikut, lebih berat.” *** Salah satu kasus yang membuat bank sentral ‘berang’ adalah perjanjian kontrak Citibank dengan pihak ketiga tak sesuai dengan ketentuan Peraturan Bank Indonesia (PBI). Terlebih lagi kebanyakan pegawai Citibank berstatus kontrak. Salah satu pejabat BI mengungkapkan bahwa dari hampir 6.000 orang yang bekerja di Citibank, hanya 1.600 orang yang memiliki status pegawai penuh, selebihnya hanya alihdaya dari pihak ketiga atau outsource. “Bahkan dari 1.600 itu kebanyakan orang asing. Coba apakah kita kekurangan orang apa? Sampai level di bawah direksi itu banyak dari orang asing,” ungkapnya. Terkait dengan 1.400 orang debt collector yang akan dijadikan pegawai tetap, lanjutnya, itu hanya bagian kecil dari 3.900 in house collector dan field collector Citibank yang statusnya kontrak. Hal itu belum termasuk tenaga pemasaran yang juga kontrak dan hanya ditarget penjualan produk. Menurut dia, banyaknya status kontrak pegawai itu sangat memiliki korelasi dalam kelemahan manajemen risiko. “Perusahaan perhitungan hanya mencari profit dengan efisiensi tenaga kerja, tetapi risiko kerja tinggi, karena tanggung jawabnya rendah,” katanya. Adapun dari sisi layanan premium, Citigold, diindikasikan bahwa penyimpangan sudah berlangsung lama. Seorang Melinda Dee diduga mengendalikan dana nasabah lebih dari Rp1,6 triliun. Untuk itu, kata sumber tersebut, fit and proper test bank sentral akan berlaku surut, karena dikhawatirkan eksekutif lama Citibank yang saat ini hijrah ke bank lain mengetahui tindak kejahatan tersebut. “Kalau kejadian ini sudah terjadi misalnya beberapa tahun yang lalu, manajemen Citibank itu kan sudah ganti-ganti. Bisa saja mereka sudah tahu terus pindah. Nah, kalau ini dilakukan di bank lain, hancur bank kita semua,” tegasnya. Sepintas keputusan BI sudah tepat. Dan itu layak diapresiasi. Namun, jika Citibank terbukti melanggar hukum, bank sentral pun harus berani mengambil langkah lebih tegas. Pencabutan izin unit usaha, seperti kata ekonom Dradjad Wibowo pun cukup pantas. Hal itu untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat kepada bank sentral setelah sebelumnya sejumlah kasus perbankan memberikan stereotipe miring. (hendri. [email protected]) Apa keluar dari kantong Ivan lewat tangan pihak ketiga? “Saya akan sebutkan, tapi kamu harus siap dipenjara, karena ini adalah kerahasiaan investor yang dijamin. Tapi polisi bisa menyidik dan cek silang pemilik dana tersebut dengan catatan di bank kustodian,” katanya. Dalam testimoni terbarunya, Ivan bahkan tidak menyinggung Harvestindo. Dia mengaku menempatkan dananya ke lima perusahaan berjangka. Pengakuan ini, membuat ‘bola’ Mega-Elnusa menyasar gawang Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappepti). OLEH HERY TRIANTO Wartawan Bisnis Indonesia B oleh dibilang, puluhan kasus pembobolan dana perbankan yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir, hanya mengandalkan modus yang kurang lebih sama. Monoton, hanya itu-itu saja. Namun, mengapa masih saja banyak bank yang kecolongan? Beberapa hal yang selalu ada dalam setiap insiden fraud tersebut; kehadiran orang dalam bank sebagai operator. Sindikat memang merencanakan detail modusnya, tetapi orang internal ibarat menjadi pelumas yang memastikan semua siasat bekerja. Dalam ranah kejahatan perbankan, ada tiga pola pembobolan yang selalu berulang. Pertama, kriminal murni yang melibatkan penjahat kelas teri melalui perampokan dan pembobolan mesin anjungan tunai mandiri. Kedua, aksi individu karyawan bank yang memanfaatkan celah kelemahan pengawasan internal. Ketiga, adalah berpadunya orang eksternal dan internal bank dalam sebuah sindikat. Kelompok ketiga ini paling berbahaya dan potensial menimbulkan kerugian besar. Pola pembobolan pertama relatif mudah diantisipasi dengan risiko kerugian yang terukur. Paling banter, sebanyak uang yang tersisa di mesin ATM dan dana yang ada dalam brankas sebuah kantor bank. Namun untuk dua yang terakhir, banyak cara yang harus disiapkan oleh bank, agar tak menjadi ladang pembobolan yang berpotensi mengikis kepercayaan nasabah. Kepercayaan adalah modal utama dan menjelaskan mengapa bisnis perbankan eksis dan bisa menghimpun dana masyarakat hingga ribuan triliun rupiah. Tentu, perbankan tak akan tinggal diam, termasuk sece- Dalam perjalanannya, bola liar Mega-Elnusa ini berujung pada aksi saling pagar wilayah kerja Bapepam-LK dan Bank Indonesia (BI). Sebagai catatan, skandal ini merupakan yang pertama pecah sejak BI dan BapepamLK gagal membentuk Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Ketua Bapepam-LK Nurhaida yang menangkis ‘bola’ ini pada 3 Mei dengan mengatakan fraud itu terjadi di perbankan. Kebetulan, wilayah itu sedang disorot karena melayani produk investasi yang ditanam ke pasar modal dan produk keuangan nonbank, private banking. “Elnusa menganggap itu deposito berjangka, sedangkan Bank Mega meyakini itu deposit on call. Perlu penelaahan untuk tahu mana yang benar, dan itu bukan kewenangan otoritas pasar modal,” kata Nurhaida. Bapepam-LK, lanjutnya, hanya bisa menjalankan fungsi sesuai koridor yakni memastikan kewajiban keterbukaan informasi kedua emiten disampaikan. Pada hari pertama skandal tersebut muncul, BapepamLK segera meminta keterbukaan informasi kedua belah pihak. Karena itu, dia menampik anggapan wasit pasar modal tidak cukup responsif menanggapi isu tersebut, terlebih karena mereka juga ikut menelusuri dugaan aliran dana ke Harvestindo dan berujung pada kesimpulan lembaga tersebut bahwa tidak ada duit ber‘KTP’ Elnusa di sana. Menanggapi itu, Deputi Gubernur BI Halim Alamsyah menyambut ‘bola’ dengan tendangan balik. Menurut dia, hasil investigasi bank sentral menyebutkan bahwa skandal Mega-Elnusa bermula dari pasar modal, wilayah yang tidak mungkin diawasi BI. “Kami tidak bisa masuk ke pasar modal walau diduga pada beberapa kasus perbankan terkait dengan fraud berasal di pasar modal,” ujarnya (Bisnis, 4 Mei). Bahkan, ungkapnya, penarikan dana itu mendapat legalitas antara oknum pemilik dana yaitu Elnusa dan perusahaan investasi terkait yakni Harvestindo. Namun, dia tak mengelak jika melibatkan oknum kepala cabang Bank Mega Jababeka. Melempar kesalahan pada salah satu regulator jelas tidak bijak, karena produknya beroperasi di perbankan meski keduanya sama-sama berstatus emiten, sama seperti ketika pecah skandal PT Antaboga Delta Sekuritas dan PT Bank Century Tbk pada 2008. Menaruh harapan bahwa Bapepam-LK mampu mencegah fraud di tubuh 400 perusahaan terbuka tentu saja sangat berlebihan. Itu sama halnya seperti mengharapkan BI mampu memitigasi bankir nakal macam Inong Melinda di Citibank. Skandal investasi yang melibatkan pelaku perbankan dan pasar modal, dan beroperasi di lintas wilayah ini membangkitkan harapan publik akan adanya OJK. Namun, demi melihat sikap saling-hindar ini, ekspektasi kedua otoritas itu bersatu pun kian jauh panggang dari api. Jika bola liar Mega-Elnusa ini tak cukup mengajarkan BI dan Bapepam-LK meruntuhkan egonya, tak cukup memberi contoh bahwa keduanya sama punya mandat menggarap dana warga yang bisa ditanam di deposito atau pasar modal, Olala.. Betapa menyedihkannya. (BASTANUL SIREGAR) ([email protected]) Menguak tabir kejahatan perbankan patnya merebut kembali kepercayaan publik dengan sebuah permintaan maaf kepada masyarakat atas ketidaknyamanan yang ditimbulkan. Kasus Malinda Dee, seorang bankir Citibank, masuk dalam pola kejahatan kedua. Praktis dia bekerja dalam diam saat menggangsir dana nasabahnya. Keluwesan perempuan ini ternyata mengelabui sistem pengawasan internal bank yang dikenal bereputasi tinggi tersebut. Malinda, dalam bisik-bisik komunitas bankir, adalah seorang yang ‘pemurah’ dan ringan tangan dalam menolong para yuniornya, kala tak mencapai target penghimpunan dana. Dua tersangka lain yakin teller yang melayani pencairan dana oleh Malinda, adalah orang-orang yang pernah memiliki utang budi terhadapa suami artis Andhika Gumilang ini. Nah, sekarang kita mudah saja untuk menemukan contoh pola ketiga; kasus pencairan ilegal deposito milik PT Elnusa sebesar Rp111 miliar. Ini adalah contoh yang sempurna bagaimana sindikat kejahatan itu bekerja, hasil kombinasi niat jahat antara orang dalam dan orang luar bank. Pengembangan polisi Hal yang lebih unik, terbongkarnya kasus ini berkat pengembangan polisi atas kejahatan sebelumnya, yakni pembobolan dana nasabah di Bank Mandiri cabang Jelambar senilai Rp22 miliar. Bahkan, manajemen Elnusa baru mengetahui ada yang tidak beres dengan deposito mereka setelah didatangi oleh polisi. Seperti efek bola salju, pengem- Kasus kejahatan perbankan 2011 Bank Tindak pembobolan Kerugian Bank Mandiri Dana Taspen Rp110 miliar Citibank Dana nasabah Rp17 miliar Bank Mega Dana Elnusa Rp111 miliar Kasus 2003-2010: Tindakan Pembobolan Mandiri Upaya pembobolan BNI Upaya pembobolan BRI Kredit fiktif BII Bank Panin Danamon Bank Victoria Pembobolan BPR Dana Rp18,7 miliar Rp4,5 miliar Rp226 miliar Rp3,6 miliar Rp2,5 miliar Rp3 miliar Rp7 miliar Rp7 miliar Sumber: Satuan Fiskal, Moneter, dan Devisa Ditjen Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Jaya, diolah BISNIS/T. PURNAMA bangan kasus kejahatan terus menggelinding dan membesar. Belakangan, terungkap bila dana milik Pemkab Batubara, Sumatra Utara, juga turut tergangsir oleh sindikat yang sama, dalam hal ini melibatkan Kepala Cabang Pembantu Bank Mega Jababeka Itman Hari Basuki. Kerja polisi yang cukup cepat perlu diacungkan jempol. Namun, yang jauh lebih penting adalah bagaimana agar setelah semua terbongkar, bisa memberikan efek jera bagi para pelaku. Dalam hal ini, hukuman yang nanti jatuh bagi para pelakunya. Perbankan juga boleh sedikit lebih lega karena skala pembobolan, kendati melibatkan sebuah sindikat kejahatan, tidaklah sebesar yang terjadi pada 8 tahun atau 17 tahun silam. Delapan tahun merujuk pada kasus letter of credit fiktif yang menimpa PT Bank Negara Indonesia Tbk sebesar Rp1,7 triliun. Tujuh belas tahun silam, Anda pasti ingat dengan kasus Edy Tansil, pria yang sukses membobol duit PT Bank Pembangunan Indonesia—Bapindo, kini melebur dalam Bank Mandiri—US$430 juta. Bos Golden Key Group itu, hingga kini lenyap bak ditelan bumi, tanpa ada proses peradilan untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Apakah dengan demikian, telah ada perbaikan manajemen risiko sehingga kerugian akibat fraud bisa ditekan? Tunggu, Kita tidak sedang menghibur diri, tetapi justru menghadapi sebuah risiko laten, yakni pengendalian perilaku para karyawan perbankan. Persis seperti yang diungkapkan Darmin Nasution, Gubernur Bank Indonesia, bahwa selama ini ada hal yang tidak fokus ditangani oleh perbankan, a.l. manajemen risiko, terutama risiko operasional. Pengembangan sumber daya manusia lepas dari perhatian. Dalam situasi seperti ini, perbankan pun juga tak mau terus menjadi bulan-bulanan kritik dan kekhawatiran nasabah atas keamanan mereka. Itulah sebabnya, selain minta maaf, Ketua Perbanas Sigit Pramono mengajak kalangan bankir berbenah dan mawas diri untuk melakukan evaluasi prosedur praktik layanan. Benar ada adagium bahwa perbankan tak bisa mengantisipasi sebuah kejahatan yang sempurna. Namun, bukankah para bankir bisa belajar pada sejarah? Bukan sebaliknya, mudah melupakannya dan menunggu kejadian serupa terulang. ([email protected])