7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lesi Prakanker Leher Rahim Istilah lesi prakanker leher rahim (displasia serviks) telah di kenal luas di seluruh dunia, lesi prakanker disebut juga lesi intraepithel servik (cervical intraepithelial neoplasia). Keadaan ini merupakan awal dari perubahan menuju karsinoma leher rahim. Diawali dengan NIS I (CIN I) karsinoma yang secara klasik dinyatakan dapat berkembang menjadi NIS II, dan kemudian menjadi NIS III dan selanjutnya berkembang menjadi karsinoma leher rahim. Konsep regresi yang spontan serta lesi yang persistent menyatakan bahwa tidak semua lesi prakanker akan berkembang menjadi lesi invasif, sehingga diakui bahwa masih cukup banyak faktor yang berpengaruh (Andrijono, 2010). Hal ini mengisyaratkan bahwa perempuan yang memiliki displasia yang rendah dan ringan, tidak selalu berkembang menjadi kanker leher rahim, karena dapat hilang dan lenyap dengan sendirinya tergantung pada sistem kekebalan tubuh (Suhemi, 2010). Kondisi lesi prakanker diklasifikasikan menjadi : NIS I adalah displasia ringan, NIS II adalah displasia moderat dan NIS III adalah displasia parah ( Suhemi, 2010). Perjalanan lesi prakanker leher rahim sebagai berikut : NIS I, 57 % regresi, 32 % persistent, 11 % progres ke NIS III, dan 1 % progres ke karsinoma. NIS II, 43 % regresi, 35 % persistent, 22 % progres ke NIS III dan 5 % progres ke 23 8 karsinoma. NIS III, 32 % regresi, 56 % persistent, dan lebih dari 12 % progres ke karsinoma. Infeksi HPV merupakan faktor inisiator dari kanker leher rahim. Integrasi DNA virus dengan genom sel tubuh merupakan awal dari proses yang mengarah transformasi. Integrasi DNA virus dimulai pada daerah E1-E2. Integrasi menyebabkan E2 tidak berfungsi dan menyebabkan rangsangan terhadap E6 dan E7 yang akan menghambat p53 dan pRB. Hambatan p53 dan pRB menyebabkan siklus sel tidak terkontrol. Protein E6 akan berikatan dengan p53, dengan demikian fungsi p53 (tumor suppressor gene / menghentikan siklus sel) akan hilang sehingga pertumbuhan sel tidak terkontrol. Penghentian siklus sel bertujuan untuk memberi kesempatan kepada sel untuk memperbaiki kerusakan yang timbul. 2.2 Definisi Kanker Leher Rahim Kanker leher rahim adalah kanker yang tumbuh di dalam leher rahim (serviks) yaitu suatu daerah yang terdapat pada organ reproduksi wanita, yang merupakan pintu masuk kearah rahim (uterus), dengan vagina (Marjikoen, 2007). Diantara berbagai jenis keganasan pada genetalia wanita hanya kanker leher rahim yang dapat dicegah dengan suatu teknik skrining yang cukup efektif, murah dan dapat mendeteksi terhadap keadaan prakanker yang dikenal dengan nama IVA (Inspeksi Visual dengan Asam Asetat). Walaupun sudah banyak dikenal 23 9 masyarakat, namun belum seluruh wanita diatas 30 tahun dan sudah menikah melaksanakan pemeriksaan ini secara rutin. Keterlambatan diagnosa menyebabkan keterlambatan pasien mendapat pengobatan. Pengobatan kanker leher rahim menurut beberapa penulis belum memberikan hasil yang memuaskan. Terutama di Negara berkembang, pasien pada umumnya datang dalam keadaan stadium klinis yang telah lanjut. Waktu yang diperlukan untuk terjadinya lesi prakanker cukup panjang. Periode laten dari fase pra invasif menjadi invasif memerlukan waktu sekitar 10 tahun. Kanker leher rahim sering terjadi pada wanita berusia antara 45-50 tahun dengan puncaknya pada usia 35-39 tahun dan 60-64 tahun, dengan usia rata-rata 52 tahun ( Saefudin, 1999). 2.3 Epidemi Kanker Leher Rahim Berdasarkan laporan, kanker leher rahim ditemukan paling banyak pada usia setelah 40 tahun dan lesi derajat tinggi pada umumnya dapat dideteksi sepuluh tahun sebelum terjadi kanker dengan puncak terjadinya displasia leher rahim pada usia 35 tahun (WHO, 1992). Di Indonesia terjadi peningkatan kejadian kanker dalam jangka waktu 10 tahun. Peringkat kanker sebagai penyebab kematian naik dari peringkat 12 menjadi peringkat 6. Diperkirakan terdapat 190.000 penderita baru dan 1/5 akan meninggal akibat penyakit kanker. Namun akibat kanker bisa dikurangi 3-35 % bila dilakukan tindakan preventif, skrining dan deteksi dini (Dalimartha, 2004). 23 10 Kawin Muda berpengaruh terhadap kejadian kanker leher rahim, (Sandra Van Loon, 1992). Faktor risiko usia menikah pada usia dini berhubungan dengan kejadian kanker leher rahim. Semakin dini seorang perempuan melakukan hubungan seksual semakin tinggi risiko terjadinya lesi prakanker pada leher rahim. Sehingga dengan demikian semakin besar pula kemungkinan ditemukannya kanker leher rahim. Hal ini disebabkan pada usia tersebut terjadi perubahan lokasi sambungan skuamo-kolumner sehingga relatif lebih peka terhadap stimulasi onkogen (Jacobs, N, 2003). Di Kabupaten Wonosobo pada pemeriksaan IVA (Inspeksi Visual dengan Asam Asetat) dari bulan Oktober 2008 sampai dengan bulan April tahun 2009 telah terdeteksi kasus IVA positif sejumlah 209 kasus (Lestari, 2009). Dari kasus IVA positif tersebut terdapat beberapa faktor yang menonjol yaitu umur pertama kali melakukan hubungan seksual, jumlah kehamilan dan partus, jumlah perkawinan, sosial ekonomi, higiene dan sirkumsisi, serta kebiasaan merokok. 2.4 Faktor Risiko Kanker Leher Rahim Faktor risiko adalah faktor yang memudahkan terjadinya infeksi virus HPV dan faktor lain yang memudahkan terjadinya kanker leher rahim atau meningkatkan risiko menderita kanker leher rahim. Menurut American Cancer Society (Suheimi, 2010) faktor-faktor tersebut antara lain : Infeksi Human Papilloma Virus adalah virus yang tersebar luas menular melalui hubungan seksual. Faktor risiko lain meliputi : multi partner, aktivitas seks dini (sebelum 23 11 usia 18 tahun), berhubungan seks dengan laki-laki yang tidak disunat, IMS lain (HIV/AIDS, GO), riwayat keluarga kanker leher rahim, umur lebih dari 40 tahun, kontrasepsi oral (pil KB), merokok, status sosial ekonomi rendah, Ras, diet yang tidak sehat, anak perempuan dari ibu yang minum obat DES (dietilstilbesterol), sering hamil dll. Menurut Andrijono, (2007), faktor penyerta kanker leher rahim antara lain multi paritas, merokok, kontrasepsi hormonal, penyakit hubungan seksual,dan faktor nutrisi. 2.4.1 Usia pertama kali kawin / melakukan hubungan seksual Umur pertama kali melakukan hubungan seksual merupakan salah satu faktor yang penting. Semakin muda seorang perempuan melakukan hubungan seksual pertama kali, semakin besar risiko untuk terjadinya kanker leher rahim. Hubungan seksual pertama dianggap sebagai awal mulanya proses kanker leher rahim pada wanita (Yakub, 1993). Menurut Riono, (1999), Edward (2001), Aziz (2002), (Melva, 2007) wanita menikah di bawah usia 16 tahun biasanya 10-12 kali lebih besar kemungkinan terjadi kanker leher rahim dibandingkan dengan mereka yang menikah diatas usia 20 tahun. Pada usia tersebut rahim seorang remaja putri sangat sensitif. Serviks remaja lebih rentan terhadap stimulus karsinogenik karena terdapat proses metaplasia yang aktif, yang terjadi dalam zona transformasi selama periode perkembangan. Metaplasia epitel skuamosa biasanya merupakan proses 23 12 fisiologis. Tetapi di bawah pengaruh karsinogen, perubahan sel dapat terjadi sehingga mengakibatkan suatu zona transformasi yang patologik. Perubahan yang tidak khas ini menginisiasi suatu proses yang disebut neoplasma intraepitil serviks (Cervical intraepithelial Neoplasia (CIN) yang merupakan fase prainvasif dari kanker leher rahim. 2.4.2 Berganti-ganti pasangan Perilaku seksual yang berganti-ganti pasangan atau multi partner meningkatkan risiko kanker leher rahim meningkat 10 kali lebih besar bila bermitra seks lebih dari 6. Risiko juga meningkat bila melakukan hubungan seksual dengan laki-laki yang bermitra seks multi patner atau mengidap kondiloma akuminata (Aziz, 2002). Wanita yang berganti-ganti pasangan seksual dan melakukan hubungan seks pada usia kurang dari 20 tahun lebih berisiko untuk terjadi kanker leher rahim, karena memperbesar kemungkinan terinfeksi virus HPV (Aziz, 2002). 2.4.3 Multi Paritas Kanker leher rahim sering dijumpai pada wanita yang sering melahirkan. Hal ini dapat terjadi karena perlukaan dan trauma akibat proses melahirkan. Kategori paritas yang berisiko tinggi belum ada keseragaman. Pada umumnya para ahli memberikan batasan antara 3-5 kali melahirkan (Tambunan, G.W., 1995). 2.4.4 Kontrasepsi 23 13 Pemakaian kontrasepsi oral dalam waktu lama lebih dari 4 sampai 5 tahun dapat meningkatkan risiko terjadinya kanker leher rahim sebesar 1,5-2,5 kali (Hidayati, 2001). Kontrasepsi oral menyebabkan wanita sensitif terhadap HPV yang menyebabkan adanya peradangan pada genetalia, sehingga berisiko terkena kanker leher rahim (Hidayati, 2001). Pil kontrasepsi oral diduga akan menyebabkan defisiensi asam folat, yang mengurangi metabolisme mutagen sedangkan estrogen kemungkinan menjadi salah satu ko-faktor yang dapat membuat replikasi DNA HPV. Menurut Andrijono, 2007, penggunaan kontrasepsi hormonal meningkatkan risiko menderita kanker leher rahim. Penggunaan kontasepsi hormonal 10 tahun meningkatkan risiko sampai dua kali. 2.4.5 Merokok Tembakau mengandung bahan karsinogen, baik yang diisap sebagai rokok atau yang dikunyah. Asap rokok mengandung nikotin. Wanita perokok, konsentrasi nikotin pada getah serviks 56 kali lebih tinggi dibandingkan di dalam serum. Efek langsung bahan tersebut pada leher rahim akan menurunkan status imun lokal, sehingga dapat menjadi ko-karsinogen. Hasil penelitian, bila merokok 20 batang setiap hari resiko untuk terkena kanker leher rahim adalah tujuh kali dibanding orang yang tidak merokok. Bila merokok 40 batang setiap hari risiko untuk terkena kanker leher rahim adalah 14 kali dibanding orang yang tidak merokok. Penelitian menyimpulkan bahwa semakin banyak dan lama wanita 23 14 merokok maka semakin tinggi risiko terkena kanker leher rahim (Hidayati,2001, Melva, 2008). 2.4.6 Sosial Ekonomi Rendah Banyaknya penderita kanker leher rahim dari keluarga dengan status kurang berkaitan dengan kemampuan keluarga dalam memenuhi kebutuhan gizi. Kurangnya konsumsi sayur dan buah-buahan meningkatkan risiko kanker leher rahim, karena kurangnya pasokan vitamin A, C, E dan beta carotin yang berfungsi sebagai anti oksidan. Penurunan anti oksidan mengakibatkan penurunan PH serviks, sehingga menimbulkan neoplasma sel dan infeksi human papiloma virus (elwinzai, 2007, Tara.E, 2001) 2.5 Inflamasi Leher Rahim Leher rahim pada wanita yang sudah menikah sering mengalami infeksi, dengan gejala keputihan. Sebagian proses infeksi dapat sembuh sendiri, dan kadang-kadang ada hubungan dengan keganasan leher rahim. Penyebab infeksi leher rahim antara lain : infeksi (protozoa, kuman, jamur dan virus), mekanis (IUD, tampon, pesarium trauma selama senggama), perubahan hormonal (pemakaian kontrasepsi pil/suntik), anatomis (polip), bahan kimia (cairan pencuci vagina), keganasan (kanker leher rahim). Oleh karena itu dianjurkan kepada semua wanita yang telah menikah atau wanita dengan kegiatan seksual aktif, untuk melaksanakan deteksi dini lesi 23 15 prakanker leher rahim baik dengan Pap Smear maupun dengan metode IVA (Suheimi, 2010). 2.6 Infeksi Virus HPV Virus HPV dikenal sebagai Human Papilloma virus yang menyerang pada bagian kulit dan lapisan lembab sepanjang tubuh kita seperti : selaput di dalam mulut dan tenggorokan, serviks dan anus. Sejak tahun 1980 banyak peneliti dalam bidang biologi molekuler telah menunjukkan identitas karakteristik dari virus HPV dan peranannya sebagai agens onkogenik. Diperkirakan saat ini jumlah wanita berusia hingga 50 tahun yang terinfeksi HPV sebanyak 70-80 % (Mortakis, Alexandros, 2007). Menurut Prof. DR. Harald Zur Hausen penemu virus HPV : bahwa saat ini ada 150 jenis HPV dan di masa depan jumlah ini akan bertambah. Ada 20 jenis HPV di samping jenis HPV 16 dan HPV 18 yang menyebabkan kanker. Jenis yang lain ini mempengaruhi 30% dari jumlah kasus kanker leher rahim secara global. Human Papiloma Virus adalah faktor utama penyebab kanker leher rahim. Virus ini tidak langsung membentuk kanker leher rahim, melainkan HPV bereaksi dengan faktor-faktor lainnya sehingga menyebabkan mutasi genetik. Kegagalan sistem pertahanan dan kekebalan tubuh sehingga terjadilah sel abnormal yang berkembang menjadi kanker. 2.7 Patogenesis Kanker leher rahim 95 % terdiri dari karsinoma skoamosa dan sisanya merupakan adenoma karsinima dan jenis kanker lain. Hamper semua kanker leher 23 16 rahim di dahului derajat pertumbuhan prakarsinoma yaitu displasia dan karsinoma in-situ. Proses perubahan dimulai didaerah sambungan skuamosa-kolumner (SSK) dari selaput lendir porsiogan. Perubahan mula-mula ditandai dengan atipik dengan mitosis aktif, susunan sel teratur meliputi sepertiga basal lanjut, maka perubahan disebut displasia ringan. Bila perubahan berlanjut maka perubahan akan melibatkan dua pertiga atau seluruh lapisan epidermis, dan masing-masing disebut displasia sedang, berat, kanker in-situ yang sangat potensial menjadi kanker invasif. 2.8 Sitologi Displasia Secara histologi, spektrum perubahan epitel yang meliputi neoplasia intra epithelial cervical diklasifikasikan secara kuantitatif berdasarkan jumlah sel abnormal yang tidak berdiferensiasi yang menempati seluruh ketebalan epitel serviks. Pada displasia terdapat proliferasi sel-sel basal atipik yang mempunyai rasio inti sitoplasma yang meningkat. Apabila proliferasi sel-sel yang abnormal mengenai kurang dari sepertiga bagian bawah tebalnya lapisan epitel serviks, lesi disebut displasia ringan (NIS I). Apabila proliferasi sel abnormal mengenai sepertiga sampai dua pertiga bagian bawah tebalnya lapisan sel epitel serviks, lesi disebut displasia sedang (NIS II). Apabila proliferasi sel abnormal mengenai lebih dari duapertiga bagian bawah tebalnya lapisan sel epitel serviks, lesi disebut displasia berat (NIS III). Apabila sel-sel abnormal mengenai seluruh tebalnya lapisan epitel serviks disertai hilangnya polaritas sel-sel yang normal, inti 23 17 menjadi pleiomorfik, hiperkromatik dan mitosis meningkat disebut sebagai karsinoma insitu. World Health Organization (1973), telah mengembangkan sistem klasifikasi sitologi standar yaitu displasia ringan, sedang, berat dan karsinoma insitu. Richart (1973) memperkenalkan cervical intraepithelial neoplasia (CIN) atau neoplasma intraepitel serviks (NIS), mencakup semua lesi prakanker dari epitel serviks uteri. 2.9 Sambungan Skuamo-Kolumner dan Zona Transformasi Selama masa anak-anak dan perimenarche sambungan skuamo-kolumner sangat dekat dengan osteum uteri eksterna. Setelah masa pubertas dan selama masa reproduksi organ wanita berkembang karena pengaruh estrogen. Serviks menjadi sembab dan membesar serta kanalis endoserviks memanjang. Hal ini akan mengakibatkan SSK menuju ektoserviks. Karena suasana asam vagina, epitel kolumner mengalami pergantian oleh epitel skuamosa metaplastik. Proses metaplasia berawal dari sambungan skuamo-kolumner berjalan menuju osteum uteri eksterna. Zona transformasi disebut normal bila mengandung sel-sel skuamosa metaplasia imatur dan atau matur dengan diselingi sel-sel epitel kolumner, tanpa tanda-tanda karsinogenik. Zona trasformasi abnormal atau atipikal bila ditemukan tanda-tanda karsinogenik seperti perubahan displasia ditemukan pada zona transformasi. 2.10 Stadium Kanker Leher Rahim 23 18 Berdasarkan FIGO 1992, (Andrijono, 2005) stadium klinis karsinoma serviks adalah : 1. Karsinoma pre invasif Stadium 0 : karsinoma insitu, karsinoma intra-epithelial (selaput basal utuh) 2. Karsinoman invasif Stadium 1 : karsinoma terbatas pada serviks A : karsinoma mikroinvasif dini, diagnose dengan mikroskopis. B : invasi stoma minimal. A2 : lesi secara mikroskopik dapat diukur, dalamnya kurang dari 7 mm. B : lesi lebih dari IA2 Stadium 2 : karsinoma keluar dari serviks, mengenai vagina tetapi 1/3 distal masih bebas atau infiltrasi ke parametrium tetapi belum mencapai dinding panggul. IIA : mengenai vagina parametrium masih bebas. IIB : parametrium sudah terkena. III : karsinoma mengenai dinding panggul, 1/3 distal vagina. IIIA : belum mengenai dinding panggul IIIB : mencapai dinding panggul atau hidronefrosisi atau ginjal non fungsi ( kecuali diketahui penyebab lain) IV : sudah meluas ke luar panggul (true pelvis) IVA : menyebar ke organ sekitar (buli-buli,rectum) 23 19 IVB : menyebar ke organ jauh. 2.11 Pencegahan Kanker Leher Rahim Ada 2 pencegahan antara lain : 1. Pencegahan primer adalah pencegahan faktor penyebab kanker leher rahim yaitu mencegah terjadinya infeksi HPV baik dengan cara menghindari faktorfaktor yang menyebabkan infeksi HPV dan melakukan vaksinasi HPV (Suwiyoga, 2010). Cara mencegah infeksi HPV yaitu : menghindari kontak dengan yang menderita infeksi HPV, memakai kondom, setia dengan pasangan, membatasi jumlah pasangan seks, memilih pasangan yang tidak memiliki atau sedikit pasangan seks sebelumnya ( Faizah, 2010). 2. Pencegahan sekunder dapat dilakukan skrining baik dengan metode IVA maupun pap smear (Misha Datta, 2010). 2.12 Pemeriksaan Inspeksi Visual Asam Asetat (IVA) Pemeriksaan IVA adalah pemeriksaan yang pemeriksanya (dokter, bidan, paramedis) mengamati serviks yang telah diolesi asam asetat/asam cuka 3-5% secara inspekulo dan dilihat dengan pengamatan mata langsung (Sjamsudin, S, 2000). Sebagai suatu pemeriksaan skrining alternatif. Pemeriksaan IVA mempunyai beberapa kelebihan dibandingkan uji yang sudah ada. Kelebihan yang dimaksud yaitu efektif (tidak jauh berbeda dengan uji diagnostik standar), lebih mudah dan murah, peralatan yang dibutuhkan lebih sederhana. Hasilnya 23 20 segera diperoleh sehingga tidak memerlukan kunjungan ulang, cakupannya lebih luas, dan pada saat penapisan tidak dibutuhkan tenaga skrinner untuk memeriksa sediaan sitologi (Budiana, 2009). Pemberian asam asetat akan mempengaruhi epitel abnormal bahkan juga akan meningkatkan osmolaritas cairan ekstraseluler. Cairan ektraseluler yang bersifat hipertonik ini akan menarik cairan dari intraseluler sehingga membran akan kolaps dan jarak antar sel akan semakin dekat. Sebagai akibatnya jika permukaan sel mendapat sinar, maka sinar tersebut tidak akan diteruskan ke dalam stroma tetapi dipantulkan keluar sehingga permukaan epitel abnormal akan berwarna putih atau disebut juga epitel putih. Jika makin putih dan makin jelas, makin tinggi derajat kelainan histologiknya. Efek asam asetat akan menghilang sekitar 50-60 detik sehingga dengan pemberian asam asetat akan didapatkan hasil gambaran serviks yang normal (merah homogen) atau bercak putih (mencurigai displasia). Pada epitel yang abnormal (atipik), didapatkan ketebalan yang bertambah dan perubahan struktur epitel akan menyebabkan cahaya yang dipantulkan tampak opak, gambaran opak tampil sebagai bercak putih. Hasil pemeriksaan IVA di kategorikan sebagai berikut : 1. Negatif : licin, merah muda, bentuk porsio normal 2. Positif : plak putih, epitel acetowhite (bercak putih), indikasi lesi prakanker leher rahim (Hartono P, 2001). 23 21 2.13 Pengobatan Kanker Leher Rahim Kanker Leher Rahim dapat disembuhkan, kemungkinan keberhasilan terapi kanker leher rahim stadium I adalah 85%, stadium II adalah 60%, stadium III adalah 40%. Pengobatan kanker leher rahim tergantung stadium penyakit. Pada stadium IB-IIA dapat diobati dengan pembedahan, radiasi (penyinaran) dan kemoterapi. Sedangkan stadium IIB ke atas diobati dengan radiasi saja atau kombinasi radiasi dengan kemoterapi (kemoradiasi). Pembedahan dilakukan dengan mengambil daerah yang terserang kanker, biasanya uterus beserta leher rahimnya. Bentuk pembedahan antara lain : 1. Cryosurgery yaitu pengobatan dengan cara membekukan dan menghancurkan jaringan abnormal (biasanya untuk stadium pra-kanker leher rahim). 2. Bedah laser : untuk memotong jaringan atau permukaan lesi pada kanker leher rahim. 3. Loop electrosurgical excision procedure (LEEP) : menggunakan arus listrik yang dilewati pada kawat tipis untuk memotong jaringan yang abnormal kanker leher rahim. 4. Total histerektomi yaitu pengangkatan seluruh rahim dan serviks. 5. Radikal histerektomi yaitu pengangkatan seluruh rahim dan serviks, indung telur, tuba falopii maupun kelenjar getah bening di dekatnya (Julisar L, 2010). 23