JUDUL PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PEKERJA YANG BEKERJA DI RUMAH TANGGA MENURUT HUKUM POSITIF YANG BERLAKU DI INDONESIA MOH. DENDY SETIAWAN D1A 009 152 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MATARAM MATARAM 2016 Halaman Pengesahan PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PEKERJA YANG BEKERJA DI RUMAH TANGGA MENURUT HUKUM POSITIF YANG BERLAKU DI INDONESIA JURNAL Untuk memenuhi sebagian persyaratan Guna mencapai derajat sarjana strata satu (S-1) Pada program studi Ilmu hukum Oleh: MOH. DENDY SETIAWAN D1A 009 152 Menyetujui, Pembimbing Utama DR. Any Suryani Hamzah.SH.M.Hum NIP.196407061990012001 PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PEKERJA YANG BEKERJA DI RUMAH TANGGA MENURUT HUKUM POSITIF YANG BERLAKU DI INDONESIA NAMA : MOH.DENDY SETIAWAN NIM : D1A009152 FAKULTAS : HUKUM UNIVERSITAS MATARAM ABSTRAK Karena belum ada aturan didalam Undang-Undang no 13 Tahun 2003 tersebut mengenai pekerja rumah tangga , bagaimana jika hak-hak dari pekerja rumah tangga tersebut tidak dipenuhi atau pekerja rumah tangga yang mayoritas perempuan mengalami pelecehan terhadap dirinya. Tujuan Penelitian yaitu untuk mengetahui dan memahami pengaturan tentang perlindungan hukum bagi pekerja rumah tangga menurut hukum positif yang berlaku. Dengan hasil pembahasan Di dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan perlindungan mengenai Pekerja rumah tangga tidak diatur secara eksplisit namun Pengaturan tentang perlindungan hukum bagi pekerja rumah tangga telah diatur di dalam hukum positif yang berlaku di Indonesia yaitu termuat di dalam: Undang-Undang Dasar. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Undang-Undang Anti Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Kata Kunci : Pekerja rumah tangga LEGAL PROTECTION FOR WORKERS WHO WORK IN THE HOUSEHOLD BY POSITIVE LAW IN INDONESIA ABSTRACT Because there are no rules in Act No. 13 of 2003 is on domestic workers, what if the rights of domestic workers are not met or that the majority of domestic workers are women experiencing harassment against him,.The research goal is to know and understand the regulation of legal protection for domestic workers under the applicable positive law, the research method used is a normative legal research. With the results of the discussion in the Employment Act regarding the protection of domestic workers is not set explicitly, but regulation of legal protection for domestic workers has been set up in the positive law in Indonesia that is contained in: Constitution. Keywords: Domestic workers I PENDAHULUAN Ketentuan Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 mengatur bahwa “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”. Ketentuan ini ditegaskan lagi pada Pasal 28 D (2) yang mengatur bahwa setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja. Namun demikian, dalam kenyataan di lapangan, para pekerja rumah tangga (PRT) belum dan jarang disebut sebagai pekerja (worker), melainkan hanya sebagai pekerja (helper). Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan dikonsepkan hanya memberikan perlindungan hukum bagi pekerja Formal. Pemerintah selaku pemegang kedaulatan seharusnya memberikan perlindungan hukum bagi pekerja dalam bentuk peraturan perundang-undangan dan kebijakan publik. Interpretasi pemerintah saat ini dalam Undang-Undang ketenagakerjaan tidak menjangkau para PRT ke dalam sistem perundangan umum mengenai hubungan kerja. Kendati pekerja didefinisikan pada Pasal 1 sebagai “seseorang yang bekerja untuk mendapatkan upah atau bentuk imbalan lain,” masalah penafsiran berasal dari fakta bahwa dua istilah untuk majikan digunakan di dalam undang-undang tersebut. Pengusaha (badan usaha) tunduk pada semua kewajiban standar usaha berdasarkan undang-undang, sedangkan pemberi kerja hanya menanggung sebuah kewajiban umum untuk memberikan perlindungan bagi kesejahteraan para pekerjanya, keselamatan dan kesehatan, baik mental maupun fisik (Pasal 35). Karena belum ada aturan didalam Undang-Undang no 13 Tahun 2003 tersebut mengenai pekerja rumah tangga , bagaimana jika hak-hak dari pekerja rumah tangga tersebut tidak dipenuhi atau pekerja rumah tangga yang mayoritas perempuan mengalami pelecehan terhadap dirinya, bagaimana bentuk perlindungan hukum terhadap para pekerja yang hak-haknya tidak dipenuhi oleh majikannya atau kekerasan/pelecehan terhadap dirinya. Bagaimana pengaturan tentang perlindungan hukum bagi pekerja rumah tangga menurut hukum positif yang berlaku di Indonesia ? Faktor-faktor apakah yang menghambat perlindungan Hukum terhadap Pekerja Rumah Tangga? Untuk mengetahui dan memahami pengaturan tentang perlindungan hukum bagi pekerja rumah tangga menurut hukum positif yang berlaku; Bermanfaat bagi pengembangan Hukum Ketenagakerjaan, khususnya sebagai bahan masukan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan Perlindungan Hukum bagi Pekerja Rumah Tangga. Penelitian ini tergolong dalam jenis penelitian hukum normatif yakni penelitian yang mengkaji peraturan perundang-undangan dalam suatu tata hukum yang koheren. 1 Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu: 2 A,Pendekatan perundang-undangan (statute approach) yakni dengan mengkaji dan meneliti peraturan-perundangan ketenagakerjaan serta peraturan perundang undangan lain yang berhubungan dengan perlindungan hukum bagi pekerja rumah tangga.B,Pendekatan konsep (konseptual approach), yaitu pendekatan yang dilakukan dengan mengkaji pendapat para ahli yang berkaitan dengan penelitian yang dibahas. 1 Soetandyo Wignjosoebroto, Sebuah Pengantar ke Arah Perbincangan tentang Pembinaan Penelitian Hukum dalam PJP LI, BPHN Departemen Kehakiman, Jakarta, 1995, hlm. 5 2 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Cetakan Ketiga, (UI-PRESS) Universitas Indonesia, Jakarta, 1986. Hlm. 56 II PEMBAHASAN PENGATURAN TENTANG PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PEKERJA RUMAH TANGGA MENURUT HUKUM POSITIF YANG BERLAKU DI INDONESIA Walaupun di dalam sistem Undang-Undang Ketenagakerjaan tidak menjangkau para PRT, sejumlah Undang-Undang Nasional lainnya memberikan perlindungan perlindungan hukum bagi pekerja rumah tangga menurut hukum positif di Indonesia antara lain: Undang-Undang Dasar Dimana memuat berbagai perlindungan terhadap hak asasi manusia, termasuk:1.Setiap anak memiliki hak untuk hidup, tumbuh dan dilindungi terhadap tindak kekerasan dan diskriminasi: Pasal 28B (2).2.Setiap orang memiliki hak untuk meningkatkan diri sendiri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya…: Pasal 28C (1).3.Setiap orang memiliki hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil dan juga perlakuan yang sama dihadapan hukum: Pasal 28D (1).4.Setiap orang berhak atas kesempatan kerja dan menerima kompensasi yang adil dan wajar dari hubungan kerja: Pasal 28D (2).5.Setiap orang bebas untuk ... memilih pekerjaannya: Pasal 28E (1).6.Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan mendapatkan informasi untuk mengembangkan kepribadiannya dan lingkungan sosialnya: Pasal 28F.7Setiap orang berhak atas perlindungan diri sendiri, keluarga, kehormatan, martabat, dan kekayaan yang berada dibawah wewenangnya, dan juga berhak untuk merasa aman dan dilindungi dari ancaman-ancaman atas ketakutan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu menurut hak-hak dasar: Pasal 28G (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana KUHP meliputi para PRT hanya sampai batas bahwa Kitab Undangundang Hukum Perdata mencakup semua orang. Tidak ada perlindungan khusus bagi PRT secara perorangan, di dalam KUHP memuat aturan mengenai perlindungan terhadap hak-hak sebagai warga negara indonesia yaitu memperoleh perlindungan terhadap tindakan kekerasan dan kesewenang-wenangan dari majikan yaitu termuat di dalam Pasal antara lain: 1.Pemerkosaan dan serangan seksual: Pasal 285-291. 2.Perdagangan perempuan dan anak-anak: Pasal 297. 3.Perdagangan budak: Pasal 324-327. 4.Penculikan: Pasal 328-329. 5.Menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk memaksa seseorang melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan keinginannya: Pasal 335. 6.Pembunuhan: Pasal 338-350. 7.Pelecehan: Pasal 351-358. 8.Pemalsuan dokumen: Pasal 378 Undang-Undang Anti Kekerasan Dalam Rumah Tangga Aturan mengenai perlindungan terhadap pekerja rumah tangga di UndangUndang anti kekerasan dalam rumah tangga antara lain termuat di dalam: Pasal 6 meliputi beberapa tanggung jawab kepolisian dalam menangani laporan kekerasan dalam rumah tangga. Tanggung jawab ini termasuk tanggung jawab untuk memberikan perlindungan, menindak lanjuti pengaduan dan menginformasikan para korban tentang hak-hak mereka. Pasal 10 menyebutkan bahwa korban-korban kekerasan memiliki hak untuk mendapatkan akses terhadap: 1. Perlindungan oleh keluarga, kepolisian, jaksa penuntut, pengadilan, pengacara, organisasi sosial dan pihak-pihak lain. 2. Perawatan kesehatan, 3. Penanganan secara baik dan rahasia atas kasus mereka, 4. Dukungan dari pekerja sosial dan bantuan hukum, 5. Bimbingan spiritual. Pasal 15 mengharuskan semua orang yang mengetahui adanya situasi yang melibatkan kekerasan dalam rumah tangga untuk mengambil segala langkah yang mungkin untuk memberikan perlindungan dan membantu agar kasus tersebut diproses oleh yang berwajib. Undang-Undang Perlindungan Anak Aturan mengenai perlindungan pekerja rumah tangga termuat di dalam Undang-Undang perlindungan Perlindungan Anak yaitu (Pasal 59, dan Bab XII di dalam Undang-Undang Perlindungan Anak) yang akan dijabarkan dibawah ini: Pasal 59 UU Perlindungan Anak menyebutkan bahwa “badan-badan pemerintah eksekutif dan badan-badan pemerintah lainnya” memiliki tanggung jawab memberikan “perlindungan khusus” kepada anak-anak (semua orang berusia di bawah usia 18 tahun) di dalam keadaan-keadaan tertentu. Beberapa di antara keadaan ini mencakup para PRT anak dalam beberapa situasi, termasuk:1.anak-anak yang dieksploitasi secara ekonomi atau sosial. 2.anak-anak yang diperjualbelikan. 3.anak-anak yang diculik Bab XII UU tersebut mencakup hukuman kurungan sampai 15 tahun untuk orang-orang yang memperdagangkan atau menculik anak-anak, 10 tahun bagi yang menyebabkan seorang anak 15 dieksploitasi secara ekonomi atau seksual, dan 5 tahun bagi yang mengetahui situasi-situasi ini tetapi tidak melakukan apaapa. Undang-Undang Pendidikan Nasional Di dalam Undang-Undang pendidikan Nasional Pekerja Rumah Tangga melarang pekerja yang di usia masih sekolah karena itu di dalam undang-undang tersebut mengharuskan anak harus mendapatkan pendidikan antara lain dalam (Pasal 6, Pasal 7, dan Pasal 11). Undang-Undang Pendidikan Nasional menyebutkan bahwa setiap orang yang berusia antara 7 sampai 15 tahun harus bersekolah. UU tersebut mengharuskan semua warga negara (Pasal 6), Orang Tua (Pasal 7) pemerintah nasional dan daerah (Pasal 11) bertanggungjawab untuk menjamin bahwa pendidikan bagi semua orang yang termasuk dalam usia ini bisa terjadi. Undang-Undang Pendidikan Nasional tersebut tidak menyebutkan langkah-langkah apa yang harus diambil oleh warga negara dan pemerintah untuk menjamin agar anak-anak bersekolah. Lebih lanjut, UU ini tidak menyebutkan mengenai sanksi bagi orang-orang yang memperkerjakan anak-anak dengan cara sedemikian rupa sehingga mengganggu akses mereka terhadap wajib belajar. Undang-Undang Hak Asasi Manusia Undang-Undang HAM memuat daftar serangkaian HAM yang harus dihormati oleh negara dan semua warga negara. Banyak di antara hak-hak asasi manusia ini mempengaruhi para PRT, misalnya:1.Setiap orang memiliki hak atas kebutuhan dasar untuk tumbuh dan berkembang secara layak (Pasal 11). 2.Setiap orang memiliki hak atas perlindungan bagi pengembangan pribadi, untuk mengakses pendidikan, meningkatkan pengetahuan, meningkatkan mutu hidup … (Pasal 12). 3.Setiap warga negara memiliki hak untuk memperoleh pekerjaan-pekerjaan yang pantas, sesuai dengan bakat dan keterampilannya (Pasal 38 (1). 4.Setiap warga negara memiliki hak untuk memilih secara bebas pekerjaannya dan dipekerjakan berdasarkan kondisi-kondisi yang adil (Pasal 38 (2). 5.Setiap orang memiliki hak atas upah yang adil, sesuai dengan standar pekerjaan yang telah diselesaikan dan cukup untuk menghidupi keluarganya (Pasal 38 (4). 6.Setiap anak memiliki hak untuk mendapatkan perlindungan hukum dari kekerasan mental, fisik dan seksual ... (Pasal 58).7.Setiap anak memiliki hak atas pendidikan … (Pasal 60). 8.Setiap anak memiliki hak atas perlindungan dari eksploitasi ekonomi dan pekerjaan berbahaya yang bisa mengganggu pendidikan, kesehatan fisik, moralitas, kehidupan social atau kesejahteraan mental/spiritual anak tersebut (Pasal 64).9.Setiap anak memiliki hak atas perlindungan dari eksploitasi seksual, penculikan, perdagangan dan narkoba (Pasal 65) UU HAM tidak memuat pedoman kongkrit mengenai bagaimana hak-hak ini diberlakukan atau sanksi untuk pelanggarannya. Faktor-faktor yang menghambat perlindungan Hukum terhadap Pekerja Rumah Tangga Jumlah perempuan sebagai PRT meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2013 jumlah PRT di Indonesia sebanyak 10.744.887 orang dan hampir 90 % diantaranya adalah PRT perempuan. Data PBB bahkan menunjukkan bahwa 1/3 penduduk dunia hidup di bawah garis kemiskinan dan sekitar 70% diantaranya adalah perempuan.3 Banyaknya permasalahan yang dihadapi perempuan sebagai PRT disebabkan belum adanya jaminan terhadap hak-hak mereka, dalam hal ini perlindungan terhadap profesi ini masih belum memadai. Permasalahan tersebut misalnya dari gaji yang tidak dibayar, gaji yang tidak wajar, pelecehan atau kekerasan, baik secara fisik, psikis, seksual atau penelantaran rumah tangga. Kaum perempuan sebagai PRT potensial mengalami kekerasan fisik atau penyiksaan yang dilakukan anggota rumah tangga terutama majikan dan anak majikan tempat PRT bekerja. Di dalam Undang-Undang No.13 Tahun 2003 tidak menjangkau perlindungan hukum terhadap PRT, tetapi sejumlah peraturan perundang- 3 2014 www.hukumonline.com/perlunyaperlindunganhukumterhadapPRT/ di akses 5 September undangan nasional telah mengatur dan memberikan perlindungan di bidangbidang tertentu, meski secara terpisah dan terbatas. Perlindungan terhadap PRT diberikan dengan mengingat asas penghormatan hak asasi manusia dan keadilan serta kesetaraan. Perlindungan tersebut bertujuan untuk memberikan pengakuan secara hukum atas jenis pekerjaan PRT, pengakuan bahwa pekerjaan kerumahtanggaan mempunyai nilai ekonomis, mencegah segala bentuk diskriminasi, pelecehan dan kekerasan terhadap PRT, perlindungan kepada PRT dalam mewujudkan kesejahteraan, mengatur hubungan kerja yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, keadilan dan kesetaraan. PRT secara nomatif sebagai pekerja telah dilindungi oleh berbagai peraturan perundang-undangan maupun Konvensi internasional, namun kenyataan PRT merupakan profesi yang sangat rentan terutama PRT perempuan. Selama ini PRT perempuan masih mengalami diskriminasi, karena PRT perempuan memiliki kerentanan yang secara umum disebabkan oleh berbagai faktor yaitu:a. keberadaan PRT sangat tergantung permintaan pasar; b. Sangat jarang ada kontrak kerja tertulis yang adil dan menjadi kesepakatan bersama pihak-pihak yang terlibat, hal ini berakibat majikan memegang posisi tawar jauh lebih kuat dan PRT tidak memperoleh perlindungan; c. Salah satu keuntungan PRT adalah fleksibilitas dalam mengatur jam kerja, dalam kenyataan PRT sering harus bekerja lebih keras dan lebih lama setiap harinya; dan d. Upah PRT yang diperoleh sangat rendah bila dibandingkan dengan jam kerjanya. Selain faktor-faktor tersebut, terdapat beberapa faktor yang mengakibatkan masih lemahnya perlindungan hukum dan sosial bagi PRT, baik aspek yuridis maupun aspek sosial. Aspek yuridis, meliputi: a. Adanya anggapan bahwa PRT bukan pekerja; dan b. Tempat kerja PRT berpotensi menimbulkan kekerasan. Aspek sosial meliputi: a. Relasi kekuasaan yang tidak seimbang; b. Status sosial PRT yang rendah dan kurang dihargai; dan c. Kultur masyarakat; serta pekerjaan yang dilakukan PRT tidak dianggap sebagai pekerjaan produktif. Faktor sub ordinasi dan stereotip juga mengakibatkan lemahnya perlindungan hak-hak PRT. Konsep sub ordinasi bahwa relasi kerja antara majikan dan PRT yang didasarkan pada relasi kekuasaan yang tidak seimbang. III. PENUTUP Simpulan Di dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan perlindungan mengenai Pekerja rumah tangga tidak diatur secara eksplisit namun Pengaturan tentang perlindungan hukum bagi pekerja rumah tangga telah diatur di dalam hukum positif yang berlaku di Indonesia yaitu termuat di dalam: Undang-Undang Dasar (Pasal 28B (2), Pasal 28C (1), Pasal 28D (1), Pasal 28D (2), Pasal 28E (1), Pasal 28F, Pasal 28G (1). Kitab UndangUndang Hukum Pidana (Pasal 285-291, Pasal 297, Pasal 324-327, Pasal 328-329, Pasal 335, Pasal 338-350, Pasal 351-358 serta Pasal 378). Undang-Undang Anti Kekerasan Dalam Rumah Tangga (Pasal 6, Pasal 10, Pasal 15). Undang-Undang Perlindungan Anak, (Pasal 59, dan Bab XII di dalam Undang-Undang Perlindungan Anak) Undang-Undang Pendidikan Nasional (Pasal 6, Pasal 7, dan Pasal 11). Undang-Undang Hak Asasi Manusia (Pasal 11, Pasal 12, Pasal 38 (1), Pasal 38 (2), Pasal 38 (4), Pasal 58, Pasal 60, Pasal 64, Pasal 65). Faktor-faktor yang menghambat perlindungan Hukum terhadap Pekerja Rumah Tangga yaitu disebabkan belum adanya jaminan terhadap hak- hak mereka, dalam hal ini perlindungan terhadap profesi ini masih belum memadai. Permasalahan tersebut misalnya dari gaji yang tidak dibayar, gaji yang tidak wajar, pelecehan atau kekerasan, baik secara fisik, psikis, seksual atau penelantaran rumah tangga. PRT jarang sekali disebut sebagai pekerja (workers), melainkan hanya sekedar sebagai pembantu (helper). Hal ini memperkuat keengganan budaya untuk memformalkan hubungan antara para pekerja rumah tangga dengan majikan. Saran Bagi pemerintah agar segera merevisi Undang-Undang no 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan agar Pekerja Rumah tangga mendapat perlindungan hukum di dalam undang-undang tersebut agar hak-hak para pekerja rumah tangga tidak di simpangi. Bagi wakil rakyat yang baru dilantik yaitu periode DPR 2014-2019, agar pemerintah segera mengesahkan RUU PPRT tersebut sebagai payung hukum dalam memberikan perlindungan hukum kepada PRT khususnya perempuan. Sebagaimana diketahui bahwa hampir 90% pekerja rumah tangga (PRT) adalah dari kaum perempuan. DAFTAR PUSTAKA Buku-Buku Abdul R. Saliman, Hermansyah, dan Ahmad Jalis, Hukum Bisnis Untuk Perusahaan, cet. II, Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2006. Erlina B, Pengaruh Globalisasi terhadap Perkembangan Hak Asasi Manusia Bidang Ekonomi, Sosial, Budaya di Indonesia, Jurnal Ilmu Hukum Pranata Hukum, Vol. 2 No. 2, Tahun 2011, Bandar Lampung: Program Studi Magister Ilmu Hukum PPS Universitas Bandar Lampung. H. Muchsin, Menelantarkan Keluarga Merupakan Delik Omisionis, Jurnal Varia Peradilan, Vol. XXVI No. 303 Tahun 2011, Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan HAM RI. 2011. Lalu Husni, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003. Lembaga Bantuan Hukum Perempuan Indonesia (LBH APIK), Kertas Posisi Usulan Revisi Perda DKI Jakarta No 6 Tahun 1993 tentang Pramuwisma. LBH APIK Jakarta, 2002. Maryanti, Upaya Perlindungan PRT (Effort to Protect Domestic Workers), Jurnal Perempuan, Vol 39, Januari 2005, hlm 15. See also “Activists Call For Rulling to Protect Domestic Workers”, The Jakarta Post, 10 March 2005 Muchsin, Perlindungan Anak Dalam Perspektif Hukum Positif (Tinjauan HAN, Hukum Perdata dan Hukum Pidana), Jurnal Varia Peradilan, Vol. XXVI, No. 308 Tahun 2011, Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan HAM RI. Paus Hadisupratpto, Metode Penelitian Hukum Normatif, forum komunikasi mahasiswa pasca sarjana ilmu hukum, fakultas hukum, universitas brawijaya, Malang 2008. Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, Sendi-Sendi Ilmu Hukum dan Tata Hukum, Bandung, Alumni. 1986. Rabiatul Syariah, “Keterkaitan Budaya Hukum Dengan Pembangunan Hukum Nasional”, Jurnal Hukum Equality, Vol. 13 No. 1, Tahun 2008, Medan: Fakultas Hukum USU. JUDUL PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PEKERJA YANG BEKERJA DI RUMAH TANGGA MENURUT HUKUM POSITIF YANG BERLAKU DI INDONESIA MOH. DENDY SETIAWAN D1A 009 152 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MATARAM MATARAM 2015 Bab I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ketentuan Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 mengatur bahwa “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”. Ketentuan ini ditegaskan lagi pada Pasal 28 D (2) yang mengatur bahwa setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja. Namun demikian, dalam kenyataan di lapangan, para pekerja rumah tangga (PRT) belum dan jarang disebut sebagai pekerja (worker), melainkan hanya sebagai pekerja (helper). Pandangan masyarakat yang menganggap bahwa hubungan antara PRT dengan majikan hanya sebagai hubungan yang bersifat pribadi. Para majikan memandang peranan mereka sebagai peranan peternalistik, mereka melindungi, memberi makan, tempat tinggal, pendidikan dan memeberikan uang saku kepada pekerja rumah tangga sebagai imbalan atas tenaga yang diberikan. Diperkuat lagi bahwa pekerjaan yang dilakukan PRT dilaksanakan di dalam rumah keluarga yang dipandang tidak produktif secara ekonomi. Sampai saat ini belum ada rumusan khusus yang bersifat formal tentang pengertian PRT (domestic workers) dalam sistem hukum dan peraturan perundang-undangan di indonesia. Kata pekerja (worker) dari PRT merupakan sebuah wancana baru yang dikembangkan oleh lembaga swadaya masyarakat dan organisasi perburuhan internasional (internasional labour organization/ILO) untuk menggantikan kata “pekerja”. 4 Perubahan istilah ini, pekerjaan domistik, diharapkan dapat diakui sebagai sebuah pekerjaan yang bersifat formal yang dilindungi oleh hukum ketenagakerjaan. Banyaknya pelanggaran terhadap hak-hak PRT telah menjadi salah satu faktor pendorong lahirnya kesadaran perlunya sebuah aturan yang komperehensif tentang PRT yang dapat melindungi hak mereka. Rancangan Undang-undang Perlindungan Pekerja Rumah tangga (selanjutnya RUU PPRT) sebenarnya telah menjadi RUU, usul DPR periode 2004-2009, mengingat RUU ini tercantum dalam program legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2004-2009. Pada periode 2009-2014, RUU PPRT kembali masuk menjadi salah satu prioritas dalam Prolegnas tahun 2010.5 PRT di indonesia, mengacu pada pekerja rumah tangga yang bekerja pada keluarga di dalam negeri. Mereka merupakan kelompok 4 Sali Susiana, Urgengsi Undang-Undang Tentang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga dalam Perspektif Feminis”, Jurnal Legislasi, Vol. 7 No. 2, Tahun 2012, Jakarta: Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Kementrian Hukum dan Ham RI. Hlm. 257 5 Ibid hlm. 252 pekerja dan masyarakat yang memiliki berbagai keunikan persoalannya sendiri. Persoalan-persoalan tersebut adalah persoalan rumit yang sebenernya sangat memprihatinkan rasa kemanusiaan dan keadilan kita. Sayangnya, dengan persoalan rumit yang sejujurnya sangat memprihatinkan itu, perhatian serius terutama dari pemerintah masih sangatlah kecil. PRT pada umumnya adalah perempuan, baik anak-anak maupun dewasa, sedikit saja yang laki-laki. PRT mayoritas perempuan, sehingga mengakibatkan perhatian terhadap kelompok PRT tidak dapat dilepaskan dari agenda gerakan permpuan di indonesia, karena masalah ini tidak terlepas dari cara pandang gender yang biasa, misalnya, menempatkan pekerjaan rumah tangga yang sering diberlakukan pada PRT sebagai pekerjaan tidak produktif, tidak memiliki nilai sosial, ekonomi dan politik. Pandangan stereotip tentang pekerjaan ini dan pekerjanya menjadi salah satu sumber munculnya kompleksitas persoalan yang menyelimuti pekerjaan PRT. Pada masyarakat kita sendiri, hanya sebagian kecil, bahkan sangat kecil yang menganggap pekerjaan rumah tangga sebagai pekerjaan dan si pekerjanya adalah pekerja. Masyarakat kita, termasuk yang terdidik sekalipun, juga para pembuat kebijakan sekalipun, lebih suka menyebut mereka dengan nama-nama streotipikal yang cenderung merendahkan, yang paling populer adalah pekerja. Kasus kekerasan dan eksploitasi terhadap PRT sampai sekarang masih terus berulang. Beberapa kasus yang dialami PRT yang diproses hukum ternyata masih mengabaikan rasa keadilan bagi korban. Selain sebagai pekerja yang sangat dibutuhkan, PRT juga warga negara yang mempunyai hak asasi yang seharusnya dilindungi pemerintah dan masyarakat. Belum adanya Undang-Undang PRT mengakibatkan belum terdapatnya jaminan PRT di indonesia yang terbebas dari eksploitasi dan ketidakadilan. Indonesia sebagai negara hukum, serta bermartabat dan seharusnya bisa melandasi terbentuknya undang-undang yang secara spesifik dapat melindungi PRT. Pengakuan harkat dan martabat PRT serta perlindungannya di dalam negeri harus dilakukan melalui dukungan pemerintah Republik Indonesia terhadap pengesahan Konvensi ILO 189 tentang Kerja Layak bagi PRT dan pengesahan RUU PPRT. Berbagai kasus kekerasan dan eksploitasi terhadap PRT seharusnya dapat menjadi dasar bagi pemerintah untuk segera membangun kerangka hukum untuk pengakuan dan perlindungan bagi PRT. Jumlah PRT, di indonesia, cukup banyak dan keberadaannya sangat dibutuhkan, namun perlindungan terhadap profesi ini masih belum memadai. Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan dikonsepkan hanya memberikan perlindungan hukum bagi pekerja Formal. Pemerintah selaku pemegang kedaulatan seharusnya memberikan perlindungan hukum bagi pekerja dalam bentuk peraturan perundangundangan dan kebijakan publik. Sayangnya hukum perburuhan masih belum memberikan perlindungan hukum kepada pekerja informal, misalnya rumah tangga, pekerja photo copy, pekerja rental, dll. Interpretasi pemerintah saat ini dalam Undang-Undang ketenagakerjaan tidak menjangkau para PRT ke dalam sistem perundangan umum mengenai hubungan kerja. Kendati pekerja didefinisikan pada Pasal 1 sebagai “seseorang yang bekerja untuk mendapatkan upah atau bentuk imbalan lain,” masalah penafsiran berasal dari fakta bahwa dua istilah untuk majikan digunakan di dalam undang-undang tersebut. Pengusaha (badan usaha) tunduk pada semua kewajiban standar usaha berdasarkan undangundang, sedangkan pemberi kerja hanya menanggung sebuah kewajiban umum untuk memberikan perlindungan bagi kesejahteraan para pekerjanya, keselamatan dan kesehatan, baik mental maupun fisik (Pasal 35). Jadi di dalam undang-undang ketenagakerjaan pengaturan mengenai Pekerja Rumah Tangga dan hak-hak mereka belum diatur secara rinci, inimengakibatkan posisi pembantu rumah tangga yang bekerja pada majikannya mendapatkan posisi yang lemah karena di dalam UndangUndang Ketenagakerjaan tersebut belum mengatur mengenai permasalahan tersebut dan di dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan terdapat kekosongan hukum yaitu belum terdapat aturan hukum menganai pekerja rumah tangga. Karena belum ada aturan didalam undang-undang no 13 Tahun 2003 tersebut mengenai pekerja rumah tangga , bagaimana jika hak-hak dari pekerja rumah tangga tersebut tidak dipenuhi atau pekerja rumah tangga yang mayoritas perempuan mengalami pelecehan terhadap dirinya, bagaimana bentuk perlindungan hukum terhadap para pekerja yang hak- haknya tidak dipenuhi oleh majikannya atau kekerasan/pelecehan terhadap dirinya. B. Rumuan Permasalahan 1. Bagaimana pengaturan tentang perlindungan hukum bagi pekerja rumah tangga menurut hukum positif yang berlaku di Indonesia ? 2. Faktor-faktor apakah yang menghambat perlindungan Hukum terhadap Pekerja Rumah Tangga? C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian Sesuai dengan pokok permasalahan di atas, maka tujuan penelitian ini antara lain: a. Untuk mengetahui dan memahami pengaturan tentang perlindungan hukum bagi pekerja rumah tangga menurut hukum positif yang berlaku; b. Untuk mengetahui dan menganalisis Faktor-faktor yang menghambat perlindungan Hukum terhadap Pekerja Rumah Tangga; 2. Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini antara lain: a. Secara teoritis, bermanfaat sebagai masukan bagi kalangan perguruan tinggi, utamanya Fakultas Hukum Universitas Mataram dalam rangka melakukan penelitian hukum sebagai langkah pengembangan ilmu hukum; b. Secara Praktis, bermanfaat bagi pengembangan Hukum Ketenagakerjaan, khususnya sebagai bahan masukan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan Perlindungan Hukum bagi Pekerja Rumah Tangga. D. Ruang Lingkup Penelitian Mengingat dan kompleksnya topic kajian yang dianggkat dalam penelitian ini maka perlu dilakukan pembatasan ruang lingkup penelitian. Pembataan ruang lingkup penelitian ini dimaksudkan untuk menghindari agar penelitian ini tidak menyimpang terlalu jauh dari pokok permasalahan yang diangkat, yaitu pengaturan tentang perlindungan hukum bagi pekerja rumah tangga menurut hukum positif yang berlaku dan Faktor-faktor yang menghambat perlindungan Hukum terhadap Pekerja Rumah Tangga. BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Sejarah Ketenagakerjaan Pada awalnya keberadaan Hukum Ketanagakerjaan di Indonesia terdiri dari beberapa fase pada abad 120 SM. Ketika bangsa Indonesia mengenal adanya sistem gotong royong diantara sesama anggota masyarakat. Gotong royong adalah sistem pengerahan tenaga kerja tambahan dari luar kalangan keluarga dengan tujuan untuk mengisi kekurangan tenaga. Sifat gotong royong memiliki nilai luhur yang juga diyakini membawa kemaslahatan. Dengan nilai-nilai kebaikan, kebijakan, dan hikmah untuk masyarakat hingga gotong royong menjadi sumber terbentuknya Hukum Ketanagakerjaan Adat. Karena bersifat konvensional regulasi dari Hukum Ketanagakerjaan Adat tidak tertulis. Namun Hukum Ketanagakerjaan Adat menjadi identitas bangsa yang mencerminkan kepribadian bangsa Indonesia yang merupakan penjelmaan dari jiwa bangsa Indonesia dari abad keabad. Memasuki abad masehi, saat mulai berdirinya kerajaan di Indonesia hubungan kerja dilakukan dengan adanya perbudakan. Ketika zaman Kerajaan Hindia Belanda terdapat sistem pengkastaan dengan 5 perbeadaan kasta antara lain, brahmana, ksatria, waisya, sudra, dan paria. Kasta paling rendah adalah golongan sudra sedangkab paria adalah budak dari kasta brahmana, ksatria, dan waisya, Golongan paria layaknya budak hanya menjalankan kewajiban sedangkan hak-haknya dikuasai oleh para majikan. Pada masa Kerajaan Islam meski tidak secara tegas adanya sistem pengangkatan. Namun pada pokoknya sama saja, pada masa ini kaum bangsawan (raden ) mempunyai kekuasaan atau hak penuh atas para tukangnya. Nilai-nilai keislaman tidak dapat dilaksanakan sepenuhnya karena terhalang oleh dinding budaya bangsa yang sudah berlaku sejak 6 abad sebelumnya. Ketika Hindia Belanda menduduki Indonesia, masalah perbudakan semakin meningkat. Terdapat perlakuan sangat keji dan tidak berprikemanusiaan terhadap budak. Problem solvingnya adalah memberikan kedudukan yang sama antara budak dengan manusia merdeka secara sosiologis, yuridis dan ekonomis. Langkah nyata dalam menyelesaikan masalah perbudakan tersebut adalah pada masa Belanda dengan dikeluarkannya Staatblad 1817 No. 42 yang berisikan larangan untuk memasukan budak-budak ke Pulau Jawa. Tahun 1818 di tetapkan pada suatu UUD HB (Regeling Reglement) 1818 berdasarkan pasal 115 RR yang menetapkan bahwa paling lambat pada tanggal 1 Juni 1960 perbudakan dihapuskan. Berbagai masalah perbudakan dalam ketenagakerjaan terjadi di masa lalu. Namun selain berbagai kasus pada masa pendudukan Hindia Belanda mengenai perbudakan yang keji. Terdapat perbudakan lain yang dikenal dengan istilah rodi yang pada dasarnya sama saja dengan perbudakan lainnya. Rodi pada dasarnya merupakan kerja paksa yang pada awalnya dilakukan gotong royong oleh semua penduduk desa-desa tertentu. Dengan keadaan tersebut maka penjajah memanfaatkannya menjadi suatu kerja paksa untuk kepentingan pemerintah Hindia Belanda. Di atas telah disebutkan sejarah adanya hukum ketenagakerjaan di indonesia karena itu alangkah baeknya kita mengetahui sejarah perkembangan hukum mengenai pekerja rumah tangga di indonesia yaitu akan dijabarkan di bawah ini. Pekerja rumah tangga adalah suatu posisi dalam kehidupan yang bersifat temporer dalam artian kehadiran pekerja rumah tangga bukan suatu hal yang mutlak dalam suatu keluarga, namun kehadiran pekerja rumah tangga pada satu sisi dapat dikatakan penting karena bagi sebagian keluarga, dimana ibu dan ayah masing-masing memiliki pekerjaan dan perlu bantuan pihak lain untuk membantu dalam pekerjaan rumah tangga. Pada awalnya pekerja rumah tangga dapat dilihat sekilas dari proses perkembangan kebudayaan di Indonesia pada umumnya, seperti dalam kebudayaan Kraton Jawa, dimana dalam suatu keluarga yang terdiri dari ayah, ibu dan anak memiliki seorang pengasuh dan menjaga anak selama kedua orang tua bekerja, melainkan juga memiliki pekerjaan memasak, mencuci dan lain sebagainya pada kebudayaan lainnya, posisi pengasuh juga memiliki arti penting dalam keluarga.6 Seiring perkembangan zaman, secara harfiah kata pengasuh tidak relevan lagi karena terbatas pada artian mengasuh sehingga perkatan pengasuh bergeser pada penggunaan kata pekerja yang berkonotasi sebagai individu yang memiliki pekerjaan membantu dalam suatu keluarga dengan jenis pekerjaan yang berbeda-beda. Pekerjaan Pekerja Rumah Tangga (PRT) pada awal perkembangannya merupakan suatu posisi pekerjaan yang diisi individu yang memiliki hubungan kekerabatan dengan keluarga yang menggunakan jasanya dengan harapan agar timbul rasa kepercayaan yang tinggi karena posisi kerja Pekerja Rumah Tangga adalah posisi kerja yang memerlukan tingkat kepercayaan tinggi. Pekerja rumah tangga juga mengalami stagniantasi karena posisi pekerja rumah tangga dalam paradigm masyarakat bagaikan hal penting namun cepat terlupakan, hal ini terlihat dari sedikitnya literatur mengenai pekerja rumah tangga. Pada saat sekarang ini pekerja rumah tangga tidak hanya terbatas pada suatu kemampuan dalam tingkat bekerja secara sederhana, seperti mencuci, memasak dan menjaga rumah, melainkan sudah menjadi kompleks dengan munculnya kebutuhan-kebutuhan dalam keluarga. Permintaan terhadap pekerja rumah tangga juga meningkat tajam seiring kehidupan masyarakat perkotaan yang kompleks dan membutuhkan ketetapan 6 http://wikipedia.or.d/pekerja_rumah_tangga/ diakses tanggal 12 Juni 2014 waktu tinggi, untuk menyiasati hal tersebut diperlukan individu yang dapat membantu dalam hal pekerjaan rumah tangga, hal ini ditandai dengan munculnya agen-agen penyalur pekerja rumah tangga hingga pada pengiriman pekerja rumah tangga dengan label tenaga kerja keluar negeri. Pekerjaan pekerja rumah tangga pada saat sekarang ini sudah mengalami pergeseran menjadi suatu pekerjaan yang pada awalnya mengisi ruang privat keluarga menjadi ruang publik dengan artian individu yang menjadi pekerja rumah tangga tidak lagi diisi oleh individu yang memiliki hubungan kekerabatan melainkan individu yang memiliki keahlian khusus dalam pekerjaan rumah tangga. Menurut beberapa pengertian yang sudah disampaikan dapat disimpulkan bahwa pekerja rumah tangga adalah seseorang pekerja yang menjual jasanya melalui pekerjaan rumah tangga dengan mendapatkan imbalan. Menurut dari pengertian pekerja rumah tangga dapat disimpulkan bahwa pekerja rumah tangga adalah orang selain anggota keluarga yang bekerja pada seseorang atau beberapa orang dalam rumah tangga atau suatu keluarga untuk melakukan pekerjaan rumah tangga dengan mendapatkan imbalan. Pekerja rumah tangga dapat dibagi atas dua bagian, yaitu individu yang memiliki pekerjaan membantu dalam rumah tangga dan individu yang memiliki keahlian khusus dalam bekerja/membantu suatu pekerjaan rumah tangga. Berdasarkan dua bagian tersebut maka muncul jenis-jenis pekerja rumah tangga berdasarkan keahlian khusus, seperti: 1. Tukang masak, adalah yang bertugas untuk memasakmakanan bagi suatu keluarga. 2. Tukang cuci, yang memiliki pekerjaan mencuci pakaian pemilik rumah. 3. Satpam, bertugas untuk menjaga rumah beserta isinya. 4. Tukang potong rumput, yang bertugas merapihkan di halaman rumah. 5. Sopir, yang bertugas mengemudikan mobil majikan. B. Perlindungan Hukum Aristoteles mengatakan bahwa manusia adalah “zoon politicon”, makhluk sosial atau makhluk bermasyarakat, oleh karena tiap anggota masyarakat mempunyai hubungan antara satu dengan yang lain. Sebagai makhluk sosial maka sadar atau tidak sadar manusia selalu melakukan perbuatan hukum (rechtshandeling) dan hubungan hukum (rechtsbetrekkingen) (Soeroso, 2006: 49). Perbuatan hukum (rechtshandeling) diartikan sebagai setiap perbuatan manusia yang dilakukan dengan sengaja/atas kehendaknya untuk menimbulkan hak dan kewajiban yang akibatnya diatur oleh hukum. Perbuatan hukum terdiri dari perbuatan hukum sepihak seperti pembuatan surat wasiat atau hibah, dan perbuatan hukum dua pihak seperti jual-beli, perjanjian kerja dan lain-lain. Hubungan hukum (recht sbetrekkingen) diartikan sebagai hubungan antara dua atau lebih subyek hukum, hubungan mana terdiri atas ikatan antara individu dengan individu, antara individu dengan masyarakat atau antara masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lain. Dalam hubungan hukum ini hak dan kewajiban pihak yang satu berhadapan dengan hak dan kewajiban pihak yang lain”. Tiap hubungan hukum tentu menimbulkan hak dan kewajiban, selain itu masing-masing anggota masyarakat tentu mempunyai hubungan kepentingan yang berbeda-bedadan saling berhadapan atau berlawanan, untuk mengurangi ketegangan dan konflik maka tampil hukum yang mengatur dan melindungi kepentingan tersebut yang dinamakan perlindungan hukum. Perlindungan hukum adalah suatu perlindungan yang diberikan terhadap subyek hukum dalam bentuk perangkat hukum baik yang bersifat preventif maupun yang bersifat represif, baik yang tertulis maupun tidak tertulis. Dengan kata lain perlindungan hukum sebagai suatu gambaran dari fungsi hukum., yaitu konsep dimana hukum dapat memberikan suatu keadilan, ketertiban, kepastian, kemanfaatan dan kedamaian.7 Perlindungan hukum selalu dikaitkan dengan konsep rechtstaat atau konsep Rule of Law karena lahirnya konsep-konsep tersebut tidak lepas dari keinginan memberikan pengakuan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia, konsep rechtaat muncul di abad ke-19 yang pertama kali dicetuskan oleh Julius Stahl.Pada saatnya hampir bersamaan muncul pula konsep negara hukum (rule of Law) yang dipelopori oleh A.V.Dicey. 7 http//www.artikata.com/artiperlindunganhukum.html Konsep rechtstaat dimaksudkan dengan menurut Julius negara hukum Stahl secara adalah sederhana negara yang menyelenggarakan kekuasaan pemerintahannya didasarkan pada hukum. Konsep Negara hukum atau Rechtsataat menurut Julius Stahl mencakup 4 elemen, yaitu : 1. Perlindungan hak asasi manusia; 2. Pembagian kekuasaan; 3. Pemerintahan berdasarkan undang-undang; 4. Peradilan tata usaha Negara. Sedangkan menurut A.V.Dicey menguraikan adanya 3 (tiga) ciri penting negara hukum yang disebut dengan Rule of Law, yaitu : 1. Supermasi hukum, artinya tidak boleh ada kesewenangwenangan, sehingga seseorang hanya boleh dihukum jika melanggar hukum. 2. Kedudukan yang sama didepan hukum, baik bagi rakyat biasa atau pejabat pemerintah. 3. Terjaminnya hak-hak manusia dalam undang-undang atau keputusan pengadilan. Keberadaan hukum dalam masyarakat sangatlah penting, dalam kehidupan dimana hukum dibangun dengan di jiwai oleh moral konstitusionalisme, yaitu menjamin kebebasan dan hak warga, maka mentaati hukum dan konstitusi pada hakekatnya mentaati imperatif yang terkandung sebagai subtansi maknawi didalamnya imferatif. Hak-hak asasi warga harus dihormati dan ditegakkan oleh pengembang kekuasaan negara dimanapun dan kapanpun, ataupun juga ketika warga menggunakan kebebasannya untuk ikut serta atau untuk mengetahui jalannya proses pembuatan kebijakan publik. Negara hukum pada dasarnya bertujuan untuk memberikan perlindungan hukum bagi rakyat terhadap tindakan pemerintah di landasi dua prinsip negara hukum, yaitu : 1. Perlindungan hukum yang preventif Perlindungan hukum kepada rakyat yang di berikan kesempatan untuk mengajukan keberatan (inspraak) atau pendapatnya sebelum suatu keputusan pemerintah menjadi bentuk yang menjadi definitife. 2. Perlindungan hukum yang represif Perlindungan hukum yang represif bertujuan untuk menyelesaikan sengketa. Kedua bentuk perlindungan hukum diatas bertumpu dan bersumber pada pengakuan dan perlindungan hak asasi manusia serta berlandaskan pada prinsip Negara hukum. Secara umum dapat dijelaskan bahwa pengertian perlindungan hukum adalah tindakan melindungi atau memberikan pertolongan dalam bidang hukum. 8 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yang dimaksud Perlindungan adalah cara, proses, perbuatan melindungi. Menurut Pasal 1 ayat (4) Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, yang dimaksud 8 WJS. Purwodarminto, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1959, hlm. 224. perlindungan adalah segala upaya yang ditunjukan untuk memberikan rasa aman kepada korban yang dilakukan oleh pihak keluarga, advokat, lembaga social, kepolisian, kejaksaan, pengadilan atau pelaksana lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan pengadilan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), yang dimaksud dengan hukum adalah peraturan yang dibuat oleh Pemerintah atau adat yang berlaku bagi semua orang dalam masyarakat (Negara). 9 Sedangkan, hukum dasarnya merupakan perlengkapan masyarakat untuk menjamin agar kebutuhan-kebutuhan dalam mayarakat dapat dipenuhi secara teratur agar tujuan-tujuan kebijaksanaan publik dapat terwujud di dalam masyarakat. Berbicara perlindungan hukum berarti membahas tentang hak dan kewajiban tenaga kerja. Perlindungan hukum terhadap tenaga kerja di kapal merupakan salah satu bagian yang sangat penting dalam pelaksanaan hak bekerja dalam perusahaan, apalagi mengingat risiko bahayanya, maka pekerjaan yang dilakukan oleh tenaga kerja haruslah sesuai dengan harkat dan martabat manusia itu sendiri. Untuk menjamin hak-hak tenaga kerja tersebut, maka perlu dilakukan upaya pelaksanaan perlindungan hukum terhadap tenaga kerja tanpa terkecuali. Perlindungan hukum terhadap tenaga kerja dituangkan dalam pasal 28 D ayat (2) UUD 1945, yang berbunyi: “Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapatkan imbalan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja”. 9 Ibid, hlm.456 Dalam hal ini pengusaha/perusahaan harus memberikan perlindungan hukum kepada tenaga kerja sesuai dengan jenis pekerjaannya. Meskipun hanya seorang nelayan akan tetapi juga harus tetap diperhatikan. Mengingat peranan tenaga kerja sangat penting demi kelancaran perusahaan. Tenaga kerja harus memperoleh hak-hak mereka secara penuh, begitu juga sebaliknya tenaga kerja harus memenuhi kewajibannya dengan baik pula. Sehingga, akan tercipta hubungan kerja yang dinamis antara perusahaan dengan pihak tenaga kerja. Jadi perlindungan hukum tidak hanya semata-mata memberikan perlindungan. C. Tujuan Perlindungan Hukum terhadap Tenaga Kerja Sebagaimana tercantum dalam Pasal 4 Undang-Undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan adalah memberikan perlindungan kepada tenaga kerja dalam mewujudkan kesejahteraan dan meningkatkan kese jahteraan tenaga kerja dan keluarganya. Mengingat pentingnya peran tenaga kerja atau pekerja dalam sebuah perusahaan, maka tujuan perlindungan hukum terhadap tenaga kerja harus dilaksanakan sebagaimana mestinya. Tanpa harus membedakan satu dengan yang lain karena pada dasarnya setiap tenaga kerja berhak memperoleh perlindungan. Selain itu, dengan mengingat tenaga kerja memiliki risiko, dengan begitu jika adanya keseimbangan antara hak dan kewajiban maka hubungan kerja dapat berjalan dengan lancar. Pada dasarnya dalam hubungan antara tenaga kerja dan pengusaha, secara yuridis pekerja dipandang sebagai orang yang bebas karena prinsip Negara Indonesia, tidak seorangpun boleh diperbudak. Secara sosiologis, pekerja itu tidak bebas sebagai orang yang terpaksa untuk menerima hubungan kerja dengan pengusaha meskipun memberatkan bagi pekerja itu sendiri, lebih-lebih saat sekarang ini dengan banyaknya jumlah tenaga kerja yang tidak sebanding dengan lapangan yang tersedia. Akibatnya tenaga kerja sering kali diperas oleh pengusaha dengan upah yang relatif kecil dan tidak ada jaminan yang diberikan. Selain itu, tenaga kerja memiliki risiko dalam pekerjaannya. Mengingat hal tersebut, perusahaan harus memberikan kepastian hukum kepada tenaga kerja atau pekerja. Dengan adanya kejelasan tujuan perlindungan hukum terhadap tenaga kerja dapat memberikan kepastian hukum yang jelas dalam pelaksanaannya sehingga tenaga kerja tidak dirugikan. D. Ruang Lingkup Hukum Ketenagakerjaan Ketenagakerjaan berasal dari kata tenaga kerja, yang dalam Pasal 1 angka 2 UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yaitu “Tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan/atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat.” Sedangkan pengertian dari ketenagakerjaan sesuai dengan Pasal 1 angka 1 UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan adalah “Ketenagakerjaan adalah segala hal yang berhubungan dengan tenaga kerja pada waktu sebelum, selama, dan sesudah masa kerja.” Demi meningkatkan taraf hidup maka perlu dilakukan pembangunan diberbagai aspek. Tidak terkecuali dengan pembangunan ketenagakerjaan yang dilakukan atas asas keterpaduan melalui koordinasi fungsional lintas sektoral pusat dan daerah. Dalam hal ini maksudnya adalah asas pembangunan ketanagakerjaan berlandaskan asas pembangunan nasional terkhusus asas demokrasi pancasila, asas adil, dan merata. Dalam pelaksanaan proses hubungan kerja terdapat bagian-bagian yang harus dijalani. Ruang lingkup dari ketenagakerjaan itu senditi adalah pra kerja, masa dalam hubungan kerja, masa purna kerja (post employment). Cakupan dari ketenagakerjaan terbilang luas, jangkauan hukum ketenagakerjaan lebih luas bila dibandingkan dengan hukum perdata yang diatur dalam buku III title 7A. Terdapat ketentuan yang mengatur penitikberatan pada aktivitas tenaga kerja dalam hubungan kerja Berbicara mengenai hubungan kerja Pasal 1 angka 15 UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan disebutkan bahwa : ”Hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja atau buruh berdasarkan perjanjian kerja yang mempunyai unsure-unsur pekerjaan , upah dan perintah” dan “Hubungan kerja adalah suatu hubungan pengusaha dan pekerja yang timbul dari perjanjian kerja yang diadakan untuk waktu tertentu namun waktu yang tidak tertentu.” Hukum Perburuhan (ketenagakerjaan) merupakan spesies dari genus hukum pada umumnya. Berbicara tentang batasan pengertian hukum, hingga saat ini para ahli hukum belum menemukan batasan yang baku serta memuaskan semua pihak tentang Hukum, disebabkan karena hukum itu sendiri mempunyai bentuk serta segi yang sangat beragam. Ahli hukum kebangsaan Belanda, J. Van Kan, sebagaimana dikutif oleh Lalu Husni, mendefinisikan hukum sebagai keseluruhan ketentuan-ketentuan kehidupan yang bersifat memaksa, yang melindungi kepentingan orang dalam masyarakat.10 Pendapat lainnya menyatakan bahwa hukum adalah serangkaian peraturan mengenai tingkah laku orang-orang sebagai anggota masyarakat, sedangkan satusatunya tujuan hukum adalah menjamin kebahagiaan dan ketertiban dalam masyarakat. Selain itu, menyebutkan 9 (Sembilan) arti hukum yakni:11 a. Ilmu Pengetahuan, yakni pengetahuan yang secara sistematis atas dasar kekuatan pemikiran. b. Disiplin, yakni sebagai sistem ajaran tentang kenyataan atau gejala-gejala yang dihadapi. c. Norma, yakni struktur dan perangkat norma-norma yang berlaku pada suatu waktu dan tempat tertentu serta berbentuk tertulis. 10 Lalu Husni, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 200, hlm. 14 11 Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, Sendi-Sendi Ilmu Hukum dan Tata Hukum, Bandung, Alumni. 1986, hlm. 2-4 d. Tata Hukum, yakni struktur dan perangkat norma-norma yang berlaku pada suatu waktu dan tempat tertentu serta berbentuk tertulis. e. Petugas, yakni pribadi-pribadi yang merupakan kalangan yang berhubungan erat dengan penegakan hukum (Law Inforcement officer). f. Keputusan penguasa, yakni hasil-hasil proses diskripsi. g. Proses Pemerintah, yakni proses hubungan timbale balik antara unsur-unsur pokok dari sistem kenegaraan. h. Sikap tindak yang ajeg atau perikelakuan yang teratur, yakni perikelakuan yang diulang-ulang dengan cara yang sama yang bertujuan untuk mencapai kedamaian dan, i. Jalinan Nilai, yakni Jalinan dari konsepsi tentang apa yang dianggap baik dan buruk. Pendapat di atas menunjukan bahwa hukum itu mempunyai makna yang sangat luas, namun demikian secara umum, hukum dapat dilihat sebagai norma yang mengandung nilai tertentu. Jika hukum dalam kajian ini dibatasi sebagai norma, tidak berarti hukum identik dengan norma, sebab norma merupakan pedoman manusia dalam bertingkah laku. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa norma hukum merupakan salah satu dari sekian banyak pedoman tingkah laku selain norma agama, kesopanan dan kesusilaan. 1. Pengertian Pekerja Di dalam Undang-Undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan pasal 1 angka 3 menyebutkan bahwa pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. Dalam perkembangan hukum perburuhan di Indonesia, istilah buruh diupayakan untuk diganti dengan istilah pekerja, sebagaimana yang diusulkan oleh pemerintah (Depnaker) pada waktu kongres FBSI II tahun 1985. alasan pemerintah karena istilah buruh kurang sesuai dengan keperibadian bangsa, buruh lebih cendrung menunjuk pada golongan yang selalu ditekan dan berada dibawah pihak lain yakni majikan. Dalam santunan jaminan kecelakaan kerja dalam UndangUndang no. 3 tahun 1992 tentang jaminan sosial tenaga kerja pasal 8 ayat (2) pengertian pekerja/buruh diperluas yaitu: 1. Magang dan murid yang bekerja pada perusahaan baik yang menerima upah maupun tidak; 2. Mereka yang memborong pekerjaan kecuali jika yang memborong adalah perusahaan; 3. Narapidana yang dipekerjakan di perusahaan. Iman Soepomo berpendapat “pekerja adalah setiap orang yang melakukan pekerjaan, baik dalam hubungan-kerja maupun di luar hubungan kerja yang secara kurang tepat oleh sementara orang disebut buruh bebas.” 12 Untuk pekerjaan semacam ini, seperti misalnya seorang dokter yang membuka praktek partikelir, seorang pengacara, seorang penjual kopi di pinggir jalan, seorang petani yang menggarap sawahnya sendiri dan lain-lain digunakan istilah swa-pekerja. Swa-pekerja ini bekerja atas tanggung jawab dan risiko sendiri. Demikian juga halnya dengan istilah karyawan, yaitu setiap orang yang melakukan karya (pekerjaan). 2. Pemberi Kerja/Pengusaha Di dalam pasal 1 angka 4 Undang-Undang no. 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan menyebutkan bahwa Pemberi Kerja adalah orang perseorangan, pengusaha, badan hukum, atau badan-badan lainnya yang mempekerjakan tenaga kerja dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain. Di dalam pasal 1 huruf c Undang-Undang no. 3 Tahun 1982 tentang wajib daftar perusahaan yang maksud dengan Pengusaha adalah setiap orang perseorangan atau persekutuan atau badan hukum yang menjalankan sesuatu jenis perusahaan. Menurut pasal 1 angka 5 Undang-Undang no. 13 tahun 2003, Pengusaha adalah : 12 Soepomo, Op.cit, hal. 26 1. Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan suatu perusahaan milik sendiri; 2. Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya; 3. Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b yang berkedudukan di luar wilayah Indonesia. Dalam pengertian pengusaha ini dapat ditarik kesimpulan bahwa pengurus perusahaan (orang yang menjalankan perusahaan bukan miliknya) termasuk dalam pengertian pengusaha artinya pengurus perusahaan disamakan dengan pengusaha.13 Selanjutnya didalam pasal 1 angka 6 Undang-Undang no. 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan yang dimaksudkan dengan Perusahaan yaitu : 1. Setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang perseorangan, milik persekutuan, atau milik badan hukum, baik milik swasta maupun milik Negara yang mempekerjakan pekerja/buruh dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain; 2. Usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain. 13 Zaeni Asyhadie, Hukum Kerja, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2007) hal. 30 Menurut Molengraaf, “Perusahaan adalah keseluruhan perbuatan yang dilakukan secara terus-menerus, bertindak keluar, untuk mendapatkan penghasilan, dengan cara memperniagakan barang-barang, menyerahkan barang-barang atau mengadakan perjanjian-perjanjian perdagangan.”14 Di dalam pasal 1 huruf b Undang-Undang no. 3 tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan yang maksud dengan Perusahaan adalah setiap bentuk usaha yang menjalankan setiap jenis usaha yang bersifat tetap dan terus-menerus dan yang didirikan, bekerja serta berkedudukan dalam wilayah Negara Republik Indonesia, untuk tujuan memperoleh keuntungan dan atau laba. Dari pengertian diatas ada dua unsur pokok yang terkandung dalam suatu perusahaan, yaitu: 1. bentuk badan usaha yang menjalankan setiap jenis usaha, baik berupa suatu persekutuan atau badan usaha yang didirikan, bekerja dan berkedudukan di Indonesia; 2. jenis usaha yang berupa kegiatan dalam bidang bisnis, yang dijalankan secara terus-menerus untuk mencari keuntungan. Unsur-unsur perusahaan antara lain : 1. terus-menerus atau tidak terputus-putus; 2. secara terang-terangan (karena berhubungan dengan pihak ketiga); 3. dalam kualitas tertentu (karena dalam lapangan perniagaan); 4. mengadakan perjanjian perdagangan; 5. harus bermaksud memperoleh laba. 14 Abdul R. Saliman, Hermansyah, dan Ahmad Jalis, Hukum Bisnis Untuk Perusahaan, cet. II, (Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2006) hal. 94 Dari unsur-unsur perusahaan sebagaimana dikemukakan di atas, maka Zaeni Asyhadie memberikan pengertian perusahaan adalah setiap badan usaha yang menjalankan kegiatan dalam bidang perekonomian secara terus-menerus, bersifat tetap, dan terang-terangan dengan tujuan memperoleh keuntungan dan/atau laba yang dibuktikan dengan pembukuan.15 3. Pengertian Perjanjian Kerja Didalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan Pasal 1 angka 14 yaitu Perjanjian Kerja adalah suatu perjanjian antara pekerja/buruh dan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat karja hak dan kewajiban kedua belah pihak. Menurut Iman Soepomo Perjanjian Kerja adalah suatu perjanjian di mana pihak kesatu (buruh), mengikatkan diri untuk bekerja dengan menerima upah dari pihak kedua yakni majikan, dan majikan mengikatkan diri untuk mempekerjakan buruh dengan membayar upah16 Sedangkan dalam Pasal 1601a KUHPerdata Perjanjian Kerja adalah suatu perjanjian di mana pihak kesatu (si buruh), mengikatkan 15 Zaeni Asyhadie, Hukum Bisnis prinsip dan pelaksanaannya di Indonesia, , (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005) hal.35 16 Soepomo, op.cit., hal. 53 dirinya untuk di bawah perintah pihak lain, si majikan untuk suatu waktu tertentu melakukan pekerjaan dengan menerima upah. Menurut pengertian Perjanjian Kerja di dalam KUHDPerdata tampak bahwa ciri khas perjanjian kerja adalah di bawah perintah pihak lain, di bawah perintah ini menunjukan bahwa hubungan antara pekerja dan pegusaha adalah hubungan bawahan dan atasan (subordinasi). Pengusaha sebagai pihak yang lebih tinggi secara sosial-ekonomi memberikan perintah kepada kedudukan yang lebih rendah untuk melakukan pekerjaan tertentu. Adanya wewenang perintah inilah yang membedakan antara perjanjian kerja dengan perjanjian lainnya. Sedangkan pengertian Perjanjian Kerja menurut UndangUndang No. 13 Tahun 2003 tantang Ketenagakerjaan sifatnya lebih umum. Dikatakan lebih umum karena menunjuk pada hubungan antara pekerja dan pengusaha yang memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban para pihak. Syarat kerja berkaitan dengan pengakuan terhadap serikat pekerja, sedangkan hak dan kewajiban para pihak salah satunya adalah upah disamping hak dan kewajiban lain yang akan dibicarakan secara tersendiri. Pengertian Perjanjian Kerja berdasarkan Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 ini tidak menyebutkan bentuk perjanjian kerja itu lisan atau tertulis, demikian juga mengenai jangka waktunya ditentukan atau tidak sebagaimana sebelumnya diatur dalam Undang-Undang No. 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan. 5. Unsur-Unsur Perjanjian Kerja Berdasarkan pegertian perjanjian kerja, dapat ditarik beberapa unsur dari perjanjian kerja yakni: a. Adanya unsur work atau pekerjaan Dalam suatu perjanjian kerja harus ada pekerjaan yang diperjanjikan (obyek perjanjian), pekerjaan tersebut haruslah dilakukan sendiri oleh pekerja, hanya dengan seizin majikan dapat menyuruh orang lain. Hal ini dijelaskan dalam KUHPerdata Pasal 1603a yang bebunyi Buruh wajib melakukan sendiri pekerjaanya, hanya dengan seizin majikan ia dapat menyuruh orang ketiga menggantikannya. Sifat pekerjaan yang dilakukan oleh pekerja itu sangat pribadi karena bersangkutan dengan keterampilan/keahliannya, maka menurut hukum jika pekerja meninggal dunia maka perjanjian kerja tersebut putus demi hukum. b. Adanya Unsur Perintah Manifestasi dari pekerjaan yang diberikan kepada pekerjaan oleh pengusaha adalah pekerja yang bersangkutan harus tunduk pada perintah pengusaha untuk melakukan pekerjaan sesuai dengan yang diperjanjian. Disinilah perbedaan hubungan kerja dengan hubungan lainnya, misalnya hubungan antara dokter dengan pasien, pengacara dengan klien. Hubungan tersebut bukan merupakan hubungan kerja karena dokter, pengecara tidak tunduk pada perintah pasien atau klien. c. Adanya Upah Upah memegang peranan penting dalam hubungan kerja, bahkan dapat dikatakan bahwa tujuan utama seorang pekerja pada pengusaha adalah untuk memperoleh upah. Sehingga jika tidak ada unsur upah, maka suatu hubungan tersebut bukan merupakan hubungan kerja. BAB III METODE PENELITIAN A. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Penelitian ini tergolong dalam jenis penelitian hukum normatif yakni penelitian yang mengkaji peraturan perundang-undangan dalam suatu tata hukum yang koheren. 17 Dalam hal ini hukum sebagai norma positif yang berlaku pada suatu waktu tertentu dan diterbitkan sebagai produk suatu kekuasaan politik tertentu yang memiliki legistimasi. Ada juga pendapat yang mengatakan bahwa manakala permasalahan dan 17 Soetandyo Wignjosoebroto, Sebuah Pengantar ke Arah Perbincangan tentang Pembinaan Penelitian Hukum dalam PJP LI, BPHN Departemen Kehakiman, Jakarta, 1995, hlm. 5 tujuan penelitian studi hukum mencerminkan ranah ideal dari hukum (filsafat, asas-asas hukum, kaedah hukum, logika sitematika dan pengertian-pengertian pokok dari hukum, logika sitematika dan pengertian-pengertian pokok dari hukum), maka penelitiannya adalah normatif atau doktrinal18. 2. Metode Pendekatan Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan perundang-undangan, yaitu memandang hukum bukan saja sebagai perangkat kaedah yang bersifat norma atau apa yang tertuang dalam teks peraturan perundang-undangan (law in book), oleh karena itu pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini ialah:19 a. Pendekatan perundang-undangan (statute approach) yakni dengan mengkaji dan meneliti peraturan-perundangan ketenagakerjaan serta peraturan perundang undangan lain yang berhubungan dengan perlindungan hukum bagi pekerja rumah tangga. b. Pendekatan konsep (konseptual approach), yaitu pendekatan yang dilakukan dengan mengkaji pendapat para ahli yang berkaitan dengan penelitian yang dibahas. 3. Sumber Bahan Hukum a. Sumber Bahan Hukum 18 Paus Hadisupratpto, Metode Penelitian Hukum Normatif, forum komunikasi mahasiswa pasca sarjana ilmu hukum, fakultas hukum, universitas brawijaya, Malang 2008, hlm. 5 19 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Cetakan Ketiga, (UI-PRESS) Universitas Indonesia, Jakarta, 1986. Hlm. 56 1) Bahan hukum primer (Primery legal resource) yakni bahan hukum yang mengikat yang diperoleh dari peraturan perundangundangan yang berkaitan dengan perlindungan hukum bagi pekerja rumah tangga berdaarkan Undang-Undang no 13 Tahun 2013 Tentang Ketenagakerjaan serta peraturan perundangundangan yang mendukung dengan topic yang akan diteliti. 2) Bahan hukum sekunder (sekundary legal resource) yakni bahan hukum yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer eperti buku-buku, hasil penelitian, jurnal ilmiah, artikel dan 3) Bahan hukum tersier (teriary legal reasource) yakni bahan hukum yang dapat memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder seperti kamus hukum, ensiklopedia dan lain-lain. 4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum a. Bahan Hukum Primer Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat mengikat yang bersumber dari peraturan perundang-undangan mengenai perlindungan hukum bagi pekerja rumah tangga. Bahan hukum primer dalam penelitian ini dikumpulkan dengan mengkaji dan mencatat langsung bahan-bahan hukum yang relevan dengan masalah yang dibahas dari peraturan perundang-undangan mengenai perlindungan hukum bagi pekerja rumah tangga yang berlaku selanjutnya diinventarisasi, demikian juga halnya dengan bahan hukum sekunder dan tersier. 5. Analisis Bahan Hukum Metode analisis bahan hukum yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah metode normatif dalam optic preskreptif dengan penalaran deduktif –induktif untuk menghasilkan proposisi atau konsep ebagai jawaban dari permaalahan atau hasil temuan penelitian. BAB IV PEMBAHASAN A. Pengaturan Tentang Perlindungan Hukum Bagi Pekerja Rumah Tangga menurut hukum positif yang berlaku di Indonesia Interprestasi pemerintah saat ini dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tidak menjangkau para PRT ke dalam sistem perundangan umum mengenai hubungan kerja. Kedati pekerja didefinisikan pada Pasal 1 sebagai “seseorang yang bekerja untuk mendapatkan upah atau bentuk imbalan lain”, masalah penafsiran berasal dari fakta bahwa dua istilah untuk majikan digunakan di dalam Undang-Undang tersebut. Pengusaha (badan usaha) tunduk pada semua kewajiban standar usaha berdasarkan Undang-Undang, sedangkan pemberi kerja hanya menanggung sebuah kewajiban umum untuk memberikan perlindungan bagi kesejahteraan para pekerjanya, keselamatan dan kesehatan, baik mental maupun fisik (Pasal 35). Pemerintah menyatakan, majikan pekerja rumah tangga bisa tergolong pemberi kerja, ia bukan badan usaha dan dengan demikian bukan pengusaha di dalam artian Undang-Undang tersebut. Hal ini sebagai imbalan atas kontribusi ekonomi yang diberikan para PRT terhadap para majikannya dengan memberikan mereka kebebasan untuk terlibat di dalam kegiatankegiatan yang lebih menguntungkan. Karena PRT dianggap tidak dipekerjakan oleh pengusaha, mereka tidak diberikan perlindungan yang diberikan oleh undang-undang terhadap pekerja lainnya. Disamping itu, mereka tidak diberi akses terhadap mekanisme penyelesaian perselisihan kerja, seperti pengadilan industrial yang dibentuk menurut Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Interprestasi yang diberikan oleh pemerintah sebagian berlandaskan pada keputusan Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat (P4P) di tahun 1959, yang menyatakan bahwa perselisihan yang melibatkan para PRT berada diluar yurisdiksi sistem penyelesaian perselisihan kerja formal. Namun keputusan ini tidak lagi menjadi yuridiksi yang berlaku karena:20 1. P4P tidak lagi memiliki dasar hukum dan sedang dalam proses penggantian dengan pengadilan Industrial, seiring pemberlakuan Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. 20 Putusan Panitia Penyelesaian 70/59/111/02/C tanggal 19 Desember 1959. Persengketaan Perburuhan Pusat No. 2. Undang-Undang yang digunakan sebagai dasar oleh P4P dalam mencapai keputusan (Undang-Undang No. 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisiahan Hubungan Industrial) dicabut dengan Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan dengan demikian tidak lagi bisa menjadi dasar bagi yurisprudensi yang mengikat. 3. Penjelasan bagian 10 Undang-Undang No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja secara khusus menyebutkan para PRT memiliki hak untuk berserikat, sehingga dengan demikian memberikan bukti persuasif tentang niat parlemen menjangkau para PRT dalam mengupayakan tersedianya Undang-Undang Ketenagakerjaan. 4. Kondisi sosial ekonomi sudah banyak berubah sejak tahun 1959. Pada tahun 2005, setelah adanya sebuah laporan tentang PRT anak yang disinyalir oleh Human Right Watch, 21 Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Fahmi Idris menegaskan bahwa: 22 departemennya akan mengusulkan sebuah Undang-Undang tentang PRT untuk mendapat persetujuan DPR. Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi turut mendukung, termasuk penyebutan para pekerja domestic didalam UndangUndang Ketenagakerjaan, meski sekedar menyebutkan bahwa para PRT akan diatur berdasarkan keputusan menteri yang akan dirumuskan kemudian. Namun, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) cenderung mendesak perlunya Undang-Undang Nasional terpisah tentang PRT. Praktik terbaik 21 Human Right Watch, Always On Call: Abuse and Exploitation of Child Domestic Workers in Indonesia, Vol 17.7 ©, 2005. 22 Maryanti, Upaya Perlindungan PRT (Effort to Protect Domestic Workers), Jurnal Perempuan, Vol 39, Januari 2005, hlm 15. See also “Activists Call For Rulling to Protect Domestic Workers”, The Jakarta Post, 10 March 2005 menunjukan bahwa hal ini dapat menjadi cara paling efektif memberikan perlindungan bagi PRT. Karena pengaturan undang-undang ketenagakerjaan belum menjangkau dari perlindungan pekerja rumah tangga, namun di dalam hukum positif di Indonesia terdapat pengaturan mengenai perlindungan. Akan tetapi sikap budaya menunjukan bahwa masyarakat Indonesia enggan membuat peraturan formal tentang pekerjaan rumah tangga dan apabila ada mereka enggan untuk menggunakan peraturan tersebut sebagai dasar untuk menyelesaikan perselisihan yang melibatkan para PRT. Kenyataannya, para pekerja rumah tangga jarang sekali disebut sebagai pekerja (worker), melainkan hanya sebagai penolong (helper). Praktik menyebut para pekerja rumah tangga sebagai pekerja memperkuat keengganan budaya untuk memformalkan hubungan antara para pekerja rumah tangga dengan para majikannya, yang banyak di antaranya berasal dari keluarga jauh atau desa. Sebagai gantinya, para majikan memandang peranan mereka sebagai peranan paternalistic, dimana mereka melindungi, memberi makan, tempat tinggal, pendidikan dan memberikan uang saku kepada pekerja rumah tangga sebagai imbalan atas tenaga yang diberikan. (dijawa, praktik ini disebut ngenger).23 Aspek paternal dari hubungan kerja ini, yang dipadukan dengan fakta bahwa kebanyakan tugas dilaksanakan di dalam rumah keluarga dan tidak 23 Human Right Watch, always on call: abose and exploitation of child domestic worker in Indonesia, vol 17.7 ©, 2005. Hlm. 4 dianggap produktif secara ekonomi,24 berarti bahwa budaya Indonesia secara umum memandang hubungan ini sebagai hubungan yang bersifat pribadi.25 Di satu sisi masyarakat Indonesia mendukung tingkat keterlibatan pemerintah yang cukup besar diberbagai aspek perekonomian dan kehidupan, namun, disisi lain, rumah dinilai bersifat personal dan berada di luar batas jangkauan intervensi Negara. Karena sifat hubungan yang informal, kekeluargaan dan paternalistik antara PRT dan majikan, penyelesaian perselisihan yang menyangkut hak dan kewajibanpun biasanya dilakukan secara informal. Ini artinya PRT tidak memiliki akses terhadap mekanisme-mekanisme seperti pengadilan industri, yang saat ini sedang dibentuk untuk menyelesaikan perselisihan yang melibatkan para pekerja di sector formal.26 Sebagai gantinya, PRT mungkin mencari bantuan untuk menyelesaikan perselisihan dari seseorang anggota keluarga, rukun tetangga, rukun warga, atau kepala desa/lurah. Di Jakarta, Lembaga Bantuan Hukum Perempuan (LBH APIK) telah mulai menerima kasus-kasus yang melibatkan pelecehan serius, pemerkosaan dan pembunuhan. Akan tetapi, PRT umumnya akan menyadarkan diri pada kemurahan hati sang majikan dan berusaha membangun hubungan yang diatur berdasarkan saling mempercayai. 24 Lembaga Bantuan Hukum Perempuan Indonesia (LBH APIK), Kertas Posisi Usulan Revisi Perda DKI Jakarta No 6 Tahun 1993 tentang Pramuwisma. LBH APIK Jakarta, 2002. Hlm. 3 25 Ibid 26 Diskusi dengan Dr. Irma Alamsyah Djaya Putra, Wakil Kepala Bagian Perlindungan Perempuan di Departemen Pemberdayaan Perempuan, 3 oktober 2005. Dalam Pasal 1 ayat 3 Undang-Undang No. 13 Tahun 2013 Batasan istilah “pekerja” itu sendiri berbunyi: ”Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima Upah atau imbalan dalam bentuk lain”. Pekerja atau buruh adalah seseorang yang bekerja pada orang lain dengan mendapatkan Upah. Pengertian pekerja lebih menunjuk pada proses dan bersifat mandiri. Bisa saja pekerja itu bekerja untuk dirinya dan menggaji dirinya sendiri pula, misalnya petani, nelayan, dokter yang dalam prosesnya pekerja memperoleh nilai tambah dari proses penciptaan nilai tambah yang mereka buat sendiri. Definisi PRT menurut ILO adalah orang yang bekerja dalam ruang lingkup rumah tangga dengan mendapatkan Upah, mempunyai Hak dan Kewajiban yang jelas sesuai kesepakatan antara PRT dan Pemberi Kerja sesuai dengan prinsip Hak Asasi Manusia. Berbeda dengan Pemerintah yang menyebutkan pekerjaan ini sebagai pramuwisma. Peristilahan ini telah mengesampingkan fungsi, peran, dan jasa yang sangat berarti dari para PRT dan mengisolasinya pada bentuk pekerjaan yang hanya berhubungan dengan perangkat rumah tangga semata. Pekerja sektor informal ini dapat diklasifikasi menjadi 3 kelompok yaitu : a. Pengusaha (pemilik usaha informal sekaligus operator dari pengusaha mandiri); b. Pekerja mandiri (kepala dari bisnis keluarga, orang yang mempekerjakan diri sendiri, tenaga kerja keluarga tak di bayar), dan c. Buruh upahan (pekerja dari perusahaan informal; pekerja kasual, pekerja rumahan, PRT, pekerja paruh waktu atau pekerja kadang-kadang, pekerja tak terdaftar) PRT adalah, “orang yang tidak termasuk anggota keluarga yang bekerja pada seseorang atau beberapa orang dalam rumah tangga untuk melakukan pekerjaan kerumahtanggan dengan memperoleh Upah”. Berdasarkan kedua definisi di atas setidaknya ada 4 elemen pokok yang terdapat dalam pengertian PRT. Pertama, adalah orang yang bekerja, dalam hal ini adalah PRT. Kedua, orang yang mempekerjakan atau yang kemudian disebut sebagai Pemberi Kerja. Ketiga, melakukan pekerjaan kerumahtanggan. Keempat, mendapatkan Upah. Jadi dari pengertian tersebut sudah selayaknya pekerja rumah tangga mendapatkan perlindungan hukum serta pengaturan di dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan. Dalam pasal 1 ayat 15 Undang-Undang ketenagakerjaan Hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan Perjanjian Kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, Upah, dan perintah. Dalam relasi kerja antara PRT dan Pemberi Kerja masih terdapat ketimpangan. Hubungan Kerja antara PRT dan Pemberi Kerja lebih merupakan hubungan yang bersifat kekuasaan. Pemberi Kerja menguasai sumber ekonomi (menyediakan lapangan kerja) dan PRT sebagai orang yang mencari kerja. Dalam Hubungan Kerja antara PRT dan Pemberi Kerja terdapat kekhususan. Hal ini antara lain disebabkan macam atau jenis pekerjaan yang dilakukan oleh PRT berada pada wilayah domestik kerja kerumahtanggaan. Dengan demikian sebenarnya PRT termasuk ke dalam kategori pekerja meskipun sifat hubungan kerja lebih bersifat semi-formal. Artinya disamping berorientasi pada tugas, hubungan tersebut juga bersifat kekeluargaan. Sifat Hubungan Kerja semacam ini barangkali menguntungkan bagi beberapa PRT yang kebetulan bekerja pada Pemberi Kerja yang baik. Dalam praktek, hubungan diantara mereka lebih kental diwarnai oleh nilai-nilai kekeluargaan, kemanusiaan serta tepo slira dalam menentukan lingkup pekerjaan, pelaksanaan perintah maupun penentuan imbalan (Upah) karena itu jarang dijumpai hubungan diantara mereka dituangkan dalam suatu Perjanjian Kerja (tertulis) layaknya hubungan hukum dalam pekerjaan di sektor formal yang bercirikan sebagai Hubungan Kerja yang zakelijk. Meski demikian secara teoretik dapat dijelaskan bahwa hubungan antara Pemberi Kerja dan PRT pada hakekatnya dapat dikualifikasikan sebagai Hubungan Kerja yang terbentuk karena adanya kesepakatan diantara keduanya baik secara langsung maupun tidak langsung (melalui Penyedia Jasa PRT), paling tidak mengenai jenis pekerjaan dan imbalan yang akan diterima oleh PRT dan pada umumnya dibuat secara lisan. Sementara sistem Undang-Undang Ketenagakerjaan tidak menjangkau para PRT, sejumlah Undang-Undang Nasional lainnya memberikan perlindungan di bidang-bidang tertentu, meski dengan masih secara terpisah dan terbatas. Undang-Undang ini meliputi: a. Undang-Undang Dasar Di dalam Undang-Undang Dasar 1945 perlindungan pekerja termuat di dalam beberapa pasal yaitu antara lain (Pasal 28B (2), Pasal 28C (1), Pasal 28D (1), Pasal 28D (2), Pasal 28E (1), Pasal 28F, Pasal 28G (1), Pasal 28G (2), Pasal 28H (1), Pasal 28H (2), Pasal 28H (3), Pasal 28 I (4), dan Pasal 28I (5). Dimana memuat berbagai perlindungan terhadap hak asasi manusia, termasuk: 1) Setiap anak memiliki hak untuk hidup, tumbuh dan dilindungi terhadap tindak kekerasan dan diskriminasi: Pasal 28B (2) 2) Setiap orang memiliki hak untuk meningkatkan diri sendiri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya…: Pasal 28C (1) 3) Setiap orang memiliki hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil dan juga perlakuan yang sama dihadapan hukum: Pasal 28D (1) 4) Setiap orang berhak atas kesempatan kerja dan menerima kompensasi yang adil dan wajar dari hubungan kerja: Pasal 28D (2) 5) Setiap orang bebas untuk ... memilih pekerjaannya: Pasal 28E (1) 6) Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan mendapatkan informasi untuk mengembangkan kepribadiannya dan lingkungan sosialnya: Pasal 28F 7) Setiap orang berhak atas perlindungan diri sendiri, keluarga, kehormatan, martabat, dan kekayaan yang berada dibawah wewenangnya, dan juga berhak untuk merasa aman dan dilindungi dari ancaman-ancaman atas ketakutan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu menurut hak-hak dasar: Pasal 28G (1) 8) Setiap orang memiliki kebebasan untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan buruk yang merendahkan martabat manusia dan berhak atas perlindungan politik dari negara lain: Pasal 28G (2) 9) Setiap orang berhak untuk hidup sejahtera baik fisik maupun spiritual, memiliki tempat untuk tinggal, dan mendapatkan lingkungan yang sesuai dan sehat, dan juga mendapatkan perawatan kesehatan: Pasal 28H (1) 10) Setiap orang berhak atas fasilitas dan perlakuan khusus untuk kesempatan dan keuntungan yang sama untuk mencapai persamaan dan kesetaraan: Pasal 28H (2) 11) Setiap orang memiliki hak atas jaminan keamanan sosial yang memungkinkan mereka untuk berkembang secara penuh sebagai seorang manuasia yang bermartabat: Pasal 28H (3) 12) Perlindungan, kemajuan, menjunjung tinggi dan pemenuhan hak–hak asasi manusia merupakan tanggung jawab negara terutama pemerintah: Pasal 28I (4) 13) Untuk menjunjung tinggi hak asasi manusia sesuai dengan prinsipprinsip Negara hukum yang demokratis, praktik hak asasi manusia harus dijamin, diatur dan dicakupkan di dalam perundang-undangan: Pasal 28I (5) Terdapat (Mahkamah Konstitusi) untuk mengawasi penegakan hak-hak ini. Meskipun istilahnya masih kabur, hak-hak pada pasal XA telah membentuk dasar untuk beberapa gugatan hukum yang berhasil. Sebagai contoh, beberapa ketentuan di dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan telah dinyatakan tidak berlaku atas dasar bahwa ketentuan-ketentuan tersebut tidak sesuai dengan perlakuan yang sama dihadapan Undang-Undang. Oleh karena itu, diyakini bahwa menafsirkan definisi majikan dengan mengesampingkan majikan dari PRT juga bisa dinyatakan tidak konstitusional. b. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana KUHP meliputi para PRT hanya sampai batas bahwa Kitab Undang-undang Hukum Perdata mencakup semua orang. Tidak ada perlindungan khusus bagi PRT secara perorangan, di dalam KUHP memuat aturan mengenai perlindungan terhadap hak-hak sebagai warga negara indonesia yaitu memperoleh perlindungan terhadap tindakan kekerasan dan kesewenang-wenangan dari majikan yaitu termuat di dalam Pasal antara lain: (Pasal 285-291, Pasal 297, Pasal 324-327, Pasal 328-329, Pasal 335, Pasal 338-350, Pasal 351-358 serta Pasal 378) yaitu: 1) Pemerkosaan dan serangan seksual: Pasal 285-291 2) Perdagangan perempuan dan anak-anak: Pasal 297 3) Perdagangan budak: Pasal 324-327 4) Penculikan: Pasal 328-329 5) Menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk memaksa seseorang melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan keinginannya: Pasal 335 6) Pembunuhan: Pasal 338-350 7) Pelecehan: Pasal 351-358 8) Pemalsuan dokumen: Pasal 378 Ketentuan-ketentuan ini hanya mencakup kasus-kasus ekstrim pelecehan dan hanya berlaku dalam serangkaian keadaan yang terbatas. Lebih lanjut, seperti telah dibahas dimuka, para PRT yang berusaha untuk mendapatkan hak-hak mereka berdasarkan KUHP dihadapkan dengan berbagai kendala ketika melaporkan kejadian kepada kepolisian dan dalam tindak lanjutnya. c. Undang-Undang Anti Kekerasan Dalam Rumah Tangga Aturan mengenai perlindungan terhadap pekerja rumah tangga di Undang-Undang anti kekerasan dalam rumah tangga antara lain termuat di dalam (Pasal 6, Pasal 10, Pasal 15) UU Anti KDRT melarang, di dalam konteks rumah tangga, setiap tindakan yang mengakibatkan penderitaan yang bersifat fisik, seksual ataupun psikologis atau tindakan penelantaran. Bagian 2 UU Anti KDRT mencakup suami, isteri, anak-anak, kerabat dan rujukan eksplisit terhadap “PRT yang tidak pulang” selama masa kerja mereka dengan sebuah rumah tangga. Kelompok PRT ini memang yang paling rentan. Pasal 6 meliputi beberapa tanggung jawab kepolisian dalam menangani laporan kekerasan dalam rumah tangga. Tanggung jawab ini termasuk tanggung jawab untuk memberikan perlindungan, menindak lanjuti pengaduan dan menginformasikan para korban tentang hak-hak mereka. Pasal 10 menyebutkan bahwa korban-korban kekerasan memiliki hak untuk mendapatkan akses terhadap: a. Perlindungan oleh keluarga, kepolisian, jaksa penuntut, pengadilan, pengacara, organisasi sosial dan pihak-pihak lain. b. Perawatan kesehatan c. Penanganan secara baik dan rahasia atas kasus mereka d. Dukungan dari pekerja sosial dan bantuan hukum e. Bimbingan spiritual Pasal 15 mengharuskan semua orang yang mengetahui adanya situasi yang melibatkan kekerasan dalam rumah tangga untuk mengambil segala langkah yang mungkin untuk memberikan perlindungan dan membantu agar kasus tersebut diproses oleh yang berwajib. Meskipun UU Anti KDRT dapat membantu para PRT yang terperangkap dalam situasi kekerasan, undang-undang mencakupkan langkah-langkah kongkrit untuk: 1) mensosialisasikan ketentuan-ketentuannya 2) menangani masalah spesifik PRT 3) menguatkan kapasitas kelembagaan untuk penegakkannya. ini tidak 4) menangani sikap-sikap budaya yang menghalangi penanganan secara efektif . d. Undang-Undang Perlindungan Anak Aturan mengenai perlindungan pekerja rumah tangga termuat di dalam Undang-Undang perlindungan Perlindungan Anak yaitu (Pasal 59, dan Bab XII di dalam Undang-Undang Perlindungan Anak) yang akan dijabarkan dibawah ini: Pasal 59 UU Perlindungan Anak menyebutkan bahwa “badanbadan pemerintah eksekutif dan badan-badan pemerintah lainnya” memiliki tanggung jawab memberikan “perlindungan khusus” kepada anak-anak (semua orang berusia di bawah usia 18 tahun) di dalam keadaan-keadaan tertentu. Beberapa di antara keadaan ini mencakup para PRT anak dalam beberapa situasi, termasuk: 1) anak-anak yang dieksploitasi secara ekonomi atau sosial 2) anak-anak yang diperjualbelikan 3) anak-anak yang diculik Bab XII UU tersebut mencakup hukuman kurungan sampai 15 tahun untuk orang-orang yang memperdagangkan atau menculik anakanak, 10 tahun bagi yang menyebabkan seorang anak 15 dieksploitasi secara ekonomi atau seksual, dan 5 tahun bagi yang mengetahui situasisituasi ini tetapi tidak melakukan apa-apa. e. Undang-Undang Pendidikan Nasional Di dalam Undang-Undang pendidikan Nasional Pekerja Rumah Tangga melarang pekerja yang di usia masih sekolah karena itu di dalam undang-undang tersebut mengharuskan anak harus mendapatkan pendidikan antara lain dalam (Pasal 6, Pasal 7, dan Pasal 11). Undang-Undang Pendidikan Nasional menyebutkan bahwa setiap orang yang berusia antara 7 sampai 15 tahun harus bersekolah. UU tersebut mengharuskan semua warga negara (Pasal 6), Orang Tua (Pasal 7) pemerintah nasional dan daerah (Pasal 11) bertanggungjawab untuk menjamin bahwa pendidikan bagi semua orang yang termasuk dalam usia ini bisa terjadi. Undang-Undang Pendidikan Nasional tersebut tidak menyebutkan langkah-langkah apa yang harus diambil oleh warga negara dan pemerintah untuk menjamin agar anak-anak bersekolah. Lebih lanjut, UU ini tidak menyebutkan mengenai sanksi bagi orang-orang yang memperkerjakan anak-anak dengan cara sedemikian rupa sehingga mengganggu akses mereka terhadap wajib belajar. f. Undang-Undang Hak Asasi Manusia Di dalam Undang-Undang Hak Asasi Manusia terdapat aturan yang melindungi pekerja rumah tangga antara lain dalam (Pasal 11, Pasal 12, Pasal 38 (1), Pasal 38 (2), Pasal 38 (4), Pasal 58, Pasal 60, Pasal 64, Pasal 65). Pekerja rumah tangga (PRT) wajib dilindungi berdasarkan kajian hak Asasi Manusia (HAM) dan Negara Hukum, perlindungan terhadap pekerja rumah tangga mutlak harus diberikan. Berdasarkan Sasaran Kerja Nasional Badan Pusat Statistik 2010, data dari Migrant care dan estimasi Organisasi Buruh Sedunia (ILO) tahun 2011, saat ini terdapat lebih dari 3 juta PRT di Indonesia dan lebih dari 6 juta PRT Indonesia yang bekerja di luar negeri. Bahkan, pekerjaan sebagai PRT menempati posisi teratas sebagai tujuan tenaga kerja Indonesia (TKI) di luar negeri. Namun sayangnya, mereka rentan terhadap kekerasan fisik, psikologis, ekonomi dan social sehingga hidup dalam situasi pekerjaan yang tidak layak. Oleh sebab itulah diperlukan perlindungan bagi PRT dan anggota keluarganya. Kejanggalan kebijakan di Indonesia justru terjadi di kalangan pengambil keputusan, dalam hal ini Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Menakertrans), yang perlindungan PRT. Kementrian Perempuan dan Padahal, Kementerian menolak Koordinator adanya Negara konvensi Pemberdayaan Kesejahteraan Rakyat Mendukung lahirnya konvensi ILO tentang perlindungan PRT.27 Dalam rapat koordinasi Kementerian Kesejahteraan Rakyat pada 11 agustus 2012, salah satu hasil yang disampaikan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono adalah mendukung dan membangun konsultasi untuk lahirnya konvensi ILO tentang perlindungan PRT.28 Alasan yuridis mengenai perlindungan PRT sebenarnya sudah tertuang dalam pasal 27 UUD 1945, dinyatakan bahwa tiap-tiap warga 27 28 http://migrantcare.net/,od.php?/ Ibid Negara berhak ataspekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusaiaan, UU no. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Pasal 1 point 12 UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menyebutkan Hak Anak adalah bagian dari HAM yang wajib dijamin, dilindungi, dan dipenuhi oleh orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah dan Negara, serta Pasal 4 UU No 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga yaitu: mencegah segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga, melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga, menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga, dan memelihara keutuhan rumah tangga yang harmonis dan sejahtera.29 Undang-Undang HAM memuat daftar serangkaian HAM yang harus dihormati oleh negara dan semua warga negara. Banyak di antara hak-hak asasi manusia ini mempengaruhi para PRT, misalnya: 1) Setiap orang memiliki hak atas kebutuhan dasar untuk tumbuh dan berkembang secara layak (Pasal 11) 2) Setiap orang memiliki hak atas perlindungan bagi pengembangan pribadi, untuk mengakses pendidikan, meningkatkan pengetahuan, meningkatkan mutu hidup … (Pasal 12) 3) Setiap warga negara memiliki hak untuk memperoleh pekerjaanpekerjaan yang pantas, sesuai dengan bakat dan keterampilannya (Pasal 38 (1)) 29 Emiarti Fuad, Perlindungan Perempuan ,Jakarta: Permata Suara, 2009. Hlm. 23 4) Setiap warga negara memiliki hak untuk memilih secara bebas pekerjaannya dan dipekerjakan berdasarkan kondisi-kondisi yang adil (Pasal 38 (2)) 5) Setiap orang memiliki hak atas upah yang adil, sesuai dengan standar pekerjaan yang telah diselesaikan dan cukup untuk menghidupi keluarganya (Pasal 38 (4)) 6) Setiap anak memiliki hak untuk mendapatkan perlindungan hukum dari kekerasan mental, fisik dan seksual ... (Pasal 58) 7) Setiap anak memiliki hak atas pendidikan … (Pasal 60) 8) Setiap anak memiliki hak atas perlindungan dari eksploitasi ekonomi dan pekerjaan berbahaya yang bisa mengganggu pendidikan, kesehatan fisik, moralitas, kehidupan social atau kesejahteraan mental/spiritual anak tersebut (Pasal 64) 9) Setiap anak memiliki hak atas perlindungan dari eksploitasi seksual, penculikan, perdagangan dan narkoba (Pasal 65) UU HAM tidak memuat pedoman kongkrit mengenai bagaimana hak-hak ini diberlakukan atau sanksi untuk pelanggarannya. Selain Undang-Undang diatas, Indonesia juga telah mengeluarkan perundang-undangan untuk mengesahkan beberapa norma hukum internasional terkait, termasuk: 1. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Right). 2. Konvenant Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (International convenant on Civil and political Right/ICESRC). 3. Konvenant internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (International convenant on Economic, Sosial and Cultural Right/ICESRC). 4. Konvenant tentang Penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan (Convenants on the elimination of all forms of discrimination againt women/CEDAW). 5. Konvensi tentang hak-hak Anak (convention on the Right of the Child) 6. Konvensi untuk menekan perdagangan Manusia dan Eksploitasi Prostitusi lain. 7. Konvensi ILO tentang Kebebasan Berserikat dan Hak untuk Berorganisasi 1948 (Konvensi Ilo No. 87) 8. Konvensi ILO tentang Hak Berorganisasi dan Perundingan Bersama, 1949 (Konvensi ILO No. 98) 9. Konvensi ILO tentang Kerja Paksa, 1930 (konvensi ILO 29) 10. Konvensi ILO tentang Penghapusan Kerja Paksa, 1957 (Konvensi ILO No. 105) 11. Konvensi ILO tentang Usia Minimum, 1973 (Konvensi ILO No. 138) 12. Konvensi ILO tentang Bentuk-bentuk Terburuk Perburuhan Anak, 1999 (Konvensi ILO No.182) 13. Konvensi ILO tentang Kesetaraan Pendapatan, 1951 (Konvensi ILO No. 100) 14. Konvensi ILO tentang Diskriminasi (pekerjaan dan jabatan), 1958 (Konvensi ILO No.111) Undang-undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah memberikan kekuasaan kepada pemerintah provinsi dan pemerintah daerah (Kotamadya/Kabupaten) untuk membuat peraturan tentang semua sektor di luar negeri, masalah moneter dan fiscal, kehakiman dan keagamaan. Hal ini berarti, meskipun tidak ada ketidaksesuaian dengan undang-undang nasional, pemerintah daerah saat ini dapat secara independen mengeluarkan undang-undang tentang masalah-masalah seperti hubungan industrial, perdagangan manusia, hak asasi manusia, kesetaraan gender, dan masalah lain bagi para PRT. Sejumlah pemerintah daerah saat ini memiliki Undang-Undang atau RUU yang terkait dengan para PRT. B. Faktor-faktor yang menghambat perlindungan Hukum terhadap Pekerja Rumah Tangga Ada aneka macam hubungan antara anggota masyarakat, yakni hubungan yang ditimbulkan oleh kepentingan anggota masyarakat. Beranekaragamnya hubungan tersebut mengakibatkan anggota masyarakat memerlukan aturan-aturan yang dapat menjamin keseimbangan agar dalam hubungan tersebut tidak terjadi kekacauan dalam masyarakat. Dalam rangka menjaga agar peraturan-peraturan hukum itu dapat berlangsung terus dan diterima seluruh anggota masyarakat, maka peraturan-peraturan hukum yang ada harus sesuai dan tidak boleh bertentangaan dengan asas-asas keadilan dari masyarakat tersebut.30 Ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 mengatur bahwa Indonesia adalah negara hukum. Ditegaskannya Indonesia sebagai negara hukum tentunya tidak asing lagi dalam praktek ketatanegaraan sejak awal pendirian negara hingga sekarang. Namun dalam praktek ketatanegaraan orang masih skeptis, apakah negara hukum itu sudah dilaksanakan sepenuhnya. Hal ini disebabkan di dalam praktek, pengertian yang menurut teori masih perlu dikaji dengan kenyataan yang hidup dalam bermasyarakat dan bernegara. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika cita-cita universal mengenai negara hukum yang demokratis sebagaimana diletakkan dalam konstitusi sering dilanggar bahkan bertentangan dengan HAM. Seakan-akan negara hukum yang demokratis ini hanya mitos saja yang belum pernah terbukti dalam sejarah ketatanegaraan.31 Berkaitan dengan demokrasi, bahwa kesetaraan merupakan sendi utama proses demokratisasi karena menjamin terbukanya akses dan peluang bagi seluruh elemen masyarakat. Tidak terwujudnya cita-cita demokrasi seringkali dipicu oleh perlakuan yang diskriminatif dari mereka yang dominan baik secara struktural maupun kultural. Perlakuan diskriminatif dan ketidaksetaraan tersebut dapat menimbulkan kerugian dan menurunkan kesejahteraan hidup bagi pihak-pihak yang termarginalisasi dan tersubordinasi. Hal ini disebabkan, sampai saat ini diskriminasi berbasis pada 30 C.S.T. Kansil, 2011, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta:Rineka Cipta, hlm. 36. Dessy Artina, “Poltik Hukum Kesetaraan Gender di Indonesia”, Jurnal Ilmu Hukum, Edisi 1 No. 1, Tahun 2010, Pekanbaru: Universitas Riau, hlm. 48. 31 gender masih dirasa hampir di seluruh dunia, termasuk negara Indonesia. Dalam hal ini kaum perempuan yang paling berpotensi mendapatkan perlakuan yang diskriminatif, meski tidak menutup kemungkinan laki-laki juga dapat megalaminya. Jumlah perempuan sebagai PRT meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2013 jumlah PRT di Indonesia sebanyak 10.744.887 orang dan hampir 90 % diantaranya adalah PRT perempuan. Data PBB bahkan menunjukkan bahwa 1/3 penduduk dunia hidup di bawah garis kemiskinan dan sekitar 70% diantaranya adalah perempuan.32 Banyaknya permasalahan yang dihadapi perempuan sebagai PRT disebabkan belum adanya jaminan terhadap hak-hak mereka, dalam hal ini perlindungan terhadap profesi ini masih belum memadai. Permasalahan tersebut misalnya dari gaji yang tidak dibayar, gaji yang tidak wajar, pelecehan atau kekerasan, baik secara fisik, psikis, seksual atau penelantaran rumah tangga. Kaum perempuan sebagai PRT potensial mengalami kekerasan fisik atau penyiksaan yang dilakukan anggota rumah tangga terutama majikan dan anak majikan tempat PRT bekerja. Pada kasus kekerasan dalam rumah tangga seperti tindakan penelantaran, pihak yang paling rentan untuk menjadi korban adalah perempuan/istri, anak dan PRT. PRT sebagai mana ketentuan Pasal 2 ayat (1 c) UU No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), bahwa “ lingkup rumah tangga termasuk orang yang bekerja 32 www.hukumonline.com/perlunyaperlindunganhukumterhadapPRT/ di akses 5 September 2014 membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut”. Hal ini juga diatur pada Pasal 9 ayat (1) UU No. 23 Tahun 2004 bahwa kewajiban memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut sebagaimana disebut dalam Pasal 2. Kewajiban tersebut meliputi memberikan kebutuhan primer kepada orang-orang yang menjadi tanggungannya, termasuk kepada pekerja rumah tangga yang hidup menetap dalam keluarga. Bentuk penelantaran terhadap keluarga termasuk dalam kategori peristiwa Pidana omisionis. Omisionis adalah terjadinya delik karena seseorang melalaikan suruhan atau tidak berbuat, karena memberikan kehidupan kepada orang-orang yang berada di bawah kendalinya adalah merupakan perintah undang-undang, sehingga jika ia tidak memberikan sumber kehidupan tersebut kepada orang-orang yang menjadi tanggungannya berarti ia telah melalaikan suruhan/tidak berbuat.33 Publikasi Internasional Labour Organization (ILO) memasukkan pekerja rumah tangga dalam sektor ekonomi non formal. Berbeda dengan para pekerja yang berada dalam sektor formal, mereka dilindungi oleh UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Dalam publikasi tersebut dijelaskan bahwa pemerintah menyatakan, majikan pekerja rumah tangga bisa tergolong “pemberi kerja” ia bukan badan usaha dan dengan demikian bukan “pengusaha” dalam artian Undang-undang Ketenagakerjaan. 34 Oleh karena 33 H. Muchsin, Menelantarkan Keluarga Merupakan Delik Omisionis, Jurnal Varia Peradilan, Vol. XXVI No. 303 Tahun 2011, Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan HAM RI, hlm. 18. 34 Sali Susiana, “Urgensi Undang-Undang Tentang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga Dalam Perspektif Feminis”, Jurnal Legislasi Indonesia, Vol. 7 No. 2, Tahun 2012, itu PRT dianggap tidak dipekerjakan oleh pengusaha, mereka tidak diberikan perlindungan oleh Undang-Undang Ketenagakerjaan. Pada dasarnya hubungan antara PRT dengan majikannya umumnya hanya diatur berdasarkan kepercayaan saja, berbeda dengan mekanisme hubungan kerja di sektor formal yang juga menyediakan mekanisme penyelesaian sengketa di pengadilan hubungan industrial. Di dalam Undang-Undang No.13 Tahun 2003 tidak menjangkau perlindungan hukum terhadap PRT, tetapi sejumlah peraturan perundangundangan nasional telah mengatur dan memberikan perlindungan di bidangbidang tertentu, meski secara terpisah dan terbatas. Perlindungan terhadap PRT diberikan dengan mengingat asas penghormatan hak asasi manusia dan keadilan serta kesetaraan. Perlindungan tersebut bertujuan untuk memberikan pengakuan secara hukum atas jenis pekerjaan PRT, pengakuan bahwa pekerjaan kerumahtanggaan mempunyai nilai ekonomis, mencegah segala bentuk diskriminasi, pelecehan dan kekerasan terhadap PRT, perlindungan kepada PRT dalam mewujudkan kesejahteraan, mengatur hubungan kerja yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, keadilan dan kesetaraan. Di dalam ketentuan Pasal 27 ayat (2) dan Pasal 28 D ayat (2) mengatur bahwa “Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja”. Namun demikian, pada kenyataannya di lapangan sangat berbeda, PRT jarang sekali disebut Jakarta: Direktorat jenderal Peraturan Perundang-undangan Kementerian Hukum dan HAM RI, hlm. 257. sebagai pekerja (workers), melainkan hanya sekedar sebagai pembantu (helper). Hal ini memperkuat keengganan budaya untuk memformalkan hubungan antara para pekerja rumah tangga dengan majikan. Sebagai gantinya para majikan memandang peranan mereka sebagai peranan paternalistik. Berkaitan dengan itu, karena sifat hubungan yang informal, kekeluargaan dan paternalistik antara PRT dan majikan, berakibat penyelesaian perselisihan yang menyangkut hak dan kewajiban PRT dilakukan secara informal. Dalam arti PRT tidak memiliki akses terhadap mekanisme-mekanisme seperti pengadilan industri yang dibentuk untuk menyelesaikan perselisihan pekerja di sektor formal. UU No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan tidak menjangkau para PRT ke dalam sistem perundangan umum mengenai hubungan kerja. PRT secara nomatif sebagai pekerja telah dilindungi oleh berbagai peraturan perundang-undangan maupun Konvensi internasional, namun kenyataan PRT merupakan profesi yang sangat rentan terutama PRT perempuan. Selama ini PRT perempuan masih mengalami diskriminasi, karena PRT perempuan memiliki kerentanan yang secara umum disebabkan oleh berbagai faktor yaitu: a. keberadaan PRT sangat tergantung permintaan pasar; b. Sangat jarang ada kontrak kerja tertulis yang adil dan menjadi kesepakatan bersama pihak-pihak yang terlibat, hal ini berakibat majikan memegang posisi tawar jauh lebih kuat dan PRT tidak memperoleh perlindungan; c. Salah satu keuntungan PRT adalah fleksibilitas dalam mengatur jam kerja, dalam kenyataan PRT sering harus bekerja lebih keras dan lebih lama setiap harinya; dan d. Upah PRT yang diperoleh sangat rendah bila dibandingkan dengan jam kerjanya. Selain faktor-faktor tersebut, terdapat beberapa faktor yang mengakibatkan masih lemahnya perlindungan hukum dan sosial bagi PRT, baik aspek yuridis maupun aspek sosial. Aspek yuridis, meliputi: a. Adanya anggapan bahwa PRT bukan pekerja; dan b. Tempat kerja PRT berpotensi menimbulkan kekerasan. Aspek sosial meliputi: a. Relasi kekuasaan yang tidak seimbang; b. Status sosial PRT yang rendah dan kurang dihargai; dan c. Kultur masyarakat; serta pekerjaan yang dilakukan PRT tidak dianggap sebagai pekerjaan produktif. Faktor sub ordinasi dan stereotip juga mengakibatkan lemahnya perlindungan hak-hak PRT. Konsep sub ordinasi bahwa relasi kerja antara majikan dan PRT yang didasarkan pada relasi kekuasaan yang tidak seimbang. Majikan berada pada posisi superordinat, sementara perempuan sebagai PRT sebagai sub ordinat. Hal ini diperkuat adanya ketergantungan PRT terhadap majikannya, karena PRT membutuhkan pekerjaan, sehingga mereka bersedia di beri upah yang rendah. Pandangan stereotip yang menganggap bahwa pekerjaan rumah tangga adalah pekerjaan yang tidak memerlukan keahlian serta tidak profesional menyebabkan pekerjaan sebagai PRT mempunyai status sosial yang rendah dan kurang dihargai. Menurut Todaro dan Smith, PRT tergolong sebagai pekerja di sektor informal, yaitu sektor yang tidak terorganisasi (unorganized), tidak diatur (unregulated), dan sebagian besar legal tetapi tidak terdaftar (unregistered). Ketiga faktor tersebut yang menjadikan profesi PRT memang tidak terorganisasi, tidak diatur dan tidak terdaftar.35 C. Upaya Hukum yang Dilakukan Fungsi hukum dalam memberikan perlindungan, diciptakan sebagai suatu sarana atau instrumen untuk mengatur kewajiban dan hakhak subjek hukum. Hukum juga berfungsi sebagai instrumen perlindungan bagi subjek hukum. Menurut Sudikno Mertokusumo hukum berfungsi sebagai perlindungan kepentingan manusia.36 Hak-hak PRT walaupun secara normatif sudah mendapat perlindungan hukum dalam sistem peraturan perundang-undangan nasional, namun pelanggaran HAM, yang melibatkan PRT masih sering 35 Ibid Muchsin, Perlindungan Anak Dalam Perspektif Hukum Positif (Tinjauan HAN, Hukum Perdata dan Hukum Pidana), Jurnal Varia Peradilan, Vol. XXVI, No. 308 Tahun 2011, Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan HAM RI, hlm. 10. 36 terjadi dalam lingkungan masyarakat. Kehadiran hukum sebagai suatu yang sangat vital, seperti mempertahankan kelangsungan hidup masyarakat dan cara-cara melindungi masyarakat dari gangguan baik dari dalam maupun dari luar. Dengan demikian hukum diterima dari sudut pandang yang sangat luas, khususnya mengenai tempat dan peranannya dalam masyarakat. Paradigma sistem hukum yang diajarkan oleh Lawrence M.Friedman terdiri atas 3 (tiga) komponen yaitu komponen struktural, komponen substansi dan komponen budaya hukum.37 Komponen struktural merupakan bagian dari sistem hukum yang bergerak dalam suatu mekanisme, termasuk dalam komponen ini antara lain pembuat undang-undang, pengadilan dan lembaga yang diberi wewenang untuk menerapkan hukum serta lembaga yang diberi wewenang melakukan penindakan terhadap pihak yang melanggar ketentuan hukum. Komponen substansi yaitu hasil kerja nyata yang diterbitkan oleh sistem hukum. Hasil ini berwujud hukum in concreto atau kaidah hukum khusus dan kaidah hukum in abstracto atau kaidah hukum umum. Budaya hukum diartikan keseluruhan sistem nilai serta sikap yang mempengaruhi hukum. Masyarakat harus mengetahui interaksi antara hukum dengan faktor-faktor lainnya dalam perkembangan masyarakat, terutama ekonomi dan sosial. Setiap warga negara baik laki-laki maupun perempuan mempunyai hak untuk bekerja. Sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945. Selain mempunyai hak yang sama untuk bekerja, pekerja laki-laki 37 Rabiatul Syariah, “Keterkaitan Budaya Hukum Dengan Pembangunan Hukum Nasional”, Jurnal Hukum Equality, Vol. 13 No. 1, Tahun 2008, Medan: Fakultas Hukum USU,hlm. 33. dan perempuan juga mempuyai hak upah yang sama dalam pekerjaan yang sama nilainya. Demikian juga perempuan sebagai PRT mendapat hak yang sama sesuai dengan pekerjaan yang dilakukan. Pengaturan secara normatif terhadap pekerja rumah tangga, berarti hukum sudah berfungsi sesuai dengan tujuannya yaitu menciptakan ketertiban dalam masyarakat. Hukum yang berlaku dalam masyarakat harus dapat mencerminkan rasa keadilan, karena hukum mengandung nilai-nilai sebagai pedoman tingkah laku bagi anggota masyarakat. Gustav Radbruch mengatakan bahwa hukum itu mengandung tiga nilai dasar yaitu kepastian, kemanfaatan dan keadilan. Dengan demikian hukum sebenarnya mengandung ide-ide atau keinginankeinginan tertentu yang memang dikehendaki oleh masyarakat.38 Perlindungan hukum terhadap PRT merupakan salah bentuk pelaksanaan hak asasi manusia, sebagaimana diatur pada Pasal 1 ayat (1) UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, bahwa hak asasi manusia merupakan seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan YME dan merupakan anugerah Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. Perlindungan terhadap perempuan sebagai pekerja rumah tangga secara lengkap sudah diatur dalam UUD 1945, misalnya hak pendidikan sebagai salah satu hak dasar manusia, hak warga negara atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan, hak memiliki 38 Suparno, Penegakan Hukum Dalam Masyarakat Pluralisme, Jurnal Hukum Masalah-Masalah Hukum, Vol. 36 No. 2, Tahun 2007, Semarang: Fakultas Hukum Undip, hlm. 122 keturunan, hak untuk bekerja serta mendapatkan imbalan dan perlakuan adil dan layak dalam hubungan kerja, hak memilih pekerjaan, hak hidup sejahtera lahir dan batin, hak memperoleh pelayanan kesehatan. Namun dalam implementasinya hak-hak tersebut masih belum dijalankan dengan baik.39 Banyaknya kasus dan peristiwa yang menimpa perempuan sebagai PRT dewasa ini, merupakan realitas dan fakta bahwa sering terjadinya berbagai penolakan yang dilakukan masyarakat terhadap produk hukum, seperti penolakan tentang upah buruh, bahkan bentuk penolakan ini tidak jarang menimbulkan berbagai bentuk kekerasan yang dilakukan baik oleh masyarakat sendiri maupun oleh aparat penegak hukum. Berkaitan dengan pembangunan hukum yang sekarang sedang dilakukan khususnya revisi tentang keberadaan Undang-Undang No. 13 Tahun 2003, dapat diartikan sebagai: a. Suatu usaha untuk memperbaharui hukum positif sendiri, sehingga sesuai dengan kebutuhan untuk melayani masyarakat pada tingkat perkembangannya yang mutakhir, disebut dengan modernisasi hukum; b. Suatu usaha untuk memfungsionalkan hukum dalam masa pembangunan, yaitu dengan cara turut mengdakan perubahanperubahan sosial sebagaimana dibutuhkan oleh suatu masyarakat 39 Erlina B, Pengaruh Globalisasi terhadap Perkembangan Hak Asasi Manusia Bidang Ekonomi, Sosial, Budaya di Indonesia, Jurnal Ilmu Hukum Pranata Hukum, Vol. 2 No. 2, Tahun 2011, Bandar Lampung: Program Studi Magister Ilmu Hukum PPS Universitas Bandar Lampung, hlm. 108. yang sedang membangun. Hal tersebut ditegaskan oleh Mohammad Koesnoe bahwa hukum tidak terpisahkan dari masyarakat. Perubahan dalam masyarakat ini sudah tentu sangat berpengaruh terhadap perkembangan hukum dalam masyarakat, karena perubahan di bidang hukum dapat mempengaruhi perkembangan dalam masyarakat. Demikian juga perubahan dalam masyarakat dapat mempengaruhi perkembangan hukum yang terdapat dalam masyarakat yang bersangkutan. Hukum sebagai kaidah sosial tidak lepas dari nilai (values) yang berlaku dalam suatu masyarakat. Bahkan hukum itu merupakan pencerminan dari nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat. Hukum yang baik adalah hukum yang hidup (the living law) dalam masyarakat. BAB V PENUTUP A. Kesimpulan 1. Di dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan perlindungan mengenai Pekerja rumah tangga tidak diatur secara eksplisit namun Pengaturan tentang perlindungan hukum bagi pekerja rumah tangga telah diatur di dalam hukum positif yang berlaku di Indonesia yaitu termuat di dalam: Undang-Undang Dasar (Pasal 28B (2), Pasal 28C (1), Pasal 28D (1), Pasal 28D (2), Pasal 28E (1), Pasal 28F, Pasal 28G (1), Pasal 28G (2), Pasal 28H (1), Pasal 28H (2), Pasal 28H (3), Pasal 28 I (4), dan Pasal 28I (5). Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Pasal 285-291, Pasal 297, Pasal 324-327, Pasal 328-329, Pasal 335, Pasal 338-350, Pasal 351-358 serta Pasal 378). Undang-Undang Anti Kekerasan Dalam Rumah Tangga (Pasal 6, Pasal 10, Pasal 15). Undang-Undang Perlindungan Anak, (Pasal 59, dan Bab XII di dalam Undang-Undang Perlindungan Anak) Undang-Undang Pendidikan Nasional (Pasal 6, Pasal 7, dan Pasal 11). Undang-Undang Hak Asasi Manusia (Pasal 11, Pasal 12, Pasal 38 (1), Pasal 38 (2), Pasal 38 (4), Pasal 58, Pasal 60, Pasal 64, Pasal 65). 2. Faktor-faktor yang menghambat perlindungan Hukum terhadap Pekerja Rumah Tangga yaitu disebabkan belum adanya jaminan terhadap hakhak mereka, dalam hal ini perlindungan terhadap profesi ini masih belum memadai. Permasalahan tersebut misalnya dari gaji yang tidak dibayar, gaji yang tidak wajar, pelecehan atau kekerasan, baik secara fisik, psikis, seksual atau penelantaran rumah tangga. PRT jarang sekali disebut sebagai pekerja (workers), melainkan hanya sekedar sebagai pembantu (helper). Hal ini memperkuat keengganan budaya untuk memformalkan hubungan antara para pekerja rumah tangga dengan majikan. B. Saran 1. Bagi pemerintah agar segera merevisi Undang-Undang no 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan agar Pekerja Rumah tangga mendapat perlindungan hukum di dalam undang-undang tersebut agar hak-hak para pekerja rumah tangga tidak di simpangi. 2. Bagi wakil rakyat yang baru dilantik yaitu periode DPR 2014-2019, agar pemerintah segera mengesahkan RUU PPRT tersebut sebagai payung hukum dalam memberikan perlindungan hukum kepada PRT khususnya perempuan. Sebagaimana diketahui bahwa hampir 90% pekerja rumah tangga (PRT) adalah dari kaum perempuan. DAFTAR PUSTAKA a. Buku-Buku Abdul R. Saliman, Hermansyah, dan Ahmad Jalis, Hukum Bisnis Untuk Perusahaan, cet. II, Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2006. C.S.T. Kansil, 2011, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta:Rineka Cipta. Dessy Artina, “Poltik Hukum Kesetaraan Gender di Indonesia”, Jurnal Ilmu Hukum, Edisi 1 No. 1, Tahun 2010, Pekanbaru: Universitas Riau. Emiarti Fuad, Perlindungan Perempuan ,Jakarta: Permata Suara, 2009. Erlina B, Pengaruh Globalisasi terhadap Perkembangan Hak Asasi Manusia Bidang Ekonomi, Sosial, Budaya di Indonesia, Jurnal Ilmu Hukum Pranata Hukum, Vol. 2 No. 2, Tahun 2011, Bandar Lampung: Program Studi Magister Ilmu Hukum PPS Universitas Bandar Lampung. H. Muchsin, Menelantarkan Keluarga Merupakan Delik Omisionis, Jurnal Varia Peradilan, Vol. XXVI No. 303 Tahun 2011, Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan HAM RI. 2011. Lalu Husni, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003. Lembaga Bantuan Hukum Perempuan Indonesia (LBH APIK), Kertas Posisi Usulan Revisi Perda DKI Jakarta No 6 Tahun 1993 tentang Pramuwisma. LBH APIK Jakarta, 2002. Maryanti, Upaya Perlindungan PRT (Effort to Protect Domestic Workers), Jurnal Perempuan, Vol 39, Januari 2005, hlm 15. See also “Activists Call For Rulling to Protect Domestic Workers”, The Jakarta Post, 10 March 2005 Muchsin, Perlindungan Anak Dalam Perspektif Hukum Positif (Tinjauan HAN, Hukum Perdata dan Hukum Pidana), Jurnal Varia Peradilan, Vol. XXVI, No. 308 Tahun 2011, Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan HAM RI. Paus Hadisupratpto, Metode Penelitian Hukum Normatif, forum komunikasi mahasiswa pasca sarjana ilmu hukum, fakultas hukum, universitas brawijaya, Malang 2008. Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, Sendi-Sendi Ilmu Hukum dan Tata Hukum, Bandung, Alumni. 1986. Rabiatul Syariah, “Keterkaitan Budaya Hukum Dengan Pembangunan Hukum Nasional”, Jurnal Hukum Equality, Vol. 13 No. 1, Tahun 2008, Medan: Fakultas Hukum USU. Sali Susiana, “Urgensi Undang-Undang Tentang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga Dalam Perspektif Feminis”, Jurnal Legislasi Indonesia, Vol. 7 No. 2, Tahun 2012, Jakarta: Direktorat jenderal Peraturan Perundangundangan Kementerian Hukum dan HAM RI. Soetandyo Wignjosoebroto, Sebuah Pengantar ke Arah Perbincangan tentang Pembinaan Penelitian Hukum dalam PJP LI, BPHN Departemen Kehakiman, Jakarta, 1995. Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Cetakan Ketiga, (UIPRESS) Universitas Indonesia, Jakarta, 2003. Suparno, Penegakan Hukum Dalam Masyarakat Pluralisme, Jurnal Hukum Masalah-Masalah Hukum, Vol. 36 No. 2, Tahun 2007, Semarang: Fakultas Hukum Undip. Zaeni Asyhadie, Hukum Bisnis prinsip dan pelaksanaannya di Indonesia, , Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005. WJS. Purwodarminto, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1959. b. Peraturan Perundang-Undangan Indonesia, Undang Undang Dasar 1945 R. Soesilo. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Polteie. Bogor 1991. Indonesia, Undang-Undang No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Indonesia, Undang-Undang No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Indonesia, Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 Tentang sistem Pendidikan Nasional. Indonesia, Undang-Undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.